RINGKASAN EKSEKUTIF Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat.
Pembangunan ketahanan
pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga, serta menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi. Ikan dihasilkan baik melalui usaha penangkapan juga melalui usaha budidaya.
Peningkatan produksi dari usaha budidaya
menjadi tujuan utama dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk 5 tahun ke depan.
Pengembangan usaha perikanan yang baik diharapkan mampu mensuplai
kebutuhan masyarakat terhadap ikan sesuai dengan kebutuhan ideal yang ingin dicapai. Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi ; (2) mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) budidaya yang mendukung ketahanan pangan; (3) menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan (4) merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survey terhadap pelaku usaha budidaya atau masyarakat yang bukan pelaku usaha yang ada di lokasi survey. Pemilihan lokasi desa ditentukan berdasarkan kriteria desa rawan pangan yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan di tingkat Kabupaten di setiap propinsi yang terpilih.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif dan statistik sederhana. Analisis pendekatan deskriptif dalam hal ini dilakukan untuk menjawab tujuan satu, dua yaitu (1) teridentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan, (2) teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan.
Penggunaan model
dinamis yaitu Powersim untuk memberikan informasi terkait dengan peluang yang dapat di capai untuk mendapatkan produksi ikan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk di lokasi rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian.
Sedangkan
pendekatan pembuatan Saragih (2001), dimana sistem usaha perikanan diusahakan dengan memperhatikan keterkaitan antara subsistem.
Subsistem yang dimaksud
i
Meliputi subsistem produksi (usaha budidaya), subsistem input produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran. Selanjutnya dikatakan bahwa hal penting yang akan diperhatikan dalam konsep agribisnis perikanan adalah perbaikan pada spek teknologi, kelembagaan, organisasi bisnis, pasar, SDM dan infrastruktur. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu terdapat dua lokasi desa yang termasuk dalam kategori rentan pangan ikani yaitu Desa Merakan dan Desa Cinanggela. Hal yang menyebabkan kondisi tersebut yaitu faktor stabilitas pasokan disebabkan oleh supply ikan ke wilayah tersebut sangat tergantung kepada pasokan dari luar sehingga waktunya tidak dapat ditentukan. Untuk desa Cinanggela bahkan selama ini supply ikan yang banyak tersedia di warung hanya jenis ikan asin yang kandungan gizinya juga tidak lebih baik.
Untuk dua lokasi desa lainnya yaitu Desa Watuurip dan Desa
Salamrejo kondisi ketahanan pangan ikani berada pada kondisi cukup tahan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing faktor penentu dalam indikator ketahanan pangan cukup terpenuhi. Stabilitas pasokan juga cukup terjaga karena mereka mempunyai usaha budidaya ikan di rumahnya, sehingga konsumsi ikan keluarga diperoleh dari hasil budidayanya. Dari simulasi model dinamis yang dibuat, diperoleh bahwa untuk mencukupi supply ikan di desa tersebut terutama dilokasi yang rawan pangan dan tidak terdapat usaha budidaya seperti di Desa Merakan akan diperoleh melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha budidaya. Upaya ini dilakukan dengan cara intervensi secara struktural, yaitu dengan menambahkan subsistem pada model yang sudah dibangun. Berdasarkan simulasi, dengan adanya intervensi ini maka gap atau selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan di lokasi survei dapat diperkecil. Sedangkan di lokasi yang rawan pangan tetapi terdapat usaha budidaya seperti Desa Watuurip, intervensi yang dilakukan adalah intervensi fungsional, yaitu dengan mengubah nilai dalam variabel. Dalam hal ini adalah luas lahan. Karena di Desa Watuurip, lahan budidaya belum dimanfaatkan secara optimal. Dari model sistem usaha perikanan yang dibuat dan disesuaikan dengan hasil simulasi model dinamis maka untuk pengembangan sistem usaha perikanan ke depan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan ikan ideal bagi masyarakat dilokasi survey.
ii
Model pengembangan usaha perikanan terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 untuk desa yang tidak mampu membangun sepenuhnya seluruh subsistem usaha budidaya di lokasi masih ada keterkaitan dengan sistem usaha perikanan yang dikembangkan di desa terdekat yang paling potensial. Untuk tipe ini subsistem yang paling memungkinkan dibangun yaitu subsistem usaha pembesaran.
Tipe 2 yaitu pengembangan seluruh
subsitem mulai dari subsistem pembenihan, pendederan, pembesaran, jasa input, kelembagaan permodalan, kelembagaan pasar di desa tersebut sehingga dapat memproduksi ikan konsumsi untuk kebutuhan masyarakat di desanya. Implikasi kebijakan pengembangan usaha budidaya tersebut harus dilihat kondisi potensi wilayah tersebut dalam pengembangannnya.
Harus dibedakan
perlakuan program pengembangan usaha budidaya tersebut bagi setiap lokasi yang berbeda. Pengembangan usaha budidaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.
Untuk usaha intensifikasi diperlukan peranan
diseminasi teknologi ke wilayah rawan pangan, karena potensi peningkatan produksi untuk program ini akan dipenuhi melalui pemberian teknologi yang lebih maju. Untuk program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan yang belum digunakan untuk usaha budidaya ikan, atau lahan sawah dengan budidaya tumpangsari antara padi dan ikan.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala kami panjatkan, karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kegiatan yang didanai dari APBN Tahun 2009 dan di bawah pengelolaan Balai Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dengan judul “ RISET MODEL PENGEMBANGAN SISTIM USAHA PERIKANAN YANG MENDUKUNG
KETAHANAN
PANGAN
RUMAH
TANGGA
RAWAN
PANGAN” telah selesai kami laksanakan. Di samping itu, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan masukan, arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga kepada penyelesaian laporan teknis ini. Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada tataran konsep, pelaksanaan lapangan, kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta interpretasi hasilnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tim peneliti kegiatan riset ini mengharapkan kritik dan saran membangun dari berbagai pihak demi perbaikan ke depan. Harapan kami semoga laporan teknis ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi stakholders yang terkait baik sebagai penentu kebijakan maupun pelaku usaha serta pihak-pihak lain terkait dengan kebijakan dan program penanggulangan masalah kerawanan pangan di Indonesia, khususnya dari dengan penyediaan ikan murah dan mudah terjangkau melalui pengembangan usaha perikanan..
Jakarta, Desember 2009 Penanggungjawab Kegiatan,
Dr. Agus Heri Purnomo
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................
i
DAFTAR ISI ......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .........................................................,.................................
Xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xii
RINGKASAN
xiii
I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.3 Keluaran .............................................................................................
1 1 3 3
II
METODE PENELITIAN............................................................................
4
2.1
Lokasi dan Waktu Penelitian..............................
4
2.2
Kerangka Pemikiran........................................... Metode Penelitian...............................................
5
2.3.1 Jenis dan Sumber Data............................
6
2.3.2 Metode Pengumpulan Data......................
6
2.3.3 Metode Analisis Data................................
6
2.3
III. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3.1 Ketahanan Pangan …………………………..........…………...
3.2
6
9 9
3.1.1 Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan.................... 3.1.2 Indikator dan Pengukuran Ketahanan Pangan.........
9 11
3.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan
14
Ketahanan Pangan Rumah Tangga ..........................................
15
3.2.1 Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga....................
17
3.2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga.............
18
3.2.3 Ketersediaan dan Konsumsi Ikan
21
3.3
Rumah Tangga Rawan Pangan......................................................
21
3.4
System Dynamics ..........................................................................
22
v
IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH SURVEY.................................. 4.1
4.2
4.3
4.4.
V.
23
Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat.................................
23
4.1.1 Keadaan Umum Wilayah.....................................................
23
4.1.2
24
Kondisi Sistim Usaha Perikanan ........................................
4.1.3 Program Ketahanan Pangan ...............................................
26
Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.............................
28
4.2.1 Kondisi Umum Wilayah.......................................................
28
4.2.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan...............................................
29
4.2.3 Program Ketahanan Pangan.....................................................
33
Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta
33
4.3.1 Keadaan Umum Wilayah.........................................................
33
4.3.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan...............................................
35
4.3.3 Program Ketahanan Pangan........................................................
37
Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur................................
44
4.4.1 Keadaan Umum Wilayah..........................................................
44
4.4.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan..............................................
45
4.4.3 Program Ketahanan Pangan.....................................................
52
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 5.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN DI WILAYAH SURVEY 5.1.1 Karakteristik Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur......... 5.1.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan 5.1.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur .......... 5.1.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian 5.1.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan 5.1.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga.................................... 5.1.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Pembelian Ikan 5.1.1.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 5.1.2 Karakteristik Responden Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY.................................... 5.1.2.1 Pendidikan
Karakteristik
Responden
Berdasarkan
56 56 56 56 56 56 57 58 58 59 59
Timgkat 59
vi
5.1.3
5.1.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur .................
60
5.1.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian
61
5.1.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan.........
61
5.1.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga.......................................... 5.1.2.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Pembelian Ikan ............................................................... 5.1.2.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki
62 62 63
Karakteristik Responden Di Desa Watuurip, Kecamatan 64 Bawang, Kabupaten Banjarnegara 5.1.3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat 64 Pendidikan 5.1.3.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ................ 65 5.1.3.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian
65
5.1.3.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan ........... 66 5.1.3.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ......................................... 5.1.3.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Pembelian Ikan ............................................................. 5.1.3.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 5.1.4
5.2
66 67 67
Karakteristik Responden di Desa Cinanggela, Kecamatan 68 Pacet Kabupaten Bandung 5.1.4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat 68 Pendidikan .................................................................. 5.1.4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ................. 69 5.1.4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian
69
5.1.4.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan....
70
5.1.4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ........................................... 5.1.4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Pembelian Ikan .............................................................. 5.1.4.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki
71 71 72
IDENTIFIKASI FAKTOR DALAM SISTEM USAHA PERIKANAN 73 (SUP) BUDIDAYA YANG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN 5.2.1 Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, 73 Propinsi Jawa Timur .............................................................
vii
5.2.2
5.3
Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ,.................................... 5.2.3 Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Timur ............................................................................ 5.2.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ........................................................................................ KETAHANAN PANGAN IKANI RUMAH TANGGA DI DESA RAWAN PANGAN 5.3.1 Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur 5.3.1.1 Ketersediaan Pangan Ikani …………………………..
73 75 79 79 79 80
5.3.1.2. Stabilitas Pangan Ikani ................................................
81
5.3.1.3. Keterjangkauan Pangan Ikani .....................................
83
5.3.1.4. Keamanan Pangan Ikani .............................................
84
5.3.2 Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, 85 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 5.3.2.1. Ketersediaan Pangan Ikani ………………………….. 86 5.3.2.2. Stabilitas Pangan Ikani ………………………………..
87
5.3.2.3. Keterjangkauan Pangan Ikani .......................................
89
5.3.2.4. Keamanan Pangan Ikani ...............................................
90
5.3.3 Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, 90 Jawa Timur ................................................... 5.3.3.1 Ketersediaan Pangan Ikani ……………………………........ 91 5.3.3.2 Stabilitas Pangan Ikani ..........................................................
92
5.3.3.3 Keterjangkauan Pangan Ikani ................................................
94
5.3.3.4 Keamanan Pangan Ikani ..........................................................
96
5.3.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa 96 Barat ............................................................................... 5.3.4.1. Ketersediaan Pangan Ikani …………………………………. 97 5.3.4.2. Stabilitas Pangan Ikani ……………………………………..
98
5.3.4.3. Keterjangkauan Pangan Ikani …………………………………
99
6.1
5.3.4.4. Keamanan Pangan Ikani 99 ……………………………………….. PERUMUSAN MODEL SISTIM USAHA PERIKANAN YANG 101 MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Desa Merakan Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang Jawa Timur… 101
6.2
Desa Watuurip Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara Jawa 106
VI.
viii
Tengah…………………………………………………………… VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ....................................... 110 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 110 5.2. Implikasi Kebijakan .............................................................................. 111 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
112
LAMPIRAN .............................................................................................................
114
ix
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. 2.
Daerah Rawan Pangan Berdasarkan Propinsi di Jawa............................ Indikator Rawan Pangan di Jawa Timur..................................................
4 5
3.
Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk Mengidentifikasi Ketahanan Pangan Rumahtangga........................................................................................... Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung 2005-2006.......... Jumlah RTP dan luas lahan budidaya ikan di Kabupaten Bandung tahun 2007............................................................................................................ Data Produksi Perikanan Kabupaten Banjarnegara, Tahun 2008................ Data Luas Lahan Perikanan Tahun 2006-2009, Kabupaten Banjarnegara Jumlah Produksi Perikanan Tahun 2006-2009............................................
13
Tingkat Konsumsi Ikan (TKI) Kabupaten Banjarnegara............................ Produksi ikan Budidaya dan Luas kolam Per Kecamatan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008............................................................................ Produksi Per Jenis Ikan Budidaya Kolam di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008............................................................................................................... . Total Produksi dan Konsumsi Ikan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 Produksi Budidaya Ikan di Air Tawar dan Air Payau Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 (Kg)................................................ Perdagangan Ikan Menurut Mutasinya di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2007 (dalam Kg)........................................................................................ Perdagangan Ikan Menurut Jenisnya di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2007 ........................................................................................................... Perkembangan Produksi Budidaya Ikan Air Tawar dan Payau dari Tahun 2004-2008 di Kabupaten Kulonprogo(dalam Kg)..................................... Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 .......................................................................................................... Daftar Pengusaha Skala Mikro yang Bergerak di Bidang Perikanan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 .................................................... Tangkapan Berbagai Jenis Ikan pertahun di Kabupaten Lumajang Jumlah dan Trip melaut untuk Setiap jenis Alat Tangkap yang Ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.............................................................
31 35
Luas Lahan serta produksi untuk masing-masing tipe budidaya yang ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.......................................................
50
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
21
23 25 29 30 30
36 36 37 39 40 41 42 44 49 49
x
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
29. 30.
31. 32.
33
34
35 36 37 38 39 40
Perkembangan Jumlah nelayan yang ada di kabupaten Lumajang, Jawa Timur......................................................................................................... Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Perkembangan Jumlah Armada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Perkembangan produksi penangkapan di laut di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur............................................................................................... Perkembangan produksi penangkapan di perairan umum, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur................................................................................ Perkembangan Produksi Budidaya Air Payau di Kabupaten Lumajang (ton) Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009............................................................................................................... Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009............................... Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009................ Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009................................................................................................. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Untuk Pembelian Ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009.......................................................... Aset Rumah Tangga Yang Dimiliki Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009.............................. Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY................ Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY........................................................... Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY.................................... Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY................... Total Pengeluaran Responden Untuk Membeli Ikan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY....................................
50 50 51 51 51 52 56
56 57
57 58
58
59
60 60 61 61 62 63
xi
41 42 43 44 45 46 47
48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 69 60 61 62 63 64 65
Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY......................................................... .Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...................................... Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara............................................ Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara............................. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara............................................... Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara............................ Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran untuk Konsumsi Ikan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara.................................................................................................. Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara........................................... karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan............................ Distribusi Pendapatan Responden Desa Cinanggela..................................... Karakteristik Responden Berdasatkan Tingkat Pengeluaran.......................... Pengeluaran Konsumsi Ikan Responden Desa Cinanggela.......................... Jenis lahan, potensi dan dan Luas Lahan Yang Sudah dimanfaatkan Untuk Budidaya Ikan............................................................................................. Jumlah dan Persentase Responden terhadap Aktivitas Budidaya………. Sumber Modal Usaha Responden Untuk Budidaya Ikan........................ Sumber Modal Usaha Responden Untuk Budidaya Ika...........................
64
Ketersediaan Lahan Desa Watuurip Tahun 2008...................................... Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan Di Desa Merakan,Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur......... Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan............................................................................ Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi,.................................................................................................. Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir...................................... Preferensi Sumber protein hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan.............................................................................................. Respon Responden Apabila Tidak Tersedian ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Banjarnegara................................................ Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan ......................... Lokasi mendapatkan Ikan...............................................................................
80 80
64 65 65 66 67 67
68 70 71 71 71 74 76 76 77
81 82 82 83 84 84 86
xii
66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
79 80 81 82 83 84 85 86
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Gunungkidul DIY........................................ Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan................................................................................. Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, di Kulon Progo, DIY.............................................................. Frekuensi Makan Ikan Responden dalam Seminggu Terakhir....................... Preferensi Sumber Protein Hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan................................................................................................. Respon Responden Apabila Tidak Ada Ikan.................................................. Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan ...................... Pengetahuan responden tentang kualitas ikan yang baik............................... Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara............................................................... Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan di Desa Watuurip-Kabupaten Banjarnegara................... Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, Di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara........................ Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.............................................................. Distribusi Rumah tangga Menurut cara yang ditempuh untuk memperoleh ikan di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat............................................................................................................... Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir ...................................... Cara Yang Ditemopuh untuk Mendapatkan Ikan...................................... Lokasi Responden Memperoleh Ikan……………………………………. Pengetahuan Responden Akan Ciri Ikan Segar............................................ Jumlah Penduduk di Desa Merakan Tahun 2005 sampai dengan 2009 Tingkat Konsumsi Ikan setelah Intervensi Jumlah Penduduk di Desa Watuurip Pemenuhan Kebutuhan Ikan Ideal
86 87 88 88 88 89 90 91 91 91 92 97 97
98 99 99 100 103 105 107 108
xiii
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. 2. 3.
Kerangka Pemikiran..................................................................................... Tahapan Pemodelan………………………………………………………… Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan Berdasarkan Chung (1997).................................................................................................
5 8 18
4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan............................
69
5.
Karakteristik Responden berdasarkan Umur..................................................
69
6.
Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencahariaan…………………
69
7.
Karakteristik Responden berdasarkan Aset yang Dimiliki..........................
72
8. 9.
Pengetahuan rumah tangga rawan pangan tentang kualitas ikan.................. Preferensi Sumber Protein Hewani oleh Responden di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara................................................................................
85 93
10.
93
14
Respon Responden Jika Ikan tidak Tersedia pada Responden di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara……………………………………….. Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara............................................................. Tempat Responden Membeli Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara……………………………………………………………… Pengetahuan Responden Tentang Kualitas Ikan di Desa Watuurip Kabupaten Banjarnegara………………………………………………….. Causal Loop Diagram Model Ketahanan Pangan
102
15
Selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan tingkat konsumsi ikan
103
16
Intervensi Model
104
17
Hasil Simulasi Setelah Intervensi Untuk Konsumsi Ikan di Desa Merakan
105
18
Selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan tingkat konsumsi ikan
108
19
Hasil Intervensi Model Untuk penyediaan Konsumsi ikan di Desa 109 Watuurip
11. 12. 13.
94 95 96
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
No
Teks
Halaman
1. 2. 3.
Stok Flow Diagram Equation Model Ketahanan Pangan Analisa Usaha Pembesaran Ikan Lele di Kolam Terpal selama 3 bulan dengan luasan kolam 15 m2 di Desa Salamrejo Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulonprogo
114 115 119
4.
Analisa usaha pembenihan ikan gurame selama 45 hari di Desa Watuurip Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara
120
5.
Foto-foto Kegiatan
121
xv
RINGKASAN Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat.
Ikan dihasilkan selain dari
penangkapan, juga dihasilkan dari budidaya. Kondisi sumberdaya ikan dari penangkapan tidak dapat diharapkan akan dapat menyuplai kebutuhan untuk konsumsi karena kondisi sumberdaya yang sebagian wilayahnya mengalami overfishing. Salah satu sektor andalan yang masih dapat diupayakan yaitu mengembangkan usaha budidaya ikan sehingga dapat meningkatkan produksinya sehingga dapat menggantikan kekurangan sumber ikan yang tidak dapat disediakan oleh usaha penangkapan. Peningkatan produksi ikan hasil budidaya harus dilakukan melalui pendekatan sistem usaha budidaya yang baik, sehingga pemenuhan protein untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangga dapat dipenuhi. Penelitian ini bertujuan (a) Mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi ;(b)Mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) budidaya yang mendukung ketahanan pangan ;(c)Menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan;(d) Merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan. adalah(a)Teridentifikasinya
Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini
kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan ;(b)
Teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan;(c)Teranalisisnya hubungan antar faktor dalam Sistin Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan;(d) model pengembangan Sistim Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Lokasi penelitian yang menjadi daerah sampel dipilih secara sengaja (purposive) yaitu setiap lokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemilihan Kabupaten berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebagai daerah rawan dalam dalam statistik Rawan Pangan dan Gizi tahun 2007 dan 2008 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dan selama 2 tahun berturut-turut dinyatakan rawan pangan, atau lokasi yang berubah dari tidak rawan menjadi rawan pangan selama 2 tahun (Kulonprogo) . Kemudian, setelah ditentukan Kabupaten yang terpilih yaitu Bandung,
xiii
Kulonprogo, Banjarnegara dan Lumajang .
Kriteria lainnya, kabupaten tersebut
merupakan pusat-pusat pengembangan usaha budidaya. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan metode survey, pengambilan responden dilakukan secara purposive samplig terhadap pelaku usaha budidaya atau masyarakat di desa tersebut. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi data terkait dengan karakteristik responden serta terkait dengan indikator ketahanan pangan di desa rawan pangan. Data sekunder diperoleh dari laporan penelitian terkait atau laporan instansi dari pemerintah daerah maupun pusat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kondisi usaha perikanan di lokasi survey di Desa Merakan walaupun belum ada usaha budidaya, namun punya potensi pengembangan untuk usaha budidaya ikan yang tahan supply air,
untuk lokasi
Kulonprogo usaha budidaya lele mulai dikembangkan satu tahun yang lalu dan punya potensi untuk pengembangan lebih lanjut. Desa Watuurip sudah lama berkembang usaha perikanan namun hanya pada usaha pembenihan dan pendederan, sedangkan desa Cinanggela usaha perikanan akan sulit dikembangkan mengingat kondisi wilayahnya. Kondisi ketahanan pangan di masing-masing lokasi desa rawan pangan menunjukkan bahwa untuk Desa Merakan dan Desa Cinanggela termasuk dalam kategori rentan pangan ikani. Hal yang paling mempengaruhi kondisi tersebut yaitu faktor stabilitas pasokan disebabkan oleh supply ikan ke wilayah tersebut sangat tergantung kepada pasokan dari luar sehingga waktunya tidak dapat ditentukan. Untuk desa Cinanggela bahkan selama ini supply ikan yang banyak tersedia di warung hanya jenis ikan asin yang kandungan gizinya juga tidak lebih baik. Untuk dua lokasi dsa lainnya yaitu Desa Watuurip dan Desa Salamrejo kondisi ketahanan pangan ikani berada pada kondisi cukup tahan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing faktor penentu dalam indikator ketahanan pangan cukup terpenuhi. Stabilitas pasokan juga cukup terjaga karena mereka mempunyai usaha budidaya ikan di rumahnya, sehingga konsumsi ikan keluarga diperoleh dari hasil budidayanya.
Dari simulasi model yang dibuat untuk 2 kondisi desa yang berbeda
diperoleh bahwa untuk mencukupi supply ikan di desa tersebut terutama dilokasi yang rawan pangan dan tidak terdapat usaha budidaya seperti di Desa Merakan akan diperoleh melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha budidaya. Upaya ini dilakukan dengan cara intervensi secara struktural, yaitu dengan menambahkan subsistem pada
xiv
model yang sudah dibangun. Dalam hal ini dibangun subsistem SUP. Berdasarkan simulasi, dengan adanya intervensi ini maka gap atau selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan di lokasi survei dapat diperkecil. Sedangkan di lokasi yang rawan pangan tetapi terdapat usaha budidaya seperti Desa Watuurip, intervensi yang dilakukan adalah intervensi fungsional, yaitu dengan mengubah nilai dalam variabel. Dalam hal ini adalah luas lahan. Karena di Desa Watuurip, lahan budidaya belum dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan sistin usaha perikanan, khususnya usaha budidaya ikan yang dikembangkan dilokasi-lokasi rawan pangan sangat efekltif untuk mengatasi kondisi rawan pangan terutama untuk pangan hewani yaitu ikan. Pemenuhan kebutuhan protein ikan yang murah dan mudah diperoleh karena dengan penyediaan ikan tersebut di lokasi rumahnya.
Tentunya pengembangan usaha budidaya tersebut harus dilihat kondisi
potensi wilayah tersebut dalam pengembangannnya.
Haruis dibedakan perlakuan
program pengembangan usaha budidaya tersebut bagi setiap lokasi yang berbeda. Tapi pada prinsipnya usaha budidaya tersebut harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah terutama terkait dengan permodalan dan program terkait dengan pengentasan kemiskinan di wilayah rawan pangan. Disamping itu harus diberikan bimbingan dan pelatihan karena sebagian besar penduduk di rawan pangan tersebut masih minim informasi usaha budidaya. Pengembangan usaha budidaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk usaha intensifikasi diperlukan peranan diseminasi teknologi ke wilayah rawan pangan, karena potensi peningkatan produksi untuk program ini akan dipenuhi melalui pemberian teknologi yang lebih maju.
Untuk program
ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan yang belum digunakan untuk usaha budidaya ikan, atau lahan sawah dengan budidaya tumpangsari antara padi dan ikan.
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang diutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan). Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Menyikapi permasalahan tersebut, pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada kekuatan ekonomi domestik, yang mampu menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategik domestik dan global, sasaran pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian pangan yang diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya. Memperhatikan permasalahan dan potensi sebagaimana didiskusikan di muka, maka pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga, serta menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang di tingkat rumah tangga sepanjang waktu, melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, peningkatan ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan. Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan landasan bagi ketahanan pangan masyarakat, yang selanjutnya menjadi pilar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka salah satu prioritas utama pembangunan ketahanan pangan adalah memberdayakan masyarakat, agar mampu menanggulangi masalah pangannya secara mandiri, serta mewujudkan ketahanan pangan rumah tangganya secara berkelanjutan. Pada tataran rumah tangga, persoalan yang menonjol dalam pemantapan ketahanan pangan adalah masih besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah, ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab, sehingga mereka mengalami kerawanan pangan kronis maupun transien. Jika kondisi yang mereka alami berkelanjutan, maka kualitas fisik maupun intelegensia masyarakat tersebut cenderung rendah, dan bangsa ini akan kehilangan potensi terbaik dari sebagian sumberdaya manusianya. Pada sisi lain, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian yang senantiasa didayagunakan melalui proses pembangunan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Dengan pendekatan demikian, perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kuat yaitu pada sumberdaya domestik, serta memiliki kemampuan bersaing yang tinggi. Dalam kaitan ini pembangunan ekonomi di bidang pangan, baik yang berbasis tanaman, peternakan, perikanan maupun kehutanan, akan sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi di bidang pangan ini merupakan prioritas strategis dalam pembangunan nasional.
2
Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat. Ikan dihasilkan selain dari penangkapan, juga dihasilkan dari budidaya. Kondisi sumberdaya ikan dari penangkapan tidak dapat diharapkan akan dapat menyuplai kebutuhan untuk konsumsi karena kondisi sumberdaya yang sebagian wilayahnya mengalami overfishing. Salah satu sektor andalan yang masih dapat diupayakan yaitu mengembangkan usaha budidaya ikan sehingga dapat meningkatkan produksinya sehingga dapat menggantikan kekurangan sumber ikan yang tidak dapat disediakan oleh usaha penangkapan. Peningkatan produksi ikan hasil budidaya harus dilakukan melalui pendekatan sistem usaha budidaya yang baik, sehingga pemenuhan protein untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangga dapat dipenuhi.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: a. Mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi b. Mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) budidaya yang mendukung ketahanan pangan c. Menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan. d. Merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan.
1. 3. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Teridentifikasinya kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan b. Teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan c. Teranalisisnya hubungan antar faktor dalam Sistin Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan. d. Model pengembangan Sistem Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ketahanan Pangan
2.1.1 Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan Ketika terjadi krisis pangan dunia pada tahun 1970-an maka mulailah dikenal istilah ketahanan pangan. Dasar-dasar ketahanan pangan dipakai sebagai titik tolak evaluasi keadaan pangan, yang dilatarbelakangi oleh pemikiran yang muncul dalam Konferensi Pangan Duni PBB pada tahun 1974. Konsep ketahanan pangan kemudian mempengaruhi berkembangnya konsep swasembada atau “self sufficiency” yang mengutamakan kebutuhan domestik melalui produksi dalam negeri. Konsep ketahanan pangan terus berkembang hingga diterimanya Deklarasi Roma 1992 tentang Ketahanan Pangan yang menegaskan sebagai : “hak setiap orang untuk memiliki akses terhadap pangan yang aman, bermutu dan bergizi, konsisten dengan hak untuk memperoleh pangan yang cukup dan hak azazi bagi setiap orang untuk bebas dari kelaparan”. Kelaparan adalah bentu kekurangan pangan yang apabila berlangsung lama dapat mengakibatakan kekurangan gizi (Soetrisno, 1998). Syarief,
Hardinsyah
dan
Atmojo (1999) menyebutkan bahwa makna atau dimensi yang terkandung dalam definisi tersebut adalah dimensi fisik pangan (penyediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi dan sasaran) sesuai nilai0nilai budaya religi (pola pangan yang sesuai), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (secara berkesinambungan).
Definisi ini secara
mendasar sudah menganut konsep yang holistic dan mengandung makna yang selaras dengan paradigm baru kesehatan. Kantor
Menteri
Negara
Urusan
Pangan
Republik
Indonesia
(1996)
mendefinisikan Ketahanan Pangan dalam Undang-Undang Nomor & Tahun 1996 tentang Pangan (Bab I pasal 7 ayat 18), adalah : “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau”.
