KEBIJAKAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA ( ANALISIS TERHADAP KUHP ) Oleh : Brilian Ernawaty*
Abstract Criminal Code as a regulation under criminal law it is time to do the renewal. Indonesian criminal law reform urgency due to the legacy of the Dutch colonial Code is outdated and does not match the reality and even be kriminogen means the Act may be a factor contributing to the occurrence of crime. By the very nature of criminal law reform is not just to change or replace the textual passages but build or renew basic concepts. Therefore, it is necessary to approach the value of policies and approaches. Contribution of Islamic law in Indonesia Criminal Code reform is a necessity, it is necessary to study indepth and comparative of Islamic criminal law. Keywords: Legal, Law, criminal law, criminal code A. PENDAHULUAN Keinginan untuk mempunyai peraturan perundangundangan sendiri dalam hukum pidana Indonesia sudah sejak tahun 1963 dilakukan oleh Oemar Senoadji yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri Kehakiman bahkan hampir 67 tahun sejak Indonesia merdeka. Obsesi untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sebagai wujud negara demokratis yang filosofinya berasal dari rakyat dan untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak hanya sekedar merubah Weetbook van Strafrecht ( WvSNI ) yang merupakan warisan kolonial Belanda. Upaya untuk melakukan pembaharuan hukum pidana warisan Belanda sebenarnya telah diamanatkan dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah ditegaskan dalam
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ). Dalam penegasan tersebut memuat tujuan bangsa yakni “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila “. Penegasan ini sekaligus sebagai landasan dan tujuan dalam melakukan pembaharuan hukum termasuk hukum pidana . Secara sosiologis, filosofis dan ideologis hukum pidana yang sekarang berlaku sudah saatnya untuk dilakukan perubahan karena dalam implementasinya sudah tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, sehingga rentan terhadap munculnya tindak pidana seperti yang dikatakan Barda Nawawi bahwa “ peraturan yang tidak berdasarkan nilai-nilai dasar bangsa bersifat kriminogen” atau dapat memunculkan tindak pidana. Dampak dari peraturan yang bersifat kriminogen maka banyak tindak pidana yang terjadi sulit atau bahkan tidak terakomodir atau teselesaikan dengan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). Menyitir pernyataan Barda Nawawi Arief, “ dilihat dari sudut kebijakan kriminal strategi dasar penanggulangan kejahatan ( the basic crime prevention strategy ) seyogyanya diarahkan pada upaya meniadakankan ( mengeliminir ) atau menanggulangi dan memperpaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang menajdi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan”. 1 Dari Ketidakberdayaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sekarang ini, menurut Satjipto Rahardjo, bagaimana pun sifat reaktifnya sifat hukum pidana, ia tetap saja menjadi sandaran penting untuk mempertahankan suatu kehidupan bersama. Perilaku-perilaku menyimpang adalah sama nyatanya dalam kehidupan sehari-hari seperti perilaku yang dikehendaki. Oleh karena itu, apabila dikehendaki tegaknya tatanan dalam masyarakat, ia tetap tidak dapat hanya diserahkan kepada hukum yng mengatur tingkah laku positif saja melainkan
1
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan kejahatan, (Bandung : PT Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm 129
*
Penulis adalah dosen ilmu hukum di fakultas Syariah IAIN Walisongo semarang.
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
67
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
68
juga yang menyimpangi, yang mengancam ketertiban yang disepakati.2 Dengan pendekatan demikian, sudah selayaknya dan bahkan merupakan suatu keharusan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana warisan Belanda yang sejak proklamasi berlaku di bumi Indonesia ini. B. PEMBAHASAN B.1. Sejarah KUHP dan Perkembangannya Sejak proklamasi dikumandangkan pada tangggal 17 agustus 1945 maka secara legalitas KUHP warisan Belanda berlaku di Indonesia dan bahkan sejak dijajah Belanda pun telah diberlakukan peraturan hukum pidana tersebut. Dalam kepustakaan negara lain, hukum pidana itu senantiasa mengalami perubahan dalam lintasan sejarah, perubahan itu terjadi baik dari segi hakikatnya maupun dari segi substansinya ( isi ) yang diusahakan untuk bisa dipakai mengendalikan masyarakat secara efektif. Bahkan para sejarahwan sosial berpendapat bahwa untuk bisa membuat suatu rekonstruksi mengenai masa lalu dari suatu bangsa maka sebaiknya orang berpaling pada hukum dari bangsa yang bersangkutan. Hukum itu ibarat saksi bisu dan jujur maka pantas untuk menjadi sumber sejarah.3 Sejarah berlakunya KUHP di Indonsia tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya negara hukum Republik Indonesia dimana induk dari segala perundang-undangan di Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 menentukan bahwa : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini“ Sedangkan dalam pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “Sebelum majelis Permusyawaratan Rakyat, dewan Perwakilan rakyat dan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional “.
