LAPORAN PENELITIAN DIK POLITANI
KECEPATAN DEKOMPOSISI PEMBENTUKAN PUPUK ORGANIK DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA JENIS MIKROBA
Oleh :
Ir. SEFRIMON Ir. A. MANGUNSONG, M.P Ir. KHAZY ANTY, M.Si Ir. ASRIN ABURDIN
Dibiayai oleh DIK Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Nomor 210 / 23 / 2004 Tanggal 1 Januari 2004 Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 66 / N.05. R2 / P3MK / 2004 Pusat Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Kerjasama Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, 2004.
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH 2004
1
I. PENDAHULUAN Paradigma pembangunan pertanian di negara kita sekarang ini sudah berubah. Pada periode sebelum ini yang dikenal dengan revolusi hijau, pembangunan pertanian selalu berorientasi produksi sehingga dikenal waktu itu istilah intensifikasi dan ekstensifikasi.
Pola intensifikasi pada masa revolusi hijau
menganjurkan usaha pertanian untuk menggunakan pupuk buatan, pestisida nonalami dan input produk lainnya hanya untuk satu tujuan yaitu peningkatan produksi. Namun apa yang terjadi setelah itu adalah : kerusakan terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah; munculnya biotipe jasad hama penyakit baru yang kebal terhadap pestisida; terkontaminasinya produk pertanian oleh bahan beracun dari pestisida; dan berbagai akibat lain dalam hal degradasi lingkungan, sehingga pada periode selanjutnya justru menurunkan produktivitas lahan dan tidak diterimanya produk pertanian oleh konsumen karena terkontaminasi pestisida yang cukup tinggi. Paradigma pembangunan pertanian yang diterapkan sekarang adalah pembangunan pertanian berkelanjutan. Pada paradigma ini konsep peningkatan produksi tetap diperhatikan akan tetapi yang lebih utama adalah perhatian terhadap keberlanjutan (sustainable). Penerapan konsep ini adalah pengurangan pemakaian pupuk buatan ( pupuk an-organik) dan pestisida kimia. Input produksi ini bergeser kepada pupuk organik, penggunaan agen pengendali hayati, pestisida biologis, mulsa jerami dan sebagainya. Konsep pertanian seperti ini disebut juga dengan pertanian organik. Pupuk organik adalah produk penyubur tanah yang bahan bakunya berasal dari hasil pelapukan atau dekomposisi limbah pertanian dan peternakan. Selama ini pupuk kandang (kotoran ternak) dan kompos (hasil dekomposisi sisa tanaman) yang
2
digunakan oleh petani belum berfungsi secara optimal sebagai bahan penyubur tanah, padahal bahan tersebut berpotensi untuk ditingkatkan kualitasnya sebagai produk pupuk organik dengan sedikit sentuhan teknologi tepat guna. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik yang bersumber dari tanaman maupun hewan yang telah mengalami pelapukan. Salah satu jenis pupuk organik yang telah lama dikenal dan digunakan oleh petani adalah kompos. Kompos adalah pupuk organik yang berasal dari pelapukan tanaman ataupun hewan yang memiliki C/N ratio yang rendah (15 – 22) sehingga menambah ketersediaan unsur hara dalan tanahterutama unsur hara makro seperti N, P dan K yang sangat dibutuhkan tanaman. Keunggulan kompos bila dibandingkan dengan pupuk anorganik adalah dengan harga yang relatih lebih murah, kompos dapat pula berperan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sementara pupuk anorganik dengan harga yang relatif lebih mahal peranannya hanya dapat memperbaiki sifat kimia tanah saja, bahkan penggunaan pupuk anorganik dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah (tanah mengeras dan memadat) sehingga dapat menurunkan produktivitas tanah.
Hal ini
bertentangan dengan prinsip pertanian berkelanjutan. Pembuatan kompos sangatlah mudah dan tidak serumit membuat pupuk anorganik, oleh karena itu banyak petani yang berperan sebagai konsumen maupun produsen kompos.
Daya tarik petani atau pengusaha untuk membuat kompos
karena bahan bakunya berupa limbah pertanian/peternakan seperti baha hijauan dan kotoran hewa yang banyak tersedia di alam.
3
Kabupaten Limapuluh Kota dan daerah sekitarnya merupakan sentra peternakan ayam di Sumatrea Barat, baik sebagai ayam petelur maupun ayam pedaging. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal Sumatera Barat saja, tetapi produk telur dan daging ayam ini juga utuk memenuhi kebutuhan provinsi di sekitarnya seperti Riau dan Jambi. Menurut Biro Pusat Statistik (2002) jumlah populasi ternak di Kabupaten Limapuluh Kota dan sekitarnya tahun 2002 tercatat; jenis ayam buras sebanyak 604.702 ekor, ayam petelur 2.943.678 ekor dan ayam pedaging 218.750 ekor. Hal ini menunjukkan potensi limbah kotoran ayam yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku utama pembuat kompos sangat banyak.
Satu ekor ayam dewasa
berpotensi mengeluarkan limbah kotoran 40 – 50 gram per ekor per hari. Berdasarkan jumlah populasi tersebut, maka perkiraan potensi limbah kotoran ayam di Kabupaten Limapuluh Kota adalah 148 ton per hari (kondisi kotoran basah). Selain potensi limbah kotoran ternak unggas tersebut di atas, Kabupaten Limapuluh Kota juga merupakan daerah pertanian yang memiliki luas areal pertanaman tanaman pangan berkisar
+
44.949 hektar (BPS, 2002). Hal tersebut
juga menggambarkan potensi yang cukup besar sebagai daerah penyedia bahan baku pembuatan pupuk organik atau kompos. Pembuatan kompos yang dilakukan secara konvensional oleh petani dirasakan belumlah optimal. Waktu yang dibutuhkan oleh petani dari sejak awal membuat kompos sampai kompos matang siap diaplikasikan di lapangan relatif lebih lama yaitu berkisar 2 – 3 bulan. Demikian pula kualitas kompos baik dari sifat fisik dan kimia yang dihasilkan oleh petani masih belum optimal. Hal tersebut merupakan suatu masalah yang perlu dicarikan solusinya.