Pada Lokakarya Nasional Ketahanan Pangan Nasional (Departemen Pertnian Republik Indonesia, 1996) ketahanan pangan rumahtangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan yaitu : (1) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumahtangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat (2) Kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup (3) Kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat. Beberapa definisi ketahanan pangan dari tahun 1970-an yang menekankan pada kemampuan wilayah dalam penyediaan pangan untuk mengatasi kelaparan, yang kemudian pada decade 1980-an definisi ketahanan pangan bergeser dari ketersediaan pangan wilayah ke aksesibilitas pangan oleh setiap rumahtangga dan individu serta pada decade 19990-an ketahanan pangan lebih difokuskan kepada terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup sehat (Hardinsyah et al., 1999). Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan pangan yaitu: (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) jaminan keamanan pangan sebagai bagian dari pola pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik (produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau social (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi tentang jumlah, mutu dan harga pangan; dan (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah et al., 1999). Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan sampai pada tingkat rumahtangga dapat ditempuh melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi pangan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan kemampuan penyediaan pangan, peningkatan pembentukan cadangan pangan, dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus
5
kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1996). Atmodjo, Syarief, Sukandar dan Latifah (1995) menyebutkan bahwa kondisi ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumahtangga ada dua bentuk yaitu : (a) ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kualitas sumberdaya yang sering terjadi di wilayah miskin dan gersang; dan (b) ketidaktahanan pangan akut, terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat sukar memperoleh pangan yang memadai.
2.1.2 Indikator dan Pengukuran Ketahanan Pangan Mengacu pada pada pengertian ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 Tahun 1996, Soetrisno (1996) mengemukakan beberapa indikator yang dapat digunakan meliputi: 1) Angka ketersediaan pangan setara energi, protein dan lemak dibandingkan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 2) Angka konsumsi energi, protein dan lemak penduduk dibandingkan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 3) Prosentase jumlah penduduk yang mengalami rawan pangan; 4) Angka Indeks Ketahanan Pangan Rumahtangga; 5) Angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkat wilayah; 6) tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; 7) Skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; 8) Kondisi keamanan pangan; 9) Keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan 10) Tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan. Secara konseptual ketahanan pangan yang telah diterima oleh Sidang Komite Pangan Dunia tahun 1993 mencakup tiga aspek penting yaitu : (1) ketersediaan pangan; (2) stabilitas penyediaan pangan; dan (3) akses individu dan atau rumahtangga untuk mendapatkan pangan. Ketiga aspek diterjemahkan dalam suatu indeks yang mengukur keadaan ketahanan pangan. Karena sasaran ketahanan pangan adalah rumahtangga maka indicator ketahanan pangan yang disusun difokuskan pada Indeks Rata-Rata Ketahanan Pangan Rumahtangga (AHFSI = Average Household Food Security Index). Secara ringkas formula ukuran ketahanan pangan digambarkan sebagai berikut:
6
AHFSI = 100 – [ H {G + (1 – G) I} + 0,5Q { I – H (G + (1 – G) I) } ]100 H
=
G
=
I
=
Q
=
rasio penduduk yang mengalami kekurangan pangan (undernourished) terhadap jumlah penduduk. Proporsi angka kekurangan kalori terhadap angka rata-rata kebutuhan kalori. Angka ini diukur dari selisih antara ketersediaan rata-rata energi untuk kelompok penduduk kekurangan pangan dengan rata-rata kebutuhan kalori. Ketimpangan dalam distribusi (inequality in distribution of food gaps) yang diukur dengan koefisien GINI dari distribusi konsumsi kalori. Koefisien variasi DES (Dietary Energy Supplies) atau ketersediaan energi untuk konsumsi, yang menjadi ukuran kemungkinan yang dikaitkan denganketidaktahanan pangan yang mendadak (temporary food security). Berdasarkan Indeks Rata-Rata Ketahanan Pangan Rumahtangga (AHFSI) status
ketahanan pangan dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok sebagai berikut: (1) Sangat Tahan (AHFSI Tinggi di atas 85); (2) Tahan (AHFSI Menengah antara 75 – 85); (3) Tidak Tahan (AHFSI Rendah antara 65 – 75); dan (4) Sangat Rawan/Kritis (AHFSI Sangat Rendah di bawah 65) (FAO, 1994 dalam Soetrisno, 1995). Pada dasarnya model yang dianjurkan FAO (AHFSI) tersebut cukup baik dan akurat dalam menangkap kondisi ketahanan pangan suatu negara (Soetrisno, 1995), namun untuk menangkap ketahanan pangan tingkat rumahtangga belum terbukti handal dan ditinjau dari aspek operasional model tersebut relatif sulit untuk diterapkan. Menurut Hasan (1995), ketahanan pangan tingkat rumahtangga dapat dketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung.
Hasilnya kemudian dibandingkan dengan norma kecukupan yang telah
ditetapkan.
Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan, melalui survei
tersebut dapat pula dikumpulkan data mengenai ekonomi. Sosial dan demografi, harga pangan, pengeluaran dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebgai indikator resiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga. Foster (1992) dalam Hardinsyah et al. (1998), menyarankan tiga alternatif konsep dan pengukuran ketahanan pangan rumahtangga yang lebih melihat dari sudut ekonomi, dimana rumahtangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika:
7
1 Nilai kekurangan produksi di dalam rumahtangga 2 Kebutuhan pangan
x
rumahtangga
harga
3 Kebutuhan konsumsi
pangan x
dan produksi pangan
harga pangan
Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan
Selanjutnya Hardinsyah (1996) menyarankan penggunaan Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk pengukuran ketahanan pangan rumahtangga. Ukuran sederhana ini dapat digunakan untuk menduga pemenuhan kebutuhan gizi rumahtangga. SKP mempunyai korelasi yang erat dengan rata-rata tingkat konsumsi zat gizi (Energi, Protein, Lemak, Vitamin A, Vitamin C, Thiamin, Kalsium, Fosfor, Besi dan Seng) seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 1. Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk Mengidentifikasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Jumlah Pangan yang Dibutuhkan per Kelompok Pangan Skor Unit Konsumen bagi Pria Dewasa **) 1. Makanan Pokok*) 5 piring (500 gr) 0 1 2 2. Lauk Pauk
4 potong (200 gr)
0
1
2
3. Sayuran
2 mangkuk (150 gr)
0
1
2
4. Buah-buahan
2 buah/potong (200 gr)
0
1
2
5. Susu
1 gelas (200 ml)
0
1
2
Keterangan : Skor = 0, jika konsumsi makanan ½ UK Skor Total : Skor = 1, jika konsumsi makanan = ½ - 1 UK 6 – 10 : Cukup Tahan Skor = 2, jika konsumsi makanan 1 UK <6 : Tidak Cukup Tahan *) Dengan asumsi peran makanan jajanan sebesar 10 % dan umbi-umbian < 20 % **) Dengan asumsi bagi pria dewasa dengan kegiatan sedang 2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan
8
hambatan untuk akses pangan. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Tingkat pendapatan sangat berpengaruh nyata terhadap konsumsi gizi berupa, protein, vitamin A dan zat besi (Hartoyo, 1996).
Sementara menurut Hasan (1995) resiko ketidaktahanan pangan
tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis.
Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan
pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio budaya. Ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa (LIPI, 1988).
Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sayogyo, 1989).
Keluarga dan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu dalam jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989). Selanjutnya Suhardjo (1989) menyatakan bahwa bila kebutuhan akan pangan dapat dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak menentukan.
Kapasitas
penyediaan
meningkatkan produksi pangan sendiri.
bahan
pangan
dapat
dipertinggi
dengan
Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan
banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantoitas maupun kualitasnya. Sementara itu menurut Soemarwoto (1994) menyatakan bahwa faktor ekonomi menyebabkan penilaian kemampuan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan.
Selanjutnya Purwaka (1994) menyatakan bahwa walaupun
pendapatan per kapita rata-rata meningkat, harga akan menjadi kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat mengkonsumsi pangan terutama hasil laut.
9
Agar rumah tangga memperoleh pangan untuk dikonsumsi, maka pangan harus tersedia. Ketersediaan pangan secara makro maupun mikro banyak ditentukan oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan dari keluar/masuknya pangan dari/ke wilayah yang bersangkutan. selain
pengaruh
Sementara itu ketidakterjaminan ketersediaan pangan di pasar faktor
produksi
juga
dipengaruhi
oleh
mekanisme
pasar,
sarana/prasarana, dan sebagainya. Banyak sedikitnya pangan yang dibeli dari pasar termasuk keragamannya sangat ditentukan oleh pendapatan/daya beli rumah tangga, harga-harga pangan serta pengetahuan rumah tangga untuk memilih makanan/bahan makanan yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu ketersediaan pangan di rumah tangga sangat tergantung pada hasil pertaniannya (bagi yang mengusahakan lahan) dan dari apa yang dibeli di pasar (bagi yang memiliki daya beli). Walaupun rumah tangga memiliki daya beli yang cukup dan pangan tersedia juga cukup, namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumah tangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannya baik kualitas, kuantitas maupun keragamannya (Suhardjo, 1996).
2.2 Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan Pangan Rumah Tangga (KPRT) sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (Household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 defenisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam UU RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
10
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan, karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan (Soetrisno, 1996). Secara nasional di Departemen Pertanian terdapat Badan Urusan Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kerjasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pangan melalui jaringan pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumah tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitory) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995). Menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup.
2.2.1 Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pemantauan kondisi ketahanan pangan pennting dilakukan untuk memantau kondisi ketahanan pangan, maka upaya terus aktif dilakukan untuk mengembangkan berbagai metode pengukuran dan peramalan agar sedapat mungkin menggambarkan
11
keadaan yang sebenarnya sedang atau akan terjadi. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori yaitu secara langsung yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Khomsan (1999) bahwa indikator ketahanan pangan di Jawa diukur dari indikator tingkat konsumsi energi atau protein yang ditentukan oleh konsumsi beras, tahu dan tempe. Berdasarkan uraian di atas bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, Chung (1997) merangkum berbagai indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah kerangka konseptual seperti berikut ini. Sumberdaya: Fisisk, manusia, sosial Ketersediaan pangan Produksi pangan Pendapatan: Pertanian dan non pertanian Akses Pangan Konsumsi pangan Pemanfaatan pangan Status Gizi: Anak dan dewasa Output Gambar 1. Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan (Chung, 1997)
12
2.2.2
Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga Salah satu pengklasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food
secure (tahan pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator output yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta). Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70 % (Zeitlin & Brown, 1990). Di Indonesia Sumarwan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dari proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E & P > 100 %). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan (E & P < 100 %). Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar dkk, 2001). Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna (makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan Unit Konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan. Menurut Sutrisno (1995), dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Dengan tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah
13
dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) resiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996), kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi tiga faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi. 1. Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo, 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi. 2. Daya beli. Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana, 1994). Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI, 1998) kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang
14
menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo, 1996). Keluarga dan masyarakat
yang berpenghasilan rendah,
mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan. 3. Pengetahuan pangan dan gizi. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/KB, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto, 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemarwoto, 1994).
2.2.3. Ketersediaan dan Konsumsi Ikan Secara umum konsumsi pangan dipengaruhi oleh tiga hal utama, yaitu pendapatan, ketersediaan pangan setempat dan pengetahuan/faktor budaya. Di bidang perikanan, untuk memenuhi kebutuhan ikan akibat peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi ikan per kapita per hari, pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi ikan. Gambaran perkembangan tingkat produksi ikan selama tahun 1996 – 1999 dapat dilihat pada Tabel 4. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI telah merekomendasikan standar kecukupan nasional pangan dan gizi untuk kecukupan protein sebesar 50 gram protein/kapita/hari dan energi sebesar 2,200 Kkal/kapita/hari. Dari angka kecukupan protein rata-rata per kapita per hari tersebut dianjurkan sebanyak 18 gram diantaranya dipenuhi dari pangan sumber protein hewani, dengan perincian 6 gram berasal dari ternak dan 12 gram berasal dari ikan.
15
2.3. Rumah Tangga Rawan Pangan Rumah tangga rawan pangan di definisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi energi (ekuivalen orang dewasa) ≤ 80 persen dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pasar pangan > 60 persen dari total pengeluaran rumah tangga (Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et al (2000) dalam Ariningsih (2000). Menurut Ariningsih (2009), proporsi rumah tangga rawan pangan di Jawa dan Luar Jawa menunjukkan adanya kesenjangan. Selama periode 1999-2005, proporsi rumah tangga rawan pangan di luar Jawa lebih tinggi dibanding dengan di Jawa. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Ariningsih (2009), disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganana rawan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui: a) menjaga stabilitas harga pangan, b) perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan c) pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan d) penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan.
2.4. System Dynamics System dynamics pertama kali di perkenalkan oleh Jay W.Forrester di MIT pada dekade lima puluhan. System dynamics sebagai salah satu metode dalam memecahkan masalah secara berpikir sistem, yang semula diberi nama industrial dynamics, dengan mendasarkan teorinya kepada adanya karakteristik dari information-feedback yang antara lain akan selalu menyebabkan time delays atas setiap keputusan yang diambil oleh
manajemen.
System
dynamics
adalah
suatu
metode
pemodelan
yang
penggunaannya erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensitendensi dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu sesuai dengan bertambahnya waktu. Asumsi utama dalam paradigma systems dynamics adalah bahwa tendensi-tendensi dinamik yang persisten pada setiap sistem yang kompleks bersumber dari struktur kausal yang membentuk sistem itu. Menurut Meadows (dalam Masri, 1980:12), dasar dari metode systems dynamics adalah kesadaran bahwa susunan (struktur) suatu sistem – hubungan unsurunsurnya yang melingkar, kait mengait dan kadang-kadang bersifat tunggu menunggu,
16
dan semua itu sama pentingnya dengan tiap-tiap unsur itu sendiri dalam menentukan tingkah laku sistem itu. Hal yang pokok dalam membangun sebuah model system dynamics adalah jumlah dari “level” untuk menggambarkan struktur yang ada misalnya jumlah stock level yang terdapat di dalam sistem tersebut. Selanjutnya direction of feedback merupakan hal berikut yang perlu dicermati. Sebuah elemen atau unsur dapat berperilaku
membuat feed-back terhadap elemen yang lain baik secara langsung
melalui hubungan mereka, maupun secara tidak langsung melalui rangkaian seri dari elemen yang terhubungkan lainnya guna mempengaruhi elemen yang merupakan penggerak perilaku yang bersangkutan. Feedback, melalui loops, dapat bersifat negatif atau positif. Dikatakan negatif bila feedback tersebut mampu
menghalangi atau
mengendalikan pengaruh yang terjadi dan dikatakan positif bila feedback tersebut mampu memperkuat pengaruh yang bersangkutan sehingga sistem dapat tumbuh atau justru menurun. Positif atau negatif adalah direction of feedback yang merupakan titik utama dalam melakukan analisis dari struktur.
17
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian yang menjadi daerah sampel dipilih secara sengaja (purposive) yaitu setiap lokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pemilihan kabupatern berdasarkan criteria yang ditetapkan sebagai daerah rawan dalam statistic Rawan Pangan dan Gizi Tahun 2007 dan 2008 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dan selama 2 tahun berturut-turut dinyatakan sebagai daerah rawan pangan, atau lokasi yang berubah dari daerah tidak rawan menjadi rawan pangan selama 2 tahun (Kulonprogo). Kemudian, setelah ditentukan kabupaten yang terpilih yaitu Bandung, Kulonprogo, Banjarnegara dan Lumajang. Kriteria lainnya, kabupaten tersebut merupakan pusat usaha perikanan. Berdasarkan hasil statistik rawan pangan tersebut terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Daerah Rawan Pangan Berdasarkan Propinsi di Jawa Tahun
Propinsi Jawa Barat
2006 Bogor Bandung
Jawa Tengah Banjarnegara
DI Yogyakarta Jawa Timur
Blora Kulonprogo Lumajang Jember Bondowoso Bangkalan Sampang
2007 Bogor Bandung Kota Tegal Banjarnegara Kota Salatiga Kota Semarang Blora Gunungkidul Lumajang Jember Bondowoso Situbondo Bangkalan Sampang Pamekasan
Tabel 3. Indikator Rawan Pangan di Jawa Timur Kabupaten Lumajang Jember Bondowoso Bangkalan Sampang
Skor KEP 2006 2007 16.20 16.20 14.50 14.50 22.80 22.80 12.40 12.40 28.90 28.90
Skor KK Miskin 2006 2007 29.59 29.59 48.98 48.98 46.73 46.73 31.61 31.61 85.86 85.86
Skor Pertanian 2006 2007 0.07 0.07 0.29 0.29 1.05 1.05 0.08 0.08 0.27 0.27
Setelah ditentukan kabupaten yang terpilih (kabupaten yang termasuk daerah rawan pangan), kemudian menentukan lokasi desa sampel yaitu desa yang menyatakan rawan pangan berdasarkan criteria yang ditentukan oleh statistic rawan pangan dan gizi yang diterbitkan oleh kantor Ketahanan Pangan Kabupaten. Pertimbangan lain, penentuan lokasi desa sampel yaitu di lokasi tersebut telah berkembang usaha perikanan, atau ada peluang dan potensi untuk mengembangkan usaha perikanan. Waktu penelitian dilakukan selama
satu tahun yaitu dari Bulan Januari
sampai dengan Desember 2009.
3.2 Kerangka Pemikiran Upaya untuk mencapai tujuan penelitian pertama, yaitu memperoleh informasi mengenai kondisi terkini dari SUP Budidaya Ikan dan berbagai variabel yang menyusunnya, maka akan dilakukan kegiatan desk study dan Focus Group Discussion (FGD). Diharapkan melalui pemahaman peneliti yang diperoleh dari desk study, ditambah oleh pengalaman para pakar yang ditampung pada kegiatan FGD, akan diperoleh informasi berupa gambaran yang lengkap dan mendekati kenyataan mengenai SUP Budidaya Ikan yang saat ini sudah terbentuk. Sedangkan upaya untuk menjawab tujuan penelitian kedua dan ketiga, yaitu identifikasi keterkaitan antar variabel-variabel yang menyusun SUP Budidaya Ikan yang ada, serta bagaimana dukungan masing-masing variabel tersebut terhadap ketahanan pangan, akan dipergunakan pendekatan system thinking dengan menggunakan metode system dynamics.
19
Identifikasi kondisi terkini dari SUP di berbagai lokasi contoh dan berbagai komponen yang membentuknya
Studi Literatur
Focus Group Discussion
Informasi mengenai kondisi terkini dari SUP di Lokasi dan berbagai komponen yang membentuknya
Analisis hubungan antara berbagai komponen yang membentuk SUP di lokasi dengan ketahanan pangan Model Dinamis
Informasi mengenai berbagai hubungan antara berbagai komponen yang membentuk SUP di lokasi survey dengan ketahanan pangan Perumusan Model yang Mendukung Ketahanan Pangan
Sebuah Model SUP yang mendukung ketahanan pangan Gambar 2. Kerangka Pemikiran 3.3.
Pengumpulan Data
3.3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner terstruktur. Data primer terdiri dari data karakteristik responden, faktorfaktor dalam sistim usaha perikanan, data tentang ketahanan pangan yang meliputi stabilitas, keterjangkauan, ketersediaan dan keamanan pangan. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur maupun laporan yang dikeluarkan oleh institusi terkait baik pusat maupun daerah yang terkait dengan ketahanan pangan serta pengembangan usaha perikanan.
20
3.3.2. Metode Pengumpulan data Metode penelitian dengan menggunakan metode survey terhadap pelaku usaha budidaya atau masyarakat lain bagi lokasi yang belum ada usaha budidayanya. Jumlah responden dipilih sebanyak 30 orang untuk setiap lokasi desa terpilih yang dilakukan secara purposive sampling. Pemilihan lokasi desa ditentukan berdasarkan kriteria desa rawan pangan yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan di tingkat Kabupaten di setiap propinsi yang terpilih. 3.4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan statistik sederhana. Analisis pendekatan deskriptif dalam hal ini dilakukan untuk menjawab tujuan satu, dua yaitu (1) teridentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan, (2) teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan. 3.4.1. Penilaian Indikator Ketahanan Pangan Ikani Tabel 4. Kriteria Penilaian Ketahanan Pangan Ikani pada Rumah Tangga Perikanan VARIABEL
INDIKATOR
Kecukupan Ketersediaan Pangan Ikani
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Stabilitas Ketersediaan Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur Ikani berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Keterjangkauan Pangan Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran Ikani ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan. Keamanan Pangan Kualitas/keamanan pangan jenis pangan yang dikonsumsi untuk Ikani memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda, sehingga ukuran keamanan pangan hanya dapat dilihat dari ”ada” atau ”tidak”nya bahan makanan yang mengandung protein hewani (termasuk dari sumber ikani) dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Karena itu, ukuran kualitas pangan dapat dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (laukpauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Sumber : Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) LIPI, 2004
21
Data yang menyangkut ketahanan pangan ikani yang telah dikumpulkan dari setiap lokasi penelitian, selanjutnya diberi pembobotan berdasarkan nilai skoring yang menggunakan metode relatif. dimana nilai tersebut diperoleh berdasarkan nilai yang terendah dan nilai yang tertinggi yang selanjutnya dari nilai tersebut digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dimana ketahanan pangan dari sumber hasil perikanan bagi rumah tangga perikanan tersebut dilihat dari empat indikator yaitu: (1) Kecukupan ketersediaan pangan ikani; (2) Stabilitas ketersediaan pangan ikani tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3) Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan ikani serta; (4) Kualitas/keamanan pangan ikani, seperti yang terlihat pada
Tabel 4.
3.4.2. Model Pengembangan Sistem Usaha Perikanan Pembuatan model system usaha perikanan yang mendukung ketahanan yang mendukung ketahanan pangan dilakukan akan menghasilkan 2 opsi yaitu: 1. Apabila di lokasi rawan pangan tersebut telah berkembang usaha perikanan, maka model
usaha
perikanan
ditujukan
bagaimana
usaha
perikanan
tersebut
dikembangkan melalui model usaha perikanan yang baiknya diusahakan sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi ikan masyarakat di desa tersebut. 2. Apabila di lokasi tersebut belum berkembang usaha perikanan, maka model pengembangan usaha perikanan akan diuapayakan adanya keterkaitan dengan daerah lain di luar wilayah tersebut sebagai pensuplai ikan bagi kebutuhan masyarakat di desa tersebut. Konsep Model Pengembangan Sistim Usaha perikanan terpadu yang akan dibuat mengacu pada konsep agribisnis yang dikemukakakan oleh Saragih (2001), dimana sistem usaha perikanan diusahakan dengan memperhatikan keterkaitan antara subsistem. Subsistem yang dimaksud Meliputi subsistem produksi (usaha budidaya), subsistem input produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran. Selanjutnya dikatakan bahwa hal penting yang akan diperhatikan dalam konsep agribisnis perikanan
22
adalah perbaikan pada spek teknologi, kelembagaan, organisasi bisnis, pasar, SDM dan infrastruktur. Model pengembangan sistem usaha perikanan yang akan kaji dan dibuat dalam penelitian ini yaitu dibatasi untuk usaha perikanan budidaya. System Dynamics yaitu Powersim ,digunakan untuk memberikan informasi terkait dengan peluang yang dapat di capai untuk mendapatkan produksi ikan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk di lokasi rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian. Penggunaan model dinamis menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor versi 2.5d seperti pada gambar di bawah..
MATRIK KEBIJAKAN
MASALAH REKOMENDASI 1. PEMETAAN SISTEM NYATA
valid
5. VALIDASI
CLD (Causal Loop Diagram)
2. PEMBUATAN MODEL
tidak valid
GRAFIK &TABEL
4. SIMULASI
SFD (MODEL KOMPUTER)
3. INPUT DATA
DATA
Gambar 3. Tahapan Pemodelan Proses membangun model dinamik dengan powersim tersebut digunakan enam langkah pemodelan, yaitu: 1. Pemetaan sistem nyata. Langkah pertama dalam pemodelan ini adalah membuat diagram simpal kausal atau causal loop diagram (CLD). 2. Pembuatan model. Langkah kedua adalah membangun diagram alir atau stock flow diagram (SFD).
23
3. Input data. Langkah ketiga yang dilakukan dalam proses pemodelan adalah memasukkan data pada variabel-variabel yang sudah dibentuk dalam SFD. 4. Simulasi. Langkah keempat adalah membuat simulasi model SFD yang sudah dibangun. 5. Validasi. Langkah kelima adalah memvalidasi model, karena validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektivan dari suatu pekerjaan ilmiah. Validasi model adalah penilaian keabsahan suatu model.
3.5 Validasi Data Validasi atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektivan dari suatu pekerjaan ilmiah. Di dalam membangun sebuah model, objektif ditunjukkan dengan sejauhmana model dapat menirukan fakta (Muhammadi, 2001:343). Ada dua kategori validasi model, yaitu: 1. Validitas Struktur adalah melihat sejauh mana struktur model menyerupai struktur sistem nyata. Teknik yang dilakukan melalui: empirical test, theoretical test, implementation method (seperti formal review), dan structureorientated behavior test (seperti boundary adequacy test). 2. Validitas Perilaku adalah melihat sejauh mana perilaku hasil model dapat menirukan perilaku sistem nyata. Teknik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan melihat Absolute Mean Error (AME). Rumus yang digunakan ialah: AME= (Si-Ai)/Ai Keterangan:
Si = Si/N
A = nilaiAaktual i = Ai/N S = nilai simulasi N = unit waktu Model dapat dinyatakan valid jika penyimpangan antara hasil simulasi dan data aktual < 10% (Muhammadi, 2000).
24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Wilayah Survey 4.1.1 Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat 4.1.1.1 Keadaan Umum Wilayah Secara geografis, Kabupaten Bandung terletak 604’ – 7019’ LS dan 107022’10805’ BT, sedangkan secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Sekarang ini Kabupaten Bandung telah dimekarkan menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Sehingga, secara administratif yang awalanya mencakup 45 kecamatan, sekarang ini berkurang menjadi 31 kecamatan. Namun demikian, mengingat proses pemekaran wilayah masih baru, sehingga data yang terkait dengan kedua wilayah tersebut masih belum didapatkan dengan baik. Oleh karena itu, data yang diuraikan dalam laporan ini masih representasi dari Kabupaten Bandung sebelum pemekaran. Secara keruangan, dengan luas wilayah sebesar 176.283,67 Ha, Kabupaten Bandung terbagi dalam 8 wilayah pembangunan (WP) yaitu Soreang-Kutawaringin, WP Banjaran, WP Balee Endah, WP Majalaya, WP Cileunyi-Rancaekek, WP Cicalengka, WP Margahayu-Margaasih dan WP Cilengkrang-Cimenyan. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada 2006 sebesar 4.399.482 jiwa yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.224.108 jiwa dan perempuan 2.175.374 jiwa atau dengan sex ratio sebesar 102,24. Rata-rata kepadatan 1.431 jiwa/Km2 dimana kecamatan Margahayu memiliki kepadatan tertinggi 10.861/Km2 sedangkan Pasir Jambu terendah 324 jiwa/Km2. Komposisi penduduk berdasar struktur umur terlihat dalam tabel berikut. Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung 2005-2006 Tahun
Jumlah Penduduk per kelompok umur (jiwa) 0-14 15-64 +65 2003 1.263.221 2.578.030 176.331 2004 1.264.044 2.719.071 162.852 2005 1.279.114 2.816.170 179.147 4.274.431 2006 1.298.929 2.898.087 202.466 4.399.482 Sumber : Kabupaten Bandung Dalam Angka 2007
Tanaman pangan di Kabupaten Bandung meliputi tanaman bahan makanan, sayuran dan buah-buahan. Luas tanaman dan produksi padi sawah pada periode 20052006 mengalami penurunan sebesar 6,5% dan 0,06%, sementara pada ladang mengalami penurunan masing-masing 11,12% dan 0,08%. Di samping penurunan padi, juga terjadi penurunan pada jenis tanaman sayuran terutama bawang merah, kubis, tomat, kentang dan kacang panjang (Bandung Dalam Angka 2007). Ternak yang berkembang di wilayah Kabupaten Bandung meliputi ternak besar dan kecil, produksi daging, susu dan telur. Jumlah ternak di Kabupaten Bandung meliputi sapi perah 53.203 ekor, sapi potong 8.856 ekor; kerbau 5.680 ekor; kuda 7.423 ekor; domba 842.858 ekor; dan ternak. 4.1.1.2
Kondisi Sistem Usaha Perikanan Usaha perikanan Kabupaten Bandung sudah berkembang cukup lama.
Kabupaten Bandung merupakan sentra usaha budidaya pembenihan dan pendederan untuk di konsumsi bagi petani ikan yang melakukan usaha pembesaran khususnya di keramba jaring apung Saguling dan Cirata.. Usaha pembesaran yang berkembang untuk pembesaran ikan di kolam air tenang (KAT) dan kolam air deras (KAD) dan sawah. Wilayah pengembangan perikanan meliputi Kecamatan Majalaya, Ciparay, Pacet, Ibun, Banjaran, Bojongsoang, Kutawaringin, Cileunyi, Soreang, Cangkuang, Ciwidey, Pasirjambu,
Paseh,
Cikancung,
Cimaung,
Nagreg,
Cilengkrang,
Rancaball,
Pangalengan,Rancaekek, Arjasari, Solokan Jeruk, Dayeuh kolot, Pameungpeuk, Margahayu, Cicalengka, ketapang, Cimenyan, Margasih, Baleendah dan Kertasari.. Usaha pembenihan ikan dilakukan oleh masyarakat melalui unit pembenihan rumah tangga (UPR). Usaha pendederan pada umumnya dilakukan di sawah dengan system penyelang dan tumpangsari. Jenis ikan yang banyak dibudidayakan yaitu ikan nila, mas, lele, nilem, tawes dll. Jumlah RTP dan luas lahan untuk setiap jenis usaha ikan di tampilkan pada Tabel 6.
