KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “KONSEP KEADILAN DALAM AL-QUR’AN DAN KEMUNGKINAN DALAM KEHIDUPAN MODERN ” Makalah ini membahas tentang Konsep Keadilan Al Qur’an Dalam Kehidupan Modern. Diharapkan pembaca akan mengerti dan memahami tentang Al Qur’an dan Modernisasi. Berangkat dari kekurangan Penulis dalam menyusun makalah ini, diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridloi segala usaha kita. Amin.
Tuban, 08 Desember 2012.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................. i Daftar Isi ......................................................................................................... ii BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ........................................................... 2
BAB II
: PEMBAHASAN A. Pengertian Adil ................................................................ 3 B. Konsep Keadilan Dalam Al Qur’an ............................... 7
BAB III
: AL-QUR’AN DAN MODERNISASI A. Modernisasi ...................................................................... 11 B. Pertautan Al-Qur’an dengan Modernisasi ................... 13
BAB IV
: PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ranah historis, manusia telah mengenal peradaban sejak kurang lebih 60 abad yang lalu di lembah Sawad (Mesopotamia). Manusia mulai menemukan sistem pertanian sebagai perkembangan dari cara hidup yang hanya bergantung pada hasil berburu, di samping penemuan mereka di bidang penjinakan binatang. Sudah tentu tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama, sehingga masing-masing individu memilih untuk melakukan upaya sesuai dengan kemampuannya, yang pada akhirnya pilihan itu mengakumulasi sejumlah orang yang memiliki kecenderungan yang sama. Hal inilah yang kemudian melahirkan stratifikasi sosial yang oleh bangsa Arya diadopsi menjadi sistem kasta. Kondisi demikian kemudian melahirkan persoalan pembagian kerja (baca: keadilan). Sehingga dapat diungkapkan bahwa persoalan keadilan merupakan persoalan awal kemanusian. Secara struktural persoalan-persoalan yang muncul diserahkan kepada kelompok literia, yang pada masa Sumeria-Babilonia, mereka dipercaya memiliki kemampuan “meneropong langit” untuk mencari wisdom, sehingga mereka mampu mengidentifikasi terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, yang selanjutnya mereka berusaha untuk melakukan rekonstrusi sosial.[1] Dalam term keagamaan, kaum literari biasa disebut nabi atau rasul. Sedangkan wisdom disebut risalah. Nabi memperoleh wisdom hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan rasul lebih difokuskan untuk disampaikan kepada orang lain. Baik kaum literari, nabi, atau rasul, sama-sama memiliki wawasan kemanusiaan yang tinggi dan murni. Perbedaan yang ada hanya pada tataran fungsi dan wewenangnya, sesuai dengan konteks ruang dan waktu (ajaran).
1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 177-178.
1
Nabi Muhammad, juga memiliki kapasitas yang sama, meskipun secara kualitas (mungkin) jauh lebih tinggi. Wawasan kemanusiaan Nabi terkandung di dalam alQur’an, sehingga di kalangan umat Islam terdapat suatu ungkapan yang cukup populer, yaitu “akhlak Nabi adalah al-Qur’an”. Dapat dipahami bahwa tradisi kemanusiaan yang dibangun (sunnah) oleh Nabi merupakan prototype al-Qur’an, sehingga cukup lagis jika keduanya wajib untuk diimani. Salah satu tradisi itu adalah penegakan nilai keadilan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, bahkan menjadikannya sebagai misi kemanusiaan (humanistik) Islam yang tertinggi. Tradisi itu dibangun di atas dasar nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam alQur’an. Untuk itu, makalah ini akan menganalisis konsep keadilan dalam al-Qur’an dan Kemungkinan dalam kehidupan Modern dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i. Sebagai mana kita ketahui bahwa di negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak akan terjadi protes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang berkepanjangan, perampokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di Indonesia. B.
Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan : 1. Apa pengertian dari keadilan ? 2. Bagaimanakah konsep keadilan dalam Alqur'an ? 3. Al Qur’an dan Modernisasi
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Adl (adil, keadilan) Terdapat beragam istilah atau term yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan makna keadilan. Istilah itu tersebut jumlahnya banyak dan berulangulang. Di antaranya kata al-‘adl yang dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 35 kali. Lafad al-qisth terulang sebanyak 24 kali. Lafad al-wazn terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad al-wasth sebanyak 5 kali.[2] Semua istilah tersebut bertemu dalam suatu ide umum kaitannya dengan sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur. Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari bahasa Arab “‘adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan itu sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan; a) tidak berat sebelah atau tidak memihak; b) berpihak kepada kebenaran; dan c) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.[3] Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”. Dalam al-Qur’am keadilan diungkapkan antara lain dengan kata-kata al-‘adl, alqisth, al-wazn, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.
