KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya kami dapat meyelesaikan penyusunan PENDPRO E-book ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih kepada institusiinstitusi kedokteran wilayah 4 yang turut serta berkontribusi dalam penyusunan. PENDPRO E-book ini disusun berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, level kompetensi 3B dan 4A yakni mampu tatalaksana awal dalam keadaan gawat darurat dan mampu tatalaksana mandiri atau tuntas. Penyusunan PENDPRO E-BOOK yang dirancang dan disusun oleh Bidang Pendidikan Profesi (Pendpro), Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) wilayah 4 tahun kepengurusan 2016. Adapun materi-materi PENDPRO E-BOOK disusun oleh institusi kedokteran di wilayah 4. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam PENDPRO E-book ini masih ada kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki PENDPRO E-book di kepengurusan selanjutnya. Akhir kata, kami berharap semoga PENDPRO E-book ini dapat menjadi media untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mahasiswa kedokteran Indonesia khususnya di wilayah 4.
Mataram-Kupang,1 Desember 2016
Bidang Pendidikan Profesi ISMKI Wilayah 4
DAFTAR ISI Gastritis __________________________ Gastroenteritis ____________________ Hiperemis Gravidarum______________ Infeksi Saluran Kemih ______________ Kehamilan Normal _________________ Vaginitis _________________________ Anafilaksis________________________ Kekerasan Tajam __________________ Kekerasan Tumpul _________________ Kematian Mendadak _______________ Hipertensi ________________________ Angina Pektoris Stabil ______________ Fimosis __________________________
1 7 17 23 31 38 44 51 59 65 81 85 91
1
GASTRITIS Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia DEFINISI Gastritis adalah suatu peradangan pada lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapa akumulasi bakteri atau bahan iritan lainnya. keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.(1)(2) EPIDEMIOLOGI Badan penelitian kesehatan dunia WHO tahun 2012, mengadakan tinjauan terhadap beberapa Negara di dunia dan mendapatkan hasil persentase dari angka kejadian gastritis di dunia, diantaranya Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar 1,8-2,1 juta dari jumlah penduduk setiap tahun. Insiden terjadinya gastritis di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya. Prevalensi gastritis yang dikonfirmasi melalui endoskopi pada populasi di Shanghai sekitar 17,2% yang secara substantial lebih tinggi daripada populasi di barat yang berkisar 4,1% dan bersifat asimptomatik. Gastritis biasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh namun gastritis merupakan awal dari sebuah penyakit yang dapat menyusahkan kita. Persentase dari angka kejadian gastritis di Indonesia didapatkan mencapai angka 40,8%. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009, gastritis merupakan salah satu penyakit di dalam sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah 30.154 kasus (4,9%).(5) Penyakit gastritis yang terjadi di negara maju sebagian besar mengenai usia tua. Hal ini berbeda dengan di negara berkembang yang banyak mengenai usia dini. kasus gastritis umumnya terjadi pada penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun atau berusia ≥ 40 tahun dengan 70% jenis kelamin perempuan. (5)(6) KLASIFIKASI 1. Gastritis Akut Proses peradangan mukosa akut, biasanya bersifat transien. Peradangan superficial akibat terpapar oleh zat iritant seperti alcohol, aspirin, steroid, asam empedu atau terinfeksi oleh Helicobacter Pylori. Peradangan pada mukosa
1
lambung yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dan setelah terpapar pada zat iritan. Erosi tidak mengenai lapisan otot lambung.(1) 2. Gastritis kronik Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun. Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh bakteri Helicobacter pylori.(3) ETIOLOGI 1. Gastritis Akut. a. Kesembronoan diit, misalnya: makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan makanan yang terlalu banyak bumbu, atau makanan yang terinfeksi b. Alkohol c. Aspirin d. Refluks empedu e. Terapi radiasi f. Gastritis akut yang lebih parah disebabkan oleh asam kuat atau alkali, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. (2)(3) 2. Gastritis kronik a. Gastritis tipe A: - Dihubungkan dengan penyakit autoimun, misalnya anemia pernisiosa. (2) b. Gastritis tipe B: - Dihubungkan dengan bakteri Helicobacter pylori. - Faktor diet, seperti minum panas dan pedas. - Penggunaan obat - Alkohol - Merokok - Refluks isi usus ke lambung.(2) PATOGENESIS 1. Gastritis akut Peradangan superficial akibat terpapar oleh zat iritant seperti alcohol, aspirin, steroid, asam empedu , pembedahan besar, luka, trauma, luka bakar, infeksi berat atau terinfeksi oleh Helicobacter Pylori yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa lambung dan setelah terpapar pada zat iritan tersebut, erosi tidak mengenai lapisan otot lambung.(3)(4) 2. Gastritis kronik
2
Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi penyembuhan yang tidak sempurna akibatnya akan terjadi atrhopi kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental dan sel chief. Karena sel pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL. Pepsin dan fungsi intrinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga menjadi tipis serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi perdarahan serta formasi ulser.(3) Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini menyerang sel permukaan gaster, memperberat timbulnya desquamasi sel dan muncullah respon radang kronis pada gaster yaitu : destruksi kelenjar dan metaplasia. Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap iritasi, yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya dengan sel desquamosa yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat maka elastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltic tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga menyebabkan hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung, sehingga akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan pembuluh darah ini akan menimbulkan perdarahan.(3)(4) MANIFESTASI KLINIK 1. Gastritis Akut a. Dapat terjadi ulserasi superficial dan mengarah pada hemoragi b. Rasa tidak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan, mual, dan anoreksia. Mungkin terjadi muntah dan cegukan c. Beberapa pasien menunjukkan asimptomatik d. Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi malah mencapai usus e. Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun napsu makan mungkin akan hilang selama 2 sampai 3 hari.(1) 2. Gastritis kronik a. Bervariasi dan tidak jelas b. Perasaan penuh, anoreksia c. Distress epigastrik yang tidak nyata d. Cepat kenyang e. Mual dan muntah f. Nyeri epigastrium setelah makan g. Rasa pahit pada mulut.(1)(2)
3
ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis a. Keluhan Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas, keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung.(2) b. Faktor resiko 1) Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makanyang besar 2) Sering minum kopi dan teh 3) Infeksi bakteri dan parasit 4) Penggunaan obat analgetik dan steroid 5) Usia lanjut 6) Alkoholisme 7) Stress 8) Penyakit lain, seperti : penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, chron disease.(2) 2. Pemeriksaan Fisik a. Nyeri tekan epigastrium meningkat b. Bising usus meningkat c. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapar ditemukan perdarahan saluran cerna berupa hematomesis dan melena d. Biasanya pasien gastritis kronis, kongjungtiva tampak anemis.(2) 3. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan, kecuali terdapat gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan.(1)(2) a. Pemeriksaan darah Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis. b. Pemeriksaan breathe test Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak. c. Pemeriksaan feces Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feses atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga
4
dilakukan terhadap adanya darah dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada lambung. d. Ronsen saluran cerna bagian atas Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di ronsen. e. Endoskopi saluran cerna bagian atas Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidak normalan pada saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop. TATALAKSANA Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan terhindar dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol. Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari (ranitidin 150 mg/kali, famotidin 20 mg/kali, simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2X/hari (Omeprazole 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari.(2) PROGNOSIS Prognosis sangat tergantung dengan kondisi pasien saat datang, ada/ tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.(2)
5
DAFTAR PUSTAKA 1. Hirlan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi Ketiga. Jakarta: EGC. 2. Sudoyo , A. W. Setiyohadi, B. Alwi, I, Simadibrata, M. Setiati,S. Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 Ed. Vol. III. Jakarta.: Pusat Penerbit Dapartemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.2006. 3. Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Vol 1 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. 4. LM, Wilson, Dkk.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC. 5. Zhaoshen L, Duowu Z, Xiuqiang M, Jie C, Xingang S, Yanfang G, et al. (2010). Epidemiology of Peptic Ulcer Disease: Endoscopic Results of theSystematic Investigation of Gastrointestinal Disease in China. 6. Maulidiyah U .2006. Hubungan Antara Stres dan Kebiasaan Makan dengan Terjadinya Kekambuhan Penyakit Gastritis.
6
2
GASTROENTERITIS Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia DEFINISI Gastroenteritis adalah inflamasi membrane mukosa baik oleh virus maupun bakteri pada lambung dan usus halus. Gastroenteritis akut ditandai dengan diare, yaitu buang air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lender, dengan frekuensi 3 kali stsu lebih dalam waktu 24 jam, dan pada beberapa kasus disertai dangan demam,rasa tidak enak pada perut, menurunnya nafsu makan dengan muntah-muntah yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.(1) EPEDIMIOLOGI Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dinegara berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia dibawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17 % kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42 % dibanding pneumonia 24 %, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% disbanding pneumonia 15,5%. (2) ETIOLOGI 1. Faktor infeksi: Bakteri (Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera, Campylobacter jejuni, Campylobacter perfringens, cloostridium defficile, plesiomonas shigeloides, Aeromonas sp, Yersinia enterocolitica, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus), Virus (Enterovirus, denovirus, Kalsivirus, Koronavirus, Astrovirus), parasit (Ascaris, Trichiuris trichiura, Oxyuris, Strongyloides stercoralis), Kandida (Candida Albicans), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Blastocystis hominis). 2. Faktor parentral: Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak). 3. Faktor malabsorbsi : Karbohidrat, lemak, protein.
7
4. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak kutang matang. 5. Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas.(2)(3) PATOGENESIS Sebanyak sekitar 9 - 10 liter cairan memasuki saluran cerna setiap harinya, berasal dari luar (diet) dan dari dalam tubuh kita (sekresi cairan lambung, empedu dan sebagainya). Sebagian besar (75 - 85%) dari jumlah tersebut akan diresorbsi kembali di usus halus dan sisanya sebanyak 1500 ml akan memasuki usus besar. Sejumlah 90 % dari cairan tersebut di usus besar akan diresorbsi, sehingga tersisa jumlah 150 - 250 ml cairan yang akan ikut membentuk tinja. Faktor-faktor faal yang menyebabkan Gastro Enteritis sangat erat hubungannya satu sama lain, misalnya saja, cairan intra luminal yang meningkat menyebabkan terangsangnya usus secara mekanisme meningkatnya volume, sehingga motilitas usus meningkat. Sebaliknya bila waktu henti makanan di usus terlalu cepat akan menyebabkan gangguan waktu penyentuhan makanan dengan mukosa usus sehingga waktu penyerapan elektrolit, air dan zat-zat lain terganggu.(3) 1. Mekanisme dasar yang menimbulkan Gastro Enteritis a. Gangguan Osmotik Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. b. Gangguan Sekresi Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus. c. Gangguan motilitas usus Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula Meningkatnya motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan akibat dari gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit yang berlebihan. Gastro Enteritis juga dapat terjadi karena Kuman Patogen masuk ke dalam traktus gastrointestinal melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi kuman tersebut, kemudian merusak sel-sel mukosa usus, khususnya melibatkan ileum dan kolon, sehingga akan terjadi peradangan. (3)
8
2. Mekanisme gastroenteritis yang disebabkan infeksi bakteri a. Bakteri noninvasif (enterotoksigenik) Bakteri masuk ke dalam makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri kemudian tertelan dan masuk kedalam lambung, didalam lambung bakteri akan dibunuh oleh asam lambung, namun bila jumlah bakteri terlalu banyak maka akan ada yang lolos ke dalam usus 12 jari (duodenum). Di dalam duodenum bakteri akan berkembang biak sehingga jumlahnya mencapai 100 juta koloni atau lebih per-ml cairan usus. Dengan memproduksi enzim muicinase bakteri berhasil mencairkan lapisan lendir yang menutupi permukaan sel epitel usus sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membrane (dinding sel epitel). Di dalam membrane bakteri mengeluarkan toksin yang disebut sub unit A dan sub unit B. Sub unit B melekat di dalam membrane dari sub unit A dan akan bersentuhan dengan membrane sel serta mengeluarkan cAMP (cyclic Adenosin Monophospate). cAMP berkhasiat merangsang sekresi cairan usus di bagian kripta vili dan menghambat absorbsi cairan di bagian kripta vili, tanpa menimbulkan kerusakan sel epitel tersebut. Sebagai akibat adanya rangsangan sekresi cairan dan hambatan absorbsi cairan tersebut, volume cairan didalam lumen usus akan bertambah banyak. Cairan ini akan menyebabkan dinding usus menggelembung dan tegang dan sebagai reaksi dinding usus akan megadakan kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas atau hiperperistaltik untuk mengalirkan cairan ke baeah atau ke usus besar. Dalam keadaan normal usus besar akan meningkatkan kemampuannya untuk menyerap cairan yang bertambah banyak, tetapi tentu saja ada batasannya. Bila jumlah cairan meningkat sampai dengan 4500 ml (4,5 liter), masih belum terjadi diare, tetapi bila jumlah tersebut melampaui kapasitasnya menyerap, maka akan terjadi diare.(4) b. Bakteri Enteroinvasif Diare menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi, dan bersifat sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat bercampur lendir dan darah. Bakteri yang termasuk dalam golongan ini adalah Enteroinvasif E. Coli (EIEC), S. Paratyphi B, S. Typhimurium, S. Enteriditis, S. Choleraesuis, Shigela, Yersinia dan Perfringens tipe C. Penyebab diare lainnya, seperti parasit menyebabkan kerusakan berupa usus besar (E. Histolytica) kerusakan vili yang penting menyerap air, elektrolit dan zat makanan (lamdia) patofisologi kandida menyebabkan gastroenteritis belum jelas, mungkin karena superinfeksi dengan jasad renik lain. Pada Gastro Enteritis yang disebabkan oleh virus, lapisan mukosa usus menjadi merah dan meradang, dan terjadi edema. Biasanya
9
hanya terbatas pada lapisan mukosa usus, terjadi pengrusakan terhadap sel-sel epithel yang matang dan kemudian digantikan oleh absorbsi, yang tidak matang yang tidak dapat menyerap karbohidrat atau gizi lain dan air secara efisien. Mekanisme yang dilakukan virus masih belum jelas kemungkinan dengan merusak sel epitel mukosa walaupun hanya superfisial, sehingga mengganggu absorpsi air, dan elektrolit. Sebaliknya sel-sel kripti akan berpoliferasi dan menyebabkan bertambahnya sekresi cairan ke dalam lumen usus. Selain itu terjadi pula kerusakan enzim-enzim disakarida yang menyebabkan intoleransi yang akhirnya memperlama diare. Gastro Enteritis Akut dapat terjadi disebabkanoleh infeksi langsung virus ataupun oleh efek neurotoksik yang dihasilkan oleh bakteri. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi buang air besar.(4) MANIFESTASI KLINIS Secara umum, tanda dan gejala Gastroenteritis adalah sebagai berikut. 1. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer 2. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi seperti turgor kulit jelek (elastisitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering. 3. Demam 4. Nafsu makan berkurang 5. Mual dan muntah 6. Anoreksia 7. Lemah 8. Pucat 9. Nyeri abdomen 10. Perih di ulu hati 11. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan pernafasan cepat 12. Menurun atau tidak adanya pengeluaran urine.(2)(5) ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis a. Keluhan Pasien datang ke dokter karena buang air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam 24 jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut( nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus. Setiap kali diare, bab dapat menghasilkan volume yang besar (asal dari usus kecil) atau volume yang kecil (asal dari usus yang besar).
10
Bila diare disertai demam maka diduga erat dengan infeksi. Bila terjadinya diare didahului oleh makan dan minum dari sumber yang kurang higienenya, ge dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat bepergian didaerah yang wabah diare, riwayat intoleransi laktosa(terutama pada bayi), komsumsi makanan iritatif, minum jamu, diet cola, atau obat-obatab seperti laktasif, magnesium hidrochlorida, magnesium citrate, obat jantung quinidine, obat gout, diuretika (furosemid, tiazid), toksin (arsenik, organofosfat) insektisida, kafein, metil xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid), misoprostol, masalemin, antikolinesterase, dan obat-obat diet perlu diketahui. Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan demam tifoid perlu diidentifikasi. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan kurang, riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi obat, serta infeksi HIV/AIDS atau infeksi menular seksual.(5) 2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan umum 1) Inspeksi: mata cekung, membrane mukosa kering,berat badan menurun, anus kemerahan. 2) Perkusi: adanya distensi abdomen 3) Palpasi: Turgor kulit kurang elastis 4) Auskultasi: terdengarnya bising usus.(5) b. Pemeriksaan derajat dehdrasi Pemeriksaan derajat dehidrasi yang perlu diperhatikan adalah turgor kulit perut menurun, akral dingin, penurunan tekanan darah, peningkatandenyut nadi, tangan keriput, mata cekung atau tidak, penurunan kesadaran, nyeri abdomen, kualitas bising usus hiperperistaltik. Pada anak kecil cekung ubun-ubun kepala. Pada tanda vital lain dapat ditemukan suhu tubuh yang tinggi (hiperpireksi), nadi dan pernapasan cepat.(1) Gejala
Derajat dehidrasi Minimal (<3% dari berat badan)
Status mental
Baik, sadar penuh
Rasa haus
Minum normal, mungkin menolak
Ringan sampai sedang (3-9 % dari berat badan) Normal, lemas, atau gelisah, iritabel Sangat haus, sangat ingin
Berat ( >9% dari berat badan) Apatis, letargi, tidak sadar Tidak dapat minum
11
minum Normal
minum Normal, sampai meningkat
Kualitas denyut nadi Pernapasan Mata Air mata Mulut dan lidah Turgor kulit Isian kapiler
Normal Normal Normal Ada Basah
Normal, sampai menurun Normal cepat Sedikit cekung Menurun Kering
Baik Normal
< 2 detik Memanjang
Ekstremitas Output urin
Hangat Normal sampai menurun
Dingin Menurun
Denyut jantung
Takikardi,pada kasus berat bradikardi Lemah atau tidak teraba Dala Sangat cekung Tidak ada Pecah-pecah >2 detik Memanjang, minimal Dingin Minimal
c. Pemeriksaan colok dubur dianjurkan dilakukan pada semua kasus diare dengan feses berdarah, terutama, pada usia > 50 tahun. Selain itu, perlu dilakukan identifikasi penyakit komorbid.(1) 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan darah lengkap b. Pada diare karena virus biasanya didapatkan nilai leukosit dan hitung jenis normal / leukositosis c. Pada diare yang disebabkan bakteri invasif ke mukosaà leukositosis dengan kelebihan sel darah putih muda. d. Penyebab salmonellosis à neutropenia e. Pemeriksaan kimia darah f. pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit (Natrium, Kalium, Kalsium dan Fosfor) dalam serum untuk menentukan keseimbangan asama basa. g. Pemeriksaan ureum kreatinin untuk memeriksa kekurangan cairan dan mineral tubuh h. Pemeriksaan Feses i. Leukosit dalam tinja → infeksi j. Bakteri telur cacing dewasa → parasit
12
k. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet dinistest, bila diduga terdapat intoleransi gula. l. Bila diperlukan, lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. (2)(5) PENATALAKSANAAN 1. Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi. Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:(6) a. Jenis cairan yang hendak digunakan. 1) Cairan rehidrasi oral (oral rehidration salts) Formula lengkap mengandung NaCl, NaHCO3, KCl dan glukosa. Kadar natrium 90 meEq/l untuk kolera dan diare akut pada anak diatas 6 bulan dengan dehidrasi ringan dan sedang atau tanpa dehidrasi (untuk pencegahan dehidrasi). Kadar Natrium 50-60 mEq/l untuk diare akut non –kolera pada anak dibawah 6 bulan dengan dehidrasi ringan, sedang atau tanpa dehidrasi. Formula lengkap sering disebut oralit. Formula sederhana atau tidak lengkap hanya mengandung NaCl dan sukrosa atau karbohidrat lain, misalnya larutan gula garam, larutan air tajin garam, larutan tepung beras garam dan sebagainya untuk pengobatan pertama di rumah pada semua anak dengan diare akut baik sebelum ada dehidrasi maupun setelah ada dehidrasi ringan. 2) Cairan Intravena Cairan infus seperti Ringer Laktat, Jumlah cairan yang hendak diberikan. Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan cara/rumus:(1) Mengukur BJ Plasma BJ Plasma – 1.025 x BB (Kg) x 4 ml 0.001 Metode Pierce Berdasarkan keadaan klinis, yakni: * diare ringan, kebutuhan cairan = 5% x kg BB * diare sedang, kebutuhan cairan = 8% x kg BB * diare berat, kebutuhan cairan = 10% x kg BB
13
b. Jalan masuk atau cara pemberian cairan: 1) Peroral untuk dehidrasi ringan, sedang dan tanpa dehidrasi dan bila anak mau minum serta kesadaran baik 2) Intragastrik untuk dehidrasi ringan, sedang atau tanpa dehidrasi tetapi anak tidak mau minum atau kesadaran menurun 3) Intravena untuk dehidrasi berat .(5)(6) c. Jadwal pemberian cairan Jadwal rehidrasi inisial yang dihitung berdasarkan BJ plasma atau sistem skor diberikan dalam waktu 2 jam dengan tujuan untuk mencapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadwal pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3 didasarkan pada kehilangan cairan selama 2 jam fase inisial sebelumnya. Dengan demikian, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhir jam ke3. Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma. Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring. (6) 2. Pengobatan Dietetik Makanan dan minuman diberikan khusus pada penderita dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan. Adapun hal yang perlu diperhatikan: 1) memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih; dan 2) pasien dianjurkan minum minuman sari buah, the, minuman non soda dan makanan mudah dicerna.(6) 3. Pemberian Terapi Simptomik Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi. a. Obat-obat antidiare 1. Turunan opioid: loparamide, difenoksilat, tinktur opium.Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan
14
penggunaanya harus di berhentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi. 2. Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunocompromised, seperti HIV, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya bismuth encephalopathy. 3. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x 1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop. 4. Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase : hidrase 3x1/ hari. (1) b. Antiemetic Obat antiemetik seperti chlorpromazine dan prochlorperazine mempunyai efek sedative. Obat antiemetik seperti klorpromazin (largaktil)terbukti selain mencegah muntah juga mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kgBB/hari) kiranya cukup bermanfaat, tetapi juga perlu diingat efek samping dari obat ini. Penderita menjadi ngantuk sehingga intake cairan kurang.(6) c. Antipiretika Obat antipiretika seperti preparat silisilat (asetosal,aspirin) dalam dosis rendah (25mg/tahun/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan panas sebagai akibat dehidrasi atau panas karena infeksi, juga mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja.(6) 5. Pemberian Terapi Definitive Antibiotik tidak di berikan pada kasus diare cair akut kecuali dengan indikasi yaitu pada diare berdarah dan kolera. Secara umum tatalaksana pada disentri dikelola sama dengan kasus diare lain sesuai dengan acuan tatlaksana diare akut. Hal khusus mengenai tatalaksana disentri adalah pemberian antibiotika oral selama 5 hari yang masih sensitif terhadap shigella menurut pola kuman setempat. Dahulu semua kasus disentri pada tahap awal di beri antibiotika kotrimoksazole dengan dosis 5-8 mg/kgBB/hari. Namun saat ini telah banyak strain shigell resisten terhadap ampicillin, amoksisillin, metronidazol, tetrasiklin, golongan aminoglikosida, kloramfenikol, sulfonamid dan kotromoksazol sehingga WHO tidak merekomendasikan penggunaan obat tersebut.(2) Obat pilihan untuk pengobatan disentri berdasarkan WHO 2005 adalah dengan golongan Quinolon seperti siprofloksasin dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis selama 5 hari. Pemantauan di lakukan setelah 2 hari pengobatan, lihat apakah ada perbaikan tanda- tanda seperti tidak adanya demam, diare berkurang, darah dalam feses berkurang dan peningkatan nafsu makan. Jika tidak ada perbaikan maka amati adanya penyulit, hentikan pemberian antibiotik sebelumnya dan berikan antibiotik yang sensitif terhadap shigella
15
berdasarkan area. Jika kedua jenis antibiotik tersebut tidak ada memberikan perbaikan maka amati kembsali adanya penyulit atau penyebab selain disentri. Pada pasien rawat jalan dianjurkan pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti sefiksik 5 mg/kgBB/hari/oral. Penderita di pesankan kembali jika tidak membaik atau bertambah berat dan muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan kesadaran, tidak mau makan dan menjadi lemah. (2) PROGNOSIS Prognosis sangat bergantung keadaan pasien saat datang, ada atau tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan dehidrasi barat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam. (1)
DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo , A. W. Setiyohadi, B. Alwi, I, Simadibrata, M.D. Diare akut , M. Setiati,S. Eds.buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 Ed. Vol. I. Jakarta.: Pusat Penerbit Dapartemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.2009 2. Juffrie,M. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi . Jilid 1. Jakarta : IDAI. Hal 87-118 3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Buku kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika Jakarta 4. Sansonetti,P. Bergouniox, J. Shigellosis, in : Kasoer. Braunwald. Fauci, Et all. Harrison’s principles of internal medicine, Vol II 17 Ed. McGraw-Hill.2009 5. Sudoyo, W. Aru, dkk., Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2 Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006. 6. Makmun, D Sumadibrata, M.D Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi,A. Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut Pada Dewasa di Indonesia. Jakarta. Perkumpulan Gastroenteropatologi Indonesia. 2009.
