KELARUTAN KOMPONEN KIMIA KAYU REAKSI MELINJO ( Gnetum gnemon L. ) SELAMA PROSES PULPING KRAFT
RENDRA LAKSONO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KELARUTAN KOMPONEN KIMIA KAYU REAKSI MELINJO ( Gnetum gnemon L. ) SELAMA PROSES PULPING KRAFT
RENDRA LAKSONO
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menempuh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
Rendra Laksono (E24104077). Kelarutan Komponen Kimia Kayu Reaksi Melinjo ( Gnetum gnemon L. ) Selama Proses Pulping Kraft. Di bawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc.
Kebutuhan masyarakat dunia akan pulp dan kertas senantiasa meningkat. Penggunaan bahan baku alternatif untuk mendukung pemenuhan kebutuhan akan kertas sangat diperlukan. Bahan baku yang digunakan untuk industri pulp dan kertas umumnya berupa kayu yang tumbuh normal, namun dalam kenyataannya tidak sedikit ditemukan tumbuhan yang tumbuh abnormal sehingga dalam strukturnya akan terbentuk kayu reaksi. Diantara banyak keragaman bahan baku, salah satunya adalah tumbuhan melinjo (Gnetum gnemon L.). Sejauh ini tumbuhan tersebut masih sedikit diketahui potensi penggunaannya karena belum banyak diketahui sifat-sifat dasarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia pulp kayu reaksi melinjo dibandingkan dengan kayu normal atau kayu opposite, dan untuk mengetahui pengaruh sifat kimia kayu reaksi melinjo terhadap degradasi lignin selama proses pulping. Bahan baku yang digunakan adalah kayu melinjo (Gnetum gnemon L.) yang diambil dari pohon yang tumbuh miring dengan contoh uji diambil dari bagian kayu opposite dan kayu reaksinya. Pemasakan pulp dilakukan dengan proses kraft standar dengan kondisi pemasakan, alkali aktif 20%, sulfiditas 25% perbandingan chip dan larutan 1:4, lama pemasakan adalah 60, 120 dan 180 menit dengan suhu maksimum 1700C. Pulp yang dihasilkan dihitung nilai rendemen, konsumsi alkali, kelarutan dalam NaOH 1%, kadar holoselulosa, kadar alpha selulosa dan kadar lignin. Hasil pengujian pulp melinjo menunjukkan bahwa bagian kayu oposit dan kayu reaksi menghasilkan nilai rendemen pulp yang hampir sama. Berdasarkan karakteristik pulpnya, bagian kayu reaksi menghasilkan pulp yang lebih baik dengan kandungan holoselulosa dan alpha-selulosa yang lebih tinggi, dan kandungan lignin serta kelarutan dalam NaOH 1% yang lebih rendah. Nilai rendemen pulp kayu melinjo berkisar 26,7 – 34,11%, nilai konsumsi alkali 6,46 16,38%, kelarutan dalam NaOH 1% sebesar 2,46 – 6,1%, kadar holoselulosanya 84,09 – 93%, dan kadar alpha selulosa sebesar 77,64 – 81,56%. Kayu melinjo cukup baik sebagai bahan baku pulp dan kertas khususnya untuk produk kertas yang tidak mensyaratkan kekuatan lembaran yang tinggi.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kelarutan Komponen Kimia Kayu Reaksi Melinjo ( Gnetum gnemon L. ) Selama Proses Pulping Kraft” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Rendra Laksono NRP E24104077
Judul Skripsi
: Kelarutan Komponen Kimia Kayu Reaksi Melinjo ( Gnetum gnemon L. ) Selama Proses Pulping Kraft
Nama
: Rendra Laksono
NRP
: E24104077
Menyetujui: Dosen Pembimbing.
Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. NIP. 131 967 242
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun skripsi tersebut dengan baik. Shalawat serta salam senatiasa tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammmad SAW beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau yang senantiasa menjaga sunah beliau hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Kelarutan Komponen Kimia Kayu Reaksi Melinjo ( Gnetum gnemon L.) Selama Proses Pulping Kraft” dan dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Karya tulis ini membahas tentang degradasi komponen kimia kayu selama proses pengolahan kayu melinjo ( Gnetum gnemon L.) menjadi pulp. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi salah satu informasi dasar untuk diversifikasi pemanfaatan kayu melinjo sebagai salah satu bahan baku serat. Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.
Wa’alaikum salam wr. wb.
Bogor,
Agustus 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rendra Laksono, lahir di Jakarta, 5 Oktober 1985, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga M. Suharno dan Nanik S. Pendidikan awal penulis dimulai dari SD Negeri 05 Bekasi Timur pada tahun 1992. Lulus SLTP Negeri 11 Bekasi pada tahun 2001, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU PGRI 1 Bekasi sampai tahun 2004 dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di beberapa kelembagaan mahasiswa, diantaranya Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Asrama Sylvasari, Ketua Departemen Tabligh dan Syi’ar DKM ‘Ibaadurrahmaan, UKM Merpati Putih, LDK DKM Al Hurriyah, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan dan GAMA Al Hurriyah. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam IPB (2007). Kegiatan praktek yang pernah diikuti penulis adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di BaturadenCilacap dan Getas-Ngawi pada tahun 2007. Pada bulan Maret – Mei 2008 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang di PT Daya Sempurna Cellulosa Tama (DASECTA), Bekasi. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Kelarutan Komponen Kimia Kayu Reaksi Melinjo (Gnetum gnemon L.) Selama Proses Pulping Kraft” di bawah bimbingan Ir Deded Sarip Nawawi, M.Sc. Penulisan ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak dan Ibu tercinta, Mbak Rini, Mas Roni, Mbak Ratna, dan Mbak Maryam (alm), yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, dukungan, perhatian, kesabaran dan pengorbanannya, semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya
2.
Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc selaku dosen pembimbing atas segala pengarahan, bimbingan, nasihat, kesabaran, serta perhatian yang begitu berarti bagi penulis sejak awal menempuh akademik (sebagai pembimbing akademik) sampai skripsi ini diselesaikan, semoga Allah SWT Membalasnya dengan yang lebih baik
3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr, Bapak Dr. I Nyoman Jaya Wistara, Ibu Ir. Rita Kartika Kartika Sari, M.Si atas semua ilmu, pengarahan, nasihat, pelajaran hidup, dukungan dan bimbingannya selama berada di Laboratorium Kimia Hasil Hutan
4.
Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, MS sebagai Ketua Departemen Hasil Hutan beserta seluruh dosen, staf pengajar dan KPAP di DHH serta seluruh dosen dan staf di Fakultas Kehutanan dan di IPB, atas ilmu dan amal baktinya
5.
Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, dan Ibu Dr. Drh. Erna Suzanna sebagai dosen penguji atas semua saran, motivasi, nasihat dan dukungannya demi kesempurnaan skripsi ini
6.
Staf pegawai Laboratorium Kimia Hasil Hutan : Pak Atin, Mas Wawan, Pak Iyar, Bi Upin, atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian
7.
Bapak Ir. Ahmad Rosadi, Bapak Ir. Dwi Purwanto, serta Bapak Hamonangan sebagai pembimbing lapangan selama praktek di PT. DASECTA, beserta seluruh pimpinan, direksi dan staf serta seluruh karyawan khususnya di Laboratorium QC Hasil Jadi : Bapak Salim, Bapak Asep, Bapak Sriyono, Bapak Budiyanto, Bapak Edi Permana beserta seluruh karyawan yang telah membantu yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kerja sama, pengalaman, ilmu, tawa, canda, nasihat dan motivasi yang telah diberikan
8.
Keluarga besar Laboratorium Kimia Hasil Hutan 41 : Adi, Patria, Edo, Sandy, Ali, Novi, Nailul, Hanif, Farikha, Gokma, atas persahabatan dan persaudaraannya, mohon maaf atas semua kesalahan yang tercipta
9.