2 3
Lihat, Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an. WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yagyakarta: Balai Pustaka, 1986), 57.
3
Qisth arti asalnya adalah “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak. Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula ketika al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth ini yang digunakan, seperti dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 135. Wazn berarti timbangan. Oleh karena itu, kata mizan yang merupakan kata jadian dari al-wazn menunjukkan arti “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena penggunaan bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu”. Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala
ُ َعد ََل – يَ ْع ِد ُل – َع ْدالً – َو – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan ( - ًع ُدوْ ال ً ) َوعَداَلَة. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain () َعيْن, dâl ()دَال, dan lâm ()الَم, ْ = اَ ْ ِالkeadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (ستِ َواء ( = اَ ْ ِال ْع ِو َجاجkeadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem-peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang. Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Sementara itu, pakar lain mendefinisikan kata ‘adl dengan ‘penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa ‘adl adalah ‘memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’. Kata ‘adl (ع ْدل َ ) di dalam berbagai bentuk-nya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]:
4
48, 123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2. Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan. 1.
‘Adl di dalam arti ‘sama’.
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegaskan, Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl (اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل ِ َّ = َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ النApabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, me-nuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebut-an nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, ke--sungguh-an mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (me-mutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke-manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
5
2.
‘Adl di dalam arti ‘seimbang’.
Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka ( َسوَّاكَ فَ َع َدلَك َ َ[ = اَلَّ ِذىْ خَ لَقَكَ فAllah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan men-jadi-kan [susunan tubuh]mu seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemu-kan pada suatu kelompok yang di dalam-nya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpun-nya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan ke-hadir-an-nya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui mencipta-kan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna men-capai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’. 3.
‘Adl di dalam arti ‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberi-kan
hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’. Lawannya adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû
ْ = َواِ َذا قُ ْلتُ ْم فَاDan apabila kamu berkata wa-lau kâna dzâ qurbâ (ع ِدلُوْ ا َولَوْ َكانَ َذاقُرْ بَى maka hendak-lah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial. 4.
‘Adl di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’.
‘Adl di sini berarti ‘memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu’. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan-dung konsekuensi bahwa rahmat Allah
6
swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. آli ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth ( قَائِ ًما
= بِ ْالقِسْطYang menegakkan ke-adilan). Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandarkan perbuatan kepada selain Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 1 dan 150; (4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]: 70. ‘Adl/Al-‘Adl ( )عدلmerupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl ( = ا ْل َع ْدلkeadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna. Dalam pada itu, M. Quraish Shihab me-negaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (ع ْدل َ ) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk me-negak-kan ke-adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per-tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar. B. Konsep Keadilan Dalam Al-Qur'an Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
7
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90) Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an). Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa. Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8) Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan
8
dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid). Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori). Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya: a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan. b. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin. Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya. Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18). Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun".(Ali Imran[3] : 192). Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
9
a. Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya. b. Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah, curang dan culas. c. Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian, kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruhpengaruh tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif. Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya: a.
Kondisi orang tersebut pada saat itu
b.
Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c.
Latar belakan cinta dan benci
d.
Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e.
Adanya pengaruh dari luar (extern)
10
BAB III AL-QURAN DAN MODERNISASI
A. Modernisasi Modernisasi adalah sebuah era tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat penting untuk diapresiasi oleh seluaruh umat manusia, khususnya umat Islam. Dalam modernisasi, yang sangat penting adalah bagaimana melakukan transformasi ilmu pengetahuan modern guna menalar Alquran secara historis. Dengan lain perkataan, memahami Alquran secara historis, korelasinya dengan perubahan sosial kehidupan yang sangat cepat di era globalisasi dan modernitas dewasa ini memiliki signifikansi yang sangat penting. Dimensi historis ini tidak bisa diabaikan. Tujuannya agar manusia, khususnya umat Islam, tidak terjebak pada kongklusi-kongklusi parsial dan apologi-apologi. Alquaran memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dibandingkan dengan dokumen lain yang merupakan hasil kreasi umat manusia. Pendek kata, Alquran memiliki dimensi historis, ruang, dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, bacaan kita terhadap Alquran membutuhkan pengetahuan yang bersifat interdispliner. Apalagi, kalau kita berupaya untuk menghubungkan atau mencari korelasi antara Alquran dan modernisasi. Tidaklah mudah mencari pertautan antara keduanya. Secara epistemologis, Alquran merupakan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Salah satu fungsinya sebagai petunjuk bagi umat manusia, hudan li al-Nas dan orang-orang yang bertakwa (QS AlBaqarah/2: 1-2, 185), terutama untuk mengetahui dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, sebagai petunjuk dan secara ontologis Alquran hanya bersifat global. Konsekuensi logisnya, jika ada persoalan kehidupan yang penjelasannya tidak ditemukan di dalam Alquran maka tugas manusia itu sendiri untuk mencari jawabannya. Dengan lain perkataan, Alquran hanya memberi landasan-landasan moral atau petunjuk yang bersifat global.