16
3
HIPEREMIS GRAVIDARUM Level Kompetensi (SKDI): 3B Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo DEFINISI Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari.(1) Sekitar 50-90% perempuan hamil mengalami keluhan mual dan muntah. Keluhan ini biasanya disertai dengan hipersalivasi, sakit kepala, perut kembung, dan rasa lemah pada badan. Keluhan-keluhan ini secara umum dikenal sebagai “morning sickness.(2) EPIDEMIOLOGI Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada 50-90% dari kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primi gravida dan 40-60% multi gravida. Dari seluruh kehamilan yang terjadi di Amerika Serikat 0,3-2% diantaranya mengalami hiperemesis gravidarum atau kurang lebih lima dari 1000 kehamilan. (3) Mual dan muntah yang berkaitan dengan kehamilan biasanya dimulai pada usia kehamilan 9-10 minggu, puncaknya pada usia kehamilan 11-13 minggu, dan sembuh pada kebanyakan kasus pada umur kehamilan 12-14 minggu. Dalam 1-10% dari kehamilan, gejala-gejala dapat berlanjut melampaui 20-22 minggu. Kejadian hiperemesis dapat berulang pada wanita hamil. J. Fitzgerald (1938-1953) melakukan studi terhadap 159 wanita hamil di Aberdeen, Skotlandia, menemukan bahwa hiperemesis pada kehamilan pertama merupakan faktor risiko untuk terjadinya hiperemesis pada kehamilan berikutnya. Berdasarkan penelitian, dari 56 wanita yang kembali hamil, 27 diantaranya mengalami hiperemesis pada kehamilan kedua dan 7 dari 19 wanita mengalami hiperemesis pada kehamilan ketiga.(4) ETIOLOGI Penyebab utama hiperemesis gravidarum belum diketahui secara jelas, namun telah banyak yang meneliti tentang teori-teori yang dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum seperti peningkatan kadar hormon chorionic gonadotropin dan estrogen,
17
kadar hormon tiroksin, infeksi Helicobacter pylori, faktor sosial, psikologis, gangguan fungsi hati, kantung empedu, pankreatitis dan ulkus peptikum.(4) PATOGENESIS Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang isinya bila terjadi iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus. Muntah merupakan refleks terintegrasi yang kompleks terdiri atas tiga komponen utama yaitu detektor muntah, mekanisme integratif dan efektor yang bersifat otonom somatik. Rangsangan pada saluran cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan aferen simpatis menuju pusat muntah. Pusat muntah juga menerima rangsangan dari pusat-pusat yang lebih tinggi pada sereberal, dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema dan dari aparatus vestibular via serebelum. Beberapa signal perifer mem-bypass trigger zone mencapai pusat muntah melalui nukleus traktus solitarius. Pusat muntah sendiri berada pada dorsolateral daerah formasi retikularis dari medula oblongata. Pusat muntah ini berdekatan dengan pusat pernapasan dan pusat vasomotor. Rangsang aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V, VII, X, XII ke saluran cerna bagian atasdan melalui saraf spinal ke diapragma, otot iga dan otot abdomen.(3) Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial. Secara umum berdasarkan berbagai teori, pada hiperemesis gravidarum terjadi mual, muntah dan penolakan semua makanan dan minuman yang masuk, sehingga apabila terus-menerus dapat menyebabkan dehidrasi, tidak imbangnya kadar elektrolit dalam darah, dengan alkalosis hipokloremik. Selain itu, hiperemesis gravidarum mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi karena energi yang didapat dari makanan tidak cukup, lalu karena oksidasi lemak yang tidak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik dan aseton dalam darah sehingga menimbulkan asidosis. Selanjutnya, dehidrasi yang telah terjadi menyebabkan aliran darah ke jaringan berkurang, hal tersebut menyebabkan pasokan zat makanan dan oksigen berkurang dan juga mengakibatkan penimbunan zat metabolik yang bersifat toksik didalam darah. Kemudian, hiperemesis gravidarum juga dapat menyebabkan kekurangan kalium akibat dari muntah dan ekskresi lewat ginjal, yang menambah frekuensi muntah yang lebih banyak, dan membuat lingkaran setan yang sulit untuk dipatahkan.(3) MANIFESTASI KLINIS Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut sampai
18
mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis gravidarum.(3) Secara Klinis, hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu :(1) 1. Tingkat I: muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, dan yang terakhir adalah keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung, lidah kering, turgor kulit berkurang, dan urin sedikit tetapi masih normal. 2. Tingkat II: Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan lebih dari 100-140 kali per menit, tekanan darah sistolik kurang kurang dari 80 mmHg, apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat menurun. 3. Tingkat III : walaupun kondisi tingkat III sangat jarang, yang mulai terjadi adalah gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam urin. ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus, dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien seharihari. Selain itu, dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres,lingkungan sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis, penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri).(3) 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-tanda vital, tandadehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaantiroid dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding. (3) 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis danmenyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darahlengkap, urinalisis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar),analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasiendicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid denganparameter TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan
19
hipertiroid 50-60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinaldapat dilakukan pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori. Pemeriksaanlaboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan beratjenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan hematokrit.Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan gandaataupun mola hidatidosa.(4) TATALAKSANA Penatalaksanaan utama hiperemesis gravidarum adalah rehidrasi dan penghentian makanan peroral. Pemberian antiemetik dan vitamin secara intravena dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan.(2) 1. Tatalaksana Awal Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap di rumah sakit dan dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat, penghentian pemberian makanan per oral selama 24-48 jam, serta pemberian antiemetik jika dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan. Cairan dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak. Untuk pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium. 2. Pengaturan Diet Untuk pasien hiperemesis gravidarum tingkat III, diberikan diet hiperemesis I. Makanan yang diberikan berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersamamakanan, tetapi 1-2 jam setelah makan. Diet hiperemesis kurangmengandung zat gizi, kecuali vitamin C, sehingga diberikanhanya selama beberapa hari.Jika rasa mual dan muntah berkurang, pasien diberikandiet hiperemesis II. Pemberian dilakukan secara bertahapuntuk makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidakdiberikan bersama makanan. Diet hiperemesis II rendah dalamsemua zat gizi, kecuali vitamin A dan D.Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita denganhiperemesis ringan. Pemberian minuman dapat diberikanbersama makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali kalsium. 3. Terapi Alternatif Terapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah salah satu pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan aktifnya, gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated gene (Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Empat
20
randomized trials menunjukkan bahwa ekstrak jahe lebih efektif daripada plasebo dan efektivitasnya sama dengan vitamin B6. Efek samping berupa refluks gastroesofageal dilaporkan beberapa penelitian, tetapi tidak ditemukan efek samping signifikan terhadap keluaran kehamilan. Dosisnya adalah 250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, empat kali sehari. Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan muntah masih menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure pada titik akupuntur Neiguan P6 di pergelangan lengan menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan penelitiannya masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. Dalam sebuah studi yang besar didapatkan tidak terdapat efek yang menguntungkan dari penggunaan acupressure, namun The Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan stimulasi akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual. Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar pergelangan tangan juga dapat menurunkan mual dan muntah serta merangsang kenaikan berat badan.(2) PROGNOSIS Gardsby melaporkan semua wanita dengan mual dan muntah pada kehamilan merasakan awal terjadinya sebelum usia kehamilan 9 minggu. Jumlah tersebut menurun 30% pada kehamilan 10 minggu, turun lagi 30% pada kehamilan 12 minggu, dan menjadi 30% pada kehamilan 16 minggu. Sepuluh persen mengalami mual dan muntah setelah 16 minggu dan hanya 1% tetap mengalaminya setelah usia kehamilan 20 minggu.(5) Dengan penanganan yang baik, prognosis hiperemesis gravidarum sangatmemuaskan. Sebagian besar penyakit ini dapat membaik dengan sendirimya pada usiakehamilan 20-22 minggu, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit inidapat membahayakan jiwa ibu dan janin.(3)
DAFTAR PUSTAKA 1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2. Gunawan, Kevin, dkk. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum dalam Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011. 3. Widayana, Ari, Dkk. 2009. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Hiperemesis Gravidarum. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian/Smf Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
21
4. Yasa Ar, Aril Cikal. 2012. Hubungan antara Karakteristik Ibu Hamil Dengan Kejadian Hiperemesis Gravidarum Di RSUD Ujungberung pada Periode 2010-2011. Bandung : Fakultas KedokteranUniversitas Islam Bandung.
22
4
INFEKSI SALURAN KEMIH Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Udayana DEFINISI Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi pada uretra, kandung kemih, dan atau ginjal yang menyusun struktur utama dari saluran kemih. Infeksi pada uretra (uretritis) dan infeksi pada kandung kemih (sistitis) lebih sering terjadi daripada infeksi pada ginjal (pionelifritis).1 ISK menggambarkan infeksi dari sistem perkemihan yang menyebabkan respon inflamasi.2 Infeksi salurah kemih berkembang ketika bakteri masuk ke sistem perkemihan, bagian dari tubuh yang dalam keadaan normal tidak terdapat bakteri. 1 Infeksi saluran kemih terjadi ketika flora normal dari bagian periuretra digantikan oleh bakteri uropathogenic, yang menyebabkan bakteri naik dan menginfeksi kandung kemih. Bakteri yang naik diduga disebabkan oleh virulensi bakteri yang memungkinkan peningkatan dari pelekatan bakteri, infeksi, dan kolonisasi bakteri uropathogenic. Beberapa jenis bakteri uropathogenic adalah Escherichia coli, Staphylococcus saprophyticus, Klebsiella pneumoniae dan Proteus mirabilis.2 85% dari infeksi disebabkan oleh bakteri di usus yaitu Escherichia coli.1 EPIDEMIOLOGI ISK dianggap sebagai infeksi bakteri yang paling umum. Berdasarkan dari data yang ada, terdapat lebih dari 7 juta orang pergi ke dokter dan lebih dari 1 juta orang harus menjalani rawat jalan, dan 1 juta orang mengalami keadaaan gawat darurat, dari data 100.000 rumah sakit tiap tahunnya. Hasil tersebut didapatkan 1,2% dari wanita dan 0,6% dari pria. Secara keseluruhan, prevalensi dari bakteriuria pada wanita diperkirakan pada 3,5% dengan prevalensi yang umumnya meningkat berdasarkan usia dan semakin progresif. Setidaknya 20% wanita dan 10% pria yang berusia diatas 65 tahun mengalami bakteriuria. Jumlah penderita ISK kira-kira 38% dari 2 juta penderita infeksi nosocomial tiap tahunnya. ISK terkait penggunaan kateter adalah infeksi nosocomial yang paling umum. Kejadian ISK juga meningkat selama kehamilan dan pada pasien dengan cedera tulang belakang, diabetes, multipel sklerosis, dan HIV/AIDS. Hal ini juga berdampak pada finansial, sehingga setidaknya harus diketahui perjalanan penyakit ISK apabila tidak diobati.
23
Pasien yang mengalami infeksi dapat mengembangkan infeksi berikutnya. Banyak orang dewasa dengan ISK pada waktu anak-anak, sehingga penting untuk memahami faktor genotip pada ISK. Penelitian juga menemukan bahwa kemungkinan ISK dapat berulang dengan jumlah infeksi sebelumnya dan menurun dalam proposi terbalik dengan waktu antara infeksi pertama dan kedua. Kebanyakan kasus infeksi berulang terjadi setelah 2 minggu dan dalam 5 bulan. Pada pasien yang tidak menerima pengobatan sama sekali atau jangka pendek, jangka panjang atau pengobatan antimikroba profilaksis, memiliki risiko bakteriuria berulang yang sama. Terapi antimikroba profilaksis mengurangi infeksi berulang tetapi tidak mengubah kecenderungan yang mendasari untuk terjadinya infeksi berulang. Efek dari ISK dengan komplikasi sangat besar, seperti obstruksi, batu ginjal, diabetes mellitus, dan faktor risiko lain dari ISK pada orang dewasa dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Efek jangka panjang ISK berulang tanpa komplikasi masih belum jelas diketahui, namun sejauh ini tidak ada hubungan antara infeksi berulang dan jaringan parut ginjal, hipertensi atau azotemia ginjal progresif. Pada wanita hamil, prevalensi dari kejadian infeksi berulang juga sama, tetapi bakteriurianya berkembang menjadi pielonefritis klinis akut lebih sering dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. 3 ETIOLOGI Bakteri Escherichia coli merupakan patogen yang paling banyak menyebabkan ISK pada komunitas dan rumah sakit yaitu mencapai 77%. Patogen lain yang menjadi penyebab antara lain Proteus mirabilis, Staphylococcus saprophyticus, Enterococcus faecalis, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa. Akan tetapi patogen selain E. coli hanya menjadi penyebab kurang dari 10% kasus ISK. 4 Etiologi ISK juga dipengaruhi dari faktor usia, diabetes, cedera sumsum tulang belakang, atau penggunaan kateter. Etiologi ini dapat memengaruhi komplikasi penyakit ISK yang diderita pasien. 5
24
Gambar 1. Bakteri penyebab ISK.4 PATOFISIOLOGI Invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih merupakan penyebab umum terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). Pada beberapa kasus, mikroorganisme dapat menginvansis hingga ke ginjal. Proses ini dipermudah dengan terjadinya refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokkokus aureus) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen. 6 MANIFESTASI KLINIS 1. Cystitis Pasien dengan cystitis biasanya mengeluhkan disuria dan nyeri pada suprapubik.Urin biasanya mengalami kekeruhan dan malodor serta pada 30% kasus dapat mengalami perdarahan. Sel darah putih dan bakteri dapat terdeteksi pada pemeriksaan urin dalam kebanyakan kasus. Pada wanita yang mengalami cystitis hanya memiliki 10 2104 bakteri per milimeter urin. Pada pemeriksaan fisik hanya memperlihatkan kekakuan pada uretra atau area suprapubik.7 2. Akut Pyelonephritis Gejala akut pyelonephrtis umumnya berkembang sangat cepat dalam bebrapa jam atau hari, dimana terdapat demam, menggigil, mual, muntah, nyeri perut, dan diare.