Dengan adanya Aturan Peralihan ini maka Presiden pada tanggal 10 Oktober 1945 mengeluarkan peraturan No 2 yang isinya bahwa : “Untuk ketertiban masyarakat, bersandar atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV, kami Presiden menetapkan peraturan, sebagaimana tercantum pada pasal 1, bahwa “Segala badan-badan negara dan peraturan – peraturan yang ada tetap berlaku, sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut“. Dengan demikian muncul pertanyaan pada waktu sebelum Indonesia merdeka peraturan apakah yang digunakan? Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kita dijajah Jepang maka yang diterapkan adalah peraturan dari pemerintah balatentara Jepang. Pemerintahan Jepang mengeluarkan Undang-undang Osamu Seire No 1 tahun 2602 tentang menjalankan pemerintahan bala tentara, yang berlaku mulai tanggal 7 bulan 3 tahun Syoowa ( 2602 ) bertepatan tanggal 7 Maret 1942, di dalam pasal 3 nya ditentukan :4 “Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang dari Pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Milier “. Dengan penegasan tersebut, maka jelas bahwa peraturan yang beraku pada pemerintah Balatentara Jepang yaitu peraturanperaturan dari “Pemerintah yang dahulu” yaitu pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Dan, pada zaman Hindia Belanda peraturan hukum pidana yang berlaku ialah peraturan-peraturan yang terdapat di daam “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” (S 1915 No 732) dan peraturan-peraturan pidana lainnya di luar WvSv NI. Sementara itu, pemerintah Jepang sendiri tahun 1944 mengeluarkan peraturan – peraturan hukum pidana sendiri yang disebut “Gunsei Keizirei” (berlaku sejak tanggal 1 Juni 1944
2
Satjipto Rahardjo, Hukum Pidana dan Perubahan Sosial, (Bandung : Lembang, 993), hlm. 19 3 Alan Harding, A Social History Of English Law, (Penguin Books, 1966), hlm.
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
69
4
Barda Nawawi Arief, Pelengkap Hukum Pidana I, cetakan I, (Bandung : Penerbit Sudarto, 1990), hlm.
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
70
berdasarkan pasal 43 Gunsei Keizirei. Dengan demikian, peraturan yang ada sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yaitu peraturan-peraturan yang berlaku pada masa pendudukan Jepang yaitu : a. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalam WvSvNI b. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalam “Gunsei Keizirei” Di dalam perkembangannya,pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana tertanggal 26 Februari 1946. Dalam pasal 1 UU tersebut menegaskan “Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No 2 maka ditetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 “ Sedangkan peraturan-peraturan yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 ialah peraturan pada zaman Hindia Belanda (WvSvNI dan peraturan lainnya),dan peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Jepang atau pemerintah apa pun juga setelah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak berlaku. Dengan demikian, UU No 1 tahun 1946 merupakan penegasan bahwa WvS Hindia belanda ( S 1915 No 732 ) merupakan induk peraturan hukum tertulis. Sekaligus, dalam pasal VI UU tersebut menegaskan bahwa “Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie” dirubah menjadi “Wetboek van Strafrecht” dan secara resmi digunakan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”.Penegasan ini sangat penting karena merupakan legalitas berlakunya hukum pidana Belanda di Indonesia. Menurut Barda Nawawi Arief yang menyitir dari Han Bing Siong dalam tulisannya “An outline of the recent history of Indonesian crimanl Law” yang mengatakan bahwa, pasal 1 Undang-Undang No 1 tahun 1946 itu mempunyai rangkap ( double fungtion ) :5 a. Fungsi menghapuskan atau membatalkan (an annuling function) yaitu membatalkan semua peraturan pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah balatentara Jepag, dan
b.