26
Tabel 6. Jumlah RTP dan luas lahan budidaya ikan di Kabupaten Bandung tahun 2007 Kecamatan
Majalaya Ciparay Pacet Ibun Banjaran Bojongsoang Kutawaringin Cileunyi Soreang Cangkuang Ciwidey Pasirjambu Paseh Cikancung Cimaung Nagreeg Cilengkrang Rancabali pangalengan Rancaekek Arjasari Solokan jeruk Dayeuhkolot Pameungpeuk Margahayu Cicalengka Katapang Cimenyan Margaasih
Pembenihan RTP Luas lahan (Ha) 957 172,40 749 76,68 237 41,20 10 43,00 33 13,16 20
3,00
6 4 13 14 121 37
1,75 0,50 4,50 0,70 17,00 1,71
118
3,50
17
0,50
101
3,73
7
0,50
8 1
2,40 0,10
Pendederan RTP Luas lahan (Ha) 503 50,20 436 49,00 407 30,23 159 45,45 12 4,27 457 451,00 175 44,75 160 28,00 123 14,82 105 8,00 98 80,75 19 3,25 1162 214,30 492 25,69 363 22,00 352 13,95 282 5,03 268 43,20 262 25,20 198 10,50 197 8,10 191 7,50 82 41,50 60 8,20 59 5,35 57 9,50 32 6,18 22 6,50 9 1,50
Pembesaran RTP Luas lahan (Ha) 388 851,00 233 244,00 269 666,00 72 18,80 8 3,00 75 161 437 72 206 9,8 686 122 2 266
7,50 79,00 112,00 5,77 72,00 9,50 451,00 44,50 1,00 14,90
150 301 108
137,00 8,20
265 32 16
102,00 8,00 5,00
Dari sisi teknologi, budidaya ikan di Kabupaten Bandung didominasi oleh budidaya intensif dan semi intensif, terutama pada usaha budidaya di kolam air tenang. Berdasarkan dari tabel diatas terlihat bahwa unit usaha budidaya ikan di Kabupaten Bandung masih dominasi oleh usaha budidaya pendederan. Dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung, sebanyak 5 kecamatan merupakan sentra produksi budidaya ikan yaitu Majalaya, Ciparay, Pacet, Ibun dan Banjaran. Jenis komoditas ikan yang dihasilkan secara dominan adalah ikan Mas, kemudian ika nila dan
27
Ikan Lele. Jenis ikan tersebut dipilih berdasarkan preferenasi masyarakat masih bertumpu pada ikan Mas. Namun demikian berdasarkan kondisi alam yang pada umumnya memiliki suhu yang rendah, maka budidaya yang dilakukan adalah budidaya pembenihan dan pendederan. Sementara hasil dari pembenihan dan pendederan kemudian dikirim ke daerah lain terutama unit usaha Karamba Jaring Apung (KJA) Saguling, di Kabupaten Bandung Barat Cirata (Kabupaten Cianjur) dan Jatiluhur (Kabupaten Purwakarta). Jalur-jalur distribusi benih ikan yang sudah tercipta diantaranya yaitu distribusi Ciparay (kebul 1-3 cm) ke Bojongsoang (5-8 cm atau 8-12 cm) kemudian dikirim ke Cirata. Pada proses sebaliknya, produksi ukuran konsumsi dikirim kembali dari KJA Cirata dan Jatiluhur ke Kabupaten Bandung.
4.1.1.3 Program Ketahanan Pangan Tujuh Kecamatan dengan persentase KK miskin tertinggi yang menjadi prioritas sasaran Program Desa Mandiri Pangan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kecamatan Paseh (70%) Kecamatan Ibun (65%) Kecamatan Pacet (58%) Kecamatan Cikancung (55%) Kecamatan Kertasari (54%) Kecamatan Ciparay (53%) Kecamatan Majalaya (52%) Pendataan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Tahun 2007 yang
termasuk daerah rawan pangan dengan indikator KK miskin jumlah gizi buruk dan luas lahan fuso terdapat di 8 Kecamatan yaitu Kecamatan Ibun, Paseh, Pacet , Cikancung, Kertasari, Ciparay, Majalaya dan Nagreg. Dari 7 Kecamatan dengan porsentase KK miskin lebih dari 49,93% terdapat 66 Desa yang memiliki KK miskin diatas 50%. Tahun 2009 di Kabupaten Bandung pelaksanaan Desa Mandiri Pangan baru dalam Tahap Persiapan (tahun kesatu) dengan identifikasi terhadap Kecamatan dan Desa yang memiliki presentase KK miskin terbanyak di lima kecamatan berdasarkan data Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan yaitu:
28
a) Kecamatan Paseh sebanyak (70%) dengan KK miskin terbanyak di Desa Cipedes (85%). b) Kecamatan Ibun sebanyak (65%) dengan KK miskin terbanyak di Desa Mekarwangi (92%). c) Kecamatan Pacet sebanyak (58%) dengan KK miskin terbanyak di Desa Cinangela (76%) d) Kecamatan Cikancung sebanyak (55%) dengan KK miskin terbanyak di Desa Mekarlaksana (61%) e) Kecamatan Kertasari sebanyak (54%) dengan KK miskin terbanyak di Desa Cikembang (74%) Untuk mengatasi masalah kerawanan pangan, maka Pemda Kab. Bandung mengembangkan program Mandiri Pangan, pada desa-desa khusu sebagai proyek contoh. Kriteria desa untuk program mandiri pangan adalah : 1) Termasuk desa rawan pangan ( > 50 % penduduknya termasuk KK miskin) 2) Memiliki potensi (SDA dan SDM) yang belum dikembangkan 3) Aparat desa dan masyarakat memiliki respon yang tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan 4) Administrasi desa telah tertib dan rapih ) Berdasar kriteria-kriteria tersebut diatas, maka kemudian ditentukan lokasi kegiatan Desa Mandiri Pangan (MAPAN) di wilayah Kabupaten Bandung meliputi : 1. Desa Cipedes (Kec. Paseh) 2. Desa Mekarwangi (Kec.Ibun) 3. Desa Cinngela (Kec.Pacet) 4. Desa Mekarsari (Kec. Cikancung) 5. Desa Ciheulang (Kec.Kertasari). Program MAPAN rencananya akan dilaksanakan selama 4 tahun mulai tahun 2009 dengan tahapan tahun 2009 tahap persiapan, tahun 2010 penumbuhan, 2011 pengembangan dan 2012 kemandirian. Merujuk pada data-data diatas, maka terdapat kecamatan yang masuk dalam program MAPAN tetapi juga merupakan daerah sentra budidaya perikanan di Kabupaten Bandung seperti misalnya Kecamata Pacet desa sentra produksi budidaya
29
Cipeujah dan Mekarsari tetapi desa rawan pangan Cinangela. Sementara pada Kecamatan Ibun Sentra utama Desa Lampegan
dan desa rawan pangan Desa
Mekarwangi.
4.1.2 Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah 4.1.2.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Propinsi
Jawa
Tengah
dengan
ibukotanya
adalah
Banjarnegara.
Kabupaten
Banjarnegara mempunyai luas wilayah sekitar 106.970,997 hektar atau 1.069,71 km2. Jumlah penduduk pada tahun 1999 tercatat sebanyak 853.891 jiwa. Jumlah Kecamatan terdiri dari 18 Kecamatan dan terdiri dari 273 desa dan 5 kelurahan. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah Utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah Timur, Kabupaten Kebumen di sebelah Selatan dan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di Sebelah Barat. 4.1.2.2 Kondisi Sistem Usaha Perikanan Banjarnegara kaya akan sumber daya alam, termasuk dalam sektor perikanan. Berbagai macam hasil perikanan melimpah di Banjarnegara, khususnya ikan air tawar. Ikan yang memiliki kandungan gizi dan protein tinggi. Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu daerah sentral pusat pembenihan dan pendederan di Jawa Tengah. Sedangkan untuk usaha pembesaran masih sedikit yang dikembangkan karena kendala modal dan pemasaran. Di Banjarnegara ikan air tawar yang dibudidayakan adalah patin, gurame, lele, nila dan bawal. Adapun data produksi perikanan tahun 2008 di Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada tabel berikut.
30
Tabel 7. Data Produksi Perikanan Kabupaten Banjarnegara, Tahun 2008 No. 1 2 3 4
Jenis Ikan
Kolam Pembesaran (Kg) Jaring Apung (Kg) Mina Padi (Ekor) Balai Benih Ikan (Ekor) Unit Pembenihan Rakyat 5 (UPR) 6 Perairan Umum Waduk (Kg) 7 Perairan Umum Sungai (Kg) Sumber : Data Monograph (2008)
3,254,000 826,000 6,245,000 1,138,500
Nilai Produksi (Rp) 41,824,500,000 8,437,500,000 343,475,000 85,190,000
Luas Lahan (Ha) 295.50 23.00 50.00 2.00
278,070,000
91,100,250,000
55.50
46,960 12,070
1,043,120,000 78,455,000
1,250.00 501.85
Produksi
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2008 nilai produksi perikanan Kabupaten Banjarnegara diperoleh dari usaha kolam pembesaran, karamba jaring apung, mina padi, balai benih ikan, unit pembenihan rakyat, perairan umum waduk dan perairan umum sungai. Jika dilihat dari nilai produksinya, jenis usaha yang menyumbang paling besar terdapat pada usaha unit pembenihan rakyat yaitu senilai Rp 91.100.250.000,- dengan produksi sebesar 278.070.000 ekor, untuk kolam pembesaran dengan produksi 3.254.000 kg, mampu menghasilkan nilai produksi sebesar Rp. 41.824.500.000,- sedangkan untuk perairan umum sungai dengan produksi 12070 ton mampu menghasilkan nilai Rp 78.455.000,-. Untuk jumlah rumah tangga perikanan (RTP) dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 jumlahnya cenderung tetap. Sedangkan untuk potensi luas lahan perikanan di Kabupaten Banjarnegara dari tahun 2006 sampai tahun 2009 juga cenderung tetap seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Data Luas Lahan Perikanan Tahun 2006-2009, Kabupaten Banjarnegara Tahun (Ha) Jenis Sektor 2006 2007 2008 2009 a. Tambak 0 0 0 0 b. Kolam Pembesaran 298.22 300.91 295.50 c. Karamba Jaring Apung 23.00 23.00 23.00 23.00 d. Kolam Pembenihan: - Unit Pembenihan Rakyat 53.30 54.36 55.50 55.50 - Balai Benih Ikan 0.50 2.00 2.00 2.00 e. Perikanan Perairan Umum: - Waduk 1,250.00 1,250.00 1,250.00 1,250.00 - Sungai 358.60 358.60 12.07 9.40
31
Tabel 9. Jumlah Produksi Perikanan Tahun 2006-2009 Sektor Tahun 2006 2007 2008 Perikanan Laut Perikanan Darat : 1. Tambak (Ton) 2. Kolam Pembesaran (Ton) 3. KJA (Ton) 4. Kolam Pembenihan : - Unit Pembenihan Rakyat (Ekor) - Balai Benih Ikan (Ekor) 5. Perikanan Perairan Umum: - Waduk (Ton) - Sungai (Ton)
0
0
0
2009 (Triwulan I) 0
0 2.023,60 849,24
0 3.068,7 822,10
0 3.252 826
0 816 179,5
151.647.00 0
206.544.000
278.070.000
67.800.000
1.053.920
1.138.500
72.500
678,10 358,60
46,96 12,07
4,70 9,40
548.000 678,10 358,60
Meskipun Banjarnegara merupakan sentral pembenihan dan pendederan, tapi tingkat konsumsi makan ikan di Kabupaten Banjarnegara masih tergolong rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pertanian, Kabupaten Banjarnegara termasuk daerah yang rawan pangan, hal ini dipertegas oleh Kepala Ketahanan Pangan Banjarnegara yang menyatakan bahwa hampir 11 desa yang ada di Kabupaten Banjarnegara termasuk rawan pangan dan gizi, hal ini dapat dilihat dari tingkat konsumsi ikan yang masih rendah yaitu masih berkisar 9,48 kg/kapita/tahun (Tabel 10), yang tingkat konsumsinya masih berada di bawah yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 26,69 kg/kapita/tahun (DKP, 2006). Hal ini sangat ironis, karena Banjarnegara merupakan sentral pembenihan dan pendederan ikan. Berdasarkan wawancara dan informasi yang diperoleh, meskipun sebagai daerah pusat pembenihan dan pendederan ternyata hasil yang diterima dari usaha tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya sekolah, jadi tidak mengherankan meskipun termasuk daerah rawan pangan dan gizi, tetapi tingkat pendidikan mereka tinggi.
32
Tabel 10. Tingkat Konsumsi Ikan (TKI) Kabupaten Banjarnegara Produksi Jumlah TKI No. Tahun Luar Daerah Penduduk Lokasi (Ton) (Kg/Kapita/T (Ton) (Orang) ahun) 1 2001 871.541 3,062.500 2,079.592 5.900 2 2002 878.615 3,058.230 2,318.894 6.120 3 2003 885.216 1,675.027 4,344.442 6.850 4 2004 890.797 1,755.010 5,015.270 7.590 5 2005 895.000** 1,773.620 5,070.490 7.630 6 2006 895.000** 3,909.540 3,350.000 8.150 7 2007 895.000** 4,927.500 3,000.000 8.850 8 2008 910.513 4,132.370 4,500.000 9.480 Keterangan: Luar daerah : berupa ikan segar dan hasil olahan, terutama ikan laut ** = Angka Estimasi Berdasarkan informasi yang diperoleh, untuk membantu desa yang termasuk rawan pangan dan gizi biasanya merupakan daerah yang tandus sehingga mata pencahariannya hanya mengandalkan dari tanaman singkong (panennya satu kali setahun). Untuk itu, pemerintah telah mengadakan suatu program untuk mengatasi daerah rawan pangan tersebut melalui Program Desa Mandiri Pangan, dengan memberikan bantuan permodalan masing-masing untuk satu desa sebesar 100 juta rupiah, yang diharapkan bantuan tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan kegiatan usaha yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Di Kabupaten Banjarnegara sendiri untuk Tahun 2009 ada 2 (dua) desa yang mendapatkan prioritas untuk mendapatkan bantuan program tersebut, yaitu Desa Watuurip, Kecamatan Bawang dan Desa Karangjati, Kecamatan Susukan. Untuk itu, salah satu dari desa tersebut akan dijadikan desa untuk lokasi survei riset model pengmbangan SUP yaitu Desa Watuurip, karena di desa tersebut terdapat usaha budidaya yang dilakukan masyarakat meskipun keterbatasan sumber air (jauh dari sumber air). Desa Watuurip merupakan desa yang terletak di Kecamatan Bawang bagian Selatan, Kabupaten Banjarenagara.
Secara geografis berjarak 4 km dari ibukota
kecamatan dan 8 km dari ibukota kabupaten, yang berada pada ketonggian 732 mt dpl. Kondisi wilayah Desa Watuurip 60% daratan dan 40% berupa perbukitan.
Batas
33
wilayah meliputi sebelah Timur dengan Desa Masaran, sebelah Selatan Dengan Desa Majalengka, sebelah Barat dengan Desa Depok dan sebelah Utara dengan Desa Serang. Desa Watuurip memiliki luas wilayah sebesar 277,177 ha dan terbi menjadi 2 (dua) usun, yaitu dusun Krajan (138,5 ha) dan dusun Binangun (138,67 ha). Potensi wilayahnya meliputi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di bidang pertanian tanaman pangan serta sebagi peternak juga pembudidaya perikanan kolam. Jumlah penduduk Desa Watuurip berjumlah 1290 jiwa, yang terdiri dari 362 KK (Petani 352 KK dan non petani 10 KK). Berdasarkan tingkat pendidikannya, jumlah penduduk yang tidak sekolah sebesar 140 jiwa, tamat SD 540 jiwa, tamat SLTP 450 jiwa, tamat SLTA 155 jiwa dan perguruan tinggi 5 jiwa. Berdasarkan mata pencaharian jumolah penduduk yang bermata pencaharian sebagai PNS sebanyak 8 orang, petani 847 orang, buruh tani 170 orang, buruh bangunan 95 orang, pedagang 68 orang dan lain-lain sebanyak 102 orang. Untuk komoditas perikanan yang banyak diusahakan antara lain ikan lele, gurame, nila, mas. Pengembangan sektor perikanan di Kabupaten Banjarnegara dari tahun 2003 diarahkan untuk pengembangan usaha pembenihan dan pendederan ikan air tawar. Hasilnya saat ini Banjarnegara telah berhasil mengembangkan usaha pembenihan dan pendederan ikan air tawar khususnya untuk jenis-jenis ikan seperti ikan gurame, lele, nila dan saat ini berkembang patin. Sehingga dapat dikatakan Banjarnegara merupakan daerah penghasil benih ikan terbesar di Jawa Tengah. Lokasi-lokasi pembenihan dan pendederan ikan terpusat di beberapa wilayah.sebagai contoh untuk jenis ikan lele terdapat di Desa Kalipelus kecamatan Pagedongan
4.1.2.3 Program Ketahanan Pangan Rawan pangan merupakan suatu kondisi dimana masyarakat atau rumah tangga di suatu daerah tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan hidupnya baik bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Ketahanan pangan, di Kabupaten Banjarnegara terdapat 11 desa yang termasuk rawan pangan dan gizi, hal ini dapat dilihat dari tingkat konsumsi ikan masih rendah yaitu masih berkisar
34
9 kg/kapita/tahun masih dibawah yang dianjurkan FAO yaitu 26 kg/kapita/tahun. Desa tersebut biasanya merupakan daerah tandas sehingga mata pencariannya hanya mengandalkan dari tanaman singkong dan panen padi hanya satu tahun sekali. Untuk mengatasi kekurangan pangan dan gizi tersebut, maka pada tahun ini pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah pusat melakukan suatu program yang disebut dengan program desa mandiri pangan. Adapun desa yang terpilih tersebut adalah Desa Karangjati, Kecamatan Susukan dan Desa Watuurip Kecamatan Bawang. Program Desa mandiri pangan tersebut sudah berjalan sejak tahun 2008. Program mandiri pangan ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat, agar masyarakat atau mereka yang kurang beruntung dalam sumberdaya pembangunan didorong untuk mandiri dan mengembangkan kehidupan sendiri, sehingga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan terutama pada rumah tangga masyarakat itu sendiri.
4.1.3 Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 4.1.3.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian barat. Batas Kabupaten Kulon Progo di sebelah timur yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Letaknya antara 7°38'42" - 7°59'3" Lintang Selatan dan 110°1'37" - 110°16'26" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Kulonprogo adalah + 586,27 Km2 yang meliputi 12 kecamatan dan 88 desa. Dari luas tersebut 24,89 % berada di wilayah Selatan yang meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur, 38,16 % di wilayah tengah yang meliputi kecamatan Lendah, Pengasih, Sentolo, Kokap, dan 36,97 % di wilayah utara yang meliputi kecamatan Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Luas kecamatan antara 3.000 - 7.500 Ha dan yang wilayahnya paling luas adalah kecamatan Kokap seluas 7.379,95 Ha sedangkan yang wilayahnya paling sempit adalah kecamatan Wates seluas 3.200,239 Ha. Pada bulan Desember 2008 jumlah penduduk Kabupaten Kulonprogo sebanyak 458.674 jiwa yang tersebar di 12 kecamatan yaitu: Kecamatan
35
Lendeh, Galur, Panjatan, Sentolo, Samigaluh, Girimulyo, Pengasih, Nanggulan, Kalibawang, Kokap, Temon, dan Wates. Secara rinci dapat dilihat (Tabel 1), dan 88 desa atau kelurahan. Dari 12 kecamatan yang ada, terdapat 7 kecamatan merupakan kecamatan yang termasuk kecamatan rawan pangan. Penggunaan tanah di Kabupaten Kulon Progo, meliputi sawah 10.732,04 Ha (18,30%); tegalan 7.145,42 Ha (12,19%); kebun campur 31.131,81 Ha (53,20%); perkampungan seluas 3.337,73 Ha (5,69%); hutan 1.025 Ha (1,75%); perkebunan rakyat 486 Ha (0,80%); tanah tandus 1.225 Ha (2,09%); waduk 197 Ha (0,34%); tambak 50 Ha (0,09%); dan tanah lain-lain seluas 3.315 Ha (5,65%). Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi : a. Bagian Utara Merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 1000 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor. b. Bagian Tengah Merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah dengan lereng antara 2 15%, tergolong berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan. c. Bagian Selatan Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 100 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng 2%, merupakan wilayah pantai sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan kawasan rawan bencana banjir.
36
4.1.3.2 Kondisi Sistem Usaha Perikanan Pada tahun 2008 di Kabupaten Kulonprogo terdapat jumlah rumah tangga perikanan (RTP) sebanyak 5.412, dari jumlah tersebut luas kolam yang dimiliki sebesar 316.050 M2 dengan produksi sebesar 2.349.747 Kg. Secara terinci dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11. Produksi ikan Budidaya dan Luas kolam Per Kecamatan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 No Kecamatan RTP Luas Kolam (m2) Produksi (Kg) 1. Lendah 713 37.498 249.031 2. Galur 601 27.351 254.987 3. Panjatan 576 29.629 236.292 4. Sentolo 283 27.504 232.160 5. Samigaluh 415 12.690 130.341 6. Girimulyo 202 13.045 68.704 7. Pengasih 275 26.163 192.568 8. Nanggulan 584 39.102 135.262 9. Kalibawang 568 33.711 170.622 10 Kokap 160 10.008 139.671 11. Temon 373 21.105 187.205 12. Wates 662 38.244 352.904 Jumlah 5.412 316.050 2.349.747 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo Berdasarkan jenis ikan yang dibudidayakan di kolam, ikan lele yang paling banyak dibudidayakan oleh masyarakat diikuti gurame dan nila. Pada tahun 2008 produksi ikan lele mencapai sebesar 1.658.190 kg. Kecamatan Wates merupakan daerah penghasil ikan Lele yg paling besar yaitu produksi sebesar 318.375 kg, sedangkan produksi ikan lele yang paling sedikit produksinya terdapat di Kecamatan Girimulyo yaitu sebesar 38.795kg. Secara terinci dapat dilihat pada Tabel 12.
37
Tabel 12. Produksi Per Jenis Ikan Budidaya Kolam di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 Kecamatan Mas Tawes Nila Gurami Lele Bawal Lainnya Jumlah Tawar Lendah 8.293 26.605 24.574 189.238 321 249.031 Galur 2.304 3.365 7.443 32.876 208.826 173 254.987 Panjatan 3.407 4.613 18.304 25.962 183.758 248 236.292 Sentolo 3.626 6.870 14.102 25.702 181.647 213 232.160 Samigaluh 314 9.417 50.252 15.043 54.647 140 528 130.341 Girimulyo 5.870 14.829 9.137 38.795 73 68.704 Pengasih 2.234 2.324 23.565 25.826 136.539 1.861 219 192.568 Nanggulan 5.296 6.144 21.125 30.735 70.927 750 285 135.262 Kalibawang 4.404 14.232 31.656 36.872 82.447 791 220 170.622 Kokap 5.708 2.317 33.447 27.018 69.771 1.141 269 139.671 Temon 6.428 10.321 32.897 14.339 123.220 187.205 Wates 8.988 23.414 318.375 2.127 352.904 Jumlah 33.721 73.766 283.213 291.498 1. 658.190 6.810 2.549 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo
2.349.747
Total produksi ikan pada tahun 2008 sebesar 3.294.310 Kg, terdiri dari produksi perikanan tangkap laut sebesar 439.458 Kg, perikanan tangkap perairan umum sebesar 456.237 Kg, perikanan budidaya ikan air tawar sebesar 2.364.557 Kg, dan perikanan budidaya ikan air payau sebesar 34.058 Kg. Sedangkan ikan yang diperdagangkan mencapai 3.905.674 Kg. Kabupaten Kulonprogo menerima pasokan ikan dari luar daerah sebesar 611.364 Kg. Konsumsi ikan rata-rata per jiwa/tahun pada tahun 2008 mencapai 12,95 Kg. Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Total Produksi dan Konsumsi Ikan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 No. Uraian Jumlah (Kg) 1. Produksi Penangkapan Ikan Laut 439.458 2. Produksi Penangkapan Ikan di Perairan Umum 456.237 3. Produksi Budidaya Ikan Air Tawar 2.364.557 a. Kolam 2.349.747 b. Karamba 1.417 c. Karamba Jala Apung (KJA) 13.393 4. Produksi Budidaya Ikan Air Payau 34.058 5. Perdagangan Ikan 3.905.674 JUMLAH 4.848.820 Jumlah Penduduk Kulonprogo per Des 2008 458.674 Konsumsi Ikan (Kg/jiwa/tahun) 12,95 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo
38
Total produksi budidaya ikan air tawar dan payau sebesar 2.398.615 Kg, yang terdiri dari budidaya tambak sebesar 34.058 Kg, kolam sebesar 2.349.747 Kg, keramba sebesar 1.417 Kg, dan KJA sebesar 13.393 Kg. Produksi budidaya ikan air tawar terbesar adalah berasal dari budidaya ikan kolam, dan didominasi dengan budidaya ikan lele. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Produksi Budidaya Ikan di Air Tawar dan Air Payau Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 (Kg) No. Jenis Ikan Tambak Kolam Karamba KJA Sawah Jumlah 1. Mas 33.721 1.349 35.070 2. Tawes 73.766 73.766 3. Nila 283.213 67 12.044 295.324 4. Gurame 29.498 291.496 5. Lele - 1.658.190 1.200 - 1.659.390 6. Bawal Tawar 6.810 150 6.960 7. Ikan lain 2.549 2.549 8. Udang Windu 2.826 2.826 9. Udang Putih 25.629 25.629 10 Bandeng 5.603 5.603 Jumlah 34.058 2.349.747 1.417 13.393 2.398.615 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo
4.1.3.3 Program Ketahanan Pangan Rawan pangan adalah kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya. Pada Kabupaten Kulon Progo, dari 12 kecamatan terdapat delapan kecamatan merupakan wilayah perikanan budidaya dan termasuk kecamatan yang dikategorikan daerah rawan pangan, yaitu: Kecamatan Sentolo, Girimulyo, Nanggulan, Samigaluh, Kalibawang, Lendeh, Pengasih dan Kokap. Kecuali Kecamatan Nanggulan yang tidak termasuk daerah rawan pangan. Dari 7 (tujuh) kecamatan yang dikategorikan daerah rawan pangan, terdapat 4 (empat) kecamatan yang sudah dilakukan kegiatan program desa mandiri, yaitu: Kecamatan Sentolo, Lendeh, Kalibawang dan Samigaluh. Desa yang sudah mendapatkan program desa mandiri, yaitu: Desa Salamredjo Kecamatan Sentolo, Desa Wahyuhardjo dan Jatirejo berada pada Kecamatan Lendeh, dan Desa
39
Banjar Arum berada pada Kecamatan Kalibawang, serta Desa Sidoredjo Kecamatan Samigaluh. Program desa mandiri yang sudah berjalan yaitu berada pada desa Sidoardjo kecamatan Samigaluh yaitu sejak tahun 2008. Untuk desa Salamredjo kecamatan Sentolo dan Desa Banjar Arum kecamatan Kalibawang baru dimulai tahun 2009. Program desa mandiri dilaksanakan selama 4 tahun. Desa mandiri pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Untuk menuju desa mandiri pangan, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat. Dimana pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat atau mereka yang kurang beruntung dalam sumberdaya pembangunan didorong untuk mandiri dan mengembangkan kehidupan sendiri. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang dalam pembangunan sesuai dengan lingkungan social ekonomi kehidupan mereka sendiri. Ketahanan pangan (UU No. 7/1996) adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan ketahanan pangan masyarakat (Community Food Security Coalition/CFSC) adalah kondisi dimana seluruh anggota masyarakat (rumah tangga/individu) mendapatkan pangan yang aman, dapat diterima secara cultural, cukup, bergizi, secara berkelanjutan dengan memaksimalkan kemandirian masyarakat dan keadilan sosial. Berdasarkan Tabel dibawah ini, dari 12 kecamatan yang ada jumlah total ikan yang dikonsumsi sebesar 1.526.173 kg. Tingkat konsumsi tertinggi terletak pada kecamatan Wates dengan angka 202.967 kg. Sedangkan tingkat konsumsi terendah terletak pada kecamatan Samigaluh dengan jumlah ikan yang dikonsumsi sebesar 27.646 kg.
