KELEMAHAN SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BURUH MIGRAN IMPLIKASINYA DENGAN TERJADINYA TRAFFICKING (Kajian Socio-Legal Maraknya Trafficking di Kalimantan Barat) Yenny AS, SH, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak Abstract In general, Indonesian labors who are working in a broad are getting angry easily, because they have less education and do not understand what their rights. Because of these problems, Indonesian labors are easily exploited as victim of human trafficking like doing dirty works and getting mininntm pay. Illegal labors who did not have any document which are needed for working in a broad would get less protection in law. Key words: Labors, trafficking, illegal, document. A. PENDAHULUAN Keterpurukan dan krisis ekonomi telah mendorong arus migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri. Ketika krisis ekonomi berlangsung, perusahaan-perusahaan yang bergantung pada modal asing pun berjatuhan dan terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibatnya terjadi gelombang PHK besar-besaran dan tingkat pengangguranpun kian melambung. Untuk berkelit dari kemiskinan dan proses pemiskinan semacam itu, sebagian orang yang memilih tetap tinggal di pedesaan mengembangkan pekerjaan baru di luar bidang pertanian, seperti pedagang kecil, penjahit, sopir dan kernet angkutan pedesaan, tukang ojek, dan lain-lain. Sebagian lainnya, melakukan migrasi ke kota-kota besar untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kaum migran, baik yang mengisi sektor informal di perkotaan maupun yang menjadi TKI, disamping kemudian mengalirkan nilai bahkan ekonomi kepedesaan, sesungguhnya mereka juga meninggalkan banyak persoalan berupa perubahan sosial yang tidak selalu berdimensi positif di desa asal mereka. Demikian halnya di Kalimantan Barat, secara geografis merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, sehingga Kalimantan Barat menjadi salah satu wilayah tempat tujuan transit unruk bekerja ke luar negeri bagi masyarakat Indonesia, baik penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan, maupun penduduk yang berasal dari luar Kalbar, umumnya yang didatangkan dari berbagai daerah di Jawa. Bertumpuknya pengangguran di dalam negeri, membuat harga buruh migran Indonesia di pasar tenaga kerja menjadi semakin murah. Mereka pada akhirnya hanya menjadi bulan-bulanan kekuasaan modal dan majikan. Upah murah, jam kerja panjang, kondisi kerja buruk, PHK sewenang-wenang, kekerasan, pelecehan seksual, berbagai bentuk eksploitasi, dan trafficking menjadi issu yang mencuat. Realitas menunjukkan, dalam melakukan migrasi tersebut tidak selalu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mendapatkan apa yang mereka harapkan, bahkan dapat dikatakan seringkali terjadi eksploitasi terhadap mereka baik selama masih ada di Indonesia maupun setelah di negara tujuan dan juga setelah sampai kembali di tanah air. Eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Kasus-kasus perburuhan (pelanggaran kontrak kerja, upah di bawah
standar, upah tidak dibayar), kasus kekerasan fisik, psikis dan seksual, tenaga kerja yang tak berdokumen, dan sebagainya, seperti tak pernah berhenti dialami Tenaga Kerja Indonesia. Praktek perdagangan manusia (trafficking) terjadi mulai awal perekrutan di daerah asal, persiapan pemberangkatan di penampungan, selama berada di luar negeri, sampai pulang kembali ke daerah asal, berdasarkan amatan hal ini dipengaruhi faktor-faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan trafficking ini adalah akibat dari berbagai tekanan ekonomi yang dialami berbagai kelompok masyarakat, adanya akibat karakter masyarakat sosial yang susah untuk dirubah, sehingga menjadikan psi mereka bahwa orang yang berada di luar negeri dapat me rai penghasilan tinggi dan m< .pi kebutuhannya. Faktor lain itu pendidikan yang rendah, ga menjadikan posisi buruh migr, Lm kondisi rentan dan menjadi an trafficking. Mencuatnya eksploitasi ap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) rut menandakan kebijakan atau ‘Isi pemerintah selama ini kurang I ak kepada Tenaga Kerja In ia. Padahal sumbangan devis,, KI tidaklah sedikit. Peran TK ng signifrkan secara ekonomi t it, tidak diimbangi oleh peran huh ng responsif terhadap ap perkembangan seputar perim an TKI. Oleh karena itu kebijak; an pengaturan yang responsif dan rif dalam rangka mengak< :si kepentingan perlindungan r ‘ap Tenaga Kerja Indonesia yang is ke luar negeri mutlak dil n. Regulasi hukum yang ya mengedapan ketertiban as memperhatikan upay; va perlindungan bagi para TKI ra empinik akan banyak m ui rintangan, bahkan terkesan mane Hingga saat ini, arah ke m pemerintah yang berkenaan m penanganan TKI masih belun s, khususnya dalam hal perlindunl m advokasi terhadap TKI yang bei di luar negeri. Masih banyak kas :I yang meninggal dunia dan d hukuman mati, korban tra, dengan berbagai bentuk memperlihatkan kinerja yang lamban dari diplomasi dan advokasi perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Di tingkat peraturan, regulasi yang dilahirkan lebih banyak mengatur kelancaran mekanisme operasional ketimbang upaya perlindungan. Dalam posisi