Fungsi memulihkan kembali (arestoring function), yaitu menghidupkan kembali atau mengefektifkan kembali semua peraturan pidana dari pemerintah Hindia belanda yang ada atau mengikat sampai tanggal 18 Maret 1942 Peraturan hukum pidana warisan pemerintah Belanda yang dinyatakan berlaku itu, tidak berarti bahwa seluruhnya berlaku tanpa pembatasan-pembatasan, adapun ukurannya ada di dalam pasal V UU No 1 tahun 1946 yang menentukan bahwa “peraturan-peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap selurhnya atau sebagian sementara tidak berlaku”. Sedangkan, pasal XVII menentukan bahwa “ UU ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya ( 26 februari 1946 0, dan unutk daerah lainnya akan ditetapkan oleh Presiden”. Pada kenyataanya di luar pulau jawa dan Madura mulai berlaku 8 Agustus 1946 berdasarkan P.P No 8 tahun 1946. Di daerah tersebut yang diduduki oleh NICA yang datang kembali bersama tentara Sekutu/ Inggris pada tanggal 29 September 1945 masih berlaku W.v.S.v.N.I dengan perubahanperubahan yaitu pasal 570 ( S 1945 n0 135 0 dan perubahan nama dari W.v.s.voor Nederlands Indie menjadi W.v.S.voor Indonesia mulai tanggal 22 September 1948 ( S. 194 No.224 ). Berlakunya dua KUHP ini berlangsung terus sampai pada pemulihan kedaulatan Indonesia yang berbentuk RIS dan pada tanggal 17 Agustus 1950 berdasarkan Arturan Peralihan pasal 142 UUDS 1950 mempertahankan berlakunya peraturan-peraturan yang ada pada tanggal 17 Agustus 1950 yang berarti mempertahankan pula peraturan-peraturan yang ada pada tanggal 27 Desember 1949 ( berdasarkan pasal 192 Konstitusi RIS ) yaitu KUHP jo UU 1 tahun 1946 bagi bekas daerah RI dan daerahdaerah pulihan, dan W.V.S.voor Indonesie bagi bekas daerahdaerah bukan pulihan yang dikuasai oleh Belanda.
5
Ibid. hlm. 3
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
71
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
72
Adanya dualisme dalam KUHP tersebut berakhir dengan dikeluarkannya UU no 73 tahun 1958 ( LN.1958 No 127 ) tanggal 20 September 1958, yang mulai berlaku tanggal 29 September 1958 yang intinya menegaskan berlakunya UU No 1 tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Jadi fungsi UU No 73 tahun 1958 untuk mempersatukan kembali beberapa macam hukum pidana materiil (inifikasi hukum pidana) dengan memberlakukan UU No 1 tahun 1946. Dengan tidak berlakunya UUDS 1950 lagi berdasarkan Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan kembali berlaku UUD 1945 tetap dipertahankan UU No 73 tahun 1958. Dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan : a. UU No 1 tahun 1960 tentang “perubahan ancaman pidana dalam pasal 188, 359 dan 360 KUHP”. b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 16 tahun 1960 tentang ‘Beberapa perubahan dalam KUHP”( pasal 364,373,379,384 dan 407 ayat 1 KUHP ) dan peningkatan menjadi UU No 16 Prp 1960. c. Peraturan Pemerintah pengganti UU No 18 tahun 1960 tentang “perubahan jumlah pidana denda” dan peningkatan menjadi UU No 18 Prp 1960. d. Penpres No 1 tahun 1965 ditingkatkan menjadi UU No 1 Pnps 1965 serta memasukan pasal 156 a ke dalam KUHP. e. UU no 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian “ merubah ancaman pidana yang terdapat dalam pasal 303 (1), 542 (1) dan 542 (3) KUHP. f. UU No 4 tahun 1976 tentang “ perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHPdan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan” Demikian, sejarah perkembangan KUHP hingga sekarang masih diberlakukan sebagai dasar dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.