4
Melalui penggunaan mikroba ( sebagai suplemen) pada proses pengomposan diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang dimaksud pada uraian di atas. Beberapa jenis mikroba tanah dapat berperan sebagai agen hayati dan untuk membantu proses serapan hara tanaman, antara lain; Azotobacter spp dan Pseudomonas spp. Mikroba lain yang berperan untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik antara lain; Pseudomonas fluorescent, Sacharomyces, Trichoderma sp, dan Bacillus thuringiensis, di samping mempercepat proses dekomposisi juga berperan sebagai pengendali hama-penyakit tertentu pada tanaman (Alexander, 1977; Etifarda, 1993). Penggabungan beberapa jenis mikroba dalam suatu lingkungan dapat bersifat kompetitif dalam kebutuhan oksigen, cahaya, CO2, nutrisi, dan tempat. Demikian pula dalam hal mendekomposisi bahan organik menjadi kompos, penggabungan jenuis-jenis mikroba tersebut dapat pula bersifat antagonis, netral ataupun sinergis. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu diteliti tentang kemungkinan penggunaan beberapa jenis mikroba untuk melihat kecepatan proses dekomposisi bahan organik menjadi produk pupuk organik atau kompos dan peningkatan kualitas kompos.
Perumusan Masalah 1. Apakah penggunaan beberapa jenis mikroba sekaligus dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik menjadi pupuk organik atau kompos. 2. Apakah penggunaan beberapa jenis mikroba tersebut dapat meningkatkan kualitas dari pupuk organik atau kompos.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik yang bersumber dari tanaman maupun hewan terutama yang telah mengalami pelapukan. Jenis-jenis pupuk organik yang dikenal dan mudah didapatkan, diantaranya adalah : pupuk kotoran hewan seperti kotoran sapi, kerbau, ayam, burung, kambing/domba, babi, kuda dan lain-lain. Selain itu dikenal juga pupuk organik seperti pupuk kascing, pupuk hijau, pupuk tulang dan sebagainya. Pupuk organik yang diproduksi secara besar-besaran di pabrik telah banyak pula beredar di pasaran baik dalam bentuk padat maupun cair. Jenis pupuk yang terakhir ini harganya relatif mahal bila dibandingkan dengan jenis pupuk organik yang disebutkan di atas serta relatif sulit didapatkan oleh petani. Buckman dan Brady (1982) menyatakan bahwa peranan pupuk organik pada tanah adalah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Peranan pupuk organik dalam memperbaiki sifat fisik tanah terutama : memperbesar daya ikat tanah yang berpasir sehingga struktur tanah tidak terlalu berderai; merubah struktur tanah yang berat menjadi lebih ringan sehingga lebih mudah diolah; mempertinggi kemampuan pengikatan air sehingga tanah menjadi lebih banyak menyediakan air bagi tanaman; memperbaiki darinase dan tat udara tanah sehingga suhu lebih stabil. Pengaruh pupuk organik terhadap kimia tanah adalah : menambah keterseduiaan unsur hara di dalam tanah karena di dalam pupuk organik terkandung unsur hara makro dan mikro; menambah kelarutan fosfat, karena asam humat yang terkandung dalam pupuk organik dapat melepaskan ikatan Fe dan Al; meningkatkan daya ikat
6
tanah terhadap unsur hara sehingga tidak mudah larut oleh pencucian; meningkatkan efektivitas dari pupuk buatan. Pengaruh pupuk organik terhadap biologi tanah : menambah populasi mikroba tanah; mengaktifkan kegiatan/aktivitas mikroba tanah dalam mendekomposisi bahan organik atau proses mineralisasi unsur hara.
2.2. Kompos. Menurut Murbandono (1982) kompos adalah salah satu jenis pupuk alam (pupuk organik) yang merupakan hasil pelapukan dari bahan tanaman ataupun hewan sehingga memiliki C/N ratio yang rendah (15 – 22). Dengan C/N ratio yang rendah maka senyawa organik di dalam jaringan tanaman ataupun hewan melalui bantuan mikroba tanah akan diubah menjadi zat/unsur anorganik (mineralisasi) yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai hara. Keunggulan kompos sebagai pupuk tanaman bila dibandingkan dengan pupuk anorganik adalah; memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sementara pupuk anorganik hanya dapat memperbaiki sifat kimia tanah saja. Upaya untuk memperbaiki sifat kimia tanah lebih mudah bila dibandingkan dengan memperbaiki sifat fisik tanah. Pembuatan kompos sangatlah mudah dan tidak serumit membuat pupuk anorganik, oleh karena itu banyak petani yang berperan sebagai konsumen maupun produsen kompos. Di saping itu biaya yang dibutuhkan untuk membuat kompos juga tidak banyak alias murah. Proses pengomposan secara alami lebih mengandalkan faktor alam (iklim) sebagai perombak/pelapuk bahan organik dan didukung oleh mikroba alami yang terdapat di dalam tanah. Karena jumlah mikroba pelapuk ini tidak dapat dipastikan dan lingkungan yang kurang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan serta
7
aktivitas mikroba dalam merombak bahan organik, maka hal ini sering menyebabkan proses terjadinya kompos secara alami memerlukan waktu yang relatif lebih lama yaitu sekitar 2 – 3 bulan. Untuk mendapatkan proses pembentukan kompos secara cepat, maka dapat dilakukan dengan cara atau teknik tertentu. Melalui cara ini dapat dimodifikasi atau diatur lingkungan sedemikian rupa sehingga serasi bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba perombak. Dengan lingkungaan yang serasi dan memilih mikroba yang sesuai dengan ligkungan tersebut membuat aktivitas mikroba dalam merombak atau melapukkan bahan organik menjadi maksimal sehingga proses pengomposan berjalan lebih cepat.
