KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM TRADISI KERAJAAN BUTON (KAJIAN BERDASARKAN TEKS AJONGA YINDA MALUSA)
OLEH M. Hafiz Sukri (Mahasiswa S2 Program Studi Kajian Budaya, PPs UHO) Prof. Dr La Niampe, M.Hum (Pembimbing I Dosen Program Studi Kajian Budaya PPs UHO) Dr. La Ode Dirman, M.Si (Pembimbing II Dosen Program Studi Kajian Budaya, PPs UHO)
Penulis menyatakan artikel ilmiah ini, merupakan bagian yang telah diseminarkan, dan telah diperiksa kebenarannya oleh Komisi Pembimbing. Artikel ini dibuat sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mengikuti wisuda, dan sebagai bahan pada publikasi Ilmiah pada JURNAL PENELITIAN KAJIAN BUDAYA yang dibuktikan oleh Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Kendari, April 2016 Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Prof. Dr La Niampe, M.Hum
Dr. La Ode Dirman, M.Si
Mengetahui Ketua Program Studi Kajian Budaya
Dr. Syahrun, S.Pd., M.Si NIP.19781808 200812 1 002
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM TRADISI KERAJAAN BUTON (KAJIAN BERDASARKAN TEKS AJONGA YINDA MALUSA) M. Hafiz Sukri, La Niampe, La Ode Dirman 1. Mahasiswa Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo 2. Dosen Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo ABSTRAK Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang kedudukan perempuan dalam tradisi masyarakat Buton yakni, posisi perempuan dalam masyarakat dan status perempuan dalam keluarga yang tersurat dalam teks Ajonga Yinda Malusa, sehingga dapat mengungkap kedudukan perempuan tersebut. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosio feminis dengan mengidentifikasi model-model pengambaran perempuan dalam teks naskah kemudian membentuk ideologi-ideologi yang menekankan pada kedudukan perempuan dengan mengunakan teori Hermeneutika dan teori Interteks. Analisis dilakukan dengan cara memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, dan teks. Selanjutnya membuat jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa kedudukan perempuan Buton sebagaimana yang terdapat dalam teks Ajonga Yinda M alusa adalah sebagai berikut ; (1) dalam memposisikan diri dalam bermasyarakat perempuan harus menggunakan sifat malu, sifat takut, sifat kasih, sifat pelihara, dan sifat insyaf. Dalam tradisi masyarakat Buton perempuan yang mampu menerapkan sifat demikian maka akan dikategorikan sebagai perempuan yang beruntung. Namum jika tidak menerapkannya Ia akan dianggap sebagai perempuan yang celaka bahkan akan disetarakan seperti sifat dan perilaku binatang; (2) status perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam teks Ajonga Yinda Malusa dibagi menjadi tiga, yaitu; pertama, perempuan sebagai penyimpan rahasia laki-laki, artinya bahwa dalam berumah tangga istrilah yang mengetahui segala yang menjadi rahasia lakilaki baik lahiriah dan bhatiniah, kedua, perempuan sebagai pelita rumah tangga, disimpulkan bahwa perempuanlah yang menentukan keharmonisan dalam rumah tangga, ketiga status perempuan yang dimadu, diperoleh kesimpualan bahwa sebagai perempuan yang madu, perempuan harus sabar dalam menyikapi madunya serta selalu taat pada perintah suami. Apabila ia mampu menjalankannya maka ia akan masuk ke surga pada zamannya. Kata Kunci : Kedudukan Perempuan, Tradisi Kerajaan Buton, Ajonga Yinda Malusa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan pengamatan secara faktual, terlihat bahwa perempuan masih lebih banyak menjadi objek ketimbang menjadi subjek dalam segala aspek. Ini disebabkan oleh banyak faktor yang salah satunya berasal dari budaya patriarki yang telah berhasil mengerdilkan jiwa dan mengikis kepercayaan diri kaum perempuan. Dalam rumah tanggapun bagi perempuan harus mampu menjalankan segala kewajibaannya dan senantiasa taat terhadap ajaran dan perintah suami. Bagi Orang Buton perempuan keturunan bangsawan (Wa Ode) memiliki nilai dan kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat. Bahkan dalam pemilihan jodoh mereka tidak boleh menikah dengan laki-laki yang memiliki kasta lebih rendah dari mereka. Ada suatu aturan dalam sistem perkawinan yang mengatur tentang perkawinan perempuan. Dalam aturan tersebut berupaya untuk mencegah perempuan agar tidak turun derajatnya, dalam artian bahwa perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah dari mereka, karena perkawinan seperti itu diancam dengan hukuman mati.
