KATA PENGANTAR
Menarik untuk kita coba renungkan, betapa bahwa menyair (mencipta puisi) agaknya makin bias dengan leluasa dilakukan oleh siapa pun. Tidak lagi ada hambatan psikologis untuk menulis puisi. Malah, setidaknya mulai akhir dasawarsa 1980, menulis puisi telah menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian besar orang. Fenomena ini makin menguat ketika puisi termungkinkan menemukan media publikasi dalam berbagai wujut. Tidak hanya Koran atau pun buku. Puisi mulai mudah dan menjadi hal yang lumrah untuk kita suai di blog dan makin memasar pada era penggunaan facebook. Jejaring social yang efektif untuk dihadirkan sebagai media berekspresi. Dari titik era inilah muncul luar biasa banyak penyair, dalam arti orang yang menulis puisi secara intens. Kemudian membukukannya. Secara bersama-sama dengan beberapa penyair lain atau pun sendiri. Buku ini, menurut saya, termasuk kumpulan puisi cukup serius yang lahir dari kalangan facebooker yang menulis puisi dan berupaya menerbitkan serta menyebarkannya. Sebagaimana umumnya kumpulan puisi yang lahir dari kalangan yang mulamula berinteraksi melalui dunia maya, puisipuisi agaknya telah pula termuat melalui akun masing-masing penyairnya. Telah pula memperoleh respon memadai dari teman-teman masing-masing penyairnya. Puisi-puisi yang termuat, bias ditebak, memang kebanyakan „personal‟, namun bukan berarti bahwa tema-tema mempribadi itu mengurangkan bobot puisi. Sebagian lain, dalam jumlah nyaris berimbang, mencoba mengangkat tematema sosial. Hasilnya, barangkali masih “sangat permukaan”, namun tetap patut diapresiasi. Puisi memang belum mati. Masih dituliskan. Oleh banyak orang. Masih pula dibaca. Juga oleh banyak orang. Jadi, sebagai sesuatu yang menyerupai semacam pesta…, mari kita nikmati saja. ~Timur Sinar Suprabana. Penyair. Tinggal di Semarang.
Filiya Putri Alfath akrab disapa Fivi lahir di kota udang Sidoarjo tanggal 29 mei 1992 lulusan SMK Negeri 3 Buduran perkapalan, aktifitas sehari hari menjadi kuli bangunan, sibuk belajar menulis indah sekaligus menjalani semester 4 di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Anak pertama dari pasangan Drs. Akhmad Nor Kholiq dan Yunani Yusri saat ini bergabung dengan komunitas delta sastra dengan antologi cerpen HUJAN MELUKIS LAUTAN. Tinggal di www.filiya.blogspot.com dan
[email protected]
MASIH Aku masih berjalan Dari titik goyang ke sudut limbung Entah Jika angin malam mampu mendinginkan lara hati Aku kan mendekap senja hingga fajar Tujuh ramadhan sekalipun Sepi meraung-raung menyeretku kesudut ambigu Terbayang senyummu menendang ulu hatiku Masih kucoba melupakan parasmu Kulihat detik melaju menertawakanku Masih terasa hangat di pipiku Bekas kau genggam malam itu Cinta itu telah meraja dalam hati Harus ku akui Harus ku akui Aku menggigil ketakutan mendengar kau akan pergi Dan kini kau benar-benar pergi Bulan pucat bersaksi pada alam Kerinduan membuatku mati perlahan Menyuruhku menghapus rasa ini? Bak mentawarkan garam di laut Selepas kepergianmu Cintaku masih tetap tumbuh Seperti ilalang di padang tak bertuan
By: Filiya Sang Putri Alfath Rabu, 10 Agustus 2011
PESAN IBU UNTUK PUTRI Sebait embun mengambang di pelupuk mata. Dengan kornea sejuta kata. bersama lidah tak mampu berkata. Lambai tangan untuk salam berpisah. Cinta putri selaksa hasta Untuk ibu dan senyumnya Yang tak mampu dibayar nyawa Walaupun bulan dan bintang mampu kugenggam Tanpa senyum ibu, tiada indah yang lebih mendalam (tangannya kusut mengelus kepala putri sambil berkata) Senyum ibu senantiasa milikmu nak….! Lemparkan batu impianmu sejauh yang kau mau Hanya satu pesan ibu, ingatlah tuhan sebagaimana yang kuajarkan padamu. Pergilah….! Pergilah…! Raih mimpi dan anganmu Tugas Ibu hanya merawat dan membesarkanmu. Dan menyayangimu. Jika kau cinta padaku sayangilah aku. Dan janganlah menyangiku karena kau kasihan padaku. Sungguh aku selalu menyayangimu sejak kau di perutku. Lantaran aku cinta padamu bukan kasihan padamu. April 8, 2011 By: Filiya sang Putri Alfath
SERDADU DAN GADISNYA
Selamat tinggal sayang Aku akan berlalu Jangan hilang sayang Rindu milikku Jika nanti aku kembali Senyummu yang kunanti Jika nanti aku tak kembali Jangan menangis saat aku mati Andai seragam ini boleh kuganti Akan kuganti dengan pelukmu Agar kau bisa memelukku Saat pelor menghentikan nafasku Selamat tinggal sayang Aku akan kembali Selamat tinggal sayang Jangan menangis lagi
By: Filiya Sang Putri Alfath
TEROR Bungkam mulut komentator Mencekeram nurani dengan tangan-tangan kotor Bangsa ini bukan pelor Berusaha lari dengan jam karet molor Guru kami para koruptor Setiap nasehat mengharap honor Kami ingin lari Kami ingin pergi Pelukan ibu pertiwi Tak lagi hangat di hati Lalu disudut mati Serak itu memaksa telinga berdiri “Lindungi kami…!” “Kami anak negeri…” Lalu intuisi Berteriak ilusi Bungkam mulut komentator Berdasi dandanan menor Berkata ba bi bu lalu ngeloyor Tidakkah kau lihat? Saat pak menteri saling menghujat Bagai maling sandal Kucing-kucingan rebutan modal Mencengkeram nurani dengan tangan-tangan kotor Koruptor mewabah terus meneror
29 November 2010 By: Filiya Sang Putri Alfath
MIMPI YANG AMBIGU Kali ini malam berpihak padaku Tentang gundah yang kuceritakan semalam Membuatmu menitikkan air mata Selimuti aku dengan dinginmu Hingga kabut menyadarkanku Sungguh hidup ini fatamorgana Embun yang dingin Menyejukkan jiwa yang selalu ingin Merindukan insan bagai angin Meluruskan benang kusut yang ku pilin Dan senyum itu meracuni segala ilusi Wahai malam yang selalu diam Ingin kulihat cahaya meredup dengan tentram Andai saja mimpi tak selalu tinggi Membunuh rasa yang tak pernah mati Betapa kubenci khayalan kelabu Menerkamku dalam ambigu
By: Filiya Sang Putri Alfath 02 Desember 2010
SUTRA DAN POHON SALAK 04-10-2011 Saat mata sebening embun Ada hati selembut sutra Diantara cambuk cinta yang mengayun Dewa-dewi mabuk olehnya True love is builshit Take it or leave it Seperti jaring-jaring pahit Di batas cakrawala yang kian sempit Cerita cinta yang orang-orang bilang, sudah basi di telan realita Yang kutahu, dimana ada harta disana ada cinta Seperti wakil rakyat yang mengikat suara Uang dapat bicara dan berkuasa Aku seperti sutra dan pelepah pohon salak Jangan kau dekati, atau duriku akan menyalak Welcome to our game Do it…! Or die Aku berdiri disini dan takkan mendekat Ku tahu durimu kan menjerat Tapi aku terlambat Dosa yang kau buat terlalu nikmat Lalu nyanyian asa membuatku terbuai dengan paksa Once again Welcome to our game Do it….! Or die Wahai para pecinta Jurang berkabut memang terlihat seperti surga Sekarang, mari kutunjukkan padamu Perih cinta itu seperti sutra yang terlilit di sekujur pelepah salak Sakit pada awalnya, lalu kau kan terbiasa Setelah kau terbiasa Tangan tangan itu akan merengkuh sutra dengan paksa Hingga koyak tanpa sisa Jangan pernah membayangkan sakitnya Seperti sakaratul maut kiranya.
Apalagi yang bisa kau andalkan tentang cinta Layla Majnun? Mereka berdua mati tanpa pernah bersatu Romeo Juliet? Romeo meminum racun lalu Juliet bunuh diri Rama dan Shinta? Shinta diculik dan Rama dibantai Mungkin Barbie cintanya selalu bahagia Sayangnya Barbie bukan manusia.
