Kebijakan Persaingan Usaha dalam Pembangunan Ekonomi, sebagai Tantangan Perencanaan Pembangunan dalam Era Globalisasi Ani Pudyastuti
Beberapa waktu yang lalu masih teringat kita oleh berita persaingan bisnis seperti keberatan rencana merger Flexi (PT. Telkomunikasi Indonesia Tbk) – Esia (PT Bakrie Telecom Tbk) dua operator CDMA yang dapat mendominasi tarif telepon seluler berbasis CDMA ; kekhawatiran Indovision terhadap bisnisnya di televisi berbayar yang menggunakan 2,5 Ghz akan diambil oleh Telkomsel yang akan mengembangkan Long Term Evolution/ LTE dengan menggunakan frekuensi 2,5 GHz juga. Bagaimana kebijakan alokasi frekuensi?; dugaan dua produsen rayon yaitu PT. Indo Bharat Rayon dan South Pasific Viscose, melakukan kartel harga ditengah industri benang sedang krisis bahan baku. Bagaimana kebijakan industri tekstil dan produk tekstil? Memang semua hal itu masih merupakan berita bisnis, tetapi hal ini menjadi sinyal bagi pemerintah atas efektifitas implementasi kebijakannya, baik itu kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan investasi, kebijakan sektoral maupun kebijakan persaingan usaha. Seiring dengan gelombang liberalisasi, hambatan impor dan regulasi di bidang perdagangan seperti hambatan tarif maupun non tarif cenderung terus berkurang, demikian juga kebijakan kemudahan investasi. Hal ini menjadikan perdagangan lintas batas menjadi lebih mudah dan mendorong aktivitas bisnis antar negara menjadi lebih menarik bagi para pemain tingkat global yaitu perusahaan multinasional. Peran dan dominasi mereka menjadi semakin penting terlebih didukung dengan berkembangnya teknologi dan kemampuan finansial. Namun perlu diwaspadai bahwa meningkatnya aktivitas bisnis global juga membawa tantangan baru yaitu praktek bisnis persaingan yang tidak sehat. Tantangan persaingan dalam era globalisasipun dialami oleh semua negara, baik negara maju dan juga negara berkembang. Hal ini menjadi konsekuensi makin pentingnya kebijakan persaingan usaha sebagai komplemen kebijakan pemerintah
59
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
lainnya. Namun dilapangan sangat mungkin terjadi friksi antara kebijakan persaingan usaha dengan kebijakan lainnya dan tentunya hal ini memerlukan harmonisasi kebijakan dengan tujuan akhir untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
memang sangat marak, sebagaimana menurut laporan CADE, 56% investigasi di bidang kartel adalah kartel terkait BBM. Kartel BBM memang marak di dunia termasuk di Perancis dan juga di Zambia yang dilakukan bukan hanya oleh pelaku dalam negeri tetapi termasuk juga perusahaan kaliber internasional. Lembaga persaingan usaha Perancis, The Conseil de la Concurrence, menemukan bahwa para manajer SPBU telah melakukan tukar informasi selama beberapa kali seminggu, sebagai reaksi atas permintaan ataupun persetujuan perusahaan minyak, dengan tujuan untuk kartel. Keempat perusahaan minyak yang terlibat kartel tersebut adalah, TotalFinaElf, BP France, Esso dan Shell, yang didenda sekitar €27 juta atau sekitar US$ 31 juta. Kartel juga ditemukan oleh lembaga persaingan usaha Zambia atas investigasi terhadap BP, Caltex, Mobil, Agip, Total, Jovenna, Engen, Ody’s dan Agro-fuel. (Recent Competition Cases, TD/B/COM.2/CLP/38, 2003).
