Artikel Ilmiah
Kearifan Religi Masyarakat Banjar Pahuluan Alfisyah, Lumban Arofah, Mariatul Kiptiyah FKIP Unlam Banjarmasin Abstrak Tulisan ini berisi uraian tentang religi yang dianut oleh masyarakat Islam Banjar Pahuluan khususnya mereka yang tinggal di Desa Hulu Banyu Loksado. Religi mereka dalam beberapa hal mengandung berbagai kearifan yang menjadi media integrasi di antara mereka dengan masyarakat Dayak yang lebih dulu mendiami wilayah ini. Kearifan ini tercermin dalam kepercayaan yang mereka yakini dan ritual yang mereka jalankan. Oleh karena itu tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan lebih jauh tentang dua hal tersebut yang telah menjadi sumber kearifan lokal. Kata Kunci: Kerifan, Religi, Banjar Pahuluan
I.
PENDAHULUAN Suku Banjar merupakan kelompok mayoritas yang mendiami wilayah
Kalimantan Selatan. Pada awalnya kelompok ini banyak menempati wilayah pesisir dengan mata pencaharian utama berdagang. Namun belakangan, suku Banjar juga mulai menempati wilayah-wilayah pedalaman di sekitar pegunungan Meratus untuk menjalani kehidupan sebagai petani karet atau berladang sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Meratus pada umumnya. Salah satu wilayah pedalaman yang menjadi pilihan masyarakat Banjar untuk menjalani kehidupan adalah daerah Hulu Sungai atau disebut pahuluan. Tulisan ini bermaksud mengkaji kehidupan religi masyarakat Banjar pahuluan khususnya di Desa Hulu Banyu Kec. Loksado Hulu Sungai Selatan. Loksado merupakan salah satu wilayah masyarakat lokal yang banyak mendapat sorotan dan menjadi bahan kajian para peneliti. Di antara peneliti yang telah melakukan penelitian di daerah ini adalah Ana L. Tsing (1998) dan Haloe Noerid Radam (2001). Tsing lebih menyoroti dinamika hubungan sosial yang terjadi antara orang
1
Dayak dan orang Banjar, sedangkan Radam lebih banyak berbicara tentang Religi Suku Dayak (Bukit). Radam hanya sedikit menyingung tentang kehidupan sukubangsa Banjar yang sesungguhnya juga cukup banyak menempati wilayah ini meskipun pemukiman mereka lebih banyak berada di wilayah yang agak ke bawah dari pegunungan Meratus. Kehadiran suku Banjar sebagai mayoritas di wilayah ini menyebabkan kehadiran Islam tampak lebih menonjol dibanding kepercayaan Kaharingan yang dianut oleh masyarakat Dayak. Keyakinan Islam Banjar banyak memberi warna bagi kehidupan sosial masyarakat Loksado pada umumnya. Kenyataan bahwa masyarakat Islam Banjar hidup berdampingan dengan masyarakat Dayak membuat di antara mereka terjadi akomodasi-akomodasi teologis. Pada gilirannya perilaku keagamaan yang dijalankan oleh masyarakat Islam di Hulu Banyu membuat mereka dapat hidup berdampingan secara damai dengan suku Dayak yang (mayoritas) beragama Kristen atau Kaharingan. Orang Banjar di sini yang beragama Islam cukup toleran terhadap nilai-nilai dan norma-norma tetangga mereka yang orang Dayak. Meskipun orang Banjar menyatakan diri beragama Islam namun beberapa kepercayaan yang mereka yakini tidak memiliki sumber dalam ajaran agama Islam dan relatif berbeda dari kepercayaan masyarakat Islam pada umumnya dan masyarakat Islam pesisir Banjar pada khususnya. Demikian pula dalam praktik ritual, tampak ada beberapa praktik yang tidak umum dilaksanakan oleh pemeluk Islam pada umumnya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji lebih jauh tentang bagaimana kehidupan religi atau keagamaan orang Banjar di Loksado, khususnya di desa Hulu Banyu yang menurut klaim masyarakat merupakan desanya orang Banjar. Tampaknya ada kearifan lokal yang unik dalam dimensi keagamaan yang membuat orang Banjar di wilayah ini dan orang Dayak yang lebih awal menempati wilayah ini dapat hidup berdampingan secara damai. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kearifan lokal masyarakat yang terkandung dalam religi yang dianut masyarakat. Studi tentang agama dan kearifan lokal ini sama artinya dengan menunjukkan bagaimana nilai-nilai dan kearifan lokal telah berfungsi sebagai pendekatan baru dalam studi agama.
