ABSTRAK Penelitian Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam Melindungi Warga Negara Indonesia yang Dideportasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi; mengetahui bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi; dan menginventarisir serta menganalisis kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, dokumentasi, observasi, dan wawancara dengan para informan yang berasal dari Pemerintah Daerah, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Rumah Sakit, BP3TKI, Tenaga Kerja Indonesia, serta lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian terhadap masalah Tenaga Kerja Indonesia. Lokus Penelitian ini dilaksanakan di empat wilayah penelitian, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah dilakukan, dapat diketahui beberapa hal, pertama: Pola penanganan WNI yang dideportasi oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan adalah bersifat koordinatif yakni melibatkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menangani para deportan. Namun dalam pelaksanaannya belum memperlihatkan kinerja yang maksimal karena kurangnya koordinasi di antara SKPD dan keterbatasan peranan SKPD dalam menangani para deportan. Kedua: Semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) di empat wilayah penelitian, sudah membentuk ketentuan (keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota) yang menjadi dasar hukum bagi tim Satgas dalam berkoordinasi menangani WNI yang dideportasi. Bentuk perlindungan terhadap hak-hak para deportan dalam proses deportasi, tidak ditegaskan dalam ketentuan tersebut namun hak-hak deportan terlindungi dari kewajiban-kewajiban atau Tugas Pokok dan Fungsi setiap SKPD di dalam tim Satgas yang menangani WNI yang dideportasi. Ketiga: kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses penanganan WNI yang dideportasi adalah sebagian besar WNI atau TKI yang dideportasi adalah bukan merupakan warga di pemerintah daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam alokasi anggaran melalui APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi warga daerah masing-masing. Beberapa SKPD mengungkapkan bahwa biaya operasional penanganan para deportan belum dapat didukung oleh anggaran setiap SKPD yang melekat pada Tupoksinya. Selain itu pemerintah daerah asal deportan tidak semua memiliki kepedulian terhadap warga daerahnya untuk memberi bantuan. Dalam hal pemberian fasilitas, sampai saat ini pemerintah daerah belum menyediakan tempat penampungan khusus bagi para deportan. Sedangkan dari sisi deportan, banyak yang ingin kembali bekerja di Malaysia, namun tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sebagian besar paspor diambil oleh aparat Malaysia. Kondisi tersebut sering dimanfaatkan pihak pihak tertentu untuk mengirim mereka kembali ke Malaysia dengan cara ilegal.
Kata Kunci: Peran Pemerintah Daerah, Wilayah Perbatasan, Deportasi
KATA SAMBUTAN
Ketidaksiapan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi pemulangan Warga Negara Indonesia yang dideportasi menimbulkan dampak terhadap HAM para deportan. Adanya akumulasi deportan yang masif di beberapa titik transit, berpotensi terjadi penelantaran dan kerawanan sosial serta pelanggaran HAM, apabila tidak dikelola dengan manajemen penanganan antisipasi deportasi yang komprehensif. Menghadapi rencana pemulangan WNI oleh negara tetangga, maka beberapa program jangka pendek harus dilakukan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah debarkasi (daerah kedatangan atau daerah penerima) maupun pemerintah daerah asal harus berkoordinasi, membiayai, dan tidak saling melempar tanggung jawab dalam pemulangan WNI yang dideportasi. Antisipasi yang baik dari pemerintah pusat maupun daerah dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang dideportasi, diharapkan dapat benarbenar melindungi hak-hak warga negara dan juga sebagai upaya pencegahan agar warga negara yang menjadi TKI tidak terjerumus kembali pada masalah yang sama. Mengingat pentingnya perlindungan HAM terhadap WNI yang dideportasi, maka Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan Penelitian Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam Melindungi Warga Negara Indonesia yang Dideportasi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pola penanganan dan bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan pemerintah daerah khususnya di wilayah perbatasan dalam melindungi warga negara Indonesia yang dideportasi serta untuk menginventarisir kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan. Akhirnya kami mengucapkan selamat kepada tim peneliti yang sudah menyelesaikan penelitian ini dan kepada pihak-pihak yang telah bersedia menjadi narasumber maupun yang telah membantu tim peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya kepada pemerintah daerah di perbatasan yang hendak merumuskan kebijakan dalam memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap WNI yang dideportasi. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM,
Prof. DR. Ramly Hutabarat, SH, M.Hum NIP 19530315 198503 1 001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya laporan penelitian ini, dimana pada tahun 2010 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan penelitian tentang Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam Melindungi Warga Negara Indonesia yang Dideportasi. Laporan akhir penelitian ini memuat pendahuluan, studi pustaka, hasil penelitian yang dilakukan di empat provinsi dengan melakukan wawancara mendalam dengan berbagai pihak terkait. Hasil wawancara selanjutnya dianalisis untuk menjawab perumusan masalah yang dituangkan dalam bab pendahuluan serta pada akhir laporan ini. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dibuat kesimpulan dan saran-saran yang diharapkan akan menjadi salah satu bahan pertimbangan pimpinan dalam mengambil kebijakan terkait masalah perlindungan warga negara Indonesia yang dideportasi. Penelitian ini dapat terselesaikan berkat kerjasama yang baik antara tim peneliti dengan berbagai pihak lainnya. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, yaitu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di empat wilayah penelitian (Provinsi Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur), para informan, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kami menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kami berharap adanya penelitian lanjutan oleh pihak lain yang dapat memperluas ruang lingkup dari topik penelitian ini. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI yang telah memberikan kepercayaan kepada tim untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi semua pihak Jakarta, Desember 2010 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Sipil dan Politik,
Dr. Asep Kurnia NIP 19661119 198603 1 001
DAFTAR ISI Abstrak Kata Sambutan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Pelaksana Penelitian BAB
I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Identifikasi Masalah C. Perumusan Masalah D. Tujuan dan Manfaat Penelitian E.
Ruang Lingkup
F.
Metode Penelitian
G. Kerangka Pemikiran BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA A. Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Permasalahan Deportasi B. Teori yang Berkaitan dengan Migrasi Penduduk C. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Penanganan WNI yang Dideportasi Khususnya bagi Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (dari Malaysia) D. Tanggung Jawab Negara dalam Bidang Hak Asasi Manusia
BAB
III
HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian: Praktek-Praktek yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam Melindungi WNI yang Dideportasi 1. Provinsi Kalimantan Barat 2. Provinsi Kepulauan Riau 3. Provinsi Sumatera Utara 4. Provinsi Kalimantan Timur
5. KJRI Johor Bahru dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia B. Hasil Analisis 1. Mandat yang Diberikan kepada Pemerintah Daerah dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi 2. Praktek-praktek yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam Melindungi WNI yang Dideportasi 3. Hak WNI yang Dideportasi dalam Perspektif HAM BAB
IV
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
Daftar Pustaka Lampiran
DAFTAR TABEL No. Tabel
Perihal
1.1
:
Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia, tahun 2004-2007
1.2
:
Pemulangan TKI dari Malaysia Tahun 2008-2009
1.3
:
Data Warga Negara Indonesia Yang Dideportasi Melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Utara
3.1
:
Kondisi Penempatan dan Pemulangan TKI
3.2
:
Pemulangan Para Deportan oleh Dinas Sosial Pemprov. Kalbar
3.3
:
Data Penempatan TKI Tahun 2004-2009
3.4
:
Data Deportasi TKI-B/WNI-B Tahun 2004-2009
3.5
:
Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2008
3.6
:
Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2009
3.7
:
Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2010
3.8
:
Rekapitulasi Pemulangan TKI dari Malaysia melalui Border PPLB Entikong Tahun 2010
3.9
:
Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak, Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu – Entikong Kabupaten Sanggau dari Bulan Januari s/d Desember 2009
3.10
:
Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak, Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu – Entikong Kabupaten Sanggau dari Bulan Januari s/d Mei 2010
3.11
:
Daftar WNI Bermasalah dalam Penampungan Sementara LSM Anak Bangsa untuk Proses pemulangan ke daerah asal
3.12
:
Rekapitulasi Data Jumlah TKIB Tanjungpinang Tahun 2004 s/d 2010
3.13
:
Jumlah WNI yang Dideportasi oleh Pemerintah Malaysia Melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang Periode: 1 Januari 2003 s/d 21 Mei 2010
3.14
:
Kegiatan Pelayanan Kesehatan TKIB Tahun 2008 s/d 2010 oleh Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang
3.15
:
Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara Polonia Medan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung Balai Periode Januari s/d Desember 2009
3.16
:
Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara Polonia Medan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung Balai Periode Januari s/d Agustus 2010
dan
Keluarganya
Kota
3.17
Pemulangan WNI dari Malaysia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi Nunukan (Tahun 2005 – 2010)
3.18
Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia dan Pemulangan ke Daerah Asal
3.19
Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia
3.20
Kriteria WNI/TKI yang Dideportasi
3.21
Keterlibatan Instansi di Provinsi Kalimantan Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.22
Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Barat dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.23
Keterlibatan Instansi di Provinsi Kepulauan Riau Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.24
Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Barat dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.25
Keterlibatan Instansi di Provinsi Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.26
Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Sumatera Utara dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.27
Keterlibatan Instansi di Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Nunukan) dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.28
Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Barat dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.29
Peranan KJRI-JB dan KBRI-KL dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.30
Kendala yang dihadapi oleh KJRI-JB dan KBRI-KL dalam Perlindungan WNI yang dideportasi
3.31
Peran yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam Melindungi WNI yang Dideportasi
Sumatera
Barat
Utara
dalam
dalam
dalam
DAFTAR GAMBAR No. Gambar
Perihal
1.1
: Alur Pemikiran Penelitian
2.1
: Alur Pemulangan dan Penanganan TKIB/PMBS
3.1
: Alur Penanganan WNI/TKI-B yang akan Dideportasi dari Johor ke Tanjungpinang
3.2 3.3
: Jenis Pengaduan yang masuk ke KBRI-KL Daerah entry point dan asal TKIB
PELAKSANA PENELITIAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH PERBATASAN DALAM MELINDUNGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI
Koordinator
: Ir. Ismardi Danardono Jati Pamungkas
(Plh. Kapuslitbang Hak-hak Sipil dan Politik)
Sekretariat
: Citra Krisnawaty, SH
Peneliti
: 1. Margaretha Hanita, SH, M.Si. 2. Ir. Ismardi Danardono Jati Pamungkas 3. Fitriyani, SH, M.Si. 4. Dra. Betny H. Purba, M.Si. 5. Hidayat, S.IP. 6. Norma Doryana, SH
Pengolah Data
: Kuswardini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak ini merupakan salah satu hak atas kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12 Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pada tataran hubungan dua negara seperti Indonesia dan Malaysia maupun dengan negara tetangga yang lain akan menimbulkan fenomena migrasi tenaga kerja. Adanya fenomena ini mengarahkan negara-negara untuk membuat peraturan khusus yang dirancang untuk menyediakan penyelesaian bagi permasalahan yang berkaitan dengan gerak perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain.1 Dengan demikian maka negara seharusnya siap untuk menerima kedatangan WNI yang dideportasi dari negara tetangga. Negara kepulauan Republik Indonesia yang wilayahnya sebagian besar lautan dan hanya 36,6% daratan berupa rangkaian dari 17.508 pulau-pulau, membuat batasbatas antar wilayah kabupaten/kota dan provinsi di dalam negeri, maupun dengan negara tetangga menjadi sangat “porous”, mudah ditembus dengan berbagai cara.2 Perbatasan antara provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura dan dengan Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus. Demikian pula perbatasan antara provinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) mudah dilewati melalui “jalan-jalan tikus” dari Kalimantan Barat menuju Kuching, Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi di perbatasan antara Papua dengan Papua New Guinea, yang memang secara tradisional kedua penduduk negara tersebut sering kali saling berkunjung sebagai saudara. Kota1
Hak Kebebasan Bergerak dan Berdiam dalam Peter Baerh, et. all., Instrumen Internasional Pokok HakHak Asasi Manusia, 2001, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 216. 2 Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat tentang kinerja Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, sebagaimana dikutip dari http://74.125.153.132/search?q=cache:OP4z8 01IMJ:www.dostoc.com/docs/2021296/Kinerja- Tim Koordinas Pemulangan – Tenaga – Kerja - Indonesia -Bermasalah, hlm. 24.
kota di daerah perbatasan seperti: Medan (Sumatera Utara); Dumai (Riau), Tanjung Balai Karimun, Batam, Tanjungpinang (Kepulauan Riau); Pontianak, Entikong, Sambas (Kalimantan Barat), Nunukan dan Tarakan (Kalimantan Timur), dan Bitung (Sulawesi Utara) dikenal sebagai daerah transit dan tempat pemberangkatan tenaga kerja Indonesia dan “wisatawan pekerja” Indonesia ke luar negeri. Tingkat “keporousan” perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terungkap ketika pada tahun 2004 dan 2005 Pemerintah Malaysia memulangkan Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) ke Indonesia secara besar-besaran, ternyata pada tahun-tahun berikutnya masalah PATI di Malaysia ini tidak berkurang, dan masih banyak PATI asal Indonesia yang akhirnya dideportasi ke daerah entry point terdekat. seperti Jakarta (DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Pare-pare (Sulawesi Selatan), Mataram (Nusa Tenggara Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).3 Kenyataan yang pahit memang menimpa para Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) di Malaysia yang jumlahnya sekitar 600.000 pekerja asing dengan 70% di antaranya adalah TKI4. Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah terpenuhinya kebutuhan kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatif dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari sudut pandang Pemerintah Malaysia, beberapa hal yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI). Sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI yang bekerja di Malaysia mengalami berbagai macam permasalahan yang berdampak pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara. Pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah harus selalu siap apabila negara tetangga setiap saat melakukan deportasi terhadap WNI. Kesiapan ini selalu dituntut karena upaya pemerintah negara tetangga untuk mendeportasi WNI tidak akan berhenti sepanjang masih terdapat WNI ilegal di negara tetangga tersebut. Hal ini didasarkan pada sejarah hubungan antara negara Indonesia dengan negara-negara tetangga di wilayah perbatasan, dimana terjadi migrasi penduduk Indonesia ke negara-negara tetangga baik secara legal maupun ilegal untuk berbagai tujuan. Salah satu peristiwa yang menjadi catatan khusus dalam hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia misalnya adalah peristiwa Nunukan pada tahun 2002 yang dapat disebut sebagai tragedi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. 3 4
Ibid. Ibid., hlm. 34
Tragedi Nunukan dipicu dari ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi pemberlakuan Akta Imigresen 1154/2002 yang memaksa sekitar 400.000 buruh migran Indonesia tak berdokumen dideportasi.5 Nunukan sebagai wilayah di ujung utara Indonesia dan berbatasan langsung dengan Tawau, Sabah, Malaysia Timur secara tibatiba harus menerima eksodus massal sekitar 350.000 buruh migran deportan dari Sabah. Dengan kapasitas pemerintahan setingkat kabupaten (bahkan sebelumnya hanya sebuah kota kecamatan) tentu saja Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan kewalahan untuk mengantisipasinya. Pada sisi lain, pemerintah pusat menganggap bahwa masalah tersebut adalah tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Daerah Nunukan. Kondisi inilah yang menyebabkan penelantaran yang berakibat fatal: paling tidak 85 deportan meninggal dan ribuan lainnya mengalami kelaparan dan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Tiga tahun setelah peristiwa Nunukan, yaitu tepatnya pada tahun 2005 Pemerintah Malaysia kembali meminta para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal segera meninggalkan negaranya. Hal tersebut terkait dengan berakhirnya masa amnesti (pengampunan) yang diberikan Pemerintah Malaysia kepada para imigran gelap tersebut pada 31 Januari 2005. 6 Mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan meninggalkan Malaysia bisa dihukum lima tahun penjara atau dikenai denda sebelum dideportasikan. Awalnya, amnesti bagi tenaga kerja ilegal dijadwalkan akan berakhir 31 Desember 2004, namun diperpanjang selama sebulan karena khawatir dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Indonesia dan negara-negara lain yang pada saat itu dilanda gempa dan gelombang tsunami (26 Desember 2006). Meskipun tenggat waktu telah berakhir, namun belum ada tanda-tanda persiapan yang serius dari Pemerintah Indonesia. Menurut informasi dari beberapa pejabat pada waktu itu mengatakan bahwa amnesti bagi WNI yang bermasalah diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan. Selama ini Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia menganggap bahwa deportasi merupakan satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah buruh migran tak berdokumen di Malaysia.7 Dalam pelaksanaannya, deportasi ini meninggalkan persoalan yang tidak terselesaikan. Setiap kali rencana deportasi 5
Wahyu Susilo, Deportasi Buruh Migran Indonesia 2005 = Tragedi Nunukan Jilid II, dikutip dari http://buruh migranberdaulat.blogspot.com/2005/02/deportasi-buruh-migran-indonesia-2005.html, 11 Februari 2005. 6 Ibid. 7 Wahyu Susilo, Opsi Atasi Buruh Migran Tak Berdokumen di Malaysia, Pemutihan Paspor dan Kontrak Kerja, dikutip dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0502/12/opini/1552100.htm, 12 Februari 2005.
dikemukakan, selalu muncul ketegangan hubungan diplomasi antara Indonesia dan Malaysia. Deportasi juga berpotensi atas terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Rencana pendeportasian WNI dari Malaysia kembali muncul di penghujung tahun 2009 tepatnya setelah Hari Raya Idul Fitri. Kabar ini dapat dilihat melalui berbagai media, diantaranya adalah pernyataan yang mengutip pejabat KBRI di Kuala Lumpur, Amiruddin Pandjaitan, bahwa Pemerintah Malaysia segera mendeportasi 60 WNI setelah hari Idul Fitri sebab petugas imigrasi Malaysia baru mulai bekerja seminggu setelah lebaran karena sebagian besar petugas mengambil cuti lebaran. “Mereka (WNI) kini ditahan sementara di kantor imigrasi. Pemerintah Malaysia akan membantu mendeportasi dengan segera setelah lebaran nanti”.8
Ke-60 WNI itu
ditangkap petugas Imigrasi Malaysia setelah secara ilegal meninggalkan Malaysia menuju Indonesia dengan menggunakan kapal. “Jadi Pemerintah Malaysia, atau Imigrasi Malaysia tidak akan menggunakan prosedur normal dengan mengadili kemudian menahan mereka karena meninggalkan Malaysia secara ilegal. Jadi ini bantuan Pemerintah Malaysia. Setelah Idul Fitri, mereka akan segera dideportasi,” ungkap Amirudin. Selain itu, pejabat sementara pasukan gerakan marine (PGM) pelabuhan Klang, Nordin Osman mengatakan, 60 penumpang itu tidak mempunyai dokumen perjalanan (paspor) yang sah. Mereka terdiri dari 36 laki-laki, 17 perempuan berumur di bawah 45 tahun dan delapan kanak-kanak berusia antara satu bulan hingga empat tahun.9 Memasuki tahun 2010, tepatnya di pertengahan bulan Februari, kembali tersiar kabar bahwa Pemerintah Malaysia akan menggelar operasi besar-besaran merazia pekerja asing ilegal.
10
Rencana ini patut dikhawatirkan, karena sedikitnya terdapat 2,2
juta TKI bekerja di Malaysia, dimana 1 juta diantaranya berstatus ilegal. Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, menghimbau pemerintah tidak hanya mengantisipasi deportasi besar-besaran, tetapi juga mencegah pelanggaran HAM dan penyelesaian hak-hak korban.11 Menurut Rieke, rencana Pemerintah Malaysia dalam 8
“WNI Ilegal Dideportasi Malaysia”, dikutip dari http://matanews.com/2009/09/19/wni-ilegaldideportasi-malasia/, 19 September 2009. Lihat juga “Puluhan WNI Dideportasi Setelah Lebaran”, dikutip dari http://mediaindonesia.com/read/2009/09/09/96448/39/6/Puluhan-WNI-DideportasiSetelah-Lebaran, tanggal 19 September 2009. 9 Ibid. 10 Kompas, 17 Februari 2010, “Antisipasi Nasib TKI, Malaysia Akan Gelar Razia Pekerja Asing Ilegal”, hlm. 18. 11 Kompas, 18 Februari 2010, Penuhi Hak TKI Ilegal, Malaysia Mengabaikan Deklarasi ASEAN, hlm. 18.
merazia TKI ilegal akan menimbulkan masalah besar karena sedikitnya terdapat 70.000 anak TKI di Malaysia Timur. Mereka hidup dengan akses pendidikan minim dan rentan terhadap pelanggaran HAM di areal terpencil.
Rieke
meminta pemerintah
mengantisipasi anak-anak tersebut menjadi korban pelanggaran HAM karena harus kabur ke hutan mengikuti orangtua mereka bersembunyi dari razia. Himbauan untuk memperhatikan hak-hak TKI ilegal yang akan dideportasi dari Malaysia juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, yang meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan langkah antisipasi razia agar tidak melanggar hak asasi manusia para TKI (ilegal).12 Berdasarkan pengalaman tahun 2003-2004, ribuan TKI merana saat proses deportasi massal pekerja ilegal. Ketidaksiapan pemerintah menyebabkan ribuan TKI menumpuk di Nunukan, Kalimantan Timur. Lebih lanjut Anis mengatakan bahwa pemerintah harus lebih serius menghadapi razia terhadap pekerja asing ilegal di Malaysia pada saat ini. Beliau menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan kembali gugus tugas khusus penanganan deportasi tahun 2004 yang beranggotakan berbagai kementerian untuk menyiapkan penerimaan TKI ilegal yang dideportasi. Gugus Tugas yang dimaksud oleh Anis tidak lain adalah Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TKPTKIB) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004 Tanggal 18 Oktober 2004. Gugus Tugas ini dibentuk untuk memberikan bantuan pemulangan kepada Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TKIB), dan mempersiapkannya kembali menjadi TKI yang berkualitas dan memenuhi persyaratan. Sejak tahun 2004, TK-PTKIB dengan Satgas dan Poskonya di daerah entry point telah memberikan layanan dengan sebaik-baiknya walaupun dengan dana operasional yang terbatas.13 Untuk meningkatkan pengawasan lalu lintas penduduk atau tenaga kerja yang akan melintas batas, Pemerintah Malaysia dan Indonesia pada tahun 2005 telah membentuk Lembaga Pelayanan Satu Atap yang ditempatkan di 11 titik di daerah perbatasan Malaysia-Indonesia yaitu di Medan (Sumatera Utara), Tanjung Uban (Kepulauan Riau), Dumai (Riau), Entikong (Kalimantan Barat), dan Nunukan (Kalimantan Timur), juga di daerah lainnya seperti Jakarta (DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Pare-pare (Sulawesi Selatan), Mataram (Nusa 12
Kompas, 17 Februari 2010, loc.cit. Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, loc. cit., hlm. iii. 13
Tenggara Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).14 Namun layanan Satu Atap ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Pemulangan pendatang asing tanpa izin (PATI) di Malaysia baik melalui program amnesti maupun deportasi telah berlangsung sejak tahun 2004, namun sampai sekarang masih tetap berlangsung karena lemahnya Pemerintah Malaysia menindak para majikan yang mempekerjakan TKI ilegal dan adanya aparat korup yang dengan bayaran tertentu telah membiarkan masuknya para pekerja ke Malaysia dengan status pelancong (visa kunjungan). Berdasarkan data Kementerian Sosial, sepanjang tahun 2007 jumlah TKIB yang dipulangkan oleh Satgas PTKIB Daerah di seluruh Indonesia dan dilaporkan ke Kementerian Sosial sebanyak 36.315 orang. Jumlah TKI yang dipulangkan dari Malaysia selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada tabel berikut.15 Tabel 1.1 Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia Tahun 2004-2007 No.
Tahun
TKIB (Orang)
Keterangan
1.
2004
356.256
TKIB amnesti dan deportasi
2.
2005
176.585
TKIB amnesti dan deportasi
3.
2006
30.604
TKIB deportasi
4.
2007
36.315
TKIB deportasi
Sumber: Media Center KMK, 2004-2006, Depsos, 2008.
Jumlah tersebut belum termasuk TKIB yang pulang di luar yang dideportasi atau yang tidak tercatat karena pulang ke Indonesia melalui pelabuhan tradisional atau melalui jalur-jalur tikus yang banyak terdapat di daerah perbatasan. Sementara itu, Litbang Kompas mencatat jumlah TKI yang dipulangkan dari Malaysia selama kurun waktu 2008-2009, seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 1.2. Pemulangan TKI dari Malaysia Tahun 2008-2009 No.
Waktu Pemulangan
Jumlah
Keterangan
1.
18 Juni 2008
90
TKI ilegal asal Jawa Timur dipulangkan dari Malaysia
2. 3.
16 Januari 2009 23 Februari 2009
111 29
TKI dideportasi dari Malaysia terkait masalah perizinan. TKI asal Lampung dideportasi dari Johor, Malaysia dengan status sebagai pendatang ilegal dan pelanggar ketentuan imigrasi.
14 15
Ibid. Ibid.
Jumlah 16 Sumber: Litbang Kompas
230
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengatakan bahwa setiap hari ada deportasi TKI yang sudah selesai menjalani proses keimigrasian di Malaysia. Sebagian besar dari mereka pulang ke Indonesia lewat Pelabuhan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dan Nunukan, Kalimantan Timur.17 Persoalan deportasi muncul sebagai akibat dari ketidakcakapan Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran.18 Besarnya biaya penempatan yang harus ditanggung calon buruh migran Indonesia membuat mereka memilih cara ilegal untuk masuk ke negara tujuan seperti Malaysia misalnya. Selama pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan krisis kesejahteraan dan penyediaan lapangan kerja di dalam negeri, nampaknya mencegah upaya migrasi tenaga produktif ke Malaysia merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Ada beberapa alasan19, pertama, Hak untuk tinggal dan bekerja dimanapun di muka bumi adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dihargai. Kedua, secara geografis letak Indonesia dan Malaysia sangat berdekatan, akses untuk dapat keluar masuk masingmasing negara terhitung sangat mudah dilakukan. Ketiga, permintaan tenaga kerja murah untuk bekerja di Malaysia masih sangat tinggi. Faktor lain terjadinya deportasi terhadap WNI oleh negara tetangga seperti Malaysia menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Barat, Maksum Jauhari adalah akibat masalah keimigrasian. "Ada yang sudah bekerja dengan izin resmi namun tidak pulang ke Indonesia sewaktu masa kontraknya habis".20 Maksum Jauhari menyebutkan bahwa Disnakertrans Kalimantan Barat mencatat hingga September 2008 sebanyak 1.796 Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermasalah terutama dari Malaysia telah dideportasi. WNI pria lebih mendominasi yakni 1.413 orang dan wanita 383 orang. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding tahun 2007 yakni 2.068 orang yang terdiri dari 1.659 pria dan 409 wanita. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa
menjelang Idul Fitri terjadi peningkatan WNI yang
dideportasi melalui Kalimantan Barat dibanding bulan sebelumnya. Sumber data lain yaitu yang berasal dari Kantor Imigrasi Entikong menyebutkan, pada bulan Maret 2008 16
Kompas, 17 Februari 2010, op. cit. Ibid. 18 Lagi-(lagi) Soal Deportasi Buruh Migran Indonesia di Malaysia, dikutip dari http://thepurple.notes.multiply.com/journal/item/9/ 19 Ibid. 20 1.796 WNI Dideportasi dari Malaysia, dikutip dari http://www.kapanlagi.com/h/0000252108-html 17
tercatat 130 WNI bermasalah dideportasi dari Malaysia melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong.21 Akumulasi WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui PPLB Entikong pada tahun 2008 mencapai 535 orang. WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui PPLB Entikong tahun sebelumnya 1.482 orang. Selain itu, tahun 2007 terdapat 21 WNI dideportasi dari Brunei Darussalam melalui PPLB Entikong. Kepala Kantor Imigrasi Entikong Sugeng Harjanto mengatakan bahwa ”Imigrasi hanya meneliti apakah mereka warga Indonesia atau tidak. Pemulangan ke daerah asal bukan kewenangan imigrasi,”22. Pertanyaan yang dapat dikemukakan kemudian adalah bagaimana penanganan selanjutnya terhadap WNI yang dideportasi tersebut setelah selesai menjalani pemeriksaan di kantor Imigrasi. Anggota DPRD Kalimantan Barat Daerah Pemilihan Kabupaten Sanggau, Katharina Lies, mengatakan, WNI yang dideportasi dan terlantar itu berpotensi dimanfaatkan penyalur tenaga kerja ilegal di Entikong.23 Mereka akan mencoba merekrut dan memasukkan deportan kembali ke Malaysia melalui jalur tidak resmi atau yang sering disebut ”jalan tikus”. Penyebab terjadinya deportasi terhadap WNI di wilayah perbatasan tidak hanya disebabkan adanya WNI yang ingin bekerja di negara tetangga dengan tujuan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Faktor politik dapat juga menyebabkan deportasi terhadap WNI. Contohnya adalah adanya sejumlah WNI yang dideportasi Pemerintah Timor Leste di wilayah perbatasan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Mereka adalah 61 Warga Negara Indonesia yang terdiri dari 15 kepala keluarga. Warga Indonesia yang sebagian besar beragama Islam ini dideportasi karena menolak menjadi warga negara Timor Leste. Sebagian lainnya, tidak memiliki dokumen keimigrasian yang sah.24 Menghadapi rencana pemulangan WNI oleh negara tetangga maka beberapa program jangka pendek harus dilakukan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah debarkasi (daerah kedatangan atau daerah penerima) maupun pemerintah daerah asal harus berkoordinasi, membiayai, dan tidak saling melempar tanggung jawab dalam pemulangan WNI yang dideportasi. Adanya akumulasi deportan yang masif di beberapa titik transit juga akan terjadi penelantaran dan potensi kerawanan sosial dan pelanggaran
21
WNI yang Bermasalah Terlantar di Entikong, dikutip dari http://www.cetak.kompas.com/read/xml/2008/ 03/ 22/01444227/, 22 Maret 2008. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 61 WNI yang Dideportasi Dari Timor Leste Sampai di Perbatasan, dikutip dari http://tempointeraktif .com/hg/nusa/2004/11/30/brk , 20041130-24,id,html, 30 November 2004.
