KECERDASAN MANUSIA KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN AKAL DAN WAHYU
Oleh, Indo Santalia*
Abstrak : Akal dan wahyu merupakan bahan yang paling masyhur dan paling dalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia serta menjadi bahan polemik antara ulama-ulama Islam, terutama di kalangan kaum teolog dan kaum filosof Islam. Wahyu, dalam hal ini alQur’an, tidak mengandung segala-galanya, bahkan pula tidak menjelaskan semua persoalan keagamaan. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana akal dapat memperoleh pengetahuan keagamaan, bagaimana fungsi wahyu, apakah akal dan wahyu bertentangan, dan lain sebagainya.
Kata Kunci : Akal, wahyu, manusia dan pengetahuan. A. Pendahuluan Di dalam ajaran agama yang diwahyukan, ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan. Pertama, jalan wahyu dalam artian komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Kedua, dengan jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar mungkin salah. Di lain hal, memperbincangkan tentang manusia merupakan suatu hal yang selalu menarik. Karena sampai kini, manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dimengerti secara tuntas. Sejak kehadiran manusia pertama, yakni Adam, sebenarnya manusia itu telah mempersoalkan dirinya. Posisinya dalam kehidupan ini, merupakan
*
Indo Santalia, Dosen Tetap UIN Alauddin Makassar, memperoleh gelar doktor bidang Pemikiran Islam di UIN Yogyakata pada tahun 2007
39
40
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
penentu dalam merancang, membentuk, serta mewujudkan lingkungan dan peradabannya di mana ia hidup. (Muhammad Yasir Nasution, 1988:1) Untuk itu, tulisan sederhana ini akan membahas sekitar masalah: eksistensi manusia dalam berbagai sudut pandang, akal dan wahyu dalam pandangan teolog, kecerdasan manusia kaitannya dengan wahyu berikut ini. B. Eksistensi Manusia dalam Berbagai Sudut Pandang Manusia dalam al-Qur’an dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan bentuk yang sebaik-baiknya (QS. al-Tin [98]:6). Demikian pula, ia merupakan makhluk yang dimuliakan (QS. alIsra’ [17]:70). Semuanya itu diperoleh karena ia memiliki kelebihan yang istimewa dibanding makhluk lainnya, yaitu ia menyandang tugas sebagai khalifah Tuhan yang dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan untuk memahami dan mengatur alam ini. Salah satu potensi yang dimiliki manusia adalah kecerdasan yang luar biasa. Hal ini tidak terlepas dari kehebatan otak, struktur mental dan anatomi-fisiologis tubuh manusia dan unsur rohaniah yang diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sangat sempurna serta struktur kesadaran yang mampu melampaui batas-batas diri dan lingkungannya. (Agus Efendi, 2005:3). Ibnu Arabi mengatakan bahwa manusia memiliki kekuatan imajinasi (quwwah mutakhayyilah) sebagai salah satu faktor yang mampu membawa manusia kepada alam yang lebih luas. Demikian juga menurut Mulla Sadra, salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya untuk berhubungan dengan alam ketuhanan. (Agus Efendi, 2005:4). Jadi, manusia adalah makhluk yang unik, karena dalam dirinya terdapat perangkat-perangkat yang menakjubkan, seperti al-sama’, al-abshar, alafidah, al-nafs (jiwa), dan lebih penting dari itu adanya piranti yang disebut kecerdasan, yang lebih pupuler disebut intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Walaupun masih banyak jenis kecerdasan yang lain dikemukakan oleh para ahli, tetapi pada dasarnya mengacu dari ketiga macam kecerdasan tersebut. Kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) merupakan kunci-kunci kesuksesan yang betul-betul mengorek kemampuan-kemampuan yang dimiliki manusia. Ini artinya, secara kodrati, manusia telah disiapkan sedemikian rupa untuk merespon segala macam hal dengan tiga aspek kecerdasan tersebut. Dalam otak manusia memang ada tiga pikiran, yaitu rasional,
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
41