tersebut, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) sebagai institusi swasta yang bekerja langsung pada operasional penempatan, memanfaatkan kondisi tersebut dengan melakukan proses perekrutan dan penempatan yang tidak terkontrol. Hal ini terus menerus terjadi karena mekanisme pengawasan dan evalusi dari Depnakertrans tidak berlangsung secara efektif. Ironisnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indoensia di Luar Negeri juga terbukti mandul. Padahal undang-undang tersebut sangat diharapkan oleh para TKI untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Eksploitasi terhadap TKI seperti upah di bawah standar, gaji tak dibayar, tidak ada waktu libur dan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan, eksploitasi seksual dan korban trafficking masih terus berlangsung bahkan beberapa diantaranya sampai ada yang meninggal dunia. Problematika yang dihadapi Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tersebut di atas memerlukan penelaahan secara kritis. Bagaimana mekanisme perlindungan hukum bagi para buruh migran yang bekerja di luar negeri, dalam kaitan dengan implikasinya terhadap terjadinya trafficking yang semakin marak terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Oleh karenanya perlu pengkajian mendalam apakah hukum telah menunjukkan peran dan fungsinya dalam mengatasi persoalan yang menimpa buruh migran tersebut. Hukum yang baik dan efektif adalah hukum hidup sebagai “inner order” dalam masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Fenomena itulah yang membuktikan bahwa penegakan hukum yang baik itu tidak sekedar ditentukan oleh “substansi
perundang-undangannya” nya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh “kultur hukum” warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya. Selama ini, kita hanya dapat memamerkan rancangan-rancangan (substance), tetapi lebih banyak berakhir sebagai retorika belaka. Padahal hukum bukan hanya peraturan, tetapi juga perilaku (dan struktur sosial), sehingga Nonet dan Selznick membenarkan bahwa di dalam masyarakat transisional seperti Indonesia, tipe hukum yang cenderung dominan adalah tipe hukum yang otonom yang selalu menonjolkan “prosedural” ketimbang substansi dan rasa keadilan masyarakat. B. PERMASALAHAN Masalah yang hendak dikupas dalam tulisan ini adalah; “Bagaimanakah pelaksanaan sistem perlindungan hukum terhadap Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungannya dengan maraknya Trafficking di Kalimantan Barat? “ Secara khusus penelitian ini akan mengkaji permasalahan mengenai: 1) Bagaimanakah dimensi masalah yang dihadapi para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri? 2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi belum optimalnya mekanisme perlindungan hukum terhadap buruh migran dan implikasinya dengan maraknya trafficking ? 3) Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan dalam optimalisasi perlindungan hukum terhadap buruh migran dan korban trafficking ?
C. ASPEK HUKUM PENTINGNYA PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH MIGRAN Hingga saat ini, arah kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan penanganan TKI masih belum jelas, khususnya dalam hal perlindungan dan advokasi terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. Masih banyak kasus TKI yang meninggal dunia dan diancam hukuman mati, korban trafficking dengan berbagai bentuk. Melandasi pemikiran tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia melakukan kebijakan formulasi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Undang-Undang tersebut pada intinya mengamanatkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral dan martabatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, disebutkan bahwa ; “Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”. Ketentuan tersebut mengisyaratkan untuk dapat dikatakan sebagai TKI adalah harus memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri, yaitu adanya job order dengan negara penerima
dan dilakukan dalam waktu tertentu dengan menerima upah. Kejelasan dalam penempatan TI di luar negeri menjadi penting dan hal yang prnsip, sebab dalam kenyataan banyak dijumpai praktek agen-agen tenaga kerja yang sengaja mempekerjakan TKI di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan perjanjian. Penempatan TKI ini penting untuk dipahami, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, sebagai berikut “Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keselutuhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan persiapan pemberangkatan ke negara tujuan dan pemulangan dari negara tujuan”. Oleh karenanya dalam melakukan perekrutan dan penyaluran TKI ke luar negeri setiap talon TKI perlu mendapatkan perlindungan. Hal mana tertuan di dalam UU. 39/2004 pada Pasal 1 butir 4 nya, bahwa “Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik sebelum, selama maupun sesudah bekerja”. Berkenaan upaya perlindungan terhadap TKI yang bekerja di luar negeri tersebut, maka menjadi penting di sini adalah terpenuhinya hak-hak TKI, sebagaimana terumuskan di dalam ketentuan Pasal 8 UU. 39/2004 sebagai berikut : Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk: a. Bekerja di luar negeri. b. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri. c. Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penematan di luar negeri. d. Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. e. Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan. f. Memperoleh hak, kesempatan dan perlakuan yang sama diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan. g. Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri. h. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal. i. Memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli. Di samping jaminan perlindungan hak-hak terhadap TKI, UU no 39/2004 juga mengisyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap calon TKI/TKI, sebagaimana terumuskan di dalam Pasal 9 nya sebagai berikut : Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk : a. Menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan. b. Menaati dan melaksanakan pekerjaannyasesuai dengan perjanjian kerja. c. Membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d. Memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat dan kemampuan. Penempatan TKI tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, Penempatan TKI tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional. Sebelum melakukan penempatan calon TKI/TKI maka diantaranya terlebih dahulu dilakukan kegiatan pengurusan Surat Izin Pengerahan, proses perekrutan, pendidikan dan pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji kompetensi, pembekalan akhir pemberangkatan; dan pemberangkatan. Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI, sekurangkurangnya tentang tatacara perekrutan, dokiunen yang diperlukan, hak dan kewajiban calon TKI/TKI, situasi, kondisi dan resiko di negara tujuan dan tata cara perlindungan bagi TKI. Untuk dapat menjadi TKI yang bekerja di luar negeri, harus memenuhi persyaratan, diantaranya persyaratan umum sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Nomor 3 9/2004 antara lain : a. Ben (del, calo pad< seku (dua Seh, c. Tidacalo:d. Berp lulus Pert: sede Sela, mengatuditempat harusmeliputi a Kart pent atau b. Sura perk men nika Sura isterid. Serti e. Sura; hasil psikc f. Pasp Kant g. Visa h. Perja perja penei calon kewa dalar nega unda.sekurang-kurangnya 18 )elas) tahun kecuali bagiyang akan dipekerjakan .;ngguna perseorangan
dimaksud dalam ketentuan perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan (Pasal 72 UU 39/2004) D. IMPLIKASI PERSOALAN BURUH MIGRAN DAN MARAKNYA PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFFICKING) KHUSUSNYA PEREMPUAN DAN ANAK Menurut estimasi pihak Imegresen Malaysia, pekerja Indonesia merupakan 95% dari jumlah total pekeja asing di negara bagian Sarawak. Jumlah ini tersebar diseluruh wilayah Negeri Sarawak dengan konsentrasi wilayah-wilayah utama seperti Kuching, Sibu, Kapit, Bintulu dan Miri, bahakan juga akhir-akhir ini di Lawas dan Limbang. Jumlah perusahaan di negara bagian Sarawak yang terdaftar pada KJRI Kuching mempekerjakan TKI sebanyak 343 perusahaan. Sementara hanya sekitar 1% Tenaga Kerja Indonesia bekerja pada sektor formal seperti dokter, pilot, dosen, wiraswata/usaha, ustadz, industri, perhotelan, dan lain-lain. Kenyataan di lapangan juga menunjukakan di luar jumlah TKI terdaftar tersebut diyakini terdapat sejumlah besar pekerja Indonesia yang masuk secara ilegal atau bekerja secara ilegal. Jumlah pasti pekerja ilegal ini tentunya tidak dapat diketahui, namun diperkirakan sedikitnya sama dengan jumlah pekerja legal, sehingga jumlah total TKI di Sarawak inelebihi 400.000 orang. Dari jumlah pekerja legal, sebagian masuk dengan dokumen “aspal” dalam arti dokumen asli tetapi keterangan di dalamnya dipalsukan karena berbagai alasan. Jumlah TKI dengan dokumen “aspal” ini juga tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi dari pengamatan KJRI Kuching selama ini persentasenya cukup besar. Realitasnya, TKI khususnya yang bekerja di Sarawak, secara umum sangat rentan terhadap berbagai masalah, mengingat mereka pada umumnya berpendidikan rendah dan tidak mengerti hak-haknya sebagai pekerja migran. Salah satu permasalahan sebagai akibat dari hal ini adalah seringnya TKI dieksploitasi dan menjadi korban human trafficking. Para TKI yang menjadi korban seringkali dijual/dilacurkan sebagai pekerja seks komersial (PSK) atau dipekerjakan dengan gaji rendah. TKI ilegal maupun legal dengan dokumen “aspal” bahkan lebih rentan terhadap permasalahan khususnya human trafficking ini karena tidak mendapatkan perlindungan hukum berupa dokumen perjalanan yang sah, atau bahkan kadangkala tidak memiliki identitas diri yang benar sama sekali. Salah satu unsur identitas diri yang seringkali dipalsukan/dikaburkan adalah alamat TKI yang bersangkutan di Indonesia, mengakibatkan identifikasi langsung terhadap daerah asal TKI tidak dapat atau sekurang-kurangnya sangat sulit dilakukan. Implikasi dari realitas tersebut, besarnya jumlah TKI ilegal yang mudah dieksploitasi juga menimbulkan permasalahan lain, yakni mengakibatkan perusahaan tidak harus berhubungan dengan PJTKI resmi untuk memperoleh jasa TKI, padahal hanya PJTKI resmi yang dapat diawasi dengan mekanisme yang ada (khususnya dalam kaitan dengan KJRI adalah prosedur pengesahan ( job order). Adapun data TKI bermasalah, khususnya di Negara bagian SerawakMalaysia, dapat dilihat pada table berikut ini : Tabel 1 Statistik TKI Bermasalah Yang Ditampung Di KJRI Kuching Berdasarkan Jenis Kasus, Tahun 2007 No
