FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA
KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI NEGARA Moh. Zeinudin Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep
ABSTRAK Peristiwa kekerasan atas nama agama kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini sungguh ironis terjadi, pada saat bangsa ini telah berkometmen menggulirkan reformasi di segala bidang demi mewujudkan kehidupan yang demokratis dan berkeadilan. Betapapun perangkat hukum sudah disiapkan untuk mencapai tujuan reformasi, namun dalam kenyataannya keberagamaan yang eksklusif telah memunculkan ektrimisme dan anarkisme beragama. Penghakiman yang dilakukan kelompok agama tertentu terhadap kelompok agama lain yang tidak sepaham dan sealiran kerap terjadi dimana-mana. Dalam situasi yang demikian, konstitusi negara dan peran pemerintah sebagai birokrasi negara kembali dipertanyakan keberadaannya. Bertitiktolak dari uraian diatas, maka muncul kritik-kritik ilmiah yang tajam terhadap doktrin agama yang diduga sebagai sumbu utama lahirnya kekerasan atas nama agama. Disamping itu, dialog antar iman dan antar mazhab (aliran) agama dianggap sebagai sebuah keniscayaan yang harus (terus) dilakukan untuk mewujudkan perdamaian, kerukunan hidup beragama, keadilan, dan kebebasan beragama dan berkeyakinan berdasarkan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Kata kunci: Kekerasan, Agama, Konstitusi, Negara.
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA Di
A. PENDAHULUAN Ber(agama)
di
kehidupan
Indonesia,
kekerasan
dengan
modern
berdalih atas nama agama, kerap terjadi di
sekarang ini sungguh menjadi daya pikat
berbagai daerah. Diantara bentuk kekerasan
yang tak terbantahkan. Kehadirannya tidak
atas
lagi dihujat dan dihindari secara sinis
diperbincangkan di media massa misalnya
sebagimana yang pernah dilakukan oleh
adalah penyerangan yang dilakukan oleh
“kaum ateis” di awal-awal perkembangan
kelompok Islam ‘garis keras’ terhadap
ilmu pengetahuan beberapa abad silam.
jama’ah Islam Ahmadiyah dan Syi’ah.
Animo masyarakat yang menyambut positif
nama
agama
yang
ramai
Pertanyaannya, dapatkah dibenarkan
agama tersebut menguatkan tesis Peter L.
tindak
kekerasan
dalam
Islam?
Atau
Berger (1969), yang menurut sosiolog
bagimana Islam memandang sebuah tindak
humanistik itu sebagai kanopi suci (the
kekerasan yang dilakukan suatu kelompok
secret canopy).
atau individu dengan mengatasnamakan
Agama, tulis Berger, ibarat langit suci
Tuhan? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
yang teduh dan melindungi kehidupan.
membela kelompok agama manapun, tetapi
Agama
panasnya
dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan
kehidupan, yang dapat menumbuhsuburkan
kekerasan atas nama agama yang kerap
tanaman. Dengan agama, manusia menjadi
terjadi di negeri ini dalam persepektif
memiliki rasa damai, tempat bergantung,
konstitusi dan nilai-nilai kebenaran yang
bahagia, dan memiliki ketenteraman hidup.
universal. Dalam tulisan ini, ada dua hal
Agama juga dapat melindungi manusia dari
penting yang menjadi fokus bahasan, yaitu
chaos, ketidakberartian hidup, dan situasi
di samping melakukan kritik terhadap
hidup tanpa arti.
doktrin theologis yang melatari kekerasan
sebagai
penyiram
Dari itu, secara ideal dan teoritis, pendapat
Berger
di
atas
tentu
atas
nama
agama,
juga
pada
peran
dapat
pemerintah (negara) dalam memberikan
dibenarkan, dan tak ada yang menyangkal
keamanan terhadap warganya berdasarkan
kebenarannya. Namun dalam praktiknya,
konstitusi.
ketaatan beragama yang “berlebih” dalam dekade belakangan ini mulai diragukan, dikritik,
dan
diprotes
oleh
sebagian
kalangan. Hal itu terjadi lantaran beberapa
B.
PEMBAHASAN 1.
Kekerasan, Negara, dan Jaminan “Kebebasan Berkeyakinan”
peristiwa seperti konflik antara etnis, bom
Setiap masyarakat itu mengandung
bunuh diri, dan tindak kekerasan, disinyalir
kekerasan. Kekerasan dapat berbentuk
bersumbu
fisik
pada
ketaatan
yang
sangat
maupun
simbolik.