2
Konsep teologis yang dibangun oleh kelompok-kelompok lokal adalah bentukbentuk konsepsi teologis yang dikonstruksi atas inisiatif lokal. Keyakinankeyakinan keagamaan tiada lain merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri, dengan ritual keagamaan yang melaluinya solidaritas kelompok diperkuat. Karena kearifan lokal mampu mempertegas fungsi identitas teologis suatu kepercayaan keagamaan tertentu maka ia harus dijadikan basis kebijakan dalam setiap pengambilan keputusan. Kearifan lokal juga akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok yang dapat menjadi media integrasi masyaraka
II.
KERANGKA TEORITIK Salah satu definisi yang melihat religi sebagai suatu upaya simbolis
dikemukakan oleh J. van Baal. Menurut van Baal seperti dikutip Radam (2001: 2) religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri. Religi memuat data tentang keyakinan, ritus dan upacara, sikap dan pola tingkah laku, serta alam pikiran dan perasaan para penganutnya (Koentjaraningrat, 1974: 269-272). Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya. Sedangkan berbicara tentang fungsi agama dalam kohesi sosial adalah kajian fungsional atas agama, yaitu tentang hubungan antara agama dengan subsistem sosial yang lain. O’Dea (1966: 14-15) menyebutkan ada enam hal yang berkaitan dengan fungsi agama. Pertama, karena agama merujuk pada sesuatu yang di luar ia dapat merupakan support, hiburan, dan rekonsiliasi. Manusia memerlukan support emosional menghadapi ketidakpastian, hiburan ketika menghadapi
ketidakpastian,
hiburan
ketika
menghadapi
kekecewaan,dan
rekonsiliasi dengan masyarakat bila mengalami keterpencilan dari tujuan dan norma sosial.
3
Kedua, agama memberikan hubungan transendental melalui upacaraupacara per-sembahyangan, dengan demikian menyediakan rasa aman dan identitas yang kokoh di tengah sejarah yang selalu berubah. Ketiga, agama menyakralkan norma dan nilai masyarakat, menjaga kelestarian dominasi tujuan dan disiplin kelompok atas keinginan dan dorongan-dorongan individual (social control). Keempat, agama juga dapat berfungsi sebagai kritik sosial, norma-norma yang sudah melembaga ditinjau ulang. Dalam hal ini O’Dea menyebutnya sebagai fungsi profetic dari agama. Kelima, agama memberikan identitas, menyadarkan orang tentang “siapa mereka” dan “apa mereka”. Keenam, agama berfungsi dalam hubungannya dengan kematangan seorang individual dalam masyarakat (maturation function). Selain itu Kuntowijoyo (1998: 90) juga menambahkan lagi dua fungsi agama yang berhubungan dengan kohesi sosial dengan latar belakang masyarakat Indonesia, yaitu social solidarity dan economic welfare. Jadi, ketujuh agama dapat berfungsi dalam membentuk komunitas, dengan kata lain social solidarity. Kedelapan, agama juga berperan dalam pemeratan pendapatan, dalam economic welfare A. Sistem Kepercayaan atau Keyakinan Menurut Goffman seperti dikutip Horikoshi (1987: 148), setiap institusi memiliki seperangkat mekanisme yang menumbuhkan dan mengisi dirinya. Institusi itu menyiapkan suatu ideologi yang mengesahkan atau mengakui eksistensi institusi itu sendiri dan seperangkat hukum yang mengatur laku individu yang berkepentingan. Bagi pemeluk agama, ideologi dan seperangkat hukum ini biasanya mengacu pada dalil-dalil kitab suci maupun mitos yang diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi sebuah keyakinan yang dipercayai dan menjadi pandangan hidup. Keyakinan menurut Lislie A. White merupakan salah satu unsur yang membentuk religi. Namun keyakinan tanpa upacara belum dapat dikatakan sebagai religi (Firth, 1972: 216). Kedua unsur ini saling memperkuat. Keyakinan menggelorakan upacara, sedangkan upacara merupakan salah satu upaya membenarkan keyakinan.