25
Pada pemeriksaan fisik memperlihatkan tanda kekakuan pada penekanan dalam sudut costovertebral atau palpasi abdomen dalam. Tingkat keparahan penyakit sangat luas. Hematuria dapat terjadi pada fase akut.7 3. Urethritis Pada umumnya pasien dengan urethritis tidak terlihat sakit dan tidak menunjukan tanda sepsis, seperti demam, takikardia, takipnea, atau hipotensi. Selain itu, terdapat juga keluarnya cairan uretra yang berwarna hijau, kuning, ataupun dapat bercampur dengan darah dan produksinya tidak berkaitan dengan aktivitas seksual. disuria biasanya terlokalisir pada meatus atau distal penis. Adanya sensasi gatal atau iritasi.8 DIAGNOSIS Diagnosis awal ISK didapat dari urinalisis langsung atau tidak langsung, dan ditegakkan dengan kultur urin. Urin dan saluran kemih pada kondisi normal bebas dari bakteri. Hasil urinalisis dan kultur urin dapat mengembalikan hasil false negative, umumnya pada masa-masa awal infeksi dimana jumlah bakteri dan sel darah putih masih terlalu kecil untuk terdeteksi atau terlarut dengan peningkatan asupan cairan. Hasil false positive pada urinalisis dan kultur urin dapat terjadi apabila terjadi kontaminasi pada saat pengambilan sampel, oleh karena itu sterilisasi sangatlah penting dalam pengambilan sampel. 1. Pengambilan sampel urin Pengambilan sampel bisa melalui urinasi biasa atau kateterisasi. Pada pria yang dikhitan, tidak diperlukan persiapan dalam pengambilan sampel. Pada pria yang tidak dikhitan, prepusium ditarik kemudian glans penis dibersihkan dengan sabun dan dibilas dengan air sebelum pengambilan sampel. 10mL urin pertama (representatif dari uretra) dan spesimen midstream (representatif dari kandung kemih) diambil sebagai sampel. Cairan prostat dapat diambil dengan pemijatan prostat digital dan mengambil cairan prostat yang tersekresi. Kateterisasi pada pasien laki-laki tidak diindikasikan kecuali pasien tidak mampu untuk urinasi. Pada pasien wanita, kontaminasi spesimen midstream oleh bakteri dan sel darah putih cukup umum, terutama pada wanita yang kesulitan membuka dan memisahkan labia vaginanya. Oleh karena itu wanita sebaiknya membuka lebar labianya, membersihkan daerah periuretral dengan kain kasa lembab, dan mengambil sampel midstream. Pembersihan dengan antiseptik beresiko mengembalikan hasil false negative. Jika pada sampel terdapat sel epitel vagina dan lactobacilli, maka sampel tersebut terkontaminasi dan kateterisasi dilakukan untuk mengambil sampel. Kateterisasi dan pengambilan spesimen midkateterisasi lebih
26
akurat daripada urinasi biasa, namun beresiko terjadi infeksi iatrogenik. Agen antimikrobial oral seperti trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) sebaiknya diberikan pada pasien dengan resiko tinggi saja untuk menghindari terjadinya resistensi antibiotik. 2. Urinalisis Pada pasien dengan gejala di sistem uriner maka urinalisis mikroskopis sebaiknya dilakukan terlebih dahulu terhadap bakteria, pyuria, dan hematuria. Urinalisis memerlukan waktu yang singkat untuk mengidentifikasi bakteria dan sel darah putih dan memberikan diagnosis awal terhadap ISK. Umumnya, sedimen dari sampel 5-10 mL didapatkan dengan sentrifugasi 2000 ppm selama 5 menit. Pada umumnya bakteria mikroskpis akan terlihat pada jumlah diatas 105 cfu/mL. Oleh karena itu, bakteria yang masih dibawah jumlah tersebut seringkali menyebabkan hasil false negative. Hasil false positive didapat apabila terdapat bakteria pada urinalisis tapi tidak ada perkembangan pada kultur urin, umumnya pada sampel yang terkontaminasi seperti urin wanita yang terkontaminasi bakteria di vagina. Selain metode mikroskopis, pemeriksaan biokimiawi dan enzimatik telah dikembangkan untuk mendeteksi bakteria dan pyuria. Uji Griess mendeteksi adanya nitrit pada urin yang terbentuk ketika bakteria mereduksi nitrat yang ditemukan pada urin normal. Deteksi pyuria dengan menguji aktivitas leukosit esterase juga sudah dikembangkan. Meski begitu, metode-metode ini kurang akurat dibandingkan urinalisis mikroskopis. Oleh karena itu, metode-metode ini hanya digunakan pada pasien asimptomatik, sedangkan pada pasien simptomatik dilakukan urinalisis mikroskopis. 3. Kultur urin Kultur urin dapat dilakukan dengan lempeng agar pisah atau dengan dip slide. Pada lempeng agar pisah, sebagian lempeng diisi dengan agar darah, yang menumbuhkan bakteri gram positif dan negative, dan sebagian lagi diisi dengan desoxycholate atau eosin-methylene blue (EMB), yang menumbuhkan bakteri gram negative saja. 0,1 mL urin diteteskan ke kedua sisi lempeng agar, kemudian diinkubasi selama semalam. Setelah inkubasi, jumlah koloni dihitung dan dikali 10 untuk mendapat jumlah cfu per milliliter urin. Metode kedua dengan dip slide lebih sederhana, namun tidak seakurat lempeng agar pisah dalam mengidentifikasi jenis bakteria. Dalam slide tersebut terdapat agar kedelai yang menumbuhkan segala jenis bakteria pada satu sisi, dan EMB atau agar McConkey pada sisi satunya. Slide tersebut dicelupkan ke urin, kelebihan urin kemudian dikeringkan, dan dimasukkan ke dalam botol plastiknya. Volume urin yang menempel pada slide berkisar antara 1/100 sampai 1/200 mL, oleh karena itu jumlah
27
koloni yang terhitung dikali 100 atau 200 untuk mendapat jumlah koloni per milliliter.
Gambar 2. Kiri: dip slide; kanan: lempeng agar pisah. Pada metode lempeng agar pisah, setelah pengambilan sampel, urin harus segera dimasukkan kedalam kulkas dan sebaiknya dikultur dalam 24 jam setelah dimasukkan ke dalam kulkas. Sedangkan pada dip slide hal ini tidak diperlukan sehingga metode ini lebih mudah pada pasien, dimana pasien bisa kultur urin di rumah sendiri dan dibiarkan pada suhu ruangan, kemudian kembali setelah 48 jam membawa hasil kultur urin tersebut.9 TATALAKSANA Tatalaksana ISK bergantung pada usia pasien, derajat toksisitas, ada atau tidaknya muntah, durasi demam, serta resistensi antibiotik pada beberapa komunitas. Terapi non-antibiotik belum terbukti efektivitasnya, sehingga antibiotik menjadi pilihan yang efektif dan mampu menurunkan durasi gejala ISK. Pilihan antibiotik bergantung pada kondisi klinis dan berbeda-beda pada setiap pasien dengan gangguan ginjal.4,10 Pada terapi ISK hal-hal yang harus diperhatikan adalah usaha untuk mencegah terjadinya infeksi kembali serta resistensi antibiotik. Contoh resistensi antibiotik adalah pada bakteri E. coli yang resisten terhadap antibiotik oral penicillins dan cephalosporins, tetapi masih sensitif terhadap nitrofurantoin dan quinolones. Terdapat juga beberapa kelompok yang harus mendapatkan penangan ISK yang spesifik yaitu pada anak-anak
28
yang berisiko mengalami reflux nephropathy, pada wanita hamil, pasien dengan kateter, serta pada pasien transplantasi ginjal.4 PROGNOSIS Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomi mempunyai prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomi umumnya kurang memuaskan meskipun telah di beri pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefrofati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara dokter, ahli bedah urologi dan keluarga penderita sangat diperlukan untuk pencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis.11
Daftar Pustaka: 1. Anonim. Urinary Tract Infections (UTIs). Health Topics. Tersedia di: http://www.rochester.edu/uhs [diunduh: 4 Agustus 2016] 2. Dason, S., Dason, J. T., Kapoor, A. 2011. Guidelines for the diagnosis and management of recurrent urinary tract infection in women. CUA Guidline. 5: 316322. 3. Wein AJ, Kavoussi LR, Partin AW, et al. Campbell-Walsh Urology. 11st rev. ed. Philadelphia: Elsevier, 2016. 3597p. 4. Sheerin, N.S. 2011. Urinary tract infection. Medicine 39(7): p.384–389. 5. Ronald, A. 2003. The etiology of urinary tract infection: Traditional and emerging pathogens. Disease-a-Month 49(2): p.71–82. 6. Sukandar E. Infeksi saluran kemih pasien dewasa. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. 7. Fauci AS. Harrison’s principles of internal medicine. Vol. 2. McGraw-Hill, Medical Publishing Division; 2008. 8. CDC Fact Sheet: Reported STDs in the United States: 2014. Centers for Disease Control and Prevention. Available at http://www.cdc.gov/std/stats14/default.htm. November 2015; Accessed: June 14, 2016.
29
9.
Wein AJ, Kavoussi LR, Partin AW, Peters CA. CAMPBELL-WALSH UROLOGY, ELEVENTH EDITION. Vol. 53, Journal of Chemical Information and Modeling. 2016. 1689-1699 p. 10. Srivastava R, Vasudev A. Urinary tract infections—current management. Apollo Med. Indraprastha Medical Corporation Ltd.; 2011;8(4):270–5. 11. Triyadi R. Infeksi Saluran Kemih. 2012.
30
5
KEHAMILAN NORMAL Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo DEFINISI Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi atas 3 trimester, dimana trimester pertama berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua selama 15 minggu (minggu ke-13 hingga minggu ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 sampai ke-40).(1) PERIODE KEHAMILAN 1. Periode Embrionik Dimulai pada permulaan minggu ketiga setelah ovulasi dan fertilisasi, yang terjadi bersamaan dengan perkiraan permulaan periode menstruasi berikutnya. Periode embrionik berlangsung selama 8 minggu dan merupakan saat terjadinya organogenesis.(2) 2. Periode janin Akhir periode embrionik dan awal periode janin dinyatakan, secara sembarang oleh para ahli embriologi, dimulai 8 minggu pascafertilisasi atau 10 minggu setelah awitan menstruasi terakhir:(2) 3. Minggu ke-12 Gestasi Uterus biasanya teraba diatas simfisis pubis. Panjang kepala bokong janin adalah 6 hingga 7 cm. Genitalia eksterna mulai memperlihatkan tanda kelamin laki-laki atau perempuan. Janin mulai bergerak spontan.(2) 4. Minggu ke-16 Gestasi Panjang kepala bokong janin adalah 12 cm dan berat 110 g. Jenis kelamin telah dapat ditentukan oleh tenaga medis yang berpengalaman dengan cara inspeksi pada minggu ke-14.(2) 5. Minggu ke-20 Gestasi Merupakan titik pertengahan kehamilan yang diperkirakan dari awal mestruasi terakhir. Janin memiliki berat lebih dari 300 g, dan berat ini bertambah secara linear.
31
Kulit janin teah menjadi kurang transparan, lanugo seperti beledu menutupi seluruh tubuh janin dan telah terbentuk sebagian rambut di kulit kepala.(2) 6. Minggu ke-24 Gestasi Janin sekarang memiliki berat sekitar 630 gram. Janin yang dilahirkan pada periode ini akan berusaha bernapas, tetapi banyak yang meninggal karena sakus terminalis, yang diperlukan untuk pertukaran gas, belum terbentuk. (2) 7. Minggu ke-28 Gestasi Panjang kepala bokong sekitar 25 cm, dan berat janin sekitar 1100 g. membran pupil baru saja menghilang dari mata. Bayi yang lahir pada periode ini 90% kemungkinan untuk bertahan hidup tanpa hendaya fisik atau neurologis. (2) 8. Minggu ke-32 Gestasi Janin telah mencapai panjang kepala bokong 28 cm dan berat sekitar 1800 gram. (2) 9. Minggu ke-36 Gestasi Panjang rata-rata kepala bokong pada janin periode ini adalah sekitar 32 cm dan berat teratanya sekitar 2500 gram.(2) 10. Minggu ke-40 Gestasi Merupakan periode disaat janin dianggap aterm menurut usia yang dihitung dari awitan periode menstruasi terakhir. Janin telah berkembang sempurna. Panjang kepala bokong adalah sekitar 36 cm dan berat kira-kira 3400 gram.(2) ADAPTASI FISIK DAN PSIKOLOGIS SELAMA KEHAMILAN Adaptasi Fisik Selama Kehamilan 1. Uterus Selama kehamilan uterus akan beradaptasi untuk menerima dan melindungi hasil konsepsi sampai persalinan. Uterus mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menambah besar dengan cepat selama kehamilan dan pulih kembali seperti keadaan semula dalam beberapa minggu setelah persalinan.(1) 2. Serviks Satu bulan setelah konsepsi serviks akan menjadi lunak dan kebiruan. Perubahan ini terjadi akibat penambahan vaskularisasi dan terjadinya edema pada seluruh serviks, bersamaan dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia pada kelenjar-kelenjar serviks.(1) 3. Ovarium Proses ovulasi selama kehamilan akan terhenti dan pematangan folikel baru juga ditunda. Hanya satu korpus luteum yang dapat ditemukan di ovarium. Folikel ini akan berfungsi maksimal selama 6-7 minggu awal kehamilan dan setelah itu akan berperan sebagai penghasil progesteron dalam jumlah yang relatif minimal. (1)
32
4. Vagina dan perineum Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi dan hiperemia terlihat jelas pada kulit dan otot-otot di perineum dan vulva, sehingga pada vagina akan terlihat berwarna keunguan yang dikenal dengan tanda Chandwick. Perubahan ini meliputi penipisan mukosa dan hilangnya sejumlah jaringan ikat dan hipertrofi dari sel-sel otot polos.(1) 5. Kulit Pada dinding perut akan terjadi perubahan warna menjadi kemerahan, kusam, dan kadang-kadang juga akan mengenai daerah payudara dan paha. Perubahan ini dikenal dengan namastriae gravidarum. Pada multipara selain striae kemerahan itu seringkali ditemukan garis berwarna perak berkilau yang merupakan sikatrik dari striae sebelumnya.(1) 6. Payudara Pada awal kehamilan perempuan akan merasakan payudaranya menjadi lebih lunak. Setelah bulan kedua payudara akan bertambah ukurannya dan vena-vena di bawah kulit akan lebih terlihat. Puting payudara akan lebih besar, kehitaman, dan tegak. Setelah bulan pertama suatu cairan berwarna kekuningan yang disebut kolustrum dapat keluar. Meskipun dapat dikeluarkan, air susu belum dapat diproduksi karena hormon prolaktin ditekan oleh prolactin inhibiting hormone.(1) 7. Perubahan Metabolik Sebagian besar penambahan berat badan selama kehamilan berasal dari uterus dan isinya. Kemudian payudara, volume darah, dan cairan ekstraselular. Diperkirakan selama kehamilan berat badan akan bertambah 12,5 kg.(1) 8. Sistem kardiovaskular Pada minggu ke-5,cardiac output akan meningkat dan perubahan ini terjadi untuk mengurangi resistensi vaskular sistemik. Selain itu, juga terjadi peningkatan denyut jantung. Antara minggu ke-10 dan 20 terjadi peningkatan volume plasma sehingga juga terjadi peningkatan preload. Performa ventrikel selama kehamilan dipengaruhi oleh penurunan resistensi vaskular sistemik dan perubahan pada aliran pulsasi arterial. Kapasitas vaskular juga akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan. Peningkatan estrogen dan progesteron juga akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular perifer. (1) 9. Sistem Respirasi Selama kehamilan sirkumferensia torak akan bertambah ± 6 cm, tetapi tidak mencukupi penurunan kapasitas residu fungsional dan volume residu paru-paru karena pengaruh diafragma yang naik ± 4 cm selama kehamilan. Frekuensi pernapasan hanya mengalami sedikit perubahan selama kehamilan, tetapi volume
33
tidal, volume ventilasi per menit dan pengambilan oksigen per menit akan bertambah secara signifikan pada kehamilan lanjut.(1) 10. Traktus digestivus Perubahan yang nyata akan terjadi pada penurunan motilitas otot polos pada traktus digestivus dan penurunan sekresi HCl dan peptin lambung sehingga menimbulkan gejala berupa pirosis (heartburn) yang disebabkan refluks asam lambung ke esofagus bawah sebagai akibat menurunnya tonus sfingter esofagus bawah. Mual terjadi akibat penurunan HCl dan penurunan motilitas, serta konstipasi sebagai akibat penurunan motilitas usus besar. Gusi akan menjadi lebih hiperemis dan lunak sehingga dengan trauma sedang saja bisa meyebabkan perdarahan. (1) 11. Traktus urinarius Pada bulan-bulan pertama kehamilan kandung kemih akan tertekan oleh uterus yang mulai membesar sehigga menimbulkan sering berkemih. Keadaan ini akan hilang dengan makin tuanya kehamilan bila uterus keluar dari rongga panggul. Keadaan ini akan berulang pada ahir kehamilan jika kepala janin sudah mulai turun ke pintu atas panggul. Ginjal akan membesar, glomerular filtration rate, dan renal plasma flow juga akan meningkat.(1) 12. Sistem endokrin Selama kehamilan normal kelenjar hipofisis akan membesar ± 135%. Kelenjar tiroid akan mengalami pembesaran hingga 15,0 ml pada saat persalinan akibat dari hiperplasia kelenjar dan peningkatan vaskularisasi. Kelenjar adrenal pada kehamilan normal akan mengecil, sedangkan hormon androstenodion, testoteron, dioksikortikosteron, aldosteron, dan kortisol akan meningkat. Sedangkan dehidroepiandrosteron sulfat akan menurun.(1) 13. Sistem muskuloskeletal Akibat kompensasi dari pembesaran uterus ke posisi anterior, lordosis menggeser pusat daya berat ke belakang ke arah dua tungkai. Sendi sarkoiliaka, sakrokoksigis dan pubis akan meningkat mobilitasnya, yang diperkirakan karena pengaruh hormonal.(1) Adaptasi Psikologis Selama Kehamilan 1. Trimester pertama Perasaan ambivalensi hilang. Mengamati perubahan akibat kehamilan, menerima janin sebagai sesuatu yang nyata, menjadi lebih tertutup (introvert), perubahan citra diri, mungkin moody. Takut untuk melakukan senggama atau terlalu tidak nyaman untuk melakukan aktivitas seksual.(3) 2. Trimester kedua
34
Merasa enak tapi kurang puas dengan perubahan tubuh seiring kemajuan kehamilan. Menikmati seks atau malah asyik dengan perkembangan identitas maternal. Menggali dan mengembangkan hubungan dengan ibunya.(3) 3. Trimester ketiga Mencoba peran-peran baru. Rentan, ingin disayang. Semangat menantikan kehamilan berakhir disertai perasaan takut. Bermimpi, berfantasi tentang bayi. Memulai persiapan menyambut persalinan dan pelahiran. Menyusun rencana untuk periode pascapartum. Membutuhkan peneimaan dan dukungan sosial. Kurang percaya diri. Senggama menjadi kurang nyaman; biasanya ingin digenggam. (3) TANDA DAN GEJALA Tanda dugaan kehamilan:(4) 1. Menstruasi berhenti 2. Nyeri pada payudara 3. Tanda chadwick 4. Pigmentasi kulit berubah 5. Peningkatan frekuensi berkemih 6. Terbentuknya tuberkel montgomery 7. Merasa gerak janin 8. Wanita yakin dirinya hamil. Tanda kemungkinan kehamilan:(4) 1. Pembesaran abdomen 2. Ballotement 3. Perlunakan serviks 4. Garis besar uterus yang dapat dipalpasi 5. Perubahan bentuk, ukuran, serta konsistensi uterus 6. Kontraksi braxton hicks. Tanda pasti kehamilan:(4) 1. Gerakan janin dirasakan oleh pemeriksa. 2. Terdapat denyut jantung janin (DJJ). 3. Janin terlihat pada pemeriksaan USG atau sinar-X. ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS Penentuan dan dugaan terhadap kehamilan sangat terkait dengan pengetahuan tentang fisiologi awal kehamilan. Pengenalan ini juga penting bagi penapisan terhadap kelainan yang mungkin terjadi selama kehamilan. Tanda-tanda presumtif adalah perubahan fisiologik pada ibu atau seorang perempuan yang mengindikasikan bahwa ia telah hamil.
35
Tanda-tanda tidak pasti atau terduga hamil adalah perubahan anatomik dan fisiologik selain dari tanda-tanda presumtif yang dapat dideteksi atau dikenali pemeriksa. Tandatanda pasti kehamilan adalah data atau kondisi yang mengindikasikan adanya buah kehamilan atau bayi yang diketahui melalui pemriksaan dan direkam oleh pemeriksa (misalnya denyut jantung janin, gambaran sonogram janin, dan gerakan janin). (1) Uji kehamilan didasarkan pada adanya produksi korionik gonadotropik (hCG) oleh sel-sel sinsisiotrofoblas pada awal kehamilan. Hormon ini disekresikan ke dalam sirkulasi ibu hamil dan diekskresikan melaui urin. hCG dapat dideteksi pada sekitar 26 hari setelah konsepsi dan peningkatan ekskresinya sebanding meningkatnya usia kehamilan di antara 30-60 hari. Produksi puncaknya adalah pada usia kehamilan 60-70 hari dan kemudian 100-130 hari. Karena akurasi pemeriksaan hCG adalah 95-98% dan tidak spesifik untuk kehamilan, maka uji hormonal kehamilan tidak digolongkan sebagai tanda pasti kehamilan.(1) Pemeriksaan spesimen darah dengan radioimmunoassay dapat dikhususkan untuk ranta glikoprotein subunit beta (β subunits) yang dianggap spesifik dengan kehamilan. Dengan metode ini, adanya hCG dapat dideteksi sejak 1 minggu setelah konsepsi. Pengujian ini dilengkapi dengan informasi tentang usia kehamilan dan tingkat sensitivitas yang dipakai oleh pembuat perangkat atau instrument uji kehamilan. Walau cara pengujian ini dianggap sangat akurat tapi tidak 100% sempurna. (1) Metode terbaru pengujian hCG subunit beta adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Cara ini akan mengabsorbsi antibodi monoklonal hCG subunit beta dengan hasil yang sangat sensitif, tingkat spesifitas ang tinggi dalam waktu yang relative singkat, tidak membutuhkan biaya tinggi dan mudah dilakukan. (1) NUTRISI UNTUK IBU HAMIL 1. Kalori Jumlah kalori yang diperlukan bagi ibu hamil untuk setiap harinya adalah 2500 kalori. Pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang dapat memberikan kecukupan kalori tersebut sebaiknya dapat dijelaskan secara rinci dan bahasa yang dimengerti oleh para ibu hamil dan keluarganya. Jumlah kalori yang berlebih dapat menyebabkan obesitas dan hal ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. Jumlah pertambahan berat badan sebaiknya tidak melebihi 10-12 kg selama hamil.(1) 2. Protein Jumlah protein yang diperlukan oleh ibu hamil adalah 85 gram per hari. Sumber protein tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan (kacang-kacangan) atau
36
hewani (ikan, ayam, keju, susu, telur). Defisiensi protein dapat menyebabkan kelahiran prematur, anemia, dan edema.(1) 3. Kalsium Kebutuhan kalsium ibu hamil adalah 1,5 gram per hari. Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan janin, terutama bagi perkembangan otot dan rangka. Sumber kalsium yang mudah diperoleh adalah susu, keju, yogurt, dan kalsium karbonat. Defisiensi kalsium dapat menyebabkan riketsia pada bayi atau osteomalasia pada ibu. (1) 4. Zat besi Metabolisme yang tinggi pada ibu hamil memerlukan kecukupan oksigenasi jaringan yang diperoleh dari pengikatan dan pengantaran oksigen melalui hemoglobin di dalam sel-sel darah merah. Untuk menjaga konsentrasi hemoglobin yang normal, diperlukan asupan ibu hamil dengan 30 mg/hari terutama setelah trimester kedua. Bila tidak ditemukan anemia pemberian besi per minggu cukup adekuat. Zat besi yang diberikan berupa ferrous gluconate, ferrous fumarate, atau ferrous sulphate. Kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat meyebabkan anemia defisiensi zat besi. (1) 5. Asam folat Selain zat besi, sel-sel darah merah juga memerlukan asam folat bagi pematangan sel. Jumlah asam folat yang dibutuhkan oleh ibu hamil adalah 400 mikrogram per hari. Kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik pada ibu hamil.(1)
DAFTAR PUSTAKA 1. Saifuddin, Abdul Bari (Ed.ket), Triatmojo Rachimhadhi dan Gulardi H. Wiknjosastro (Eds.). 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Ed.4 Cet.4. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2. Cunningham, F. Gary. 2012. Obstetri Williams Ed.23. Jakarta: EGC. 3. Sinclair, Constance. 2012. Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC. 4. Benson, Ralph C, Martin L. Pernoll. 2008. Buku Saku Obstetri & Ginekologi.Ed.9. Jakarta: EGC.