Ia
dapat
“ekstrim” dalam memahami doktrin-doktrin
diterima atau diderita. Ia tampak dalam
agamanya.
bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi
dalam
hubungannya
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA dengan hubungan sosial. Sehingga
bahwa kekerasan merupakan kejahatan
alasan yang sangat fundamental dari
yang harus dicegah.
hal ini adalah harus dicari dalam hati
Secara
harfiah,
kekerasan
itu
manusia itu sendiri. Karena itu faktor
diartikan sebagai sifat hal yang keras,
manusia menjadi sangat penting untuk
kekuatan,
menjelaskan mengapa kekerasan itu
kekerasan yang dimaksud di sini adalah
terjadi.
yang
Manusia,
menurut
anggapan
dan
paksaan.
diterjemahkan
Violence
berkaitan
Sedang
dari
violence.
erat
dengan
Thomas Hobbes, merupakan makhluk
gabungan kata Latin “vis” (daya,
yang dikuasai oleh dorongan-dorongan
kekuatan) dan “Latus” (yang berasal
irasional dan anarkistis yang saling
dari ferre, membawa) yang kemudian
mengiri
sehingga
berarti membawa kekuatan. Sedangkan
menjadi kasar, jahat, buas dan pendek
secara terminologi kekerasan berarti
pikir. Inilah sosok homo homini lupus,
perbuatan seseorang atau sekelompok
manusia adalah serigala bagi yang lain
orang yang menyebabkan cedera atau
dan akibatnya perang semua lawan
matinya orang lain atau menyebabkan
semua (bellum omnium contra omnes).
kerusakan fisik atau barang orang lain.
dan
membenci
Pada dasarnya, kekerasan adalah
Robert Audi, seperti yang dikutip
fenomena yang telah ada sejak awal
oleh I. Marshana Windhu, merumuskan
sejarah umat manusia. Ini bisa dirujuk
violence
pada
penyalahgunaan
kisah
pembunuhan
al-Qur’an Habil
tentang
oleh
sebagai
serangan fisik
atau
terhadap
Qabil,
seseorang atau binatang; atau serangan,
keduanya putra Adam. Bahkan sebelum
penghancuran, perusakan yang sangat
manusia diciptakan di muka bumi ini,
keras, kasar, kejam dan ganas atas
al-Qur’an telah memuat kisah dialog
milik
antara Tuhan dan malaikat yang secara
potensial
tersirat
bahwa
seseorang. Istilah kekerasan digunakan
manusia akan selalu berbuat kerusakan
untuk menggambarkan perilaku, baik
di muka bumi (man yufsida fiha) dan
yang terbuka (overt) atau tertutup
melakukan tindak kekerasan kepada
(covert),
sesamanya (yasfik al-dima’a). Oleh
menyerang (offensive) atau bertahan
karena
itu,
(defensive), yang disertai penggunaan
sesuatu
yang
mengindikasikan
kekerasan inheren
merupakan dalam
diri
atau
sesuatu dapat
dan
baik
yang
secara
menjadi
milik
yang
bersifat
kekuatan kepada orang lain.
manusia. Namun demikian, meskipun
Dari beberapa tafsir kekerasan
al-Qur’an melegitimasi adanya tindak
tersebut semuanya menegaskan bahwa
kekerasan, al-Qur’an tetap menegaskan
obyek kekerasan itu adalah bersifat fisik maupun barang yang dirusak oleh
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA seseorang atau kelompok terhadap
Kekerasan hadir setiap saat, bagai
seseorang
lain.
udara yang ada di mana-mana. Manusia
Resikonya, si korbanlah yang sangat
menghirupnya, tanpa merasa, bahwa
dirugikan
kekerasan masuk bagai napas yang
atau
kelompok
oleh
pelaku
kekerasan
tersebut, dengan cacatnya fisik seperti
menghidupinya.
luka, patah, maupun rusaknya barang. Dalam
konteks
itu,
dapatlah
Dalam banyak kasus, kelompok Islam garis keras memang tergolong
ditarik benang merah bahwa kekerasan
sangat
seperti yang dilakukan oleh kelompok
kekerasan dalam menyebarkan paham-
Islam garis keras terhadap kelompok
paham
Islam lain yang tidak se-aliran seperti
pengrusakan
Ahmadiyah dan Syi’ah merupakan
yang
tindakan
anarkis
kriminal
yang
melanggar
sering
melakukan
tindak
keislamannya, terhapa
dianggap ini
seperti
tempat-tempat
maksiat. tentu
Tindakan
saja
sangat
hukum dan hak asasi manusia yang
mengganggu stabilitas keamanan setiap
dilindungi oleh kostitusi negara. Sebab,
warga sebagai unsur penting dalam
kekerasan dengan alasan atau dalih
pembentukan negara Indonesia yang
apapun,
mengatasnamakan
menjunjung tinggi penegakan hukum
agama tidaklah dibenarkan. Kekerasan
dan perdamaian. Apalagi, motif yang
atau
Alwi
dijadikan alas an dalam melakuan
menunjuk
penyerangan selalu dilandasi hanya
apalagi
“radikalisme”,
Shihab,
secara
kepada
menurut
populer
ekstremisme
dalam
lantaran perbedaan keyakinan atau
aneka ragam bentuknya, atau usaha
paham keagamaan dengan apa yang
utuk
mereka yakini.
mengubah
politik
orde sosial-politik
secara drastis dan ekstrim.