Pada hakekaknya manusia diciptakan menjadi laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan berbeda agar bisa saling melengkapi guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru yang lebih kuat, dan berlangsungnya umat manusia dimuka bumi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan dasar pemikiran diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat Buton berdasarkan Teks Ajonga Yinda Malusa ? 2. Bagaimana status perempuan dalam keluarga berdasarkan Teks Ajonga Yinda Malusa ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji dan menganalisis posisi perempuan dalam masyarakat berdasarkan teks ajonga yinda malusa 2. Mengkaji dan menganalisis status perempuan dalam keluarga berdasarkan teks ajonga yinda malusa 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan secara logis terutama terhadap kajian tentang perempuan. Disinilah diharapkan juga akan diperoleh gambaran dan pemahaman mengenai teori feminis, terumatan feminis Radikal dan feminis Eksistensialis terutama digunakan dalam menganalis teks naskah. 2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan cakrawala keilmuan dari kajian budaya, serta dapat menambah pembendaharaan informasi untuk pengembangan studi perempuan Buton. 1.4.2. Manfaat Praktis Adapun manfaat Prakris penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa temuan-temuan atau ide-ide yang bermanfaat bagi proses pengembangan ilmu dan pemahaman yang benar terhadap masyarakat yang ada di tanah air dan di daerah Buton pada khususnya, mengenai kedudukan perempuan. 2. Sebagai bahan pembanding dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya feminisme. II. KAJIAN TEORI 2.1. Konsep Perempuan Konsep perempuan merujuk pada manusia bejenis kelamin bukan laki-laki. Kata ini umumnya meletak pada manusia kerena untuk hewan dan tumbuhan digunakan istilah betina. Jenis kelamin (sex) berarti perbedaan secara fisiologis sebagai mahuk yang secara kodrati memiliki fungsi organ tubuh yang bebeda. Perempuan dibedakan dari laki-laki oleh cirri fisik baik eksternal maupun internal berupa organ reproduksi. Laki-laki dikodrati memiliki alat kelamin yang sifatnya member, sedangkan perempuan lebih bersifat menerima. Perbedaan hormonal ini pula yang menyebabkan perempuan berperasaan lebih sensitif dari laki-laki (Handayani dan Sugiarti, 2008 : 4-5). Realitas sex atau kelamin ini tidak dapat saling dipertukarkan. Perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati ini ternyata dalam praktiknya membawa pandangan dan perlakuan berbeda pula dalam kehidupan sosial manusia. Perempuan yang dianggap bersifat lemah lembut dan emosional biasanya dijelaskan pada golongan dibawah laki-laki. Pada bagian ini, sudah menginjak pada konsep perbedaan laki-laki dan perempuan dalam konteks gender yang mengacu pada peren laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Berbeda dengan realitas seksual secara
kodrati yang tidak bisa saling dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, peran laki-laki dan perempuan yang merupakan bentuk budaya ini dapat saling dipertukarkan. 2.2.Konsep Gender Chodororow (1978:8) mendefinisikan Gender sebagai berikut, “ a set of arrangement by which the biological raw material of human sex and procreation is shaped by human, social intervention andsatisvied in a conventionalmanner” (seperangkat aturan yang mengatur setiap orang berdasarkan jenis kelamin yang di bentuk oleh manusia melalui intervensi sosial dan di yakini sebagai sesuatu yang lazim). Sementara itu, Humm (1990: 93) menyatakan Gender adalah A culturally shape atributes and behaviors given to the female or to the male “berbagai atribut dan tingkah laku yang di letakan pada perempuan atau laki-laki yang di bentuk oleh budaya” Kondisi defenisi tersebut menyiratkan bahwa gender merupakan konstruksi sosial budaya yang telah meletakan atribut tertentu pada perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Hal itu berpengaruh pada pola pikir dan tindakan perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Akar sejarah berikut merupakan struktural dari terjadinya bentuk-bentuk ketidak adilan gender, menurut Tjokrowinoto (1992: 97) adalah empat hal yang berikut: 1. Adanya dikotomi masukan feminisme tentang peranan manusia sebagai akibat determinisme biologis, seringkali mengakibatkan proses marginalisasi perempuan. 2. Adanya dikotomi peran publik atau domestik yang berakal dari syndroma bahwa “ peran wanita adalah di rumah” pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi produktif dan reproduktif antara pria dan wanita. 3. Adanya konsep beban ganda yang melestarikan wawasan bahwa tugas terutama wanita adalah di rumah sebagai ibu rumah tangga, cenderung menghalangi proses aktualisasi potensi wanita secarah utuh. 4. Adanya sindrom subordinasi dan meran marginal wanita telah melestarikan wawasan bahwa peran dan fungsi wanita dalam masyarakat bersifat sekunder 2.3. Konsep Budaya Patriarki Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Humm (1995 : 200) menyatakan bahwa patriarchi is a system of male authority which oppresses women thourgh its social, political, and economic institutions. “Patriarki merupakan sistem yang otoritasnya yang di pegang oleh laki-laki yang menekan perempuan baik dalam lembaga sosial, politik maupun ekonomi”. Sementara itu Lerner (1986: 239) berpendapat bahwa patriarki adalah The manivestasion and institutionalization of male dominance over women and children in the family andthe extension of male dominance over women in society general. “Manivestasi dan institisionalisasi dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan perluasan dominasi laki-laki atas perempuan dalam masyarakat umum” Menurut kedua dominasi itu patriarki merupakan suatu sistem yang menempatkan laki-laki sebagai penentu kehidupan. Misalnya, seorang perempuan yang tinggal merantau oleh suaminya ke daerah lain maka, ia tidak dapat mengambil putusan ketika anak gadisnya di lamar laki-laki ia harus menunggu hingga suaminya kembali. 2.4. Konsep Stratifikasi Sosial Kornblum ( 1988 : 193) mendefinisikan ‘Social stratification is the division of the member of a society info layers or strata based on such attribute as wealth, power, and prestige. “Stratifikasi social merupakan pembagian anggota masyarakat ke dalam tingkatan seperti kesejahteraan, kekuasaan dan prestise”. Sementara itu, light, keller, dan calhom(1989: 316) mengatakan Stratification refers to the division of a society into layers (or strata) of people who have unequal amont of scarce but desirable resources which effect their life chances and their social standing. “stratifikasi sosial menunjukan pembagian masyarakat