37
6
VAGINITIS Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram DEFINISI Vaginitis adalah inflamasi pada vagina yang di tandai dengan atau tanpa adanya pengeluaran sekret atau cairan. Kasus ini dapat segera di atasi jika penyebab dari inflamasi segera di ketahui. Vaginitis juga dapat menjadi indikasi gangguan kesehatan yang mendasari dan harus ditangani oleh dokter kandungan. Penyebabnya adalah pertumbuhan bakteri normal yang berlebihan pada vagina, biasanya paling sering diakibatkan karena kontaminasi dengan patogen tinja saat berkemih. (1) Infeksi juga terkait dengan kebersihan yang buruk atau penggunaan produk atau penyakit yang mengubah respon kekebalan tubuh seperti antibiotik, steroid, atau penyakit seperti diabetes. Juga dapat disebabkan oleh non infeksi, yaitu dengan penggunaan sabun mandi, mencuci daerah vital berlebihan dan sering, dan pembalut yang tidak steril. Infeksi menular seksual termasuk: trichomonas , klamidia , dan gonore. Dengan gejala cairan vagina encer, berwana kuning kehijauan, berbusa dan berbau busuk, vulva agak bengkak dan kemerahan, gatal, terasa tidak nyaman serta nyeri saat berhubungan seksual dan saat kencing. Infeksi-infeksi bakteri vagina juga dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perlukaan pada mukosa dalam vagina, juga dengan wanitawanita yang sistem imunnya ditekan (contoh: penggunaan obat-obatan cortisone seperti prednisone).(1) Infeksi bakteri vagina tidak dipertimbangkan sebagai infeksi yang ditularkan secara seksual atau sexually transmitted infection (STI). Karena candida biasa hadir pada vagina yang normal. Tapi untuk pria dapat terjadi gejala-gejala dari iritasi kulit penis dari infeksi bakteri setelah hubungan seksual dengan penderita yang terinfeksi. Dan bau yang di timbulkan oleh wanita yang terinfeksi tersebut disebabkan adanya amino yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa menimbulkan terlepasnya amino dari perlekatannya pada protein dan vitamin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Diagnosis pasti dapat dibuat dengan melihat cairan vagina dengan mikroskop, atau dengan pengujian laboratorium.(1)
38
EPIDEMIOLOGI Vaginitis, vaginosis bakterial (VB), dan kandidiasis vulvovaginal (KVV) merupakan infeksi vagina yang paling sering pada wanita aktif melakukan hubungan seksual. Penyakit ini dialami pada 15% wanita yang mendatangi klinik ginekologi, 10-25% wanita hamil dan 33-37% wanita yang mendatangi klinik infeksi menular seksual. prevalensi VB berkisar antara 10-30% pada populasi yang berbeda diseluruh dunia. Di Indonesia, Krisnadi pada penelitiannya tahun 2000 di Bandung, mendapatkan prevalensi vaginosis bakterial sebesar 14,7%, Wedagama dkk. tahun 2000 di Denpasar, mendapatkan 27,27%. Pada penelitian Effendi tahun 2004 di RSU dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan kriteria Amsel, dijumpai prevalensi VB sebesar 25,7%, dan dengan menggunakan skor Nugent pada pewarnaan Gram dijumpai sebesar 28,7% Sulistyowati dkk melakukan penelitian secara retrospektif berdasarkan catatan medik pasien VB yang berobat di sub bagian IMS poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi Surakarta periode Januari-Desember 2011.(1) Pada penelitian ini diketahui bahwa jumlah VB sebanyak 56,25%, dengan distribusi pasien VB berdasarkan kelompok umur terbanyak adalah 25-44 tahun sebanyak 43,75%, 15-24 tahun sebanyak 31,25%. Status pernikahan terbanyak adalah menikah sebanyak 81,25%, belum menikah 12,5%, janda orang 5,25%. Faktor resiko terbanyak pasien VB adalah douching vagina sebanyak 87,5%, 12,5% menggunakan Intra Uterine Device (IUD). Keluhan utama terbanyak adalah keluarnya duh tubuh vagina yang disertai dengan gatal sebanyak 12 orang (75%), terdapat juga keluhan perih pada 2 orang (12,5%), dan tanpa keluhan pada 2 orang (12,5%). Keluhan utama terbanyak adalah lebih dari 14 hari sebanyak 8 orang (50%). Duh tubuh vagina terbanyak adalah mukous sebanyak 14 orang (87,5%). Diagnosis penyerta terbanyak adalah kandidiasis vulvovaginalis sebanyak 5 orang (31,25%), 5 orang (31,25%) VB dengan KVV, 1 orang (6,25%) dengan kondiloma akuminata, dan 1 orang (6,25%) dengan servisitis gonore.(1) ETIOLOGI Penyebabnya bisa berupa:(1)(2) 1. Infeksi a. Bakteri (misalnya klamidia, gonokokus) b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes, wanita hamil dan pemakai antibiotik c. Protozoa (misalnya trichomonas vaginalis) d. Virus (misalnya virus papiloma dan herpes virus) e. Zat atau benda bersifat iritatif 2. Spermisida, pelumas, kondom diafragma, penutup serviks dan spons
39
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sabun cuci dan pelembut pakaian Deodoran Pembilas vagina Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan menyerap keringat Tinja Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya Obat – obatan Perubahan hormonal
PATOGENESIS Patogenesis terjadinya masih belum sepenuhnya diketahui. Kebanyakan studi mempelajari patogenesis vaginosis bacterial (VB) memfokuskan perhatian pada perubahan yang terjadi pada ekosistem mikrobial vagina. Vaginosis bakterial dihasilkan dari pergantian flora normal vagina, Lactobacillus dengan flora campuran yang terdiri dari Gardnerella vaginalis, bakteri anaerob dan Mobilluncus hominis. Lactobacillus vagina secara invitro menghambat pertumbuhan Gardnerella vaginalis, bakteri anaerob Gram negatif menghasilkan H2O2 yang bersifat toksik dan melalui reaksi ion halide dengan peroksidase pada serviks yang merupakan bagian dari sistem antibakteria H2O2halide-peroxidase.(1) Flora normal vagina yang didominasi oleh Lactobacillus memilik pH < 4,5 yang disebabkan produksi asam laktat, pada VB, pH > 4,5 akibat dominasi G. Vaginalis dan bakteri anaerob. Pada Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob dapat terjadi simbiosis, dimana Gardnerella vaginalis menghasilkan asam amino yang akan diubah oleh bakteri anaerob menjadi senyawa amin yang akan menaikkan pH yang merupakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis.(1) Diperkirakan produksi amin oleh flora mikrobial melalui aktivitas derkarboksilase, menghasilkan bau amis (fishy odor) saat cairan vagina dicampur dengan KOH10% atau disebut whiff test, diduga karena volatisasi dari aromatikamin, meliputi putrescine, cadaverin dan trimethylaminepada pH alkali. Mobilluncus diketahui juga menghasilkan trimethylamine, belum diketahui mikroba lain yang merupakan sumber amin. Cairan vagina wanita VB mengalami peningkatan kadar endotoksin, sialidase dan glikosidase yang menurunkan musin dan viskositas. Peningkatan respon hospes terhadap VB didokumentasikan sebagai peningkatan kadar sitokin dan kemokin pada mukus serviks wanita VB dan penurunan sekresi leucocyte protease inhibitor. Efek VB pada epitel vagina dan pergantian sel epitel belum diketahui. Namun peningkatan konsentrasi bakteri anaerob patogen dan VB dapat meningkatkan resiko infeksi saluran genital atas, termasuk servisitis dan endrometritis.(1)
40
MANIFESTASI KLINIS Yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari vagina. Dikatakan abnormal jika jumlahnya banyak, baunya menyengat dan disertai rasa gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal sering tampak lebih kental dibandingkan cairan yang normal dan warnanya bermacam-macam. Misalnya bisa seperti keju, atau kuning kehijauan atau kemerahan. Infeksi vagina karena bakteri cenderung mengeluarkan cairan berwarna putih, abuabu atau keruh kekuningan dan berbau amis. Setelah melakukan hubungan seksual atau mencuci vagina dengan sabun bau cairannya semakin menyengat karena terjadi penurunan keasaman vagina sehingga bakteri semakin banyak yang tumbuh. Vulva terasa agak gatal dan iritasi. Infeksi jamur menyebabkan gatal-gatal sedang sampai hebat dan rasa terbakar pada vulva dan vagina. Kulit tampak merah dan terasa kasar, dari vagina keluar cairan kental seperti keju. Infeksi ini cenderung berulang pada wanita penderita diabetes dan wanita yang mengkonsumsi antibiotik. Infeksi karena Trichomonas vaginalis menghasilkan cairan yang berbusa yang berwarna putih, hijau keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak sedap, gatal-gatalnya sangat hebat. Cairan yang encer terutama jika mengandung darah, bisa disebabkan oleh kanker vagina, serviks, atau endometrium. Polip pada serviks bisa menyebabkan perdarahan vagina setelah malakukan hubungan seksual. Rasa gatal atau rasa tidak enak pada vulva bisa disebabkan oleh infeksi virus papiloma maupun karsinoma in situ (kanker stadium awal yang belum menyebar ke daerah lain). Luka terbuka yang menyebabkan nyeri di vulva bisa disebabkan oleh infeksi herpes atau abses, luka terbuka tanpa rasa nyeri bisa disebabkan oleh kanker atau sifilis. Kutu kemaluan (pediculosis pubis) bisa menyebabkan gatal-gatal di daerah vulva, vulvitis dapat juga menyebabkan nyeri lokal sebagai tambahan pada gejala-gejala diatas. Sampai 5% pada wanita, vulvovaginitis bakteri mungkin menyebabkan persoalan kekambuhan. Infeksi bakteri yang kambuh terjadi ketika seorang wanita mempunyai empat atau lebih infeksi-infeksi dalam 1 tahun yang tidak berhubungan dengan penggunaan antibiotik. Infeksi-infeksi bakteri yang kambuh mungkin dihubungkan pada kondisi medik yang mendasarinya dan mungkin memerlukan perawatan yang lebih agresif.(1) DIAGNOSIS Diagnosa infeksi vagina disarankan ketika kotoran putih yang seperti keju pada dinding vagina diambil sebagai sampel untuk diperiksa. Namun gejala – gejala dari infeksi ragi
41
vagina (Yeast Vaginitis) adalah tidak spesifik dan mungkin adalah akibat dari kondisikondisi lain. Untuk menegakkan diagnosis secara pasti dan menyampaikan penyebab-penyebab lain apa aja dari gejala-gejala, sebaiknya diagnosis dengan mengambil specimen yang digores dari area yang terpengaruh untuk analisa mikroskopik atau untuk pembiakan dalam laboratorium. Identifikasi cairan vagina pada vaginitis 5,0 sampai 7,0. Identifikasi dari ragi dibawah mikroskop, jika memungkinkan cara yang paling mudah dan paling cepat dan akurat untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan karakteristik cairan yang keluar dari vagina. Contoh cairan juga diperiksa dengan mikroskop dan dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebabnya. Untuk mengetahui adanya keganasan, dilakukan pemeriksaan pap smear. Pada vulvitis menahun yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan biasanya dilakukan pemeriksaan biopsi jaringan.(1) TATALAKSANA Jika cairan yang keluar dari vagina normal, kadang pembilasan dengan air bisa membantu mengurangi jumlah cairan. Cairan vagina akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebabnya adalah infeksi diberikan antibiotik anti-jamur atau anti-virus tergantung pada organisme penyebab. Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan pembilasan vagina dengan campuran cuka dan air. Tetapi pembilasan ini tidak boleh dilakukan terlalu lama dan terlalu sering karena bisa meningkatkan resiko terjadinya peradangan panggul. Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit disekitar vagina dan uretra) menjadi menempel satu sama lain, bisa di oleskan krim estrogen 7-10 hari. Selain antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam propionat agar cairan vagina lebih asam sehingga mengurangi pertumbuhan bakteri. Pada infeksi menular seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi, kedua pasangan seksual diobati pada saat yang sama. Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi estrogen. Estrogen bisa diberikan dalam bentuk tablet, plester kulit maupun krim yang dioleskan langsung ke vulva dan vagina.(1)
JenisInfeksi Jamur Bakteri
Pengobatan umum untuk vaginitis & vulvitis Pengobatan a. Miconazole, clotrimazole, atau terconazole (krim, tablet vagina atausupositoria), Fluconazole atau ketoonazole (tablet) Biasanya metronidazole atau c;indamycin (tablet vagina) atau
42
Klamidia Trikomonas HPV (kutilgenetalis) Virus Herpes
metronidazole. Jika penyebabnya gonokokus biasanya diberikan suntikan ceffriaxon dan tablet doxicylin. Doxicylinatauozithromycin (tablet) Metronidazole (tablet) Asamtriklorasetat (dioleskankekutil), untuk infeksi yang berat digunakan larutan nitrogen atau fluorouracil (dioleskandikutil) Acyclovir (tablet atausalep)
PROGNOSIS Kandidiasis vulvovaginitis dapat sembuh dengan baik dengan pengobatan yang adekuat, tetapi jika terjadi reinfeksi atau tidak adekuatnya pengobatan, kandidosis vulvovaginitis bisa menjadi kambuh. Angka kesembuhan dengan antimikotik golongan azole mencapai 80-90%. Pada individu yang menderita HIV, dapat dijumpai kasus resistensi terhadap golongan azole (flukonazol). Bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada mengobati. Langkah pencegahan tersebut dikenal dengan A-B-C (Abstinence, Be faithfull, Contact treatment, Compliance, Confidential counseling, dan Condom use).(3)
DAFTAR PUSTAKA 1. Sarwono P&Hanifa W. Ilmu Kandungan, Edisi Ketiga. Jakarta:PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014. 2. Edge,V. women’s health care.VSA:von hoffman press. 1993 3. Harison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed 13. Vol. 1. Jakarta : EGC. 2014.
43
7
ANAFILAKSIS Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Mataram DEFINISI Anafilaksis adalah sebuah reaksi alergi berat dan akut dengan onset yang tiba-tiba dan perkembangan yang sangat cepat, serta berpotensi menyebabkan kematian. Organorgan yang menjadi sasaran reaksi ini antara lain kulit dan membran mukosa (80%-90%), sistem pernapasan (70%), saluran gastrointestinal (30%-40%), sistem kardiovaskular (10%-45%), dan Sistem Saraf Pusat (10%-15%)[11]. EPIDEMIOLOGI Sebuah studi menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya anafilaksis adalah 1-2% dari seluruh populasi [1]. Secara umum, kejadian anafilaksis di seluruh dunia tidak terlalu bervariasi. Dalam studi oleh Rochester, syok anafilaksis terjadi 3,2 dari 100.000 orang per tahun di Denmark; 9,8 dari 100.000 orang per tahun di Munich, Jerman [2]. Sedangkan dua penelitian di Eropa menunjukkan 1-3 dari 100.000 orang per tahun [3,2]. Tetapi, kasus anafilaksis dapat meningkat dikarenakan peningkatan jumlah allergen potensial yang terkena [4]. Studi dari Rochester menunjukkan bahwa rata-rata umur dimana anafilaksis terjadi adalah 29.3 tahun dimana pada umur 0-19 tahun lebih sering terjadi [5]. Studi Rochester dan Memphis juga menunjukkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan dimana allergennya adalah IV muscle relaxant, aspirin, dan latex. Sedangkan gigitan serangga sering menjadi penyebab anafilaksis pada pria [5,6]. ETIOLOGI Anafilaksis yang dimediasi oleh IgE terjadi ketika IgE tersensitasi oleh antigen. IgE kemudian berikatan dengan sel mast dan basofil. Setelah itu ikatan ini akan menyebabkan sel mast dan basofil berdegranulasi [7]. Tipe lain dari anafilaksis adalah reaksi imunologi yang tidak melibatkan IgE. Contohnya adalah reaksi yang terjadi saat pemberian produk darah seperti sel darah, leukosit, dan plasma. Kompleks imun yang terbentuk kemudian dapat mengaktifkan kaskade komplemen. Komplemen-komplemen seperti plasma-activated complement 3 (C3a), plasma-activated complement 4 (C4a), dan plasma-activated complement 5 (C5a) selanjutnya akan berperan dalam degranulasi sel mast dan basofil [7].
44
Agen-agen tertentu juga diduga dapat menyebabkan reaksi pelepasan mediator secara langsung, proses ini bukanlah proses imunologi dan tidak dimediasi oleh IgE. Agen-agen tersebut termasuk opioid, dekstran, protamin, dan vankomisin. Reaksi ini melibatkan reseptor spesifik (seperti opioid reseptor) atau aktivasi sel mast yang tidak dimediasi oleh reseptor [7]. PATOGENESIS Istilah anafilaksis adalah reaksi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), sedangkan anafilaktoid adalah reaksi yang tidak dimediasi oleh IgE, kedua reaksi ini sangat susah dibedakan. Istilah ini kemudian diperbaiki oleh World Allergy Organization (WAO) menjadi immunologic anaphylaxis (yang dimediasi maupun yang tidak dimediasi IgE) dan non-immunologic anaphylaxis (ketika sel mast dan basophil berdegranulasi saat tidak ada immunoglobulin) [8]. Respon fisiologis dilepaskannya mediator anafilaksis adalah spasme otot daerah pencernaan dan pernapasan, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan stimulasi ujung saraf sensoris. Respon tersebut mengakibatkan gejala-gejala dari anafilaksis meliputi: kemerahan, urticaria/angioedema, pruritus, bronkospasme, edema laryngeal, kram perut disertai mual, muntah, dan diare. Respon awal dari reaksi anafilaksis diinisiasi oleh Interleukin (IL)-4 dan IL-13. Belum ada studi banding yang dilakukan pada manusia, tapi pada tikus yang berperan adalah IL-4 dan IL-13 yang mengaktivasi faktor transkripsi STAT-6 [5]. mediator lain yang bekerja pada anafilaksis antara lain prostaglandin D2, leukotrin B4, dan platelet-activating factor (PAF) memiliki peran dalam kaskade proinflamasi pada kasus ini. Pada percobaan di laboratorium, histamin sendiri sudah cukup terlihat memberikan gejala besar pada anafilaksis. Histamin bekerja pada dua reseptor yaitu histamine 1 (H1) dan histamine 2 (H2) reseptor. Kedua reseptor ini berperan dalam vasodilatasi, hipotensi, dan kemerahan yang terjadi saat anafilaksis. H1 sendiri dapat memediasi vasokonstriksi arteri koroner, takikardi, permeabilitas vaskuler, pruritus, bronkospasme, dan rhinorrhea. Sedangkan H2 memediasi kontraktilitas atrium dan ventrikel, kronotropi atrium dan vasodilatasi arteri koroner [7]. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh reaksi Anafilaksis dapat ditemui di berbagai organ, seperti kulit, sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, dan lain-lain. Berikut manifestasi klinis yang ditimbulkan Anafilaksis di berbagai organ [12]. 1. Kulit
45
2.
3.
4.
5.
6.
Manifestasi klinis reaksi anafilaksis yang dapat ditemui di kulit berupa gatal-gatal, kemerahan, urticaria, angiodema, piloerection, erythema, edema, conjungctival erythema, gatal-gatal di daerah lidah, bibir, langit-langit mulut, dan meatus auditorius eksternus, anduvula lidah, gatal-gatal pada daerah genital, telapak tangan, dan/atau telapak kaki. Saluran Pernapasan Manifestasi klinis yang dapat ditemui di saluran napas seperti gatal pada daerah nasal, hidung tersumbat, rhinorrhea, bersin-bersin, gatal pada daerah tenggorokan, dysphonia, suara serak, stridor, batuk kering, sianosis, dan respriatory arrest. Saluran Pernapasan Bawah Manifestasi klinis yang dapat ditemui di saluran napas bawah seperti meningkatanya respiratory rate, napas yang memendek, dada terasa sesak, bronchospasm, dan berkurangnya peak expiratory flow. Gastrointestinal Manifestasi klinis yang dapat ditemui di daerah gastrointestinal meliputi nyeri pada daerah abdomen, nausea, muntah, diarrhea, dan dysphagia. Kardiovaskular Manifestasi klinis di sistem kardiovaskular meliputi nyeri dada, takikardia, bradikarida, arrhytmias, palpitasi, hipotensi, dan cardiac arrest. Sistem Saraf Pusat Manifestasi klinis pada Sistem Saraf Pusat dapat berupa perubahan status mental, sakit kepala yang berdenyut, kebingungan, pusing, dan tunnel vision.
