KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Dhimas Ardhiyanto 1110113000069
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JAKARTA 2014
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul: KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2014
Dhimas Ardhiyanto
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Dhimas Ardhiyanto NIM : 1110113000069 Program Studi : Hubungan Internasional Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013 dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 11 Desember 2014 Menyetujui Pembimbing,
A. Fuad Fanani, MA.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013 Oleh Dhimas Ardhiyanto 1110113000069 telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional. Ketua Sidang,
Debbie Affianty, MA Penguji I,
Penguji II,
Eva Mushoffa, MHSPS
Andar Nubowo, DEA
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 22 Desember 2014 Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta
Debbie Affianty, MA
iv
ABSTRAKSI Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Liga Arab pada tahun 2013 untuk mendukung kelompok oposisi Suriah yang sedang bertikai dengan rezim pemerintah Suriah. Tujuan penulisan skripsi ini guna mengetahui alasan kebijakan Liga Arab dalam memberi dukungan pada kelompok oposisi Suriah. Penulisan skripsi ini didukung dengan data dari berbagai sumber yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisa sripsi ini adalah Liberal Institusional dan Organisasi Internasional. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa kebijakan Liga Arab mendukung kelompok oposisi Suriah dipengaruhi oleh kepentingan negara anggotanya. Liga Arab dipandang sebagai instrumen yang digunakan oleh Arab Saudi dan Qatar untuk memaksimalkan kepentingan negaranya. Kedua negara yang mendominasi Liga Arab tersebut juga mendapat tekanan dari negara adidaya Amerika Serikat untuk mendukung kelompok oposisi Suriah.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil’alamin Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan bagi hamba sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Liga Arab dalam Konflik Suriah: Studi Kasus Dukungan Liga Arab pada Pihak Oposisi Suriah Tahun 2013”. Skripsi ini di tulis dengan tjuan untuk memenuhi tugas akhir serta memenuhi syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Sang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan pemberi kasih, Allah SWT. 2. Ibuku tercinta Tutik Sukayatiningsih. 3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. 4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI. Serta seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN yang memberikan bantuan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. 5. Guruku, Mbah Amin, Pak Yoto, Mbah Nun. 6. Mbah Siti Khotijah (Mbah Diro), Mbah Tugiyo, Mbah Harti, Mbah Jamilah, Mbah Mantri, serta sesepuh lainnya. 7. Yang turut membesarkan dan merawatku sampai besar, Lek Kasmani, Lek Ngatmini, Lek Saryanto, Lek Menik, Bude Ginem, Pakde Gun. 8. Yang tersayang, Mbak Nonik Dhianggarani, Mas Lilik Ismul Fadli, Mas Sudarso. 9. Saudariku, sahabat dalam belajar banyak hal mengenai kehidupan, Aufa Salimah. 10. Sahabat dalam nenimba ilmu di UIN, Siti Lutfi Jamilatul Wardah, Asri Kusumastuty, Balqis Faradiba, Dara Amalia, Riko Febrian Eltari, M. Hafied Noval, Sauri Susanto, Rahmi Kamilah, Thufeil Izzharuddin, Rifqi Fauzan, Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra Mahardika, Novian Dwi Chayo, M. Faisal Akbar, Whisnu Mardiansyah, Rizal, Fatah, Fini, Eko, Rosyid, Mas Ibad, Mas Qobul, Dede, Meli, Shofi, Fahmi, Dendy, atas segala bantuan, dukungan, dan kenangan selama masa kuliah. 11. Seluruh teman-teman UIN.
vi
12. Dan kepada seluruh alam raya. Dalam penulisan skripsi ini mungkin masih banyak kekurangan. Namun demikian, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Jakarta, 11 Desember 2014
Dhimas Ardhiyanto
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6 D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 7 E. Kerangka Teori.......................................................................................... 9 1. Liberal Institusional ............................................................................ 9 2. Organisasi Internasional ...................................................................... 13 F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 16 G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 16 BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH ....................... A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab ...................................................... B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab ................................................. C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah ................................. BAB III KONFLIK DI SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR TENGAH .............................................................. A. Sekilas Mengenai Negara Suriah .............................................................. B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah .............................. C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap NegaraNegara di Timur Tengah ...........................................................................
19 19 25 30
37 37 44 53
BAB IV KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING................................................................................ 59 A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah ..................................... 59 1. Pemberrian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi Pada KTT Liga Arab di Doha, Qatar 2013 ................................................................. 59 viii
2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk Memasok Senjata Kepada Pihak Oposisi Suriah ....................................................... 63 B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah............................... 66 C. Dampak Keputusan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah terhadap Konflik di Suriah............................................................................................ 71 BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xii
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Negara Anggota Liga Arab ......................................................... Gambar 2. Peta negara Suriah dan aliran agama penduduk .................................. Gambar 3. Kelompok-kelompok oposisi Suriah ................................................... Gambar 4. Peta Konflik Suriah tahun 2013 .......................................................... Gambar 5. Pengungsi Suriah di negara-negara sekitar tahun 2013 ......................
x
21 39 47 49 55
DAFTAR SINGKATAN AFTAAAC BADEA FSA GAFTA GCC HAM ISIS IM JDEC KTT NATO NBC NC OAPEC PBB PDB SIF SLF SNC SMC
Arab Fund for Technical Assistance to African and Arab Countries Bank for Economic Development in Africa Free Syrian Army Greater Arab Free Trade Area Gulf Cooperation Council Hak Asasi Manusia Islamic State of Iraq and al-Sham Ikhwanul Muslimin Joint Defense and Economic Cooperation Konferensi Tingkat Tinggi North Atlantic Treaty Organization National Coordinator Bureau National Council Organization of Arab Petroleum Exporting Countries Perserikatan Bangsa-Bangsa Produksi Domestik Bruto Syrian Islamic Front Syrian Liberation Front Syrian National Coalition Supreme Joint Military Command
xi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis yang terjadi di Suriah saat ini tidak terlepas dari fonemena Arab Spring, yaitu suatu fenomena yang berawal dari peristiwa membakar diri yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi pada 26 Desember 2010 di Tunisia. Bouazizi melakukan hal tersebut sebagai protes atas penyitaan gerobak dagangannya untuk kesekian kalinya oleh polisi. Kisah mengenai kemiskinan dan perjuangan tersebut bergaung diseluruh negeri yang memicu demonstrasi besar untuk memprotes tingginya biaya hidup, pengangguran dan pembatasan hak berserikat kepada diktator Tunisia, Zein El Abidine Ben Ali. Peristiwa serupa kemudian menular ke Mesir, Libia, Yaman, dan Suriah. Demonstrasi menuntut perubahan muncul dan mampu menumbangkan rezimrezim yang berkuasa di Tunisia, Mesir dan Libia. Sementara rezim penguasa Suriah, Bashar al-Assad hingga permasalahan ini dibahas belum mampu ditumbangkan dan demostrasi terhadap Assad berubah menjadi perang saudara.1 Perang saudara di Suriah berawal dari penahanan terhadap 15 anak-anak sekolah yang menuliskan graffiti “rakyat ingin menggulingkan rezim” (al-sha’b yurid isqat al-nizam) di kota Derra yang tidak jauh dari perbatasan Jordania. Protes kemudian muncul pada 18 Maret 2011 yang menuntut pembebasan anak-anak 1
Mandel Daniel, ”False Dawn: The Arab Spring,” Institute of Public Affairs Review: A Quarterly Review of Politics and Public Affairs, Volume 64, Issue 4, (Desember 2012), hal 25-27.
2
tersebut, peristiwa tersebut memicu unjuk rasa tidak hanya di kota Derra, namun juga di kota lain seperti Damaskus, Homs, Hama, Idlib, dan Aleppo. Demonstrasi di Suriah yang dimulai tahun 2011 tersebut kini menjadi peristiwa perang yang anarkis antara pihak pemerintahan Bashar dan pihak oposisi. Warga sipil Suriah yang muncul tanpa senjata saat demonstrasi kemudian beradaptasi dengan kondisi yang kacau dengan membangun kekuatan militer sehingga menjadi aktor politik dan militer yang bertarung dengan pemerintah yang berkuasa di Suriah.2 Suriah telah berubah menjadi medan tempur yang menyeramkan. Menurut Komisioner tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) Navi Pillay, pada awal 2013, perang saudara tersebut telah menewaskan lebih dari 60.000 jiwa.3 Menurut Pillay, situasi di Suriah semakin memburuk dan bertambahnya korban jiwa juga disebabkan oleh kelompok bersenjata antipemerintah dan meluasnya kejahatan serius serta kejahatan perang, khususnya kejahatan kemanusiaan oleh kedua belah pihak yang bertikai.4 Pejabat Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi, Antonio Guterres mengungkapkan pengungsi Suriah yang lari dari negaranya menuju negara tetangga sudah mencapai 1 juta jiwa. Sedangkan pengungi di dalam negeri mencapai 5 juta-10 juta jiwa. Selain itu, sistem medis di Suriah telah
2
Philippe Droz & Vincent. ““State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria,” Middle East Journal, volume 68, no.1, (winter 2014), hal 57. 3
“Data suggests Syria death toll could be more than 60,000, says UN human rights office,” UN News
Centre, 2 Januari 2013, tersedia di: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43866#.U3lY0tKSySo diunduh pada 19 Mei 2014. 4
Ibid.
3
ambruk dan sepertiga rumah sakit sudah tidak layak beroperasi, serta banyak tenaga medis yang ditahan dan bantuan medis kerap tidak sampai tujuan.5 Sedangkan kondisi perekonomian Suriah menurut ekonom Suriah, Jihad Yazigi telah berubah drastis, aktivitas perekonomian yang selama ini ada telah rusak dan mengalami kekacauan. Para pelaku ekonomi juga telah hengkang karena ketidakamanan, produksi terhenti total di banyak tempat karena aset serta infrastruktur yang rusak parah. Pengangguran meningkat lebih dari 50 persen dan setengah dari populasi berada dalam garis kemiskinan. Produksi Domestik Bruto (PDB) Suriah anjlok 33 persen sejak tahun 2010. Hal ini diperburuk lagi dengan sanksi internasional yang melarang transaksi internasional dengan Suriah serta pembekuan asset-aset Suriah di luar negeri. Kerusakan ekonomi Suriah tersebut membutuhkan sekitar 30 tahun untuk pulih seperti tahun 2010 dengan syarat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen.6 Menurut Yazigi, perekonomian yang ada saat ini adalah kegiatan ekonomi perang yang berupa penyelundupan dan penjualan barang-barang kebutuhan dasar dengan harga mahal. Selain itu, perampokan, penculikan, dan pungutan liar di pospos pemeriksaan perbatasan. Penguasaan ladang-ladang minyak secara ilegal menjadi penghidupan bagi mereka yang berkuasa di tengah negara yang berjalan dengan hukum rimba. Hal ini membuka jaringan bisnis baru beberapa kelompok pengusaha 5
Musthafa Abd. Rahman, “Dua Tahun Revolusi Suriah: Politik Terseok, Derita Berlanjut”, Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10. 6 Jihad Yazigi, “Syria‟s War Economy,” European Council On Foreign Relations, Volume 97, (April 2014), hal 1.
4
maupun individu yang meraih keuntungan dari perang. Lembaga-lembaga baru muncul dan berkembang serta meraih keuntungan dari perang.7 Berbagai usulan politik telah ditawarkan untuk mengakhiri perang saudara di Suriah, namun upaya-upaya tersebut belum ada yang menuai hasil. Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang juga merupakan Utusan Khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Maret-Agustus 2012, akhirnya mengundurkan diri karena frustasi.8 Upaya mantan Menteri Luar Negeri Aljazair Lakhdar Brahimi yang menggantikan Kofi Annan juga belum menuai hasil hingga skripsi ini ditulis.9 Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Doha, Qatar pada 26 Maret 2013 dalam salah satu rekomendasinya memutuskan untuk memberi hak kepada setiap negara anggota Liga Arab memasok bantuan alat pertahanan diri serta senjata kepada kubu oposisi Suriah. Pada KTT tersebut kursi delegasi pemerintah Suriah juga diberikan kepada pihak oposisi yang dihadiri oleh ketua Koalisi Nasional Suriah (SNC), Moaz al-Khatib.10 Keputusan Liga Arab ini menuai kritik dari Duta Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin yang mengatakan bahwa Liga Arab menyimpang dari upaya penyelesaian politik di Suriah. Churkin juga menyayangkan
7
Ibid. hal 4-5. “Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita Berlanjut,” Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10. 9 Ibid. 10 “Doha summit gives Arab states ‘right’ to arm Syria rebels,” Al Arabiya News, 26 Maret 2013, tersedia di http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arab-league-member-states-have-the-rightto-provide-military-assistance-to-Syrian-rebels.html; diunduh pada 18 Mei 2014. 8
5
keputusan Liga Arab memberikan kursi delegasi Suriah pada SNC, menurutnya keanggotaan Suriah di Liga Arab belum hilang, namun hanya dibekukan.11 Kebijakan Liga Arab tersebut bertentangan dengan upaya penyelesaian konflik secara damai. Dari kondisi Suriah tergambar jelas bahwa tentara pemerintah maupun oposisi sama-sama bertindak diluar rasa kemanusiaan. Hal ini terlihat dari kerusakan dan kehancuran infrastruktur, bangunan rumah, sekolah, rumah sakit, maupun fasilitas umum, demikian banyak tersebar di hampir seluruh penjuru kota Suriah. Korban tewas dan kehancuran Suriah pun akan terus berlanjut selama perang masih berkecamuk.12 Selain itu, jika pihak oposisi Suriah berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa dengan kekerasan maka tidak lantas permasalahan akan langsung selesai. Profesor pada Naval Postgraduate School, Glenn Robinson berpendapat bahwa jika pemberontak Suriah menang, maka mereka akan melakukan balas dendam dan memalukan demokrasi serta liberalisme. Sejalan dengan Robinson, Peneliti senior University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Study, Madhav Joshi mengungkapkan bahwa kemenangan militer dalam perang sipil mempunyai dampak yang sangat berbahaya. Menurut Joshi, pihak pemenang akan berusaha untuk
11
“Russia criticizes Arab League over Syria seat”, Aljazeera, 28 Maret 2013, tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/europe/2013/03/2013328173751138369.html diunduh pada 20 Mei 2014 12 Trias Kuncahyono, “Suriah Dua Tahun Berlalu,” Harian Kompas, 15 Maret 2013, hal 10.
6
menyingkirkan pihak lain dari pemerintahan dengan kekuatan militernya dari pada berusaha untuk bekerja sama dengan musuhnya dalam perang.13 Dengan melihat fenomena seperti ini maka Liga Arab yang bertindak sebagai organisasi regional yang salah satu anggotanya mengalami perang saudara yang berlarut-larut menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai kebijakannya untuk mendukung salah satu pihak yang bertikai. Mengapa Liga Arab memberi hak kepada anggotanya untuk memasok senjata kepada pihak oposisi Suriah? Bukankah ini akan memperburuk perang saudara yang tengah berkecamuk? Mengapa Liga Arab memberikan dukungan pada salah satu pihak saja dalam penyelesaian konflik yang terjadi di Suriah yang telah berlarut larut? B. Pertanyaan Penelitian Dari penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan diungkap dalam skripsi ini adalah: mengapa Liga Arab memberi dukungan terhadap pihak oposisi Suriah dalam krisis politik yang terjadi di Suriah pada era pemerintahan Bashar al Asad pada tahun 2013? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
13
Bilal Y.Saab dan Andrew J. Tabler, “No Settlement In Damascus: The Danger of a Negotiated Peace,” Foreign Affairs, 2 Januari 2013, tersedia di http://www.foreignaffairs.com/articles/138739/bilal-y-saab-and-andrew-j-tabler/no-settlement-indamascus diunduh pada 19 Mei 2014.
7
1. Mengetahui alasan kebijakan Liga Arab yang memberi dukungan kepada pihak oposisi Suriah. 2. Mengetahui dinamika politik Timur-Tengah Manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat
dari
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberi
perkembangan bagi studi hubungan internasional khususnya dalam studi organisasi internasional. 2. Penelitian ini juga diharapkan mampu memahami perkembangan Liga Arab dan Timur-Tengah. D. Tinjauan Pustaka Sebelum skripsi ini ditulis, sebelumnya telah terdapat penelitian yang terkait dengan skripsi ini. Pertama, tulisan Bruce Maddy-Weitzman yang berjudul The Arab League Comes Alive. Artikel tersebut memuat mengenai suatu hal yang berada diluar ekspektasi, yaitu adanya perubahan dalam Liga Arab yang di sangsikan oleh banyak pihak sebagai organisasi yang tak bergigi menjadi organisasi yang anggotanya menjadi kesatuan dalam manuver diplomatik dalam beberapa hal.14 Maddy-Weitzman memberikan contoh perubahan tersebut yakni ketika Liga Arab memberikan legitimasi kepada Barat untuk mengintervensi penggulingan rezim 14
Bruce Maddy-Weitzman, “The Arab League Comes Alive”, Middle East Quarterly, Volume 19, Issue 3, (Summer 2012), hal 71-78.