By : Filiya
TEMA MALAM INI Tak ada yang mampu kutulis tak ada ang mampu kubaca tak ada yang mampu kurasa tak ada yang mampu kukecap diantara sajak rindumu menguak embun-embun basah ditengah gemerisik daun kering Jika satu mataharai dan satu rembulan menjelma bebtuan lalu padaku adalah bulir-bulir pasir sebanyak tanganmu mampu menggenggam pernah kau tanya? pada kuas basah yang melukis rindu-rindu yang tak kunjung usai lalu kupampang wajahmu menatap bulan diatas kanvas dan akupun membisu, galau adakah yang lebih baik diantara keduanya? aku tak bisa menjawab kau bertanya bukan soal matematika, fisika, atau kimia kali ini bertema tentang rasa sssssss
DOA YANG TERGILAS Semburat remah-remah jalanan Diantara pasir-pasir lunglai menatap waktu Berpulang anai-anai kepada inangnya Seperti buncitan yang ingin menyusul haluan Dimana rinduku kucari diantara alang-alang busuk dan gemintang hilang ditelan kota-kota Aku tak peduli Bukankah hidup ini hanya milikku dan hanya aku yang tau, Aku tak ingin orang lain mengerti ataupun mendengar Akupun lelah menuntut untuk dapat didengar Teriakku tak pernah menembus kaca mobil mereka Tangisku mongering dibalik ray ben Air mata darah menghitam kering serupa aspal dan mobil-mobil angkuh ; jalan ini milik kita, mengeras oleh tangis darah luka dan air mata Aku menghilang di perempatan satu arah Dan tak pernah bias kembali Seperti noktah hitam ditengah aspal Sama-sama diinjak, Kami tak bias teriak Deru mesin-mesin itu lebih keras dari pada pita suara kami Kepada tuhan aku mengadu tentang kuburanku yang terinjak mobil mewah Sidoarjo, maret 2012
KAWANKU DI WARUNG KOPI kilau kejora di pelupuk mata. dan senyuman pagi mnegering diwajah adapun daki telah mejelma kerak sampaikan pada angin-angin yang mulai berontak pada udara yang kuhirup sedalam senja lalu malam-malam telah bosan menusuk belulang adakah senyummnya terbaca olehku? melati malam merekah di ujung gang pada hilir mudik kumbang-kumbang setan hati kecil bertanya miris adakah yang disana rasa terluka adakah mereka rasa terhina? yang ku tahu mereka tertawa menantang waktu Lihatlah kelakuanku....! jerit mereka lantang pada tuhan kami bosan digilas jaman dan do'a kami tak lagi memberi jawaban kami hanya membuat sex menjadi kegiatan kehamilan hanya implementasi kejantanan by: filiya putri alfath di kantor baru pondok jati DD1 puisi untuk rekanku diwarung kopi
DALAM ANGANMU
Mungkin jarak mengaburkan rindu antara kita Semoga ambisi itu senantiasa membara Dalam mimpi kulihat wajahmu sembunyi Dalam untai harapan tak bertepi
Terus melaju Dalam panas jalanan berbatu Apa yang ku tuju Bukanlah mimpiku Aku terus tergilas dan tak pernah bisa kembali
Dan pergilah Gapai cita-citamu Temui aku dalam anganmu Jika ada Jika aku masih ada
Masih ada Dalam anganmu
By: Filiya Sang Putri Alfath
KEMBARA LANGIT SENJA, adalah nama pena dari Zulkifli , lahir di Pekanbaru Oktober 1963. Aktifitas sehari-hari adalah Guru Seni Budaya di SMA Negeri 8 Jambi. Aktif berkesenian sejak tahun 1988, lewat karya sastra maupun seni pertunjukan, beberapa karya yang pernah dipertunjukan: Teater Gong 1998, Maafkan Aku Mak! 2000, Kaleng 2001, Fragmentasi Puisi Kita Adalah Sama (EM. Yogiswara), menulis kumpulan cerpen yang berjudul Prajnapramita, tahun 2001 mendapat penghargaan penyudradaraan terbaik lewat karya teater naskah yang digarap sendiri berjudul Improvisasi Gong, menggarap Musikalisasi Puisi baik ciptaan sendiri maupun karya sastrawan lain. Menggarap naskah Tiga Sandiwara dari Sumatera Timur 2010, Penghargaan terakhir yang diperoleh juara II Tingkat Nasional lewat karya Pertunjukan Teater dalam naskah ”Terpenjara Bisu” pada Pertunjukan Seni di Jakarta. Sekarang aktif dalam komunitas Teater Lumut yang dipimpinnya.
Batu-batu-Ku Zulkifli
langit menjadi batu siang menjadi batu hati menjadi batu jiwa membatu otak membatu
jiwa-jiwa berlarian seperti batu berterbangan keranda batu sarkofagus sampai menjadi pyramid telah berubah membatu pikiran mem-batu-ku entah kapan menjadi batu
sakit batu nisan tempat ku meregang jazad seperti batu-batu-batuku telah menjadi pasir
kini kupagut batu dingin seperti jiwa yang membatu tak punya hati nan nurani batu-batu-ku kebelah!
menjadi batu makam Jambi 13-04-2012
Penjaga Hati Zulkifli
pelan-pelan lelaki itu mengguncang sedu sedan menukarnya dengan terompet malam ditiup perempuan penjaga senja
kasih sayang tak bermakna dikulum dengan ragu disandang gerimis menerkam bumi peluh-peluh tak lagi asin rasanya sapa tubuh pada lorong kabut
gairah itu telah terhidang di meja makan berpita merah disabung marah
hentikanlah sedu sedan itu! ratap meratap hulu di sabung senja
lalu? semua berubah hening resah kusandarkan di dermaga bulan lalu? bintang hanya memaki terkapar di punggungku puas! Jambi, 03-03-2012
Disini Telah Terbaring Zulkifli
Disini telah terbaring dengan tenang, jiwa-jiwa yang mengais resah, mengumpat diri berceloteh tentang malam berbincang tentang siang merubah… membahana kan langit membalikkan bumi menancapkan tiang-tiang nisan di batu cadas kehidupan, sambil membunuh sepi, berseteru dengan bintang gemintang, meredam gema nurani suci.
Disini telah berbaring dengan tenang Kuncup mekar harapan Busana jiwa, busana lusuh keinginan beragitasi tentang asmara keriuhan dalam bingkai aksara meremas.... memperkosa kata lewat sejumput nafsu, lalu melemparkannya dalam serangkaian kalimat untuk memperdaya fantasi, ilusi, membakar dengan seloka, menyisakan puing-puing rindu yang membekas, sebab sembilu aksara meremas nurani.
Disini telah terbaring dengan tenang Malam... Siang... Lewat pergumulan waktu Aku berpasrah Telah merubah siang menjadi malamMu Menghentikan angin dinginMu Menyapa nadi-nadi berdarahMu Berdetak di jantung asmaMu Ya Allah.... Aku berpulang padaMu terhadap pikiran sesatku, merajut aksara lewat kalamMu, sujudku pada kekotoran hatiku yang telah bercanda dengan hujan, halilintar, di tetes rinai tak mampu kumaknai sebagai kebeningan Maafkanlah!
Disini telah terbaring dengan tenang Keluhku dan gundahmu Mengubur Bayangan
biarlah kenangan jadi bayangan jarak terpagut melambung sukma pada rembulan titipkan gundah agar terbakar rasa gelisah Jambi, 05-05-2012
Menembang Janji Tak Berdawai Zulkifli
dari langit terpental gerimis siang terlantar mengaum dalam lantunan ibu-ibu mengepit kebaya menembang kegetiran tangis si buah hati kian terkesan parau
”Rebuslah batu, hidangkan angin” biar lega perih perut membusung badan ibu-ibu mengepit kebaya berjualan di kaki lima menembang tangisan kehidupan kian parau suaranya
”sampai sudah janjimu wakil kehidupan” tembang kelaparan resah menahan risau
pada kuntum melati yang layu tertikam nisan sajadah di batu makam hening tak berdawai harmoni jiwa kian parau
masuk di pintu kematian sambil berucap
”sampai sudah janjimu wakil kehidupan” menembang janji tak berdawai Jambi, 04-04-2012
Rembulan Tak Pernah Meratap Zulkifli
Aku tak tahu darimana mulai mengisahkannya, dari cahaya yang temaram memupus gelap, dari ketinggian yang tak mungkin terjamah, dari seberan kabut tipis yang menutupi tubuhnya, atau dari kehampaan yang dirasakan atas kesendiriannya yang terbentang seperti titik putih kapas di hamparan langit. Bulan tak pernah meratapi kesendiriannya, walau geriapnya sanggup berbagi untuk semua makhluk, kehadirannya dalam kesendirian memupus cerita duka bahwa tak ada kebahagiaan bila ingin merengkuh di kesepian, hanyalah keraguan yang muncul ketika percik pesonanya hadir dalam persabungan mayapada, bertabur cahaya langit, menghempas selaksa sepi yang dipatulkan keindahan yang dimiliknya.
Rembulan tak pernah maratap, walau tubuhnya terpanggang cahaya, berkorban untuk bumi dan langit, saat malam menjelang ia hadir membawa suasana bahagia bagi kelelawar, burung hantu atau kita yang masguk dengan kesepian, menikmati sepi dalam hening dapat dimaknai kebahagiaan bila batin berada pada ketenangan sekedar untuk mensyukuri ternyata keindahan tidaklah mesti dalam keramaian.