Keluarga besar Teknologi Hasil Hutan’41, siapapun tanpa terkecuali mulai dari Lab. Biokomposit, Lab. Keteknikan, Lab. Kayu Solid dan Lab. Ekonomi
2
Industri atas ke’KOMPAK’kan, persahabatan, kebersamaan, suka dan duka, tawa dan canda, suatu kehormatan bagi saya bisa dipertemukan dengan kalian sebagai siswa-siswi terbaik dari berbagai daerah, jangan lupakan almamater kita, mohon maaf atas segala kesalahan, dan temui saya dengan kesuksesan kalian kelak 10. Keluarga besar Asrama Sylvasari IPB pada umumnya, khususnya angkatan 41 : Puji, Sulfan, Inama, Fahmi, Dwi, Ajid, Husein, Embang, Aan, Febia, Yogi, Heru, Edo, Budiyanto, Rio, Adi, Patria, Tomi, Arief, Hendri, Sahab, Ardhi atas perjuangan dan kerjasamanya mulai tanggal 17 Agustus 2005 jam 6 pagi 11. Keluarga besar DKM ‘Ibaadurrahmaan ‘41 : Oki, Ariyanto, Fatah, Fitroh, Rio, Okta, Khalifah, Yolanda, Selvy, Tuti, Nailul, Frita, Ilmiyana, Delfy, Alby, Ai, Gayatri, Dheny serta ikhwah lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu, terus berdakwah, beramal, berdo’a dan ingatlah ukhuwah yang telah tercipta 12. Adik – adik DKM ‘Ibaadurrahmaan sebagai “The Dream Time” : Dany, Adrian, Sidik, Hery, Firman, Ardin, Rofieq, Ahmad, Dayat, Budi, Hafidz, Ahamin, Khaerul, Lina, Veny, Ugi, Shanti, Dewi, Septi, Atik, Ulfa, Jatil, Febriani, Demy dan seluruh keluarga besar DKM ‘Ibaadurrahmaan tanpa terkecuali, “jazakumullah khairan katsira” atas perjuangan dan ukhuwah yang tercipta 13. Seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, khusunya Rimbawan angkatan 41 baik Teknologi Hasil Hutan, Menejemen Hutan, Konservasi Sumberdaya Hutan serta Silvikultur, serta mahasiswa IPB atas persahabatan dan kerjasamanya 14. Ikatan alumni’98 SDN 05 Bekasi Timur, Ikatan alumni’01 SLTPN 11 Bekasi, serta Ikatan alumni SMU PGRI 1 Bekasi tahun 2004 khususnya IPA 3, atas persahabatan, persaudaraan dan kebersamaannya 15. Rohis SMU PGRI 1 Bekasi : Rahmat, Eko, Eka, Dwi, Khansa, Desty, Rachma, Elisa, Ani, Amelia, Cyntia, Nurfatia, Suharyani, Nunik dan ikhwah lainnya yang tidak dituliskan satu persatu, puji syukurku kepada Allah SWT yang telah mempertemukan dengan kalian 16. Sang Wahid Murobbiku : Ali Syahbana, jazakallah atas ilmu, ukhuwah, serta nasihat-nasihatnya sehingga bisa mempertemukan saya dengan jalan cahaya 17. Seluruh Bapak dan Ibu guru, ustadz, dan kakak-kakak kelas yang telah memberikan ilmu, nasihat dan mendidik saya sejak kecil serta seluruh pihak yang telah membantu penulis.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Melinjo (Gnetum gnemon L.) ........................................................ 3 2.2 Kayu Reaksi ............................................................................................ 3 2.3 Proses Pulp Sulfat ................................................................................... 4 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 6 3.2 Alat dan Bahan........................................................................................ 6 3.3 Metode .................................................................................................... 6 3.3.1 Pembuatan Chip Kayu ................................................................... 6 3.3.2 Proses Pulping Kraft ...................................................................... 7 3.3.3 Delignifikasi................................................................................... 8 3.3.4 Penentuan Rendemen Pulp............................................................. 9 3.3.5 Penentuan Konsumsi Alkali (TAPPI 625 om – 48) ....................... 9 3.3.6 Penentuan Kadar Holoselulosa (Browning 1967).......................... 9 3.3.7 Penentuan Kadar Alpha Selulosa ................................................... 10 3.3.8 Penentuan Lignin Klason ............................................................... 10 3.3.9 Kelarutan dalam NaOH 1% ........................................................... 11 3.3.10 Analisis data ................................................................................. 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen Pulp .................................................................................... 13 4.2 Konsumsi Alkali .................................................................................. 18
2
4.3 Kelarutan dalam NaOH 1% ................................................................. 20 4.4 Delignifikasi......................................................................................... 22 4.5 Degradasi Polisakarida......................................................................... 25 4.6 Alpha Selulosa Pulp ............................................................................ 27 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 30 5.2 Saran ................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 31 LAMPIRAN.................................................................................................... 33
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Pengambilan sampel uji ............................................................................... 6 2. Grafik proses pemasakan ............................................................................. 7 3. Tahapan penelitian ....................................................................................... 8 4. Grafik nilai rendemen rata-rata pulp selama proses pulping kraft............... 13 5. Grafik perkembangan konsumsi alkali selama proses pulping kraft ........... 18 6. Grafik kelarutan pulp dalam NaOH 1% selama proses pulping kraft.......... 21 7. Grafik perkembangan delignifikasi selama proses pulping kraft................. 23 8. Grafik perkembangan kadar holoselulosa selama proses pulping kraft....... 26 9. Grafik perkembangan alpha selulosa selama proses pulping kraft .............. 28
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel No
Halaman
1. Hasil pengukuran kualitas pulp.................................................................... 34 2. Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia ............................................... 35 3. Persyaratan sifat kayu untuk bahan pulp dan kertas .................................... 36 4. Kriteria penilaian serat kayu Indonesia baku pulp dan kertas...................... 37
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kertas terus mendorong perkembangan industri pulp dan kertas yang berdampak terhadap semakin meningkatnya kebutuhan bahan baku. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap mendapatkan bahan baku pulp dan kertas yang pada umumnya berasal dari kayu. Beberapa upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kertas tersebut antara lain dengan eksplorasi bahan baku kayu alternatif dan penggunaan bahan baku dari daur ulang kertas bekas. Berbagai jenis kayu digunakan sebagai bahan utama yang digunakan untuk pembuatan pulp. Sebagian kecil industri pulp dan kertas di Indonesia memanfaatkan beberapa jenis kayu rakyat atau perkebunan untuk dijadikan bahan baku tambahan dalam pembuatan pulp dan kertas. Salah satu jenis kayu rakyat yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp dan kertas adalah jenis tanaman Melinjo (Gnetum gnemon L.). Sampai saat ini pemanfaatan kayu melinjo di Indonesia masih terbatas untuk penggunaan sebagai kontruksi rumah dan perlengkapan rumah tangga. Sementara itu di Malaysia, kayu melinjo sudah digunakan untuk bahan baku kertas, kardus selain sebagai bahan kontruksi (Ragone 2005). Pemanfaatan kayu melinjo oleh masyarakat masih belum optimal karena belum diketahuinya sifatdasar kayu melinjo yang merupakan dasar untuk pemanfaatan jenis kayu ini. Pemanfaatan tumbuhan melinjo masih terbatas pada pemanfaatan terutama biji, daun dan kulit kayunya. Selama pertumbuhan pohon, tidak bisa dihindari bahwa pohon akan mendapatkan gaya-gaya dari luar; seperti gravitasi dan angin; sehingga batang pohon akan membentuk kayu reaksi sebagai usaha untuk dapat kembali ke posisi yang normal. Pada kayu daun jarum (softwood) jaringan kayu reaksi ini disebut kayu tekan, sedangkan pada kayu daun lebar (hardwood) disebut kayu tarik. Secara kimiawi, sifat kayu reaksi berbeda dibandingkan sifat kayu normal atau kayu opposite. Umumnya, kayu tekan memiliki kandungan lignin yang lebih
2
tinggi dan kandungan selulosa yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu normal atau kayu opposite. Pada kayu tarik, kandungan selulosanya lebih tinggi dan kandungan ligninnya lebih rendah dibandingkan dengan kayu normal ataupun kayu opposite (Fengel dan Wegener 1995; Sjostrom 1995). Perbedaan sifat kimia tersebut akan berpengaruh terhadap sifat pengolahan dan penggunaannya, misalnya dalam proses pulping dalam pembuatan produk pulp dan kertas. Proses pulping kimia adalah suatu reaksi kimia antara komponen kayu dengan bahan kimia dengan proses utamanya adalah reaksi delignifikasi. Reaksi delignifikasi merupakan proses yang penting yang menentukan keberhasilan dari proses pembuatan pulp. Penelitian terhadap sifat kimia pulp yang berasal dari bahan baku kayu reaksi dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan informasi bagi industri pulp dan paper dalam hal penggunaan bahan baku dan pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas pulp dan kertas yang dihasilkan.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sifat kimia pulp kayu reaksi melinjo dibandingkan dengan kayu normal atau kayu opposite-nya 2. Mengetahui pengaruh sifat kimia kayu reaksi melinjo terhadap degradasi lignin dan karbohidrat selama proses pulping kraft.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan pemanfaatan kayu melinjo sebagai bahan baku pulp dan kertas.
Selain itu,
informasi tentang sifat pulp kayu reaksi akan menambah pemahaman tentang hubungan antara pertumbuhan pohon, sifat-sifat kayu dan implikasinya terhadap sifat pengolahan dan penggunaan kayu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu Melinjo (Gnetum gnemon L.) Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah suatu jenis tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik dan Pasifik Barat. Berbeda dengan anggota Gnetum lainnya yang biasanya merupakan liana, melinjo berbentuk pohon. Melinjo merupakan tumbuhan tahunan berbentuk pohon yang berumah dua (dioecious). Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul. Melinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Buah sebenarnya adalah biji yang terbungkus oleh selapis aril yang berdaging (Harley 2006). Kulit dari cabang yang besar dari pohon melinjo setelah dipukuli dapat digunakan sebagai benang untuk menangkap ikan (Heyne 1987). Tanaman melinjo cukup mudah dibudidayakan karena tidak membutuhkan persyaratan tempat tumbuh yang khusus terutama berkaitan dengan kualitas tanah. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang baik untuk tanaman lain sehingga banyak digunakan sebagai tanaman penghijauan (Purnomosidhi 2002). Kayu melinjo memiliki struktur antara lain noktah antar pembuluh yang tersusun secara berhadapan dengan jari-jari empulur heteroseluler, memiliki bentuk trakea yang panjang dengan lumen sempit, dan parenkim kayu bersifat apotrakeal. Serat G. gnemon berukuran cukup panjang dengan lumen lebar dan dinding tipis (Santika 2004).