HAM (seperti yang terjadi di Nunukan) apabila tidak dikelola dengan manajemen penanganan antisipasi deportasi yang komprehensif.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan perlindungan WNI yang dideportasi melalui wilayah perbatasan yaitu: 1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saling melempar tanggung jawab dalam penanganan WNI yang dideportasi. 2. Belum adanya koordinasi yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait di wilayah perbatasan dalam menangani WNI yang dideportasi. 3. Belum adanya kejelasan kewenangan antara pemerintah daerah penerima deportan dengan pemerintah daerah dimana deportan berasal dalam pemulangan WNI yang dideportasi. 4. WNI yang dideportasi dan terlantar berpotensi dimanfaatkan penyalur tenaga kerja ilegal untuk mengirimkan kembali secara ilegal ke negara tujuan.
C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi? 2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi? 3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dilakukannya kegiatan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan penelitian yaitu: 1. Untuk mendapatkan gambaran dan menganalisis pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi.
2. Untuk mendapatkan gambaran dan menganalisis bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi. 3. Untuk menginventarisir dan menganalisis kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi.
Sedangkan manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi manfaat akademis dan praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur dalam memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu-ilmu sosial. Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tersusunnya rekomendasi dalam membuat kebijakan tentang upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi. 2. Tersusunnya laporan penelitian yang berisi tentang pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi, bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi dan inventarisasi kendalakendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi. Dari laporan penelitian ini kemudian akan disusun mekanisme perlindungan hak asasi manusia bagi WNI yang dideportasi.
E. Ruang Lingkup Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Substansi penelitian adalah pembahasan tentang pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi, bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi dan inventarisasi kendalakendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi. 2. Wilayah penelitian meliputi Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjungpinang), Kalimantan
Barat
(Entikong-Kabupaten
Sanggau),
Kalimantan
Timur
(Kabupaten Nunukan), dan Sumatera Utara (Kota Medan). Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada daerah-daerah perbatasan yang menjadi wilayah penerima para WNI yang dideportasi. Wilayah-wilayah ini merupakan daerah
entry point, transit dan daerah asal Tenaga Kerja Indonesia bermasalah di Indonesia.
Berdasarkan
Kesejahteraan Rakyat,
Laporan
Kementerian
Koordinator
Bidang
di empat wilayah ini pernah dibentuk Satuan Tugas
(Satgas) Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PTKIB) pada tahun 2004 dengan keterangan sebagai berikut:25 a. Kepulauan Riau Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau merupakan entry point terdekat untuk menerima TKIB deportan dari Johor Bahru Malaysia. Satgas PTKIB Tanjungpinang melaporkan bahwa sebagai dampak kebijakan Pemerintah Malaysia yang memusatkan pendeportasian PATI asal Indonesia di Semenanjung Malaysia dilakukan via Johor Bahru ke Tanjungpinang, selama tahun 2007 telah menerima TKIB dari Johor Bahru, menampung dan memberangkatkan TKIB tersebut ke daerah asal yang jumlahnya mencapai 34.845 orang. b. Kalimantan Barat Entikong adalah Pos Lintas Batas RI-Malaysia yang ada di Kab. Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang secara geografis berbatasan langsung dengan Malaysia (Serawak) dengan panjang perbatasan ± 800 km. Di sepanjang perbatasan tersebut terdapat tiga pintu gerbang resmi Pos Lintas Batas, dan 64 jalan tikus yang memungkinkan untuk masuk keluarnya TKI ilegal dan juga untuk jalur perdagangan orang (trafficking in persons). PATI asal Indonesia yang ada di Serawak dideportasi oleh Pemerintah Malaysia ke wilayah Indonesia melalui Entikong yang dapat ditempuh dengan jalan darat sejauh 330 km dari Pontianak. Mengingat bahwa Kalimantan Barat juga merupakan daerah transit masuknya Tenaga Kerja Indonesia dari luar Kalimantan Barat ke Serawak Malaysia, maka Satgas PTKIB dibentuk di Pontianak dan membentuk Posko di Entikong untuk menangani pemulangan TKI bermasalah. Selama tahun 2007, Satgas PTKIB Kalimantan Barat telah membantu pemulangan TKIB sebanyak 2.000 orang (per 6 Desember 2007), yang berasal dari Kalimantan Barat 1.227 orang dan yang berasal dari luar Kalimantan Barat sebanyak 773 orang. c. Kalimantan Timur 25
Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, loc. cit., hlm. 37-54.
Nunukan adalah Pos Lintas Batas RI-Malaysia yang ada di Kab. Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, yang secara geografis berbatasan langsung dengan Malaysia (Sabah). Selama tahun 2007 (November), Satgas PTKIB telah membantu memproses paspor dan dokumen yang diperlukan untuk TKI sebanyak 68.638 orang, dan telah membantu menangani TKIB deportan sebanyak 5.589 orang. Dari jumlah tersebut hanya 88 orang yang mau pulang ke daerah asalnya, selebihnya memilih tinggal di Nunukan dan berupaya untuk dapat kembali masuk dan bekerja di Malaysia mengadu nasib mencari peruntungannya.
Sebagaimana
karakter
orang
Sulawesi,
jika
telah
menyatakan ingin keluar dari daerahnya dan telah dilepas secara adat, mereka enggan kembali ke daerah asal jika dinilai belum berhasil. d. Sumatera Utara Medan adalah exit dan entry point bagi pengiriman TKI dan penerimaan TKIB dari Malaysia, yang berasal dari Sumatera Utara dan dari daerah lain. Maraknya pengiriman TKI melalui Medan dapat diindikasikan dari adanya 12 Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS) dan 65 Cabang PPTKIS di Medan. Untuk menangani pemulangan TKIB, dibentuk Satgas PTKIB Medan dan Posko PTKIB di Pelabuhan Belawan, yang untuk tahun 2007 telah mendapat dukungan dana operasional dari APBD. TKIB deportan asal Sumatera
Utara,
dipulangkan
dari
Malaysia
ke
Medan
melalui
Tanjungpinang. Selain sebagai tempat pemberangkatan TKI legal dan prosedural, Medan juga dikenal sebagai tempat pemberangkatan TKI nonprosedural karena banyak WNI yang bermaksud bekerja ke luar negeri menggunakan visa kunjungan sementara, dan bahkan TKI ilegal tanpa dokumen, baik yang berasal dari Sumatera Utara maupun dari daerah lain. Sering terjadi pengiriman TKI yang masih di bawah umur (kurang dari 21 tahun).
Banyaknya pergerakan WNI ke luar negeri terutama Malaysia dan proses deportasi WNI melalui perbatasan juga dapat dilihat melalui data yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di empat provinsi tersebut, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.3
Data Warga Negara Indonesia Yang Dideportasi Melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Timur dan Sumatera Utara TAHUN 2008
NO.
PROVINSI
TPI
1
Kepulauan Riau (Data pertanggal 25 Januari 2010 dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kepri)
Sri Bintan Pura Tanjungpinang
34.652
35.143
32.710
102.505
2
Kalimantan Barat (Data pertanggal 19 Januari 2010 dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalbar)
Entikong
3.029
2.543
2.469
8.041
3
Kalimantan Timur (Data pertanggal 27 Januari 2010 dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Timur)
Samarinda Balikpapan
6 -
2 1
1 -
9 1
Tarakan
5
-
8
13
Nunukan
40
6
39
85
Kanim Polonia
907
1.183
1.179
3.269
Kanim Belawan
29
94
100
223
Kanim Tj.Balai
-
-
-
-
4
Sumatera Utara (Data pertanggal 3 Februari 2010 dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumut)
2007
2009
JUMLAH
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.
3. Pelaksanaan penelitian pada setiap provinsi akan dilakukan oleh tiga orang selama 10 hari. Penelitian ini akan dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Sipil dan Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM. Tim Pelaksana Penelitian terdiri dari satu orang koordinator, satu orang sekretaris, enam orang peneliti, dan satu orang pengolah data.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-analitis. Metode deskriptif adalah metode penelitian untuk meneliti status sekelompok manusia, objek, kondisi, sistem pemikiran atau peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh untuk kemudian dianalisis.26 Menurut Whitney27 metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasisituasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif peneliti bisa membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti membuat klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena tertentu dengan menetapkan standar atau norma tertentu sehingga metode deskriptif ini juga dinamakan survei normatif. Metode deskriptif juga meneliti kedudukan (status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Hal ini menyebabkan, studi deskriptif juga disebut studi kasus. 2.
Metode Analisa Data Penelitian memilih studi kasus dalam metode analisa datanya. Metode Analisis Studi Kasus adalah metode analisis tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield, 1930).28 Subjek penelitian bisa berupa individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang dan interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi subyek.
26
Jenis-Jenis Penelitian, Bahan Kuliah Kelima Metodologi Penelitian, Dr. R.I. Wahono, Program Pasca Sarjana UI, Pengkajian Ketahanan Nasional, 2000. 27
F.L. Whitney, The Elements of Research, Prentice Hall Inc., New York, 1960, h. 204. F.N. Maxfield, The Case Study, hal. 117-123, dalam Moh. Nazir PhD, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, h. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis, disadur oleh L. Wilardjo, 1994. 28
Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tadi akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil.29 3.
Data Penelitian Data dalam penelitian ini bersumber pada data primer30 dan data sekunder31. Data primer berupa hasil pengamatan yang diperoleh melalui observasi langsung32 dan informasi yang diperoleh melalui wawancara33 yang mendalam dengan beberapa tokoh dan pakar. Sumber informan dalam penelitian ini berasal dari pemerintah daerah, kantor imigrasi, dinas sosial, BNP3TKI, dinas tenaga kerja, dinas perhubungan, dinas kesehatan, kepolisian, para deportan serta lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian terhadap permasalahan deportasi WNI. Sedangkan data sekunder berupa literatur baik dari buku, naskah ilmiah, laporan penelitian, artikel dari website dan lain-lain.
4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara sebagai berikut: a.
Wawancara
b.
Observasi
c.
Penelitian literatur
d.
Penelitian dokumentasi
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian (terlampir). 29
Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar. 30 Data primer merupakan sumber-sumber utama, berupa bukti atau saksi mata utama. Misalnya: risalah rapat, keterangan saksi mata atau pelaku, foto-foto dan sebagainya. 31 Data sekunder adalah dokumentasi berupa catatan tentang adanya suatu peristiwa, atau catatan yang bukan merupakan dokumen asli. Misalnya peristiwa yang diketahui dari surat kabar atau buku. 32 Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain. Nazir, Loc.cit. h. 212. Baca juga Cl. Selltiz et.al., Research Methods in Social Relations, 1964, h. 200. 33 Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit h. 234.
G. Kerangka Pemikiran Setiap warga negara Indonesia berhak untuk meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia. Pada saat WNI berada di negara lain, mereka terkadang menghadapi permasalahan yang berakibat dideportasi oleh: Malaysia dan Singapura. Proses deportasi ini biasanya dilakukan melalui wilayah-wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Sumatera Utara. Proses
pemulangan
WNI
yang
bermasalah
terkadang
menimbulkan
permasalahan yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak WNI. Untuk mengantisipasi deportasi yang akan dilakukan negara tetangga di masa yang akan datang, maka pemerintah daerah khususnya di wilayah perbatasan harus menyiapkan pola penanganan terhadap WNI yang dideportasi. Penelitian yang akan dilakukan ini berupaya untuk menggambarkan pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi sebagaimana dapat dilihat pada diagram berikut ini. Gambar 1.1. Alur Pemikiran Penelitian
Berdasarkan diagram di atas penelitian ini akan menggali berbagai informasi tentang tanggung jawab pemerintah yang dimulai dengan peraturan yang telah dibentuk, implementasi di lapangan, serta dukungan masyarakat di wilayah perbatasan dalam melindungi para WNI yang dideportasi. Untuk memperjelas arah penelitian, maka di
dalam kerangka pemikiran ini dilengkapi dengan beberapa definisi operasional yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, yaitu: 1. Pemerintah Daerah Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.34 2. Wilayah Perbatasan Di dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, istilah yang digunakan untuk wilayah perbatasan adalah kawasan perbatasan yang didefinisikan sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan.35 3. Perlindungan HAM Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis HAM (rights-based approach) dapat dilihat dalam tiga bentuk, salah satunya adalah melindungi (to protect) yang berarti kewajiban negara agar bertindak aktif bagi warga negaranya.36 Negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya dan negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ketiga. 4. Warga Negara Indonesia Warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.37 Sedangkan yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.38 5. Deportasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, deportasi berarti pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ.39 34
Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 36 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.DL.08.01 Tahun 2009, tentang Panduan Penelitian di Bidang Hak Asasi Manusia, hlm. 8. 37 Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 38 Ibid., Pasal 2. 39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed. 3, cet. 2, Jakarta, Balai Pustaka, hlm. 254. 35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Permasalahan Deportasi Berdasarkan ketentuan yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya tentang hak kebebasan pribadi, disebutkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak ini merupakan salah satu hak atas kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12 Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan dalam Pasal 27 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan: 1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia; 2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Kebebasan bergerak (secara fisik) dapat dibatasi menurut keadaan-keadaan tertentu. Seorang tersangka dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun misalnya dapat ditahan untuk suatu jangka waktu tertentu. Seseorang dapat juga dikenakan wajib lapor kepada kepolisian sehubungan dengan posisinya terhadap suatu kasus pidana sehingga orang dimaksud tidak mudah untuk berpindah. Selain itu, hak untuk berdiam dan meninggalkan Indonesia ini tergolong hak yang derogable, hak yang dapat dikesampingkan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dilakukan atas dasar perundangundangan yang adil. Oleh karena itu pencegahan orang ke luar negeri dan penangkalan orang untuk masuk ke Indonesia jika dilakukan tanpa dasar hukum yang adil adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ketentuan yang berkaitan dengan implementasi hak ini sebagian dimuat dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian. Kondisi masyarakat Indonesia yang mendorong terjadinya pergerakan dari dan ke wilayah Indonesia biasanya disebut dengan proses migrasi, dimana trend motivasi
migrasi dewasa ini lebih banyak didorong oleh faktor ekonomi.40 Migrasi diartikan perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain, sedangkan untuk orang-orang yang melakukannya disebut dengan migran.41 Migrasi dapat dilakukan baik secara legal maupun ilegal dan motifnya pun dapat berbeda-beda. Pada masa lalu migrasi dilakukan karena perang atau pertikaian etnis sehingga harus mengungsi hingga meninggalkan negaranya. Namun akhir-akhir ini yang paling besar untuk melakukan migrasi bermotifkan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup atau motif ekonomi. Hal tersebut diperkuat oleh negara asal kaum migran tersebut yang umumnya negara-negara dunia ketiga. Mereka melakukan migrasi karena negara asalnya bukan lagi negara yang dapat memberikan kehidupan yang layak bagi masa depannya. Dikuatkan oleh berita-berita keberhasilan dan kesuksesan dari beberapa kaum migran di negara-negara baru yang sampai ke sanak famili di negaranya. Akibatnya keinginan untuk melakukan migrasi menjadi daya penarik yang kuat. Hampir bisa dipastikan bahwa para migran yang tertangkap selalu mengklaim bahwa dirinya adalah pengungsi. Pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti disebutkan di atas sudah bisa dipastikan bahwa mereka benar-benar pengungsi. Untuk sampai mendapatkan status pengungsi harus dilakukan skrining terlebih dahulu dan memerlukan waktu. Namun untuk kasus-kasus migrasi yang bermotifkan ekonomi bisa dipastikan akan gagal untuk mendapatkan status sebagai pengungsi. Karena jika demikian halnya maka negara transit atau negara tempatan dapat melakukan deportasi. Sebaiknya jangan mudah juga mengklaim bahwa terhadap mereka sampah, karena jika bisa dibuktikan bahwa dari sebagian mereka adalah pengungsi, maka terdapat perlindungan (proteksi) secara internasional, dan setiap negara dituntut untuk menghormatinya. Untuk menjawab hal itu harus dilakukan serangkaian proses oleh institusi yang berwenang secara internasional, dalam hal ini UNHCR dengan tetap berkordinasi dengan negara transit dan negara tempatan. Seseorang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain mendapat sebutan yang paling umum dengan istilah alien (orang asing). Orang asing diartikan sebagai seseorang yang belum dinaturalisasi dan tinggal di suatu negara yang dirinya itu bukan penduduk warga negara itu. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa tidak semua orang asing (foreigner) yang berada di suatu negara termasuk dalam pengertian alien. 40
Wagiman, Batam dan Imigran Gelap, dikutip http://www.yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel /54-batam-dan-imigran-gelap. 41 Ibid.
dari
Berdasarkan hukum internasional yang termasuk ke dalam alien meliputi empat kategori yaitu pencari suaka (asylum seekers), orang terlantar (displaced person), orang tanpa kewarganegaraan (stateless), dan pengungsi (refugee). Pengungsi adalah orang yang mencari tempat yang aman ketika di negaranya ada bahaya yang mengancam. Pengungsi selalu berada di luar negara kebangsaannya. Hal itu terjadi karena suatu alasan rasa takut dan terjadinya tekanan atau penyiksaan. Alasannya dapat berupa perbedaan etnis, agama atau karena keikutsertaannya pada suatu kelompok sosial tertentu. Dapat juga karena pendapat politiknya sehingga harus berada di luar negaranya karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negara asalnya. Negara tidak dapat memulangkan seorang pengungsi dengan alasan apapun, terkait dengan posisi mereka yang terancam jiwanya atau kebebasannya dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas. Status yang dikeluarkan oleh UNHCR diterima oleh Majelis Umum PBB tahun 1950. Pada resolusi tersebut terdapat seruan agar semua negara anggota PBB memberikan
kerjasamanya
pada
UNHCR
dalam
melaksanakan
perlindungan
internasional kepada pengungsi dan mencari solusi yang permanen. Indonesia
sebagai
negara bukan peserta konvensi tentang pengungsi
sesungguhnya tidak terikat pada kewajiban-kewajiban terkait dengan perlindungan yang diberikan oleh hukum internasional, sebagaimana yang diamanatkan konvensi pengungsi. Namun dengan pertimbangan kemanusiaan, Indonesia sebagai anggota PBB secara moral terpanggil untuk memenuhi dan mematuhi resolusi dalam memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi. Kilas balik sejarah Indonesia, pada saat penjajahan penetapan izin pada orang asing yang masuk Indonesia secara ilegal dapat menjadi legal dengan cara membayar sejumlah denda. Pasca kemerdekaan izin masuk bagi orang asing didasarkan pada kepentingan nasional yang sifatnya selektif. Kriteria penerimaan dipertimbangkan dengan dasar terhadap mereka tidak akan menjadi beban ekonomi. Orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia tunduk pada hukum Indonesia. Indonesia memiliki kekuasaan untuk menolak memberi izin masuknya orang asing. Alasan penolakan salah satunya disebabkan karena tidak memiliki surat perjalanan yang sah. Namun demikian terdapat pengecualian jika para migran itu statusnya sebagai pengungsi. Polisi dan petugas imigrasi harus memberi perlakuan terhadap mereka dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip umum atau hak pengungsi. Hukum positif keimigrasian Indonesia tidak memuat ketentuan yang berlaku secara khusus (lex specialis) bagi pencari suaka dan pengungsi. Dengan demikian setiap orang asing, yang masuk ke Indonesia tanpa memenuhi persyaratan akan dianggap
sebagai orang asing yang memasuki wilayah Indonesia secara tidak sah. Petugas imigrasi dapat mengeluarkan perintah deportasi kepada orang asing yang tiba di tempat pemeriksaan imigrasi. Alat angkut berkewajiban untuk membawa kembali setiap orang asing
sebagai
penumpang
yang
dibawanya.
Adapun
penentuan
apakah
seseorang/sekelompok orang itu pengungsi atau bukan dilakukan oleh perwakilan UNHCR yang berada di Indonesia, dan untuk hal yang demikian dinamakan ”pengungsi mandat” karena penetapannya ditentukan oleh UNHCR. Kedua, ”pengungsi konvensi” yang prosedur penetapan statusnya untuk menentukan pengungsi atau bukan diserahkan kepada negara yang sudah menjadi peserta konvensi, namun tetap bekerjasama dengan UNHCR setempat. Sampai saat ini Indonesia bukan negara peserta Konvensi Pengungsi. Biasanya untuk negara peserta Konvensi Pengungsi dibentuk suatu panitia khusus yang terdiri dari instansi-instansi yang ada hubungannya dengan masalah pengungsi. Namun hingga saat ini Indonesia belum melakukan aksesi terhadap instrumen hukum internasional Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Setidaknya terdapat enam istilah yang sering digunakan media untuk menyebut mereka (pengungsi), yaitu imigran gelap (ilegal immigrant), pencari suaka (asylum seekers), pengungsi (refugee), manusia perahu (boat people), serta pengungsi sejati dan pendatang biasa. Dua istilah terakhir merupakan standar penyebutan/istilah yang digunakan selama ini oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNHCR). Adapun Organisasi Internasional yang mengurusi Migrasi Internasional (IOM) menggunakan istilah-istilah seperti migran (migrant), pengungsi (refugee), dan orang-orang yang terlantar (displaced persons). Untuk kaum migran lembaga IOM mengkategorikannya dengan tiga sebutan yaitu migran ekonomi (economic migrants), vurnerable people, dan vurnerable groups. Istilah terakhir yang masih berkaitan dengan migrasi yaitu trafficking in person yang mengandung arti pergerakan manusia yang meninggalkan negara asalnya karena adanya penipuan melalui iming-iming pekerjaan. Korban trafficking sering mengalami penderitaan yang luar biasa dan tak jarang hidupnya berakhir tragis (bunuh diri). Sementara para sindikat penipunya sering meraup keuntungan yang besar dari usaha ini. Istilah-istilah di atas penting mengingat dalam hukum setiap istilah yang digunakan akan membawa pada implikasi dan akibat hukum tertentu, baik menurut hukum positif Indonesia maupun hukum internasional. Pengungsi menurut ketentuan hukum internasional ialah setiap orang atau sekelompok orang yang ”berada di luar
negara kebangsaannya dengan alasan rasa takut akan terjadinya tekanan atau penyiksaan (Pasal 6B Statuta UNHCR)”. Pasal 1A Ayat (2): Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951 memberi batasan, yaitu ”siapa saja yang merasa takut akan mendapat tekanan atau penganiayaan yang disebabkan karena alasan etnis, agama atau karena keikutsertaannya pada suatu kelompok sosial tertentu atau karena pendapat politiknya sehingga harus berada di luar negaranya karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negaranya”. Dengan demikian jika unsur-unsur pada pasal tersebut tidak terpenuhi, khususnya adanya ancaman dan bahaya yang mengancam terhadap jiwanya sehingga harus pergi meninggalkan negaranya maka sulit untuk mendapatkan status pengungsinya. Hukum Indonesia mengatur apabila ada warga asing yang memasuki wilayah Indonesia tanpa izin terhadap mereka akan dipulangkan (dideportasi) ke negara asalnya. Dasar pemulangan merupakan ketentuan hukum positif terkait keimigrasian Indonesia. Harap diingat pengungsi tidak dikategorikan sebagai migran ilegal berdasarkan hukum internasional. Memang pada saat masuk mereka tidak dilengkapi dengan dokumen resmi dari negara asalnya. Ketidaklengkapan dokumen bagi kaum migran tersebut tidak dapat menjadi alasan bagi pemulangan/pengusiran terhadap mereka. Hal tersebut merujuk pada salah satu prinsip dalam hukum pengungsi, yaitu larangan dilakukannya pengusiran. Pengusiran hanya mungkin dilakukan apabila ada pertimbangan berdasarkan alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum atas keberadaan mereka tersebut. Kalaupun hal demikian dilakukan pada pelaksanaannya tetap akan sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Atas alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa tetap pada pengungsi tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri serta dapat menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya. Dari sejumlah isu-isu keamanan kontemporer yang berkembang pada masa pasca Perang Dingin, masalah tenaga kerja ilegal dinilai telah menjadi salah satu isu utama.42 Salah satu contoh kasus adalah kasus tenaga kerja ilegal asal Indonesia di Malaysia. Isu ini telah diangkat oleh Pemerintah Malaysia sebagai ancaman terhadap keamanan internal Malaysia. Sebagai dampak dari tersekuritisasinya suatu isu maka pemerintah
setempat
akan
mengeluarkan
sejumlah
kebijakan
publik
yang
mempengaruhi penyelesaian masalah serta pemberlakuan mekanisme penyelesaian yang berada di luar mekanisme penyelesaian formal. Kondisi ini mendorong munculnya 42
Senia Febrica, Kebijakan Penanganan Tenaga Kerja Ilegal Indonesia di Malaysia, http://gpansor.org/1479-04122006.html.
sebuah pertanyaan
yang akan
menjadi permasalahan dalam penelitian
ini,
“Bagaimanakah kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan baik oleh Pemerintah Malaysia dan Indonesia dalam penanganan masalah tenaga kerja ilegal asal Indonesia? Gelombang kedatangan tenaga kerja ilegal dari Indonesia ke Malaysia telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak pertengahan 1970-an.43 Kedatangan imigran ini dipengaruhi oleh kebijakan New Economic Policy yang diberlakukan di Malaysia. Kebijakan industri ini mendorong tenaga kerja Malaysia yang berada di wilayah rural untuk berurbanisasi sehingga Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja untuk sektor-sektor pertanian, maupun perkebunan. Kekurangan tenaga kerja ini mendatangkan kerugian material yang cukup besar. United Planters Association mengklaim kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian telah menyebabkan kerugian sebesar $23 juta. Adanya kebutuhan yang sangat besar dari Malaysia atas tenaga kerja asing di sektor-sektor yang kurang diminati oleh para pekerja Malaysia ini menjadikan isu tenaga kerja ilegal asal Indonesia pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman. Disamping faktor permintaan tenaga kerja yang besar, jumlah tenaga kerja ilegal asal Indonesia pada masa ini masih tergolong kecil yaitu hanya mencapai enam sampai tujuh orang di setiap wilayah tertentu sehingga tidak dinilai sebagai potensi ancaman. Para tenaga kerja ilegal inipun hanya menempati wilayah rural, terutama daerah perkebunan kelapa sawit dan karet. Pemikiran ini diperkuat oleh adanya pandangan politik dari publik Malaysia yang didominasi oleh Etnis Melayu bahwa tenaga kerja ilegal asal Indonesia merupakan bangsa serumpun yang pada akhirnya akan berasimilasi dengan penduduk lokal “bumiputera”. Tenaga kerja ilegal asal Indonesia diharapkan di masa depan dapat memperkuat power electoral dari etnik Melayu dalam menghadapi etnik lainnya yang non-Melayu (etnik China dan etnik India yang menjadi komponen komposisi penduduk Malaysia secara keseluruhan) dan memperkuat posisi etnik Melayu dalam keseimbangan komunal yang ada. Kuatnya asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat etnik Melayu terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia ini direfleksikan dalam pidato dari pemimpin United Malays National Organization yang menjabat sebagai wakil Perdana Menteri bahwa setelah tenaga kerja ilegal ini menetap selama 10 tahun di Malaysia dan pada akhirnya akan mendaftar sebagai warga negara, dan mereka akan menjadi pemilihpemilih dalam pemilihan umum.