Apakah kebijakan persaingan usaha? Kebijakan persaingan usaha adalah suatu kebijakan yang mempertemukan antara kebijakan pemerintah yang berkepentingan untuk pertumbuhan ekonomi demi kemakmuran rakyatnya dengan dinamika strategi bisnis yang dilakukan pelaku usaha. Banyak hal mungkin terjadi diantara pebisnis, yaitu bersaing dengan wajar, bersaing dengan tidak fair, dan bahkan tidak bersaing tetapi berkolusi seperti kartel. Pelaku usahapun dapat mempengaruhi pemerintah, termasuk regulator, untuk mendapatkan dukungan, baik yang sifatnya menguntungkan bagi ekonomi negara ataupun lebih seringnya menguntungkan diri sendiri. Sisi pemerintahpun mendapat tekanan yang cukup kuat baik oleh politik, bahkan pejabat luar negeri, lembaga international dan khususnya pelaku usaha baik dari dalam dan luar negeri. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang mampu mengikuti perkembangan aturan global, tetapi berani melakukan pengecualian sesuai kondisi ekonominya, dan pemerintah yang cermat adalah yang tetap fokus pada ekonomi untuk kemakmuran rakyat. Namun sayang kondisi pada saat ini, perhatian dan kepedulian pemerintah akan peran kebijakan persaingan usaha dalam era globalisasi masih relatif kecil.
Kasus tersebut mungkin hanya bagian kecil dari tantangan kedepan yang akan dihadapi Indonesia, khususnya sejak ditetapkannya kebijakan liberalisasi sektor migas melalui UU Migas No 22 tahun 2001.
Negara berkembang lebih sering menjadi korban kartel internasional karena lemahnya kebijakan dan hukum persaingan usaha.
Isu ini sangat menarik dan sekaligus tantangan untuk terus mengikuti perkembangannya, yaitu bagaimana perencanaan kebijakan hingga penegakkannya yang tidak boleh tertinggal dengan dinamika persaingan global. Satu sisi pelaku usaha terus berkembang dengan segala triknya yang didukung khususnya oleh kemampuan finansial dan kemajuan teknologi, dan di sisi lain pemerintah yang harus pintar mengatur kegiatan ekonomi ini dengan bijaksana baik untuk memfasilitasi dan membantu pelaku usaha serta bijaksana bagaimana kemakmuran ekonomi utamanya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pada April 2003, the Korea Fair Trade Commission (KFTC) menetapkan hukuman dengan denda sebesar US $ 3 juta kepada 6 produsen vitamin (bulk vitamin) dari negara Swis, Jerman, Perancis, Jepang dan Belanda yang terlibat pada kartel internasional. Keenam perusahaan asing tersebut adalah F. Hoffmann La-Roche Ltd. (Swis), BASF A.G. ( Jerman), Aventis S.A. (Perancis, dulu bernama Rhône-Poulenc S.A.), Eisai Co., Ltd. ( Jepang), Daiichi Pharmaceutical Co., Ltd ( Jepang), dan Solvay Pharmaceuticals B.V. (Belanda). Keenam perusahaan yang memiliki 90% pangsa pasar vitamin dunia ini, sepakat mengatur volume dagang dan harga untuk beberapa vitamin seperti vitamin A, E, B5, D3, dan Beta Carotene. Vitamin A, E and beta-carotene adalah salah satu bahan dasar untuk produk makanan, obat – obatan, kosmetik, dan makanan hewan. Banyak industri Korea yang produksinya bergantung pada impor vitamin tersebut. Dengan kasus ini banyak produsen Korea dan konsumen dirugikan selama beberapa tahun berjalannya kartel vitamin tersebut. Tercatat nilai impor Korea dari 6 perusahaan tersebut adalah sekitar US$185 juta selama kurun waktu terjadinya kartel tersebut. (Recent Competition Cases, TD/B/COM.2/CLP/38, 2003).
Sebelum masuk pada pemahaman apa itu kebijakan persaingan usaha, sebagai pembuka akan diberikan beberapa contoh kasus untuk memudahkan pemahamannya. Kita mulai dengan pengalaman di luar negeri yang telah cukup lama menerapkan kebijakan persaingan usaha dan kemudian akan diuraikan beberapa kasus di dalam negeri.