Bulan
Gaji Tidak Ditipu Strew/ WNI tidak Tahan Dianiaya Pelacuran TOTAL Aent Cacat Bermasalah dibayar Bekerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL
0 0 1 1 2 3 6 6 3
8 5 14 2 11 18 0 4 9
5 0 6 3 15 5 6 7 11
3 0 1 0 3 1 1 2 0
3 0 2 8 6 2 1 2 1
0 2 0 1 0 0 0 1 1
6 3 0 4 4 6 2 6 4
25 11 24 19 41 35 16 28 29
22
71
93
11
25
36
35
228
Sumber Data : KJRI-Kuching
Dari data tersebut di atas dapat diungkap pada kenyataannya TKI yang tidak terdaftar (masuk/bekerja secara ilegal) seringkali tidak memiliki dokumen resmi karena beherapa alasan: Masa berlaku paspor sudah hahis dan tidak memiliki ijin kerja resmi. Hal ini umumnya disebabkan karena TKI tersebut lari dari perusahaan karena kondisinya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh pihak agen. Paspor ditahan oleh pihak agen/majikan dan tidak dikembalikan kepada pekerja, walaupun masa kerja telah selesai. Tidak memiliki paspor yang sah karena masuk ke Sarawak tanpa melalui pos perbatasan resmi (jalan tikus) atau dengan perantaraan agen yang tidak bertanggungjawab. People smuggling juga sering terjadi, dimana para pekerja dibawa masuk ke Sarawak atau melalui Sarawak ke tujuan lain (Brunei, Semenanjung), atau dari Sarawak/ tempat lain kembali ke tanah air dengan kendaraan gelap tanpa ada perlindungan asuransi. Akibatnya Tindak kejahatan yang dilakukan oleh WNI cukup banyak terjadi, dan seringkali yang menjadi korban juga sesama WNI, khususnya TKI yang pulang ke tempat asalnya sesudah bekerja di Sarawak. Jumlah WNI yang dipenjara karena kasus pelanggaran hukum di Sarawak sesuai dengan data yang diberikan oleh Pejabat Penjara Serawak untuk sepanjang tahun 2007 sebanyak 3352 orang dan sebagian terbesar (82,05%) terkait masalah pelanggaran keimigrasian (Imigration Act) Malaysia. Hal ini konsisten dengan data yang diperoleh sejak November 2005, dimana pelanggar peraturan keimigrasian tidak pernah kurang dari 75% dan rata-rata mencapai 81% dari total jumlah WNI dalam penjara Sarawak. Data jumlah yang dipenjara selama tahun 2007 dalam bentuk tabel terlampir.
Tabel 2 Jumlah WNI Yang Ditahan Di Penjara Sarawak Berdasarkan Jenis Peraturan Yang Dilanggar Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember JUMLAH Sumber Data : KJRI – Kuching
Immigration Act 249 85.60% 250 78.10% 228 78.40% 214 76.40% 284 80.70% 238 76.80% 248 80.80% 389 87.80% 409 88.30% 298 86.10% 289 86.50% 256 79.20% 3352 82.05%
Penal Code 29 10% 49 15.30% 40 13.70% 47 16.80% 37 10.50% 27 8.70% 35 11.40% 39 8.80% 35 7.60% 30 8.70% 35 8.90% 47 4.50% 403 10.48%
Act-act Lainnya 13 4.40% 21 6.60% 23 7.90% 19 6.80% 31 8.80% 45 14.50% 24 7.80% 15 3.40% 19 4.10% 18 5.20% 10 4.60% 20 6.10% 238 7.47%
Sebagian besar TKI bermasalah tersebut adalah sektor pembantu rumah tangga dan sektor informal seperti pelayan restoran, pelaut, buruh, pekerja perkebunan dan lain-lain. Dengan demikian Kemiskinan dan pemiskinan buruh migran mempunyai akar struktural. Karena itu, standar ekonomi bukan satu-satunya. Semua ini disebabkan tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi. Realitas kemiskinan yang dialami buruh migran illegal yang mengalami tindak kekerasan, sesungguhnya memberi kenyataan yang sangat dalam dari proses penghancuran martabat manusia. Karena itu, pendekatan yang dilakukan seharusnya mencakup upaya-upaya mengembalikan harga diri dan martabat buruh migran dengan segenap haknya sebagai manusia dan warga negara. Maraknya perdagangan perempuan dan anak (trafficking) pada dewasa ini merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Issu trafficking merupakan suatu fenomena global, dan kasus trafficking baik antar negara manpun dalam suatu negara telah dilakukan oleh jaringan yang terorganisir, bahkan realitas menunjukkan ketika ekonomi semakin terpuruk semakin banyak perempuan dan anak yang dipekerjakan, diperdagangkan dan dilecehkan. Perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak yang berasal dari Indonesia ke luar negeri menjadi marak seiring dengan maraknyaa pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Banyak kasus penipuan yang dilakukan oleh sindikat dimana kepada calon TKW dijanjikan pekerjaan, tetapi mereka diperdagangkan menjadi korban yang dilacurkan secara paksa, bahkan TKW illegal yang diusir dari Malaysiapun menjadi sasaran sindikat perdagangan manusia. Propinsi Kalimantan Barat diantaranya, yang memiliki kondisi geografis spesifik yang langsung berbatasan dengan luar negeri (Malaysia Timur) melalui jalur pintu masuk resmi Pos Lintas Batas (PLB) Entikong dan Tebedu dan tidak kurang ada sekitar 50 (lima puluh) jalur setapak (tidak resmi) yang dapat dilalui untuk masuk dan keluar ke dan dari wilayah Malaysia Timur. Letak yang strategis geografis Propinsi Kalimantan Barat ini, mendorong sernakin meningkatnya praktek-praktek trafficking ke luar negeri.
