KEKUATAN PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM DALAM PEROLEHAN SUARA PADA PEMILU TAHUN 2014 (STUDI KASUS KAB. PANDEGLANG)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Bustomi 1111045200006
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1437 H
ABSTRAK Bustomi, 1111045200006, “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)” Strata 1, Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syar’iyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa sejauh mana kekuatan partai Islam di daerah yang notabene penduduknya beragama Islam, yang pada setiap pelaksanaan pemilu jumlah tersebut kerap kali tidak linier dengan perolehan suara partai politik Islam. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian pustaka dan dilengkapi pula dengan hasil wawancara beberapa tokoh partai Islam di daerah tersebut. Penulis juga menggunakan data tambahan guna memberikan nilai objektifitas pada penelitian yang didapat dari artikel-artikel, media masa, dan lainnya yang masih berkaitan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, meskipun daerah kab. Pandeglang merupakan daerah yang jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam, namun ternyata jumlah tersebut tidak bisa diandalkan bagi tumbuh suburnya kekuatan partai politik Islam di daerah tersebut. Berdasarkan temuan dilapangan bahwa melemahnya kekuatan partai politik Islam di daerah Kab. Pandeglang disebabkan oleh lemahnya partai Islam dalam menata susunan kepartaian dan pada umumnya masyarakat lebih tertarik kepada figur ketimbang partai politik. Karena partai Islam lemah dalam penempatan tokoh/figur, alhasil partai lain yang basisnya nasionalis dilirik karena figur yang ditampilkan menarik dan bisa diandalkan oleh masyarakat.
Kata Kunci
: Kekuatan Partai Politik Berideologi Islam, Daerah Mayoritas Penduduk Islam
Pembimbing : Prof. Dr. Yunasril Ali., M.A
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke-hadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat dan kekuatan sehingga prosesi penyelesaian tugas akhir kuliah ini berjalan dengan lancar. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda alam, manusia sempurna sepanjang zaman Nabi Besar Muhammad SAW. pemilik inspirasi, motivasi dan filosofi hidup untuk dijadikan pedoman bagi mahluk bumi agar hidup berjaya dan memberikan makna/manfaat bagi sesama. Sebagai bentuk terimakasih, rasa hormat dan rasa bangga, penulis sampaikan kepada beberapa pihak yang telah memberikan konstribusi, baik dalam bentuk jasa, bimbingan, motivasi, inspirasi dan do’a kepada penulis selama menyelesaikan tahapan penyusunan skripsi ini. Mereka yang terhormat adalah: 1. Bapak Asep Saepuddin Jahar., MA, Ph.D, selaku Dekan beserta para Pembantu Dekan dan segenap sifitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Ibu Dra. Hj. Maskufa., M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati., M.Ag, selaku ketua dan wakil ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku dosen Penasehat Akademik (Dosen PA), dan Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali., M.A, selaku dosen pembimbing skripsi. Berkat kesabaran dan kepedulian beliaulah sehingga penyusunan tugas akhir ini berjalan dengan baik dan lancar; 4. Segenap
pengelola
Perpustakaan
Fakultas
Syariah
dan
Hukum,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan KPUD
ii
Kab. Pandeglang, Pengurus DPD Partai PKS dan DPC Partai PPP Kab. Pandeglang, yang telah memberikan data, sumber informasi maupun referensi bagi penulisan skripsi ini; 5. BIDIKMISI Kementrian Agama Republik Indonesia (KEMENAG RI), yang telah membrikan amanah dan bantuan beastudi selama jenjang S1 di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Bidikmisi Bakti untuk Negeri”; 6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Satirah dan H. Johani (Alm), pemilik ruh, nadi dan nyawa perjuangan penulis, serta segenap keluarga besar Satirah Usrah Kabirah, (Eteh Rodinah, Kakanda Drs. Sutisna (Alm), Kakanda Jazuli, Eteh Rusdiyah, Kakanda Zainal Abidin, Kakanda A. Turmudzi, Eteh Siti Fatonah, beserta pasangan dan keturunan masingmasing), yang tiada henti memberikan doa, inspirasi, motivasi dan jalan bagi perjalanan hidup penulis, “Untuk Mereka Pencapaian ini Diberikan”; 7. Kawan-kawan seperjuangan di kelas Hukum Tata Negara (Siyasah) angkatan 2011, dari alfabet A-Z terimaksaih atas kebersamaan selama menempuh jenjang S1 di Universitas ini; 8. Keluarga Besar; Moot Court Community (MCC) UIN Jakarta, DEMAFSH priode 2014-2015, HMI Komfaksy Cabang Ciputat, Irmafa, FAMAN (Forum Alumni MAN Pandeglang ). Terimakasih melalui lembaga kajian dan organisasi tersebut, mampu mengembangkan potensi tidak hanya dibangku kuliah tapi diluar perkuliahan. Dan terimakasih kepada aktor-
iii
aktor terhebat yang berada di dalamnya, yang selalu menginspirasi dan memberikan motivasi “bahwa hidup tidak untuk saat ini melainkan untuk kelak nanti, dan kiprah ataupun dedikasi diperlukan untuk pembangunan negeri”; 9. Dan kepada semua pihak yang sudah memberikan banyak kontribusi, semoga kebaikan yang diberikan merupakan bagian dari amal shaleh yang Allah SWT meridhainya. dan mudah-mudahan melalui skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi aktifitas akademis maupun aktifitas yang bermanfaat lainnya.
Jakarta, 21 September 2015
Bustomi NIM.111045200006
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
v
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
13
D. Review Kajian Terdahulu
15
E. Metode Penelitian
16
F. Sistematika Penulisan
18
BAB II TINJAUAN UMUM PARTAI POLITIK ISLAM
20
A. Pengertian Partai Politik Islam
20
B. Fungsi Partai Politik Islam
24
C. Munculnya Partai Politik di Indonesia
25
D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia
27
1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945)
v
27
2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
38
3. Periode Orde Baru (1966-1998)
47
4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1998-2014)
53
BAB III TINJAUAN UMUM KABUPATEN PANDEGLANG
61
A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang
61
1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang
61
2. Letak Geografis Kab. Pandeglang
64
3. Kependudukan Kab. Pandeglang
68
4. Arti Lambang Kab. Pandeglang
70
5. Pendidikan di Kab. Pandeglang
72
6. Keagamaan di Kab. Pandeglang
74
B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang
75
1. Hasil Perolehan Suara Pada Pemilu tahun 2014
75
2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang
77
BAB IV KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI KAB. PANDEGLANG PADA PEMILU TAHUN 2014 A. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
80 81
1. Ideologi Partai PPP
81
2. Visi dan Misi Partai PPP
83
3. Kekuatan Partai PPP di Kab. Pandeglang
85
B. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
89
1. Ideologi Partai Partai PKS
89
vi
2. Visi dan Misi Partai PKS
91
3. Kekuatan Partai PKS di Kab. Pandeglang
92
C. Partai Bulan Bintang (PBB)
94
1. Ideologi Partai PBB
94
2. Visi dan Misi Partai PBB
95
3. Kekuatan Partai PBB di Kab. Pandeglang
96
D. Analisis Kekuatan Partai Islam di Kab. Pandeglang BAB V PENUTUP
98 103
A. Kesimpulan
103
B. Saran
105
DAFTAR PUSTAKA
107
LAMPIRAN-LAMPIRAN
111
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas negara hukum. Artinya bagi suatu negara demokrasi pastilah menjadikan “hukum” sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenangwenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang-wenang.1 Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alatalat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu. Demikian juga Indonesia yang dengan tegas telah memilih bentuk demokrasi yakni dengan ketentuan terletaknya kedaulatan di tangan rakyat, jelas tak lepas dari konsekuensi untuk menetapkan pula “negara hukum” sebagaimana telah dituangkan ke dalam butiran ayat UUD 1945. Dalam pasal 1 ayat (3) dengan jelas dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2 Di dalam negera hukum segala
1
Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.
2
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Amandemen ke-tiga disahkan 10 November 2001.
85.
1
hak yang berhubungan dengan kebutuhan dan pemenuhan hajat warga negara diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Begitupun halnya dengan hak memilih dan hak untuk dipilih. Sebagaimana paham demokrasi yang dianut bahwa kekuasaan ditangan rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua
warga negara memiliki hak dan
kewajiban untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan sebuah negara dengan tujuan memajukan dan mensejahterakan warga negara,3 baik secara langsung atau tidak langsung, yakni sebagai penentu dalam proses pemilu misalnya. Hak politik secara eksplisit merupakan hak asasi mausia, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 (1),4 dan Pasal 24 (1) dan (2) UU No. 39/1999.5 Selain itu setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk ikut serta di dalam penyelenggaraan negara, sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28.6 Setiap orang berhak bebas memilih keyakinan politiknya, termasuk jika keyakinan politik itu dianggap merupakan ekspresi dari keagamaan (agama) yang bersangkutan, atau jika keyakinan politik itu, misalnya dalam bentuk yang ekstrem, menyatakan perlunya negara didasarkan pada satu agama tertentu atau negara “teokrasi, atau keyakinan politik 3
Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. 4
Pasal 23 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.” 5
Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” dan Pasal (2) “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lain untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan undang-undang.” 6
Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
2
marxisme.” Keyakinan politik seperti itu termasuk di dalam kebebasan yang bersifat internal (freedom to be) yang tidak bisa (boleh) dibatasi.7 Kalau demikian, bagaimana melihat dan memahami keinginan untuk mengaktualisasikan keyakinan politik berdasar atas agama (misalnya mendirikan “negara agama”) di tingkat nasional maupun lokal? Seturut dengan nalar kebebasan beragama, kebebasan mengekspresikan keyakinan politik itu bersifat dapat ditunda penikmatannya, diatur, dan dibatasi (derogable, regulable, limitable) tetapi pembatasannya haruslah dengan undang-undang [Pasal 28J (2)], dan jika sudah ditetapkan dengan undang-undang maka semua orang diwajibkan mematuhinya. Oleh karena itu untuk mendirikan partai politik (sebagai instrument yang sah untuk ikut serta dalam pemerintahan, atau bahkan untuk mengganti pemerintah) perlu diatur dengan undang-undang kepartaian, dan untuk pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang otonomi daerah. Pendek kata UUD 1945 menjamin kebebasan berkeyakinan politik bagi setiap warga negara, dan kebebasan untuk memperjuangkan keyakinan politiknya itu lewat lembaga-lembaga pengelolaan konflik yang ada (misalnya parlemen). Batasan lain secara eksplisit dituangkan ke dalam Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 bahwa “…kebebasan untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” yang juga searah dengan Pasal 28J (2)8,
7
Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, Diterbitkan oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS), Volume 3, No. 2, Januari-Juni 2011, h.131. 8
Pasal 28J (2) UUD 1945, “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
3
atau dengan kata lain ekspresi keyakinan politik (termasuk yang berdasarkan agama, atau untuk mendirikan negara agama; atau pada ujung lain untuk mendirikan negara komunis) dibatasi yakni sepanjang tidak melawan hukum dan tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis.9 Sebagai upaya untuk mengaktualisasikan hak politik warga negara, perlu adanya perantara (sarana) untuk menjamin atau sebagai penghubung antara individu dan negara, sarana tersebut yakni partai politik , sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo bahwa partai politik merupaka sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.10 Partai politik memiliki kekuatan besar dan penentu terlaksananya sistem demokrasi di suatu negara, sebagaimana dikatakan Nauman yang dikutip Miriam Budiardjo, bahwasanya partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.11 Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yag bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakan.12
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbnagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyrakat demokratis. 9
Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, h. 131.
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-10, h. 397. 11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.
12
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto ( Jakarta: LP3S, 2003), h. 19.
4
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokasi. Partai memainkan peranan penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Schattscheider (1942) sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa “Political parties created democracy”. 13 Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinnya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elit politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercapai stabilitas yang berkelanjutan.14 Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa hal tersebut dikatakan oleh Schattscheider, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.15 Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari pada kendaraan politik bagi sekelompok elit 13
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
14
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 19.
15
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 401.
401.
5
yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah
berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan
beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau kepentingan umum. Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektifitas bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prisip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua itu tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan
6
berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.16 Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.17 Bahwa mayoritas penduduk Indonesia secara riil beragama Islam adalah merupakan suatu kenyataan historis dan fakta demografis sosiologis-teologis yang sama sekali tidak dapat dipungkiri dan sulit untuk dibantah. Berbicara Islam, berbicara segala aspek kehidupan secara utuh, Islam sebagaimana yang diketahui dan diyakini adalah agama pemberi rahmat atau agama rahmatan lil’alamin, untuk itu Islam tidak mengenal kompartementalisasi (red: pengkotak-kotakan) bidang kehidupan. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif, maka bidang politik juga diatur dalam Islam. Meski ada perbedaan pendapat yang kontroversial mengenai corak hubungan Islam dan politik, apakah hubungannya bersifat formalistik ataukah substantif, tetapi hampir semua ulama dan pemikir Muslim bersepakat bahwa dalam Islam pemisahan keduanya
16
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 402.
17
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 397.
7
(Islam dan politik) adalah tidak mungkin.18 Untuk itu, sebagaimana Islam harus hadir (omnipresent) dalam setiap aspek kehidupan manusia, maka demikian pula di bidang politik. Islam pasti memberikan seperangkat doktrin atau pedoman dalam kehidupan politik. Sebagai agama yang sempurna (Q.S. Al-Maidah/5 : 3), bahkan paling sempurna, Islam adalah cara hidup (way of life) yang total dan padu yang menawarkan landasan moral dan etis bagi para pemecahan semua masalah kehidupan; Islam adalah din (agama), dunya (dunia), dan daulah; dan sebagai agama yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman, maka Islam pasti relevan bagi setiap perkembangan jaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan), inklusif di dalamnya politik. Itulah sebabnya, mengapa kita mengatakan bahwa Islam adalah risalah yang universal (untuk semua manusia) dan mondial (untuk seantero dunia), dan elternal (selamanya sampai akhir zaman), inilah rupanya rumusan kita yang tidak bisa ditawa-tawar lagi.19 Pemeluk agama Islam di seluruh Tanah Air berjumlah 87,21 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang dewasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 214 juta jiwa.20 Tidak berlebihan jika negara Indonesia dikatakan sebagai ranah Muslim di
18
Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern (Jakarta: PT. Mediacita, 2002), h. 236. 19
Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern, h. 236.
20
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 115-116.
8
antara sekian banyak “negara Muslim” di berbagai penjuru dunia. Jumlah penduduk Indonesia yang sebagaian besar memeluk agama Islam setidaknya memperkokoh hal itu. Ironisnya, di dalam percaturan ekonomi dan politik, sebagaimana dikatakan Zainal Abidin Amir, nasib umat Islam Indonesia berlawanan dengan jumlahnya yang menempati urutan teratas di tengah-tengah penduduk Indonesia yang melimpah.21 Dilihat dari perspektif politik praktis, sebagaimana dikatakan oleh Faisal Ismail, alur realitas aspirasi politik umat Islam pada dataran empirik di pentas politik nasional tidak selamanya terkonsentrasi dan menyatu padu dalam satu wadah tunggal partai Islam atau partai yang berbasis Islam, barangkali hal ini menjadi alasan mengapa antara jumlah penduduk dan aspirasi politik masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak linier sebagaimana pendapat yang diutarakan Zainal Abidin di atas.22 Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Indonesia pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur dan keberbagaian struktur kepartaian dipentas nasional. Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Tanah Air, realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak terkonsentrasi ke dalam suatu wadah tunggal partai Islam atau berbasis Isalam, akan
21
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 16.
22
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.
9
tetapi menyebar secara berpariasi ke berbagai saluran politik yang ada di panggung arena politik nasional.23 Pakar politik Islam dari UCLA (University California Of Los Angels), Steven Fish, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra menilai kebanyakan partai Islam di Indonesia memiliki tujuan serupa. Namun, mereka belum mampu menunjukan keistimewan masing-masing. Inilah penyebab mengapa partai Islam tidak pernah menang dalam pemilu. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, menurut Fish, partai Islam terganjal beberapa kendala. Pertama, antara partai satu dan yang lainnya malah sibuk bersaing meraih posisi. Padahal menurutnya, jika partai-partai Islam ini bersatu, bukan tidak mungkin suatu hari partai Islam akan berjaya.24 Dalam masa satu setengah dasawarsa pasca Soeharto, politik Islam terlihat jelas berada dalam posisi kian tidak menguntungkan. Untuk pemilu 2014, hanya terdapat tiga parpol yang berasaskan Islam, yaitu: PKS, PBB, dan PPP, dua partai lainnya, PKB dan PAN yang logonya sering digandengkan sejajar dengan logo ketiga parpol berasaskan Islam tadi, nyatanya tidak berasaskan Islam, tetapi berdasarkan Pancasila.
23
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.
24
Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, Republika (Jakarta), 5 Desember
2013, h. 8.