40
Tabel 15. Perdagangan Ikan Menurut Mutasinya di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2007 (dalam Kg) No. Kecamatan Ikan Ikan Ikan yang Keterangan masuk Keluar dikonsumsi 1. Sentolo 205.882 24.566 181.316 Rwn Pangan Budidaya 2. Girimulyo 69.531 36.764 32.767 Rwn Pangan Budidaya 3. Nanggulan 133.119 15.777 117.342 Perikanan Budidaya 4. Samigaluh 33.070 5.424 27.646 Rwn Pangan Budidaya 5. Kalibawang 93.501 17.456 76.045 Rwn Pangan Budidaya 6. Lendah 212.565 22.898 189.667 Rwn Pangan Budidaya 7. Pengasih 192.193 6.748 185.445 Rwn Pangan Budidaya 8. Kokap 44.335 10.879 33.456 Rwn Pangan Budidaya 9. Temon 188.791 25.766 163.025 Perikanan Tangkap 10. Wates 231.641 28.674 202.967 Perikanan Tangkap 11. Panjatan 149.144 15.256 133.888 Perikanan Tangkap 12. Galur 211.376 28.767 182.609 Perikanan Tangkap Jumlah 1.765.148 238.975 1.526.173 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo Perdagangan ikan pada 12 kecamatan tersebut, masih didominasi oleh perdagangan ikan segar, sedangkan ikan olahan jumlahnya masih jauh jika dibandingkan dengan angka perdagangan ikan yang belum diolah. Untuk sektor budidaya kecamatan Lendah mempunyai tingkat perdagangan ikan segar tertinggi yaitu sebesar 143.250 kg. Sedangkan jumlah perdagangan ikan olahannya hanya sebesar 46.417 kg. Untuk sektor perikanan tangkap, jumlah perdagangan ikan segar yang paling tinggi adalah kecamatan Wates dengan jumlah 144.360 kg. Kecamatan ini juga hanya mempunyai jumlah perdagangan ikan olahan sebesar 58.607. Padahal, jika dapat dioptimalkan, sebenarnya penjualan ikan akan mempunyai nilai tambah jika telah diolah terlebih dahulu. Tetapi pada kenyataannya perdagangan ikan segar di 12 kecamatan ini lebih dominan. Data perdagangan tersebut dapat terlihat pada Tabel 16.
41
Tabel 16. Perdagangan Ikan Menurut Jenisnya di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2007 No. Kecamatan Ikan Segar Ikan Olahan Jumlah Ikan yang (Kg) (Kg) dikonsumsi (Kg) 1. Sentolo 135.987 45.329 181.316 2. Girimulyo 24,575 8.192 32.767 3. Nanggulan 87.988 29.354 117.342 4. Samigaluh 21.222 6.424 27.646 5. Kalibawang 37.311 38.734 76.045 6. Lendah 143.250 46.417 189.667 7. Pengasih 139.122 46.323. 185.445 8. Kokap 25.286 8.170 33.456 9. Temon 124.333 38.692 163.025 10. Wates 144.360 58.607 202.967 11. Panjatan 110.416 23.472 133.888 12. Galur 138.640 43.969 182.609 Jumlah 1.132.490 393.683 1.526.173 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo Untuk perkembangan produksi budidaya ikan air tawar dan payau selama 5 tahun, ternyata beberapa komoditas mengalami penurunan. Misalnya, budidaya ikan mas yang mengalami penurunan yang cukup drastis. Kenaikan hanya terjadi dari produksi tahun 2004 ke tahun 2005. Hal ini juga terjadi pada komoditas budidaya Tawes. Tetapi terdapat komoditas yang produksinya mengalami peningkatan yaitu budidaya Lele. Tahun 2004 jumlah produksi Lele sebesar 565.063 kg, tahun 2005 sebesar 684.451 kg, tahun 2006 sebesar 1.133.579 kg, tahun 2007 sebesar 1.571.761 kg dan tahun 2008 sebesar 1.659.390 kg. Hal ini mengindikasikan, budidaya lele sebagai budidaya yang mempunyai prospek baik dan menguntungkan. Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
42
Tabel 17. Perkembangan Produksi Budidaya Ikan Air Tawar dan Payau dari Tahun 2004-2008 di Kabupaten Kulonprogo(dalam Kg) No. Jenis Ikan Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 1. Mas 88.223 111.254 102.158 49.303 35.070 2. Tawes 59.032 414.292 196.667 104.956 73.766 3. Nila 65.639 460.496 385.838 288.285 295.324 4. Gurame 195.693 76.395 230.445 252.219 291.496 5. Lele 565.063 684.451 1.133.579 1.571.761 1.659.390 6. Bawal Tawar 333 333 2.762 3.985 6.960 7. Ikan lain 10.784 99.091 27.319 2.983 2.549 8. Udang Windu 45.252 54.673 2.818 2.824 2.826 9. Udang Putih 9.758 5.785 26.982 25.628 25.629 10. Bandeng 1.225 7.436 3.518 2.001 5.603 Jumlah 1.141.002 1.914.206 2.112.086 2.304.189 2.398.615 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo Di Kabupaten Kulonprogo terdapat 28 pemilik perusahan yang bergerak dibidang pengolahan ikan skala kecil. Kecamatan Kalibawang, Wates dan Brosot, masing-masing memiliki 3 pemilik perusahaan dan ini merupakan jumlah pemilik perusahaan paling besar jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Nilai investasi yang paling besar sebesar Rp 100.000.000,- dan paling kecil sebesar Rp 2.000.000.-. Modal kerja yang dimiliki berkisar antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp 3.000.000,-. Sedangkan tenaga kerja yang dimiliki dalam pengolahan ikan masih sangat kecil yaitu berkisar 1 (satu) orang sampai dengan 3 (tiga) orang saja. Jenis pengolahan yang mereka lakukan biasanya dengan menggoreng, melakukan pengasinan, pindang, presto, teknik masak krispi dan jenis pengolahan lainnya. Jumlah produksi paling besar yaitu berjumlah 3.600 kg sedangkan jumlah produksi terkecilnya hanya berkisar 80 kg saja. Dari data ini terlihat, besarnya investasi kurang mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan. Contohnya, Kustilah, seorang pengusaha dari Kecamatan Pengasih, dapat memproduksi 1.175 kg padahal ia hanya mengeluarkan nilai investasi sebesar 2.000.000,- saja. Berbeda dengan Sriyanto, pengusaha dari Kalibawang, ia mengeluarkan sebesar 100.000.000,- untuk investasi tetapi jumlah produksinya hanya sebesar 1.920 kg. Terdapat 2 tujuan pemasaran dari usaha-usaha tersebut antara lain untuk tujuan pemasaran lokal dan tujuan pemasaran pasar. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 18.
43
Tabel 18. Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 No.
Nama Pemilik Perusahaan
Alamat
Jenis Pengolahan
Skala Usaha
Investasi (Rp)
Modal Kerja (Rp)
1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
2 Maryono Sriyanto RM Sederhana Warsam Kustilah Tumiyem Sainah Muh Lani Dawam Merto Muriyem Sarinem Sumirahayu Sariyem Siti Rumijem Joyo Utomo
3 Kalibawang Kalibawang Kalibawang Sendangsari Pengasih Pengasih Wates Wates Wates Karangsari Bumirejo Bumirejo Brosot Brosot Brosot Tirtorahayu Karangsewu
4 Pindang Goreng Goreng Goreng Goreng,Asin Goreng,Asin Asin Asin Asin Asin Goreng Goreng Goreng Pindang,Lain2 Asin,Pindang,lain Pindang,Goreng Asin,Pindang, Lain-lain
5 Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil Kecil
6
7
40.000.000 100.000.000 50.000.000 40.000.000 2.000.000 2.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000 20.000.000 15.000.000 15.000.000 20.000.000 20.000.000 17.000.000 40.000.000 18.000.000
1.000.000 2.000.000 750.000 1.000.000 1.000.000 500.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.500.000 1.500.000 1.000.000 2.000.000 2.000.000 1.500.000 1.500.000
Jumlah Tenaga Kerja 8 3 3 2 3 1 1 1 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1
Jumlah Produksi Kg)
Tujuan Pemasaran
9
11 Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Pasar Pasar Pasar Pasar Pasar
800 1.920 556 185 1.175 (170) 95(80) 168 212 204 155 3.600 3.600 3.600 3.000(1.080) 300(1.500)(500) 3.000(1.500) 500(2.100)(300)
44
Tabel 18. Lanjutan No. Nama Pemilik Perusahaan 1 2 18. Sarbidah 19. Ngatijah 20. Suprohono 21. Parijiyo 22. Partinem 23. Sartini 24. Ny. Slamet 25. Ny. Titin 26. Bu Sum 27. Ngatijan 28. Karsin
Alamat
Jenis Pengolahan
Skala Usaha
Investasi (Rp)
3 4 5 6 Kembang Pindang Kecil 10.000.000 Wijimulyo Pindang Kecil 10.000.000 Wijimulyo Pindang Kecil 10.000.000 Sukoreno Pindang Kecil 10.000.000 Sentolo Pindang Kecil 20.000.000 Sentolo Pindang Kecil 20.000.000 Glagah Lain-lain Kecil 40.000.000 Glagah Lain-lain Kecil 25.000.000 Jangkaran Lain-lain Kecil 45.000.000 Cerme,panjatan Presto Kecil 20.000.000 Soko,hargowilis Krispi Kecil 20.000.000 , Kokap Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo
Modal (Rp) 7 750.000 500.000 500.000 500.000 1.000.000 1.000.000 2.000.000 1.500.000 5.000.000 3.000.000 3.000.000
Jumlah Tenaga Kerja 8 2 1 1 1 2 2 3 3 4 3 5
Jumlah Produksi (Kg) 9 2.520 1.800 360 1.800 1.700 1.680 3.240 3.480 2.680 1.500 1.500
Tujuan Pemasaran 11 Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal
45
Untuk pengusaha dengan skala mikro, di Kabupaten Kulonprogo terdapat 16 pengusaha yang bergerak di bidang perikanan. Jenis Usaha yang mereka lakukan bergerak di jenis usaha tambak udang, ikan hias, lele, gurami, nila dan ada pula yang membuka usaha warung apung seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19. Daftar Pengusaha Skala Mikro yang Bergerak di Bidang Perikanan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 Nama Pengusaha Nama Perusahaan Alamat Jenis Usaha No. 1. Joko Sutrisno Pasar Mendit, Jangkaran, Tambak udang 2. Edy Purwanto Edy Betata Temon Ikan hias 3. Sri Panuju, Drs Mingwa Louhan Pongangan, Sentolo Ikan hias 4. Akhmadi Difta Aquarium Gadingan, wates Ikan hias 5. Heri Heri Aquarium Kedungdowo, wates Ikan hias 6. Blue Com Blue Corn Dipan, wates Ikan hias 7. Susilo, Drs SS Aquaticum Jl. Diponegoro, wates Ikan hias 8. Basir Rusdi Bendungan, Wates Ikan hias, Lele Gurami 9. Susilo Pandowan, Galur Ikan hias, lele, gurami 10. Tugiman Brosot, Galur Ikan hias, lele, gurami 11. Wagiran Kranggan, galur Lele gurami 12. Bambang Setiadji Triharjo, Wates Warung apung 13. Ngadiyo Waduk Sermo, Kokap Ikan hias, lele, gurami 14. Eko Budiyanto Nepi, galur Lele, gurami 15 Tukiyo Karangsari, Pengasih Lele, gurami, nila 16. Sumardiyono Ulam Kali Bondo Sendangsari, Pengasih Ikan hias Kalibondol, Sentolo Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Kulonprogo 4.1.4 Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur 4.1.4.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Lumajang adalah sebuah kabupaten di bagian selatan Jawa Timur yang terletak pada 112⁰ 54’ - 113⁰ 23’ Bujur Timur dan 7⁰ 54’ – 8⁰ 23’ Lintang Selatan, sekitar 150 km ke arah tenggara dari Surabaya. Dengan luas area sebesar 1,790.98 Km2. Kabupaten Lumajang terdiri dari 21 Kecamatan dan 202 desa. Kabupaten yang bertemperatur antara 24⁰C– 32⁰C ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Probolinggo di sebelah utara, Kabupaten Jember di sebelah timur, Kabupaten Malang di sebelah barat,
46
dan Samudra Hindia di sebelah Selatan. Berdasarkan data tahun 2005, populasi penduduk kabupaten Lumajang adalah sekitar 1.017.838 jiwa, terdiri dari suku Jawa, Madura, Keturunan Tionghoa, dan Tengger. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia ini dengan panjang garis pantai sekitar 75 Km, Kabupaten Lumajang termasuk salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk usaha perikanan, tangkap, budidaya, pengolahan maupun aqua wisata. 4.1.4.2 Kondisi Usaha Perikanan Potensi dan Kondisi Sumberdaya Perikanan Laut dan Payau Pesisir Kabupaten Lumajang memiliki panjang pantai 75 Km yang membentang mulai dari Kecamatan Yosowilangun sampai dengan Kecamatan Tempursari yang terdapat di 12 desa pantai – memiliki sumberdaya perikanan cukup besar. Hal ini dapat tergambarkan dari Potensi lestarinya (MSY) yang mencapai 272.000 ton/th, serta komoditas ikan yang dihasilkan pun cukup beragam, diantaranya adalah tongkol, layur, layang, kembung, tenggiri, teri, kerapu, kakap, cucut/hiu, udang barong/lobster, udang windu, udang putih dll. Selain potensi perikanan tangkap, potensi Budidaya Perikanan di kawasan pesisir Kabupaten Lumajang juga masih tersedia cukup besar. Dengan potensi lahan adalah sekitar 1.520,95 Ha yang tersebar di beberapa lokasi seperti Kecamatan Yosowilangun, Kunir, Pasirian, dan Tempursari serta beberapa jenis komoditas yang cocok untuk dikembangkan di daerah tersebut seperti bandeng, udang, windu, kerapu, kakap, lobster, udang galah, udang venamae dan kepiting. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Perikanan Air Tawar Kabupaten Lumajang memiliki banyak potensi sumberdaya perairan air tawar berupa danau/ranu, rawa, sungai, mata air dan dam/saluran irigasi teknis dimana sumberdaya perairan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan untuk budidaya perikanan baik secara intensif maupun semi intensif, yang pengelolaannya dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh badan usaha. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perairan
47
dengan luas sekitar 700 Ha yang menyebar di beberapa tempat seperti Kecamatan Rowokangkung, Yosowilangung, Klakah, Pasirian, Kunir, Lumajang, Tempeh, Candipuro, Pronijiwo dan Randuagung sampai sekarang masih belum optimal pemanfatannya. Adapun jenis-jenis komoditas yang dapat dikembangkan berupa berbagai ikan semacam Nila, Udang Galah, Gurami, Lele, Bawal Tawar, Patin, Tombro, bahkan Katak dan Ikan Hias. Dan sesuai dengan jenis lahan yang tersedia, maka sampai saat ini, berbagai teknologi budidaya yang berkembang adalah Karamba Jaring Apung (KJA), Karamba Bambu, Mina Padi dan Perkolaman. Pengembangan Kawasan Perikanan dan Komoditas Unggulannya Di bawah ini akan diuraikan berbagai sentra perikanan beserta komoditas unggulannya yang telah dikembangkan di Kabupaten Lumajang, berdasarkan data yang diperoleh: a. Sentra Budidaya dan Pembenihan Lele: 1. Desa Sidorejo, Kecamatan Rowokangkung; 2. Desa Kunir Kidul, Kecamatan Kunir; 3. Desa Kaliboto Kidul, Kecamatan Jatiroto; 4. Kecamatan Lumajang. Produksi: 50 – 150 Ton/Bulan, dengan daerah pemasaran meliputi: Surabaya, Bali dan NTB. b. Sentra Budidaya Ikan Nila Sistem KJA: 1. Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah; 2. Desa Wonokerto, Kecamatan Tekung. Produksi: 25 – 30 Ton/Bulan, dengan daerah pemasaran meliputi: Surabaya dan Bali. c. Sentra Budidaya Ikan Tombro/Mas: 1. Desa Panggung Lombok, Kecamatan Candipuro; 2. Desa Sememu, Kecamatan Pasirian; 3. Desa Yosowilangun Lor, Kecamatan Yosowilangun.
48
Produksi: 6 – 10 Ton/bulan, dengan daerah pemasaran: Kabupaten Lumajang, Jember dan Probolinggo. d. Sentra Pembenihan Ikan Nila: 1. Desa Panggung Lombok, Kecamatan Candipuro; 2. Desa Sememu, Kecamatan Pasirian. e. Sentra Budidaya Udang Galah: 1. Desa Sememu, Kecamatan Pasirian; 2. Desa Panggung Lombok dan Candipuro, Kecamatan Candipuro. Produksi: 15 – 20 Ton/tahun, dengan daerah pemasaran meliputi: Surabaya dan Bali. f. Sentra Budidaya dan Pembenihan Ikan Gurami: 1. Desa Sidorejo, Kecamatan Rowokangkung; 2. Desa Yosowilangun Lor, Kecamatan Yosowilangung; 3. Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro; 4. Desa Kaliboto Kidul, Kecamatan Jatiroto; 5. Kecamatan Lumajang. Produksi: 15 – 25 Ton/Tahun, dengan daerah pemasaran meliputi: Kabupaten Lumajang dan Surabaya. g. Sentra Budidaya dan Pembenihan Ikan Hias: 1. Desa Tamanayu, Kecamatan Pronojiwo; 2. Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro. Daerah pemasaran: Kabupaten Lumajang. h. Sentra Budidaya Katak Lembu (Bullfrog): 1. Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro; 2. Desa Duren, Kecamatan Klakah. i. Sentra Budidaya Air Payau: 1. Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun; 2. Desa Bulurejo dan Tegalrejo, Kecamatan Tempursari; 3. Pesisir Kecamatan Kunir;
49
4. Pesisir Kecamatan Tempeh; 5. Pesisir Kecamatan Pasirian. Komoditas unggulan utama budidaya Air Payau adalah: Udang Windu, Udang Putih, Udang Venamae, Udang Galah, Ikan Bandeng dan Kepiting. Produksi Venamae: 250–300 Ton/tahun, dengan pemasaran berorientasi ekspor. Produksi Bandeng: 6–10 Ton/tahun, dengan pemasaran ke Jember dan Kabupaten Lumajang sendiri. Produksi Kepiting: 5–8 Ton/tahun, dengan pemasaran ke Kabupaten Lumajang, Surabaya dan Jember. Untuk kegiatan budidaya ikan, luas lahan budidaya terbesar yaitu tambak udang, mencapai 85 Ha.
Namun demikian dari sisi produksi masih kalah dengan hasil dari
keramba jaring apung dan kolam. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produktivitas lahan tambak serta serangan penyakit. Sedangkan untuk potensi perairan umum Kabupaten Lumajang mempunyai banyak waduk/embung yang aktif diusahakan untuk budidaya ikan. Disamping itu usaha budidaya lele di kolam juga dinilai telah berhasil menjadikan kabupaten ini menjadi produsen terbesar lele di Jawa Timur. Tabel 20. Luas Lahan serta produksi untuk masing-masing tipe budidaya yang ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur No Jenis Budidaya Luas (Ha) Produksi Keterangan (ton/th) 1 Tambak udang 85 404.600 Yosowilangun 2 Kolam ikan 38.55 491.950 Ranu pakis, ranu klakah dan rowo sumo, Lumajang, sumbersukmo 3 Keramba jaring 5.95 929.840 apung 4 Keramba sungai 0.1 30.218 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang Potensi usaha budidaya payau seluas 1.520 Ha baru dimanfaatkan untuk usaha budidaya seluas ± 160 Ha atau sekitar 10,5% dengan lokasi sebagian besar di Desa Wotgalih Kecamatan Yosowilangun dan sebagian lagi di Kecamatan Pasirian dan Tempursari. Tambak udang intensif seluas ± 100 Ha diusahakan oleh 2 pengusaha yaitu
50
PT. Triwindu kencana seraya dan PT Triwindu Samodra Jaya dan sisanya diusahakan secara semi intenstif dan tradisional untuk nila dan bandeng seluas 30 ± Ha. Tabel 21. Perkembangan Produksi Budidaya Air Payau di Kabupaten Lumajang (ton) Jenis Ikan 2004 2005 2006 2007 2008 Udang 262,84 Windu Udang Putih 88,50 374,363 376.430 385.800 416.009 Nila Bandneg 2,50 Jumlah 353,84 374,363 376,430 385.800 416.009 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang
Usaha budidaya di kolam masih didominasi kegiatan budidaya ikan lele (Clarias Sp) dengan sentra produksi di Kecamatan Rowokangkung, Yosowilangun dan Jatiroto. Dari sentra budidaya lele mampu diproduksi ikan lel konsumsi sebesar 400-500 ton per tahun. Sekitar 100 ton ditujukan untuk eksporke Negara-negara eropa dan asia.kebutuhan ikan lele untuk ekspor mencapai 50 ton per bulan dengan ukuran>500 gram/ekor. Selain ikan lele, jenis ikan lainnya yang dibudidayakan yaitu ikan nila gift, ikan mas/tombro di Kecamatan Pronojiwo,Candipuro dan Pasirian. Ikan yang dipelihara di kolam pekarangan gurami, tawes, mujair, bawal, patin, dan udang galah. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Perikanan Tangkap Sentra Perikanan Tangkap (Penangkapan Ikan di Pesisir dan Laut): 1. Desa Bulurejo dan Tegalrejo, Kecamatan Tempursari; 2. Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun; 3. Pesisir Kecamatan Kunir; 4. Pesisir Kecamatan Tempeh. Penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Lumajang terbagi menjadi dua yaitu penangkapan ikan di laut dan perairan umum. Untuk penngkapan ikan di laut, produksi
51
ikan yang dihasilkan oleh nelayan di Lumajang terus menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir baik dari sisi jumlah serta nilai produksinya. Tabel 22. Perkembangan produksi penangkapan di laut di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Tahun Jumlah (ton) Nilai (Rp.000) 2004 2.157,60 14.694.700 2005 2.385,44 15.505.360 2006 2.489.650 16.257.357 2007 2,772.133 20.298.388 2008 2.980,679 15.214.905 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang Produksi tangkapan ikan di perairan umum didominasi oleh hasil penangkapan dari waduk/cekdam diikuti oleh rawa dan terakhir sungai. Perkembangan produksinya selama lima tahun terakhir menunjukkan kenaikan untuk penangkapan di rawa dan sungai, sedangkan sebaliknya menunjukkan penurunan untuk hasil penangkapan di waduk. Tabel 23. Perkembangan produksi penangkapan di perairan umum, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Jenis perairan 2004 2005 2006 2007 2008 Sungai 34,857 36,565 38,420 39,573 40.176 Rawa 91,616 96,380 105,540 108.706 Danau/Ranu 325,224 341,810 337,260 347.378 Waduk/cekdam Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang
247.032 241.403 -
Dari data jumlah dan trip melaut nelayan untuk setiap jenis alat tangkap yang ada di Lumajang terlihat bahwa alat tangkap pancing mendominasi kegiatan melaut bagi nelayan, walaupun nilainya tidak berbeda jauh dngan dua alat tangkap lainnya yaitu gillnet dan jarring klitik.
52
Tabel 24.
Jumlah dan Trip melaut untuk Setiap jenis Alat Tangkap di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur No Jenis Alat Tangkap Jumlah Trip 1 Gillnet 320 69.350 2 Jaring Klitik 246 4.405 3 Pancing 280 27.400 4 Lain-lain/jarring sothok 196 17.600 5 Alat pengepul kerang 53 3.950 6 Pukat pantai/jarring tarik 40 4.405 Jumlah 1.135 107.555 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang Dari data tentang jenis ikan yang dihasilkan di Kabupaten Lumajang terlihat bahwa komoditas ikan hasil penangkapan didominasi oleh jenis ikan Kerapu, Lobster, Cakalang, Layur, Layaran,. Tabel 25. Tangkapan Berbagai Jenis Ikan pertahun di Kabupaten Lumajang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Jenis Ikan Layur Hiu Kecil Tongkol / Cakalang Tenggiri Lemuru Tuna Mata Besar Layaran / Setuhuk Pari Kembang Kakap Kerapu Udang Barong/Lobster Putihan Layang Hiu Besar Ekor Merah Salem Lumadang/Bunglonan Ekor Kuning Keting Ubur-ubur
Produksi / Tahun (Ton) 400 100 250 300 60 400 200 300 200 150 50 70 80 200 20 40 50 70 100 30 300 100
53
Perkembangan jumlah nelayan yang ada di Kabupaten Lumajang hampir tidak bertambah selama 5 tahun terakhir yaitu sebanyak 820 orang. Nelayan yang ada sebagian besar adalah nelayan skala kecil dengan perahu motor tempel. Tabel 26. Perkembangan Jumlah nelayan yang ada di kabupaten Lumajang, Jawa Timur No Tahun Jumlah (orang) 1 2004 820 2 2005 820 3 2006 820 4 2007 820 5 2008 820 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Lumajang didominai oleh alat tangkap gillnet, pancing dan jaring. Dari data perkembangan jumlah alat tangkap tersebut menunjukkan bahwa penggunaan gillnet terus meningkat, sedangkan untuk penggunaan pancing dan jaring cenderung menurun. Tabel 27. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6
Jenis Alat Tangkap 2004 2005 2006 2007 Gillnet 248 310 316 316 Jaring klitik 192 292 292 292 Pancing 382 410 410 410 Jaring tarik 20 20 20 20 Lain-lain/sothok 240 336 196 196 Alat pengepul 53 53 kerang 7 Rawai hanyut 14 14 8 Perangkap lainnya jumlah 1.082 1.402 1.301 1.301 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang
2008 320 246 280 40 196 53
1.135
Perkembangan jumlah armada selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa telah ada perubahan penggunaan dari perahu tanpa motor menjadi motor tempel.
Namun
demikian jumlah total perahu yang dimiliki nelayan semakin menurun selama lima tahun terakhir.
54
Tabel 28. Perkembangan Jumlah Armada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Jenus Armada
Jumlah 2004 2005 2006 2007 2008 Perahu tanpa motor/jukung 190 162 156 156 72 Perahu motor tempel 198 248 254 254 276 Jumlah 388 410 410 410 348 Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Lumajang 4.1.4.3 Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang, merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Di Kabupaten Lumajang terdapat lima desa yaitu Desa Barat, Kedawung, Merakan, Penawungan dan Argosari yang mengalami rawan pangan di Kabupaten Lumajang. Desadesa tersebut rencananya akan disertakan dalam Program Desa Mandiri Pangan. Akan tetapi mengingat keterbatasan dari sumberdaya yang dimiliki, maka pada tahun 2009 ini dari kelima desa tersebut hanya dipilih 2 desa saja. Kedua desa terpilih tersebut adalah desa Merakan dan Kedawung, yang berada di Kecamatan Padang. Sehubungan dengan Riset Pengembangan SUP yang Mendukung Ketahanan Pangan, direkomendasikanlah Desa Barat dan Merakan untuk dijadikan lokasi survei, dengan mempertimbangkan potensi SDA yang dimiliki desa tersebut. Desa Merakan Desa Merakan terletak di Kecamatan Padang, dapat ditempuh dari kota kecamatan menggunakan kendaraan umum berupa ojek. Letak desa ini berbatasan dengan Desa Pandansari Kecamatan KedungJajang di sebelah Timur, Desa Dadapan Kecamatan Gucialit di sebelah Barat, Desa Tanggung dan Kalisemut Kecamatan Padang di sebelah Selatan, dan Desa Krasak Kecamatan Kedungjajang di sebelah Utara. Secara total, jumlah penduduk desa ini adalah 3,261 orang, dengan komposisi 1,436 orang Pria dan 1,725 orang Wanita, yang terdiri dari 976 KK. Dapat dikatakan bahwa penduduk desa Merakan didominasi oleh penduduk berusia produktif, hal ini dapat terlihat dari data yang menunjukkan sejumlah 1,806 orang dari total penduduk tersebut berusia antara 20–59 tahun, 28 orang berusia di atas 60 tahun, 646 orang berusia 10–19 tahun, dan 681 orang berusia 0 – 9 tahun.
55
Selain itu, dari data lain yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa Merakan ini masih tergolong rendah karena mayoritas penduduk yang berpendidikan, sebanyak 532 orang ternyata hanya mengecap pendidikan hingga tingkat SD, 5 orang mengecap pendidikan hingga SMP, dan hanya 3 orang yang melanjutkan pendidikan hingga SLTA. Dari total 996 orang penduduk yang memiliki pekerjaan, 488 orang bekerja menjadi Petani, 425 orang menjadi buruh, 45 orang berwiraswasta, 10 orang mejadi karyawan swasta, 8 orang PNS dan sisanya menjadi ibu rumah tangga. Kemiskinan di desa Merakan tergolong tinggi, hal ini terlihat dari angka KK miskin yang mencapai 48 %. Dari total 976 KK, sebanyak 473 KK termasuk kedalam golongan KK miskin. Aktifitas usaha masyarakat didominasi oleh kegiatan peternakan. Hal ini terlihat dari kecilnya porsi kegiatan pertanian yang hanya tersedia dalam bentuk 7 Ha lahan sawah yang dimiliki oleh 8 orang penduduk, dan 518 tanah tegalan yang dimiliki oleh 976 orang. Sedangkan kegiatan ternak jauh lebih berkembang, terlihat dari terdapatnya ternak besar berupa kerbau sebanyak 863 ekor yang dimiliki oleh 462 orang, kambing sebanyak 40 ekor yang dimiliki oleh 15 orang, serta ternak kecil berupa ayam kampung sebanyak 5000 ekor yang dimiliki oleh 976 orang, dan 100 ekor itik yang dimiliki oleh 1 orang peternak. Adapun sarana perekonomian yang tersedia cukup terbatas. Di Desa ini hanya terdapat satu pasar dengan kondisi tidak berkembang dan hampir mati. Selain itu, kegiatan koperasi tidak berkembang di desa ini. Walaupun demikian, untuk toko yang menyediakan bahan pangan nampaknya relatif cukup banyak, yaitu 14 buah. Desa Barat Desa Barat termasuk kedalam Kecamatan Padang, terletak sekitar 8 Km dari kota kecamatan, dan 9 Km dari kota kabupaten, yang dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum berupa ojek. Letak desa ini berbatasan dengan Desa Banjarwaru Kecamatan Lumajang di sebelah Timur, Desa Sarikemuning Kecamatan Senduro di sebelah Barat, Desa Petahunan Kecamatan Sumbersuko di sebelah Selatan dan Desa Bodang Kecamatan Padang di sebelah Utara.