2.2.1. Peranan Kompos dalam Meningkatkan Produktivitas Tanah Sarief (1983) menyebutkan bahwa peranan kompos dalam meningkatkan produktivitas tanah adalah karena kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Peranan kompos dalam memperbaiki sifat fisik tanah terutama adalah pembentukan struktur tanah sehingga terbentuk agregat-agregat tanah dengan stabilitas yang mantap, ruang pori, aerasi dan drainase yang baik akan menjaga tata air dan udara tanah yang seimbang. Pembentukan struktur tanah tersebut adalah karena butir-butir primer tanah terikat satu sama lain membentuk agregat-agregat mikro, di mana terjadinya ikatan butir-butir primer tanah karena adanya ikatan biologis dan ikatan kimia. Pengikatan butir-butir primer tanah secara biologis dapat berlangsung karena adanya miselia-miselia jamur dan Actinomycetes yang mengikat butir-butir tanah secara fisik. Pengikatan secara kimia adalah dengan cara mengikat butir-butir liat muatan negatif oleh muatan positif dari bahan organik
8
seperti gugus amida dan amino. Sementara butir-butir liat yang bermuatan positif dari tanah diikat oleh muatan negatif dari bahan organik seperti gugus carboxyl. Peranan kompos dalam memaperbaiki sifat kimia yaitu melalui perombakan bahan organik segar oleh mikroba tanah sehingga senyawa atau zat organik dalam jaringan tanaman atau hewan sebagian diubah menjadi zat anorganik yang akan memperkaya ketersediaan hara dalam tanah. Sebagai contoh, pada Tabel 1 dapat dilihat mengenai komposisi hara yang terkandung di dalam kompos. Tabel 1. Komposisi hara/zat yang terkandung dalam kompos produksi Delight Malangsari Banyuwangi Zat Persentase (%) Cairan
74
Zat organik
15,5
Nitrogen (N)
0,5
Posfor (P)
0,27
Kalium (K)
1,2
C/N ratio
15 – 22
Sumber : Murbandono L.HS., (1982) Jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung dalam kompos tergantung kepada : jenis bahan tanaman sebagai sumber bahan organik yang dilapukkan; komposisi bahan penyusun atau pembentuk kompos; jumlah dan jenis mikroba tanah serta tingkat pelapukan bahan organik tersebut.
Oleh karena itu tidak
mengherankan bila ditemui komposisi hara yang berbeda dari tiap jenis kompos berdasarkan asal produknya. Peranan kompos dalam memperbaiki sifat biologi tanah adalah karena kompos dapat menambah populasi mikroba tanah sehingga kegiatan mikroba dalam tanah akan meningkat. Telah diketahui bahwa tanah yang produktif tidak hanya terdiri dari komponen padat, gas dan cair saja, akan tetapi juga terdiri dari jasad hidup dan
9
akar tumbuh-tumbuhan. Tanpa jasad hidup ini tanah akan menjadi mandul, peredaran unsur hara akan terhalang dan kesuburan akan berkurang.
Dalam
segumpal tanah yang produktif akan dijumpai berbagai jenis jasad hidup (mikroba) yang beraneka ragam dan ukuran dalam jumlah jutaan.
2.2.2. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bahan organik dalam proses pengomposan Menurut Hakim dkk., (1986) di dalam tumpukan bahan organik pada pembuatan kompos selalu terjadi berbagai macam perubahan yang dilakukan oleh mikroba tanah.
Perubahan tersebut antara lain : 1) penguraian hidrat arang,
selulosa, hemiselulosa dan lain-lain menjadi CO2 dan air; 2) penguraian zat putih telur (protein) melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air; 3) pengikatan beberapa jenis unsur hara di dalan tubuh mikroba terutama N, P, K dan lain-lain yang akan terlepas kembali bila mikroba itu mati; 4) pembebasan unsur hara dari senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang dapat dimanfaatkan tanaman; 5) penguraian lemak dan lilin menjadi CO2 dan air. Akibat perubahan-perubahan tersebut, maka berat dan isi bahan-bahan kompos menjadi sangat berkurang serta sebagian besar dari senyawa zat arang (carbon) hilang ke udara.