kedalam tingkatan yang tidak setara yang berakibat pada kesempatan hidup dan ketahanan social mereka”. Kedua defenisi itu menunjukan bahwa stratifikasi sosial adalah tingkatan yang terjadi dalam masyarakat berdasarkan keturunan, jenis kelamin, kelas sosial, dan umur. Misalnya, dalam etnis tertentu masi di jumpai gelar yang menunjukan keturunan, umpamanya raden ayu untuk perempuan ningrat etnis jawa, andi bese untuk gelar bangsawan etnis bugis di Sulawesi selatan, dan Wa Ode untuk masyarakat Buton Sulawesi Tenggara. 2.5. Konsep Feminisme Perjalanan feminisme yang panjang membuat feminisme mengalami perubahan dan perkembangan dari awal mulaperjuangan kaum feminis pada tahun 1500-an hingga sekarang ini. Definisi dari feminisme itu sendiri secara umum oleh sarah Gamble di katakan sebagai berikut. A general devinition might state that is it the belief that women, purely and simply because they are women aretreated inequitablewithin a society which a organished to prioritise male view points and concern wore aden dunied equal access to the world of public concerns as well as of cultural repsentation. Put simply feminism seeks to change the situation. “sudah menjadi hal yang umum bahwa hal itu adalah keyakinan tentang perempuan, keadaan mereka sebagai perempuan telah menjadikan ketidak adilan dalam masyarakat yang memprioritaskan sebuah sudut pandang laki-laki dalam masyarakat dan kepedulian tentang itu menjadi akses yang sama secara global yang menjadi perhatian publik, serta representasi budaya. Sederhananya feminisme dimaksudkan mengubah situasi”(Gamble.ed, 2001: 7). 2.5.1. Sejarah Singkat Feminisme. a. Feminisme Awal (Early Feminism) Dalam bukunya the rout ledge companion to feminism and posifeminism, sarah gamble menyatakan bahwa feminisme pada masa ini merupakan upaya perlawanan terhadap segala bentuk patriarki pada tahun 1550-1700 (Gamble,ed.,2001:3). Feminisme awal di tandai dengan tulisan Jane Angger yaitu Protection For Women (1589) yang di anggap sebagai tulisan pertama yang bersifat feminisme1. Selanjutnya, perjuangan kaum perempuan pada feminisme awal ini adalah untuk memperoleh kedudukan dalam masalah hukum,dan undang-undang. Salah satu yang di perjuangkan ialah hak asuh anak karena pada masa itu,secara hukum anak merupakan milik ayah. Meskipun perjuangan kaum perempuan pada masa ini belum membuahkan hasil, tetapi perubahan sikapkaum perempuan tersebut menjadi landasan bagi perjuangan kaum perempuan di masa berikutnya. b. Gelombang pertama (First Wave) Di sebut sebagai first wave karena perjuangan perempuan pada abad ke 192 ini pertama kalinya menuntut reformasinya persamaan bagi kaum perempuan di bidang sosial dan hukum, Sarah Gamble menyebutkan bahwa the key concerns of first wafe feministswere education, emploiment, the mariage laws, and the plight of inteligent middle single women. Beberapa hal yang berhasil mereka perjuangkan adalah di bukunya pendidikan tinggi bagi perempuan, reformasi pendidikan sekolah menengah terbukanya kesempatan yang luas dalam lapangan kerja atau profesi hak kepemilikan bagi perempuan yang telah menikah, penceraian dan hak asuh anak”, ( Gamble,ed, 2001: 233) c. Gelombang Kedua (Second Wave) Fenimisme Gelombang kedua (Second Wave) lahir di Amerika sebagai dampak dari buku The feminine Mysque, pada tahun 1963 karya Betty Friedan yang kemudian mendirikan organisasi benama NOW (National Organization for Woman) di tahun 1966. Sementara itu di Inggris, kemunculan feminisme Gelombang 1
Dalam tulisannya tersebut, Angger mengiterpertasikan tentang penciptaan Hawa dalam Genesis dengan makna yang sangat berbeda dari mainsiream. Menurut Anger, Hawa yang diciptakan setelah Tuhan menciptakan Adam, menunjukan bahwa logically. Eve is last and best (Gamble,ed.2001:6-7) 2 Meskipun seorang feminis bernama Mary Wollstonecraft telah memulai perjuangan secara individu, namum baru pada tahun 1850-an gerakan feminis teroganisasi di Inggris. Isitilah feminis kemudian baru diperkenalkan pada tahun 1895 (Gamble,ed.2001:233)
kedua dipicu dengan peristiwa saat perempuan kelas pekerja mengadakan aksi mogok menuntut persamaan upah. d. Pada masa ini pula fenimisme tidak lagi satu kesatuan, namun terbagi dalam beberapa kelompok seperti fenimisme kulit hitam (black feminism), feminism liberal (liberal feminism), feminisme lesbian (lesbian feminism) dan feminisme sosialis (socialist feminism). Walaupun demikian, isu-isu yang diperjuangkan dalam konfrensi Women’s liberation di Inggris dan NOW pada dasarnya mengusung masalah yang sama, yaitu: persamaan upah, pendidikan, citra perempuan di media massa, hak politik, dan keluarga. e. Posfeminisme Era 1980-an dan 1990-an dikatakan sebagai era ‘posfeminisme’, dan beberapa penyebut sebagai Gelombang Ketiga (Third Wave). Ann Brooks menjelaskan bahwa konsep’ pos’ (post) pada istilah posfeminisme merujuk pada proses transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Melalui konsep ini posfeminisme dapat dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan wacana patriaki dan kekuasaan (1997: 2). Prosfeminisme melawan secara kritis wacana patriaki dan kekuasaan yang sedang berlangsung. Hal ini berarti bahwa dalam posfeminisme wacana patriaki dan kekuasaan tidak diasumsikan tidak ada, atau telah terputus antara posfeminisme dengan feminisme. 2.6. Kajian Budaya Feminis Kesamaan pokok antara feminisme dan kajian budaya menurut Chris Barker ialah: Both feminism and cultural studies have sought to produce knowledges of and by ‘marginalized’and oppressed groups with avowed intention of making a political interventoion. Consequently, cultural studies and feminisme have shared a substansive interest in issues of power, representation popular cultural, subjectivity, identities and consumption “feminisme dan kajian budaya berusaha untuk menghasilkan pengetahuan dari dan oleh kelompok-kelompok terpinggirkan dan tertindas untuk intervensi politik. Akibatnya feminisme dan kajian budaya secara subtantif masuk dalam isu-isu representasi kekuasaan budaya pop, subyektivitas, dan identitas”(Barker, 2000:225). Pernyataan Barker tersebut mrnunjukkan bahwa berbagai isu yang menjadi perhatian utama kajian budaya dan feminisme ialah kekuasaan, repsentasi, budaya pop, identitas, subjektifitas,dan konsumsi. Dalam melakukan kajian budaya terhadap berbagai isu tersebut kajian budaya feminis meletakan dalam tiga tema utama sebagaimana yang dikemukakan ben agger (terj.). Pertama dia menampakan yang tak tampak (Agger, 2003 :272) 2.2. Landasan Teori Dalam suatu penelitian dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Teori yang dipakai dalam sebagai acuan dalam penelitian ini adalah teori Hermeneutik dan teori teori Interteks. 