B.2. Urgensitas Pembaharuan Hukum Pidana Sebelum membahas tentang urgensitas pembaharuan hukum pidana, maka perlu diketahui makna pembaharuan hukum pidana. Apabila kita renungkan makna pembaharuan lebih dalam berarti “ peningkatan kualitas yag lebih baik “ to maka better” dalam peraturan perundangan atau hukum pidana. Adapun upaya pembaharuan hukum pidana menuju peningkatan kualitas yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu re-evaluasi (penilaian kembali), review (mempelajari kembali), re-orientasi (penyesuaian/peninjauan kembali), reformasi (memperbaiki kembali) dan reformulasi (memformulasikan). Makna dan hakekat pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari urgensitas diadakannya pembaharuan hukum pidana. Urgensitas diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari aspek kebijakan (kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Artinya bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan implementasi dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek (sosio- politik, sosio- filosofik, sosio kultural) dan kebijakan yang melatar belakanginya. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya re-evaluasi, reformulasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Menyitir dari Barda Nawawi Arief, bahwa pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakekatnya hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” ( yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial ). Didalam setiap kebijkan ( policy) terkandung pula pertimbangan nilai. oleh karena itu pembaharuan hukum
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
73
74
pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Selanjutnya , beliau menyimpulkan sebagai berikut :6 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan : a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai / menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dll.) b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan) c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substansi dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum) 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai : Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali ( reorientasi dan re-evaluasi ) nilai-nilai sosio - politik, sosio – filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan .Bukanlah pembaharuan ( reformasi ) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan ( mis KUHP baru ) sama saja dengan orientas nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah ( KUHP lama atau WvS ). Sedangkan, urgensitas pembaharuan KUHP dilihat dari sistem hukum pidana menurut KUHP atau WvS yang berasal dari kolonial Belanda termasuk dalam keluarga hukum “Civil Law System” yang berorientasi pada nilai-nilai individualism, liberalism. Sistem tersebut sangat tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang bersifat
relegius, humanis, kekeluargaan dan berkeadilan sosial. Oleh karena itu, untuk memantapkan upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia, selayaknya dilakukan kajian perbandingan atau alternatif terhadap konsep atau sistem hukum yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Konsep atau sistem hukum tersebut yaitu kajian terhadap keluarga hukum (“familiy law”). Konsep atau sistem keluarga hukum (“family law”) merupakan salah satu alternatif karena lebih mendekatkan pada karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat monodualistik dan pluralistik serta berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat yaitu hukum adat dan hukum agama. Disamping itu, pada akhir-akhir ini munculnya ketidakpuasan, kepihatinan dan krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan kebijakan hukum yang selama ini berlaku di Indonesia. Bahkan, menurut Barda Nawawi Arief dalam berbagai konggres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” menyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/ diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial) pada umumnya bersifat “absolete and unjust” (usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan dengan kenyataan). Selanjutnya menurut beliau, hal itu dikarenakan sistem hukum tersebut tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat serta tidak respon terhadap kebutuhan sosial saat ini. Kondisi demikian oleh konggres dinyatakan sebagai faktor kriminogen. 7 Dengan pernyataan di atas, menegaskan bahwa KUHP sebagai peraturan perundang-undangan yang berasal dari kolonial Belanda sudah tidak dapat ditoleransi dalam implementasi penegakan hukum. Hal itu dikarenakan sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dan bahkan bersifat kriminogen artinya dapat menjadi faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan atau tindak pidana. Bahkan kebijakan pembangunan ( termasuk bidang hukum ) yang mengabaikan