2.3. Peranan Mikroba Sebagai Agen Perombak Bahan Organik Dalam Proses Pengomposan Menurut Sarief (1983) mikroba tanah memegang peranan penting dalam proses pelapukan bahan organik. Demikian pula dalam proses pembuatan kompos, bahan-bahan organik dilapukkan/diuraikan oleh mikroba-mikroba tanah. Dalam
10
proses pelapukan (dekomposisi) bahan organik menjadi kompos senyawa organik yang berasal dari jaringan tanaman dirubah menjadi senyawa anorganik (mineralisasi) merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Mikroba-mikroba dekomposer bahan organik terdiri dari dua golongan besar yaitu mikro fauna seperti protozoa dan nematoda; serta mikroflora seperti actinomycetes, ganggang, cendawan/fungi, dan bakteri. Berdasarkan kebutuhan unsur hara sebagai bahan makanan, mikroba dibagi ke dalam golongan yang heterotroph dan autotroph. Sebagai sumber energi golongan heterotroph diperoleh dari glukosa, aldehid, urea, dan asam amino. Organisme yang termasuk golongan ini terutama bakteri tanah. Mikroba yang autotroph dapat melakukan sintesa senyawa anorganik sederhana dari senyawa organik yang komplek seperti protein, lemak, karbohidrat, enzim, dinding sel ataupun cytoplasma. Pada umunya semua bakteri, ragi dan cendewan/fungi yang berada dalam tanah bersifat heterofit. Sebagai sumber makanannya adalah bahan organik sedangkan bahan anorganik sedikit sekali digunakan. Tata udara (aerase) tanah yang baik, cukup oksigen maka mikroba aerob terutama dari golongan bakteri dapat dengan mudah menghancurkan senyawa yang tidak mengandung nitrogen (serat) dari bahan organik tersebut. Proses perubahan bahan organik dan pengubahan nitrogen organik menjadi nitrogen anorganik oleh mikroba tanah meliputi proses : aminisasi, amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Keseluruhan proses tersebut merupakan bagian dari siklus nitrogen (N). Mikroba yang berperan dalam siklus N tersebut yaitu : dari kelompok fungi seperti Aspergillus, sedangkan dari kelompok bakteri seperti Bacillus, Arthrobacter, Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrobacter, Azotobacter,
11
Clostridium dan Rhizobium. Pada Tabel 2 berikut disajikan contoh mikroba tanah yang mendekomposisi bahan organik. Tabel 2. Mikroba tanah pendekomposisi bahan organik A. Siklus Karbon No 1 Dekomposisi Sellulosa
2
Dekomposisi Hemisellulosa
3
Dekomposisi Lignin
4
Dekomposisi Polysacharida
B. Siklus P 1 Mineralisasi Organik
Fungi - Aspergillus - Fusarium - Penicillium - Rhizopus - Trichoderma - Sacharromyces - Dll - Aspergillus - Peniccillium - Arternarium - Trichoderma - Sacharromyces - - Dll - Aspergillus - Fusarium - Penicillium - Agaricus - Ganoderma - Scyzophyllum - Dll - Aspergillus - Fusarium - Rhizopus - Dll
P -
Aspergillus Fusarium Penicillium Sclerotium
Sumber : Buckman dan Brady (1982).
Bakteri - Bacillus - Clostridium - Pseudomonas - Dll
Actinomycetes - Streptomyces -Micromonospora - Dll
- Bacillus - Pseudomonas - Cytophaga - Dll
- Streptomyces
-
Pseudomonas Xanthomonas Micrococcus Arthrobacter Dll
- Streptomyces
-
Bacillus Clostridium Pseudomonas Cytophaga Micrococcus Dll
- Streptomyces - Micromonospora - Nocardia
-
Bacillus Pseudomonas Micrococcus Mycobacterium Flavobacterium
- Streptomyces
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. TUJUAN PENELITIAN 1. Mendapatkan informasi jenis mikroba yang baik sebagai bahan suplemen pada proses pembuatan pupuk organik. 2. Mendapatkan informasi seberapa jauh kecepatan proses dekomposisi bahan organik dengan penambahan beberapa jenis mikroba.
3.2. MANFAAT PENELITIAN 1. Pemanfaatan limbah pertanian/peternakan sehingga bernilai ekonomis dan dapat sebagai sumber pendapatan tambahan. 2. Menunjang program pertanian organik menuju usaha pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development), terutama dalam mengurangi pemakaian pupuk buatan pada usaha budidaya tanaman. 3. Membantu mengatasi penanganan limbah pertanian/peternakan di Kabupaten Limapuluh Kota.
IV. METODA PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama lebih kurang 5 bulan yang dimulai dari awal bulan Agustus sampai Desember 2004.
Tempat yang dipakai untuk
proses
dekomposisi bahan organik dengan pemberian suplemen (jenis mikroba) adalah Kebun Pembibitan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Sedangkan untuk melakukan analisa zat hara makro (N, P dan K) serta C/N ratio yang terkandung dari hasil dekomposisi bahan organik tersebut adalah di Laboratorium Tanah Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
4.2. Bahan dan Alat a. Bahan : Mikroba suplemen (Trichoderma sp, Saccharomyces sp, Azotobacter sp, Bacillus thuringiensis, dan Pseudomonas fluorescens ), kotoran ayam, jerami padi, sekam padi, dedak, gula, Urea, tanah top soil, kapur, seperangkat bahan kimia di laboratorium dan plastik penutup. b. Alat
: Bak kompos, plastik penutup, cangkul, sekop, gerobak, ayakan pasir, timbangan, gembor, ember, karung pupuk, thermometer, pH meter, meteran 15 meter, seperangkat alat analisa kimia di labor.
4.3. Metode Penelitian. a. Rancangan perlakuan Percobaan ini menggunakan 7 (tujuh) buah perlakuan yang terdiri atas 1 (satu) perlakuan kontrol (tanpa suplemen = S0) dan 6 (enam) perlakuan menggunakan kombinasi beberapa jenis mikroba (suplemen = S), yang disajikan sebagai berikut :
14
S0 = Tanpa mikroba. S1 = Trichoderma + Saccharomyces + Pseudomonas fluorescent S2 = Trichoderma + Saccharomyces + Bacillus thuringiensis S3 = Trichoderma + Sacharromyces + Azotobacter S4 = Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Azotobacter S5 = Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Pseudomonas fluorescent S6 = Trichoderma + Azotobacter + Pseudomonas fluorescent Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 (empat) kali sehingga diperoleh 28 satuan/plot percobaan. Tata letak percobaan disajikan pada Lampiran 1.
b. Rancangan lingkungan Percobaan dilakukan di Kebun Pembibitan yang diasumsikan memiliki lingkungan yang homogen sehingga digunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
c. Rancangan respon Respon yang digunakan pada percobaan ini adalah : C/N ratio, N, P, dan K. C/N ratio adalah parameter respon yang menggambarkan kecepatan dekomposisi bahan organik menjadi kompos. Unsur N, P dan K adalah parameter respon yang menggambarkan kualitas pupuk kompos yang dihasilkan.