56
Secara total, penduduk desa ini berjumlah 7,556 orang, yang terdiri dari 3,674 orang pria, dan 3,882 orang wanita. Komposisi penduduk ternyata didominasi oleh penduduk yang berusia produktif, terlihat dari data yang menunjukkan bahwa 549 orang tergolong ke dalam usia 0 – 9 th, 582 orang tergolong ke dalam usia 10 – 19 th, 4,158 orang tergolong ke dalam usia 20 – 59 th, dan 1,041 orang tergolong ke dalam usia diatas 60 tahun. Tingkat pendidikan masyarakat desa ini cukup tinggi, 5,231 orang mengenyam pendidikan hingga SD, 310 orang mengenyam pendidikan hingga SMP, 101 orang mengenyam hingga SLTA, 5 orang menamatkan pendidikan hinggak jenjang Diploma, dan 5 orang lainnya menamatkan pendidikan Sarjana. Mayoritas penduduknya, yang berjumlah 1,450 orang, menjadi ibu rumahtangga, 1,038 orang menjadi petani, 38 orang berwiraswasta, 54 orang menjadi pegawai swasta, dan 8 orang menjadi PNS. Namun, dapat dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di desa ini cukup tinggi, dapat dilihat dari persentase angka KK miskin sebesar 48 %. Jadi dari 2,175 KK yang ada, 1,044 KK tergolong kategori miskin. Kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat masih berkisar antara pertanian dan peternakan. Untuk sektor pertanian, desa ini memiliki 40 Ha sawah, dan 490 Ha tanah tegalan. Sedangkan sektor peternakan terwakili oleh ternak besar berupa sapi sebanyak 1,150 ekor, kambing sebanyak 890 ekor, dan ternak kecil berupa ayam kampung sebanyak 850 ekor, dan itik sebanyak 130 ekor. Fasilitas perekonomian yang tersedia di desa ini ternyata sangat minim, dilihat dari tidak adanya baik koperasi dan pasar. Namun, terdapat 14 buah toko yang menyediakan bahan pangan untuk masyarakat di desa ini.
57
4.2. Karakteristik Responden Di Wilayah Survey 4.2.1 Karakteristik Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur 4.2.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya berpendidikan tamat SD yaitu sebanyak 76,7% dan paling tinggi yaitu tamat SLTP sejumlah 20%, sedangkan tidak ada diantara responden yang mempunyai latar belakang pendidikan sarjana. Tabel 29. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No Kategori Jumlah Responden Persentase(%) (orang) 1 Tidak sekolah 0 0 2 Tidak tamat SD 1 3,3 3 Tamat SD 23 76,7 4 Tamat SMP 6 20 5 Tamat SMA 0 0 6 D3/Perguruan Tinggi 0 0 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Berdasarkan karakteristik umur responden didominasi oleh usia antara 25-34 tahun (37%). Dengan demikian responden merupakan angkatan kerja yang sangat potensial sebagai modal dasar untuk mengembangkan sistim usaha perikanan ke depan. Tabel 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 Jumlah Responden Persentase(%) Umur (tahun) (orang) 15 - 24 0 0 25 – 34 11 37 35 – 44 8 27 45 – 54 8 27 > 54 3 10 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
58
4.2.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Dari data karakteristik berdasarkan matapencaharian, responden sebagian besar mempunyai pekerjaan sebagai buruh tani.
dilokasi
Selain buruh tani maka
matapencaharian yang dominan di lakukan yaitu swasta (Pembuat batu bata), tukang bangunan dan pedagang. Tabel 31. Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No 1 2 3 4 5
Kategori
Jumlah Responden (orang) 0 20 1 7 2
Persentase(%)
30
100
Pembudidaya ikan Buruh tani Pedagang Swasta Pembuat batu bata dan Tukang Bangunan Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
0 66,67 3,3 23,7 6,6
4.2.1.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan terlihat bahwa pendapatan yang diperoleh selama sebulan terbanyak yaitu diantara Rp. 500.000-
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No Kategori Pendapatan Jumlah Responden Persentase (%) (Rp/bulan) (orang) 1 <500.000 8 26,7 2 500.000- <1.000.000 17 56,7 3 1.000.000- <2.000.000 3 10 4 > 2.000.000 2 6,6 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
59
4.2.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga Kategori
responden
berdasarkan
tingkat
pengeluaran
rumah
tangga
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 53,3% kategori Rp.500.0001.000.000 per bulan. Tabel 33. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No Kategori Pendapatan Jumlah Responden Persentase (Rp/bulan) (orang) (%) 1 <500000 16 46,7 2 500000- <1000000 14 53,3 3 1000000- <2000000 0 0 4 >2000000 0 0 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.1.6.Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Pembelian Ikan Karakteristik responden berdasarkan jumlah pengeluaran yang dilakukan untuk pembelian ikan dalam menu makannya didominasi oleh pengeluaran kurang dari 50000 per bulan yaitu sebanyak 28 orang. Sedangkan responden yang mengeluarkan uang untuk pembelian ikan antara 50000 -100000 rupiah per bulan hanya 2 orang.
Tabel 34.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Untuk Pembelian Ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No Kategori Pengeluaran Jumlah Responden Persentase untuk membeli ikan (orang) (%) (Rp/bulan) 1 <50000 28 93,3 2 50000 - < 100000 2 6,7 3 100000-< 150000 0 0 4 >150000 0 0 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
60
4.2.1.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang Dimiliki Aset rumah tangga responden yang dimilliki cukup beragam dari yang punya 1 atau 2 bahkan 4 macam aset yang cukup penting. Disamping itu cukup banyaknya aset berupa hewan peliharaan yang dimiliki responden menunjukkan bahwa beternak merupakan sumber pendapatan responden.
Kepemilikan aset untuk budidaya ikan
hanya 2 orang dari 30 responden, karena kenyataannnya usaha budidaya di lokasi belum berkembang karena kesulitan untuk mengalirkan air dari sumber ke lokasi pemukiman masyarakat. Tabel 35
Aset Rumah Tangga Yang Dimiliki Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009 No Jenis Aset Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 TV 27 90,0 2 Tape 2 6,7 3 Radio 7 23,3 4 Emas 22 73,3 5 Motor 21 70,0 6 Tanah 20 66,7 7 Mobil 1 3,3 8 Kolam 2 6,7 9 Hewan piaraan 11 36,7 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
4.2.2 Karakteristik Responden Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY 4.2.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikanya menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mempunyai pendidikan yang cukup tinggi yatu sebanyak 56,7% responden telah tamat SMA dan hanya 6,7% saja yang mengaku tidak bersekolah. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian telah di tinggali oleh penduduk yang dengan potensi pengembangan usaha yang cukup besar karena memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Terlihat dari tabel berikut ini:
61
Tabel 36. Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Tidak sekolah 2 6,7 2 Tidak tamat SD 1 3,3 3 Tamat SD 1 3,3 4 Tamat SMP 6 20 5 Tamat SMA 17 56,7 6 D3/Perguruan Tinggi 3 10 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.2.2 Karakteristik Responden berdasarkan Umur Jika dilihat dari karakteristik umur, mayoritas responden berumur 25-34 tahun yaitu sebanyak 36,7%. Hal ini menunjukan lokasi penelitian didominasi oleh keluarga muda yang memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan produksi budidaya karena tingkat produktivitas manusianya yang masih sangat tinggi. Dapat terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 37. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 15 – 24 3 10 2 25 – 34 11 36,7 3 35 – 44 9 30 4 45 – 54 5 16,7 5 >55 2 6,7 Total 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Kisaran umur yang paling banyak lainnya adalah umur 35-44 tahun yaitu sebanyak 30%. Kisaran usia ini juga masih tergolong usia produktif sehingga programprogram pemerintah mengenai pengembangan usaha budidaya akan lebih mudah dijalankan mengingat kualitas SDM yang masih sangat baik.
4.2.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Dari data karakateristikk berdasarkan matapencaharian, responden
dilokasi
sebagian besar mempunyai pekerjaan sebagai buruh tani. (66,6%). Selain buruh tani
62
maka matapencaharian yang dominan di lakukan yaitu swasta (Pembuat kerajinan tas), supir dan pedagang. Terlihat dari tabel di bawah ini. Tabel 38. Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Pembudidaya ikan 4 13,3 2 Buruh Tani 20 66,6 3 Swasta 6 20 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Biasanya yang berprofesi hanya sebagai pembudidaya adalah para istri. Istri-istri ini akhirnya ikut membantu suami dengan mengelola kolam-kolam yang letaknya dekat dengan rumah. Jadi, selain tidak perlu meninggalkan rumah terlalu lama, mereka dapat menambah pemasukkan keluarga dari profesi pembudidaya tersebut.
4.2.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan terlihat bahwa pendapatan yang diperoleh per bulan terbanyak yaitu kurang dari 500.000,- (54,1%).
Peringkat
kedua yaitu pendapatan reponden antara Rp. 500.000,- hingga 1.000.000,- per bulan. Tabel 39.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Pendapatan Jumlah Responden Persentase (Rp/tahun) (orang) (%) 1 500.000 13 54,1 2 500.000-<1.000.000 8 33,3 3 1.000.000- <2.000.000 1 4,1 4 >2.000.000 2 8,3 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Jumlah pendapatan ini memang tergolong masih kecil jika melihat dari UMR DIY Yogyakarta yang sebesar Rp. 700.000,-. Tetapi seperti yang telah dijelaskan pada tabel sebelumnya, potensi SDM yang ada di lokasi penelitian ini cukup besar. Tingkat pendapatan yang masih tergolong rendah ini menandakan kurang optimalnya usaha responden dalam memberdayakan seluruh kemampuan yang dimiliki, dan dalam hal
63
budidaya sosialisasi untuk peningkatan kesejahteraan melalui budidaya harus kontinu dilakukan. 4.2.2.5.Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Karakteristik responden berdasarkan jumlah pengeluaran didominasi oleh pengeluaran sebesar Rp. 500.000-1.000.000 yaitu sebanyak 66,7% dari total responden. Jumlah pengeluaran ini jauh di atas mayoritas pendapatan mereka per bulan. Dari tabel sebelumnya pendapatan mereka kurang dari 500.000,- . Jadi, secara kasar pendapatan mereka jauh lebih kecil dari pengeluaran. Banyak dari mereka yang akhirnya meminjam orang tua atau meminjam ke tetangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Tabel 40. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Pengeluaran untuk Jumlah Responden Persentase membeli ikan (orang) (%) (Rp/Tahun) 1 <500000 0 0 2 500.000-<1000000 20 66,7 3 1.000.000-< 2.000.000 10 33,3 4 > 2000000 0 0 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Pengeluaran ini besar karena banyak dari mereka yang masih mempunyai anak balita dengan kebutuhan yang masih sangat besar. Beberapa dari mereka juga masih mempunyai anak dengan kebutuhan sekolah yang makin tinggi. 4.2.2.6. Karakteristik responden berdasarkan Pengeluaran Untuk Pembelian Ikan Sedangkan untuk pengeluaran hanya untuk konsumsi ikan, rumah tangga pada dasarnya mengeluarkan dalam jumlah yang cukup kecil jika dibandingkan dengan total pengeluaran mereka. Dari tabel di bawah dapat dilihat mayoritas penduduk desa Salamredjo mengalokasikan sedikit pengeluarannya bagi konsumsi ikan. Hal ini dapat dikarenakan akibat prioritas keluarga untuk membeli ikan belum berada pada posisi yang paling tinggi. Masih banyak kebutuhan makanan lain atau pilihan makanan lain yang mereka prioritaskan untuk dibeli.
64
Tabel 41.
Total Pengeluaran Responden Untuk Membeli Ikan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Kategori Pengeluaran untuk Jumlah Responden Persentase membeli ikan (Rp/tahun) (orang) (%) 1 <50000 16 53,3 2
50000-<100000
9
30
3
100000 - <150000
3
10
4
>150000
2
6,7
30
100
Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
4.2.2.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang Dimiliki Aset yang dimiliki responden sebagian besar sudah memiliki kelengkapan mulai dari TV, tape, radio, motor dan tanah. Dilihat dari aset tersebut, sebenarnya tingkat kesejahteraan mereka sudah cukup tinggi. Terlihat dari aset yang dimiliki beragam hanya saja mungkin kuantitasnya yang perlu dicermati kembali. Artinya, responden sebenarnya dimungkinkan untuk mengembangkan kembali usahanya dengan modal sendiri berdasarkan aset yang dimiliki. Tabel 42. Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY, 2009 No Aset yang dimiliki Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1. TV, tape recorder, radio, motor, 7 23,3 tanah 2. TV, tape recorder, radio, motor, 5 16,6 tanah, emas 3 TV, tape recorder, radio, motor, 2 6,6 tanah, emas, mobil 4 TV, tape recorder, radio, motor, 11 36,6 tanah, emas, mesin 5 TV, motor atau sepeda, tanah 5 16,6 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
65
4.2.3.
Karakteristik Responden Kabupaten Banjarnegara
Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang,
4.2.3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya berpendidikan tamat SD yaitu sebanyak 63% dan paling tinggi yaitu tamat SMA sejumlah 20%, sedangkan tidak ada diantara responden yang mempunyai latar belakang pendidikan sarjana. Tabel 43. Karaktersitik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, 2009 Jumlah Responden Persentase No Pendidikan (orang) (%) 1 tidak sekolah 0 0 2 tidak tamat SD 0 0 3 Tamat SD 19 63 5 Tamat SMP 5 17 7 Tamat SMA 6 20 8 D3/Perguruan Tinggi 0 0 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.3.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur Karakteristik responden penelitian ini berusia antara 22 tahun sampai 66 tahun. Responden yang berusia diantara 25-34 tahun sebanyak 33%. Responden yang berusia antara 35-44 tahun sebanyak 40%. Responden yang berusia antara 45-54 tahun sebanyak 10%. Responden yang berusia berusia diatas 55 tahun sebanyak 17%. Tabel 44. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara Jumlah Responden Persentase(%) No Umur (tahun) (orang) 1 15 – 24 0 0 2 25 – 34 10 33 3 35 – 44 12 40 4 45 – 54 3 10 5 >55 5 17 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
66
4.2.3.3.
Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Karakteristik responden kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai petani
yaitu sebesar 57% atau 17 orang. Mata pencaharian berikutnya yang juga banyak ditekuni responden yaitu sebagai pembudidaya yaitu sebesar 13% atau 4 orang. Sebanyak 3% responden bermatapencaharian sebagai tukang batu dan pedagang. Sedangkan 7% responden memiliki mata pencaharian sebagai buruh dan karyawan. Sepuluh persen responden memiliki mata pencaharian lainnya seperti pensiunan guru, kepala desa, dan wirausaha. Tabel 45. Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara No Mata Pencaharian Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Pembudidaya ikan 4 13 2 Tani 17 57 3 Tukang Batu 1 3 4 Pedagang 1 3 5 Buruh 2 7 7 Karyawan 2 7 8 Lainnya 3 10 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Dari data karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian maka dapat juga dilihat pilihan aktivitas budidaya. Sebagian besar responden memilih aktivitas budidaya sebagai pekerjaan sampingan. Responden yang memilih budidaya sebagai pekerjaan sampingan sebanyak 87%. Sedang responden yang menjadikan budidaya sebagai pekerjaan utama sebanyak 13%.
4.2.3.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Kategori responden berdasarkan tingkat pendapatan terlihat bahwa pendapatan yang diperoleh selama perbulan terbanyak yaitu kurang dari atau sama dengan Rp.500.000, yaitu sebesar 40% atau 12 orang. Pendapatan terbanyak yang dimiliki responden berikutnya adalah lebih dari Rp.500.000 sampai Rp.1.000.000, sebanyak 37% atau 11 orang. Responden yang memiliki pendapatan lebih dari Rp.1.000.000
67
hingga Rp.2.000.000 sebanyak 3 orang atau 10%. Demikian juga responden dengan pendapatan lebih dari Rp.2.000.000 sebanyak 4 orang (13%). Tabel 46.
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara Kategori Pendapatan Jumlah Responden Persentase (Rp/bulan) (orang) (%)
No 1 2 3 4 5
0 <500.000 500.000-1.000.000 >1.000.000-2.000.000 >2.000.000 Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
12 11 3 4 30
40 37 10 13 100
4.2.3.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Karakteristik responden berdasarkan jumlah pengeluaran yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan hidupnya dalam sebulan dominasi oleh pengeluaran sebesar Rp. 50.000-<1.000.000 yaitu sebanyak 13 orang atau 43%. Responden yang memiliki jumlah pengeluaran hingga Rp.500.000 sebanyak 34% yaitu sebanyak 10 orang. Responden dengan pengeluaran lebih besar dari Rp.1.000.000 hingga Rp.2.000.000 sebanyak 20% atau 6 orang. Terdapat pula responden dengan kategori pengeluaran diatas Rp.2.000.000 yaitu 3% atau hanya satu orang. Tabel 47.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara No Kategori Pengeluaran Jumlah Responden Persentase (Rp/bulan) (orang) (%) 1 <500.000 10 34 2 500.000-1.000.000 13 43 3 1.000.000-2.000.000 6 20 4 >2.000.000 1 3 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
4.2.3.6.
Karakteristik Responden Pembelian Ikan
berdasarkan
Total
Pengeluaran
untuk
Dari total pengeluaran keseluruhan dalam sebulan, rata-rata pengeluaran responden untuk mengkonsumsi ikan dalam satu bulan berkisar antara Rp.100.000
68
hingga Rp.150.000. Responden tersebut berjumlah 37% atau sebanyak 11 orang. Sedangkan 33% responden atau sebanyak 10 orang mengeluarkan uang untuk konsumsi ikan dalam sebulan yaitu kurang dari Rp.50.000.
Responden lainnya yaitu 27%
mengeluarkan uang untuk konsumsi ikan dalam sebulan antara Rp.50.000 hingga kurang dari Rp.100.000. Hanya 3% dari responden yang mempunyai pengeluaran untuk konsumsi ikan dalam sebulan melebihi Rp.150.000, yaitu Rp.160.000. Tabel 48. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran untuk Konsumsi Ikan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara No
Kategori Pengeluaran untuk Konsumsi Ikan (Rp/tahun) 1 <50000 2 50000-100000 3 100000-150000 4 >150000 Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah Responden (orang) 10 8 11 1 30
Persentase (%) 33 27 37 3 100
4.2.3.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang Dimiliki Dari tabel 49 diketahui bahwa aset yang dimiliki oleh responden yang paling banyak dimiliki yaitu TV, motor, tanah dan kolam. Responden yang memiliki aset yang paling lengkap sebanyak 6,7%. Aset yang banyak dimiliki oleh para responden yaitu tv, motor, tanah dan kolam yaitu sebanyak 26,7%. Rata-rata responden memiliki aset kolam ikan untuk usaha budidaya pembenihan dan pendederan ikan lele, mujair, gurame dan nila. Aset inilah yang ikut menunjang dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan untuk keluarganya.
69
Tabel 49. Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara No Aset yang dimiliki Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1. TV, motor, mobil, tanah, radio, 2 6,7 emas, kolam 2. TV, radio, tanah, kolam 1 3,3 3 TV, radio, , tanah, emas, kolam 1 3,3 4
6
20
5 6
TV, tape recorder, radio, motor, tanah, emas, kolam TV, motor , tanah, kolam TV,Radio, motor,tanah, kolam
8 3
26,7 10
7
TV, tape, radio, kolam, tanah,
1
3,3
8
TV, motor, tape, kolam
1
3,3
9 10 11
TV, kolam, tanah TV, motor, tape,radio, kolam, tanah TV, motor, emas, tanah, kolam
2 2 3
6,7 6,7 10
30
100
Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
4.2.4. Karakteristik Responden di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung 4.2.4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 50. menunjukkan karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan. Dari tabel tersebut tampak terlihat bahwa mayoritas responden – sebanyak 65.71% bertingkat pendidikan hanya tamatan SD, 17.14% dari responden tidak tamat SD, 11.43% bahkan tidak pernah mengecap bangku sekolah, dan hanya 5.71% dari responden yang mampu menamatkan tingkat SMA. Berdasarkan data tersebut maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa tingkat pendidikan Responden di Desa Cinanggela cukup rendah.
70
Tabel 50. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung Jawa Barat Tahun 2009 Jumlah Persentase Responden (%) (orang) No. Tingkat Pendidikan 1 2 3 4 5 6
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA D3/Perguruan Tinggi Jumlah
4 6 18 0 2 0 30
13,3 20,0 60,0 6,7 100,0 100.00
Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 51. menunjukkan karakteristik responden berdasarkan umur. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas responden – sebanyak 65.71% - berusia di atas 55 tahun, 14.29 % berusia antara 45-55, 14.29 berusia antara 35-44, dan sisanya sebanyak 5.71% berusia antara 25-34. Komposisi mayoritas responden yang ternyata berusia tidak produktif (diatas 55 tahun) ini yang nampaknya menyebabkan tingginya tingkat keluarga miskin di Desa Cinanggela. Tabel 51. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung Jawa Barat Tahun 2009 Jumlah Responden Persentase (orang) (%) Umur 15-24 25-34 35-44 45-54 >55 Jumlah
0 2 5 5 18 30
0 6,7 16,7 16,7 60,0 100,0
Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Secara umum, responden di Desa Cinanggela terbagi kedalam 3 kelompok, Buruh, Tani dan mereka yang tidak bekerja. Tabel 52 menunjukkan komposisi dari masing jenis pekerjaan para responden. Mayoritas responden yang diwawancarai – sebanyak 74.29 % - mengaku bahwa mereka menggantungkan hidup dari pendapatan
71
hasil menjadi buruh di kebun-kebun sekitar daerah mereka, 20 % dari responden mengakut tidak memiliki pekerjaan, dan 5.71% melakukan kegiatan pertanian. Tabel 52.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung Jawa Barat Tahun 2009 Jumlah Persentase Responden (orang) (%) Pekerjaan Buruh Tani Tidak Bekerja Jumlah
21 2 7 30
70,0 6,7 23,3 100,0
Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa tingkat pendapatan Responden di Desa cinanggela ini bisa dikatakan rendah, dengan kisaran antara 0 hingga Rp. 900000. Mayoritas responden di Desa Cinanggela ini – sebesar 50% - memiliki pendapatan antara 0-300.000 perbulannya. Urutan kedua – sebesar 31 % - diisi oleh responden berpendapatan antara Rp. 300.001 – Rp. 600000. Sisanya sebesar 19 % terdiri dari responden yang berpendapatan antara Rp. 600.001 – Rp. 900.000. Tabel 53. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan di Desa Cinanggela Tahun 2009 Jumlah Persentase Responden (%) (orang) Pendapatan Perbulan (Rp.) 0-300000 300001-600000 600001-900000 Jumlah
14 9 7 30
46,7 30,0 23,3 100,0
Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Pengeluaran responden perbulan cukup beragam, dan tidak terlalu tinggi. Dengan kisaran pengeluaran dimulai dari 0 hingga Rp. 777.500 perbulannya. Mayoritas responden (53 %) berpengeluaran lebih dari 320000, 42% dari mereka berpengeluaran antara 0-260.000, sisanya (6%) berada antara Rp. 260.000 hingga Rp. 320.000.
72
Tabel 54. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran di Desa Cinanggela Tahun 2009 Jumlah Persentase Responden (%) Pengeluaran Perbulan (orang) 0-260000 13 43,3 260001-320000 2 6,7 >320000 15 50 Jumlah 30 100,0 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk Membeli Ikan Tingkat pengeluaran ikan responden di desa Cinanggela ini cukup beragam dan rendah, dari yang bernilai 0 hingga ke Rp. 250.000 perbulan. Tingkat pengeluaran ikan responden secara mayoritas berkisar antara 0-80000 (86%), 11% dari responden yang diwawancara memiliki tingkat pengeluaran ikan sebesar 80001-160000, sisanya (3%) pada tingkat diatas 160000. Tabel 55. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk membeli Ikan di Desa Cinanggela Tahun 2009 Jumlah Responden Persentase Pengeluaran Ikan (orang) (%) 0-80000 25 83,3 80001-160000 4 13,3 160001-250000 1 3,3 Jumlah 30 100,0 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.2.4.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Asset Secara umum, berdasarkan kepemilikan asset, dapat dikatakan bahwa responden di Cinanggela termasuk kedalam keluarga yang miskin. Mayoritas responden sebanyak 51.43 % - hanya memiliki rumah saja; 22.86 % memiliki Rumah dan Radio; 11.43% memiliki Rumah, TV dan Radio; 5.71% memiliki Rumah, Radio dan Tape; 5.71 % memiliki Rumah, TV dan Tape; dan 2.86 % memiliki Rumah dan Radio.
73
Tabel 56.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Aset di Desa Cinanggela Tahun 2009 Jumlah Responden Persentase Jenis Asset (orang) (%) Rumah, TV 8 26,7 Rumah 13 43,3 Rumah, Radio, Tape 2 6,7 Rumah, TV, Tape 2 6,7 Rumah, TV, Radio 4 13,3 Rumah, Radio 1 3,3 Jumlah 30 100,0 . 4.3. Identifikasi Faktor Dalam Sistem Usaha Perikanan (SUP) Budidaya Yang Mendukung Ketahanan Pangan 4.3.1 Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur Kegiatan Budidaya ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur hampir belum ada yang melakukan usaha budidaya tersebut. Baru dua orang saja yang sudah melakukan budidaya ikan nila dan lele dan itu pun sifatnya hanya coba-coba. Dari kondisi lahan yang ada, sebenarnya cukup potensi untuk dikembangkan terutama karena matapencahariannya sebagian besar membuat batubata sehingga sisa pembuatan batubata tersebut menyisakan lubang-lubang di tanah yang dapat digunakan untuk kolam ikan. Namun disebabkan kondisi air yang jauh dari lokasi pemukiman menyebabkan untuk supplai air tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
4.3.2. Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta a. Ketersediaan Modal Mayoritas sumber modal yang digunakan untuk memulai usaha budidaya adalah dari modal sendiri. Sebanyak 19 orang responden menyatakan bahwa mereka mengumpulkan uang pribadi untuk dapat melakukan budidaya lele. Sebanyak 7 orang lainnya meminjam ke bank setempat yaitu BKD. Selain itu terdapat juga 4 orang yang menyatakan bahwa mereka menggabungkan antara modal sendiri dan modal pinjaman untuk dapat membiayai usaha budidaya.
74
b. Ketersediaan Lahan di Desa Salamredjo Luas lahan yang ada di Desa Salamredjo adalah sebesar 421,36 Ha, yang digunakan untuk lahan sawah dan budidaya masih kecil.
Dari data Badan Pusat
Statistik Daerah (BPS), dari keseluruhan luas lahan, 306,76 Ha lahannya digunakan untuk bangunan. Berikut tabel pengkasifikasian lahan sesuai dengan kegunaanya:
Tabel 57.
Jenis lahan, potensi dan Luas Lahan Yang Sudah dimanfaatkan Untuk Budidaya Ikan
No
Jenis Lahan
1 Sawah 2 Budidaya
Potensi (ha) 75,08
Sudah Dimanfaatkan (ha) 67
8,19
0,8
Sumber: BPS Kabupaten 2008 c. Ketersediaan Faktor Produksi 1. Benih Benih lele untuk usaha budidaya di desa Salamredjo didapatkan dari 1 orang pembudidaya yang sudah mulai mencoba melakukan pembenihan di desa tersebut. Satu orang pembenih tersebut menyediakan benih untuk kelompoknya dan dijual dengan harga Rp 100,- per ekor. Setiap pembudidaya rata-rata membeli benih untuk satu kolam lele sebanyak 2000 ekor benih. Dengan adanya penyedia benih di desa ini, maka kelompok pembudidaya di Desa Salamredjo tidak perlu repot atau mengeluarkan ongkos terlalu mahal untuk transportasi menuju kios penjual benih lele. Keterampilan mengusahakan benih lele didapatkan dari para penyuluh yang mulai mengajarkan pembudidaya memulai usaha pembenihan.
2. Pakan Pakan untuk lele dibeli dari toko pakan ikan yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari sentra budidaya desa Salamredjo. Satu karung pakan dibeli dengan harga Rp. 200.000,-. Untuk satu kolam lele biasanya membutuhkan pakan 2 karung selama satu siklus. Selain pakan yang dibeli di di toko, para pembudidaya ini mencoba untuk
75
memberikan pakan alami berupa cacing yang ditumbuk dan bekicot yang ada di sekitar pekarangan. Penggunaan pakan alami ini diyakini untuk mempercepat siklus budidaya.
3. Tenaga kerja Mayoritas pembudidaya lele di desa Salamredjo masih berskala rumah tangga sehingga operasionalisasi budidaya dilakukan oleh pemilik. Mulai dari proses pembuatan kolam, pembersihan atau pengurasan, pemindahan ikan dan penggantian terpal dilakukan oleh masing-masing pemilik kolam sehingga tidak membutuhkan upah untuk menyewa tenaga kerja tambahan. Rata-rata setiap pembudidaya hanya memiliki 1-4 kolam saja yang letaknya di pekarangan mereka sehingga segala urusan operasional masih bisa ditangani sendiri. Jika para pembudidaya ingin mengekstensifikasi usahanya maka tenaga kerja tambahan barulah diperlukan.