4
Keyakinan dalam pengertian yang sempit meliputi keyakinan adanya ilah (ilah tunggal atau yang berbilang banyak) atau sesuatu yang dipandang adikodrati (supernatural) yang menggenggamdanmenentukan nasib manusia. Sedangkan menurut pengertian yang lebih luas, ia meliputi keyakinan kehidupan baru sesudah mati, tentang yang sakral dan yang duniawi, yang boleh dan yang dilarang, yang halal dan yang haram, yang baik dan yang jahat. Dengan keyakinan tersebut-keyakinan tersebut orang-orang berusaha memberikan dasar pertautan segenap tindakan dan hubungan-hubungannya (Firth, 1972: 225). Sistem keyakinan dalam suatu religi dijiwai oleh emosi keagamaan, tetapi sebalikya emosi keagamaan juga bisa dikobarkan oleh sistem kepercayaan. Seorang yang beragama Katolik yang masuk gereja Katolik dan melihat kemegahan altar dengan salib dan patung Yesus, bisa merasakan emosi tersebut dalam dirinya, padahal orang lain yang bukan Katolik mungkin masuk gereja itu dengan perasaan dingin tanpa emosi. Dalam hali ini salib dan patung Yesus adalah dua simbol yang mengorbankan jiwa seorang Katolik, karena dalam sistem keyakinan
Katolik,
salib
dan
Yesus
merupakan
unsur-unsur
utama
(Koentjaraningrat, 1987: 148). Data keyakinan dapat berupa pandangan orang-orang atau masyarakat yang bersangkutan tentang hidup sesudah mati atau segala sesuatu yang dipandang orang sebagai objek keramat dan dihormati atau segala sesuatu yang dipandang maha dahsyat yang sekalian orang berlaku tunduk kepadanya. Data religi bisa juga berupa sejumlah atau serangkaian tindak perbuatan seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi dan intoknasi (Koentjaraningrat, 1980: 81). Lebih jauh Anthony F.C. Wallace (1966) menyebutkan beberapa hal yang terkait dengan data religi yaitu berdoa atau bersembahyang yang ditujukan kepada yang adikodrati (supernatural), memainkan alat dan memperdengarkan musik yang diiringi oleh tarian dan nyanyian tertentu, melakukan perbuatan kinetik tertentu yang menggambarkan keadaan psikis tertentu, memberikan “peringatan” atau khotbah yang ditujukan pada orang lain, mengucapkan mantra yang
5
menyangkut mite, moral dan aspek tertentu sistem keyakinan, melakukan simulasi, menggunakan atau memakai benda tertentu yang diyakini mempunyai mana, berpantang tabu yakni tidak menggunakan atau menyentuh sesuatu, berpesta atau berselamatan, berkorban yakni menyediakan dan menyerahkan sesajen, berkongregasi seperti berkumpul bersama, berprosesi, berbaiat, bersemadi dan bersimbolisasi yakni menggunakan objek-objek atau peralatan simbolis tertentu. Menurut Nottingham (1985: 14) kepercayaan keagamaan dapat dirinci ke dalam dua hal, yaitu teologi, yang membicarakan Tuhan serta kosmologi, yang membicarakan alam semesta. Kepercayaan-kepercayaan keagamaan tidak hanya melukiskan dan menjelaskan makhluk-makhluk sakral dan alam gaib tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut memberitahukan bagaimana alam gaib itu dapat dihubungkan dengan dunia manusia yang nyata. Sedangkan ketika menjelaskan tentang keyakinan masyarakat
salah
sebuah
pesantren
di
Jawa,
Horikoshi
(1987:
149)