Keempat parameter
respon di atas diamati /diukur setelah proses pengomposan berakhir (kompos telah matang).
d. Rancangan analisis Untuk mengetahui berbeda nyatanya pengaruh perlakuan terhadap parameter respon digunakan uji F pada taraf α 5 %. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh
15
antara perlakuan pemberian suplemen (jenis mikroba) dengan yang tidak diberikan suplemen (S0) terhadap parameter respon digunakan uji lanjutan yaitu Uji Least Significance Difference (LSD) pada taraf α 5 % .
4.4. Metode Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan atas beberapa tahapan kegiatan. Adapun tahapan kegiatan tersebut; tahap persiapan, tahap pencampuran bahan kompos, tahap pengamatan dan tahap analisis kandungan hara kompos.
a. Persiapan Tahap persiapan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain; menyiapkan semua bahan dan alat yang dibutuhkan. Selanjutnya adalah kegiatan pembuatan bak kompos, tempat penempatan bak kompos, dan pemotongan jerami padi. Bak kompos dibuat dari bahan papan yang dirancang dengan ukuran (panjang - lebar – tinggi) adalah 60 x 60 x 60. Pada bagian alas dan atas bak kompos dibiarkan terbuka. Setiap sisi bak kompos disusun papan sedemikian rupa sehingga terdapat celah-celah diantara papan tersebut untuk sirkulasi udara. Bak kompos yang sudah terbentuk disusun 4 (empat) buah ke arah samping sebagai jumlah ulangan dan 7 (tujuh) buah ke arah lajur sebagai jumlah perlakuan percobaan. Bak kompos ditempatkan di Kebun Pembibitan UPT Farm Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh dan jarak antara bak kompos + 50 Cm. Untuk lebih jelasnya susunan bak kompos sesuai dengan perlakuan dapat dilihat pada tata letak percobaan Lampiran 1. Kegiatan persiapan selanjutnya adalah pemotongan jerami padi menjadi ukuran 3 – 5 Cm. Hal ini bertujuan agar proses dekomposisi bahan organik lebih
16
cepat dan sempurna.
Pemotongan jerami padi ini diberlakukan untuk semua
perlakuan baik perlakuan menggunakan suplemen maupun perlakuan tanpa suplemen (kontrol).
b. Pencampuran bahan kompos Campuran bahan kompos yang dibutuhkan untuk masing-masing bak kompos adalah sebagai berikut : Jerami padi
: 12 kg.
Pupuk kandang (ayam)
: 12 kg.
Tanah
: 20,4 kg.
Sekam
: 200 gram.
Kapur
: 1,5 kg.
Urea
: 200 gram.
Dedak
: 500 gram.
Gula pasir
: 8 gram.
Mikroba (salah satunya)
: 50 ml atau 250 gram untuk Trichoderma.
Semua bahan kompos dicampur tersebut diatas dicampurkan dan diaduk serata mungkin. Pemberian kombinasi suplemen (jenis mikroba) sesuai perlakuan percobaan. Kemudian campuran bahan kompos disiram dengan air secukupnya. Selanjutnya campuran bahan kompos dimasukkan ke dalam masing-masing bak kompos dengan dipadatkan sedikit.
Untuk menjaga agar proses dekomposisi
berlangsung dengan baik masing-masing bak kompos ditutup dengan plastik, kemudian diikat dengan tali rafia. Selama proses dekomposisi dilakukan pembalikan campuran bahan kompos interval waktu 3 (tiga) hari sekali terhadap masing-masing bak kompos. Proses pembalikan campuran bahan kompos ini dilakukan sampai kompos jadi alias
17
matang. Salah satu indikator kompos sudah jadi adalah tidak terjadi lagi bau yang menyengat dan apabila kompos dipegang sudah berasa dingin atau jerami padi sudah memperlihatkan keadaan hancur.
c. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini adalah menjaga agar suhu tumpukan campuran bahan kompos tidak melebihi 50 0C. Apabila suhu tumpukan bahan terlalu tinggi atau melebihi 50 0C, maka plastik penutup dibuka dan dianginanginkan sebentar sampai suhu tumpukan bahan di bawah 50 0C. Pengamatan ini dilakukan setiap hari. Selain pengamatan terhadap suhu tumpukan bahan, dilakukan analisa labor terhadap parameter respon yaitu; C/N ratio, N, P, dan K. Analisa parameter respon dilakuakn diakhir proses dekomposisi yaitu setelah bahan organik menjadi kompos alias matang.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. C / N Ratio Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian suplemen (jenis mikroba) pada proses pembuatan kompos memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai C/N ratio kompos. Pada Tabel 3 berikut disajikan hasil ratarata C/N ratio kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. Tabel 3. Rata-rata C/N ratio pada kompos akibat pemberian suplemen (mikroba) yang berbeda. No Perlakuan Rata-rata C/N ratio LSD 5 % 1 S0 22,04 a 2,0207 2 S1 15,93 b 3 S2 18,70 c 4 S3 20,23 a 5 S4 15,17 d 6 S5 17,02 e 7 S6 18,89 f Keterangan : Angka yang ditandai dengan huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji LSD pada taraf α 5%. Dari Tabel 3 di atas terlihat bahwa hampir semua jenis perlakuan yang menggunakan suplemen (mikroba) kecuali pada perlakuan S3 ( Trichoderma + Sacharromyces + Azotobacter) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai C/N ratio bila dibandingkan dengan perlakuan S0 (tanpa suplemen). Nilai C/N ratio menggambarkan tingkat dekomposisi bahan organik. Semakin kecil atau rendah nilai C/N ratio maka semakin terdekomposisi/terurai bahan organik atau dengan kata lain semakin cepat terjadinya proses dekomposisi. Sebaliknya bila nilai C/N ratio tinggi maka proses dekomposisi berjalan lambat. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa nilai C/N ratio terkecil berada pada perlakuan S4 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Azotobacter) yaitu sebesar
19
15,17. Dengan kata lain tingkat dekomposisi bahan organik jerami padi berjalan cepat. Sebaliknya pada perlakuan S0 (tanpa suplemen) nilai C/N rationya adalah paling tinggi sebesar 22,04. Menurut Buckman dan Brady (1982) bahwa kompos yang telah matang memiliki nillai C/N ratio berkisar 15 – 17. Hal ini menunjukkan bahwa kompos pada perlakuan S4 adalah kompos yang telah matang yang sudah siap untuk diaplikasikan ke lapangan. Rendahnya nilai C/N ratio pada perlakuan S4 tersebut diduga karena aktivitas mikroba dari jenis bakteri Bacillus thuringiensis dan Azotobacter yang efektif dalam mendekomposisi bahan organik.
Selanjutnya
Henry D. Foth (1988), menyatakan bahwa kedua jenis bakteri tersebut sangat berperan dalam siklus nitrogen pada perombakan bahan organik sehingga meningkatkan ketersediaan N anorganik. Dengan meningkatnya ketersediaan N dalam kompos menyebabkan nilai C/N ratio menjadi rendah/kecil. Pada perlakuan S0, nilai C/N ratio adalah paling tinggi, hal ini diduga karena tidak tersedianya mikroba yang spesifik (efektif) yang terdapat pada kompos yang berperan dalam mempercepat penguraian/dekomposisi bahan organik. Nilai C/N ratio pada perlakuan S0 tersebut sebesar 22,04 menggambarkan pupuk kompos belum cukup matang untuk diaplikasikan ke lapangan. Terjadinya proses dekomposisi bahan organik pada perlakuan S0, diduga karena adanya mikroba nonspesifik yang bersumber dari pupuk kandang (kotoran ayam) dan tanah yang digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan kompos. Dari Tabel 3 di atas juga terlihat bahwa, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan S3 dengan S0 terhadap nilai C/N ratio kompos. Hal ini diduga karena jenis mikroba pada perlakuan S3 masih belum memadai untuk
20
mendekomposisi bahan organik yang menghasilkan nitrogen (N). Karena hanya bakteri Azotobacter saja yang secara spesifik pada perlakuan S3 yang berperan dalam siklus N sehingga hasil N yang diperoleh pada perlakuan S3 belun terlalu banyak. Pada akhirnya nilai C/N ratio pada perlakuan S3 masih cukup besar yaitu 20,23 mendekati nilai C/N ratio pada perlakuan S0 yaitu sebesar 22,04.
5.2. Nitrogen Total ( % ) Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa, perlakuan pemberian suplemen (jennis mikroba) pada proses pembuatan kompos memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar nitrogen (N) kompos. Pada Tabel 4 berikut disajikan hasil rata-rata N total pada kompos akibat pemberian suplemen yang berbeda. Tabel 4. Rata-rata N total pada kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. No 1 2 3 4 5 6 7
Perlakuan S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6
Rata-rata N total (%) 0,69 1,34 1,02 0,94 1,49 1,25 1,04
a b c a d e f
LSD 5% 0,3195
Keterangan : Angka yang ditandai dengan huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji LSD pada taraf α 5%. Sama seperti nilai C/N ratio dari Tabel 4 di atas terlihat bahwa, hampir semua jenis perlakuan yang menggunakan suplemen (jenis mikroba) kecuali pada perlakuan S3 (Trichoderma + Saccharomyces + Azotobacter) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai N total bila dibandingkan dengan perlakuan S0 (tanpa mikroba suplemen).
21
Nilai N total pada kompos berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh mikroba, di mana Nitrogen organik yang bersumber dari protein dalam bahan organik dirubah oleh mikroba melalui proses mineralisasi menjadi nitrogen anorganik dalam bentuk ion nitrat maupun ion amonium (Sarief, 1983). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa nilai N total terbesar diperoleh pada perlakuan S4 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Azotobacter) yaitu sebesar 1,49 %. Sebaliknya pada perlakuan S0 (tanpa mikroba suplemen) nilai N total adalah paling rendah yaitu 0,69 %. Tingginya kadar N total dalam kompos pada perlakuan S4 tersebut karena tingkat dekomposisi bahan organik sudah berjalan lanjut, artinya kecepatan dekomposisi bahan organiknya lebih tinggi bila dibandingkan perlakuan lain. Hal ini menyebabkan lebih banyak dihasilkan nitrogen yang bersumber dari senyawa protein yang terkandung dalam bahan organik yang diuraikan oleh mikroba melalui proses meneralisasi menjadi amoniak, nitrit, nitrat dan asam amino. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa, pada perlakuan S4 terdapat mikroba Azotobacter dan Bacillus thuringiensis yang berperan aktif dalam siklus N pada proses dekomposisi bahan organik (Henry D. Foth, 1988). Pada perlakuan S0, kadar N total adalah paling rendah, hal ini karena pada perlakuan S0 tersebut nilai C/N rationya masih tinggi, sehingga belum banyak dihasilkan N yang bersumber dari proses dekomposisi bahan organik.