Keterlibatan jaringan sindikat kriminal internasional trafficking melalui Pos Lintas Batas Negara (transnasional) tidak terlepas dari posisi strategis tersebut, dimana arus lalu lintas manusia tidak mengalami kesulitan keluar dan masuk. Hal ini menjadikan lalu lintas perdagangan manusia menjadi lebih mudah. Berdasarkan data diperoleh di lapangan, traffiking sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan menunjukkan angka yang signifikan terjadi di Kalimantan Barat, sebagaimana terlihat pada tabel berikut : Tabel 3 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Di Kalimantan Barat No 1
Jenis Kekerasan 2004 2005 2006 Kekerasan Dalam 18 36 27 Rumah Tangga (KDRT) 2 Perdagangan Perempuan 464 439 210 & Anak (Trafficking) 3 Kekerasan Seksual 23 69 18 Jumlah 505 544 255 Sumber Data : Bapora – Pemberdayaan Perempuan KalBar, Tahun 2008
2007 20 346 32 398
Dari data tersebut terlihat bahwa perdagangan (trafficking) khususnya perempuan dan anak perempuan bentuk kekerasan yang rentan terjadi di Kalimantan Barat, mengingat KalBar, secara geografis sebagai daerah perbatasan merupakan faktor peluang terjadinya trafficking, khususnya dengan modus memperdaya para calon buruh migran dengan berbagai cara. Berbagai modus operandi yang terjadi diantaranya perekrutan dan pengiriman manusia (khususnya perempuan dan anak), dimulai dari tingkat bawah, yaitu dengan mendatangi wilayahwilayah sentra pengiriman buruh migran yang berada di desa-desa di wilayah kabupaten. Dimulai dari cara calo yang mencari secara langsung ke desa-desa, dan tidak jarang melibatkan tokoh masyarakat/aparat desa/dusun setempat yang berperan sebagai perantara dengan keluarga perempuan dan anak. Kemudian calo tersebut membujuk orang tua atau keluarga perempuan yang bersangkutan, dan jika kesulitan, calo tersebut melibatkan para perantara tersebut untuk meyakinkan mereka. Langkah berikutnya adalah perempuan dan anak tersebut diserahkan kepada pihak lain untuk dibuatkan paspor, dan ditampung di tempat penampungan dan dipindahkan kepada pihak lain (agen/calo), selanjutnya terjadi transaksi harga, setelah itu calo tersebut menawarkan kepada majikan yang membutuhkan tenaga kerja dan diperkerjakan di berbagai tempat., seperti rumah tangga, restoran, tempat-tempat hiburan, karaoke dan sebagainya, dengan harga yang bervariasi, mulai dari 1.000 – 4.000 RM atau sekitar Rp. 2.500.000,- sampai dengan Rp. 10.000.000,-. Selain modus operandi tersebut diatas, ada berbagai modus operandi lain, yakni melalui perkawinan antara wanita (amoy) Kalimantan Barat dengan pria warga negara asing, seperti diantaranya Taiwan, Hongkong, Singapura, melalui layanan mail order brade, dimana laki-laki warga negara asing atau melalui calonnya tersebut datang ke Indonesia untuk mencari dan memilih mempelai wanita (umumnya adalah wanita dari etnis Tionghoa, oleh karena dalam budaya dan tradisi perkawinan masyarakat Tionghoa, suatu perkawinan sah ditandai dengan foto bersama kedua mempelai, sehingga tidak harus memenuhi kelengkapan administrasi surat menyurat terlebih dahulu serta para pihak lainnya). Korban dari layanan mail order brade tersebut sebagian besar adalah masyarakat dari lapisan bawah (miskin). Untuk satu mempelai,
para calo akan mendapat uang sekitar Rp. 7-10 juta, dari biaya paket perkawinan yang dikeluarkan sebesar Rp. 60-70 juta, dan setiap tahunnya jumlah mail order brade ini mencapai 2.000 pasangan. Terdapat banyak lagi bentu-bentuk perdagangan perempuan dan anak yang lain dan marak terjadi dalam kehidupan masyarakat, diantaranya dimana perempuan dan anak dipekerjakan sebagai pekerja domestik di luar persetjuan dan keinginan mereka, terdapat juga perempuan dan anak dipekerjakan di tempat hiburan atau tempat usaha lainnya, dipekerjakan sebagai pekerja seks, pengemis dan lain sebagainya. Secara umum akar permasalahan dari maraknya kasus trafficking adalah faktor konsumerisme, kesulitan ekonomi/kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, rendahnya pendidikan dan ketidak-tegasan aparatur hukum dalam mengambil tindakan terhadap para traffickers. Kejahatan trafficking ini umumnya tergabung dengan kejahatan antar negara (transnational). Kelompok-kelompok pelaku kejahatan ini memilih untuk memperdagangkan manusia (perempuan dan anak) karena keuntungannya besar dan sampai sekarang resikonya masih tergolong kecil, karena tak seperti komoditi lainnya, manusia bisa diperdagangkan secara berulang-ulang dan tidak membutuhkan modal yang besar. Mengingat trafficking ini merupakan kejahatan terorganisir yang dilakukan secara rapi dan sembunyi-sembunyi, sehingga fakta yang sesungguhnya jumlah korban sulit untuk diketahui/dilacak. Secara kuantitatif fakta yang sesungguhnya terjadi bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan data atau laporan yang diungkap. Mengingat kejahatan trafficking merupakan kejahatan terorganisir, menjadi semakin sulit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan trafficking tanpa adanya tekad dan koordinasi yang intensif dan mantap diantara para Aparat dan Instansi terkait. Sementara itu maraknya kasus trafficking ini, belum tersentuh secara proporsional oleh pemerintah dan masyarakat. Kalaupun ada kasus-kasus yang mencuat dan ditangani hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Kondisi ini, lebih disebabkan belum adanya jalinan yang terpadu dan mantap diantara pemerintah, dalam hal ini instansi teknis yang terkait dan lapisan masyarakat melalui bentuk koordinasi yang terpadu dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan trafficking.