2.2.1. Teori Hermeneutika Hingga akhir abad ke-8, hermeneutika tidak memberi perhatian pada karya sastra. Ernst Daniel Schleimacher (1768-1834) adalah orang pertama yang mengemukakan pentingnya wilayah sastra sebagai pokok penelitian hermeneutika. Baginya, hermeneutika merupakan teori pemahaman, termasuk didalamnya sebuah teks akan diperoleh dengan melalui proses pemaknaan (W.M., 2008 : 50-51) Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana masyarakat Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan kejelasan maknanya, hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi. Kenyataan ini sering kali termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture) bentuk hermeneutik semacam ini dikaji oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini memiliki aneka macam bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran seperti yang dilakukan Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain sebagainya. Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi. Dimulai dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada hermeneutik Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode
kritik sejarah dalam teologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad ke-19 M yang sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang sama dengan tafsir terhadap kitab suci dan teks lainnya (Sahiron, 2003 : 57) Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik (science oflinguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni) dalam memahami. Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Kerangka hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey (Hans, 2004 : 260). Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia.. 2.2.2. Teori Interteks Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya. 2.3. Penelitian Revelan Penelitian tentang kajian perempuan yang telah dilakukan oleh Rohmana (2013), tentang Citra Perempuan Dalam Naskah Ratu Dewi Maleka : Kajian Feminis Ideologis. Tulisan Rohmana merupakan jurnal dengan nomor jurnal Vol. 4 No. 2 Tahun 2013 yang diterbitkan oleh perpustakaan nasional. hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa Naskah Ratu Dewi Maleka merupakan warisan leluhur yang ditemukan dari masyarakat Kawali Ciamis yaitu Pak Bandi. Di dalam naskah tersebut terdapat citra perempuan fisik, psikis dan kedudukan tokoh Ratu Dewi Maleka yang mampu mengembangkan dirinya, sebagai seorang istri ia taat terhadap suaminya, dan sebagai seorang pemimpin ia menjadi pemimpin yang dicintai, dan disegani oleh rakyatnya. 2.4. Kerangka Fikir Transliterasi Naskah Ajonga Yinda Malusa
Teori Hermeneutik
Teori Interteks Studi Kepustakaan :
Pengamatan Teks Naskah : 1. Membaca 2. Menganalisis 3. menginterpertasi
1. Penelitian relevan 2. Al-Quran dan terjemahan
Kedudukan Perempuan Dalam Tradisi Kerajaan Buton Bagan Kerangka Fikir
Berdasarakan bagan kerangka fikir diatas dapat diformulasikan sebagai berikut :Warisan kebudayaan berupa naskah kuno kini telah banyak menjadi pusat kajian khususnya dibidang ilmu filologi. Hal itu kemudian menjadikan naskah tersebut menjadi objek kajian disiplin ilmu yang lain. Misalnya dalam penelitian ini penulis berupaya untuk mengkaji naskah Ajonga Yinda Malusa yang telah ditransliterasi menjadi sebuah buku dengan melakukan stdui kepustakaan. III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Aminudin (dalam Sutra, 2009 : 31), bahwa deskriptif kualitatif artinya yang dianalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan atau Variable. Penelitian kualitatif berisi kutipankutipan dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi lapangan. Data yang dikumpulkan berupa kosakata, kalimat, maupun gambar yang mempunyai arti. 3.2. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini data tentang pembahasan tentang kedudukan perempuan dalam tradisi Kerajaan Buton yang berupa data tulis. Sehingga sasaran yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Naskah Ajonga Yinda Malusa karya karya Haji Abdul Ganiyu yang telah ditransliterasi oleh Prof. DR. Laniampe, M.Hum dan diterbitkan menjadi sebuah buku (Penerbit CV Mujahid Press, cetakan pertama Mei 2014, cetakan kedua Juli 2014, 646 halaman). Sumber data ditentukan berdasarkan kelayakan buku tersebut sebagai reverensi dalam penelitian ini. Hal ini tentunya dikarenakan buku tersebut berisi tentang teks Ajonga Yinda Malusa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Wolio dan bahasa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut sehingga lebih memudahkan penulis dalam mengkaji tentang kedudukan perempuan yang tersurat dalam teks Ajonga Yinda Malusa tampa menerjemahkannya terlebih dahulu sehinggi lebih efisien dalam pemangfaatan waktu. 3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara kerja yang terkait dengan apa yang harus dibuat dan bagimana berbuat dalam rangka medapatkan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik baca analitis dan catat terhadap Naskah Ajonga Yinda Malusa karya karya Haji Abdul Ganiyu yang telah ditransliterasi oleh Prof DR. Laniampe,M.Hum. pertama-tama peneliti melakukan observasi dalam naskah tersebut sebagai bahan primer dan studi kepustakaan terhadap sumber buku lain yang menjadi penunjang dalam penelitian sebagai bahan sekunder. 3.3.1. Pengamatan Teks Naskah Pengamatan yang dilakukan terhadap teks Ajonga Yinda Malusa dalam rangka mengetahui kedudukan perempuan dalam tradisi Kerajaan Buton adalah dengan mengamati teks-teks berupa syair tentang pembahasan perempuan. Artinya bahwa penulis akan berupaya untuk mengkasifikasikan bagiamana tentang perempuan dewasa, perempuan yang bersuami, perempuan yang dimadu, perempuan yang beruntung, serta bagaimana tentang perempuan yang dikategorikan sebagai perempuan yang celaka yang tersurat dalam naskah Ajonga Yinda Malusa. Dalam metode ini penulis pertama-tama melakukan observasi teks yang akan diteliti. Setelah melakukan observasi penulis membaca naskah tersebut secara berurang-ulang agar memahami intisari terhadap teks Ajonga Yinda Malusa tersebut. Selain itu, penulis melakukan juga analisis lebih jauh terhadap teks naskah yang menjadi obejek penelitin. 3.3.2. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan digunakan untuk menemukan pemahaman yang dapat dikembangkan dalam melakukan penelitian, selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang digunakan sebagai pelengkap data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data digunakan bukan saja dalam memperoleh data, tetapi juga merupakan bagian dari proses melihat keabsahan data.