mengklasifikasi sistem keyakinan Islam menjadi keyakinan tentang kosmologi, Allah sang supernatural dan makhluk halus (lesser supernatural). Secara umum pembahasan tentang sistem keyakinan meliputi uraian di sekitar Yang Kudus dan Yang Propan, keyakinan atau kepercayaan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib, tentang hakikat hidup dan mati, tentang wujud dari dewa-dewa dan makhluk-makhluk halus lainnya. Selain itu pembahasan tentang keyakinan ini juga memuat uraian tentang mitos dan magi, termasuk di dalamnya adalah benda-benda atau tempat-tempat keramat. B. Ritual dan Fungsi Upacara Religi juga dapat dipahami melalui aspek tindakannya yaitu upacara (ritus atau ritual). Menurut Wallace upacara merupakan unsur yang esensial dalam religi. Wallace (1966: 68) menulis bahwa upacara adalah unsur religi yang terkecil; unsur itu dinyatakan dalam realitas dalam keanekaragamannya. Ada yang dirangkaikan satu dengan yang lainnya sehingga membentuk suatu kompleks rangkaian dan yang mempunyai urut-urutan yang stereotip: dan inilah yang disebut dengan sistem upacara.
6
Upacara terkadang tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional. Seperti upacara persembahan sesajen, ibadah keagamaan ini tidak bisa dipahami alasan ekonomi, rasional dan pragmatisnya. Upacara ini dilakukan orang dari dahulu sampai sekarang dan akan datang. Upacara yang tidak bisa dipahami alasan konkretnya ini lah yang dinamakan rites. Dalam bahasa Inggris rites berarti tindakan atau upacara keagamaan (Hornby, 1984: 733). Dalam disiplin ilmu antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus. Ritus adalah bagian dari tingkah laku keagaman yang aktif dan dapat diamati. Ritus mencakup semua jenis tingkah laku seperti memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, bersemadi (mengheningkan cipta), menyanyikan lagu gereja, berdoa (bersembahyang), memuja, mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci dan membaca. Koentjaraningrat (1974: 251) mengidentifikasikan sebelas unsur upacara (ritus), yakni bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama, berpuasa, intoksinasi, bertapa dan bersemedi. Sifat sakral pada ritus, seperti halnya benda-benda sakral, tidak tergantung kepada ciri hakikinya tetapi kepada mental dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan kepada konteks sosiokultural di tempat dilaksanakannya ritus tersebut (Nottingham, 1985: 15-16). Ritus ada yang dilakukan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara yang berkaitan dengan pertanian atau perladangan; ada upacara mengobati penyakit (rites of healing); ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia (rites of passage) seperti kelahiran, pernikahan, kehamilan, kelahiran; dan ada pula upacara berupa kebalikan dari kebiasan kehidupan harian (rites of reversal) seperti puasa pada bulan atau hari tetentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan dan minum pada siang hari (Norbeck dalam Agus, 2006: 96-97). Dirk mengikuti Geertz, Durkheim dan Robertson Smith, menyebutkan bahwa di dalam melihat ritual, dia lebih menekankan pada bentuk ritual sebagai penguatan ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok.