Rembulan tak pernah meratap, ketika rotasi membelenggu dirinya. Bergerak terus untuk maju, tak pernah mundur, hidup adalah perjalanan waktu, jangan menoleh ke belakang bila diyakini hanya akan merusak masa depan, jangan mundur selangkah pun sebab hidup adalah perjalanan yang tak mesti berhenti, walau prahara dan problema hadir, harus terkibas dengan keinginan meraih kebahagian, rembulan sendiri merengkuhnya, kenapa kita harus menangisi kesendirian yang ditimbulkan dari serpihan masalah dilematikal hidup?.
Rembulan tak pernah meratap, kuharap drimu juga demikian jangan menangisi keadaan, tetapi rubah keadaan yang tak disenangi menjadi disenangi, kita adalah pemilik diri, maka kitalah yang menentukan kebahagian itu sendiri. Rembulan tak pernah meratap, kuharap dirimu juga! Jambi, 24-03-2012
Doa Kelam, di Subuh Itu Zulkifli
dari luka hati nganga itu tak terdengar lagi sekepal tulus tapi dari musim ke musim, awalnya langit terluka berubah menjadi korban dan segera dikerandakan
Tuhan keakuan ini hanya bilah canda di atas luka duka merapal mantra bergederam onak di kepala merintih airmata, hati dikremasikan
sementara perkenankan isakan itu menjadi selaksa puisi lalu kemudian menjadi kunang-kunang yang tak berbinar
Jambi, 09-03-2012
Sunyi di Persimpangan Cinta Zulkifli
memar hati disapih bayang terkapar di nisan obituari jiwa dirahup patirasa pawana terhenti dikeheningan terkoyak pataka di payung langit
”Sudahkah kau nyanyikan balada rerumputan?”
Ibu mematut langkah ku dalam kesesatan ”Pulanglah!” ”Tambatkan di kursi, dimana kugantung kenakalanmu” Ibu tersenyum menimang buaian rotan dan mengikatku pada kursi yang ia duduki ”Kau memang nakal, dari kecil ibu sering kau buat menangis” ”Untuk apa lagi, Nak!?”
petaka menggelinding seperti menjamah kehidupan menidurkan mautku di pesimpangan ”Tak kuharapkan!” ”Apakah masih berguna air mata ini Ibu!”
petaka matikan rasaku untuk kebenaran ”Aku sudah tak seperti anakmu dulu lagi ibu! Yang merentang sajadah kebenaran untuk pilar kehidupannya!”. Tetapi! Petaka itu telah merubah.
”Aku tak mampu mengeluarkan airmata untuk kesakitan itu, Ibu!” petaka itu telah menghitamkan pikirku Ibu.....
Jambi, 17-01-2012
Penenun Aksara Malam Zulkifli
aku akan belajar pada penenun merajut benang alam menjadi untaian makna masuk dalam pesona warna meramu benang-benang waktu menjadi aksara hidup
aku akan belajar pada penenun merapikan hiasan waktu di lidah malam memasukkan dalam kuali bumi mengaduknya menjadi lembaran nyata
aku akan menjadi penenun mengibaskan aksara pada beranda malam merobeknya menjadi perca kemudian menyusunnya kembali menjadi tenunan mengemasi aksara yang terbuang memberinya ruang pulang pada aksara yang tak berwujud
dan selanjudnya merobek menjadi perca
Jambi, 14-03-2012
Melabuh Hati
jatuh gerimis, melabuh rinai wahai cantik! pada riak sungai Batanghari ada aroma jingga tubuhmu kutatap hening lenguh riak membasah tubuh pendayung asa hanya seorang kembara meniti hari menuju hakekat sepi di dalam bilik hati
ada diding meronta di rumah panjang hasrat memburu di tangga-tangga kayu daun gugur mengabur pada rona warna rindu nan kelabu
gerimis tak kujung henti sayangku! aku tergugu syahduku melabuh di tepian rindu nan kupeluk
Lelahku Berdarah Zulkifli
Tekukkan lalu rebahkan kesumat itu! Biar luka menganga kian tersayat Sudah menghitam jelaga ketakutan Permadani jiwa lusuh berkerut
Rentang atma agar bersiteru dengan hati Baringkan lalu bakar dalam dendam Entah sudah berapa teruntai kebenaran Bibir semakin berdarah mengucapkan
Malam biarkan gelap semakin pekat Siang biarkan panasmu kian membakar Hati biarkan dirimu terkapar tanpa nurani Lipat kelu menjadi bergetah Lipat petaka menjadi limbubu Lipat....! Biar berdegeram mengoyak masa Biar menggeram mengoyak takdir
Kuremas Sunyi Zulkifli
kuremas sunyi, beberapa pasang netra mengintip di sela-sela nyiur daun kelapa menguning kupu-kupu bercanda di tiang gairahku bersandar pada sunyi bersama-sama sembilu-sembilu penghianatan
puaskah? dedaunan teratai melenggang telaga kuning riak mengeriak, sepasang angsa putih memamerkan perselingkuhan menjilat hati mengulum hasrat mencipta kenangan hitam
tak cukupkah? lidah air di telaga meriak indah berkali-kali meremas hati seolah bongkahan tanah terkuak ”oh.. wajah lelaki itu pembawa noda”
menerbangkan setiaku menciptakan bathin gelisah dari waktu ke waktu
Jambi, 14-03-2012
Bola Takdir Zulkifli
Putaran hidup berdengung lrih Ditampuk batu lumer d makan ambisi Bentangkan soal di altar penyembelihan Biar darah menyembur dari setiap jawaban
Putaran hidup di roda makna Remas, tercapik disapih Menggelinding bak bola takdir Melenting masuk meremas raga
Putaran hidup menuju ttik nisan Lemah, mata biru, terkapar kuyu Tubuh terbalut kain putih Makam tersusun menanti raga Atma hilang terbang Bergantung di jagad Amal
Menunggu waktu Datanglah! Ia mengundangmu...
Aku dan Kecapi Siang Zulkifli
Kecapi itu kembali berdengung Memainkan tembang krinok Menyesakkan gerimis hati pilu sejati
Siang memompa panas di sekujur tubuh bumi Terpanggang pada kesuburan ranting patah Dedaunan menguning dalam risau Kelopak gugur menyisakan kecamuk
Lipat langit! Agar syahdu duka tertutupi jenggala jiwa Biar bercermin pada bangkai tak beraroma Di sudut ruang hampa cahaya merintih lah sepi Bungkus dengan duka ratapi kematian nurani
Kecapi itu kembali berdengung Maksa siang rebah dalam rengkuh Getar itu hilang
Jambi, 30-01-2012
Senja yang Gelisah Zulkifli
Senja sudah melambai malam membisikkan keheningan sebab ia akan datang bersama derap kesejukkan yang akan melibatkan aku dalam sebuah pembicaraan
Dari suara ayam yang bergegas menuju kandang Itik berlari menuju perigi
Kemarau seperti tersapu pada bumi yang gelisah
Anehnya langit sedang menyemprotkan wangi kasturi Ditaburinya aroma canda mega Dan diangkatnya siang menuju ke pembaringan
Kulihat! letih matahari mengitari cahaya Kulihat!
Senyum senja penuh pesona kulihat! Semua gelisah mengangkat kehidupannya di senja itu
Jambi, 20-01-2012
Tembang Malam Batanghari Zulkifli
Serunai melingking menyayat rembulan Bintang jatuh berserakan Di beranda kelam muncul kegetiran Sekar selasih berbunga merah Berpagut hitam di ketiak waktu
kidung bayu merembes di tepian Aur Duri mengombak kelam dengan selendang Sultan Thaha memandang gerah Sepucuk Jambi kian menghitam Mengutuk tapak tak henti arah Batanghari menjadi wabah air bah mengepung selaksa marah
bergayut gemuruh di tengah malam rasa hormatku bersilang rindu menenggelamkan prasasti kehidupan
dari bias kabut senja Tanggorajo
Wangi malam mulai menerobos Masuk ke bingkai-bingkai Angso Duo Serangga malam melantunkan irama ”pagut kegelapan” katanya
Jambi, 12 – 12- 2011
Mac Gayoon, Lahir di Kediri 1975, seorang seniman Otodidak yang merupakan salah satu anggota kelompok Dynasthi sanggar theater dan Sastra Kediri yang sekarang sudah punah, sekarang aktif dalam Komunitas Kosmubaya (Komunitas Seniman Surabaya) dan KOPERJATI (Komunitas Perupa Jawa Timur), aktif dalam pembacaan sastra kontemporer : Kidung Nagari, Solidaritas Untuk Sahabat, sastra dalam Pondok, dan berbagai event sastra pembuka dalam pameran seni Rupa di berbagai kota
ASMARAGAMA
Kutorehkan tinta penaku dalam dalam Selaksa tarian hampa yang mempesona Ijinkan menghampiri jiwamu dalam kelu Pengobat kegelisahanku semalam pandang
Aromamu menyeruak menghunjam rasa sukmaku Membelitkan memori yang tak mudah kuurai Saat jemarimu menjentikkan lamunan maya Meluluh lantakkan segala kesadaranku
Melunglai sudah aliran rasa Yang pernah kupuja takkan tenggelam dalam goda Tetapi asmaramu asmaraku terus memburu Memecahkan semua kerak jiwaku
Mungkin simpuhku tak begitu berarti bagimu Saat alunan air mata tak mudah percaya Tapi kembalinya aku padamu Mampu mendiamkan tangis jabang bayimu
Mac Gayoon 08032010
KIDUNG SANGKREM
Kesinilah ngger dekat bapak Bawalah senyum merdumu letakkan dalam renda hatiku Rentangkan tangan mungilmu yang penuh daun kasih Dan tebarkan didadaku tuk obat resah seharian
Benamkan kepalamu dalam rengkuhanku… Dengarkanlah nada JANTAN-ku Irama pelindung jiwamu dan juga ibumu Dari rasa gelisah dan takut akan gelap malam Jadilah peletak dian terang dalam temaram
Biarlah aliran darahku melantunkan kidung untukmu Menyebarkan kehangatan ke segenap jiwa Lenyapkan gamang dalam mimpi siang Sampai kau tenang, nyaman dan terlelap
Bila nanti bapak pergi Kuingin dengar suara keras tangismu Bukan pemberat langkah pengiring pergi Cuma penanda agar bapak kembali
Membawa cinta sekarung penuh… Untuk kau anggerku.. dan ibumu…..