6
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 31
7
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
75
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : PT Aditya Citra Bakti, 2003), hlm. 45
76
nilai-nilai moral dan kultural serta tidak mengakomidir aspirasi masyarakat dapat menjadi faktor kriminogen. Dengan demikian, maka pembaharuan hukum pidana terhadap KUHP urgen untuk dilakukan, hal ini tidak hanya merupakan suatu kebutuhan tetapi juga suatu keharusan. B.3. Garis Besar Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ( Konsep KUHP ) Di atas telah dikemukakan, bahwa pada hakekatnya melakukan pembaharuan hukum pidana tidak hanya sekedar merubah atau mengganti pasal-pasalnya secara tekstual, tetapi membangun atau memperbaharui pokok-pokok pemikiran atau konsep dasarnya. Disamping itu, pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Adapun beberapa garis besar pokok-pokok pemikiran dalam pembaharuan KUHP antara lain :8 6) ibid, h 47 a. Di dalam konsep KUHP memuat prinsip monodualistik dan pluaralistik yang merupakan karakter bangsa Indonesia, dan dituangkan dalam “ide keseimbangan” antara lain : 1) Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu disamping ide perlidungan korban dan ide individualisasi pidana. 2) Keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan lahiriah) dan subyektif (orang/sikap batin). 3) Keseimbangan antara kriteria formal dan materiel 4) Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan /elastisitas /fleksibilitas dan keadilan b. Konsep KUHP masih mempertahankan asas legalitas formal (ps 1 :1) sebagai dasar bagi penetapan suatu perbuatan dapat dipidana, namun dalam pelaksanaanya diimbangi dan diperluas ke perumusan materiil. Keberadaan asas legalitas materiil tersebut, memberi ruang berlakunya hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis. Dengan demikian, tidak hanya didasarkan pada sifat melawan hukum formal tetapi 8
Ibid. hlm. 47
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
77
c.
d.
juga sifat melawan hukum materiil atau kepastian hukum secara materiil. Oleh karena itu, tentunya masih memerlukan kajian ulang mengenai rambu-rambu yang dijadikan dasar dalam penerapan asas legalitas materiil tersebut. Adapun dasar penerapannya bersumber dari nilai-nilai (prinsip-prinsip) hukum Pancasila (berlandaskan moral relegius, humanis, berorientasi pada nilai persatuan , kerakyatan dan berkeadilan sosial) dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa . Bertolak dari ide keseimbangan, konsep juga memberi kemungkinan berlaku surutnya undang-undang (“retroaktif”) yang merupakan penyeimbang dari asas legalitas. Bahkan dalam asas “retroaktif” menerapkan aturan yang lebih menguntungkan , tidak hanya berlaku untuk tersangka/terdakwa sebelum in kracht tetapi juga berlaku untuk terpidana setelah mendapatkan keputusan berkekutan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Berdasarkan ide keseimbangan, ide perlindungan masyarakat, ide pemidanaan yang berorientasi pada individualisasi pidana. Untuk itu konsep menetapkan kebijakan formulasi sebagai berikut : 1) Bertolak dari pemikiran, bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya merupakan alat / sarana untuk mencapai tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok yaitu “prlindungan masyarakat” dan “perlindungan /pembinaan individu”. 2) Bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok itu, maka syarat pemidanaan menurut konsep juga bertolak dari keseimbangan mononodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu, syrat pemidanaan didasarkan pada 2 (dua) pilar/asas yang fundamental yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “ asas kesalahan / culpabilitas” (yang merupakan asas kemanusiaan individual). 3) Permasalahan yang berkaitan dengan “Aturan Peralihan” (ATPER) seperti termuat dalam pasal 1 ayat 2 KUHP patut dipermasalahkan, masih dapat dipertahankan atau
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
78
tidak?. Masalah “Aturan Peralihan” (ATPER) sehubunga dengan masa transisi karena adanya perubahan undangundang ada beberapa alternatif yaang dapat dipilh yaitu : a. Yang berlaku adalah “undang-undang lama” b. Yang berlaku adalah “undang-undang baru” c. Yang berlaku adalah “undang-undang lama” dengan ketentuan “undang-undang baru dapat diterapkan apabila menguntungkan” ( gabungan I & III ) d. Yang berlaku adalah “undang-undang baru” dengan ketentuan ,”undang-undang lama dapat diterapkan apabil menguntungkan “ ( gabungan II & III ) Kelima alternatif di atas, dapat dikelompokkan ke dalam 3 ( tiga ) model kebijakan formulasi, yaitu : a. Kebijakan formulasi Aturan Peralihan ( ATPER ) yang berorientasi pada ide/nilai “kepastian