10
Dengan demikian, secara definisi keduanya bukanlah parpol Islam. Paling banter keduanya dapat disebut sebagai parpol berbasis Muslim (Muslim-based party) karena
PKB
dan
PAN
berbasis
masing-masing
warga
Nahdliyyin
dan
Muhammadiyah. Hal ini banyak benarnya pada masa Pemilu 1999 dan 2004, tetapi lagi demikian pada Pemilu 2009, apalagi Pemilu 2014. Alasannya jelas, kian sedikit warga NU yang memberikan suara kepada PKB yang sebagian juga memberikan suaranya kepada PPP dan parpol-parpol lain. Begitu juga dengan warga Muhammadiyah yang kian merasa tidak ada lagi hubungan emosional dengan PAN. Mereka melihat tidak lagi ada tokoh atau figur terkemuka Muhammadiyah menjadi pemimpin PAN. Dalam pada itu belum terlihat tanda-tanda bahwa parpol berasas Islam mengalami peningkatan popularitas. PPP dan PBB tampak stagnan. Tidak terlihat langkah dan manuver untuk menarik para pemilih. Juga tidak terlihat peningkatan popularitas kepemimpinannya yang dapat menimbulkan ketertarikan para pemilih. Sedangkan partai PKS, sedikit banyak terimbas kasus korupsi dan pencucian uang yang melibatkan presiden yang diamanatkan, Luthfi Hasan Ishaq. Dengan demikian sulit kiranya perjuangan mereka untuk dapat mengangkat nama baiknya kembali dan terpilih sebagai anggota legislatif. Karena itu ada pesimisme cukup luas,
11
PKS dalam pemilu 2014 tak bakal mampu mencapai perolehan suara pada Pemilu 2009 sekitar hampir delapan persen.25 Melihat fenomena demikian, maka dari itu hati penulis terketuk untuk meneliti lebih jauh kenapa hal demikian bisa terjadi, terlebih kajian yang akan diangkat oleh penulis berkenaan dengan suatu daerah yang konon daerah tersebut sampai sekarang masih kental dengan sebutan kota santri, namun seperti halnya penjelasan diatas di daerah inipun eksistensi partai politik yang berideologi Islam tidak begitu diminati sebagai sasaran uatama kala menentukan keterwakilannya melalui pemilu. Dengan maksud demikian maka judul yang akan menajadi fokus penulis dalam menyusun dan menjawab permasalahan yang ada di dalamnya, penulis sajikan dengan judul “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)” B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas perlu dibatasi masalah yang akan diteliti. Sehingga bahasan yang dikaji tidak keluar dan terfokuskan kedalam satu arah busur yang tepat.
25
Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, dalam Republika (Jakarta), 5 Desember 2013, h. 8.
12
Dalam menulis sekripsi ini objek terfokuskan pada Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2014. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latarbelakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana kekuatan suara partai politik Islam di Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014? b. Faktor apa yang mempengaruhi kekuatan/melemahnya parpol Islam pada masa tersebut ? c. Apakah ada hubungan yang linier antara penduduk mayoritas beragama Islam dengan perolehan partai politik Islam di Kab. Pandeglang ? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam Penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis diantaranya: a. Untuk mengetahui sebebarapa besar kekuatan dan eksistensi partai politik Islam di Kab. Pandeglang. b. Untuk mengetahui beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap eksistensi/pelemahan partai politik Islam.
13
c. Untuk mengetahui adakah hubungan liner antara penduduk mayoritas beragama Islam dengan perolehan sura parpol Islam. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah, sebagai berikuta: a. Penulis Bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang Politik Islam (Siyasah Syar’iah), khususnya mengenai kajian ini, terlebih penulis adalah kelahiran Pandeglang, jadi bisa mengetahui Pandeglang tidak sebatas wilayah dan daerah yang agung melintang nan kaya keindahan serta kedamaian saja, (Sosial dan Budaya) melainkan dari segi lain pula yakni segi politik. b. Jurusan, Fakultas, dan Universitas Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur perpustakaan, dengan kajian dan penyajian baru, karena dirasa baru kali ini ada penelitian dengann objek kajian kedaerahan yakni mngengkat daerah Kab. Pandeglang sebagai fokus utama. c. Masyarakat Umum (akademisi, praktisi, pelajar dan lainnya) Sebagai bahan kajian keilmuan, dan penambah wawasan berkaitan dengan isu tema Islam politik dan bagaimana eksistensinya ketika dilebur ke dalam partai politik. Barangkali menjadi pertanyaan besar ketika secara persentasi penduduk Indonesia
14
mayoritas Islam, tapi nyatanya
partai politik yang berideologi Islam kurang
diseganai. D. Review Kajian Terdahulu Dari beberapa penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai tema partai politik Islam perlu kiranya dikedepankan sebagai bahan perbandingan dengan hasil penelitian penulis, diantaranya: 1. Yeby Ma’asan Masyrudin, “Transisi Demokrasi Dan Perilaku Partai Islam (Studi Tentang Kemerosotan Perolehan Suara Partai PPP Pasca Orde Baru),” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Skripsi ini berisi tentang problematika partai PPP yang mengalami kemerosotan suara pada setiap Pemilu dilaksanakan khusunya setelah runtuhnya rezim Orde Baru yakni dalam kurun waktu 1999, 2004 dan 2009. Penulis skripsi dalam kajian ini mencoba mencari akar permasalahan yang menyebabkan melemahnya suara partai PPP pasca runtuhnya rezim Orde Baru. 2. Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi Kasus: Partai Bulan Bintang (PBB) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi yang ditulis oleh Indah Permatasari ini membahas tentang permasalahan yang terjadi pada partai Idelogis yakni PBB dalam perolehan suara pada pemilu 1999-2009.
15
Dari kedua skripsi yang ditulis di atas baik yang ditulis oleh Yeby Ma’asan Masyrudin dengan tema utama partai PPP, maupun yang ditulis oleh Indah Permata Sari dengan tema utamanya partai PBB, dapat di simpulkan bahwa meskipun kedua skripsi diatas membahas tentang permasalahan suara partai politik Islam, tetapi topik yang diangkat merupakan partai politik Islam secara nasioanal. Beda halnya dengan skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah partai politik Islam, tetapi cakupan yang coba penulis analisisa adalah daerah bukan nasional. Dengan demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan kedua penulis diatas. E. Metode Penelitian Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam peneitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif atau jenis penelitian normatif, yang dilakukan dengan cara Library Researh (kepustakaan). Teknik pengumpulan data ini menggunakan studi dokumenter. 2. Sumber Data Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
16
a. Data Primer Sumber data primer meliputi hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu tahun 2014, yang mana dari hasil rekapitulasi perolehan suara ini akan terlihat seberapa signifikan perolehan suara partai politik islam. b. Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian, antara lain informasi yang relevan, seperti buku-buku tentang partai politik, buku-buku tentang ketatanegaraan Indonesia, wawancara pengurus partai politik Islam di Kab. Pandeglang, Pemerintahan setempat baik dalam lingkup kekuasaan legislatif ataupun eksekutif, serta KPUD sebagai penyelenggara pemilu tingkat daerah yang lebih berhadapan langsung dengan soal yang dibahas. Sumber lain pula tidak lepas dari literatur yang berhubungan dengan tema yang dibahas. 3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuanpenemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada diperpustakaan, arsip-arsip daerah, dokumen, majalah maupun lainnya.
17
4. Teknik Analisis Data Analisa data merupakan langkah paling penting dalam sebuah penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh dan komparatif, yakni sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang padu. E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang dibagi dalam sub bab dan setiap bab mempunyai batasan masing-masing yang akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut: Bab I, Dalam permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang partai politik berupa: pengertian partai politik, ideologi partai politik yang dianut di Indonesia dan partai politik apa saja yang menganut ideologi Islam maupun Pancasila.
18
Bab III, Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum seputar Kab. Pandeglang baik dari segi demografis, keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi dan kondisi politik di daerah tersebut. Bab IV, Pada bab ini pembahasan mengenai duduk perkara permasalahan yang dikaji yakni kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang berikut analisisnya. Bab V, Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran bekaitan dengan penulisan skripsi dari awal sampai pembahasan ini diselesaikan.
19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK ISLAM A. Pengertian Partai Politik Islam Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempuyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern. Secara akumulatif studi mengenai partai politik baru ada pada awal abad ke-201 Dalam literatur politik ditemukan beberapa definisi partai politik, secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Carl J. Friedrich, mengemukakan bahwa partai politik: Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap 1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. IV, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), cet. 4,
h.397
20
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil.2 Sigmund Neuman dalam bukunya Modern Political Parties sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut: Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatau golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).3 Menurut Sartori Partai politik adalah: Suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan malalui pemilihan itu mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at election, and is capable of placing through elections candidates for public office).4 Pengertian partai politik telah dijelaskan secara gamblang diatas. Sekarang jika dikaitkan dengan Islam, apa yang dimaksud dengan partai politik Islam? Islam dalam konteks ini dipahami sebagai doktrin agama yang harus diimplementasikan dalam masyarakat serta mengatur seluruh aktivitas dan prilaku manusia di dalamnya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan agama komprehensif yang sudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Dengan demikian, partai politik Islam dapat dipahami sebagai sebuah organisasi
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404-405
21
publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks yang berbeda-beda melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah, baik pada level legislatif maupun eksekutif. Proses mendapatkan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan dalam pemilu serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program yang tidak lepas dari nilai-nilai ideologi Islam.5 Dalam kajian ilmu politik, penggunaan “partai Islam” setidaknya memiliki dua konotasi. Pertama, ideologi organisasi, yaitu merujuk kepada partai politik yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. Ideologi organisasi dianggap penting karena ia merupakan tujuan dan orientasi. Ideologi menjadi alat pembeda antara satu partai dengan partai yang lain.6 Dalam pembahasan selanjutnya mengenai partai politik Islam, Menurut Sudirman Tebba, untuk menyebut suatu partai politik itu partai Islam dia harus memiliki ciri Islam pada salah satu dari tiga unsur, yakni; nama, asas, dan lambang. Suatu partai disebut partai Islam apabila namanya mengandung unsur Islam atau asasnya Islam atau lambangnya mengandung ciri Islam.7Selain itu, dikategorikannya partai tersebut sebagai partai Islam ditandai oleh adanya personalia kepemimpinan partai yang didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang Islam yang kuat
5
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.9 6
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 9
7
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru (Yogya: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 18
22
(santri) serta pengambilan keputusan yang cenderung berpihak kepada kepentingan unsur Islam. Jika dilihat dalam konteks sekarang partai politik di Indonesia yang masih konsisten menerapkan Islam sebagai asas atau ideologi politiknya hanyalah tiga partai politik, yaitu ; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)8, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), jika dilihat dari perspektif konstitusi partai, adalah bukan partai politik Islam yang sebenarnya, paling tidak dapat dikatakan sebagai partai berbasis massa Islam.9 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa secara umum partai politik Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang berazazkan Islam, Parpol yang berplatform Islam, Parpol yang menggunakan simbolsimbol penganut Islam maupun substansi Islam yang terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.10
8
Pasal 3 Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang, dinyatakan; Partai ini berasaskan Islam. Lihat juga Hasil Muktamar II Partai Bulan Bintang (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang Periode 2005-2010), h. 25 9
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), h.124 10
Ed.Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan, 2010), h.289
23
B. Fungsi Dan Tujuan Partai Politik Islam Pada umumnya, para ilmuan politik biasanya menggambarkan adanya 4 empat fungsi partai politik. Sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo fungsi tersebut meliputi sarana: (i) komunikasi politik; (ii) sosialisasi politik (political socialization); (iii) rekrutmen politik (political recruitment); dan (iv) pengatur konflik (conflic management).11 Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp sebagaimana dikutup oleh Jimly Ashiddiqie, fungsi partai politik itu mecakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting ptterns); (iii) sarana rekrutmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.12 Sementara itu tujuan dari partai politik Islam tidak terlepas dari sebuah institusi negara sebagai media bagi partai politik Islam untuk mewujudkan cita-cita besar Islam. Adapun tujuan partai Islam dapat dirumuskan dalam salah satu ayat AlQur’an yang berbunyi: Baldatun thayyibun warabbun ghafur yang artinya terwujudnya sebuah negara yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh Allah SWT. Dari tujuan itu dapat dirumuskan tiga tujuan utama partai Islam.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,h. 405-409
12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2009), h.406-407
24
1. Masyarakat yang adil. Keadaan dimana seluruh masyarakat di suatu negara tidak ada yang merasa terintimidasi maupun terpinggirkan dari kehidupan masyarakat yang luas serta mendapatkan hak-haknya sebagai salah seorang warga yang mendiami suatu daerah tertentu. Keadilan meliputi segala hal yang melekat pada mereka seperti, hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak berbicara, dan lain sebagainya. 2. Masyarakat yang makmur dan sejahter. Setiap manusia menginginkan hidup bahagia, dan salah satu indikator hidup bahagia adalah memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan hidup. 3. Masyarakat yang aman dan nyaman. Salah satu fungsi negara adalah membuat warganya merasa aman dari berbagai bentuk kejahatan maupun tindakan kriminal lainnya. Sedangkan nyaman adalah rasa bahagia dari segi psikologis seseorang yang hidup dalam lingkungan tertentu. Tujuan ini merupakan tujuan dari partai politik Islam untuk menjadikan masyarakat tidak merasa terganggu dari segala bentuk kejahatan maupun gangguan masyarakat sekitar.13 C. Munculnya Partai Politik di Indonesia Motivasi kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia tahun 1577 adalah berdagang. Untuk memperlancar arus perdagangan dan meluaskan pengaruh, pada tahun 1602 Belanda mendirikan Varenigde Oot-Indische Compagnie (VOC) sebagai instrumen utama yang melibatkan para Bupati dalam administrasi mereka dengan 13
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 11
25
fungsi utamanya memobilisasi masyarakat untuk melaksanakan program pemerintah, dalam hal ini VOC.14 Peperangan yang terjadi antara Belanda dan Belgia pada tahun 1820 memaksa Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) guna menyokong biaya perang. Keberhasilan sistem ini diikuti oleh pemberlakuan Constitutional Ordinance tahun 1854 yang memberikan hak politik absolut kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengawasi kegiatan politik rakyat demi tercapainya keamanan. Akibatnya muncul dua tendensi yang berbeda. Kehidupan politik cenderung ke otoritarianisme, sementara liberalisme mewarnai bidang ekonomi. Desakan kaum liberal di Belanda menyebabkan Cultuurstelsel segera digantikan oleh Politik Etika yang mengajukan ide tentang “the Honor of Debt” atau Politik Utang Belanda. Politik ini mendorong pemerintah Hindia menerapkan modernisasi sektor ekonomi dan pendidikan bagi golongan pribumi. Gelombang balik dari modernisasi ini adalah munculnya keinginan untuk mendirikan partai politik. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Desentralisasi
tahun
1903,
pemerintah Belanda memberikan hak kepada pemerintahan lokal di Hindia Belanda untuk membentuk suatu Dewan Perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk di dewan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil-wakil dari “the Color Caste System”, satu model yang sama dengan Constitutional Democracy. Protes terhadap ide ini mengawali perubahan pada tahun 1916 ketika Gubernur Jenderal menyatakan 14
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 25
26
bahwa sebagian anggota Volksraad tetap ditunjuk, dan sebagaia lain dipilih. Untuk mengisi kursi yang dipilih, maka pada tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan dibolehkannya pembentukan partai politik pada tingkat nasional.15 Mosi Tjokroaminoto dan mosi Djajadiningrat pada bulan November 1918 yang menuntut agar seluruh anggota Volksraad dipilih oleh rakyat membuahkan reformasi politik. Rakyat dibolehkan secara bebas berserikat dan berkumpul, meskipun pada kenyataannya polisi rahasia tetap mengawasi kegiatan politik mereka. Dampak paling penting dari kedua mosi itu adalah diubahnya penunjukan representatif di Volksraad dari Color Caste System ke basis assosiational group. Setelah dipicu oleh politik etika dan Volksraad, di Indonesia tumbuh berbagai partai yang secara garis besar dapat dipilah menurut kategori: (i) partainya keturunan Belanda; (ii) partainya keturunan Cina; (iii) partainya orang Indonesia.16 D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945) Jika bentuk ideal umat Islam itu beserta tugas kewajibannya untuk kemanusiaan harus diungkapkan dalam kalimat singkat, maka yang paling baik ialah mengutip al-Qur’an tentang gambaran yang diberikan untuk umat Rasulullah saw.: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagipula kamu percaya kepada 15
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.26
16
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 26
27
Tuhan.” Perjuangan Islam sepanjang sejarahnya dapat dilihat sebagai usaha kaum Muslim memenuhi gambaran al-Qur’an itu, khususnya berkenaan dengan tugas kewajibannya bagi kemanusiaan. Tugas itu juga sering diungkapkan dalam kalimat aslinya dalam bahasa Arab, yaitu “Amr ma’ruf nahi munkar”. Karena tugas amr ma’ruf nahi munkar itu umat Islam selalau terlibat dalam perjuangan melawan setiap bentuk kezaliman. Maka wajar sekali bahwa umat Islam Indonesia sepanjang sejarahnya juga dikenal sebagai penentang-penentang gigih imperialism. Juga bukanlah suatu kebetulan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia yang mula-mula tumbuh secara sebenarnya berbentuk organisasi massa dalam arti modern muncul dari kalangan Muslim melalui Sarekat Islam.17 Pada tahun 1911 di Surakarta berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama Kong Sing. Anggota perkumpulan tersebut terdiri atas dua golongan, yaitu golongan orang-orang jawa dan orang-orang Cina. Perkumplan ini merupakan organisasi, koperasi, dengan tujuan untuk menjalin kerjasama diantara anggotanya dalam bidang usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan batik, serta kerjasama dalam urusan kematian.18 Pada mulanya perkumpulan ini dapat berjalan dengan baik, tetapi kemudian terjadi perpecahan, sebab anggota golongan Cina yang semula hanya 50 persen
17
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
h.43-44 18
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h.34
28
berkembang menjadi 60 persen. Akibatnya lebih jauh, mereka tampak berambisi hendak menguasai perkumpulan tersebut dan mereka ingin menyingkirkan para anggota dari bumi putra. Selain itu, sikap orang-orang Cina menjadi lebih sombong dengan berhasilnya revolusi Cina yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen. Melihat sikap Cina yang makain menjadi sombong itu, para anggota orang Jawa beranggapan, bahwa keluar dari Kong Sing adalah langkah yang tepat. Berangkat dari masalah itu maka mereka keluar dari organisasi tersebut, yang kemudian mereka membentuk perkumpulan baru dengan nama Sarekat Dagang Islam.19 Serikat Dagang Islam didirikan pada 1911 di Solo,20 oleh seorang pengusaha batik di Laweyan yang bernama H. Samanhudi. Dasar organisasi ini adalah agama, yaitu Islam dan dasar ekonomi. SDI mula-mula diarahkan melawan kegiatan kegiatan Cina itu yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pribumi, sisi lain dari perlawanan itu, sekalipun tidak langsung, ditunjukan kepada Belanda yang