Rindu Hadirmu lama aku tak menuliskan kata untukmu biasanya ku toreh dada tintamu yang slalu membiru saat angin hadir sehembus sehembus dan belaianmu yang nian tulus mungkin kau sudah lupa atau terlalu sibuk tuk mengingat semua serenda kasih yang kutitipkan padamu amanah yang sering kau janjikan padaku bila kini aku kembali ku tak hendak menagih janji cuma segantang asa yang menyesakkan dada ingin ku curahkan semua lama tak ku menulis kata padamu mungkin kau sudah lupa atau pura pura tak ingat semua tapi disini.. aku tak hendak menagih janji... cuman segantang kenang yang ingin padamu kucurahkan medaeng, 14102011
Lawatan Terakhir Ijinkan aku menjamahmu dalam lingkaran tak bertuan yang kemarin sempat menyesakkan dada membilang hati terpapar sepi sedapat mungkin aku ingin mengunjungimu walau jauh di negeri awan karena rinduku sedendam meredam menjumpaimu akan menjadi penawar gamang lawatan rutin yang ku rituali seakan terhapus digundukan makna hambar yang kini menyeruak dalam hati ku ingin jawabannya kini berdendang seperiangan aku akan datang saat sore telah bermain bulan dan paruh pipit telah merobek peraduan kuingin pasti lawatan terakhirku berarti nanti Mac Gayoon, 13082011
LELAKI GANG DOLI
Ku kulum bibirmu dalam ikatan janji Yang takkan pernah ku tepati Nikmati saja yang terasa Atau tinggalkan begitu saja
Keningmu telah menyiratkan Kegelisahan yang mendalam Sedalam riak resah batinmu Saat kurengkuh bahumu
Malam ini aku ingin menyenggama bulan Meski pucat dihempas angin malam Kehadir - beradaanku disisimu Sebenarnya ketiadaan bagimu
Lalu kenapa murung menyergapmu
Besok aku pulang Ke rumah yang tak pernah kuanggap peraduan Mungkin kerinduan akan menyergapmu segera Tapi lupakan saja
Aku takkan pernah benar benar mengangapmu ada
Mantram Kepada Hujan Kutautkan rinduku pada hujan Saat jatuh hanya riuh tanpa berkeluh Tak perlu berpihak pada sisi mana hujan bermakna Hargai jatuhnya apa adanya Mungkin terlalu hambar bila ku biarkan hujan berkabar Karna toh ritual itu sudah ada berabad abad Hanya titian rindu yang semakin kuat tak bertahan Ingin memenuhi rasa dahaga bercawan cawan Kapan terpulang Tetesan mulai merembes, meresap, menyatu Membasuh ruang jiwa menorehkan makna Menyeret sukma menuju titik nadir tiada tara Hingga tak perlu kau cari makna Semua tlah ada disini Ommm…….. kosong kembali berbilang Yang berbilang hanyalah kosong tak bertuan Penyatuan yang terharap mendorong bersukma sukma Mencari bilangan tunggal yang tak bermetafora Aku kembali tengadah Sapaan hujan menyapaku dengan pekatnya Menyadarkanku dalam kenyataan Yang penuh bunga bunga menggiurkan Menghadapkanku dalam simfoni Sibuk dalam hiruk pikuk dunia lagi Mac Gayoon, 18112011
SELAMAT DATANG DI NEGERI BADUT Selamat datang di negeri badut Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut Negeri yang selalu riang Tak peduli suka maupun duka kami berdendang Selamat datang di negeri Badut Dimana kekayaan bukan ukuran Kami mengukur kemakmuran dengan perut gendut Dan ketawa yang keras dan paling lantang Dinegeri ini kerja kami menjarah Bukan karena kelaparan Hanya sekedar memenuhi sensasi akan mimpi yang tak kunjung datang Tuan bisa tertawa karena polah kami yang tak masuk diangan Tapi kami bisa menyikapi semua tragedy dengan senyuman Rumah kami sepetak petak Dengan segala masalah yang bisa berkotak kotak Bila kami ingin mencari solusi Cukup menghisap cerutu yang bau kencing kuda tadi pagi Selamat datang tuan dinegeri badut Kami keluarga badut Tetangga kami badut Kami juga dipimpin badut badut Jadi akan dianggap dosa bila tingkah kami tidak seperti badut Di negeri kami ada beribu gedung pertunjukan Ditingkat RT sampai gedung dewan Semua gratis untuk tuan saksikan Baik lewat TV maupun mata telanjang Inilah tuan negeri badut Dimana kami semua berperut gendut Kami anggap puasa bila kelaparan Dan Sakit itu sangat dilarang Atau bila terpaksa….. tunggu saja dilorong bangsal Karena segala jamu disini mahal Selamat datang di negeri badut Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut Negeri yang selalu riang Tak peduli suka maupun duka kami berdendang
TRAGEDI KAMPUNG BATU
Kuberitahukan padamu Kisah tentang tragedi Kampung Batu Yang terkabar lewat bisik bisik Dari batu kebatu
Kami hidup dari saling membelah Memancung gunung gunung dengan serakah Memakan kayu kayu hutan Pun tak pernah sedikitpun kenyang
Kukabarkan padamu Kisah tentang tragedi Kampung Batu Hati kami yang kian hari mengeras Tak peduli mamak, budak terlibas
Toh kami terlahir dari batu?
Dengarkanlah wahai pendengarku Yang menguping dari balik dinding batu Jangan pikir budaya kami cadas Pemimpin kami lah yang membentuk culas
Kuberitahukan kepadamu Kisah tentang tragedi Kampung Batu Yang terkabar lewat bisik bisik Dari batu kebatu
Kami warga Kampung Batu Bertahta batu, bermahligai batu Kami terlahir dari rahim batu batu Serta merta kami berkepala batu
(Untuk dewanku Sang Raja Batu)
Mac Gayoon, 10062012
Minke W.H kelahiran tahun 85. Tumbuh berkembang dalam menulis di "ladang pembantaian Puisi" Froum Diskusi (fordis) sub ruang Cybersastra.net (Alm). Sekarang sedang aktif menulis sembari menikmati peran sebagai gelandangan cyber.
AJARI AKU MENULIS (LAGI) bahkan air mataku ini sudah tak ma(mp)u berubah jadi tinta apa lagi yang harus aku korbankan? darah? darah ku sudah berubah jadi nanah karena katakata tak bisa keluar sempurna apa lagi? apa lagi? aku sudah tidak bisa membedakan, putaran kepala atau putaran dunia yang coba ku olah agar aku bisa menulis (lagi) lalu apa lagi? merubah malam pun tak bisa membuat aku menulis (lagi) kepada siang? taku tak berharap banyak, keringatku membasahi kertasnya. Kau... Kau yang harus mengajarkan aku menulis (lagi) bawa aku dimana kau bisa mengajarkan aku menulis (lagi) aku tak minta banyak AKU HANYA INGIN MENULIS (LAGI)
KAULAH SAJAK selayak sajak kau tak akan menua kekal di dada. (haiku)
AKU IRI sekali ini aku iri pada riak yang menggoyangkan kekokohan perahu itu karenanya kau tersenyum begitu manis sekali ini aku iri pada angin sore yang membelai halus rambutmu karenanya kau terlihat begitu anggun sekali ini aku iri pada takdir matahari senja karena bisa melihatmu sampai membenam padam kau memang mengagumkan dan tak ada peranku disana pangandaran 02/10/11
TANGANKU DAN KECANTIKANMU Kecantikanmu malam ini memaksa bulan meinggi pergi membawa iri malu tak bisa menandingi bibirmu membuka membuat senyum yang menusuk dada dan meremas hati pengagum Ahh... tangan ini terlalu pendek tak bisa meraba hanya berkata di atas kertas sampai pegal dan terkulai
BULAN TUA malam yang remang meminang bulan tua berbagi terang #haiku
AKU INGIN MENCINTAIMU SEBAGAI MALAPETAKA (parodi sapardi) Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti kata yang tak sempat disurat bencana Ke rumah-rumah yang dijadikannya puing-puing Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti izroil yang tak bisa menyapa nyawa Lalu menjadikannya tiada
MENJAUH Kau sekarang layaknya pendeta pertapa dengan lentera kuning di tangan berayunayun berjalan kau menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu tak mau kau ku ajak duduk diatas derak derik gerobak yang lari terseret sapi aku tawarkan kota dimana kita bisa menyata ku perlihatkan mereka yang memacu kita lebih mendunia langkahmu semakin cepat menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu dan kau ah kau sungguh kau sudah tak ku kenali lagi kau sekarang.