Industri hilir migas era liberalisasi- Price fixing (kartel) bahan bakar minyak/ BBM Pada tahun 2002, lembaga persaingan usaha Brasil, The Administrative Council of Economic Defense (CADE), telah menghukum Sindiposto – sebuah asosiasi SPBU, dan juga Presiden asosiasinya dengan denda sebesar US$ 105,000 setelah menganjurkan anggota asosianya untuk melakukan kesepakatan harga dan marjin keuntungan penjualan dan sekaligus kesepakatan menaikkan harga BBM. Kartel harga BBM di Brasil
Kartel internasional ini telah banyak merugikan konsumen Korea dan juga produsen – produsen dalam negeri . Disinyalir kartel vitamin sudah merambah dunia dan yang banyak menjadi korban adalah negara berkembang yang masih relatif baru dan belum banyak pengalaman dalam kebijakan dan hukum persaingannya. Dalam kasus internasional kartel,
60
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
situasinya dapat diperburuk karena lembaga persaingan usaha asal perusahaan yang terlibat kartel, biasanya hanya melakukan tindakan di wilayah teritori negaranya sendiri dan tidak menjangkau pelanggaran kartel internasional yang dilakukan pengusahanya di teritori negara lain. Untuk itu kerjasama bilateral, regional dan internasional diperlukan untuk mengefektifkan kebijakan dan hukum persaingan usaha. Untuk menunjukan betapa seriusnya praktek persaingan tidak sehat yang telah merambah dunia, khususnya melalui kartel, berikut disajikan hasil kajian John M. Connor (2006) terhadap kartel internasional vitamin. Sepanjang tahun 1990 – 1999, terjadi praktek kartel vitamin yang melibatkan sekitar 21 perusahaan, mencakup sekitar 16 macam produk, dan telah merugikan perdagangan sebesar US $ 26,6 miliar, dimana 77% kerugian dagang tersebut berasal dari vitamin A, E, C dan premix. Adapun keenam belas produk tersebut adalah vitamin A, E, C,B1,B2,B3,B4,B5,B6,B9,B12,D3, Premix, Biotin/H, beta carotene, dan canthaxanthin. Penjualan kartel vitamin terkonsentrasi di Amerika Utara sebesar 20%, Uni Eropa sebesar 29% dan Asia sebesar 55%. Kartel vitamin ternyata cukup efektif, dimana dapat menaikkan harga dari 60% di tahun 1990 menjadi 100% di pertengahan 1990an. Keanggotaan kartel rata – rata dapat langgeng selama 7 tahun dan yang terlama adalah sekitar 15 tahun. Kondisi pasar dan struktur industri yang memungkin lahirnya kartel adalah : 1) tingkat konsentrasi penjual sangat tinggi, dan sebaliknya tingkat konsentrasi pembeli sangat rendah, 2) produk sangat homogen, 3) halangan bagi pesaing untuk masuk pasar sangat besar, seperti tingginya nilai investasi untuk membangun pabrik dan membutuhkan waktu tahunan dan juga adanya hak paten, 4) kartel lazimnya terbentuk persis setelah turunnya harga dan keuntungan. Tidak mudah mendapatkan bukti kartel dan ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengkaji tingginya harga obat di negara kita ini yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya terlebih bagi rakyat miskin. Untuk itu kajian yang mendalam untuk sektor kesehatan menjadi hal prioritas untuk diagendakan, antara lain terkait dengan paten, investasi,dan kemampuan pengembangan teknologi.
Langkah agresif Amerika dalam mendukung persaingan yaitu dengan menetapkan hukum persaingan usaha yang mampu menjangkau pelaku usaha di luar teritori wilayah negara Amerika Sejak meningkatnya liberalisasi perdagangan antar negara, maka aktivitas bisnis antar negarapun menjadi lebih mudah penetrasinya atau tanpa batas karena semakin berkurangnya hambatan perdagangan. Konsekuensinya adalah bagaimanakah suatu negara melakukan pengaturan aktivitas bisnis lintas batas tersebut? Dalam kaitannya dengan hal ini, Amerika bersikap
61
