KEADILAN DAN KESETARAAN DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PENGIDAP DISLEKSIA Oleh: Retno Susilowati *)
ABSTRACT: Dyslexia means difficulty associated with
words or symbols written. So dyslexia is a learning disability on a person’s condition caused by the child’s difficulties in performing activities of reading and writing. Dyslexia is a difficulty learning or learning difficulties syndrome components in words and sentences and learn everything related to time, direction, and time. This can be seen when the child is asked to read the letter and number of the child having difficulty. For people with dyslexia when he was ignored then they will feel marginalized, hopeless and have no ideals. With the birth of inclusive education it is helping people with dyslexia to overcome the shortcomings, so they can help their parents and teachers to be able to read and write. Patience and perseverance are also needed for psychologists where they become meaningless. They facilitated par with other children, and treated equality. Equality in words and deeds. Thus, equality and justice for people with dyslexia sufferers for both boys and girls are treated fairly as possible so that the purpose of forming a qualified child will be realized.
Keyword: Equality, Dyslexia, inclusion A. Pendahuluan Kebijakan pemerintah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan International Education For All (EFA) atau yang diterjemahkan dengan Pendidikan untuk Semua (PUS) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global di Dakkar, Senegal tahun 2000. PUS pada dasarnya sangat relevan dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UUSPN No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan dan Layanan Khusus. *) Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Sedangkan pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca tahun 1994. Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui SK Mendiknas NO.002 /U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang melayani penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Anak Berkebutuhan khusus menurut SK Mendiknas di atas adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan baik itu dari segi fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional dibanding dengan anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Sekolah merupakan suatu wadah atau tempat bagi setiap anak belajar secara formal untuk mendapatkan layanan pendidikan sebagai bekal bagi mereka dalam menghadapi masa depannya. Setiap anak menginginkan mereka dapat diterima dan menjadi bagian dari komunitas sekolah baik itu di kelas, dengan guru, dan teman sebaya. Penerimaan yang baik di lingkungan sekolah akan membantu anak untuk dapat bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas yakni dalam lingkungan masyarakat. Hal ini juga berlaku pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dewasa ini, sebagian anak yang berkebutuhan khusus sudah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah regular, namun karena ketiadaan pelayan khusus bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Akibat lebih lanjut, program wajib belajar pendidikan 9 tahun akan sulit tercapai. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah regular yang disebut dengan istilah “pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusi”. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua pesarta didik baik yang normal maupun berkelainan di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak untuk dapat
249
250
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu dengan guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Setelah kurikulum pendidikan inklusi ini selesai dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan jenis kelainan peserta didik, maka langkah pokok berikutnya adalah menyiapkan atau mengadakan serta mengelola sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengembangkan potensi anak. Agar tidak terlalu memberatkan maka setiap kelas sekolah inklusi hanya menampung peserta didik yang mengalami kelainan jenis. Pengadaan dan pengelolaan sarana dan prasarana dapat menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang tua dan masyarakat, serta pihak-pihak terkait yang sifatnya tidak mengikat dengan melibatkan komite sekolah. Untuk kepentingan pendidikan inklusi, peserta didik yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: tunanetra atau gangguan penglihatan; tunarungu atau gangguan pendengaran; tunawicara atau gangguan komunikasi; tunagrahita atau gangguan kecerdasan; tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan; tunalaras atau gangguan perilaku dan emosi; anak kesulitan belajar; dan autis. Kemudian, berdasar tingkat kecerdasan peserta didik terdapat peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah normal, di atas normal, dan kesulitan belajar. Anak yang memiliki kecerdasan di bawah normal yaitu peserta didik yang lamban belajar (Slow leaner) dan tunagrahita, sehingga untuk menyelesaikan materi pelajaran tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding peserta didik seusianya. Peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah normal diantaranya: tunanetra, tunarungu termasuk peserta didik yang mengalami gangguan komunikasi, tunadaksa, tunalaras. Adapun anak berkesulitan belajar diantaranya: berkesulitan belajar dalam membaca (Disleksia); berkesulitan belajar dalam menulis (Disgrafia); berkesulitan belajar dalam berhitung (Diskalkulia). Peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas normal yaitu peserta didik yang memiliki kondisi sebagai berikut: tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah; kesulitan bergaul atau
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
bersosialisasi dengan teman; kemampuan membaca yang rendah; tidak mampu memusatkan perhatian; prestasi belajar jauh dibawah teman-teman sekelasnya; gangguan mobilitas atau gangguan kondisi fisik dan lain-lain. B. Kesulitan Belajar Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebabsebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan. Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa. Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimana kelumpuhan atau kebutuhan gangguan belajar (learning disorder) adalah kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal lainnya. Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan. Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada
251
252
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka. Dari sejumlah pendapat tersebut, kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti: a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki; b)
Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidakfungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat indra atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya. d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anakanak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada hasil belajar (sekolah) yang buruk. e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama. Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis penyakit cacar air atau campak. Cacar air dan campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya. Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa, sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya, potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan anak didiknya di sekolah. C. Macam-Macam Kesulitan Belajar Siswa Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidakwajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar, namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar. Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, diantaranya: a) Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa; b) Permasalahan dalam hal kemampuan akademik; c) Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas. Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
253
254
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
D. Pengertian Disleksia Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu menulis pada anak disleksia. Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak. Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8 persen anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, di mana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca, membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak. Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka (Mercer, 1983).