19
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang,h.35 20
Mengenai tahun kelahiran atau berdirinya SDI/SI ada sebagian tokoh yang menyatakan bahwasanya tahun berdirinya SDI/SI adalah pada tahun 1905 atau lebih awal dari berdirinya Budi Utomo 1908, seperti K.H. Firdaus A.N. dalam karyanya Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa (Jakarta: CV. Datayasa, 1997), h. 9
29
memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagangan dan industri.21 Pada tahun 1912, Umar Said Tjokroaminoto, mengusulkan kepada H. Samanhudi agar perkumpulan tersebut jangan membatasi diri pada golongan pedagang saja, tetapi diperluas, khususnya kepada umat Islam. Dengan alasan tersebut maka kata-kata dagang dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut dihapus. Sehingga nama perkumpulan dalam akte notarisnya 10 September 1912 itu menjadi Sarikat Islam (SI),22 perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, tapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik.23 Hal ini bukan tanpa rintangan, karena pada mulanya kolonial Belanda keberatan dan menolak kehadiran SI, tetapi kemudian diakui juga sebagai “Badan Hukum” (Recht Persoon) pada tanggal 10 september 1912.24 Pengakuan sebagai Badan Hukum, belum berarti izin bagi gerakan politik SI, karena SI masih dianggap Belanda sebagai organisasi berbahaya. Tetapi karena kaum SI mendesak terus dengan keras, maka pemerintah Belanda tidak bisa menghalanginya lagi. Akhirnya pengakuan dan izin sebagai gerakan politik yang
21
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3S, 2006),
h.80 22
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, h. 36 23
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.81
24
Firdaus Bangsa, h. 3
A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan
30
bernama Central Sarekat Islam (CSI) datang juga pada tanggal 18 Maret 1916, yaitu tiga hari sebelum Gubernur Jenderal Belanda Indenburg, mengakhiri masa jabatannya.25Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.26 Sarikat Islam (SI) yang merupakan bentuk transformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI), merupakan akar kesadaran politik Islam era modern, yang oleh Engleson disebut sebagai partai politik Islam yang selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa kolonial. Van Niel, sebagaimana dikutip oleh Dhurorudin Mashad, menyebutkan bahwa SI sebagai salah satu organisasi politik Indonesia abad 20 yang paling menonjol.27 Penyebutan itu tidak berlebihan, mengingat SI bukan saja merupakan parpol pertama di Indonesia, tapi juga parpol yang terbukti mampu menyadarkan lapisan luas masyarakat dari keterbelakangan dan dari kenyataan fatalisme. SI berupaya mengubah mentalitas orang terjajah, dari sikap pasrah menjadi aktif dengan berakar pada semangat persamaan.28 Dalam tahap awal perjalanan SI (1911-1916), sebagian besar perhatian dicurahkan pada masalah-masalah organisasi seperti mencari pemimpin, menyusun
25
Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h.3, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h.119 26
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 84
27
Dhurorudin Masad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.53 28
Dhurorudin Msad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53
31
anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah.29 Pada peiode ini, program organisasi masih bersifat umum dan luas, sehingga para pemimpinnya belum bisa memberikan arah yang lebih tegas ke mana organisasi akan dibawa.30 Dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis dan Agus Salim, SI mulai memasuki periode puncak pada tahun 1916 sampai 1921. SI bukan lagi sebagai organisasi pedagang pribumi yang berdomisili di Solo, namun ia telah berhasil menyebar di seluruh Nusantara pada tahun 1919 dengan jumlah anggota hampir mencapai dua setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat: pedagang, petani, buruh, dan bangsawan pribumi.31SI terbuka untuk setiap orang Indonesia tanpa memandang latar belakang sosioetnis mereka, untuk itu wajar jika kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Beda halnya dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya bagi priyayi Jawa dan Madura.32 Tuntasnya persoalan di bidang organisasional pada periode sebelumnya, menyebabkan SI mampu memperhatikan secara serius beberapa persoalan, ekonomi dan politik. Dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh sentaral, SI membagi program 29
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
30
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta, LP3S, 1998), h. 115-
116 31
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
32
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 82
32
kerjanya menjadi delapan yaitu politik, pendidikan, agama, hukum, agrarian, pertanian, keuangan dan perpajakan.33 Mengawali periode ketiga (1921-1927), SI memecat anggota-anggotanya yang juga berafiliasi denga Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini dilakukan untuk mempertegas bahwa kebijakan dan kegiatannya hanya berdasarkan Islam seperti tercantum dalam keterangan asas organisasi. SI berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam (PSI) melalui kongresnya di Madiun pada tanggal 17-20 Februari 1923.34 Dalam hal itu, yang cukup menarik adalah berubahnya arah politik partai berkenaan dengan penahanan Tjokroaminoto dalam tahun 1921-1922. Penahanannya menimbulkan protes keras dan menyingkirkan kepercayaan partai kepada pemerintah untuk bekerja sama. Hal ini diikuti oleh suara yang menghendaki kemungkinan dimunculkannya politik hijrah (nonkooperasi) yang kemudian semakin dipertegas oleh hasil keputusan Kongres di Surabaya pada tanggal 8-10 Agustus 1924 yang menyatakan bahwa partai tidak akan mempunyai seseorang wakil walaupun Dewan Rakyat (Volksraad).35 Menginjak periode keempat (1927-1942), SI berusaha keras mempertahankan keberadaannya dalam pentas politik waktu itu. Namun SI gagal mempertahankan
33
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 127-129
34
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29
35
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 150
33
posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional, karena berbagai faktor yang menimpanya, diantaranya:36 Pertama, konflik internal dikalangan elit partai. Kekecewaan seorang elit terhadap langkah politik yang ditempuh oleh elit lain atau karena perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya partai bersikap, kerapkali harus berakhir dengan pengusiran seorang elit dari tubuh partai. Berbagai perbedaan pendapat mengenai kebijakan masalah-masalah pribadi mengakibatkan mundurnya atau dikeluarkannya beberapa pemimpin dan aktivis partai yang paling penting. Abdul Muis mengundurkan diri dari kepemimpinan organisasi itu menyusul ketidaksetujuannya dengan Tjokroaminoto dalam maslah yang berhubungan dengan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), di mana ia adalah ketua pelaksananya. Perbedaan sejenis mengenai masalah moral menyebabkan Sukiman dan Surjopranoto juga mengundurkan diri dari SI.37 Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam lain terhadap SI. Seiring dengan perjalanan SI berbagai organisasi Islam yang lain juga muncul seperti AlIrsyad, Muhammadiyah dari sayap modernis, dan gejala semakin terorganisasinya golongan tradisionalis. Reputasi besar SI dan tokoh-tokohnya yang piawai dalam berorganisasi meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi
36
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29-30
37
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2009), h.71
34
kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI sebagaimana tergambar dalam beberapa kali Kongres Al-Islam. Tetapi karena merasa diperlakukan tidak wajar oleh pimpinan SI, kaum tradisional menceraikannya. Sedangkan pertikaian karena persoalan pribadi dengan Muhammadiyah pada tahun 1926 berbuntut pada keluarnya anggota-anggota Muhammadiyah dari SI pada tahun berikutnya. Dan ketegangan mengenai masalah agama yang tidak tergolong fundamental (furu’iyah) denga pihak Persatuan Islam (Persis) membuat partai ini semakin menjauh dari organisasiorganisasi Islam yang besar. Dalam kondisi demikian, SI denga percaya diri masih berani mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan umat Islam Indonesia. Ketiga, tantangan yang semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi komunisme sempat merembes ke tubuh SI melalui semaun dan Darsono. Mereka adalah tokoh SI dari cabang semarang yang kemudian terlibat konfrontasi dengan pemimpin-pemimpin SI dari aliran Islam berkaitan dengan tuntutan agar kepolitikan SI dibersihkan dari Islam baik sebagai dasar, unsur maupun tujuan. Sebagai gantinya seluruh orientasi dari kegiatan partai didasarkan pada paham Marxis yang menekankan karakter sosialistik dan revolusioner.38 Diperkenalkannya Marxisme ke
38
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30
35
dalam SI memunculkan berbagai konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin organisasi ini.39 Ketertarikan kepada gagasan-gagasan Marxis pada mulanya berkembang di luar gerakan-gerakan nasionalis pribumi. Di kepulauan Nusantara, gagasan-gagasan tersebut pada mulanya diasosiasikan dengan sekelompok kecil anggota Nationale Indische Partij (NIP, Partai Nasional Belanda ) sebuah organisasi politik Eropa Indonesia yang dibentuk pada 1912 dan menyuarakan paham kesetaraan ras, keadilan sosial-ekonomi dan kemerdekaan, yang didasarkan kepada kerjasama EropaIndonesai. Karena ditindas oleh pemerintah kolonial, maka kelompok minoritas di dalam partai tersebut bergabung dengan partai kiri Indische Sosiaal Democratische Vereeniging (ISDV, Asosiasi Demokrasi Sosial Hindia Belanda), yang didirikan oleh Hnedrik Sneevlit pada 1914. Dan ketika pada 1920 ISDV ditransformasikan menjadi Partij der Komunisten in Indie (Partai Komunis Indonesia [PKI]), sebuah partai komunis yang sepenuhnya beraliran komunis.40 Kedua tokoh SI yakni Semaun dan Darso yang kelak dikeluarkan dari SI dan bergabung dengan PKI.Yang lebih memperparah konflik diatas adalah perbedaan sudut pandang mengenai landasan teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur 39
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 69 40
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 67-69
36
Tengah. Sebaliknya Semaun dan Darsono lebih menghendaki disingkirkannya agama dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh tindakan mereka kepada prinsip-prinsip Marxsis.41 Upaya untuk mengompromikan dua bidang ideologi itu sempat dilakukan. Namun upaya tersebut menemui jalan buntu dan tarik tambang ideologi itu dimenangkan oleh kubu Islam. Meski demikia SI harus membayar kemenangannya itu dengan hengkangnya sejumlah besar anggotanya.42 Kegagalan dalam
menjembatani berbagai perbedaan ini, terutama dalam
watak sosialistik dan revolusioner SI, mengakibatkan perpecahan dalam organisasi tersebut. Karena kalah dalam percaturan ini, maka pada kongres keenam SI yang diselenggarakan di Surabaya pada 1921, faksi Marxis dikeluarkan dari organisasi denga alasan bahwa mereka melanggar disiplin partai dengan mempertahankan keanggotaan mereka dalam sebuah partai kominis, yakni PKI.43 Tantangan terhadap kepemimpinan SI dalam gerakan nasional ini dilanjutkan oleh kalangan lain yang netral agama, yang biasanya disebut nasionalis. Mereka umumnya bergabung dalam Perserikatan kemudian Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Soekarno (1901-1979). Pada tahun 1930-an tantangan itu
41
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 70 42
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30
43
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.70
37
dilanjutkan oleh Patai indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Indonesia Raya (Perindra). Jadi berkembanglah perpecahan dalam kalangan umat Islam itu, mulanya dengan pihak komunis (yang masih beragama Islam), dan kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama (yang juga sebagian besar beragama Islam). Bila pihak komunis yang umumnya anti agama, jadi anti Islam, golongan nasionalis yang netral agama ingin membatasi agama pada bidang perseorangan.44 2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965) Dikeluarkannya Maklumat Presiden pada tanggal 3 November 1945 merupakan langkah awal masyarakat Indonesia waktu itu untuk membentuk partai politik dan yang kemudian akan ikut menyemarakan kontestasi pemilu legislatif pada tahun 1946. Dengan adanya Maklumat tersebut, secara praktis sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer, tanpa mengubah apalagi mengganti UUD 1945. Hal ini disambut oleh masyarakat untuk mendirikan partai politik sebagai sarana untuk merebut kursi di legislatif dengan beragam aliran yang dimilikinya, yakni kemudian lahirlah partai politik yang berideologi Komunis, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa. Partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya maklumat
44
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), h. 6
38
November 1945 oleh Alfian dibagi kepada lima bagian, yakni Nasionalis, Islam, Sosialis, dan Kristen/Nasrani.45 Maklumat yang dikeluarkan November 1945 disambut dengan baik oleh kalangan umat Islam, hal itu terbukti dengan langsung digelarnya Kongres Umat Islam Indonesia selama dua hari di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah disepakatinya pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. Partai Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) di dirikan pada 07 November 1945, merupakan satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan citacita Islam dalam urusan kenegaraan.46 Gagasan pembentukannya berasal dari sejumlah politisi dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman penjajahan Belanda, diantaranya Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammd
45
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.35
46
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UII Press, 1990), h. 190
39
Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah.47 Partai Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam.48 Menurut beberapa tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi, ada beberapa pertimbangan yang mendorong mereka untuk membentuk partai itu menjadi “partai tunggal” Islam Indonesia. Dari segi doktrin, sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra tokoh-tokoh itu merujuk kepada al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam bersatu dan jangan berpecah belah (Qs, Ali-Imran/03:103).49 Tekad menjadikan Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menampung semua elemen umat Islam di masyarakat. Dua jenis keanggotaan Masyumi adalah perseorangan (biasa) dan organisasi (istimewa). Anggota perseorangan disyaratkan minimal usia 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain.
47
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 62-63 48
Zainal Abisin,Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 37
49
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h.65
40
Anggota istimewa semula terdiri atas empat organisasi yakni NU, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah.50 Sebagai partai tunggal Islam, Masyumi tidak menghadapi persaingan yang berarti dari sesama partai Islam yang ketika itu memang tidak ada selain dirinya sendiri. Partai Itu bersaing dengan partai-partai yang berideologi bukan Islam seperti, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan partai-partai lain yang kecil. Termasuk dalam hal tersebut partaipartai Nasionalis, Kristen, Katolik atau pun partai-partai Marxis diluar PKI. Dalam suasana persaingan yang sedemikian rupa itu, Masyumi ingin menunjukkan bahwa Islam yang dipegang sebagai ideologi politiknya adalah suatu “ideologi Islam yang modern”, yaitu Islam yang di tafsirkan sedemikian rupa, sehingga diniscayakan paling mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Indonesia.51 Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak dapat diragukan lagi. Prestasinya paling cemerlang ditunjukkannya pada rentang 1945-1957, dalam mana para tokohnya banyak yang mengisi posisi Menteri bahkan Perdana Menteri. Dalam rentang waktu itu tercatat tiga tokoh Masyumi memimpin kabinet. Mereka adalah M. Natsir, Sukiman, dan Burhanudin Harahap. Ketika nama yang disebut terakhir ini menjabat sebagai Perdana Menteri, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu yang diikuti oleh banyak partai dan berlangsung secara 50
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.37
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h.70
41
demokratis. Pemilu yang digelar pada tahun 1955 itu memiliki kualitas yang hanya dapat ditandingi oleh pemilu 1999, tidak oleh satupun pemilu-pemilu Orde-Baru (ORBA). Periode itu menyaksikan bahwa Masyumi mampu mendudukkan empat atau lima orang tokohnya dalam setiap kabinet, kecuali dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dimana Masyumi memang tidak bersedia masuk dalam kabinet.52 Untuk itu, jauh sebelum pemilu 1955 dilaksanakan pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa kabinet semasa revolusi) sudah memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan disekitar tahun itu, maka Masyumi yang saat itu adalah gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dan ortodok seperti NU, akan memperoleh 80% suara.53 Perkiraan Sjahrir itu bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Dalam hal ini Herbert Feith sebagaimana dikutip Bahtiar Effendi memberi kesaksian, bahwa dalam pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan dalam pemilihan umum yang diamati secara teliti di wilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta
52
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 38-39
53
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia,h. 99
42
pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan manapun.54 Untuk menggambarkan lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat pada masa revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan dikemukakan di sini. Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan giat setelah masa adem-ayem pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, karena adanya banyak partai, organisasi, dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi (23%). Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem
demokrasi
constitutional
(1950-1957),
tiga
kabinet
dipercakan
kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956). Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, baik Masyumi maupun NU (yang memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi organisasi politik tersendiri pada 1952), berperan sebagai pasangan koalisi utama. Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU, 54
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.99-100
43
PSII, dan Perti) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5% suara) dalam parlemen. Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh di bawah perkiraan Sjahrir, namun itu telah menggandakan wakil kelompok Islam dalam Parlemen.55 Namun jika dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang beragamakan Islam kala itu mencapai 90% hal ini kurang begitu menggembirakan, karena disisilain jumlah perolehan partai polititik non agama mencapai 60% perolehan suara. Hal inilah yang menurut Daniel Dhakidae sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin, kemenangan partai-partai non-agama itu disebabkan oleh masih kentalnya semangat nasionalisme di panggung politik Indonesia sejak sebelum perang kemerdekaan sampai dekade 1960-an.56 Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan abangan dan santri kian menajam, sebagaimana tercermin dari perdebatan sengit di dewan Konstituante mengenai keberadaan Piagam Jakarta dan dasar Negara. Konflik di tingkat elit itu berakibat pula pada sulitnya memebentuk pemerintahan yang setabil. Perdebatan mengenai dasar negara dalam tubuh Konstituante antara golongan Islam dan Nasionalis tidak membuahkan hasil bahkan cenderung berakibatkan terjadinya perpecahan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melihat situasi politik yang tidak lagi kondusif kemudian sebagai upaya 55
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.100-101 56
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 42
44
penyelamatan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959, yang menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan Konstituante.57Sejak saat itu secara resmi sistem Demokrasi Parlementer tidak lagi menjadi sistem pemerintahan di Indonesia dan berubah menjadi Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem pemerintahan yang baru ini Soekarno mengintrodusir Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden. Tak pelak lagi sistem Demokrasi Terpimpin memperoleh kritik keras dari tokoh-tokoh partai sebagai sistem pemerintahan anti demokrasi. Masyumi adalah satu-satunya partai Islam yang paling keras melancarkan kritik. Sementara NU, PSII dan Perti mengambil langkah akomodatif terhadap kebijakan Soekarno dengan menyatakan dukunganya dan memberikan legitimasi keagamaan atas kiprah politiknya.58 Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak pada dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960. Keppres ini melarang keberadaan Masyumi dan PSI di pentas politik Indonesia, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI (Pemerintahan Refolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958.