2.2 Kayu Reaksi Kayu reaksi terbentuk apabila batang utama suatu pohon miring. Kayu reaksi dapat pula timbul mengikuti membeloknya batang lateral (cabang) dari arah yang normal. Kayu reaksi yang terbentuk dalam hardwood berbeda dengan yang dibentuk pada softwood. Dalam softwood, kayu reaksi dinamakan kayu tekan dan dalam hardwood dinamakan kayu tarik, tetapi dalam keduanya fungsi kayu reaksi
4
sama yakni untuk mengembalikan batang atau cabang ke posisi yang semula (Timell 1973, dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Pada kayu tekan, kayu reaksi terbentuk pada sisi tekanan (atau sisi bawah) batang
yang
miring
dan
pada
cabang-cabang
yang
berfungsi
untuk
mempertahankan sudut cabang. Sifat-sifatnya antara lain trakeidnya kira-kira 30% lebih pendek dari normal. Disamping itu, kayu tekan mengandung selulosa 10% lebih sedikit dan lignin dan hemiselulosa 8-9% lebih banyak daripada kayu normal (Cote et al. 1966, dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Kondisi tersebut menjelaskan bahwa faktor-faktor ini mengurangi kesesuaian kayu tekan untuk pembuatan pulp dan kertas. Hal ini menunjukkan bahwa kayu tekan tidak hanya dapat mengurangi hasil selulosa tetapi juga menghasilkan pulp berkekuatan rendah, terutama apabila digunakan proses kimia sulfit pada pembuatan pulp (Dapswell dan Wardrop 1958, dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Proses sulfit kayu tekan kurang disukai dibanding kayu normal, tetapi penggunaan proses kraft (sulfat) pada kayu tekan dilaporkan menghasilkan produk yang hanya sedikit lebih rendah kualitasnya yang dikarenakan tingginya kandungan lignin (Timell 1973, dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Kayu tarik adalah kayu reaksi pada hardwood. Kayu ini terbentuk pada sisi atas atau sisi tarikan batang-batang yang miring. Sifat-sifat dari kayu tarik antara lain kandungan selulosanya lebih tinggi dari kayu normal. Kandungan selulosa yang tinggi itu, bersama dengan kenaikan kerapatan 5-10% di atas kayu normal, mengakibatkan sedikit kenaikan hasil pulp kimia. Kayu tarik sangat sesuai untuk pembuatan pulp secara mekanis (Isebrans dan Parham 1974, dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Kayu tarik memerlukan perlakuan khusus dalam proses pembuatan pulp, dan pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan yang lebih lemah dari kayu normal. Namun kekuatan pulp kayu tarik sebanding dengan kekuatan pulp kayu normal setelah dikenai perlakuan penghalusan.
2.3 Proses Pulp Sulfat (Proses Kraft) Pulp
adalah
bahan
berbentuk
serat
hasil
pengolahan
bahan
berlignoselulosa dengan proses mekanis, kimia, dan semi kimia untuk pembuatan kertas, karton, papan serat, rayon, serta turunan selulosa lainnya. Untuk
5
memperoleh pulp berkualitas baik dibutuhkan bahan baku dengan kandungan selulosa tinggi, akan tetapi lignin dan zat ekstraktif yang rendah. Proses sulfat dikenal juga sebagai proses kraft dalam bahasa Jerman yang artinya kuat. Pulp dari proses sulfat memiliki kelebihan dibandingkan dengan proses soda dalam hal kualitas pulp (Casey 1980). Proses sulfat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan proses pulp lainnya yaitu: (1) dapat digunakan untuk berbagai jenis kayu, (2) bersifat toleran terhadap kayu yang masih mengandung kulit, bila digunakan untuk memproduksi pulp yang tidak perlu dipucatkan, (3) pulp yang dihasilkan berkekuatan tinggi, (4) waktu pemasakan yang singkat, (5) larutan bekas bahan pemasak dapat di daur ulang (Boyce 1980, dalam Casey 1980). Kelemahannya antara lain menghasilkan pulp yang berwarna gelap karena adanya zat lignin, tanin dan zat ekstraktif lain yang terdegradasi selama proses pemasakan sehingga diperlukan pemucatan yang intensif ( Casey 1980). Proses delignifikasi dalam proses kraft terdiri dari 3 tahap, yaitu delignifikasi
awal
(initial
delignification),
delignifikasi
curah
(bulk
delignification) dan delignifikasi sisa (residual delignification). Pada tahap awal sangat sedikit lignin yang terlarut, yaitu sekitar 15% – 25% dari total. Tahap delignifikasi curah dimulai dari suhu 140 0C dan melarutkan sampai 90% lignin dari seluruh total lignin. Tahap ini dipengaruhi oleh konsentrasi ion OH- dan ion HS- serta temperatur. Delignifikasi sisa termasuk tahap akhir pemasakan ketika suhu mencapai maksimum dan dipertahankan tetap konstan (Gullichsen dan Paulapuro 2000). Kecepatan reaksi alkali terhadap pelarutan lignin, selulosa dan hemiselulosa tergantung pada suhu, tekanan dan konsentrasi larutan pemasak. Pada suhu yang tinggi larutan pemasak yang encer tidak merusak selulosa, sedangkan pemakaian konsentrasi yang tinggi akan merusak selulosa, sehingga diperlukan konsentrasi larutan pemasak yang sesuai. Pemakaian suhu di atas 180 0
C mengakibatkan degradasi selulosa lebih tinggi, dimana pada suhu ini lignin
telah habis terlarut dan sisa bahan pemasak akan mendegradasi selulosa (Clayton 1969, dalam Casey 1980).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2008 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kayu reaksi melinjo (Gnetum gnemon L.) yang diambil dari bagian batang pohon yang tumbuh miring. Sampel pohon tersebut berumur ± 9 tahun dan berasal dari daerah Dramaga, Bogor. Contoh uji diambil dari bagian kayu reaksi dan kayu opposite (Gambar 1). Bahan kimia yang digunakan terbagi atas bahan kimia pemasak dan bahan kimia analisis. Bahan kimia pemasak yang digunakan ialah larutan NaOH dan Na2S yang telah diketahui konsentrasinya, serta aquades. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain HCl 0,1 N, barium klorida (BaCl2), sindur metil, dan air destilata. Peralatan yang digunakan antara lain adalah golok, oven, digester, termometer, timbangan, kertas saring, waterbath, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, labu ukur, pipet ukur dan peralatan titrasi.
Kayu opposite
Bagian kayu reaksi
Gambar 1. Pengambilan sampel uji
3.3 Metode 3.3.1 Pembuatan Chip Kayu Chip kayu merupakan potongan kecil kayu yang memiliki ukuran panjang, lebar dan tebal tertentu yang dipersiapkan untuk bahan baku pulp. Ukuran chip
7
proses pulping kraft tebal 2-3 mm, panjang ukuran 3-5 cm. Pembuatan serpih dilakukan secara manual. Serpih kayu diangin-anginkan hingga mencapai kadar air kering udara. Pengukuran kadar air dilakukan menggunakan oven pada suhu 103 ± 2 0C sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :
KA (%) =
A− B ×100% B
Keterangan
: A = bobot awal serpih (g) B = bobot akhir serpih (g)
3.3.2 Proses Pulping Kraft Bahan kimia yang digunakan untuk pemasakan serpih adalah larutan NaOH dan Na2S. Jumlah bahan pemasak tersebut ditetapkan berdasarkan alkali aktif yang digunakan dalam pemasakan dengan alkali aktif 20% dan sulfiditas 25%. Jumlah larutan pemasak yang dibutuhkan ditetapkan berdasarkan nisbahnya terhadap bahan baku dengan perbandingan antara chip dengan larutan pemasak sebesar 1 : 4. Setelah bahan siap, serpih dimasukkan ke dalam digester, kemudian dicampurkan larutan pemasaknya. Digester ditutup rapat lalu dipanaskan sesuai dengan jadwal pemasakan (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik proses pemasakan
Setelah pemasakan selesai, tekanan diturunkan perlahan dan disisakan untuk mengeluarkan larutan sisa pemasakan dari dalam digester. Serpih hasil pemasakan dicuci dan disaring. Hasil pulp tersaring basah lalu ditimbang dan
8
ditentukan rendemennya. Larutan sisa pemasakan termasuk sisa pencucian diukur volumenya dan diambil sampel larutan untuk pengujian konsumsi alkali. Sementara pulp yang dihasilkan diuji untuk nilai rendemen, kelarutan dalam NaOH 1%. kadar lignin, holoselulosa, dan kadar alpha selulosa. 3.3.3 Delignifikasi Proses pulping dilakukan dengan perbedaan waktu pemasakan yaitu 60, 120, dan 180 menit, dengan waktu penetrasi selama 10 menit. Setelah proses pemasakan tersebut, selanjutnya dianalisis kandungan lignin dengan metode Lignin Klason, kandungan holoselulosa, dan kandungan alpha selulosa. Degradasi dan pelarutan lignin dan karbohidrat menunjukkan perbedaan antara sebelum dan setelah pemasakan. Pengujian dilakukan pada pemasakan pulping dari kayu reaksi dan kayu opposite (Gambar 3).
Kayu reaksi
vs
Kayu opposite
Pulping
60 menit
120 menit
180 menit
Analisis
Analisis pulp : 1. Lignin Klason 2. Holoselulosa dan Selulosa 3. Kelarutan dalam NaOH 1%
Gambar 3. Tahapan penelitian
Proses pulping : 1. Rendemen 2. Konsumsi alkali
9
3.3.4 Penentuan Rendemen Pulp Pulp yang dihasilkan (A gr) ditimbang, lalu diambil sebagian dan ditimbang (B gr) lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 0C sampai beratnya konstan dan ditimbang (C gr).
Rendemen Pulp (%) =
C / B× A ×100% BKT
BKT = berat kering tanur kayu yang dimasak
3.3.5 Penentuan Konsumsi Alkali (TAPPI 625 om – 48) Sebanyak 25 ml larutan sisa pemasakan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml. Setelah itu ditambahkan 25 ml BaCl2 10% dan diencerkan sampai tanda garis. Larutan dikocok sampai homogen dan diendapkan sampai terpisah endapan dengan larutannya. Sebanyak 25 ml sampel larutan beningnya diambil dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Larutan tersebut ditambahkan indikator sindur metil dan dititar dengan HCl 0,1N sampai mencapai titik setara (berwarna sindur).
Konsumsi Alkali (%) =
S1 − S 2 ×100% BK
S1 = berat alkali yang digunakan pada pemasakan (g Na2O) S2 = berat alkali sisa pemasakan BK = berat chip kering oven Sisa alkali = ml HCl x N HCl x black liquor (l) x Fp x 31
3.3.6 Penentuan Kadar Holoselulosa (Browning 1967) Sampel pulp sebanyak 2.5 g dimasukkan ke dalam flask 300 ml, kemudian ditambahkan berturut-turut 150 ml air destilata, 1.0 g NaClO2 dan 1 ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan dengan waterbath pada suhu 70-80 0C. Setiap penambahan waktu reaksi selama 1 jam pemanasan ditambahkan 1.0 g NaClO2 dan 0.2 ml asam asetat glasial sampai sebanyak 4 kali penambahan. Setelah residu
10
yang dihasilkan berwarna keputih-putihan, sampel disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Sampel dicuci dengan air destilata sebanyak 500 ml dan dengan asam asetat 10% sebanyak 25 ml, kemudian dikeringkan pada suhu 103 ± 2 0C selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang sampai beratnya konstan.