ALUR PENEGAKKAN DIAGNOSIS Berikut kotak kriteria untuk diagnosis reaksi Anafilaksis [13]. Kriteria untuk Diagnosis Anafilaksis 1. Onset akut dari penyakit (menit atau jam) melibatkan kulit, mukosa, atau keduanya (contohnya, ruam, pruritus, eritema pada wajah, edema pada bibir, lidah, dan uvula). Dan terjadi paling tidak satu item dari beberapa item di bawah ini: Respiratory impairment (seperti dyspnea, bronkospasme, stridor, hipoksia, dan berkurangnya peak expiratory flow) Tekanan darah rendah atau gejala-gejala yang berkaitan dengan disfungsi organik (seperti hipotonia, pingsan, inkontinensia) 2. Dua atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini, biasanya muncul setelah paparan terhadap alergen (menit hingga jam):
46
Perubahan pada kulit dan/atau mukosa (seperti ruam, pruritius, eritema pada wajah, dan edema pada bibir, lidah, dan uvula) Respiratory impairment (seperti dyspnea, bronkospasme, stridor, hipoksia, dan berkurangnya peak expiratory flow) Penurunan tekanan darah atau gejala-gejala yang berkaitan dengan disfungsi organik Gejala-gejala pada gastrointestinal yang persisten (seperti persintent abdominal collic, muntah-muntah) 3. Penurunan tekanan darah setelah paparan dengan alergen (menit hingga jam): Bayi dan anak-anak: tekanan arteri sistolik yang rendah atau penurunan tekanan arteri sistololik >30% Dewasa: tekanan arteri sistolik sebesar 90mmHg atau turun hingga >30% TATALAKSANA Berikut diagram tatalaksana reaksi Anafilaksis [14].
47
PROGNOSIS Anafilaksis derajat sedang terjadi lebih sering daripada yang berat. Angka kematian akibat anafilaksis adalah 0,65-2% dari seluruh pasien anafilaksis dimana lebih sering terjadi di Amerika Serikat [9,10]. Kematian akibat anafilaksis paling sering diakibatkan karena sumbatan jalan nafas dan cardiovascular collapse. Asthma dan pemberian
48
epinephrine yang terlambat merupakan faktor yang membuat anafilaksis menjadi semakin parah.
DAFTAR PUSTAKA 1. Lieberman P. Epidemiology of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2008 Aug. 8(4):316-20. 2. Bresser H, Sandner CH, Rakoski J. Anaphylactic emergencies in Munich in 1992 (abstract). J Allergy Clin Immunol. Jan 1995. 95:368. 3. Mertes PM, Laxenaire MC, Alla F. Anaphylactic and anaphylactoid reactions occurring during anesthesia in France in 1999-2000. Anesthesiology. 2003 Sep. 99(3):536-45. 4. Simons FE, Sampson HA. Anaphylaxis epidemic: fact or fiction?. J Allergy Clin Immunol. 2008 Dec. 122(6):1166-8. 5. Decker WW, Campbell RL, Manivannan V, et al. The etiology and incidence of anaphylaxis in Rochester, Minnesota: a report from the Rochester Epidemiology Project. J Allergy Clin Immunol. 2008 Dec. 122(6):1161-5. 6. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma Immunol. 2006 Jul. 97(1):39-43. 7. Mustafa S. Anaphylaxis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2016 [cited 30 October 2016]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview 8. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, Friedmann PS, Lanier BQ, Lockey RF, et al. Revised nomenclature for allergy for global use: Report of the Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization, October 2003. J Allergy Clin Immunol. 2004 May. 113(5):832-6. 9. Bock SA, Muñoz-Furlong A, Sampson HA. Fatalities due to anaphylactic reactions to foods. J Allergy Clin Immunol. 2001 Jan. 107(1):191-3. 10. Greenberger PA, Rotskoff BD, Lifschultz B. Fatal anaphylaxis: postmortem findings and associated comorbid diseases. Ann Allergy Asthma Immunol. 2007 Mar. 98(3):252-7. 11. Bernd LA, Solé D, Pastorino AC, Prado EA, Castro FF, Rizzo MC, et al., 2006. . Anafilaxia: guia prático para o manejo. [Pdf]. Available at:
[Accessed 29 Oktober 2016].
49
12. Hernandez L, Papalia S, & Pujalte G.G.A., 2016. Anaphylaxis. [Pdf]. Available at: [Accessed 29 Oktober 2016]. 13. Caramelli B, et al., 2013. Anaphylaxis: diagnosis. [Pdf]. Available at: [Accessed 29 Oktober 2016]. 14. Swan K. E., Fitzsimons R., Anagnostous K., Boardman A., & Fox A. T., 2016. The prevention and management of anaphylaxis. [Pdf]. Available at: [Accessed 29 Oktober 2016].
50
8
KEKERASAN TAJAM Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana DEFINISI Luka akibat kekerasan benda tajam adalah luka terbuka yang disebabkan akibat benda yang memiliki sisi atau ujung yang tajam seperti pisau, golok, dan sebagainya hingga keping kaca, gelas, logam, sembilu, bahkan tepi kertas atau rumput.(1)(2) Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam terdapat pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan. Perbedaannya dapat dilihat pada (tabel 1).(2)(3) Tabel 1. Manner Of Death Luka Akibat Kekerasan Benda Tajam Pembunuhan
Bunuh diri
% MOD Tipe Luka
90 % Luka tusuk > luka iris
3,5 % Luka iris atau luka tusuk
Lokasi Luka
Luka tusuk single dan multiple biasanya pada daerah thorax.(5) Daerah wajah dan leher biasanya terdapat luka tusuk multiple. (5)
7,5 % Luka iris > luka tusuk (40 % iris, 37 % tusuk, 23 % keduanya).(4) Luka iris biasanya pada daerah ekstremitas atas (fossa antecubital dan pergelangan tangan).(6) Luka tusuk pada daerah thorax > abdomen > neck > face.(7)
Lokasi luka
Sembarang
Terpilih
Terpapar
Jumlah luka
Banyak
Banyak
Tunggal/banyak
Pakaian
Terkena
Tidak terkena
Terkena
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Mungkin ada
Tidak ada
Mungkin ada
Luka tangkis (Gambar 1) Luka percobaan (Tentative wounds) Cedera sekunder
Kecelakaan
Dimana saja, pergelangan tangan/fossa antecubital > leher.(6)
51
KLASIFIKASI DAN DESKRIPSI LUKA 1. Klasifikasi Luka Klasifikasi luka kekerasan benda tajam dibedakan berdasarkan panjang dan kedalaman luka yang terbentuk.(3) a. Luka Iris Luka iris adalah luka kekerasan benda tajam yang mempunyai panjang luka yang lebih besar dibandingkan dengan kedalamannya. Luka iris umumnya tidak membahayakan jiwa karena jarang menembus lebih dalam dan merusak pembuluh darah, kecuali jika luka terjadi pada daerah leher dan pergelangan tangan.(8) b. Luka Tusuk Luka tusuk adalah luka dengan kedalaman luka lebih besar daripada panjang luka.(3) Luka tusuk tidak hanya disebabkan oleh benda yang memiliki sisi tajam, tetapi juga dapat diakibatkan oleh benda yang memiliki suatu ujung. Agar dapat terjadi penetrasi, benda tersebut harus ditekan dengan energi yang cukup untuk melawan elastisitas kulit.(8) Tampilan luar luka dapat mencerminkan jenis senjata yang digunakan (Gambar 2). Penelitian menunjukkan bahwa senjata apabila sebuah senjata telah berhasil menembus kulit, maka sisa senjata yang masih berada diluar kulit akan masuk tanpa memerlukan tambahan energi apapun. Dalam buku Forensic pathology, Knight menuliskan bahwa hal ini dapat terjadi karena kulit mengalami indentasi sebelum terjadi penetrasi dan kulit berperan sebagai reservoir energi.(8)
Gambar 1. Berbagai macam terbentuknya luka tangkis (defense wound) (9)
52
Gambar 2. Tampilan Luka Berdasarkan Senjata yang Digunakan (9) c. Luka Bacok Luka bacok mempunyai panjang luka yang lebih besar dibandingkan dengan kedalamannya.(2) Luka bacok merupakan luka yang dibentuk oleh benda tajam yang relatif berat seperti kapak, golok, pisau daging, baling-baling kapal/pesawat dan parang. Momentum gaya yang terbentuk oleh berat dan atau kecepatan benda akan mengakibatkan kombinasi dari luka tajam dan luka tumpul. Gambaran umum luka bacok yaitu terdapat luka terbuka disertai dengan abrasi, kontusi dan jenis luka tumpul lainnya. Luka yang terbentuk dapat mencerminkan bentuk dari benda. Pada daerah tubuh yang terdapat tulang, luka bacok dapat disertai dengan fraktur.(1) Cause of Death luka bacok disebabkan karena adanya perdarahan masif. 2. Deskripsi Luka Gambaran umum luka akibat kekerasan benda tajam adalah tepi dan dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan, dasar luka berbentuk garis atau titik dan apabila lokasinya pada daerah yang ditumbuhi rambut, maka rambutnya ikut terpotong. Kulit sekitar luka akibat kekerasan benda tajam biasanya tidak menunjukkan adanya luka lecet atau luka memar, kecuali bila bagian gagang turut membentur kulit.(1)(2)
53
Dalam menuliskan laporan VeR korban hidup, deskripsi luka tajam mencakup : a. Jumlah luka b. Jenis luka c. Lokasi (wilayah anatomi) d. Pengukuran luka (panjang dan lebar) e. Lokasi (absis dan ordinat) f. Karakteristik luka: - Garis batas luka: bentuk luka, ujung luka (runcing atau tumpul), tepi luka (rata atau tidak) - Daerah di dalam garis batas luka: tebing luka, dasar luka dan jembatan jaringan dan ada/tidaknya perdarahan aktif - Wilayah di sekitar perbatasan luka: ada/tidaknya memar dan bekuan darah KLASIFIKASI DERAJAT LUKA Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya. (10) Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban
54
diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah : 1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; 2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; 3) Kehilangan salah satu panca indera; 4) Mendapat cacat berat; 5) Menderita sakit lumpuh; 6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; 7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu dan dua. Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan korban, namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang. Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis. Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupun
55
kecil akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka. Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan luka ringan yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352 KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil. Lokasi lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap sebagai luka sedang. Dari kesimpulan dapat kita perhatikan hal-hal berikut: identitas korban adalah laki-laki berusia 34 tahun, jenis cedera adalah cedera kepala, vulnus laceratum dan fraktur tulang. Sedangkan jenis kekerasan adalah kekerasan tumpul. Untuk jenis kekerasan, hindari penggunaan kata “benda tumpul” atau “benda tajam”. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan benda tajam atau kekerasan benda tumpul, dalam pemikiran penegak hukum harus selalu ada “benda” yang berbentuk fisik seperti kayu, batu dan sebagainya (untuk benda tumpul) atau pisau, silet dan sebagainya (untuk benda tajam). Padahal tidak selalu sebuah luka diakibatkan oleh suatu “benda”, contohnya memar bisa diakibatkan oleh pukulan tangan. Kasus di atas dikualifikasikan sebagai luka derajat dua (sedang) karena luka tersebut memerlukan perawatan, terdapat patah tulang dan mengenai organ vital yaitu kepala. Di dalam kesimpulan sebaiknya kita tidak menuliskan derajat dua sebagai kualifikasi luka, melainkan menuliskan sesuai dengan kalimat dalam KUHP sehingga akan memudahkan aparat penegak hukum dalam membuat dakwaan. Berbeda halnya dengan kasus korban mati, pada kasus korban hidup dokter diharapkan memahami kecederaan berdasarkan patofisiologi dan biomekanika trauma. Gabungan pengukuran kecederaan secara anatomis dan fisiologis merupakan pengukuran yang paling ideal dalam menetapkan kualifikasi luka.
56
Contoh Pembuatan VeR Luka Kekerasan Benda Tajam Format VeR korban hidup terdiri dari 5 bagian, yaitu : projustitia, pembukaan, pemberitaan, kesimpulan dan penutup. Format jelasnya dapat dilihat di (Lampiran 1). Dibawah ini hanya dijelaskan contoh deskripsi luka akibat benda tajam. Terdapat 1 buah luka terbuka di dada kiri. Luka berbentuk celah dan mempunyai dua sudut runcing. Panjang luka .... cm dan lebar luka.... cm sebelum dirapatkan*. Ujung luka dalam terletak ... cm dari garis tengah tubuh dan ... cm diatas garis yang menghubungkan kedua puting susu, sedangkan ujung luka luar terletak ... cm dari garis tengah tubuh dan ... cm diatas garis yang menghubungkan kedua puting susu. Tepi luka rata, tebing luka terdiri dari...,.... dan ..... ** dasar luka dibentuk oleh.... **. Tidak ada jembatan jaringan dan daerah disekitar luka tidak terdapat kelainan. Kesimpulan : Ditemukan 1 buah luka tusuk di dada kiri. Perlukaan ini disebabkan oleh benda tajam bermata dua. Keterangan: * Pada luka yang berbentuk celah sebaiknya diukur panjang luka setelah dirapatkan agar dapat diketahui kemungkinan lebar maksimal benda tajam yang digunakan. ** Diisi berdasarkan jaringan yang ditembus oleh bendan (kulit, lemak, otot).
DAFTAR PUSTAKA 1. Prahlow JA, Byard RW. Atlas of Forensic Pathology. Springer Science + Business Media : New York. 2012. pp 572-631. [cited 2016 June 28]. Available from : http://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-1-61779-058-4_14 2. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi pertama cetakan kedua. 1997. h. 42-44. 3. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma: Common Problems for the Pathologist. Humana Press Inc : New Jersey. 2007. pp 357-377.
57
4.
Karger, B., Niemeyer, J., Brinkmann, B. Suicides by sharp-force: typical and atypical features. Int. J. Legal Med. 113:259–262. 2000. 5. Ormstad, K., Karlsson, T., Enkler, L., Law, B., Rajs, J. Patterns in sharp-force fatalities— a comprehensive forensic medical study. J. Forensic Sci. 31:529–542, 1986. 6. Karlsson, T. Homicidal and suicidal sharp-force fatalities in Stockholm, Sweden. Orientation of entrance wounds in stabs gives information in the classification. Forensic Sci. Int. 93:21–32, 1998. 7. Start, R. D., Milroy, C. M., Green, M. A. Suicide by self-stabbing. Forensic Sci. Int. 56:89–94, 1992. 8. Shepherd R. Simpson’s Forensic Medicine. 12th Ed. Oxford University Press Inc. : New York. 2003. pp 64-65. 9. DiMaio VJM, Dana SE. Handbook of Forensic Pathology. 2nd Ed. Taylor & Francis Group : Boca Raton. 2007. pp 108-119. [cited 2016 June 28]. Available from : https://books.google.co.id/books?id=4VkXpNe9xLoC&pg=PA107&lpg=PA107&dq=c hop+wound+forensic+definition&source=bl&ots=kTCPpxgKPp&sig=a9vUUySHT35Jc cjQMTVGEw5_RL4&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj2guaGkMrNAhUISo8KHeTKBSQ4Ch DoAQguMAM#v=onepage&q=chop%20wound%20forensic%20definitionchop&f=fal se 10. Afandi D. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010 April; 60(4). [cited 2016 June 28]. Available from : http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/722/717
58
9
KEKERASAN TUMPUL Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana DEFINISI Kekerasan tumpul merupakan tipe perlukaan yang paling banyak ditemukan oleh ahli patologi forensik ketika melakukan otopsi medikolegal.(1) Kekerasan tumpul didefinisikan sebagai perlukaan yang disebabkan oleh benda tumpul. Luka akibat trauma benda tumpul dapat terjadi karena dua sebab yaitu benda yang mengenai orang yang relatif tidak bergerak, dan orang yang bergerak kearah benda yang tidak bergerak. (2) Derajat luka, luas luka, dan penampakan luka yang disebabkan oleh kekerasan tumpul bergantung pada (1) kekuatan benda yang diterima oleh tubuh, (2) rentang waktu energi yang dihasilkan, (3) bagian tubuh yang terkena, (4) luasnya permukaan tubuh yang terkena, (5) dan jenis benda yang mengenai tubuh. (2) KLASIFIKASI DAN DESKRIPSI LUKA 1. Klasifikasi Jaringan tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan oleh suatu objek, daya tahan inilah yang menimbulkan berbagai tipe luka. Perlukaan karena kekerasan tumpul dibagi menjadi empat kategori: abrasi, kontusio, laserasi, dan fraktur. a. Abrasi (Luka Lecet) Abrasi adalah perlukaan pada kulit dimana terjadi pergeseran lapisan kulit bagian superfisial (epidermis) karena bergesekkan dengan permukaan yang kasar, atau karena kompresinya.(2) Oleh karena itu, abrasi tidak menyebabkan perdarahan karena pembuluh darah berada pada lapisan dermis.(3) Luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai luka lecet gores (scratch), luka lecet tekan (impression, impact abrasion), luka lecet serut (graze), dan luka lecet geser (friction abrasion).(4) - Luka lecet gores diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores kulit) yang menggeser lapisan permukaan kulit di depannya dan menyebabkan lapisan tersebut terangkat sehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.
59
Luka lecet tekan disebabkan oleh penjejakkan langsung benda tumpul pada kulit. Abrasi jenis ini cenderung fokal dan lebih sering terlihat di atas penonjolan tulang dimana lapisan kulit tipis menutupi tulang. (2) - Luka lecet serut merupakan variasi dari luka lecet tekan. Disini, jejak benda yang menyerang, seperti pipa, tercetak pada kulit karena efek menghancurkan dari benda tumpul.(2) - Luka lecet geser disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada kasus gantung atau jerat. (4) b. Kontusio (Bruise/Luka Memar) Kontusio (bruise) adalah perdarahan ke dalam jaringan lunak karena rupturnya pembuluh darah yang disebabkan oleh trauma tumpul. Kontusio tidak saja dapat terjadi pada kulit, tetapi juga pada organ dalam seperti paru, jantung, otak, dan otot.(2) Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan ikat longgar, seperti di daerah mata, leher, atau pada orang yang lanjut usia, maka luka memar akan tampak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan yang terjadi, dalam arti seringkali lebih luas; dan adanya jaringan ikat longgar tersebut memungkinkan berpindahnya memar ke tempat yang lebih rendah, mengikuti gravitasi.(5) Kata “bruise” merujuk pada lesi yang yang terlihat di kulit atau jaringan subkutan, sedangkan kontusio dapat dijumpai di bagian tubuh manapun seperti yang disebutkan di atas. Dua kata tersebut sering bertukaran, akan tetapi, “bruise” lebih disukai dokter untuk memberi laporan atau bukti pada pendengar non-medis.(3) Memperkirakan umur luka memar:(1) 1 – 24 jam : Secara umum berwarna merah, ungu, atau kehitaman Hari 1 – 3 : Biru, ungu tua, atau coklat Hari 4 – 5 : Hijau Hari 7 – 10 : Kuning Perubahan warna yang terjadi di atas disebabkan adanya degradasi sel darah merah, dimana haemoglobin bebas memberi warna merah, haemoglobin teroksidasi memberi warna biru, biliverdin memberi warna hijau, bilirubin memberi warna kuning, dan hemosiderin memberi warna kuning atau coklat. (1)(6) Lebam mayat atau livor mortis sering salah diinterpretasikan sebagai luka memar. Livor mortis adalah perubahan warna ungu kemerahan pada area tertentu di tubuh sebagai akibat dari akumulasi darah di kapiler mengikuti gravitasi (bagian terendah tubuh). Sebaliknya, memar jarang salah -
60
diinterpretasikan sebagai livor mortis. Penekanan langsung pada area memar tidak akan memudarkan warnanya. Insisi pada area yang mengalami kontusio atau bruise memperlihatkan perdarahan difus ke dalam jaringan lunak. Sebaliknya, insisi pada area livor mortis akan memperlihatkan bahwa darah tetap berada dalam pembuluh darah, tanpa ada perembesan ke jaringan lunak. (2) c. Laserasi (Luka Robek) Laserasi adalah robeknya jaringan yang disebabkan oleh benda tumpul, yang menyebabkan kulit teregang ke satu arah . Laserasi atau luka robek paling sering terjadi pada penonjolan tulang, seperti kepala, dimana kulit terfiksir dan lebih mudah untuk teregang.(2) Luka ini mempunyai ciri bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, dan sering tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka. (4) Jembatan jaringan disebabkan oleh robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan di bawahnya yang tidak sempurna. (1) Adanya jembatan jaringan membuktikan dengan jelas bahwa luka robek ini berbeda dengan luka iris. Kedalaman luka robek harus diperiksa untuk melihat ada tidaknya benda asing yang terdeposit disana akibat senjata atau permukaan yang menyebabkan luka robek tersebut.(2) Avulsi merupakan bentuk lain dari laserasi dimana kekuatan diarahkan ke tubuh dengan sudut oblik pada kulit sehingga menyobek kulit, fascia jaringan lunak, dan otot. Oleh karena itu, robekan pada ekstremitas dapat memisahkan jaringan lunak dari tulang. d. Fraktur Kekerasan tumpul yang cukup kuat dapat menyebabkan patah tulang. Patah tulang jenis impresi terjadi akibat kekerasan benda tumpul pada tulang dengan luas persinggungan yang kecil dan dapat memberikan gambaran bentuk benda penyebabnya. Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu menahan benturan sampai 40 pound/inch2, tetapi bila terlindung oleh kulit maka dapat menahan sampai 425 9000 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang tengkorak, cedera kepala dapat pula mengakibatkan perdarahan dalam rongga tengkorak berupa perdarahan epidural, subdural dan subaraknoid, kerusakan selaput otak dan jaringan otak. Perdarahan epidural sering dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis dan belakang kepala. Perdarahan tipe ini terjadi langsung di
61
2.