Memang, dari sekian banyak akar
Menjadikan Tuhan atau agama semacam
“pengkambinghitaman”,
kekerasan yang ada di masyarakat, kekerasan
atas
menurut René Girard akan bermuara
mempunyai
intensitas
pada konflik horizontal yang berujung
besar. Karena di dalamnya sudah
pada pembunuhan antar sesama. Inilah
berkembang bentuk-bentuk kekerasan
wujud nyata dari kekerasan yang
yang kompleks. Kekerasan atas nama
sebenarnya menyelimuti kita semua.
agama bisa masuk ke jalur kekerasan
Tapi
terbuka
kita
tidak
menyadarinya.
dan
nama
bahkan
yang
paling
lebih
Kekerasan membayang-bayangi siapa
berbahaya
saja. Tapi siapa pun tak merasakan
masuk ke jalur tertutup. Kekerasan
bayangan-bayangannya.
Kekerasan
pada segmen ini biasanya bersifat
mengancam manusia. Tapi manusia
ofensif, reaktif dan radikal, namun bisa
hidup
juga terekayasa lewat aksi terselubung.
seakan
tanpa
ancamannya.
manakala
yang
agama
kekerasan itu
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA Setara Institute for Democracy and Peace,
misalnya
dalam
penderitaan korban kekerasan. Sama
setahun (2007) setidaknya 185 tindak
seperti orang sakit selalu diancam oleh
pelanggaran kebebasan beragama dan
kematian, demikian juga orang yang
berkeyakinan. Di mana serangkaian
terlibat dalam kekerasan. Karenanya
pengrusakan,
kalau
kekerasan,
penangkapan kelompok
mencatat,
Penderitaan orang sakit analog dengan
terhadap
yang
dan
kelompok-
dianggap
penyakit
harus
dihindari,
demikian juga kekerasan.
“sesat”
Dari
serangkaian
tragedi
itu,
dipertontonkan kepada publik dengan
pantas bila kita bertanya, siapa yang
gamblang.
patut
Tercatat
penutupan,
108
kasus
penyerangan,
dan
bertanggungjawab
dan
layak
disalahkan? Bagi sebagian kalangan,
perusakan gereja terjadi pada 2004-
negaralah yang
mesti bertanggung
2007. Rinciannya, pada 2004 terdapat
jawab.
rentannya
30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada
kekerasan atas nama agama di Tanah
17 kasus, dan 2007 ada 22 kasus.
Air menjadi bukti kuat atas kegagalan
Provinsi yang terbanyak terjadi kasus-
negara dalam memberikan jaminan hak
kasus tersebut adalah Jawa Barat,
keamanan dalam menjunjung tinggi
Banten,
makna kebebasaan beragama.
Jawa
Tengah,
Poso,
dan
Bengkulu.
Masih
tindak
Padahal, aturan baku seperti yang
Menurut
ada
tertera dalam UUD 1945 Pasal 28E
agama
mengatakan sangat gamblang, bahwa
menjadi penyebab kekerasan , yaitu: (1)
“(1) Setiap orang bebas memeluk
ekslusivitas dari sementara pemimpin
agama
dan penganut agama, (2) sikap tertutup
agamanya, (2) Setiap orang berhak atas
dan saling curiga antaragama, (3)
kebebasan
keterkaitan yang berlebihan terhadap
menyatakan pikiran dan sikap sesuai
simbol-simbol,
dengan hati nuraninya”. Pasal ayat (2)
beberapa
Arifin
faktor
Assegaf
mengapa
(4)
agama
yang
dan
merupakan tujuan berubah menjadi
juga
alat,
menjamin
realitas
menjadi
sekadar
beribadat
meyakini
berbunyi
menurut
kepercayaan,
senada:
“Negara
kemerdekaan
tiap-tiap
kebijaksanaan, dan (5) kondisi politik,
penduduk untuk memeluk agamanya
sosial, dan ekonomi.
masing-masing dan untuk beribadat
Kekerasan
dengan
demikian
menjadi hantu menakutkan bagi setiap pemeluk
keyakianan
setiap
orang.