8
Muammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga memberikan dukungan terhadap Gulf Cooperation Council’s (GCC) yang sukses menekan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh untuk menyerahkan kekuasannya. Selain itu, Liga Arab telah secara aktif dalam upaya penyelesain krisis di Suriah.15 Kedua, artikel jurnal yang ditulis oleh Philippe Droz-Vincent yang berjudul “State of Barbary (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria”. Artikel ini membahas serangkaian protes oleh warga sipil terhadap pemerintah yang berkuasa di Suriah yang berubah menjadi perang saudara. Kekacauan di Suriah juga dipengaruhi oleh faktor regional dan internasional sehingga menjadikan kekacauan semakin pelik. Hal tersebut dikarenakan Suriah berada di tengah-tengah persaingan stategis di Timur Tengah, Suriah berbatasan langsung dengan wilayah penting di wilayah Timur Tengah, yaitu: Irak, Lebanon, Israel, Palestina dan Turki. Internasional dan regional faktor telah memperburuk pertentangan yang terjadi di Suriah, yaitu: pertentangan perdamaian vs angkatan bersenjata, nasionalis vs pergerakan sekte (anti Alawi), kemunculan pemberontakan Arab vs Kurdi, secular vs pergerakan agama, dan lain sebagainya.16 Ketiga, thesis yang ditulis oleh Jacob M. Maddox yang berjudul Building Peace In A Post- Assad Syria pada Naval Postgraduate School, Monterey, California pada tahun 2013. Thesis tersebut membahas perang sipil di Suriah antara pemerintah 15
Ibid., Philippe Droz-Vincent, “State of Barbary (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria”, Middle East Journal, Volume 68, no. 1, (winter 2014), hal 33-58.
16
9
dengan berbagai macam kelompok oposisi yang terus berlanjut. Konflik berlanjut dan berdampak pada negara-negara tetangga dan memperluas konflik dan meningkatkan beban ekonomi yang disebabkan dari korban pengungsi. Thesis ini menganalisis rencana pasca konflik yang penting bagi stabilitas regional dan bagi Suriah. Selain itu, menjelaskan suatu skenario setelah konflik usai menuju perdamaian.17 Perbedaan antara penelitian-penelitian di atas dengan skripsi ini adalah skripsi ini lebih memfokuskan pada kebijakan Liga Arab dalam konflik Suriah yang lebih khusus lagi pada dukungan Liga Arab terhadap pihak oposisi Suriah. Sehingga permasalahan yang akan dibahas lebih spesifik dan mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit dibanding dengan penelitian yang telah dilakukan di atas. E. Kerangka Teori Untuk membantu menganalisis Kebijakan Liga dalam memberi dukungan kepada pihak oposisi Suriah digunakan teori Liberal Institusional dan Organisasi internasional. 1. Liberal Institusional Menurut David Baldwin Liberal Institusional atau neo-liberal institutional mempunyai pengaruh terhadap hubungan internasional pada masa kini. Liberal Institusional dipercaya oleh para peneliti untuk melawan pemikiran Realis dan neo-
17
Jacob M. Maddox, Building Peace In A Post- Assad Syria, (California : Naval Postgraduate School 2013), hal 1-81.
10
realis. Liberal Institusional mempunyai asumsi bahwa jalan menuju perdamaian dan pencapaian keuntungan adalah dengan membuat negara independen mengumpulkan segala sumber yang ada dalam kedaulatannya untuk menciptakan komunitas yang terintegrasi. Hal tersebut guna mempromosikan pertumbuhan ekonomi atau merespon masalah regional.18 Liberal Institusional memiliki asumsi mengenai interdependensi internasional, yaitu suatu deskripsi tentang hubungan antara aktor negara dan aktor non negara dalam lingkungan anarki pada dunia politik. Ide inti dari Liberal Institusional adalah kompleks interdependen, yang menurut Keohane dan Nye merupakan suatu dunia dimana aktor selain negara berpartisipasi langsung dalam dunia politik dan tidak ada hirarki isu yang jelas serta kekuatan militer menjadi instrument kebijakan yang tidak efektif.19 Para peneliti berpendapat bahwa dunia telah berubah menjadi pruralis akibat bentuk aktor yang terlibat dalam interaksi internasional dan aktor yang terlibat tersebut lebih bergantung satu dengan yang lainnya. Kompleks interdependen mempunyai asumsi bahwa dunia identik pada empat karakteristik yaitu: pertama, peningkatan hubungan antara aktor negara dan aktor non-negara. Kedua, agenda baru dalam isu-isu internasional dengan tanpa pembedaan antara high politics dan low politics. Ketiga, terdapatnya berbagai jaringan guna berinteraksi antar aktor lintas 18
John Baylis & Steve Smith, The Globalization of World Politics, An introduction to international relations, Third Edition, (New York: Oxford University Press Inc. 2001), hal 213. 19 Junita Elias & Peter Sutch, The Basic International Relation, (New York: Routledge, 2007), hal 72.
11
batas negara. Keempat, penurunan penggunaan kekuatan militer sebagai alat negara. Kompleks interdependen juga memunyai anggapan bahwa globalisasi menghasilkan suatu peningkatan dalam jaringan untuk berinteraksi, sebagaimana jumlah interkoneksi.20 Liberal Institusional atau Institutional theory mempunyai banyak kesamaan asumsi dengan Neo-realis. Neo-realis memberikan fokus lebih terhadap konflik dan kompetisi serta meminimalkan peluang kerjasama sekalipun dalam sistem internasional yang anarki. Sedangkan Neo-liberal Institutional melihat institusi sebagai mediator guna menghasilkan kerjasama antar aktor dalam sistem. Liberal Institutional memiliki fokus pada isu global governance serta penciptaan dan pemeliharaan institusi yang berkaitan dengan manajemen proses globalisasi.21 Dengan berakhirnya perang dingin, negara-negara mengubah haluan keamanan pada ancaman terorisme, pengembangan senjata pemusnah masal, peningkatan konflik internal yang mengancam keamanan regional maupun global. Graham Allison mengungkapkan, konsekuensi dari globalisasi adalah keamanan dari terorisme, penjualan obat terlarang yang merupakan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh satu negara. Kesuksesan dalam merespon ancaman keamanan membutuhkan penciptaan tatanan regional dan tatanan global yang mempromosikan
20 21
Baylis & Smith. The Globalization, hal 213. Ibid.
12
kerjasama antar negara dan koordinasi kebijakan untuk merespon ancaman keamanan tersebut.22 Kaum Liberal Institusional menganggap bahwa peran institusi akan membantu menekan kekacauan anarki internasional, melalui institusi yang dibentuk maka setiap negara memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan yang berlaku di antara mereka.23 Robert Keohane berpendapat bahwa akibat peristiwa
serangan
teroris 9/11 di Amerika Serikat telah menciptakan koalisi besar melawan terorisme yang melibatkan banyak negara dan institusi penting regional dan global. Liberal Institusioanl mendukung kerjasama multilateral dan mengkritik preemptive dan uniteralism penggunaan militer.24 Menurut Baylis dan Smith terdapat beberapa asumsi inti dari Liberal Institusional, yaitu: 1. Negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, akan tetapi bukan merupakan satu-satunya aktor yang signifikan. Negara merupakan aktor atau instrumen rasional yang selalu berusaha memaksimalkan kepentingannya dalam segala isu. 2. Dalam lingkungan yang kompetitif, negara berusaha memaksimalkan absolute gains melalui kerjasama. Perilaku rasional mengarahkan negara
22
Ibid. Rachamawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. hal 86. 24 Baylis & Smith, The Globalization, hal 213. 23
13
untuk
melihat
nilai
dalam
perilaku
kerjasama.
Negara
sedikit
memperhatikan pada keuntungan yang didapat dari negara lain dalam kerjasama. 3. Tantangan terbesar untuk menyukseskan kerjasama adalah ketidakpatuhan atau kecurangan yang dilakukan oleh negara. 4. Kerjasama merupakan suatu hal yang tidak pernah tidak bermasalah, akan tetapi negara akan memberikan loyalitas dan sumber daya kepada institusi jika hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang saling menguntungkan dan meningkatkan
kesempatan
kepada
negara
untuk
mengamankan
kepentingan internasionalnya. 25 Perspektif Liberal Institusional lebih relevan dalam area isu dimana negaranegara saling memiliki kepentingan. Institusi diciptakan untuk mengatur perilaku internasional. Pandangan tersebut mungkin kurang relevan dalam area di mana negara-negara tidak saling mempunyai kepentingan.26 2. Organisasi Internasional Selain Liberal Institusional perlu juga dipahami mengenai konsep organisasi internasional. Menurut Michael Hass yang dikutip oleh James N. Rosenau, organisasi internasional memiliki dua pengertian yaitu: pertama, sebagai suatu lembaga atau struktur yang mempunyai serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu
25 26
Baylis & Smith, The Globalization , hal 213-124. Ibid. hal 214.
14
pertemuan; kedua, organisasi internasional merupakan pengaturan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh di mana tidak ada aspek non-lembaga dalam istilah organisasi internasional ini.27 Organisasi internasional memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan dengan metode melangsungkan koordinasi secara rutin dengan teknik seperti pembagian tugas-tugas khusus. Hal tersebut dilakukan secara formal dalam struktur resmi beserta aparat lembaga atau secara informal dengan sistem praktek yang tidak tertulis di mana unit-unit dalam sistem mempunyai peranan yang berbeda seperti peranan sebagai pemimpin dan yang dipimpin.28 Menurut Clive Archer, organisasi internasional setidaknya memiliki tiga peranan, yaitu: 1. Organisasi internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh negaranegara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan kepentingan negaranya. 2. Organisasi internasional sebagai arena atau tempat bertemu bagi anggotaanggotanya untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi. Organisasi internasional digunakan oleh negara-negara untuk berdiskusi, mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri orang lain.
27
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research Theory, (New York: The Free Press, 1969), hal 131. 28 Ibid., hal 132.
15
3. Organisasi internasional sebagai aktor independen yang dapat membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan dari luar organisasi.29 Sedangkan menurut A. Le Roy Bennet yang juga dikutip oleh Perwita dan Yani, organisasi internasional memiliki setidaknya dua fungsi, yaitu: 1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerjasama yang dilakukan antar negara dimana kerjasama itu menghasilkan keuntungan yang besar bagi seluruh bangsa. 2. Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi antar pemerintahan sehingga ide-ide dapat bersatu ketika masalah muncul ke permukaan.30 Dalam aktivitas organisasi internasional dapat terlihat beberapa peran yang signifikan, yaitu organisasi inetrnasional sebagai inisiator, fasilitator, mediator, rekonsiliator dan determinator. Dalam isu-isu tertentu organisasi internasional muncul
sebagai
aktor
independen
dengan
hak-hak
sendiri
untuk
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan yang timbul dari adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara.31 Teori Liberal Instutional dan teori organisasi internasional merupakan dua teori yang tepat untuk memahami fenomena kebijakan Liga Arab di Suriah pada 29
Archer Clive, International Organizations, (London: Allen & Unwin Ltd. 1983), hal 130-141. Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Yani, Pengantar Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), hal 97. 31 Ibid. hal 95. 30
16
tahun 2013. Kedua teori tersebut dapat digunakan untuk memahami perilaku Liga Arab serta negara-negara anggotanya dalam mengambil kebijakan. Pertama-tama akan dijelaskan permasalahan yang ada, kemudian dielaborasi dengan kedua teori yang ada guna mendapatkan analisis yang tepat. F. Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualititatif. Penelitian kualitatif menurut W. Lawrence Neuman menggunakan suatu bahasa dari kasus dan konteks, dengan memperhatikan proses sosial serta kasus dalam konteks sosial, dan juga melihat interpretasi atau pemberian makna pada sesuatu hal yang spesifik. Selain itu juga melihat kehidupan sosial dari berbagai sudut pandang berbeda dan menjelaskan bagaimana manusia mengkonstruksi identitas.32 Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah penyebab Liga Arab dalam memberi dukungan kepada pihak oposisi Suriah. Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yakni buku, jurnal, skripsi, surat kabar dan media elektronik. Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber, yakni Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan internet. G. Sistematika Penulisan 32
Laurence W. Neuman, Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approaches, (Second Edition. Pearson Education, Inc. 2007), hal 88.
17
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.
Tinjauan Pustaka
E.
Kerangka Teori
F.
Metode Penelitian
G.
Sistematika Penulisan
BAB II
LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH
A.
Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
B.
Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab
C.
Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah
BAB III
KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR TENGAH
A.
Sekilas Mengenai Negara Suriah
B.
Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah
C.
Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap Negara-Negara di Timur Tengah
BAB IV
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN ALASANNYA
18
A.
Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah 1. Pemberian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi Pada KTT Liga Arab di Doha, Qatar 2013 2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk Memasok Senjata Kepada Pihak Oposisi Suriah
B.
Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah
C.
Dampak Keputusan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah terhadap Konflik di Suriah
BAB V
KESIMPULAN
19
BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH Pada bab ini akan dijelaskan dinamika Liga Arab sebagai organisasi regional serta kontribusinya bagi negara-negara anggotanya. Pertama akan dijelaskan mengenai awal mula terbentuknya Liga Arab serta perkembangan yang terjadi didalam Liga Arab. Dilanjutkan dengan pembahasan struktur dan sistem organisasi Liga Arab.
Kemudian diakhir bab akan dibahas kontribusi Liga Arab dalam
dinamika politik kawasan Timur Tengah. A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab Organisasi regional Liga Arab (Al-Jami’a al-Arabiyah) didirikan pada 22 Maret 1945. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk mengkoordinasikan kebijakan negara-negara anggota serta mempersatukan kebijakan politik mereka serta membangun masa depan bersama yang lebih baik. Liga Arab berkoordinasi tidak hanya dalam bidang politik, namun juga dalam bidang pendidikan, keuangan, hukum, keamanan, budaya, sosial dan komunikasi.33 Regionalisme yang dibangun Liga Arab tidak hanya berdasar pada letak geografis yang berdekatan, namun juga pada aspek identitas dan budaya.34
33
Cris E. Toffolo, Global Organizations: The Arab League, (New York: Chelsea House, 2008), hal 7 Ziyad Falahi, ”Prospek Regionalisme Timur Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas Kolektif Liga Arab,” Jurnal Kajian Wilayah. Volume 3, nomor 2 (2012), hal 193 34
20
Ketika Liga Arab didirikan, organisasi regional ini hanya beranggotakan tujuh anggota, yaitu: Mesir, Suriah, Irak, Jordania, Arab Saudi, dan Yaman. Persiapan pembentukan Liga Arab secara formal dimulai pada 6 Oktober 1994 di Alexandria, Mesir. Dari pertemuan tersebut dihasilkan Protokol Alexandria yang intinya berisi mengenai pembentukan Liga Arab, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya serta bidang lainnya, dan upaya perlindungan terhadap Palestina. Pasca dihasilkan Protokol Alexandria, terdapat serangkaian negosiasi yang kemudian melahirkan Piagam Liga Arab yang secara formal menandakan berdirinya organisasi Liga Arab pada 22 Maret 1945.35 Keanggotaan Liga Arab semakin bertambah ketika negara-negara di kawasan tersebut merdeka dari penjajahan serta melihat keuntungan dalam bergabung organisasi tersebut. Selain itu dalam Liga Arab juga terdapat beberapa negara pengamat, yaitu: Armenia, Chad, Turki, Venezuela, India, Eritia. Hingga saat ini negara anggota Liga Arab memiliki luas daerah mencapai 13,5 juta kilometer persegi. Di bawah ini disajikan gambar mengenai keanggotaan Liga Arab dan negara pengamat serta tahun negara tersebut bergabung dalam Liga Arab36:
35
Amitav Acharya dan Alastair Iain Johnston, Crafting Cooperation: Regional International Institutions in Comparative Perspective, (New York: Cambridge University Press, 2007), hal 190. 36 Toffolo, Global Organizations, hal 10.
21
Gambar 1. Peta Negara Negara Anggota Liga Arab
Sumber: Global Organizations: The Arab League, (New York: Chelsea House, 2008), hal 7.
22
Liga Arab merupakan organisasi regional pertama yang didirikan, bahkan sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan secara resmi pada 24 Oktober 1945. Organisasi ini muncul dari ide mengenai Pan-Arabisme, yakni suatu gagasan yang memandang bahwa negara-negara Arab harus bersatu untuk menghentikan dominasi bangsa Eropa. Salah satu upaya Liga Arab untuk merealisasikan ide PanArabisme tersebut adalah dengan membentuk Kerjasama Keamanan dan Ekonomi (JDEC) yang bertujuan untuk melarang penggunaan senjata dalam penyelesaian konflik antar anggota Liga Arab dan saling membantu ketika terjadi serangan dari luar
Liga
Arab.37
Gagasan
Pan-Arabisme
tersebut
kemudian
mengalami
perkembangan dalam Liga Arab yang terejawantah dalam mempromosikan kepentingan-kepentingan negara Arab dalam bidang politik, ekonomi, militer, keamanan, dan budaya.38 Organisasi regional yang dibentuk dengan kerangka Pan-Arabisme ini juga ditujukan untuk menjaga kedaulatan negara dan berkomitmen untuk membuat aturan bersama secara konsensus dengan negara-negara anggotanya. Pada tahun 1950an hingga 1960an Liga Arab berupaya menyelesaikan permasalahan serta bekerjasama dengan
dilandasi
nilai-nilai
yang
berkaitan
dengan
Pan-Arabisme
yang
mengedepankan persatuan negara-negara Arab. Pada masa ini negara-negara anggota
37
Toffolo, Global Organization, hal 18 Wan Chen & Jun Zhao, “The Arab League‟s Decision-making System and Arab Intergration”, Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia), Volume 3, no. 2 (2009), hal 59.