3.4. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kualiataif dengan pendekatan fenimisme Sosialis yaitu dengan mengidentifikasi model-model pengambaran perempuan dalam teks naskah kemudian membentuk ideologi-ideologi yang menekankan pada kedudukan perempuan dengan mengunakan teori feminisme. Proses analisis data dilakukan dengan menelaah seluruh data dari berbagai sumber yang tersedia. Tahap pertama adalah mengkaji data dari berbagai sumber, membuat perbandingan dan ilustrasi, konsep, kriteria serta abstraksinya. Menurut Nasution (1998 : 10), data atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain, misalnya dari sumber kedua, ketiga dan seterusnya dengan menggunakan metode yang berbeda-beda. Penerapan teori Hermeneutik dalam analisnya penelitian ini adalah untuk melihat analisis dilakukan dengan cara memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, dan teks Tahapan selanjutnya, untuk kemudian dapat diinterpertasi makna dari kutipan teks yang ada dengan mengaikakan unsure eksternal dari teks tersebut. Selanjutnya dengan mengunakan teori Interteks dilakukan analisis untuk melihat dari bagian-bagian teks yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga dapat diperoleh data yang dapat menjawab rumusan masalah. Analisis data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi data, artinya bahwa data yang sudah ada diberi kode sesuai dengan permasalahan penulis. 2. Klasifikasi data, artinya bahwa megklasifikasikan data berdasarkan permalasahan penelitian. 3. Interpertasi, artinya bahwa suatu proses penafsiran data yang telah diklasifikasikaan. 4. Deskripsi dan analisis data, artinya bahwa data yang sudah diklasifikasikan kemudian diinterpertasikan, dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan setiap pokok permasalahan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Singkat Kerajaan Buton Buton mulai dikenal dalam sejarah nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara Kertagama karya Prapanca pada 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi, di mana terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air, rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok mia patamiana (si empat orang), yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton dikatakan berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13 (Zaenuddin, 201370). Buton merupakan negeri tujuan kelompok mia patamiana. Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Baubau). Di samping itu, juga dibentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan empat limbo (empat wilayah kecil), yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu. Tiap-tiap wilayah tersebut dipimpin oleh seorang bonto sehingga lebih dikenal dengan patalimbona. Keempat orang bonto tersebut di samping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang raja. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Posisi Perempuan Dalam Masyarakat Secara kodrati, perempuan sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya dengan manusia lain. Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan individu lain merupakan suatu usaha manusi untuk memenyhi kebutuhan sosialnya. Dari hubungan antar pribadi ini, tumbuhlah perasaan diterima, ditolak, dihargai-tidak dihargaidan diakui-tidak diakui. Di samping itu dari hubungan antar pribadi ini, manusia dapat lebih mengenal dirinya sendiri, banyak mendapatkan penilaian dan memberikan penilaian. Dalam bermasyarat posisi perempuan Buton, banyak tergambarkan dalam teks Ajonga Yinda Malusa. Olehnya itu apabila berbicara tentang bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat maka akan berbicara tentang posisi perempuan dalam aspek sosial. Perempuan memiliki peranan yang tidak dapat diabaikan dengan mudah begitu saja, hal tersebut meliputi
konsistensi individu dalam meberikan respons terhadap objek-objek sosial baik hubungan antar pribadi, hubungan antar masyarakat, hingga pada pria sebagai pasangannya. 4.2.2. Sifat Malu Bagi Perempuan Seperti yang telah dideskripkan diatas bahwa sifat malu adalah menjadi indikator yang pertama bagi manusia khususnya perempuan agar dapat memiliki nilai dalam masyarakat. Hakekatnya, bahwa sebagai mahluk yang diciptakan sebagai perempuan, tentunya harus memiliki kepribadian yang baik. Dalam teks Ajonga Yinda Malusa menyiratkan bahwa ukuran awal yang mencerminkan kepribadian yang baik adalah sifat malu. Hal ini dapat diliat pada teks berikut : Sabutunamo katauku tua situ Ee komiu sabara musirahaku Maea mpu sapo-polimiu Rampa kaea tao taposalaka Tebinata mopendelana i-tana Manusia inda momaea itu Simbau mpu pamingkuina binata Sabutanamo sarona moposalana. Pengetahuanku hanya yang demikian wahai kalian semua kenalanku Malu sekalilah sedapat-dapat kalian Karena malu sehingga kita berbeda Dengan binatang yang merayap ditanah, Manusia yang tidak malu itu Seperti Betul tingkah laku binatang Hanya nama yang berbeda (La Niampe, 2014 : 242) 4.2.3. Sifat Takut Bagi Perempuan Dewasa ini peranan perempuan yang telah ikut berpartisipasi dalam sektor publik telah perlahanlahan hampir tidak ada batasan dengan laki-laki. Fenomena tersebut kemudian menjadikan perempuan lupa akan posisinya bahkan kehilangan