43
Ibid.
Akan tetapi sikap dari Pemerintah Malaysia terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia menunjukkan perubahan mulai pertengahan tahun 1980an.44 Terutama dengan semakin intensifnya migrasi ilegal tenaga kerja Indonesia, baik karena faktor reproduksi maupun kedatangan teman ataupun keluarga. Berdasarkan laporan yang dituliskan dalam Fellowship Paper terdapat sebuah kasus dimana kedatangan seorang imigran diikuti oleh 25 anggota keluarganya setelah ia bekerja di Malaysia selama 10 tahun. Jumlah tenaga kerja ilegal yang bekerja sebagai pembuka tanah di wilyahwilayah tertentu telah meningkat menjadi 4000 orang. Peningkatan jumlah tenaga kerja ilegal asal Indonesia ke Malaysia pada pertengahan 1980an ini tidak dapat dilepaskan oleh push maupun pull factor. Dalam terminologi push factors, kondisi internal Indonesia memiliki pengaruh yang besar. Transformasi Indonesia dari negara agraris ke negara industri menyebabkan semakin rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja unskilled, standar gaji yang rendah, dan kondisi situasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakseimbangan besarnya jumlah usia kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia telah menjadi pendorong migrasi. Para imigran ini cenderung memilih untuk masuk ke Malaysia sebagai tenaga kerja ilegal dengan pertimbangan utama menghindari biaya pemberangkatan yang cukup mahal untuk mendapatkan kelengkapan dokumen (seperti paspor dan visa kerja), serta urusan birokratis yang berbelit-belit, seringkali seorang tenaga kerja Indonesia perlu menunggu sampai enam bulan agar seluruh proses birokratis yang ada selesai. Persyaratan lainnya dirasa menyulitkan seperti kepemilikan rekening tabungan maupun waktu pelatihan kerja di Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja legal yang relatif lebih lama. Sementara dari segi pull factors, Malaysia dinilai memiliki sejumlah kelebihan yang dapat menarik tenaga kerja ilegal asal Indonesia. Pull factors ini diantaranya meliputi kesempatan kerja yang lebih besar dengan perolehan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah di Indonesia. Pada tahap awal kedatangan tenaga kerja ilegal asal Indonesia tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi dengan semakin besarnya jumlah tenaga kerja ilegal maupun penyebaran tenaga kerja ilegal ini ke wilayah kota yang semula hanya menempati wilayah pedesaan tenaga kerja ilegal telah mendatangkan keresahan publik di Malaysia. Tenaga kerja ilegal dipandang telah membawa ancaman multidimensi dari segi ekonomi, kriminalitas, sosial budaya maupun kesehatan. Permasalahan yang
44
Ibid.
ditimbulkan oleh para TKI ilegal asal Indonesia ini mendorong Pemerintah Malaysia untuk mengeluarkan kebijakan pendeportasian mereka. Setelah peristiwa deportasi tahun 2002 (peristiwa Nunukan), rencana Pemerintah Malaysia untuk mendeportasi para pendatang asing ilegal (PATI) sudah mulai dilaksanakan. Deportasi besar-besaran PATI di Malaysia, yang secara legal berbentuk kebijakan Operasi Nyah III, kali ini di prioritaskan di Negeri Bagian Sabah. Disana jumlah PATI memang sangat besar, dan yang terbesar berasal dari Indonesia. Pihak imigrasi Malaysia mencatat, antara tahun 2003-2008, 1,6 juta warga negara Indonesia masuk ke negeri bagian Sabah. Menurut catatan resmi mereka sekitar 861.000 orang dari WNI ilegal kembali ke tanah air secara suka rela dan dengan cara di deportasi paksa oleh Pemerintah Malaysia. Sekitar 799.000 orang masih berada disana, dan sekitar 600.000 orang diantaranya berstatus ilegal. Sejak berubahnya peraturan Imigrasi di Malaysia tahun 2002 lalu, pemerintah Malaysia gencar merazia para pendatang haram. Razia tidak cuma dilakukan oleh pihak kepolisian dan imigrasi, bahkan satuan khusus dari masyarakat sipil dibentuk untuk melancarkan pelaksanaan kebijakan ini, ikatan Relawan rakyat Malaysia (RELA), adalah pasukan sipil yang dibentuk dan mulai naik daun karena sepak terjangnya dalam menjalankan operasi razia para pendatang haram. Pasca booming deportasi pada tahun 2002 lalu, Pemerintah Malaysia secara reguler terus melakukan upaya deportasi. Dua kali dalam seminggu, tepatnya setiap hari Selasa dan Jum’at kita bisa dapatkan rombongan deportan merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Setiap minggunya antara 100 – 500 orang dipulangkan, tentunya setelah menjalani hukuman, penjara dan cambuk. Pemulangan biasanya melalui jalur Tanjungpinang – Tanjung Priok dan daerah perbatasan Entikong Kalimantan Barat. Setelah pencanangan operasi Nyah III, gelombang deportasi mulai meningkat, 500 – 1000 orang perminggu mulai di pulangkan. Persoalan buruh migran adalah salah satu persoalan sensitif dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Kebijakan deportasi bagi PATI adalah bentuk dari ketegasan Pemerintah Malaysia dalam membenahi dan menanggulangi persoalan sosial dan politik yang diakibatkan oleh para pendatang haram disana. Pemerintah lokal Negeri Sabah bahkan mencanangkan program tahun 2012 sebagai tahun bersih dari PATI. Menurut mereka, angka kriminalitas terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya para PATI. Tidak hanya menimbulkan masalah sosial tapi juga meluas sampai masalah politik. Sudah bukan rahasia bahwa ada beberapa partai politik disana
menggunakan suara para pendatang haram untuk meraup kemenangan dalam Pemilu. Tetapi
tidak bisa disangkal bahwa pembangunan di Malaysia tergantung dengan
keberadaan buruh migran. Lebih dari 70 % sektor informal diisi oleh buruh migran, sebagai pekerja konstruksi, perkebunan dan jasa. Di rumah-rumah para pegawai pemerintahan dan masyarakat menengah Malaysia, para pekerja rumah tangga diisi oleh tenaga-tenaga migran. Di sektor formal, tak sedikit juga tenaga-tenaga migran mengisi kilang-kilang. Merekalah salah satu penentu meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Kontribusi buruh migran untuk peningkatan pendapatan mereka juga tidak sedikit. Di beberapa negeri bagian seperti Selangor, pemerintah lokalnya menarik retribusi dengan pemotongan upah sebesar RM 10 setiap bulannya dari para buruh migran yang bekerja disana. Dari keringat para buruh migran legal, setiap tahun ratarata RM 1,4 Milyar masuk ke pundi-pundi pendapatan negara Malaysia, melalui program penarikan pajak dan retribusi Employees Provident Fund (EPF). Sebuah data yang bersumber dari sebuah organisasi masyarakat di Sabah mengungkapkan, terdapat sekitar 900.000 buruh migran bekerja di perkebunan-perkebunan milik perusahaan besar antara lain FELDA, FELCRA, Lembaga Tabung Haji, Golden Hope, IOI dan sebagainya. Sejumlah 300.000 orang diantaranya sengaja dibiarkan bekerja secara ilegal, sekitar 600.000 dapat bekerja legal tapi dengan dokumen-dokumen aspal (asli tapi palsu). Memang tak bisa dipungkiri, dibalik kesuksesan Malaysia sebagai salah satu negara terbesar penghasil CPO di dunia adalah buruh migran berupah murah sebagai penopang utamanya. Fenomena pembiaran dalam mempekerjakan buruh migran ilegal dengan sengaja di berbagai sektor adalah kenyataan bahwa Malaysia masih bergantung pada tenaga murah buruh migran sebagai penopang pertumbuhan ekonomi mereka. Pada saat yang sama, razia besar-besaran terhadap buruh migran ilegal juga dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Besarnya biaya yang harus di keluarkan dalam pengurusan izin kerja, selain memberatkan para buruh migran juga membuat para pengguna tenaga buruh migran, baik itu majikan atau perusahaan dan perkebunan memilih mempekerjakan mereka yang ilegal. Perlu di catat bahwa setiap buruh migran yang ingin bekerja dengan legal harus membayar RM 1800 untuk izin kerja. Tidak ada sanksi tegas dari Pemerintah Malaysia bagi para pengguna tenaga buruh migran (employer) yang mempekerjakan buruh migran ilegal, kesalahan sepenuhnya di limpahkan kepada buruh migran. Sehingga mereka yang ilegal harus siap
dideportasi sewaktu-waktu, baik karena terjaring razia atau kesengajaan para tekong (employer) yang melaporkan keberadaan mereka kepada pihak aparat untuk dirazia.
B. Teori yang berkaitan dengan Migrasi Penduduk Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005) menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia homo sapiens telah terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Dorongan utama dilakukannya migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri umat manusia untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Kanaan (yang sekarang disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan bangsa-bangsa lainnya45. Para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson: 1973; Broek, Julien Van den: 1966). Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Banyak studi memperlihatkan bahwa bentukbentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh individu akan sangat berlainan, antara alasan karena ekonomi dengan politik (Peterson, W: 1995; Kunz, F: 1973). Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migration).46 Helen Huges dalam bukunya “Immigrant, refugees, and Asylum Seekers (Helen Huges: 2002) menjelaskan bahwa sejarah perpindahan manusia (migrasi) dan faktorfaktor penyebabnya. Menurut Helen Huges, migrasi sama tuanya dengan sejarah manusia. Awalnya mungkin karena perubahan lingkungan dan cuaca yang sulit, kemudian migrasi manusia berkembang ke arah politik dan ekonomi, misalnya konflik di Irlandia Utara, “penghapusan etnik” di Balkan, pembantaian etnis Tutsi di Afrika dan konflik Palestina – Israel.
45
______, Buku Petunjuk Bagi Petugas dalam rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, IOM, Jakarta, 2009, dikutip dari Asep Kurnia, Implementasi Sismenas pada Penanganan dan Pencegahan Imigran Gelap Guna Memanfaatkan Kemajuan Iptek dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional, Kertas Karya Perorangan (Taskap) Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA)XLIV, Lembaga Ketahanan Nasional RI, Tahun 2010, hlm. 25. 46 Bambang Irawan, 2009, Taskap: Implementasi Sistem Informasi Nasional terhadap Lalu Lintas Manusia guna Mengoptimalkan Pembangunan Perekonomian Nasional dalam rangka meningkatkan Ketahanan Nasional, Lemhannas, dikutip dari Asep Kurnia, ibid., hlm, 26.
Helen Huges47 membagi faktor migrasi manusia ke dalam dua hal. Pertama, faktor pendorong (push factor), yaitu suatu keadaan atau kondisi yang sulit di suatu negara misalnya terjadi penindasan agama, etnik atau politik. Dalam kondisi demikian individu-individu yang ditindas berusaha keluar dari kesulitan-kesulitan dan keluar dari negaranya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Kedua, faktor penarik (pull factor) merupakan suatu keadaan yang lebih baik di negara tujuan, baik dari segi ekonomi (kesejahteraan) maupun politik (keamanan).
C. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Penanganan WNI yang Dideportasi Khususnya bagi Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (dari Malaysia)48 Keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, dan adanya kemajuan di bidang teknologi informasi dan transportasi serta berbagai alasan lainnya, telah mendorong meningkatnya migrasi penduduk Indonesia ke Malaysia. Proses migrasi ini didorong oleh keinginan mencari pekerjaan di berbagai jenis pekerjaan yang tidak memerlukan teknologi tinggi, dimana banyak tersedia di Malaysia karena telah ditinggalkan oleh warga tempatan. Jenis pekerjaan yang kasar, kotor, dan bahkan berbahaya, banyak diisi oleh tenaga kerja Indonesia yang umumnya berpendidikan rendah, yang walaupun dibayar dengan gaji murah tetap diterima karena bagaimanapun masih memperoleh penghasilan. Banyaknya minat TKI yang ingin bekerja di Malaysia telah banyak disalahgunakan oleh berbagai pihak yang justru mencari untung dari kondisi yang ada, dengan mengirimkan TKI tidak melalui prosedur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. TKI dikirimkan menggunakan visa kunjungan, bahkan mengirimkan secara ilegal melalui pelabuhan tradisional dan jalan-jalan tikus yang banyak terdapat di daerah sepanjang perbatasan RI-Malaysia di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Malaysia, mereka sudah ditunggu oleh makelar tenaga kerja yang kemudian membawa mereka ke tempat kerjanya, dengan status ilegal dengan segala konsekuensinya. 47
Helen Huges, Immigrant, Refugess, and Asylum Seekers, a Global View, NCW, The Centre for Independent Studies Limited, hlm. 21, dikutip dari Asep Kurnia, ibid. 48 Dikutip dari Petunjuk Pelaksanaan dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TKIB) dari Malaysia, Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB), Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 2009.
Para pendatang di Malaysia yang tidak berdokumen, atau dokumennya tidak lengkap disebut Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI), yang tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga datang dari Bangladesh, India, Vietnam, Thailand, Cina, dan lainlain. Walaupun PATI banyak jasanya pada proses pembangunan di Malaysia, namun mereka juga menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyakit, obat-obatan terlarang, pencurian, perampokan, penipuan, perkelahian, pembunuhan, dan sebagainya. Pemerintah Malaysia seolah menutup mata terhadap keterlibatan bahkan mungkin adanya sindikasi orang Malaysia dalam penyaluran dan penempatan PATI di negara tersebut, yang menyebabkan jumlah PATI seolah tidak pernah mengalami penurunan walaupun telah dilakukan razia dan dideportasi besar-besaran sejak tahun 2002. Pemerintah Malaysia sejak tahun 2002 telah menggelar Operasi Nyah (operasi pengusiran) yang memenjarakan, mengenakan denda, dan menghukum sebat (cambuk) bagi PATI yang tertangkap, dan operasi ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2008 muncul rencana tentang Operasi Bersepadu yang akan dilaksanakan di Negeri Sabah Malaysia. Namun atas desakan para pengusaha, Pemerintah Malaysia kemudian mengeluarkan kebijakan “pemutihan” dengan memberikan kesempatan selama tiga bulan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2008, kepada perusahaan dan majikan untuk mendaftarkan tenaga kerjanya yang dijamin tetap dipekerjakan di perusahaannya. Tenaga kerja yang mendapat jaminan perusahaan dan atau majikan, mendapat keringanan yaitu dapat mengurus dokumennya tanpa perlu pulang ke negara asalnya. Selebihnya, bagi PATI yang tidak memperoleh jaminan, akan dirazia dan dideportasi dari Malaysia. Dalam rangka perlindungan WNI termasuk yang berada di luar negeri, Pemerintah RI berkewajiban untuk memberikan layanan yang proporsional dan layak, baik dalam rangka pemutihan maupun bagi mereka yang dipulangkan ke Indonesia. Pemulangan TKI Bermasalah (TKIB) dan keluarganya dari Malaysia diselenggarakan dan menjadi tanggung jawab instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dalam rangka perlindungan pada saat pemulangan TKIB dari Malaysia, Pemerintah Indonesia telah mengatur proses pemulangan ini melalui Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB). Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) disebutkan bahwa tugas TK-PTKIB adalah
untuk menyusun dan mengkoordinasikan kebijakan dan program pemulangan TKIB ke Indonesia, dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak asasi manusia. Dalam melaksanakan tugas, TK-PTKIB mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk: 1. Melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Pemerintah Malaysia atas dasar prinsip tanggung jawab bersama. 2. Melaksanakan pendataan sebelum keberangkatan/pemulangan. 3. Melakukan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan. 4. Melakukan pengecekan dan pengurusan hak-hak gaji/upah/ penghasilan lain, harta benda, piutang serta hak-hak melekat lainnya. 5. Pemberian dokumen perjalanan/Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). 6. Mengatur
pengangkutan
sesuai
dengan
jadwal
dan
lokasi
tujuan
pemulangan/daerah asal. 7. Melaksanakan pengawalan, penjagaan, pengamanan dan perlindungan selama perjalanan sampai ke tempat asal. 8. Pemberian pelayanan kebutuhan dasar sejak dari penampungan, selama perjalanan sampai ke tempat asal. 9. Mempersiapkan kembali menjadi Tenaga Kerja Indonesia yang berkualitas dan memenuhi persyaratan. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, TK-PTKIB melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.05A/KEP/MENKO/KESRA/I/2009, membentuk Satuan Tugas Pemulangan TKI Bermasalah serta Pekerja Migran Bermasalah Sosial dan Keluarganya dari Malaysia, yang terdiri dari pejabat-pejabat teknis sektor terkait. Di pusat, TK-PTKIB menggalang kerjasama dengan badan-badan dan lembaga internasional, sedang di tingkat daerah, TK-PTKIB bekerjasama dengan gubernur dan bupati/walikota daerah entry dan exit point serta daerah asal TKIB, dan/atau dengan pihak lain yang dipandang perlu. Tim Koordinasi membuat berbagai strategi yang kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan operasional TK-PTKIB sebagai berikut: 1. Koordinasi dalam rangka memfasilitasi dan menjembatani instansi sektoral pusat dan daerah serta pihak lain yang diperlukan, dilakukan dengan memprioritaskan pada institusi/lembaga yang terkait langsung di lapangan.
2. Koordinasi peningkatan pengetahuan dan pemahaman TKIB dan calon TKI tentang cara bermigrasi yang baik dan aman serta terhadap kebijakan deportasi Pemerintah Malaysia terhadap PATI di Malaysia dilakukan dengan proaktif melibatkan aparat Perwakilan RI di Malaysia dan komunitas penduduk Indonesia yang ada di Malaysia, bekerja sama dengan institusi/lembaga tempatan yang peduli. 3. Koordinasi kemampuan aparatur baik pusat, daerah, dan di Perwakilan RI di Malaysia serta pihak lain yang diperlukan, dilakukan melalui pembina teknis instansi sektoral masing-masing. 4. Koordinasi peningkatan dan pengembangan kemitraan dan jejaring kerja dilaksanakan dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi dan kemudahan komunikasi serta ketersediaan fasilitas jaringan internet dan mengupayakan adanya pertukaran data dan informasi secara teratur. 5. Koordinasi pengembangan Polmas di daerah perbatasan dilakukan dengan memfasilitasi peningkatan peran masyarakat dengan petugas.
Melalui berbagai pertimbangan termasuk konsultasi dan masukan dari Pemerintah RI, Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan dan memberikan kemudahan kepada TKIB yang mendapat jaminan dari perusahaan dan majikan di Malaysia, untuk dapat memperbaharui dokumennya tanpa harus pulang ke Indonesia. Terhadap kebijakan “pemutihan” dari Pemerintah Malaysia ini, diperlukan langkahlangkah pelaksanaan tersendiri. Selanjutnya bagi TKIB yang tidak dijamin dari perusahaan dan atau majikan di Malaysia, dan dirazia kemudian dideportasi ke Indonesia, langkah-langkah pelaksanaan penanganan dan pemulangannya sampai ke daerah asal, termasuk bagi yang ingin bekerja kembali menjadi TKI berkualitas dan memenuhi persyaratan, diatur melalui pembagian tugas pusat dan daerah dan disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Secara skematis, bagan alur pemutihan, penanganan dan pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) dan Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS) dari Malaysia ke daerah asalnya di Indonesia, serta penempatan kembali mereka yang memenuhi syarat untuk dapat bekerja di Malaysia, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Alur Penanganan dan Pemulangan TKIB/PMBS
Bagi TKIB/PMBS Pemutihan, Pemerintah RI melalui Perwakilan RI di Malaysia memberikan bantuan pelayanan dokumen melalui Pelayanan Warga (Citizen Service), setelah ada surat dari jabatan Imigresen Malaysia, dan setelah perusahaan dan atau majikan yang menjaminnya memenuhi berbagai persyaratan terkait dengan hubungan ketenagakerjaan yang diperlukan. Bagi TKIB/PMBS deportasi, Pemerintah Malaysia berkewajiban mengantarkan TKIB/PMBS tersebut sampai di entry point tertentu di wilayah Indonesia. Pemerintah RI melalui pemerintah daerah setempat berkewajiban menerima TKIB/PMBS tersebut, memberikan penampungan, permakanan, memberikan layanan kesehatan dan memulangkan mereka ke daerah asalnya masing-masing atas biaya Pemerintah RI. Bagi TKIB/PMBS yang ingin kembali bekerja di Malaysia, dapat difasilitasi setelah memenuhi berbagai persyaratan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Langkah-langkah penanganan dan pemulangan TKIB/PMBS dari Malaysia sampai ke daerah asalnya di Indonesia, serta penempatannya kembali menjadi TKI berkualitas dan memenuhi persyaratan, adalah sebagai berikut:
1. Di Malaysia Pemberian layanan kepada TKIB/PMBS Pemutihan di Malaysia dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri melalui Perwakilan RI di Malaysia bekerja sama dengan Pemerintah Malaysia dan instansi setempat yang berwenang. TKIB/PMBS Pemutihan a. Perwakilan RI membantu Pemerintah Malaysia melaksanakan sosialisasi kebijakan pemutihan TKIB/PMBS beserta masa berlakunya, kepada aparat Perwakilan RI, kepada TKIB/PMBS dan kepada masyarakat Indonesia di Malaysia. b. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan Jabatan Imigresen Malaysia mengenai PATI yang disangkakan TKIB/PMBS, yang telah dijamin dan didaftarkan oleh perusahaan dan atau majikan untuk pengurusan legalisasi dokumennya. c. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah Malaysia yang terkait untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak TKI/Pekerja Migran (PM) di Malaysia. d. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah Malaysia yang terkait untuk legalisasi dokumen TKIB/PMBS Pemutihan. e. Perwakilan RI melakukan verifikasi terhadap data PATI dari Jabatan Imigresen Malaysia yang disangkakan TKIB/PMBS, serta melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang benarbenar WNI. f. Perwakilan RI melalui Pelayanan Warga (Citizen Service) memberikan layanan legalisasi dokumen TKIB/PMBS setelah lengkap persyaratan hubungan ketenagakerjaannya dengan perusahaan dan atau majikan. Layanan juga diberikan kepada keluarga TKIB/PMBS yang telah memenuhi persyaratan. g. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah Malaysia yang terkait untuk kemudahan memberikan perijinan bagi anak-anak TKI yang akan bersekolah di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SI-KK), dalam sekolah-sekolah swakarsa masyarakat Indonesia di Malaysia. h. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah RI terkait dengan penanganan TKIB/PMBS Pemutihan dan TKIB/PMBS Deportasi termasuk masalah pendidikan anak-anak TKI, dengan tetap berkomunikasi dengan Satgas TK-PTKIB.
TKIB/PMBS Deportasi a. Perwakilan RI membantu Pemerintah Malaysia melaksanakan sosialisasi kebijakan penanganan PATI kepada aparat Perwakilan RI, kepada TKIB/PMBS dan kepada masyarakat Indonesia di Malaysia. b. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan Jabatan Imigresen Malaysia mengenai PATI yang disangkakan TKIB/PMBS, yang telah dirazia, ditahan di detention center, diproses pengadilan, dan yang akan dideportasi. c. Perwakilan RI melakukan verifikasi terhadap data PATI dari Jabatan Imigresen Malaysia yang disangkakan TKIB/PMBS dan yang akan
d.
e.
f.
g.
h.
i.
dideportasi, dengan melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang benar-benar WNI. Perwakilan RI mengeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) kepada TKIB/PMBS yang telah diverifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perwakilan RI melakukan koordinasi dengan Pemerintah Malaysia untuk memberikan layanan kesehatan bagi yang memerlukan atas tanggungan Pemerintah Malaysia sebagai pihak pendeportasi. Perwakilan RI melakukan pendataan tentang TKIB/PMBS dan masalahnya, serta memberikan laporannya secara periode ke Kementerian Luar Negeri dan Satgas TK-PTKIB. Perwakilan RI meneruskan data pemberangkatan TKIB/PMBS Deportasi dari Jabatan Imigresen Malaysia kepada Posko/Satgas TK-PTKIB di entry point tujuan di wilayah Indonesia dengan tembusan ke Kementerian Luar Negeri dan Satgas TK-PTKIB. Pemerintah Malaysia memberangkatkan TKIB/PMBS deportasi dari port exit point di Malaysia ke port entry point wilayah Indonesia yang telah ditentukan. Pemerintah Malaysia menyerahkan TKIB/PMBS deportasi kepada Posko/Satgas TK-PTKIB di entry point di wilayah Indonesia yang telah ditentukan.
TKIB/PMBS yang Meninggal Dunia a. TKIB/PMBS yang meninggal dunia saat berada di Malaysia baik dalam rangka pemutihan dan atau deportasi, Perwakilan RI memastikan kasus tersebut dilaporkan kepada kepolisian setempat, dan jenazahnya dimintakan visum ke rumah sakit dan disimpan untuk beberapa waktu. b. Perwakilan RI memverifikasi identitas diri jenazah TKIB/PMBS (foto, sidik jari) dan identitas serta informasi lainnya dari teman-teman almarhum/almarhumah TKIB/PMBS. c. Perwakilan RI menyampaikan berita kematian kepada pihak keluarga almarhum/almarhumah TKIB/PMBS ke daerah asalnya secara langsung atau melalui Kementerian Luar Negeri dan meminta persetujuan tempat pemakaman dengan tembusan ke Satgas TK-PTKIB, Satgas PTKIB Provinsi dan Kabupaten/Kota. d. Jika pihak keluarga memutuskan pemakaman di Indonesia, maka khusus bagi TKI, tanggung jawab biaya pemulangan dapat menghubungi majikan atau agen pengirim dan agen penerima. Sedang bagi TKIB/PMBS, biaya pemulangan menjadi tanggung jawab Perwakilan RI. e. Perwakilan RI mengeluarkan dan melegalisasi surat kematian/visum, surat pengiriman jenazah (setelah ada kejelasan dan kepastian alamat pihak penerima jenazah di Indonesia), salinan paspor, surat keterangan dari ahli forensik yang menyatakan jenazah dapat dikirim sesuai dengan ketentuan penerbangan. f. Perwakilan RI memastikan jenazah telah diproses sesuai dengan agama atau keyakinannya sebelum dikirim ke Indonesia. g. Perwakilan RI memastikan pihak majikan/agen sudah mengurus dan menyelesaikan segala biaya yang muncul sampai ke daerah asal.
h. Perwakilan RI menyampaikan laporan kepada Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri mengenai pemulangan jenazah dengan melampirkan salinan dokumen. i. Apabila jenazah tidak dimungkinkan untuk dipulangkan ke Indonesia karena sesuatu dan lain hal, Perwakilan RI disarankan melakukan pemakaman di negara setempat, kecuali ada keputusan lain dari instansi terkait di Indonesia. j. Perwakilan RI mengirmkan bukti pemakaman dan dokumen terkait kepada ahli waris melalui Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri untuk pencatatan kematian di Indonesia dan mengirimkan sisa gaji/uang santunan dan atau asuransi kepada ahli waris secara langsung atau transfer bank dan melapor pada Kementerian Luar Negeri. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan prosedur penanganan TKIB di Malaysia berdasarkan tugas yang diemban oleh TK-PTKIB. Di samping itu, perwakilan Pemerintah RI di luar negeri, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Nomor 4 Tahun 2008 Pelayanan Warga di Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Pasal-pasal berikut ini merupakan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia di luar negeri yang mengalami masalah, termasuk masalah deportasi. Pasal 3 Pelayanan Warga mempunyai tugas: (1) meningkatkan kualitas pelayanan dan memperkuat perlindungan kepada WNI baik dalam bentuk jasa ataupun perijinan melalui transparansi dan standardisasi pelayanan yang meliputi persyaratan-persyaratan, target waktu penyelesaian, dan tarif biaya yang harus dibayar untuk mendapatkan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan dan menghapuskan pungutan-pungutan liar; (2) sebagai koordinator dan penanggungjawab dalam pelaksanaan tugas pelayanan dan perlindungan WNI di Perwakilan. Pasal 4 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, Pelayanan Warga menyelenggarakan fungsi: a. Registrasi/Lapor Diri WNI; b. Memberikan bantuan dan perlindungan kekonsuleran; c. Memberikan pelayanan dan perlindungan warga bagi WNI yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia; d. Memberikan pelayanan dan perlindungan warga bagi WNI yang menjadi awak kapal dan nelayan; e. Menyediakan penampungan dan pemberian konseling; f. Menyusun dan meng-update data base WNI. g. Tertib Administrasi Pasal 12 (1) Dalam hal diperlukan bantuan hukum, Koordinator Pelayanan Warga dapat meminta bantuan jasa pengacara setempat untuk membela kepentingan WNI
(2) (3) (4)
(5)
dalam proses persidangan di negara penerima atas persetujuan Kepala Perwakilan. Kepala Perwakilan dapat menyewa jasa penasehat hukum setempat untuk menangani kasus-kasus WNI selama satu tahun dengan sistem kontrak. Biaya sewa jasa Pengacara dan Penasehat Hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), dibebankan pada anggaran Perwakilan. Dalam hal menghadapi kasus-kasus yang memerlukan penanganan khusus dan anggaran Perwakilan tidak mencukupi, atas persetujuan Sekretaris Jenderal, Kepala Perwakilan dapat menyewa jasa Pengacara dan/atau Penasehat Hukum atas beban anggaran belanja Kementerian Luar Negeri. Kepala Perwakilan wajib melaporkan penunjukan dan pemberhentian Pengacara dan/atau Penasehat Hukum kepada Sekretaris Jenderal.
