Kedua desa penelitian rnemiliki banyak kesamaan sosial ekonomi. disebabkan oleh kesarnaan geografi dan proses pembentukan desa rnelalui rnigrasi swakarsa, pernbentuk
struktur
dimana struktur agraria terbentuk bersamaan dengan sosial
rnasyarakatnya. Surnber-sumber
agraria
yang
mendukung kehidupan rnasyarakat perlu dibedakan atas dua kawasan, yaitu sumber-sumber agraria di dalam desa dan di kawasan hutan di dekatnya. Kedua sumber agraria ini berbeda struktur penguasaannya, status hukumnya, serta perilaku eksploitasi terhadapnya. Kesirnpulan berikut disusun sesuai -dengan butir-butir tujuan penelitian.
(1). Proses pembentukan struktur agraria. Sebagai daerah yang didorninasi oleh usaha pertanian, tanah merupakan sumber daya agraria terpenting bagi penduduk. Semenjak wilayah ini dibuka telah terjadi perubahan penggunaan Zanah, yaitu dari hutan menjadi lahan-lahan pertanian dengan tanaman sejenis terutama kakao. Perubahan ini merupakan penurunan keragarnan vegetasi (biodiversitas) alam tropis yang bercirikan keragaman yang tinggi. Secara teknis ha1 ini akan mengancam kebeiangsungan ekosistem tersebut di rnasa depan. Dari kedua sumber-sumber agraria, di dalarn desa dan di kawasan hutan. terbentuk dua struktur agraria dengan komposisi yang berbeda antar kelompok kepentingan. Di kawasan desa, dirnana hampir seluruh tanah rnerupakan tanahtanah pribadi, tanah dikuasai masyarakat desa dalarn konfigurasi berbentuk kelompok-kelompok suku.
Sebaliknya, di
kawasan
hutan terjadi
konflik
pengusahaan antara tiga kelompok kepentingan, yaitu pernerintah, swasta, dan
rnasyarakat desa. Skala konflik pernanfaatan lebih besar di hutan TN Lore Lindu karena sifat rnanajernen pengelotaan hutannya yang lebih ketat dibandingkan hutan produksi terbatas di dekat Berdikari. Masyarakat kedua desa adalah masyarakat pinggiran hutan yang belum lama terbentuk melalui migrasi swakarsa, dan rnasih hidup dalam kelompokkelompok yang secara visual terlihat dari pola pemukirnan berdasarkan suku. Sentirnen suku rnenjadi penentu dalam pembentukan struktur agraria, dimana faktor sesuku dijadikan preferensi utama dalarn mernberikan rnaupun dalarn rnenjual tanah. Hal ini berirnplikasi kepada sernakin rnenguatnya ikatan sosial berdasarkan suku, dimana tanah rnenjadi objek perebutan antar suku. Dinamika pernbentukan struktur agraria juga memperlihatkan adanya dorninasi Suku Bugis terhadap suku lain, khususnya terhadap Suku Kaili di Desa Sintuwu dan Kulawi di Oesa Berdikari. Dorninasi ini disebabkan karena lebih baiknya strategi usahatani, keterampilan, serta keuletan dalarn bertani orang Bugis. Mereka rnemiliki kebun kakao lebih luas sehingga ekonorninya lebih menonjol. lmplikasi lebih jauh, dengan pendapatan yang lebih tinggi rnereka marnpu rnernbeli tanah lebih luas lagi. Pada sisi lain, Suku Kaili dan Kulawi sering harus menjual tanahnya untuk rnenutupi kebutuhan sosial budaya yang besar. Marjinalisasi penguasaan tanah yang dialami Suku Kaili 'dan Kulawi ini mengancarn keterjarninan sosial ekonorninya. Kebutuhan terhadap 4ahan garapan sementara rnereka tidak rnarnpu rnernbeli, maka mereka terpaksa berkebun ke dalarn hutan negara. Ekspansi ke dalarn areal TN Lore Lindu didorong oleh konflik tapal batas baru fdibangun tahun 1982) yang ridak diakui oleh rnasyarakat Sintuwu, sernentara ekspansi ke dalarn hutan negara di Berdikari leb~h disebabkan karena lernahnya pengawasan oleh pernerintah.
(2). Keterjaminan keamanan sosial ekonomi masyarakat.
Pembentukan keterjaminan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi bersamaan dengan pembentukan struktur agraria menunjukkan pola yang berbeda berdasarkan kelompok suku. StruMur ekonomi rumah tangga Suku Bugis lebih baik karena pemilikan kebun kakao yang lebih luas sehingga pendapatannya lebih tinggi. Sebaliknya. Suku Kaili dan Kulawi dihadapkan kepada kewajiban sosial budaya yang mernbutuhkan biaya besar berupa pesta perkawinan dan selamatan kematian.