lebih agresif dibandingkan dengan Negara - negara lain. Sejarah hukum persaingan di Amerika diawali dengan penetapan the Sherman Act di tahun 1890. pada awal penetapan hukum persaingan, maka cakupan wilayah adalah dimaksudkan dalam wilayah Amerika (traditional territorial). Pada tahun 1944, telah diterapkan prinsip yang berbeda yaitu dimana hukum persaingan usaha mencakup perilaku pelaku usaha asing yang dilakukan diluar wilayah Amerika namun membawa dampak di dalam wilayah Amerika. Dengan kata lain, hal ini termasuk juga bila perjanjian di luar wilayah Amerika tetapi berpotensi ataupun berdampak pada impor Amerika. Kebijakan ini mendapat reaksi keras berbagai negara, termasuk Australia, Perancis, Inggris, Belanda dan New Zealand. Maka di tahun 1980, Inggris telah menetapkan the Protection of Trading Interest Law untuk melindungi aktivita bisnis warganya. Lebih jauh Amerika tetap serius dengan upaya penguatan hukum persaingannya dan di tahun 1982 telah ditetapkan kebijakan untuk mendukung ekspor Amerika yaitu dengan dikecualikannya kartel untuk keperluan ekspor atau bahwa kartel untuk melakukan ekspor tidak melanggar hukum persaingan. Sebagai contoh adalah kasus Daishowa Internasional (pabrikan kertas Jepang) vs North Coast Export Co. (Asosiasi eksportir kayu Amerika), dimana pada kasus ini pihak Amerika menuduh importir Jepang sebagai pabrikan kertas yang telah melanggar hukum persaingan usaha dengan telah menerapkan persyaratan perdagangan yaitu menekan harga dan bila tidak setuju maka akan diboycot untuk tidak mengimpor dari mereka. Sebaliknya pihak Jepang berdalih bahwa strategi mereka sebagai reaksi atas perjanjian kerjasama penjualan (kartel ekspor) oleh asosiasi eksportir kayu Amerika. Dengan banyaknya kasus yang terjadi sebagai reaksi keras beberapa negara atas ektra teritorial jangkauan hukum persaingan, maka kemudian Amerika memperbaharui kebijakannya dengan ditetapkannya the Enforcement Guidelines for Internasional Operations di tahun 1988. Pada awalnya guideline ini ditujukan untuk melindungi konsumen Amerika dari tindakan persaingan tidak sehat yang berdampak pada berkurangnya supply atau naiknya harga. Namun belakang guideline tersebut diperbaharui di tahun 1995 yaitu ditekankan tidak lagi untuk mengutamakan konsumen akan tetapi untuk melindungi eksportir Amerika dari tindakan anti persaingan yang dilakukan pihak asing.(Kojima,T. 2002). Gambaran di atas menunjukkan betapa kuatnya penetrasi Amerika pada pasar global, terlebih dengan dukungan pengalaman dan kuatnya kelembagaannya, yang mencakup penegak hukum, regulator, pemerintah, dan akademisi, yang dinamis mengembangkan hukum dan kebijakan persaingan usaha. Komitmen pemerintah dan keseriusan semua pihak mampu dengan cepat menganalisis kasus – kasus persaingan menjadi kajian dan rekomendasi untuk melahirkan landasan kebijakan yang implementatif yang mendukung kepentingan pelaku usahanya serta memperkuat kebijakan lainnya seperti perdagangan, industri, investasi, dan kebijakan sektoral. Pelajaran yang dapat diambil dari uraian di atas yaitu bahwa dalam era globalisasi, perselisihan atau konflik yang sifatnya
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
internasional akan terus meningkat. Untuk itu Indonesia harus terus meningkatkan kemampuan diplomasinya dan juga kerjasama bilateral, regional serta internasional serta memaksimalkan berbagai forum – forum internasional yang ada.
Memperhatikan hasil kajian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa hampir semua negara dalam perjalanan pengenalan hukum dan kebijakan persaingan usaha, tidak serta merta kebijakan persaingan usaha dapat diterima, dan diharmonisasikan dengan kebijakan industri ataupun kebijakan lainnya. Banyak pihak yang kurang mendukung baik pelaku usaha maupun pemerintah sendiri. Hal ini khususnya menyangkut keyakinan bahwa untuk mampu bersaing dengan pelaku asing, maka dibutuhkan persiapan. Bagaimana dan berapa lama persiapan ini sangat relatif tergantung kondisi ekonomi dan sektor yang bersangkutan. Namun demikian persiapan itu menjadi lebih maksimal kalau persaingan usaha sudah dikenalkan sejak awal, minimal persaingan diantara pelaku usaha domestik.
Sikap Jepang, Korea, dan China dalam mengakomodasi kebijakan industri di awal implementasi hukum dan kebijakan persaingan usaha. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Evenett (2005) mengkaji sejauhmana hukum persaingan usaha telah mengakomodasi kebijakan industri sebagaimana pengalaman di Jepang, Korea dan China dalam uraian berikut.