emosional-intuitif dan spiritual. (Taufik Fasiak, 2005:18). Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ada pada diri manusia, hanya masalahnya, manusia kurang begitu mengenal dirinya. Socrates benar ketika ia mengatakan bahwa masalah mendasar manusia adalah pengenalan diri, makanya ia mengemukakan “gnothi teauton”, artinya kenalilah dirimu. (Taufik Fasiak, 2005:20). Dalam tasawuf, juga ada ungkapan, “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya”. Karena itu, pengenalan diri menjadi sangat penting untuk memahami potensi kecerdasan yang dimiliki dan selanjutnya memanfaatkan secara maksimal, baik untuk diri sendiri maupun untuk seluruh kemanusiaan. Itulah sebabnya al-Qur’an selalu mendorong manusia menggunakan akalnya untuk berpikir, termasuk memikirkan dirinya sendiri agar ia mengenali betul dirinya (QS. al-Dzariyat [51]:21), akhirnya kemudian memahami potensi kecerdasan yang dimiliki. C. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Teolog Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua hal tersebut. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. (Harun Nasution, 2002:81). Fokus persoalan dalam hal ini terletak pada kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu, terutama terhadap empat masalah utama. Keempat masalah utama itu ialah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Artinya, yang manakah di antara yang empat itu yang dapat diketahui oleh akal manusia, dan mana pula di antaranya yang hanya diketahui lewat wahyu. Atau dengan kata lain, mampukah akal mengetahui keempat permasalahan di atas ataukah mesti melalui wahyu? Dalam berbagai literatur ditemukan bahwa ada empat aliran kalam yang telah memberikan jalan pemecahannya, yaitu aliran Mu’tazilah, aliran Asy’ariyah, aliran Maturidiyah Samarkand, dan aliran Maturidiyah Bukhara.
42
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Menurut aliran Mu’tazilah, akal mampu untuk mengetahui keempat masalah di atas. Artinya, akal dapat mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. (Harun Nasution, 2002:76). Abu Huzail dan beberapa tokoh Mu’tazilah yang lain berpendapat bahwa manusia telah berkewajiban mengetahui Tuhan sebelum wahyu turun dan telah mengetahui tentang perbuatan-perbuatan baik dan buruk, sehingga berkewajiban mengerjakan yang baik dan yang buruk. (Harun Nasution, 2002:82). Aliran Asy’ariyah sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah. Menurutnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Akal dapat mengetahui Tuhan tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu juga dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan akan memperoleh upah dan yang tidak akan mendapat hukuman. (Harun Nasution, 2002:83). Akal menurut mereka tidak dapat mengetahui kewajiban sebelum turunnya wahyu dan tidak dapat menetapkan baik dan buruk. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan akal. (Burhanuddin, 1997:115). Dengan demikian, menurut Asy’ariyah, akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui Tuhan, sedangkan tiga masalah berikutnya yaitu kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui yang baik dan yang buruk, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk hanya mampu diketahui lewat wahyu. Kaum Asy’ariyah sepakat, akal tidak dapat menentukan setiap masalah yang berkaitan dengan pahala dan siksa karena yang demikian berhubungan dengan perintah dan larangan Tuhan. Tetapi dalam masalahmasalah yang tidak ada hubungannya dengan pahala dan siksa, akal tetap berperan. Namun, karena pandangan tentang akal dan wahyu erat kaitannya dengan pandangan tentang perbuatan manusia. Tentu porsi yang diberikan kaum Asy’ariyah terhadap akal berbeda. Al-Asy’ari, karena tetap berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tidak dapat tidak, fungsi akal baginya sangat kecil. Tetapi Al-Baqillani yang memandang manusia bebas dalam menentukan kehendak dan perbuatannya karena fungsi akal, menurutnya, amat sangat besar peranannya. (Harun Nasution, 2002:117).