Untuk memenuhinya Suku Kaili dan
Kulawi terpaksa menjual tanah sebagai sumber uang tunai yang cepat, meskipun itu mempakan pilihan yang lemah karena dalam jangka panjang menyebabkan lemahnya stmktur ekonomi rumah tangga dan terancamnya keamanan sosial ekonomi. Hubungan-hubungan sosial dalam-produksi yang bedandaskan sentimen kerabat dalam satu suku. menjadi salah satu institusi penjamin kearnanan sosial ekonomi (socioeconomy security)
ketika ikatan komunitas sedesa belum
terbentuk sampai saat ini. Terdapat gradasi level organiasi sebagai penjamin beragam kebutuhan sosial ekonomi. Untuk mendapatkan tanah garapan misalnya. seseorang akan lebih mengandalkan ikatan keluarga inti, diikuti oleh ikatan keluarga luas, satu tampat asal (desa sampai kabupaten) dalam satu suku, dan terakhir jkatan satu suku. Kernanan sosial ekonomi bagi penduduk yang rnemiliki kebun dalam kawasan hutan bersifat lemah. karena -tidak didukung oleh jaminan legatitas hukum formal. Ketiadaan jaminan hukum mendorong periiaku eksploitasi yang kurang mengikuti prinsip-prinsip konservasi. Hal ini tarnpak dari penanaman kawasan hutan yang bertopografi bukit-bukit tejal dengan tanaman monokultur kakao. Eksploitasi yang rnelebihi kemampuan teknis 4ahan terlihat dari sikap
enggan melakukan investasi kepada tanah tersebut misalnya dengan membuat teras serta bangunan penahan teras untuk menjaga struktur fisik tanah.
(3). Kestabilan sumber-sumber agaria dan prospek keberlangsungan ekosistem. Kestabilan lansekap fisik ekosistem tampak mengalami degradasi karena perilaku eksploitasi yang tidak mengikuti prinsip-prinsip konservasi khususnya pada kawasan hutan. Ekspansi kebun kakao ke dalam kawasan hutan mempakan dependen dari status ketejaminan sosial ekonomi pelakunya, yang didukung beberapa faktor pelancar yaitu lemahnya penegakan hukum, dukungan pemerintahan desa. serta sifat usahatani kakao yang budidayanya mudah dan kurang mernbutuhkantenaga kerja. Di dalarn kawasan desa, tejadi kecenderungan ke arah penyeragaman vegetasi monokultur kakao, dan banyak tejadi konversi lahan sawah menjadi perkebunan kakao, terutama di desa Sintuwu.
Keberadaan sawah semakin
rnenyempit semenjak berkurangnya pasokan air irigasi narnun fluktuatif dari sungai-sungai yang memiliki hulu dalam kawasan hutan.
Hal ini merupakan
dampak dari penggundulan hutan serta penanaman kakao dalam kawasan hutan. Keberlangsungan sosial ekonomi rnasyarakat secara umum berada dalam kondisi terancam, karena menurunnya status kestabilan sumber-sumber agraria yang mereka miliki. Penanarnan coktat secara monokultur mengancam keberlangsungan ekosistem, karena selain
menurunkan level keragaman
biologis (biodiversity), juga merupakan strategi yang lernah untuk tercapainya keterjaminan keamanan sosial ekonomi karena rnenggantungkan diri hanya kepada satu jenis komoditas dan pasar. Pembentukan struktur agraria sebagai gambaran keterjaminan keamanan sosial ekonomi penduduk merupakan proses sosial yang berada pada sisi 128
manusia dalam
konteks koevolusi manusia-alam. Dari penelitian ini diperoleh
pemahaman bahwa manusia sebagai komponen yang aktif bertanggung jawab kepada perubahan biofisik, yaitu surnber-sumber agraria yang menjadi penopang kehidupannya. Di dasarkan pada konteks koevolusi manusia-alam tersebut, maka penurunan kondisi lingkungan bio-fisik yang terjadi baik pada kawasan dalam desa maupun dalam kawasan hutan negara, pada gilirannya akan mengancam
keberlangsungan
ekosistem
secara
keseluruhan.
Tingkat
keterancaman pada penduduk akan lebih terasa pada kelompok sosial yang memiliki akses yang terbatas terhadap sumber-surnber agraria, yaitu Suku Kaili dan Kulawi di Sintuwu dan Suku Kulawi di Berdikari. Dari kenyataan ini, maka untuk mengendalikan degradasi sumber-sumber agraria di masa depan perlu diberikan perhatian lebih kepada kedua suku tersebut yang juga paling banyak melakuan ekspansi ke dalam kawasan hutan negara. Tanaman kakao yang diusahakan dalam formasi kebun merupakan sumber ekonorni terpenting di wilayah ini. Kakao mendominasi areal pekarangan dan lahan kering yang dimiliki penduduk, dan perkembangannya sangat cepat dari tahun ke tahun. Melalui analisis sistem ekohomi kakao dapat dijelaskan bagaimana terbentuknya struktur agraria dan sekaligus ketejaminan keamanan sosial ekonorni masyarakat. Suku Bugis yang memiliki kebun kakao lebih luas berkesempatan menguasai tanah lebih luas lagi serta berada pada status keterjaminan yang lebih tinggi. Lebih jauh dari itu, tanaman kakao juga telah berperan terhadap menurunnya kondisi ekosistem di wilayah ini. Keinginan yang kuat untuk merniiiki kebun kakao sementara mereka tidak mampu rnembeli tanah di dalarn desa, maka terjadi ekspansi ke dalam areal kehutanan negara yang secara teknis kurang sesuai untuk tanaman perkebunan secara monokultur.