Pengalaman Indonesia
Jepang. Penetapan undang – undang anti monopoli Jepang, the Anti Monopoly Act (AMA) di tahun 1947, merupakan desakan Amerika setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke2. Dalam periode awal implementasi AMA yaitu hingga sekitar tahun 1960an, pemerintah Jepang bersikap memberikan kelongggaran praktek kartel oleh pelaku usaha dalam negeri, serta fleksibilitas penerapan hukum persaingan usaha. Hal ini ditujukan untuk mencapai keuntungan yang maksimal sebagai modal untuk investasi dan pengembangan teknologi. Upaya tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan pelaku Jepang mampu bersaing dengan perusahaan asing. Dengan kata lain yaitu bahwa kebijakan industri lebih diunggulkan dalam rangka menyiapkan persaingan dengan pihak asing.
Hukum persaingan usaha Indonesia, yaitu UU No.5/ 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah diundangkan pada tahun 1999. Pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2000 kemudian dibentuk lembaga pengawas persaingan usaha yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha/ KPPU. Tugas dan kewenangan KPPU utamanya adalah menegakkan hukum persaingan melalui pengawasan praktek persaingan usaha yang melanggar UU No.5/1999. Adapun tugas kedua adalah memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah tentang kebijakan persaingan usaha, yang artinya pandangan KPPU terhadap kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak selaras dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat. KPPU berharap agar pemerintah dapat menerapkan prinsip persaingan usaha dalam tiap kebijakan yang ditetapkannya. Harmonisasi kebijakan merupakan langkah strategis untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan kebijakan pemerintah.
Korea. Kebijakan industri Korea adalah memprioritaskan penguatan perusahaan besar agar mampu bersaing di pasar internasional, dan disisi lain didorong juga agar persaingan diantara perusahaan domestik tetap ditegakkan. Sebagaimana diketahui Korea terkenal dengan konsep konglomeratnya, chaebol, khususnya ditahun 1977 hingga 1999. Korea telah mencoba menerapkan hukum persaingan usaha sejak 1963, tetapi kurang berhasil karena kurangnya dukungan dan tingginya lobi yang dilakukan oleh pelaku usaha. Kemudian pada tahun 1991 ditetapkan the Fair Trade Act. Dalam perjalannya, Korea belajar bahwa kebijakan persaingan lebih baik dapat diterapkan sejak awal pertumbuhan ekonomi yaitu ketika monopoli belum memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Selain itu diyakini bahwa untuk memperkuat sektor industri ataupun perusahaan yang menjadi andalan nasional “national champions”, maka tetap dibutuhkan penegakkan hukum dan kebijakan persingan usaha agar terjadi persaingan diantara perusahaan andalan tersebut.
Salah satu contoh saran perimbangan KPPU adalah terkait dengan pelimpahan wewenang penetapan tarif pelayanan ekonomi penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri dari Menteri Perhubungan kepada INACA melalui keputusan Menteri Perhubungan No. 25/1997. Substansi persaingan usaha disini adalah kewenangan asosiasi untuk menetapkan harga atau disebut kartel harga dan ini melanggar UU No.5/1999. Saran KPPU didengar pemerintah dan pemerintah kemudian mencabut mandat pengaturan tarif dari INACA untuk dikembalikan kepada pemerintah sesuai dengan Pasal 40 UU no. 15/1992 tentang Penerbangan. Berdasar Laporan Tengah Tahun 2009, KPPU, sampai dengan Juni 2009, jumlah saran kebijakan yang telah disampaikan kepada pemerintah adalah 69 saran, adapun rinciannya sebagaimana dalam tabel.
China. Kebijakan industri di China dibagi dalam 3 periode yaitu (1) periode tahun 1970an hingga pertengahan 1980an : kebijakan industri mendukung kebijakan persaingan, (2) periode pertengahan 1980an hingga pertengahan 1990an : kebijakan industri tidak mendukung kebijakan persaingan, dan (3) sejak pertengahan 1990an : kebijakan industri dijalankan dengan 2 pendekatan sekaligus yaitu untuk tujuan tertentu dapat pro persaingan dan untuk tujuan lainnya dapat bertentangan dengan persaingan.