4. Pupuk dan Obat-obatan Pembudidaya di Salamredjo tidak menggunakan pupuk untuk kegiatan budidayanya sehingga mereka tidak perlu membeli pupuk. Obat-obatan yang dipakai pun hanya sederhana yaitu garam yang dibeli per kg nya seharga Rp. 1.000,- saja. Jika dirasa perlu sekali, barulah mereka membeli obat-obatan biasanya hanya berupa vitamin dengan harga Rp. 25.000,-
5. Pasar Distribusi pemasaran dari budidaya lele skala kecil di Kulon Progo, desa Salamredjo Kecamatan Sentolo dilakukan ke pasar setempat yaitu Watu Ombo dan Prapatan yang berjarak kurang lebih 10 menit dari sentra produksi. Kelebihan pasokan aka dikirimkan ke pasar desa tetangga yaitu desa Tuksono yang tidak dapat memporoduksi sendiri lele karena tidak terdapat budidaya ikan di sana. Di desa Tuksono yang biasa tersedia adalah ikan-ikan yang berasal dari laut dan bandeng olahan yang berasal dari Sleman, jadi untuk ikan budidaya mayoritas didatangkan dari desa Salamredjo.
76
f. Pengolahan Ikan Untuk desa Salamredjo, mereka biasanya menjual ikan tersebut tanpa diolah terlebih dahulu. Dengan kata lain, mereka menjual ikan ke pasar atau ke pengepul ikan dengan kondisi segar tanpa olahan. Selain harganya yang cukup baik, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk mengolah ikan. Apalai komoditas yang dibudidayakan adalah ikan lele sehingga lebih diminati jika dijual segar. 4.3.3.
Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Timur Dari tabel 58 dapat dilihat bahwa usaha budidaya ikan merupakan pekerjaan
sampingan bagi mayoritas responden. Namun demikian sumbangan pendapatan dari usaha budidaya ikan tersebut diakui oleh responden cukup besar terhadap pendapatan keluarga secara keseluruhan. Mayoritas pekerjaan utama dari responden yaitu bertani sawah/padi. Tabel 58. Jumlah dan Persentase Responden terhadap Aktivitas Budidaya Jumlah Persentase(%) No Pekerjaan Responden (orang) 1 Pekerjaan Utama 4 13 Pekerjaan Sampingan 26 87 2 Jumlah & Persentase 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) a. Ketersediaan Modal Perikanan budidaya, sebagian besar modal sendiri. Untuk pinjaman dari bank rata-rata masih ragu-ragu karena ketidakpastian. Pihak bank biasanya lebih memilih investasi kepada pihak pemerintah, namun biasanya tetap tidak mencukupi. Untuk pemasaran hasil perikanan budidaya melalui kelompok-kelompok tani. Tabel 59. Sumber Modal Usaha Responden Untuk Budidaya Ikan No Sumber Modal 1 Sendiri 2 Pinjam Total Sumber: Olahan Data Primer 2009
Jumlah Respnden (orang)
Persentase(%) 29 1 30
97 3 100
77
b. Ketersediaan Lahan Ketersediaan lahan untuk budidaya di Kabupaten Banjarnegara khususnya di desa Watuurip masih besar. Lahan yang belum diptimalkan merupakan lahan tandus yang memang kurang cocok untuk pertanian. Sehingga lahan yang masih kosong tersebut dapat lebih dimanfaatkan untuk lahan budidaya. Dari tabel di bawah menggambarkan bahwa antara luas yang masih potensial dengan lahan yang diusahakan masih cukup besar. Lahan yang diusahakan masih baru sekitar 1%, hal ini dapat diupayakan untuk budidaya pembesaran guna pemenuhan kebutuhan ikan untuk konsumsi masyarakat di desa tersebut. Tabel 60. Ketersediaan Lahan Desa Watuurip Tahun 2008 Tahun
Pertanian
2004
Luas yang diusahakan 227,339
2005
Budidaya Ikan Luas yang potensial
Luas yang diusahakan -
3,8
Luas yang potensial 44,339
227,339
-
4,3
44,339
2006
227,339
-
3,5
44,339
2007
227,339
-
4,8
44,339
2008
227,339
-
5,2
44,339
Sumber: Monograph Desa 2004-2008
c. Ketersediaan Faktor Produksi 1. Benih Secara keseluruhan benih untuk Kabupaten Banjarnegara didatangkan dari Cilacap, Jawa Tengah. Benih datang setiap hari rabu dan minggu. Untuk pembudidaya desa Watuurip, benih ikan biasanya dibeli di pasar purwo. Namun ada juga yang membeli benih kepada tetangganya sesama pembudidaya di Watuurip. Biasanya jika membeli benih dengan tetangganya maka pembayaran bisa dengan hutang dulu.
2. Pakan Pakan ikan untuk pembenihan yaitu pellet. Urutan ukuran pakan untuk pembenihan yaitu 0-0,1; 0,1-0,2; 0,2-butiran diameter 1 mm. Harga pellet butiran
78
diameter 1 mm atau poppan yaitu Rp7000/kg, sedangkan untuk yang berbentuk tepung atau boppan harganya mencapai Rp12.000/kg.
Para pembudidaya Watuurip pada
umumnya membeli pellet di Pasar Pucang. Alasan mereka membeli di Pasar Pucang yaitu untuk yang membeli pakan dalam jumlah besar pembayaran dapat dilakukan dengan sistem hutang terlebih dahulu. Jika sudah ada uang baru mereka membayar pellet tersebut. Selain di Pasar Pucang, pakan juga dibeli dari kios skala industri rumah tangga. Selain pellet, ada juga pembudidaya yang member pakan alami seperti kecambah kacang ijo, jagung dan daun sente. Untuk kecambah pembudidaya membeli di pasar, sedang untuk jagung dan daun sente mereka peroleh dari kebun mereka sendiri. 3. Tenaga kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha perikanan di Desa Watuurip dapat dibagi dua macam, yaitu dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar rumah tangga dan hanya menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga. Tipe usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga yaitu tipe usaha yang sudah cukup besar. Biasanya tipe usaha ini yaitu mereka yang sudah memiliki lebih dari tiga kolam. Sebagai contoh pembudidaya yang memiliki 18 petak mempekerjakan tiga orang tenaga kerja. Sedangkan tipe usaha yang hanya menggunakan tenaga kerja dari keluarga yaitu mereka yang hanya memiliki maksimal dua kolam saja.
Bagi mereka yang
mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga biasanya membayar untuk satu orang perbulan sebesar Rp 600.000 per orang. Tenaga kerja tersebut bertugas memberi pakan, membersihkan kolam dan sebagainya. 4. Pupuk dan Obat-obatan Rata-rata para pembudidaya tidak menggunakan pupuk. Untuk obat-obatan biasanya pembudidaya menggunakan metilene blue antibiotik atau vitamin.
5. Pasar Kondisi ikan yang dipasarkan 100% merupakan ikan hidup. Pemasarannya dipasarkan di pasar ikan yang ada di Kabupaten Banjarnegara dan di sekitar lingkungan tempat tinggal pembudidaya. Selain dijual, hasil perikanan budidaya dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri, untuk memenuhi kebutuhan protein sehari-hari.
79
Pembenihan ikan di Desa Watuurip untuk produksi sebesar 36500 ekor, dipelihara sendiri sebesar 16000 ekor, sedang untuk dijual ke daerah lain yaitu 20000 ekor. Pembesaran ikan , produksi 410 kg, dipelihara sendiri 50 kg, sedang dijual ke daerah lain sebanyak 360 kg. Pemasaran biasanya hanya di pasar lokal Banjarnegara. Khusus gurame untuk konsumsi , pemasarannya ke luar Banjarnegara, seperti Semarang, Yogyakarta maupun Jakarta. Sedang benih gurame atau yang lain dijual di pasar lokal Banjarnegara dan lingkungan. Biasanya panen dalam setahun sebanyak dua kali. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari desa ke pasar terdekat kurang lebih 30 menit atau setengah jam, dengan kondisi jalan keras atau batu dan aspal. Kondisi jalan keras tersebut ada yang sudah baik dan ada yang masih rusak. Biasanya alat transportasi yang digunakan yaitu kendaraan roda dua yaitu motor karena tidak ada angkutan umum yang menuju ke desa tersebut. Pasar yang biasanya mudah dijangkau pembudidaya yaitu pasar pucang, pasar banjar dan pasar purwo. Relatif jaraknya mudah dijangkau dalam waktu antara 30 menit hingga 1 jam.
6. Pengolahan Ikan Ikan segar yang dihasilkan di Desa Watuurip langsung dipasarkan dalam bentuk ikan segar. Terdapat pengolahan ikan dalam bentuk keripik yang dihasilkan oleh industri skala rumah tangga namun di tingkat kabupaten. Ikan yang dijadikan keripik yaitu ikan nila. Keripik tersebut sudah dikemas dalam bentuk packingan yang sudah bagus. Pemasaran keripik ikan nila dengan cara dititipkan di warung di daerah Wonosobo dan Purbalingga.
4.3.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Lokasi desa yang berbukit dan sampai saat ini usaha budidaya ikan belum ada dilokasi. Hal ini disebabkan kondisi pasokan air yang cukup sulit apalagi pada musim kemarau cukup kesulitan air.
Disamping itu terbatsnya lahan yang cocok untuk
budidaya ikan menyebabkan pengembangan usaha perikanan di lokasi cukup sulit untuk dikembangkan. Kebutuhan ikan untuk konsumsi masyarakat dapat dipenuhi dari supply dari lokasi lain.
80
4.4 Ketahanan Pangan Ikani Rumah Tangga Di Desa Rawan Pangan 4.4.1. Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur Berdasarkan penilaian indikator ketahanan pangan ikani, secara keseluruhan ketahanan pangan rumah tangga rawan pangan di Desa Merakan tergolong dalam klasifikasi ”Rentan”.
Indikator ketahanan pangan rumah tangga ini dapat dilihat dari
empat indikator dan masing-masing indikator tersebut adalah ketersediaan pangan ikani, kestabilan pangan ikani, keterjangkauan pangan ikani dan keamanan pangan ikani. Secara rinci seperti pada Tabel 61 terlihat bahwa indikator ketersediaan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi rendah, stabilitas pangan ikani tergolong dalam klasifikasi rendah, keterjangkauan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang dan keamanan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang. Tabel 61. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan Di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Indikator Klasifikasi Skor 1. Ketersediaan Pangan Ikani Rendah 5,33 2. Stabilitas Pangan Ikani Rendah 1,80 3. Keterjangkauan Pangan Ikani Sedang 6,90 4. Keamanan Pangan Ikani Sedang 5,33 Total Ketahanan Pangan Rentan 19,37 Sumber: Data Primer yang Diolah (2009) 4.4.1.1 Ketersediaan Pangan dari Sumber Ikani Ketersediaan pangan dari sumber ikani yang dimiliki oleh suatu rumah tangga dipengaruhi oleh cara rumah tangga memperoleh pangan dari sumber ikani tersebut. Dasar penentuan tingkat ketersediaan pangan ini juga sangat terkait dengan jenis pangan dari sumber ikani yang dikonsumsi. Untuk melihat bagaimana cara yang ditempuh rumah tangga untuk memperoleh pangan dari sumber ikani dan jenis ikan apa saja yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
81
Tabel 62. Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan Jumlah Responden Persentase Cara Responden Mendapatkan Ikan (orang) (%) Membeli Kolam sendiri Tetangga/teman Total Sumber : Data Primer Diolah 2009
28 2 0 35
83,3 6,7 0 100,0
Berdasarkan tabel di atas, cara yang dilakukan rumah tangga untuk mendapatkan ikan untuk konsumsi sehari-hari adalah dengan cara membeli yaitu sebesar 83,3%, sedangkan dari hasil kolam sendiri hanya sebesar 6,7%.
Hal ini menunjukkan bahwa
sesuai dengan kondisi matapencaharian yang dilakukan responden sebagian besar adalah petani atau buruh. Kegiatan budidaya ikan masih belum dilakukan oleh banyak orang disebabkan kondisi sumber air yang jauh dari lokasi, sehingga kebutuhan ikan diandalkan dari pembelian dari pedagang ikan. Penentuan tingkat ketersediaan pangan dari sumber ikani pada rumah tangga perikanan tangkap skala kecil dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga pada masing-masing wilayah penelitian. Tabel 63. Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, Jenis Ikan yang Paling Jumlah Responden sering Dikonsumsi (orang) Lele 11 Mujair 14 Nila 4 Gurame 1 Jumlah 30 Sumber : Data Primer Diolah 2008
Persentase (%) 36,7 46,7 13,3 3,3 100
Tabel 63 memperlihatkan bahwa jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga responden di Desa Merakan adalah ikan mujair (46,7%) diikut kedua yaitu lele sebesar (36,7%), ketiga Nila (13,3%) dan gurami (3,3%). Dari data tersebut telihat bahwa responden lebih menyukai ikan hasil budidaya karena kenyataannnya
82
pasokan ikan segar laut sangat jarang. Ikan laut yang dijual ke desa tersebut hanya yang berupa olahan seperti pindang dan ikan asin. 4.4.1.2 Stabilitas Pangan dari Sumber Ikani Pada Tabel 60 dapat dilihat bahwa rumah tangga rawan pangan paling banyak makan ikan satu minggu 2 kali yaitu sebanyak 50%, sedangkan yang mengkonsumsi ikan lebih sedikit atau lebih banyak dari 2 kali seminggu hampir sama jumlahnya yaitu 16,7%. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pembelian ikan sangat tergantung kepada pedagang ikan yang datang dari luar desa, sehingga supply nya tidak tentu. Tabel 64. Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir No Frekuensi makan Jumlah Responden Persentase ikan tiap minggu (orang) (%) 1 Tidak tentu 5 16,7 2 1 kali /minggu 5 16,7 3 2 kali/minggu 15 50,0 4 3 kali/minggu 4 16,7 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa preferensi sumber protein hewani terbesar yang dipilih oleh responden adalah ikan, yaitu 8 dan 12%.
Hal ini
menunjukkan bahwa ikan merupakan bahan pangan yang disukai, walaupun pada kenyataannnya supply nya sangat tergantung dari pedagang yang datang ke desanya dan waktunya tidak tentu. Tabel 65. Preferensi Sumber protein hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan No Preferensi Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Ikan pilihan pertama 20 66,7 2 Daging pilihan pertama 9 30,0 3 Telur pilihan pertama 1 3,3 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
83
4.4.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Kebiasaan Makan Ikan Ikan merupakan pilihan sumber pangan hewani yang dianggap cukup penting oleh responden. Hal ini ditunjukkan oleh data terkait dengan kebiasaan makan ikan dimana apabila harga ikan mahal maka disamping sebagian responden menjawab akan membeli pangan yang lain, juga 9 orang diantaranya menjawab bahwa mereka tetap akan membeli ikan (Tabel 66). Tabel 66.
Respon Responden Apabila Tidak Tersedia Ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Banjarnegara No Apabila tidak ada ikan Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Tetap Beli Ikan 9 30 2 Kurangi Jumlah yang dibeli 5 16,7 3 Beli Pangan yang lain 16 53,3 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.4.1.4. Keterjangkauan Pangan dari Sumber Ikani Akses atau keterjangkauan terhadap pangan merupakan salah satu unsur dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga (FAO, 1996). Askes atau keterjangkaun tersebut mengandung makna bahwa setiap rumah tangga mempunyai akses baik secara fisik atau ekonomi agar dapat memperoleh pangan yang sehat. Secara fisik dapat diartikan bahwa setiap rumah tangga dapat memperoleh pangan secara mudah, jika harus membeli tersedia dimana-mana, sedangkan secara ekonomi mengandung makna bahwa pangan dapat diperoleh dengan harga terjangkau. Akses rumah tangga secara fisik dalam memperoleh pangan dapat diketahui melalui informasi tentang tempat perolehan pangan dalam hal ini pangan dari sumber ikani serta cara mencapai tempat tersebut. Pada tabel 67 terlihat bahwa untuk memperoleh ikan, cara yang ditempuh oleh rumah tangga adalah sebagian besar rumah tangga menempuh cara dengan berjalan kaki yaitu dengan persentase terbesar 93,3%. Sedangkan persentase terkecil adalah menggunakan kendaraan pribadi yaitu dengan persentase yang hanya 6,7%. Berdasarkan hasil wawancara, dengan berjalan kaki adalah cara yang termurah dan biasanya jarak tempuh yang dekat antara rumah responden dengan tempat memperoleh ikan.
84
Tabel 67 Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan No Tempat mendapatkan ikan Jumlah Responden (orang) 1 Kendaraan pribadi 2 2 Kendaraan Umum 0 3 Jalan Kaki 28 Jumlah 30 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Persentase (%) 6,7 0 93,3 100
Lokasi untuk memperoleh ikan atau membeli ikan sebagian besar responden memilij untuk membeli di pedagang keliling yang mendatangi rumah-rumah mereka. Alternatif lain apabila tidak lewat penjual keliling mereka membeli ikan di warung terdekat yang lokasinya hanya berjarak tidak sampai 200 meter saja. Tabel 68. Lokasi Mendapatkan Ikan No 1 2 3 4 5
Tempat mendapatkan ikan
Kolam sendiri Pasar Warung Penjual keliling Warung dan penjual keliling Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah Responden (orang) 2 2 10 14 2 30
Persentase (%) 6,7 6,7 33,3 46,7 6,6 100
4.4.1.5. Kualitas Pangan dari Sumber Ikani Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga rawan pangan di lokasi tentang kualitas ikan tergolong relatif baik.
Dari hasil wawancara yang
dilakukan diperoleh bahwa sebagian besar rumah tangga tersebut menyebutkan ciri-ciri ikan yang memiliki kualitas yang baik. Kualitas ikan tersebut dilihat dari warna insang yang berwarna merah, kulit ikan, segar dan dilihat dari mata ikan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang baik tentang kualitas ikan juga akan mempengaruhi kualitas pangan dari sumber ikani yang dikonsumsi oleh rumah tangga .
85
13%
3%
7%
7%
13%
3%
insang mata segar insang+mata insang+kulit
13% 18%
insang+segar insang+mata+kulit
13% .
10%
insang+mata+segar insang+kulit+segar Insang+mata+kulit+ segar
Gambar 4. Pengetahuan rumah tangga rawan pangan tentang kualitas ikan Sumber: Olahan Data Primer (2009)
4.4.2. Desa Salamredjo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan penilaian indikator ketahanan pangan ikani, secara keseluruhan ketahanan pangan rumah tangga perikanan budidaya skala kecil di Kabupaten Kulon Progo, DIY Yogyakarta tergolong dalam klasifikasi ”Cukup Tahan”. Indikator ketahanan pangan rumah tangga ini dapat dilihat dari empat indikator dan masingmasing indikator tersebut adalah ketersediaan pangan ikani, kestabilan pangan ikani, keterjangkauan pangan ikani dan keamanan pangan ikani. Secara rinci seperti pada Tabel 69 terlihat bahwa indikator ketersediaan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi tinggi, stabilitas pangan ikani tergolong dalam klasifikasi tinggi, keterjangkauan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang dan keamanan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi tinggi. Tabel 69. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, DIY Indikator Klasifikasi Skor 1. Ketersediaan Pangan Ikani Sedang 9,77 2. Stabilitas Pangan Ikani Sedang 2,73 3. Keterjangkauan Pangan Ikani Sedang 7,87 4. Keamanan Pangan Ikani Rendah 4,67 Total Ketahanan Pangan Cukup Tahan 25,03 Sumber: Data Primer yang Diolah (2009)
86
4.4.2.1 Ketersediaan Pangan dari Sumber Ikani Cara
yang
ditempuh
untuk
mendapatkan
ikan,
sebagian
responden
memeperolehnya dari kolam sendiri sebanyak 77,7%, sedangkan yang membeli di pasar sebanyak 23,3% (table 70). Jika produktivitas dapat ditambah dan jumlah kolam dapat ditingkatkan maka kemungkinan responden untuk hanya mengandalkan kolam dalam mengkonsumsi ikan semakin besar. Saat ini, hampir seluruh jumlah ikan dalam kolam yang dibudidayakan habis dijual dan sebagian kecil saja yang dikonsumsi. Tabel 70 . Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan Jumlah Persentase Cara Responden Mendapatkan Ikan Responden (%) (orang) Membeli 7 23,3 Kolam sendiri 23 77,7 Tetangga/teman 0 0 Total 30 100 Sumber : Data Primer Diolah (2009) Tabel 71 memperlihatkan bahwa jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga di wilayah KulonProgo, DIY Yogyakarta adalah ikan lele dengan persentase terbesar yaitu 86,6% dan persentase terendah adalah ikan nila yaitu sebesar 6,6%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas budidaya lele mereka telah dapat menjadi sumber pangan protein bagi mereka. Keberlanjutan dari usaha ikan lele ini juga sangat baik karena persyaratan lokasi dari budidaya lele dapat dipenuhi oleh desa ini, antara lain:
Tanah
yang
baik
untuk
kolam
pemeliharaan
adalah
jenis
tanah
liat/lempung,tidak berporos, berlumpur dan subur. Lahan yang dapat digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah, kecomberan, kolam pekarangan, kolamkebun, dan blumbang.
Ikan lele hidup dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah yang tingginya maksimal 700 m dpl.
Elevasi tanah dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%.
Lokasi untuk pembuatan kolam harus berhubungan langsung atau dekat dengan sumber air dan tidak dekat dengan jalan raya.
87
Lokasi untuk pembuatan kolam di tempat yang teduh, tetapi tidak berada di bawah pohon yang daunnya mudah rontok.
Ikan lele dapat hidup pada suhu 20°C, dengan suhu optimal antara 25-28°C. Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26- 30°C dan untuk pemijahan 24-28 ° C.
Ikan lele dapat hidup dalam perairan agak tenang dan kedalamannya cukup, sekalipun kondisi airnya jelek, keruh, kotor dan miskin zat O2.
Tabel 71. Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, di Kulon Progo, DIY No Jenis Ikan Segar Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Lele 26 86,6 2 Gurame 2 6,6 3 Nila 2 6,6 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.4.2.2 Stabilitas Pangan dari Sumber Ikani Dalam penelitian ini, frekuensi para responden dalam mengkonsumsi ikan dapat dikatakan cukup sering. Sebanyak 53,3% responden mengatakan bahwa mereka mengkonsumsi ikan sebanyak 2 kali dalam seminggu.Setidaknya, menurut mereka, kolam yang mereka budidayakan menjadi sumber pasokan bagi mereka untuk dapat mengkonsumsi ikan tiap minggunya. Seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 72. Frekuensi Makan Ikan Responden dalam Seminggu Terakhir No Frekuensi makan ikan Jumlah Responden Persentase tiap minggu (orang) (%) 1 1 kali /minggu 8 26,6 2 2 kali/minggu 16 53,3 3 3 kali/minggu 4 13,3 4 Tiap hari 2 6,6 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Bagi mayoritas responden yaitu sebanyak 76,6%, ikan dianggap sebagai pilihan pertama dalam menu makanan sehari-hari mereka jika dibandingkan dengan telur dan daging. Tidak ada responden yang menjadikan ikan sebagai menu pilahan terakhir. Hal
88
ini menunjukkan tingkat kemauan responden untuk mengkonsumsi ikan cukup tinggi. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini; Tabel 73. Preferensi Sumber Protein Hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan No Urutan pilihan Jumlah Responden Persentase menu (orang) (%) 1 Ikan pilihan pertama 23 76,6 2 Ikan pilihan kedua 7 23,3 3 Ikan pilihan ketiga 0 0 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.4.2.3. Respon Responden Apabila Ikan Tidak Tersedia Jika ternyata ikan tidak dapat didapatkan, 86,6% responden membeli bahan makanan lainnya. Hanya sebesar 13,3% yang membeli ikan di tempat lain. Untuk itu ketersediaan adalah faktor penting agar ikan dapat terus dikonsumsi pada daerah ini. Seperti yang tergambar pada tabel di bawah ini: Tabel 74. Respon Responden Apabila Tidak Ada Ikan No
Urutan Pilihan jika tidak ada Jumlah Responden Persentase ikan (orang) (%) 1 Tetap membeli ikan 4 13,3 2 Kurangi jumlah yang dibeli 0 0 3 Beli pangan lain 26 86,6 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Berdasarkan hasil wawancara, responden yang memilih membeli selain ikan daripada membeli ikan di tempat lain karena jarak yang jauh dari tempat tinggal mereka, yang berarti akan menambah biaya pengeluaran untuk transport. Sehingga, jika tidak tersedia ikan segar di tempat penjualan ikan, masih ada alternatif lain selain ikan segar misalnya ikan asin yang biasanya dijual di warung terdekat atau tempe, tahu atau telur sebagai tambahan disamping ikan asin. 4.4.2.4 Keterjangkauan Pangan dari Sumber Ikani Akses atau keterjangkauan terhadap pangan merupakan salah satu unsur dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga (FAO, 1996). Akses atau keterjangkaun tersebut mengandung makna bahwa setiap rumah tangga mempunyai akses baik secara fisik atau ekonomi agar dapat memperoleh pangan yang sehat. Secara fisik dapat
89
diartikan bahwa setiap rumah tangga dapat memperoleh pangan secara mudah, jika harus membeli tersedia dimana-mana, sedangkan secara ekonomi mengandung makna bahwa pangan dapat diperoleh dengan harga terjangkau. Akses rumah tangga secara fisik dalam memperoleh pangan dapat diketahui melalui informasi tentang tempat perolehan pangan dalam hal ini pangan dari sumber ikani serta cara mencapai tempat tersebut. Berdasarkan cara yang ditempuh untuk mendapatkan ikan untuk konsumsi rumah tangga maka sebagian besar responden menyatakan kalau caranya hanya berjalan kaki ke kolam sendiri untuk mendapatkan ikan, sedangkan sebagian kecil responden membeli ikan ke pasar menggunakan angkutan umum sebagai sarana transportasinya. Tabel 75 Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan No Tempat mendapatkan ikan Jumlah Responden Persentase (orang) (%) 1 Kendaraan Pribadi 0 0 2 Kendaraan Umum 7 23,3 3 Jalan Kaki 23 76,7 Jumlah 30 100 Sumber: Olahan Data Primer (2009) 4.4.2.5 Keamanan Pangan dari Sumber Ikani Pengetahuan rumah tangga perikanan tangkap skala kecil di wilayah Kulon Progi, DIY tentang kualitas ikan tergolong relatif baik. Dari hasil wawancara yang dilakukan diperoleh bahwa seluruh responden mengaku mengetahui ciri-ciri ikan yang memiliki kualitas yang baik. Kualitas ikan tersebut dilihat dari warna insang yang berwarna merah, kulit ikan, segar dan dilihat dari mata ikan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang baik tentang kualitas ikan juga akan mempengaruhi kualitas pangan dari sumber ikani yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut. Tabel 76. Pengetahuan Responden Tentang Kualitas Ikan yang Baik No 1 2
Ciri-ciri ikan berkualitas
Insang Merah, kulit mengkilat, segar Kulit mengkilat, segar Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah Responden (orang) 22 8 30
Persentase (%) 73,3 26,6 100
90
4.4.3. Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Timur Berdasarkan penilaian indikator ketahanan pangan ikani, secara keseluruhan ketahanan pangan rumah tangga perikanan budidaya di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara tergolong dalam klasifikasi ”Cukup Tahan”. Indikator ketahanan pangan rumah tangga ini dapat dilihat dari empat indikator dan masing-masing indikator tersebut adalah ketersediaan pangan ikani, kestabilan pangan ikani, keterjangkauan pangan ikani dan keamanan pangan ikani. Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada nilai relatif yang diperoleh dari hasil pengolahan. Setiap indikator pada ketahanan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari hasil pengolahan data ternyata skor yang diperoleh secara keseluruhan sebesar 23,00. Skor relatif untuk tahan pangan berkisar antara 25,98-30,00, sedangkan cukup tahan berkisar antara 20,99-25,95 dan rentan pangan berkisar antara 16,00-20,96. Pada Tabel 73 terlihat bahwa kondisi ketahanan pangan ikani di wilayah ini yang tergolong ”Cukup Tahan” dengan skor sebesar 23,00, dimana indikator ketersediaan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang, stabilitas pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang, keterjangkauan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi sedang dan keamanan pangan ikani tergolong dalam klasifikasi rendah. Tabel 77. Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara Indikator Klasifikasi Skor 1. Ketersediaan Pangan Ikani Sedang 10,20 2. Stabilitas Pangan Ikani Sedang 2,30 3. Keterjangkauan Pangan Ikani Sedang 7,00 4. Keamanan Pangan Ikani Rendah 3,50 Total Ketahanan Pangan Cukup Tahan 23,00 Sumber: Data Primer yang Diolah (2009) 4.4.3.1 Ketersediaan Pangan dari Sumber Ikani Ketersediaan pangan dari sumber ikani yang dimiliki oleh suatu rumah tangga dipengaruhi oleh cara rumah tangga memperoleh pangan dari sumber ikani tersebut. Dasar penentuan tingkat ketersediaan pangan ini juga sangat terkait dengan jenis pangan dari sumber ikani yang dikonsumsi. Untuk melihat bagaimana cara yang ditempuh
91
rumah tangga untuk memperoleh pangan dari sumber ikani dan jenis ikan apa saja yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 78 . Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan di Desa Watuurip-Kabupaten Banjarnegara Jumlah Persentase No. Cara Mendapatkan Ikan Responden (%) (orang) 1 Membeli (pasar, warung, pedagang keliling) 22 73.33 2 Kolam 6 20.00 3 Tetangga/teman 2 6.67 Jumlah 30 100 Sumber : Data Primer Diolah (2009) Berdasarkan tabel di atas, cara yang dilakukan rumah tangga untuk mendapatkan ikan untuk konsumsi sehari-hari adalah dengan cara membeli yaitu sebesar 73,33%, dari kolam sendiri sebesar 20,00%, sedangkan dari tetangga/teman sebesar 6,67%. Jumlah responden yang membeli ebih banyak karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan membeli mereka dapat memilih sesuai dengan selera/keinginan keluarga. Adapun penentuan tingkat ketersediaan pangan dari sumber ikani pada rumah tangga rawan pangan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga pada masing-masing wilayah penelitian. Tabel 79. Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, Di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara Jenis yang Paling sering Dikonsumsi Persentase (%) Lele 20.0 Mujair 33.3 Gurame 6.6 Nila 26.7 Bawal 6.67 Bandeng 6.67 Jumlah 100,00 Sumber : Data Primer Diolah 2009 Tabel 79 memperlihatkan bahwa jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga perikanan tangkap skala kecil di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara adalah ikan mujair dengan persentase terbesar yaitu 33,33% dan persentase terendah
92
adalah ikan bawal dan bandeng yaitu masing-masing sebesar 6,67%. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang diwawancara lebih menyukai ikan mujair, selain itu karena kemudahan dalam memperoleh ikan tersebut.