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
43
Aliran Maturidiyah Samarkand dalam hal ini agak sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yakni pada umumnya permasalahan itu dapat diketahui melalui akal. Tepatnya, bagi aliran ini, tiga di antara keempat permasalahan itu mampu diketahui oleh akal, yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk. Hanya satu yang tidak dapat diketahui oleh akal, yaitu kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini hanya dapat diketahui melalui wahyu. (Alhkendra, 2000:67). Selanjutnya, kaum Maturidiyah Samarkand ini berpendapat bahwa wahyu berfungsi sebagai pemberi informasi yang rinci tentang bagaimana cara-cara berterima kasih kepada Tuhan dan cara yang tepat untuk menyembah Tuhan, seperti halnya dengan perbuatan baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini agak sependapat dengan aliran Asy’ariyah. Bagi aliran Maturidiyah Bukhara, dua dari keempat permasalahan itu dapat diketahui oleh akal, yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk. Sedangkan dua yang lain, yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yaitu kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu. (Abd. Jabbar Ibn Ahmad, 1965:138). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa aliran Mu’tazilah betul-betul memberikan peran yang besar terhadap akal. Akal bagi aliran Mu’tazilah mampu mengetahui semua permasalahan yang disebutkan. Tapi bagaimana sebetulnya fungsi wahyu bagi aliran Mu’tazilah ini, masihkah wahyu dibutuhkan oleh mereka? Bagi aliran Mu’tazilah, wahyu tetap dibutuhkan. Tokoh-tokoh Mu’tazilah berpendapat tentang fungsi wahyu sebagai berikut: 1. Sebagai informasi konfirmasi, yaitu informasi yang bertujuan menguatkan apa yang diketahui oleh akal. 2. Untuk merinci apa yang telah diketahui oleh akal secara umum atau garis besarnya saja. 3. Para Rasul diutus sebagai ujian bagi manusia. 4. Untuk mengingatkan manusia dari kelalaian dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Fungsi wahyu bagi Mu’tazilah adalah sebagai konfirmasi dan informasi. Sebagai konfirmasi dimaksudkan untuk memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal. Sungguh pun bagi Mu’tazilah akal mampu mengetahui keempat masalah di atas, namun pengetahuan akal tidaklah bersifat lengkap dan utuh. Dalam masalah baik dan buruk umpamanya,
44
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
kata Abd al-Jabbar, salah seorang pemuka Mu’tazilah, tidaklah semua yang baik dapat diketahui melalui akal. Demikian juga dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban, sebetulnya Mu’tazilah tidaklah tahu cara yang tepatnya. Dalam hal ini, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal. (Abd. Jabbar Ibn Ahmad, 1965:68). Sementara itu, fungsi informasi dimaksudkan bahwa wahyu menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal. Wahyu memberikan penjelasan tentang perincian hukum dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Akal tidak bisa mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula, akal tidak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Agaknya bagi Mu’tazilah, wahyu lebih banyak berfungsi sebagai konfirmasi dibandingkan sebagai informasi. Sungguhpun bagi Mu’tazilah posisi wahyu lebih kecil dibandingkan akal, namun bukan berarti kelompok Mu’tazilah tidak menganggap penting soal pengutusan Rasul. Bagi Mu’tazilah, pengutusan Rasul justru perlu, bahkan wajib. Argumen yang diajukan mereka adalah berkaitan dengan keadaan akal yang tidak dapat mengetahui segala apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Lebih lanjut dikatakan bahwa, oleh karena Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik untuk manusia, maka wajiblah bagi Tuhan untuk mengutus rasul kepada umat manusia. Tanpa pengutusan rasul, manusia tidak