11
Secara historis Alquran turun untuk merespons berbagai problematika sosial kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Arab saat itu, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau memberi ketetapan hukum sebagai doktrin teologis yang harus ditaati. Sementara proses turunnya, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas yang dikutip Al-Sayuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, melalui dua tahapan: turun secara serentak di lauh al-mahfudz menuju langit bumi dan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun. Di antara hikmah turunnya Alquran secara bertahap ini agar materi hukum Tuhan itu dapat diterapkan secara evolutif sesuai dengan kondisi objektif sosio-kultural masyarakat. Pada sisi yang lain, secara teknis materi Alquran akan lebih mudah dipahami, dihafalkan, maupun proses penerapan hukum-hukumnya akan lebih mudah untuk diterima. Inilah argumen logis bahwa Tuhan, dalam konsep Islam, tidak menghendaki sesuatu yang menyulitkan kehidupan umat manusia (QS AlBaqarah/2: 185). Perlu dicatat bahwa mengubah perilaku atau tradisi sosial yang sudah mapan itu tidak mudah. Seperti untuk menghapus sistem perekonomian yang eksploitatif dengan sistem riba misalnya paling tidak dibutuhkan tiga ayat untuk menjelaskan, yaitu: QS Al-Nisa/4:160-161, QS Al-Imran/3: 130 dan QS Al-Rum/30:39). Demikian halnya dengan tradisi minuman keras. Untuk menghapus tradisi ini, Alquran melibatkan empat ayat, yaitu: QS Al-Nahl/16:67, QS Al-Nisa/4:43, QS Al-Baqarah/2:219 dan QS Al-Maidah/5:90-91). Artinya, meskipun Alquran tidak menjelaskan secara detail tentang sistem-sistem sosial kehidupan, seperti mekanisme politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya, tidak secara otomatis sistem-sistem sosial kemasyarakatan itu tidak ada di dalam Alquran. Justru inilah satu entry pointpenting Alquran yang memberi rangsangan berkembangnya kecerdasan intelektualitas atau terciptanya dinamika sosial kehidupan. Dengan terbatasnya ayat-ayat yang mengatur mekanisme sosial berarti Tuhan memberi peluang kepada akal pikiran manusia untuk mengatur dan menentukan model-model relasi sosial kehidupannya yang lebih luas sesuai dengan perkembangan sosio-kultural dan peradabannya.
12
Pendek kata, Alquran bukanlah dokumen yang sarat dengan detail-detail hukum sosial melainkan sebuah buku yang mengandung prinsip-prinsip dasar dan moralitas kemanusiaan universal. Penting penulis tegaskan bahwa semakin banyak hukum absolut yang mengatur pola kehidupan, maka ritme peradaban manusia akan menjadi sangat kaku dan statis. Stagnanasi peradaban ini sangat dimungkinkan apabila doktrin teologis menjadi sangat taken for granted. Dalam perspektif ini, siapapun, sesungguhnya tidak bisa mengklaim bahwa Alquran merupakan sumber segalanya, apalagi mengatakan sarat dengan teori-teori sains (science theory). Menurut penelitian para ahli, ayat Alquran yang berbicara tentang sains hanya sekitar 150 ayat. Menurut pandangan ini, ayat-ayat tersebut secara paradigmatik tidak cukup untuk dijadikan dasar pemikiran bahwa Alquran merupakan kitab yang sarat dengan teori sains, apalagi teknologi modern yang di dalamnya sarat dengan detail-detail. Lebih tepat, jika dikatakan bahwa Alquran itu mengandung motivasi atau prinsip-prinsip moral yang bersifat normatif untuk melakukan aktivitas sains dan teknologi. B. Pertautan Alquran dengan modernisasi Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran
atau
dimensi
rasionalitas.