4.4.3.2 Stabilitas Pangan dari Sumber Ikani Berdasarkan gambar 5, terlihat bahwa preferensi sumber protein hewani terbesar yang dipilih oleh responden adalah ikan, yaitu sebesar 67%, telur dipilih sebesar 20%, sedangkan daging sebesar 13%. Hal ini menunjukkan bahwa budaya makan ikan sudah merupakan kebiasaan bagi responden, sehingga dapat dikatakan bahwa apabila rumah tangga tersebut memilih ikan sebagai pilihan pertama, ini menunjukkan bahwa budaya makan ikan yang ada pada rumah tangga perikanan tangkap skala kecil tersebut sudah cukup kuat.
Gambar 5. Preferensi Sumber Protein Hewani oleh Responden di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jika di tempat tinggal mereka tidak tersedia ikan, biasanya mereka akan mencari penggantinya daripada membeli ikan di tempat lain. Hal ini terlihat dari jumlah persentase yang diperoleh yang tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 53% yang memilih membeli selain ikan dan 47% membeli ikan di tempat lain. Berdasarkan hasil wawancara, responden yang memilih membeli selain ikan daripada membeli ikan di tempat lain karena jarak yang jauh dari tempat tinggal mereka, yang berarti akan menambah biaya pengeluaran untuk transport. Sehingga, jika tidak tersedia ikan segar di tempat penjualan ikan, masih ada alternatif lain selain ikan
93
segar misalnya ikan asin yang biasanya dijual di warung terdekat atau tempe, tahu atau telur sebagai tambahan disamping ikan asin.
Gambar 6. Respon Responden Jika Ikan tidak Tersedia pada Responden di Desa,Watuurip, Kabupaten Banjarnegara 4.4.3.3
Keterjangkauan Pangan dari Sumber Ikani Akses atau keterjangkauan terhadap pangan merupakan salah satu unsur dalam
menentukan ketahanan pangan rumah tangga (FAO, 1996). Akses atau keterjangkaun tersebut mengandung makna bahwa setiap rumah tangga mempunyai akses baik secara fisik atau ekonomi agar dapat memperoleh pangan yang sehat. Secara fisik dapat diartikan bahwa setiap rumah tangga dapat memperoleh pangan secara mudah, jika harus membeli tersedia dimana-mana, sedangkan secara ekonomi mengandung makna bahwa pangan dapat diperoleh dengan harga terjangkau. Akses rumah tangga secara fisik dalam memperoleh pangan dapat diketahui melalui informasi tentang tempat perolehan pangan dalam hal ini pangan dari sumber ikani serta cara mencapai tempat tersebut.
Gambar 7.
Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara
94
Pada Gambar 12 terlihat bahwa untuk memperoleh ikan, cara yang ditempuh oleh responden adalah sebagian besar rumah tangga menempuh cara dengan berjalan kaki yaitu dengan persentase terbesar 67%. Sedangkan persentase terkecil adalah menggunakan kendaraan umu yaitu dengan persentase yang hanya 6%. Berdasarkan hasil wawancara, dengan berjalan kaki adalah cara yang termurah dan biasanya jarak tempuh yang dekat antara rumah responden dengan tempat memperoleh ikan.
Gambar 8. Tempat Responden Membeli Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa responden di Desa Watuurip dalam membeli ikan lebih memilih di pasar yaitu sebesar 57%. Sedangkan persentase terkecil adalah rumah tangga yang membeli ikan di tukang jual ikan keliling dengan persentase sebesar 20%. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa harga ikan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga ikan yang dijual di warung atau di tukang jual ikan keliling yang menyebabkan rumah tangga tersebut lebih memilih membeli ikan di pasar dibandingkan dengan tempat lain. Selain akses secara fisik, ada pula akses secara ekonomi yang dapat dilihat dari kemampuan rumah tangga untuk memperoleh (membeli) pangan yang dalam hal ini adalah pangan dari sumber ikani dengan harga yang terjangkau. Pada rumah tangga di Desa Watuurip sebagian besar mengkonsumsi ikan lele, mujair, gurame, nila bawal dan bandeng. Dimana ikan-ikan ini harganya bervariasi pada setiap musim.
95
4.4.3.4 Keamanan Pangan dari Sumber Ikani Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga perikanan tangkap skala kecil di Desa Watuurip tentang kualitas ikan tergolong relatif baik. Dari hasil wawancara yang dilakukan diperoleh bahwa sebagian besar rumah tangga tersebut menyebutkan ciri-ciri ikan yang memiliki kualitas yang baik. Kualitas ikan tersebut dilihat dari warna insang yang berwarna merah, kulit ikan, segar dan dilihat dari mata ikan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengetahuan yang baik tentang kualitas ikan juga akan mempengaruhi kualitas pangan dari sumber ikani yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut.
Gambar 9. Pengetahuan Responden Tentang Kualitas Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara 4.4.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Berdasarkan hasil olahan data primer, responden di Desa Cinanggela ini, secara umum tergolong ke dalam responden yang memiliki ketahanan pangan yang “rentan”. Dua Indikator ketahanan pangan yaitu Ketersediaan Pangan Ikani dan Budaya Makan Ikan termasuk ke kategori sedang, sedangkan dua lainnya yaitu Keamanan serta Stabilitas Pangan termasuk ke kategori rendah, seperti dapat dilihat pada tabel 76. Tabel 80. Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat Indikator Klasifikasi Skor Ketersediaan Sedang 5.37 Stabilitas Sedang 1.11 Keterjangkauan Rendah 6.91 Keamanan Rendah 1.66 Total Rendah 15.06 Sumber: Olahan Data Primer (2009)
96
4.4.4.1. Ketersediaan Pangan Ikani Tabel 81. Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara yang Ditempuh Untuk Memperoleh Ikan di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat No Cara mendapatkan Jumlah Responden (orang) Persentase ikan (%) 1 Membeli 30 100 2 Kolam sendiri 0 0 3 Tetangga/teman 0 0 Sumber: Olahan Data Primer (2009) Budaya makan ikan memang sudah ada, namun sayangnya jenis yang dikonsumsi hanyalah ikan asin, bahkan nampaknya ikan hasil budidaya dianggap barang mewah. Sehingga dapat dikatakan dari sisi Keterjangkauan Pangan Ikani, responden Desa Cinanggela ini terkategori Sedang. Dari hasil wawancara terhadap ke35 responden, ditemukan bahwa 100% responden mengkonsumsi ikan asin setiap harinya. Adapun ketika ditanyakan alasan mereka memilih ikan terutama ikan asin, jawaban mereka hampir seragam. 29 responden menyatakan mereka memilih mengkonsumsi ikan – terutama ikan asin – oleh karena murahnya harga ikan asin dan mudahnya ikan asin tersebut diperoleh (membeli di warung). Hanya 4 responden yang menyatakan mereka mengkonsumsi ikan karena gizinya, dan 2 orang responden menyatakan karena Rasanya Enak. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai pernahkah mereka mengkonsumsi ikan selain ikan asin, rata-rata menjawab ya, namun hanya pada saat-saat tertentu saja seperti Lebaran, dan hanya jika ada yang mengirim. Jadi dapat dikatakan bahwa ikan hasil budidaya, selain ikan asin, merupakan barang mewah bagi para responden. Sebagian besar responden (54%) mengaku bahwa tidak pernah terjadi kejadian dimana tidak tersedia ikan yang hendak dibeli, akan tetapi patut dicamkan bahwa jenis yang tersedia di warung hanyalah ikan asin. Oleh karena itu, dapat dikatakan ketersediaan pangan ikani di Desa Cinanggela ini termasuk kategori sedang.
4.4.4.2 Stabilitas Pangan Ikani Dari seluruh responden yang diwawancarai, 13,3 % responden menyatakan tidak makan ikan sama sekali dalam 1 minggu, 40 % menkonsumsi 2 kali dalam seminggu, 36,7 % mengkonsumsi 3 kali dalam seminggu, dan sisanya 10 % mengkonsumsi setiap
97
hari. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi ikan responden tidak terlalu rendah. Tabel 82. Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir Frekuensi Tidak sama sekali 2 kali seminggu 3 kali seminggu 7 kali seminggu Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah Responden (orang) 4 12 11 3 30
Persentase (%) 13,3 40,0 36,7 10,0 100
Dari hasil wawancara dengan responden, hanya 25 % responden yang mengaku bahwa jumlah ikan yang mereka konsumsi sudah mencukupi. Selanjutnya 54% responden mengaku bahwa pernah terjadi keadaan dimana warung tidak menyediakan ikan yang mereka ingin konsumsi. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan serta ketersediaan ikan tersebut, 77% responden beralih ke sayuran sebagai pengganti ikan, sedangkan sisanya memilih apa saja yang tersedia dan terjangkau untuk dibeli sebagai pengganti. Dari sisi Stabilitas Pangan Ikani, responden di Desa Cinanggela ini nampaknya Tergolong Rendah. Sebab walaupun supply ikan asin di warung-warung juga harga ikan asin yang menjadi pilihan utama para responden dapat dikatakan termasuk stabil, namun nampakya responden tidak terlalu memusingkan ketidak adaan ikan. Mereka hanya makan ikan apabila memang ikannya sedang ada saja.
4.4.4.3. Keterjangkauan Pangan Ikani Sebagian responden memperoleh ikan yang mereka beli dari warung terdekat sehingga mereka hanya berjalan kaki dari tempat tinggalnya. Tabel 83. Cara Yang Ditempuh untuk Mendapatkan Ikan No 1 2 3
Tempat mendapatkan ikan Kendaraan pribadi Kendaraan Umum Jalan Kaki Jumlah
Jumlah Responden (orang) 4 0 26 30
Persentase (%) 13,4 86,6 100
98
Mayoritas responden – sebanyak 86,6 % – membeli ikan dari warung terdekat, hanya 13,4 % yang dari responden yang membeli ikan di pasar. Hal ini disebabkan oleh karena faktor jauhnya lokasi pasar dari Desa Cinanggela ini. Tabel 84. Lokasi Responden Memperoleh Ikan Lokasi Membeli Ikan Warung Pasar Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah (orang) 26 4 30
Persentase (%) 86,6 13,4 100
4.4.4.4 Keamanan Pangan Ikani Dari sisi keamanan pangan ikani, Responden di desa Cinanggela ini dapat dikatakan rendah. Karena walaupun belum pernah ada kejadian keracunan akibat makan ikan, akan tetapi sayangnya pengetahuan masyarakat akan bagaimana ikan yang segar ternyata sangat rendah. Dari hasil wawancara, ternyata responden sebagian besar mengetahui ciri-ciri ikan yang berkualitas. Walaupun demikian, ketika ditanyakan ciri-ciri ikan berkualitas ternyata sebagian besar responden secara logis mampu menyebutkan ciri ikan segar, 13,3 % responden tidak bisa menjawab sama sekali ciri-ciri ikan yang berkualitas, 60% hanya sanggup memberikan jawaban satu ciri-ciri ikan segar, sedangkan sisanya 26,7% bisa memberikan setidaknya 2 ciri ikan yang masih berkualitas, namun tidak ada responden yang mampu memberikan ciri ikan segar secara lengkap. Hal tersebut menunjukkan betapa pengetahuan responden mengenai ikan segar yang masih sangat kurang. Tabel 85. Pengetahuan Responden Akan Ciri Ikan Segar Ciri-ciri Ikan Segar Tidak tahu sama sekali Tahu 1 ciri Tahu 2 ciri Jumlah Sumber: Olahan Data Primer (2009)
Jumlah Responden (orang) 4 18 8 30
Persentase (%) 13,3 60 26,7 100
99
4.5. Perumusan Model Sistem Usaha Perikanan yang Mendukung Ketahanan Pangan Berdasarkan hasil analisis ketahanan pangan dari ikan, dari 4 lokasi survey terdapat dua lokasi yang termasuk dalam kondisi rentan yaitu Desa Merakan dan Desa Cinanggela, Kabupaten Bandung, sedangkan 2 desa lain dikatakan dalam kategori cukup tahan. Dengan demikian, perhatian khusus diutamakan kepada pengembangan sistem usaha perikanan di daerah rawan pangan ikan, sehingga mampu mensuplai kebutuhan ikan seluruh penduduk di desa tersebut. Model sistem usaha perikanan di daerah rawan pangan dapat dirumuskan dua tipe model yaitu : 1. Tipe 1, yaitu untuk daerah yang kurang berpotensi untuk pengembangan usaha perikanan (seperti Desa Merakan di Kabupaten Lumajang dan Desa Cinanggela di Kabupaten Bandung), karena kurangnya pasok air atau kondisi lahan yang kurang sesuai. Untuk pengembangan di lokasi tipe ini pengembangan usaha perikanan harus disesuaikan dalam memilih komoditas ikan yang tahan terhadap kekurangan air seperti lele. Pada model tipe 1, untuk memenuhi kebutuhan ikannya, maka pengembangan usaha perikanan lebih diarahkan untuk memaksimalkan potensi yang dapat dikembangkan, juga memudahkan pasokan ikan dari daerah lain yang berdekatan dan sudah berkembang usaha perikanannya budidayanya. 2. Tipe 2, yaitu untuk daerah yang mempunyai potensi perikanan dan usaha perikanan budidaya sudah berkembang seperti (Desa Watuurip Kabupaten Banjarnegara dan Desa Salamredjo Kabupaten Kulonprogo). Pada model tipe 2 ini, usaha perikanan dikembangkan dengan menggunakan seluruh potensi baik secara intensifikasi dan ekstensifikasi yang mengarah pada tercapainya produksi untuk konsumsi ikan yang dibutuhkan.
100
4.5.1.
Tipe 1 Model Sistem Usaha Perikanan Untuk Pemenuhan Ketahanan Pangan Ikani Di Desa Yang Belum Berkembang Usaha Perikanannya (contoh:Desa Merakan, Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang Jawa Timur dan Desa Cinanggela, Kabupaten Bandung) Desa Merakan adalah salah satu daerah rawan pangan yang terdapat di
Kabupaten Lumajang. Kondisi Desa Merakan berada di daerah dataran yang cukup tinggi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan air di daerah tersebut, penduduk Desa Merakan harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu usaha perikanan kemungkinan besar hanya dapat dikembangkan untuk kegiatan subsistem usaha pembesaran, sedangkan subsistem pembenihan, pendederan belum dapat dikembangkan di lokasi tersebut. Sampai saat ini, belum banyak pembudidaya ikan belum di desa Merakan, namun demikian ke depan usaha pembesaran ikan lele dapat dikembangkan di desa tersebut dengan penggunaan teknologi untuk mensuplai air ke lokasi budidaya. Sementara itu, Desa Kalisemut yang berada sekitar 5 km dari lokasi dan berbatasan langsung dengan Desa Merakan mempunyai potensi cukup besar untuk pengembangan usaha perikanan yang mampu mensuplai kebutuhan ikan untuk Desa Merakan. Dengan demikian model pengembangan sistem usaha perikanan yang dibuat untuk kasus ini, yaitu dengan memadukan potensi kedua desa tersebut dalam memproduksi ikan untuk memenuhi jumlah ikan yang dibutuhkan terutama untuk desa di lokasi penelitian (Desa Merakan atau Desa Cinanggela). Dalam perumusan sebuah model dinamik, model utama yang dibangun adalah model kebutuhan pangan ikani. Dalam model ini menggambarkan keterkaitan antara jumlah penduduk dan kebutuhan ikan di Desa Merakan. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah tidak terjadi bencana alam atau wabah penyakit yang menyebabkan kematian masal, kematian penduduk disebabkan karena faktor alamiah, tingkat konsumsi ikan dipengaruhi oleh produksi ikan hasil budidaya ditambah ikan hasil penangkapan- penjualan ikan ke luar daerah – masuknya ikan dari wilayah lain- stok – bukan makanan dibagi jumlah penduduk di wilayah tersebut. Namun demikian karena masih banyaknya kesulitan pencarian data, penghitungan konsumsi ikan biasanya tidak memasukkan jumlah stok serta persediaan bukan makanan.
101
Dari data yang diperoleh, konsumsi ikan penduduk desa Merakan saat dilakukan survey masih dapat dikatakan rendah yaitu hanya sebanyak 18 kg/kapita/tahun, seharusnya konsumsi ikan idealnya adalah 25 kg/kapita/tahun (DKP). Sehingga ada selisih antara kebutuhan ikan yang harus dipenuhi dengan jumlah konsumsi ikan oleh masyarakat. Selisih tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 10. Selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan tingkat konsumsi ikan Untuk memenuhi kebutuhan ikan, maka dibutuhkan pasokan ikan yang berasal dari daerah lain. Intervensi terhadap model dinamis dilakukan secara struktural. Hal ini disebabkan karena untuk memenuhi kebutuhan ikan di Desa Merakan membutuhkan supply ikan dari daerah lain. Perubahan model yaitu dengan menambahkan subsistem produksi ikan. Pada subsistem produksi ikan, lup yang bekerja adalah lup positif antara produksi ikan dan gap supply-demand. Dimana semakin tinggi produksi ikan yang dihasilkan akan menghasilkan gap supply demand ikan yang semakin besar pula. Sebaliknya semakin tinggi gap supply demand ikan maka merupakan faktor pendorong produksi ikan., sehingga produksi ikan semakin besar. Gap supply demand ini pun dipengaruhi oleh kebutuhan ikan ideal. Semakin banyak atau semakin besar kebutuhan
102
ikan ideal, maka gap supply-demand ikan akan semakin besar pula. Intervensi model dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini.
Laju kelahiran
+
Luas lahan
Laju kematian +
luas lahan efektif
tambahan lahan yg dibutuhkan
+
+
-
B3 +
+
ekstensifikasi produks i
Produksi ikan
obatobatan
+ R1
Konsumsi ikan/kapita
gap supply demand R2 ikan
Penduduk +
+
+
+ biaya produksi
+ kebutuhan benih
+ +
+
Kebutuhan ikan yang harus dipenuhi
konsumsi ikan oleh masyarakat
+ +
+ + jumlah ikan tebar
jumlah pakan
+ jumlah tenaga kerja
Model Ketahanan Pangan
selisih antara kebutuhan dan konsumsi
-
Intensifikasi produksi
Gambar 11. Intervensi Model Untuk memenuhi kebutuhan ikan yang harus dipenuhi, maka produksi ikan harus didorong dengan dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi produksi ikan melalui variable jumlah tenaga kerja, obat-obatan, kebutuhan benih dan jumlah pakan. Sedangkan ekstesifikasi dapat dilakukan dengan cara perluasan lahan efektif. Pada ekstensifikasi terdapat faktor pembatas yang luas lahan. Karena tidak mungkin seluruh areal dijadikan lahan budidaya ikan.
Gambar 12. Peningkatan Konsumsi Ikan
103
Dalam model ini intensifikasi produksi ikan dapat mendorong produksi sebesar 80% sedangkan ekstensifikasi mendapatkan porsi sebesar 20%. Hasil simulasi yang diperoleh bila hal ini dilakukan, maka kebutuhan ikan ideal dapat terpenuhi dan tingkat konsumsi ikan menjadi 26,03 kg/kapita/tahun. Peningkatan tingkat konsumsi ikan dapat dilihat pada Gambar 17 dan Tabel 86 berikut ini.
Tabel 86. Tingkat Konsumsi Ikan setelah Intervensi Tahun
Kebutuhan ikan yang harus dipenuhi
2004
75.625,00
Jumlah ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat 78.740,75
2005
77.759,83
80.963,53
26,03
2006
79.954,92
83.249,06
26,03
2007
82.211,97
85.599,10
26,03
2008
84.532,74
88.015,49
26,03
2009
86.919,02
90.500,09
26,03
Tingkat Konsumsi Ikan 26,03
Berdasarkan hasil simulasi dalam model ini, maka untuk memenuhi kebutuhan ikan ideal ini, pada upaya intensifikasi maka kebutuhan benih yang diperlukan adalah sebanyak 500.000 ekor benih setiap bulannya. Sedangkan dari upaya ekstensifikasi diperlukan luas lahan sebesar 26.99 Ha. Dari hasil simulasi model dinamis yang dilakukan, bahwa penambahan luas areal budidaya sebanyak 26,99 Ha serta pemenuhan kebutuhan benih sebanyak 500000 ekor benih setiap bulannya.
Melihat kondisi di Desa Merakan, jumlah lahan dan
kebutuhan benih yang disediakan tersebut untuk sementara tidak dapat sepenuhnya dilakukan di Desa Merakan. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan sumberdaya yang tersedia diantaranya lahan yang ada masih termasuk lahan kering dan ketersediaan air yang dibutuhkan tidak akan mencukupi sehingga alternatif pengusahaannya hanya dapat dikembangkan usaha pembesaran dan itupun tidak dapat dipenuhi hanya dari Desa Watuurip. Gambar dibawah menunjukkan model pengembangan usaha perikanan ke depan di Desa Merakan dan keterkaitannya dengan Desa Kalisemut.
104
DESA MERAKAN Pensuplai input produksi; Pakan, Pupuk, Obat-obatan Intensifikasi tenaga kerja Benih ikan Pupuk Obat-obatan
Konsumen ikan yaitu: Penduduk Desa Merakan
Usaha Pembesaran di Desa Merakan Lembaga Pemasaran : Pasar desa, Pedagang Keliling
Eksteknsifikasi Lembaga Permodalan
Lembaga Permodalan
Usaha Pembenihan
Usaha Pendederan
Usaha Pembesaran
Pasar
Konsumen
Jasa Input
DESA KALISEMUT Gambar13. .Model Pengembangan Sistem Usaha Perikanan di Desa Merakan
105
Dari model yang dibuat dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Subsistem yang dapat dikembangkan untuk sementara di Desa Merakan dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya yang ada yaitu subsistem usaha pembesaran, subsistem jasa input produksi, subsistem permodalan serta subsistem pasar. Komoditas ikan yang dikembangkan di Desa Merakan sebaiknya ikan yang tahan minim air seperti ikan lele. Ikan lele juga cukup diminati masyarakat di Desa Merakan (dari data yang diperoleh hasil wawancara).
Namun demikian,
usaha perikanan yang akan dikembangkan untuk sementara belum mampu memproduksi seluruh ikan yang dibutuhkan untuk konsumsi penduduknya sehingga mencapai konsumsi ikan 25 kg/kapita /tahun. Untuk itu masih perlu supply ikan konsumsi dari lokasi lain. Desa Kalisemut dengan seluruh potensi yang dimiliki terutama sumberdaya air yang cukup baik, mampu mengembangkan usaha pembesaran di desanya sehingga selain dapat memenuhi kebutuhan ikan untuk desa sendiri juga untuk dijual ke Desa Merakan. 2.
Subsistem
pendederan
dan
pembesaran
untuk
sementara
tidak
dapat
dikembangkan di desa Merakan mengingat teknologi budidaya ikan belum dimiliki penduduk serta kondisi sumberdaya tidak cukup mendukung. Sehingga pengembangan usaha ini dapat dilakukan di Desa Kalisemut, disamping memenuhi kebutuhan benih di desanya juga kebutuhan benih di Desa Merakan. 3.
Sub sistem yang tak kalah pentingnya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan yaitu subsistem jasa input produksi terutama pakan, pupuk dan obatobatan. Pengembangan sub sistem jasa input akan membutuhkan pembentukan kelembagaan yang harus turut disiapkan.
4.
Subsistem Jasa permodalan, yang tidak kalah pentingnya akan dibangun. Jasa permodalan harus dibangun baik dukung pemerintah maupun dari pihak lain. Mengingat di Desa Merakan akan membutuhkan modal yang cukup besar dalam pengadaan investasi awal untuk memulai usaha perikanan.
5.
Subsistem pemasaran, harus dibangun untuk mendukung lancarnya penyampaian ikan kepada konsumen. Lembaga pemasaran yang sudah ada di desa seperti pedagang keliling, warung dan pasar desa sudah tersedia.
106
4.5.2
Tipe 2 Model Sistem Usaha Perikanan untuk Pemenuhan Ketahanan Pangan Ikani di Desa yang Sudah Berkembang Usaha Perikanannya ( Desa Watuurip, Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara dan Desa Salamrejo, Kabupaten Kulonprogo)
a. Model Pengembangan Sistim Usaha Perikanan di Desa Watuurip Desa Watuurip ini berada di ketinggian 732 mdpl, yang kondisi wilayahnya terdiri dari 60% daratan dan 40% berupa perbukitan. Dari hasil survey ketahanan pangan ikan, maka dari 30 responden yang diwawancara menunjukkan bahwa ditinjau dari sisi ketahanan pangan ikani dinilai cukup tahan.
Namun demikian, secara
keseluruhan masyarakat di Kabupaten Banjarnegara tingkat konsumsi ikannya masih rendah karena hanya 9 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan target pemerintah yaitu 26 kg/kapita/tahun Kabupaten Banjarnegara sudah dimulai sejak tahun 2003 dan diarahkan untuk pengembangan usaha pembenihan dan pendederan ikan air tawar. Hasilnya saat ini Banjarnegara telah berhasil mengembangkan usaha pembenihan dan pendederan ikan air tawar khususnya untuk jenis-jenis ikan seperti ikan gurame, lele, nila dan saat ini berkembang patin. Pemenuhan kebutuhan ikan bagi masyarakat khususnya di desa survey dapat dilakukan melalui pengembangan usaha pembesaran.
Selama ini usaha yang
berkembang di masyarakat tersebut hanya usaha pembenihan dan pembesaran saja. Benih yang dihasilkan kemudian dijual keluar daerah dan tersebar di Jawa Tengah serta daerah lainnya. Akibatnya, harga ikan konsumsi di lokasi tersebut juga termasuk cukup mahal dibanding wilayah lainnya.
Sebagai contoh harga ikan lele mencapai Rp
10000/kg, gurame Rp. 30000/kg. Konsumsi ikan masyarakat juga terbatas pada ikan pindang yang diproduksi dari Pekalongan yang harganya murah yaitu hanya Rp. 2000 per 2 ekor. Tentu saja harus diupayakan penyediaan ikan konsumsi masyarakat yang terjangkau dan cukup murah dengan kualitas yang baik pula. Salah satu solusinya yaitu dengan membangu sistem usaha pembesaran selain usaha pendederan dan pembenihan yang sudah berkembang.
Pengembangan sistem usaha pembesaran tersebut akan
menyebabkan konsekuensi adanya penyediaan jasa ikutan seperti input produksi serta permodalan untuk mendukung pengembangannnya.
107
Dari data yang diperoleh, di Desa Watuurip sudah tersedia Sistem Usaha P erikanan terutama usaha pendederan dan pembenihan.
Dari data konsumsi ikan
masyarakat serta data konsumsi ikan ideal, terdapat gap selisih. Selisih tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 14. Selisih antara kebutuhan ikan yang harus dipenuhi dengan konsumsi ikan oleh masyarakat Pada Gambar di atas, terlihat target ikan yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan ikani sesuai dengan tingkat konsumsi ikan yang ideal yaitu 25 kg/kapita/tahun. Rata-rata target ikan yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat konsumsi yang ideal, produksi ikan di Desa Watuurip harus mnyediakan pasokan ikan sebanyak 7.921,82 kg. Target ikan yang harus dipenuhi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 87. Target Ikan yang Harus Dipenuhi Tahun
Kebutuhan ikan yang harus dipenuhi
2.004 29.950,00 2.005 29.883,63 2.006 29.899,76 2.007 29.992,60 2.008 30.133,19 2.009 30.182,14 Sumber: Hasil Simulasi Model
Konsumsi ikan oleh masyarakat
Target ikan yg harus dipenuhi
22.043,20 21.994,35 22.006,22 22.074,56 22.178,03 22.214,05
7.906,80 7.889,28 7.893,54 7.918,05 7.955,16 7.968,09
108
Dari hasil simulasi yang dibuat, untuk memenuhi kebutuhan pangan ikani ini, maka Sistem Usaha Perikanan yang sudah tersedia harus dapat lebih dikembangkan. Model Pengembangan Sistem Usaha Perikanan hasil intervensi fungsional dari model dinamis, yaitu dengan mengubah nilai variabel. Upaya yang dilakukan adalah dengan cara ekstensifikasi lahan budidaya untuk usaha pembesaran. Bila pemanfaatan luas areal budidaya diperbesar menjadi 20%, maka pada tahun 2017, kebutuhan ikan ideal dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil simulasi, prediksi jumlah ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat sebanyak 31.981,69 kg sedangkan jumlah kebutuhan idealnya hanya 31.565,03 kg. Dengan penambahan luas areal, dapat meningkatkan jumlah produksi ikan, sehingga tingkat konsumsi ikan pun meningkat dan sesuai dengan tingkat konsumsi ikan yang dianjurkan (Tabel 86 dan Gambar 20 ). Tabel 88. Kebutuhan Ikan yang harus dipenuhi Tahun 2.004 2.005 2.006 2.007 2.008 2.009 2.010 2.011 2.012 2.013 2.014 2.015 2.016 2.017 2.018 2.019 2.020
kebutuhan_ikan_ideal 29.950,00 29.883,63 29.899,76 29.992,60 30.133,19 30.268,48 30.386,41 30.513,81 30.650,80 30.806,61 30.987,62 31.178,91 31.371,37 31.565,03 31.759,88 31.955,93 32.153,20
jlh_ikan_yg_dkons umsi_real konsum_real 15.334,40 12,80 15.730,74 13,16 16.361,15 13,68 17.251,75 14,38 18.718,74 15,53 20.134,59 16,63 20.820,77 17,13 21.396,28 17,53 22.227,96 18,13 23.203,54 18,83 24.207,53 19,53 27.100,71 21,73 31.158,05 24,83 31.981,69 25,33 32.433,19 25,53 32.889,05 25,73 33.349,29 25,93
Sumber: Hasil Simulasi Model Dari gambar dibawah dapat dilihat bahwa dengan pengembangan usaha perikanan secara ekstensifikasi pada tahun 2017 sudah tercapai ditunjukkan dengan pertemuan garis antara kebutuhan ikan yang dikonsumsi dan ikan yang harus disediakan.