bawah tengkorak, di atas duramater. Perdarahan ini berhubungan dengan fraktur tengkorak dan robeknya arteri. Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi di bawah duramater karena robeknya vena jembatan dimana akumulasi darah terjadi lebih lambat dibandingkan perdarahan epidural. Perdarahan subaraknoid merupakan gejala sisa yang paling sering terjadi pada trauma kepala. Dalam kasus kematian yang sangat cepat, terjadi perdarahan subaraknoid multifokal. Perdarahan subaraknoid traumatik dapat disebabkan oleh laserasi arteri karotis interna, arteri basillaris, maupun arteri vertebralis.(2) Deskripsi Luka Gambaran umum luka akibat kekerasan benda tumpul adalah tepi dan dinding luka yang tidak rata, dan terdapat jembatan jaringan. Kulit sekitar luka akibat kekerasan benda tumpul biasanya menunjukkan adanya perubahan warna dan terjadi pembengkakan.(7)(4) Dalam menuliskan laporan VeR korban hidup, deskripsi perlukaan akibat kekerasan tumpul mencakup : a) Jumlah luka b) Jenis luka c) Lokasi (wilayah anatomi) d) Pengukuran luka (panjang dan lebar) e) Lokasi (absis dan ordinat) f) Karakteristik luka: i. Garis batas luka: bentuk luka, ujung luka (runcing atau tumpul), tepi luka (rata atau tidak) ii. Daerah di dalam garis batas luka: tebing luka, dasar luka dan jembatan jaringan dan ada/tidaknya perdarahan aktif iii. Wilayah di sekitar perbatasan luka: ada/tidaknya memar dan bekuan darah
PENETUAN DERAJAT LUKA Dalam KUHP dikenal luka akibat kelalaian atau karena yang disengaja. Jenis kejahatan yang dilakukan dengan sengaja diatur dalam Bab XX, pasal 351 – 358. Jenis kejahatan yang yang disebabkan karena kelalaian diatur dalam pasal 359, 360, dan 361 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dijumpai kata “mati, menjadi sakit sementara, atau tidak dapat menjalankan pekerjaan sementara” yang tidak disebabkan secara langsung oleh
62
terdakwa, akan tetapi karena “salahnya” diartikan sebagai kurang hati-hati, lalai, lupa, dan amat kurang perhatian.(8) Pada pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat pada tubuh adalah penyakit atau luka yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut, tidak cakap lagi dalam memakai salah satu panca indera, lumpuh, berubah akal lebih dari empat minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dalam kandungan ibu.(9) Contoh Penulisan Visum et Repertum Format VeR korban hidup terdiri dari 5 bagian, yaitu : projustitia, pembukaan, pemberitaan, kesimpulan dan penutup. Dibawah ini dijelaskan contoh deskripsi luka akibat benda tumpul:
1
2
Terdapat dua buah luka memar pada lengan sisi depan. Luka 1. Luka berbentuk tidak beraturan dengan panjang … cm dan lebar … cm. Luka terletak … cm di bawah lipat siku kiri. Luka berbatas tegas, berwarna merah keunguan, bengkak ada. Daerah sekitar luka tidak ditemukan kelainan. Luka 2. Luka berbentuk tidak beraturan dengan panjang … cm dan lebar … cm. Luka terletak … cm di atas lipat siku kiri. Luka berbatas tegas, berwarna merah keunguan, bengkak ada. Daerah sekitar luka tidak ditemukan kelainan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma: Common Problems for the Pathologist. Humana Press Inc : New Jersey. 2007. pp 405. 2. DiMaio VJM, DiMaio D. Forensic Pathology: Blunt Trauma Wound. CRC Press: New York. 2001. pp 92-04.
63
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
Saukko P, Knight B. Knight’s Forensic Pathology: The Pathology of Wound. 2 nd edition. Hodder Arnold. London. 2004. pp 138-150. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi pertama cetakan kedua. 1997. Luthfia T, Fitri M, Khairulanwar. Referat Forensik: Aspek Medikolegal Korban Mati Akibat Trauma Benda Tumpul. FK Universitas Brawijaya. 2013. Bruises – Types, Causes, Factors, Color Changes and Significance. Available from: http://howmed.net/forensic/bruises-types-causes-factors-color-changes-andsignificance Catanese CA. Color Atlas of Forensic Medicine and Pathology: Blunt Force-Injuries. CRC Press. 2010. Satyo AC. Majalah Kedokteran Nusantara: Aspek Medikolegal Luka pada Forensik Klinik. pp 430-433. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal 24.
64
10
KEMATIAN MENDADAK Level Kompetensi (SKDI): 3B Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana DEFINIS Menurut WHO kematian mendadak adalah kematian yang terjadi pada 24 jam sejak gejala-gejala timbul, namun pada kasus-kasus forensik sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik saja sejak gejala pertama timbul.(1) Ada dua alternatif definisi kematian medadak, yaitu : 1. Sudden death adalah kematian yang tidak terduga, non trauma, tidak menimbulkan akibat yang fatal, yang terjadi dalam 24 jam sejak onset gejala. 2. Definisi yang lebih tegas adalah kematian yang terjadi dalam satu jam sejak timbulnya gejala. Sangat penting diingat bahwa kematian mendadak tidak tentu tak terduga dan kematian tak terduga adalah belum tentu tiba-tiba, tapi dua aspek ini sering dikombinasikan.(2) EPIDEMIOLOGI Kematian mendadak terjadi empat kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Penyakit pada jantung dan pembuluh darah menduduki urutan pertama dalam penyebab kematian mendadak, dan sesuai dengan kecenderungan kematian mendadak pada laki-laki yang lebih besar, penyakit jantung dan pembuluh darah juga memiliki kecenderungan serupa. Insiden kematian mendadak terjadi di usia 20-75 tahun dalam 1 : 1000 penduduk sekitar 18,5 % dari semua sebab kematian. Dalam kelompok usia 1-40 tahun kejadian ini sekitar 1,3-8,5 % per 100.000 penduduk.(3) Di Indonesia, sukar didapat insidens kematian mendadak yang sebenarnya. Angka yang ada hanyalah jumlah kematian mendadak yang diperiksa di Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Dalam tahun 1990, dari seluruh 2461 kasus, ditemukan 227 laki-laki (9,2 %) dan 50 orang perempuan (2%) kasus kematian mendadak sedangkan pada tahun 1991 dari 2557 kasus diperiksa 228 laki-laki (8,9 %) dan 54 perempuan (2,1 %).(2)(3) Pada tahun-tahun terakhir ini, penyebab kematian tersering pada kasus kematian mendadak adalah penyakit kardiovaskular, sedangkan pada beberapa decade yang lalu dilaporkan bahwa penyebab kematian tersering adalah penyakit infeksi saluran pernapasan. (2)(3)
65
ETIOLOGI, FAKTOR RISIKO DAN PATOGENESIS Penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem gastrointestinal, sistem haemopoietik dan sistem endokrin. Dari sistem-sistem tersebut, yang paling banyak menjadi penyebab kematian adalah system kardiovaskular, dalam hal ini penyakit jantung.(2)(4) 1. Kematian mendadak kausa penyakit system saraf pusat Kematian wajar mendadak (sudden natural death) pada orang dewasa yang berhubungan dengan sistem saraf sebagian besar disebabkan oleh kelainan vascular dan infeksi. etiologi trauma dicurigai jika perdarahan intracranial ditemukan pada saat otopsi. Pembahasan kali ini hanya terfokus pada penyakit-penyakit sistem saraf yang menjadi penyebab kematian mendadak.(4) Kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari lesi intracranial seperti pada epilepsi, perdarahan intracranial, penyakit cerebrovaskular atau trauma, meningitis purulen atau abses dan tumor. Mekanisme kematian diperkirakan karena peningkatan cepat tekanan intracranial yang disebabkan karena perdarahan berbagai kompartemen otak, hydrocephalus obstruktif akut dan pada beberapa kasus menimbulkan kematian yang sangat cepat atau disfungsi neurochemical.(5) a. Sudden unexplained death in epilepsy Kematian mendadak yang tidak terjelaskan pada epilepsi didefinisikan sebagai kematian mendadak, tiba-tiba dan tak terduga non-traumatik atau kematian non-tenggelam pada pasien epilepsi dengan atau tanpa bukti kejang dan tidak termasuk didokumentasikan status epileptikus.(6) Pada otopsi tidak terbukti kelainan anatomi (infark miokard) atau toksikologikal (over dosis) sebagai penyebab kematian.(7) Beberapa faktor resiko untuk kematian ini telah diidentifikasi yaitu: (8)(9)(10)(11)(12)(13)
a) b) c) d) e) f) g) h) i)
Orang muda Laki-laki Onset awal epilepsi Kotrol kejang yang buruk Terapi obat multiple Riwayat kejang tonik-klonik Tingkat kepatuhan minum obat yang rendah Rendahnya kadar obat antikonvulsi pada pengujian post-mortem Penyalahgunaan alkohol
66
j) Posisi tubuh Kematian akibat epilepsi pada dasarnya mengakibatkan pemeriksaan postmortem negatif. Pemeriksaan post-mortem yang berkaitan dengan kejang, ditemukan memar pada lidah dan petekie pada membran mukosa. Jika kematian tetap tidak terjelaskan setelah pembedahan post-mortem lengkap, termasuk toksikologi dan pemeriksaan jantung, itu harus disertifikasi sebagai saksi atau unwitnessed tiba-tiba tak terduga epilepsi.(5) b. Kematian mendadak kausa perdarahan intrakranial non-traumatik Kematian mendadak terjadi karena perdarahan yang cepat pada satu atau beberapa kompartemen (extradural, subdural, subarachnoid, atau ruang intraventrikular atau pada perenkim otak). Penyebab sangat bergantung pada lokasi perdarahan, dan usia.(5) c. Ruptur aneurisma Ruptur kantung aneurisme terjadi tiba-tiba. Ruptur aneurisma ditempatkan pada tingkat kematian sangat tinggi pada pasien dengan pecah aneurisma sakular arteri willisi khususnya arteri cerebri posterior.(15) d. Hematoma intraserebral Hematom intraserebral banyak terjadi pada pria usia pertengahan dan orang tua dengan hipertensi. Pada beberapa kejadian, pecahnya pembuluh darah berhubungan dengan diskrasia darah, penyakit sickle sel, atau pengobatan anti trombolitik. Sekarang ini perdarahan intraserebral dan subaraknoid semakin banyak terjadi berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba dan mungkin alkohol. Obat yang paling sering dikaitkan dengan hal ini adalah ekstasi (MDMA; 3:4-methylenedioxymethamphetamine), amfetamin lainya dan kokain. Pecahnya aenurisma dianggap sebagai konsekuensi dari peningkatan tekanan darah. (17)(18) e. Infeksi intrakranial Infeksi intrakranial paling sering terjadi pada anak-anak, pada orang dewasa diantaranya adalah kematian mendadak yang disebabkan oleh meningitis bakteri akut atau abses otak. Paling sering disebabkan oleh pneumokokus dan meningokokus. Pada pembedahan post-mortem akan ditemukan edema dan sulkus diisi oleh eksudat berwarna hijau. Pada meningitis meningokokus sedikit sulit untuk diidentifikasi. Diagnosis dapat dikonfirmasi oleh deteksi polisakarida kapsuler (19). 2. Kematian mendadak kausa penyakit kardiovaskular Mati mendadak adalah kematian yang tidak terduga, nontraumatis, non self inslicted fatality, yang terjadi dalam waktu 24 jam sejak awal gejala. Berdasarkan definisi ini
67
maka penyakit jantung (sudden cardiac death) merupakan 60 % dari keseluruhan kasus.(23) Jika yang dianggap mati mendadak adalah kematian yang terjadi satu jam sejak timbulnya gejala, maka sudden cardiac death merupakan 91% dari semua kasus mati mendadak.(25) Sudden Cardiac Death adalah kematian tidak terduga karena penyakit jantung, yang didahului dengan gejala maupun tanpa gejala yang terjadi 1 jam sebelumnya.(26) Lebih dari 50% penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung iskemik akibat sklerosis koroner. Urutan berikutnya adalah miokarditis, kelainan katup, refleks viserovagal, hipersensitivitas karotid, sinkope vasovagal, ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit.(27) a. Penyakit jantung iskemik Penyakit arteri koronaria merupakan penyebab paling banyak kematian mendadak. Penyempitan dan oklusi koroner oleh atheroma adalah yang paling sering ditemukan. Terjadinya sklerosis koroner dipengaruhi oleh faktor-faktor makanan (lemak), kebiasaan merokok, genetik, usia, jenis kelamin, ras, diabetes mellitus, hipertensi, stress psikis, dan lain-lain.(23) Kematian lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Sklerosis ini sering terjadi pada ramus descendens arteri koronaria sisnistra, pada lengkung arteri koronaria dekstra, dan pada ramus sirkumfleksa arteri koronaria sisnistra. Lesi tampak sebagai bercak kuning putih (lipidosis) yang mula-mula terdapat di intima, kemudian menyebar keluar lapisan yang lebih dalam. Kadang-kadang dijumpai perdarahan subintima atau ke dalam lumen. Adanya sklerosis dengan lumen menyempit hingga pin point sudah cukup untuk menegakkan diagnosis iskemik, karena pada kenyataannya tidak semua kematian koroner disertai kelainan otot jantung. Sumbatan pada pembuluh darah koroner merupakan awal dari munculnya berbagai penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian.(23) b. Infark miokard Infark miokard adalah nekrosis jaringan otot jantung akibat insufisiensi aliran darah. Insufisiensi terjadi karena spasme atau sumbatan akibat sklerosis dan thrombosis. Infark miokard adalah patologik (gejala klinisnya bervariasi, bahkan kadang tanpa gejala apapun), sedangkan infark miokard akut adalah pengertian klinis (dengan gejala diagnosis tertentu).(25) Sumbatan pada ramus descendens arteria koronaria sinistra dapat menyebabkan infark di daerah septum bilik bagian depan, apeks, dan bagian depan pada dinding bilik kiri. Sedangkan infark pada dinding belakang bilik kiri
68
disebabkan oleh sumbatan bagian arteria koronaria dekstra. Gangguan pada ramus sirkumfleksa arteria koronaria sinistra hanya menyebabkan infark di samping belakang dinding bilik kiri. Suatu infark yang bersifat dini akan bermanifestasi sebagai daerah yang berwarna gelap atau hemoragik. (23) Sedangkan infark yang lama tampak berwarna kuning padat. (25) dapat terjadi dalam beberapa jam awal atau hari setelah infark dan penyebab segeranya adalah fibrilasi ventrikel. Penyebab lain dari kematian mendadak setelah onset dari infark adalah ruptur dinding ventrikel pada daerah infark dan kematian akibat tamponade jantung.(25) c. Penyakit Katup Jantung Lesi katup sering ditemukan pada kasus-kasus kematian mendadak dan tampak pada banyak kasus dapat ditoleransi dengan baik hingga akhir hidup. Suatu lesi katup spesifik yang terjadi pada kelompok usia lanjut adalah stenosis aortakalsifikasi (sklerosis anular), yang tampak sebagai degenerasi atheromatosa daun katup dan cincinnya dan bukan suatu akibat dari penyakit jantung rematik pada usia muda.(25) Penyakit katup jantung biasanya mempunyai riwayat yang panjang. Kematian mendadak dapat terjadi akibat ruptur valvula. Kematian mendadak dapat juga terjadi pada stenosis aorta kalsifikasi (calcific aortal stenosis), kasus ini disebabkan oleh penyakit degenerasi dan bukan karditis reumatik. Penyakit ini lebih banyak pada pria dibanding wanita dan timbul pada usia sekitar 60 tahun atau lebih. (25) d. Miokarditis Miokarditis adalah radang pada miokardium yang ditandai dengan adanya proses eksudasi dan bukan sel radang. Miokarditis akut dapat berupa miokarditis akut purulenta yang merupakan komplikasi dari septikemia atau abses miokard. (25) Miokarditis biasanya tidak menunjukkan gejala dan sering terjadi pada dewasa muda. Diagnosis miokarditis pada kematian mendadak hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi. Otot jantung harus diambil sebanyak dua puluh potongan dari dua puluh lokasi yang berbeda untuk pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan histopatologik tampak peradangan interstisial atau parenkim, edema, perlemakan, nekrosis, degenerasi otot hingga miolisis. Infiltrasi leukosit berinti tunggal, plasmosit dan histiosit tampak jelas. (25) e. Hipertoni Hipertoni ditegakkan dengan adanya hipertrofi otot jantung disertai dengan tanda-tanda lain seperti pembendungan atau tanda-tanda dekompensasi, sklerosis pembuluh perifer serebral status lakunaris pada ganglia basalis,
69
sklerosis arteria folikularis limpa dan asrteriosklerosis ginjal. Hipertrofi miokardium dapat terjadi pada hipertensi, penyakit katup jantung, penyakit paru-paru yang kronik atau oleh karena keadaan yang disebut kardiomiopati atau idiopati kardiomegali. Satu atau kedua sisi jantung. (25) f. Penyakit Arteri Sebagai penyebab kematian mendadak, satu-satunya penyakit arteri yang penting adalah yang dapat menjadi aneurisma, sehingga mudah ruptur. Aneurisma paling sering terjadi di aorta thoracalis dan aneurisma atheromatous pada aorta abdominalis, yang biasanya terjadi pada laki-laki berusia di atas lima puluh tahun. Akibat dari ruptur aneurisma tergantung pada lokasi ruptur. Jika ruptur terjadi pada aneurisma aorta ascenden, maka mungkin akan masuk ke dalam paru-paru, rongga pleura, medistinum, bahkan trakhea, bronkus, dan esophagus. Ruptur pada aorta thoracalis pars descendent biasanya selalu ruptur ke cavum pleura. Pada aorta pars abdominalis ruptur biasanya terjadi sedikit di atas bifucartio. Jika aneurisma juga melibatkan arteri-arteri iliaca, maka ruptur akan terjadi di sekitar pembuluh darah tersebut. Perdarahan biasanya retroperitoneal dan kolaps mendadak bisa terjadi. Ruptur mungkin ke arah rongga retroperitoneal atau kadang-kadang sekitar kantung kencing dan diagnosis baru dapat diketahui setelah autopsi. Selain ruptur aneurisma, mati mendadak karena kelainan aorta juga disebabkan oleh koarktasio aorta, meskipun biasanya berakibat terjadinya ruptur dan deseksi. Kematian terjadi beberapa jam atau hari setelah gejala muncul. Gejala atau keluhan yang paling sering muncul pada umumnya adalah rasa sakit.(28) g. Kardiomiopati Alkoholik Kardiomiopati alkoholik mungkin lebih banyak terjadi daripada kenyataan yang ada. Alkohol dapat menyebabkan mati medadak melalui dua cara. Pertama bersama dengan obat psikotropik. Kedua efeknya terhadap jantung. Kardiomiopati alkoholik akibat langsung dari: (1) Efek toksik langsung pada miokard. (2) Defisiensi nutrisi secara umum, juga vitamin. (3) Penyakit jantung beri-beri. Efek toksik langsung terhadap miokard merupakan penyebab yang paling umum. Dua penyebab lainnya tidak biasa ditemukan. Ditemukannya mati mendadak karena kardiomiopati alkoholik didukung dengan hipertrofi ventrikel, yang biasanya terjadi pada dua ventrikel, dan arteria koronaria relatif bebas dari atheroma serta riwayat tekanan darah normal.(25)
70
h. Tamponade cordis Tamponade cordis keadaan gawat darurat di mana cairan terakumulasi di pericardium. Sebelum timbulnya tamponade, penderita biasanya merasakan nyeri samar-samar atau tekanan di dada, yang akan bertambah buruk jika berbaring dan akan membaik jika duduk tegak. Penderita mengalami gangguan pernapasan yang berat selama menghirup udara, vena-vena di leher membengkak.(26) Tamponade jantung dapat terjadi secara mendadak jika begitu banyak cairan yang terkumpul secara cepat sehingga jantung tidak dapat berdenyut secara normal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dalam jantung, dan menyebabkan ventrikel jantung tidak terisi dengan sempurna, sehingga hasilnya adalah pemompaan darah menjadi tidak efektif, syok, dan dapat juga menyebabkan kematian.(26) 3. Kematian mendadak kausa penyakit respirasi Kematian biasanya melalui mekanisme perdarahan, asfiksia dan/atau pneumotoraks. Perdarahan dapat terjadi pada tuberculosis paru, kanker paru atau kanker saluran nafas, bronkiektasis, abses dan sebagainya. Sedangkan, asfiksia terjadi pada pneumonia, spasme saluran nafas, asma dan penyakit paru obstruktif menahun, aspirasi darah atau pada tersedak. Pneumotoraks dapat terjadi bila bulla subpleural memecah ke dalam rongga pleura.(23) 4. Kematian mendadak kausa penyakit gastrointestinal a. Penyakit pada esofagus dan lambung Kematian dapat cepat terjadi pada kasus perdarahan akibat gastritis kronis atau ulkus duodeni. Perdarahan fatal akibat tumor jarang terjadi dan jika terjadi dikarenakan karsinoma atau leiomioma. Ruptur spontan dari lambung tidak biasa sebagai penyebab mati mendadak Kematian mendadak juga dapat disebabkan oleh varises esophagus.Varises esophagus sering merupakan komplikasi dari sirosis hepatis. Mekanisme terjadinya adalah akibat dari hipertensi portal. Hipertensi portal sendiri dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatal (virus hepatitis, sirosis portal, sirosis bilier, tumor primer maupun metastatic hepar, trombosis vena hepatika, amyloidosis hepatika) menyebabkan sirkulasi portal dalam hepar terbendung sehingga tidak lancar, dan sebagai kompensasi maka aliran portal tersebut melalui pembuluh vena lain untuk dapat masuk ke dalam sirkulasi darah.(29) Kelainan ekstrahepatal dapat disebabkan oleh stenosis vena porta, kompresi pada vena, thrombosis vena, dekompensasi kordis, perikarditis konstriktiva, dan penyebab lain yang tidak diketahui. Lokasi dimulainya varises adalah batas