Penyampaian saran kebijakan merupakan upaya harmonisasi kebijakan persaingan usaha dengan berbagai kebijakan sektor lainnya. Sebagian besar harmonisasi kebijakan tersebut mencakup tiga sektor yaitu sektor perhubungan dan transportasi, sektor telekomunikasi dan informasi dan sektor perdagangan. Meningkatnya jumlah saran KPPU tersebut, menjadi indikasi semakin pentingnya penegakkan prinsip
62
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Tahun
Jumlah Saran
seperti Mahkamah Agung, Kepolisian dan para akademisi. Dalam hal ini maka kebijakan persaingan usaha belum secara maksimal dilaksanakan oleh pemerintah, dan tidak heran apabila beberapa saran kebijakan KPPU yang disampaikan kepada pemerintah dirasakan belum efektif.
Industri
2001 2002
4 2
Energi, angkutan darat, penerbangan Makanan dan minuman, angkutan darat
2003
10
2004
3
Kepelabuhan, perbankan, penerbangan, film, ketenaga listrikan, carbon black, ritel, peternakan Gula, pelayaran, dokumen berharga
2005 2006
12 5
Pengadaan barang dan jasa, asuransi, telekomunikasi, ketenaga listrikan, TKI, pertanian Jasa penilai, percetakan, garam, alat kesehatan
2007
11
2008
17
s/d Juni 2009
5
Ritel, teknologi informasi, ritel, penyelenggaraan haji, buku, pos, agroindustri, angkutan laut, jasa konstruksi, angkutan darat Kepelabuhan, minyak dan gas bumi, perhubungan, penyiaran, deterjen, ritel, pertambangan, telekomunikasi LPG, peternakan, telekomunikasi, kakao, angkutan darat
persaingan di sektor tersebut. Namun demikian sangat mungkin terjadi perbedaan kebijakan antara pemerintah dengan KPPU. Sebagaimana dilaporkan bahwa kurun waktu tahun 2003 hingga 2009, sebagian dari saran tersebut direspon pemerintah dan sebagian lainnya belum ditanggapi pemerintah. Memperhatikan data dan informasi tersebut di atas, maka dalam upaya meningkatkan kekuatan pelaku usaha domestik dalam menghadapi gelombang liberalisasi, perlu segera dilakukan pemetaan dan pembuatan kriteria terhadap sektor usaha, baik untuk skala besar maupun UKM, sebagai sektor usaha yang strategis untuk diprioritaskan penguatan kelembagaannya, antara lain mencakup kebijakan iklim usaha, sarana prasana usaha, akses pengembangan usaha, dan lainnya.
Sebagaimana pendapat Cook P (2001), kebijakan persaingan usaha itu mempunyai cakupan yang luas, yaitu terkait dengan berbagai kebijakan dan perangkatnya, yang digunakan pemerintah untuk menentukan keseluruhan kondisi suatu persaingan pada suatu pasar tertentu. Dengan demikian, hukum persaingan usaha adalah bagian dari kebijakan persaingan usaha. Sedangkan perangkat kebijakan adalah kebijakan yang dapat mempengaruhi persaingan usaha, antara lain termasuk privatisasi, deregulasi, FDI, kebijakan industri dan perdagangan serta subsidi. Selain itu, kebijakan persaingan usaha suatu negara akan dipengaruhi oleh perjanjian kerjasama bilateral, regional dan internasional. Berikut sedikit contoh keterkaitan persaingan usaha dengan kebijakan lainnya. Perlindungan Konsumen. Undang – udang perlindungan konsumen pada intinya ditujukan untuk melindungi keselamatan, kesehatan dan keamanan konsumen, sedangkan kebijakan persaingan usaha secara langsung ditujukan untuk mendorong persaingan dan meningkatkan efisiensi ekonomi dan secara tidak langsung adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dari persaingan tidak sehat. Di beberapa negara hukum persaingan mencakup juga perlindungan konsumen, yaitu seperti di Perancis dan India. Indonesia memiliki UU Perlindungan Konsumen sendiri yaitu UU No.8/1999.