Kondisi
tersebut dapat terjadi terutama karena tidak tersedianya mikroba yang spesifik (efektif) yang berperan dalam siklus N pada proses dekomposisi bahan oraganik jerami padi.
22
Tidak berbeda nyatanya antara perlakuan S0 dengan S3 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 di atas. Penyebabnya sama seperti pada penjelasan parameter C/N ratio, di mana pada perlakuan S3 masih belum memadainya ketersediaan jenis mikroba untuk mendekomposisi bahan organik untuk menghasilkan nitrogen (N). Karena hanya bakteri jenis Azotobacter saja yang secara spesifik pada perlakuan S3 yang berperan dalam siklus N, sehingga N yang dihasilkan pada perlakuan S3 belum terlalu banyak. Pada akhirnya nilai atau kadar N total pada perlakuan S3 masih cukup kecil yaitu sebesar 0,94 mendekati nilai N total pada perlakuan S0 yaitu sebesar 0,69.
5.3. Kadar Posfor ( % ) Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa, perlakuan pemberian suplemen (jenis mikroba) pada proses pembuatan kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kadar posfor (P) di dalam kompos. Pada Tabel 5 berikut disajikan hasil rata-rata kadar P pada kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. Tabel 5. Rata-rata kadar P pada kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. No 1 2 3 4 5 6 7
Perlakuan S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6
Rata-rata N total (%) 0,070 0,118 0,085 0,088 0,133 0,151 0,078
a b a a c d a
LSD 5% 0,0389
Keterangan : Angka yang ditandai dengan huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji LSD pada taraf α 5%. Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa hanya 3 (tiga) perlakuan saja yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan tanpa perlakuan (kontrol) terhadap nilai kadar P
23
kompos. Ketiga perlakuan tersebut yaitu S1 (Trichoderma + Saccharomyces + Pseudomonas fluorescent), dan S4 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Azotobacter), serta S5 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Pseudomonas fluorescent). Hasil analisis diperoleh kadar P kompos yang tertinggi ada pada perlakuan S5 yaitu sebesar 0,151 %.
Sedangkan kadar P kompos yang terendah ada pada
perlakuan S0 yaitu sebesar 0,070 %. Menurut Buckman dan Brady (1982) sumber utama posfor (P) dalam bahan organik adalah berasal dari protein, lignin dan polysacharida. Mikroba yang berperan aktif untuk mendekomposisi protein, lignin dan polysacharida atau mineralisasi P organik (siklus P) adalah Aspergillus, Fusarium (kelompok fungi), dan Pseudomonas fluorescet, Bacillus thuringiensis dan Clostrodium (kelompok bakteri). Pada perlakuan S1, S4 dan S5 kadar P dalam kompos relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, karena pada perlakuan tersebut terdapat salah satu dari mikroba yang berperan dalam siklus P serta jenis mikroba yang paling banyak adalah terdapat pada perlakuan S5, yaitu mikroba Bacillus thuringiensis dan Pseudomonas fluorescent sehingga nilai P kompos juga adalah yang paling tinggi. Tidak berbeda nyatanya antara perlakuan S6 (Trichoderma + Azotobacter + Pseudomonas fluorescent), S3 (Trichoderma + Saccharomyces + Azotobacter) dan S2 (Trichoderma + Saccharomyces + Bacillus thuringiensis) bila dibandingkan dengan S0 (kontrol) diduga karena pada perlakuan tersebut kompos belum cukup matang (C/N ratio > 18) sehingga proses mineralisasi P belum berjalan optimal
24
yang pada akhirnya nilai P kompos pada perlakuan tersebut relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan S1, S4 dan S5.
5.4. Kadar Kalium ( %) Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian suplemen (jenis mikroba) pada proses pembuatan kompos memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kadar kalium ( K ) kompos. Pada Tabel 6 berikut disajikan hasil rata-rata kadar K pada kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. Tabel 6. Rata-rata kadar K pada kompos akibat pemberian suplemen (jenis mikroba) yang berbeda. No 1 2 3 4 5 6 7
Perlakuan S0 S1 S2 S3 S4 S5 S6
Rata-rata N total (%) 2,274 a 3,662 b 3,110 c 2,947 d 3,234 e 3,316 f 2,986 g
LSD 5% 0,2522
Keterangan : Angka yang ditandai dengan huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji LSD pada taraf α 5%. Tabel 6 di atas memperlihatkan semua perlakuan yang menggunakan suplemen (jenis mikroba) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar K kompos bila dibandingkan dengan perlakuan S0 (kontrol). Kadar K tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan S1 (Trichoderma + Saccharomyces + Pseudomonas fluorescent), yaitu sebesar 3,66 %.
Sedangkan kadar K terendah ada pada
perlakuan S0 (tanpa mikroba), yaitu sebesar 2,274 %. Menurut Sarief (1985) bahwasanya unsur kalium berperan penting dalam pembentukan protein dan karbohidrat. Organ tanaman yang banyak mengandung
25
serat dan berkayu yang disusun oleh hemiselulosa, selulosa dan lignin merupakan sumber utama unsur K dalam bahan organik. Menurut Bestawde (1992) dalam Salina dan L. Gunarto (1999) jerami padi mempunyai kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tinggi. Oleh karena itu kadar K dalam jerami padi juga tinggi.