CUKUP dikala kita bersua, nona aku ingin waktu mati disitu pantang kebelakang segan kedepan.
PERAWAN PECINTA BULAN purnama melarut ke dalam kopi menggambar rupa perawan pecinta bulan yang menggengam sabar untuk menangkap angin
CINTAMU Aku melihat wajahnya dalam kaca pada air matamu jatuh ke hati menyatu dengan cinta dalam dada terjaga untuk selamanya.
SISA CINTA Hati meninggi Cinta pun jatuh pecah terberai di lantai menyisa luka serupa wajah dara
PENGANGGURAN “PENGANGGURAN” adalah tuan yang tak pernah bosan duduk termanggu dari minggu sampai sabtu apa yang tuan pikirkan? Hingga pantat tak kunjung diangkat Bangkit tuan, Rambut tuan tiada beruban Jangan tunggu sampai berkafan Minke W.H 28 Juli 2005
MENUJUMU rinduku kini sudah menuju, berlari lurus ke arahmu tak pernah ragu. Ada luka, terpaksa kubawa serta, ada cinta, membungkus semua c(er)ita. Rinduku hanya tertuju padamu.
KAU DAN AKU SAJA Kita akan selalu berbagi nasib selayak sayap seekor burung, bukan merak, cukup pipit saja. Mendunia, Kita akan terbang, aku mengepak, dan kau pun tiada beda. berdua, kita akan menjaga kepala kita ketika tidur, hangat terlelap, sampai tak bisa bangun lagi.
POETIH DEKIL, adalah nama pena dari Tomy Rymalo El Asad, lahir di Jakarta Agustus 1984. Pernah ikut aktif di Forum Diskusi (fordis) sub ruang Cybersastra.net (situs sudah tak aktif). Aktif di blog sijalang.blogspot.com. Menyibukkan diri di Teater Jalanan Kecamatan Cileungsi-Bogor bersama Anak-anak seniman jalanan Cileungsi-Bogor yang berdiri sejak tahun 2004. Juga termasuk dewan pendiri dan pengurus Yayasan Peduli Umat Arribatul Ukhuwah yang bergerak di bidang pendidikan dan kehidupan sosial umat, serta mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia pada tingkat SMP di yayasan tersebut.
Rindu (Haiku) Mengusik Rindu Gelisah menggugatku Mencintaimu Selayak darah Mengalir dalam resah Wajah membasah Kutikam cinta Lalu kucekik dia Kubunuh rasa Demi cintaku Ku nikmati adamu Wajah nan sendu ~HAIKU~
Malam Muram
Malam Gelisahmu, harapmu yang merengkuh Kudengar syair indah begitu berirama, mesra Malam, kenapa engkau menampakkan kesuraman wajahmu?
Asap rokok mengepul ke udara, memuai entah kemana Tercium olehku wangi parfum murah, menyengat Kupandangi wanita-wanita molek pengundang selera Menawarkan luka dan gelisah di dada
Di ujung sebelah sana Para pengais sampah tergolek dalam ketiada-berdayaannya yang membisu Sepanjang trotoar jalan itu Mereka terlelap, bermimpi, indah...
Di sana, kau lihat di sana iya, itu di halte sana Bocah-bocah kecil lusuh Berpakaian rombeng nan lugu
Tatap wajah mereka, kau kan temui keindahan yang takkan membuatmu jemu Kebahagiaan yang tak pernah ragu
O, malam kelam Sekali lagi, kau tampakkan wajahmu yang muram Inikah syairmu yang mencekam?
Tengoklah gemintang melekat indah pada tubuhmu yang hitam Malam.... berilah kami harapan Membenahi diri Mengusap peluh yang membasahi dahi
Kunanti
Dengarlah suara simfoni mengalun mesra dan juga manja Mengajakku untuk menggandeng tanganmu, tuk berdansa Lihatlah kerlip lilin nan penuh romansa Biarlah kupeluk tubuhmu, biar kunikmati kehangatannya
Kecupan manis darimu kunanti Mengungkap tabir rindu yang sudah lama berkalang kabut Tetapi biarlah untuk sementara terus begini Setidaknya, bisa terus kupandangi mata indahmu nan sayu
Kecupan manis darimu kunanti Mengisyaratkan rasa cinta yang saling kekal dan setia Tetapi biarlah untuk sementara terus begini Setidaknya senyum dibibirmu terus merekah
Lagu sudah lama mengalun mesra Hangat tubuhmu tak bosan aku memeluknya Matamu nan indah dan senyuman bibirmu nan merekah Oh kasih, kecupan manis darimu kunanti, cinta
Peri Kecilku, Aku Ada di Sini
Duhai peri kecilku nan jelita, ingin kutatap wajahmu nan lugu Lembut matamu menatapku lesu dalam kegalauanku Wahai peri kecilku nan jelita, aku cinta kamu Demi setiap tetes darahku yang mengalir ditubuhmu Kemarilah engkau, mampir dalam pelukanku Kan kubasuh kerinduan abadi yang lama menanti keindahanmu Setiap kecupku menandakan kau adalah aku, meski kita terpisah ruang dan waktu Wahai peri kecilku nan jelita, pandangilah dinding langit yang berwarna hitam Jangan kau pandangi bintang atau rembulan Dibalik hitam ada wajahku bersembunyi dalam tirai, sembari tersenyum menatapmu Wahai peri kecilku nan jelita, sungguh kau tak sendiri Dalam bisikku, didalam ruang hampa ini ku akan selalu berkata, aku ada disini
Saat Aku Mencium Bau Tengik Sampah (Sajak Anjing-anjing Buduk)
Saat aku mencium bau tengik sampah, ku menelisik Terlihat olehku anjing-anjing buduk berebut mengais sampah Menjilat-jilat dan mengendus-endus
Demi anak-anak kecil bertelanjang dada yang menangisi indahnya ratap derita Demi kaum papa yang menertawakan laparnya perut yang membuat sengsara Demi ibu-ibu yang berpisah dengan anaknya untuk bekerja sebagai wanita malam Bagaimana jika anjing buduk tinggal di istana, menguasai sawah dan ladang Serta pasar dan kantor-kantor manusia yang seharusnya menjadi petinggi Anjing-anjing buduk yang menggigit apa saja Mengendus derita siapa saja, bahkan deritamu Sambil menatapmu garang mereka menjilati ketiada berdayaan yang mereka ciptakan
Sudahkah engkau menyaksikan anjing-anjing buduk menyalak..?? Bak serigala buas mereka mencengkram apa saja yang ada di hadapan mereka Tapi mereka hanyalah anjing-anjing biduan yang tak henti-henti menyalak Untuk menutupi rasa jerih dari koreng yang menutupi tubuh mereka sendiri Aku meronta… Aku hanya bisa meratapi kisah sambil tertawa riang Decak kagum yang membuat seisi perut harus kembali keluar membasahi tanah yang sudah basah
Bak nanah yang membasahi luka, mereka ada di sekeliling kita Di rumah-rumah mewah dan megah Di dalam istana yang seharusnya diperuntukkan untuk raja Di dalam kandang kumpulan anjing–anjing buduk yang terpelihara sejak lama
Inikah yang kau inginkan kawan…?? Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja Kenapa engkau masih mengasihani mereka..?? Memberi mereka makan dengan jemarimu yang sudah dilumuri tinta berwarna kelam Toh makananmu sendiri sudah tak lagi bisa tertelan Karena rasanya sangat getir untuk kau kecapi dengan lidahmu yang sudah dibuat kelu membisu
Inikah yang kau inginkan kawan…?? Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja Sampai kapan kebahagiaan ini engkau rasakan..?? Sampai engkau mati berkalang tanah, dengan tubuh kering dan menggontai tak berdaya apa-apa Sampai engkau menyadari bahwa jasadmu tak lagi berarti apa-apa Menyadari bahwa hidup tak lagi soal hanya dirimu dan dirimu saja
Kita harus menapaki jalan Menyuapi anak-anak kecil yang terlunta-terlunta dan tak lagi tahu siapa bapak atau emaknya Membawa serta orang-orang yang menderita karena tak lagi bisa makan nasi walau sekepal saja Menutupi ketelanjangan wanita yang sudah tak lagi punya daya atas perihnya cambuk yang menyiksa Lalu mendongakkan wajah Dan siap menggebuk kapan saja, anjing-anjing buduk yang berkeliaran dimana-mana, dari ladang hingga istana………….