Kebijakan persaingan usaha Setelah diuraiakan beberapa contoh praktek persaingan usaha yang terkait dengan kebijakan perdagangan ataupun kebijakan industri, diharapkan gambaran cakupan kebijakan persaingan usaha sudah dapat dipahami. Untuk itu berikut diuraikan apa yang dimaksud kebijakan persaingan usaha. Sejauh ini banyak orang memahami kebijakan persaingan usaha (competiton policy) identik dengan hukum persaingan usaha (competition law). Berbagai agenda kebijakan persaingan usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, seperti dalam laporan kerjasama bilateral (free trade agreement), regional, al APEC, ASEAN, pemerintah masih banyak bertumpu pada KPPU. Padahal hukum persaingan usaha adalah bagian dari kebijakan persaingan usaha. Hukum persaingan usaha yaitu penegakan hukum terkait dengan pelanggaran undang – undang persaingan usaha. Di Indonesia hal ini menjadi tugas KPPU yaitu mencakup penerimaan laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran UU No.5/1999, selain itu kasus dapat juga berasal dari inisiatif KPPU. Selanjutnya dilakukan pemberkasan dan apabila alat bukti dugaan pelanggaran sudah cukup, maka dapat masuk dalam tahap pemeriksaan, dan selanjutnya majelis akan memberikan putusan bersalah atau tidak. Hukum persaingan usaha tidak dapat disamakan dengan pidana maupun perdata, dan untuk penyempurnaan hukun acaranya, hal ini terus dilakukan penggodokan dengan melibatkan pihak terkait
63
Undang – undang perdagangan. Undang – undang perdagangan sangat terkait dengan hukum persaingan usaha. Beberapa tindakan yang sangat terkait dengan anti persaingan adalah dumping, subsidi dan safeguards. Satu sisi tindakan ini ditujukan untuk melindungi pasar dalam negeri namun disisi lain dapat diartikan anti persaingan. Untuk itu harmonisasi kebijakan persaingan sangat diperlukan untuk tujuan kesejahteraan rakyat pada prinsipnya. Foreign Direct Investment (FDI). Beberapa kebijakan terkait dengan persaingan adalah tax holidays dapat meninmulkan anti persaingan khususnya bagi perusahaan lokal yang tidak mendapat keuntungan dari kebijakan tersebut; merger dan akuisisi ( vertical merger, horizontal merger, konglomerat merger) berpotensi menimbulkan anti persaingaan apabila terjadi penyalahgunaan posisi dominannya. Sederhananya, kebijakan persaingan usaha dapat dibagi menjadi tiga yaitu hukum persaingan usaha, regulasi dan berbagai kebijakan yang mempengaruhi persaingan usaha. Hukum persaingan usaha intinya mencakup penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang anti persaingan (kartel, kolusi dll) dan pengaturan merger (pengaruhnya terhadap konsentrasi pasar dan potensinya atas penyalahgunaan posisi dominan). Sedangkan regulasi disini yang dimaksudkan adalah pengaturan terhadap industri atau pasar tertentu, khususnya
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
pada pengaturan harga/ tarif ataupun kualitas produk. Ketiga komponen kebijakan persaingan usaha tersebut bereaksi sebagaimana pengaruh dari perilaku pelaku usaha, struktur pasar dan juga kebijakan publik (Stewart, 2007). Sebagaimana diawal tulisan, dilapangan reaksi ini adalah bagaimana perilaku antar pelaku usaha, juga pelaku usaha dengan pemerintah serta pengaruh politik dan bahkan tekanan dari luar negeri.
Referensi Connor, J.M. (2006). “The Great Global Vitamins Conspiracy: Sactions and Deterrence”.Purdue University West Lafayette, Indiana. http://www.agencon.purdue.edu/ staff/connor/papers/the%20Great%20Global%20 Vitamins%20Conspiracy%20Sanctions%20and%20 Deterrence.pdf Cook, P. (2001). “Competition and Its regulation: Key issues”. Centre on Regulation and Competition. Manchester. http://www.competiton-regulation.org.uk/ publications/working_papers/wp2.pdf
Peran Bappenas dalam kebijakan persaingan usaha Mengingat kebijakan persaingan bukan hanya hukum persaingan usaha, akan tetapi juga termasuk berbagai kebijakan yang terkait dengan persaingan usaha, maka sangat penting untuk menjadi perhatian dalam perencanaan pembangunan. Substansinya sangat lintas sektoral, cakupannya bukan hanya domestik tetapi juga bilateral, regional dan internasional, sedangkan stakehorldersnya bukan hanya rakyat, konsumen dan pemerintah pusat dan daerah akan tetapi termasuk pelaku usaha baik dalam dan luar negeri, dengan skala usaha dari mikro hingga TNC.