Holoselulosa (%) =
A ×100% B
A = berat holoselulosa (g) B = berat sampel kering oven (g)
3.3.7 Penentuan Kadar Alpha Selulosa (Browning 1967) Sebanyak 1.5 g
holoselulosa ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml,
ditambahkan 75 ml larutan NaOH 17.5% pada suhu 20 0C dan diaduk-aduk hingga terbasahi merata. Pengaduk dibilas dengan 25 ml NaOH 17,5%, dan campuran dibiarkan pada suhu 25 ± 0,2 0C selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan 100 ml air destilata dan dibiarkan selama 30 menit berikutnya. Sampel disaring dengan menggunakan cawan saring dan dibilas dengan air aquades panas. Setelah itu dibilas dengan asam asetat 10% sebanyak tiga kali, lalu dibilas lagi dengan air destilata panas hingga bebas asam. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 0C hingga beratnya konstan, dinginkan dan ditimbang.
Alpha selulosa (%) =
A ×100% B
A = berat alpha-selulosa (g) B = berat kering serbuk (g)
3.3.8 Penentuan Lignin Klason (TAPPI T 222 om-88) Sampel pulp kering udara ditimbang sebanyak 2.0 ± 0.1 g, dan ditempatkan pada gelas piala 100 ml lalu sampel uji direaksikan dengan 15 ml
11
asam sulfat 72% dingin (10-15 0C). Penambahan asam dilakukan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk dengan pengaduk gelas dan suhu dijaga pada 2 ± 1 0C selama proses berlangsung. Setelah sampel tercampur, gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan pada waterbath dengan suhu 20 ± 1 0C selama 2 jam sambil diaduk sekali-kali. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 ml yang berisi air sebanyak 300-400 ml. Larutan kemudian diencerkan dengan air sampai konsentrasi asam sulfat 3% atau sampai total volume 575 ml. Larutan dididihkan selama 4 jam dan volume larutan dijaga tetap dengan cara menambahkan air panas sekali-kali. Lignin disaring dengan menggunakan penyaring dan dibilas dengan air panas. Lignin dibilas dengan asam asetat 10% lalu dicuci sampai bebas asam dengan menggunakan air panas. Sampel lignin dikeringkan dalam oven dengan suhu 103 ± 2 0C sampai beratnya tetap, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kandungan lignin tidak larut asam (Lignin Klason) dihitung dengan persamaan :
Lignin (%) =
A ×100% B
A = berat lignin (g) B = berat contoh kayu kering oven (g)
3.3.9 Kelarutan Pulp dalam NaOH 1% (TAPPI T 212 om-93) Pulp sebanyak 2 gram diekstrak dengan 100 ml NaOH 1% pada suhu 100 °C selama 1 jam sambil diaduk pada setiap 5, 10, 15, dan 25 menit pertama. Selanjutnya sampel disaring, dicuci dengan aquades panas, hingga filtrat tidak berwarna. Sampel dibilas dengan 25 ml asam asetat 10% sebanyak 2 kali, dan dicuci dengan air panas sampai bebas asam. Pengeringan dilakukan dengan oven bersuhu 103 ± 2 °C hingga beratnya konstan. Kelarutan pulp dalam NaOH 1 % :
Kelarutan (%) =
BKTA − BKTE × 100% BKTA
12
BKTA : Berat kering tanur pulp sebelum ekstraksi BKTE : Berat kering tanur setelah ekstraksi
3.4 Analisis Data Data yang dikumpulkan diperoleh berdasarkan hasil analisis sifat kimia pulp dan delignifikasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif sehingga mudah untuk diinterpretasikan. Analisis terhadap nilai rata-rata dan kecenderungan hubungan antar parameter dengan visual grafik.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rendemen Pulp Rendemen yang dihasilkan dalam proses pulping merupakan salah satu nilai penting dalam menilai kesesuaian suatu bahan baku untuk menghasilkan serat atau pulp sebagai bahan pembuatan kertas. Semakin tinggi rendemen yang dihasilkan maka kualitas bahan baku sebagai penghasil serat atau pulp akan semakin baik, sehingga dapat lebih menguntungkan dalam pengolahannya. Sejalan dengan meningkatnya waktu pemasakan, rendemen yang dihasilkan baik untuk pemasakan kayu reaksi maupun kayu opposite mengalami penurunan. Rendemen rata – rata yang dihasilkan dari kayu opposite pada waktu pemasakan 60 menit sampai waktu pemasakan 180 menit mengalami penurunan rendemen sebesar 3.31%. Untuk kayu reaksi, penambahan waktu pemasakan menyebabkan penurunan rendemen rata – rata sebesar 4.87% (Gambar 4). R endemen (% )
40 30 20 O ppos ite R eaks i
10 0 60
120
180
W aktu pemas akan (menit)
Gambar 4. Grafik nilai rendemen rata-rata pulp selama proses pulping kraft
Penurunan rendemen tersebut sebagai akibat dari semakin tingginya tingkat kelarutan komponen kimia penyusun kayu selama proses pemasakan. Tujuan utama dari proses pulping adalah mendegradasi dan melarutkan lignin sebanyak mungkin melalui reaksi delignifikasi dengan bantuan suhu dan waktu pemasakan. Akan tetapi selama proses delignifikasi tidak bisa dihindari pula kemungkinan terjadinya kerusakan dan pelarutan dari komponen polisakarida (Sjostrom 1995, Fengel dan Wegener 1995, Casey 1980).
Hal inilah yang
menyebabkan semakin rendahnya rendemen pulp sejalan dengan semakin tingginya suhu dan waktu pemasakan.
14
Rendemen pulp dari kayu opposite lebih besar dibandingkan dengan pulp dari kayu reaksi. Hal ini disebabkan karena komponen kimia yang terdapat pada kayu reaksi lebih banyak yang terlarut dibandingkan pada pulp opposite-nya. Rendahnya kandungan lignin pada pulp kayu reaksi dibandingkan dengan pulp kayu opposite-nya menyebabkan delignifikasi pada chip kayu reaksi terjadi lebih cepat sehingga komponen karbohidratnya juga lebih cepat terdegradasi. Degradasi karbohidrat sangat kuat terjadi pada fase delignifikasi sisa, akibatnya adalah akan menghasilkan rendemen pulp yang rendah (Gullichsen dan Paulapuro 2000). Rendemen pulp yang dihasilkan dari suatu proses pemasakan pulp sangat berkaitan dengan banyaknya bahan kimia pemasak yang berpenetrasi ke dalam struktur kayu, sehingga memungkinkan terjadinya reaksi antara bahan kimia pemasak dengan komponen kimia kayu yang semakin cepat. Menurut Sjostrom (1995), salah satu yang mempengaruhi keberhasilan proses pemasakan adalah penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam kayu. Oleh sebab itu, kemungkinan salah satu penyebab lebih tingginya rendemen pulp kayu opposite dibanding kayu reaksi adalah sifat permeabilitas kayu opposite yang lebih tinggi.
Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Nugraheni (2008) bahwa kayu reaksi melinjo memiliki struktur pori yang lebih jarang dengan diameter pori yang lebih kecil. Secara umum nilai rendemen pulp dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi dan kualitas chip, waktu pemasakan, kondisi impregnasi, suhu dan tekanan pada saat pemasakan, alkali aktif yang digunakan, proses penyaringan, pelarutan komponen kimia, perbandingan bahan baku dengan larutan kimia yang digunakan, serta komponen kimia yang dikandung oleh chip tersebut. Bernett dan George (2003) menyatakan, bahwa variasi serat pada kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor terkait yaitu genetik, umur pohon, perkembangan pertumbuhan pohon, serta faktor lingkungan. Sementara itu panjang dan lebar chip kayu yang digunakan pada proses pulping merupakan faktor yang mempengaruhi serat yang dihasilkan, termasuk juga mengenai ukuran chip yang meliputi dimensi tebal, dan dimensi panjang. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa ketebalan ukuran chip akan mempengaruhi ketidakseragaman proses delignifkasi yang terjadi. Chip yang berukuran tidak seragam, terutama dalam dimensi tebal akan berpengaruh
15
pada kemampuan larutan pemasak dalam melakukan penetrasi kedalam struktur chip tersebut. Semakin tebal ukuran chip yang digunakan pada proses pemasakan maka penetrasi larutan pemasak akan semakin sulit. Dampak dari keadaan tersebut adalah tingginya rendemen reject (rendemen tidak tersaring) yang dihasilkan. Penggunaan chip yang berukuran tipis akan menghasilkan rendemen reject yang semakin kecil dibandingkan dengan penggunaan chip berukuran tebal sehingga lebih efisien dalam menghasilkan pulp. Waktu pemasakan akan mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam proses pulping peranan waktu pemasakan sangat berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa semakin lama waktu pemasakan maka rendemen yang dihasilkan akan cenderung mengalami penurunan. Tingginya rendemen pada pemasakan 60 menit dikarenakan proses pemisahan serat dan pelarutan lignin yang terjadi belum sempurna yang menyebabkan rendemen total tinggi akan tetapi kualitas pulp yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya rendemen reject yang dihasilkan dari proses pemasakan. Proses impregnasi yang terjadi selama proses pemasakan berpengaruh pada rendemen yang dihasilkan. Proses pemasakan dimulai dengan tahap impregnasi setelah serpih-serpih direndam dalam lindi pemasak. Tahap ini meliputi penetrasi cairan ke dalam rongga-rongga kayu dan difusi bahan-bahan kimia pemasak yang terlarut. Laju penetrasi tergantung pada penambahan tekanan dan berlangsung cukup cepat, sedangkan difusi dikendalikan oleh konsentrasi bahan-bahan kimia yang terlarut dan berlangsung lebih lambat. Penetrasi dipengaruhi oleh distribusi ukuran pori dan gaya-gaya kapiler sedangkan difusi hanya diatur oleh luas penampang-lintang total dari pori-pori yang dapat dicapai (Sjostrom 1995). Suhu dan tekanan adalah faktor berikutnya yang berpengaruh pada proses pulping. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menjelaskan bahwa suhu dan tekanan berperan penting pada saat terjadinya proses pemasakan. Suhu dan tekanan merupakan faktor lain, selain struktur kayu, yang mempengaruhi keberhasilan proses penetrasi bahan kimia ke dalam chip. Chip yang digunakan pada proses pulping memilki kandungan air yang akan berdampak pada terhambatnya proses
16
penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam chip. Untuk mengatasi hal tersebut maka suhu dan tekanan akan membantu penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam chip. Penggunaan suhu dan tekanan yang optimum sangat dituntut pada proses pemasakan, karena akan berdampak pada kualitas pulp yang dihasilkan. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa suhu dan tekanan yang terlalu tinggi akan meningkatkan degradasi pada chip yang semakin tinggi, sehingga rendemennya akan semakin kecil, namun penggunaan suhu dan tekanan yang rendah juga tidak akan memberikan hasil yang baik. Rendahnya suhu dan tekanan yang digunakan pada saat pemasakan akan menyebabkan rendahnya penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam chip. Hal tersebut akan berdampak pada tingginya rendemen reject dan rendahnya rendemen tersaring yang dihasilkan. Fengel dan Wegener (1995) menjelaskan bahwa proses pemasakan membutuhkan suhu tidak lebih dari 200 0C karena degradasi termal tidak diharapkan. Namun demikian, tidak hanya suhu yang menyebabkan perubahan dalam zat kayu, terdapat faktor – faktor lain yang mempengaruhi proses degradasi termal misalnya atmosfer, tekanan, kandungan air, waktu pemasakan, serta persebaran bahan kimia pada kayu. Maka pada kondisi tertentu perubahan – perubahan dalam kayu dapat diamati bahkan mulai dari 100 0C ke atas. Menurunnya rendemen pulp dapat pula disebabkan oleh pengaruh alkali (NaOH), dimana selain mendegradasi lignin, NaOH juga mendegradasi karbohidrat secara bersamaan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Gullichsen dan Paulapuro (2000) yang menyatakan bahwa degradasi selulosa terjadi selama tahap initial delignification. Pada tahap ini merupakan impregnasi sebelum suhu pemasakan akhir (suhu < 140 0C). Lignin yang terlarut pada tahap ini relatif sedikit dari jumlah lignin total, walaupun demikian konsentrasi pada awal ini diperkirakan termasuk tinggi sehingga pemasakan pada kandungan lignin sisa yang tinggi akan disertai dengan degradasi selulosa yang berlebih. Faktor lain yang dapat mengurangi nilai rendemen adalah pada saat dilakukan proses penyaringan (screening) setelah melalui tahapan pulping. Kesalahan penghitungan rendemen pulp adalah pada saat proses screening, dimana pada proses tersebut besar kemungkinan bagi pulp untuk tidak tersaring
17
dan besar kemungkinan disebabkan oleh ukuran lubang saringan yang besar (Gullichsen dan Paulapuro 2000). Proses pulping erat kaitannya dengan degradasi komponen kimia. Degradasi komponen kimia yang terjadi pada chip selama proses pulping akan berdampak pula pada rendemen yang dihasilkan. Semakin banyak komponen kimia yang terdegradasi maka rendemen akan semakin kecil. Penurunan rendemen selain disebabkan oleh pelarutan lignin juga pengurangan polisakarida dalam pulp. Polisakarida bereaksi dengan alkali dalam beberapa cara, diantaranya larut dalam lindi hitam sebagai polisakarida, terdegradasi menjadi produk dengan berat molekul rendah yang larut, atau tetap dalam serat, baik dalam bentuk asli maupun produk terdegradasi yang tidak larut tetapi mempunyai derajat polimerisasi yang rendah (Casey 1980). Faktor lain yang dapat mempengaruhi rendemen yaitu penggunaan perbandingan antara larutan kimia pemasak dengan chip. Perbandingan antara chip dengan larutan yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 : 4. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa konsentrasi chip dengan larutan pemasak yang ideal pada proses pulping kraft adalah 1 : 3,5 - 5. Perbandingan chip dengan larutan kimia pemasak yang rendah akan berdampak pada lambatnya proses pemasakan, sementara pemakaian perbandingan chip dengan larutan kimia pemasak yang tinggi akan menjadikan proses pemasakan tidak efisien dengan dihasilkan rendemen tersaring yang rendah. Kriteria dasar dari kertas hasil proses kraft ditentukan oleh kandungan kimia serta sifat morfologi dari kayu yang digunakan sebagai bahan baku (Gullichsen dan Paulapuro 2000). Berdasarkan kriteria penilaian sifat pulp sulfat kayu daun lebar dari hutan tropis, maka pulp kayu melinjo baik untuk bagian opposite dan bagian kayu reaksinya tergolong ke dalam kualitas III (Misra 1972, dalam Sujatno 2000). Kelas kualitas tersebut menunjukkan bahwa kayu melinjo termasuk kedalam bahan baku pulp yang dapat menghasilkan rendemen pulp dalam jumlah yang medium dan masih memenuhi syarat sebagai bahan baku yang baik untuk pembuatan pulp, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Nugraheni (2008), kayu melinjo memiliki struktur serat dengan kualitas medium sehingga
18
pulp kayu ini lebih sesuai untuk pembuatan kertas yang tidak mensyaratkan kekuatan lembaran kertas yang tinggi, seperti kertas tissue, kertas koran maupun kertas samson.
4.2 Konsumsi Alkali Konsumsi alkali pada proses pulping menunjukkan banyaknya bahan pemasak (alkali) yang dikonsumsi oleh kayu selama proses pemasakan. Pengukuran konsumsi alkali ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunanan bahan pemasak pulping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemasakan kayu melinjo untuk bagian kayu opposite-nya, nilai konsumsi alkali dari waktu pemasakan 60 menit menuju 180 menit meningkat sebesar 5,31 %, sedangkan pada kayu reaksinya mengalami peningkatan konsumsi alkali sebesar 3,11%. Peningkatan konsumsi alkali ini terjadi sebagai akibat dari semakin tingginya reaksi kimia antara komponen kimia kayu dengan larutan pemasak, terutama reaksi delignifikasi dan degradasi polisakarida (hemiselulosa). Gullichsen dan Paulapuro (2000) dan Casey (1980) menyatakan bahwa proses delignifikasi yang terjadi pada saat pemasakan berlangsung berpengaruh pada nilai konsumsi alkali
Konsumsi Alkali (%)
(Gambar 5). 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Opposite Reaksi
60
120 180 Waktu Pemasakan (menit)
Gambar 5. Grafik perkembangan konsumsi alkali selama proses pulping kraft
Konsumsi alkali pada awal pemasakan relatif masih rendah sejalan dengan laju delignifikasi yang relatif masih rendah pada tahap initial delignification dengan kondisi suhu dan tekanan yang belum optimal. Tahapan ini lebih banyak merupakan tahap penetrasi dan ekstraksi. Namun pada saat mendekati suhu dan
19
tekanan optimum maka bahan kimia pemasak yang digunakan tidak hanya melakukan penetrasi tetapi juga telah bereaksi dengan komponen-komponen kimia yang terdapat dalam kayu (Casey 1980). Menurut Casey (1980), jumlah alkali yang dikonsumsi oleh chip selama tahap bulk delignification jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahapan delignifikasi yang lain. Hal ini disebabkan karena sebagian besar alkali sudah masuk ke dalam komponen kayu. Pada tahapan bulk delignification merupakan tahapan delignifikasi yang penting karena hampir 50% bahan kimia pemasak telah bereaksi dengan chip. Pada tahapan tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh suhu, waktu dan tekanan yang digunakan selama proses pulping. Sjostrom (1995) menjelaskan bahwa dalam periode awal pemasakan lebih banyak alkali yang dibutuhkan untuk menetralisasi asam-asam yang berasal dari polisakarida dengan alkali yang dikonsumsi sebesar 10% dan untuk degradasi lignin dibutuhkan alkali 25-30%. Konsumsi alkali dari pulp opposite lebih besar dibandingkan dengan pulp reaksinya. Hal ini menunjukkan bahwa pulp opposite lebih banyak mengkonsumsi larutan kimia pada saat pemasakan berlangsung dibandingkan dengan pulp reaksinya. Tingginya konsumsi alkali pada kayu opposite disebabkan karena tingginya kandungan lignin. Semakin banyak lignin yang terdapat pada chip maka akan semakin tinggi konsumsi bahan kimia dalam proses delignifikasi. Konsumsi alkali sejalan dengan kuantitas rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi konsumsi alkali maka akan semakin mempermudah proses penetrasi ke dalam chip sehingga rendemen yang dihasilkannya akan semakin besar. Kecilnya nilai konsumsi alkali sejalan dengan laju delignifikasi sehingga berpengaruh pada penetrasi bahan kimia pemasak ke dalam chip (Casey 1980). Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan, bahwa proses delignifikasi yang terjadi pada saat pemasakan berlangsung berpengaruh pada nilai konsumsi alkali. Baik pulp opposite maupun pulp reaksi mengalami peningkatan konsumsi alkali seiring dengan bertambahnya waktu pemasakan. Konsumsi alkali dari pemasakan pulp opposite lebih besar dibandingkan dengan pulp reaksinya. Hal ini bisa disebabkan adanya perbedaan komponen kimia antara kedua bagian kayu tersebut. Menurut Nugraheni (2008) kayu reaksi melinjo memiliki kadar lignin
20
yang lebih rendah dibanding bagian kayu opposite-nya, yang bisa berakibat semakin rendahnya kebutuhan bahan kimia untuk proses degradasi dan pelarutan lignin dibanding bagian kayu opposite-nya. Berdasarkan nilai konsumsi alkalinya, kayu melinjo termasuk jenis kayu yang membutuhkan bahan kimia pemasak yang rendah sehingga termasuk ke dalam kualitas I (Misra 1972, dalam Sujatno 2000) yang berarti untuk membuat pulp dari kayu melinjo baik dari bagian kayu opposite maupun dari bagian kayu reaksinya hanya memerlukan bahan kimia pemasak dalam jumlah sedikit. Hal ini selain akan berkontribusi terhadap penghematan biaya bahan kimia pemasak pulp juga akan mengurangi potensi pencemaran dari penggunaan bahan kimia. Penggunaan bahan kimia pemasak dalam jumlah yang kecil ini merupakan nilai tambah bagi kayu melinjo untuk dapat dijadikan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Penggunaan bahan kimia yang relatif kecil akan berdampak pada semakin kecilnya biaya yang dikeluarkan untuk mengolah kayu melinjo sebagai bahan baku pulp dan kertas, mengingat tingginya biaya bahan kimia. Kecilnya nilai konsumsi alkali ini juga menunjukkan kemudahan kayu untuk diproses. Proses pemasakan pulp ini dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah bahan kimia yang standar dengan waktu pemasakan yang lebih singkat, atau pemasakan dengan waktu standar dengan jumlah bahan kimia yang lebih rendah.