38
23
Liga Arab mulai mengupayakan pembangunan negara dan berusaha mempertahankan keamanan negara mereka.39 Tujuan lain didirikannya Liga Arab adalah untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan negara Arab di PBB
dan organisasi dunia lainnya.
Organisasi regional ini juga berusaha untuk menyelesaikan konflik yang muncul di antara negara anggota maupun antara negara anggota dengan negara lain. Hal ini dapat dilihat dari upaya Liga Arab menyelesaikan konflik antara Lebanon dan Suriah yang juga melibatkan Israel. Selain itu, terdapat upaya penyelesaian masalah yang juga dilakukan pada peristiwa genosida di Darfur, Sudan yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan mengakibatkan jutaan orang mengungsi. Hal serupa juga dilakukan oleh Liga Arab di Somalia yang mengalami perang sipil serta invasi dari Ethiopia.40 Pada awal pembentukan organisasi, Liga Arab memandang bahwa terdapat kesamaan masalah yang dihadapi oleh wilayah-wilayah negara berkembang, yaitu perjuangan untuk menghentikan penjajahan dan peningkatan pembangunan ekonomi. Melihat permasalahan tersebut kemudian Liga Arab mendirikan institusi-institusi yang diharap mampu membantu pembangunan ekonomi negara-negara anggota Liga Arab. Sebagai contoh didirikannya Dana Arab untuk Bantuan Teknik kepada Afrika dan negara-negara Arab (AFTAAAC).41
39
Acharya dan Johnston, Crafting Cooperation, hal 213. Toffolo, Global Organization, hal 20. 41 Ibid., hal 20. 40
24
Selain itu juga terdapat Bank Arab untuk Pembangunan Ekonomi di Afrika (BADEA). Bank ini dibentuk untuk menindaklanjuti Konfersensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Aljazair pada 28 November 1973 dan bank tersebut mulai beroperasi pada Maret 1975. BADEA didirikan untuk memperkuat perekonomian, keuangan dan kerjasama antara Arab dan Afrika serta mempererat hubungan antara negara-negara yang terlibat didalamnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan bantuan keuangan guna mengembangkan ekonomi serta memberikan bantuan teknis untuk negara-negara Afrika.42 Kemudian pada perkembangannya, Liga Arab juga membentuk institusi lain di bawahnya, program-program, serta mengeluarkan kebijakan regional guna membantu pembangunan negara-negara anggota. Hal ini terlihat pada pembentukan Dewan Sosial dan Ekonomi serta pembentukan Bank Pembangunan Arab yang kini dikenal sebagai Arab Financial Organization. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk Arab Common Market guna membebaskan pajak, memberikan bantuan keuangan, dan perpindahan pekerja secara bebas antar negara anggota Liga Arab. Di bidang perminyakan dibentuk Organisasi Pengekspor Minyak Negara Arab (OAPEC) yang bertujuan untuk memformulasi kebijakan dalam produksi dan penjualan minyak. Terdapat juga Greater Arab Free Trade Area (GAFTA) sebagai kebijakan pasar bebas di wilayah Liga Arab yang berlaku pada tahun 2005.43
42
“Introduction”, Arab Bank for Economic Development in Africa, tersedia di: http://www.badea.org/introduction.htm diunduh pada 22 september 2014. 43 Toffolo, Global Organization, hal 23-24.
25
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab Dalam organisasi Liga Arab terdapat struktur yang komplek yang terdiri dari beberapa dewan spesial, komite permanen, agensi spesial, dan badan-badan lain. Secara struktur Liga Arab memiliki dua badan yang menjadi pusat dari badan-badan lain, yaitu Dewan Liga Arab dan Komite Spesial Permanen.44 Dewan Liga keanggotaannya terdiri dari perwakilan setiap negara anggota yang biasanya diwakili oleh masing-masing menteri luar negeri negara anggota Liga Arab. Dewan ini melakukan pertemuan dua kali dalam setahun di markas besar Liga Arab di Kairo, Mesir setiap bulan Maret dan September. Pertemuan tambahan juga dapat digelar jika terdapat dua atau lebih anggota atau Sekretaris Jenderal yang ingin menggelar pertemuan dan mendapat persetujuan dari sepertiga negara anggota. Pada pertemuan yang dilaksanakan setiap bulan Maret tiap tahunnya juga akan dihadiri oleh para kepala negara anggota Liga yang akan membahas mengenai isu-isu regional.45 Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Liga Arab memunyai sedikitnya lima fungsi utama, yaitu46: 1. Sebagai pengambil keputusan untuk menerima anggota baru Liga Arab dan pengeluaran anggota Liga Arab;
44
Marco Pinfari, “Nothing but Failure? The Arab League and the Gulf Cooperation Council as mediators in Middle Eastern Conflicts”. Crisis State Research Center, Working Paper no. 45 (Maret 2012) hal 3. 45 Toffolo, Global Organization, hal 46. 46 Andreas Kettis, “EU-League of Arab States relations: Prospects for closer parlementary cooperation”, Policy Briefing European Parliament, (Mei 2013) hal 6-7.
26
2. Sebagai penentu dalam mengawali amandemen piagam atau pakta Liga Arab; 3. Melakukan mediasi guna menyelesaikan permasalahan yang dapat mengakibatkan perang antara negara anggota Liga Arab maupun negara anggota dengan negara non-anggota; 4. Membentuk badan-badan pendukung dan yang berafiliasi dengan Liga Arab; 5.
Menetapkan Sekretaris Jenderal.
Dewan Liga Arab juga bertugas untuk membuat laporan dan menyusun agenda pertemuan serta membuat kebijakan dan memastikan implementasinya.47 Selain itu Dewan Liga Arab juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik tanpa penggunaan senjata serta pengambilan keputusan yang oleh Dewan Liga Arab didasarkan pada suara mayoritas dalam voting. Dewan juga bertugas melindungi negara yang mendapatkan agresi, dan mengkoordinasikan kerjasama dengan organisasi internasional lain.48 Dewan Liga Arab memiliki penasihat dalam melaksanakan tugasnya, penasihat tersebut merupakan Komite Spesial Permanen. Komite ini terdiri dari beberapa menteri dari negara anggota dan ditambah dengan beberapa staf teknis. Selain memberikan nasihat terhadap Dewan Liga Arab, komite ini juga memberi nasihat kepada badan badan lain pada Liga Arab dan membantu dewan dalam mengimlementasikan kebijakan yang dihasilkan oleh Liga Arab. Selain itu juga
47 48
Toffolo, Global Organization, hal 48. Pinfari, “Nothing but Failure?” hal 3.
27
terdapat Dewan Menteri Spesial dari setiap negara anggota yang bekerja untuk memformulasikan kebijakan dan bekerjasama di bidang-bidang tertentu.49 Untuk menjalankan roda organisasi secara baik dan berkesinambungan Liga Arab membentuk Sekretariat Jenderal. Dalam sekretariat tersebut terbagi menjadi beberapa departemen yang dipimpin oleh asisten Sekretaris Jenderal. Terdapat empat departemen utama di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal yang saat ini dipimpin oleh Nabil El Araby, yaitu departemen ekonomi, departemen militer, departemen Palestina, dan departemen administrasi dan keuangan. Sekretaris Jenderal dipilih oleh Dewan Liga Arab dengan menggunakan voting setiap lima tahun sekali. Sekretaris Jenderal
bertugas
mewakili
Liga
Arab
dalam
forum
internasional
dan
mengkoordinasikan posisi Liga Arab dalam isu-isu utama pada tataran internasional serta memediasi konflik yang terjadi antara anggota Liga Arab.50 Berdasarkan fungsi dan tugas dari masing-masing posisi dalam struktur Liga Arab maka dapat juga di gambarkan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab sebagai acuan organisasi dalam tataran makro. Sedangkan Dewan Liga Arab dan Komite sebagai pembangun kerangka kebijakan yang lebih spesifik. Sementara Dewan Menteri sebagai pemberi nasihat dan saran dalam pembuatan kebijakan.51 Pada tahun 2005 Liga Arab membentuk Parlemen Liga Arab yang disisi oleh empat perwakilan dari masing-masing negara anggota. Parlemen ini menangani isu49
Toffolo, Global Organization, hal 48 Ibid., hal 49. 51 Chen & Zhao, “The Arab Leagu‟s Decision”, hal 61. 50
28
isu sosial, ekonomi, dan budaya. Badan ini dipandang lemah karena tidak mempunyai kekuatan untuk mencitpatakan peraturan atau hukum yang mengikat.52 Meski demikian dengan seiring berjalannya waktu Parlemen ini diharapkan dapat memainkan peran penting dalam Liga Arab seperti halnya Parlemen Uni Eropa yang pada awal berdirinya juga memiliki kelemahan. Parlemen memiliki potensi untuk tumbuh menjadi institusi yang lebih kuat dengan adanya momentum Arab Spring dengan menyuarakan demokrasi, HAM dan keadilan sosial pada negara-negara Arab.53 Pada proses penentuan kebijakan pada Liga Arab terdapat sistem voting yang dimiliki oleh setiap negara anggota, yaitu satu suara untuk setiap negara anggota. Dibutuhkan dua pertiga suara dalam menentukan sebuah kebijakan yang akan diambil oleh dewan, namun untuk hal-hal yang dianggap penting dibutuhkan konsensus guna menentukan kebijakan tersebut.54 Selain prinsip konsensus juga terdapat prinsip hukum domestik yang mengisyaratkan bahwa negara anggota memunyai keputusan final dalam isu-isu penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam Liga Arab didasarkan pada negosiasi di antara anggota Liga Arab.55 Organisasi ini tidak memunyai mekanisme untuk memaksa atau mengikat anggotanya
52
Toffolo, Global Organization, hal 51. Kettis, “EU-League of Arab States relations”, hal 8-9. 54 Toffolo, Global Organization, hal 48. 55 Chen & Zhao, “The Arab League‟s decision”, hal 61. 53
29
dengan resolusi yang telah dibuat. Selain itu, kedaulatan nasional negara anggota yang harus lebih dihargai dibanding dengan kebijakan Liga Arab.56 Dengan demikian kepentingan negara-negara anggota Liga Arab sangat menentukan proses pembuatan kebijakan organisasi. Suatu kebijakan dapat dibuat dan diimplementasikan bergantung pada kepentingan negara-negara anggota Liga Arab. Jika kepentingan negara-negara anggota Liga Arab memiliki kesamaan maka kebijakan akan mudah untuk diciptakan dan diimplementasikan. Namun jika terdapat perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota maka kebijakan akan sulit untuk di buat dan dilaksanakan pada Liga Arab.57 Badan-badan dalam Liga Arab mempunyai tujuan utama untuk bekerjasama guna menyelesaikan masalah anggotanya dan membantu anggotanya tumbuh menjadi kuat dan independen. Tujuan tersebut diupayakan melalui beberapa tugas Liga Arab yaitu58:
56
1.
Mempromosikan keamanan negara-negara Arab;
2.
Mendukung Palestina;
3.
Membantu negara-negara Arab independen dari penjajahan Barat;
4.
Mengkoordinasi kebijakan luar negeri anggota Liga Arab;
Jonathan Masters, “The Arab League”, Council of Foreign Relations, 26 Januari 2012, tersedia di http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arab-league/p25967 diunduh pada 19 September 2014. 57 Chen & Zhao, “The Arab League‟s decision”, hal 62. 58 Toffolo, Global Organization, hal 44
30
5.
Melarang anggota untuk menggunakan kekerasan di antara anggota dan membantu menyelesaikan konflik di antara anggota dengan damai;
6.
Meningkatkan perekonomian dan pengembangan keuangan serta berintegrasi;
7.
Mengembangkan pertanian dan industri;
8.
Mengembangkan komunikasi dan transportasi;
9.
Memelihara budaya dan membangun pendidikan;
10.
Mengesampingkan isu-isu nasionalisme (paspor, visa, dan ekstradisi kriminal);
11.
Mempromosikan kesehatan publik.
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah Liga Arab yang telah dibentuk sejak tahun 1945 telah turut andil dalam dinamika hubungan regional di kawasan Timur-Tengah. Pada masa awal eksistensinya, Liga Arab telah aktif dalam pembebasan negara-negara Arab dari penjajahan. Organisasi kawasan ini juga berupaya menguatkan kerjasama di bidang ekonomi, keuangan, dan perdagangan walau hasilnya dinilai oleh sebagian kalangan tidak begitu memusakan.59 Pendirian Liga Arab memunyai berbagai tujuan guna memenuhi kepentingan negara-negara anggotanya di berbagai bidang. Akan tetapi dalam perjalanannya aspek politik memunyai andil yang sangat penting dalam dinamika Liga Arab. Hal ini dapat 59
Marina Sapronova, “The New Role of the Arab League in Regional and International Relations”, New Eastern Outlook, 17 Maret 2013, tersedia di http://journal-neo.org/2013/03/17/the-new-role-ofthe-arab-league-in-regional-and-international-relations/ diunduh pada 17 September 2014.
31
dilihat dari masalah terusan Suez tahun 1967 dan perang Yom Kippur tahun 1973 yang berpengaruh terhadap dinamika ekonomi politik internasional. Selain itu, pemberhentian keanggotaan Mesir dari Liga Arab karena mengadakan perjanjian damai dengan Israel juga memperlihatkan bahwa aspek politik merupakan aspek yang sangat berperan penting dalam Liga Arab.60 Sebagian kalangan menilai bahwa Liga Arab sebagai organisasi yang kurang efektif dan efisien. Organisasi ini kurang tanggap dan sigap dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan penting di kawasannya. Hal ini dikarenakan sistem Dewan Liga Arab yang menggunakan sistem konsensus untuk melakukan segala tindakan yang dianggap penting. Sistem tersebut memperlambat proses pembuatan kebijakan dan implementasinya serta memperkecil kemungkinan kebijakan dapat dihasilkan karena terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Liga Arab.61 Liga Arab juga dipandang sebagai organisasi yang tidak mampu menjalin kerjasama yang baik dalam bidang politik dan militer dalam mencegah konflik maupun menyelesaikan konflik yang telah terjadi. Menurut Zacher yang dikutip oleh Pinfari, berdasarkan data konflik yang terjadi antara tahun 1946-1977, Liga Arab hanya mampu memediasi 12% konflik yang terjadi di wilayah negara-negara anggota
60 61
Falahi, “Prospek Regionalisme Timur-Tengah”, hal 93. Toffolo, Global Organization, hal 121.
32
Liga Arab. Sedangkan menurut Ibrahim Awad, Liga Arab hanya mampu menyelesaikan enam konflik dari 77 konflik ada antara tahun 1945-1981. 62 Sementara dari sejumlah data yang dikumpulkan oleh Pinfari sejak tahun 1945-2008 Liga Arab memediasi 19 konflik dari 56 konflik yang terjadi dan berhasil menyelesaikan lima dari 19 konflik yang dimediasi. Berdasarkan upaya-upaya yang dilakukan oleh Liga Arab dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di kawasannya, Liga Arab sangat mengecewakan, khususnya dalam masalah perang sipil. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan Liga Arab yang hanya menjadi mediator pada lima perang sipil dari 22 perang sipil berskala besar yang terjadi di kawasan Timur-Tegah sejak tahun 1945.63 Di sisi lain, sejak tahun 1945 hingga tahun 1980an Liga Arab telah menghasilkan lebih dari 4000 resolusi, namun sekitar 80% dari resolusi tersebut tidak pernah terimplementasi. Oleh sebab itu Michael Barnet dan Etel Soligen yang dikutip oleh Acharya, menjuluki Liga Arab “be seen but not heard”. Hal tersebut dikarenakan negara-negara anggota Liga Arab berupaya untuk memaksimalkan kepentingan negaranya masing-masing seperti mengedepankan keberlangsungan hidup negaranya dan aliansi politiknya masing-masing.64 Dalam debat regional yang diselenggarakan oleh Qatar Foundation tahun 2006, kandidat Presiden Lebanon pernah mengatakan bahwa Liga Arab sebagaimana 62
Pinfari, “Nothing but Failure?”, hal 6. Ibid., hal 10. 64 Acharya dan Johnston, Crafting Cooperation, hal 213. 63
33
banyak orang Arab melihat organisasi regional tersebut “inefficient, counterproductive, a sham and corrupt.” Liga Arab juga dipandang gagal dalam melindungi hak asasi manusia dan tidak mampu melawan tindakan yang semena-mena. Namun beberapa pihak mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan ini disebabkan oleh berbagai masalah yang dihadapi, seperti permasalahan konflik Arab dengan Israel, intervensi kekuatan asing, kepentingan minyak, dan perang melawan terorisme yang digaungkan oleh Amerika Serikat.65 Pandangan lain mengatakan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh adanya ambisi dari masing-masing negara anggota yang menghambat kebijakan-kebijakan dalam berbagai bidang penting dalam Liga Arab.66 Walaupun terdapat banyak kritik mengenai keefektifan dan efisiensi dalam menjalankan roda organisasinya, Liga Arab telah berperan penting dalam meningkatkan perhatian diantara negara-negara anggotanya, di PBB dan organisasi regional lain. Hal ini dapat dilihat dari kerjasama ekonomi yang kuat pada tataran regional. Selain itu, Liga Arab juga telah membuat standar pendidikan dan kurikulum regional serta memfasilitasi pelatihan bagi para guru dan pelestarian kebudayaan. Lebih lanjut pemimpin-pemimpin di kawasan tersebut juga telah menyetujui kolaborasi dalam penelitian dan meningkatkan pendanaan untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Pandangan lain yang juga melihat bahwa Liga Arab merupakan suatu
65 66
Toffolo, Global Organization, hal 121-122. Sapronova, “The New Role of the Arab League”.