Perbedaannya,
kalau
modernisasi
mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu. Menurut Alex Inkeles (1986:90-93), manusia dapat dikategorikan sebagai modern, jika bersedia menerima dan terbuka terhadap pembaharuan atau perubahan, mampu bersikap demokratis dan bersedia menerima bentuk keragaman realitas sosial yang niscaya. Pandangan hidup masyarakat modern senantiasa difokuskan pada masa kini dan masa depan, memiliki perencanaan hidup, menjunjung tinggi kemampuan manusia, dapat memperhitungkan waktu bahwa proses kehidupan ini ditentukan bukan karena nasib. Di samping itu, orang atau masyarakat modern memiliki harga diri dan bersedia untuk menghargai orang lain, percaya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi,
13
serta memiliki prinsip keadilan. Kategorisasi manusia modern dalam pandangan Alex ini tanpa menafikan pandangan yang lain sejatinya memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip kehidupan yang terkandung di dalam Alquran. Akan tetapi, umat Islam sendiri terkesan sangat lamban dalam merespons permasalahan-permasalahan kontemporer dan tidak jarang terjebak pada pemikiran-pemikiran simplistis yang bersifat apologi. Memang, persoalan umum yang terus dirasakan umat Islam, paling tidak di kalangan kaum intelektualnya adalah fenomena tidak singkronnya antara Islam sebagai doktrin dan prilaku umat dalam realitas sosialnya. Fenomena inilah yang melahirkan modernisme di dalam dunia Islam. Islam modernis mencoba melihat kembali persoalan-persoalan yang dihadapi umat dan bersikap apresiatif terhadap kamajuan yang dicapai dunia Barat, seperti semangat untuk mengembangkan rasionalitas, kerja keras, cinta terhadap sains dan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya yang merupakan kata kunci kemajuan masyarakat Barat selama ini. Fazlur Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge (1979:315-125) mengkategorikan gerakan pemikiran Islam menjadi revivalisme awal, neo-revivalisme, modernisme klasik, dan neomodernisme. Pertanyaannya, mengapa umat Islam terkesan tidak akomodatif dan bahkan antipati terhadap pola hidup dan pemikiran-pemikiran Barat, tentu saja pemikiran positif yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam? Padahal, semangat inilah yang pernah mengantarkan kemajuan dunia Islam pada abad pertengahan, ketika masyarakat Barat masih terbelakang. Namun demikian, kita harus tetap optimistis untuk masa yang akan datang karena kaum Islam modernis tampak semakin apresiatif terhadap perkembangan modernisasi dan masyarakat secara umum mulai banyak yang berpendidikan. Meminjam penjelasan Alex Inkeles (1986:91), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin terbuka lebar kemungkinan negaranya menjadi maju di masa depan. Pendidikan merupakan salah satu elemen faktor yang memberi
14
angin segar bagi proses perubahan dan perkembangan menuju terciptanya masyarakat yang civilized.[4]
BAB IV PENUTUP KESIMPULAN
Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran
atau
dimensi
rasionalitas.
Perbedaannya,
kalau
modernisasi
mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu. Dalam mengungkapkan nilai keadilan alQur’an dalam kehidupan modernisasi menggunakan kata ungkap al-‘adl,alqisth dan al-wazn. Nilai keadilan itu sendiri dipahami sebagai suatu penegakan terhadap prinsip keseimbangan, persamaan, penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi, dan menjaga eksistensi, yang semuanya dapat ditepkan baik secara personal untuk diri sendiri maupun dalam sistem kemasyarakatan. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem-peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
4
Prof Dr Nasaruddin Umar, MA : Guru Besar Ulumul Quran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan. 1. ‘Adl di dalam arti ‘sama’. 2. ‘Adl di dalam arti ‘seimbang’. 3. ‘Adl di dalam arti ‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberi-kan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’. 4. ‘Adl di dalam arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’. Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
16
DAFTAR PUSTAKA
Notowidagdo, Rohiman. 1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran Dan Hadits. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Widagdho, Djoko. 2008. Ilmu Budaya Dasa. Jakarta : Bumi Aksara http://shofazakiya.blogspot.com/2012/06/makalah-keadilan-dalam-alquran.html Diakses pada 2012/8/12. 08.30 WIB. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 177-178. WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yagyakarta: Balai Pustaka, 1986), 57. Lihat, Muhamad Fu`ad Abdul Bagi, Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an. http://www.psq.or.id/index.php/en/component/content/article/102-artikel/285-alquran-dan-modernisasi
17