4.3 Kelarutan dalam NaOH 1% Pengujian kelarutan pulp dalam NaOH 1% bertujuan untuk menduga kualitas serat dalam pulp. Nilai kelarutan ini untuk memprediksi kandungan karbohidrat dan lignin yang memiliki bobot molekul rendah serta untuk mengetahui seberapa besar tingkat degradasi komponen kimia kayu akibat proses pulping. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kelarutan pulp dalam NaOH 1% baik pada pulp bagian kayu opposite maupun pada pulp bagian kayu reaksinya mengalami penurunan dengan semakin lamanya proses pemasakan. Untuk pulp reaksi mengalami penurunan sebesar 3.42% dan untuk pulp opposite menurun sebesar 0.87%.
21
Kelarutan dalam NaOH 1% dari pulp hasil pemasakan 60 menit menuju 120 menit memiliki nilai yang tidak berbeda jauh, dimana selisih nilai kelarutan pulp dalam NaOH 1%, untuk pulp opposite maupun pulp reaksinya sekitar 0,14 – 0,22%. Hal ini karena pada tahap awal pemasakan, komponen yang terdegradasi dan terlarut terutama adalah hemiselulosa, sedangkan selulosa dan lignin masih relatif stabil.
Perilaku proses degradasi ini akan berbeda sejalan dengan
peningkatan suhu, waktu dan komponen kimia penyusun kayu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kelarutan pulp dalam NaOH 1% pada pemasakan pulp selama 180 menit yang mencapai selisih 2,77% antara kayu opposite dan reaksi
Kelarutan dalam NaOH 1% (%)
(Gambar 6). 7 6 5 4 3 2 1 0
Opposite Reaksi
60
120 Waktu Pemasakan (menit)
180
Gambar 6. Grafik kelarutan pulp dalam NaOH 1% selama proses pulping kraft
Pada pemasakan 180 menit kelarutan pulp kayu reaksi lebih rendah dibanding kayu opposite yang berarti bahwa pulp dari kayu reaksi kualitasnya lebih baik dibanding pulp kayu opposite.
Hal ini menunjukkan pula bahwa
tingkat degradasi selulosa pada pulp kayu reaksi lebih rendah dibanding pulp kayu opposite-nya. Nugraheni (2008) mendapatkan bahwa ditinjau dari sifat kimianya, kayu reaksi melinjo lebih menyerupai sifat kayu tarik dari jenis kayu daun lebar. Salah satu sifat penting dari kayu reaksi tarik adalah terbentuknya lapisan gelatinous (G-layer) pada sel serat yang dikenal memiliki kandungan selulosa kristalin yang tinggi (Sjostrom 1995, Fengel dan Wegener 1995). Sebagaimana diketahui selulosa kristalin adalah selulosa yang sangat stabil dan tahan terhadap proses atau reaksi degradasi.
Hal ini kemungkinan yang menyebabkan pulp
bagian kayu reaksi memiliki nilai kelarutan dalam NaOH 1% yang rendah. Semakin tinggi kemurnian selulosa maka nilai kelarutannya dalam NaOH 1%
22
akan semakin kecil. Seperti yang disampaikan Gumardes (2003) bahwa semakin kecil nilai kelarutan pulp dalam NaOH 1% maka dapat diduga bahwa kerusakan yang terjadi pada selulosa semakin kecil. Selain itu bila merujuk pada kadar holoselulosa pulp reaksi dan pulp opposite yang jumlahnya hampir sama, sementara itu penurunan kadar kelarutan pulp dalam NaOH 1% untuk pulp reaksi lebih besar daripada pulp opposite-nya, maka diduga kayu reaksi memiliki komponen hemiselulosa yang lebih tinggi dibanding kayu opposite-nya. Sehingga yang banyak terlarut pada kelarutan NaOH 1% adalah hemiselulosa pada pulp, bukan komponen selulosanya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Bernett dan George (2003) yang menjelaskan bahwa pada kayu tarik memiliki ciri berupa adanya dinding sel yang tebal, terdapatnya lapisan gelatinous serta tingginya kadar selulosa kristalin. Selulosa kristalin lebih stabil terhadap adanya reaksi dengan NaOH 1% dibandingkan dengan hemiselulosa. Rendahnya kelarutan pulp dalam NaOH 1% pada bagian kayu reaksi dapat disebabkan karena semakin sedikitnya komponen kimia bagian kayu reaksi yang terlarut (Casey 1980).
4.4 Delignifikasi Pengujian terhadap kandungan lignin dalam pulp dilakukan untuk mengetahui jumlah lignin terlarut selama proses pemasakan. Pulp akan mempunyai sifat fisik yang baik atau kekuatan yang baik apabila mengandung lignin dalam jumlah yang sedikit. Hal ini karena keberadaan lignin akan menyebabkan kekakuan pulp menjadi lebih tinggi. Pertambahan waktu pemasakan pulp menyebabkan kandungan lignin dalam pulp semakin rendah atau degradasi dan kelarutan lignin yang semakin tinggi. Untuk bagian pulp opposite, kandungan lignin pada waktu pemasakan 60 menit menuju 180 menit turun sebesar 14,91%, sedangkan pada kayu reaksinya, kandungan lignin dari waktu pemasakan 60 menit sampai 180 menit turun sebesar 6,05% (Gambar 7). Pulp opposite mengalami penurunan kadar lignin yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pulp reaksi, sehingga delignifikasi pada pulp opposite terjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan pulp reaksinya. Pada kondisi
23
pemasakan 60 – 120 menit terjadi penurunan sebesar 11,91% untuk pulp bagian opposite-nya dan 4,31% untuk pulp bagian kayu reaksinya. Rendahnya kadar lignin pada pulp reaksi dibandingkan dengan pulp kayu opposite disebabkan karena pada pulp kayu reaksi terdapat gelatinous layer. Keberadaan gelatinous layer ini akan meningkatkan kandungan selulosa dengan derajat kristalin yang tinggi, dan tingkat lignifikasi yang rendah (Sjostrom 1995).