34
organisasi yang penting untuk mengkoordinasikan negara-negara di kawasan pada tingkat yang lebih tinggi seperti di PBB.67 Lebih lanjut, Bruce Maddy dan Weitzman memandang bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan dalam Liga Arab. Liga Arab telah menjadi bagian yang penting dalam proses diplomatik dalam berbagai isu di kawasan. Hal ini dapat dilihat pada pemberian legitimasi terhadap intervensi Barat dalam penggulingan rezim Mu‟ammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga mendukung Dewan Kerjasama negara-negara Teluk (GCC) dalam mendorong Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh untuk mundur dari jabatannya. Selain itu, hingga saat ini Liga Arab juga aktif dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah.68 Perubahan siginifikan yang terjadi pada Liga Arab di atas tidak luput dari pandangan negatif. Armenak Tokmajyan misalnya, dia memandang bahwa Organisasi regional ini rawan berubah menjadi alat legal bagi intervensi pada politik regional serta masalah internal negara-negara anggota Liga Arab. Tokmajyan memandang bahwa Liga Arab saat ini menjadi alat politik bagi negara-negara seperti Qatar dan Arab Saudi untuk memengaruhi wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Selain itu Organisasi regional ini kini menjadi penting bagi pemerintahan baru
67
Toffolo, Global Organization, hal 122. Bruce Maddy dan Weitzman, ”The Arab League Comes Alive,” Middle East Quarterly. Volume 72, (Summer 2012), hal 71. 68
35
negara-negara yang dilanda Arab Spring dan Koalisi Nasional Suriah (SNC) sebagai sumber legitimasi mereka.69 Sementara Marina Sapronova memandang bahwa Liga Arab mencoba untuk kembali eksis dengan berupaya untuk mempengaruhi kondisi dan situasi yang terjadi pada fenomena Arab Spring yang dimulai pada tahun 2010 lalu. Akan tetapi Liga Arab tidak bertindak sesuai dengan kebiasaan kolektivitasnya, melainkan hanya mengedepankan kepentingan negara-negara tertentu saja. Hal ini terlihat dari penggulingan rezim Muamar Gadhafi di Libia yang mengindahkan resolusi penyelesaian masalah dengan damai dan Liga Arab memilih Barat untuk mengintervensi secara militer. Hampir serupa dengan kasus Libia, Liga Arab menghentikan keanggotaan Suriah dan memberikan sanksi politik dan ekonomi walaupun mendapat tentangan dari Lebanon dan Yaman.70 Selain itu, menurut Hamid yang dikutip oleh Masters, fenomena Arab Spring dan Sekretaris Jendreal Liga Arab yang baru yaitu Nabil el Araby membawa angin segar perubahan. Araby dipandang mampu memahami dan menyerap aspirasi masyarakat Arab serta menghargai para aktivis Arab, para demonstran, dan juga pihak oposisi. Selain itu Araby juga dianggap bukan bagian dari rezim terdahulu dan mampu membawa perubahan.71
69
Armenak Tokmajyan, “A Brand New Arab League”, Middle East Online, 23 Mei 2013, tersedia di http://www.middle-east-online.com/english/?id=58941 diunduh pada 25 September 2013. 70 Sapronova, “The New Role of the Arab League”. 71 Masters, “The Arab League”.
36
Menurut Tokmajyan, Liga Arab dengan berbagai perkembangannya di atas diperkirakan akan memunyai peran penting dalam penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian di masa yang akan datang. Pandangan tersebut didasarkan pada peningkatan kapasitas dan kemampuan Liga Arab. Lebih jauh, Tokmajyan beranggapan bahwa Liga Arab saat ini menjadi organisasi yang lebih fleksibel dibandingkan dengan PBB.72 Dinamika hubungan internasional memang dapat berubah dengan sangat cepat, begitu juga yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Fenomena Arab Spring yang bermula pada tahun 2010 oleh sebagian kelompok dipandang sebagai suatu momentum yang baik guna kemajuan Liga Arab di kawasan tersebut. Kelompok tersebut memandang bahwa penggulingan rezim-rezim otoriter akan merubah negaranegara di kawasan menjadi lebih demokratis. Namun sebagian kelompok lain memandang bahwa Arab Spring sebagai ancaman terhadap Liga Arab yang disebabkan instabilitas politik yang terjadi di kawasan. Kelompok ini memandang bahwa instabilitas politik di kawasan tersebut tidak akan mudah untuk dipulihkan seperti sedia kala, terlebih lagi dengan adanya intervensi dari negara lain.73
72 73
Tokmajyan, “A Brand New Arab League”. Falahi, “Prospek Regionalisme Timur-Tengah”, hal 190.
37
BAB III KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR TENGAH Pada bab ini akan dijelaskan kondisi Suriah yang mengalami konflik yang berdampak ke negara-negara tetangganya. Dimulai dengan menjelaskan negara Suriah secara umum. Dilanjutkan dengan permulaan konflik di Suriah pada tahun 2011 dan perkembangannya. Kemudian dijelaskan akibat konflik yang terjadi di Suriah terhadap negara-negara tetangganya. A. Sekilas Mengenai Negara Suriah Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah singkat Suriah yang akan dimulai pada tahun 1946. Uraian mengenai sejarah Suriah ini dibatasi dengan tahun dan pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini saja karena Suriah memunyai sejarah yang cukup panjang dan kaya. Pembatasan tahun tersebut dipilih karena pada tahun itulah Suriah merdeka dari okupasi yang dilakukan oleh Perancis dan berubah menjadi negara moderen hingga kini. Kemerdekaan yang diraih oleh Suriah tersebut kemudian dipimpin oleh Blok Nasional yang kemudian menunjuk al-Quwatli sebagai kepala negara Suriah untuk pertama kalinya.74 Radwan Ziadeh menilai bahwa Suriah merupakan negara yang demokratis dan pruralis. Hal ini dapat dilihat pada proses kemerdekaan Suriah pada tahun 1946
74
Robert G. Rabil, Syria, The United States, and The War on terror in The Middle East, (London: Praeger Security International, 2006), hal 15.
38
mengedepankan diplomasi diantara para elit politik dan partai politik yang memunyai ideologi bermacam-macam. Suriah juga telah memunyai spesial konstitusi pada tahun 1950 yang diantaranya berisi mengenai kesetaraan pria dan wanita, kebebasan publik, menghormati hak dasar masyarakat dan hak asasi manusia. Di Suriah pada tahun 1949 juga telah memberikan hak pada kaum wanita untuk memilih dalam pemilihan umum serta pada tahun 1953 wanita mempunyai hak untuk dipilih.75 Namun situasi kondusif tersebut tidak bertahan lama, menurut Barry Rubin negara Suriah pada rentang tahun 1949 hingga 1970 berubah menjadi negara yang sangat tidak stabil. Pada rentang waktu tersebut juga terjadi banyak kudeta dalam pemerintahan di Suriah. Pada tahun 1946-1956 saja Suriah memunyai dua puluh kabinet yang berbeda serta empat konstitusi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan karena Suriah belum mampu menemukan identitas negara, paradigma, atupun sistem yang koheren.76 Selain itu juga terdapat faktor perbedaan etnisitas dan aliran-aliran penduduk Suriah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketegangan sosial yang terjadi pada masyarakat Suriah. Faktor-faktor tersebut juga dipandang menjadi penghambat kesuksesan integrasi masyarakat Suriah menuju suatu negara moderen pada awal kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1946.77
75
Radwan Ziadeh, Power and Policy in Syria: Intelligence Services, Foreign Relations and Democracy in The Modern Middle East, (London: I.B. Tauris, 2011) hal 33. 76 Barry Rubin, The Truth About Syria, (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hal 36. 77 Flynt Leverett, Inheriting Syria: Bashar Trial by Fire, (Washingon DC: The Brookings Institution, 2005), hal 2.
39
Pada tahun 2012 Suriah memiliki penduduk yang berjumlah sekitar 22 juta jiwa dan memunyai wilayah terbesar ketiga di Liga Arab. Sekitar 90% penduduk Suriah adalah Muslim. Penduduk Muslim tersebut terdiri dari 74 Sunni, dan kelompok Syiah, Alawi, Druze, serta Islamili berjumlah sebanyak 16%. Sedangkan 10% sisanya terdiri dari pemeluk agama Kristen Protestan, ortodok serta aliran lainnya.78 Sementara berdasarkan etnisitas, Suriah terdiri dari etnis Arab yang berjumlah 90%, suku Kurdi 9%, dan sisanya suku Armenia, Circassia, serta Turkoman.79 Lebih lanjut, kelompok-kelompok diatas tinggal berkelompokkelompok pada suatu wilayah tertentu. Hal ini menyebabkan semakin bertambah besar potensi ketegangan sosial di Suriah.80 Dibawah ini disajikan peta negara Suriah beserta persebaran aliran-aliran yang dianut oleh penduduk Suriah:
78
Margaret K. Nydell, Understanding Arabs: A Contemporary Huide to Arab Society, (Boston: Intercultural Press, 2012), hal 174. 79 Leverett, Inheriting Syria, hal 2. 80 Rubin, The Truth about Syria, hal 28.
40
Gambar 2. Peta negara Suriah dan aliran agama penduduk.
Sumber: Flynt Leverett, Inheriting Syria: Bashar’s Trial By Fire, hal 3 Setelah sekian lama mengalami instabilitas dalam negeri, kepemimpinan Suriah diambil alih oleh Hafiz al Assad pada tahun 1970. Hafiz menjanjikan stabilitas dalam negeri serta kejayaan di dunia internasional. Namun menurut Barry Rubin hal tersebut tidak dapat direalisasikan oleh Hafiz, bahkan menurutnya Suriah termasuk kedalam jajaran negara yang sangat kacau di dunia. Hal tersebut dikarenakan masih terjadinya ketidakpastian identitas serta kompleksitas masyarakat Suriah. Selain itu
41
juga masih terdapat masalah pembangunan yang belum jelas dan ditambah dengan letak Suriah yang berada di kawasan yang tidak stabil.81 Setelah berhasil menduduki kursi kepemimpinan Suriah yang baru, Hafiz memimpin Suriah secara otoriter. Pemerintahnya hanya mengijinkan satu partai yang berdiri di Suriah dan selalu berusaha menekan munculnya oposisi. Sebagai presiden, Hafiz juga memunyai kekuasaan atas militer dan aparat kemanan Suriah. Partai Ba‟th yang merupakan partai tunggal di Suriah juga berada di bawah kontrol Hafiz. Selain itu, dia juga mengotrol dewan menteri, parlemen, serta pengadilan.82 Hafiz mampu mempertahankan kekuasaan yang digenggamnya hingga akhir hayat pada 10 Juni 2000. Kekuasaan yang mampu digenggam selama 30 tahun tersebut dipertahankan dengan cara mengkondisikan para pendidik, jurnalis, intelek, serta budayawan guna mempengaruhi masyarakat guna patuh dan mencintai pemimpinnya. Hafiz bersama partai Ba‟th mengontrol hampir semua lini kehidupan rakyatnya seperti dalam hal perekonomian, militer, media, pendidikan, agama, dan lain sebagainya guna menjaga kekuasaannya tetap aman di genggamannya.83 Selain itu Hafiz juga melakukan restrukturisasi dan membuat sistem politik formal yang
81
Rubin, The Truth about Syria, hal 32. Janis Berzins, “Civil War in Syria: Origin, Dynamics, and Possible Solutions”, National Defence Academy of Latvia, Strategic Review, no 7, (Agustus 2013), hal 1. 83 Rubin, The Truth about Syria, hal 44-45. 82
42
dapat melegitimasi pemerintahannya dengan tujuan untuk mengontrol masyarakat Suriah.84 Partai Ba‟th mempunyai peran penting dalam mendukung langgengnya kekuasaan Hafiz. Partai Ba‟th memiliki anggota sekitar 65,000 orang pada tahun 1970 saat Hafiz memulai kekuasaannya di Suriah. Namun dengan seiring berjalannya waktu partai tersebut mengalami peningkatan jumlah anggota yang signifikan yaitu mencapai satu juta anggota pada tahun 1992 dan pada tahun 2005 total anggotanya berjumlah 1,8 juta anggota. Partai ini juga bertugas untuk memastikan berbagai pihak untuk tunduk dan loyal terhadap kepemimpinan Hafiz yang mendominasi partai tersebut.85 Setelah berkuasa sekian lama, Hafiz mempersiapkan anak laki-laki tertuanya Basil untuk meneruskan kepemimpinannya kelak ketika ia telah berpulang. Namun rencana hanyalah tinggal rencana, Basil mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ia meregang nyawa pada Januari tahun 1994. Akibat peristiwa tersebut Bashar adik Basil yang tidak memunyai latar belakang di bidang politik kemudian dipersiapkan dengan sedemikian cara untuk menjadi pemimpin Suriah kelak menggantikan ayahnya. Hafiz mengkondisikan Bashar sehingga ia mendapat dukungan dari militer
84 85
Rabil, Syria, The United State, and The War on Terror, hal 28. Rubin, The Truth about Syria, hal 45.
43
dan aparat keamanan. Selain itu Hafiz juga membangun citra baik Bashar di kalangan rakyat Suriah, serta mendidiknya untuk menjadi pemimpin masa depan Suriah.86 Ketika Hafiz wafat pada 10 Juni 2000 berdasarkan konstitusi maka wakil presiden Khaddam menjadi presiden sementara. Tidak lama dari waktu tersebut Bashar menjadi sekretaris jenderal partai Ba‟th dan kemudian mencalonkan diri sebagai kandidat presiden Suriah. Pada 10 Juli 2000 dilakukan referendum guna menentukan Presiden Suriah sepeninggal Hafiz. Referendum tersebut kemudian memenangkan Bashar dengan suara sebesar 97,3% sebagai presiden terpilih menggantikan ayahnya.87 Pada saat Bashar telah menjadi presiden, ia mempunyai agenda untuk membuka perekonomiannya bagi pasar internasional serta menyesuaikan negaranya dengan globalisasi yag telah merebak. Bashar memiliki prioritas untuk mempercepat moderenisasi para kader serta memperkuat institusi negara melalui reformasi administrasi. Selain itu, pemerintah menginisiasi prinsip jalan tengah dengan cara ekspansi sektor swasta dan pada waktu yang bersamaan pemerintah melakukan reformasi pada sektor publik. Lebih lanjut pemerintah melakukan perlindungan sosial selama liberalisasi ekonomi berjalan.88
86
Leverett, Inhereting Syria, hal 61. Ibid., hal 65-67. 88 Raymond Hinnebusch, “Syria: From „Authorian Upgrading‟ to Revolution?”, International Affairs, Volume 88, No. 1 (2013), hal 98. 87
44
Fenomena Arab Spring yang dimulai pada 2010 oleh sebagian kalangan dinilai tidak akan menghampiri Suriah. Bashar pun mengklaim bahwa negaranya terlindungi oleh identitas yang tidak dapat dipengaruhi serta terlindungi oleh kebijakan luar negeri yang populer. Selain itu, Bashar juga meyakini bahwa reformasi yang dilakukannya telah mampu mengantisipasi kemarahan rakyat. Pemerintahan Suriah telah meningkatkan subsidi pada perminyakan dan membatalkan rencana pemotongan subsidi di berbagai bidang lain.89 Bashar nampak percaya diri terhadap stabilitas negaranya pada awal-awal fenomena Arab Spring mulai merebak dan mengulingkan rezim-rezim penguasa di negara-negara tetangganya. Selain itu ketika bulan Maret 2011 mulai terlihat mobilisasi masyarakat Suriah yang mengarah pada aksi demonstrasi dan kemudian demostrasi mulai bergulir, Bashar menawarkan reformasi yang lebih subtantif serta menghentikan kekerasan. Namun upaya Bashar tersebut tidak berbuah hasil. Sedangkan di dunia maya para aktivis berupaya membentuk opini bahwa Suriah telah terjangkit fenomena Arab Spring walau kenyataannya masih sangat sedikit aksi demostrasi yang terjadi di negaranya. Bergulirnya waktu membuat demonstrasi berkembang menjadi besar dan meluas hampir di seluruh wilayah Suriah.90 B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah
89
March Lynch, The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of The Middle East, (New York: Public Affairs, 2012) hal 443-444. 90 Ibid., hal 448.
45
Gambaran konflik yang terjadi antara pemerintah Suriah dan pihak oposisi Suriah secara singkat telah digambarkan pada BAB 1. Konflik ini tidak terlepas dari fonomena yang disebut sebagai Arab Spring yang melanda negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Sebagian negara yang dilanda Arab Spring telah mampu menggulingkan rezim-rezim penguasa baik dengan cara militer, demonstrasi, maupun tekanan pihak-pihak tertentu. Namun tidak demikian dengan Suriah, hingga skripsi ini ditulis rezim di Suriah masih bersikukuh mempertahankan kekuasaannya walau mendapatkan berbagai perlawanan dan tekanan baik secara militer maupun non militer dari berbagai pihak. Pertentangan sebagian masyarakat Suriah dengan pemerintah yang telah berubah menjadi perang tersebut kini menjadi suatu perang rumit. Menurut Broto Wardoyo, setidaknya konflik di Suriah dapat dipetakan menjadi tiga kelompok utama. Kelompok tersebut terdiri dari kelompok pemerintah beserta kelompok pendukung. Kemudian kelompok penentang pemerintahan tersebut atau pihak oposisi yang terdiri dari beberapa kelompok didalamnya. Kelompok yang terakhir adalah kelompok milisi-milisi Kurdi yang menentang pemerintahan yang berkuasa namun tidak benar-benar bergabung dengan pihak oposisi.91 Kelompok pemerintah beserta pendukungnya merupakan kelompok yang solid dalam konflik yang terjadi di Suriah. Hal ini dikarenakan oleh berbagai sebab,
91
Broto Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik Internal di Suriah”, Analisis CSIS, volume 43, no. 2, (Juni 2014), hal 183.
