KECACINGAN PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)
NAFISATUL ULFA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kecacingan pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Nafisatul Ulfa NIM B04100039
ABSTRAK NAFISATUL ULFA. Kecacingan pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan RP AGUS LELANA. Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) adalah satwa primata dilindungi yang statusnya adalah rentan punah. Satwa ini semakin berkurang jumlahnya di alam karena perburuan untuk perdagangan serta kerusakan habitat. Penyakit kecacingan dapat menyebabkan kematian dan menurunkan populasi sehingga diperlukan pemeriksaan terkait penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi cacing saluran pencernaan pada kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Sebanyak 13 sampel feses kelompok dikoleksi setiap hari selama 6 hari. Sampel yang diperoleh diperiksa berdasarkan jenis dan jumlah telur cacing berdasarkan metode McMaster, flotasi sederhana dan saringan bertingkat selama bulan Februari – Mei 2014. Hasil pemeriksaan 13 sampel, semua sampel (100%) positif kecacingan dengan nilai prevalensi Ascaris (84.61%), Hymenolepis (76.92%), strongylid (61.54%), Oxyuris (15.38%) dan Trichuris (7.69%). Rataan derajat infeksi adalah sebesar 11-1555 TTGT. Kata kunci: cacing saluran pencernaan, derajat infeksi, Nycticebus coucang, prevalensi ABSTRACT NAFISATUL ULFA. Gastrointestinal Parasites in Sumateran Slow Loris (Nycticebus coucang) in The Center of Primate Rehabilitation at International Animal Rescue Indonesia. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and RP AGUS LELANA. According to the International Union Conservation of Nature and natural Resources (IUCN), Sumateran slow loris (Nycticebus coucang) is protected primates which was vulnerable animal. Their population in wildlife decreased cause hunting for trade and destructive habitat. Helminthiasis can caused dead regularly and its so identification of this disease needed. The study was conducted to know prevalence of gastrointestinal helminth infection of slow loris (Nycticebus coucang) in The Center of Primate Rehabilitation of International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Total of 13 fecal sampel from captive group of Nycticebus coucang were collected for 6 days and analysed from February-May 2014 by using McMaster, flotation and Baermann technique to identified morphology of the eggs. All fecal sampel was examined based on its fecal pool. Out of 13 fecal sampel examined, all of sampel (100%) was infected with five types of helminth Ascaris (84,61%), Hymenolepis (76,92%), Strongylid (61,54%), Oxyuris (15,38%) and Trichuris (7,69%). The average number of egg per gram (EPG) was 11-1555. Keywords: fecal, helminth, Nycticebus coucang, parasite, prevalence, slow loris
KECACINGAN PADA KUKANG SUMATERA (Nycticebus coucang) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)
NAFISATUL ULFA
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 ini ialah cacing saluran pencernaan, dengan judul Kecacingan pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan. Terima kasih penulis ucapkan kepada :. 1 Ibu Santi Mustakimah Suhada, bapak Syaiful Anam, Kurnia Yuliasih dan Salamun Afiat yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan kebahagiaan tak terkira. 2 Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP MSi selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan dukungan tiada henti guna penyelesaian skripsi ini. 3 Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku pembimbing akademik yang banyak mendukung selama penulis sebagai mahasiswa. 4 Drh Prameswari Wendi serta Drh Nur Purba Priambada dari Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) yang banyak membantu dan memberikan saran, serta staf YIARI yang banyak membantu dalam terlaksananya penelitian ini. 5 Hernawan Prassetyo yang selalu menemani, mendengarkan keluhan, memberi semangat dan mendukung pada setiap kesempatan. 6 Teman-teman Fakultas Kedokteran Hewan angkatan 47 tersayang yang memberikan kebahagiaan selama 4 tahun masa perkuliahan, IMAPEKA, HIMPRO SATLI, Ash Showa, CC United. 7 Teman-teman yang selalu mendukung dan memberikan semangat. Teman seperjuangan Mirzan atas kerjasamanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan Teman menumpahkan segala keluh kesah Shine, Cibi, Dince, Upeh, Mance terima kasih karena mau berbagi hal-hal yang indah. Mamad, Andra, Fajar, Riris, Puti, Asfi, Maya dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung. Teman kosan Vida, Ersa, Kiki, Ayen, Wilda, Wita, Uju, Ima. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014
Nafisatul Ulfa
i
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Nycticebus coucang
2
Morfologi dan Klasifikasi
2
Status Konservasi
3
Zoogeografi
4
Pakan
4
Tingkah Laku
4
Medik Konservasi
5
Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI)
5
Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata
5
Trichuris trichiura
6
Ascaris lumbricoides
7
METODE PENELITIAN
7
Tempat dan Waktu
7
Bahan dan Alat
7
Rancangan Penelitian
8
Teknik Parasitologi
8
Teknik Sampling Feses
8
Metode McMaster
8
Metode Flotasi Sederhana
9
Metode Saringan Bertingkat
9
Identifikasi Jenis Telur Cacing
9
Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan Jenis Telur Cacing berdasarkan Gambaran Tipe Telur a Ascaris
9 9 10
ii
b Strongylid
11
c Oxyurid
11
d Trichurid
11
e Hymenolepid
11
Prevalensi
12
Derajat Infeksi
13
Faktor Lingkungan
14
Kecukupan Sinar Matahari
14
Aktivitas Manusia
15
Jumlah Hewan Jantan dan Betina dalam Kandang
15
SIMPULAN
15
SARAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR TABEL 1 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata 2 Jenis telur cacing yang ditemukan
6 10
3 Prevalensi kecacingan menurut jenis pada kandang non sanctuary dan sanctuary
12
4 Jumlah telur per gram tinja (TTGT) setiap tipe telur cacing pada kandang non sanctuary dan sanctuary
14
DAFTAR GAMBAR 1 Ciri-ciri Nycticebus coucang
3
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta kandang Nycticebus coucang di Yayasan IAR Indonesia