E. KEBIJAKAN STRATEGI PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH MIGRAN Kondisi secara empiris menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem perlindungan terhadap para buruh migran, sehingga seringkali buruh migran dihadapi berbagai persoalan, diantaranya 1. Permasalahan dari dalam negeri, yaitu pada saat pra penempatan atau sebelum pengiriman ke tempat bekerja di luar negeri, meliputi : a. Akses informasi yang minim tentang prosedur, persyaratan, dan cara-cara bekerja di luar negeri, serta cara bila menghadapi masalah sehingga menjadi korban perdagangan manusia. b. Pemalsuan dokumen; seperti job order fiktif, visa, kartu keluarga, ijazah palsu, surat ijin keluarga, paspor tidak sesuai identitas, c. Penyiapan pelatihan sumber daya manusia belum maksimal, manipulasi sertifikat keterampilan, manipulasi keterangan kesehatan, dan seleksi psikologi masih kurang
d. Penyekapan di penampungan dengan kondisi penampungan yang buruk. e. Diperjualbelikan diantara calo 2. Permasalahan yang dihadapi buruh migran di negara tempat bekerja: Pelanggaran kontrak kerja Mengalami penyiksaan dan kekerasan (kekerasan fisik seksual) Diperdagangkan dan bahkan dipekerjakan sebagai pelacur Pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya sebelum habis kontrak dann tanpa alasan jelas Potongan gaji berlebihan oleh agen maupun PJTKI Melarikan diriari majikan lama dan bekerja pada majikan baru Upah tidak dibayar atau dibayar tapi tidak sesuai perjanjian Bekerja sampai larut malam dan kurang istirahat. dipekerjakan dua atau lebih rumah tangga TKI melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, menganiaya dan membunuh majikan Hamil bagi TKI perempuan, akibatnya dikeluarkan dari tempat kerja TKI melakukan hubungan seks dengan pasangan bukan muhrimnya TKI melakukan tindak kriminal atau melanggar hukum 3. Permasalahan yang dihadapi TKI ketika kembali di Indonesia: Berdasarkan pemantauan saat pemulangan terdapat beberapa alasan TKI pulang antara lain, habis kontrak, cuti, sakit, putus kontrak dan TKI bermasalah. Pada saat pemulangan tersebut permasalahan yang sering dialami TKI khususnya TKI perempuan (TKW) meliputi: pungutan liar, penipuan nilai tukar mata uang asing, pemerasan, perampokan dan tindak kekerasan lainnya Menyikapi berbagai permasalahan yang cenderung dialami para buruh migran di atas, tentunya memenlukan perhatian dan langkah-langkah kebijakan perlindungan dan penanganannya oleh Pemerintah. Kebijakan strategi perlindungan TKI luar negeri tersebut tentunya dimaksudkan untuk terwujudnya perlindungan tenaga kerja Indonesia yang akan/bekerja di luar negeri secara menyeluruh antuk dapat memperoleh hak-hak dan melakukan kewajibannya sesuai peraturan yang berlaku sejak rekruitmen hingga pulang kembali ke daerah asalnya dengan aman dan selamat sesuai harapan tanpa mengalami permasalahan atau kasus-kasus yang merugikan buruh migran tersebut Kebijakan tersebut dapat dilakukan, diantaranya melalui peningkatan kepastian hukum bagi perlindungan buruh migran serta meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran sejak pra penempatan, penempatan hingga pulang ke daerah asal. Upaya-Upaya untuk Meningkatkan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (buruh migrant) tersebut, diantaranya berupa : 1. Penyerasian peraturan perundang-undangan berkaitan perlindungan terhadap buruh migran, melalui : a) Melakukan identifikasi dan pengkajian terhadap peraturan perundang- undangan di bidang perlindungan TKI perempuan luar negeri b) Menginventarisir pasal-pasal yang bias gender dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan TKI perempuan luar negeri c) Menyusun usulan revisi pasal-pasal yang bias gender dalam peraturan perundangundangan di bidang perlindangan TKI perempuan luar negeri
d) Mengajukan usul revisi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang ketenangakerjaan terhadap instansi yang berwenang melakukan amandemen e) Melakukan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan TKI perempuan luar negeri. 2. Penyediaan informasi seluas luasnya bagi tenaga kerja yank ingin bekerja di luar negeri yang meliputi: a) Menyediakan informasi yang jelas dan benar mengenai peluang, jenis persyaratan dan mekanisme penempatan kerja serta kemungkinan resiko yang mungkin dihadapi. b) Menyediakan informasi nama dan alamat dings penempatan tenaga kerja atau PJTKI yang resmi serta nama agency (PJTKA) daftar hitam, alamat misi diplomatik/atase ketenagakerjaan. c) Pembuatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) tentang proses perekrutan, penempatan, pemulangan, hak-hak, prosedur dan layanan yang didapat bagi buruh migran. 3. Perbaikan proses rekrutmen TKI yang meliputi : a) Menciptakan kemudahan prosedur pengurusan dokumen keberangkatan. b) Menempatkan proses pengurusan dokumen dalam satu tempat. c) Melakukan pengawasan secara obyektif dengan penegakan supremasi hukum tanpa diskriminatif baik untuk pengusaha maupun birokrasi yang melakukan pelanggaran proses Rekrutmen.
