Jurnal Empati, Januari 2015, Volume 4(1), 23-27
KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN REGULASI EMOSI PADA MAHASISWA PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN Alvindi Ayu Agasni1, Endang Sri Indrawati 2 1,2
҆Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang Semarang 50275
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritualdengan regulasi emosipada mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013. Populasi penelitian ini adalah 217mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013.Sampel penelitian sebanyak 96 mahasiswa. Subjek sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan dua buah Skala Psikologi, yaitu Skala Regulasi Emosi (25 aitem; α = 0,901) dan Skala Kecerdasan Spiritual (44 aitem; α = 0,924). Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan terdapat hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan regulasi emosi (r = 0,762; p<0,001). Kecerdasan spiritual memberikan sumbangan efektif sebesar 58,1% pada regulasi emosi dan sebesar 41,9% ditentukan oleh faktor lain. Kata kunci: kecerdasan spiritual, regulasi emosi, mahasiswa
Abstract This study aims to determine the relationship between spiritual intelligence with emotion regulation in the Student Class of 2013 Graduate Medical Education Program Diponegoro University. The population was 217 in the Student Class of 2013 Graduate Medical Education Program Diponegoro University. The research sample is 96 students. Samples were taken using simple random sampling technique. Data were collected using the Emotion Regulation Scale (25 items; α = .901) and the Spiritual Intelligence Scale (44 items; α = .924). The results of a simple regression analysis showed that there is a significantly positive relationship between spiritual intelligence and emotion regulation (r = .762; p < .001). Spiritual intelligence provides effective contribution of 58.1% in the regulation of emotion and of 41.9% determined by other factors not examined in this study. Keywords: spiritual intelligence, emotion regulation, student
23
Jurnal Empati, Januari 2015, Volume 4(1), 23-27
PENDAHULUAN Emosi merupakan hal yang sangat penting dibutuhkan dalam kehidupan seharihari. Emosi sangat membantu dalam berinteraksi dengan orang lain yaitu untuk memberikan informasi tentang status interaksi yang sedang terjalin. Emosi terbagi menjadi beberapa macam, baik emosi positif dan emosi negatif seperti senang, marah, sedih, kecewa, takut, malu dan masih banyak emosi lainnya. Emosi perlu untuk dikelola agar tidak muncul secara berlebihan. Pengelolahan tersebut yang dinamakan dengan regulasi emosi. Regulasi emosi ini sangat dibutuhkan bagi individu dalam mengambil sikap terhadap emosi mereka dan menerima konsekuensi dari tindakan emosional mereka. Setiap individu memiliki regulasi emosi yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula. Regulasi emosi yang baik dapat menghasilkan reaksi emosional yang positif. Mahasiswa mengalami beberapa tahapan perkembangan yaitu masa peralihan dari remaja akhir menuju dewasa awal. Suatu fase yang dianggap penuh dengan berbagai masalah dan tekanan yang menimbulkan ketegangan emosional, periode komitmen dan masa ketergantungan, periode isolasi sosial, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru (Arnett, 2004). Berbagai perubahan yang mereka alami dan kemudian diikuti dengan banyaknya tuntutan yang mereka dapatkan sehingga menyebabkan kemunculan beragam masalah. Mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013 menggunakan waktunya lebih banyak untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dan belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Hal tersebut dikarenakan apabila nilai mahasiswa tidak memenuhi syarat, maka akan di drop out (DO). Ketentuan DO ini dilakukan setelah adanya evaluasi pada IPK mahasiswa selama tiga semester. Keadaan tersebut mengakibatkan ketegangan bagi mahasiswa. Kecemasan serta ketakutan akan kegagalan dalam menyelesaikan setiap beban studi, membuat emosi mahasiswa tidak stabil. Mahasiswa kedoketeran sebagai calon dokter hendaknya dituntut untuk siap melayani masyarakat dengan segala keadaan. Mahasiswa perlu memiliki regulasi emosi yang tinggi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013) bahwa terdapat hubungan yang positif dan sangat signifikan antara regulasi emosi dengan perilaku prososial pada perawat. Individu yang memiliki regulasi emosi yang rendah dalam pelayanan pekerjaan akan berbeda dengan individu yang memiliki regulasi emosi rendah. Individu dengan regulasi emosi tinggi khususwa perawat, ia akan mengatur perasaan dan emosi mereka dengan baik untuk memberikan pertolongan dan pelayanan terbaik untuk kesembuhan pasien sehingga memaksimalkan penilaian positif terhadap kualitas pelayanan. Regulasi emosi adalah hasil dari usaha individu untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi emosi dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk mempengaruhi hasil akhir emosi yang diinginkan, sebagai bentuk penyesuaian dengan lingkungan. Aspek regulasi emosi yang digunakan pada penelitian ini yaitu memonitor emosi, mengevaluasi emosi, dan modifikasi emosi. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi disposisi ,atau temperamen sejak bayi yang mendasari sistem saraf dan fisiologis yang mendukung serta terlibat dalam proses kontrol emosi yang terdiri dari usia dan kognitif. Faktor ekstrinsik meliputi cara dimana pengasuh membentuk dan
24
Jurnal Empati, Januari 2015, Volume 4(1), 23-27