57
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 42-43
58
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 43
45
Setelah melenyapkan Masyumi dan PSI pada bulan April 1961 soekarno membubarkan semua partai politik, karena banyaknya partai dianggap oleh Soekarno sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam mengambil keputusan,59kecuali Sembilan partai politik yang lolos seleksi, diantaranya NU, PSI dan Perti. Tetapi keberadaan Sembilan partai itu nyaris tak berguna, karena sistem kepartaian pada Demokrasi Terpimpin bersifat “No-Party System”. Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai jargon perjuangan yang membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular adalah Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), dan lainlain.60 Dengan adanya pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis mendapat posisi dominan, karena merupakan salah satu dari tiga unsur utama disamping partai-partai agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Begitu pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaan anggota parlemen daerah, unsur Nasakom harus di perhatikan dalam penunjukkan unsur pimpinan DPRD. Jadi bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, maka ia
59
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, Cet.VI, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 42 60
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 42-43
46
harus diikut sertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota DPRD tertentu.61 Pada masa Orde Lama ini pendulum kekuasaan sepenuhnya bergerak di antara tiga kutub yang sangat kompetitif, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis. Tarik tambang diantara tiga kekuatan politik utama tersebut menyedot sebagian tenaga dan perhatian mereka, sehingga berbagai persoalan politik dan ekonomi yang lebih mendasar tidak memperoleh perhatatian serius. Akibatnya Negara Demokrasi Terpimpin digerogoti oleh aneka krisis politik dan ekonomi yang kemudian berujung pada hancurnya kekuasaan Soekarno dan Partai Komunis menyusul percobaan kudeta 30 September 1965.62 3. Periode Orde Baru (1966-1998) Orde Baru adalah suatu masa atau era pemerintahan nasional yang dimulai dengan kepemimpinan Soeharto, melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966. Soeharto sang Jenderal Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) memiliki mandat kepemimpinan untuk mengendalikan situasi politik kenegaraan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966, dari Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.63 Proses politik dibawah Negara Orba berlangsung di luar aturan main demokrasi. Akibatnya Semua tindakan 61
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 43
62
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.45
63
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Sumber Pemikiran Islam, 2003), h. 73
47
yang penting diarahkan untuk mengamankan stabilitas termasuk mengganjar para pendukung dan memberantas para pembangkang. Pemilu pertama Orde Baru dilaksanakan pada tangal 13 Juli 1971, dengan Golkar yang keluar sebagai partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 62,8 % suara. Dari tiga partai Islam yang pernah terlibat dalam pemilu 1955, hanya NU yang berhasil meningkatkan perolehan suaranya dalam pemilu kali ini, dari 18,4 % suara menjadi 18,67 % suara. PSII dan Perti yang pada pemilu 1955 meraup 2,9 % dan 1,3 % suara, persentase suaranya melorot menjadi 2,39 % 0,70 persen suara, jauh dibawah persentasi Masyumi yang dapat mendulang suara 43% suara pada pemilu 1955. Kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 memberikan legitimasi konstitusional akan pemerintahan militer di Indonesia.64 Pada masa Orde Baru tepatnya pada tahun 1973 partai-partai Islam (NU, Partai Syarikat Islam Indonesia [PSII], Persatuan Tarbiyah Islamiyah [Perti] dan Partai Muslimin Indonesia [Parmusi] yang kemudian mengubah nama menjadi M.I [Muslimin indonesia]) lebur menjadi satu partai yakni dalam PPP.65 Langkah ini dilakukan karena adanya tekanan dari rezim penguasa yang tidak dapat ditolak.66Pada masa ini sejak pertengahan 1970-an, bersama dengan berlangsungnya proses
64
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 50
65
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h.
66
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001),
83
h. 20
48
restrukturisasi rezim Orde Baru (1973), jumlah partai politik mengalami pembatasan, yakni hanya ada tiga partai politik yang hidup di masa rezim Orde Baru diantaranya; PPP, Golkar dan PDI (yang merupakan fusi dari partai Kristen dan nasionalis sekuler; PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba) .67Fenomena ini tidak lain merupakan buah hasil dari produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Soeharto dengan produk hukumnya yakni UU No. 3 tahun 1973 tentang partai politik, yang menyederhanakan sejumlah partai politik. Untuk itulah kemudian terjadi fusi ditubuh partai politik.68 Meskipun Partai Politik Islam yang telah memfusikan kegiatan politiknya ke dalam PPP, secara kehidupan sosial kemasyarakatan program-program utamanya tetap berjalan sebagaimana halnya sebelum meleburkan diri ke dalam PPP, misalnya PSII yang tetap fokus melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bidang dakwah, sosial dan ekonomi.69 Perampingan jumlah parpol dianggap sebagai strategi paling kuat untuk melanggengkan kekuatan Orde Baru.70 Berdasarkan sejarahnya, PPP dibentuk sebagai hasil dari rekayasa pemerintah Orde Baru, untuk membentuk hegemonic partysystem, yaitu sistem partai yang
67
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 234 68
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 59 69
M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1984), h. 8 70
Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h. 277
49
hegemoni dalam kendali penguasa Orde Baru. Sebagai partai ciptaan negara, PPP terjerat kesulitan dalam membenarkan kehadirannya di hadapan para pendukungnya, bahkan di depan dirinya sendiri. Melihat fenomena demikian Kingsbury sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin, menyimpulkan bahwa negara dibawah kendali Orba pada dasarnya telah membatasi pertumbuhan politik Islam, sebagaimana pernah dipergunakan oleh Soekarno terhadap Masyumi.71 Baik PPP maupun PDI keduanya masuk dalam jaringan korporatisme Negara, sehingga fungsinya dalam perpolitikan Negara termarjinalkan. Sebab hampir semua fungsi partai politik diambil alih oleh birokrasi dari berbagai organisasi korporatis yang merupakan perpanjangan tangan Golkar. Untuk itu baik PPP yang berbasis Islam maupun PDI yang berbasis nasionalis/kerakyatan tidak pernah mampu megungguli perolehan suara Golkar pada setiap pemilu di masa Orde Baru.72 Sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 (selama kurun waktu dua puluh enam tahun atau selama lima kali pemilihan umum), rata-rata jumlah perolehan suara PPP secara nasional tidak bisa melampaui ambang batas 20 persen. Fakta nyata
ini
membuktikan secara jelas bahwa aspirasi politik umat Islam tidak selalu terkonsentrasi penyalurannya ke kubu PPP. Sepanjang sejarah politik Orde Baru, bagian terbesar aspirasi politik umat Islam tersalurkan ke kubu Golkar, partai adidaya yang didukung oleh pemerintah dan militer. Selebihnya dalam jumlah kecil, umat 71
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 53
72
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h,
84
50
Islam menyalurkan aspirasi politiknya ke kubu PPP dan PDI yang secara politis tidak bisa secara signifikan menyaingi, apalagi menggoyahkan dan mengalahkan posisi Golkar selama kurun pemerintahan refresif Orde Baru.73 Artinya pemerintah bersama Golkar tetap merupakan kekuatan politik yang dominan.74 Peristiwa yang terjadi di atas bukanlah suatu kebetulan atau dianggap natural tanpa adanya rekayasa yang dilakukan rezim penguasa, pasalnya sebelum ikut dalam Pemilu tahun 1970, Golkar sudah mendapat dukungan luar biasa dari pemerintah yang memang sejak mula kelahirannya partai tersebut didesain untuk menjadi partai pemerintah yang diproyeksikan menjadi tangan sipil Angkatan Darat dalam Pemilu. Pada tahun 1969 Amir Machmud mengeluarkan Permendagri No. 12/1969 yang melarang warga departemen memasuki partai politik, dan selanjutnya melalui surat edaran Mendagri Amair Machmud memerintahkan kepada pegawai negeri untuk menanggalkan kenggotaannya dalam parpol maupun ormas untuk menggabungkan diri ke dalam Korp Karyawan Pemerintah Dalam Negeri (Kokarmendagri) yang berafiliasi ke Golkar. Selanjutnya disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP. No. 6/1970) yang mewajibkan seluruh pegawai negeri harus setia kepada pemerintah dan harus memilih partai Golkar dalam pemilu.75 Aparat dan
73
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.123
74
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), h. 259
75
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 49
51
pejabat pemerintah sejak Pemilu 1971 secara terang-terangan bekerja untuk menjamin kemenangan Golkar.76 Peranan pemerintah berimplikasi sangat menguntungkan dan mendorong kemenangan Golkar. Disamping hal tersebut di atas, juga terdapat tindakan-tindakan aparat seperti BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) , Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Opsus (Operasi Khusus), dan Ditjen Sospol Departemen Dalam Negeri yang melakukan tugas atas nama kemantapan Pleksosbud. Aparat resmi pemerintah secara efektif melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan partai politik dan pada saat yang sama mempromosikan Golkar sebagai mesin pemerintah dalam Pemilu.77 Jadi tidak salah jika setiap kali meghadapi pemilu atau selama enam kali pemilu di masa Orde Baru suara Golkar selalu berada diambang batas partai-partai lainnya yakni PPP, dan PDI. Bahkan jika dalam kurun waktu tersebut suara PPP dan PDI digabungkan, suara keduanya tidak pernah melampaui 40 % dari total suara pemilih, sementara Golkar selalu di atas 60%.78 Pemilu 1977 merupakan masa jaya PPP sebagai parpol Islam yang ternyata tidak mampu diraih lagi pada 4 kali pemilu berikutnya selama Orde Baru. Pada masa Orde Baru perolehan suara PPP dan PDI selalu naik dan turun, tepatnya selama pemilu 1982 hingga 1997, hal ini terjadi karena selain faktor eksternal, partai tersebut 76
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 218-219
77
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 219
78
Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h.
84
52
dilanda pula konflik internal. PPP sekalipun sebagai partai Islam tidak pernah mengembangkan isu-isu agama seperti masalah syariat Islam, presiden Islam, namun PPP tetap sebagai kekuatan parpol nomor dua di Indonesia. Karena parpol nomor satunya tetap Golkar. Kondisi ini ikut memperkuat anggapan bahwa parpol nasionalis/non-agama lebih diminati rakyat dari pada parpol Islam.79 4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1999-2014) Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan telah membuka peluang yang lebih besar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia. Peluang tersebut terbukti dengan adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus berlaku bagi pemeluk Islam dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan masalah keperdataan Islam yakni di undangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian disusul dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam,80 sertifikasi dan labelisasi halal. Juga berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) tahun 1990, festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995, dan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1991, dan lain-lain. Lengsernya Presiden Soeharto kemudian digantikan oleh Presiden Bachruddin Jusuf Habibie (yang sebelumnya menjabat wakil presiden). Untuk mendapatkan
79
Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h. 277-278
80
Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 71
53
sandaran legitimasi politik, pemerintah B.J. Habibie menyelenggarakan suatu pemilihan umum pada tahun 1999. Pemilu tahun ini dinyatakan berlangsung luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan berjalan jurdil (jujur dan adil) dengan sistem multi partai. Sehingga pada pemilu 1999 ini dipenuhi oleh banyak partai politik yang terlibat, sekaligus menandakan tumbuhnya partai politik baru, terutama partai politik Islam. Dari total 48 patai peserta pemilu 19 partai adalah partai yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam.81Partai-partai berbasis Islam yang bermunculan di arena politik nasional pasca runtuhnya Orde Baru diantaranya, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru, Partai Umat Islam (PUI), Partai Keadilan (PK [sekarang PKS]), Partai Keadilan Umat (PKU), dan Partai Nahdlatul Umat (PNU), dan lain-lain.82Dari seluruh partai peserta pemilu ini, hanya 21 partai yang dapat meraih suara dan mendapat kursi di parlemen, dan menghasilkan beberapa partai besar. Yaitu, PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB (empat partai Islam terakhir berhasil mencapai electoral threshold). Partai-partai politik ini dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: partai keagamaan; partai religius; partai demokratis; partai nasional pragmatis; dan partai nasionalis demokratis. Dan secara ideologis, partai-
81
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii
82
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.124
54
partai politik tersebut dapat digolongkan menjadi dua kategori: partai Islam dan partai sekuler.83 Partai politik Islam peserta pemilu ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok partai Islam tradisional, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Suni (Solidaritas Uni Nasional Indonesia), partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU). Kedua, kelomok partai Islam modernis, yang terbagi menjadi dua faksi terpisah: konservatif dan liberal. Kelompok Islam modernis konservatif bergabung dalam partai-partai politik yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologinya. Misalnya, PPP, PBB, dan PK (sekarang PKS). Sedangkan kelompok Islam modernis liberal umumnya adalah orang-orang yang berasal dari Muhammadiyah dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kelompok ini biasanya tergabung dalam partai Golkar dan PAN.84 Banyaknya partai politik yang terlibat dalam pemilu 1999 tidak lain dari semangat demokratisasi Indonesia yang dituangkan dalam UU. No.2 tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1999, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan
83
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais (Bandung:Terazu, 2005), h. 202-203 84
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais, h. 203-204
55
Indonesia kembali ke sistem multi partai.85 Setidaknya langkah tersebut merupakan suatu kemajuan sekaligus perlawanan atas diberlakukannya UU No. 3 tahun 1973 pada masa Orde Baru memaksa dilakukannya penyederhanaan partai politik.86 Hasil perolehan suara secara nasional dan kursi di parlemen (DPR) dari lima partai besar pada pemilu 1999 adalah sebagai berikut: PDIP (35, 689, 073 suara/154 kursi), Golkar (23.741.749/120 kursi), PPP (11.329.905 suara/58 kursi), PKB (13.336.982 suara/51 kursi), dan PAN (7.528.956 suara/34 kursi).87 Secara jelas fakta memperlihatkan bahwa bagian terbesar aspirasi politik umat Islam secara dominan tidak selalu tersalurkan ke kubu partai-partai yang secara resmi berbasis Islam. Partai berbasis Islam seperti PPP, PBB dan PK (sekarang PKS) meraih suara jauh dibawah PDIP, begitupun halnya dengan partai berbasis massa Islam (PKB dan PAN) tidak mampu menandingi perolehan suara PDIP. Namun disini terdapat hal menarik, PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak (35.689.073 suara dan 153 kursi) ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarno putri menjadi presiden ke-empat. Dengan adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, sehingga menjadikan posisi PDIP kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh 85
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi, h. 60 86
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi, h. 59 87
Hasil penghitungan suara KPU 1999, dikutip dalam Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 125
56
MPR menjadi presiden adalah pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai di DPR yang hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.88 Meskipun dalam pemilu 1999 ini perolehan suara dari masing-masing partai politik Islam belum bisa diandalkan, sebagaimana disampaikan oleh Adeng Muchtar Ghazali,89 tetapi menurut penulis hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi perpolitikan umat Islam dalam kancah politik nasional, yang mana untuk kali pertama aspirasi masyarakat Islam yang direpresentasikan dalam partai politik Islam mengahantarkan tokoh politik Islam menjadi presiden Republik Indonesia ke-4, berkat koalisi partai politik Islam di Parlemen yang kemudian disebut poros tengah. Peristiwa bersejarah inilah yang barangkali sampai sekarang belum terulang kembali, (baik dalam pemilu 2004, 2009 maupun Pemilu 2014 karena dalam kurun waktu tersebut partai Politik Islam tidak pernah mendapatkan perolehan suara yang mendulang, terlebih dalam masa ini pula persatuan atau keinginan untuk menyatukan partai politik Islam menjadi satu kekuatan sebagaimana yang dipraktikan dalam poros tengah belum pernah dilakukan bahkan parpol Islam cenderung berjalan secara sendiri-sendiri) suatu kebangkitan politik Islam dengan semangat persatuan sesama partai politik Islam, sehingga mampu menjawab segala kebutuhan pokok masyarakat dan menjawab problematika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuatan besar dan
88
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 450
89
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam: Dalam Lintas Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.132
57
semangat menyatukan kembali sebagaimana halnya poros tengah semoga kedepan dapat terwujud kembali. Pada pemilu legislatif 2004 menghasilkan peta politik baru di DPR meskipun sebagaian besar dari tujuh partai terbesar adalah partai-partai yang sama seperti pada Pemilu 1999. Pada pemilu kali ini partai Golkar keluar sebagai pemenang pertama dengan merebut 128 kursi dari 550 di DPR, disusul oleh PDIP dengan perolehan kursi 109, PPP (58), PD (55), PAN (53), PKB (52), dan PKS (45) kursi.90Jadi secara akumulatif pada pemilu legislatif 2004, total perolehan suara partai Islam (PPP, PBB, PBR, PKS dan PPNU) hanya sekitar 21% saja dibandingkan sekitar 43% total perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu 1955.91 Lagi-lagi perolehan suara partai Islam tidak begitu signifikan, demikian pula dalam pemilu 2009. Berdasarkan perhitungan suara pada pemilu legislatif tahun 2009, yang diikuti 44 parpol, terdiri dari 36 partai nasionalis/non-agama, 6 parpol berazazkan Islam, PKS 7.88%, PPP 5,32%, PBB 1.79%, PBR 1.21%, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 0.4% dan partai terbuka berplatform Islam (PKB 4.94%, dan PAN 6.01%).92 Pemilu tahun 2014 menempatkan posisi partai politik Islam tidak lebih jauh dari pemilu tahun sebelumnya, bahkan di tahun ini perolehan suara partai politik
90
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi Pustaka Obor Indonesia), h. 28 91
(Jakarta: Yayasan
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, h. 30
92
Hasil penghitungan suara KPU 2009, dikutip dalam, Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h.279
58
Islam relatif menurun. Jika pada tahun sebelumnya perolehan suara partai politik Islam masuk dalam zona sepuluh besar, maka tidak demikian halnya dengan pemilu tahun 2014 yang menempatkan beberapa saja partai politik Islam yang masuk dalam lingkaran sepulu besar tersebut. Partai Bulan Bintang sebagai contohnya yang hanya memperoleh total perolehan suara nasional 1.825.750 (1,46%), sehingga dengan hasil ini PBB tidak bisa terlibat dalam kontestasi pemilihan presiden, karena yang berhak terlibat dan mengikuti kontestasi hanya partai politik yang masuk dalam zona sepuluh besar. Disisi lain partai politik Islam lainnya, PKS dan PPP, hanya meraup perolehan suara masing-masing, 8.480.204 (6,76%) dan 8.157.488 (6,53%), masih berada dibawah partai politik yang berbasis nasionalis, PDI-P, 23.681.271 (18,95%), Golkar, 18.432.312 (14,75%), Gerindra, 14.760.371 (11.81%), Demokrat, 12.728.913 (10,19%).93 Menyimak dari realita perolehan suara pada pemilu legislatif 2004,2009 dan 2104 terdapat hal yang menarik yakni tetap menurunnya minat kaum muslim Indonesia untuk menyalurkan hak konstitusionalnya terhadap partai-partai Islam, sama halnya ketika pada pemilu pertama di masa reformasi 1999, perolehan suara partai Islam tetap berada di bawah partai-partai berbasis nasionalis. Meskipun secara sosiologis demografis umat Islam Indonesia merupakan mayoritas (sekitar 87 persen), ternyata hanya sebagian kecil saja yang mendukung partai Islam. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara realitas sosiologis dan realitas politik.