Kisah Bocah Pengais Sampah di Siang Hari yang Cerah
Langit cerah, awan putih, angin berhembus sepoi-sepoi Menerpa rambutku yang kusam dan wajahku yang polos menatap langit bersahaja Ku cium kesegaran udara, bau tengik sampah-sampah busuk yang baru turun dari truk menusuk hidungku Ah kali ini perutku akan terisi, batinku bergemuruh riang
Aku bersama teman-temanku Tono, Ali dan Budi serta si cantik Ria Berhamburan menaiki bukit sampah basah berbau busuk menyengat, oh betapa segarnya Tono memilah-milah sampah plastik Ali mengikat setumpukan kardus Budi mencari-cari sekiranya ada barang berharga yang ikut terbuang Sedang Ria, dia tengah bergembira ria karena mendapatkan boneka wanita yang putus sebelah tangan dan kakinya Aku.., kau tanya aku sedang apa Aku sedang memakan kue-kue basi dan sebungkus nasi dan ikan gurami yang sudah berbau tengik dengan nikmatnya
Aku jarang makan kue-kue seperti ini rasanya manis sekali, semanis cita-citaku yang membumbung tinggi Namun ada rasa asam dan getir yang kujilat, oh mungkin cita-citaku pun seperti itu Aku ingin menjadi peminta-minta dipinggir jalan raya ibu kota, oh betapa nikmatnya pekerjaan itu kurasa
Akupun jarang sekali melahap ikan gurami Oh nikmat sekali, meski hanya tersisa secuil daging yang melekat di duri dan kepala Sedikit rasa anyir menggugah selera Setidaknya kurasakan nikmat Tuhan siang ini begitu besar kepadaku
Perutku sudah membuncit kekenyangan, aku menatap langit biru cerah dan awan berarak putih Terdengar olehku canda tawa teman-temanku di depan sana Tono senang sampah plastiknya mencapai 2 karung beras penuh Ali duduk diatas tiga tumpuk kardus setinggi harapannya Budi meloncat-loncat gembira, satu kalung besi berkarat digenggamnya, ada nama Tuhan yang tergandul pada kalung itu Sedang Ria, oh si cantik itu sedang menyusui anaknya yang tak punya sebelah tangan dan juga kaki
Hati kami senang, hati kami riang, setidaknya kami rasakan Tuhan hadir dalam kasih sayang Seperti awan putih yang berarak , melantunkan puja-puji pada Sang Kuasa Tiba-tiba, truk sampah bergerak maju, timbunan sampah di sekitarnya bergemuruh turun Meronta-ronta kami terkubur dalam tumpukan sampah plastik, kardus dan makanan berbau busuk Kudengar suara rintihan Budi, kudengar suara erangan Ali, kudengar tangisan Tono Sedang Ria saat kupeluk ia, sedang mendelik matanya menatapku manja Oh Tuhan terima kasihku padamu setidaknya nikmat sekali saat ini kurasa
…GELAP
Nyanyian Bocah Pengemis Kecil
Ketika ku berdiri mematung di pinggir warung makan kecil Menatap lauk-pauk dan minuman dingin yang begitu menyegarkan Perutku membuat nada-nada indah, suara gendang bertabuh kencang Kerongkonganku yang kering tak sadar mengeluh, menelan ludahku sendiri Tak tersadar kubernyanyi dengan suara yang begitu merdu Syairnya tak panjang, hanya, kasihanilah pak sudah dua hari saya belum makan Begitu terus kuulang-ulang, semakin merdu terdengar ditelingaku Seorang bapak pemilik warung menatapku dengan perasaan penuh sayang dan manja Menghardikku dengan suaranya yang keras Mengusirku, agar beranjak dari halaman depan warungnya Pemilik warung kurasa menyukai nyanyianku
Tak hanti-henti kukencangkan nada suaraku Lagi ku bernyanyi, kasihanilah pak, saya belum makan Salah satu diantara yang menyantap makanan dengan penuh lahapnya, memandangku jijik Ah, kurasa dia merasa iba Meninggalkan setengah piring nasi untukku, karena melihatku Segelas teh manis dingin segar ia minum Kemudian menuangkannya ke dalam piring nasinya yang masih penuh dengan makanan yang enak-enak Sembari memandangku, ia menyunggingkan senyum manisnya Orang itu kurasa menyukai nyanyianku
Kembali kunyanyikan laguku dengan suara lantang meski kerongkonganku terasa mencekit, perih Tolong kasihani saya pak, perut saya sangat lapar Seorang ibu berjalan ke arahku dan mengelus rambut kucelku dengan halus Ia lalu memberi uang, selembar seribu Aku tersenyum, Aku bahagia Rupanya suaraku telah menggugah hatinya
Tak lama, setelah kepergian sang ibu Pemilik warung menghampiriku dengan gagang sapunya yang panjang Memukul bahu dan juga pipiku Ah, mungkin ini karena aku menghentikan nyanyianku
Pemilik warung itu mendorongku dengan keras Aku terjerembab jatuh dikubangan sampah Tak sengaja tanganku menyentuh sekepal nasi bungkus Kucium nasi bungkus yang isinya adalah telur dan juga sayur tahu Meski busuk dan basi, oh ini makanan terlezat di dunia Biasanya aku hanya bisa mendepatkan sekepal remahan roti dalam tong sampah Ku bawa nasi bungkus berlari Begitu riang hingga aku melonjak-lonjak di pinggir trotoar Tak tersadar sebelah kaki tak berpijak apa-apa Ohhh, Tuhan ku terjerembab
Sekilas ku melihat sebuah truk mencium tepat dikeningku Kurasakan ciuman hangat ibuku yang sudah lama telah tiada Dengan susah payah kugapai sekepal nasi bungkusku, meski tanah disekitarku telah basah oleh merahnya darahku Belum sampai jari tengahku menggapai nasi bungkusku GELAP
Aku (Poetih Dekil)
Diriku begitu merah Tampak gagah di atas jutaan warna Mempertegas rasa hatiku Yang sudah membeku, menghitam Menghancurkanku berkeping-keping Bagai puing-puing darah Yang dulu merah Bak bata.. Namun kini hitam mengering
Lebih Baik Kau Sayat Jemariku
Lebih baik kau sayat jemariku Yang kini kaku tak bergerak tanpa daya Terdiam tak berkutik menelan kebisuan Mengapa harus pergi semua kata-kata
Lebih baik kau sayat jemariku Penuh tanya yang tak bisa terjawab Penuh ragu yang selalu membelenggu Penuh alasan yang selalu berawal tanpa sebab
Lebih baik kau sayat jemariku Hingga hilang dari diriku Tak membebaniku dengan sejuta bayang-bayang Mengenang segala yang telah terbuang
Lebih baik kau sayat jemariku Membuangnya dalam keindahan kata Yang dulu pernah terbuat dalam untaian cerita Indah nan mesra
Lebih baik kau sayat jemariku Sebelum kembali ku membuat indahnya kata Demi suka maupun duka Demi cinta maupun dusta
Senandung Dang dung dang dung Kudengar suara tabuhan gendang Hilanglah sudah pikiranku yang murung Melihat topeng Monyet hatiku riang Dang dung dang dung Mari kawan kita riuhkan Suara rebana bersenandung Monyet kecil meloncat-loncat Dang dung dang dung Monyet kecil pergi ke pasar Naik motor memakai payung Teriakku, "Hati-hati kesasar..." Dang dung dang dung Hatiku bersenandung Decak kagum pikiranku lugu Menyenandungkan sebuah lagu
Pacarku Tiga
Yang satu karyawati Yang satu kondektur Yang satu pelacur Hidupku sengsara dibuat mereka
Pacarku tiga Si karyawati membuat hidupku diburu dengan waktu Langkahku bagai roda berputar Kadang shift satu Kadang shift dua Kadang shift tiga Kadang pula aku lembur
Pacarku tiga Si kondektur membuat hidupku sesaat Itupun hanya didalam bis kota Hanya sesaat sekali Tidak ada kata liburan Untuk membagi waktu dengan kisah asmara
Pacarku tiga Si pelacur pembagi cinta Menjual harga diri Membelenggu nurani Menyisakan senyum kelelahan untukku Yang terlalu hina.. Dalam pandangan manusia
Pacarku tiga Entah akan ku pilih yang mana Sebagai teman bicara Sebagai penoreh cerita menjelang ku tidur Penghilang haus akan belenggu cinta
AKU Aku hanyalah pecinta Terlahir dari kegilaan cinta Hidup bagiku sekeras batu Di padang rumput di tengah lapangan salju Beku, sebeku otakku Dingin, sedingin sikapku Namun panasnya sepanas api neraka Aku jatuh di kubangan noda Terhanyutku dalam ruangan gelap, penuh sekat Hidup sebuas binatang liar Di rimba jalanan pada keheningan malam Siap menghadang mangsa Aku diam, namunku bicara Ku terbisu, bukan berarti langkahku terhenti Aku malu jatuh Walau sering ku terpelungkup, jatuh Namun ku kembali bangkit Menyongsong sang surya Mengepalkan lengan ke arahnya Dan berbicara Aku siap melawanmu Itulah Aku…
Dansa Gembira Sebatang rokok dan segelas kopi Kala ku memandang pagi di matamu Terdengar senandung suara rindu mengajak kita tuk berdansa Ayo kasih, rapatkan badanmu di dadaku.....