sifat takut. Adanya pergerakan kaum feminis radikal yang beranggapan ada suatu penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Padahal dalam Al-Quran mengaskan bahwa perempuan adalah sepereti laki-laki, mahluk ciptaan Allah, yang juga mempunyai kewajiban beribadah kepada Allah3; ia seperti juga laki-laki, adalah anak turunan Adam, yang dimuliakan Allah4; mereka adalah pasangan kaum laki-laki5; dan bersama-sama dengan kaum laki-laki mereka juga akan mempertanggungjawabkan secara individual setiap kreasi dan pilihannya6. Bila melihat fenomene yang terjadi saat ini bahwa, bagi perempuan pada umumnya gemar apa bila mendengarkan kabar yang memuji dirinya. Misalnya bermunculan ajang-ajang pencarian bakat7 yang menonjolkan potensi perempuan secara fisik dan meraka mulai berbangga diri dengan pujian tersebut. Padahal kecantikan dalam Al Qur’an dan Islam bukan di lihat pada kecantikan fisik dan Rupa semata tapi lebih pada kecantikan Sifat,tabiat,kebaikan hati dan akhlak seorang wanita. Wanita tidak perlu takut tidak cantik karena setiap wanita itu cantik dan indah apabila mempunyai akhlak yang indah pula,buat apa rupa dan fisik kita cantik tapi hati tidak cantik karena kecantikan fisik dan rupa akan hilang seiring waktu dan usia berlalu. 4.2.4. Sifat Kasih Bagi Perempuan Dalam beberapa reverensi banyak mejelaskan bahwa sifat kasih sayang adalah lebih dominan terdapat pada nurani perempuan. Perempuan yang penyayang adalah perempuan yang dikenal memiliki karakter mencintai dan mengasihi. Dalam bermasyarakat tentunya sifat kasih sayang terhadap sesama manusia adalah sebab terbesar untuk mendapatkan rahmat kasih sayang sang pencipta. 3
Q.S. Adz-Dzariat: 56 Q.s. Al-Isra: 70 5 Q.s. An-Naba:8 6 Q.s. Maryam:93 7 Banyaknya ajang pencarian bakat yang mengkompetisikan kelebihan perempuan secara fisik seperti Mis Word, ajang tarik suara dan lain-lain. 4
Sifat kasih dalam Ajonga Yinda Malusa memang lebih menekankan terhadap pemegang kekusaan dan orang kaya agar senantiasa dapat mengasihi terhadap orang-orang yang membutuhkannya. Dalam tradisi masyarakat Buton Di antara tanda sifat penyayang yang ada dalam hati seseorang adalah semangatnya untuk menyampaikan kebaikan pada masyaraka tsecara umum dan kaum papara secara khusus, dia tidak rela bila kejelekan dan bahaya menimpa mereka. Berapa besar kadar senangnya dia menyampaikan kebaikan dan rasa tidak suka bila ada orang yang tertimpa kejelekan itulah besarnya sifat sayang yang ada dalam hatinya. 4.2.5. Sifat Pelihara Bagi Perempuan Dalam kehidupan bermasyarakat harus disadari bahwa secara kolektif masyarakat memiliki ciri-ciri hidup yang berbeda-beda sehingga diperlukan sifat yang saling memelihara antara individu yang satu dan individu yang lain. Dalam tradisi pergaulan masyarakat Boton sifat pelihara itu disebut sebagai tapodamba-dambaka (saling mendambakan). Sifat tersebut merupakan refleksi dari hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Tentang bagaimna antara perempuan dan laki-laki saling menghormati, sayang menyangi antar sesama khususnya antara anak dan orang tua serta suami dan istri, saling menjaga tingkah laku, serta saling mengangkat derajat. 4.2.6. Sifat Insyaf Bagi Perempuan Pengertian insyaf berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (235 : 435) terdapat penjelasan bahwa insyaf dapat berarti, mengerti, benar atau yakin akan sesuatu, atau juga dapat diartikan sebagai sadar akan kekeliruan dan bertekad akan memperbaikinya. Sesungguhnya sifat insyaf ini perlu kiranya untuk diterapkan pada semua orang. Namun penulis lebih menekankan sifat inyaf bagi perempuan. Siafa insyaf yang dimaksud dalam teks Ajonga Yinda Malusa adalah tentang bagaimana adanya suatu kesadaran azazi pada setiap manusia khususnya perempuan bahwa tidak ada satu manusiapun yang sempurna. Dalam pergaulan sehari-hari seringkali tanpa sadar bahkan dalam keadaan sadar membuat ketersinggungan pada orang lain. Setiap orang memiliki sisi yang baik dan buruk, manakala sisi baik yang terjadi maka pujianlah yang akan diberikan, namun apabila sisi buruk yang tersorot maka celaanlah yang diberikan kepada yang bersangkutan. Maka jika demikian segeralah sadar diri dari bertobat kepada Tuhan karna sesungguhnya setiap manusia memiliki sifat buruk. 4.3. Status Perempuan Dalam Rumah Tangga Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya. Tanggungjawab suami yang tidak ringan diatas diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya. Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri. 4.3.1. Perempuan Sebagai Penyimpan Rahasia Lelaki Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa dia akan menikah. Seluruh kepentingan perempuan gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali dicap sebagai anak yang tidak berbakti. Bila merujuk kembali dalam tradisi masyarakat Buton terkait tentang sistem perkawinan dan kekerabatan , seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa laki-laki Buton diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari golongan yang lebih rendah, akan tetapi perempuan Buton tidak boleh menikahi laki-laki yang golonganya lebih rendah darinya. Hal ini tentunya untuk menjaga derajat perempuan terhadap lelaki yang menikahinya.