46
diantaranya karena rezim yang dipimpin oleh Bashar telah menguasai militer Suriah sejak kepemimpinan ayahnya Hafiz. Selain itu terdapat juga kelompok menengah Sunni
atau kelompok aristrokat Sunni yang berkoalisi dengan pemerintah sejak
zaman Hafiz. Koalisi tersebut dibentuk sejak Hafiz berkuasa dengan tujuan kelompok aristrokasi Sunni tersebut tidak melakukan perlawanan kepada pemerintah yang berkuasa.92 Menurut Joshua Landis, Presiden Hafiz telah mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada kekuasaan yang digenggamnya. Hafiz berupaya mengontrol militer dengan mengisi jabatan-jabatan penting di bidang militer dengan anggota keluarganya. Dia melatih anak-anaknya serta keluarganya sehingga ahli militer dan dapat mengamankan negaranya. Hal tersebut dilakukan Hafiz karena dia percaya bahwa hanya keluarga terdekat yang dapat dipercaya.93 Sementara kelompok kedua adalah milisi-milisi Kurdi yang terpecah menjadi dua kelompok yang berbeda. Pecahan pertama bergabung dengan koalisi oposisi penentang pemerintah Bashar. Sedangkan pecahan kedua memilih tetap berdiri sendiri tanpa menunjukkan dukungan pada kedua belah pihak yang bertikai. Kelompok Kurdi merupakan kelompok yang diberi perlakuan khusus di Suriah oleh pemerintah yang berkuasa. Perlakuan spesial tersebut diberikan oleh rezim penguasa
92
Ibid, hal 184. Joshua Landis, “The Syrian Uprising of 2011: Why The Asad Regime Is Likely to Survive to 2013”, Middle East Policy, Volume XIX, no. 1, (Spring 2012) Landis, hal 73. 93
47
karena kelompok ini dianggap dapat dimanfaatkan guna memengaruhi negara Turki.94 Kelompok oposisi penentang pemerintah terdiri dari berbagai kelompokkelompok kecil yang tidak begitu solid. Kubu ini terdiri dari Koalisi Nasional Suriah (SNC), Tentara Pembebasan Suriah (FSA), Badan Koordinator Nasional (NBC), serta kelompok-kelompok kecil yang berada di daerah. Kelompok oposisi ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dengan munculnya pemain-pemain baru maupun terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut. Sebagai contoh adalah kemunculan Koalisi Nasional (NC) yang merupakan bentukan dari SNC. Selain itu juga terdapat Supreme Joint Military Command (SMC), Syrian Liberation Front (SLF), serta Syrian Islamic Front (SIF).95 SNC sebagai kelompok oposisi utama di Suriah, SNC mengklaim bahwa mereka merupakan pemimpin dari kelompok-kelompok oposisi di Suriah. Akan tetapi pada kenyataannya kelompok-kelompok tersebut masih terpecah dan tidak benarbenar berada dalam kontrol SNC. Hal tersebut nampak pada klaim SNC yang menyatakan bahwa FSA berada dibawah kontolnya, namun di lapangan mereka bertempur secara independen. Selain itu FSA yang dipimpim oleh Colonel Asaad pun tidak terorganisir dan terkomando dengan baik.96
94
Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik”, hal 185-186. Ibid., hal 186-187. 96 Landis, “The Syrian Uprising of 2011”, hal 75. 95
48
Selain kelompok-kelompok diatas juga muncul kelompok yang dipandang radikal dalam melawan rezim pemerintahan, yaitu ISIS dan Al-Nusra. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) merupakan kelompok organisasi yang dibentuk di Iraq pada tahun 2006 yang kemudian melebarkan sayapnya hingga ke Suriah dengan tujuan mendirikan negara Islam. Sedangkan Al-Nusra merupakan kelompok yang berafiliasi kuat dengan al-Qaeda yang dibentuk pada tahun 2012.
Al-Nusra diperkirakan
mempunyai lebih dari enam ribu anggota.97 Kelompok oposisi Suriah juga dapat dipetakan berdasarkan ideologi yang diusung serta cara yang digunakan untuk memperjuangkan cita-citanya di Suriah seperti pada gambar dibawah ini: Gambar 3. Kelompok-kelompok oposisi Suriah Islamis s ISIS, Al-Nusra
IM
SIF
Gerakan Politik
Militeristik SLF SNC, NC
FSA Sekuler
Sumber: Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik”, hal 188 97
Berzins, “Civil War in Syria”, hal 4.
49
Pada
gambar
diatas
digambarkan
bahwa
terdapat
kelompok
yang
memperjuangkan cita-citanya di Suriah dengan jalur politik, yaitu kelompok Ikhwanul Muslimin (IM), SNC, dan NC. Namun dari tiga kelompok tersebut mempunyai perbedaan ideologi yang diusung, IM mengusung ideologi Islam, sedangkan SNC dan NC mengusung ideologi sekuler. Pada sisi lain terdapat kelompok yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara militer, yaitu ISIS, AlNusra, SIF, SLF, FSA. Kelompok yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara militer ini memiliki dua ideologi yang berbeda juga, ISIS, Al-Nusra, SIF mengusung ideologi Islami, sedangkan SLF dan FSA mengusung ideologi sekuler. Perang sipil yang terjadi di Suriah terus berkembang kearah yang semakin buruk dari waktu ke waktu. Pada awal peperangan hanya terjadi perang antara rezim pemerintah dengan pihak oposisi. Seiring berjalannya waktu kelompok oposisi pun terpecah, bahkan saling perang di antara mereka. Dibawah ini disajikan peta konflik antara rezim Bashar dengan kelompok-kelompok oposisi Suriah yang menggunakan cara militer:
50
Gambar 4. Peta Konflik Suriah tahun 2013.
Sumber: http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-december-2013-12.html diunduh pada 26 Oktober 2013.
Dari peta konflik diatas dapat dilihat bahwa konflik antara rezim Bashar dengan kelompok-kelompok oposisi hampir terjadi di seluruh kawasan di Suriah. Namun diantara kelompok oposisi yang melawan rezim pemerintah, kelompok ISIS dan Al-Nusra sebagain besar tentaranya terdiri dari negara lain yang ikut serta berperang dengan tujuan mendirikan negara Islam. Sedangkan kelompok oposisi
51
lainnya hampir seluruh anggotanya adalah rakyat Suriah. ISIS dan Al-Nusra dipandang sebagai kelompok radikal yang tidak hanya berperang melawan rezim pemerintah, namun juga dengan kelompok oposisi lain. Hal tersebut mengakibatkan perebutan kekuasan di wilayah-wilayah Suriah tidak hanya terjadi antara pihak oposisi dengan rezim pemerintah, namun juga diantara kolompok oposisi yang berbeda.98 Dengan kondisi yang sedemikian kacau di Suriah, rezim pemerintah beranggapan bahwa negaranya merupakan objek yang menjadi sararan oleh Israel, Barat serta negara-negara Arab yang pro-Barat. Upaya penggulingan rezim pemerintah ditujukan untuk memenuhi kepentingan Barat dan Israel di kawasan Timur Tengah. Bashar melihat bahwa munculnya kubu oposisi radikal di Suriah merupakan bentuk dari upaya Arab Suadi dan Qatar yang merupakan aliansi Barat untuk menumbangkan rezim pemerintahannya.99 Pernyataan rezim pemerintah tersebut bukan hanya bualan semata untuk memerangi para ekstrimis. SMC yang berupaya mengkoordinir pasukan bersenjata kelompok-kelompok oposisi didukung oleh Amerika beserta sekutunya. Negaranegara seperti Arab Saudi, Qatar, Mesir, Uni Emirate Arab, Turki, Inggris, Perancis, Jerman, dan Itali yang merupakan sekutu Amerika Serikat turut membantu SMC
98
“Syria Civil War Map: December 2013”, Political Geography Now, 15 Desember 2013, tersedia di: http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-december-2013-12.html; diunduh pada 28 Maret 2014. 99 Muriel Asseburg dan Heiko Wimmen, “The Civil War and the Impotence of International Politics”, Peace Report, (2013), hal 72.
52
dalam hal pendanaan serta mensuplai persenjataan. Dukungan tersebut kemudian disalurkan kepada kelompok-kelompok yang tergabung dalam SMC seperti FSA yang merupakan kelompok oposisi bersenjata terbesar dan SLF. Sedangan kelompok SIF yang berideologi Islamis didukung oleh para konglomerat Arab Saudi, Qatar, serta negara-negara teluk lainnya.100 Namun dalam menghadapi kubu oposisi Bashar tidak sendirian, rezimnya juga didukung dari pihak luar. Salah satu pendukungnya setianya adalah Iran yang berupaya mendukung rezim pemerintah dengan segala cara. Iran mendukung suplai energi, militer, dan ekonomi guna mempertahankan rezim pemerintah supaya tidak dapat digulingkan oleh kubu oposisi. Selain itu juga ada Rusia dan China yang memperkuat rezim pemerintah baik secara sekonomi, militer, dan secara politik pada tataran internasional dalam menghadapi Amerika Serikat dan sekutunya.101 Melihat paparan perkembangan konflik Suriah di atas terlihat semakin memburuk dan rumit. Fenomena demokratisasi di Timur Tengah yang banyak digaungkan oleh Barat akan membawa perbaikan telah berubah menjadi perang sipil yang berkepanjangan. Kepentingan-kepentingan pihak eksternal pun juga turut memperburuk konflik yang terjadi di Suriah. Hal tersebut tidak hanya menimbulkan dampak buruk bagi negara Suriah, namun juga berpengaruh terhadap negara-negara di sekitar Suriah bahkan secara global. 100
Ken Sofer dan Juliana Shafroth, “The Structure and Organization of the Syrian Opposition”, Center for American Progress, (14 May 2013), hal 5-7. 101 Asseburg dan Wimmen, “The Civil War”, hal 73.
53
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap Negara-Negara di Timur Tengah Pergolakan dan konflik di Suriah sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh dari lingkungan eksternal Suriah. Penggulingan rezim-rezim otoriter di wilayah Timur Tengah dan Afrika turut memicu hal serupa di Suriah. Pada era global ini memang tidak ada satu negarapun yang mampu berdiri sendiri tanpa hubungan dengan negara-negara lain. Hubungan tersebut sering kali menimbulkan pengaruh bagi negara-negara yang berinteraksi. Begitu juga dengan konflik Suriah yang juga dimulai karena mendapat pengaruh dari luar, kemudian juga kembali memengaruhi negara-negara tetangga Suriah bahkan mempunyai pengaruh yang lebih luas secara global. Sekretaris Jenderal Liga Arab, Nabil al-Arabi senada dengan para pengamat melihat bahwa perang sipil di Suriah akan memberikan pengaruh signifikan terhadap negara-negara tetangga Suriah.102 Hal tersebut dapat dilihat dari negara Suriah yang memiliki wilayah strategis yang berada di tengah-tengah persaingan di Timur Tengah mengakibatkan kondisi yang terjadi di Suriah sangat mempengaruhi negara-negara di sekitarnya. Letak negara Suriah bersinggungan langsung dengan Irak, Lebanon, Israel, Palestina, Turki beserta permasalahan Kurdi dan Iran yang keseluruhan sangat mempengaruhi dinamika Timur Tengah. Secara langsung mapun tidak langsung, 102
Andrew Spath, “Opposition Groups in Syria: Myths and Realities”, Foreign Policy Research Institute, Januari 2012, tersedia di: http://www.fpri.org/articles/2012/01/opposition-groups-syriamyths-and-realities; diunduh pada 4 Nopember 2014.
54
konflik yang terjadi di Suriah juga memengaruhi stabilitas serta hubungan di antara negara-negara tetangga Suriah.103 Menurut Daniel L. Byman dan Kenneth M. Pollack, perang sipil di Suriah yang awalnya hanya mencakup wilayah domestik Suriah dapat menjadi bencana bagi negara-negara tetangga Suriah. Hal tersebut dikarenakan perang sipil yang berkepanjangan biasanya akan berdampak kepada lingkungan sekitar. Bencana akan muncul dari berbagai sebab seperti permasalahan pengungsi, terorisme, intervensi, dan separatisme yang dapat menimbulkan berbagai dampak multidimensi. Besar kecilnya dampak tersebut bergantung pada jangka waktu dan parahnya konflik yang terjadi di Suriah.104 Dampak secara langsung dari perang sipil yang terjadi di Suriah telah dirasakan oleh negara-negara tetangga Suriah sejak perang mulai pecah antara rezim pemerintah dengan kubu opposisi. Turki yang mempunyai wilayah yang bersinggungan dengan Suriah pada 3 Oktober 2012 terkena dampak bom yang berasal dari konflik di Suriah yang menewaskan lima orang penduduk sipil di perkampungan Akcakale. Dari peristiwa tersebut Turki meningkatkan keamanan perbatasan negaranya yang dekat dengan Suriah dengan mengirim tank dan
103
The State of Barbary, hal 57. Daniel L. Byman dan Kenneth M. Pollack, “The Syrian Spillover: Is anyone prepare for the unintended consequences of the war for Syria?”, Foreign Policy, 10 Agustus 2012, tersedia di: http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/08/10/the_syrian_spillover; diunduh pada 6 Nopember 2014. 104
55
perlengkapan militer guna mengamankan wilayahnya.105 Kemudian pada Januari 2013 Turki meminta bantuan beberapa anggota NATO yaitu Jerman, Amerika Serikat dan Belanda untuk menjaga perbatasan Turki dengan Suriah.106 Pada bulan yang sama dengan tewasnya lima orang di Turki akibat perang di Suriah, beberapa bom juga meledak di dataran tinggi Golan yang dikuasai oleh Israel. Peristiwa tersebut mempengaruhi Israel untuk meningkatkan keamanan wilayah tersebut dengan mengirimkan tank ke wilayah yang seharusnya bebas dari militer tersebut. Israel khawatir dengan konflik Suriah yang dapat meluas ke Israel. Rezim Suriah dikhawatirkan melibatkan Hizbullah dari Libanon serta Hamas dari Gaza dalam perang di Suriah. Negara tetangga Suriah yang lain, yaitu Libanon juga sering terkena dampak ledakan bom yang berasal perang di Suriah yang mengakibatkan kerusakan. Sementara di Jordania, dampak bom dari Suriah mengakibatkan beberapa penduduk terluka. Sedangkan Irak yang merupakan salah satu tetangga terdekat Suriah menjadi salah satu negara yang penduduknya ikut mendukung peperangan sipil baik di sisi pemerintah maupun sisi oposisi.107 Selain itu, dampak yang dirasakan oleh negara-negara tetangga Suriah sejak awal konflik di Suriah diantaranya adalah permasalahan pengungsi Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Diantara negara-negara tetangga yang menjadi
105
“How Syria‟s Civil War is Spilling Over”, Aljazeera, 12 November 2012, tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2012/11/20121112193038751565.html; diunduh pada 4 Nopember 2014. 106 Asseburg dan Wimmen, “The Civil War”, hal 79. 107 “How Syria‟s Civil War is Spilling Over”.
56
tujuan utama pengungsi adalah Lebanon, Yordania, Turki, Irak, dan Mesir. Permasalahan pengungsi tersebut tidak hanya menjadi perhatian bagi negara-negara tetangga yang dituju oleh pengungsi, namun juga telah menjadi perhatian PBB sehingga meluncurkan program darurat kemanusian bagi pengungsi Suriah.108 Pengungsi tersebut dapat menjadi permasalahan yang sulit bagi negar-negara tujuan pengungsi. Para pengungsi dapat menjadi sumber konflik pada negara yang menerima mereka. Lebih dari itu para pengungsi yang mayoritas warga sipil kerap kali menjadi target dalam perang sipil.109 Di bawah ini disajikan gambar para pengungsi Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga: Gambar 5. Pengungsi Suriah di negara-negara sekitar tahun 2013.
108
Henriette Johansen, “A Humanitarian Tragedy for Syrian Refugees”, Memo Middle East Monitor, (Januari 2014), hal 4-5. 109 Byman dan Pollack, “The Syrian Spillover”.
57
Sumber: http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf diunduh pada 25 Oktober 2014.