Tap Tap Tap , entah tarian ini Tango atau Salsa Yang jelas indah, begitu kala kulihat kerling senyummu Menggodaku untuk merabai kegundahanmu Wahai gadisku, hilangkan saja segala penatmu Mari terus menari bersamaku Bersama kita lupakan segala beban dan derita Lupakan saja rasa sakit akibat dera cambuk majikan Lupakan saja anakmu yang menangis di sana karena tak bisa bayar uang sekolah Atau lelakimu yang mungkin barangkali sudah punya selingkuhan lagi
Tap Tap Tap , ini dansa atau goyang jaipong sayang Kecupanmu menandai kau sangat ahli dalam hal itu Oh tentu saja, kau adalah korban ketiada berdayaan perempuan Dijual ke negeri orang hanya untuk menjadi mesin pemuas nafsu birahi belaka Hilanglah sudah keceriaanmu, wahai nona Tergantikan oleh tawa yang membahana
Pelacurku, Engkau Dimana?
Riak matamu damai ketika kau basuh aku dengan kegalauan cinta Di bawah temaram lampu yang hampir padam Desir peluh dan desah nafasmu, mengusik gairah Ku rasakan pelukan dalam nan mesra, lagi hangat Kau secantik bidadari, meski tubuhmu bersimbah lumpur nista Oh..., seandainya bukan sesaat itu saja kita menikmati syurga Kan kubawa engkau terus terbenam ke dalam kubang neraka Biarlah kita terbakar bersama dalam gairah nan menggelora Meski panas, aku akan terus menggeliat-geliat di dalamnya Oh.., harum tubuhmu tiada pernah ku lupa Seroja yang tumbuh di samping kuil cinta Meski tak seindah mawar atau pun melati Namun tetap saja engkaulah yang ku puja Oh.., kemanakah engkau kiranya? Kuingin sekali lagi menikmati semalam bersama Kan ku jilati manisnya cintamu Kan ku penuhi hasratmu yang membara Lewat cinta ku berbicara... Pelacurku, engkau dimana?
Hatiku Hilang
Hatiku hilang kau bawa pergi Jauh hingga ke seberang sana Entah ku hanya bisa tersenyum Ta‟ pernah ku mengenali mu Tapi hatiku kau bawa pergi Ku meratapi langit Akankah kau bisa mendekatiku Menyimpan wajah cantikmu ke dalam dadaku Menggantikan arti hatiku Yang telah kau bawa pergi Biar bersarang merayap ke seluruh tubuhku Menjaring aliran darah Membuat panasnya cinta menghangat Dalam kebekuan cintaku Walau hatiku kau bawa pergi
Putree Fumi, Lahir di kota kecil kec. Cepu Kab Blora, Jawa Tengah pada tanggal 19 September 1984 dengan nama lengkap Putri Ayu Wulandari dengan. Mulai aktif menulis sejak tergabung di komunitas seni independen Cermin semasa kuliah yang terdiri dari kumpulan dari beberapa kawan-kawan sekampus di Universitas Mercu Buana. Saat ini masih aktif di grup sastra FB Belajar Menulis Kreatif, milis Neo Fordis Cybersatra dan Kumpulan Fiksi. Sebelum mulai menulis puisi, pernah dua kali pameran lukisan di Universitas Mercu Buana bersama Komunitas Cermin Yogyakarta. Belum lama ini (2012) beberapa karya puisi juga pernah masuk dalam Antologi Puisi “Ken Dedes” berbentuk E-Book oleh Grup Sastra Belajar Menulis Kreatif Publisher. Beberapa kegiatan kesenian yang pernah dilakukan :
2007 Teatrikal Puisi “1001 Malam” bersama Komunitas Cermin di acara pementasan teater oleh Teater Senthir Universitas Mercu Buana Yogyakarta 2007 Teatrikal Puisi “Lilin” bersama Komunitas Cermin di Elo Progo Art, Mungkid Magelang. 2007 Pameran lukisan bersama Komunitas Cermin bertajuk Kebangkitan Manusia di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2007 Performance Art bersama Komunitas Cermin memperingati 1 tahun gempa Jogja di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2007 Teatrikal Puisi “Di tengah Peperangan” di acara bertajuk Geliat Sastra, Anniversary ke 1 Komunitas Cermin Yogyakarta. 2008 Pembacaan Puisi di acara Panggung seni “Belajar Bersama Rakyat” SEBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia) di Nol Kilometer Yogyakarta. 2008 Pameran lukisan pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. 2008 Teatrikal Puisi berjudul “Bom Waktu” pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
MATI IDE terbang kemana kau hendak kukejar kau memilih lenyap dalam asap tembakau yang kian habis terbakar. hendak kutangkap kau malah sembunyi disetiap tegukan kopi yang semakin tiris. kata berlarian berserakan porakporanda tak berjelma (Jogjakarta, 4/5/2012)
PENYAIR AMNESIA kata berlari menuju entah hendak ku kejar kau pilih hilang dalam resah sedang sepi betah memamah hingga pena membujur sudah (Jogjakarta, 23/1/2012)
SENJA BERSAMAMU I Senja bersamamu kala matahari karam waktu itu masih terlihat jelas pada kaca air mataku seruan ombak berkejaran menuju entah seakan enggan dibuai waktu II lantas apa lagi yang kau ragu jika seluruh panji-panji sudah tertancap tengoklah, bibir pantai senja itu berkilau berprasasti bahwa aku menyata III telah meredupkah bara yang dulu menyerbu membakar habis hingga tuntas segala yang tiada hingga ada telah meredupkah..? IV kemarilah, duduk bersamaku di hamparan pasir dengan segelas kopi panas dan hembusan angin memandang senja keemasan di batas cakrawala kita kan bercerita tentang nanti, berdua saja. V bayangkanlah manis, indah bukan? kita buang segala beban dan hiruk-pikuk dunia melebur rindu dalam kidung yang tercipta memadat dalam bayang kita yang menyatu (Jogjakarta, 12/1/2012)
TAK KUNJUNG – KUNJUNG tak kunjung-kunjung memburam wajah itu padahal hati tak tertahankan ternyata hidup itu berat juga rasanya tak kunjung-kunjung meredup api itu padahal tubuh sudah melepuh ternyata terbakar cemburu itu perih juga rasanya tak kunjung-kunjung mengering luka itu padahal susah payah menyembuhkannya hingga mata, hingga mata menangis juga, menangis juga
(Gubahan karya Mathori A Elwa) Jogjakarta, 20/11/2011
KIAMAT lihat di ujung jalan itu iblis unjuk gigi sedang beberapa malaikat bermain dakon (Jogjakarta, 20/11/2011)
KITA MARAH kita marah dalam sebotol beer melebur bersama busa putih dingin diantara tawa kawan lama dan parodi satir kita marah dalam kepulan asap tembakau melesat ke langit langit mimpi diantara bayang hitam putih masalalu dan masa kini Jogjakarta, 19/11/2011 (Gubahan dari karya Mathori A Elwa)
HUJAN & KOPI hujan membasah lagi menghapus jejak pejalan kaki yang dingin membeku dilebur bayu karenanya menjadi sendu andaikan kopi tersaji sedari tadi lengkap dengan gorengan berkali-kali hilang sudah dingin diusir kopi yang pasti kan tertuang lagi dan lagi (Yogyakarta, 8/11/2011)
AKU JUGA IRI sekali ini aku iri pada kokohnya bayangan masa lalumu itu karenanya kau mematung seperti batu sekali ini aku iri pada kecanduanmu akan sosok fantasi, layaknya Chairil memuja Ida karenanya sajak muntah dimana-mana dia memang mengagumkan dan tak ada peranku disana (Adaptasi dari puisi Aku Iri karya Minke WH) Jogjakarta 6/10/2011
JOGJA MALAM INI tak seperti malam-malam biasanya yang selalu di guyur hujan menyisakan sepi yang mendalam meninggalkan lenggang jalan jogja malam ini panas hingga membakar jantungku pula mengencangkan detak jantungku tak beraturan seakan ingin tercabut lepas dari tubuh gendut ini jogja malam ini sesak sesak yang disebabkan panas panas yang memenuhi otakku akan persepsi persepsi tolol berisikan badut-badut tak berguna aku tak suka jogja malam ini (Jogjakarta, 7/2/ 2009)