7
Integrasi itu dikuatkan dan diabadikan melalui simbolisasi ritual atau mistik (Syam, 2005: 19) . Ritual keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat. Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial suatu kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu mengganggu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita (Haviland, 1985: 207). Radam (2001: 10) menggolongkan upacara menjadi yang kalendaris dan non kalendaris. Yang pertama biasanya dilakukan secara bersama-sama sedangkan yang terakhir dilakukan secara individual. Sedangkan para ahli antropologi mengklasifikasikan upacara atau ritual menjadi upacara peralihan (rites of passage) dan upacara intensifikasi (rites of intensifications). Upacara peralihan adalah upacara yang berkaitan dengan tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia. Adapun upacara intensifikasi adalah upacara yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu (Haviland, 1985: 207). Upacara intensifikasi menurut Haviland (1985: 208) pengaruhnya mempersatukan semua orang dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga ketakutan dan kekacauan berganti menjadi tindakan bersama dan optimisme tertentu. Keseimbangan hubungan di antara semua orang yang tadinya kacau menjadi normal kembali. Peribadatan atau upacara menurut Radcliffe-Brown seperti dikutip Betty R. Scharf (2004: 75) juga memiliki fungsi sosial tertentu ketika, dan sampai batas tertentu, peribadatan-peribadatan itu berfungsi untuk mengatur, memperkokoh dan mentransmisi kan berbagai sentimen, dari satu generasi kepada generasi lainnya, sebagai tempat bergantung bagi terbentuknya aturan mansyarakat bersangkutan.
III. PEMBAHASAN Religi masyarakat Hulu Banyu dapat dikatakan sebagai Islam Banjar dengan warna lokal yang khas. Kekhasan tersebut nampak dari berbagai
8
kepercayaan dan praktek ritual yang mereka jalankan. Kepercayaan dan ritual dengan warna lokal ini dalam beberapa hal telah membuat ikatan solidaritas antara orang Banjar yang beragama Islam dengan buhannya yang beragama Kaharingan tetap berlangsung dengan baik tanpa terusik oleh orientasi keagamaan yang berbeda. Salah satu yang menarik dan unik yang banyak terlihat dalam kehidupan masyarakat Hulu Banyu adalah kepercayaan kepada kekuatan yang terkandung dalam foto-foto tuan guru. Hampir di semua rumah yang ada di Hulu Banyu terdapat gambar tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama yang umum dipajang di dinding rumah mereka di antaranya adalah tuan guru H. Zaini Ghani, KH. Zainal Ilmi dan lain-lain. Pemasangan foto-foto tokoh agama ini dimaksudkan untuk memberi nuansa sakral di rumah mereka. menurut mereka dengan memasang foto-foto tersebut mereka akan mendapatkan berkah dan apuah yang terdapat dalam foto-foto tersebut. Pandangan ini mereka dapatkan dari cerita-cerita orang Banjar yang sering datang ke Hulu Banyu untuk berjualan. Mereka percaya kepada adanya Tuhan, nabi, dan malaikat. Kepercayaan mereka terhadap nabi Muhammad sebagai nabinya orang Islam juga dibarengi dengan kepercayaan terhadap keberadaan Nabi Isa sebagai nabinya umat Kristen. Menurut mereka Nabi Isa dan Nabi Muhammad adalah badingsanak (bersaudara), sehingga menurut mereka semua manusia adalah bersaudara. Nabi adalah orang yang wajib menyampaikan wahyu kepada umatnya. Jumlah nabi ada 25 dan nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW. Mereka juga memiliki kepercayaan terhadap hal-hal gaib atau makhluk halus dan tempat-tempat keramat seperti makam Said Ibnu Arifin dan maka-makam ulam Banjar lainnya serta percaya pada benda-benda keramat seperti wafak dan jimat. Kepercayaan masyarakat mengenai keberadaan alam sekitar yaitu tidak jauh dari konsep Islam pada umumnya yaitu bahwa yang menciptakan alam semesta ialah Tuhan. Kepercayaan masyarakat tentang asal usul manusia berasal dari datu Adam dan datu Hawa yang memiliki 41 anak. Sedangkan upacara ritual yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Hulu Banyu berkisar pada ritual peralihan seperti upacara kelahiran, perkawinan dan
9