Dari data yang dikumpulkan oleh UNHCR di atas hingga Mei 2013 total warga Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga mencapai lebih dari satu setengah juta jiwa. Pada gambar di atas terlihat bahwa warga Suriah paling banyak mengungsi ke Lebanon dengan jumlah total 500.654 jiwa, kemudian disusul Yordania sebanyak 472.764 jiwa, Turki sebanyak 372.326 jiwa, Irak 154.372 jiwa, dan Mesir 75.442 jiwa. Data tersebut merupakan jumlah pengungsi yang telah terdata dalam UNHCR, namun masih terdapat banyak pengungsi yang belum terdaftar. Selain itu diperkirakan jumlah pengungsi akan semakin bertambah dengan semakin parah konflik yang terjadi di Suriah.110 Dengan semakin bertambahnya pengungsi dari Suriah ke negara-negara tetangga seperti telah digambarkan diatas, maka semakin bertambah pula potensi permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi. Para pengungsi tersebut memberikan beban secara ekonomi maupun politik terhadap negara-negara tujuan pengungsi. Ancaman instabilitas juga hadir karena semakin bertambahnya populasi pada negara tetangga Suriah yang berkaitan sumber daya pada negara-negara tersebut.111
110
“Syria Regional Respon Plan: January to December 2013”, United Nation, tersedia di: http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf; diunduh pada 25 Oktober 2014. 111 Shiva Pedram, “Syrian refugee Crisis Treathens Stability in the Middle East”, Center for American Progress, 12 Agustus 2014, tersedia di: http://www.americanprogress.org/issues/security/news/2014/08/12/95595/syrian-refugee-crisisthreatens-stability-in-the-middle-east/; di unduh pada 4 Nopember 2014.
58
Dampak
konflik Suriah yang dijelaskan diatas terlihat bahwa pengaruh
perang sipil yang terjadi semakin hari semakin bertambah dan meluas. Dampak konflik Suriah diprediksi akan terus berkembang jika perang sipil di tersebut terus berlanjut dan semakin parah. Lebih dari itu terbuka peluang perang sipil tersebut juga akan berdampak ke negara-negara tetangga Suriah.
59
BAB IV DUKUNGAN LIGA ARAB PADA KUBU OPOSISI SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN ALASANNYA Pada bab ini akan dijelaskan inti dari penelitian yang membahas kebijakan Liga Arab untuk mendukung pihak oposisi Suriah pada tahun 2013. Awalnya akan dijelaskan kebijakan dukungan Liga Arab terhadap kelompok oposisi Suriah. Kemudian penjelasan motif Liga Arab dalam mendukung kelompok oposisi, serta dampak kebijakan tersebut bagi perkembangan kondisi di Suriah. A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah 1. Pemberian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi Pada KTT Liga Arab di Doha, Qatar 2013 KTT ke-24 Liga Arab yang diselenggarakan di Doha pada 21-27 Maret 2013 memberikan dampak yang signifikan bagi legitimasi kelompok oposisi Suriah pada tataran internasional. Pada KTT tersebut Liga Arab memberikan kursi delegasi pemerintah Suriah yang dibekukan sementara sejak bulan November 2011 pada pihak koalisi oposisi.112 Pembekuan keanggotaan Suriah di Liga Arab tepatnya dilakukan pada 12 November 2011 ketika pertemuan para Menteri negara anggota Liga Arab.
112
“24th Arab Summit Issues Doha Declaration” Arab League 24th Summit, 27 Maret 2013, tersedia di: http://arableaguesummit2013.qatarconferences.org/news/news-details-17.html; diunduh pada 23 November 2014.
60
Kebijakan tersebut dilakukan karena pemerintah Suriah dinilai gagal untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyatnya.113 Setelah lebih dari satu tahun keanggotaan Suriah dibekukan, kemudian keanggotaan Suriah di Liga Arab di berikan pada pihak oposisi. Kebijakan tersebut diprakarsai oleh Qatar dan Arab Saudi. Pihak oposisi Suriah diundang oleh Emir Qatar, Hamad bin Khalifa Al Thani selaku tuan rumah KTT Liga Arab. Undangan tersebut dihadiri oleh pemimpin SNC, Moaz al-Khatib yang kemudian menduduki kursi delegasi Suriah guna menggantikan delegasi pemerintah Bashar.114 Keputusan Liga Arab tersebut bermula dari usulan menteri luar negeri Arab Saudi kepada Qatar sebagai tuan rumah KTT tersebut untuk mengundang kelompok oposisi Suriah. Usulan tersebut disampaikan oleh Pangeran Saud al-Faisal kepada Qatar satu minggu sebelum KTT Liga Arab di selenggarakan di Qatar. 115 Sementara dalam keterangannya, Al Thani menyampaikan bahwa Qatar mengundang SNC dengan alasan kelompok tersebut mendapatkan pengakuan yang kuat di Suriah dan juga pengakuan yang luas dalam tataran internasional. Selain itu, Al Thani
113
Mujge Kucukkeles, “Arab league‟s Syrian Policy”, SETA Policy Brief, No. 56 (April 2012), hal 9. “Arab League Welcomes Syria Opposition”, Aljazeera, 27 Maret 2013, tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/03/20133262278258896.html; diunduh pada 23 November 2014. 115 “Saudi Arabia warns of Syria crisis regional spilover”, Al Arbiya News, 26 Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Saudi-Arabia-warns-of-Syria-crisis-regional-spillover.html; diunduh pada 30 November 2014. 114
61
memandang bahwa SNC berperan penting dalam memimpin revolusi serta mempersiapkan masa depan Suriah.116 Dalam forum tersebut al-Khatib meminta negara-negara Liga Arab untuk memberikan dukungan penuh terhadap upaya kelompok oposisi Suriah. Ia juga berusaha menggalang dukungan dari negara-negara Barat yang mempunyai perhatian terhadap masa depan Suriah. Lebih lanjut al-Khatib juga meminta bantuan secara khusus pada Amerika Serikat untuk melawan rezim Bashar. Selain itu ia menyatakan keinginan kelompok oposisi untuk dapat menggantikan perwakilan rezim Bashar di PBB serta organisasi-organisasi internasional lainnya.117 Kebijakan yang diambil oleh Liga Arab di atas telah mengubah tradisi nilainilai yang dianut dalam Liga Arab yang selama ini dijalankan. Kebijakan untuk mencampuri permasalahan di Suriah misalnya bertentangan dengan nilai yang dianut oleh Liga Arab untuk tidak mencampuri permasalahan dalam negeri negara anggota. Selain itu Liga Arab juga mengambil kebijakan yang dilakukan dengan tidak mengunakan prinsip konsensus dalam memberhentikan keanggotaan pemerintah Suriah dari organisasi regional tersebut. Karena dalam pemberhentian keanggotaaan Suriah tersebut tidak di setujui oleh Lebanon dan Yaman.118 Pemerintah Lebanon menolak sanksi yang ke Suriah karena hal tersebut tidak hanya berdampak buruk
116
M. Nasir Jawed. “King Abdullah Warns of Syria Spilover”, The Muslim World League Journal, volume 41, no. 5&6, (April-Mei 2013), hal 5. 117 Jawed, “King Abdullah warns of Syria Spilover”, hal 6-7. 118 Martin Beck, “The Arab League: A New Policy Approach in the Making?”, Center for Mellemoststudier, (April 2013), hal 2.
62
kepada pemerintah Suriah, namun juga pada rakyat Suriah.119 Liga Arab juga memberikan kursi delegasi Suriah kepada pihak oposisi yang merupakan bentuk intervensi terhadap permasalahan dalam negeri Suriah.120 Terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh Liga Arab tersebut pemerintahan Suriah melontarkan kecaman keras. Melalui saluran televisi negara Suriah yang dikutip oleh The National Abu Dhabi, pemerintah Suriah mengatakan bahwa Qatar telah merusak tatanan Liga Arab dengan memberikan kursi pemerintah Suriah kepada kelompok oposisi yang merupakan kaki tangan Amerika Serikat dan negara-negara teluk.121 Pada kesempatan lain Bashar mengungkapkan bahwa Liga Arab tidak berhak memberikan legitimasi terhadap kelompok oposisi. Bashar menilai bahwa legitimasi pemerintahan suatu negara terletak pada rakyat, bukan pada negara lain maupun organisasi internasional.122 Dukungan yang diberikan Liga Arab terhadap kelompok oposisi Suriah tidak hanya dalam bentuk diplomasi dengan memberikan kursi delegasi pemerintah Suriah kepada pihak oposisi. Dalam KTT yang diselenggarakan di Doha tersebut juga melahirkan kebijakan yang memberikan kesempatan terhadap anggota Liga Arab 119
Zoi Constantine, “Lebanon Divided over Syrian Suppoort”, The National, 16 November 2011, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/lebanon-divided-over-syrian-support; diunduh pada 29 Desember 2014. 120 Beck, “The Arab League”, hal 2. 121 Elizabeth Dickinson, “Rebel leader al-Khatib takes Syria‟s seat at the Arab League. The National, 27 Maret 2013, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/rebel-leader-al-khatibtakes-syrias-seat-at-the-arab-league; diunduh pada 27 November 2014. 122 “Assad: Arab League lacks legitimacy after handing Syrias seat to opposition”, The National, 5 April 2013, tersedia di: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/assad-arab-league-lackslegitimacy-after-handing-syrias-seat-to-opposition#ixzz3KGRRzZnY; diunduh pada 26 November 2014.
63
untuk memberikan dukungan dalam bentuk persenjataan untuk memperkuat pasukan militer kelompok oposisi Suriah. 2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk Memasok Senjata pada Pihak Oposisi Suriah Hasil dari KTT Liga Arab di Doha tahun 2013 salah satunya adalah memberikan hak kepada anggota Liga Arab untuk memberikan persenjataan kepada kubu oposisi Suriah.123 Dalam dokumen KTT tersebut yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Deutsche Welle tertulis bahwa “every state’s right, acording to its desire, to present all kinds of measures for self-defense, including military ones, to support the steadfastness of the Syrian people and the Free Army”, yang dapat diartikan setiap negara memunyai hak berdasarkan keinginan untuk memberikan segala jenis alat pertahanan serta persenjataan untuk mendukung rakyat Suriah dan tentara pembebasan Suriah (kubu oposisi).124 Sebelum KTT Liga Arab ke-24 Liga Arab digelar di Qatar serta menghasilkan kebijakan untuk mensuplai senjata ke kubu oposisi Suriah, ternyata juga telah ada izin dari Liga Arab mengenai hal serupa. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Liga Arab, Nabil al-Araby pada konferensi pers di Kairo tanggal 6 Maret
123
“Doha summit gives Arab states „right‟ to arm Syria rebels”, Al Arabiya News, 26 Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arab-league-member-states-have-the-right-toprovide-military-assistance-to-Syrian-rebels.html; diunduh pada 24 November 2014. 124 “Arab League agrees members have right to arm Syrian rebels”, Deutsche Welle, 26 Maret 2013, tersedia di: http://www.dw.de/arab-league-agrees-members-have-right-to-arm-syrian-rebels/a16700903; diunduh pada 24 November 2014.
64
2013. Pada kesempatan tersebut al-Araby menyampaikan pesan bahwa anggota Liga Arab diizinkan untuk memberikan bantuan senjata kepada pihak oposisi Suriah. AlArabi berkilah hal tersebut dilakukan karena uapaya-upaya penyelesaian konflik secara politik belum membuahkan hasil.125 Bahkan menurut Philippe Droz-Vincent awal kemunculan oposisi militer di Suriah pada tahun 2012 dan 2013 di dukung oleh aliran dana dari Qatar, Arab Saudi, dan Libia. Dukungan dari negara-negara tersebut dalam bentuk persenjataan yang didatangkan melalui Lebanon dan Turki. Dalam mendapatkan persenjataan tersebut kelompok oposisi Suriah juga mendapat dukungan dari negara-negara Barat serta jaringan salafi internasional.126 Pendapat Vincent diatas juga diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal pada awal tahun 2012 yang mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan saja tidak cukup untuk membantu pihak oposisi. Dia mengatakan bahwa pihak oposisi perlu diberikan bantuan senjata untuk dapat menciptakan stabilitas serta dapat memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Kemudian pada 27 Februari 2012 Perdana Menteri Qatar, Hamad bin Jassim al-Thani
125
“Arab League allows member states to arm Syrian opposition”, Al Arabiya News, 6 Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/News/2013/03/06/Arab-League-denies-giving-SyrianNational-Coalition-a-seat.html; diunduh pada 24 November 2014. 126 Vincent, “The State Barbary (take two)”, hal 57.
65
menyampaikan pernyataan yang intinya Qatar akan membantu oposisi Suriah dengan segala cara termasuk dengan memberikan dukungan senjata.127 Arab Saudi dan Qatar dalam laporan penelitian Melani De Groof merupakan negara pensuplai senjata terbesar kepada pihak oposisi Suriah. Pada Maret 2013 kedua negara tersebut mengirim 160 kargo militer dengan berat mencapai 3500 ton pada pihak oposisi Suriah. Dukungan militer tersebut disalurkan ke pihak oposisi melalui Turki dan Yordania. Sedangkan jenis senjata yang dikirim mayoritas adalah senjata serang AK-47, roket, dan granat. Sebagian senjata tersebut dibeli Arab Saudi dan Qatar dari Kroasia dengan bantuan Amerika Serikat dan aliansinya di Eropa untuk mendapatkannya. Selain itu juga terdapat senjata yang diselundupkan melalui Libia ke Suriah untuk disalurkan ke kelompok oposisi yang didanai oleh Qatar.128 Kebijakan yang diambil Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi Suriah diatas tidaklah mendapat persetujuan dari semua anggota. Aljazair dan Irak merupakan anggota yang menentang kebijakan tersebut. Selain itu juga terdapat anggota yang memilih untuk tidak mengambil sikap mengenai kebijakan tersebut,
127
Jonathan Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”, Foreign Policy, 27 Februari 2012, tersedia di: http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/27/saudi_arabia_is_arming_the_syrian_opposition; di unduh pada 30 November 2014. 128 Melanie De Groof, “Arms Transfers to The Syrian Arab Republic: Practice and Legality”, Raport Du Grip, no: 9, (2013), hal 40.
66
yaitu Lebanon. Namun demikian kebijakan tersebut tetap berlaku walaupun tidak mendapat dukungan dari seluruh anggota.129 B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah Pada sub bab ini akan dibahas mengenai penyebab Liga Arab mendukung kelompok oposisi di Suriah. Dalam sub bab sebelumnya telah diungkap bahwa ternyata tidak semua anggota Liga Arab mendukung kebijakan untuk mendukung oposisi Suriah, misalnya negara Aljazair dan Irak yang menolak untuk mendukung kelompok oposisi tersebut. Selain terhadap dukungan di atas, Liga Arab nampak terpecah dalam dua pandangan terhadap rencana intervensi militer Barat di Suriah. Pada satu sisi Arab Saudi dan Qatar sangat mendukung intervensi oleh Barat di Suriah. Sementara Irak, Lebanon, Mesir, dan Libia menentang usulan intervensi militer negara Barat di Suriah.130 Kebijakan Liga Arab terhadap Suriah menurut Martin Beck didasari oleh nilai-nilai HAM. Pemerintah Suriah dinilai telah melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Namun demikian kebijakan tersebut dipandang mempunyai standar ganda, khususnya terhadap negara-negara yang sangat aktif dalam merumuskan kebijakan Liga Arab terhadap Suriah. Negara-negara yang menjadi aktor utama dalam kebijakan tersebut adalah Arab Saudi dan Qatar yang mempunyai 129
“Arab League to the Syrians: Fight on”, Alakhbar, 7 Maret 2013, http://english.alakhbar.com/node/15173; diunduh pada 25 November 2014. 130 “Arab League split over Syria crisis”, Press TV, 3 September 2013, tersedia di: http://www.presstv.com/detail/2013/09/03/321808/arab-league-split-over-syria-crisis/; diunduh pada 30 November 2014.
67
rekam jejak yang buruk dalam masalah HAM. Selain itu standar ganda juga dapat dilihat ketika Bahrain menangani demonstrasi dengan cara militer pada tahun 2011, namun Liga Arab tidak mengambil tindakan yang berarti.131 Menurut Clive Archer yang telah tertulis dalam bukunya yang berjudul Internationl Organizations, organisasi internasional merupakan suatu instrumen yang digunakan oleh negara-negara anggota untuk mencapai tujuan tertentu berdasar tujuan politik luar negerinya.132 Pada kebijakan Liga Arab sebagaimana dijelaskan di atas dapat terlihat bahwa tidak semua negara setuju dengan kebijakan yang mendukung kelompok oposisi Suriah. Di sisi lain negara seperti Arab Saudi dan Qatar sangat mendukung upaya-upaya yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan Bashar di Suriah. Selain itu, Liga Arab menurut Armenak Tokmajyan telah mengalami perubahan dominasi kepemimpinan oleh negara anggota. Sebelum Arab Spring menerpa kawasan Timur Tengah, Liga Arab didominasi oleh Mesir dan Suriah, namun setelah Arab Spring melanda negara-negara Timur Tengah termasuk Mesir dan Suriah, pada saat itu juga secara tidak langsung kepemimpinan Liga Arab berpindah ke negara Arab Saudi dan Qatar. Kedua negara tersebut mendominasi Liga Arab dengan didukung ekonomi dalam negeri yang kuat. Selain itu, Tokmajyan memandang bahwa Qatar mempunyai kontrol yang besar terhadap masalah konflik
131 132
Beck, “The Arab League”, hal 3. Archer, International Organizations, hal 130.