akan dapat memperoleh hidup baik dan terbaik, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, bagi kelompok Asy’ariyah, meskipun posisi wahyu jauh lebih penting dan besar dibanding akal, dan dengan demikian pengutusan Rasul jadi teramat penting, namun mereka tidaklah sampai menetapkan kewajiban bagi Tuhan untuk pengutusan rasul ini. Alasannya, karena Tuhan tidak pantas untuk menerima atau menyandang kewajiban-kewajiban. D. Kecerdasan Manusia Kaitannya Dengan Wahyu Keberadaan manusia sebagai khalifah Tuhan, sudah barang tentu memiliki kelebihan yang istimewa dibanding makhluk yang lain. Manusia memiliki bentuk yang paling sempurna, seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dengan istilah ahsani taqwim. Kesempurnaan manusia bukan
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
45
hanya dilihat dari aspek lahiriahnya atau keelokan parasnya, tetapi juga dilihat dari keutamaan akal yang dimiliki untuk berbuat dan berkehendak, di samping keistimewaan lainnya yang berupa kecerdasan. (Abbas Mahmud al-Aqqad, t.th.:18). Berbagai kecerdasan yang dimiliki manusia, menjadikan ia kreatif untuk menciptakan budaya dan peradabannya. Daya kreasi tersebut, tentu saja tidak terlepas dari posisinya sebagai makhluk pemangku amanah yang dianugerahi kesanggupan untuk menyadari diri dan lingkungannya, yang disebut sebagai kesadaran ontologis, yang dikuti oleh kesadaran berikutnya, yaitu kesadaran epistemologis dan kesadaran aksiologis. Kesadaran-kesadaran fundamental seperti ini akan menjadikan ia lebih berfungsi dan bermakna. Memberdayakan kesadaran-kesadaran fundamental tersebut, harus memaksimalkan pemanfaatan kecerdasan manusia secara menyeluruh dan bersinergi. Itulah sebabnya agama Islam melalui al-Qur’an sangat mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan berbagai isyarat, seperti: afala tatafakkarun (QS. Al-An’am [6]:50), afala tatazakkarun QS. Al-An’am [6]:90), afala ta’qilun (QS. [12]:109), dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa sinyal yang menunjukkan adanya perhatian terhadap potensi dan aktualisasi kecerdasan manusia. Akal misalnya, disebut sebanyak 49 kali, yang semuanya berbentuk kata kerja. Kata akal yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan praktis dan berguna untuk mengikat atau menahan, memperoleh pemadatan makna. Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an menggunakan kata itu untuk sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Dalam konteks tersebut, akal dapat dimaknai: 1) daya untuk memahami sesuatu (QS. Al-Ankabut [29]:43); dan 2) dorongan moral (QS. Al-An’am [6]:151), serta 3) daya untuk mengambil pelajaran, hikmah dan kesimpulan (QS. Al-Mulk [67]:10). (M. Quraish Shihab, 1996:294). Penggunaan akal dalam al-Qur’an yang semuanya berbentuk kata kerja menunjukkan fungsionalisasi dari akal itu, karena kata kerja dipakai untuk menunjukkan sebuah perbuatan aktif atau melakukan pekerjaan. Jadi, kata itu dipakai untuk memberi penekanan pada fungsi otak, bukan pada otak secara struktural. Demikian pula menunjukkan bahwa akal itu memiliki dua ujung, yaitu sebagai alat bagi manusia untuk memahami alam semesta dan sekaligus akal sebagai alat rohani manusia untuk menuju
46
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Tuhan. Jika akal berfungsi baik, maka manusia akan menjadi makhluk yang berkesadaran tinggi. Kata yang lain, yakni al-qalb, namun porsi kata akal lebih banyak pada usaha sains, sementara kata qalb lebih banyak pada usaha-usaha rohani. Qalb, juga membawa makna kesatuan antara kegiatan sains dan kegiatan rohani, yang juga berarti, ketidakterpisahan antara ilmu dan agama. (Taufiq Pasiak, 2005:29). Qalb berfungsi sebagai alat untuk memahami. Ketika ia merespon realitas, hati bekerja sama dengan akal. Pemahaman hati itulah yang melahirkan keputusan