93
Lampiran Keputusan KPU No. 412/Kpts/KPU/Tahun 2014
59
Realitas ini sekali lagi membuktikan runtuhnya mitos “politik kuantitas” yang menganggap mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam berbanding lurus dengan preferensi pilihannya sehingga seolah-olah secara otomatis mereka akan memilih partai Islam. Dengan demikian, pada saat pemilu, umat Islam tidak terikat denga symbol keislaman dan juga tidak lagi melihat partai Islam sebagai satu-satunya representasi keislaman dalam kehidupan politik.94
94
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, h. 30-31
60
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KABUPATEN PANDEGLANG A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang 1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang1 Menurut Staatsblad Nederlands Indie No. 81 tahun 1828, Keresidenan Banten dibagi tiga kabupaten: Kabupaten Utara yaitu Serang, Kabupaten Selatan yaitu Lebak dan Kabupaten Barat yaitu Caringin.
Kabupaten Serang dibagi lagi menjadi 11 (sebelas) kewedanaan. Kesebelas kewedanaan tersebut yaitu: Kewedanaan Serang (Kecamatan Kalodian dan Cibening), Kewedanaan Banten (Kecamatan Banten, Serang dan Nejawang), Kewedanaan Ciruas (Kecamatan Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Cilegon (Kecamatan Terate, Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Tanara (Kecamatan Tanara dan Pontang), Kewedanaan Baros (Kecamatan Regas, Ander dan Cicandi), Kewedanaan Kolelet (Kecamatan Pandeglang dan Cadasari) Kewedanaan Ciomas (Kecamatan Ciomas Barat an Ciomas Utara) dan Kewedanaan Anyer (tidak dibagi kecamatan).
Menurut sejarah, pada tahun 1089 Banten terpaksa harus menyerahkan wilayahnya yaitu Lampung kepada VOC (Batavia). Saat itu Banten dipimpin oleh 1
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
61
Sultan Muhamad menyusun strategi untuk melawan kekuasaan VOC. Sultan Muhamad menjadikan Pandeglang sebagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Kekuatan kesultanan dipencar ke pelosok Pandeglang seperti di kaki Gunung Karang dan di pantai.2
Pandeglang dalam percaturan sejarah kesultanan Banten telah terbukti merupakan daerah yang strategis. Hal ini bisa terlihat dari berbagai peninggalan sejarah yang terdapat di wilayah Pandeglang. Semua itu bukan hanya membekas pada benda yang berwujud, tapi juga membekas pada kultur kehidupan masyarakat Pandeglang.
Peninggalan sejarah kesultanan Banten masih nampak terlihat dari seni budaya yang ada di Pandeglang. Misalnya saja, Pandeglang merupakan Kota Santri dan Pandeglang terkenal dengan daerah yang historis, patriotis dan agamis. Julukan ini tidak serta merta timbul dengan sendirinya, akan tetapi merupakan bentangan sejarah telah mencatatnya.
Saat ini Pandeglang tetap merupakan wilayah yang strategis di wilayah Provinsi Banten. Sejarah kembali mencatat, Pandeglang dengan tokoh-tokoh masyarakatnya memberi andil besar dalam pembentukan Provinsi Banten. Sejarah Pandeglang mencatat juga, bahwa saat dipimpin oleh Bupati H. A. Dimyati Natakusumah, Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Swasta di 2
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
62
Kabupaten Pandeglang Bebas Biaya Sekolah dan pada tahun 2007 pembangunan sarana pendidikan dibangun dengan menggunakan rangka baja. Kembali kepada sejarah terbentuknya Kabupaten Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874, tanah-tanah gubernur kecuali Bativia dan Keresidenan Priangan telah Banten telah ditentukan, bahwa:
a. Jabatan Kliwon pada Bupati dan Patih dari Afdeling Anyer, Serang dan Keresidenan Banten dihapuskan. b. Bupati mempunyai pembantu, yaitu mantri Kabupaten dengan gaji 50 gulden. c. Kepala Distrik mempunyai gelar jabatan wedana dan Onder Distrik mempunyai jabatan Asisten Wedana.3
Berdasarkan Staatsblad 1874 NO. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874 mulai berlaku 1 April 1874 menyebutkan pembagian daerah, diantaranya Kabupaten Pandeglang dibagi 9 distrik atau kewedanaan. Pembagian ini menjadi Kewedanaan Pandeglang, Baros, Ciomas, Kolelet, Cimanuk, Caringin, Panimbang, Menes dan Cibaliung.
Menurut data tersebut di atas, Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874 telah ada pemerintahan. Lebih jelas lagi dalam ordonansi 1877 Nomor 224 tentang batasbatas keresidenan Banten, termasuk batas-batas Kabupten Pandeglang dalam tahun 1925 dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925 3
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
63
nomor XI. Maka jelas Kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri tidak di bawah penguasaan Keresidenan Banten4
Dari fakta-fakta tersebut di atas dapat diambil beberapa alternatif, yaitu pada tahun 1828 Pandeglang sudah merupakan pusat pemerintahan distrik. Pada tahun 1874 Pandeglang merupakan kabupaten. Pada tahun 1882 Pandeglang merupakan kabupaten dan distrik kewedanaan. Dan pada tahun 1925 kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri. Atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka disepakati bersama bahwa tanggal 1 April 1874 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pandeglang.
2. Letak Geografis Dan Kondisi Fisik Wilayah
Wilayah Kabupaten Pandeglang berada pada bagian Barat Daya Propinsi Banten dan secara Geografis terletak antara 6o21’ – 7o10’ Lintang Selatan (LS) dan 104o8’ – 106o11’ Bujur Timur ( BT ), dengan batas administrasinya adalah:5
-
Sebelah Utar
: Kabupaten Serang;
-
Sebelah Timur
: Kabupaten Lebak;
-
Sebelah Selatan
: Samudera Hindia;
4
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Sejarah Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ. 5
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
64
Kabupaten. Secara umum perbedaan ketinggian di Kabupaten Pandeglang cukup tajam, dengan titik tertinggi 1.778 m diatas permukaan laut (dpl) yang terdapat di Puncak Gunung Karang pada daerah bagian utara dan titik terendah terletak didaerah pantai dengan ketinggian 0 m dpl.
Daerah pegunungan pada umumnya mempunyai ketinggian ± 400 m dpl, dataran rendah bukan pantai pada umumnya memiliki ketinggian rata-rata 30 m dpl dan daerah dataran rendah pantai pada umumnya mempunyai ketinggian rata-rata 3 m dpl. Kemiringan tanah di Kabupaten Pandeglang bervariasi antara 0 – 45 %; dengan alokasi 0- 15 % areal pedataran sekitar Pantai Selatan dan pantai Selat Sunda; alokasi 15 – 25 % areal berbukit lokasi tersebar; dan alokasi 25 – 45 % areal bergunung pada bagian Tengah dan Utara.6
Di Pandeglang terdapat 6 gunung yaitu : Gunung Karang (1.778 mdpl), Gunung Pulosari (1.346 mdpl), Gunug Aseupan (1.174 mdpl), Gunug Payung (480 mdpl), Gunung Honje (620 mdpl) dan Gunung Tilu (562 mdpl).
Kabupaten Pandeglang ditinjau dari segi geologi memiliki beberapa jenis batuan yang meliputi Alluvium, Undieferentiated (bahan erupsi gunung berapi), Diocena, Piocena Sedimen, Miocena Lemistone dan Mineral Deposit. Sedangkan
6
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
66
beberapa jenis tanah yang ada di Kabupaten Pandeglang yaitu Aluvial, Grumosol, Mediteran, dan Latosol.7
Keadaan geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah secara bersama-sama akan membentuk pola-pola aliran sungi yang ada. Pola aliran sungai di Wilayah Kabupaten Pandeglang pada umumnya berbentuk dendritik. Arah aliran sungaisungai di Wilayah ini dibedakan menjadi dua, sehingga membentuk dua daerah aliran sungai yaitu daerah aliran dari arah Timur yang bermuara di Selat Sunda dan daerah aliran dari arah Utara yang bermuara di Samudera Indonesia.
Wilayah Kabupaten Pandeglang mengalir 14 sungai yang berukuran sedang sampai besar. Sungai – sungai tersebut adalah Sungai Cidano, Sungai Cibungur, Sungai Cisanggona, Sungai Ciliman, Sungai Cihonje, Sungai Cipunagara, Sungi Cisumur, Sungai Ciseureuhan, Sungai Cijaralang, Sungai Cikadongdong, Sungai Ciseukeut, Sungai Cimara, Sungai Cibaliung, dan Sungai Cicanta. Dari ke-14 sungai tersebut terbagi dalam 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS) antara lain :
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung; 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidano; 3. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cibungur; 4. Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliman; 5. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri; 7
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
67
6. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh. 3. Kependudukan Kab. Pandeglang8 Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan Sensus Penduduk pada bulan Mei 2010 adalah 1.149.610 orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 589.056 orang dan perempuan sebanyak 560.554 orang. Berdasarkan data di atas, rasio jenis kelamin pada tahun 2010 sebesar 105,08.
Sebaran penduduk per-kecamatan relatif tidak merata. Kecamatan dengan penduduk terjarang yaitu Kecamatan Sumur dengan rata-rata sebanyak 88 jiwa/Km2, sementara wilayah yang terpadat adalah Kecamatan Labuan, yaitu sebanyak 3.439 jiwa/Km2. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Pandeglang adalah 419 jiwa/Km2.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Pandeglang berdasarkan data hasil Sensus Penduduk periode 1961 – 1971 sebesar 2,71 persen, periode 1971 – 1980 sebesar 2,15 persen, periode 1980 – 1990 sebesar 2,14 persen, periode 1990 – 2000 sebesar 1,64 persen dan 2000 – 2010 sebesar1,30 persen. Menurunnya angka laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu wujud keberhasilan pembangunan bidang kependudukan yang salah satunya antara lain adalah program Keluarga Berencana (KB).
8
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
68
Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama penduduk berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan; industri; perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
Secara umum, pekerja di Kabupaten Pandeglang bekerja di sektor informal (83,67%) dan sisanya bekerja di bidang formal (16,33%) dari jumlah pekerja di atas 15 tahun berjumlah 434.746 jiwa (Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2009). Dari jumlah pekerja 434.746 jiwa, pekerja dengan status pekerjaan berusaha sendiri memiliki proporsi yang terbesar yaitu 23,67%, sedangkan pekerja dengan status pekerjaan berusaha dibantu buruh tidak tetap/ tidak dibayar memiliki proporsi terkecil (2,32%).9
9
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ
69
3. KERUCUT; Tiga buah kerucut yang tidak sama besar dan tingginya, menggambarkan tiga buah gunung dan melambangkan bahwa Daerah Kabupaten itu bergunung-gunung. 4. BADAK; Badak bercula satu menghadap ke kiri adalah salah satu binatang peninggalan jaman purba yang masih hidup hingga sekarang, dan terdapat hanya di Derah Kabupaten Pandeglang (Ujung Kulon) dengan sifat antara lain: -
Tahan Uji
-
Waspada dan tabah
-
Menjadi kebanggaan masyarakat.
5. PADI; Setangkai padi dengan tiga puluh tujuh butirnya melambangkan sejumlah desa di Daerah Kabupaten Pandeglang sebnayak seratus tiga puluh tujuh desa. 6. KAPAS; Setangkai kapas dengan enam kuntum bunganya yang mekar melambangkan sejumlah Kecamatan yang ada di Daerah Kabupaten Pandeglang sebanyak enam belas Kecamatan. 7. MELATI; Sekuntum bunga melati berdaun bunga empat helai berwarna putih, melambangkan jumlah kewedanaan di Daerah Kabupaten Pandeglang sebanyak empat kewedanaan. 8. GARIS BEROMBAK; Dua garis berombak yang tidak sama panjangnya, masingmasing melambangkan lauta yang mengelilingi sebagian besar Daerah Kabupaten Pandeglang dan sungai-sungai yang terdapat di dalamnya. Sementara untuk arti dari warna lambangg itu sendiri yakni:
71
1. Kuning emas, melambangkan Keagungan dan kewibawaan; 2. Putih, melambangkan kesucian; 3. Biru muda, melambangkan kesetiaan; 4. Hijau tua, melambangkan kesuburan; 5. Abu-abu kehitam-hitaman, melambangkan ketabahan. 5. Pendidikan di Kab. Pandeglang11 Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah cukup tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2) maka melalui jalur pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk Indonesia. Peningkatan SDM saat ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluasluasnya kepada penduduk untuk mengecap pendidikan terutama kelompok usia sekolah (7-24 tahun). Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Jumlah sekolah di Kabupaten Pandeglang, dimulai dari SD sederajat pada tahun ajaran 2013/2014 sebanyak 1.031 unit. Jumlah sekolah SMP sederajat tahun ajaran 2013/2014 meningkat 317 unit dari 306. Sementara jumlah sekolah SMA sederajat pada tahun ajaran 2013/2014 sebanyak 183 unit.