4. Penyiapan tenaga kerja berkualitas, yang meliputi: a) Pelaksanaan pelatihan keterampilan bagi TKI tentang jenis pekerjaan, bahasa dan budaya negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan b) Peningkatan pengetahuan/ pemahaman bagi TKI tentang pengurusan dan persyaratan pengurusan dekumen serta perjanjian kerja c) Melaksanakan test kesehatan, menandatangani perjanjian penempatan, menjalani pelatihan, test uji Kompetensi, pengurusan paspor, visa, Asuransi TKI, dan tabungan TKI, Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sesuai dengan peraturan perundangundangan. 5. Melakukan pengawasan pada fasilitas penampungan TKI pada PJTKI, meliputi: a) Melakukan pemantauan di PJTKI terhadap fasilitas penampungan TKI b) Mengevaluasi kelayakan penampungan yang dimiliki PJTKI c) Merekomendasikan kepada PJTKI untuk memperbaiki tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat. 6. Peningkatan fasilitas dan Penyediaan Shelter di Perwakilan RI luar negeri meliputi: a) Penyediaan fasilitas medis dan tenaga medis di shelter perwakilan RI di luar negeri b) Memberikan penguatan dan pembinaan mental dan psikis untuk membantu meringankan beban psikis tenaga kerja bermasalah
c) Pengadaan kegiatan yang bermanfaat bagi TKI yang berada di shelter seperti kursus keterampilan dan lain-lain d) pengadaan kegiatan pencerahan di setiap shelter, seperti olah raga pagi atau latihan relaksasi untuk mengatasi stress yang mereka alami. 7. Sistem Kepulangan tenaga kerja ke Indonesia secara bertanggung jawab, yang meliputi: a) Peningkatan pengawasan terhadap kepulangan TKI di border dan setiap debarkasi dari tindakan oknum yang akan merugikan tenaga kerja. b) Melakukan pemantauan di border dan setiap debarkasi terhadap tenaga kerja yang mengalami kekerasan selama bekerja di luar negeri c) Memonitor dan mengevaluasi sistem perlindungan tenaga kerja di setiap embarkasi dan debarkasi d) Pencatatan kasus-kasus yang terjadi pada tenaga kerja di embarkasi dan setiap debarkasi e) Pelaporan tentang kondisi pelayanan tenaga kerja di setiap embarkasi dan debarkasi f) Mengantar TKI ke daerah asal dengan pengawasan aparat kepolisian.