Oleh karena seorang istrilah yang mengetahui segala rahasia suami dan menjaganya dengan baik maka laki-laki senantiasa harus menyanyangi istrinya serta memberikan kenyamanan dalam kehidupannya. Apabila istri bersalah ajarilah dengan lembut, sebab perempuan itu seringkali melakukan kesalahan. Dalam berumah tangga haruslah diciptakan suasana yang harmonis didalamnya. 4.3.2. Perempuan Sebagai Pelita Rumah Tangga Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat penting dalam rumah tangga. Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah tangganya sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi suami. Perempuan sebagai pendamping suami, secara umum bertugas memenuhi kewajibannya terhadap suami, mendukung/mendorong semangat untuk keberhasilan suami dalam berbagai hal dan mendoakan suami. Sebagaiman kita ketahui bahwa, keluarga itu sendiri dapat dilihat dalam arti kata yang sempit yaitu sebagai keluarga inti (exstended family) yang merupakam kelompok sosial terkecil dari masyarakat, yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anak yang di dalamnya dilandasi oleh cinta dan kasih sayang di antara anggotanya serta saling bertanggung jawab atas rumah tangga yang dibina. Sebab antara laki-laki dan perempuan diciptakan dengan masing-masing kelebihan sehingga senantiasa saling memenuhi hak dan kewajiban. Keduanya diciptakan dari satu “nafs” (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Atas dasar itu, prinsip Al-Quran terhadap hak kaum laki-laki dan perempuan adalah sama.8. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah dalam berumah laki-laki dan perempuan harus saling memahami satu sama lain. Seorang suami harus menyangi istrinya dengan sepenuh hati, jangan mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat menyakiti telinganya, serta perilaku yang dapat mengganggu kesenangan hatinya. Seorang istri jangan memaksakan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi oleh suaminya. Namun ia harus senantiasa bersyukur mandapatkan suami yang bijaksana. Sebab perempuan yang demikian itu adalah segala-galanya hiasan dunia dan senantiasa menjadi pelita rumah tangga. 4.3.3. Status Perempuan Yang Dimadu Dalam pemikiran masyarakat secara umum, beranggapan bahwa di mana perempuan selalu saja dijadikan sebagai sebuah objek. Perempuan dipandang sebagai sebuah objek keindahan badaniah yang hanya dapat dilihat dan dinikmati saja. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang kemudian mulai melahirkan sreotip bahwa perempuan itu adalah sebagai pemuas nafsu laki-laki. Ahmad (2007 : 99) berpendapat bahwa paraktek poligana bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan persolan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktek poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Dengan cara pandang budaya, memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. 9 Sehingga perempuanlah senantiasa harus sabar dalam menjalani kewajibannya sebagai seorang istri. Olehnya itu, sabarlah dan tetap taat pada perintah suami bagi perempuan yang di madu. Sebab perempuan janganlah menjadi perempuan yang celaka atau istri yang durhaka pada suami. Sayang menyangilah dan senantiasa bersukur terhadap suami. Pakailah sifat malu, segan, takut, pelihara, dan insyaf agar rumah tangga terhindar dari pertengkaran bahkan perceraian dan selalu harmonis. V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penilitian ini adalah: 1. Dalam bermasyarakat perempan senantiasa menerapkan sifat-sifat yang terdapat dalam teks Ajonga Yinda Malusa yakni : pertama. Sifat malu, yaitu perempuan harus menerapkan sifat malu dalam bermsyarakat sebab malu adalah pelindung dari aib. Walaupun kecantikan
perempuan bagaikan bidadari nanun tidak memakai malu sehingga menjadikan kecantikannya itu bagaikan kecantikan jalanraya, artinya bahwa setiap orang dapat menikmati kecantikannya itu dan membuatnya bagaikan sifat binatang (malu adalah sifat yang membedakan antara manusia dan binatang). Kedua, sifat takut. Dalam teks Ajonga Yinda Malusa, takut dibagi menjadi empat yaitu, (1) takut tabiat, (2) takut ahmaku, (3) takut munafik, (4) takut syariat. Kesimpulan dari keempat takut itu adalah perempuan harus takut dalam pergaulannya khususnya pada lawan jenisnya. Apabila ada yang memuji kelebihan pada dirinya maka patutlah dia merasa takut akan pujian itu. selanjutnya untuk senantiasa menyadari bahwa sesungguhnya harus patut terhadap syariat agama. Ketiga. Sifat kasih dalam teks Ajonga Yinda Malusa adalah lebih kepada adab pergaulan yang harus diterapkan dengan cara keteladanan, yakni sifat agung yang berinduk dari sifat Tuhan yang maha pengasih kepada semua mahluk ciptaannya. Sifat kasih ini bila diformulasikan dalam hubungan bermasyarakat maka bagi orang yang memiliki kekuasaan dan harta yang lebih maka tentunya harus mengasihi orang-orang yang kekurangan. Keempat. Sifat Pelihara yaitu sifat yang saling memelihara antara individu yang satu dan individu yang lain. Dalam tradisi pergaulan masyarakat Boton sifat pelihara itu disebut sebagai tapodamba-dambaka (saling mendambakan). Sifat tersebut merupakan refleksi dari hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Tentang bagaimna antara perempuan dan laki-laki saling menghormati, sayang menyangi antar sesama khususnya antara anak dan orang tua serta suami dan istri, saling menjaga tingkah laku, serta saling mengangkat derajat. Kelima. Sifat Insyaf. Yang dimaksud sifat insyaf dalam teks Ajonga Yinda Malusa adalah tentang bagaimana adanya suatu kesadaran azazi pada setiap manusia khususnya perempuan bahwa tidak ada satu manusiapun yang sempurna. Dalam pergaulan sehari-hari seringkali tanpa sadar bahkan dalam keadaan sadar membuat ketersinggungan pada orang lain. 2. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini terkait dengan status perempuan dalam rumah tangga yaitu, pertama, perempuan adalah penyimpan rahasia laki-laki, artinya bahwa segala yang melekat dalam diri laki-laki baik lahiriah dan bhatiniah sehingga seorang suami jangalah menceritakan aib istrinya pada orang lain. perempuan yang menjadi penentu dari keberhasilan suami, perempuan haruslah menjada dirinya dari segala hal yang dapat menimbulkan keaiban suaminya. Sebab ialah yang menjadi simbol kewibawan suaminya. Walaupun seorang laki-laki memiliki segalanya namun apabila istrinya melakukan sesuatu yang menimbulkan keaibanya maka sia-sialah apa yang dimilikinya. Kedua, perempuan sebagai pelita rumah tangga artinya bahwa Sebagai seorang suami, laki-laki bertanggungjawab untuk mendidik istrinya, menanasehati istrinya apabila melakukan kesalahan. Sebagai kaum feminis perempuan tergadang seringkali berupaya berkeinginan yang banyak terhadap suaminya. Apabila demikian seorang suami harus berupaya memenuhi keinginan istrinya itu namun dalam tuntutan yang rasional. Laki-laki tidak boleh marah apabila istrinya banyak keinginannya sebab sesunggunya peresaann perempuan itu sebagaimna juga perasaan laki-laki. Ketiga, sebagai perempuan yang dimadu, perempuan haruslah senantiasa bersabar Tidak boleh terpengaruh oleh perilaku madunya, ia harus taat pada perintah suaminya sesungguhnya jika ia bersabar maka ia akan tergolong sebagai penghuni surga dizamannya. 