kematian. Upacara-upacara ini dilaksanakan sebagaimana tata cara kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Islam Banjar pada umumnya meskipun dengan cara yang lebih sederhana. Mereka juga melaksanakan ritual yang sifatnya rutin sebagai bentuk pelaksanaan dari rukun Islam seperti sholat, puasa, zakat dan naik haji. Sholat dilaksanakan dengan cara-cara yang banyak dijalankan oleh kaum tua atau kalangan tradisionalis, seperti menjalankan sholat subuh dengan mengangkat tangan (qunut) dan pelaksanaan ritual tahlil serta haul untuk memperingati upacara kematian. Sedangkan pelaksanaan ibadah haji hanya dilakukan oleh satu orang meskipun ada cukup banyak orang yang memungkinkan secara ekonomi untuk melaksanakannya. Tampaknya ibadah haji bukan merupakan sesuatu yang “harus dan penting” untuk segera dilaksanakan seperti kebanyakan anggapan orang Banjar pada umumnya. Meskipun tidak ada institusi khusus yang melakukan pengelolaan terhadap kegiatan kematian namun masyarakat tetap melaksanakannya dengan cara baturukan (pengumpulan dana) untuk membantu pelaksanaan haul bagi masyarakat yang tidak mampu. Salah satu bentuk bantuan dan ucapan belasungkawa yang diberikan masyarakat adalah melalui pemberian sumbangan berupa beras, bawang,garam maupun bumbu dapur lainnya. Upacara kematian juga dilaksanakan melalui beberapa tahap seperti yang dilaksanakan oleh kaum tradisionalis seperti manigahari (upacara kematian di hari ketiga), manyalawi (upacara kematian hari ke dua puluh lima), manyaratus (upacara kematian hari ke seratus) dan lain-lain. Ritual selamatan merupakan suatu ritual yang sangat umum dilaksanakan oleh masyarakat Islam Hulu Banyu. Selamatan pada masyaraat Islam Hulu Banyu banyak terpusat pada upacara di sekitar perladangan. Upacara itu meliputi selamatan sebelum menanam padi (bamula batanam) dan panen. Upacara yang berkaitan dengan pembangunan rumah juga merupakan upacara yang biasa dilaksanakan oleh penduduk Hulu Banyu. Ritual ini biasa disebut dengan mamuat tihang (mendirikan tiang rumah). Sedangkan ritual intensifikasi seperti ritual tulak
10
bala dan sholat minta hujan sangat jarang dan hampir tidak pernah dilaksanakan oleh masyarakat Hulu Banyu. Mereka juga melaksanakan berbagai ritual yang sifatnya kalendrikal dan nonkalendrikal dan seperti kebanyakan masyarakat Islam lainnya. Salah satu ritual kalendrikal yang paling meriah di kalangan masyarakat Hulu Banyu adalah mauludan. Mauludan merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan untuk memperingati
kelahiran nabi
Muhammad
yang
dilaksanakan mengikuti
penanggalan hijriyah yaitu setiap bulan rabiul awal. Selain itu ritual kalendrikal yang juga pernah dilaksanakan oleh masyarakat Hulu Banyu adalah pelaksanaan ibadah kurban pada hari raya Idul Adha. Namun karena alasan distribusi yang tidak memuaskan beberapa fihak sehingga terjadi perselisihan maka pelaksanaan kurban tidak dilaksanakan lagi. Terlepas dari itu semua, ada banyak praktek ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Hulu Banyu seperti juga kebanyakan praktek orang Banjar pada umumnya meskipun dengan kualitas yang berbeda. Kearifan religi masyarakat Hulu Banyu dapat dilihat dari mitos tentang geneologi Nabi Muhammad dan Nabi Isa seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan mitos tersebut maka kontestasi negatif dalam konteks agama menjadi semakin kecil. Oleh karena itu meskipun agama Islam dan agama Kristen merupakan agama da’wah (mesianis) namun tarik menarik pengikut menjadi dapat dihindarkan dengan adanya mitos tersebut. Para penganut Islam di Hulu Banyu maupun penganut Kaharingan (Kristen) tidak merasa perlu untuk “memaksa” seseorang untuk mengikuti keyakinannya atau berpindah keyakinan karena mereka adalah badingsanak (bersaudara). Keyakinan apapun yang mereka anut baik Islam maupun Kaharingan(Kristen) adalah sama saja. Mitos tentang geneologis Nabi Muhammad dan Nabi Isa ini menunjukkan tentang bagaimana geneologis orang Banjar yang diidentifikasi sebagai Islam dan orang Dayak yang “dilabelkan” dengan Kristen. Melalui mitos ini orang dapat mempelajari rahasia asal muasal segala hal untuk bisa masuk ke dalam hubungan yang hidup dengannya (Dhavamony, 1995). Mitos ini juga menjadi alat untuk menjelaskan asal muasal orang Banjar dan orang Islam dan menegaskan hubungan keduanya.