109
Gambar 15. Hasil Intervensi Model Dinamis Dari hasil simulasi model dinamis yang dilakukan menunjukkan bahwa upaya peningkatan konsumsi ikan harus diikuti dengan pengembangan sistem usaha perikanan dari yang sudah ada saat ini menjadi sistem usaha yang baru yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan ikan ideal. Dari hasil simulasi diperlukan ekstensifikasi luas areal lahan yang diprioritaskan untuk usaha pembesaran seluas 8,86 Ha dan jumlah benih ikan yang dibutuhkan sebanyak 886.780 ekor per bulan.
Hal ini masih
memungkinkan mengingat lahan potensial budidaya baru sekitar 8% dari 44,339 Ha yang termanfaatkan. Dari gambar dibawah dapat dilihat kondisi sistem usaha perikanan yang ada saat ini serta model pengembangannya ke depan terkait dengan pemenuhan konsumsi ikan masyarakat. Kondisi usaha perikanan saat ini: Jasa Input
Usaha Pembenihan
Usaha Pendederan
Pasar Ikan Desa Survey Kabupaten lain
Usaha Pembesaran
Pasar
Konsumen
Gambar 16. Kondisi Sistem Usaha Perikanan di Desa Watuurip
110
Gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Usaha perikanan yang berkembang saat ini di Kabupaten Banjarnegara yaitu usaha pendederan dan pembenihan ikan lele, gurame dan patin.
Sedangkan usaha
pembesaran walaupun sudah ada tapi belum banyak diusahakan. 2. Hasil produksi benih ikan kemudian di jual melalui pasar ikan yang ada dan di distribudsikan ke wilayah di Jawa Tengah serta wilayah lainnya untuk digunakan dalam usaha pembesaran.
Model pengembangan Sistem Usaha Perikanan untuk mendukung ketahanan pangan ikan di Desa Watuurip.
Jasa input
Usaha Pembenihan
Usaha Pendederan
Usaha Pembesaran
Pasar Lembaga Permodalan
Konsumen
Gambar 17. Model Pengembangan SUP di Desa Watuurip
Gambar diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sistem usaha perikanan dapat dibangun secara terpadu di Desa Watuurip yaitu mulai dari usaha pembenihan dan pendederan yang sebelumnya sudah ada. Juga usaha pembesaran melalui penggunaan lahan yang masih berpotensi untuk usaha
111
pembesaran ataupun menggunakan kolam-kolam terpal yang sudah dikembangkan di desa tersebut. 2. Subsistem usaha pembesaran dapat dilakukan melalui usaha ekstensifikasi lahan yang masih tersedia cukup banyak, karena saat ini potensi lahan yang digunakan masih 1% dari luas lahan total. Pemilihan komoditas yang dusahakan sebaiknya lebih diarahkan pada komoditas ikan lele, karena disamping ketersediaan benih yang cukup banyak di lokasi, juga dari hasil waancara diketahui bahwa jenis ikan yang diminati masyarakat yaitu jenis ikan lele. 3. Subsistem usaha pendederan serta pembenihan yang sudah cukup benyak dan berkembang di Banjarnegara harus terus ditingkatkan kemampuan produksinya. Hal ini disebabkan produksi yang dihasilkan tersebut selain untuk mensuplay kebutuhan permintaan benih ikan dari daerah lain juga untuk mencukupi kebutuhan usaha pembesaran dilokasi. 4. Subsisistem input produksi, terutama pakan harus disediakan mencukup seuruh kebutuhan untuk usaha pembesaran yangg akan dikembangkan.
Hal ini dapat
dilakukan dengan melancarakan distribusi serta membangun kelembagaan pensuplai input yang memadai. 5. Subsistem permodalan juga perlu dibangun untuk membantu pengembangan usaha pembesaran, karena usaha ini akan membutuhkan modal yang cukup besar terutama untuk penyediaan pakan. Kelembagaan permodalan harus dibentuk dengan tujuan tidak hanya mencari keuntungan tapi juga memberi kemudahan bagi pelaku usaha dalam meminjam modal usaha. 6. Subsistem pemasaran menjadi sangat penting baik melalui pembentukan lembaga pemasaran juga dalam melancarkan distribusi ikan dari produsen ke konsumen. Lembaga pemasaran yang sudah ada sebelumnya yang hanya bergerak dalam jual beli benih, ke depan juga lebih diarahkan pada ikan konsumsi. Sarana berupa pasar yang ada lebih difungsikan kembali untuk menampung ikan konsumsi dari hasil produksi ikan yang dibudidayakan.
112
b. Pengembangan Model Sistem Usaha Perikanan di Desa Salamrejo. Konsumsi ikan di Desa Salamrejo masih rendah yaitu 17 kg/kapita/tahun masih sangat rendah dibandingkan dengan target pemerintah 25 kg/kapita/tahun. Pemenuhan tingkat konsumsi ikan ideal memberikan konsekuensi terhadap penyediaan ikan konsumsi yang harus disediakan. Melalui pengembangan sistem usaha perikanan yang di bangun, maka produksi ikan yang akan dicapai dapat terlaksanan. Dari hasil simulasi model powersim diketahui bahwa gap kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan real masyarakat dapat dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 18. Selisih antara kebutuhan ikan yang harus dipenuhi dengan konsumsi ikan oleh masyarakat
Pada Gambar 18. terlihat target ikan yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan ikani sesuai dengan tingkat konsumsi ikan yang ideal yaitu 25 kg/kapita/tahun. Rata-rata target ikan yang harus dipenuhi untuk mencapai tingkat konsumsi yang ideal, maka Desa Watuurip harus menambah pasokan ikan sebanyak 7.921,82 kg. Target ikan yang harus dipenuhi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dari hasil simulasi lebih lanjut dikethui bahwa pada tahun 2011 konsumsi ikan oleh masyarakat telah melebihi kebutuhan ikan yang harus dipernuhi. Tingkat konsumsi ikan pun meningkat dari 17 kg/kapita/tahun menjadi 25kg/kapita/tahun. Dengan
113
memperluas areal budidaya, maka benih yang dibutuhkan adalah 702.500 ekor benih/bulan. Tabel 89. Kebutuhan Ikan yang harus dipenuhi Tahun
Kebutuhan ikan yg harus dipenuhi
2.004 2.005 2.006 2.007 2.008 2.009 2.010
143.850,00 144.225,20 144.041,20 143.624,80 143.256,10 142.980,70 143.029,40 143.634,60 144.897,10 146.976,80 150.199,80 154.140,40
2.011 2.012 2.013 2.014 2.015
Konsumsi ikan oleh masyarakat 97.818,00 98.073,15 97.947,99 97.664,89 97.414,11 97.226,87 97.259,98 143.807,00 145.071,00 147.153,20 145.393,40 149.207,90
Sumber: Hasil Simulasi Model Dilihat pada gambar di atas, kebutuhan ikan yang dikonsumsi melebih ikan yang disediakan. Kebutuhan ikan ini mengikuti pola kecenderungan pertumbuhan penduduk. Di Desa Salamredjo terjadi kecenderungan penurunan jumlah penduduk mulai dari tahun 2005 sampai dengan 2009. Berdasarkan hasil simulasi, penduduk mengalami pertumbuhan setelah tahun 2010.
Gambar 19. Hasil Intervensi Model
114
Untuk memenuhi kebutuhan pangan ikani ini, maka usaha perikanan yang sudah tersedia harus dapat lebih dikembangkan. Pengembangan Sistem Usaha Perikanan dalam model ini maka dilakukan intervensi fungsional, yaitu dengan mengubah nilai variabel. Upaya yang dilakukan untuk mencapai jumlah produksi pada tahun 2011 adalah dengan cara ekstensifikasi lahan budidaya. Luas lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan budidaya masih sangat sedikit yaitu 0,8 Ha. Berdasarkan hasil simulasi apabila areal budidaya diperluas sebesar 20% dari total budidaya atau sebesar 84,3 Ha, maka konsumsi ikan oleh masyarakat melebihi kebutuhan ikan yang harus dipenuhi. Tingkat konsumsi ikan pun meningkat dari 17 kg/kapita/tahun menjadi 25kg/kapita/tahun. Namun demikian apabila dilihat dari potensi desa luas lahan potensial yang tersedia untuk budidaya hanya 8,19 Ha, sehingga alternatifnya dapat merubah fungsi lahan dari sawah menjadi kolam ikan atau dengan teknologi budidaya minapadi. Alternatif lain kekurangan ikan konsumsi dapat dipenuhi dengan mendatangkan ikan dari desa lain yang punya potensi cukup besar. Jumlah benih yang dibutuhkan adalah 702.500 ekor benih/bulan. Kondisi saat ini , hanya satu orang pembenih yang sudah aktif tidak memungkinkan menghasilkan benih sejumlah itu, sehingga akan bergantung pada produsen benih dari lokasi lain. Keragaan usaha perikanan khususnya budidaya ikan lele secara intensif di Desa Salamrejo sudah berlangsung selama satu tahun. Hasilnya saat ini Desa Salamrejo termasuk sebagai lokasi penghasil ikan lele di DI Jogjakarta. Usaha budidaya lele dilakukan menggunakan kolam-kolam terpal yang ditempatkan baik di lahan pekarangan maupun di kebun. Budidaya yang banyak dilakukan saat ini yaitu usaha pembesaran ikan lele untuk konsumsi. Namun demikian saat ini juga sudah mulai ada seorang yang berusaha untuk membenihkan dan mendederakan lele sehingga benihnya dijual ke pembudidaya yang ada di lokasi desa tersebut. Model pengembangan usaha perikanan di Desa Salamrejo sebagaimana yang dilakukan di Desa Watuurip harus dikembangkan mengarah pada usaha perikanan terpadu mulai dari usaha pembenihan, pendederan, pembesaran, pemasaran, jasa input dan permodalan.
115
DESA SALAMREDJO
Pensuplai input produksi; Pakan, Pupuk, Obat-obatan Intensifikasi tenaga kerja Benih ikan Pupuk Obat-obatan
Konsumen ikan yaitu: Penduduk Desa Merakan
Usaha Pembesaran di Desa Merakan Lembaga Pemasaran : Pasar desa, Pedagang Keliling
Eksteknsifikasi Lembaga Permodalan
Lembaga Permodalan
Usaha Pembenihan
Usaha Pendederan
Usaha Pembesaran
Pasar
Konsumen
Jasa Input
DESA SENTOLO Gambar 20. Model Pengembangan SUP di Desa Salamrejo
116
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1. KESIMPULAN 1. Kondisi sistem usaha perikanan di lokasi survey dapat digolongkan menjadi dua yaitu desa yang belum berkembang usaha perikanannya seperti di Desa Merakan dan Desa Cinanggela. Kedua desa yang sudah berkembang usaha perikanannya yaitu Desa Watuurip dan Desa Salamrejo. Usaha budidaya ikan yang berkembang di Desa Watuurip yaitu usaha pembenihan dan pendederan, sedangkan di Desa Salamrejo usaha pembesaran. 2. Kondisi ketahanan pangan di masing-masing lokasi desa rawan pangan menunjukkan bahwa untuk Desa Merakan dan Desa Cinanggela termasuk dalam kategori rentan pangan ikani. Hal yang paling mempengaruhi kondisi tersebut yaitu faktor stabilitas pasokan disebabkan oleh supply ikan ke wilayah tersebut sangat tergantung kepada pasokan dari luar sehingga waktunya tidak dapat ditentukan. Untuk desa Cinanggela bahkan selama ini supply ikan yang banyak tersedia di warung hanya jenis ikan asin yang kandungan gizinya juga tidak lebih baik. Untuk dua lokasi dsa lainnya yaitu Desa Watuurip dan Desa Salamrejo kondisi ketahanan pangan ikani berada pada kondisi cukup tahan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing faktor penentu dalam indikator ketahanan pangan cukup terpenuhi. Stabilitas pasokan juga cukup terjaga karena mereka mempunyai usaha budidaya ikan di rumahnya, sehingga konsumsi ikan keluarga diperoleh dari hasil budidayanya. 3. Dari simulasi model dinamis yang dibuat, diperoleh bahwa untuk mencukupi supply ikan di desa tersebut terutama dilokasi yang rawan pangan dan tidak terdapat usaha budidaya seperti di Desa Merakan akan diperoleh melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha budidaya. Upaya ini dilakukan dengan cara intervensi secara struktural, yaitu dengan menambahkan subsistem pada model yang sudah dibangun. Berdasarkan simulasi, dengan adanya intervensi ini maka gap atau selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan di lokasi survei dapat diperkecil. Sedangkan di lokasi yang rawan pangan tetapi terdapat usaha budidaya seperti Desa Watuurip, intervensi yang dilakukan adalah intervensi fungsional, yaitu dengan
mengubah nilai dalam variabel. Dalam hal ini adalah luas lahan. Karena di Desa Watuurip, lahan budidaya belum dimanfaatkan secara optimal. 4. Dari model sistem usaha perikanan yang dibuat dan disesuaikan dengan hasil simulasi model dinamis maka untuk pengembangan sistem usaha perikanan ke depan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan ikan ideal bagi masyarakat dilokasi survey. Model pengembangan usaha perikanan terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 untuk desa yang tidak mampu membangun sepenuhnya seluruh subsistem usaha budidaya di lokasi masih ada keterkaitan dengan sistem usaha perikanan yang dikembangkan di desa terdekat yang paling potensial. Untuk tipe ini subsistem yang paling memungkinkan dibangun yaitu subsistem usaha pembesaran. Tipe 2 yaitu pengembangan seluruh subsitem mulai dari subsistem pembenihan, pendederan, pembesaran, jasa input, kelembagaan permodalan, kelembagaan pasar di desa tersebut sehingga dapat memproduksi ikan konsumsi untuk kebutuhan masyarakat di desanya.
5.2. IMPLIKASI KEBIJAKAN Pengembangan sistem usaha perikanan, khususnya usaha budidaya ikan yang dikembangkan dilokasi-lokasi rawan pangan sangat efekltif untuk mengatasi kondisi rawan pangan terutama untuk pangan hewani yaitu ikan. Pemenuhan kebutuhan protein ikan yang murah dan mudah diperoleh karena dengan penyediaan ikan tersebut di lokasi rumahnya.
Tentunya pengembangan usaha budidaya tersebut harus dilihat kondisi
potensi wilayah tersebut dalam pengembangannnya. Harus dibedakan perlakuan program pengembangan usaha budidaya tersebut bagi setiap lokasi yang berbeda. Tapi pada prinsipnya usaha budidaya tersebut harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah terutama terkait dengan permodalan dan program terkait dengan pengentasan kemiskinan di wilayah rawan pangan. Di samping itu harus diberikan bimbingan dan pelatihan karena sebagian besar penduduk di lokasirawan pangan tersebut masih minim informasi usaha budidaya. Pengembangan usaha budidaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk usaha intensifikasi diperlukan peranan diseminasi teknologi ke wilayah rawan pangan, karena potensi peningkatan produksi untuk program ini akan dipenuhi melalui pemberian teknologi yang lebih maju.
Untuk program
118
ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan yang belum digunakan untuk usaha budidaya ikan, atau lahan sawah dengan budidaya tumpangsari antara padi dan ikan.
119
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui tulisan ini , saya selaku penanggungjawab kegiatan penelitian Model Pengembangan Usaha Perikanan Yang Mendukung Ketahanan Pangan yang telah dilaksanakan pada tahun 2009 menyadari sepenuhnya bahwa kegiatan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan seluruh tim serta rekan kerja yaitu pihak pemerintah daerah di lokasi. Untuk itu penghargaan serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan pada: 1. Bpk. Dr. Budi Suosilo, Dosen Universitas Indonesia 2. Bpk. Taryono, MSi, Dosen Institut Pertanian Bogor 3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan di Lokasi Survey 4. Para Narasumber 5. Para Responden yang ada di lokasi survey 6. serta teman-teman tim Iptekmas Sosek yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Semoga seluruh kebaikan bapak/Ibu yang diberikan untuk keberhasilan kegiatan ini diberikan balasan yang lebih baik oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Jakarta,
Desember 2009
Tim
120
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000 Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization. Ariningsih, E. Dan Handewi P.S. Rachman. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah tangga Rawan Pangan. 2009. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdf files/ART 6-3c.pdf. 17 Juni 2009. Aswatini, Romdiati, H., Setiawan, Bayu., Latifa, Ade., Fitranita., Noveria, Mita. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI). Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa. Potensi dan perkembangan Desa/Kelurahan Tahun 2007-2008. Lumajang Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa. Potensi dan perkembangan Desa/Kelurahan Tahun 2007-2008. Bandung Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa. Potensi dan perkembangan Desa/Kelurahan Tahun 2007-2008. Sentolo Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa. Potensi dan perkembangan Desa/Kelurahan Tahun 2007-2008. Kulonprogo Boediono (1982). Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 1: Ekonomi Mikro, BPFE, Yogyakarta. BPS dan BAPPENAS. 2000. Proyeksi Penduduk 2000-2025. BAPPENAS. Jakarta. BPS. 2006. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia per Propinsi 2005. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengolahan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Fakultas Perianan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Miejer and M. Ahmed.2003. Fish to 2020, Supply and Demand in Changing Global Market. International Food Policy Research. Washington. Dewan Ketahanan Pangan. 2007. Peta Kerawanan Pangan Tingkat desa Kabupaten Lumajang. Jawa Timur. Dewan Ketahanan Pangan. 2007. Peta Kerawanan Pangan Tingkat desa Kabupaten Kulonptogo. DIY
Dewan Ketahanan Pangan. 2007. Peta Kerawanan Pangan Tingkat desa Kabupaten Bandung. Jawa Barat. Dewan Ketahanan Pangan. 2007. Peta Kerawanan Pangan Tingkat desa Kabupaten banjarnegara. Jawa Tengah. Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bandung. Jawa Barat Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bandung. Jawa Barat Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kulonpogo. DIY Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kulonprogo. DIY Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lumajang. Jawa Timur Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lumajang. Jawa Timur Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjarnegara. Jawa Tengah Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banjarnegara. Jawa Tengah Ector P. 2003. Magnet I Seafood Processing. Infofish International 1: 56-74. Fauzi, Akhmad (2006). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Haryadi P, Syah D dan Andawulan N. 2003. Mewaspadai Jebakan Pangan di Indonesia: Rangkuman hasil diskusi panel Kebijakan Pangan untuk menangkal Jebakan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan IPB. Bogor. Komite Ketahanan Pangan. 2008. Direktori Pangan Indonesia 2007. Komite Ketahanan Pangan. Jakarta. Komite Ketahanan Pangan. 2008. Direktori Pangan Indonesia Berdasar Propinsi di Indonesia 2007. Komite Ketahanan Pangan. Jakarta. Muhammadi, Erman Aminullah dan Budhi Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: Penerbit UMJ Press.\
122
Saragih, B. 2001. Agribisnis-Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Petanian. PT. Loji Grafika Griya Sarana.
123
LAMPIRAN Lampiran 1. Stock flow Diagram atau Diagram Alir Model Ketahanan Penduduk
114
Lampiran 2. Equation Model Ketahanan Pangan init flow doc unit
Penduduk = 100000 Penduduk = +dt*laju_kelahiran -dt*laju_kematian Penduduk = Jumlah penduduk desa x kec. y pada tahun t Penduduk = jiwa
init flow
Produksi_Ikan = 100 Produksi_Ikan = -dt*laju_pengurangan +dt*Laju_penambahan_produksi doc Produksi_Ikan = jumah ikan yang dihasilkan oleh suatu desa dalam luas areal tertentu unit Produksi_Ikan = ton aux laju_kelahiran = faktor_pengali_kelahiran*populasi_perempuan*Angka_kelahiran doc laju_kelahiran = Banyaknya penduduk desa yang lahir setiap tahunnya unit laju_kelahiran = jiwa/tahun aux doc unit
laju_kematian = faktor_penekan_kematian*Penduduk*Angka_kematian laju_kematian = Banyaknya penduduk desa x yang meninggal setiap tahunnya laju_kematian = jiwa/tahun
aux Laju_penambahan_produksi = produktivitas_lahan*Luas_lahan_efektif*faktor_pengali_prod doc Laju_penambahan_produksi = jumlah produksi yang dihasilkan pada setiap tahunnya unit Laju_penambahan_produksi = ton/thn aux laju_pengurangan = konsumsi_produksi_lokal doc laju_pengurangan = jumlah produksi yang dimanfaatkan pada setiap tahunnya aux angka_pemenuhan_prot_ikan = AKP*porsi_ikan_thd_total_prot doc angka_pemenuhan_prot_ikan = kontribusi ikan pada pemenuhan protein hewani (persen) unit angka_pemenuhan_prot_ikan = tak berdimensi aux faktor_penekan_kematian = gap_target_existing_konsumsi doc faktor_penekan_kematian = derajat peningkatan kesehatan melalui mengurangi probabilitas penyakit degeratif unit faktor_penekan_kematian = tak berdimensi aux faktor_pengali_kelahiran = GRAPH(gap_target_existing_konsumsi,0,0.1,[0.96,0.61,0.28,0.14,0.09,0.07,0.07,0.07,0. 07,0.07,0.06"Min:0;Max:1;Zoom"]) aux faktor_pengali_prod = gap_supply_demand*fraksi_produksi doc faktor_pengali_prod = selisih supply demand yang mempengaruhi produksi
115
unit
faktor_pengali_prod = ton
aux doc unit
gap_supply_demand = Produksi_Ikan-kebutuhan_ikan_ideal gap_supply_demand = perbedaan jumlah antara supply dan demand ikan gap_supply_demand = ton
aux gap_target_existing_konsumsi = kebutuhan_ikan_idealjlh_ikan_yg_dkonsumsi_real doc gap_target_existing_konsumsi = perbedaan jumlah antara konsumsi real dan konsumsi ideal unit gap_target_existing_konsumsi = ton aux doc unit
jlh_ikan_yg_dkonsumsi_real = Penduduk*konsumsi_ikan_per_kapita_real jlh_ikan_yg_dkonsumsi_real = jumlah ikan yang dikonsumsi desa X jlh_ikan_yg_dkonsumsi_real = ton
aux doc unit
kebutuhan_ikan_ideal = target_konsumsi_per_kapita_ideal*Penduduk kebutuhan_ikan_ideal = jumlah ikan yang harus disediakan untuk Desa X kebutuhan_ikan_ideal = ton
aux konsumsi_ikan_per_kapita_real = konsumsi_produksi_lokal*expenditure_per_kapita*elastisitas_harga_barang_substitusi*h arga_ikan doc konsumsi_ikan_per_kapita_real = jumlah ikan yang dikonsumsi per kapita secara real unit konsumsi_ikan_per_kapita_real = ton/kapita aux konsumsi_produksi_lokal = Produksi_Ikan*porsi_konsumsi_prod_lokal doc konsumsi_produksi_lokal = jumlah ikan yang dikonsumsi yang berasa dari produksi Desa x unit konsumsi_produksi_lokal = ton aux doc unit
Luas_lahan_efektif = konstanta_lahan*luas_potensi Luas_lahan_efektif = Luas lahan perikanan di Desa x Luas_lahan_efektif = Ha
aux doc unit
populasi_perempuan = Penduduk*rasio_perempuan populasi_perempuan = banyaknya penduduk wanita di Desa X populasi_perempuan = jiwa
aux produktivitas_lahan = (jml_tenaga_kerja^0.2)*(modal^0.5)*(obat2an^0.4)*(pupuk^0.4)*(jml_pakan^0.2)*(pada t_tebar^0.2) doc produktivitas_lahan = Jumlah produksi ikan yang dihasilkan per satuan lahan unit produktivitas_lahan = ton/ha
116
aux target_konsumsi_per_kapita_ideal = angka_pemenuhan_prot_ikan*BDD*kandungan_protein doc target_konsumsi_per_kapita_ideal = jumlah target ikan yang konsumsi unit target_konsumsi_per_kapita_ideal = ton/kapita const AKP = 51 doc AKP = Jumlah gram protein yang dibutuhkan oleh satu individu pada kondisi ideal unit AKP = gram/kapita/hari const Angka_kelahiran = 4% doc Angka_kelahiran = angka kelahiran di Desa X pada tahun t unit Angka_kelahiran = per tahun const Angka_kematian = 1.15% doc Angka_kematian = angka kematian di Desa X pada tahun t unit Angka_kematian = per tahun const BDD = 70% doc BDD = bobot yang dapat dimakan unit BDD = tak berdimensi const elastisitas_harga_barang_substitusi = 0.99 doc elastisitas_harga_barang_substitusi = elastisitas harga barang substitusi unit elastisitas_harga_barang_substitusi = tak berdimensi const expenditure_per_kapita = 50000 doc expenditure_per_kapita = jumlah pengeluaran per kapita per bulan unit expenditure_per_kapita = Rupiah const fraksi_produksi = 30% doc fraksi_produksi = persentasi selisih supply demand yang akan digunakan untuk meningkatkan produksi unit fraksi_produksi = tidak berdimensi const harga_ikan = 100000 doc harga_ikan = harga rata-rata ikan per ton di desa X unit harga_ikan = Rupiah const jml_pakan = 100 doc jml_pakan = jumlah pakan yang dibutuhkan per satuan lahan unit jml_pakan = kg pakan const jml_tenaga_kerja = 5 doc jml_tenaga_kerja = jumalah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam satuan lahan unit jml_tenaga_kerja = jiwa
117
const kandungan_protein = 17% doc kandungan_protein = jumlah persentasi protein ikan persatuan berat ikan unit kandungan_protein = tak berdimensi const konstanta_lahan = 50% doc konstanta_lahan = persentasi lahan yang digunakan untuk budidaya perikanan unit konstanta_lahan = tak berdimensi const luas_potensi = 100 doc luas_potensi = luas lahan yang potensial di desa x dapat digunakan untuk usaha budidaya perikanan unit luas_potensi = Ha const modal = 2000 doc modal = modal yg digunakan per satuan lahan const obat2an = 2 doc obat2an = oabat-obatan yg digunakan per satuan lahan const padat_tebar = 10 doc padat_tebar = jumlah ikan per satu ha const porsi_ikan_thd_total_prot = 1/3 doc porsi_ikan_thd_total_prot = persentasi protein ikan yang akan disumbangkan terhadap total kebuutuhan protein unit porsi_ikan_thd_total_prot = tak berdimensi const porsi_konsumsi_prod_lokal = 50% doc porsi_konsumsi_prod_lokal = persentasi konsumsi ikan oleh masyarakat lokal const pupuk = 100 doc pupuk = pupuk yang digunakan per satuan lahan const rasio_perempuan = 0.49 doc rasio_perempuan = rasio sex Desa X pada tahun t unit rasio_perempuan = tidak berdimensi
118
Lampiran 3. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Lele Di Kolam Terpal Selama Satu Siklus Usaha (3 bulan) dengan luasan kolam 15 m2 di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo Uraian
Jumlah
Satuan
Harga Satuan
383000
A. Investasi 1. Jumlah Kolam 2. Luasan Kolam
Jumlah Total
1 3x5
m2
3. Bangunan
1
158000
4. Peralatan Perikanan
1 Pompa
225000 715000
B. Biaya Operasional 1. Benih 2. Pakan
1000 ekor 3 karung
100
100000
200000
600000
5. Listrik
15000
. Penyusutan
10000
C. Biaya Tetap
10000
Penyusutan
10000
D. Total Biaya
725000
. Produksi
90 kgx Rp. 10000/kg
900000
Keuntungan
900000-725000
175000
119
Lampiran 4. Analisa Usaha Pembenihan Ikan Gurame Selama 45 hari di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegar Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan Jumlah Total A. Investasi
8.910.000
1. Jumlah Kolam
2
petak
3.000.000
6.000.000
2. Luasan per kolam
4x9
meter
3. Bangunan
1
buah
1.500.000
1.500.000
4. Jumlah Induk Ikan
1
paket
1.100.000
1.100.000
5. Peralatan Perikanan
1
set
1. Benih
6000
ekor
100
600.000
2. Pakan
4
kantong
110.000
440.000
3. Pupuk
1
kantong
10.000
10.000
4. Tenaga Kerja
1
orang
20.000
60.000
5. Listrik
-
-
-
-
6. BBM
10
liter
4.500
45.000
7. Obat-obatan
2
botol
17.000
34.000
310.000
B. Biaya Operasional
Total Biaya Operasional
1.189.000
C. Biaya Tetap
60.000
Penyusutan
60.000
D. Total Biaya
1.249.000
E. Produksi
5400
ekor
400
F. Hasil Penjualan
5400
ekor
400
G. Keuntungan
2160000-1249000
2.160.000 911.000
120
Lampiran 5 Foto-foto Kegiatan Usaha Budidaya Ikan di Lokasi
121
122
123
124