11
Website Resmi Kab. Pandeglang, “Profil Kab. Pandeglang”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ.
72
Rasio murid/guru SD sederajat pada tahun ajaran 2013/2014 sebesar 34,34. Ini berarti saat ini 1 orang guru menangani sekitar 34-35 siswa. Untuk SMP sederajat rasio murid/guru sebesar 16,55, sementara rasio murid/guru SMA sederajat pada tahun ajaran 2013/2014 sebesar 10,41. Pada Tahun 2009 angka melek huruf penduduk Pandeglang sebesar 94,20 % menurun bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 96,5% dan tahun 2007 sebesar 95,61 %. Indikator lain untuk mengukur tingkat pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (RLS). Rata-rata lama sekolah menunjukan berapa lama penduduk pandeglang mampu menyekolahkan anaknya. Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Pandeglang Tahun 2009 mencapai 6,44 tahun, Ini berarti penduduk Pandeglang baru mampu untuk sekolah sampai tingkat SLTP kelas 1. Selain indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, gambaran kualitas SDM Pandeglang dapat dilihat juga dari pendidikan yang berhasil ditamatkan. Sampai tahun 2008 rata-rata penduduk Pandeglang yang tidak/belum tamat SD/MI sebanyak 31.70%, menamatkan tingkat SD sederajat sebesar 39,77%, tingkat SLTP sederajat 15,45%, SLTA/SMK 9,84%, Diploma/Sarjana 3,24%. Untuk mengetahui perkembangan program pendidikan dari sisi masyarakat, dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka ini menunjukan persentase anak usia sekolah yang masih bersekolah pada usia sekolah di setiap jenjang. Pada tahun 2009 APS untuk tingkat SD sederajat sebesar 96,36 %, tingkat SLTP sederajat sebesar 72,09 %, tingkat SLTA sederajat sebesar 46,96 %. Selain APS, untuk melihat
73
partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM). APM merupakan persentase penduduk usia sekolah tertentu yang bersekolah pada jenjang sekolah tersebut terhadap jumlah penduduk usia sekolah dimaksud, sedangkan APK adalah persentase penduduk yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk usia pendidikan tertentu. APM usia SD (7-12 tahun) sebesar 91,51 %, usia SLTP (13-15 tahun) sebesar 59,68 %, usia SMA (16-18) sebesar 32,09 %. Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya fasilitas pendidikan yang memadai, fasilitas ini meliputi jumlah gedung dan tenaga pengajar. Pada tahun 2009 rasio jumlah gedung dan tenaga pengajar terhadap jumlah murid sudah cukup memadai, dimana untuk tingkat SD sederajat rasio guru murid adalah 15,93, untuk SLTP sederajat 12,23 dan untuk SLTA sederajat telah mencapai angka 9,78. Sementara untuk rasio murid sekolah pada tahun 2009 SD sederajat mencapai 186, SLTP sederajat 269 dan untuk SLTA sederajat mencapai 238.12 7. Keagamaan di Kab. Pandeglang Kebebasan beragama merupakan hak dasar setiap warga negara yang di jamin secara penuh oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 29 yang menegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
12
RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025,h. 57-59.
74
Kabupaten Pandeglang secara kultural dan historis adalah masyarakat yang agamis. Hal ini ditandai dengan tingginya semangat untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran agama dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di Pandeglang. Kondusifnya suasana kehidupan beragama di Pandeglang ini tercermin dari harmonisnya hubungan antar pemeluk agama yang ada. Jumlah sarana dan peribadatan berdasarkan catatan Kantor Departemen Agama Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013, sebagaimana dikutip dalam Pandeglang Dalam Angka,13 terdapat 1.682 buah Masjid, 2.219 Mushola/Langgar dan 2 greja. Untuk meningkatkan pendidikan keagamaan khususnya bagi anak-anak, pada tahun 2009 sudah beroperasi 905 Madrasah Diniyah dengan 2.715 ruang kelas dan 3.626 guru. Sedangkan komposisi penganut agama di Kabupaten Pandeglang didominasi oleh penganut agama Islam (mayoritas beragama Islam), sedangkan sebagian kecil lainnya adalah penganut agama–agama lain yang di akui oleh negara.14 B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang 1. Hasil Perolehan Suara Parpol Pada Pemilu Legislatif 2014 Hasil perolehan suara pada pemilu tahun 2014 merupakan ancuan bagaimana kita mengetahui basis partai politik yang berada di kabupaten pandeglang selama periode tersebut, dan seberapa besar pula porsentase dari setiap partai khususnya partai politik Islam sebagaimana fokus dari kajian ini. 13
Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Pandeglang, Pandeglang Dalam Angka 2014 (Pandeglang: CV. Mutiara Grafika, 2014), hal. 102. 14
RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025, h. 61-62.
75
Gambar. 115
NO
NAMA PARTAI POLITIK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PARTAI NASDEM PARTAI PKB PARTAI PKS PARTAI PDI PERJUANGAN PARTAI GOLKAR PARTAI GERINDRA PARTAI DEMOKRAT PARTAI PAN PARTAI PPP PARTAI HANURA PARTAI PBB PARTAI PKPI JUMLAH
DAPIL 1 9.629 3.913 10.025 11.831 17.998 11.720 14.268 2.824 15.921 5.523 2.863 1.817 108.332
DAPIL 2 5.661 4.509 5.241 12.554 12.481 13.113 6.425 2.204 10.555 3.840 3.080 993 80.656
PEOLEHA SUARA SAH JUMLAH SUARA SAH DAPIL 3 DAPIL 4 DAPIL 5 DAPIL 6 6.249 6.623 11.822 14.246 54.230 8.748 11.917 6.024 16.718 51.829 6.556 7.282 11.916 7.932 48.952 10.392 6.765 7.190 11.608 60.340 10.699 11.070 14.017 20.229 86.494 12.824 16.288 16.254 19.568 89.767 9.088 7.849 9.501 7.778 54.909 9.411 2.881 5.816 4.128 27.264 7.996 8.742 9.664 6.478 59.326 8.677 6.750 4.775 3.449 33.064 9.735 8.582 2.036 5.097 31.392 430 896 228 420 4.784 100.775 95.644 99.243 117.701 602.351
% 9,00% 8,60% 8,13% 10,02% 14,36% 14,90% 9,12% 4,53% 9,85% 5,49% 5,21% 0,79% 100%
Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara sah partai politik dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Pandeglang Tahun 2014, masing-masing partai peserta pemilu memperoleh suara: Nasdem, 54.230 (9.00%), Gerindra, 89.767 (14.90%), Demokrat, 54.909 (9.12%), PDI-P, 60.340 (10.02%), Hanura, 33.064 (4.49%), PKIP, 4.784 (0.79%), Golkar, 86.494 (14.36%), PPP, 59.326 (9.85%), PKS, 48.952 (8.13%), PBB, 31.392 (5.21%), PKB, 51.826 (8.60%), PAN, 27.264 (4.53%). Dari hasil perolehan suara masing-masing partai tersebut diatas jika dilihat dari porsentase antara perolehan suara parpol yang berideologi nasionalis (Nasdem,
15
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
76
Demokrat, PDI-P, Golkar, PKPI, Gerindra ) dengan yang berideologi Islam (PPP, PBB, PKS ) dan partai yang berbasis massa Islam (PKB, PAN), maka perbandingannya kurang lebih 65% (Partai Nasionalis) berbanding 35% (Partai Islam dan berbasis masa Islam). Demikian dapat disimpulkan berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu legislatif, dominasi parpol di Kab. Pandeglang masih berada dibawah bayang-bayang partai politik berideologi nasionalis 2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang Lembaga legislatif tingkat daerah atau DPRD merupakan lembaga pembentuk peraturan daerah (perda), atau sejenis dengan DPR sebagai lembaga pembentuk UU pada tingkat pusat. Hanya saja penyebutan dan ruang lingkupnya saja yang berbeda. Pada tingkat pusat lembaga legislasinya disebut DPR, sementara tingkat daerah DPRD, semuanya sama-sama memiliki fungsi; anggaran, pengawasan, dan legislasi (pembuat peraturan). Pada tingkat pusat selain DPR lembaga lain sebagai pembentuk UU terdiri atas: Presiden, dan DPD, sementara pada tingkat daerah lembaga pembentuk perda terdiri atas Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)16, yang semuanya itu dipilih melalui pemilihan umum.17
16
Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang dan Perda (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
144. 17
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 265.
77
Gambar. 218
NO
NAMA PARTAI POLITIK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PARTAI NASDEM PARTAI PKB PARTAI PKS PARTAI PDI PERJUANGAN PARTAI GOLKAR PARTAI GERINDRA PARTAI DEMOKRAT PARTAI PAN PARTAI PPP PARTAI HANURA PARTAI PBB PARTAI PKPI JUMLAH
PEOLEHA SUARA SAH JUMLAH PEROLEHAN KURSI DAPIL 1 DAPIL 2 DAPIL 3 DAPIL 4 DAPIL 5 DAPIL 6 1 1 _ _ 1 1 4 _ 1 1 1 1 1 5 1 1 _ 1 1 1 5 1 1 1 _ 1 1 5 2 1 1 1 1 2 8 1 1 1 1 1 2 7 1 1 1 1 1 1 6 1 _ 1 _ _ _ 1 1 1 _ 1 1 _ 5 1 _ 1 _ _ _ 2 _ _ 1 1 _ _ 2 _ _ _ _ _ _ _ 10 8 8 7 8 9 50
Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas, jumlah kursi parpol di DPRD Kab. Pandeglang, masing-masing parpol mendapatkan jumlah perolehan kursi: PPP (5 kursi), PBB (2 kursi), PKS (5 kursi), PKB (5 kursi), PAN (1 kursi), Golkar (8 kursi), Gerindra (7 kursi), Nasdem (4 kursi), Hanura (2 kursi), Demokrat (6 kursi), PDIP (5 kursi) dan PKPI (0 kursi).19
18
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
19
Hasil Rekapitulasi KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014.
78
Informasi yang dihimpun dari media informasi di banten, mengenai jumlah kursi di DPRD kab. Pandeglang periode 2014-2019 sebagai berikut:20
Golkar, 8 kursi ( dari 6 kursi), Gerindra, 7 kursi (dari 2 kursi), Demokrat, 6 kursi (dari 7 kursi), PDIP, 5 kursi (dari 6 kursi), PKS, 5 kursi (dari 5 kursi/tetap), PKB, 5 kursi (dari 3 kursi), PAN, 1 kursi (dari 3 kursi), PPP, 5 kursi (dari 6 kursi), Nasdem, 4 kursi, Hanura, 2 kursi (dari 3 kursi), PBB, 2 kursi (dari 5 kursi), tahun 2009.
Dari jumlah perolehan kursi legislatif diatas apabila total perolehan kursi dari jumlah kursi DPRD sejumlah 50 kursi dibagi menjadi dua, yakni antara perolehan kursi partai nasionalis (Golkar, PDI-P, Gerindra, Demokrat, Nasdem, Hanura, PKIP) dan partai Islam maupun yang berbasis massa Islam (PPP, PBB, PKS, PAN, PKB) maka, Partai Nasionalis mendapatkan perolehan kursi 32 kursi dan Partai Islam dan atau partai yang berbasis masa Islam medapatkan perolehan kursi 18. Demikian dapat disimpulkan dominasi partai politik di lembaga legislatif daerah (DPRD Kab. Pandeglang), didominasi oleh fraksi dari partai politik nasionalis.
20
Bantenpos.co, “Susunan Kursi DPRD Pandeglang 2014-2019”, diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://bantenpos.co/arsip/2014/08/susunan-kursi-dprd-pandeglang-2014-2019/.
79
BAB IV KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH MAYORITAS MUSLIM PADA PEMILU TAHUN 2014 Partai
politik
merupakan
sarana
bagi
terselenggaranya
pelaksanaan
demokrasi. Melalui partai politik para kandidat/calon yang hendak menduduki jabatan politik di ranah legislatif maupun eksekutif bisa melanggengkan misi mulianya yakni sebagai perwakilan rakyat. Partai politik juga memiliki peran besar atas kebijakan yang diambil oleh masing-masing kadernya yang menduduki kursi DPR. Segala kebijakan yang hendak diputuskan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan partai politiknya, dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip/ideologi partai. Begitu besarnya peran partai politik sehingga timbul beberapa sindiran yang menyatakan bahwa sejatinya mereka yang berada di kursi DPR bukanlah perwakilan rakyat melainkan perwakilan partai, maka untuk itu nomenklatur yang tepat untuk digunakanpun bukan DPR melainkan DPP atau dewan perwakilan partai. Peran partai politik sangat besar dalam setiap membuat kebijakan politik. Sebagaimana yang diketahui bahwa partai politik yang ada memiliki beberapa parian yakni partai yang berideologi nasionalis dan partai yang berideologi Islam. Setiap wakil rakyat dari fraksi partai nasionalis maka misi yang dibawanyapun berdasarkan kenasionalisannya atau kenetralannya dan cenderung sekuler. Sementara fraksi dari golongan
partai
politik
yang
berideologi
Islam
misinyapun
beratasnamakan atau disesuaikan dengan nilai-nilai transendental. 80
sama
yakni
Sebagian besar warga indonesia adalah beragama Islam, namun kerapkali partai Islam kalah dalam setiap pemilu dilaksanakan, dengan demikian perwakilan dari partai Islam di DPR pun sedikit, hal itu memberi dampak aspirasi dari masyrakat yang notabenenya mayoritas beragama Islam kurang tersalurkan, dan selebihnya kebijakan-kebijakan dan prodak hukum yang dihasilkan akan jauh dari nilai-nilai keislaman yang memang adalah nilai yang sesungguhnya hidup dalam bagian terbesar warga Negara Indonesia. Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian beserta analisisnya terkait kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang, yang penulis pun menyadari bahwa kerapkali pada setiap pemilu dilaksanakan suara partai politik Islam di daerah tersebut tidak begitu menggaung. Untuk itu karena keawaman penulis maka penulis bermaksud mencari beberapa indikator yang mempengaruhi, sehingga dengan demikian dapat dipecahkan dan setelah itu semoga ada solusi yang bisa memecahkan lika-likunya. A. Partai Persatuan Pembangunan 1. Ideologi Partai PPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), merupakan partai yang sampai saat ini konsisten menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sebutan lain menyatakan bahwa
81
partai ini adalah partai warisan ulama, yang dibangun sebagai bentuk kepedulian atas perpolitikan bangsa.21 PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984. Pada Muktamar I PPP tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998. Walau PPP kembali menjadikan Islam sebagai asas, PPP tetap berkomitmen untuk mendukung keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 AD PPP yang ditetapkan dalam Muktamar VII Bandung 2011 bahwa: “Tujuan PPP adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah rida Allah Subhanahu Wata’ala.”22
21
Wawancara Pribadi dengan Taufiq (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik DPC PPP Kab. Pandeglang). Pandeglang, 20 Agustus 2015. 22
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “ PPP Dalam Lintas Sejarah”, diakses pada 15 September 2015 dari http://ppp.or.id/page/ppp-dalam-lintasan-sejarah/index/.
82
2. Visi dan Misi Partai PPP Visi PPP, berdasarkan sejarah perjuangan dan jati dirinya, maka visi PPP adalah: “Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan Negara Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta menjunjung tinggi harkatmartabat kemanusiaan dan keadilan sosial yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman”.23 Masyarakat madani yang dicita-citakan itu bisa dijelaskan dalam karakteristik masyarakat Indonesia antara lain: 1. Kehidupan beragama yang rukun, saling menghormati, bergairah, bermakna, dan inspiratif. 2. Kehidupan masyarakat yang tertib, yang ditandai dengan tegaknya hukum dan keadilan. 3. Kehidupan sosial-budaya yang pluralis, santun, dan berkepribadian. 4. Kehidupan berpolitik yang demokratis, aspiratif, dan partisipatif dalam mewujudkan good governance yang bebas KKN. 5. Kehidupan sosial ekonomi yang adil, makmur, dan sejahtera lahir batin. 6. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, aman, dan damai dalam persahabatan antar bangsa menuju tatanan dunia baru yang berkeadilan. 23
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14 September 2015 dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/.
83
Misi PPP (Khidmat Perjuangan). Adapun maksud Khidmat Perjuangan tersebut dimaksudkan, antara lain:24 1. PPP berkhidmat untuk berjuang dalam mewujudkan dan membina manusia dan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, meningkatkan mutu kehidupan beragama, mengembangkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Dengan demikian PPP mencegah berkembangnya faham-faham atheisme, komunisme/marxisme/leninisme, serta sekularisme, dan pendangkalan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia. 2. PPP berkhidmat untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama terutama nilai-nilai ajaran Islam, dengan mengembangkan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang berkembangnya neo-feodalisme, faham-faham yang melecehkan martabat manusia, proses dehumanisasi, diskriminasi, dan budaya kekerasan. 3. PPP berkhidmat untuk berjuang memelihara rasa aman, mempertahankan dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengembangkan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Dengan demikian PPP mencegah dan menentang
proses
disintegrasi,
perpecahan
dan
konflik
sosial
yang
membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang ber-bhineka tunggal mika.