19
2 Kondisi kandang kukang di Yayasan IAR Indonesia
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia. Menurut Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2009 satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Primata merupakan satwa liar dari kelas mammalia yang terdiri atas prosimian, kera dan monyet (Purnama 2007). Di dunia terdapat 200 jenis primata dan 40 jenis atau 25% diantaranya hidup di Indonesia. Salah satu primata endemik Indonesia yang keberadaanya semakin langka adalah kukang atau Nycticebus sp. Kukang merupakan primata yang masuk dalam kelompok Prosimian famili Lorisidae (Purnama 2007). Kukang atau Nycticebus sp. terdiri dari 5 spesies yang tersebar di Asia Tenggara. Tiga dari 5 spesies tersebut terdapat di Indonesia yaitu Nycticebus javanicus, Nycticebus menangensis dan Nycticebus coucang (IAR 2011). International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan kukang Sumatera (Nycticebus coucang) ke dalam kategori vulnerable (rentan kepunahan) (IUCN 2013), sedangkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan kukang ke dalam Appendix I (CITES 2013). Di Indonesia satwa ini sudah masuk hewan dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Purnama 2007). Populasi kukang di alam tidak diketahui secara pasti, tetapi jumlah ini diduga akan terus menurun karena perburuan, perdagangan dan kerusakan habitat asli akibat perubahan penggunaan hutan. Penurunan jumlah kukang menyebabkan diperlukan suatu tindakan konservasi. Salah satu tindakan konservasi yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi kukang sitaan berdasarkan medik konservasi. Salah satu lembaga konservasi tersebut adalah Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Medik konservasi merupakan wujud dari serangkaian tindakan medik veteriner berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwa liar serta mencegah satwa terserang penyakit (Ciwi 2007). Primata yang hidup di alam liar maupun di kandang dapat terserang berbagai penyakit termasuk infeksi parasit. Kukang sendiri mempunyai peluang untuk tertular berbagai jenis endoparasit baik protozoa maupun cacing. Tingginya infeksi oleh parasit dan kerugian yang ditimbulkan seperti kematian yang menyebabkan menurunnya jumlah hewan menyebabkan perlu dilakukan identifikasi mengenai infeksi dan tingkat kesakitannya.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing saluran pencernaan, prevalensi serta derajat infeksi. Jenis cacing diketahui berdasarkan telur yang ditemukan. Temuan cacing diidentifikasi menurut jenis maupun kandang A dan kandang B pada Nycticebus coucang.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumentasikan jenis cacing saluran pencernaan pada Nycticebus coucang. Pengetahuan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari bioekologi transmisi cacing stadium infektif pada inang sebagai landasan strategi pengendaliannya satwa primata kukang Sumatera. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan program pengendalian penyakit. Selain itu dapat memberikan informasi ilmiah guna kepentingan ilmu pengetahuan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) Morfologi dan Klasifikasi Klasifikasi Nycticebus coucang menurut red list International Union for Coservation of Nature (IUCN) (2013) : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Sub-ordo : Prosimian Famili : Lorisidae Genus : Nycticebus Spesies : Nycticebus coucang Terdapat lima jenis kukang di dunia yaitu kukang Sumatera (Nycticebus coucang), kukang Kalimantan (Nycticebus menangensis), kukang Jawa (Nycticebus javanicus), kukang Bengal (Nycticebus bengalensis), kukang Pygmy (Nycticebus pygmaeus). Tiga diantaranya terdapat di Indonesia yaitu kukang Sumatera (N.coucang), kukang Kalimantan (N.menangensis) dan kukang Jawa (N.javanicus). Seluruh spesies yang ada di Indonesia memiliki kesamaan yaitu mata yang besar, namun masih dapat dibedakan dari ukurannnya, berat, tanda garis pada muka serta susunan warna atau kolorasi dan kemungkinan juga dari perilaku. Pada dasarnya seluruh jenis kukang memiliki ukuran tubuh yang sama. Kukang muda agak sulit diidentifikasi karena mirip yaitu memiliki tubuh yang lembut dan halus dilapisi oleh rambut berwarna putih. Selain itu pergerakannya
3
Gambar 1 Ciri-ciri Nycticebus coucang (Photo by Benedict Laura 2013) masih kaku, daya cengkramannya masih lemah dan kepalanya masih terlihat lebih besar dari tubuhnya (IAR 2011). Kukang Sumatera memiliki warna rambut kemerahan atau coklat. Ukuran sedang sepanjang 240-295 mm dengan berat 480-710 gram. Pola garpu pada kepalanya coklat kemerahan dengan pola dahi tidak jelas (IAR 2011). Status Konservasi Lima jenis kukang telah teridentifikasi tahun 2006 dan pada tahun 2007 semua kukang telah masuk ke dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi tentang perdagangan internasional jenis flora dan fauna terancam. Masuknya kukang ke dalam Appendix I berarti semua jenis perdagangan satwa ini dilarang. Perdagangan internasional yang berasal dari alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial tertentu. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2013) adalah lembaga internasional untuk pelestarian alam. IUCN (2013) mengkategorikan kukang Sumatera dan Kalimantan ke dalam vulnerable (rentan) sedangkan kukang Jawa termasuk endangered (terancam punah). Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, hewan ini masuk dalam daftar satwa yang dilindungi selanjutnya diperbaharui melalui Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pelanggar dari ketentuan ini dapat dikenakan hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Walaupun belum ada data ilmiah yang pasti mengenai populasi kukang di alam, tetapi berdasarkan survey dan monitoring yang dilakukan ProFauna sejak tahun 2000 hingga 2006, diperkirakan setiap tahunnya sekitar 6000 hingga 7000 ekor kukang ditangkap dari alam untuk diperdagangkan (Nursahid dan Purnama 2007). Mengingat jumlah anak yang dilahirkan umumnya satu ekor, hal ini merupakan ancaman serius bagi kelestarian kukang di alam (Dahrudin dan Werdateti 2008).