Pasal 13 (1) Pengacara dan/atau Penasehat Hukum mempunyai tugas membantu Pelaksana Pelayanan Warga dalam menyelesaikan masalah WNI termasuk beracara di pengadilan negara penerima. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengacara dan/atau Penasehat Hukum menyelenggarakan fungsi: a. meneliti dan mengkaji semua dokumen dan data mengenai WNI yang diperlukan untuk beracara di pengadilan negara penerima; b. mengatur strategi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk memenangkan perkara WNI yang bermasalah di pengadilan negara penerima; c. memberikan pandangan hukum kepada Perwakilan mengenai upaya pembelaan bagi WNI bermasalah, termasuk masalah prosedural penanganan masalah WNI di pengadilan negara penerima. d. mewakili Perwakilan dan membela WNI di pengadilan negara penerima. 2. Di Indonesia Pemberian layanan kepada TKIB/PMBS di entry point di wilayah Indonesia, di daerah transit sampai ke daerah asalnya, dilakukan secara terpadu oleh Posko/Satgas TK-PTKIB Daerah, yang beranggotakan dinas-dinas dan sektor terkait serta pihak Kepolisian dan TNI. Dalam memberikan layanan, Posko/Satgas TK-PTKIB Daerah dapat bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang dipandang perlu. a. Persiapan 1) Pembentukan Satuan Tugas (Satgas)/Tim Koordinasi Pemulangan TKIB sebagaimana Radiogram Menteri Dalam Negeri No. 560/2909/SJ tanggal 29 Oktober 2004. 2) Sosialisasi program Pemerintah Malaysia terhadap PATI melalui program pemutihan, serta operasi Nyah yang akan mendeportasi TKIB/PMBS ke daerah entry point terdekat di Indonesia, beserta masa berlakunya kepada Satgas/Posko PTKIB, dan kepada masyarakat umum. 3) Sosialisasi penempatan kembali TKIB/PMBS menjadi tenaga kerja Indonesia yang berkualitas dan memenuhi persyaratan. 4) Penyediaan anggaran talangan, APBD dan APBN untuk mendukung operasional Satgas/Posko PTKIB.
5) Menggalang kerjasama pemerintah, swasta dan kelembagaan masyarakat pusat dan daerah dalam penyediaan sarana dan prasarana layanan penampungan, transportasi, permakanan, kesehatan, keamanan, dan lainlain yang diperlukan.
b. Penerimaan di Entry Point 1) Daerah entry point yang disepakati Satgas TK-PTKIB ada 12 lokasi, ada yang berstatus kabupaten/kota (Belawan, Sumatera Utara: Dumai, Riau; Tanjungpinang: Tanjung Balai Karimun, Batam, Kepulauan Riau; Entikong, Kalimantan Barat; Nunukan, Kalimantan Timur; Pare-pare, Sulawesi Selatan) dan atau ibukota provinsi (Tanjung Priok, DKI Jakarta; Tanjung Emas, Jawa Tengah; Tanjung Perak, Jawa Timur; dan Mataram, NTB). 2) Satgas PTKIB melakukan penerimaan dan pemeriksaan manifest hasil verifikasi deportasi TKIB/PMBS dari Perwakilan RI di Malaysia. 3) Penerimaan deportan dari Malaysia melalui perusahaan pengangkutan yang ditunjuk oleh Pemerintah Malaysia. 4) Pemeriksaan silang manifest dengan dokumen TKIB/PMBS oleh petugas Imigrasi. Jika ditemukan adanya deportan non-WNI, maka ditolak pendaratannya dan dikembalikan pada kesempatan pertama. c. Penerimaan di Daerah Transit 1) Daerah transit dapat berstatus sebagai ibukota provinsi dan atau ibukota kabupaten/kota. Dalam hal tidak ada Satgas PTKIB di daerah transit, maka Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BP3TKI, menyelenggarakan pemulangan TKIB/PMBS di wilayahnya. 2) Penerimaan dan pemeriksaan manifest dan berita acara penyerahan TKIB/PMBS kepada perusahaan pengangkutan dari Satgas PTKIB daerah entry point, dan atau dari Perwakilan RI di Malaysia. 3) Penerimaan TKIB/PMBS dari perusahaan pengangkutan yang dituangkan dalam berita acara penerimaan. 4) Pendataan TKIB/PMBS yang datang di tempat transit, untuk diperiksa silang dengan data dan informasi yang dikirim oleh Posko/Satgas PTKIB entry point dan atau dari Perwakilan RI di Malaysia. 5) Pemberian layanan penampungan, permakanan, kesehatan dan keamanan kepada TKIB/PMBS transit yang harus menunggu pemulangannya ke daerah asalnya. 6) Pemberian layanan kesehatan di daerah transit dapat dilakukan oleh petugas KKP dan apabila tindakan tidak dapat dilakukan KKP setempat dan atau di transito, maka pasien dapat dirujuk ke puskesmas terdekat dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat. d. Penerimaan di Provinsi Asal 1) Provinsi asal dapat sekaligus berfungsi sebagai daerah entry point dan atau daerah transit. Dalam hal belum ada Satgas PTKIB, maka Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BP3TKI, menyelenggarakan pemulangan TKIB/PMBS di wilayahnya.
2) Penerimaan dan pemeriksaan manifest dan berita acara penyerahan TKIB/PMBS kepada perusahaan pengangkutan dari Satgas PTKIB daerah entry point, dan atau dari daerah transit, dan atau dari Perwakilan RI di Malaysia. 3) Penerimaan TKIB/PMBS dari perusahaan pengangkutan yang dituangkan dalam berita acara penerimaan. 4) Pendataan TKIB/PMBS yang datang di provinsi asal, untuk diperiksa silang dengan data dan informasi yang dikirim oleh Posko/Satgas PTKIB entry point, dan atau daerah transit, dan atau dari Perwakilan RI di Malaysia. 5) Pemberian layanan penampungan, permakanan, kesehatan dan keamanan kepada TKIB/PMBS transit yang harus menunggu pemulangannya ke daerah asalnya. e. Penerimaan di Kabupaten/Kota Asal 1) Kabupaten/Kota asal dapat sekaligus berfungsi sebagai daerah entry point dan atau daerah transit. Dalam hal belum ada Satgas PTKIB, maka Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BP3TKI, menyelenggarakan pemulangan TKIB/PMBS di wilayahnya. 2) Pendataan TKIB/PMBS yang datang di Kabupaten/Kota asal, dilakukan untuk pemeriksaan silang dengan data dan informasi yang dikirim oleh Posko/Satgas PTKIB entry point, dan atau daerah transit, dan atau Provinsi asal, dan atau dari Perwakilan RI di Malaysia. 3) TKIB/PMBS melapor ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri (SKDLN). 4) Mengisi formulir Biodata (F1-01) bagi TKIB/PMBS yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). 5) Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerbitkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi yang bersangkutan. f. Penerimaan di Desa/Kelurahan Asal 1) Mantan TKIB/PMBS melapor ke desa dengan menyerahkan Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri (SKDLN) ke kepala desa/lurah. 2) Petugas registrasi desa/kelurahan mencatat mantan TKIB/PMBS tersebut dalam Buku Induk Penduduk (BIP) dan Buku Mutasi Penduduk (BMP). g. Pembinaan dan Pemberdayaan 1) Satgas PTKIB kabupaten/kota melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan atau Dinas Sosial dan atau Dinas Pemberdayaan Perempuan melakukan identifikasi kebutuhan pembinaan dan pemberdayaan pada mantan TKIB/PMBS, serta kepada calon TKI/PM yang ada di kelurahan/desa setempat. 2) Satgas PTKIB kabupaten/kota mensosialisasikan kepada mantan TKIB/PMBS, kepada calon TKI/PM dan masyarakat luas bagaimana cara dan persyaratan yang diperlukan untuk menjadi TKI dan pekerja migran yang legal di luar negeri. 3) Mantan TKIB/PMBS yang ingin kembali menjadi TKI, difasilitasi untuk menyelesaikan dokumen perjalanan dan izin kerja bekerjasama dengan PPTKIS yang kompeten. 4) Mantan TKIB/PMBS yang ingin menetap di desa/kelurahan asalnya, diberikan pendidikan life-skill sesuai dengan potensinya, dan diberikan pendampingan agar berhasil dalam membangun dan mengembangkan usahanya.
5) Polmas (kepolisian masyarakat) di desa/kelurahan setempat memberikan perlindungan dan pengawasan, agar mantan TKIB/PMBS dan calon TKI/PM terhindar dari calo-calo tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab. Koordinasi penyelenggaraan layanan kepada TKIB dan PMBS di daerah, dilaksanakan melalui Kementerian Dalam Negeri
yang juga anggota TK-PTKIB.
Menteri Dalam Negeri melalui Radiogram No. 560/2909/SJ tanggal 29 Oktober 2004 telah meminta kepada gubernur dan bupati/walikota daerah entry point, transit, dan daerah asal untuk membentuk Satgas secara lintas sektoral dengan tugas operasional untuk menangani penerimaan dan pemulangan TKIB dan PMBS dari Malaysia, dan melaksanakan hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Mengkoordinir tugas sektor secara terpadu; Mengkoordinir pengangkutan dari debarkasi ke daerah asal; Melakukan pendataan dengan identitas diri yang jelas; Mempersiapkan tempat transit sementara; Mempersiapkan pelayanan kesehatan mulai dari KKP, transito, sampai di RS rujukan dan mengupayakan tidak terjadinya penyebaran penyakit yang menyebabkan wabah/kejadian luar biasa (KLB); 6. Memprioritaskan pelayanan khusus kepada kaum wanita dan anak; 7. Mencegah adanya penyelundupan manusia serta narkoba; 8. Melakukan pengamanan dan penegakan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pemerintah daerah diharapkan memberikan bantuan serta memfasilitasi kegiatan di lapangan secara optimal sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah. Mekanisme penyelenggaraan layanan kepada TKIB dan PMBS, di tingkat lapangan dilaksanakan oleh dinas-dinas yang tergabung dalam Posko/Satgas PTKIB Daerah, dengan didukung oleh anggaran masing-masing sektor dan APBD, untuk selanjutnya dikoordinasikan secara vertikal ke pusat melalui mekanisme sektoral maupun pemerintah daerah kepada sektor induk di pusat yang juga tergabung dalam Satgas TK-PTKIB. Di dalam negeri, pemerintah-pemerintah daerah yang wilayahnya berbatasan dengan Malaysia berinisiatif menerbitkan kebijakan-kebijakan perlindungan bagi para deportan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sumatera Utara, demikian juga pemerintah-pemerintah kabupaten di provinsi-provinsi tersebut berinisiatif untuk melakukan penanganan, pelayanan dan perlindungan para buruh migran
yang dideportasi dari Malaysia.
Provinsi Kalimantan Barat menerbitkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 221/Kesos/2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bermasalah di Luar Negeri, Provinsi Kepulauan Riau menerbitkan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 27 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS) di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sumatera Utara menerbitkan Keputusan
Gubernur
(menggantikan
Sumatera
Keputusan
Utara
Gubernur
Nomor:
560.05/1436
Nomor:560/298/Tahun
K/Tahun 2007)
2008 tentang
Pembentukan Tim Pelayanan Pemberangkatan dan Pemulangan TKI di Pelabuhan Belawan dan Bandara Polonia Medan.
Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur
menerbitkan Keputusan Bupati Nunukan Nomor 138 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Pengiriman dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia dan Warga Negara Indonesia Bermasalah di Kabupaten Nunukan, demikian juga Walikota Tanjungpinang yang menerbitkan Keputusan Walikota Tanjungpinang No 50 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas (Satgas)/Pos Koordinasi (Posko) Penanganan TKI Bermasalah dan Keluarganya/Korban Trafiking di Debarkasi Kota Tanjungpinang.
D. Tanggung Jawab Negara dalam Bidang Hak Asasi Manusia Teori HAM membedakan dua peran negara dalam pemenuhan HAM, yaitu peran negara dalam terminologi yang negatif (“bebas dari”) dan dalam terminologi yang positif (“hak dari”)49. Terminologi yang pertama ditujukan kepada kategori HAM yang termasuk dalam hak-hak sipil dan politik, sedangkan terminologi yang kedua ditujukan kepada kategori HAM dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak bersifat negatif jika terwujudnya ketiadaan intervensi pemerintah dalam pemenuhan HAM, seperti hak menyuarakan pemikiran dan pendapatnya ataupun kebebasan beragama. Sedangkan kebalikannya, pada kelompok hak yang termasuk kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dituntut peran yang sangat besar dari pemerintah dalam upaya pemenuhannya. Pada kelompok hak ini (ekonomi, sosial dan budaya) intervensi negara dapat dipandang menjadi positif. Hal ini dapat terjadi jika negara bersedia menjalankan kewajibannya untuk menyediakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi warganya. Menurut Jack Donnelly, terdapat perbedaan kualitas antara hak negatif dan hak positif, yaitu: 49
Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan ke-2, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 79.
“It is often argued that there is a qualitative difference between ‘negative’ civil and political rights and ‘positive’ economic and social rights. Negative rights only the forbearance of others to be realized. Violating a negative rights thus involves actively causing harm, a sin of commission. Positive rights require that others provide active support. Violating a positive rights involves only failing to provide assistance, a (presumably lesser) sin of omission”50. Joel Finberg menggunakan istilah hak-hak asasi yang mutlak dan yang relatif untuk menggambarkan bagaimana peranan negara dalam memenuhi hak-hak tersebut51. Hak asasi yang mutlak adalah kelompok hak yang termasuk dalam hak-hak negatif (hak-hak sipil dan politik). Sedangkan hak asasi yang relatif adalah kelompok hak yang termasuk dalam hak-hak positif (hak ekonomi, sosial dan budaya). Menurutnya, hak mutlak adalah hak-hak negatif, karena hak-hak ini tidak menuntut tindakan-tindakan positif atau kontribusi dari pihak-pihak lain, maka hak-hak itu tidak cenderung dipengaruhi kondisi-kondisi kelangkaan. Berdasarkan dua sifat yang berbeda dari peran negara pada dua kelompok hakhak asasi, maka ada dua gagasan besar yang biasanya diperjuangkan para penggiat HAM dan demokrasi52. Gagasan besar pertama terkait upaya pengurangan intervensi negatif negara. Gagasan besar kedua terkait memperbesar intervensi positifnya. Pada prinsipnya, negara yang ideal adalah negara yang meminimalkan intervensi negatifnya dan memaksimalkan intervensi positifnya. Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (rights-based approach) dapat dilihat dalam tiga bentuk. Pertama: menghormati yang merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Kedua: melindungi, yang merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif bagi warga negaranya. Negara bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya dan negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ketiga. Yang terakhir adalah kewajiban untuk memenuhi yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak aktif agar hak-hak warga negaranya terpenuhi. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, 50
Jack Donnelly, 1998, International Human Rights, Colorado, Westview Press, hlm. 25. Joel Filberg, Hak-hak Asasi Manusia, dalam Frans Ceufin SVD, ed., 2004, Hak-hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, Maumere, Penerbit Ledalero, hlm. 154-155. 52 Makmur Keliat, Gerak Bandul Intervensi Negara, dalam Kompas, 16 Mei 2006, hlm. 6. 51
administrasi, hukum, anggaran, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak-hak asasi manusia. Di Indonesia, tanggung jawab negara di bidang HAM menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Juga disebutkan dalam Pasal 71 bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 72 disebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB III HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian: Praktek-Praktek yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam Melindungi WNI yang Dideportasi Penelitian Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam Melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) yang Dideportasi dilakukan di empat Provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada data awal tentang pemulangan WNI bermasalah, yang sebagian TKI ilegal, melalui wilayah perbatasan. Data yang diperoleh dari penelitian lapangan dikategorikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan. Sedangkan data sekunder didapat dari instansi yang melakukan penanganan WNI yang dideportasi, baik berupa kebijakan maupun data kasus tentang deportasi WNI. 1. Provinsi Kalimantan Barat a. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat cq. Asisten II Sekretaris Daerah53 Saat ini Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah mempunyai dasar hukum dalam penanganan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dideportasi, yaitu Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 221/Kesos/2010 tentang Pembentukan
Tim
Koordinasi
Penanggulangan,
Penempatan
dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bermasalah di Luar Negeri. Ketentuan ini dibentuk dengan pertimbangan berbagai hal, antara lain bahwa secara geografis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak Malaysia Timur memiliki banyak akses lintas perbatasan, sehingga dapat menimbulkan kerawanan terjadinya arus keluar masuk TKI secara ilegal yang pada gilirannya mendapat perlakuan yang kurang tepat di luar negeri. Pada akhirnya Pemerintah Malaysia melakukan deportasi terhadap WNI (TKI) bermasalah melalui wilayah perbatasan. Melihat kenyataan ini maka diperlukan upaya penanggulangan, penempatan dan perlindungan terhadap TKI bermasalah yang akan dipulangkan melalui pintu perbatasan Kalimantan Barat. Upaya ini harus dilakukan secara sinergi, 53
Mahmuda, Kepala Bagian Sosial dan Tenaga Kerja pada Biro Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 30 Juni 2010.
terarah, tepat sasaran dan terkoordinir dengan melibatkan satuan kerja perangkat daerah/instansi/sektor terkait di Kalimantan Barat. Berdasarkan
laporan
penanggulangan
TKI
bermasalah/WNI
bermasalah dari Serawak Malaysia melalui Entikong Kabupaten Sanggau yang dibuat oleh Tim Satgas Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan TKI-B di Luar Negeri tahun 2009, terdapat berbagai hal yang menyebabkan TKI/WNI dideportasi dari Malaysia, antara lain terjadi kasus tidak dibayarnya upah, tidak sesuai perjanjian, penempatan kerja pada kegiatan di luar norma kesusilaan, pelanggaran aturan keimigrasian, tindak kekerasan yang mengakibatkan setiap bulan sekitar 300-500 orang dideportasi setelah melalui proses hukum di Serawak maupun dipulangkan tanpa proses hukum. Banyaknya kepulangan tenaga kerja bermasalah dan adanya pemulangan seperti terjadi pada tahun 2004 termonitor sebanyak 7.979 orang, tahun 2005 sebanyak 4.417 orang, tahun 2006 sebanyak 2.182 orang, tahun 2007 sebanyak 2.068 orang dan tahun 2008 tercatat sebanyak 2.343 orang. Sedangkan untuk tahun 2009 tercatat sebanyak 2.936 orang. Proses penanganan terhadap TKI-B atau WNI-B telah dilaksanakan dengan membuka sekretariat penanggulangan dan penanganan TKI-B/WNI-B di Pontianak. Selain itu juga telah disiapkan posko pengendalian di Entikong dengan menempatkan dua orang di Balai Latihan Kerja (BLK) Entikong yang setiap hari berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Sanggau, Kepolisian Sektor Entikong dan LSM dalam rangka penanganan TKI kembali ke daerah asal. Pelaksanaan koordinasi oleh tim Satgas di Pontianak meliputi penanganan permakanan dan pengurusan tiket TKI-B/WNI-B yang akan kembali ke luar Kalimantan Barat dengan penanganan sebagai berikut: 1) Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat: menangani biaya permakanan dan transport sampai ke tempat tujuan. 2) Polsek
Entikong:
menangani
transport
dan
permakanan
yang
pembiayaannya diusulkan oleh Satgas Provinsi ke Kementerian Sosial, untuk mendapatkan penggantian. 3) Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat: menangani biaya untuk TKI bermasalah yang sakit. 4) Kepolisian Daerah Kalimantan Barat: menangani pengamanan TKI bermasalah.
5) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat: menangani pendataan TKI bermasalah Namun sebagaimana disebutkan di dalam laporan bahwa dalam realitanya, pelaksanaan posko belum optimal sepenuhnya sebagaimana direncanakan. Salah satu penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerja tim Satgas adalah anggaran yang masih minim. Menurut informan dari Biro Kesejahteraan Sosial pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Mahmuda (Kepala Bagian Sosial dan Tenaga Kerja), mengatakan bahwa dana untuk pembiayaan tim Satgas dialokasikan dari dana DIPA Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum. Pada tahun 2009, anggaran hanya dialokasikan untuk kerja tim selama lima kali, sedangkan pada tahun 2010 ini dialokasikan dana selama dua belas bulan. Informan mengatakan bahwa sebenarnya diharapkan masing-masing satuan kerja yang tergabung dalam Satgas dapat mengajukan anggaran yang melekat pada Tupoksinya masing-masing sehingga dapat mendukung kinerja tim Satgas. Namun karena keterbatasan kemampuan pemerintah daerah maupun prioritas pembiayaan di masing-masing satuan kerja, maka pada saat ini setiap satuan kerja tidak dapat mengalokasikan anggarannya untuk membantu tugas Satgas. Dengan demikian, satu-satunya sumber pembiayaan tim Satgas hanya berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang didukung oleh dana operasional dari Kementerian Sosial untuk pembiayaan penampungan, permakanan dan pemulangan para deportan.
b. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat54 Dinas
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Pemerintah
Provinsi
Kalimantan Barat adalah Sekretaris dalam Tim Koordinasi Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan TKI Bermasalah di Luar Negeri untuk Provinsi Kalimantan Barat. Tugas yang diberikan kepada instansi ini di dalam tim koordinasi adalah: 1) Melakukan pendataan penempatan dan pemulangan TKI.
54
Rajali, Kepala Seksi Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 30 Juni 2010.
2) Melakukan pengumpulan data jumlah paspor yang dikeluarkan dari Kantor Imigrasi mengenai jumlah WNI/TKI yang ke luar negeri sekaligus jumlah TKI yang dipulangkan atau dideportasi. 3) Menyiapkan laporan pelaksanaan tugas tim kepada gubernur. 4) Menyiapkan penampungan bagi TKI bermasalah yang dipulangkan /dideportasi. 5) Menjalankan penyelenggaraan tugas-tugas kesekretariatan tim. 6) Menyelenggarakan tugas lain yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan keterangan dari Rajali (Kepala Seksi Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Disnakertrans Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat) bahwa tugas utama dari Disnakertrans di dalam tim koordinasi adalah melakukan koordinasi dengan instansi lain yang tergabung dalam Satgas. Selain itu, jika dikaitkan dengan Tupoksi Disnakertrans maka tugas utama instansi ini adalah melakukan pendataan terhadap TKI bermasalah yang dideportasi melalui wilayah perbatasan. Berdasarkan pendataan ini maka dapat dikategorikan antara TKI yang berangkat melalui jalur Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) secara resmi atau TKI yang memilih jalur ilegal. Jika TKI dikategorikan sebagai TKI yang diberangkatkan
oleh
PPTKIS
maka
TKI
yang
bersangkutan
akan
dikembalikan kepada PPTKIS untuk diselesaikan permasalahannya. Bagi TKI yang berangkat secara ilegal maka akan tetap mendapatkan penanganan oleh Disnakertrans (informan mengistilahkan dengan proses ”memanusiakan” setiap orang) seperti pengurusan permakanan dan pemulangan ke daerah asal. Bagi TKI yang tetap ingin bekerja kembali ke Malaysia maka akan diberi pengarahan untuk bekerja melalui jalur resmi, dengan catatan yang bersangkutan tidak mempunyai permasalahan hukum di negara tujuan (Malaysia). Mereka akan diberikan pengetahuan bagaimana caranya menjadi TKI yang baik dan juga keterampilan yang berhubungan dengan bidang pekerjaan yang akan ditekuninya. Pengetahuan dan keterampilan ini diberikan oleh UPT Disnakertrans yang berada di Entikong yaitu Balai Latihan Kerja melalui kegiatan pemberdayaan calon TKI, maupun pemberdayaan yang diberikan oleh PPTKIS yang ada di Pontianak. Sedangkan bagi para deportan yang memilih untuk tidak kembali bekerja di Malaysia akan diberikan pelatihan-pelatihan yang dapat menimbulkan kemandirian sehingga mampu
membuka usaha sendiri. Pemberdayaan ini dilakukan di tempat asal masingmasing, dan diberikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melalui Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat
dan Keluarga
Berencana bekerjasama dengan pemerintah daerah asal para deportan (kabupaten/kota). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran) Provinsi Kalimantan Barat menghimpun data tentang kondisi penempatan dan perlindungan (pemulangan) TKI di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2004 sampai dengan 2010 dimana penempatan TKI berjumlah 23.422 orang dan pemulangan/deportasi WNI/TKI dari Malaysia melalui border Entikong sebanyak 22.981 orang. Data pertahun dari penempatan maupun pemulangan TKI selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Kondisi Penempatan dan Pemulangan TKI
2004
Jumlah Penempatan TKI 3.327
Jumlah Pemulangan TKI 7.979
2.
2005
2.832
4.418
3.
2006
2.826
2.182
4.
2007
6.196
2.068
5.
2008
4.526
2.343
6.
2009
3.715
2.991
7.
2010 (sampai dengan Mei)
2.279
832
No.
Tahun
1.
Sumber: Disnakertrans Provinsi Kalimantan Barat yang dihimpun dari data penempatan TKI dari BP3TKI Pontianak dari tahun 2004 s/d 2009
Selanjutnya informan mengatakan bahwa meskipun pelaksanaan penanganan para deportan sudah diatur di dalam Keputusan Gubernur yang dinilai sudah cukup baik, namun dalam implementasinya tetap saja belum seluruhnya sesuai dengan ketentuan tersebut. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu masalah kurangnya pembiayaan dan sumber daya manusia. Dari segi pembiayaan, informan mengatakan bahwa sistem reimburse (talangan) memberikan beban bagi Disnakertrans karena tugas di dalam Satgas tidak didukung oleh anggaran DIPA Disnakertrans. Sedangkan dari segi sumber daya manusia, masih diperlukan sumber daya yang dapat mempunyai
kompetensi terhadap penanganan deportasi, khususnya penanganan terhadap para TKI. Salah satu cara yang dilakukan oleh Disnakertrans untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia pada saat ini adalah dengan cara memberdayakan pegawai di BLK Entikong untuk penanganan para TKI. Cara ini tidak menghabiskan biaya besar jika dibandingkan dengan upaya mendatangkan tenaga dari pusat (pemerintah Provinsi). c. Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat55 Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berkedudukan sebagai anggota dalam tim koordinasi yang mempunyai tugas: 1) Menyediakan
permakanan
TKI
bermasalah
yang
dipulangkan/dideportasi. 2) Membiayai operasional angkutan transport TKI dari pintu perbatasan sampai ke penampungan yang telah ditetapkan. 3) Menyelenggarakan tugas lain yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Sosial bekerja sama dengan instansi lain, terutama yang berada di Entikong seperti Polsek Entikong dan LSM Anak Bangsa. Menurut informan, Gusti Zulkarnaen (Kepala Bidang PBBS), Polsek Entikong akan melakukan pendataan awal terhadap para deportan. Bagi para deportan yang memerlukan tempat tinggal sementara maka akan ditampung di shelter milik LSM Anak Bangsa. Bagi para deportan yang berasal dari Kalimantan Barat dan ingin kembali ke daerah asalnya maka akan dikoordinasikan dengan Dinas Sosial Kabupaten/Kota asal para deportan. Sedangkan bagi para deportan yang bukan berasal dari Kalimantan Barat akan dikirim ke tempat asal masing-masing. Namun sementara mereka menunggu jadwal pemberangkatan ke daerah asal, mereka akan dikirim ke Pontianak dan ditempatkan di penampungan milik Dinas Sosial Pemerintah Provinsi. Gusti Zulkarnaen mengungkapkan bahwa pada saat ini Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat belum memiliki tempat penampungan bagi para deportan. Tempat yang dipakai untuk penampungan sementara adalah salah satu rumah dinas pegawai yang dari segi fisik tidak dapat 55
Gusti Zulkarnaen, Kepala Bidang PBBS pada Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 29 Juni 2010
memberikan kenyamanan bagi para deportan. Dari segi fisik, rumah ini tidak layak untuk tempat penampungan karena hanya mempunyai empat bagian dalam rumah yang dijadikan satu sebagai penampungan para deportan (ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang tidur, serta kamar mandi). Selain itu, rumah ini belum mampu memberikan kebutuhan para deportan berdasarkan jenis kelamin seperti kamar mandi yang hanya berjumlah satu, serta ruangan yang tidak dapat dipisahkan penggunaannya antara laki-laki dan perempuan. Informan mengatakan bahwa kebutuhan pembangunan tempat penampungan baru akan diajukan pada anggaran tahun 2011 dan ia berharap pengajuan anggaran ini disetujui oleh pemerintah pusat. Kebutuhan akan adanya tempat
penampungan ini dirasakan mendesak oleh karena
pemulangan TKI-B/pekerja migran dan keluarganya terjadi setiap bulan. Pada tahun 2009 jumlah keseluruhan pemulangan para deportan adalah berjumlah 1.022 orang. Sedangkan untuk tahun 2010, sampai dengan bulan Mei saja pemulangan para deportan sudah mencapai 589 orang dengan rincian sebagai berikut: Tabel 3.2 Pemulangan Para Deportan oleh Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bulan Januari Februari Maret April Mei
Laki-laki 80 59 69 93 168
Jumlah Perempuan 29 7 8 12 69
Total 109 66 77 105 237 589
Sumber: Dinas Sosial PemProvinsi Kalimantan Barat 2010
Pemulangan para deportan dilakukan ke berbagai Provinsi seperti Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Selain memberikan perlindungan para deportan berupa tempat tinggal sementara, Dinas Sosial juga memberikan kebutuhan permakanan, sandang (pakaian), dan pemulangan ke daerah asal para deportan. Segala biaya yang ditimbulkan dari penanganan para deportan ini ditanggung oleh DIPA Kementerian Sosial dengan sistem dibayar kemudian (reimburse).
d.
Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat56 Dinas
Kesehatan
Pemerintah
Provinsi
Kalimantan
Barat
berkedudukan sebagai anggota dalam tim koordinasi yang mempunyai tugas: 1) Menyediakan pemeriksaan TKI yang akan ditempatkan di luar negeri serta pelayanan kesehatan bagi TKI yang dipulangkan/dideportasi yang berada di penampungan. 2) Menyediakan obat-obatan yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan. 3) Menyiapkan petugas khusus pada kasus pertolongan pertama dan traumatis. 4) Melakukan proses rujukan terhadap TKI yang memerlukan perawatan /tindakan medis lanjut di rumah sakit. 5) Menyelenggarakan tugas lain yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Tugas-tugas tersebut di atas ditentukan berdasarkan Keputusan Gubernur tentang Pelaksanaan Tim Koordinasi Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan TKI Bermasalah di Luar Negeri untuk Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan keterangan informan dari Dinas Kesehatan, Supriyadi (Kepala Bidang Sumber Daya dan Informasi Kesehatan), mengatakan bahwa Dinas Kesehatan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ada di daerah, seperti puskesmas dan rumah sakit, mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada para deportan yang baru dipulangkan dari Malaysia. Pelayanan yang diberikan oleh UPT di daerah berupa pemeriksaan kesehatan kepada para deportan yang kembali masuk ke wilayah Indonesia melalui pintu perbatasan. Bagi para deportan yang mengalami gangguan fisik (sakit) maka akan diberikan perawatan kesehatan oleh Puskesmas di Entikong. Jika yang bersangkutan memerlukan perawatan lebih lanjut karena Puskesmas tidak dapat
memberikannya (seperti penyakit
gangguan
jiwa/psikis) maka yang bersangkutan akan dirujuk ke Rumah Sakit Sanggau (Kabupaten Sanggau). Lebih lanjut informan mengatakan bahwa Rumah Sakit Sanggau sudah mampu untuk memberikan pelayanan rujukan bagi para deportan yang membutuhkannya, karena di sana sudah memiliki sumber daya yang memadai untuk pelayanan lanjutan dimana Rumah Sakit Sanggau sudah mempunyai empat dokter spesialis dasar yang dianggap mampu melayani 56
Supriyadi, Kepala Bidang Sumber Daya dan Informasi Kesehatan pada Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 5 Juli 2010
masyarakat. Keempat dokter spesialis tersebut adalah dokter spesialis penyakit dalam,anak, bedah dan kandungan. Pemberian pelayanan kesehatan kepada para deportan dilakukan seperti pelayanan kepada masyarakat pada umumnya, sehingga anggaran yang diperuntukkan bagi pelayanan para deportan adalah berasal dari dana operasional Puskesmas atau rumah sakit yang memang disediakan oleh pemerintah untuk siapa saja yang memerlukan pelayanan kesehatan. Petugas yang bekerja di Puskesmas atau rumah sakit juga sudah siap melayani siapa saja yang datang termasuk para deportan yang baru saja dipulangkan melalui pintu perbatasan Entikong. Lebih lanjut informan mengatakan bahwa program pelayanan kesehatan kepada masyarakat di wilayah perbatasan sudah ditingkatkan melalui kegiatan prioritas Kementerian Sosial di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Program ini telah dirintis sejak tahun 2009 dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan dan kepulauan untuk dapat menikmati pelayanan kesehatan sehingga mereka perlahan-lahan tidak pergi ke negara tetangga lagi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
e.
Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat57 Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berkedudukan sebagai anggota dalam tim koordinasi yang mempunyai tugas: 1) Menyiapkan sarana transportasi angkutan dalam mobilitas TKI dari pintu perbatasan sampai ke penampungan yang telah ditetapkan. 2) Mengkoordinasikan sarana dan jalur pemulangan TKI ke daerah asal bagi TKI yang berasal dari luar Kalimantan Barat. 3) Menyelenggarakan tugas lain yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Tugas-tugas tersebut di atas dilakukan dengan cara berkoordinasi dengan instansi lain pada saat terjadi deportasi/pemulangan WNI. Informan dari Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Kristianto (Kepala Seksi Lalu Lintas),
57
Kristianto, Kepala Seksi Lalu Lintas pada Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 5 Juli 2010
mengatakan bahwa Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Informatika akan terlibat dalam proses pemulangan WNI yang dideportasi jika memang terjadi deportasi secara massal. Jika proses deportasi hanya memulangkan WNI dalam jumlah kecil, maka proses pemulangan ini terutama untuk fasilitas transportasi dapat diberikan oleh Dinas Sosial. Selain itu, proses pengangkutan para deportan, jika mereka merupakan TKI bermasalah, akan dilakukan oleh PPTKIS yang dapat bekerja sama dengan perusahaan angkutan pemerintah atau swasta dalam menyediakan jasa transportasi. Dalam kasus deportasi massal, Dinas Perhubungan, Telekomunikasi dan Informatika akan mengakomodir kebutuhan angkutan darat, laut ataupun udara dalam memulangkan para deportan, tetapi yang sering digunakan adalah angkutan darat karena biaya yang dikeluarkan lebih murah.
f.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Pontianak58 BP3TKI Pontianak berkedudukan sebagai anggota dalam tim koordinasi yang mempunyai tugas: 1) Mensosialisasikan mekanisme penempatan TKI ke luar negeri. 2) Melakukan pembinaan terhadap lembaga pengerah jasa tenaga kerja 3) Menyelenggarakan tugas lain yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Pada
tataran
implementasi
penanganan
para
deportan
yang
dipulangkan melalui pintu perbatasan, BP3TKI berkoordinasi dengan stakeholder yang berada di Entikong seperti Kantor Imigrasi, Polsek Entikong dan Dinas Sosial. Kepala BP3TKI Pontianak, Christofel de Haan, mengatakan bahwa pada saat para deportan tiba di Entikong maka Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Entikong (P4TKI) melakukan pendataan terhadap para deportan, apakah mereka termasuk kategori TKI atau bukan. Bagi mereka yang merupakan TKI legal maka akan dikirim ke PPTKIS untuk diselesaikan permasalahannya dan jika mereka ingin kembali bekerja ke Malaysia, maka akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun pemrosesan kembali para deportan untuk bekerja kembali, dilakukan oleh instansi di daerah asal para deportan karena pada saat ini 58
Christofel de Haan, Kepala BP3TKI pada Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 6 Juli 2010
BP3TKI maupun P4TKI tidak mempunyai program ”pemutihan” di tempat perbatasan. Sedangkan bagi mereka yang bukan TKI maka akan diproses lebih lanjut dengan diserahkan kepada Dinas Sosial untuk dipulangkan ke daerah asal. Informan mengatakan bahwa jumlah TKI yang bekerja di Malaysia dari tahun ke tahun meningkat, namun sayangnya sebagian besar TKI menempuh jalur ilegal dan akibatnya mereka mengalami permasalahan hukum yang pada akhirnya dipulangkan kembali ke Indonesia. Berdasarkan data yang tercantum dalam laporan penanggulangan TKI bermasalah/WNI bermasalah dari Serawak (Malaysia) melalui Entikong Kabupaten Sanggau yang dibuat oleh tim Satgas Penanggulangan, Penempatan dan Perlindungan TKI-B di Luar Negeri tahun 2009, penempatan TKI ke Serawak (Malaysia) dalam sebelas tahun terakhir secara legal, yakni dari tahun 1997-2008 ratarata pertahun berjumlah 5.000 orang, sedangkan TKI yang tercatat di Serawak (Malaysia) sebanyak 160.000 orang. Perbandingan ini disebabkan banyaknya TKI yang bekerja di Serawak tidak melalui mekanisme yang ada, sehingga banyak yang dideportasi melalui Border Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Data penempatan TKI ke Malaysia dan data pemulangan TKI dari Malaysia melalui perbatasan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.3 Data Penempatan TKI Tahun 2004-2009 No.
Tahun
TKI Asal Kalimantan Barat
TKI Transit/Luar Kalimantan Barat
Jumlah Total
1.
2004
1.188
2.139
3.327
2.
2005
2.202
630
2.832
3.
2006
1.998
828
2.826
4.
2007
4.831
1.365
6.196
5.
2008
3.636
890
4.526
6.
2009
2.516
1.199
3.715
Jumlah
15.556
6.909
22.465
Sumber: Laporan Tim Koordinasi yang bersumber dari BP3TKI Pontianak (31 Desember 2009)
Sedangkan kondisi pemulangan para TKI bermasalah pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 yang dideportasi sebanyak 21.925 orang dengan perincian sebagai berikut. Tabel 3.4 Data Deportasi TKI-B/WNI-B Tahun 2004-2009 No.
Tahun
Dalam Kalimantan Barat
Luar Kalimantan Barat
Jumlah Total
1.
2004
4.837
3.142
3.327
2.
2005
3.147
1.270
2.832
3.
2006
1.143
1.039
2.826
4.
2007
1.659
409
6.196
5.
2008
1.845
498
4.526
6.
2009
1.988
948
3.715
Jumlah
14.619
7.306
21.925
Sumber: Laporan Tim Koordinasi yang bersumber dari Konjen RI di Kuching, Imigrasi Entikong dan Polsek Entikong Tahun 2009
Sedangkan data yang dikeluarkan oleh BP3TKI Pontianak tentang pemulangan TKI-B yang dideportasi melalui perbatasan Tebedu-Entikong Tahun 2009 menunjukkan angka yang lebih besar yaitu sebanyak 3.025 orang. Menurut Kepala BP3TKI, perbedaan jumlah ini (yang lebih besar) dikarenakan bahwa terdapat beberapa TKI yang tertangkap dan dipulangkan melalui jalur “tikus”, sehingga jumlah data yang terhimpun lebih besar dari instansi lain.
g. Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama Provinsi Kalimantan Barat59 Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama
(Badan
PKPK) Provinsi Kalimantan Barat berkedudukan sebagai anggota dalam tim koordinasi yang mempunyai tugas: 1) Melakukan koordinasi dan kerjasama dalam penanganan permasalahan di kawasan perbatasan terkait dengan penanggulangan, penempatan dan perlindungan TKI bermasalah. 59
Manto Saidi, Kepala Bidang Kerjasama pada Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 6 Juli 2010
2) Melaksanakan tugas yang diperlukan sesuai dengan fungsinya. Informan dari Badan PKPK, yaitu Manto Saidi (Kepala Bidang Kerjasama Badan PKPK), mengatakan bahwa setelah lembaga ini terbentuk, Badan PKPK belum mendapat informasi atau berkomunikasi dengan pihak manapun mengenai penanganan deportasi. Dalam setiap rapat Forum Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo), masalah TKI selalu diupayakan untuk diangkat dalam forum, namun tidak pernah berhasil. Pihak Malaysia tidak pernah menyetujui untuk mengagendakan pembahasan permasalahan TKI di Forum Sosek Malindo. Belum lama ini Badan PKPK mengikuti rapat di Dinas Sosial yang mengangkat isu TKI yang dideportasi. Pihak Dinas Sosial menginginkan TKI yang dideportasi ditangani oleh lembaga ini. Di sisi lain, pada saat yang sama pula, mengemuka suara bulat dari peserta rapat agar Badan PKPK tidak bergerak di ranah operasional, yang boleh dilakukan oleh instansi ini hanya bekerjasama dengan instansi lain misalnya pelatihan ketenagakerjaan. Selaku Koordinator Lintas Batas yang mengawasi daerah perbatasan, Badan PKPK menghendaki adanya penanganan yang serius dalam hal pengurusan TKI termasuk TKI yang bermasalah. Oleh karena itu beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Badan PKPK selaku Koordinator Pos Lintas Batas, terutama pada setiap kali ada pertemuan di PLB, adalah dengan menghimbau pihak Imigrasi untuk memperketat keluarnya TKI yang melewati PLB masing-masing (baik di perbatasan Entikong, maupun Nangabadau dan Aru). Apabila terindikasi adanya TKI di bawah umur maka diharapkan Kantor Imigrasi tidak meloloskannya. Demikian juga apabila terindikasi terdapat TKI ilegal dengan visa bukan tenaga kerja maka TKI yang bersangkutan ditahan dulu dan kepada PJTKI yang mengirimnya diberikan sanksi. PJTKI yang ada di Kalimantan Barat hanya berstatus sebagai cabang/agen PJTKI Nasional. Informan juga menyayangkan sikap Pemda Serawak yang menerima saja para TKI tanpa memperdulikan status TKI apakah legal atau ilegal. Informan mengharapkan agar Pemda Serawak ikut menyaring TKI yang masuk ke wilayahnya agar tidak terjadi pendeportasian. Sejak dua tahun instansi ini terbentuk, belum ada satu pun surat keputusan atau pun surat-surat yang menjastifikasi instansi ini untuk terlibat
dalam pengurusan TKI. Sementara ini, selaku badan yang bertugas di wilayah perbatasan, lembaga ini berencana untuk menjalin kerjasama dengan Komnas HAM dalam hal penanganan TKI yang bermasalah. Di samping itu, informan juga mengatakan bahwa lembaga ini mencoba mengusulkan anggaran program penanganan TKI bermasalah pada tahun 2009 dan tahun 2010, namun Panitia Anggaran Eksekutif tidak mengijinkan lembaga ini untuk melaksanakan tugas operasional instansi lain, dimana menurut lembaga lain tugas Badan PKPK adalah menjalankan fungsi yang bersifat koordinatif. Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh lembaga ini dalam membantu penyelesaian TKI yang bermasalah adalah dengan meminta bantuan preman/samseng (bahasa Malaysia). Mereka adalah orang Pontianak yang mampu masuk ke wilayah kekuasaan Keimigrasian dan Kepolisian sehingga terdapat beberapa TKI bermasalah dapat dikembalikan dengan cara yang baik ke Pontianak. Preman/Samseng ini juga pernah meloloskan satu bis rombongan dari pusat dan daerah, di mana rombongan ini tidak memiliki paspor tetapi memaksa untuk pergi ke Kuching. Menurut peraturan resmi kedua negara dan Forum Sosek Malindo, proses lolosnya TKI atau WNI yang hendak pergi ke Malaysia tanpa dokumen resmi pasti tidak dapat dilakukan, namun Preman/Samseng ini mampu membawa rombongan melalui PLB Tradisional Jagoi Babang bahkan rombongan sempat menginap satu malam. Pada masa yang akan datang, informan mengatakan harapannya bahwa lembaga ini dapat diberi hak atau Tupoksi yang bersifat operasional untuk penanganan TKI bermasalah, selama hal itu tidak mengganggu pekerjaan atau “lahan” instansi lain. Apabila merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 65 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama Provinsi Kalimantan Barat, semestinya lembaga ini dapat melaksanakan tugas yang bersifat operasional dan juga Gubernur sering meminta agar Badan PKPK turut serta dalam melaksanakan tugas-tugas yang bersifat operasional, hanya saja Badan PKPK menyadari kenyataannya bahwa belum mampu dalam hal anggaran. Padahal menurut penjelasan informan, Badan PKPK mempunyai kedudukan yang sentral untuk menangani permasalahan yang timbul di wilayah perbatasan. Hal ini dikarenakan berdasarkan Tupoksi, badan ini dapat memasuki semua lini aspek pembangunan, sementara sifat pelaksanaan tugas
dari instansi lain (seperti dinas) hanya melakukan tugas sektoral sesuai bidangnya. Sebenarnya ada dua hal yang menghalangi lembaga ini untuk melakukan tugas operasional, selain Panitia Anggaran Eksekutif yang tidak menyetujui usulan program Badan PKPK untuk melakukan fungsi yang bersifat operasional, juga masalah kelembagaan yang baru berjalan dua tahun. Dengan dana empat milyar rupiah yang dimiliki oleh lembaga pada saat ini, informan merasakan bahwa lembaga ini belum mampu melaksanakan penanganan deportasi dikarenakan dana tersebut baru dialokasikan untuk pembenahan dan melengkapi sarana/prasarana kantor. h. Kantor Imigrasi Entikong60 Informan dari Kantor Imigrasi Entikong, Atang Kuswana (Kepala Unit Tempat Pemeriksaan Imigrasi/TPI Entikong), mengatakan bahwa Kebijakan Kantor Imigrasi secara khusus dalam menangani WNI yang dideportasi ialah melakukan koordinasi dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), dan melakukan tindakan-tindakan seperti pendataan deportan, yang selanjutnya memberikan pengarahan kepada para deportan supaya mentaati peraturan negara yang didiami/dituju, melengkapi dokumen perjalanan dengan dokumen yang sah dan ijin keimigrasian lainnya. Langkah berikutnya ialah melakukan koordinasi dengan aparat keamanan, P4TKI dan karantina kesehatan dalam penanganan lebih lanjut. Kantor Imigrasi melakukan koordinasi dengan Karantina Kesehatan apabila ditemukan deportan yang sakit atau membawa penyakit menular, dengan P4TKI untuk masalah ketenagakerjaannya, dengan Kepolisian untuk keamanan dan koordinasi apabila ditemukan tindak pidana yang dilakukan oleh deportan, sponsor, atau agen TKI. Informan juga mengemukakan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para deportan yang mengakibatkan mereka dideportasi, yakni: penggunaan dokumen keimigrasian tidak sah/palsu, tidak membawa/tidak memiliki dokumen keimigrasian, tidak memiliki izin kerja, memiliki izin kerja tapi menyalahgunakan, over stay (melebihi waktu tinggal yang telah
60
Atang Kuswana, Kepala Unit Tempat Pemeriksaan Imigrasi pada Kantor Imigrasi Kelas II Entikong Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 1 Juli 2010
ditetapkan), masuk ke negara lain melalui jalan tikus atau tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Tabel 3.5 Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2008 No
Uraian
1
KEBERANGKATAN
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
20.924
19.202
17.468
18.933
19.539
21.510
18.933
17.985
15.452
13.548
21.129
21.208
WNI Pemegang PLB
314
402
416
389
456
484
415
415
243
152
345
790
WNA Pemegang Paspor
1.667
1.667
1.530
1.096
1.254
1.733
1070
1.474
1.014
1.702
910
2.574
38
38
49
49
108
60
51
51
48
60
37
72
15.232
17.100
16.850
16.262
17.463
17.037
19.988
19.174
25.173
27.368
16.002
18.773
WNI Pemegang PLB
160
284
328
281
337
347
328
278
268
112
255
743
WNA Pemegang Paspor
1.042
1.618
1.610
1.068
1.492
1.471
1.195
1.477
1.415
1.318
1.034
2.482
55
40
55
64
109
63
47
47
60
54
49
82
491
441
487
514
973
687
552
WNI Pemegang Paspor
WNA Pemegang PLB 2
KEDATANGAN WNI Pemegang Paspor
WNA Pemegang PLB 3
SPRI/PLB YANG DIKELUARKAN KANIM ENTIKONG Paspor untuk WNI (48 hal) Paspor untuk WNI (24 hal) PLB Perorangan PLB Keluarga
535
388
4
292
452
487
26
8
238
204
144
218
235
165
180
173
134
120
145
119
29
42
21
44
48
48
43
36
35
21
10
18
Paspor untuk WNA 4
IZIN KEIMIGRASIAN Perpanjangan ijin kunjungan Pemberian ITAS Perpanjangan ITAS
1
Pemberian ITAP
2
Perpanjangan ITAP 5
IZIN MASUK KEMBALI 1 (satu) kali perjalanan
1
Beberapa kali perjalanan
3
6
PENGEMBALIAN DOKIM
7
PENCABUTAN DOKIM
8
TINDAKAN KEIMIGRASIAN
9
SKIM
10
WNI YANG DIPULANGKAN VISA ON ARRIVAL
11
59
Sumber: Kantor Imigrasi Entikong
88
44
212
164
1
391
354
262
2
334
150
139
346
15
33
Tabel 3.6 Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2009 No 1
Uraian
WNI Pemegang PLB WNA Pemegang Paspor WNA Pemegang PLB
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
18.222
25.336
24.866
21.954
23.190
23.942
23.250
20.441
23.936
35.753
22.918
27.39 9
707
687
350
469
425
305
502
590
537
473
252
526
1.296
1.463
1.585
1.198
1.300
1.904
1.228
1.488
1.691
1.245
1.208
2.965
33
28
48
39
228
60
76
38
39
26
44
60
16.790
16.016
17.188
18.060
21.001
19.476
22.691
22.207
28.936
15.363
19.856
17.74 3
564
492
371
274
114
275
422
561
518
403
392
440
KEDATANGAN WNI Pemegang Paspor WNI Pemegang PLB WNA Pemegang Paspor
3
Feb
KEBERANGKATAN WNI Pemegang Paspor
2
Jan
1.581
1.161
1.595
1.275
1.535
1.667
1.287
1.406
1.894
1.201
1.650
2.842
WNA Pemegang PLB
35
23
56
26
94
51
73
51
37
36
50
67
SPRI/PLB YANG DIKELUARKAN KANIM ENTIKONG Paspor untuk WNI (48 hal)
867
666
527
443
477
481
365
271
258
441
367
289
PLB Perorangan
190
181
195
162
206
183
217
129
89
153
139
107
PLB Keluarga
21
31
26
30
48
43
37
19
21
25
14
30
1
4
1
2
Paspor untuk WNI (24 hal)
Paspor untuk WNA
4
IZIN KEIMIGRASIAN Perpanjangan ijin kunjungan Pemberian ITAS
3
2
7
3
3
2
4
3
Perpanjangan ITAS Pemberian ITAP Perpanjangan ITAP
5
IZIN MASUK KEMBALI 1 (satu) kali perjalanan Beberapa kali perjalanan
6 7 8 9 10 11
PENGEMBALIAN DOKIM PENCABUTAN DOKIM
3
3
1 1
1
TINDAKAN KEIMIGRASIAN SKIM WNI YANG DIPULANGKAN VISA ON ARRIVAL
329
314
204
150
255
213
345
219
304
224
213
259
29
60
73
51
41
43
78
57
64
45
57
72
Sumber: Kantor Imigrasi Entikong
Tabel 3.7 Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2010 No
Uraian
1
KEBERANGKATAN
2
3
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
WNI Pemegang Paspor
26.134
22.262
26.463
23.141
24.727
WNI Pemegang PLB
372
472
632
654
598
WNA Pemegang Paspor
1.386
1.964
2.162
1.394
1.886
WNA Pemegang PLB
47
64
38
47
70
WNI Pemegang Paspor
21.180
21.393
19.404
20.056
21.527
WNI Pemegang PLB
300
326
423
547
475
WNA Pemegang Paspor
1.153
2.355
1.893
1.505
2.017
WNA Pemegang PLB
30
53
78
39
71
574
370
473
386
388
PLB Perorangan
138
153
253
238
246
PLB Keluarga
26
36
60
43
53
1
1
2
2
2
KEDATANGAN
SPRI/PLB YANG DIKELUARKAN KANIM ENTIKONG Paspor untuk WNI (48 hal) Paspor untuk WNI (24 hal)
Paspor untuk WNA
4
IZIN KEIMIGRASIAN Perpanjangan ijin kunjungan 5
Pemberian ITAS Perpanjangan ITAS Pemberian ITAP Perpanjangan ITAP
5
IZIN MASUK KEMBALI 1 (satu) kali perjalanan 3
Beberapa kali perjalanan
6
PENGEMBALIAN DOKIM
7
PENCABUTAN DOKIM
8
TINDAKAN KEIMIGRASIAN
9
SKIM
10
WNI YANG
153
154
248
112
327
65
55
69
51
73
DIPULANGKAN 11
VISA ON ARRIVAL Sumber: Kantor Imigrasi Entikong
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi, informan menyarankan perlunya diberikan sosialisasi tentang cara kerja dan budaya negara lain, memberikan keahlian bagi calon TKI, memberikan bantuan langsung kepada para deportan yang dapat meringankan biaya kepulangannya, menindak agen TKI, PJTKI yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, mengintensifkan tugas perwakilan RI untuk lebih sering mendata, memberi perlindungan
dan penanganan hukum kepada TKI.
Terkait dengan keimigrasian, pihak Imigrasi telah memberikan informasi kepada WNI yang dideportasi seputar informasi tentang bagaimana melanjutkan perjalanan ke tempat asal, fasilitas angkutan, penginapan, instansi yang dibutuhkan deportan untuk mendampingi dan apabila ada tindak pidana
yang
berhubungan
dengan
deportan,
pihak
imigrasi
akan
menyerahkannya ke kepolisian. Pihak Kantor Imigrasi, sebagaimana diutarakan oleh Sugeng Harjanto (Kepala Kantor Imigrasi Entikong), juga mengharapkan perlu dibentuknya Pos Penanganan Terpadu yang melibatkan instansi-instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Transmigrasi, Kepolisian, Imigrasi, Bea Cukai dan Karantina Kesehatan dalam penanganan deportasi, karena selama ini Pos Lintas Batas (PLB) di Entikong hanya terdiri dari Kantor Imigrasi, Kepolisian, P4TKI dan Karantina Kesehatan dimana setiap Tupoksi masing-masing instansi tidak ada yang menyentuh ranah pemenuhan sosial dan pemulangan TKI.
Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja sebaiknya
memiliki perwakilan/UPT di PLB untuk terjun langsung memenuhi perlindungan WNI yang dideportasi dalam aspek sosial dan pemulangan, baik itu seputar Provinsi Kalimantan Barat atau pun di luar Provinsi. Apabila Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja sudah bergabung di PLB maka kendala yang dihadapi dalam menangani WNI yang dideportasi selama ini seperti sarana/prasarana (tidak ada tempat khusus penanganan deportasi), sumber daya manusia, bahasa pengantar akan dapat diselesaikan dengan baik.
i. Kepolisian Sektor Entikong61 Informan dari Kepolisian Sektor Entikong, Sapja (Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Entikong) mengatakan bahwa banyak sekali kasus pendeportasian yang ditangani oleh kepolisian dan banyak juga agen PPTKIS yang membawa TKI secara ilegal yang sudah diproses bahkan diputus secara hukum. PLB di Entikong sudah memiliki koordinasi yang baik dalam hal penanganan deportasi. Deportan yang datang melalui wilayah perbatasan, pertama kali diterima oleh Imigrasi untuk dilakukan pendataan, kemudian berlanjut dengan pendataan di Pos Pelayanan Penempatan dan PerlindunganTKI (P4TKI), serta pemeriksaan di Kepolisian. Dalam hal penanganan deportan, pihak kepolisian hanya menelusuri proses awal keberangkatan saja dan pihak yang membawa korban akan ditindak tegas secara hukum apabila memang melakukan kesalahan. Lebih lanjut informan mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi oleh Polsek Entikong dalam proses penyelidikan dan penyidikan pada proses deportasi ialah belum adanya shelter yang dapat menampung para deportan dan ketiadaan anggaran untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari mereka. Terlebih jika dalam proses hukum yang bersangkutan harus hadir dalam proses sidang. Guna
mengurangi
permasalahan
pendeportasian,
informan
mengharapkan agar instansi-instansi terkait pada tahap perekrutan awal TKI dapat melakukan pengawasan secara ketat agar tidak lagi ada pendeportasian TKI. Kami juga mengharapkan agar Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja yang memiliki anggaran khusus untuk TKI dapat ditempatkan di PLB agar penanganan TKI yang dideportasi lebih terfokus.