Berbeda nyatanya perlakuan yang diberi
suplemen bila dibandingkan dengan tanpa suplemen (kontrol = S0) terhadap kadar K kompos diduga karena semua jenis mikroba berperan dalam mendekomposisi selulosa, hemiselulosa maupun lignin.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah sebagai berikut : Dari hasil analisis statistik bahwasanya; 1. Perlakuan pemberian suplemen (jenis mikroba) pada proses pembuatan kompos, perpengaruh sangat nyata terhadap nilai C/N ratio, N total, Kadar P dan kadar K kompos. 2.
Dekomposisi bahan organik yang paling cepat pada proses pembuatan kompos diindikasikan dengan nilai C/N ratio yang paling rendah yaitu sebesar 15,17 yang terdapat pada perlakuan S4 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Azotobacter).
3. Kadar N total tertinggi sebesar 1,49 % terdapat pada perlakuan S4, sedangkan kadar P tertinggi terdapat pada perlakuan S5 (Trichoderma + Bacillus thuringiensis + Pseudomonas fluorescent), serta kadar K tertinggi terdapat pada perlakuan S1 (Trichoderma + Saccharomyces + Pseudomonas fluorescent). 4. Perlakuan S0 (tanpa mikroba/suplemen) selalu menunjukkan nilai terendah untuk parameter N, P, K dan nilai tertinggi untuk parameter C/N ratio bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
27
6.2.
Saran Saran yang dapat di buat dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui sejauh mana sinergisme jenis mikroba yang dikombinasikan untuk mendekomposisi bahan organik. 2. Untuk memperluas ruang lingkup kajian dan kualitas penelitian maka perlu ditingkatkan pendanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M., 1977. Introduction to saoil microbiology, 2 nd Edition. Wiley Eastern Limited. N. Delhi. BPS Kabupaten Limapuluh Kota., 2002. Kabupaten Limapuluh Kota Dalam Angka. Buckman dan Brady., 1982. Ilmu tanah. Hasil terjemahan dari Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Etifarda., 1993. Mikrobiologi tanah. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. Hakim, N., dkk., 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Penerbit Universitas Lampung. Henry D. Foth., 1988. Dasar-dasar ilmu tanah. Hasil terjemahan dari Endang Dwi Purbayanti dkk. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. . Murbandono L. HS., 1982. Membuat kompos. Penebar Swadaya. Jakarta Salma dan L. Gunarto., 1999. Enzim selulosa dan Trichoderma spp. Journal Penelitian Balai Penelitian Bioteknologi dan Tanaman Pangan. Bogor. Sarief, S., 1983. Ilmu tanah Pertanian. Sereal Publikasi Ilmu Tanah Fakultas Padjadjaran. Bandung _______ ., 1985. Kesuburan dan pemupukan tanah pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tata letak percobaan di lapangan. No Perlakuan
Ulangan I
II
III
IV
1
S1
S1
S4
S3
2
S3
S2
S5
S1
3
S4
S0
S6
S2
4
S0
S6
S3
S4
5
S5
S4
S1
S0
S6
S5
S2
S5
S2
S3
S0
S6
6
7
Keterangan : I, II, III, IV ............. = Ulangan S0, S1, S2 ..........S6 = Perlakuan
30
Lampiran 2. Jadwal Penelitian No
Kegiatan
1
Persiapan : -. Penyusunan rencana kerja Pelaksanaan penelitian : -. Pemberian perlakuan. -. Pengamatan./analisa unsur Evaluasi Analisa data dan penyusunan laporan
2
3 4
Agustus
Sept
Bulan Okt
Nov
Des
31
Lampiran 3. Curriculum Vitae Peneliti
1. Nama Gol / NIP Jabatan Fungsional Pendidikan/Jurusan Pengalaman Penelitian
: Ir. Sefrimon : III a / 131774023 : Asisten Ahli : S1/ Hama Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian Unand :
2. Nama Gol / NIP Jabatan Fungsional Pendidikan/Jurusan
: Ir. A. Mangunsong, M.P : III d / 131790390 : Lektor : S1/ Hama Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian Unand S2/ Ilmu Tanah Unpad Bandung. Pengalaman Penelitian : Beberapa sifat kimia tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis akibat pemberian beberapa jenis bahan organik dan pupuk SP-36 pada tanah Andisol, 1999. Beberapa sifat fisik tanah akibat pemberian berbagai jenis bahan organik pada tanah Ultisol Tanjung Sari Kab. Sumedang, Jawa Barat, 2000.
3. Nama Gol / NIP Jabatan Fungsional Pendidikan/Jurusan
: Ir. Khazy Anty, M.Si : IV a / 131790393 : Lektor Kepala : S1/ Agronomi Fak. Pertanian Unand S2/ Komunikasi Pembangunan IPB Bogor Pengalaman Penelitian : Penggunaan mulsa alang-alang untuk mengendalikan gulma, 1995. Pengaruh pemangkasan daun terhadap pertumbuan dan produksi Jagung yang ditumpangsarikan dengan kadang tanah, 1997. Hubungan antara jaringan komunikasi dengan sikap petani terhadap SUTPA/ sistem usahatani berbasis padi berorientasi agribisnis: Kasus kelompok tani pada sebuah desa di Kec. Ciranjang Kab. Cianjur Provinsi Jawa Barat, 2002.
4. Nama Gol / NIP Jabatan Fungsional Pendidikan/Jurusan Pengalaman Penelitian
: Ir. Asrin Aburdin : IV a / 131083470 : Lektor Kepala : S1/ Agronomi Fak. Pertanian Unand :