4 Zoogeografi Daerah penyebaran kukang terbatas di Asia Tenggara. Kukang Bengal tersebar dari Myanmar, Thailand dan Laos sedangkan kukang Pygmy tersebar di Vietnam dan Kamboja. Kukang Sumatera, kukang Jawa dan kukang Kalimantan merupakan jenis yang hidup di Indonesia (IAR 2011). Di Indonesia kukang Sumatera (Nycticebus coucang) tersebar di daerah Jawa (Barat dan Tengah), Sumatera (Jambi, Palembang, Riau, Bangka, dan Natuna), dan Kalimantan (Barat, Timur, Tengah, dan Selatan). Kukang ini juga terdapat di Malaysia, Thailand dan Singapura (Setyorini dan Werdateti 2005). Habitat asli kukang adalah hutan hujan tropis, hutan primer dan hutan sekunder pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut, hidupnya di atas pohon/arboreal. Kukang dijumpai pada pohon karet. Keberadaan kukang pada pohon karet kemungkinan untuk mencari serangga, karena pada saat pemanenan getah banyak serangga yang ikut terperangkap pada tampungan getah. Kukang juga ditemukan pada pohon bambu. Biasanya kukang menggunakan pohon tersebut sebagai tempat beristirahat pada siang hari yaitu pada pertautan daun bambu yang lebat (Dahrudin dan Werdateti 2008). Pakan Kukang tergolong hewan omnivora. Berbagai jenis tumbuhan pakan seperti kulit buah pinang (Areca catechu) yang masak, buah kayu hirang (Walsura pinnata), cempedak (Artocarpus champeden), pisang hutan (Musa acuminate) dan beberapa jenis buah hutan. Selain tumbuhan, kukang juga memakan cecak pohon, kodok, dan anak burung (Dahrudin dan Wedateti 2008). Smuts et al. (1987), menyatakan makanan utama kukang terdiri dari serangga (50-60%) dan buahbuahan kecil (30%). Kukang memakan serangga yang merupakan inang antara beberapa parasit sehingga mempunyai peluang untuk tertular berbagai jenis endoparasit baik protozoa maupun cacing. Tingkah Laku Kukang merupakan primata yang aktif pada malam hari atau satwa nocturnal. Kukang merupakan satwa arboreal karena hidup di pepohonan. Siang hari kukang tidur di atas pohon dengan ketinggian 1.8 – 3.5 meter diatas tanah. Kukang merupakan satwa soliter dengan tempat tinggal dalam satu kelompok sharing home range. Kukang dapat hidup sendiri, berpasangan (jantan betina) maupun bertiga (jantan, betina, anak) dalam satu kelompok. Kukang merupakan hewan monogami tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa kukang jantan dapat kawin dengan lebih dari satu betina atau kukang betina dapat kawin dengan lebih dari satu jantan (Wiens 2002). Pada kondisi perkandangan, merambat adalah alternatif kukang berpindah tempat atau menggantung dengan kedua kaki pada atap kandang yang berjeruji. (Asnawi 1991). Hewan jantan dan betina yang dipasangkan dalam satu kandang pada umunya akan berinteraksi sosial selama beberapa waktu namun diperlukan keselarasan antar individu dalam pasangan untuk muncul perilaku reproduksi. Selain itu kukang dapat hidup dalam satu kandang yang terdiri dari satu jantan dan beberapa betina dan terjadi sosialisasi antar betina dalam kandang (Wiens 2002).
5 Medik Konservasi Medik konservasi merupakan wujud dari serangkaian tindakan medik veteriner berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwa liar. Di dalamnya termasuk aspek sumber daya manusia dan alat-alat pendukung lain yang menunjang satwa dapat hidup normal dan sehat. Peran dokter hewan dalam otoritas medik konservasi terwujud melalui beberapa kontrol dalam penanganan satwa, yaitu kontrol fisiologi, kontrol mikrobiologi, kontrol tingkah laku (behavior), kontrol genetik, kontrol reproduksi, kontrol kualitas, dan kontrol adaptasi (Ciwi 2007).
Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) YIARI berlokasi di Jalan Curug Nangka Blok Pasir Loji RT 04 RW 05 Kampung Sinar Wangi, Kelurahan Sukajadi Kecamatan Taman Sari Ciapus Bogor. YIARI adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang penyelamatan satwaliar Indonesia. Yayasan ini dimulai pada tanggal 29 Januari 2007 dan memfokuskan kegiatannya pada satwa primata, yaitu kukang, monyet ekor panjang dan beruk di Ciapus dan orangutan di Ketapang. Kegiatan utama YIARI yaitu 3R yaitu rescue (penyelamatan), rehabilitation (rehabilitasi) dan release (pelepaliaran). Tujuan utama dari program YIARI adalah menghentikan perdagangan satwaliar dan memperjuangkan kesejahteraan yang lebih baik bagi satwa di seluruh dunia (Adrianna 2013).
Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Cacing yang dapat menginfeksi satwa primata adalah dari kelas Nematoda, Cestoda dan Trematoda. Struktur tubuh nematoda secara umum berbentuk silindris, tubuh dilapisi kutikula, jantan dan betina terpisah dan siklus hidup dapat langsung atau melibatkan inang antara. Pada beberapa nematoda, siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk perkembangan telur dan larva. Larva juga dapat mengalami migrasi paru-paru. Migrasi larva melalui paru tidak terjadi pada Trichuris tetapi telur membutuhkan tanah untuk perkembangannya. Telur Ascaris membutuhkan tanah untuk perkembangannya dan larva melalui migrasi paru. Tapeworms atau cestoda merupakan cacing hermaprodit yang mempunyai scolex atau kepala yang biasanya disertai adanya sucker atau kait, memiliki strobila yang berisi segmen proglotida. Setiap segmen memiliki organ reproduksi jantan dan betina dimana segmen matang terdapat uterus yang berisi telur yang akan melepaskan diri dan mengeluarkan telur. Tubuh trematoda biasanya pipih dorsoventral walaupun beberapa berbentuk agak tebal. Trematoda merupakan hermaprodit kecuali Schistosoma. Siklus hidup dapat langsung atau melalui inang antara untuk perkembangannya (Bogitsh et al. 2005).
6 Tabel 1 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata No. 1
Jenis cacing parasit Nematoda Ascarididae sp.
2 3 4 5 6
Oxyuridae sp. Enterobius sp. Ancylostomatidaesp. Oesophagostomum Hookworm
7 8
Strongyloides sp. Trichostrongylidae sp. Trichuris spp. Trichuris trichiura Cestoda Hymenolepis sp. Trematoda Schistosoma sp.
9 10 1 1
Spesies satwa primata
Sumber
Leontopithecus rosalia, Simias concolor siberu, Presbytis potenziani siberu Leontopithecus rosalia Nycticebus coucang Macaca, Leontopithecus rosalia Stump-tailed macaque Pongo pygmaeus, Leontopithecus rosalia, BabooA, Monkeys Pongo pygmaeus, Wild long-tailed Macaque Pongo pygmaeus
3,7
Golden langur, Hylobates hoolock, Macaca BabooA, Chimpanzees, Patas monkeys
2,5 6
Pongo pygmaeus
1
Macaca fascicularis
9
3 8 3,5 2 1,3,5,6 1, 4 1
1.Labes et al. 2010; 2. Nath et al. 2012; 3. Monteiro et al. 2003; 4. Rahmi et al. 2010; 5. Engel et al. 2004; 6. Dawet et al. 2013; 7. Rahayu 2008; 8. Setyorini dan Werdateti 2005; 9.Chrisnawaty 2008.