bersosialisasi terhadap respon emosional individu sejak bayi dan hubungan yang berkembang antara anak dan pengasuh sebagai konsekuensi dari interaksi penting ini yang teridri dari keluarga dan budaya. Permasahan mengenai regulasi emosi pada mahasiswa kedokteran tersebut menuntut suatu kemampuan dalam menghadapinya agar tidak mengarah kepada tindakan yang negatif. Kemampuan individu dalam menghadapi dan memecahkan persoalan dengan memberikan penilaian pada konteks makna yang lebih luas adalah kecerdasan spiritual. Sejalan dengan pendapat Safara & Bathia (2013) yang menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk mengatur emosi. Biasanya kemampuan mengatur emosi dikaitkan dengan kecerdasan emosi namun, ketika kecerdasan spiritual terbangun sebagai faktor umum yang mendasari kemampuan lain juga melibatkan kecerdasan emosi. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan pusat untuk masalah kehidupan yang terwujud dalam atribut yang saling berhubungan diantaranya yaitu iman, kerendahan hati, rasa syukur, kemampuan integratif, moralitas, dan kemampuan untuk mengatur emosi. Fungsi dasar dari spiritual dapat meningkatkan regulasi emosi. Kecerdasan yang melingkupi seluruh kecerdasan pada manusia atau dapat diartikan sebagai kecerdasan tertinggi yaitu kecerdasan spiritual.Menurut Michael Levin (dalam Safaria, 2007) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah perspektif artinya mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada Sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan memecahkan persoalan dengan memberikan penilaian pada konteks makna yang lebih luas. Aspek dari kecerdasan spiritual yaitu sikap fleksibel, kesadaran diri yang tinggi, kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, menghindari kerugian yang tidak perlu, berpikir secara holistik, kemampuan mempertanyakan suatu informasi mendasar, serta menjadi pribadi mandiri. Hal senada diungkapkan oleh Sinetar (dalam Safaria, 2007) bahwa kecerdasan spiritual erat hubungannya dengan kesadaraan diri dimana individu mengikutinya kemana pun kesadaran diri itu membawanya. Kesadaran dini ini dikemudian hari akan mendorong individu untuk secara terus menerus mengaktualisasikan dirinya secara optimal dan utuh. Berdasarkan uraian diatas, peneliti terstarsik untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritualdengan regulasi emosipada mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan regulasi emosi pada mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual, maka semakin tinggi regulasi emosi pada mahasiswa, sebaliknya apabila tingkat kecerdasan spiritual rendah maka semakinn rendah pula regulasi emosi pada mahasiswa.
25
Jurnal Empati, Januari 2015, Volume 4(1), 23-27
METODE Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013 yang berjumlah 217 orang. Karakteristiknya yaitu tercatat resmi dan masih aktif mengikuti perkuliahan. Sampel penelitian sebanyak 137 mahasiswa, maka sisa dari jumlah populasi penelitian menjadi subjek uji coba penelitian. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara undian, yaitu mengundi nomor absensi dari nama-nama subjek dalam populasi. Undian ini bertujuan untuk mendapatkan 137 nama subjek dari jumlah populasi. Sisa nama dalam undian yang belum terpakai digunakan menjadi subjek uji coba penelitian yaitu sebanyak 80 mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua skala, yaitu Skala Regulasi Emosi dan Skala Kecerdasan Spiritual. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Science).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi sederhana dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan regulasi pada mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UNDIP Angkatan 2013 (r = 0,762; p < 0,001). Semakin tinggi kecerdasan spiritual yang dimiliki mahasiswa maka akan semakin tinggi regulasi emosi, dan sebaliknya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan spiritual yang dimiliki mahasiswa maka akan semakin rendah regulasi emosi. Hasil tersebut membuktikan bahwa hipotesis yang yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 36,45% mahasiswa berada pada kecenderungan kategori regulasi emosi yang sedang, 60,41% mahasiswa berada pada kecenderungan regulasi emosiyang tinggi, dan 3,12% mahasiswa berada pada kategori yang memiliki regulasi emosisangat tinggi. Mayoritas mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Tahun Angkatan 2013 berada pada kategori regulasi emosi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 3,12% mahasiswa berada pada kecenderungan kategori kecerdasan spiritual yang sedang, 83,33% mahasiswa berada pada kecenderungan kategori kecerdasan spiritual yang tinggi, 13,54% mahasiswa berada pada kecenderungan kategori kecerdasan spiritual sangat tinggi. Mayoritas mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Tahun Angkatan 2013 berada pada kategori tinggi mengindikasikan bahwa mahasiswa memiliki kemampuan untuk bersikap positif dalam memaknai setiap persoalan dengan menjadikan hal tersebut sebagai motivasi diri agar lebih baik serta lebih kreatif dalam menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi dengan berpikir kritis dan terbuka dalam menghubungkan berbagai sudut padang.
26
Jurnal Empati, Januari 2015, Volume 4(1), 23-27
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan regulasi emosi pada mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Tahun Angkatan 2013 (rxy = 0,762; p < 0,001). Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan spiritual mahasiswa, maka semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki mahasiswa tersebut, dan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA Arnett, J. J. (2004). Emerging adulthood. London: Oxford University Press. Putri, D. W. L. (2013). Hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku prososial pada perawat rumah sakit jiwa grhasia yogyakarta. Jurnal Psikologi Empati, 2, 1. Safara, M., & Bhatia, M. S. (2013). Spiritual intelligence. Delhi Psychiatri Journal, 16(2), 412-423. Safaria, T. (2007). Spiritual inteligence: Metode pengembangan kecerdasan spiritual anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
27