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu”. Negara
dengan
demikian,
Kekerasan seperti penyakit atau wabah:
sebenarnya
telah
melakukan
keduanya termasuk dalam misteri the
pelanggaran
HAM.
Pelanggaran
sacred
dilakukan dalam bentuk pembatasan,
yang
membahayakan.
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA penangkapan, penahanan, dan vonis
memiliki kemauan politik dan kapasitas
atas mereka yang dianggap sesat;
untuk melindungi setiap dan seluruh
negara telah melakukan pembiaran
warganya,
terhadap tindakan-tindakan kekerasan
menyetujui kembalinya negara otoriter
yang
atau
dan diktatorial di Indonesia Sebaliknya
telah
yang ingin disarankan adalah negara
dilakukan
kelompok;
oleh
negara
warga bahkan
tidak
berarti
bertindak sebagai pelaku pelanggaran
demokrasi
HAM akibat tindakannya itu serta
sesungguhnya demokrasi tidak bisa
membiarkan warga atau organisasi
tegak jika negara “memble”, tidak
keagamaan
persekusi
berdaya apa-apa melindungi warganya,
kelompok-kelompok
tidak mampu menegakkan demokrasi.
massal
melakukan
atas
keagamaan dan keyakinan tertentu. Negara
seolah tidak
yang
mereka
kuat
karena
Jelas, hanya dengan kepatuhan pada
memiliki
tata hukum, ketertiban, dan keadaban
kemauan politik (political will) dan
publik, demokrasi bisa tegak secara
kapasitas untuk bertindakan tegas guna
lebih otentik.
melindungi setiap dan seluruh warga
Tak
kurang
pentingnya,
negaranya dari ancaman dan tindakan
representasi negara yang diwakili para
kekerasan dari individu atau kelompok
pejabat dalam berbagai level harus pula
warga lainnya. Jika keadaan ini terus
senantiasa
berlanjut, bukan hanya kekerasan yang
komitmennya pada penegakan hukum.
dapat kian merebak di antara umat
Hal ini karena bukan tidak jarang
beragama, bahkan negara sendiri dapat
pejabat yang memikul tanggung jawab
menjadi sebuah “negara gagal” (failed
dalam kehidupan keagamaan, seperti
states). Jika Indonesia menjadi “negara
Kementerian Agama, tidak memberi
gagal”, bisa dibayangkan implikasi dan
garis yang tegas tentang ketidakbolehan
konsekuensi
melakukan ancaman atau kekerasan
selanjutnya;
integrasi
memperlihatkan
negara sulit dipertahankan sehingga
terhadap
seolah menunggu waktu bagi terjadinya
keagamaan tertentu. Sebaliknya, bukan
apa
tidak
yang
sering
disebut
sebagai
“Balkanisasi”.
intra
dan
antarumat
beragama, perlu pemulihan kembali kemauan bertindak Jika
ada
jarang
mengeluarkan
Oleh karena itu, dalam konteks hubungan
penganut
politik
dan
aparat pendapat
atau
kelompok
pejabat-pejabat pernyataan
ini dan
kebijakan yang justru seolah menjadi justifikasi
bagi
tindakan-tindakan
melanggar hukum itu.
kapasitas
Menarik apa yang diungkap oleh
negara.
Nasr Hamid Abu Zayd dalam diskusi
menyarankan
terbuka
di
Yogyakarta,
perlunya sebuah strong state yang
dengan
pencekalan
bersamaan
dirinya
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
oleh
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA pemerintah
Kementerian
yang oleh Hannah Arent dalam The
Agama saat hendak mempresentasikan
Human Condition-nya disebut “ruang
pandangannya tentang keislaman akhir
publik” dan “ruang privat”. Boleh jadi,
November 2007. Pemikir kontroversial
tulis Arent, kegagalan modernitas yang
itu menunjukkan fakta yang sangat
menjadi “berhala” bagi negara-negara
ironi
maju
bagi
melalui
sebuah
negara
dalam
dan
berkembang
(termasuk
menyikapi kebebasan beragama bagi
Indonesia) menganggap tidak relevan
warganya.
lagi memisahkan antara “ruang publik”
Kebebasan beragama seperti yang banyak terjadi
di banyak
dan “ruang privat”.
negara,
Artinya, wilayah keyakinan perlu
termasuk di Indonesia, berjalan secara
dihormati karena bagian penting dari
paradoks. Abu Zayd membandingkan
hak asasi seseorang. Penangkapan dan
antara
kebebasan
pasar
dengan
pelarangan oleh aparat pemerintah
itu
sendiri;
hendaknya lebih didasarkan atas suatu
kebebasan pasar yang ditandai dengan
akibat yang ditimbulkan dan bukan
globalisasi
semata-mata mempersoalkan substansi
kebebasan
beragama
dan
sistem
kapitalisme
justrui diadopsi secara terang-terangan oleh negara. Sementara beragama
malah
dibiarkan
mengalir
kebebasan
tertahan,
tidak
secara
alami
sebagai kodrat manusia. Akibatnya,
2.