Trichuris trichiura Cacing ini bersifat kosmopolitan yang banyak ditemukan pada daerah panas dan lembab termasuk Indonesia. Cacing ini tersebar di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Chili dan Spanyol (Bogitsh et al. 2005, Noble et al. 1989). Cacing ini memiliki tubuh panjang pada bagian ke tiga-lima anterior dengan bagian tubuh berisi esofagus. Bagian ke dua-lima posterior tubuh lebih tebal dan berisi usus serta organ reproduksi. Cacing jantan dewasa memiliki tubuh yang melingkar pada bagian kaudalnya dan berukuran (30-45x0,6) mm. Terdapat spikula tunggal pada bagian ekor yang keluar dari tubuh dan dilindungi oleh suatu pelindung. Cacing betina dewasa berukuran (35-50x0,7) mm dengan vulva terletak di bagian anterior tubuh (Noble et al. 1989). Telur dari genus trichurid memiliki karakteristik berbentuk seperti lemon atau tong dengan garis lengkung sisi-sisinya yang dalam, memiliki dinding telur yang tebal dan berwarna kuning sampai kecoklatan (Bogitsh et al. 2005). Siklus hidup Siklus hidup cacing ini adalah secara langsung dimana telur akan diletakkan di usus besar oleh betina dewasa. Telur kemudian akan keluar bersama feses dan berembrio di dalam tanah selama beberapa minggu. Inang akan terinfeksi dengan memakan makanan atau minuman yang mengandung telur berembrio. Telur ini akan menuju usus kecil dan berkembang menjadi larva. Larva akan berkembang menjadi dewasa di usus besar (Noble et al. 1989).
7 Ascaris lumbricoides Cacing ini tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih sering berada pada negara dengan iklim hangat. Selain Nigeria, Ghana dan Amerika, Afrika dan Asia merupakan negara dengan prevalensi tertinggi (Bogitsh et al. 2005). Panjang cacing jantan dewasa 15-30 cm dengan lebar 3 mm. Ukuran cacing jantan lebih kecil dari betina dengan ujung posterior melengkung ke arah ventral. Terdapat spikulum yang muncul dari permukaan ventral tubuh cacing pada ujung duktus ejakulatorius. Tidak terdapat gubernakulum tetapi memiliki beberapa papila dan pos anal. Panjang cacing betina dewasa 27-50 cm. Pada keduanya terdapat tiga buah bibir yang mengelilingi mulut dengan sepasang papila kecil pada tepi lateral. Telur Ascaris lumbricoides berukuran (45-75x35-50) µm, berbentuk ovoidal dengan kulit yang tebal, transparan dan sebuah selubung di luar yang berbenjolbenjol kasar, bersifat albuminosa. Telur ini belum berembrio ketika dikeluarkan bersama tinja. Bentuk telur yang tidak dibuahi lebih panjang, lebih besar, lebih elips dan biasanya memiliki selubung albuminosa yang tidak teratur (Noble et al. 1989). Siklus hidup Telur-telur yang telah dibuahi di dalam tubuh cacing betina dikeluarkan di usus halus. Pertumbuhan dan perkembangan embrio terjadi di dalam telur. Setelah embrio berkembang manjadi larva stadium kedua, telur menjadi infektif. Larva yang keluar dari telur akibat tercerna di usus akan bermigrasi ke organ tubuh seperti jantung, paru-paru, pembuluh darah dan limfe. Larva dari paru-paru akan menuju rongga udara, menuju trakea dan faring kemudian tertelan. Larva yang tertelan akan menuju usus dan menjadi dewasa (Noble et al. 1989).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Februari – Mei 2014. Penelitian dilakukan di area kandang dan laboratorium Yayasan International Animal Rescue Indonesia, Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan adalah es balok, jelly pack beku, feses Nycticebus coucang, air, dan larutan gula garam jenuh. Alat yang digunakan adalah botol plastik, spidol permanen, label nama, cooler box, tisu gulung, pipet, kamera digital, timbangan digital, gelas plastik, saringan, vortex, penyemprot, filter bertingkat (400 µm, 100 µm dan 40 µm), mikroskop cahaya, pipet, label nama, cawan petri bergaris, tisu gulung, gelas obyek dan penutup, kamera digital, gelas sedimentasi (gelas Baermann).
8 Rancangan Penelitian Penelitian terdiri atas tahap pengambilan sampel kelompok feses di area kandang dan tahap pemeriksaan sampel kelompok feses di laboratorium diagnostik parasitologi. Tahap pengambilan sampel kelompok feses dilakukan dengan memilih secara acak sederhana 10 dari 30 kandang A dan 3 dari 9 kandang B. Setiap kandang dilakukan 6 kali pengulangan pengambilan sampel feses kelompok. Kandang A berisi satwa yang memiliki potensi untuk dilepasliarkan sedangkan kandang B merupakan kandang yang berisi satwa yang tidak memiliki potensi untuk dilepasliarkan dan akan selamanya hidup di kandang. Tahap pemeriksaan sampel kelompok feses dilakukan dengan teknik koprologi untuk mengetahui adanya telur dan jenisnya, derajat infeksi serta prevalensi kecacingan. Derajat infeksi diketahui berdasarkan jumlah telur cacing dalam tiap gram feses. Prevalensi kecacingan adalah jumlah kandang yang terinfeksi dari total jumlah kandang yang diperiksa.
Teknik Parasitologi Teknik Sampling Feses Sampel yang diambil adalah sampel feses segar yang berumur kurang dari dua jam. Jumlah sampel yang dikoleksi adalah 3-5 gram. Pengambilan sampel segar dilakukan untuk menghindari telur cacing yang menetas yang akan mengganggu identifikasi (Bowman dan Forster 2010). Sampel feses dari satwa diare tidak digunakan untuk penghitungan karena akan mempengaruhi hasil penghitungan (AAEP 2013). Sampel feses yang didapat dimasukkan dalam botol penampung disertai data tentang waktu pengambilan dan lokasi kandang, kemudian disimpan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku. Botol penampung disimpan dalam refrigerator untuk menghindari perkembangan telur. Metode McMaster Sebanyak tiga gram feses dilarutkan ke dalam 57 mililiter larutan gula garam jenuh. Selanjutnya dihomogenkan, disaring menggunakan saringan teh dan dihomogenkan kembali. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster sebanyak 0.3 ml dengan menggunakan pipet Pastur. Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop setelah 10 menit dengan pembesaran 100x (okuler x objektif). Nilai telur dalam tiap gram tinja (TTGT) diperoleh dengan rumus: n x Vt TTGT = Vk x Bf Keterangan : n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vk : volume kamar hitung (0,3 ml) Vt : volume sampel total Bf : berat feses (3 g) (Cringoli et al. 2004)
9 Metode Flotasi Sederhana Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan 57 cc larutan gula garam kemudian disaring menggunakan saringan teh. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai tersisa sedikit cairan dari tabung agar dapat tertangkap oleh kaca penutup. Tabung ditutup menggunakan kaca penutup dan ditunggu selama 15 menit. Setelah 15 menit penutup diangkat dan ditempatkan pada gelas obyek. Hasil ini diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Rinaldi et al. 2014). Metode Saringan Bertingkat Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan menggunakan 57 ml air dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat disaring kembali menggunakan filter bertingkat berukuran 400, 100 dan 45 µm. Residu pada filter ukuran 100 dan 45 µm dibilas dengan larutan aquades dibantu menggunakan botol penyemprot. Larutan ditampung pada gelas Baermann modifikasi dan dipipet ke dalam gelas obyek modifikasi. Setelah 15 menit diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.