hukum” ( yaitu alternatif I dan II ) b. Kebiajakn formulasi Aturan Peralihan ( ATPER ) yang berorientasi pada ide/nilai “keadilan” ( yaitu alternatif III ) dan, c. Kebijakan formulasi Aturan Peralihan ( ATPER ) yang berorientasi pada ide/nilai “keseimbagan antara kepastian hukum dan keadilan” ( alternatif IV dan V ) Dilihat dari model-model kebijakan formulasi di atas KUHP/WvS yang sekarang berlaku di Indonesia ( dan juga diadopsi oleh Konsep untuk sementara ini ), memilih model B (alternatif III). Sekiranya Konsep KUHP baru akan bertolak dari ide “keseimbangan”, maka modl ketiga (sub C) sepatutnya dapat dikaji dan dipertimbangkan sebagai alternatif untuk melakukan perubahan terhadap pasal 1 ayat 2 KUHP. 4) Ide keseimbangandalam konsep diimplementasikan dalam asas pemidanaan yang fundamental (yaitu asas legalitas dan culpa bilitas), Namun untuk mengindari kekakuandari ke dua asas yang fundamental itu, konsep memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” asas “vicarious liability” dan asas pemberian maaf/ampunan oleh hakim ( rechterlijk pardon atau judicial pardon )
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
79
5) Kewenangan hakim untuk memberi maaf (rechterlijk pardon) dengan tidak menjatuhkan sanksi pidana/tindakan apapun diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa “ (atau asas “actio libera in causa’) yang dirumuskan dalam pasal 52 konsep 2000 ; “Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapusn pidana, jika orang tersebut patut dipersalahkan sebgai penyebab terjdinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut” Jadi, kewenangan hakim untuk memaafkan ( tidak memidana ) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapusan pidana. 6) Bertolak dari ide perlindungan masarakat, maka konsep tetap mempertahankan jenis-jenis pidana berat , yaitu pidana mati dan penjara seumur hidup. Namun dalam kebijakan formulasinya juga mempertimbagkan perlindungan / kepentingan individu yaitu dengan diadakannya ketentuan mengenai “penundaan pelaksanaan pidana mati” atau pidana mati bersyarat”. Apabila dalam masa percobaan 10 (sepuluh) tahun Terpidana menunjukkan sikap terpuji, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau penjara 20 ( dua puluh ) tahun. Demikian pula dengan pidana penjara seumur hidup apabila Terpidana telah menjalani pidana minimal 10 ( sepuluh tahun dengan berkelakuan baik, maka penjara seumur hidup itu dapat diubah menjadi penjara 15 ( lima belas ) tahun sehingga dimungkinkan Terpidana itu mendapatkan pelepasan bersyarat. 7) Adanya aspek perlindungan korban dan pemulihan keseimbangan niali yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk itu maka, konsep KUHP menyediakan sanksi tambahan b erupa “pembayaran ganti rugi” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Jadi, disamping pelaku tindak pidana mendapatkan sanksi pidana, korbannya/masyarakat pun mendapatkan perhatian dan santunan dalam sistem pemidanaan.
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
80
8) Aspek perlindungan masyarakat lainnya di dalam konsep adalah dengan diadakannya ancaman pidana minimal khusus untuk delik-delik tertentu yang dianggp serius. Namun , konsep juga memberi kemungkinan peringanan terhadap acaman pidana minimal itu apabila ada alasanalasan peringanan pidana bagi Terpidana. 9) Adanya pedoman dan aturan pemidanaan, antara lain sbb • Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara tunggal ( bersifat imperatif/kaku ), namun hakim dapat memilih alternatif pidana lainnya yang tidak tercantum dalam perumusan delik atau mengenakan pidana secara kumulatif dengan pidana lain. • Walaupun sanksi pidana dirumuskan secara alternatif, namun hakim dapat menjathkan sanksi pidana secara kumulatif. • Walaupun sudah ada putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, masih dimungkinkan adanya modifikasi/ perubahan/penyesuaian /peninjauan kembali terhadap putusan tersebut berdasarkan adanya perubahan perundangundangan/kebijakan legeslatif dan adanya perubahan /perbaikan/perkembangan pada diri terpidana. 10) Walaupun pada prinsipnya konsep bertolak dari ide keseimbangan, namun dalam hal ada perbenturan antara kepastian hukum dan keadilan, konsep memberikan pedoman agar dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan hakim sejauh mungkin mengutamakan kedilan di atas kepastian hukum. B.4. Kontribusi Hukum Islam dalam pembaharuan KUHP Indonesia Pada paparan di atas dikemukakan bahwa urgensi kontribusi hukum Islam diperlukan sebagai salah satu alternatif atau upaya dalam rangka melakukan pembaharuan hukum pidana ( KUHP ) yang bersifat nasional. Sehubungan dengan hal itu tentunya memerlukan masukan atau kajian dari berbagai macam sumber bahan yang salah satu diantaranya berupa nilai-nilai hukum agama.