Kritik
atas
Doktrin
Kekerasan
dalam Islam Sampai di sini, barangkali kita masih
bertanya-tanya,
mengapa
konteks
tindakan-tindakan kekerasan atas nama
kebebasan beragama di bumi pertiwi
agama terus terjadi? Menurut Azumardi
ini, negara ikut serta mengintervensi
Azra, jawabannya amat rumit. Namun,
wilayah
jika
privasi
dalam
ajarannya.
individu
maupun
bisa
disederhanakan
kelompok dengan melarang kelompok
perspektif
tersebut untuk tetap eksis. Sebagai
adalah, pertama, masih kuatnya rasa
negara hukum, tindakan penangkapan
saling curiga di antara umat agama
dan
berbeda.
pelarangan
yang
kerapkali
hubungan
dalam
Masih
kuat,
antaragama
misalnya,
dilakukan oleh pemerintah, sejatinya
kecurigaan di kalangan umat Islam,
merupakan tindakan hukum, bukan
bahwa lembaga, keyakinan tertentu,
politik, sehingga harus ada dasar-dasar
kepemimpinan, dan perbedaan agama.
yang jelas.
Kedua,
Pemenuhan
terejawantahnya
individu
dialog-dialog yang workable antara
tatanan
kepemimpinan agama level tengah dan
masyarakat di sebuah negara tersebut
bawah. Memang dialog-dialog intra
tentu sangat erat kaitannya dengan apa
dan
maupun
hak-hak
belum
komunitas
dalam
antaragama
kelihatan
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
terus
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA berlangsung,
tetapi
harus
diakui
manusia di bumi. Dengan begitu,
umumnya baru sampai pada level
mengacu pada kasus penyerangan oleh
kepemimpinan
kelompok Islam garis keras terhadap
puncak,
di
tingkat
nasional maupun daerah. Jarang sekali
kelompok
agama
tertentu
yang
terjadi
dianggap
berbeda
pemikiran
dan
yang
patut
dialog-dialog
intra
dan
antaragama pada level tengah dan
keyakinannya,
bawah kepemimpinan agama, yang
disalahkan bukan agamanya, apalagi
justru bergerak dan amat berpengaruh
Tuhan. Tetapi para anggotanya-lah
terhadap
yang tidak mampu memahamai ajaran-
masyarakat
tingkat
akar
rumput. Padahal kepemimpinan agama
ajaran
pada
bersifat manusiawi itu.
level
inilah
yang
bisa
menghitamputihkan massa, yang bisa membuat
massa
yang
sesungguhnya
Salah satu doktrin terkenal yang
atau,
lazimnya dijadikan legitimasi dan kata
sebaliknya, menjadikan mereka lebih
perintah untuk berperilaku anarkis atau
tenang dan beradab.
kekerasan oleh mereka yang berhaluan
Dalam
murka,
agama
jelas
konteks
perlu
“ekstrim” mengacu pada bunyi hadis
pengembangan dialog-dialog intra dan
berikut: “Barangsiapa melihat suatu
antar agama, tidak hanya pada level
kemungkaran, maka cegahlah dengan
puncak, tetapi juga pada level tengah
tanganmu/kekuasaanmu
dan
agama.
Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan
Memang beberapa daerah provinsi dan
(bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa,
kabupaten/kota
cukup
bawah
ini,
kepemimpinan
telah
membentuk
dengan
(bi
yadihi);
mendoakannya
(bi
Forum Kerukunan Umat Beragama
qalbihi); dan yang demikian itulah
(FKUB), tetapi dialog-dialog yang
lemahnya iman seseorang”.
diselenggarakan
belum
Dalam pandangan penulis, jika
bawah
tidak ekstra hati-hati memahami makna
menciptakan
yang terkandung pada hadis ini justru
antarumat
akan mencitrakan Islam yang oleh
beragama yang lebih sehat, harmonis,
sebagian kalangan Barat atau sarjana
dan dinamis.
orientalis dianggap sebagai “agama
tersosialisasikan untuk
kemudian
hubungan
intra
FKUB ke
tingkat
bisa dan
Namun yang pasti, semua orang
kekerasan”. Lalu bagaimana kita dapat
tentu bersepakat bahwa tidak ada
menempatkan
agama
menyuruh
menyerukan ta’muruna bi al-ma’ruf wa
pemeluknya untuk melakukan tindak
tanha ‘an al-mungkar tersebut di era
kekerasan. Semua agama di dunia,
kontemporer sekarang ini?