Ehlermann, Claus Dieter dan Laudati, Laraine L (1998). European Competition Law annual 1997 : “Objective of Competition Policy”. The Robert Schuman Centre at the European University Institute. Evenett, Simon J. (2005). “Would Enforcing Competition law Compromise Industry Policy Dialog?” di Douglas H. Brooks and Simon J. Evenett, Competition Policy and Development in Asia. Manila. Asian Development Bank.
Tantangan bagi Bappenas antara lain adalah, menangkap isu persaingan usaha dalam perencanaan pembangunan nasional, khususnya pada sektor – sektor strategis, agar tidak terjadi perpindahan dari monopoli oleh pemerintah menjadi monopoli oleh swasta, khususnya asing; serta pengembangan kelembagaan kebijakan persaingan yang selama ini belum terbentuk di tingkat nasional dan masih terpencar pelaksanaannya. Kantor Menko Perekonomian lebih tepat untuk mengkoordinasikannya, sedangkan Bappenas berperan bukan hanya sebagai lembaga perencana tetapi juga sebagai think tank, dan pusat forum dialog antar stkeholders (penegak hukum, pelaku usaham, akademisi, konsumen, pemerintah pusat dan daerah), untuk menyusun kebijakan persaingan yang sesuai dengan karakteristik Indonesia.
Hellwig, Martin (2008). “Competition Policy and SectorSpecific Regulation for Network Industries”, http:// www.coll.mpg.de/pdf_dat/2008_29online.pdf Kojima, Takaaki (2002). “Internasional Conflicts over Extraterritorial Application of Competition lawin a Borderless Economy”, dapat diakses di http://www. wcfia.harvard.edu/fellows/papers/2001-02/kojima.pdf Laporan Tengah Tahun 2009 (2009). KPPU, dapat diakses di http://www.kppu.go.id/docs/laporan_tahunan/ laporan_tengah_tahunan_2009.pdf
Pada tahun 2000 pernah terbentuk forum yang mempertemukan akademisi baik hukum maupun ekonomi, antara lain dari Uuniversitas Indonesia, UGM, Udayana, Universitas Hassanuddin, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Diponegoro, untuk mendiskusikan perkembangan kebijakan persaingan. Dua bidang ilmu yaitu hukum dan ekonomi harus saling berlajar keterkaitannya, merespon dinamika globalisasi dan menghasilkan saran untuk menguatkan dan membentuk kebijakan persaingan dengan ciri khas ekonomi Indonesia. Forum ini dibantu olah Usaid dan Georgetown University. Menjadi tantangan bagi Bappenas untuk dapat menghidupkan kembali forum seperti ini yaitu diskusi dan dialog dengan akademisi, pembuat kebijakan, regulator dan pelaku usaha. Forum ini akan mendekatkan kesenjangan antara perencanaan dengan aktivitas pembangunan ekonomi secara nyata. l
Motta, Massimo (2004). “Competition Policy, Theory and Practice” Cambridge Stewart,T.; Clarke, J.; Joekes,S. (2007).”Competition Law in Action, Experiences from Developing Country”, http;www.idrc.ca/uploads/userS/11781215481Competition_Law.pdf Trade and Development Board, Commission on Investment, Technology and Related Financial Issues Intergovernmental Group of Experts on Competition Law and Policy (2003). “Recent Competition Cases” TD/B/COM.2/CLP/38, Geneva dapat diakses di http://www.unctad.org/en/docs/c2/=clp38_en.pdf UNCTAD (2009). “The relationship between competition and industrial policies in promoting economic development” TD/B/C.I/CLP/3, http://www.unctad. org/en/docs/ciclpd3_en.pdf
Ani Pudyastuti adalah Perencana Madya pada Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Bappenas.
64
E D I S I 0 4 / TA H U N X V I / 2 0 1 0