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajar membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada baris yang terlompat tidak terbaca. Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca. Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejalanya tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat. Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan. Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar. Disleksia dapat diamati dengan timbulnya beberapa gejala berikut: Sulit mengeja dengan benar, satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan; Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal: b-d, u-n, atau m-n; Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan; Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata;
255
256
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata pelajaran diucapkan menjadi perjalanan. Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia. Solusi bagi gangguan belajar yang dialami oleh penderita disleksia dalam kegiatan pemelajarn di kelas diawali dengan adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru. Anak duduk di barisan paling depan di kelas; Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50; Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas); Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup; Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama; Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag: k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa: r, n, m, h;
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding temantemannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah dan tidak percaya diri. Jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekalisekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia. Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut: 1. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata; 2. Tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis; 3. Menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis; 4. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama; 5. Menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan; 6. Mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca. E. Faktor Penyebab Disleksia 1. Faktor keturunan Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia
257
258
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
menernukan gen DCDC2 di daerah kromosom 6. Diduga, faktor penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. 2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan. Apabila dalam lima tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli. 3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa. Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa. F. Macam-macam Disleksia Macam-macam disleksia adalah sebagai berikut: 1. Disleksia Murni, yang meliputi: 1) Disleksia visual, Disebabkan oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering terbalik, misalnya: b dengan p, p dengan q. 2. Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual (penglihatan), auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentukbentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata tertulis. 3. Disleksia Tidak Murni. Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa (difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya, sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca, banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah dibacanya. Menurut kategori lain macam-macam disleksia adalah sebagai berikut: a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam mengintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 5:1.
259
260
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena dipengaruhi faktor emosi. Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponenkomponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. “Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat, antara lain melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut: 1. Mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatanketerlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak; 2. Menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada; 3. Memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca; 4. Melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya; 5. Menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan; 6. Mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game. Aneka Keterlambatan yang Mengarah ke Disleksia Peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia ini adalah: 1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya. 2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya. 3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar. 4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses perkembangannya. 5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau hampir sama. 6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi. 7. Mengalami hambatan pendengaran. 8. Rancu dalam memahami konsep kiri kanan, atas-bawah, utaraselatan, timur-barat. 9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras 10. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, dan sebagainya. 11. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu. 12. Sulit mengikat tali sepatu. 13. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya. 14. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis. 15. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama. 16. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk telepon.
261
262
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
G. Ciri-Ciri Anak Disleksia Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Sebelumnya, di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya: 1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional. 2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata “saya” urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a. 3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata. 4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama. 5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th. 6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya. 7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. 8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya “hal” menjadi “lah” atau “Kucing duduk di atas kursi” menjadi “Kursi duduk di atas kucing.” 9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi. 10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis. 11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah. 12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik. 14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun. 15. Menempatkan paragraf secara keliru. H. Keadilan dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia Pendidikan terpadu saat ini diarahkan menuju Pendidikan Inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus, yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal, Pendidikan inklusif memiliki 4 karakteristik makna yaitu: a. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman anak. b. Pendidikan inklusif berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan dalam anak belajar. c. Pendidikan Inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang hadir (di sekolah) berpartisipasi dan mendapatkan hasil yang bermakna dalam hidupnya. d. Pendidikan inklusif diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan pelayan pendidikan khusus dalam belajar. Bagi pengidap disleksia pendidikan inklusif sangat diperlukan. Beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: a. Metode multi-sensory Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara
263
264
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf. b. Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat. Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anakanak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut. Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anakanak yang memiliki masalah dengan membaca. Cara yang dilakukan oleh orang tua. Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Membuat jadwal harian untuk membiasakan anak membaca; 2. Istirahat sejenak apabila terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh; 3. Memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya; 4. Membuat target-target yang ingin dicapai; 5. Memberi reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan. 6. Membuat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata. 7. Mulai dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak anda terpancing untuk menyimak. 8. Membuat aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca. 9. Membaca dengan suara keras di hadapan anak. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca.
265
266
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog) bisa memberikan terapi apabila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini: 1) Setres karena takut belajar membaca; dan 2) Permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami. I. SIMPULAN Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau ketrampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan. Bagi pengidap disleksia ini apabila dia diabaikan maka mereka akan merasa termarginalkan, putus asa dan tidak punya cita-cita. Dengan lahirnya pendidikan inklusi maka sangat menolong pengidap disleksia untuk bisa mengatasi kekurangannya, sehingga mereka dapat dibantu orang tuanya dan gurunya untuk bisa membaca dan menulis. Kesabaran dan ketekunan para psikolog juga diperlukan agar keberadaan mereka menjadi berarti. Mereka difasilitasi setara dengan anak-anak lain, dan diperlakukan adil. Adil dalam tutur kata dan perbuatan. Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan bagi pengidap disleksia baik itu pengidap untuk anak laki-laki maupun anak perempuan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, sehingga tujuan membentuk anak yang berkualitas akan terwujud.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
SUMBER RUJUKAN Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Clark, Barbara. 1983. Growing up Gifted. London: Charles E. Merril. Gunarsa, Singgih D. 1981. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa, Singgih D dan Gunarsa, Yulia Singgih D. 1986). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hornsby, Beve. 1984. Overcoming Dyslexia. Singapore: PG Publising Pte.Ltd. Lerner, Janet W. 1988. Learning disabilities: Theories, Diagnosis, and Teaching Strategies. New Jersey: Houghton Mifflin Company. Suryabrata, Sumadi. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. ------------------------. 1991. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali. Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
267