24
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14 September 2015 dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/.
84
4. PPP berkhidmat untuk berjuang melaksanakan dan mengembangkan kehidupan politik yang mencerminkan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sejati dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian PPP mencegah dan menentang setiap bentuk otoritarianisme, fasisme, kediktatoran, hegemoni, serta kesewenang-wenangan yang mendzalimi rakyat. 5. PPP berkhidmat untuk memperjuangkan berbagai upaya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridlai oleh Allah SWT, baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Dengan demikian PPP mencegah berbagai bentuk kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, pola kehidupan yang konsumeristis, materialistis, permisif, dan hedonistis di tengah-tengah kehidupan rakyat banyak yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. 3. Kekuatan Partai PPP Jika menilai mengenai kekuatan suatu partai politik, apakah benar-benar memiliki power yang besar atau justru sebaliknya hal yang sangat mudah untuk mendapatkan sumber informasi yang akurat adalah dilihat dari perolehan suara pada setiap pemilu diselenggarakan. Sebagaimana data hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu 2014 yang didapatkan dari Komisi Paemilihan Umum Daerah (KPUD) Kab. Pandeglang, perolehan suara PPP tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan partai yang memiliki plat form nasionalis. Dari hasil rekapitulasi suara tersebut jumlah suara partai PPP itu sendiri hanya mencapai jumlah suara sebesar
85
59.326 atau 9.85%, masih jauh di bawah partai Gerindra, 89.767 (14.90%), Golkar, 86.494 (14.36%), PDI-P, 60.340 (10.02%), bahkan hampir berselisihan dengan partai Demokrat 54.909 (9.12%, yang padahal dimasa itu partai tersebut sedang mengalami degredasi karena ada beberapa kadernya yang terjerat skandal korupsi.25 Berdasarkan hasil rekapitulasi pada pemilu 2014 tersebut dapat disimpulkan partai PPP di daerah Kab. Pandeglang yang notabene penduduknya beragama Islam tidak memberikan dampak signifikan bagi tingginya tingkat perolehan suara partai tersebut hal itu tentunya menimbulkan banyak pertanyaan para pemerhati politik Islam. Kenapa bisa demikian, apakah faktor apatisme masyarakat terhadap partai Islam, atau memang ada kendala lain yang sehingga perolehan suara parpol Islam tidak mendulang. Keterangan dari salah seorang pengurus DPC partai PPP barangkali bisa memberikan gambaran dan pencerahan atas pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari pengurus parpol tersebut menjelaskan bahwa
pada prinsipnya beliau pun mengakui kondisi partai PPP
sekarang ini berada dalam titik kelemahan, baik dari prolehan suara yang didapat, maupun dari struktur atau kesolidan internal kepengurusan partai itu sendiri.
25
TEMPO.CO, “Anas dan 466 Politikus yang Dijerat Kasus Korupsi”, diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/063609068/anas-dan-466-politikus-yangdijerat-kasus-korupsi.
86
Menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi elektabilitas partai PPP menurun diantaranya:26 1. Menurunnya perolehan suara partai PPP tidak lain faktor utamanya adalah dari internal partai itu sendiri (pengurus partai), yang belum memaksimalkan kinerjanya yang telah disepakati dalam program kerja. Jadi program kerja yang sudah ada tidak dimaksimalkan, terutama yang memiliki preferensi tinggi, misalkan program kerja yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, baik bersifat sosial maupun keagamaan, baik menifestasinya dalam bentuk bakti sosial maupun kegiatan pengajian-pengajian keagamaan yang langsung dimotori oleh PPP. karena agenda tersebut tidak berjalan dengan baik maka dampaknya dapat dirasakan sendiri, padahal jika dimaksimalkan tentu melalui kegiatan tersebut dapat menarik simpati masyarakat terhadap partai, masyarakat pun bisa merasakan bentuk nyata dari kehadiran partai Islam dilingkungannya. Karena jarang tersentuh alhasil masyarakat pun bertanya-tanya dan lambat laun mengarah ke dalam kondisi yang meriskankan dan menyebabkan masyarakat tabu dengan partai Islam, apatis dan pada akhirnya mereka tidak bisa membedakan mana partai Islam dan mana partai yang bukan berlandaskan Islam. Justru faktor tersebutlah yang barangkali menjadi faktor partai Islam melemah dan partai nasionalis mendulang dalam porsentase perolehan suaranya, karena disaat partai PPP 26
Wawancara Pribadi dengan Taufiq (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik DPC PPP Kab. Pandeglang). Pandeglang, 20 Agustus 2015.
87
tidak begitu menyentuh terhadap geresroot disisilain partai nasionalis memainkan perannya dengan mengambil simpati masyarakat dengan program kerja dan aksi nyatanya. 2. Tradisi kaderisasi lambat laun mulai memudar, karena untuk konteks sekarang ini dalam setiap pencalonan pada pemilu baik legislatif atau kepala daerah partai tidak memfokuskan kepada kader yang memang benar-benar didikan partai (kader militan), melainkan siapa saja yang memiliki potensi, memiliki jaringan dan berlatarbelakang ekonomi mapan. Hal itu memang tidak tidak selamanya buruk, namun kerapkali timbul kecemburuan sosial, yang dampaknya adalah solidaritas terganggu. Selain itu masyarakat sekarang mulai menunjukkan titik kejenuhan dengan pola pergerakan partai Islam yang tidak terlihat secara signifikan kerjanya dimata masyarakat, bahkan masyarakat sendiri menganggap tidak ada perbedaan antara partai Islam dengan partai Nasionalis, yakni pada akhirnya semua bermuara pada perebutan kursi kekuasaan, bahkan anggapan masyarakat Islam yang dijadikan ideologi partai hanya sebagai simbol yang digunakan untuk
menarik simpati
masyarakat saja selebihnya tidak. Anggapan itu diperkuat dengan beberapa kasus pidana yang dialami oleh figur terkemuka partai politik Islam.27
27
Wawancara Pribadi dengan KH. Ujang Rafiuddin (Tokoh Masyarakat Kec. Majasari), Pandeglang, 01 Oktober 2015.
88
B. Partai Keadilan Sejahtera 1. Ideologi Partai PKS Partai PKS merupakan salah satu partai yang sampai saat ini konsisten dengan menajadikan Islam sebagai asas atau ideologi partai, selain tetap mengamalkan nilainilai pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Partai ini dibanguna atas dasar misi berdakwah, karena dakwah dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, baik penerapannya maupun dalam penyampaiannya, baik di bidang sosisal, keagamaan, budaya, politik dan lainnya. Salah satu bukti atau tindakan nayata bahwa partai ini adalah partai Islam, yakni partai konsisten mengadakan diskusi kegamaan, baik dalam bentuk pengajian maupun liko (diskusi) sesama kader, dan ini merupakan bagian dari program kerja partai, yang memiliki tujuan untuk membina umat. Selain itupula partai selalu hadir dan cepat tanggap dalam setiap terjadi musibah atau bencana alam, sehingga manfaat dari aktifitas partai dan kehadirannya dirasakan oleh masyarakat.28
Partai PKS merupakan partai politik yang besar dan disegani keberadaannya, baik
karena kiprahnya sebagai pengawal berjalannya ketatanegaraan Indonesia,
maupun sebagai pengawal atas berjalannya sistem demokrasi di negeri ini. Hal itu 28
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27 Agustus 2015.
89
dibuktikan dengan tetap terlibat dalam proses berjalannya pelaksanaan pemerintahan, dan dengan adanya beberapa kader yang berada dalam lingkungan eksekutif maupun legislatif sangat memberikan banyak kontribusi baik sebagai pelaksana maupun sebagai oposisi. Partai PKS merupakan partai yang sangat
menjunjung tinggi sistem
perkaderan di dalam tubuh partai, baik dalam tingkat pusat maupun daerah. Hal ini dilakukan untuk memelihara nilai-nilai partai tetap terjaga dan agar terciptanya kaderkader yang berkualitas. Partai PKS adalah partai yang lebih mengedepanknan kader dalam setiap bursa
pencalonan anggota legislatif maupun eksekutif, daripada
mengusung orang atau tokoh yang memiliki kualitas, elektabilitas, dan kekuatan masa untuk bersiteru dalam proses pemilu dengan atas nama partai PKS. Langkah ini merupakan salah satu strategi partai demi menjaga sistem kaderisasi partai tetap berjalan. Sehingga pertimbangannya menang dan kalah tetap mengedepankan kader.29 Berdasarkan sejarah partai PKS merupakan partai yang kelahirannya melalui gerakan sosial bernama tarbiyah yang kemudian menjadi partai politik. Basis sosial partai ini adalah kelompok muslim terdidik, muda dan kelas menengah kota. Diantara partai-partai politik Islam lainnya, PKS seringkali melakukan aksi-aksi ekstrainstitusional untuk menarik perhatian publik. PKS tampil sebagai partai kader yang menerapkan standar ketat dalam proses rekrutmen dan pelatihan anggota-anggotanya. 29
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27 Agustus 2015.
90
PKS juga bergerak melalui dakwah kampus seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), sebagai bagian dari strategi dalam rangka memperluas jaringan, rekrutmen, organisasi dan sebagai wadah mahasiswa baik dalam berdakwah maupun dalam menyuarakan suara ketidak puasan atas kebijakakn publik. Sebagai partai Islam PKS aktif menggalang konstituennya secara berkelanjutan, bukan hanya pada waktu pemilu, dan dibandingkan partai lain PKS memiliki rekam jejak dan reputasi baik dalam menggalang kerja-kerja sosial.30 2. Visi dan Misi Partai PKS Sesuai dengan ideologi PKS yang mengedepankan Islam sebagai sistem hidup yang bersifat universal. PKS memiliki cita-cita menjadikan Indonesia sebagai masyarakat madani atau sering disebut sebagai baldatun thayyibun wa rabbun ghaffur. Sehingga untuk mewujudkannya PKS memilikii visi-misi dan perjuangan kepartaian yang mencerminkan keinginan untuk tetap eksis. Dalam visi PKS terbagi dua yakni visi khsusus dan visi umum. Visi khusus PKS adalah partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Sedangkan visi umumnya yakni, sebagai partai dakwah penegak keadailan dan kesejahteraan dalam bingkaian persatua umat dan bangsa.
30
Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 5.
91
Sedangkan misi partai PKS adalah; pertama, menyebarluaskan dakwah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anasir taghyir; kedua, mengembangkan institusi-institusi masyarakat yang Islami; ketiga, membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif, dan membawa rahmat; keempat, membangun kesadaran politik dan advokasi masyarakat; kelima, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum Islam; keenam, aktif melakukan komunikasi, silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat untuk terwujudnya Ukhwah Islamiyah dan Wihdatul Ummat dengan berbagai komponen; ketujuh, ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedzaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas. Visi dan Misi PKS sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk kebangkitan Islam. oleh karena itu, PKS sangat membutuhkan dakwah sebagai instrumen utama untuk melakukan reislamisasi masyarakat dan mengembalikan umata Islam Indonesia pada identitas dan nilai-nilai agama.31 3. Kekuatan Partai PKS Dilihat dari hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu 2014 yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kab. Pandeglang, jumlah suara partai PKS mencapai 48.952 (8.13%), dengan 5 (lima) perolehan jumlah kursi di
31
Burhanudin Muhtadi, Dilema PKS Anatara Suara dan Syariah (Jakarta: Gramedia, 2012),
h. 189.
92
DPRD dari total jumlah kursi 50 yang diperebutkan di DPRD. Jumlah ini sama dengan PPP (5 Kursi), PKB (5 Kursi), dan masih dibawah Golkar (8 Kursi), Gerindra (7 Kursi), dan demokrat (6 Kursi).32 Berdasarkan keterangan yang dihimpuna dari sekretaris jendaral DPD PKS mengenai tingkat kekuatan partai Islam khususnya PKS beliau memaparkan, pada dasarnya untuk setiap pemilu yang diadakan di Pandeglang itu bukan lagi persoalan persaingan ideologi partai politik, melainkan lebih kepada persaingan antar figur para kandidat peserta pemilu. Besar tidaknya perolehan suara partai, faktor partai politik tidak begitu signifikan, justru untuk konteks sekarang yang lebih berpengaruh dan yang memiliki peranan penting atas perolehan suara lebih kepada faktor calon. Jadi kecendrungan konstituen tidak lagi mengarah kepada seberapa kuat dan seberapa religiuskah partai tersebut, melainkan lebih kepada seberapa kuat tingkat eksistensi, pengaruh dan elektabilitas calon peserta pemilu. Masyarakat pada umumnya untuk menentukan pilihannya lebih melihat dari faktor calon, dari partai manapun ia diusung.33 Pada periode sebelum tahun 2009 persaingan ideologi memang pernah memainkan ritme pemilu di Kab. Pandeglang, namun lambat laun mulai mengkikis. Dimulai dari tahun 2009 persaingan ideologi mulai tidak terlihat seperti halnya periode sebelumnya, meskipun persaingan yang lebih menitik beratkan kepada calon 32
Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara oleh KPUD Kab. Pandeglang Pada Pemilu 2014
33
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27 Agustus 2015.
93
mulai menguat, namun pengaruh ideologi pada pemilu tahun ini juga tidak bisa dianggap sepele. Barulah pada pemilu 2014 persaingan antar kekuatan ideologi benar-benar kurang terlihat, melainkan persaingan figur calon yang memiliki peranan penting disini.34 Untuk konteks partai PKS sendiri sebenarnya bisa membongkar perolehan suara, asal saja partai PKS berani mengusung figur yang sudah matang dan memiliki kekuatan personal, namun hal itu tidak berlaku bagi partai PKS karena PKS lebih menekankan sistem kaderisasi. Siapapun calon dan seberapa kuat kandidat tersebut, PKS tetap mengutamakan kader yang itu adalah benar-benar kader PKS. C. Partai Bulan Bintang 1. Ideologi Partai Bulan Bintang Partai Bulan Bintang merupakan partai politik yang kemunculannya tidak lain didasarkan atas dalil-dalil Al-Quran. Asas Islam bagi Partai Bulan Bintang (PBB) memiliki makna bahwa partai ini meyakini dengan sungguh-sungguh kebenaran AlQur’an sebagai agama Allah SWT. yang diturunkan melalui manusia mulia Nabi Muhammad SAW. untuk mengeluarkan umat manusia dari belenggu kekafiran menuju jalan keimanan.35
34
Wawancara Pribadi dengan. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang 27 Agustus 2015. 35
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 2010), h. 64.
94
Asas yang diemban adalah Islam, mengikuti Partai Masyumi tempo dulu sebagai salah satu partai politik Islam di Indonesia yang berperan pada masa Demokrasi Parlementer. PBB adalah partai yang berasaskan Islam dan meyakini negara haruslah berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Langkah untuk merealisasikan tekad tersebut diyakini harus melalui parlemen. 2. Visi dan Misi Partai Bulan Bintang (PBB) Partai Bulan Bintang merupakan partai yang berasaskan Islam, dengan visinya yakni terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami. Dan misi partai ini adalah membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beriman dan bertakwa, mandiri, berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dam turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagaimana dikatakan pula oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa Visi-Misi partai ini adalah, bertujuan menerapkan alinea keempat UUD 1945 berdasarkan etika dan moral Islam. Islam yang Universal dan tidak ditolak oleh siapapun kecuali orang yang apriori.36 Tujuan Umum dari kehadiran partai ini adalah terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 dan berkembangnya kehidupan demokrasi
36
dengan menghormati kedaulatan rakyat dalam Negara
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah? (Jakarta: Alvabet, 1999),
h 54.
95
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. sedangkan tujuan khusus didirikannya partai ini adalah mewujudkan tegaknya syariat Islam.37 Perjuangan Partai Bulan Bintang untuk menegakkan syariat Islam oleh negara dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga negara khususnya lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagai gerakan struktural dan melalui proses transformasi, informasi dan pengetahuan serta pemberdayaan masyarakat sebagai gerakan budaya. Tujuan pendirian partai politik secara struktural adalah membentuk pemerintah apabila mendapat dukungan masyarakat melalui pemilihan umum, oleh karena itu demi menegakkan syariat Islam oleh negara tahapan perjuangan Partai Bulan Bintang adalah, mengikuti pemilihan umum, memenangkan pemilihlan umum, dan membentuk pemerintahan.38 3. Kekuatan Partai PBB Pada pemilu 2014 jumlah suara PBB di Kab. Pandeglang berdasarkan hasil rekapitulasi KPUD setempat mencapai 31.392 (5.21%), dengan perolehan jumlah kursi di DPRD sebanyak 2 kursi. Perolehan suara ini merupakan hasil terkecil jika dibandingkan dengan perolehan suara partai Islam lainnta yakni PPP, 59.326 (9.85%) dengan perolehan 5 kursi di DPRD, dan PKS, 48.952 (8.13%) dengan perolehan 5 kursi di DPRD. Dengan demikian kekuatan partai PBB di Kab. Pandeglang sama 37
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar II Partai Bualan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 2005), h. 26. 38
Bambang Setyo, Simpul-simpul Perjuangan Islam di Indonesia: Sejarah Kebangkitan dan Kiprah Partai Bulan Bintang (Bandung: 2001), h. 4.