Di Tengah Peperangan Mulut terkunci, diam. Pikiran bertumpuk Hati bergejolak Berontak seakan meledak ! Nafas memburu Meratapi kepahitan Keperihan Dingin menusuk Bagai belati menikam tajam Kepedihan berperang dengan asa Keyakinan tak lagi kokoh Tergantikan keraguan (Jogjakarta, 10/9/2007) Pernah dipentaskan dalam ulang tahun Komunitas Cermin ke 1 “Geliat Sastra” pada tanggal 12 Desember 2007 di depan Rektorat Univ. Mercu Buana Jogjakarta dengan konsep teatrikal puisi diiringi lagu Cahaya Bulan oleh kawan Fentri
Harapan, Sekarat dan Ajal Tuan, Di sini aku sekarat Tergeletak tanpa daya Di tengah jalan yang tak ku kenal Rupanya hanya aku di sini Di antara hamparan hutan pinus yang menjulang tinggi Dan kenapa mataku enggan melihat arah lain selain ujung jalan di sana? Apa yang ku tunggu? Kau kah itu Tuan? Ajalku sudah dekat Di atas sana berkeliaran puluhan bahkan ratusan burung Condor Berputar, mengelilingi tubuhku yang akan menjadi bangkai Teriakan mereka menyeramkan Seakan tak sabar menunggu ajalku tiba Aku tak berani berharap Tuan Memikirkannya saja tak memiliki nyali Sisa tenagaku hanya mampu untuk menangisi semua Memanggil nama mu pun terbata Maafkan aku Tuan Aku layak berada di sini Dan aku sendiri yang membawaku tergeletak di sini (Jogjakarta, 15/5/2010)
BERSENGGAMA DENGAN WAKTU duduk di antara manusia-manusia asing, yang asyik-masyuk dengan dunia kotak-kotak. Setiap penjuru mata mmandang beragam bentuk. Lampu lampion, memancarkan cahaya temaram, ditemani alunan musik meksico yg sangat kontras. Mencoba menembus setiap dunia mereka, dunia kotak-kotak. Dunia yg sama dengan duniaku. Hening sejenak, meneguk kopi lampung yg tersaji sedari tadi. Mencoba sesuatu yg baru. Tak lagi menembus dunia kotak-kotak. Aneh, tak ada satupun yg terbaca. (Jogjakarta. Kedai Kopi Elpueblo, 26/02/2010)
Yogi s. Memeth nama pena dari Muh. Yudi Sofyan, S.Pd lahir di Pancor Lombok Timur Desember 1981, sejumlah puisi terbit di Bali Post, Buletin Jejak, Jurnal Seni Online Kuflet.com, Metro Riau, Sumut Post. puisi islami terbaik lotim (2003), Peserta TSN (Temu Sastrawan Nusantara) 1 di Padang 2012, tergabung dalam penulis puisi “aku dan pelacur” (antologi 100 penyair indonesia) 2012, beberapa puisi tergabung dalam antologi bersama komunitas rabu langit “kepompong api” (2012) (dalam proses penerbitan), sahabat satumatapena.blogspot.com. Menyelesaikan pendidikan S1 di STKIP, semasa kuliah aktif dalam kegiatan Teater Bening, di tahun 2005 menjadi harapan 2 festival monolog provinsi, wakili Lombok Timur Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (KATIMURI) (2002) wakili Lombok Timur Pentas keliling 8 kota di Indonesia (2008). Penulis aktif dan Pimpinan redaksi di Majalah Sastra Kapass, menyibukkan diri membangun Halte Sastra bersama Komunitas Rabu Langit Lombok Timur. Hp : 081 918 356 444 : 085 237 540 002 Email :
[email protected] YM : yogis_memeth Twitter : @bangsal_face Facebook : yogi‟s memeth Blog : http://teatertunggal.blogspot.com/ http://teatertunggal.wordpress.com/
PESISIR PASIR : Hafizah
maaf, ini belum selesai. dengan pasir, kita menulis mimpi sisa kemarin sore beberapa buih rindu jatuh dari langit menahan gelombang dari ombaknya.
Lampu kabut potongan merah tadi sore di pucuk balai pesisir menyimpan lusuh. pada getaran angin yang tumpah di gulungan ombak
dua titik kita yang belum tentu beberapa titik jadi hambar seperti air laut yang anyir di telinga resahku nyamuk penghisap rindu
dalam potongan roti tanpa cangkir kopi resahku mengalir dalam asap rokok yang bermain dalam angin pantai.
PEREMPUAN BUNTING
matahari belah kabut pagi ini sampan – sampan berburu mimpi menerka gelombang – gelombang pelastik sisa ombak dini hari
sesekali kau lempar senyum lelah dan kita saling menatap bersepakat telanjang dengan pena pun jari kita sibuk menangkap terkaan peristiwa tadi malam. peristiwa yang kita hapus pada mimpi perempuan bunting
dan lelah ini aku tampung dalam gelas dingin
BOCAH PASIR
Seorang bocah meninggalkan mimpi pada kubur – kubur pasir jari – jarinya menusuk gelombang.
wajahnya mengingatku pada dermaga yang terdesak gelombang sampah pelastik
bulan yang tembaga dan matahari jingga di pesisir samping dermaga tak samarkan wajah redup surwangi
wajah bocah – bocah pasir menunjuk – nunjuk mati
PARAGRAF CINTA : hafizah
Paragraf pertama ujung jalan rumahku. beberapa kata terserak. alenia-alinia yang tercecer di pasar Gapuk aku jahit dalam binder. dan paragraf itu, tentang aku yang resmi mencintaimu
Paragraf kedua di depan pintu kamarmu. aku belah jantungku kemudian aku lekatkan pada ruang bersama rindu yang bergeser dari pintu yang telah lama mati, seperti gerimis ketika malam, posil-posil rindu kembali becek. dan aku benar-benar resmi mencintaimu
Paragraf ke tiga sepenggal matahari yang tersisa malam ini terlihat sayu, ia menatap dengan cemburu yang pelan kemudian berbisik padaku “kau aku kutuk mabuk”, kemudian bintang-bintang mencercaku “kami kutuk kau, dalam”. dan dalam paragraf ini, aku temukan diriku mabuk dalam kutukan cinta.
RAPUH Sesajen Air Keruh : Fatih K. Jaelani
Lima teguk sudah kopi ini membasuh bibirku dan sepuluhnya, lagi mengantri
secangkir minyak aroma meluber di punggungmu ketika jariku berdansa bersama angin
satu persatu jarak tulangmu mengajariku, bahwa nyerimu tak sampai pada kata
dan ketika angin mendesah pada resah yang tertangkap jendela aku menemukanmu menyusut di kasur biru
Lombok Timur 2011
PURNAMA SEPARUH (2)
purnama separuh menitip rindu wajah sayu
orang-orang terpaku sebab cahaya merah dadu adalah tangis ngilu
belum rampung ia makna malaikat – malaikat menebaskan pisaunya
suatu malam pada mabuk terencana sebagai hadiah alfa babi buta
Lombok Timur 2012
HANTU DAN SURAU
Dari sebuah kamar firman Tuhan membumi pada siang hari jum’at para perkutut melayang-layang udara yang panas menggulingkan keringat. Delapan jum’at, mulut sang kiai berbusa dikupingku dari pintu kamar, aku menatap selokan lima bocah telanjang dengan wajah pelangi diantara bebatuan. sementara diujung, Ruminah membersihkan tinja diatas jembatan empat gadis berkerudung menumpahkan sepuluh karung sampah
jum’at disuatu sore yang berbeda udara resah begitu dingin menyelinap sangat dalam sesekali hujan menyertainya dan di selokan, sepuluh rumah menjadi kepingan-kepingan lima bocah menghilang tinja dan sampah, menumpuk sudah
jumat dihari yang lain tiga jamaah berkunjung setelah sesak berminggu-minggu. dan para kiai menjadi lampu taman
PERTEMUAN
di ruang, cahaya mengganggu antara jejeran terap Timur beberapa kali muntah
sepenggal kalimat di surau mandek
orang-orang tak bergeming dalam diskusi para malaikat mereka gunting
GERABAH TUA
Perempuan tua dengan jemari lentiknya mengukir tanah kotor harapan yang tergadaikan tersungkur pada keringat darah diantara tumpukan gerabah
perempuan tua meninggalkan rumah anak menangis meminta boneka ketika lapar mendera di mata mereka aku melihat ada yang terpahat dengan rapat
IBU, ITU BULAN
Bulan masih tersenyum ketika matahari meninggi tiga kabut membelah wajahnya diujung langit, bintang berpijar seseorang menangkapnya dengan layang-layang
perempuan itu merangkulku ia tusuk rembulan dengan jari dan berkata “kau harus memanah pohon atau hewan” dan dijalur angin aku menulis sajak
senyum buramnya menerpa air mendidih diwajah.
beberapa saat, sajakku menggumpal kemudian aku cairkan ia. menembus cakrawala, bergelantungan di langit daun jendela
SAJAK BATU Ular berdesis di bawah purnama rindu sudah senja dan debu menggumpal jadi debu