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
81
Salah satu nilai-nilai hukum agama yaitu hukum Islam, mengingat bahwa dalam realitasnya Islam merupakan agama yang dipeluk, diyakini dan diikuti oleh mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, agar keharusan untuk terakomodasikannya nilai-nilai hukum pidana Islam dalam pembaharuan KUHP tersebut benar-benar memiliki justifikasi dan legitimasi atas dasar kebijakan bukan hanya karena agama mayoritas semata maka perlu pengkajian lebih mendalam. Kajian yang mendalam mengenai kedudukan hukum pidana Islam dalam tata hukum nasional Indonesia untuk mengetahui seberapa besar peluang hukum Islam dalam upaya pembaharuan hukum materiil, disamping perlunya kajian komparatif tentang keberadaan hukum pidana Islam. Lebih khusus berkaitan dengan tiga permasalahan mendasar dalam hukum pidana yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana (sanksi) itu sendiri. Urgensitas kajian komparatif tersebut untuk mengungkap dan menemukan asas-asas dan nilai-nilai hukum apakah yang terkandung dalam kaidah-kaidah normatif dari hukum pidana Islam tentang tiga masalah tersebut (tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana) . Terutama konsepkonsep pemikiran tradisi hukum fiqih jinayat selain nash-nash hukum tekstual Qur’an atau Sunnah yang menggariskan asas-asas atau prinsip hukum pidana Islam yang umumnya bersifat global. Disamping itu juga intrepretasi yuridis terhadap asas-asas tersebut yang dilakukan oleh para fuqoha (ahli hukum Islam) melalui lembaga ijtihad yang biasa disebut “ tradisi hukum fiqih jinayat” yang akan memberikan kontribusi dalam hukum pidana materiil.
C. PENUTUP Kebijakan pembaharuan hukum pidana sebagai suatu sarana strategis dalam rangka pembangunan hukum nasional, dalam makalah ini bermuara pada kesimpulan bahwa : pertama, eksistensi hukum pidana atau KUHP warisan kolonial Belanda dalam lintasan sejarah dan secara substansial, sudah seharusnya diperbaharui, kedua urgensitas pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
82
atau dari aspek kebijakan (kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Artinya bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan implementasi dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek (sosiopolitik, sosio-filosofik, sosio kultural) dan kebijakan yang melatar belakanginya, ketiga kontribusi hukum Islam merupakan salah satu alternatif atau salah satu upaya pembaharuan hukum pidana nasional.
Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Konsep KUHP
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung PT Citra Aditya Bhakti, 2003 ----------------------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, 2001 ----------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, 1996 ----------------------, Pelengkap Hukum Pidana I, UNDIP, Penerbit Sudarto Cetakan 1, 1990. Arief, Barda Nawawi dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, bandung, Alumni. 2005. Alan, Harding, A Social History of English Law, Penguin Books, 1966. Hamzah, Andi, KUHP Hanafi, Ahmad, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, jakarta, PT Bulan Bintang, 2005 Muladi, Hak Asasi manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005. Prasetyo, Teguh, Krimialisasi dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa media, 2010. Rahardjo, Satjipto, Hukum Pidana & Perubahan Sosial, Lembang, Bandung, 1993.
Jurnal At‐Taqaddum, Volume 4, Nomor 2, Nopember 2012
83
Brilian Ernawaty : Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana ………
84