Identifikasi Jenis Telur Cacing Identifikasi telur cacing berdasarkan warna, bentuk, ketebalan dinding, ketebalan lapisan albumin, adanya polar plug, serta ciri khas yang lain menurut Levine (1990), Noble et al. (1989), serta Bogitsh et al. (2005).
Analisis Data Hasil pengamatan morfologi telur cacing yang ditemukan (jenis telur cacing), prevalensi, serta derajat infeksi pada kandang A dan B ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temuan Jenis Cacing berdasarkan Gambaran Tipe Telur Berdasarkan identifikasi 13 sampel kelompok feses ditemukan dua kelas telur yaitu Cestoda (hymenolepid) dan Nematoda (Ascaris, strongylid, oxyurid dan trichurid). Morfologi jenis telur beserta gambar telur yang ditemukan disajikan pada Tabel 2. Pemeriksaan menggunakan metode McMaster dan flotasi sederhana teridentifikasi 5 jenis cacing : Ascaris, strongylid, oxyurid, trichurid dan hymenolepid. Pemeriksaan menggunakan saringan bertingkat tidak ditemukan adanya cacing.
10 Tabel 2 Jenis telur cacing yang ditemukan No 1
Jenis telur cacing Ascaris yang tidak dibuahi
Morfologi
Gambar telur yang ditemukan
Berwarna kuning kecoklatan, berbetuk bulat, mempunyai lapisan albumin yang tebal, tiap kutub telur yang berbentuk lonjong atau bulat terdapat rongga udara berbentuk seperti bulan sabit. Berwarna coklat, berbentuk lonjong, berdinding tipis dengan lapisan albumin yang tidak teratur, tidak ditemukan adanya rongga udara.
2
Ascaris yang dibuahi
3
Strongylid
Berbentuk kekuningan, traAparan.
4
Oxyurid
Berbentuk memanjang, tidak simetris dengan salah satu dindingnya rata dan yang lain melengkung.
5
Trichurid
6
Hymenolepid
Berbentuk seperti buah lemon dengan kedua ujung menonjol, dinding telur terlihat tebal, lapis luar berwarna kekuningan. Kutubkutub polar terlihat sangat jelas Berbentuk bulat atau agak oval, berwarna kuning, memiliki oncosphere berkait enam, adanya filamen polar pada jarak antara oncosphere dengan membran luar.
oval, dinding
warnanya tipis dan
a. Ascaris Telur Ascaris yang ditemukan pada sampel feses ada dua jenis yaitu telur Ascaris yang tidak dibuahi dan telur Ascaris yang dibuahi. Telur yang dibuahi berwarna kuning sampai coklat, berbentuk bulat, mempunyai lapisan albumin yang tebal serta dinding yang bergelombang tidak teratur. Di dalam kulit telur cacing masih terdapat suatu selubung vitelin tipis, tetapi lebih kuat dari pada kulit telur. Selubung vitelin ini meningkatkan daya tahan telur cacing Ascaris terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai 1 tahun. Telur yang dibuahi ini mengandung sel telur (ovum) maupun larva yang akan keluar bersama tinja. Telur yang tidak dibuahi berwarna coklat, berbentuk lonjong, berdinding tipis (Soedarto 1995). Telur Ascaris ditemukan pada kandang A dan kandang B. Genus cacing ini juga ditemukan pada Macaca fascicularis, simakobu (Simias concolor siberru) dan joja (Presbytis potenziani siberu) (Abduh 2013, Chrisnawaty 2008, Rahayu 2008).
11 b. Strongylid Telur strongylid yang ditemukan berbentuk oval, warnanya kekuningan, dinding tipis dan transparan, serta di dalamnya terdapat sel. Sel ini berjumlah 2,4 sampai 8 sel atau terkadang terlihat adanya embrio dimana telur kemudian akan memasuki mukosa intestinal, menetas dan bergerak ke lumen (CDC 2013). Telur strongylid ditemukan pada kandang A dan kandang B. Genus strongylid ini juga ditemukan pada Macaca fascicularis, Macaca nigra, Macaca tonkeana (Chrisnawaty 2008, Engel et al. 2004). c. Oxyurid Telur oxyurid berbentuk memanjang, tidak simetris dengan salah satu dindingnya rata. Dinding telurnya tipis dan tidak berwarna, Telur biasanya berisi larva atau embrio pada saat keluar bersama feses (Levine 1990). Telur ini ditemukan pada kandang B. Menurut Chrisnawaty (2008), telur oxyurid juga ditemukan pada Macaca fascicularis. Selain itu, Rahayu (2008) juga melaporkan terdapat genus Enterobius sp. pada simakobu (Simias concolor siberru) dan joja (Presbytis potenziani siberu). d. Trichurid Telur trichurid yang ditemukan berbentuk seperti buah lemon dengan kedua ujung menonjol, dinding telur terlihat tebal, lapis luar berwarna kekuningan, kutub-kutub polar terlihat sangat jelas dan mukosa tampak mengisi masingmasing ujung kutub. Menurut Levine (1990), telur trichurid mempunyai kulit tebal kecoklatan dengan sumbat (polar plug) di kedua ujungnya, dan belum bersegmen ketika dikeluarkan. Telur trichurid ditemukan pada kandang B. Spesies T.trichiuria merupakan cacing yang dapat menginfeksi manusia dan Simian primates (Levine 1990). Selain itu jenis ini juga ditemukan pada Baboons, Chimpanzees, Patas monkeys (Dawet et al. 2013). e. Hymenolepid Telur cestoda yang ditemukan agak oval, berwarna kuning, membran luar bergranuler, memiliki oncosphere berkait enam yang dikelilingi oleh suatu membran yang bagian dalamnya terlihat transparan dan terpisah dari membran luar. Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang disampaikan oleh Bogitsh et al. (2005) dan Noble et al. (1989) kemungkinan telur yang ditemukan adalah dari jenis Hymenolepis sp. jenis Hymenolepis nana karena memiliki filamen polar pada jarak antara onchosphere dengan membran luar. Selain menginfeksi hewan ternak, Hymenolepis sp. pernah ditemukan pada Macaca fascicularis, Pongo pygmaeus, dan Presbytis entellus (Chrisnawaty 2008, Labels et al. 2010, Dewit et al. 1991). Meskipun spesies tersebut berbeda dengan Nycticebus coucang, tetapi masih merupakan satu ordo yaitu Primata. Telur ini ditemukan pada kandang A dan kandang B.