5.2. Saran 1. Warisaan kekayaan budaya seperti naskah kuno sangatlah berarti bagi pemilik kebudayaan tersebut setra masyarakat pendukungnya, sehingga bagi para filolog patutlah untuk diberikan apresiasi sehingga dapat terus menggali dan mengumpulkan naskah-naskah kuno yang ada sehingga dapat menjadi suatu ilmu baru bagi disiplin ilmu lain. 2. Hasil transliterasi naskah ajonga yinda malusa ini sangat banyak terdapat nilai-nilai kehidupan yang positif dalam bermasyarat ataupun berbudaya yang khususnya baik menjagi pedoman hidup perempuan 3. Untuk pemerintah sebaiknya melestarikan naskah-naskah kuno yang ada dan memberikan santunan kepada pemilik naskah agar naskah bisa selalu dilestarikan,
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Fauzi Muda. Perempuan Hitam Putih (Pertarungan Kodrat Hidup vis a vis Tafsir Kebahagian. Jakarta : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Al-Ghazali. 1985. Ihya a—Ghazali. Terjemahan T.k H. Ismail Yakub. Jakarta: Faizan Al – Quran dan Terjemahannya. 1995. Diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran Departemen Agama RI. Semarang: As-Syifa Ali-Harb. 2004. Kritik Kebenaran. Diterjemahkn Dari Naqd Al-Haqiqah. Terj.Sunarwato Demo. Yogyakarta. Lkis Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik Penerapan dan Implikasinya. (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka Amal, Sitti Hidayati. 1995. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita Dalam T.O Ihromi (E.d) Kajian Wanita Dalam Pembangunan. (h. 83-109). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Barker, Chris, 2000. Cultural Studies : Theory and Practice. London : SAGE Publications Ltd. Berg, E.J. Van den. 1939. Adatgetbrukein in verband met de sultansintellatie in Boeton : TBG 79:469-528 Biopsi, Heksa Puji Hastuti. 2013. Representase Perempuan Tolaki Dalam Mitos (Studi Terhadap Mitos Oheo dan Mitos Wekoila). Kendari : Universitas Halu Oleo : Tesis Program Pascasarjana Kajian Budaya. Brooks, Ann. 1997. Posreminisme and Cultural Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (terj. S Kunto Adi Wibowo). Yogyakarta : Jalasutra. Chodrow, Nancy. 1987. The reproduction of mothering, psychoanalisis and the sociology of genger.Barkeley : University of California. Press. Daud Ibrahim, Marwah. 1998. “Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru.” Bandung: PT.Remadja Rosdakarya Gamble, Sarah. (ed). 2001. The Routlegde Companion to Feminism and Postfeminism. London and New York : Routladge Garna, Judistira K, 1996. Ilmu-ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung. Graham, Allen. 2000. Iterxtuality. London: Routledge. Fahimuddin, M. Mu’min (Ed). 2011. Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton. Baubau : Respect. Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Handayani, Trisakti, dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang : UPT penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Hans, George Gadamer. 2004. Kebenaran dan Metode Pengantar Filsafat Hermeneutik. Terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hasan, Susanto. 2000. Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab. : Departemen Literatur Humm, Maggie. 1992. Feminis : A Reader. Essex : Harvester Wheatshcaf , 1995. The dictionary of feminist. London : Routledge Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Wanita, Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa. Bandung: Mandar Maju Kornblum, William. 1998. Sociology in a change word. New York: Oxford University. La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino: Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjajaran : Tesis Program Pascasarjana. , 2014. Nasihat Leluhur Untuk Masyarakat Buton-Muna. Mujahid Press. La Ode Malim. 1958. Membara Api Tuhan. Ujung Pandang : Balai Bahasa Ujung Pandang. Kaplan, M.Robert, Saccuzzo, P.Dennis. 1982. Psychology Testing Principles, Applications, And Issues, California : Brooks/Cole Publising Company
Koentjaraningrat. 1989. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Gramedia: Jakarta . 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia. Lener, Garda. 1986. The creation of patriarchy. New York : Oxford University M. Mansur. 2002. Studi Al-Quran Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Maeryani. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet I. Muchir, 2003. Sara Pataaguna Memanusiakan Manusia Menjadi Manusia Khalifatullah Di Bumi Kesultanan Butuni. Tarafu. Buton Nasution, S. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Tarsito. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukralisme hingga Postrukuralisme, Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rueda, Marisa, Dkk. 2007. Feminisme Untuk Pemula. (Terj-). Yogyakarta: Resist book Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rosdin, Ali. 2015. Nilai-nilai Kehidupan Masyarakat Buton : Kajian Filologi dan Sosiologi Sastra serta Suntingan Teks dan Terjemahan terhadap Naskah Kabanti Ajonga Yinda Malusa. Yogyakarta : Disertasi UGM . 2015. Nilai-nilai Kehidupan Masyarakat Buton (Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia). Kendari : Oecenia Press Rohmana, Ai. 2013. Citra Perempuan Dalam Naskah Ratu Dewi Maleka : Kajian Feminis Ideologis. Jurnal Jumantara : Vol 4 No 2 Sahron, Syamsuddin. 2003. Hermeneutik Al-Quran Madzab Yogya. Yogyakarta : Islamika Schrool, Pim. 2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta : Djambatan, KITLV. Sholwater, Elaine. 1985. The New Criticism: Essay on Women Literature and Theory. New York: Pantheon Bokks. Singaribun, dkk. 1989. Metode Penelitian Suvai. Jakarta : LP3ES Tjokrowinoto, Moeljarto, Soenajo, Bambang. 1992. Wanita dalam perspektif pembangunan, suatu pengantar. Dalam M. Masyur Amin dan Masruchah (Ed). Wanita dalam percakapan antar agama: aktualisasi dalam pembangunan. (h.97-111). Yogyakarta : LKPSM Udu, Sumiman. 2009. Perempuan Dalam Kabanti. Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta : Diandra. Yunus, Abdul Rahim. 1995. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Jakarta : Indonesian- Netherlands Cooperation in Islamic Studies Zaadi, La Ode. 2005. Mengenal Kebuyaan Buton. Bau-Bau : Sambalagi Zahari, Abdul Mulku. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Jilid 1-3). Jakarta: Proyek Pengembangan Depdikbud. Sumber Lain : http:/fah.uinjkt.ac.id/index.php/kerajaan_kesultananbuton15-berbagi.htm http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-munafik.html (diakses pada tanggal 20 maret 2016)