Lignin (%)
20
Opposite Reaksi
15 10 5 0 60
120 Waktu Pemasakan (menit)
180
Gambar 7. Grafik delignifikasi pulp melinjo selama proses pulping kraft
Nugraheni (2008) menyebutkan bahwa kayu reaksi melinjo mempunyai karakter yang unik karena termasuk jenis kayu kelompok Gymnospermae sehingga membentuk kayu tekan, namun kayu ini memiliki sifat kimia dan dimensi serat kayu tarik yang merupakan
ciri dari jenis kayu
kelompok
Angiospermae. Rendahnya kadar lignin pada kayu reaksi ini sama dengan perilaku kayu daun lebar dalam merespon pengaruh mekanis dari luar yaitu dengan membentuk lapisan gelatinous layer yang kaya akan selulosa dengan derajat kristalin yang tinggi dan tingkat lignifikasi yang rendah. Haygreen dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa kayu reaksi pada hardwood (kayu tarik) dicirikan dengan kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu normalnya serta memiliki kadar selulosa yang lebih tinggi dari kayu normalnya. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa prisnsip dari proses delignifikasi antara lain terkait dengan struktur kayu, metoda pulping yang digunakan, serta komponen bahan kimia yang digunakan dalam proses pulping, Delignifikasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah waktu pemasakan, komponen lignin pada sel kayu, kondisi chip yang
24
meliputi kadar air dan dimensi, suhu dan tekanan saat proses pulping, serta jenis dan kondisi kayu. Pertambahan waktu pemasakan akan mempengaruhi proses delignifikasi, semakin lama waktu pemasakan maka akan semakin banyak lignin yang terlarut sehingga proporsinya dalam pulp akan semakin berkurang. Proses delignifikasi terjadi melalui tiga tahap, tahap pertama (initial delignification) yang terjadi sebelum mencapai suhu 140 0C dan melarutkan lignin 5% dari jumlah lignin total. Tahap kedua (bulk delignification) yang terjadi pada suhu diatas 140 0C dengan lignin terlarut sebesar 89% dan tahap ketiga (residual delignification) yang hanya melarutkan lignin sebesar 1%. Faktor lain yang mempengaruhi delignifikasi adalah komponen lignin. Sjostrom (1995) menjelaskan bahwa komponen lignin tertinggi adalah pada lamela tengah. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menambahkan bahwa tujuan utama dari proses pulping adalah pemisahan komponen lignin yang tidak hanya terdapat pada dinding sel melainkan juga yang terdapat pada lamela tengah. Ada 2 tahap yang terjadi dalam mengisolasi lignin pada lamela tengah, yaitu :1) fase impregnasi pada saat pencampuran antara larutan pemasak dengan kayu sebelum terjadi reaksi delignifikasi dan 2) pergerakan bahan kimia menuju kayu melalui reaksi kimia selama pemasakan. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menambahkan bahwa selama proses pulping kraft, lignin akan terlarut dari dinding sel sekunder pada tahap initial delignification dari pemasakan. Ketika delignifikasi telah mencapai 50% maka lignin akan larut kembali pada tahapan residual delignification. Kondisi chip juga berperan dalam proses delignifikasi. Kondisi chip tersebut meliputi jenis, kadar air, dan keseragaman ukuran dimensi chip. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa kandungan air yang terdapat dalam kayu mempengaruhi proses difusi bahan kimia, penggunaan suhu dan tekanan yang optimal dapat membantu mempercepat proses difusi bahan kimia ke dalam kayu, dan sebaliknya dengan rendahnya suhu dan tekanan maka reaksi difusi yang terjadi cenderung lebih lambat. Penentuan kadar lignin dalam kenyataannya sulit ditentukan dengan pasti. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa lignin sisa dalam pulp tidak
25
mudah untuk diketahui jumlahnya dengan pasti karena mengingat struktur kimia lignin yang komplek. Pemisahan lignin sulit dilakukan dengan tepat karena selama proses pemisahan tersebut, sebagian lignin yang telah terurai akan berikatan kembali dengan komponen kimia yang lain. Dalam mengisolasi lignin dari pulp cukup sulit karena dalam penentuannya akan sulit untuk mendapatkan dalam kondisi struktural yang utuh, sebagian komponen lignin akan rusak pada saat proses pulping berlangsung. Kerusakan ini disebabkan oleh pengaruh dari asam sulfur yang berasal dari larutan pemasaknya. Kandungan lignin yang tinggi kurang disukai dalam industri pulp dan kertas. Lignin merupakan bagian komponen utama kayu yang sangat tidak diharapkan kehadirannya karena kadar lignin yang tinggi dapat menurunkan ketahanan fisik pulp dan menyebabkan pulp berwarna gelap sehingga meningkatkan konsumsi bahan kimia dalam proses pemutihan (Casey 1980). Kayu melinjo dapat digunakan untuk bahan baku pulp karena memilki kandungan lignin yang rendah, sehingga akan mempermudah dalam proses pulping. Untuk mendapatkan pulp melinjo dengan hasil yang baik dapat dilakukan dengan pemasakan pada waktu 120 menit pada suhu optimum.
4.5 Degradasi Polisakarida Pengujian terhadap komponen kimia holoselulosa bertujuan untuk mengetahui bagian dari serat yang bebas dari lignin, yang terdiri dari campuran hemiselulosa dan selulosa. Kadar holoselulosa dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk menilai kualitas pulp atau serat yang dihasilkan. Menurut Haygreen dan Browyer (1989), ada tiga kriteria penting untuk mendefinisikan holoselulosa ialah 1) kadar lignin sisa yang rendah, 2) penyusutan polisakarida yang sekecil-kecilnya serta 3) degradasi oksidatif dan hidrolitik yang sekecilkecilnya terhadap selulosa. Smooke (1997) dalam Barnett dan George (2003) menjelaskan, bahwa dalam proses kimia, pemisahan serat dilakukan melalui delignifikasi, terutama pada ikatan antar serat yang terdapat pada lamela tengah. Pelepasan serat juga terjadi bersamaan dengan pelarutan lignin melalui pemisahan serat dari kayu pada saat perlakukan kimia. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menambahkan bahwa
26
polisakarida dalam pulp dapat merespon larutan pemasak melalui beberapa cara, diantaranya degradasi komponen kimia berbobot molekul rendah, dan degradasi terhadap derajat polimerisasi. Hasil pengujian terhadap pulp kayu melinjo menunjukkan, bahwa seiring dengan pertambahan waktu pemasakan, kadar holoselulosa baik pada pulp opposite maupun pulp reaksi melinjo cenderung menurun. Kadar holoselulosa pada pulp reaksi sebesar 91,35 – 93% sedangkan pada pulp opposite-nya sebesar 84,09 – 92,19%. Peningkatan waktu pemasakan menyebabkan selisih kadar holoselulosa antara pulp reaksi dengan pulp opposite semakin besar, terutama
Holoselulosa (%)
pada waktu pemasakan 180 menit, dengan selisih sebesar 7,26%. 94 92 90 88 86 84 82 80 78
Opposite Reaksi
60
120 Waktu Pemasakan (menit)
180
Gambar 8. Grafik perkembangan kadar holoselulosa selama proses pulping kraft
Kadar holoselulosa pada pulp opposite lebih rendah dari pulp reaksinya. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah komposisi lignin dalam pulp. Casey (1980) menjelaskan bahwa tingginya kadar holoselulosa disebabkan oleh rendahnya kandungan lignin yang terkandung di dalam pulp. Semakin tinggi kadar holoselulosa yang terdapat dalam pulp akan menunjukkan proporsi holoselulosa terhadap pulp itu sendiri, sehingga tingkat kemurnian pulp akan semakin tinggi. Selain itu, keberadaan gelatinous layer dengan selulosa kristalinnya yang tinggi dalam bagian kayu reaksi akan menyebabkan selulosa lebih stabil dan tahan terhadap reaksi degradasi selama proses pulping. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar holoselulosa adalah penggunaan alkali pada proses pemasakan. Bernett dan George (2003) menjelaskan bahwa dalam proses kraft, pemisahan serat terjadi secara perlahan
27
melalui peran bahan kimia pemasak yang mendegradasi lignin dari komponen kayu. Semakin tinggi kondisi alkali maka akan menurunkan komposisi kayu lainnya misalnya polisakarida, dalam hal ini adalah hemiselulosa. Delignifikasi juga dapat mempengaruhi kadar holoselulosa. Gullichsen dan Paulapuro (2000) menjelaskan bahwa polisakarida akan ikut menurun seiring dengan terjadinya delignifikasi, semakin banyak polisakarida yang menurun akan berdampak pada sifat pulp dan kertas yang dihasilkan. Sebagian besar karbohidrat akan terurai pada saat fase delignifikasi, dan sebagian terjadi pada fase initial delignification, misalnya glukomanan yang akan terurai pemasakan mulai mencapai 130
0
pada saat suhu
C. Penyusutan karbohidrat, terutama
hemiselulosa akan terjadi pada fase bulk delignification dengan sedikit yang terurai dan akan meningkat lagi penurunannya pada fase residual delignification. Keberhasilan proses pemisahan serat dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemisahan serat dengan komposisi yang tepat masih sulit dilakukan. Seperti yang dijelaskan oleh Gullichsen dan Paulapuro (2000), bahwa pada saat penentuan kadar karbohidrat pada pulp, besar kemungkinan bagi lignin untuk tetap berikatan dengan polisakarida yang lain. Casey (1980) menambahkan bahwa antara lignin dengan karbohidrat terdapat ikatan hidrogen yang terbentuk secara alami dengan struktur yang komplek, akibatnya adalah akan cukup sulit memisahkan antara lignin dengan karbohidrat. Berdasarkan kriteria pulp menurut FAO (1980) dalam Sulistyowati (1998), pulp melinjo tergolong dalam kualitas pulp yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, karena semakin banyak holoselulosa dalam pulp akan semakin banyak serat yang dapat dihasilkan, sehingga rendemen produk yang dihasilkan akan semakin tinggi. Tingginya kadar holoselulosa akan memberikan banyak keuntungan dalam pembuatan pulp karena akan memudahkan di dalam proses penggilingan serta akan menghasilkan rendemen yang tinggi (Casey 1980).
4.6 Alpha Selulosa Pulp Pengujian terhadap nilai alpha selulosa dalam pulp bertujuan untuk mengetahui kemurnian selulosa yang tedapat dalam pulp. Semakin besar nilai
28
alpha selulosa yang terkandung dalam pulp maka kualitas pulp yang dihasilkan akan semakin baik. Alpha selulosa merupakan komponen pulp yang cenderung dapat bertahan dan tidak terlarut dalam larutan basa kuat (Achmadi 1990). Hasil penelitian terhadap kadar alpha selulosa pada pulp melinjo menunjukkan bahwa baik pada bagian kayu opposite maupun bagian kayu reaksinya mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu pemasakan. Selama waktu pemasakan 60 menit sampai 180 menit, pulp opposite mengalami penurunan sebesar 1.37%. Sementara itu, degradasi alpha selulosa pada pulp reaksi mengalami penurunan yang lebih besar daripada pulp bagian kayu
Alpha Selulosa (%)
opposite-nya, yaitu sebesar 3.13%.
82
Opposite
81
Reaksi
80 79 78 77 76 75 60
120 180 Waktu Pemasakan (menit)
Gambar 9. Grafik perkembangan alpha holoselulosa selama proses pulping kraft
Kadar alpha selulosa pada pulp dari bagian kayu reaksi lebih besar dari pulp opposite-nya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keberadaan kristalin dalam selulosa. Sjostrom (1995) menjelaskan bahwa perbedaan kandungan alpha selulosa sebagian besar juga dapat disebabkan oleh banyak sedikitnya bagian kristalin dalam selulosa. Kandungan kristalin selulosa dalam kayu tarik umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu opposite-nya Dari grafik di atas maka dapat diduga bahwa tingginya kadar alpha selulosa pada pulp melinjo bagian kayu reaksi diduga karena banyak terdapat bagian kristalin pada bagian selulosa. Bagian kristalin pada selulosa ini terbentuk seiring dengan terbentuknya kayu reaksi. Kandungan selulosa pada tension wood lebih besar dibandingkan dengan kayu normalnya, kondisi ini sebagian besar dipengaruhi oleh terbentuknya G-layer pada saat pembentukan kayu reaksi (Siau 1984).