12 Prevalensi Nilai prevalensi pada kandang A dan B disajikan pada Tabel 3. Total prevalensi kecacingan adalah 100 %. Secara umum nilai prevalensi pada kandang A dan B tinggi (10-100%). Tingginya prevalensi cacing dapat disebabkan oleh tanah yang terkontaminasi. Cacing dapat ditularkan melalui tanah dan makanan yang terkontaminasi telur cacing. Telur cacing akan berkembang menjadi larva infektif bila jatuh ke tanah, apabila telur/larva itu tertelan tanpa sengaja oleh inang maka inang terinfeksi parasit tersebut. Kemungkinan lain adalah hewan tersebut memang sudah terinfeksi di lokasi pemiliknya sebelum dibawa ke pusat rehabilitasi (Nasution et al. 2013). Kondisi geografis pusat rehabilitasi satwa YIARI yang berada di kaki Gunung Salak sangat menguntungkan untuk perkembangan siklus hidup cacing. Lokasi tersebut terletak di ketinggian sekitar 750 m dpl yang tergolong beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata tahunan sekitar 4000 mm per tahun. Jumlah hari hujan sebanyak 187 per tahun dengan kelembaban nisbi per tahun sekitar 88%. Temperatur udara tahunan adalah sekitar 20-22o C (Adrianna 2013). Nilai prevalensi tertinggi pada Ascaris sebesar 84.61%. Menurut Sajuthi et al. (1997), Ascaris spp. merupakan parasit cacing yang umum ditemui hampir pada semua satwa primata dan memiliki daya infeksi yang tinggi. Ascaris dapat menginfeksi hewan muda melalui telur infektif yaitu telur berembrio yang berisi larva stadium 2 yang termakan. Larva ini kemudian memasuki dinding usus dan mengalami perkembangan dan sampai di hati melalui sirkulasi hepatik, kemudian larva akan bermigrasi melalui aliran darah menuju alveolus, trakea, mulut, esofagus, abdomen dan usus kecil dan akan dewasa di lumen usus (Noble et al. 1989). Nilai prevalensi hymenolepid sebesar 76.92%. Rute infeksi hymenolepid terjadi secara langsung tanpa membutuhkan inang antara. Telur akan masuk ke dalam inang antara melalui feses yang termakan dan onchosphere akan berkembang menjadi sistiserkoid. Inang definitif akan terinfeksi apabila memakan arthropoda yang terinfeksi. Selain itu, transmisi dapat terjadi melalui autoinfeksi. Transmisi yang mudah menyebabkan infeksi tinggi. Nilai prevalensi strongylid sebesar 61.54%. Telur strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir dan lembab (Levine 1990). Kandang di YIARI memiliki lantai tanah yang lembab sehingga dapat menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur strongylid, tetapi beberapa kandang sudah berlantai semen sehingga pada beberapa kandang telur ini sulit berkembang. Transmisi antar kandang dapat terjadi karena letak kandang yang cukup dekat pada beberapa blok (lampiran 2). Tabel 3 Prevalensi kecacingan menurut jenis pada kandang A dan kandang B. Kandang
n (jumlah kandang)
Rataan prevalensi (%) Ascaris
Strongylid
Trichurid
Oxyurid
Hymenolepid
A
10
80
50
10
20
80
B
3
66.67
100
0
66.67
0
13 Nilai prevalensi oxyurid sebesar 15.38% dan trichurid sebesar 7.69%. Siklus hidup Trichuris merupakan siklus hidup langsung sehingga tidak membutuhkan inang antara. Infeksi Trichuris terjadi melalui ingesti makanan dan minuman yang terkontaminasi telur yang berisi larva stadium ketiga. Telur ini akan berkembang baik pada tanah yang hangat dan lembab. Larva kemudian akan hatching pada usus kecil dan masuk ke dalam vili usus dekat kripta Liberkuhn (mengalami pematangan). Larva akan bermigrasi ke sekum dan mengalami pematangan selama 30–90 hari sejak telur masuk (Bogitsh et al. 2005). Rute transmisi Oxyuris dapat terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut inang. Cacing betina akan merambat ke tepi anus inang dan meletakkan telur dalam kelompok di daerah perianal. Larva infektif akan jatuh ke tanah, pakan atau air kemudian termakan. Selain itu, telur yang berada di area perianal terbawa oleh tangan pada saat menggaruk bagian tersebut. Telur akan menetas di dalam usus halus dan matang dalam usus besar (Levine 1990).
Derajat Infeksi Jumlah telur cacing dalam satuan berat feses merupakan cerminan jumlah cacing dalam saluran pencernaan. Jumlah telur cacing dalam tiap gram tinja (TTGT) yang ditemukan merupakan indikator kecacingan pada satwa. Nilai 0 TTGT tidak berarti satwa tersebut bebas infeksi. Hal ini disebabkan oleh derajat infeksinya rendah atau infeksi belum mencapai masa prepaten. Nilai derajat infeksi tertinggi sampai terendah berturut-turut pada kandang A yaitu A3 (1810 TTGT), A10 (155 TTGT), A7 (122 TTGT), A5 (110 TTGT), A2 (55 TTGT), A1 dan A6 (44 TTGT), A4 dan A8 (33 TTGT) dan A9 (11 TTGT). Sementara pada kandang B nilai tertinggi terdapat pada kukang yang berada pada B3 (577 TTGT) diikuti B2 (355 TTGT) dan terakhir B1 dengan nilai 310 TTGT. Derajat infeksi tinggi pada Ascaris (1555 TTGT). Tingginya derajat infeksi mencerminkan jumlah cacing dalam usus tinggi. Jumlah cacing yang tinggi menyebabkan satwa mengalami malnutrisi akibat cacing menghisap darah inang. Malnutrisi ini menyebabkan hipoalbumiemia dan edema. Selain itu, fase migrasi yang terjadi sebelum cacing menjadi dewasa dalam usus juga merugikan karena menyebabkan kerusakan jaringan dan hemoragi di hati dan paru-paru. Larva di paru-paru menyebabkan edema dan infiltrasi sel radang. Infeksi sekunder oleh bakteri dan lesi bronkopneumonia juga dapat terjadi. Hemoragi juga disebabkan oleh cacing penghisap darah. Pada penelitian ini TTGT strongylid tertinggi adalah 122 TTGT. Infeksi strongylid pada mukosa intestinal dapat menyebabkan pendarahan, kerusakan epitel dan ulcer akibat penempelan bukal kapsul. Larva strongylid dapat menyebabkan trombosis dan aneurisma pada pembuluh darah. Kematian dapat terjadi karena hemoragi internal disertai ruptur (Seddon 1967). Derajat infeksi hymenolepid tertinggi sebesar 444 TTGT. Transmisi Hymenolepis nana terjadi secara langsung dan autoinfeksi yaitu telur dapat masuk kembali ke dalam usus tanpa melalui lingkungan eksternal. Transmisi secara autoinfeksi menyebabkan cacing dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam tubuh inang dan meningkatkan infeksi (CDC 2013).