Tabel 3.8 Rekapitulasi Pemulangan TKI dari Malaysia melalui Border PPLB Entikong Tahun 2010 No
1
61
Waktu
6 Januari 2010
Jumlah
6 orang
Jenis Kelamin L
P
5
1
Ket
Data diperoleh dari
Sapja, Kepala Unit Reserse Kriminal pada Kepolisian Sektor Entikong Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 1 Juli 2010
2
14 Januari 2010
46 orang
35
11
hasil screnning pada
3
27 Januari 2010
38 orang
34
4
masing-masing
4
28 Januari 2010
69 orang
62
7
yang dideportasi dari
5
29 Januari 2010
11 orang
-
11
Malaysia
6
2 Februari 2010
30 orang
30
-
7
3 Februari 2010
18 orang
17
1
8
10 Februari 2010
22 orang
18
4
9
19 Februari 2010
14 orang
13
1
10
24 Februari 2010
28 orang
25
3
11
25 Februari 2010
12 orang
6
6
12
3 Maret 2010
33 orang
24
9
13
4 Maret 2010
30 orang
25
5
14
17 Maret 2010
28 orang
26
2
15
18 Maret 2010
26 orang
13
13
16
24 Maret 2010
22 orang
17
3+2 anak
17
25 Maret 2010
22 orang
22
-
18
31 Maret 2010
18 orang
12
6
19
8 April 2010
9 orang
-
9
20
9 April 2010
5 orang
4
1
21
13 April 2010
36 orang
24
12
22
15 April 2010
23 orang
18
5
23
16 April 2010
5 orang
3
2
24
21 April 2010
9 orang
3
6
25
28 April 2010
22 orang
15
7
26
28 April 2010
2 orang
-
2
27
5 Mei 2010
46 orang
37
9
28
12 Mei 2010
27 orang
22
5
29
19 Mei 2010
57 orang
48
9
30
20 Mei 2010
37 orang
29
8
31
25 Mei 2010
71 orang
53
18
32
27 Mei 2010
30 orang
29
1
33
3 Juni 2010
33 orang
25
8
34
9 Juni 2010
17 orang
12
5
35
17 Juni 2010
29 orang
27
2
36
23 Juni 2010
15 orang
10
5
Sumber: Polsek Entikong
border Entikong
TKI
melalui PPLB
j. Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI) Entikong62 Informan dari P4TKI Entikong, A. Rahim (Koordinator P4TKI) mengungkapkan bahwa Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan memiliki Tupoksi menempatkan dan melindungi tenaga kerja yang telah melalui proses perekrutan yang resmi. Namun pada kenyataannya tidak hanya deportan yang resmi yang dibantu, deportan yang tidak resmi pun juga akan dibantu jika memang mengalami permasalahan. Penanganan awal di lakukan terhadap deportan yang kembali memasuki wilayah perbatasan adalah pendataan para deportan untuk menemukan permasalahan mengapa bisa sampai terjadi deportasi. Setelah proses pendataan, bagi deportan legal, berkas laporan akan diserahkan kepada BP3TKI Provinsi Kalimantan Barat cq. Kepala Seksi Perlindungan untuk dapat menindak PPTKIS yang memberikan sponsor terhadap para TKI yang dideportasi. Apabila permasalahannya gaji yang belum terbayarkan, PPTKIS harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sedangkan apabila pekerjaan yang diterima oleh TKI tidak sesuai kontrak kerja, maka BP3TKI akan memberikan teguran, namun apabila PJTKI/PT lepas tanggung jawab, maka ijin operasi PPTKIS di Provinsi Kalimantan Barat akan dicabut dimana konsekuensinya ialah PPTKIS akan dilarang beroperasi di Provinsi Kalimantan Barat. Untuk deportan yang ilegal, maka
kasusnya akan
dilimpahkan ke Kepolisian, namun mereka masih dapat tinggal untuk sementara di kantor P4TKI Entikong selama mereka belum dipulangkan. Data yang dihimpun oleh P4TKI Entikong tentang permasalahan WNI/TKI yang berakibat dipulangkannya WNI/TKI yang bersangkutan selama dua tahun terakhir adalah pada tabel berikut. Tabel 3.9 Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak, Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu – Entikong Kabupaten Sanggau Dari Bulan Januari s/d Desember 2009 No. 1. 2. 3. 4. 62
Bulan Januari Februari Maret April
Jumlah L 280 192 156 111
P 79 49 68 60
Jumlah Total
Keterangan
359 241 224 171
Permasalahan WNI/TKI yang dideportasi dari Sarawak, Malaysia disebabkan karena: 1. Melanggar peraturan
A. Rahim, Koordinator P4TKI Entikong pada Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara pada tanggal 2 Juli 2010
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12
Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
261 110 194 106 176 154 57 202 1999
27 19 29 28 28 36 13 25 461
288 129 223 134 204 190 70 227 2460
Keimigrasian Malaysia 2. Paspor 48 hal digunakan untuk bekerja 3. Masuk tanpa paspor 4. Permit sudah mati 5. Bekerja tanpa permit 6. Masuk melalui hutan 7. Surat izin masuk sudah mati
Sumber: P4TKI
Tabel 3.10 Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak, Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu – Entikong Kabupaten Sanggau Dari Bulan Januari s/d Mei 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12
Bulan
Jumlah L 137 44 172 84 178 615
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
P 23 5 30 37 43 138
Jumlah Total
Keterangan
160 49 202 121 221
Permasalahan WNI/TKI yang dideportasi dari Sarawak, Malaysia disebabkan karena: a. Melanggar peraturan Keimigrasian Malaysia b. Paspor 48 hal digunakan untuk bekerja c. Masuk tanpa paspor d. Permit sudah mati e. Bekerja tanpa permit f. Masuk melalui hutan g. Surat izin masuk sudah mati
753
Sumber: P4TKI
Informan mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi dalam menangani deportan adalah pada masalah biaya kebutuhan hidup selama para deportan dalam penampungan P4TKI hingga pemulangan TKI. Penyediaan anggaran seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Sosial, namun mereka tidak peduli bagaimana proses pendeportasian TKI, kebutuhan hidup mereka sampai keberangkatan dari Entikong ke Pontianak, yang mereka tahu begitu TKI sampai ke Pontianak kemudian Dinas Sosial menerima mereka. Oleh karena itu informan mengharapkan agar Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja sebagai satuan tugas yang bertanggung jawab dalam penanganan para deportan dapat menempatkan petugasnya di PLB, jangan hanya menerima laporan bersih saja. Selain masalah biaya, P4TKI juga membutuhkan satu bis serta supir yang siaga dan mampu untuk mengantarkan para tenaga kerja yang dideportasi dari Entikong sampai ke Sambas, Sintang, Sanggau dan Pontianak.
k. Balai Latihan Kerja Disnakertrans Entikong63 Dalam hal penanganan WNI yang dideportasi melalui wilayah perbatasan, informan dari Balai Latihan Kerja (BLK) Disnakertrans Entikong, M.Said (Kepala Sub Bagian Tata Usaha BLK Disnakertrans Entikong), mengatakan bahwa Balai Latihan Kerja (BLK) belum memiliki kebijakan khusus yang menangani deportan. Sebenarnya pada akhir tahun 2005, BLK pernah ikut terlibat dalam menangani deportan secara besar-besaran, dimana BLK memfasilitasi gedung sebagai penginapan sementara selama proses pemulangan berjalan. Namun demikian, memasuki tahun 2008 belum ada penanganan terkait deportasi yang dilakukan oleh BLK. Pada tahun 2010 ini, muncul
wacana bahwa BLK akan berperan dalam hal pendataan,
penampungan serta pelatihan bagi WNI yang dideportasi. Namun sampai saat ini belum ada petunjuk yang jelas sehingga BLK tidak berani untuk melangkah lebih jauh. Informan
juga
mengatakan
bahwa
pada
tahun
2006
BLK
Disnakertrans Entikong pernah melaksanakan pelatihan dengan sasaran tenaga kerja yang akan dikirim untuk menjadi pembantu rumah tangga, kegiatan ini tidak berlanjut dikarenakan “agen-agen nakal” yang langsung memberangkatkan calon tenaga kerja tanpa melalui pelatihan terlebih dahulu sehingga calon tenaga kerja yang lain lebih menginginkan proses yang instan, yaitu memilih langsung diberangkatkan tanpa dibekali suatu pelatihan. Informan juga menceritakan perkembangan yang terjadi di sekitar pembangunan wilayah perbatasan Entikong, dimana ada wacana pabrik Sonny akan didirikan di Tebedu. Tempat yang akan dijadikan lokasi pabrik sudah siap, hanya tinggal pendirian pabrik saja. Mengantisipasi kesempatan kerja tersebut, tahun ini akan dibuka pelatihan untuk teknisi komputer, las dan elektro. Pengumuman sudah disebarluaskan dan tidak ada pungutan biaya sama sekali. Hal ini dilakukan untuk menyiapkan calon tenaga kerja agar memiliki kemampuan yang cukup dan siap untuk berkompetisi.
63
M Said, Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Balai Latihan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Entikong Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, wawancara tanggal 2 Juli 2010
l. LSM Anak Bangsa64 Informan dari LSM Anak Bangsa, Arsinah Sumitro (Ketua LSM Anak Bangsa), mengatakan bahwa tingkat pendidikan TKI yang dikirim bekerja ke Malaysia rata-rata hanya setingkat/baru lulus SD, jarang sekali yang pernah mengecap pendidikan sampai ke jenjang SMP. Berdasarkan keprihatinan tersebut, lembaga ini mencoba untuk memberikan pengajaran agar anak-anak di lingkungan sekitar wilayah perbatasan, setidaknya mereka dapat membaca dan menulis. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di wilayah perbatasan mengakibatkan masyarakat rentan untuk diajak menjadi TKI dan bekerja di Malaysia, walaupun dikirim melalui jalur ilegal. Selain itu, berbagai persoalan juga menjadi pendorong terkirimnya TKI ilegal melalui wilayah perbatasan. Informan menceritakan bahwa sebelum Kantor Imigrasi menerapkan sistem biometrik pada pembuatan paspor, selalu saja ada pelanggaran hak asasi manusia di setiap proses pendeportasian dari Malaysia, yaitu ada pembedaan perlakuan terhadap para tenaga kerja, mereka yang cantik dan memiliki uang, akan segera “dikondisikan” (oleh P4TKI) lalu setelah proses pemeriksaan selesai, TKI yang telah dikondisikan tersebut dimasukkan kembali ke Malaysia. Namun setelah sistem biometrik diterapkan, tetap saja praktek tersebut terus berjalan namun tidak melalui pos lintas batas melainkan melalui jalan-jalan tikus. Setidaknya pencegahan terhadap praktekpraktek tersebut dapat diminimalisir. Pada proses penanganan WNI yang dideportasi melalui wilayah perbatasan, peran pemerintah daerah hanya sebatas bekerjasama dengan LSM Anak Bangsa. Sedangkan aparat dari pemerintah daerah sendiri tidak ada yang turun untuk membantu proses penanganan tersebut. Tahun 2009 Pemda Kabupaten Sanggau menganggarkan Rp. 11.000.000,- (sebelas juta rupiah) dengan beban kerja yang harus dipikul yakni memulangkan 400 orang deportan, namun pada kenyataannya tidak hanya memulangkan saja yang dilakukan oleh LSM Anak Bangsa, karena lembaga ini juga harus memperhatikan kebutuhan makan, minum, mandi dan pakaian mereka.
64
Arsinah Sumitro, Ketua LSM Anak Bangsa Entikong, wawancara pada tanggal 3 Juli 2010
Peran LSM Anak Bangsa sendiri dalam penanganan WNI yang dideportasi adalah memberikan pertolongan pertama apabila ada korban yang membutuhkan perawatan kesehatan. Apabila ada korban yang membutuhkan perawatan yang lebih khusus, akan dibawa ke Puskesmas atau RS terdekat. Namun, apabila korban yang bersangkutan tidak dapat ditangani lagi oleh lembaga ini, maka LSM Anak Bangsa akan menyerahkan korban ke Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat. Khusus untuk pelayanan pemulangan bagi korban yang psikisnya terganggu, lembaga ini tidak akan menyatukan mereka dengan deportan yang lain dalam satu bis, melainkan menggunakan mobil inventaris untuk diantarkan ke tempat tujuan (Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat).
Rekapitulasi jumlah WNI yang dipulangkan dari
Malaysia dan ditangani oleh lembaga ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.11 Daftar WNI Bermasalah dalam Penampungan Sementara LSM Anak Bangsa untuk Proses pemulangan ke daerah asal KASUS No
Tahun
Jumlah
Trafficking
Non Trafficking
Trafficking Anak
L
P
L
P
L
P
1
2008
274 orang
38
162
9
27
8
30
2
2009
232 orang
40
105
9
44
3
31
3
2010
108 orang
17
70
10
6
-
5
Sumber: LSM Anak Bangsa Entikong
Kendala-kendala yang dihadapi oleh LSM Anak Bangsa dalam penanganan WNI yang dideportasi selama ini ialah kurangnya kesadaran aparat dan masyarakat mengenai masalah hukum dan hak-hak tenaga kerja. Oleh karena itu informan mengharapkan kepada pemerintah agar dapat lebih memperhatikan nasib buruh migran serta memperhatikan lembaga yang betulbetul fokus dan concern terhadap buruh migran. Demikian juga kiranya Imigrasi dapat bekerjasama dengan instansi-instansi terkait untuk dapat meminimalisir pendeportasian yang sering kali terjadi. Sedangkan bagi masyarakat perlu diberikan sosialisasi tentang hak-hak tenaga kerja.
2. Provinsi Kepulauan Riau a. Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau65 Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 27 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pekerja Migran Bermasalah Sosial (PMBS) di Provinsi Kepulauan Riau. Instansi yang menjadi ketua pada Satgas ini adalah Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan keterangan dari informan, Satgas pada tingkat Provinsi ini belum dapat bekerja karena anggaran untuk Satgas ini belum dianggarkan dalam APBD tahun 2010. Menurut informan yaitu Hemat Girsang (Kepala Bidang Banjamsos pada Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau), Satgas yang dibentuk pada tingkat Provinsi tersebut, tidak hanya akan menangani para TKI bermasalah, tetapi juga para migran yang mempunyai masalah di Kepulauan Riau. Selama ini Satgas yang bekerja dalam penanganan deportasi WNI adalah Satuan Tugas Pemulangan TKI Bermasalah (TKI-B) dari Malaysia (Satgas Pemulangan TKIB) Kota Tanjungpinang, yang merupakan satuan tugas yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Kota Tanjungpinang, dimana ketua Satgas adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Tanjungpinang. Selain Satgas di Tanjungpinang, sebenarnya Provinsi Kepulauan Riau memiliki Satgas lain yaitu Satgas Batam dan Satgas Tanjung Balai Karimun. Namun sampai saat ini, Satgas yang sering menerima deportasi WNI dari Malaysia adalah Satgas Tanjungpinang. Penanganan
WNI
yang
dideportasi
oleh
Pemerintah
Kota
Tanjungpinang juga tidak terlepas dari beberapa kekurangan. Diantaranya adalah belum adanya tempat penampungan yang dimiliki oleh pemerintah kota atau pemerintah Provinsi. Sementara itu tempat penampungan yang ada pada saat ini kondisinya kurang layak dari segi kesehatan. Beliau membandingkan dengan rumah penampungan yang dikelola pemerintah pusat (Kementerian Sosial) yang berada di Jakarta (Bambu Apus). Selain itu juga 65
Hemat Girsang, Kepala Bidang Banjamsos pada Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wawancara pada tanggal 27 Juli 2010
masih kurangnya pekerja sosial yang mampu memberikan pelayanan kepada para deportan. Dari segi keamanan para deportan, informan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan para deportan yang berada di tempat penampungan. Oleh karena itu informan menyarankan perlunya peningkatan pelayanan kepada para deportan di tempat
penampungan
dengan
mengatasi
beberapa
kendala
tersebut
(pembangunan tempat penampungan yang memperhatikan kebutuhan para deportan dan menambah pekerja sosial). b. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Tanjungpinang66 Pemerintah Kota Tanjungpinang telah membentuk ketentuan hukum dalam menangani WNI yang dideportasi dari Malaysia, yaitu Keputusan Walikota Tanjungpinang Nomor 244 Tahun 2009 tentang Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pos Koordinasi (Posko) Penanganan TKI Bermasalah (TKI-B) dan Keluarganya Deportasi Malaysia melalui Debarkasi Kota Tanjungpinang. Tugas pokok tim Satgas sebagaimana ditentukan dalam ketentuan ini adalah: 1) Mendata kedatangan para TKIB yang dideportasi dari Negara Malaysia ke Kota Tanjungpinang; 2) Memberi pelayanan mulai dari kedatangan, di penampungan sementara dan pemulangan TKIB tersebut ke daerah asal secara terpadu, terkoordinasi sesuai Tupoksi Dinas/Instansi masing-masing; 3) Mengkoordinasi ketertiban, keamanan dan kelancaran pada saat kedatangan /pemulangan di pelabuhan Tanjungpinang dan Kijang serta selama berada di dalam penampungan sementara; 4) Mempersiapkan angkutan untuk menuju ke tempat penampungan sementara bagi TKIB yang dideportasi maupun saat pemulangan ke daerah asalnya; 5) Memantau dan melayani kesehatan TKIB baik di pelabuhan maupun di tempat penampungan sementara;
66
Muchtar Sujadi, Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wawancara pada tanggal 28 Juli 2010
6) Mengatur ketertiban dan keamanan lokasi ke daerah pelabuhan dan penampungan sementara dari gangguan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab; 7) Melindungi, mencegah dan menanggulangi agar tidak terjadi efek sosial lainnya yang ditimbulkan akibat keberadaan TKIB dari Malaysia selama berada di tempat penampungan; 8) Melakukan koordinasi dengan Satgas TKIB debarkasi kota lainnya untuk penanganan pemulangan TKIB ke daerah tujuan; 9) Mencegah pengambilan TKIB oleh pihak yang tidak berkepentingan, calo/tekong atau pihak-pihak yang mengaku keluarganya. Secara administrasi,
instansi yang bertanggung jawab dalam
penanganan WNI yang dideportasi adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Tanjungpinang. Pemerintah Kota Tanjungpinang melakukan kegiatan yang sifatnya koordinatif. Sedangkan secara substansi penanganan di lapangan, instansi yang bertanggung jawab adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Tanjungpinang, yang dalam implementasi di lapangan didukung oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang lain yang berkedudukan sebagai anggota tim Satgas seperti Kantor Imigrasi, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan dan Kominfo, serta Kepolisian. Tim Satgas juga didukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti LSM Sirih Besar Tanjungpinang. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Pemerintah Kota Tanjungpinang berkedudukan sebagai ketua dan sekretaris tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi memberikan pelayanan mulai dari kedatangan di penampungan dan pemulangan TKIB ke daerah asal, serta melakukan koordinasi dengan semua unsur Satgas TKIB. Informan, Muchtar Sujadi (Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial yang juga Sekretaris tim Satgas), mengatakan bahwa koordinasi penanganan WNI yang dideportasi juga dilakukan bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena selama ini beberapa LSM sudah melakukan advokasi terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak, termasuk kasus trafficking yang erat kaitannya dengan pengiriman TKI ke luar negeri secara ilegal. Sejak tim Satgas terbentuk, yaitu sejak tahun 2004, jumlah keseluruhan TKIB yang
ditangani oleh tim Satgas sampai dengan tahun 2010 adalah sebanyak 216.500 orang. Rekapitulasi data jumlah TKIB dan keluarganya per tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.12 Rekapitulasi Data Jumlah TKIB dan Keluarganya Kota Tanjungpinang Tahun 2004 s/d 2010
Jumlah Semua TKIB Tahun
Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki
Perempuan
2004
-
-
69.081
2005
7.629
3.123
10.752
2006
17. 724
6.183
23.907
2007
25.582
9.413
34.995
2008
25.173
10.180
35.353
2009
22.699
10.045
31.111
2010 (s/d Juni)
7.661
3.640
11.301
Jumlah
106.468
42.584
216.500
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang selaku Ketua Tim Satgas
Bantuan yang diberikan oleh tim Satgas kepada para deportan adalah meliputi permakanan, pemulangan (transportasi) dan penampungan bagi para deportan selama mereka menunggu jadwal pemulangan ke daerah asal. Pada saat ini kebutuhan tempat penampungan dibantu oleh pihak swasta, karena pemerintah kota ataupun pemerintah Provinsi belum memiliki rumah penampungan sendiri yang diperuntukkan bagi para deportan. Anggaran untuk pembangunan rumah penampungan sudah diajukan ke pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial, namun karena keterbatasan anggaran maka pembangunan rumah penampungan ini belum dapat direalisasikan. Pada saat ini kebutuhan rumah penampungan untuk deportan dibantu oleh pihak ketiga (swasta) dengan kompensasi kepada pihak swasta tersebut berupa proyek penyediaan permakanan kepada para deportan selama para deportan berada di
tempat penampungan sambil menunggu dikembalikan ke daerah masingmasing. Selanjutnya informan mengatakan bahwa selama para deportan berada di penampungan, mereka sangat rentan untuk dibujuk oleh pihak-pihak tertentu untuk bekerja kembali ke Malaysia secara ilegal. Selama deportan berada di penampungan sambil menunggu dipulangkan ke daerah asal, ada saja pihak tertentu yang mengajukan penjaminan untuk mengeluarkan deportan dari penampungan dengan berbagai alasan, diantaranya adalah mereka merupakan kerabat yang akan membawa pulang deportan, padahal mungkin saja si penjamin adalah calo atau tekong yang akan mempekerjakan deportan untuk tujuan trafficking atau hal lain yang tidak diketahui oleh deportan yang dijamin tersebut.
Oleh karena itu informan menyarankan
bahwa untuk meningkatkan keamanan para deportan di tempat penampungan, perlu diberikan penyadaran kepada para deportan agar mereka tidak mudah terbujuk oleh pihak-pihak yang menawarkan berbagai kesempatan dengan imbalan besar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebenarnya Satgas telah membuat rencana (program) pengiriman kembali para deportan yang berkeinginan untuk kembali bekerja ke Malaysia atau biasa disebut dengan program pemutihan. Namun ada kendala yang belum dapat terselesaikan dimana Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tanjungpinang belum dapat mengeluarkan identitas kependudukan, bagi para deportan tersebut yang ingin kembali bekerja, dengan alasan belum ada dasar hukum yang kuat dalam penerbitan identitas kependudukan di wilayah Tanjungpinang bagi deportan yang sebagian besar bukan berdomisili di Tanjungpinang. Proses pemutihan TKI-B di penampungan yang ingin kembali ke Malaysia dimulai dari pendataan oleh tim dari BP3TKI. Dinsosnaker kemudian mengeluaran rekomendasi agar Disduk mengeluarkan Surat Keterangan Pindah Luar Negeri (SKPLN) yang dipergunakan untuk membuat paspor. Jika Disduk dapat mengeluarkan SKPLN maka selanjutnya, PPTKIS bisa mengajukan permohonan pemberdayaan kembali TKI-B ke BP3TKI, setelah perusahaan tersebut mendapat order TKI dari perusahaan di Malaysia. Selain
masalah
keamanan
para
deportan,
informan
juga
mengungkapkan kondisi rumah penampungan yang masih kurang baik.
Beberapa kebutuhan belum dapat diberikan kepada kelompok khusus seperti ibu hamil maupun ibu-ibu yang membawa balita (baik yang lahir di Malaysia atau di tempat penampungan). Pelayanan kesehatan juga masih kurang, dikarenakan dana kesehatan (dana jaminan kesehatan daerah/Jamkesda) dari Dinas Kesehatan hanya diperuntukkan bagi warga Tanjungpinang, sementara para deportan sebagian besar adalah warga dari luar Tanjungpinang. Informan mengemukakan bahwa seharusnya masalah ini dapat diatasi dengan cara mengajukan pembayaran dana pelayanan kesehatan para deportan kepada pemerintah pusat
melalui Kementerian Kesehatan secara reimburse
(pembayaran kemudian). Setelah berada beberapa hari di penampungan maka para deportan akan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing menggunakan angkutan laut yang disiapkan oleh Dinas Perhubungan. Sayangnya, proses pemulangan para deportan dari daerah debarkasi ke daerah asalnya masing-masing tidak diawasi, karena tidak ada anggota Satgas yang mengikuti sampai ke tempat tujuan para deportan. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan daftar para deportan yang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok dengan daftar manifest yang dibuat oleh tim Satgas Tanjungpinang. Padahal tim Satgas Tanjungpinang sudah menyerahkan semua deportan sesuai daftar manifest yang dibuat kepada perusahaan pengangkutan yang mengangkut para deportan ke Jakarta. Informan mengatakan bahwa tugas dari tim Satgas memang sampai di sini saja yaitu mengantar para deportan sampai ke kapal fery untuk diangkut ke tempat asalnya. Perbedaan jumlah manifest deportan antara yang dibuat oleh tim Satgas dengan yang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok mungkin disebabkan ada deportan sendiri yang melarikan diri dan tidak ingin kembali ke daerah asalnya. Pada saat deportan berada di kapal fery, deportan berbaur dengan penumpang umum lainnya dan pada saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok juga tidak ada ruangan khusus yang menampung para deportan. Di Pelabuhan Tanjung Priok hanya tersedia penunjuk arah bagi TKI, tidak ada petugas khusus yang mengawal kedatangan deportan. Oleh karena itu, mungkin saja terdapat deportan yang “nakal” dan melarikan diri dari rombongan yang akan dipulangkan. Seluruh biaya yang timbul dari kegiatan penanganan WNI yang dideportasi, dibiayai oleh anggaran pemerintah pusat melalui Kementerian
Sosial yang diperoleh dengan sistem reimburse. Tim Satgas Kota Tanjungpinang juga mendapatkan anggaran dari Pemerintah Kota melalui APBD untuk membantu dana operasional yang diperuntukkan bagi honor tim yang terdiri dari 60 personil. c. Kantor Imigrasi Tanjungpinang67 Kantor Imigrasi Tanjungpinang berkedudukan sebagai anggota tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi mendata kedatangan TKIB dari Malaysia
setibanya
di pelabuhan
Tanjungpinang.
Berdasarkan
keterangan dari informan, Budiono Setiawan (Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian), pada tataran implementasi penanganan WNI yang dideportasi dari Malaysia, petugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Pelabuhan Internasional Sri Bintan Pura melakukan pendataan para deportan yang baru datang. Petugas di lapangan akan mencocokkan jumlah deportan yang datang dengan manifest yang diterima. Petugas imigrasi juga melakukan wawancara kepada beberapa deportan yang dianggap bukan Warga Negara Indonesia karena dikhawatirkan mereka adalah penyelundup atau orang-orang yang dapat melakukan tindak kriminal di wilayah Indonesia. Jika berdasarkan hasil wawancara ini ditemukan bahwa mereka bukanlah WNI, maka yang bersangkutan
tidak
diperbolehkan
masuk
ke
wilayah
Indonesia
(Tanjungpinang) dan akan dikembalikan ke negara asalnya melalui prosedur keimigrasian yang berlaku. Pada proses penanganan para deportan selanjutnya, Kantor Imigrasi bekerja sama dengan SKPD lain yang tergabung dalam tim Satgas dalam penanganan WNI yang dideportasi yaitu mengangkut para deportan ke tempat penampungan dan selanjutnya menyerahkan para deportan ke tim Satgas untuk pemulangan ke daerah asalnya masing-masing. Kepala Kantor Imigrasi juga mengatakan bahwa proses pemulangan deportan yang merupakan TKIB melalui Provinsi Kepulauan Riau sebaiknya jangan dipusatkan di debarkasi Tanjungpinang, karena fasilitas atau sarana dan prasarana yang terdapat di Tanjungpinang tidak memadai. Jika proses pemulangan ini disebar di beberapa tempat maka tidak akan terjadi penumpukan para deportan di 67
Budiono Setiawan, Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian pada Kantor Imigrasi Tanjungpinang Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wawancara pada tanggal 29 Juli 2010
tempat penampungan. Selama tujuh tahun terakhir, Kantor Imigrasi Tanjungpinang mencatat jumlah yang cukup besar dari WNI yang dideportasi oleh Pemerintah Malaysia yang melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.13 Jumlah WNI yang Dideportasi oleh Pemerintah Malaysia Melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang Periode: 1 Januari 2003 s/d 21 Mei 2010
No.