11
Dalam konteks ini mitos menjadi fungsional sebagai kekuatan yang mempranatakan masyarakat. Mitos dan agama sebagai satu kesatuan tersusun memainkan peranan penting dalam hidup sosial. Mitos dapat menjadi kekuatan pemersatu meskipun terkadang ia juga dapat menjadi kekuatan pemecah seperti dikemukakan oleh Malinowski (1954). Mitos dalam dimensi religius dilihat sebagai faktor yang menciptakan kembali atau mengubah orang-orang kepada siapa motos tersebut dikomunikasikan, dan mengubah kemampuan penerimanya untuk melaksanakan tugas menurut status baru yang diperolehnya. Mitos dipahami sebagai yang mempunyai kekuatan penyelamatan tertentu, yang tanpanya orang akan kalah atau tak akan mampu melakukan tugas dalam status sosial yang baru tersebut. Selain mitos tersebut kearifan juga hadir dalam kepercayaan mereka terhadap kuburan keramat. Bagi masyarakat Islam di Hulu Banyu kuburan seorang ulama merupakan kuburan keramat yang baik untuk di ziarahi. Kuburan keramat ulama menjadi sebuah media untuk menyampaikan segala keinginan dan rasa syukur atas suatu keberhasilan. Orang Islam di Hulu Banyu pada umumnya melakukan ziarah ke makam Said Ibnu Arifin yang ada di desa Tanuhi untuk memenuhi nazar mereka. Jika panen mereka mendapatkan hasil yang baik maka mereka akan bernazar meletakkan kain kuning di makam keramat Said Ibnu Arifin. Bahkan jika mereka memiliki kemampuan yang lebih maka mereka akan melakukan ziarah ke Makam Guru Ijai –seorang ulama kharismatis berasal dari Martapura- yang berada di wilayah Sekumpul Martapura. Kebiasaan ziarah ke makam keramat ini juga dilakukan oleh masyarakat Dayak Hulu Banyu (buhannya). Mereka juga memiliki kebiasaan mengunjungi makam keramat Said Ibnu Arifin untuk mensyukuri hasilpertanian mereka. bahkan mereka juga terkadang ikut bersama-sama orang Islam Hulu Banyu lainnya mengunjungi makam Guru Ijai di Martapura. Selain mengunjungi makam Guru Ijai, masyarakat Dayak Hulu Banyu juga biasa memajang foto-foto ulama atau tuan guru Islam Banjar seperti foto atau gambar Guru Ijai dan keturunannya serta ulama Islam lainnya. Mereka percaya bahwa foto dan gambar tersebut dapat mendatangkan apuah bagi pemilik rumah
12
yang memajang foto tersebut di rumahnya. Meskipun mereka tidak mengenal dengan baik siapa sesungguhnya tokoh yang ada dalam foto tersebut namun menurut mereka foto tersebut dapat berakibat baik seperti yang sering mereka dengar dari orang-orang Banjar yang menawarkan foto tersebut ke rumah-rumah mereka. Dalam dua konteks tersebut religi menjadi media mempertemukan berbagai segmen masyarakat khususnya antara masyarakat Banjar dan Dayak. Seperti dikemukakan oleh Syam (2005), makam merupakan salah satu medan budaya atau cultural sphere yang mempertautkan berbagai segmen masyarakat di dalamnya. Di makam terdapat kegiatan budaya berupa ziarah, memanjatkan doa dan melaksanakan nazar sebagai rasa syukur. Makam menjadi medan budaya untuk mempertemukan
berbagai kepentingan dari pendukungnya untuk