14 Tabel 4 Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) setiap tipe telur cacing pada kandang A dan kandang B. Rataan derajat infeksi (terendah-tertinggi) (TTGT) Kandang A
B
A1
Ascaris 33 (0-200)
Strongylid 11(0-67)
Trichurid 0
Hymenolepid 0
Oxyurid 0
A2
0
22 (0-67)
0
33 (0-133)
0
A3
11 (0-67)
0
244 (0-1333)
0
A4
1555 (07333) 22 (0-133)
0
11 (0-67)
0
0
A5
22 (0-67)
11 (0-67)
0
33 (0-200)
A6
11 (0-67)
0
0
22 (0-67)
A7
100 (0-600)
0
0
22 (0-133)
44 (0133) 11 (067) 0
A8
11 (0-67)
0
0
22 (0-133)
0
A9
0
0
0
11 (0-67)
0
A10
11 (0-67)
11 (0-67)
0
133 (0-733)
0
B1
0
122 (0-733)
0
188 (0-11333)
0
B2
344 (02066) 100 (0-600)
11 (0-67)
0
0
0
33 (0-200)
0
444 (0-2000)
0
B3
Derajat infeksi tertinggi oxyurid sebesar 44 TTGT dan trichurid sebesar 11 TTGT. Pada infeksi ringan Trichuris gejala klinis jarang terjadi tetapi dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan anemia, gangguan toksik, obstruksi usus, atau perforasi dinding usus. Infeksi berat dapat menimbulkan peradangan, eosinofilia, perdarahan, anemia, diare, pengeluaran feses disertai darah dan lendir (melena), sesak nafas, mual, penurunan berat badan, demam bahkan prolapsus rektum.
Faktor Lingkungan Kecukupan Sinar Matahari Kandang A3 sampai A7 merupakan kandang yang kurang mendapat sinar matahari sementara sisanya merupakan kandang yang cukup mendapat sinar matahari. Berdasarkan Tabel 4 dapat dipelajari bahwa derajat infeksi kecacingan pada kandang A 3-7 tidak lebih tinggi dibandingkan kandang yang lain tetapi kandang A3 memiliki derajat infeksi yang cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pohon bambu yang cukup rimbun yang menutup seluruh kandang A3 dibanding A 4-7. Adanya pohon tersebut menyebakan area kandang menjadi tertutup dan ketahanan tubuh kukang menurun meningkatkan resiko terkena penyakit termasuk kecacingan. Kurangnya sinar matahari akan menyebabkan kelembaban tinggi dimana telur cacing dapat bertahan hidup cukup lama dan meningkatkan infeksi.
15 Aktivitas Manusia Seluruh kandang di area konservasi relatif jauh dari aktivitas manusia. Kandang yang cukup dekat dengan aktivitas manusia adalah kandang B1 yang berjarak sekitar 5 meter dari base camp dan tempat pakan. Namun derajat infeksi kecacingan pada kandang B1 ini bisa sama maupun lebih kecil dibanding kandang lain sehingga dapat disimpulkan faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor utama transmisi kecacingan. Jumlah Hewan Jantan dan Betina dalam Kandang Kukang merupakan hewan soliter yang menghabiskan aktivitasnya sendirian. Meskipun demikian aktivitas sosial dengan individu lain dapat terjadi dalam satu kelompok home range (Wiens 2002). Interaksi sosial antar individu dalam kandang dapat terjadi namun apabila jumlah hewan di dalam kandang terlalu banyak akan mempengaruhi kondisi fisiologis hewan. Jumlah hewan jantan dan betina dalam kandang yang tidak cocok dapat menyebabkan ketidakserasian individu dalam kandang. Kandang yang berisi satu jantan dan dua betina menimbulkan interaksi antar individu tetapi apabila dalam satu kandang terdapat satu betina dan lebih dari satu jantan akan terjadi perkelahian perebutan betina maupun makanan yang akhirnya terjadi stres sehingga hewan menjadi peka dan mudah terinfeksi cacing. Selain itu, jarak antar individu dalam kandang yang cukup dekat menyebabkan kontak antar individu menjadi intens sehingga transmisi mudah terjadi.
SIMPULAN Jenis-jenis cacing saluran pencernaan yang ditemukan pada Nycticebus coucang di Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah Ascaris, strongylid, Trichuris, Oxyuris dan Hymenolepis. Adapun nilai prevalensi Ascaris sebesar 84.61%, Hymenolepis sebesar 76.92%, strongylid 61.54%, Oxyuris 15.38% dan Trichuris 7.69%. Infeksi Ascaris tertinggi pada kandang A3 dengan rataan derajat infeksi sebesar 1555 TTGT, infeksi strongylid tertinggi pada kandang B1 dengan rataan derajat infeksi 122 TTGT, infeksi Hymenolepis tertinggi pada kandang B3 dengan rataan derajat infeksi sebesar 444 TTGT, Oxyuris tertinggi pada kandang A5 dengan nilai rataan derajat infeksi 44 TTGT dan infeksi Trichuris hanya terdapat pada kandang A4 dengan rataan derajat infeksi sebesar 11 TTGT.
SARAN Perlu dilakukan penelitian menggunakan sampel individu guna melihat derajat kesakitan per individu. Penelitian disarankan identifikasi sampai tingkat spesies cacing guna mengetahui jenis cacing yang berpotensi sebagai agen zoonotik. Perlu mempelajari faktor-faktor risiko infeksi cacing saluran pencernaan Nycticebus coucang di pusat rehabilitasi satwa primata YIARI.