untuk melakukan sesuatu secara sadar. (Achmad Mubarak, 2002:83). Unsur lain lagi yang menjadi sinyalemen tentang pentingnya alatalat indera, adalah seperti telinga dan mata. Kata-kata seperti sama’ dan bashar tersebar di banyak tempat dalam al-Qur’an dan disebut secara berulang-ulang untuk melukiskan aktivitas manusia di dunia. Kata mendengar disebut jauh lebih banyak daripada kata melihat untuk menunjukkan tingkat kepentingan kedua alat tersebut. Di samping itu, kaitannya dengan ketiga kecerdasan yang dimaksudkan sebelumnya, ada pandangan yang memberikan klasifikasi secara fungsional sesuai dengan unsur-unsur dan esensi dalam diri manusia (aql, qalb, nafs, dan ruh). Kecerdasan intelektual (IQ) sebagai kerja aql, kecerdasan emosional (EQ) sebagai kerja qalb dan nafs, sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kerja ruh. Unsur-unsur tersebut banyak dipaparkan dalam al-Qur’an, dan walaupun terdiri dari beberapa unsur, tetapi ia bekerja dalam satu sistem secara totalitas pada diri manusia. Namun, diakui memang, bahwa kecerdasan tertinggi adalah kecerdasan spiritual. Karena orang yang sudah memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok, dapat berada di tempat lain dalam waktu yang sama. ((Achmad Mubarak, 2002:69). Betapa tidak, ketika ruh memasuki badan manusia, maka fungsi dasar kehidupan manusia sudah terhubung ke sistem Ilahiah. Bahkan ruh digambarkan sebagai turunan dari unsur ketuhanan. (Agus Mustafa, 2005:45). Juga dapat dilihat sinyalemen firman Allah dalam QS. [15] : 29. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi, memiliki kecerdasan yang luar biasa, dan al-Qur’an sendiri memberikan sinyal-sinyal yang mendorong manusia untuk mengembangkan pengetahuan dan penalaran untuk menciptakan peradaban dan menguasai alam lingkungannya.
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
47
E. P e n u t u p Berdasarkan dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal antara lain sebagai berikut: 1. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan esensi akal dan wahyu, baik bagi kalangan teolog (mutakallimin) maupun bagi kalangan filosof. Namun, yang dipertentangkan adalah penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. 2. Kekuatan kecerdasan manusia, mampu menguasai dan menundukkan dunia, dalam arti kemampuannya melampaui dimensi ruang dan waktu, memperpendek jarak, meramal hari esok, dan mampu berhubungan dengan alam ketuhanan. Dengan kekuatan kecerdasannya, ia mampu menciptakan peradaban dan menguasai alam lingkungannya. 3. Al-Qur’an sarat dengan isyarat-isyarat yang mendorong penguasaan dan pengembangan pengetahuan dan kecerdasan guna merespon berbagai tuntutan kehidupan dan memecahkan berbagai masalah kemanusiaan. Al-Qur’an memberikan penghargaan yang tinggi bagi mereka yang memiliki pengetahuan. Daftar Rujukan Ahmad, Abd. Jabbar Ibn. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah.. Alkhendra. 2000. Pemikiran Kalam. Bandung: Alfabeta. Burhanuddin. 1997. Pemikiran Kalam Al-Baqillani. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence atas IQ. Cet. I; Bandung: Alfabeta. Mahmud al-Aqqad, Abbas. T.th. Al-Insan fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Islam. Mubarak, Achmad. 2002. Pendakian Menuju Allah: Bertasawuf dalam Hidup Sehari-hari. Cet. I; Jakarta: Khazanah Baru. Mustafa, Agus. 2005. Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh. Cet. IV; Surabaya: t.p.
48
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. -------. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002. Nasution, Muhammad Yasir. Manusia Menurut al-Ghazali. Cet. I; Jakarta: Rajawali, 1988. Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ, EQ, SQ: Antara Neurosains dan al-Qur’an. Cet. V; Bandung: Mizan, 2005. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.