melakukan kegiatan ritual. Dalam berbagai kegiatan ritual yang dilakukan di makam tersebut terdapat pola bagi tindakan untuk melestarikan tradisi leluhur. Seperti juga makam, foto juga menjadi media mempertemukan dua segmen masyarakat di Hulu Banyu yaitu masyarakat Banjar dan Dayak. Ia juga menjadi medan budaya yang dapat menjadikan dua kelompok yang berbeda menjadi terintegrasi dan menjadi bagian dari kelmpok yang lain. Ia juga menjadi penegas atas posisi mereka di antara lainnya. Akhirnya makam dan foto ulama menjadi medan budaya yang mempertemukan masyarakat Dayak dan masyarakat Banjar dalam satu tradisi yang sama. Hal ini lah yang menyebabkan adanya kedekatan antara orang Dayak dan orang Banjar di Hulu Banyu.
13
IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan Kearifan religi yang terdapat dalamakomodasi yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Islam tercermin dalam berbagai kepercayaan dan praktek ritual mereka yang meliputi:
Kepercayaan kepada adanya Tuhan, nabi dan malaikat. Kepercayaan mereka terhadap nabi Muhammad sebagai nabinya orang Islam juga dibarengi dengan kepercayaan terhadap keberadaan Nabi Isa sebagai nabinya umat Kristen. Menurut mereka Nabi Isa dan Nabi Muhammad adalah badingsanak (bersaudara). Mereka juga memiliki kepercayaan terhadap hal-hal gaib atau makhluk halus, tempat keramat seperti makam ulama dan apuah dari gambar-gambar ulama.
Kepercayaan kepada makam keramat dan praktek ziarah serta melakukan nazar menjadi medan budaya yang mempertemukan orang Dayak dan orang Banjar di Hulu Banyu.
Diferensiasi yang terjadi di kalangan masyarakat Hulu Banyu diminimalisir dengan tidak mengidentifikasi seseorang atas dasar agama tetapi pekerjaannya. Orang banjar menyebutorang Dayak dengan sebutan buhannya dan orang Dayak menyebut orang Banjar dengan sebutan dagangnya
B. Saran Kepada masyarakat di luar Hulu Banyu agar lebih bijaksana dan simpatik menilai berbagai kepercayaan dan prakytek beragama masyarakat lokal karena dibalik tradisi keagamaan tersebut terkandung sebuah kearifan yang dapat menjadi media integrasi masyarakat. Bagi penentu kebijakan agar lebih memberikan ruang terhadap berbagai tradisi kegamaan lokal agar dapat berkembang, khususnya terhadap berbagai ritual lokal yang memiliki nilai kearifan
14
Daftar Pustaka Agus, Bustanudin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Dhavamony, Mariassusai. 2000. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Pers Firth, Raymond. 1972. Element of Social Organization. Boston: Beacon Press. Garna, Judistira K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: CV. Primaco Akademika Haviland, William A. 1985. Antropologi. Jakarta: Erlangga Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M Hornby, A.S. 1984. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press Koentjaraningrat, 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia Kuntowijoyo, 1998. “Agama dan Kohesi Sosial” dalam Jurnal Humaniora No. 9 November-Desember 1998 Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Nasution. 1988. Metode Naturalistik Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat: suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali O’Dea, Thomas F. 1966. The Sosiology of Religion. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall. Inc Pritchard, E.E.Evans.1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. terjemahan H.A.l. Yogyakarta: Pusat Latihan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Radam, Haloei Noerid. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS Wallace, Anthony F.C, 1966. Religion: An Anthropological View. New York: Random House
15