29
Menurut Sjostrom (1995), bersamaan dengan pelarutan lignin, sedikit atau banyak karbohidrat dapat terdegradasi dari kayu selama pembuatan pulp. Selektivitas delignifikasi dapat dinyatakan sebagai nisbah lignin dan karbohidrat yang dihilangkan dari kayu setelah waktu pemasakan tertentu atau pada derajat delignifikasi yang ditentukan. Jadi selektivitas yang tinggi berarti hilangnya karbohidrat yang rendah. Hilangnya karbohidrat yang tinggi pada permulaan pemasakan, menunjukkan bahwa chip kayu diserang larutan pemasak bahkan pada suhu yang relatif rendah ketika delignifikasi masih berlangsung lambat. Selain hemiselulosa, selulosa juga akan terdegradasi selama proses delignifikasi sebesar 10-15%. Degradasi selulosa sangat kuat terjadi pada fase residual delignification, akibatnya adalah akan menghasilkan rendemen pulp yang rendah (Gullichsen dan Paulapuro 2000). Berdasarkan grafik perkembangan alpha selulosa diatas (Gambar 9), seiring dengan pertambahan waktu pemasakan, pulp opposite dan pulp kayu reaksi melinjo cenderung memiliki kadar alpha selulosa yang lebih stabil. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya selisih kadar alpha selulosa antara pulp reaksi dengan pulp opposite-nya. Pada waktu pemasakan 180 menit, selisih kadar alpha selulosa hanya sebesar 0,79% berbeda pada waktu pemasakan 60 menit yang memilki selisih sebesar 2,55%. Kadar alpha selulosa pada pulp melinjo cenderung lebih stabil, baik yang berasal dari pulp reaksi maupun pulp oppositenya. Kestabilan ini disebabkan karena adanya pengaruh ikatan hidrogen antara karbohidrat dengan komponen kimia lainnya selama proses isolasi karbohidrat berlangsung, dimana ikatan hidrogen tersebut terbentuk secara alami dengan struktur yang komplek (Casey 1980). Selulosa merupakan salah satu komponen penyusun kayu yang memiliki kestabilan lebih baik dari hemiselulosa, terutama dalam ketahan terhadap serangan asam dan alkali pada proses pulping (Barnett dan George 2003). Tingginya kandungan alpha selulosa pada pulp melinjo baik yang berasal dari kayu opposite maupun yang berasal dari kayu reaksinya, menunjukkan bahwa pulp melinjo tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan baku pulp dan kertas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Nilai rendemen, kelarutan dalam NaOH 1%, konsumsi alkali, dan kadar lignin dari pulp melinjo (Gnetum gnemon L.) bagian kayu reaksi lebih rendah dibandingkan dengan pulp opposite-nya, sedangkan untuk kadar holoselulosa dan alpha selulosa pada pulp reaksi kayu melinjo jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan pulp opposite-nya. Kayu melinjo dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan pulp karena memilki kadar holoselulosa yang tinggi dan kadar lignin yang rendah. Berdasarkan kriteria bahan baku pulp dan serat menurut FAO (1980), pulp melinjo tergolong dalam pulp kualitas baik. Proses pulping kraft kayu melinjo menghasilkan pulp yang termasuk ke dalam kualitas I berdasarkan nilai konsumsi alkalinya dan termasuk kualitas III berdasarkan nilai rendemen yang dihasilkannya.
5.2 Saran 1. Perlu dilakukan pengujian terhadap kualitas kertas yang dihasilkan dari pulp melinjo baik pada pulp dari bagian kayu opposite maupun pulp dari bagian kayu reaksinya 2. Perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan beberapa metode pemasakan pulp yang lain untuk mengetahui perbandingan dari kualitas pulp yang dihasilkan dari tumbuhan melinjo 3. Perlu dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan yang dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas pulp melinjo yang dihasilkan.
31
VI. DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Depdikbud. Direktorat Jenderal Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB : Bogor.
Pendidikan
Barnett JR and George J. 2003. Wood Quality and Its Biological Basic. United Kingdom : CRC Press. Browning BL. 1967. Method of Wood Chemistry. New York: Interscience Publishers. Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. 3rd edition Vol. I A. New York : Willey Interscience Publisher. Dirjen Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta : Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Kehutanan. Fengel D dan Wegener G. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi – reaksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Wood ; Chemistry, Ultrastructure, Reacions. Gullichsen J and Paulapuro H. 2000. Chemical Pulping. USA : TAPPI Press. Gumardes A. 2003. Modifikasi Proses Pulping Kraft dengan Perlakuan Pendahuluan Lindi Hitam [skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Harley I. 2006. Gnetum gnemon (breadnut) - Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. http//www. traditional tree.com. [21 Juli 2008]. Haygreen JG dan Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Forest Product and Wood Science. Introduction. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Nugraheni N. 2008. Keragaman komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Melinjo (Gnetum gnemon. L) [skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Purnomosidhi P. 2002. Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan. Jakarta : ICRAFT dan Winrock International.
32
Ragone D. 2005. Arthocarpus camansi (breadnut) - Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. http//www. traditional tree.com. [21 Juli 2008]. Santika Y. 2004. Perbandingan Struktur Anatomi Kayu Gnetum gnemon L.,Calliandra calothyrsus Meissner dan Mimusops elengi L. [tesis]. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) – ITB: Bandung. http://itb.ac.id. [24 Desember 2007]. Siau JF. 1984. Transport Process in Wood. Berlin : Springer and Verlag. Sulistyowati P. 1998. Kajian Struktur Anatomi Pinus oocarpa Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas [skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Terjemahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sujatno RDH. 2000. Sifat Pulp Kraft Batang Singkong (Manihot sp.) [skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. TAPPI. 1990. TAPPI Test Methods 1991. Atlanta: TAPPI Press.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Kualitas Pulp
Waktu pemasakan 60-1 60-2 Rataan 120-1 120-2 Rataan 180-1 180-2 Rataan
Waktu pemasakan 60-1 60-2 Rataan 120-1 120-2 Rataan 180-1 180-2 Rataan
Rendemen (%)
Konsumsi alkali (%)
33.87 34.36 34.11 32.48 30.52 31.36 31.83 29.94 30.80
6.04 10.07 11.07 14.33 17.36 15.84 16.77 16.00 16.38
Rendemen (%)
Konsumsi alkali (%)
30.81 32.33 31.57 27.90 28.40 28.15 27.25 26.15 26.70
6.80 6.13 6.46 7.13 8.65 7.86 9.91 9.23 9.57
Kayu Opposite Kelarutan Lignin dalam Klason (%) NaOH 1 % (%) 6.22 16.19 5.98 14.48 6.10 15.33 5.11 3.04 5.89 3.79 5.50 3.42 5.37 0.20 5.20 0.64 5.23 0.42
Kayu Reaksi Kelarutan Lignin dalam Klason (%) NaOH 1%(%) 5.28 7.28 6.49 7.74 5.88 7.51 5.34 4.09 5.38 2.31 5.36 3.20 3.08 1.28 1.84 1.64 2.46 1.46
Holoselulosa (%)
Alpha selulosa (%)
94.68 89.70 92.19 84.26 85.88 85.07 83.43 84.75 84.09
79.63 78.39 79.01 79.41 77.58 78.49 76.56 78.72 77.64
Holoselulosa (%)
Alpha selulosa (%)
93.69 92.31 93.00 92.72 90.39 91.56 90.86 91.85 91.35
81.79 81.33 81.56 81.19 79.11 80.15 78.28 78.58 78.43
35
Lampiran 2. Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia Komponen Kimia
Kelas komponen (Component Class)
(Chemical Component)%
Tinggi
Sedang
Rendah
(High)
(Moderate)
(Low)
Kayu Daun Lebar (Hardwood) •
Selulosa
45
40-45
40
•
Lignin
33
18-33
18
•
Pentosa
24
21-24
21
•
Zat Ekstraktif
4
2-4
2
•
Abu
6
0,2-6
0,2
Kayu Daun Jarum (Softwood) •
Selulosa
44
41-44
41
•
Lignin
32
28-32
28
•
Pentosa
13
8-13
8
•
Zat Ekstraktif
7
5-7
5
•
Abu
> 0,89
0,89
< 0,89
Sumber : Dirjen Kehutanan (1976)
36
Lampiran 3. Persyaratan sifat kayu untuk bahan pulp dan kertas No
Sifat Kayu
Kualitas pulp Baik
Cukup
Kurang
1
Warna kayu
Putih-kuning
Coklat-hitam
Hitam
2
Massa jenis
< 0,501
0,501-0,600
> 600
3
Panjang serat (mm)
> 1,600
0,900-1,600
< 0,900
4
Holoselulosa (%)
> 65
60-65
< 60
5
Lignin (%)
< 25
25-30
> 30
6
Ekstraktif
<5
5-7
>7
Sumber : FAO (1980) dalam Sulistyowati 1998
37
Lampiran 4. Kriteria Penilaian Sifat Pulp Sulfat Kayu Daun Lebar dari Hutan Tropis (Misra, 1972 dalam Sujatno, 2000). Kualitas Uraian
I
II
III
IV
Rendemen (%)
> 44
40 - 44
34 - 40
27 - 33
Konsumsi alkali (%)
< 18
18 - 20
20 - 22
> 22
Bilangan permanganat
< 18
18 - 20
20 - 30
> 30
>5000
3500 - 5000
2000 - 3500
< 2000
Ketahanan lipat
> 25
20 - 25
10 - 20
< 10
Daya regang
> 2.5
1.5 – 2.5
1 – 1.5
< 1.0
Panjang putus