8. Pengembangan kerjasama bilateral antara negara pemerintah RI dengan negara penerima Tenaga kerja, yang meliputi : a) Melakukan penjajakan dengan negara tujuan untuk melakukan kerjasama bilateral khususnya bagi perlindungan tenaga kerja. b) Melakukan penyusunan draft MOU antara Pemerintah dengan negara tujuan atau minimal memasukkan materi kerja sama tentang pemindahan/transfer jenazah, korban kekerasan dan lain-lain, kerjasama dalam bentuk bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana bagi tenaga kerja Indonesia yang bermasalah dengan hukum negara tujuan, kerjasama teknis di bidang perlindungan tenaga kerja Indonesia. c) Mengupayakan perbaikan kontrak kerja antara majikan dengan tenaga kerja, bila negara penerima sulit atau berkeberatan mengadakan kerjasama bilateral. 9. Mengupayakan Penempatan Atase Tenaga Kerja di KBRI di negara penerima dan Konsulat Jenderal di daerah penempatan, yang meliputi: a) Melakukan penjajakan bagi terbentuknya Atase Tenaga Kerja di KBRI atau Konsulat Jenderal di negara penerima dan Konsulat Jenderal di daerah penempatan. b) Penyediaan anggaran bagi terbentuknya Atase Tenaga Kerja di KBRJ dan Konsulat Jenderal di daerah penempatan yang belum memiliki Atase kerja dan Konsul Jenderal. F. PENUTUP Menyikapi berbagai permasalahan yang cenderung dialami para buruh migran di atas, tentunya memerlukan perhatian dan langkah-langkah kebijakan perlindungan dan penanganannya oleh Pemerintah. Kebijakan tersebut dapat dilakukan, diantaranya melalui peningkatan kepastian hukum bagi perlindungan buruh migran serta meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran sejak pra penempatan, penempatan hingga pulang ke daerah asal
Dengan demikian kebijakan perlindungan tenaga kerja luar negeri yang diperlukan selama pra penempatan, penempatan dan purna penempatan, diantaranya : 1. Tahap pra penempatan diantaranya adalah : a) Menyediakan informasi yang jelas dan benar mengenai peluang kerja, jenis pekerjaan, persyaratan dan mekanisme penempatannya serta kemungkinan resiko yang mungkin dihadapi b) Melakukan rekruitmen atau penyeleksian tenaga kerja di daerah asal dan di perusahaan yang memperhatikan kelengkapan dan keabsahan dokumen secara cepat, tepat dan akurat serta murah dengan tetap memperhatikan kebutuhan perlindungan tenaga kerja c) Menyediakan tempat penampungan yang layak bagi calon TKI, serta menjamin kepastian waktu keberangkatan d) Melaksanakan kegiatan pembekalan akhir pemberangkatan bagi calon TKI bila menghadapi permasalahan yang mungkin terjadi e) Penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah (Bupati/Walikota, Camat, Lurah/Kepala Desa) dalam menangani, menertibkan dan memantau pendaftaran Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri f) Memberikan kredit lunak kepada calon tenaga kerja dari lembaga keuangan untuk biaya persiapan pemberangkatan. 2. Tahap penempatan, diantaranya adalah: a) Inventarisasi PJTKA dan memperhatikan rekomendasi perwakilan RI untuk tidak melayani PJTKA dan pengguna (majikan) yang sudah masuk daftar hitam (black list) b) Penandatanganan kontrak kerja dapat dilakukan oleh calon tenaga kerja dan pengguna dengan diketahui oleh perwakilan RI di luar negeri c) Mengefektifkan dan mekanisme perwakilan RI di luar negeri dalam penangan dan pemantauan Tenaga Kerja Indonesia di negara penerima, meliputi pemeliharaan kesehatan, kondisi kerja, lingkungan kerja dan keseelamatan kerja d) Tersedianya dana untuk merekrut tenaga pendamping/psikolog/ penterjemah di KBRI/perwakilan RI bagi tenaga kerja bermasalah di luar negeri e) Optimalisasi perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dengan mengintensifkan pengawasan tempat TKI bekerja. f) Mengupayakan atase tenaga kerja di KBRI pada negara tujuan penempatan TKI 3. Tahap pemulangan, diantaranya adalah: a) Perlu dipertahankan sistem pemulangan yang bertanggung jawab dengan mengantarkan kepulangan Tenaga Kerja Indonesia sampai ke daerah asal b) Peningkatan pengawasan instansi terkait terhadap kepulangan tenaga kerja Indonesia di setiap debarkasi dan oknum yang akan melakukan tindakan merugikan Tenaga Kerja Indonesia. c) Melakukan pemantauan di setiap debarkasi bagi Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami kekerasan selama bekerja di luar negeri dengan membantu memberikan perlindungan. DAFTAR PUSTAKA Armia, Mhd. Shiddiq Tgk., Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003,
Fakih, Mansour dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Pegangan Untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia, Insist Press, Jogyakarta, 2003 Ihromi, TO, Antropologi Hukum, Dalam Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001 Irianto, Sulistyowati, editor, Hukum dan Perempuan; Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006 Katjasungkana, Nursyahbani, Aspek Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan; Makalah pada Seminar Masyarakat Mengahadapi Kekerasan, Surabaya, 18 Oktober 1998 Komnas Perempuan; Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Ameepro, Jakarta, 2002 Lapian, L.M.Gandhi & Geru. Hetty A, Editor, Trafiking Perempuan dan Anak (Penanggulangan Komprehensif, Studi Kasus : Sulawesi Utara), Yayasan Utara), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak DERAP-WARAPSARI ; Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Kekerasan, Bhara Kerta Inkoppol, 2003 Poerwandari, Kristi, Kekersan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologi Feministik, Makalah, Program Kajian Wanita PPS-UI/ fakultas Psikologi UI. Bandingkan dengan definisi yang digunakan oleh Deklarasi Beijing yang diselenggarakan PBB. 1995. Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat; Selayang Pandang Keadilan dan Kesetaraan Gender, 2005 . Taneko, Soleman B., Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat; PT. Raga Grafindo Persada, Jakarta, 1993 Tjandraningsih, Beberapa Catatan Pemberdayaan Buruh, Akatiga dan Gugus Analisis, Bandung, 1996 Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya; 70 Tahun Prof Soetandyo Wignjosoebroto; ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002.