96
halnya dengan partai Islam lainnya yakni tidak begitu signifikan apabila dibandingkan dengan kekuatan partai nasionalis. Jika dianalisa secara keseluruhan faktor yang mempengaruhi merosotnya perolehan suara partai PBB tidak jauh dengan kedua partai Islam yang telah disinggung diatas, yakni masalah internal, figur caleg atau ketokohan dan kalah bersaing dengan partai lainnya. Sebagai data pelengkap dan pendukung, perlu kiranya disinggung hasil muktamar III PBB 2010 sebagai berikut:39 Pada pemilu 2009 perolehan susara PBB sangat menurun dan tidak dapat melampaui ambang batas parlementary threshold sebanyak 2,5%. Sehubungan dengan itu DPP PBB melaui lembaga survey indevenden dari Uiniversitas Indonesia melakukan survey untuk mengetahui penyebabnya. Hasilnya terdapat lima fakator yang mempengaruhi penurunan suara PBB yaitu: 1. Figur caleg tidak dikenal atau tidak popular; 2. Pengurus partai kurang dikenal dan tidak dekat dengan masyarakat; 3. Program dan isu tidak sesuai dengan aspirasi rakyat; 4. Citra pimpinan dan pengurus jarang diliput media massa; 5. Kinerja anggota legislatif dan kepala daerah yang berasal dari PBB tidak aspiratif dan kurang terpublikasi.
39
DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 2010), h. 129.
97
Menurut Tumpal Danil (Wakil Sekjen DPP PBB), figur caleg, pengurus partai dan citra pimpinan kurang populer di masyarakat karena kurangnya publikasi dan jarang diliput oleh media massa. Permasalahannya kemudia dibutuhkan dana yang cukup besar untuk mempopulerkan caleg dan partai seperti dengan memasang iklan.40 Pemimpin yang berkarismatik juga penting dalam mempertahankan kekokohan suatu partai. Masalah yang dijelaskan diatas sebenarnya sama pula dengan permaslahan yang dihadapi oleh PBB di daerah, dan apabila partai PBB di Kab. Pandeglang menginginkan untuk keluar dari zona tersebut tidak lain solusinya harus mampu menjawab permasalahan yang disebutkan diatas. D. Analisis Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah kab. Pandeglang Berdasarkan data yang dihimpun baik dari leteratur, dokumen pembantu maupun dari wawancara langsung dengan beberapa tokoh masyarakat dan tokoh partai politik Islam di Kab. Pandeglang, pada dasarnya semua tokoh tersebut membenarkan atas melemahnya kekuatan partai politik Islam di Pandeglang, terutama pada periode pemilu lima tahun terakhir (2009-2014). Merekapun menyadari banyak hal yang seharusnya dibenahi, baik dari internal maupun jaringan keluar. Terkait lika-liku permasalahan eksistensi partai politik Islam yang melemah,
40
Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi Kasus: Partai Bulan Bintang (Pbb) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20014, h. 62.
98
terdapat beberapa alasan yang dapat dijadikan acauan dari hasil wawancara penulis dengan beberapa tokoh tersebut; Sebagaimana penjelasan dari pengurus PPP, bahwa melemahnya kekuatan PPP di Pandeglang tidak lain faktor utamanya adalah internal parpol, baik solidaritas antar pengurus, maupun dari komitmen untuk melaksanakan program kerja yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Utnuk menjawab permasalahan itu menurut penulis tidak lain solusi utamanya adalah benahi internal partai, hilangkan sikap egosentris antar pengurus dan maksimalkan langkah tersebut dengan musyawarah mufakat. Dan terkait program kerja yang kurang berjalan dengan baik, sebaiknya harus ada kesadaran sendiri dari pengurus partai, kemudian tekankan pada evaluasi mingguan atau bulanan terkait sejauhmana kinerja yang telah dilaksanakan, sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi akan mudah untuk dipecahkan. Memang ini bukanlah permasalahan mudah, namun bukan pula permasalhan sulit apabila semuanya menginginkan yang terbaik bagi kekuatan partai. Penjelasan berikutnya hasil wawancara penulis dengan pengurus Partai PKS, yang menyatakan bahwa sebenarnya permasalahan partai politik di Kab. Pandeglang khususnya partai politik Islam yang tingat elektabilitasnya mulai melemah, untuk konteks sekarang bukan lagi faktor ideologi yang dominan bermain, malainkan faktor figur atau kandidat calon peserta pemilu. Karena masyarakat sekarang pada umumnya memilih atau tidaknya terhadap partai politik tertentu bukan lagi karena ketertarikannya dengan partai tertentu, melainkan lebih kepada calon tertentu dari
99
partai manapun calon tersebut diusung. Meskipun faktor partai juga memiliki peran didalamnya namun faktor figurlah yang memiliki dominasi penuh terhadap seberapa besar jumlah suara yang diperoleh. Faktor lain dari penjelasan tokoh partai politik Islam di atas, adalah faktor eksternal yakni masyarakat mulai tidak memberikan respek terhadap kehadiran partai Islam. Hal itu bukan tanpa alasan, melainkan karena masyarakat itu sendiri sudah merasa acuh dengan jargon yang beratas namakan Islam. Masyarakat Pandeglang sekarang pola pemikirannya sudah dewasa, tidak sepertihalnya dahulu. Masyarakat lebih teliti untuk menentukan pilihannya, jika dahulu pilihan itu ditunjukkan kepada partai yang memiliki jargon , simbol, dan visi-misi keislaman, masyarakat sekarang lebih kepada realisasinya, karena penilaian masyarakat janji-janji yang diberikan hanya sebatas janji belaka selebihnya sama saja yakni kalau sudah menang dalam perhelatan pemilu, sedikitpun tidak merasa tersentuh oleh pejabat pemerintah yang ketika pada pencalonannya mengatasnamakan rakyat dan membawa aspirasi masyarakat, terlebih mulai maraknya kasus yang melanda partai Islam, baik kasus pidana maupun kicruh kepengurusan dan itu memiliki dampak besar terhadap kepercayaan masyarakat terhadap partai Islam. Secara umum masyarakat sekarang dalam menentukan pilihannya lebih melihat kepada figur itu sendiri, dan tidak begitu memperhatikan dari partai mana ia diusung.41
41
Wawancara dengan beberapa warga masyarakat Kab. Pandeglang. Pandeglang 01 Oktober
2015.
100
Selain itu faktor money politic (Politik Uang) sangat memberikan pengaruh besar terhadap perolehan suara suatu partai politik, ditambah lagi di daerah Pandeglang pengaruh Golkar dengan figur sentralnya keluarga Alm. H. Hasan Shohib yang terkenal sebagai penguasa Banten sangat dominan. Jadi selain ketokohan yang dijadikan pilihan utama, faktor siapa dan sebesar apa uang yang diberikan itu tidak kalah pentingnya pula. Terlebih Kab. Pandeglang merupakan daerah yang secara porsentase pendidikan (masyarakat melek hurup) masih rendah, inilah yang menjadikan suburnya praktik money politik karena atara lemahnya pendidikan dengan praktik politik uang sangat berbanding lurus.42 Hemat penulis Permaslahan ini sebenarnya bisa diatasi apabila partai Islam berani mengambil langkah yang revolusioner. Karena pada prinsipnya apabila memang demikian kenyataan dilapangan berarti itu merupakan indikasi besar bahwa nilai-nilai apatis atau ketidak pedulian terhadap partai Islam sudah menghinggapi masyarakat di Kab. Pandeglang. Segala peristiwa yang terjadi apapun bentuknya pasti ada permulaan atau sebab musababnya, dan hemat penulis sebab musabab masyarakat apatis terhadap partai Islam karena pelaku partai Islam itu sendiri yang tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, dan semestinya Ideologi Islam bukan sekedar platform saja melainkan dituangkan dan diimplementasikan kepada perbaikan, pelayanan dan pembinaan masyarakat.
42
Wawancara pribadi dengan Dr. Djawahir Hejazziey , SH.,MA (Akademisi). Jakarta 21 Oktober 2015
101
Berdasarkan beberapa statemen dari pengurus partai yang telah penulis himpun tersebut, solusi penulis untuk menjawab permasalahan tersebut sebagai beriku: 1.
Benahi struktur kepengurusan dan tingkatkan komitmen partai terkait agenda atau program kerja partai, terutama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
2. Kemudian untuk permaslahan faktor partai tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perolehan suara, melainkan faktor calon atau kandidat peserta pemilu, hemat penulis jika ada keseriusan dari pelaku partai Islam agar memiliki peranan penting sebagai pelaksana pemerintah baik legislatif maupun eksekutif, sebaiknya ada pembinaan serius kepada anggota yang akan disusung, dan yang paling utama adalah selalu menghadirkan tokoh yang akan diusung di hadapan masayarakat. Sehingga masyarakat merasakan kehadiaran dan kinerjanya meskipun figur tersebut belum memiliki peranan di pemerintahan. 3. Partai Islam harus mampu menciptakan tokoh atau figur, karena ketokohan kandidat memiliki peranan besar bagi kepentingan suara partai politik Islam. 4. Persatuan ditubuh partai Islam akan mampu memberikan perubahan yang signifikan, dalam artian perlu adanya peleburan partai Islam menjadi satu kekuatan (satu kendaraan politik), dan nantinya semua aspirasi masyarakat untuk partai Islam hanya tersalurkan melalui satu jalur, dan tidak terpecah-pecah atau terbagi-bagi sepertihalnya sekarang.
102
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan menganalisa pada penelitian ini, maka penulis adapat memberikan jawaban terkait rumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini. Jawaban dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Kekuatan patai politik Islam di Kab. Pandeglang, masih dibawah bayang-bayang partai nasionalis jika dilihat dari setiap pemilu diadakan. Padahal Pandeglang adalah daerah yang terkenal dengan julukan seribu kiayi (sebutan tokoh keagamaan setingkat ulama), dan sejuta santri atau daerah ini adalah daerah 97% beragama Islam. Pada pemilu terakhir (tahun 2014) jumlah perolehan suara keseluruhan dari partai Islam mencapai 35%, dan jika di gabung dengan partai yang berbasis masa Islam, maka porsentasenya mencapai 40% saja, dibanding dengan perolehan suara partai nasionalis. Di kursi DPRD partai Islam dan jika digabung dengan partai yang berbasis masa Islam hanya mampu mendudukan 18 wakilnya (PPP, 5 kursi, PBB 2 kursi, PKS 5 kursi, PKB 5 kursi, dan PAN 1 kursi) dari 50 kursi yang diperebutkan. Untuk itu dominasi partai politik di DPRD Pandeglang mayoritas diisi oleh partai nasionalis dengan 32 kursi (Golkar 8 kursi, Gerindra 7 kursi, Demokrat 6 kursi, PDIP 5 kursi, Nasdem 4 kursi, dan Hanura 2 kursi). Dengan
103
demikian partai Islam di daerah Kab. Pandeglang tidaka memiliki kekuatan yang sangat signifikan. 2. Melemahnya kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, faktor internal partai baik mengenai solidaritas antar pengurus partai maupun kurangnya mobilisasi masa, baik dalam bentuk sosial, pembinaan maupun keagamaan; kedua, pada setiap pemilu figur yang diusung partai Islam kurang memiliki kekuatan masa dan elektabilitas; ketiga yang menjadikan faktor melemahnya partai Islam adalah, karena masyarakat Kab. Pandeglang pada umumnya selain sudah mulai kehilangan kepercayaan terhadap partai Islam. selain itu masyarakat dalam menentukan pilihan tidak lagi menjadikan faktor partai sebagai alasan ia memilih calon tertentu, melainkan lebih kepada calon atau figurnya dari partai manapun calon tersebut disusung. Selain faktor figur yang menjadi pertimbangan masyarakat (konstituen), satu lagi faktor yang memiliki pengaruh besar adalah faktor Money Politic (Politik Uang). Jadi masyarakat sekarang tidak lagi terfokus kepada partai pengusung, melainkan lebih kepada siapa figurnya dan berapa besaran tipsnya. 3. Mayoritas penduduk beragama Islam di Pandeglang sampai 97%, ternyata tidak bisa dijadikan jaminan sebagai sumber kekuatan partai Islam, terbukti dari setiap pemilu diadakan sebagaimana data terakhir disebutkan diatas. Dengan demikian untuk konteks Kab. Pandeglang antara penduduk beragama Islam dengan partai politik Islam tidak terdapat hubungan yang linier.
104
B. Saran-saran Dari hasil penelitian penulis mengenai tema partai Islam di daerah Kab. Pandeglang, terdapat catatan untuk langkah partai politik Islam kedepan, antaralain sebagai berikut: 1. Hemat penulis untuk kedepan agar partai Islam mampu mengembalikan marwahnya sebagaimana yang pernah dicapai terdahulu, yakni harus serius dalam menjalankan roda kepengurusan, baik dari sisi solidaritas antar pengurus maupun komitmen terhadap program kerja yang sudah disepakati, terutama program kerja yang memiliki ekses yang bersentuhan dengan masyarakat, sebagai bagian dari mobilisasi masa. 2. Partai politik Islam kedepan fokus membenahi kekuatan di luar, tidak lagi mengurusi
permasalahan
internal,
seperti
halnya
konflik
dualisme
kepengurusan yang diperlihatkan oleh partai PPP. karena imbas tersebut tidak hanya berpengaruh di pusat saja, melainkan imbas pula ke cabang-cabang partai di daerah. 3. Langkah berikutnya yang harus dilakukan partai Islam yakni memberikan pembinaan kapada kadernya, dan menghadirkan kader tersebut dihadapan masyarakat dengan agenda yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan begitu lambat laun, selain kader tersebut memiliki kompeten dan memiliki elektabilitas tinggi. Tidak hanya dipandang baik oleh masyarakat tetapi memang memiliki kebaikan dalam diri sendiri.
105
4. Agar kekuatan partai Islam menjadi padu dan menjadi satu kekuatan, untuk itu partai Islam cukup dengan satu kekuatan, dan partai Islam yang sudah ada sekarang melakukan fusi kedalam satu rumah besar partai umat Islam.
106
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Amir, Zainal. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3S, 2003. Ali Ahmad, Haidar, Ed. Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2009.
__________. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Azra, Azyumardi. “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”. Republika, 5 Desember 2013.
Basyaib, Hamid dan Hamid, Abidin. Mengapa Partai Islam Kalah?. Jakarta: Alvabet, 1999.
BPJS Kab. Pandeglang. Pandeglang Dalam Angka 2014. Pandeglang: CV. Mutiara Grafika, 2014.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.10. Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama, 2008.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Bulan Bintang. Hasil Muktamar II Partai Bulan Bintang. Jakarta: DPP PBB, 2005.
__________. Hasil Muktamar III Partai Bulan Bintang. Jakarta: DPP PBB, 2010. Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesi. Jakarta: Paramadina, 2009.
107
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Hanafie, Haniah. “Partai-partai Islam di Indonesia”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Haris, Syamsuddin. Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ihza Mahendra, Yusril. Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan). Jakarta: Paramadina, 1999.
Ismail, Faisal. Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002.
__________. Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
Kencana Syafii, Inu dan Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.
M.A. Gani. Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.
Madjid, Nurcholis. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
__________. Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern. Jakarta: PT. Mediacita, 2002.
108
Masad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008.
MD, Mahfud. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
__________. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009
Muchtar Ghazali, Adeng. Perjalanan Politik Umat Islam: Dalam Lintas Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Gramedia, 2012. Noer, Delia. Partai Isalm di Pentas Nasional. Jakarta: Mizan, 2000. __________. Gerakan Modern Islam di Indonesia. 1900-1942, Jakarta, LP3S, 1998. Nurcholish Madjid Society (NCMS). Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban. Jakarta, 2011. Permatasari, Indah. “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi Kasus: Partai Bulan Bintang (Pbb) 1999-2009”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Ridho Al-Hamdi. Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013
109
RPJPD Kabupaten Pandeglang 2005-2025 Setyo, Bambang. Simpul-simpul Perjuangan Islam di Indonesia: Sejarah Kebangkitan dan Kiprah Partai Bulan Bintang. Bandung: 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UII Press, 1990.
Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: LP3S, 2006.
Syam, Firdaus. Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern. Jakarta: Sumber Pemikiran Islam, 2003.
Tebba, Sudirman. Islam Menuju Era Reformasi. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 2001.
__________. Islam Pasca Orde Baru. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais. Bandung: Terazu, 2005.
Wawancara Pribadi dengan Pak. Oman (Sekjen DPD PKS Kab. Pandeglang). Pandegelang. 27 Agustus 2015.
Wawancara Pribadi dengan Taufiq. SIP (Sekretaris I bidang kaderisasi dan politik DPC PPP Kab. Pandeglang). Pandeglang. 20 Agustus 2015.
Wulandari, Triana dan Muhtaruddin, Ibrahim. Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001.
110
Website
DPP Partai Persatuan Pembangunan, “Visi dan Misi PPP”, diakses pada 14 September 2015 dari http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/. Website Resmi Kab. Pandeglang. “Sejarah Singkat Kab. Pandeglang”. diakses pada 08 Agustus 2015 dari http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=MQ
Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945 UU No. 39/1999 Keputusan KPU No. 412/Kpts/KPU/Tahun 2014.
111