71
esofagogastrik merembet ke atas, sehingga kebanyakan ditemukan pada sepertiga sebelah distal esophagus. Pada penderita sirosis hati dekompensata terjadi hipertensi portal dan timbul varises esophagi yang sewaktu-waktu dapat pecah sehingga timbul perdarahan masif. Kematian terjadi akibat pecahnya varises esophagus sehingga terjadi perdarahan ke dalam gastrointestinal. Pada pemeriksaan dalam perlu diperiksa isi lambung dan usus serta dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan adanya darah, juga pemeriksaan patologi anatomi esofagus dan hepar.(30) Ulkus peptikum bisa menyebabkan kematian mendadak. Ulkus peptikum merupakan ulkus yang terjadi di mukosa, submukosa, bahkan kadang bisa mencapai lapisan muskuler dari tractus gastrointestinal yang selalu berhubungan dengan asam lambung atau asam klorida. Lokasi ulkus mulai dari bawah esophagus, lambung, dan duodenum bagian atas.(25) Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Perdarahan yang sedikit tidak banyak memberikan keluhan dan hanya bermanifestasi klinis menjadi anemia pernisiosa. Namun, jika perdarahannya banyak, maka akan menimbulkan hematemesis dan melena. Luka pada daerah lambung lebih sering menyebabkan hematemesis. Sedangkan luka pada duodenum akan menyebabkan melena. Hematemesis dan melena sendiri akan memicu timbulnya syok hipovolemik dan dapat berujung pada kematian.(25) Untuk autopsi kematian mendadak oleh karena kasus perdarahan rongga abdomen yang tidak jelas penyebabnya perlu dilakukan pemeriksaan lambung dan usus dengan hati-hati, untuk mencari kemungkinan disebabkan oleh adanya perforasi akibat ulkus peptikum.(30) b. Penyakit pada usus halus, usus besar dan pankreas Setiap tahun ada komplikasi dari peritonitis dan gangrene usus yang menyebabkan kematian. Kondisi lain yang mungkin menyebabkan kematian seperti strangulasi hernia inguinalis, hernia femoralis, hernia umbilikalis, dan volvulus. Gastroenteritis akut meskipun jarang menyebabkan mati mendadak pada orang dewasa sehat, tetapi dapat menyebabkan kematian tak terduga pada orang tua dan remaja.(30) Kematian mendadak juga dapat terjadi pada perforasi megakolon toksik. Megakolon toksik adalah dilatasi semua bagian dari kolon sampai dengan diameter enam sentimeter disertai toksisitas sistemik. Megakolon toksik merupakan komplikasi dari setiap inflamasi berat pada kolon, seperti : colitis ulseratif, colitis granulomatosa (Chron’s disease), colitis amubikakolitis pseudomembranosa, colitis salmonella, tifus abdominalis, disentri basiler, kolera,
72
enterokolitis iskemik, infiltrasi limfoma pada kolon, colitis karena clostridium dan campylobacter. Kematian pada megakolon toksik cukup tinggi. Hal ini dilaporkan oleh Suyono (2001) bahwa kematian akibat megakolon toksik mencapai tiga puluh persen dari total penderita dan meningkat menjadi 82 % jika terjadi perforasi.(30) c. Penyakit pada Hati Penyakit pada hati sedikit sekali yang menyebabkan kematian mendadak. Hepatitis virus yang luas dapat menyebabkan nekrosis luas dan kolaps mendadak serta mati dalam beberapa jam kemudian. Keadaaan ini perlu diagnosis banding dengan kasus keracunan.(30) Perdarahan akibat ruptur tumor hepar jarang menyebabkan kematian atau kolaps mendadak. Penyebab kematian pada karsinoma hati adalah komplikasinya yang mengakibatkan hematemesis, melena, maupun koma hepatikum. Hasil autopsy pada kematian karena emboli lemak merupakan tanda bahwa telah terjadi perlemakan hati yang parah.(30) Infeksi parasit pada hati yang dapat menyebabkan kolaps atau mati mendadak adalah abses amuba dan kista hidatida yang dapat menimbulkan demam. Rupturnya abses/kista dapat terjadi spontan atau karena trauma. Abses yang terjadi pada lobus kiri hati dapat menyebabkan perforasi sehingga dapat masuk ke rongga pericardium (intrakardial), bila ini terjadi maka prognosisnya jelek. Keluhannya berupa nyeri dada bagian kiri, penderita lebih enak tidur dengan bantal yang tinggi, tanda-tanda tamponade kordis tampak semakin jelas dan pasien dapat meninggal mendadak oleh karena tamponade kordis. (30) 5. Kematian mendadak kausa penyakit hematopoetik a. Limpa Ruptur dari limpa dapat menyebabkan kolaps dan mati mendadak dengan cepat. Limpa terjadi karena ruptur secara spontan atau karena trauma. Hal ini terjadi jika limpa terlibat dalam penyakit yang cukup berat, yaitu infeksi mononukleosa, leukemia, hemophilia, malaria, typhoid, atau leishmaniasis. (31) b. Darah Kematian mendadak tak terduga dilaporkan dalam kasus megaloblastik anemia. Infeksi ringan juga dapat muncul sebagai pemicu terjadinya kematian pada beberapa keadaan anemia. Hal tersebut juga dapat terjadi pada pasien leukemia.(31) Hanya satu kelompok hemoglobinopati yang mungkin berhubungan dengan kematian yang tak terduga dan ini biasanya disebabkan oleh sickle sel anemia. Pasein meninggal dalam kondisi kritis karena hemolisis massif dari eritrosit. (31)
73
6. Kematian mendadak kausa penyakit uro-genitalia Dalam sistem urogenital memiliki bagian tubuh yang mempunyai fungsi vital yaitu ginjal. Ginjal adalah organ ekskresi yang bentuknya seperti kacang. Bagian dari sistem ini bermanfaat untuk menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Pada umumnya terdapat sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal tersebut terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Penyakit pada ginjal dan sistem urinaria yang lebih dikenal penyakit gagal ginjal jarang menyebabkan mati mendadak. Ada beberapa kondisi yaitu pada pasien dengan uremia fase terminal (dengan koma atau kejang) dapat terjadi mati mendadak. Ketidakseimbangan elektrolit juga dapat menjadi penyebab mati mendadak dengan gambaran klinis seperti kasus emboli paru (31). Penyakit gagal ginjal diidentifikasikan oleh tes darah untuk kreatinin. Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal mengekskresikan produk limbah. Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Adapun beberapa penyakit yang sering kali berdampak kerusakan ginjal antara lain: 1) Penyakit tekanan darh tinggi (hypertension) 2) Penyakit diabetes mellitus 3) Adanya sumbatan pada saluran kemih (batu, tumor, penyempitan/stiktur) 4) Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik 5) Menderita penyakit kanker (cancer) 6) Kelainan ginjal, dimana terjadi perkembangan banyak kista pada organ ginjal itu sendiri (polycystic kidney disease) 7) Rusaknya sel penyaring pada ginjal baik akibat peradangan oleh infeksi atau dampak dari penyakit darah tinggi. Istilah kedokterannya disebut sebagai glomerulonephritis.(31) Adapun penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal apabila tidak cepat ditangani antara lain adalah kehilangan cairan yang banyak secara mendadak (perdarahan, luka bakar), serta penyakit lainnya seperti paru, sifilis, malaria, hepatitis, preeklamsia, obat-obatan dan amiloidosis. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan ke arah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. (31) Sistem genital pada wanita saat kehamilan peka terhadap trauma, infeksi dan penyakit-penyakit tertentu. Eklamsia dan toxemia saat kehamilan dapat menyebabkan kolaps dan mati mendadak.(31)
74
Sistem genital pada wanita memiliki bagian alat reproduksi. Kematangan alat reproduksi ditandai dengan datangnya menstruasi. Salah satu penyebab kematian mendadak adalah dimana kondisi seseorang sedang menstruasi melakukan hubungan intim dengan lawan jenis. Hal terburuk yang terjadi adalah sudden death atau kematian mendadak. Pada saat menstruasi, banyak pembuluh darah yang terbuka. Hubungan intim bisa mengakibatkan terbawanya udara yang masuk melalui pembuluh darah yang terbuka sampai ke jantung. Ini berbahaya dan bisa menyebabkan kematian.(31) 7. Kematian mendadak kausa penyakit endokrin Penyakit pada sistem endokrin jarang berhubungan dengan kematian mendadak. Kalaupun ada, biasanya berhubungan dengan adanya kelainan pada organ lain. Nekrosis akut dari kelenjar hipofisis dapat menyebabkan kolaps dan hipotensi berat. Sebagaimana telah diketahui bahwa oksitosin dan vasopressin adalah produk dari hipofisis yang mempunyai fungsi : kontraksi otot polos uterus, kontraksi sel-sel mioepitel yang mengelilingi alveoli susu. Aksinya terhadap ginjal mencegah kehilangan air berlebihan (efek anti diuretik) dan kontraksi otot polos dalam dinding pembuluh darah (pengaruh vasopresor).(31) Pankreas juga seperti kelenjar endokrin yang lain jarang berhubungan dengan kasus mati mendadak. Hipoglikemia merupakan sebab kematian dapat terjadi karena tumor pankreas atau overdosis pemberian insulin. (31) Tiroid hiperfungsi maupun hipofungsi dapat menyebabkan mati mendadak karena efeknya terhadap jantung. Pasien tirotoksikosis, lima puluh persen mati mendadak dan tidak terduga, tanpa adanya kelainan infark miokard atau emboli pulmo. Perdarahan yang besar adenoma tiroid dapat menyebabkan mati mendadak karena sumbatan akut dari trakea.(31) PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSI RISIKO Kematian mendadak 60% diakibatkan oleh penyakit jantung koroner, sehingga dibawah ini akan dijelaskan pencegahan untuk meminimalisir kejadian PJK. (32) PREVENSI Yang dimaksud dengan pencegahan primer (primary prevention) adalah usaha pencegahan untuk menghindari kejadian KV pada pasien yang asimptomatik. Dan dasar dari usaha pencegahan tersebut adalah pengenalan dan intervensi faktor risiko. Penapisan dimulai dari individu-individu secara perorangan, dinilai dengan akurat faktor
75
risiko global jangka panjang untuk terjadinya PKV aterosklerotik dan dihitung (prediksi) berapa % kemungkinan untuk terjadinya serangan PKV. Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak bisa diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Dan faktor risiko yang bisa diubah seperti: dislipidemia, merokok, hipertensi, DM/sindrom metabolik, dan aktivitas fisik yang kurang. Penilaian faktor risiko harus dimulai sejak anak-anak (bahkan suda ada sejak dalam kandungan ibu). PKV (Penyakit Kardivaskular) yang nyata setelah dewasa karena pengaruh faktor risiko. Apabila ada riwayat keluarga PKV prematur harus dilakukan penapisan dislipidemia sejak usia dini. Dan apabila tidak ditemukan riwayat keluarga disarankan pemeriksaan klinis dan asesmen risiko PKV secara teliti pada saat usia remaja. Keluarga harus diberi semangat untuk hidup sehat dengan diet/gaya hidup dan olahraga yang sehat pula. Dari studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan PKV premature pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik dan terlepas dari faktor risiko yang lain. Ditemukannya 1 faktor risiko saja (misalnya: DM, riwayat keluarga) sebenarnya sudah mencerminkan risiko yang besar, padahal pada kenyatannya kebanyakan ditemukan kombinasi beberapa faktor risiko pada seseorang sehingga menempatkan individu tersebut pada kelompok risiko sangat tinggi terjadinya aterosklerosis asimptomatik.(32)
DAFTAR PUSTAKA 1. Saukko P, Knight B. Knight’s Forensic Pathology. 3rd edition. London: Hodder Arnold part of hachette livre UK, 2004. 2. Shepherd R. Simpson’s Forensic Medicine. 12rd edition. London: A member of the Hodder Headline Group, 2003. 3. Van der Werf C, Van Langen IM, Wilde AA. Advances in Arrhythmia and Electrophysiology. AHA Journal. Available : http://circep.ahajournals.org/content/3/1/96.full 4. Byard RW. Sudden death in the young. 3rd edition. New York: Cambridge university press, 2010. 5. Black M, Graham DI. Original article- sudden unexplained death in adults caused bye intracranial pathology. J Clin Pathol 2002;55:44-50.
76
6. 7.
8. 9. 10.
11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Nashef L. Sudden unexpected death in epilepsy: terminology and definitions.Epilepsia1997;38(suppl 11):S6–8. Friedman D, Hirsch L. Sudden unexpected death in epilepsy – an overview of current understanding and future perspectives. European Neurological Review, 2012;7(1):67–71 DOI: http://doi.org/10.17925/ENR.2012.07.01.67 10 13 15 17-19 Nilsson L, Farahmand BY, Persson P-G, et al. Risk factors for sudden unexpected death in epilepsy: a case-control study. Lancet1999;353:888–93 Leestma JE, Walczak T, Hughes JR, et al. A prospective study on sudden unexpected death in epilepsy. Ann Neurol1989;26:195–203. Tennis P, Cole TB, Annegers JF, et al. A. Cohort study of incidence of sudden unexplained death in persons with seizure disorder treated with anti-epileptic drugs in Saskatchewan, Canada. Epilepsia1995;36:29–36 Kloster R, Engelskjon T. Sudden unexpected death in epilepsy (SUDEP): a clinical perspective and a search for risk factors. J Neurol Neurosurg Psychiatry1999;67:439–44 Leestma JE, Teas SS, Hughes JR, et al. Sudden epilepsy deaths and the forensic pathologist. Am J Forensic Med Pathol1985;6:215–18. Lhatoo SD, Langan Y, Sander JWAS. Sudden and unexpected death in epilepsy.Postgrad Med J1999;75:706–9. Crawford MD, Sarner M. Ruptured intracranial aneurysms: community study.Lancet1965;ii:1254–7. Phillips LH, Whisnant JP, O'Fallon WM, et al. The unchanging pattern of subarachnoid haemorrhage in a community. Neurology1980;30:1034–40. Schievink WI, Wijdicks EFM, Piepgras DG, et al. The poor prognosis of ruptured intracranial aneurysms of the posterior circulation. J Neurosurg1995;82:791–5. Karch SB. Introduction to the forensic pathology of cocaine. Am J Forensic Med Pathol1991;12:126–31. Karch SB. The pathology of drug abuse, 2nd ed. Boca Raton: CRC Press, 1996 Challener RC, Morrissy AM, Jacobs MZ. Postmortem diagnosis of meningococcaemia by detection of capsular polysaccharides. J Forensic Sci1988;33:336–46. Budiyanto. A, Widiatmika.W, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta. BagianKedokteran Forensik Universitas Indonesia. 1997 Centers for Disease Control and Prevention. 2003. The State of Ageing and Health In America. Available : . http://www.cdc.gov/Aging/pdf/State_of_Aging_and_Health_in_ America_2004.pdf
77
22. Chen, Harold. Marfan Syndrome. Available at: http://www.emedicine.comLast update: Juny 4, 2007. 23. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi pertama cetakan kedua. 1997. h. 42-44. 24. Perdanakusuma M. Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1984. 25. Baradero M, Wilfrid D, Yakobus S. Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta : EGC. 2008. 26. Chung EK. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular (Quick Reference To Cardiovascular Diseases). Jakarta : EGC. 1995. 27. Gresham GA. A Colour Atlas Of Forensic Patholo., London : Wolfe Medical. 1975. 28. Eddy J. Mati Mendadak. http://google.com/2008/03/mati mendadakmengapa.html [diakses tanggal 1 Juli 2016]. 2008. 29. Suyono S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. 30. Hadi S. Buku Ajar Gastroenterologi. Interna Publishing : Jakarta. 2002. 31. Schwartz SI. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2000. 32. Adi PR. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Pencegahan dan Penatalaksanaan Aterosklerosis. Interna Publishing : Jakarta. 2014.
79
11
HIPERTENSI Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang DEFINISI Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. EPIDEMIOLOGI Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk Universitas Sumatera Utara saat ini (Armilawati et al, 2007). Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8% (Wade, 2003). ETIOLOGI Hipertensi dipengaruhi oleh adanya interaksi dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling
80
umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati (Yogiantoro M, 2006). PATOGENESIS Tingginya tekanan systole berhubungan dengan besarnya curah jantung sedangkan tingginya tekanan diastole berhubungan dengan besarnya resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah (Prodjosudjadi, W, 2000). Pada stadium dini hipertensi sering tidak memberikan gejala apapun, sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah menderita hipertensi. Sedangkan pada golongan yang menyadari dapat merasakan adanya gejala berupa sakit kepala, mimisan, pusing, mudah marah, telinga berdenging, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang dan sukar tidur sebagai gejala yang banyak dijumpai (Budiman, H, 1999). MANIFESTASI KLINIS Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari 1 sendok makan (2300 mg/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olahraga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk pemilihan serta penggunaan obat-obatan hipertensi disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter. Dokter atau petugas kesehatan harus tetap meneruskan pengobatan pada pasien hipertensi walaupun tanpa tanda-tanda retinopati (Wong TY, 2005). DIAGNOSIS Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan emeriksaan yang harus dijalani sebelum terapi atau tatalaksana yang harus diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadia Hypertension Education Program. The Canada Recommendation for the management Of Hypertension 2014
80
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring BPM : Blood Pressure Measurment TATALAKSANA 1. Non Farmakologis Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menuntungkan dalam menurunkan resiko kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor resiko kardiovaskular adalah lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalankan setidaknya 4-6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak
81
didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain maka sangat dianjurkan memulai terapi farmakologis. Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah: a. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberi manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia b. Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan, dan sebagainya. Tidak jarang diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensiderajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak lebih dari 2 gr/hari. c. Olahraga. Olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30-60 menit/hari. Minimal 3 hari/minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memilikiwaktu untuk berolahraga secara khusus, seharusnya tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin merka di tempat kerjanya. d. Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, trutama kta kota besar. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas perhari pada pria atau 1 gelas perhari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah. e. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor resiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok. 2. Terapi Farmakologi Secara umum, terapi farmakologis pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping yaitu : a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal b. Beri obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
82
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut seperti pada usia 55-80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid d. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor [ACE-i] dengan angiotensin II receptor blockers [ARBs] e. Berikan edukasiyang menyeluruh kepada pasien mengenaiterapi farmakologi f. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yaitu disadur dari A statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013. PROGNOSIS Prognosis serta penentuan resiko kardivaskular: 1. menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang formal [ESC,2013], untuk mengetahui prognosis; 2. selalu mencari faktor risiko metabolik [Diabetes, gangguan tiroid dan lainnya] pada pasien dengan hpertensi dengan atau tanpa penyakit jantung dan pembuluh darah.