16 DAFTAR PUSTAKA [AAEP]. American Association of Equine Practitioners. 2013. AAEP parasite control guidelines. Laxington (US) : AAEP Abduh M. 2013. Infeksi cacing nematoda pada saluran pencernaan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Matraman, Jakarta dan Taman Wisata Alam Telaga Warna, Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Adrianna N. 2013. Potensi reproduksi dan morfologi pada sistem reproduksi betina kukang Jawa [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Asnawi E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Bogitsh BJ, Carter CE, Oeltmann TN. 2005. Human parasitology. London (GB) : Elsevier. Bowman DD dan Forster AL. 2010. The importance of routine fecal exams protecting pets and their owners from parasitic infections. DX Consult. 3(1) : 10-13. [CDC] Centres for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites and health, intestinal parasites : comparative morphology [internet]. Waktu unduh [2014 May 23]. Tersedia pada : http://www.cdc.gov/parasites/. Chrisnawaty D. 2008. Infeksi cacing saluran pencernaan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna. 2013. Appendices [internet]. Waktu unduh [2014 April 13]. Tersedia pada : http://cites.org/eng/app/appendices.php. Ciwi Z. 2007. Medik konservasi satwa ular : studi kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan cv. Terraria [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Cringoli G, Rinaldi L, Veneziano V, Capelli G, Scala A. 2004. The influence of flotation solution, sample dilution and the choice of McMaster slide area (volume) on the realibility of the McMaster technique in estimating the faecal egg counts of gastrointestinal strongyles and Dicrocoelium dendriticum in sheep. Vet Parasitol. 123: 121-131. Dahrudin H dan Werdateti. 2008. Jenis tumbuhan pakan dan tempat bersarang kukang (Nycticebus coucang) di hutan lindung Pegunungan Merratus, Kalimantan Selatan. Zoo Indonesia. 17(1) : 7-14. Dawet A, Yakubu DP, Butu HM. 2013. Survey of gastrointestinal parasites of non-human primates in Jos Zoological Garden. J Primatol. 2(1) : 108-110. Dewit I, Dittus WPJ, Vercruysse J, Harris EA, Gibson DI. 1991. Gastrointestinal helminth in a natural population of Macaca sinica dan Presbytis sp. at Polonnaruwa, Sri Langka. Primates. 32(3) : 391-395. Engel LJ, Engel GA, Schillaci MA, Kyes K, Froehlich J, Paputungan U, Kyes RC. 2004. Prevalence of enteric parasites in pet macaque in Sulawesi, Indonesia. Am J Primatol. 62(1) : 71-82. [IAR] International Animal Rescue. 2011. Kukang di Indonesia : di tengah maraknya perdagangan (gelap) satwa. Bogor (ID) : IAR.
17 [IUCN]. 2013. Nycticebus coucang : The IUCN red list of threatened species. Geneva (CH) : IUCN. Version 2014.2 [internet]. Waktu unduh [2014 May 22]. Tersedia pada : http://www.iucnredlist.org/details/39759/0 Labes E, Hegglin D, Geimm F, Nurcahyo W, Harrison ME, Bastian ML, Deplazes P. 2010. Intestinal parasites of endangered orangutans (Pongo pygmaeus) in Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. J Parasitol. 137(1) : 123135. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada Univ Pr. Monteiro RV, Jansen AM, Pinto RM. 2003. Coprological helminth screening in Brazilian free ranging golden lion Tamarins, leontopithecus rosalia (l., 1766) (primates, callithrichidae). Brazil J Biol. 63(4) : 727-729. Nasution IT, Fahrimal Y, Hasan M. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Di Karantina Batu Mbelin, Sibolangit Provinsi Sumatera Utara. J Med Vet 7(2) : 67-70. Nath BG, Islam S, Chakraborty A. 2012. Prevalence of parasitic infection in captive non human primates of Assam State Zoo, India. Vet World. 5(10) : 614-616. Noble ER, Noble GA, Schad GA, MacInnes AJ. 1989. Parasitology : The biology of animal parasites. Philadelphia (US) : Lea & Febiger. Nursahid R dan Purnama A. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia Suara Satwa [internet]. Waktu unduh [2014 Okt 09]. Tersedia pada:http://www.profauna.org/content/id/berita/2007/perdagangan_kukang_n ycticebus_coucang_di_indonesia.html. Purnama AR. 2007. Konservasi primata di Indonesia. Suara Satwa [internet]. Waktu unduh [2014 Oct 14]. Tersedia pada : http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/03/konservasi_primata_di_indo nesia.html. Rahayu NRT. 2008. Identifikasi endoparasit saluran pencernaan simakobu (Simias concolor siberru) dan joja (Presbytis potenziani siberu) di Siberut Utara [skripsi]. Bali (ID) : Universitas Udayana. Rahmi E, Hanafiah M, Sutriana A, Hambal M, Wajidi F. 2010. Identifikasi nematoda gastrointestinal dan protozoa pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) liar di taman wisata alam (TWA) Pulau Weh Sabang. JIIIP. 13(6) : 286-291. Rinaldi L, Levecke B, Boscoa A, Ianniello D, Pepe P, Charlier J, Cringolia G, Vercruyss J. 2014. Comparison of individual and pooled faecal samples in sheep for the assessment of gastrointestinal strongyle infection inteAity and anthelmintic drug efficacy using McMaster and Mini-FLOTAC. Vet Parasitol 6(11) : 1-8. Sajuthi D, Yusuf TL, Mansjoer I, Lelana RPA, dan Suparto IH.1997. Kursus Singkat Penanganan Satwa Primata sebagai Hewan Laboratorium. Bali (ID): Ersa Pustaka Pribadi. Seddon HR. 1967. Disease of Domestic Animal in Australia : Helminth Infestations. Canberra (AU) : Goverment Print Offfice. Setyorini LE dan Werdateti. 2005. Cacing parasit pada Nycticebus coucang. Berk Panel Hayati 10 : 93–96.
18 Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham R, Struhsaker TT, Hamburg D. 1987. Primates Societies (paperback). Chicago (US) : Univ Chicago Pr. Soedarto. 1995. Helmintologi Kedokteran. Jakarta (ID) : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wiens F. 2002. Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang) : social organization, infant care system, and diet [disertasi]. Frankfurt (DE) : Universitas Bayreuth.
19 LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta kandang
Nycticebus
coucang
di
Keterangan : = kandang Nycticebus coucang = kandang Nycticebus sp. lain = kandang tempat pengambilan sampel Nycticebus coucang
Yayasan
IAR
Indones
20 Lampiran 2 Kondisi kandang kukang di Yayasan IAR Indonesia
Gambar 1 Kondisi kandang kukang
Gambar 2 Letak kandang yang berdekatan
Gambar 3 Kandang dibatasi kawat penutup
21 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, 3 Juli 1992 dari ayah bernama Syaiful Anam dan ibu Santi Mustakimah Suhada. Penulis merupakan putri pertama dengan dua orang adik yaitu Kurnia Yuliasih dan Salamun Afiat. Penulis pernah bersekolah di SMPN 02 Pekalongan dan menamatkan sekolah di SMAN 01 Pekalongan pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) jalur Undangan seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Potensi Akademik (PPA). Penulis juga menjadi anggota himpunan profesi satwa liar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, OMDA IMAPEKA (Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang) tahun 2010-2012. Penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan beberapa acara di IPB antara lain menjadi panitia divisi Organizing Comitte Anggota Kelompok (OC AK) masa perkenalan departemen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) tahun 2012, panitia divisi Dana dan Usaha Gebyar Nusantara IPB tahun 2012, Asisten luar biasa mata kuliah Histologi Veteriner 1 dan 2, berperan aktif dalam pemeriksaan kesehatan hewan kurban tahun 20122014. Penulis pernah menjadi peserta dalam kegiatan IPB Goes to Field tahun 2013 di Bondowoso dan mengikuti pengenalan masa perkenalan departemen FKH tahun 2011.