manapun
yang
makna
hadis
yang
termasuk Islam, mempunyai konsep
Bahwa kalau kita mau kritis dan
dan ajaran ideal untuk perdamaian
seksama dalam menelaah hadis itu,
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA dapat disikapi dengan sangat arif, bijak,
begini: “Barangsiapa melihat suatu
dan humanis. Pertama, makna hadis
kemungkaran, maka cegahlah dengan
tersebut
tanganmu/kekuasaanmu
hemat
saya,
tidak
(bi
yadihi);
menunjukkan suatu urutan tindakan
Jika tidak bisa, tegurlah dengan ucapan
seseorang
(bi lisanihi); Jika (tetap) tidak bisa,
dalam
kemungkaran;
mencegah
tidak
berarti
mendahulukan
cukup
dengan
mendoakannya
(bi
tindakan
qalbihi); dan jika tetap tidak mampu
tangan/kekuasaan terlebih dulu, lalu
berbuat selain dari ketiga perbutan
ucapan, dan do’a. Isi maupun makna
tersebut, maka yang demikian itulah
dari hadis itu sebenarnya mendedahkan
lemahnya iman seseorang”.
pilihan-pilihan alternatif sebagai bentuk
Kedua,
makna
biyadihi
yang
tindakan amar ma’ruf nahi mungkar.
berarti mencegah kemungkaran dengan
Kesemuanya
“tangan/kekuasaan” dalam hadis itu
tersendiri,
memiliki yang
keutamaan tidak
bisa
dibandingkan satu sama lain.
perlu diinterpretasi ulang secara lebih humanis. Sebab, hadis yang seringkali
Artinya, tidak ada unsur derajat
dipahami
secara
tekstual
dan
keimanan yang menyertai dari setiap
“telanjang” apa adanya itulah menjadi
ketiga tindakan tersebut. Orang yang
biang keladi dan legitimasi seseorang
mencegah
kemungkaran
atau
fisik/tangan,
tidak
dengan
kemudian
bisa
kelompok
tertentu
untuk
melakukan tindak anarkis berkedok
dikatakan bahwa derajat keimannya
amar
meninggi. Sementara orang yang hanya
Pemahaman
bisa mencegah lewat lisan atau bahkan
hanya menodai dan mendistorsi visi-
dengan do’a dianggap keimanannya
misi agama sebagai pembawa pesan
kurang atau dikatakan imannya rendah.
perdamaian, tapi dimungkinkan bakal
Tidak begitu!
menghancurkan
Maksud demikian
kalimat
itulah
ma’ruf
nahi
yang
mungkar.
demikian bukan
sistem
“dan
yang
kehidupan
lemahnya
iman
mengidealkan kerukunan, kedamaian,
seseorang” tidak merujuk pada urutan
masyarakat
tatanan yang
dan sejenisnya.
terakhir pada orang yang mencegah
Tak terbayangkan, apa jadinya bila
kemungkaran hanya lewat do’a. Tetapi
setiap orang yang disengaja atau tidak
menunjuk pada makna lain dari ketiga
menyaksikan katakanlah sesuatu yang
yang telah disebutkan, yaitu suatu
dianggap sebagai “maksiat”, lantas
kepasifan seseorang, yang tidak berbuat
“digebukin” tanpa ampun, dipukul,
apa-apa
hingga bahkan tempat yang mereka
tatkala
menyaksikan
kemungkaran. Jadi hadis itu dapat
anggap
sarang
maksiat
diterjemahkan lebih luas kurang lebih
dihancurkan. Adakah sisi moralitas
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
juga
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA yang melekat dalam setiap individu
MUI tidak secara jelas menyebutkan
maupun kelompok? Lalu di manakah
konsekwensi dari pemberian status
peran negara?
sesat itu, tapi dalam fatwa terbarunya,
Ironisnya
lagi,
dalam konteks
konsekwensi itu jelas disebutkan, yakni
Indonesia, keberadaan Majelis Ulama
mengajak
Indonesia
(MUI)
menyikapi persoalan ini secara tegas.
paradigma
atau
sejalan
“menganut” setidak-tidaknya
dengan
paham
kaum
Muslim
untuk
MUI dengan demikian seolah-olah
yang
bertindak meminjam istilah Khaled M.
menganggap biyadihi berarti ber-amar
Abou al-Fadl layaknya Tuhan, sebagai
ma’ruf nahi mungkar lewat perbuatan
Sang Pemberi Hukum(an), atau bisa
fisik.