Bulan
Tahun 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1.
Januari
1.590
1.022
1.283
953
2.198
2.851
3.125
2.251
2.
Februari
1.220
2.935
1.151
1.094
1.453
2.402
2.851
1.443
3.
Maret
1.243
2.304
564
1.547
3.350
1.929
3.121
1.844
4.
April
1.677
3.369
546
1.656
3.057
3.262
3.122
1.813
5.
Mei
1.032
2.830
629
2.045
3.674
3.211
3.087
1.340
6.
Juni
3.394
3.405
666
2.491
3.349
2.967
2.168
7.
Juli
3.875
3.118
1.317
1.922
2.305
2.829
2.590
8.
Agustus
1.817
3.173
1.087
2.724
3.525
3.903
3.037
9.
September
320
2.532
1.389
2.340
2.907
3.948
2.634
10.
Oktober
-
2.103
1.465
2.325
3.291
2008
3.317
11.
Nopember
-
2.049
388
2.525
2.970
2.734
1.582
12.
Desember
-
1.968
1.378
2.242
2.573
3.099
2.076
Jumlah
16.168 30.808 11.863 23.864 34.652 35.143 32.710
Sumber: Kantor Imigrasi Tanjungpinang
Kepala
Kantor
Imigrasi
Tanjungpinang,
Surya
Pranata,
mengungkapkan kekecewaannya pada proses pemulangan deportan yang sebagian besar TKI dari Negara Malaysia, yaitu pemulangan para TKI tanpa disertai dengan dokumen. Para deportan datang tanpa memegang paspor, sedangkan paspor mereka akan dikirim kemudian dengan dititipkan ke kapal
fery. Pada saat paspor diterima oleh petugas Imigrasi, para deportan sudah dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing, padahal status paspornya masih berlaku dan dapat digunakan sebagai dokumen pencari kerja di negara lain (selain Malaysia). Sedangkan upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengurangi terjadinya deportasi dari Malaysia adalah dengan cara penyediaan lapangan pekerjaan kepada warganya. Di lain pihak, harus diberikan penyadaran kepada masyarakat tentang kondisi bekerja di Malaysia yang mungkin tidak sebaik yang dibayangkan oleh para calon TKI. Bahkan ada beberapa image orang Malaysia yang merendahkan martabat para TKI yang bekerja di Malaysia dengan menempatkan TKI sebagai warga kelas dua khususnya dengan penyebutan para TKI sebagai “indon”. Para calon TKI mungkin dapat diberi penjelasan dan informasi yang cukup tentang negaranegara tujuan bekerja yang lain yang mempunyai kondisi pekerjaan yang lebih baik dari Malaysia seperti di Hongkong.
d. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Tanjungpinang68 BP3TKI Tanjungpinang berkedudukan sebagai anggota tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi membantu dan memperlancar penempatan TKI. Kepala BP3TKI Tanjungpinang, Johny G. Worotikan, mengatakan bahwa proses penanganan TKI yang bermasalah dilakukan oleh tim Satgas. BP3TKI akan melakukan pendataan terhadap para deportan yang datang apakah mereka merupakan TKI atau bukan. Jika para deportan bukan merupakan TKI, maka mereka dikategorikan sebagai WNI yang bermasalah, namun mereka juga akan diberikan pelayanan selama berada di tempat penampungan. Bagi mereka yang berstatus sebagai TKI, maka akan diteliti identitas Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang mengirim ke luar negeri untuk dimintai pertanggungjawabannya. Pada saat ini BP3TKI Tanjungpinang mencatat jumlah PPTKIS di Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan sebanyak 23 perusahaan dengan status sepuluh perusahaan yang aktif di Tanjungpinang dan dua perusahaan di 68
Johny G. Worotikan, Kepala BP3TKI Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wawancara pada tanggal 30 Juli 2010
Bintan. Di Kota Batam terdapat 48 PPTKIS dengan status 30 perusahaan yang aktif.
Sedangkan di Kota Tanjung Balai Karimun terdapat enam
PPTKIS dengan status lima perusahaan yang aktif. Jika berdasarkan pendataan di tempat penampungan terdapat para deportan yang ingin kembali bekerja ke Malaysia, maka BP3TKI akan memberikan pengetahuan dan pemahaman untuk menjadi TKI melalui prosedur yang benar agar tidak timbul permasalahan di negara tempat mereka bekerja. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa para deportan tidak mengerti prosedur untuk bekerja di luar negeri sehingga mereka kemudian mendapatkan permasalahan yang akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Informan juga mengemukakan perlunya dilakukan penelitian kepada calon TKI untuk mengetahui apakah prosedur menjadi TKI yang selama ini berlaku terlalu mahal sehingga calon TKI memilih jalur tidak resmi untuk bekerja di luar negeri. Informan juga menyatakan kekhawatirannya kepada para deportan khususnya pada saat deportan berada di tempat penampungan. Beliau menengarai adanya pihak-pihak tertentu yang melakukan “daur ulang” TKIB untuk ditempatkan kembali ke Malaysia secara ilegal. Untuk mengatasi hal ini (mencegah oknum yang mendaur ulang), informan juga mengungkapkan adanya
program
penempatan
kembali
para
deportan
sebagaimana
dikemukakan oleh Sekretaris Tim Satgas. e. Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Tanjungpinang69 Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Tanjungpinang berkedudukan sebagai anggota tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi dalam penanganan kesehatan bagi TKIB, memastikan calon TKIB yang baru datang bebas dari penyakit menular yang berbahaya, memberikan pelayanan pertama terhadap
kesehatan
TKIB
dan
mengambil
keputusan
untuk
merekomendasikan bagi penanganan kesehatan para deportan lebih lanjut. Bagi unit pelayanan teknis yang berada di bawah koordinasi dinas kesehatan seperti puskesmas dan RSUD diarahkan untuk menerima dan memberikan pelayanan bagi TKIB yang dirawat inap. Sekretaris Dinas Kesehatan 69
Hardianto, Sekretaris Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Tanjungpinang, wawancara pada tanggal 2 Agustus 2010
Pemerintah Kota Tanjungpinang, Hardianto, mengatakan bahwa dukungan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan kepada tim Satgas penanganan WNI yang dideportasi adalah berupa tenaga medis dan obat-obatan. Anggaran Dinas Kesehatan juga diperuntukkan bagi permasalahan penanganan para deportan. Menurut beliau, dana untuk membayar tenaga medis dan obatobatan memang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Kota Tanjungpinang, tidak dikhususkan bagi TKIB saja, sehingga semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Pada saat deportan datang di pelabuhan internasional, maka petugas kesehatan yang berada di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) akan melakukan pemeriksaan kesehatan kepada beberapa deportan yang sakit. Selanjutnya, pada saat deportan berada di penampungan juga akan diberikan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan fisik dan pemberian obat-obatan. Pemeriksaan di tempat penampungan akan dilakukan oleh petugas medis yang didatangkan dari Puskesmas atau rumah sakit di Tanjungpinang. Namun demikian pemeriksaan kesehatan tidak dapat dilakukan terhadap semua deportan. Hanya beberapa deportan yang diindikasikan menderita penyakit saja yang dapat diperiksa oleh petugas kesehatan. Hal ini dikarenakan jumlah tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah deportan yang berjumlah ratusan orang sehingga petugas medis harus selektif dalam memberikan pelayanan kesehatan, yaitu bagi mereka yang benar-benar menderita penyakit tertentu. Apabila terdapat deportan yang memerlukan perawatan lebih lanjut maka akan dirujuk ke rumah sakit umum. Bagi deportan yang menderita penyakit jiwa maka akan ditangani oleh ahli syaraf (neurolog), karena di rumah sakit umum belum mempunyai ahli jiwa (psikiater). Ahli jiwa di Tanjungpinang baru terdapat di RS Bhayangkara, sedangkan koordinasi dengan RS Bhayangkara sulit dilakukan. Sehingga bagi deportan yang mengalami stress atau gangguan jiwa hanya dapat dilayani oleh ahli syaraf. Tim Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang, yang terdiri dari petugas kesehatan Dinkes dan Puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan dasar di penampungan bagi para deportan yang sakit. Pada tahun 2008 telah dilayani sebanyak 5.903 TKIB yang sakit di penampungan dari seluruh TKIB yang berjumlah 34.655 orang. Sedangkan pada tahun 2009 telah dilayani sebanyak 3.088 orang TKIB dari seluruh TKIB yang berjumlah
33.200 orang. Sedangkan untuk tahun 2010 sampai dengan Bulan Juli telah dilayani sebanyak 4.673 TKIB dari seluruh TKIB yang berjumlah 6.868 orang. Data per bulan dari pelayanan kesehatan ini dapat dilihat pada tabel 3.14. Petugas medis yang ditugaskan untuk memberikan pelayanan kesehatan di tempat penampungan adalah petugas medis yang dipinjamkan dari Puskesmas atau rumah sakit. Selama ini belum ada petugas medis yang khusus bertugas di shelter. Oleh karena itu informan menyarankan adanya dokter penanggung jawab dan petugas medis yang setiap saat dapat memberikan pelayanan kesehatan selama deportan berada di penampungan. Informan juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang kondisi fisik rumah penampungan yang dari segi kesehatan sangat memungkinkan penularan penyakit secara mudah dan cepat. Oleh karena itu jika ada rencana pembangunan rumah penampungan maka perlu dipertimbangkan masalah kesehatan para deportan. Tabel 3.14 Kegiatan Pelayanan Kesehatan TKIB Tahun 2008 s/d 2010 Oleh Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang
No.
Bulan
Jumlah Tahun 2008
Jumlah Tahun 2009
Jumlah Tahun 2010
TKIB (per orang)
TKIB (per orang)
TKIB (per orang)
Diobati (per orang)
Diobati (per orang)
Diobati (per orang)
Januari 2.850 177 3.142 200 1.235 Februari 2.428 223 2.852 420 1.026 Maret 1.936 341 3.190 424 1.692 April 3.294 425 3.130 201 1.205 Mei 3.232 512 3.230 244 717 Juni 2.970 406 2.174 173 409 Juli 2.846 638 2.567 225 584 Agustus 3.925 1.301 3.055 230 September 3.956 517 2.569 240 Oktober 2.044 315 3.317 245 Nopember 2.724 415 1.740 138 Desember 2.428 633 2.234 348 34.655 5903 33.200 3.088 6.868 Jumlah Sumber: Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2008 dan 2009 serta bulan yang dihimpun pada tahun 2010. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
825 912 970 879 312 354 421
4.673 data per
f. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Tanjungpinang70 70
Zarkodim, Kepala Bidang Perhubungan Darat pada Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Pemerintah Kota Tanjungpinang, wawancara pada tanggal 3 Agustus 2010
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Tanjungpinang berkedudukan sebagai anggota tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi mempersiapkan angkutan dari pelabuhan kedatangan ke penampungan dan menuju ke pelabuhan keberangkatan. Menurut keterangan dari informan, Zarkodim (Kepala Bidang Perhubungan Darat), semua kebijakan penanganan WNI yang dideportasi dilakukan berdasarkan ketentuan tentang tim Satgas. Segala kegiatan yang berkaitan dengan penanganan para deportan dilakukan di bawah koordinasi tim Satgas. Dinas
Perhubungan,
Komunikasi
dan
Informatika
akan
segera
mengkondisikan angkutan yang diperlukan bagi pengangkutan para deportan dari pelabuhan ke tempat penampungan, serta pengangkutan dari tempat penampungan ke pelabuhan tempat kapal fery yang akan mengakut para deportan ke daerah asalnya. g. Kepolisian Resor Kota Tanjungpinang71 Kepolisian Resor Kota Tanjungpinang berkedudukan sebagai anggota tim dalam Satgas yang mempunyai tugas dan fungsi mengkoordinasikan keamanan pada saat kedatangan dan pemulangan di pelabuhan serta selama berada di dalam penampungan sementara. Pihak kepolisian mencatat jumlah TKI/TKW yang datang dari Negara Malaysia dan diberangkatkan kembali ke daerah asalnya yang cukup banyak selama tahun 2009. Demikian juga pada tahun 2010 jumlah pemulangan yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2009 terdapat 33.123 orang TKI dan keluarganya yang dipulangkan dari Malaysia dengan rincian 22.337 laki-laki, 10.055 perempuan dan 731 anak-anak. Sedangkan pada tahun 2010, sampai dengan Bulan Juli, sudah terjadi deportasi terhadap 12.400 orang dengan rincian 8.270 laki-laki, 3.927 perempuan dan 203 anak-anak. Permasalahan yang dihadapi oleh para deportan, sebagian besar dikarenakan pelanggaran imigrasi di Negara Malaysia. Informan dari kepolisian yaitu Zulkarnain dan Andri Karnadi mengatakan bahwa sejak tim Satgas Kota Tanjungpinang terbentuk, anggota kepolisian selalu menjadi anggota tim untuk menjaga keamanan, baik di 71
Zulkarnain dan Andri Karnadi, Penyidik Unit Reskrim pada Kepolisian Resor Tanjungpinang Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, wawancara pada tanggal 29 Juli 2010
pelabuhan maupun di tempat penampungan. Pada awalnya anggota kepolisian yang ditunjuk dalam Satgas berasal dari bagian Satuan Intelkam, sehingga anggota kepolisian dapat leluasa untuk “masuk” ke penampungan dan melakukan penyelidikan terhadap orang-orang tertentu yang hendak memanfaatkan para deportan untuk proses “daur ulang”. Selain itu, anggota polisi juga berusaha mencegah keributan dan perkelahian antar suku di dalam tempat penampungan. Namun mulai Bulan April 2010 terjadi perubahan kebijakan dari pusat (Markas Besar POLRI) dalam hal penugasan anggota kepolisian dalam Satgas, yang awalnya Satuan Intelkam menjadi Satuan Samapta (polisi berseragam). Dengan adanya perubahan kebijakan ini maka terjadi perubahan tugas kepolisian di dalam Satgas yang hanya bersifat pengamanan selama pengangkutan para deportan dari pelabuhan ke tempat penampungan dan ke pelabuhan pemberangkatan ke daerah asal. Dengan demikian, anggota polisi tidak dapat lagi melakukan penyelidikan untuk mengetahui praktek “daur ulang”. Padahal keberadaan TKI deportasi selama berada di penampungan selalu dimanfaatkan oleh tekong yang memanfaatkan situasi dengan cara bujuk rayu yang pada intinya melakukan pendekatan dengan iming-iming dapat keluar dari penampungan dan pulang ke daerah asal ataupun masuk kembali ke Malaysia (perekrutan kembali secara ilegal). Berdasarkan pengalaman kedua informan, selama ini belum ada tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang-orang yang memanfaatkan para deportan untuk dikirim bekerja kembali ke Malaysia. Hal ini karena tidak ada laporan dari pihak keluarga deportan. Yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah hanya menjaga keamanan para deportan dan proses pemulangan para deportan. Untuk
meminimalisir
kemungkinan
terjadinya
tindak
pidana
trafficking in person terhadap TKI yang ada di penampungan, pihak kepolisian menyarankan kepada Satgas untuk melakukan koordinasi yang berkesinambungan diantara semua anggota Satgas. Diantaranya adalah dengan melakukan pengawasan intensif terhadap masyarakat yang melakukan kunjungan terhadap para deportan di penampungan dimana kunjungan tersebut selalu disalahgunakan para pengunjung untuk melakukan bujuk rayu terhadap para deportan dengan alasan ingin membantu/mengeluarkan deportan dari penampungan dengan cara mengeluarkan biaya administrasi
untuk petugas (penjaminan). Jikalau tim Satgas yang bertugas di tempat penampungan mengizinkan penjaminan, maka harus dilakukan seleksi yang ketat terhadap pihak penjamin dan melakukan pendataan terhadap identitas penjamin sehingga deportan yang keluar dari tempat penampungan dengan tujuan Tanjungpinang dapat diminimalisir. Hal ini dilakukan sebagai langkah dan upaya agar tidak terjadi permohonan penjaminan oleh pihak yang sama. h. Deportan di Rumah Penampungan Tepak Sirih72 Rumah Penampungan Tepak Sirih, yang berlokasi di Jl. Transito Km. 8 Tanjungpinang, merupakan tempat penampungan sementara para deportan yang akan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Tempat penampungan ini merupakan tanah dan bangunan yang dimiliki oleh pihak swasta (PT Pinang Sari) yang dipinjamkan kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang melalui tim Satgas untuk menampung para deportan sambil menunggu jadwal pemulangan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa dari segi fisik shelter kurang memberikan kenyamanan bagi para deportan (seperti tempat tidur yang kurang memadai yaitu hanya terbuat dari lantai yang beralaskan tempat tidur busa yang tipis serta sebagian tikar, ventilasi udara dan cahaya tidak cukup/ruangan di dalam terasa pengap dan gelap, dan kamar mandi yang kurang proporsional apabila dibanding dengan jumlah penghuni shelter). Ruangan para deportan bagi laki-laki dan perempuan memang dipisahkan, tetapi tidak ada ruangan khusus misalnya untuk para deportan yang sakit, ibu hamil ataupun untuk balita. Ruangan di dalam shelter berbentuk bangsal yang memungkinkan penyakit dapat dengan mudah dan cepat menular. Pada saat tim berkunjung ke Tanjungpinang, sedang terjadi deportasi WNI yang sebagian besar adalah TKI melalui pelabuhan internasional Sri Bintan Pura. Berdasarkan informasi dari pengurus rumah penampungan yaitu Abdul Karim (yang juga merupakan staf pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja selaku Ketua Tim Satgas), pada saat itu jumlah deportan adalah sebanyak 150 orang dengan rincian 100 orang laki-laki dan 50 orang perempuan. Dari 72
Abdul Karim, Anggota Satgas yang ditugaskan di Rumah Penampungan Tepak Sirih, wawancara pada tanggal 28 Juli 2010
jumlah tersebut terdapat dua orang anak perempuan (dua tahun dan tujuh tahun) dan seorang ibu hamil (sudah delapan bulan) yang tentunya memerlukan ruangan khusus. Jumlah deportan ini dapat dikatakan sedikit pada proses deportasi yang biasanya memulangkan sekitar 400-500 orang. Dengan kapasitas rumah penampungan yang dapat menampung sekitar 400 orang, maka dapat dikatakan pada saat itu tidak terjadi kepadatan di rumah penampungan. Namun apabila ternyata jadwal pemulangan deportan ke tempat asalnya mengalami hambatan, dikarenakan belum adanya kapal laut yang mengangkut, maka jumlah deportan ini akan bertambah dengan adanya pemulangan WNI dari Malaysia pada minggu berikutnya. Kondisi kepadatan di tempat penampungan ini yang tidak memungkinkannya pelayanan kepada seluruh deportan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa deportan, dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya deportasi kepada WNI yang berada di Malaysia adalah karena ketidaklengkapan dokumen bekerja yang harus dimiliki oleh TKI.
Para deportan tersebut dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu TKI yang berangkat secara legal dan ilegal. Bagi TKI yang berangkat secara ilegal, pada awalnya mereka bekerja melalui prosedur yang sesuai dengan penempatan TKI di luar negeri. Setelah mereka sampai di Malaysia ternyata apa yang dijanjikan dalam perjanjian kerja tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi, oleh karena itu kemudian TKI memilih kabur dari majikannya untuk mencari pekerjaan lain. Namun demikian, oleh karena paspor sudah diambil oleh majikannya maka akhirnya mereka menjadi TKI undocumented yang akhirnya menjadi permasalahan dan tertangkap oleh petugas imigrasi Malaysia. Ada beberapa TKI yang harus menghadapi proses hukum di Malaysia hingga mendapat hukuman sebat (cambuk). Ada juga yang berhasil pulang tanpa melalui proses hukum karena dapat membayar uang jaminan kepada petugas Imigrasi di Malaysia. Bagi TKI yang berstatus ilegal, pada dasarnya mereka mengetahui bahwa mereka pergi bekerja tanpa melaui mekanisme yang benar. Hal ini dikarenakan menurut mereka pengurusan administrasi untuk bekerja ke Malaysia membutuhkan biaya yang besar. Menurut salah satu deportan asal Jawa Timur, jika mengurus dokumen secara resmi maka akan mengeluarkan biaya sekitar tiga belas juta rupiah. Namun jika mengurusnya lewat
tekong/calo maka hanya mengeluarkan biaya sebesar tiga setengah juta rupiah saja. Perbedaan biaya antara pengurusan resmi (legal) dengan tidak resmi (ilegal) inilah yang mendorong para calon TKI memilih jalur ilegal untuk bekerja ke Malaysia. Ada juga beberapa TKI (ilegal) yang sengaja ditangkap oleh petugas Imigrasi Malaysia dengan harapan mereka segera dipulangkan ke Indonesia tanpa mengeluarkan biaya. Pada saat deportan berada di tempat penampungan, terdapat beberapa diantara mereka yang memang ingin kembali bekerja ke Malaysia dan ada juga yang benar-benar ingin pulang ke daerah asalnya karena merasakan tidak enaknya bekerja di sana. Di tempat penampungan, mereka mendapatkan kebutuhan permakanan (tiga kali sehari). Ada deportan yang mengemukakan bahwa memang untuk kebutuhan permakanan, didapat dari pengurus tempat penampungan, tetapi mereka harus mengeluarkan uang sendiri untuk membeli air minum. Selain permakanan, beberapa deportan juga memerlukan pelayanan kesehatan, seperti pemeriksaan luka akibat sebat yang diderita oleh salah satu deportan, pemeriksaan ibu hamil, dan juga anak balita. i. LSM Sirih Besar73 LSM Sirih Besar adalah lembaga non pemerintah atau non government organization, yang bekerja bersama dan untuk orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia sejak tahun 2005. Visi dari LSM ini adalah tersedianya dukungan dan pembelaan hukum serta menjunjung tinggi HAM. Lembaga ini juga menjalin mitra dengan lembaga lain di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan titik perhatian pada korban trafficking. Salah satu kerjasama yang dilakukan oleh LSM ini adalah dengan menjadi mitra Pemerintah Kota Tanjungpinang dalam penanganan WNI yang dideportasi. Pengurus LSM ini sangat khawatir bahwa dalam setiap peristiwa deportasi, para pekerja Indonesia di Malaysia akan mungkin terdapat korban trafficking ataupun para deportan yang kemudian didaur ulang untuk tujuan trafficking. LSM Sirih Besar melakukan pembekalan kepada para deportan selama mereka berada di tempat penampungan. Materi pembekalan terdiri dari
73
Tita dan Aan, Staf LSM Sirih Besar Tanjungpinang, wawancara pada tanggal 31 Juli 2010
pengetahuan tentang trafficking, HIV/AIDS, serta mekanisme untuk menjadi TKI yang benar. Staf LSM Sirih Besar, Tita dan Aan, mengatakan bahwa tidak mudah memberikan pembekalan, kepada para deportan. Para deportan sering merasa tidak sabar pada saat diberikan pembekalan karena suasana tempat penampungan yang sempit dan kurang ventilasi (udara panas). Para deportan kadang mengeluarkan kata “cepat” agar proses pembekalan berakhir karena panasnya ruangan shelter. Sebenarnya tujuan dari pembekalan ini adalah memberikan pengetahuan kepada para deportan agar mereka waspada terhadap bahaya trafficking sehingga harus mengetahui bagaimana menjadi TKI yang baik berdasarkan prosedur yang berlaku. Dari kegiatan pembekalan ini juga diharapkan kepada para deportan untuk memberikan informasi kepada saudara atau komunitas di daerah asal masing-masing tentang kondisi bekerja di Malaysia. Selanjutnya informan mengatakan bahwa pada proses penanganan WNI yang dideportasi, Pemerintah (Kota Tanjungpinang) melalui tim Satgas telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemerintah daerah asal para deportan-lah yang dinilai tidak mempunyai perhatian terhadap permasalahan ini, padahal sebagian besar deportan yang dipulangkan bukan berasal dari kota Tanjungpinang. Oleh karena itu informan menganjurkan kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang membuat naskah kerjasama (memorandum of understanding) dengan daerah asal para deportan untuk ikut menanggung biaya penanganan para deportan.
3. Provinsi Sumatera Utara a. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara74 Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah embarkasi maupun debarkasi dalam hal pemberangkatan dan pemulangan TKI, oleh karena itu pemerintah Provinsi berupaya untuk meningkatkan pelayanan pemberangkatan dan pemulangan TKI di wilayahnya. Upaya penting yang pertama harus dilakukan adalah membentuk dasar hukum yang menjadi payung dalam perlindungan kepada TKI mulai dari pemberangkatan sampai dengan pemulangan, yaitu dengan membentuk Keputusan Gubernur Sumatera 74
Jimmy Pasaribu, Kepala Bagian Kesehatan dan Tenaga Kerja pada Biro Bina Kesejahteraan Sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, wawancara pada tanggal 11 Agustus 2010
Utara Nomor:560.05/1436K/Tahun 2008 (menggantikan Keputusan Gubernur Nomor:560/298/Tahun
2007)
tentang
Pembentukan
Tim
Pelayanan
Pemberangkatan dan Pemulangan TKI di Pelabuhan Belawan dan Bandara Polonia Medan. Tim yang dibentuk berdasarkan keputusan gubernur ini dibagi menjadi tiga tim dengan tugas sebagaimana berikut: 1) Tim Koordinasi bertugas: a) Mengkoordinir unsur terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas operasional
Pelayanan
Pemberangkatan
Pemulangan
TKI
di
Pelabuhan Belawan dan Bandara Polonia Medan. b) Menetapkan kebijakan, memberikan arahan dan pembinaan kepada tim petugas Pos Pelayanan Pemberangkatan dan Pemulangan TKI di Pelabuhan Belawan/Polonia Medan dan menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kegiatan serta mengkoordinir unsur terkait untuk kelancaran
pelaksanaan
tugas
operasional
di
Pelabuhan
Belawan/Polonia Medan. 2) Tim Posdal bertugas memberikan fasilitas kelancaran, kemudahan kepada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri sesuai prosedur dan pulang ke
Indonesia
serta
melakukan
tindakan
yang
diperlukan
atas
pemberangkatan TKI non prosedural. 3) Tim Satgas membantu petugas Posdal untuk melakukan tindak lanjut temuan Tim Posdal terhadap penempatan TKI/WNI non prosedural.
Berdasarkan keterangan dari Jimmy Pasaribu, Kepala Bagian Kesehatan dan Tenaga Kerja pada Biro Bina Kesejahteraan Sosial, peran pemerintah daerah hanya sebatas memfasilitasi pembentukan dasar hukum untuk
penanganan
TKI.
Selanjutnya
yaitu
pada
proses
pelayanan
pemberangkatan dan pemulangan TKI, termasuk TKI bermasalah (TKI non prosedural), dilakukan oleh instansi yang tergabung dalam Tim Posdal maupun Tim Satgas. Kondisi ini memang disebutkan di dalam keputusan gubernur dimaksud, dimana disebutkan bahwa segala biaya yang timbul akibat diterbitkannya keputusan ini dibebankan kepada DIPA Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Medan wilayah Kerja Sumatera Utara. Namun demikian sebenarnya
pemerintah daerah selalu mendapat informasi dari Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru setiap kali ada pemulangan WNI ke wilayah Indonesia. Informasi yang diterima adalah berupa rekapitulasi WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui Pelabuhan Pasir Gudang, Johor. Informasi yang diterima tersebut merupakan surat yang dikirimkan oleh Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru kepada Menteri Luar Negeri RI dan ditujukan juga kepada beberapa instansi lain serta beberapa pemerintah daerah (asal para TKI). Pada salah satu surat yang ditunjukkan oleh informan tentang rekapitulasi WNI yang dideportasi periode tanggal 12 s/d 23 Juli 2010 disebutkan sejumlah 382 WNI yang dideportasi ke beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa daerah yang merupakan daerah asal para deportan adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTT, NTB, dan Sulawesi Barat. Di dalam surat ini disebutkan bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi oleh WNI sehingga mereka dideportasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pendatang ilegal murni yaitu karena memasuki Malaysia tanpa paspor atau pelanggar ketentuan imigrasi karena bekerja tanpa izin kerja yang sah, atau permit kerja telah habis masa berlakunya. Bagi pendatang ilegal murni, biasanya mereka adalah korban penipuan oleh kelompok yang terorganisir yang meminta sejumlah uang dengan diiming-imingi kemudahan mencari kerja. Sementara bagi pelanggar ketentuan imigrasi kebanyakan dari mereka adalah yang sengaja terus bekerja walau ijin kerja sudah habis, atau tidak mengetahui bahwa diperlukan dokumen yang sah untuk bekerja, atau tidak diuruskan permit oleh majikan dan ditelantarkan begitu saja, atau yang menyalahgunakan fasilitas bebas visa untuk kunjungan wisata singkat untuk bekerja.
b. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Medan75
75
Suyono, Kepala Seksi Perlindungan pada BP3TKI Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, wawancara pada tanggal 12 Agustus 2010
Pelaksanaan penanganan pemberangkatan dan pemulangan TKI dilakukan oleh BP3TKI (yang berkedudukan sebagai sekretaris tim) berkoordinasi dengan instansi lainnya. Hal ini memang disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa segala biaya yang timbul akibat diterbitkannya keputusan ini dibebankan kepada DIPA Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Medan wilayah Kerja Sumatera
Utara.