83
TDS: Tekanan darah sistolik, TDD: Tekanan darah diastolik, FR: Faktor Resiko OD: Organ Damage, CKD: Chronic Kidney disease, CVD: Cerebrovaskular Disease DM: Diabetes Militus
DAFTAR PUSTAKA Sidabutar, R. P. dan Wiguno P., 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid II: Hipertensi Esensial. Balai penerbit FKUI, Jakarta. Darmojo, B., 2001. “Mengamati perjalanan Epidemiologi Hipertensi di Indonesia”, Medika No. 7. Bustan, M. N., 1995. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Prodjosudjadi, W., 2000. Hipertensi, Berkala Neurosains, Vol 1, No.3: 133-139 Jakarta.
84
12
ANGINA PEKTORIS STABIL Level Kompetensi (SKDI): 3B Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang DEFINISI Angina pektoris stabil, bentuk yang paling umum dan disebut angina pektoris tipikal, adalah penyakit yang disebabkan oleh penurunan perfusi koroner ke tingkat kritis dengan aterosklerosis koroner stenosis kronik. Hal ini membuat jantung rentan terhadap iskemia lebih lanjut setiap kali ada peningkatan permintaan oksigen, seperti saat beraktivitas fisik, emosional, atau penyebab lain dari peningkatan beban kerja jantung. Angina pektoris ini biasanya hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (vasodilator kuat).1 Angina Pektoris stabil mengacu pada nyeri dada episodik saat pasien berolahraga atau mengalami bentuk stress lainnya. Angina pektoris stabil biasanya disebabkan oleh penyempitan ateroskelrotik tetap (biasanya 75% atau lebih )satu atau lebih arteri koronaria).2 Pada angina pektoris stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan/tanpa pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali atau baru timbul pada beban/stress yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya). Pada sebagian pasien lagi, nyeri dada bahkan berkurang terus sampai akhirnya menghilang menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya ada iskemia tetap dapat terlihat, misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut “silent ischemia”. Pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stress tes.2 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, kurang lebih 50% dari Penderita Jantung Koroner (PJK) mempunyai manifestasi angina pektoris. Jumlah angina pektoris sulit diketahui. Dilaporkan bahwa insiden angina pektoris pertahun pada penderita di atas 3 tahun sebesar 213 penderita per 100.000.3 ETIOLOGI Angina pektoris stabil terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner berkurang (misalnya pada spasme atau
85
trombus koroner) atau bila terjadi keduanya. Faktor-faktor resiko antara lain: 1) kelebihan aktifitas; 2) kelelahan; 3) rokok; 4) stres; 5) obesitas; 6) terlalu kenyang; 7) hawa udara yang terlalu panas dan lembab; 8) tidak berolahraga; dan 9) hipertensi atau tekanan darah tinggi.3 PATOGENESIS Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard. Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun bersama-sama yaitu: 1. Faktor di luar jantung Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia, tirotoksikosis dan pemakaian obatobatan simpatomimetik dapat meningkatkan kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya suplai O2 ke miokard. 2. Sklerotik arteri koroner Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat sumbatan maupun spasme pembuluh darah. 3. Agregasi trombosit Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah. 4. Trombosis arteri koroner Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal. Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS. 5. Pendarahan plak ateroma Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menyebabkan penyempitan arteri koroner.
86
6. Spasme arteri koroner Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan trombus pembuluh darah.3 MANIFESTASI KLINIS Gejala Didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan, nyeri, tercekik atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang ataupun lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat sesak napas atau rasa lemah yang menghilang setelah angina hilang. Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat dingin, pusing ataupun hampir pingsan.3 DIAGNOSIS Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan atau anmanesis peribadi. 1. Identitas Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atu tanggal lahir, jenis kelamin, namaorang tua, pendidikan, pekerjaan suku bangsa dan agama. 2. Keluhan Utama ( Presenting Symptom) Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi kedokter ataupun mencari pertolongan. Dalam keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama pasien datang berobat. Riwayat perjalana penyakit disusun yang baik dan sesuai dengan apa yan diceritakan oleh pasien. Dalam melakukan anamnesis, (1) waktu dan lama keluhan berlangsung (2) sifat dan berat beratnya serangan (3) Lokalisasi dan penyebarannya, menjalar atau berpindah-pindah (4) Hubungannya dengan waktu misalnya pagi lebih sakit atau siang atau sore, (5) hubungan dengan aktivitas, (6) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan (7) Apakah keluhan baru pertama kali atau berulang kali (8) faktor risiko dan pencetus serangan. 4. Riwayat penyakit dahulu
87
Bertujuan untuk mengtahui kemungkina-kemungkinan adanya hubungan yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit yang berat dan menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan makanan, lama perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak. 5. Riwayat peribadi Riwayat peribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanya pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan hariannya seperti masalah keuangan, perkerjaan dan sebagainya. Kebiasaan yang ditanya adalah kebiasaan merokok, minum alkohol termasuk penyalahgunaan obat yang terlarang (narkoba). Pasien yang sering melakukan perjalanana juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat perjalananya. Bila ada indikasi riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus ditanyakan.4 Untuk membedakan nyeri dada akibat angina pektoris atau penyakit lain yang paling awal adalah dengan melakukan anamnesis terperinci mengenai keluhan utama yang dirasakan. Seperti lokasi nyeri dada, karena lokasi nyeri dada pada Angina juga bisa dirasakan sama pada orang dengan gastritis (letaknya di regio epigastrium pada abdomen). Meskipun pada gastritis bukan lagi di regio thorax melainkan di regio abdomen, namun kebanyakan pasien sulit membedakan lokasi nyerinya, sehingga sering terjadi missed diagnostik. Untuk kualitas nyeri dada pada Angina Pektoris adalah nyeri tumpul atau nyeri seperti tertindih beban berat, dimana kualitas nyeri ini dapat dibedakan dengan nyeri akibat trauma thorax, carsinoma, penyakit paru, maupun penyakit jantung lain. Untuk nyeri dada yang dirasakan nyeri yang tajam biasanya dirasakan pada kasus pleuritis pada pasien tersangka TB. Untuk pasien asma bronkhial biasanya dirasakan nyeri dada seperti terikat dan sesak nafas. Untuk membedakan Angina Pektoris stabil dan tak stabil dilihat dari awitan nyeri dadanya, sedangkan untuk untuk penyebab nyeri dipertimbangkan apakah berasal dari jantung (akibat iskemi miokard) atau akibat kondisi di luar jantung (emoboli paru, refluks esofageal, di seksi Arta, pleuritis, atau penyakit pernafasan lain). Selain tentang keluhan utama, perlu digali lebih lanjut mengenai riwayat nyeri dada sebelumnya, riwayat penyakit lain (diabetes, hipertensi, dislipidemia, merokok), riwayat keluarga (riwayat gagal jantung iskemi atau IHD / iskemia heart failure, kematian mendadak), dan juga riwayat obat-obatan pasien. Pemeriksaan fisik yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital yang meliputi pemeriksaan tensi, nadi, suhu dan pernafasan, dan pemeriksaan fisik jantung yang meliputi inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi.3
88
TATALAKSANA 1. Meningkatkan suplai O2 ke miocard 2. Menghilangkan nyeri dada 3. Istirahat 4. Hilangkan atau kurangi emosi 5. Uji latihan beban / treadmill test 6. Pemeriksaan EKG dan rekam jantung 7. Diet a. Kendalikan kalori sesuai dengan berat badan yang ideal b. Diet meliputi karbohidrat (terutama yang majemuk): 50% dari kaloro harian, protein 20% dari kalori harian, dan lemak (kebanyakan nabati) 30 % dari kalori harian c. Hindari makanan asin.5 PROGNOSIS Umumnya pasien dengan angina pektoris dapat hidup bertahun-tahun dengan hanya sedikit pembatasan dalam kegiatan sehari-hari. Mortalitas bervariasi dari 2% - 8% setahun. Apalagi dengan angina pectoris stabil dimana hanya dengan beristirahat sudah dapat sembuh dan angka kematianpun akan sangat kecil kemungkinannya. Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah beratnya kelainan pembuluh koroner. Pasien dengan penyempitan di pangkal pembuluh koroner kiri mempunyai mortalitas 50% dalam lima tahun. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan penyempitan hanya pada salah satu pembuluh darah lainnya. Juga faal ventrikel kiri yang buruk akan memperburuk prognosis. Dengan pengobatan yang maksimal dan dengan bertambah majunya tindakan intervensi dibidangkardiologi dan bedah pintas koroner, harapan hidup pasien angina pektoris menjadi jauh lebih baik.3
DAFTAR PUSTAKA 1. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and cotran’s pathologic basis of disease. 7th [e-book]. 2. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. In : Buku Ajar ilmu penyakit dalam jilid II. 5th Jakarta: Interna Publishing; 2010. P. 1735-6 3. Kumar,dkk. 2007.Buku Ajar Patologi Robbins.Jakarta:EGC 4. Talbert, R. L. 2008. Ischemic Heart Disease. In Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach. McGraw Hill
89
5.
Anwar, T. Bahri. Angina Pektoris Tidak Stabil. Sumatera Utara: e-USU Repository; 2004. Corwin, Elizabeth J. 2009.Buku Saku PATOFISIOLOGI.Jakarta: EGC.
90
13
FIMOSIS Level Kompetensi (SKDI): 4A Pendpro Fakultas Kedokteran Universitas Udayana DEFINISI Fimosis adalah penyempitan pada prepusium distal yang mencegah prepusium untuk tertarik diatas glans penis. Fimosis pada umumnya terjadi akibat kurang terjaganya kebersihan genitalia dan infeksi kronis. Fimosis jarang terjadi pada prepusium normal. Pada kelahiran dan awal-awal masa bayi, fimosis adalah kondisi fisiologis dan umumnya prepusium akan normal pada umur 3 tahun. Sedangkan apabila pada fimosis terdapat pembengkakan, nyeri, dan inflamasi, maka kondisi tersebut disebut parafimosis 1,2.
Gambar 1. A: fimosis; B: parafimosis.1,2 EPIDEMIOLOGI Insiden fimosis patologis di England dan Western Australia 0,4 per 1000 kelahiran hidup bayi laki-laki pertahun. 10% laki-laki mengalami fimosis fisiologis pada usia 3 tahun dan sebagian besar dari mereka memiliki kulup yang hanya dapat di tarik sebagian. 1-5% lakilaki akan memilki non-rectractible kulup pada usia 16 tahun. Pada sebuah studi di Denmark 95% dari kasus fimosis merupakan indikasi untuk di lakukan operasi kulup pada umur di bawah 18 tahun. Sisanya 5% menjalani operasi karena frenulum pendek yang menyebabkan masalah selama ereksi. Sembilan pasien membutuhkan operasi kedua karena fimosis berulang.3,4
91
ETIOLOGI Fimosis fisologis merupakan kewajaran pada laki-laki yang baru lahir. Preputium menempel pada glans penis dan akan berpisah dari waktu ke waktu. 3 Terjadinya penempelan diakibatkan oleh adanya adesi yang merupakan sisa-sisa dari penyatuan antara penis dan preputium. adesi dapat hilang secara spontan dengan melakukan retraksi lembut dari preputium saat mandi dan selama ereksi intermiten sepanjang masa kanak-kanak.5 Sedangkan fimosis patologi dapat disebabkan oleh episode kekambuhan balanitis atau balanopostitis.3 Obliterans balanitis xerotica adalah bentuk penis lichen sclerosis et atrophicus. Jaringan parut sekunder akibat obliterans balanitis xerotica merupakan penyebab umum dari phimosis patologis. Obliterans balanitis xerotica biasanya resisten terhadap terapi kortikosteroid topikal, dimana dapat mempengaruhi laki-laki dewasa maupun anak.5 Penggunaan kateter yang berulang juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya fimosis.3 PATOFISIOLOGI Preputium atau kulup merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis dan bersifat retractile (mudah ditarik). Preputium biasanya berkembang pada minggu kedelapan hingga kesembilan masa gestasi dan melindungi glans penis yang masih belum berkembang. Selama pertumbuhan akan terjadi pemisahan dari lapisan preputium dan epithel glans penis, akan tetapi pada fimosis fisiologis terjadi proses pemisahan yang tidak sempurna. Hal ini dikarenakan preputium melekat secara erat pada glans penis. Sedangkan pada fimosis patologis, kondisi ini biasanya disebabkan oleh inflamasi pada preputium yang berasal dari kebersihan yang kurang, balanoposthitis, retraksi paksa, dan trauma lainnya.6 MANIFESTASI KLINIS 1. Fimosis Fisiologis Fimosis fisiologis terjadi pada anak-anak dengan kulup penis ketat pada saat lahir dan anak laki-laki dibawah usia 5 tahun.7 Pada fimosis fisiologis, kondisi yang tidak mengancam jiwa mungkin terjadi umumnya pada laki-laki yang tidak disirkumsisi, termasuk adanya kista terkait dengan produksi smegma dan adanya ballooning tanpa nyeri pada saat buang air kecil. Kondisi ini dianggap normal karena dapat diatasi dengan retraksi manual serta tidak akan meninggalkan bekas luka.8,9
92
Gambar 2. Fimosis fisiologis10 2. Fimosis Patologis Fimosis patologis terjadi karena ada jaringan parut, infeksi maupun inflamasi. Retraksi kulup dapat menyebabkan perdarahan, jaringan parut, dan trauma psikologis bagi anak dan orang tua. Jika ada ballooning dari kulup saat buang air kecil, kesulitan dengan buang air kecil, retensi urin, kencing terasa sakit (disuria), ereksi menyakitkan, infeksi berulang pada kulup (balanoposthitis), parafimosis (kulup terjebak dalam posisi ditarik dibelakang kepala penis), atau infeksi saluran kemih, harus segera dilakukan pengobatan dan memerlukan perawatan lebih lanjut. 7,8 Berikut adalah beberapa gambar fimosis patologis.
Gambar 3. Penis dengan kulup penis normal pada anak (kiri). Penis yang menunjukkan tipikal sikatrik melingkar pada dari lubang preputial pada fimosis patologis pada anak (kanan).11
93
Gambar 4. Frenulum penis yang pendek pada fimosis patologis 12 PENEGAKKAN DIAGNOSIS Penegakkan diagnosis fimosis pada dasarnya dilakukan untuk melihat tingkat kegawatan dari penyakit fimosis. Penyakit fimosis memiliki ciri utama yaitu tidak dapat menarik kulit preputium yang menyelimuti glans penis ke arah proksimal sampai memperlihatkan glans penis.15 Penyakit ini biasanya juga dapat menyebabkan rasa nyeri pada saat ereksi, kesulitan mengeluarkan urin, pendarahan pada saat pengeluaran urin, serta lajur urin yang terhambat.16 Fimosis biasanya ditemukan pada saat anak-anak ketika anak tidak dapat menarik kulit preputium pada saat membersihkan diri, atau apabila pengeluaran urin yang tersumbat dan menggelembung pada ujung penis. 17 Kondisi fimosis tidak selalu berbahaya dan dapat terbagi atas fimosis fisiologis, dan fimosis patologis Fimosis fisiologis adalah jenis fimosis yang tidak berbahaya dan dapat terjadi akibat beberapa faktor seperti adanya adesi, maupun smegma. Adesi terjadi akibat kulit bagian luar glans penis dan glans penis menempel kuat sehingga terlihat seperti menyatu, kondisi seperti ini biasanya terjadi pada saat anak-anak dan akan terpisah apabila sudah memasuki fase remaja.18 Smegma merupakan kumpulan sel epitel yang sudah mati yang tertimbun dibawah kulit luar glans penis, sehingga akan terbentuk seperti benjolan di sekitar korona penis. Benjolan ini dapat menghambat kulit preputium dan akan menjadi fimosis. Smegma biasanya juga terjadi pada saat anak-anak dan akan menghilang pada saat remaja. Fimosis patologis adalah kondisi inflamasi kronis yang terjadi pada kulit preputium glans penis atau uretra sehingga terjadi fimosis.19 Fimosis patologis merupakan jenis fimosis yang lebih berbahaya dari fimosis fisiologis. Fimosis patologis dapat dibedakan dari fimosis fisiologis dengan terdapatnya bekas luka atau inflamasi yang terjadi pada kulit preputium glans penis.18 Fimosis patologis biasanya terjadi disertai dengan beberapa gejala seperti iritasi penis, retensi urin, nyeri buang air kecil (disuria), nyeri
94
saat ereksi, atau infeksi saluran kemih.16 Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jaringan yang mengeras berbentuk cincin pada ujung kulit preputium, bercak putih pada bagian ujung penis, atau penyempitan pada lubang uretra.17 TATALAKSANA Perlu diperhatikan apabila pasien, khususnya pada pasien anak-anak ditemukan riwayat ketidakmanpuan retraksi preputium, penting untuk mengkonfirmasi apakah itu fimosis fisiologis atau patologis. Apabila telah dipastikan bahwa fimosis pada anak tidak patologis, penting untuk meyakinkan orang tua bahwa kondisi tersebut normal pada anak dengan usia tertentu. Menjaga kebersihan dan higienitas preputium dan mukosa preputium dapat diajarkan oleh orang tua kepada anak sehingga dapat mencegah terjadinya fimosis patologis. Preputium lama-kelamaan akan dapat diretraksi dengan upaya pencucian biasa dengan air hangat dan retraksi lembut selama anak mandi dan buang air kecil.3 Pada fimosis patologis, apabila dilakukan retraksi yang dipaksakan untuk membersihkan penis, hal ini dapat menimbulkan luka pada ujung preputium sehingga fimosis sekunder dapat terbentuk. Fimosis yang disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3 hingga 4 kali sehari. 13 Fimosis dengan adanya gangguan untuk berkemih, menggelembungnya ujung preputium pada saat miksi, atau infeksi prostitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit preputium) atau teknik bedah lainnya seperti preputioplasty (memperlebar bukaan kulit preputium tanpa memotongnya). Fimosis yang disertai balantis atau prostitis harus diberikan antibiotika lebih dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi. 13 PROGNOSIS Prognosis dan outcome dari fimosis dan parafimosis akan lebih baik apabila kondisi penyakit ini semakin dini dan cepat didiagnosis dan ditangani. 14
DAFTAR PUSTAKA 1. Wein, Alan J., Navoussi, Louis R., Partin, Alan W., Peters, Craig A. 2016. CampbellWalsh Urology.11th edition. Philadelphia: Elsevier 2. Macfarlane, Michael T. 2013. House Officer Series Urology. 5th edition. Kentucky: Lippincott Williams and Wilkin 3. Shahid S K. Phimosis in Children. Journal of ISRN Urology. 2012
95
4. 5. 6.
7.
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16.
17. 18. 19.
Hina Z Ghory MD, et.al. Phimosis and Paraphimosis. 2016 McGregor TB, Pike JG, Leonard MP. Pathologic and physiologic phimosis: Approach to the phimotic foreskin. Canadian Family Physician. 2007;53(3):445-448. Huang CJ. Problems of the Foreskin and Glans Penis. Clin Pediatr Emerg Med [Internet]. Elsevier Inc.; 2009;10(1):56–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cpem.2009.01.009 American Urological Association Education and Research Inc. 2016. Phimosis and Paraphimosis. Available from: https://www.auanet.org/education/modules/pathology/penis-defects/phimosisparaphimosis.cfm [ Accessed 5 August 2016]. Baskin LS, Copp H, DiSandro M, et al. Phimosis. UCSF Pediatric Urology. 2013 Mar 19;(1)1:1-3. Tekgul S, Riedmiller H, Gerharz E, et al. Guidelines on Paediatric Urology. 2011 Mar;(1)2:339-52. CIRP. 2008. Normal development of prepuce: Birth through age 18. Available from: http://www.cirp.org/library/normal/ [Accessed 5 August 2016]. McGregor TB, Pike JG, Leonard MP. Pathologic and physiologic phimosis: Approach to the phimotic foreskin. Can Fam Physician. 2007 Mar;53(3):445-48. The British Association of Urological Surgeon. Tight Foreskin (phimosis). Available from: http://www.baus.org.uk/patients/conditions/13/tight_foreskin_phimosis [Accessed 5 August 2016]. Muslihatun WN. Asuhan neonatus bayi dan balita. Penerbit Fitramaya, Yogyakarta. 2010; Basuki B Purnomo. Dasar-dasar Urologi. Edisi Kedua. 2009. Sagung Seto. Hal 149150 Hodges FM. Phimosis in antiquity. 1999;133–6. Departement of Urology University of California San Fransisco. Phimosis [Internet]. Pediatric Urology: University of California San Fransisco;2015 [Updated 2015 August 6; cited 2016 August 30]. Available from :https://urology.ucsf.edu/patientcare/children/phimosis Chan IHY, Wong KKY. Common urological problems in children : prepuce , phimosis , and buried penis. 2016;22(3):263–9. Mcgregor TB, Pike JG, Leonard MP. Pathologic and physiologic phimosis Clinical Review. 2007;53:445–8. Paper F. Balanitis xerotica obliterans a review. 2000;382–7.
96