juga disebut sebagai “juru bicara
Terbukti,
mengeluarkan
MUI
fatwa
seringkali
yang
justru
Tuhan”. Padahal, klaim “sesat dan
menjadi pemicu kelompok-kelompok
menyesatkan”
tertentu untuk berbuat anarkis dengan
priogratif
melakukan aksi penyerangan terhadap
Pengambilan
orang atau kelompok yang oleh MUI
“ketuhanan”
distempel “sesat”.
daripada
Dalam
konteks
diketengahkan
ini,
mestinya
Tuhan,
bukan hak
jauh
hanya
hak
manusia. priogratif
lebih
berbahaya
sekadar
berbeda
keyakinan semata.
contoh
Sikap yang “konservatif” seperti
Islam
itu, oleh banyak kalangan atau pemikir
(FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan
Islam kontemporer disebut sebagai
untuk
“kaum
penyerangan
sebuah
dapat
itu
Front
Kebebasan
Pembela
Beragama
dan
fundamentalis”
Berkeyakinan (KKBB) pada tahun
diidentikkan
2008 bisa diduga lantaran fatwa sesat
Fundamentalisme semacam ini lebih
MUI terhadap eksistensi Ahmadiyah di
sering muncul dalam wujud yang
Indonesia,
sejak
negatif. Ia banyak dibungkus dengan
sebelum bangsa ini merdeka pada 1920.
nalar perlawanan, logika permusuhan
Menurut Luthfi Assyaukanie, sejak
serta
didirikan
Esposito ideologi kebencian.
yang
pada
sudah
1975,
ada
MUI
telah
mengeluarkan lebih dari 50 fatwa. Tentang
Ahmadiyah,
dengan
yang
meminjam
terorisme.
istilah
John
L.
Karen Armstrong secara empatik
MUI
telah
menyebut
fatwa:
yang
disangsikan, benih fundamentalisme
pertama, pada Juni 1980, dan yang
ada dalam setiap agama. Armstrong
kedua pada Juli 2005. Dalam dua fatwa
menengarai bahwa sikap terlampau
ini, MUI menegaskan bahwa “Aliran
fanatik dalam agama (over fanatism in
Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat
religious faith) sebagai penyebab utama
dan menyesatkan.” Pada fatwa pertama,
adanya gejala destruktif ini. Paradigma
mengeluarkan
dua
bahwa
tidak
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
bisa
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA sempit ini yang kemudian berandil
Di samping itu, pengecaman yang
menentang setiap upaya sekularisasi
dibarengi dengan tindakan kekerasan
dan modernisasi yang terjadi di tubuh
bila dilihat dari sisi telogis, sebenarnya
agama. Lahirlah absolutisme pemikiran
menampilkan kedangkalan pemahaman
dengan
masyarakat
“perisai”
purifikasi
ajaran
kita terhadap perbedaan
agama yang memaksakan penafsiran
dan pluralisme agama itu sendiri.
literal
Pluralisme, kata Fathi Osman, adalah
terhadap
pelbagai
problem
keumatan. Segala ihwal mesti dirujuk
bentuk
secara
penerimaan
skriptual
kepada
sumber
(hukum) tekstual yang serba baku. Tepat
di
di
terhadap
mana
keragaman
melingkupi masyarakat tertentu atau
inilah
dunia secara keseluruhan. Maknanya
fundamentalisme agama yang pada
labih dari sekadar toleransi moral atau
dasarnya positif (berpegang teguh pada
koeksistensi pasif. Toleransi adalah
ajaran agama) lalu bergerak liar secara
persoalan
negatif dan destruktif. Roh agama tak
pribadi, sementara koeksistensi adalah
lagi
semata-mata
dijadikan
aras
kelembagaan
kekuatan
pembebas
kebiasaan
dan
penerimaan
perasaan
terhadap
(liberating force) yang menjunjung
pihak lain, yang tidak melampaui
nilai luhur kemanusiaan (humanisme)
ketiadaan konflik.
dalam porsi yang pantas. Sebaliknya, ia
Lebih-lebih, dialog antar agama
justru dijadikan kekuatan penebas yang
yang selama ini didengung-dengungkan
memenggal paham dan pemikiran yang
oleh banyak pihak menjadi nihil dan
berbeda dan tak selaras.
tidak berjalan sesuai harapan. Artinya,
Karena itu, reinterpretasi terhadap
meski
secara
teologis
kita
tidak
doktrin-doktrin keagamaan soal amar
membenarkan terhadap keyakinan dan
ma’ruf nahi mungkar sangat penting
ajaran-ajaran
dilakukan untuk melahirkan makna
“menyimpang” dari Islam, mestinya
baru yang lebih “segar” dan manusiawi.
tidak serta merta mengusik, apalagi
Pemahaman terhadap doktrin agama
dengan melakukan pengusiran dan
harus senantiasa terus ditafsirkan secara
tindak
kontekstual, sesuai dengan kondisi
jema’ahnya.
yang
kekerasan
kita
terhadap
para
ruang dan waktu yang mengitarinya.