68
Suriah di Liga Arab. Qatar juga memasukkan kepentingan negaranya dalam setiap aksinya menangani konflik di Suriah.133 Tokoh oposisi Suriah Haytam Manna juga mengungkapkan keterlibatan Qatar dalam menghentikan sementara keanggotaan pemerintah Suraih di Liga Arab dan menggantikannya dengan kelompok oposisi Suriah. Lebih jauh, Haytam mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan Qatar karena motif kebencian Hamad terhadap Bahsar serta posisi Qatar yang berseberangan dengan Suriah.134 Dengan melihat kondisi seperti dijelaskan di atas, maka patut diduga kuat bahwa motif Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi Suriah adalah karena Liga Arab sebagai organisasi internasional merupakan instrumen yang digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai kepentingan negara sebagaimana yang diungkapkan oleh Clive Archer. Dari uraian di atas juga dapat terlihat bahwa negara yang menyisipkan kepentingannya dalam Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi Suriah adalah Qatar dan Arab Saudi. Selain itu di atas juga telah dijelaskan bahwa sejak awal kemunculannya pada tahun 2012, pihak oposisi telah dibantu oleh Arab Saudi dan Qatar. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi dengan memberikan hak kepada anggota untuk membantu persenjataan adalah upaya Arab Saudi dan Qatar untuk melegitimasi dukungan mereka kepada oposisi melalui 133 134
Tokmajyan, “A Brand New Arab League”. Ibid.,
69
Liga Arab. Kebijakan tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya bagi pendukung kelompok oposisi Suriah untuk menggalang dukungan internasional secara lebih luas. Argumen di atas juga sejalan dengan asumsi inti Liberal Institusional yang dikemukakan oleh Baylis dan Smith. Menurut mereka, negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional serta bersifat rasional. Sebagai aktor yang dominan dan rasional negara selalu berusaha memaksimalkan kepentingan negaranya dalam segala isu.135 Dalam hal ini Qatar dan Arab Saudi berusaha memaksimalkan kepentingan negaranya di tengah konflik yang terjadi di Suriah melalui Liga Arab yang mereka dominasi. Analisa tersebut juga diperkuat oleh pandangan Jonathan Schanzer yang mengatakan bahwa Qatar dan Arab Saudi yang dikuasai oleh kelompok Sunni menginginkan Bashar yang juga aliansi negara Iran yang dipimpin oleh Syiah segera dapat digulingkan. Hal tersebut disebabkan Iran merupakan ancaman bagi kawasan Timur Tengah karena dipandang sebagai sarang teroris dan memiliki nuklir yang mengancam keamanan kawasan Timur Tengah dan lebih luas secara global. Salah satu cara untuk melemahkan Iran adalah melemahkan aliansinya terlebih dahulu yaitu Suriah.136 Lebih jauh jika melihat tindakan yang diambil oleh Qatar dan Arab Saudi dalam mempengaruhi kebijakan Liga Arab, maka kebijakan tersebut tidak semata-
135 136
Baylis & Smith, The Globalization, hal 213. Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”.
70
mata hanya karena kepentingan Qatar dan Arab Saudi. Menurut Zachary Laub, Amerika Serikat dengan kekuasaan yang dimilikinya mendesak negara-negara teluk untuk turut andil dalam mendukung kelompok oposisi Suriah dari segi pendanaan, persenjataan maupun diplomasi. Lebih lanjut Laub mengatakan bahwa negara yang mempunyai andil besar dalam memdukung kelompok oposisi adalah Arab Saudi dan Qatar. Kedua negara yang memiliki aliansi kuat dengan negara adikuasa tersebut mendapatkan desakan untuk memberikan dukungan kepada kelompok ekstrimis terkait persenjataan yang salah satunya melalui SMC.137 Pandangan Laub diatas juga diamini oleh Ken Sofer dan Juliana Shafroth dari Center for American Progress yang telah diuraikan pada BAB III. Kelompok militer oposisi seperti SMC dan SLF mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Arab Saudi dan Qatar. Lebih spesifik Sofer dan Shafroth mengatakan bahwa konglomerat Arab Saudi dan Qatar memberikan dukungan kepada kelompok Islam radikal SIF. Jika dilihat lebih jauh, maka keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik di Suriah bukanlah tanpa sebab. Riki Rahman dan Zarina Othman mengungkapkan kebijakan Amerika Serikat merupakan wujud dari pengejawantahan kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat akan melakukan respon dengan cepat, melakukan tekanan, hingga intervensi militer terhadap negara-negara yang didalamnya Amerika 137
Zachary Laub, “Syria‟s Crisis and the Global response”, Council on Foreign Relation, 11 September 2013, tersedia di: http://www.cfr.org/syria/syrias-crisis-global-response/p28402; diunduh pada 25 November 2014.
71
Serikat memiliki kepentingan. Menurut Rahman dan Othman Amerika Serikat mempunyai fokus penguasaan pada bidang politik, ekonomi dan militer di Timur Tengah guna mempertahankan hegemoni serta kepentingan negaranya.138 Dari paparan Rahman dan Othman diatas, dapat diduga kuat bahwa di balik kebijakan Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi juga terdapat kepentingan Amerika Serikat. Amerika Serikat berupaya untuk meraih kekuasaan politik, ekonomi dan militer di kawasan Timur Tengah, dalam kasus ini di Suriah. Hal tersebut dilakukan baik secara langsung maupun melalui tekanan yang diberikan terhadap Qatar dan Arab Saudi untuk mendukung kelompok oposisi Suriah. Analisa keterlibatan Amerika Serikat dalam mendukung kelompok oposisi Suriah tersebut juga di sampaikan oleh Berzins. Amerika Serikat menurut Berzins mempunyai tujuan yang jelas dalam mendukung kelompok oposisi Suriah. Salah satu tujuannya adalah untuk menyebarkan demokrasi yang dianut oleh Amerika Serikat serta menguasai perekonomian Suriah. Selain itu Amerika mendukung kelompok oposisi karena Suriah selama ini merupakan aliansi Rusia dan Cina yang menghalang-halangi hegemoni Amerika Serikat.139 C. Dampak Kebijakan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah terhadap Konflik di Suriah
138
Riki Rahman dan Zarina Othman, “Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Isu Nuklir Iran”, Analisis CSIS, volume 43, no.2, (Juni 2014), hal 202-203. 139 Berzins, “Civil War in Syria”, hal 5.
72
Dukungan yang diberikan oleh Liga Arab kepada kelompok oposisi Suriah hingga skripsi ini ditulis belum mampu menggulingkan rezim Bashar serta menyelesaikan konflik di Suriah yang menjadi tujuan dari kebijakan Liga Arab tersebut. Upaya yang dilakukan Liga Arab secara diplomasi maupun kebijakan yang mengarah pada dukungan militer belum mampu membuahkan hasil yang diinginkan. Sementara konflik yang terjadi di Suriah terus berlanjut hingga kini dan belum juga dapat diprediksi masa depannya. Konflik di Suriah sering kali dipandang hanya sebagai konflik antara rezim pemerintahan Bashar dengan kelompok oposisi. Namun pada faktanya konflik yang terjadi di Suriah sangatlah rumit. Kelompok oposisi misalnya, yang terpecah dalam beberapa bagian dan tidak jarang diantara kelompok oposisi saling berperang. Data yang tercatat pada Institute for the Study of War menunjukan bahwa anggota dalam satu kelompok oposisi saja mencapai lebih dari seribu orang. Kelompok-kelompok oposisi tersebut juga sulit untuk diajak berunding untuk mencari solusi perdamaian. Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang durasi konflik di Suriah, bahkan lebih jauh jika kelompok oposisi saling terpecah dan rezim dapat digulingkan, maka konflik dapat dipastikan akan berlanjut di antara kelompok oposisi.140 Jonah Schulhofer-Wohl memandang bahwa bantuan militer yang diberikan kepada pihak oposisi hanya mempertahankan keberadaan kelompok oposisi di
140
Fotini Christia, “What Can Civil War Scholars Tell Us About the Syrian Conflict”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 9.
73
beberapa wilayah Suriah. Namun kelompok oposisi dengan bantuan tersebut belum mampu mengalahkan pemerintahan Bashar. Sehingga bantuan militer yang diberikan kepada kelompok oposisi Suriah hanya memperpanjang masa serta memperburuk konflik yang terjadi. Wohl mengatakan bahwa bantuan militer terhadap pihak oposisi mampu meningkatkan kesempatan untuk menggulingkan Bashar. Akan tetapi kemenangan tersebut menurutnya hanya akan memperburuk perang di Suriah atau memunculkan pemerintahan baru yang ekstrim. Hal tersebut ia kemukakan didasari dengan fakta bahwa kelompok oposisi yang terpecah.141 Argumen Jonah di atas juga sejalan dengan pendapat Cristia yang menyatakan bahwa dukungan yang diberikan oleh Arab Saudi, Qatar, serta kelompok jihad hanya akan membuat konflik semakin buruk.142 Sementara Alexander B. Downes menyatakan bahwa bantuan militer terhadap kelompok oposisi yang moderat sekalipun juga berbahaya. Jika kelompok rezim Bashar mampu digulingkan oleh kelompok oposisi moderat, maka kelompok oposisi moderat akan tetap menghadapi pertempuran dengan kaum Alawi pendukung Bashar yang tersisa dalam pertempuran maupun dengan kelompok oposisi radikal yang sebagain berafiliasi dengan alQaeda.143
141
Jonah Schulhofer-Wohl, “Fighting Betwen Allies and the Civil War in Syria”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 43. 142 Christia, “What Can Civil War Scholars Tell Us”, hal 10. 143 Alexander B. Downes, “Why Regime Change is Bad Idea in Syria”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 62.
74
Menurut Barbara F. Walter suatu perang sipil tidak akan berakhir dengan cepat. Walter menjelaskan bahwa perang sipil memiliki durasi rata-rata 10 tahun untuk berakhir. Perang sipil yang terjadi di Suriah menurutnya baru memasuki tahap awal dari perang sipil. Konflik ini menurutnya diperdiksi akan berlangsung di atas rata-rata perang sipil yang pernah terjadi dikarenakan kelompok oposisi yang mencapai setidaknya 13 kelompok berbeda. Selain itu, Walter juga memprediksi dengan kerumitan yang terjadi pada perang sipil di Suriah, konflik tersebut tidak akan selesai dalam meja perundingan, melainkan melalui perang yang berkelanjutan.144 Dari analisa di atas dapat dikatakan bahwa alasan Liga Arab mendukung kelompok oposisi Suriah dapat dikatakan tidak tepat. Hal ini diperkuat dengan data yang menunjukkan kelompok oposisi juga melakukan pelanggaran HAM serta melakukan kejahatan perang. Human Right Wacth mencatat bahwa pada Maret 2012 FSA melakukan pelanggaran HAM karena melakukan penangkapan, penganiayaan serta pembunuhan terhadap warga sipil Suriah. Selain itu Amnesti Internasional pada 25 Juli 2012 melaporkan bahwa kelompok oposisi Suriah telah melakukan pembunuhan yang tidak berlandaskan hukum terhadap pihak lawan.145 Kebijakan Liga Arab tersebut juga dinilai tidak tepat karena kelompok oposisi yang terpecah. Menurut Cunningham, kompleksitas kubu oposisi dalam konflik di
144
Barbara F. Walter, “The Four Things We Know About How Civil Wars End”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 29. 145 “The Crisis in Syria”, International Coalition for The Responsibility to Protect, tersedia di: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-syria; diunduh pada 26 November 2014.
75
Suriah sangat mempengaruhi kredibilitas serta kemampuannya dalam penyelesaian konflik yang sedang terjadi. Cunningham juga melihat bahwa kelompok oposisi sangat sulit untuk bersatu baik kelompok yang bertempur di medan perang maupun kelompok oposisi yang berjuang melalui diplomasi. Sehingga dukungan yang diberikan pada kelompok oposisi, terlebih dalam pemberian bantuan persenjataan sangat tidak tepat.146 Wendy Pearlman mengatakan bahwa terdapat resiko besar ketika memberikan bantuan pada kelompok oposisi Suriah yang terpecah tersebut. Pihak oposisi dapat menyalahgunakan bantuan tersebut ataupun bantuan akan jatuh terhadap kelompok ekstrimis yang berbahaya.147 Sementara Mehdi Hasan juga mengingatkan mengenai bahaya bantuan senjata yang diberikan oleh sekutu Amerika Serikat kepada pihak oposisi. Menurut Hasan, tidak ada jaminan senjata yang dikirim ke Suriah untuk tidak jatuh ke tangan kelompok opsosisi yang beraliansi pada al-Qaeda. Jika hal tersebut terjadi maka dapat menjadi bumerang terhadap Amerika dan sekutunya.148 Amerika Serikat berserta aliansinya seharusnya memberikan solusi untuk penyelesaian masalah Suriah, bukan nenambah kekacauan dengan mendukung kelompok oposisi. Negara-negara Barat dapat melakukan diplomasi dengan 146
Kathleen Gallagher, “Actor Fragmentation and Conflict Processes”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 34. 147 Wendy Pearlman, “Understanding Fragmentation in the Syrian revolt”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 40. 148 Mehdi Hasan, “If we arm the Syrian rebels, how do we stop British bombs and bullets getting to alQaeda?”, New Statesman, 1 Mei 2013, tersedia di: http://www.newstatesman.com/middleeast/2013/05/if-we-arm-syrian-rebels-how-do-we-stop-british-bombs-and-bullets-getting-al-qaed; diunduh pada 9 Desember 2014.
76
memberikan insentif terhadap Rusia untuk tidak lagi mendukung Bashar dalam perang sipil tersebut. Selain itu Amerika Serikat juga dapat menekan negara-negara aliansinya di Timur-Tengah untuk mengontrol kelompok-kelompok ekstrimis yang mereka dukung. Salah satu kunci penyelesaian perang sipil di Suriah berada pada Amerika Serikat. Sehingga segala kebijakan untuk menyelesaikan konflik di Suriah membutuhkan persetujuan Amerika Serikat.149 Pada BAB I juga telah dipaparkan bahwa kalaupun pihak oposisi yang didukung oleh Liga Arab mampu menggulingkan rezim Bashar secara militer maka tidak seketika itu pun konflik akan selesai. Glenn Robinson dan Madhav Joshi telah mengungkapkan penelitiannya yang memprediksi konflik yang lebih berbahaya jika pihak oposisi dapat menggulingkan pemerintah Suriah. Hal ini juga didukung oleh data pada BAB III yang menjelaskan kompleksitas kelompok oposisi Suriah. Kelompok-kelompok oposisi tersebut memiliki tujuan dan cara yang berbeda-beda untuk mencapai tujuannya dan tak jarang diantara kelompok oposisi saling berperang. Pada pertengahan tahun 2013 Masami Nishino mengungkapkan bahwa terdapat tiga skenario mengenai masa depan Suriah. Skenario yang pertama ialah Bashar mampu membasmi para pemberontak. Jika skenario ini terjadi diprediksi membutuhkan waktu lama dan biaya besar untuk mengembalikan stabilitas Suriah. Skenario kedua adalah kelompok oposisi mampu mengalahkan Bashar. Namun jika hal ini terjadi, maka konflik tidak akan langsung berhenti karena kamu Alawi yang 149
Ibid.,
77
tersisa akan melakukan balas dendam. Belum lagi banyaknya kelompok oposisi yang terdiri berbeda akan menimbulkan konlifk yang diprediksi meluas ke negara tetangga. Sedangkan skenario ketiga adalah perang sipil terus berlanjut, hingga kini skenario inilah yang sedang terjadi.150 Sedangkan Philipp Holtmann mempunyai analisa bahwa masa depan Suriah masih sulit untuk diprediksi. Menurutnya penyelesain konflik di Suriah secara politik akan berhasil jika melibatkan Amerika Serikat, Rusia, Iran, Turki, Qatar, dan Arab Saudi. Holtmann menilai salah satu solusi politik terbaik yang pernah diajukan untuk menyelesaikan konflik Suriah adalah usulan pada konvensi Genewa dua. Dalam konvensi tersebut terdapat himbauan kepada semua pihak yang terkait dalam konflik untuk berkomitmen terhadap “keutuhan wilayah Suriah, menyelenggarakan transisi politik, menghentikan kekerasan, menghentikan militerisasi, dan memberikan bantuan kemanusiaan”.151 Usulan lain yang juga dipandang mampu menyelesaikan konflik di Suriah dengan melibatkan semua pihak yang bertikai dalam suatu negosiasi. Dalam negosisasi tersebut semua pihak harus rela untuk berbagi kekuasaan dalam berbagai bidang di pemerintahan, khususnya di bidang politik dan militer. Hal ini setidaknya dilakukan hingga pemilu yang damai dapat diselenggarakan. Keseimbangan pada
150
Masami Nishino, “The Security Situation in Syria: Present Conditions and Future Prospects”, The National Institute for defense Studies News, Issue 177, (Juni 2013), hal 3. 151 Philipp Holtmann, “Syria – a Best Case, a Worst Case and two Most Likely Scenarios”, Perspective on Terrorism, volume 7, issue 3, (Juni 2013), hal 141.
78
kursi-kursi pemerintahan Suriah diperlukan untuk menekan perilaku semena-mena pihak militer serta guna menciptakan stabilitas.152 Upaya penyelesaian konflik di Suriah yang telah diupayakan maupun yang di wacanakan di atas menurut David E. Cunningham sulit mencapai tujuan. Hal tersebut karena terdapat begitu banyak pemegang hak veto dalam konflik Suriah. Veto yang dimaksud oleh Cunningham merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertikai untuk menggagalkan atau menolak penyelesaian konflik. Dalam hal ini veto melekat pada pemerintah Suriah dan kelompok oposisi yang sedang bertikai dalam penyelesaian konflik. Di pihak oposisi, veto tersebut tidak hanya digenggam oleh satu pihak karena kelompok oposisi memiliki banyak cabang yang berbeda. Hal tersebut ditambah lagi dengan keterlibatan negara asing yang juga memegang veto dalam penyelesaian konflik di Suriah. Penyelesaian konflik hanya akan berhasil jika melibatkan seluruh pihak pemegang hak veto tersebut.153 Dari penjelasan di atas maka dapat terlihat bahwa kebijakan Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi bukanlah kebijakan tepat dalam upaya penyelesaian konflik. Kebijakan tersebut tidak didasari dengan landasan yang tulus untuk menyelesaikan kekacauan di Suriah. Konflik di Suriah hingga skripsi ini ditulis masih berlanjut dan diprediksi akan terus berlangsung. Sedangkan upaya penyelesaian konflik hanya akan dapat tercapai jika semua pihak, baik yang terlibat secara 152
James D. Fearon, “Syria‟s Civil War”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 13. 153 David E. Cunningham, “Veto Players and Civil War in Syria”, Project on Middle East Political Science”, (18 Desember 2013), hal 26.
79
langsung mapun tidak langsung bersedia untuk berunding dan rela menempatkan perdamaian Suriah diatas kepentingan masing-masing.
80
BAB V KESIMPULAN Krisis yang terjadi di Suriah sejak tahun 2011 hingga akhir 2014 pada saat skripsi ini ditulis telah mengalami perkembangan yang semakin buruk. Suriah berubah menjadi arena perang sipil yang sangat rumit. Konflik tersebut melibatkan berbagai kelompok berbeda serta memiliki cara dan tujuan meraih cita-cita yang juga berbeda-beda. Konflik di Suriah juga telah menyedot perhatian negara-negara Timur Tengah bahkan perhatian masyarakat global. Lebih jauh konflik di Suriah menjadi semakin rumit karena dicampuri dengan kepentingan negara-negara penguasa seperti Amerika Serikat dan Rusia beserta sekutunya. Berbagai upaya penyelesaian konflik telah diupayakan, mulai dengan menggunakan cara diplomasi, bantuan senjata, hingga rencana intervensi militer. Salah satu rencana penyelesaian masalah intervensi militer melalui PBB gagal dilakukan karena mendapatkan tentangan dari Rusia dan Cina. Sedangan upaya diplomasi pada konvensi Genewa dua yang dipandang merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan konflik di Suriah juga belum mampu mencapai hasil karena tidak semua pihak sepakat dengan usulan tersebut. Salah satu harapan yang tersisa untuk menyelesaikan permasalahan konflik di Suriah adalah melalui Liga Arab. Akan tetapi Liga Arab memilih untuk hanya mendukung salah satu pihak saja yang terlibat dalam konflik. Kebijakan yang diambil
81
oleh Liga Arab tersebut telah bertentangan dengan fungsi dan tugas Liga Arab yang salah satunya adalah membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh anggota Liga Arab secara damai. Liga Arab telah mengalami perubahan dalam tubuh organisasinya. Fenomena Arab Spring telah merubah dominasi kepemimpinan Liga Arab yang sebelumnya berada pada tampuk Mesir dan Suriah ke tangan Qatar dan Arab Saudi. Hal tersebut diakibatkan Mesir dan Suriah yang fokus terhadap permasalahan yang melanda dalam negeri mereka. Pada sisi lain Qatar dan Arab Saudi yang didukung dengan ekonomi dalam negeri yang kuat mengambil alih dominasi mereka di Liga Arab. Pada momen tersebut Liga Arab juga meninggalkan norma untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota. Organisasi kawasan ini mencoba untuk aktif dalam mencampuri permasalahan yang terjadi pada negera anggotanya, khususnya pada konflik di Suriah. Namun demikian Liga Arab masih menerapkan standar ganda dalam menangani permasalahan yang dialami oleh negara anggotanya. Sebagai organisasi internasional, Liga Arab mestinya bersifat netral. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa anggota-anggota Liga Arab mempunyai kepentingan masing-masing. Liga Arab dalam kasus konflik di Suriah ini telah dijadikan alat oleh anggotanya, terutama oleh Arab Saudi dan Qatar yang memiliki dominasi didalamnya untuk mencapai kepentingan negaranya. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, Liga Arab tidak semata-mata dijadikan alat oleh Arab Saudi dan Qatar
82
untuk memenuhi kepentingannya saja. Kedua negara tersebut juga mendapat tekanan dari Amerika Serikat yang juga memiliki kepentingan di kawasan Timur Tengah. Para analis telah mengungkapkan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan bahwa upaya dipolomasi sangat sulit untuk menyelesaikan perang sipil yang terjadi di Suriah. Namun kebijakan untuk mendukung kelompok oposisi secara militer juga hanya akan memperparah konflik yang terjadi. Sehingga solusi terbaik untuk menyelesaikan perang sipil yang terjadi di Suriah adalah melalui jalur diplomasi dengan melibatkan semua pihak baik yang terlibat secara langsung di Suriah maupun pendukung dari masing-masing kelompok yang berada di luar Suriah. Upaya ini memang tidak akan mudah dan dapat segera tercapai, namun upaya diplomasi tersebut merupakan upaya terbaik yang perlu ditempuh untuk menyelesaikan perang sipil di Suriah.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Acharya, Amitav dan Alastair Iain Johnston. Crafting Cooperation: Regional International Institutions in Comparative Perspective. New York: Cambridge University Press, 2007. Baylis, John & Steve Smith. The Globalization of World Politics, An introduction to international relations. Third Editon, New York: Oxford University Press Inc, 2001. Clive, Archer. International Organization. London: Allen & Unwin Ltd, 1983. K. Nydell, Margaret.Understanding Arabs: A Contemporary Huide to Arab Society. Boston: Intercultural Press, 2012. Leverett, Flynt. Inheriting Syria: Bashar Trial by Fire. Washingon DC: The Brookings Institution, 2005. Lynch, March. The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of The Middle East. New York: Public Affairs, 2012. Neuman, W. Laurence. Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approaches. Second Edition, Pearson Education, Inc, 2007. Perwita, Anak Agung & Yanyan Yani. Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: Rosda Karya, 2006. Rachamawati, Iva. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012. Rosenau, James N. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research Theory. New York: The Free Press, 1969. Robert G. Rabil, Syria, The United States, and The War on terror in The Middle East. London: Praeger Security International, 2006. Rubin, Barry. The Truth About Syria, New York: Palgrave Macmillan, 2007. Toffolo, Cris E. Global Organizations: The Arab League. New York: Chelsea House, 2008.
xii
Ziadeh, Radwan. Power and Policy in Syria: Intelligence Services, Foreign Relations and Democracy in The Modern Middle East. London: I.B. Tauris, 2011.
Tesis: Maddox, Jacob M. Building Peace In A Post- Assad Syria, California, Naval Postgraduate School, Monterey, 2013.
Artikel Jurnal: Asseburg, Muriel dan Heiko Wimmen. “The Civil War and the Impotence of International Politics”, Peace Report, (2013): 72. Beck, Martin. “The Arab League: A New Policy Approach in the Making?”, Center for Mellemoststudier, (April 2013): 1-4. Berzins, Janis. “Civil War in Syria: Origin, Dynamics, and Possible Solutions”, National Defence Academy of Latvia, Strategic Review, no 7, (Agustus 2013): 1-10. Bruce, Maddy-Weitzman. “The Arab League Comes Alive”. Middle East Quarterly, volume 19, issue 3, (Summer 2012): 71-78. Chen, Wan & Jun Zhao, “The Arab League‟s Decision-making System and Arab Intergration”, Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia), Volume 3, no. 2 (2009): 59-66. Cunningham, David E. “Veto Players and Civil War in Syria”, Project on Middle East Political Science”, (18 Desember 2013): 26-28. Christia, Fotini. “What Can Civil War Scholars Tell Us About the Syrian Conflict”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 8-10. Daniel, Mandel. “False Dawn: The Arab Spring”. Institute of Public Affairs Review: A Quarterly Review of Politics and Public Affairs. Volume 64, issue 4, (Desember 2012): 25-27. De Groof, Melanie. “Arms Transfers to The Syrian Arab Republic: Practice and Legality”, Raport Du Grip, no: 9, (2013): 1-54.
xiii
Downes, Alexander B. “Why Regime Change is Bad Idea in Syria”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 61-63. Droz, Philippe & Vincent.” “State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria”. Middle East Journal, volume 68, no.1, (winter 2014): 33-58 Falahi, Ziyad. ”Prospek Regionalisme Timur Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas Kolektif Liga Arab,” Jurnal Kajian Wilayah. Volume 3, nomor 2 (2012): 189- 205. Fearon, James D. “Syria‟s Civil War”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 13-18. Gallagher, Kathleen. “Actor Fragmentation and Conflict Processes”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 34-36. Hinnebusch, Raymond. “Syria: From „Authorian Upgrading‟ to Revolution?”, International Affairs, Volume 88, No. 1 (2013): 95-113. Holtmann, Philipp. “Syria – a Best Case, a Worst Case and two Most Likely Scenarios”, Perspective on Terrorism, volume 7, issue 3, (Juni 2013): 135146. Jawed, M Nasir. “King Abdullah Warns of Syria Spilover”, The Muslim World League Journal, volume 41, no. 5&6, (April-Mei 2013): 1-48. Johansen, Henriette. “A Humanitarian Tragedy for Syrian Refugees”, Memo Middle East Monitor, (Januari 2014): 4-5. Kettis, Andreas. “EU-League of Arab States relations: Prospects for closer parlementary cooperation”, Policy Briefing European Parliament, (Mei 2013): 6-7. Kucukkeles, Mujge. “Arab league‟s Syrian Policy”, SETA Policy Brief, No. 56 (April 2012): 1-18. Landis, Joshua. “The Syrian Uprising of 2011: Why The Asad Regime Is Likely to Survive to 2013”, Middle East Policy, Volume XIX, no. 1, (Spring 2012): 73. Nishino, Masami. “The Security Situation in Syria: Present Conditions and Future Prospects”, The National Institute for defense Studies News, Issue 177, (Juni 2013): 3.
xiv
Pearlman, Wendy. “Understanding Fragmentation in the Syrian revolt”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 40-42. Pinfari, Marco. “Nothing but Failure? The Arab League and the Gulf Cooperation Council as mediators in Middle Eastern Conflicts”. Crisis State Research Center, Working Paper no. 45 (Maret 2012): 1-24. Rahman, Riki dan Zarina Othman, “Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Isu Nuklir Iran”, Analisis CSIS, volume 43, no.2, (Juni 2014): 202-203. Sofer, Ken dan Juliana Shafroth, “The Structure and Organization of the Syrian Opposition”, Center for American Progress, (14 May 2013): 5-7. Schulhofer-Wohl, Jonah. “Fighting Betwen Allies and the Civil War in Syria”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 42-44. Walter, Barbara F. “The Four Things We Know About How Civil Wars End”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 28-29. Wardoyo, Broto. “Anatomi dan Penyelesaian Konflik Internal di Suriah”, Analisis CSIS, volume 43, no. 2, (Juni 2014): 180-198. Yazigi, Jihad, “Syria‟s War Economy,” European Council On Foreign Relations, Volume 97, April (2014): 1-7.
Surat Kabar Cetak: Kuncahyono, Trias. “Suriah Dua Tahun Berlalu.” Harian Kompas, 15 Maret 2013, hal 10. Rahman, Mustafa Abd. “Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita Berlanjut.” Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10. “Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita Berlanjut,” Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10.
Internet:
xv
“Arab League agrees members have right to arm Syrian rebels”, Deutsche Welle, 26 Maret 2013, tersedia di: http://www.dw.de/arab-league-agrees-membershave-right-to-arm-syrian-rebels/a-16700903; diunduh pada 24 November 2014. “Arab League allows member states to arm Syrian opposition”, Al Arabiya News, 6 Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/News/2013/03/06/Arab-League-denies-giving-SyrianNational-Coalition-a-seat.html; diunduh pada 24 November 2014. “Arab League Welcomes Syria Opposition”, Aljazeera, 27 Maret 2013, tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/03/20133262278258896.html; diunduh pada 23 November 2014. “Arab League to the Syrians: Fight on”, Alakhbar, 7 Maret 2013, http://english.al-akhbar.com/node/15173; diunduh pada 25 November 2014. “Arab League split over Syria crisis”, Press TV, 3 September 2013, tersedia di: http://www.presstv.com/detail/2013/09/03/321808/arab-league-split-over-syriacrisis/; diunduh pada 30 November 2014. “Assad: Arab League lacks legitimacy after handing Syrias seat to opposition”, The National, 5 April 2013, tersedia di: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/assad-arab-league-lackslegitimacy-after-handing-syrias-seat-to-opposition#ixzz3KGRRzZnY; diunduh pada 26 November 2014. Byman, Daniel L. dan Kenneth M. Pollack, “The Syrian Spillover: Is anyone prepare for the unintended consequences of the war for Syria?”, Foreign Policy, 10 Agustus 2012, tersedia di: http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/08/10/the_syrian_spillover; diunduh pada 6 Nopember 2014. Constantine, Zoi. “Lebanon Divided over Syrian Suppoort”, The National, 16 November 2011, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middleeast/lebanon-divided-over-syrian-support; diunduh pada 29 Desember 2014. “Data suggests Syria death toll could be more than 60,000, says UN human rights office,” UN News Centre, 2 Januari 2013, tersedia di http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43866#.U31Y0tKSySo diunduh pada 19 Mei 2014. “Doha summit gives Arab states „right‟ to arm Syria rebels,” Al Arabiya News, 26 Maret 2013, tersedia di http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arabxvi
league-member-states-have-the-right-to-provide-military-assistance-to-Syrianrebels.html; diunduh pada 18 Mei 2014. Dickinson, Elizabeth. “Rebel leader al-Khatib takes Syria‟s seat at the Arab League. The National, 27 Maret 2013, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/rebel-leader-al-khatib-takessyrias-seat-at-the-arab-league; diunduh pada 27 November 2014. Hasan, Mehdi. “If we arm the Syrian rebels, how do we stop British bombs and bullets getting to al-Qaeda?”, New Statesman, 1 Mei 2013, tersedia di: http://www.newstatesman.com/middle-east/2013/05/if-we-arm-syrian-rebels-how-dowe-stop-british-bombs-and-bullets-getting-al-qaed; diunduh pada 9 Desember 2014. How Syria‟s Civil War is Spilling Over”, Aljazeera, 12 November 2012, tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2012/11/20121112193038751565.html; diunduh pada 4 Nopember 2014. “Introduction”, Arab Bank for Economic Development in Africa, tersedia di: http://www.badea.org/introduction.htm diunduh pada 22 september 2014. Laub, Zachary Laub. “Syria‟s Crisis and the Global response”, Council on Foreign Relation, 11 September 2013, tersedia di: http://www.cfr.org/syria/syriascrisis-global-response/p28402; diunduh pada 25 November 2014. Masters, Jonathan. “The Arab League”, Council of Foreign Relations, 26 Januari 2012, tersedia di http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arableague/p25967 diunduh pada 19 September 2014. Pedram, Shiva. “Syrian refugee Crisis Treathens Stability in the Middle East”, Center for American Progress, 12 Agustus 2014, tersedia di: http://www.americanprogress.org/issues/security/news/2014/08/12/95595/syrianrefugee-crisis-threatens-stability-in-the-middle-east/; di unduh pada 4 Nopember 2014. “Russia criticizes Arab League over Syria seat”, Aljazeera, 28 Maret 2013, tersedia di http://www.aljazeera.com/news/europe/2013/03/2013328173751138369.html diunduh pada 20 Mei 2014. Saab, Bilal Y. dan Andrew J. Tabler, “No Settlement In Damascus: The Danger of a Negotiated Peace,” Foreign Affairs, 2 Januari 2013, tersedia di http://www.foreignaffairs.com/articles/138739/bilal-y-saab-and-andrew-j-tabler/nosettlement-in-damascus diunduh pada 19 Mei 2014. xvii
“Saudi Arabia warns of Syria crisis regional spilover”, Al Arbiya News, 26 Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Saudi-Arabiawarns-of-Syria-crisis-regional-spillover.html; diunduh pada 30 November 2014. Sapronova, Marina. “The New Role of the Arab League in Regional and International Relations”, New Eastern Outlook, 17 Maret 2013, tersedia di http://journal-neo.org/2013/03/17/the-new-role-of-the-arab-league-in-regional-andinternational-relations/ diunduh pada 17 September 2014. Schanzer, Jonathan Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”, Foreign Policy, 27 Februari 2012, tersedia di: http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/27/saudi_arabia_is_arming_the_syria n_opposition; di unduh pada 30 November 2014. Spath, Andrew. “Opposition Groups in Syria: Myths and Realities”, Foreign Policy Research Institute, Januari 2012, tersedia di: http://www.fpri.org/articles/2012/01/opposition-groups-syria-myths-and-realities; diunduh pada 4 Nopember 2014. “Syria Civil War Map: December 2013”, Political Geography Now, 15 Desember 2013, tersedia di: http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-warmap-december-2013-12.html; diunduh pada 28 Maret 2014. “Syria Regional Respon Plan: January to December 2013”, United Nation, tersedia di: http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf; diunduh pada 25 Oktober 2014. Tokmajyan, Armenak. “A Brand New Arab League”, Middle East Online, 23 Mei 2013, tersedia di http://www.middle-east-online.com/english/?id=58941 diunduh pada 25 September 2013. The Crisis in Syria”, International Coalition for The Responsibility to Protect, tersedia di: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-syria; diunduh pada 26 November 2014. “24th Arab Summit Issues Doha Declaration” Arab League 24th Summit, 27 Maret 2013, tersedia di: http://arableaguesummit2013.qatarconferences.org/news/news-details-17.html; diunduh pada 23 November 2014.
xviii