Islam
Jika ini gagal dilakukan, maka agama
Juergensmeyer,
dengan sendirinya akan membeku dan
ambigu terhadap kekerasan itu sendiri.
tak mempunyai arti terhadap kehdupan
Sebagaimana halnya dengan semua
manusia. Sebab, agama pada dasarnya
agama, Islam ada saatnya mengijinkan
diturunkan
penggunaan kekuatan, sementara itu ia
manusia.
ke
muka
bumi
untuk
menurut
anggap
memang
Mark terlihat
menekankan bahwa tujuan spiritual
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA utamanya adalah non-kekerasan dan
Disamping itu, kekerasan atas nama
perdamaian.
memuat
agama juga telah melanggar hak asasi
pernyataan yang sangat mirip dengan
manusia sebagaimana diatur dalam
penekanan biblical,
konstitusi negara. Dengan demikian,
boleh
Al-Qur’an
“Engkau
membunuh”.
memerintahkan beriman
Al-Qur’an
negara
mestinya
kepada
orang-orang
dalam
penegakan
tidak
merenggut
untuk
kehidupan
tidak
yang
Tuhan
bertanggungjawab kostitusi
yang
mengatur tentang kebebasan beragama
telah
dan berkeyakinan, sehingga kerukunan
menjadikannya sakral. Namun Islam
beragama yang kita cita-citakan dapat
tidak dapat dipisahkan dari salam, kata
terwujud di Indonesia.
untuk ‘perdamaian’, dan seperti halnya kata Ibrani, shalom, yang dengannya kata
tersebut
dihubungkan,
mengimplikaiskan ide harmoni sosial dan ketenangan spiritual. Secara
internal,
semua
pihak
mestinya sadar bahwa Islam yang menjadi pemeluk mayoritas di negeri ini
menurut
DAFTAR PUSTAKA
Bruce
B.
Lawrence
tidaklah tunggal. Islam adalah banyak hal. Tidak ada satu penjelasan pas yang
Azra, Azumardi. “Kekerasan atas Nama Agama”, dalam Kompas, edisi 27 Juli 2007 Assegaf, Arifin. “Memahami Sumber Konflik Antariman”, dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakrta: Institut Dian/Interfidei, 2001 Assyaukanie, Luthfi. “Fatwa dan Kekerasan terhadap Ahmadiyah”, dalam www.assyaukanie.wordpress.com
melukiskan berbagai kelompok muslim dengan nilai dan arti yang sama. Juga, tidak
ada
lokasi
tunggal
ataupun
budaya seragam yang identik dengan Islam.
Al-Fadl, Khaled M. Abou. Speking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld Publications, 2003 Douglas, Jack D. dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan”, dalam Thomas santoso (ed.), Teori-teori Kekerasan. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002
C. PENUTUP Dari apa yang telah dijelaskan panjang
lebar
tentang
perilaku
kekerasan atas nama agama dapat disimpulkan bahwa kekerasan atas nama agama adalah perilaku beragama yang melanggar substansi ajaran agama itu
sendiri
yang
semestinya
mengajarkan kasih sayang, kebajikan, perdamaian dan rahmatan lil ‘alamin.
D’entevés, Maurizio Passerin. Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan. Yogyakarta: Qalam, 2003 Houtart, Francis. “The Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama”, dalam Wim Beuken dan Karl Josef Kuschel (ed.), Religion as a Source of Violence. London: SCM Press, 1997 Juergensmeyer, Mark. Teror atas Nama Tuhan: Kebangkktan Global Kekerasan Agama, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam Press,
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA 2002 Lawrence, Bruce B. Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, terj. Harimukti Bagoes Oka. Jakarta: Serambi, 2004 Nasir, Haedar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan alQur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, terj. Irfan Abubakar. Jakarta: Yayasan paramadina, 2006 Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1982 Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1999 Sindhunata. Kambing Hitam: Teori René Girard. Jakarta: Gramedia, 2006 Shaleh, Abdul Qadir. “Agama” Kekerasan. Yogyakrta: Prismasophi, 2003 Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1987 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbut dan Balai Pustaka, 1988 Usman, Ali. “Mengutamakan Dakwah Kontekstual”, dalam Solopos, edisi 21 November 2008 -------------------. “Fundamentalisme Versus Terorisme”, dalam Koran TEMPO, Minggu, 20 November 2005 Windhu, I. Marshana. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 2002
www.akkbb.wordpress.com
Jurnal “JENDELA HUKUM” FAKULTAS HUKUM UNIJA. Volume I Nomor 1 April 2014