Menurut
keterangan
dari
Suyono
(Kepala
Seksi
Perlindungan BP3TKI Medan), pada saat ini Pemda Sumatera Utara hanya menerima deportasi beberapa orang saja atau yang bersifat darurat seperti karena tenggelamnya kapal atau pihak negara lain yang mengharuskan WNI pulang (karena suatu hal tertentu atau harus pulang pada hari itu juga). Selebihnya Tim Posdal hanya menerima beberapa WNI yang dideportasi namun yang berstatus legal. Pembentukan Satgas penanganan TKI bermasalah di Provinsi Sumatera Utara pada awalnya bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya deportasi besar-besaran di wilayahnya, namun semenjak tahun 2005 hingga sekarang, kegiatan tim Posdal tidak terlalu berfungsi sebagaimana tujuan awalnya. Salah satu hal utama yang menyebabkan kondisi demikian adalah karena keputusan penetapan wilayah untuk pemulangan deportan terletak pada pihak Negara Malaysia, yang lebih memusatkan pendeportasian melalui Tanjungpinang, sehingga fungsi tim Posdal di Sumatera Utara kurang berjalan maksimal. Kondisi ini sebenarnya dapat menjadi masalah baru bagi Pemda Sumatera Utara apabila sewaktuwaktu pihak Malaysia kembali melakukan perubahan lokasi pemulangan deportan tidak lagi di Tanjungpinang. Dengan memperhatikan kondisi ini maka perlu dijalin hubungan yang baik antara pihak Malaysia dan Indonesia agar mudah dalam berkoordinasi sehingga apabila terjadi pemulangan para deportan secara besar-besaran di suatu wilayah dapat diantisipasi dan hak asasi manusia para deportan dapat dipenuhi. Selanjutnya
informan
mengatakan
bahwa
pada
saat
terjadi
pemulangan TKI melalui Pelabuhan Belawan, maka Tim Satgas segera berkoordinasi untuk menangani para TKI berdasarkan temuan Tim Posdal. Pemulangan TKI itu pada dasarnya dilakukan terhadap TKI yang mempunyai masalah di Negara Malaysia, dimana mereka dikategorikan menjadi TKI legal (prosedural) dan TKI ilegal (non prosedural). Sebenarnya tugas dari tim
ini adalah memberikan bantuan kepada TKI yang berstatus legal (dikirim oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS). Namun demikian, bagi mereka yang berstatus ilegal pun akan diberikan bantuan untuk dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Hal ini diberikan dengan alasan kemanusiaan, karena para TKI ilegal merupakan korban dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mengambil keuntungan dari proses pengiriman mereka ke negara tujuan (Malaysia). Pemusatan penanganan TKI di Provinsi Sumatera Utara oleh BP3TKI juga tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang menilai bahwa penanganan TKI bermasalah haruslah diurus oleh BP3TKI. Padahal BP3TKI hanyalah mengurus tenaga kerja yang ingin bekerja secara prosedural. Sedangkan WNI di luar negeri yang bermasalah, seharusnya diurus oleh Dinas Sosial untuk menyelesaikan
permasalahan
sosialnya.
Namun
sayangnya
informan
mengemukakan bahwa Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara pada saat
ini tidak
mempunyai peranan dalam
membantu
menyelesaikan pemulangan TKI bermasalah yang dipulangkan melalui Tim Satgas. Banyaknya jumlah TKI bermasalah yang ditangani oleh BP3TKI dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.15 Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara Polonia Medan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung Balai Periode Januari s/d Desember 2009 No .
Keberangkata n
Formal
Informal
Lk
Pr
Lk
Pr
Jumlah
Kedatanga n
Formal
Informal
Lk
Pr
Lk
Pr
Jumlah
1.
B. Polonia
1.700 0
8.772
4
2.28 5
12.76 1
B. Polonia
828
7.20 9
1
2.62 0
10.65 8
2.
P. Belawan
599
501
1
806
1.867
P. Belawan
512
942
-
931
2.385
3.
Tl. Nibung
4.401
1.149
35 8
2.67 7
8.585
Tl. Nibung
1.22 1
997
51 8
1.25 5
4.001
6.660
10.42 2
36 3
5.76 8
23.21 3
Jumlah
2.56 1
9.14 8
51 9
4.80 6
17.04 4
Jumlah
Sumber: BP3TKI Medan
Tabel 3.16 Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara Polonia Medan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung Balai Periode Januari s/d Agustus 2010 No.
Keberangkatan
Formal
Informal
Jumlah
Kedatangan
Formal
Informal
Jumlah
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
1.
B. Polonia
1.028
10.644
-
407
12.079
B. Polonia
364
3.083
-
903
4.350
2.
P. Belawan
116
80
-
50
246
P. Belawan
225
228
-
437
890
3.
Tl. Nibung
2.714
220
97
950
3.981
Tl. Nibung
775
412
171
676
2.034
3.858
10.944
97
1.407
16.306
Jumlah
1.364
3.723
171
2.016
7.274
Jumlah
Sumber: BP3TKI Medan
Pada proses penanganan TKI bermasalah, maka tim yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Tim Satgas. Bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia yang diberikan kepada para deportan (yang sebagian besar TKI) pada proses deportasi meliputi pemberian kebutuhan fisik para deportan seperti tempat penampungan, permakanan dan fasilitasi transportasi pada proses pemulangan ke daerah asal para deportan. Namun demikian, proses penanganan para deportan untuk kembali ke daerah asalnya tidak terlepas dari beberapa kendala yang dihadapi oleh instansi yang tergabung dalam Satgas. Misalnya, pemerintah Provinsi belum mempunyai rumah penampungan sendiri yang diperuntukkan bagi para deportan. Rumah penampungan yang digunakan adalah milik BP3TKI yang hanya dapat menampung sejumlah empat orang TKI saja. Tempat penampungan ini sebenarnya adalah tempat penampungan para calon TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Sementara itu, koordinasi untuk pemenuhan hak-hak para TKI yang dipulangkan
ini,
khususnya
masalah
penampungan,
belum
dapat
dikoordinasikan dengan Dinas Sosial. Permasalahan juga dihadapi pada proses pengangkutan TKI ke daerah asalnya
masing-masing,
dimana
tim
mengalami
kesulitan
untuk
memulangkan TKI yang berasal dari Nusa Tenggara Timur karena jangkauan bis (perusahaan Antar Lintas Sumatera) yang digunakan untuk mengangkut para TKI hanya sampai daerah Jawa Timur saja. Hal ini disebabkan belum ada kerjasama antara pemerintah daerah (dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur) untuk memfasilitasi pengangkutan ke daerah NTT.
c. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara76 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara adalah anggota di dalam tim koordinasi dan tim Posdal, serta menjadi ketua di dalam tim Satgas. Namun menurut Botb Sihombing, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja, instansi ini hanya berperan dalam hal koordinasi dengan instansi lainnya. Sedangkan pelaksana di lapangan dalam hal penanganan TKI termasuk TKI bermasalah adalah merupakan tanggung jawab dari BP3TKI. Beliau mengatakan bahwa Disnakertrans hanya menerima laporan saja dari BP3TKI, dimana jika ada informasi tentang pemulangan TKI maka pegawai yang ditugaskan akan bergerak dan apabila ada hal-hal yang perlu dibahas maka akan dibawa dalam forum rapat. Selama ini koordinasi dengan instansi terkait dapat dikatakan berjalan cukup baik, dimana setiap instansi sudah mengerti tugas di dalam tim untuk menangani TKI bermasalah, sejak mereka turun dari kapal laut sampai dipulangkan ke daerah asalnya masingmasing. Justru hal yang dapat menimbulkan masalah adalah dari pihak deportan, diantaranya tempat tinggal para deportan ini ternyata tidak sesuai yang dituliskan dalam dokumen perjalanan, deportan yang turun di tengah perjalanan dan kemudian bertemu dengan calo untuk kemudian “didaur ulang”, kemampuan para calon TKI yang tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang diminati, serta ketidakmampuan perusahaan pengiriman TKI untuk menyiapkan calon tenaga kerja yang berkualitas. Botb Sihombing
menyarankan kepada tim
penanganan TKI
bermasalah untuk membuat sistem koordinasi yang dapat berupa suatu Protap/model, dimana jika terjadi deportasi maka saat pemulangan deportan harus dipastikan bahwa mereka sampai di tujuan, dan juga harus ada kontrol atau pendampingan. Jika perlu di setiap Provinsi yang dilewati harus dilakukan kontrol untuk menghitung deportan yang akan dipulangkan ke daerah asalnya. d. Kantor Imigrasi Polonia77
76
Botb Sihombing, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, wawancara pada tanggal 11 Agustus 2010 77 A. Rachman, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Polonia pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, wawancara pada tanggal 12 Agustus 2010
Kepala Kantor Imigrasi Polonia, A. Rachman, mengatakan bahwa pada dasarnya, terdapat dua jenis deportasi, yaitu deportasi terhadap illegal migrant worker dan deportasi terhadap pendatang yang baru saja tiba kemudian
ditolak
masuk
oleh
petugas
Imigrasi
Malaysia
karena
ketidakberesan dokumen. Alasan yang diajukan oleh petugas Imigrasi Malaysia terhadap penolakan masuknya WNI sebenarnya merupakan hal yang sederhana saja, yaitu yang bersangkutan tidak mempunyai living cost atau return ticket. Namun, deportasi WNI dari Malaysia yang melalui Bandara Polonia Medan dikategorikan sebagai pemulangan TKI yang memang habis masa kontraknya dan proses pemulangan ini dapat ditangani sendiri oleh Bandara Polonia Medan. Hal ini dikarenakan deportasi atau pemulangan WNI yang sebagian TKI melalui Bandara Polonia adalah mereka (TKI) yang dikategorikan sebagai TKI legal dan mereka dianggap mampu untuk membiayai pemulangan kedaerah asalnya (dengan asumsi mereka sudah mampu membeli tiket pesawat yang dapat dikatakan sebagai transportasi mewah). Lebih lanjut informan mengatakan bahwa jarangnya pemulangan TKI ilegal melalui Bandara Polonia dikarenakan sejak tahun 2009 telah dihentikan proses pengiriman TKI ke Malaysia oleh Pemerintah Indonesia. Namun demikian mungkin saja ada pengiriman TKI ilegal oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini dikarenakan kondisi yang berkembang saat ini dan telah menjadi trend di Malaysia yakni adanya keinginan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki pramu bakti (pembantu) namun secara finansial masyarakat kelas menengah ke bawah itu tidak sanggup untuk memberikan upah. Agar terhindar dari kewajiban membayar, maka warga Negara Malaysia tersebut membuat masalah dengan TKI yang bekerja dengan mereka, sehingga TKI tersebut dideportasi dan mereka terbebas dari kewajibannya. Proses pemeriksaan terhadap WNI yang baru saja tiba di Bandara Polonia adalah sebatas pemeriksaan fisik dokumen keimigrasian, yaitu pemeriksaan terhadap surat alasan mengapa WNI dipulangkan atau ditolak masuk dari Negara Malaysia. Dalam surat penolakan masuk (notice of refusal entry) yang dikeluarkan oleh pejabat Imigrasi Malaysia, biasanya disebutkan beberapa sebab mengapa WNI dilarang masuk ke Malaysia, yaitu: tidak mempunyai paspor yang sah, atau tidak mempunyai visa, atau orang yang
dilarang masuk berdasarkan ketentuan keimigrasian. Selanjutnya petugas imigrasi di Bandara Polonia akan melakukan wawancara terhadap WNI yang dipulangkan.
Jika
mereka adalah WNI yang hanya sekedar berkunjung
(sebagai turis) di Malaysia maka ia selanjutnya diperbolehkan pulang ke daerah asalnya sebagaimana warga negara biasa. Namun jika ia ternyata adalah WNI yang bekerja sebagai TKI maka penanganan yang bersangkutan selanjutnya akan diserahkan kepada Tim Posdal. Dengan demikian maka, dapat dikatakan tugas dari Kantor Imigrasi hanyalah sebatas pemeriksaan dokumen keimigrasian setiap WNI yang dipulangkan, apakah TKI atau warga negara pada umumnya. Sedangkan penanganan terhadap yang bersangkutan, khususnya pemenuham HAM bagi TKI yang dipulangkan, bukan menjadi bagian dari tugas Kantor Imigrasi melainkan tugas dari Tim Posdal. e. Kantor Imigrasi Belawan78 Kepala Kantor Imigrasi Belawan, Martahan Hutapea, mengatakan bahwa meskipun Tim Posdal di Pelabuhan Belawan yang dibentuk dengan SK Gubernur tetap ada, namun sejak tahun 2006 sudah tidak ada lagi pendeportasian melalui Pelabuhan Belawan karena Pemerintah Malaysia memfokuskan pendeportasian melalui Tanjungpinang. Peran Imigrasi dalam tim Posdal ialah memberikan ijin masuk/mendaratkan kemudian tim Posdal mendata mana TKI biasa yang kemudian pulang secara biasa dan mana TKI yang bermasalah untuk kemudian dipulangkan oleh Dinas Perhubungan bekerjasama dengan Bus Antar Lintas Sumatera (ALS). Hal ini memang dibenarkan oleh Kepala Unit Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Pelabuhan Belawan, Charagitha Probo, bahwa pada dasarnya orang-orang yang datang di Pelabuhan Belawan adalah WNI biasa yang bekerja di Malaysia. Mereka pulang kembali ke Indonesia karena memang masa kerja (kontrak) sudah habis atau sedang cuti bekerja. Pencatatan yang dilakukan oleh petugas di TPI Pelabuhan Belawan adalah meliputi keberangkatan dan kedatangan penumpang ferry, tidak ada catatan khusus tentang pemulangan TKI bermasalah.
78
Martahan Hutapea, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Belawan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, wawancara pada tanggal 13 Agustus 2010
f. Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara79 Dinas Kesejahteraan dan Sosial berkedudukan sebagai anggota dalam Tim Koordinasi Daerah. Namun demikian instansi ini tidak terlibat di dalam pelaksanaan Tim Satgas (perlindungan TKI yang bermasalah). Instansi ini justru lebih berperan dalam menangani TKI bermasalah yang dipulangkan oleh Tim Satgas Pemulangan TKIB dan Keluarganya dari Malaysia ke Kota Tanjungpinang dilanjutkan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Berdasarkan informasi dari Batara, Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia, Dinas Kesejahteraan dan Sosial menerima surat dari Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial tentang pemulangan pekerja migran bermasalah dan keluarganya yang dideportasi dari Malaysia. Selanjutnya instansi ini berkewajiban untuk menuntaskan pelaksanaan pemulangan dari Provinsi asal ke daerah asal. Para TKIB yang dideportasi dari Malaysia karena masalah ketidaklengkapan dokumen bekerja, dimana sebagian besar dari mereka bekerja melalui jalur ilegal (tekong/calo). Surat dari Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial tersebut berisikan daftar manifest TKIB asal Sumatera Utara. Mereka dipulangkan dari Jakarta menuju Medan dengan menggunakan angkutan darat (bis dari Perum Damri), untuk selanjutnya dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing (di beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Utara) oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara. Begitu para TKIB tiba di Medan, Dinas Kesejahteraan dan Sosial langsung memulangkan TKIB tersebut ke daerah asalnya dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial kabupaten/kota untuk memastikan bahwa mereka tiba di daerahnya masing-masing. Koordinasi juga dilakukan dalam rangka proses pemantauan dan pemberdayaan terhadap TKIB yang ingin kembali bekerja sebagai TKI dengan cara memberikan pelatihan yang diperlukan sesuai dengan minat pekerjaan yang digeluti. Jika para deportan memerlukan tempat penampungan sementara sambil menunggu jadwal pemulangan, maka mereka akan ditempatkan di beberapa panti milik Dinas Kesejahteraan dan Sosial, seperti panti sosial atau panti jompo. Tempat khusus yang diperuntukkan bagi deportan sampai saat 79
Batara, Kepala Seksi Perlindungan Anak dan Lanjut Usia pada Dinas Kesejahteraan dan Sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2010
ini belum ada. Biasanya pemulangan para deportan ke daerah asalnya di Provinsi Sumatera Utara tidak terjadi dalam waktu yang lama, sehingga mereka tidak akan lama berada di tempat penampungan sementara. g. Dinas Perhubungan80 Informan dari Dinas Perhubungan, Darwin Purba, mengatakan bahwa pada saat ini instansi ini tidak berkoordinasi dengan instansi-instansi yang terkait perihal deportasi, namun instansi ini masih menempatkan dua orang pegawai kami di Pelabuhan Belawan sebagai anggota tim Posdal. Mereka sebenarnya bukan merupakan anggota yang khusus ditugaskan dalam tim Posdal, tetapi mereka adalah pegawai yang bertugas di pelabuhan dan menjalankan tugas sehari-hari di pelabuhan, namun juga ditugaskan untuk membantu tim Posdal pada saat terjadi pemulangan para TKI dari Malaysia. Peranan Dinas Perhubungan dalam hal penanganan deportasi adalah murni pada penyediaan sarana transportasi sebagai jasa angkut pemulangan TKI yang bermasalah. Penyedia sarana transportasi yang selama ini telah menjalin kerjasama dengan baik adalah perusahaan bus Antar Lintas Sumatera (ALS). Dinas Perhubungan menitipkan para TKI yang bermasalah tersebut kepada pengelola bus dan awak bus untuk diantarkan kembali ke tempat asalnya. Peran Dinas Perhubungan hanya sebatas memberikan kemudahan mendapatkan sarana transportasi dimana
pembiayaannya
dibebankan kepada BP3TKI. h. Kepolisian Resor Kota Medan81 Poltabes Medan turut serta menjadi anggota Satgas Penertiban dan Penindakan Penempatan TKI Non Prosedural, namun sampai saat ini Poltabes Medan belum pernah terlibat dalam penanganan deportasi massal. Informan dari Kepolisian Resort Kota Medan, Sucipto (penyidik pada Unit Tindak Pidana Tertentu Satuan Reskrim), mengatakan bahwa sejauh ini Poltabes Medan bekerjasama dengan BP3TKI hanya menangani PPTKIS maupun tenaga kerja yang tidak melalui prosedur/ilegal. 80
Darwin Purba, KSD Darat pada Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2010 81 Sucipto, penyidik pada Unit Tindak Pidana Tertentu Satuan Reskrim pada Kepolisian Resor Kota Medan, wawancara pada tanggal 16 Agustus 2010
Peranan Poltabes Medan dalam Satgas sejauh ini belum begitu banyak karena memang kasusnya lebih banyak terjadi di Belawan yang otomatis ditangani oleh KP3 Belawan. Dalam rangka menghentikan penyalahgunaan ijin oleh PPTKIS yang ada di wilayah Medan, Poltabes Medan berkoordinasi dengan BP3TKI dan instansi lain yang terlibat dalam Satgas membentuk suatu penanganan deportasi dalam bentuk tata cara kerja. Sebagai contoh kasus, apabila diindikasikan ada salah satu PPTKIS ilegal maka Poltabes bekerjasama dengan BP3TKI mengkroscek, apakah betul PPTKIS itu legal atau tidak untuk kemudian dapat diambil suatu tindakan hukum.
4. Provinsi Kalimantan Timur a. Pemerintah Kabupaten Nunukan cq. Asisten Tata Pemerintahan82 Kabupaten Nunukan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di wilayah utara Provinsi Kalimantan Timur. Daerah ini berbatasan dengan Negara Malaysia Timur-Sabah di utara dan Negara Malaysia Timur-Serawak di barat. Daerah ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan antara lain di sektor pertambangan, dengan hasil tambangnya berupa minyak bumi dan batu bara. Di sektor primer, untuk kegiatan pertanian di daerah Nunukan ini, hasil budidaya tanaman pangan menjadi sumber utama mata pencaharian penduduk, dengan hasil pertaniannya berupa padi, tanaman hortikultura dan palawija. Di sektor perkebunan komoditi utama yang dihasilkan daerah ini berupa kakao, kelapa dan kopi robusta. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya migrasi TKI ke luar negeri. Di samping faktor penarik yang ada di luar negeri berupa upah yang lebih tinggi, maka faktor yang paling berpengaruh adalah faktor pendorong yang ada di dalam negeri, yaitu belum terpenuhinya salah satu hak dasar warga negara yang paling penting yaitu: pekerjaan seperti diamanatkan di dalam Pasal 27 D ayat (2) UUD 1945 dan perubahannya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara itu, Malaysia sebagai negara maju begitu memberikan kemudahan kepada TKI yang mau bekerja. Negara ini tidak mempersoalkan tingkat pendidikan dan ijasah, selama para TKI memiliki kemampuan dan keahlian di 82
Djemmi, Asisten Tata Pemerintahan pada Pemerintah Kabupaten Nunukan, wawancara pada tanggal 28 September 2010
bidang pekerjaan yang ingin mereka tekuni, maka TKI akan diarahkan ke pekerjaan yang menjadi minatnya. Namun sayangnya, kemudahan yang diberikan oleh negara tetangga itu sering dimanfaatkan oleh oknum di Indonesia dengan mengirimkan TKI secara nonprosedural. Sehingga terjadi deportasi WNI dari Negara Malaysia akibat ketidaklengkapan yang sebagian besar terjadi pada diri TKI. Kabupaten Nunukan di Provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu daerah entry point Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia. Pemerintah Kabupaten Nunukan berusaha untuk mengantisipasi dan menanggulangi permasalahan TKI dan Warga Negara Indonesia (WNI) bermasalah yang bermukim di Malaysia Timur (Sabah dan Serawak). Usaha ini diawali dengan pembentukan Keputusan Bupati Nunukan, yang pada tahun 2010 dituangkan dalam Keputusan Bupati Nunukan Nomor 138 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Pengiriman dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia dan Warga Negara Indonesia Bermasalah di Kabupaten Nunukan. Berdasarkan informasi dari Asisten Tata Pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Djemmi, TKI yang dideportasi enggan untuk kembali ke daerah asal, pada umumnya mereka akan menunggu 2-3 minggu sambil mengurus dokumen untuk menyeberang kembali ke Malaysia. Tim Satgas di Kab. Nunukan belum memiliki standar pelayanan minimal bagi deportan namun pemerintah daerah melalui Tim Satgas tetap memberikan pelayanan yang maksimal. Saat ini ada kemudahan yang diberikan kepada TKI oleh Konsulat Jenderal dengan program pemutihan, sehingga mereka tidak perlu kembali ke Nunukan untuk mengurus dokumen. Menghadapi proses deportasi dalam jumlah besar (seperti kasus pada tahun 2002), Pemerintah Daerah telah menyiapkan barak dan Rusunawa (meskipun peruntukannya untuk keluarga TKI yang berada di Malaysia) selama belum dioperasikan, akan dimanfaatkan untuk mengantisipasi deportasi dalam skala besar. Selama ini dana yang digunakan untuk membantu deportan diambil dari anggaran bantuan sosial yang ada pada Pemda sehingga kemampuan Pemda terbatas. Melihat setiap minggu ada agenda deportasi, Pemda membutuhkan bantuan dana dari Pemerintah Pusat karena mayoritas deportan bukanlah warga Nunukan. Selain itu deportan yang dideportasi terkadang
memerlukan perhatian khusus apabila salah satu deportan ada yang mengalami gangguan mental, sangat diharapkan bantuan dari Pemerintah Pusat untuk menyediakan Panti Rehabilitasi untuk mengantisipasi hal tersebut. b. Kantor Imigrasi Nunukan83 Kepala
Kantor
Imigrasi
Nunukan,
Andi
Roja
Ibrahim,
mengungkapkan bahwa masalah yang paling menonjol yang dialami oleh TKI di Nunukan adalah permasalahan keimigrasian yaitu over stay, masuk secara ilegal, bekerja tidak sesuai ijin, tidak membawa paspor pada saat pemeriksaan serta melakukan tindak pidana pencurian. Jumlah WNI yang dipulangkan melalui Nunukan terbilang cukup signifikan seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.17 Pemulangan WNI dari Malaysia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi Nunukan (Tahun 2005 – 2010) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
83
Daerah Asal
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
Sulawesi Selatan
2423
3643
4137
3607
2638
1476
Sulawesi Tengah
217
11
6
24
Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara
507
348
344
183
105
194
109
Sulawesi Tengah
40
Sulawesi Utara
29
7
26
24
6
6
Kalimantan Timur
52
80
93
85
91
74
Kalimantan Selatan
7
25
16
39
19
7
Kalimantan Tengah Kalimantan Barat
19 1
2005 Lk: 2281 Pr: 1369 2006 Lk: 4247 Pr: 1342 2007 Lk: 4876 Pr: 1322 2008 Lk: 4123 Pr: 1106 2009 Lk: 3271 Pr: 1043
2 2
11
7
NTT
630
1106
1069
919
660
356
NTB
10
31
76
32
64
37
2
6
7
1
3
Maluku
Keterangan
2010 Lk: 1911 Pr: 545
Andi Roja Ibrahim, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Nunukan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, wawancara pada tanggal 28 September 2010
14 15 16 17
Papua
1
7
1
1
160
174
297
122
174
104
Sumatera
1
2
5
5
13
Lain-lain
110
42
196
119
5229
4314
2456
Jawa
JUMLAH
3650
5589
6198
Sumber: Kantor Imigrasi Nunukan Data terhitung sampai September 2010
TKI yang berangkat dari Nunukan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan daerah perbatasan lain yang ada di Indonesia. Umumnya TKI yang berangkat dari Nunukan telah memiliki keluarga di Tawau sehingga relasi yang terjadi antara masyarakat di Nunukan dan Tawau merupakan jalinan kekerabatan. Tidak ada kejadian penyiksaan oleh majikan seperti yang sering terjadi di Semenanjung. Kantor Imigrasi selama ini telah menjalin kerjasama yang sangat baik dengan Polres, BP3TKI, Dinsosnakertrans dan Dinas Kesehatan dalam penanganan deportasi. Pada proses deportasi, Kantor Imigrasi Nunukan akan menerima surat pemberitahuan dari Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu di Tawau tentang pemulangan WNI. Pemberitahuan ini disertai dengan daftar manifest WNI yang dipulangkan. Selanjutnya, setelah kapal sandar, maka tugas Kantor Imigrasi adalah untuk memeriksa jumlah dan dokumen deportan untuk disesuaikan dengan data yang diterima dari Konsulat Jenderal. Hal ini dilakukan, selain untuk mencocokkan data sekaligus mengantisipasi penyusupan dari warga negara lain. Kemudian langkah selanjutnya adalah pengarahan petugas kepada TKI mengenai hal-hal apa saja yang membuat mereka tertangkap di Malaysia, selain itu juga petugas mencoba untuk memberikan suatu pandangan kepada TKI agar mereka tidak lagi kembali ke Malaysia dan mencoba untuk bekerja di Indonesia. Setelah pemeriksaan dianggap cukup, kemudian diserahkan kepada Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) untuk didata kembali. Seperti yang telah dikemukakan di atas, karena sistem di sini adalah kekerabatan, bahkan kapal belum sandar pun, keluarga yang menjamin deportan sudah ramai di pelabuhan untuk menjemput. Dalam hal deportan yang tidak memiliki keluarga yang akan menjamin maka deportan yang bersangkutan akan diserahkan kepada BP3TKI untuk dipulangkan.
Kebijakan untuk membantu TKI yang baru pertama kali akan bekerja di luar negeri telah dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM melalui kebijakan pemberian paspor
gratis kepada TKI berdasarkan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.HH-01. GR.01.01 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-06. GR. 01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengenaan Tarif Rp. 0,-. Kebijakan ini merupakan wujud nyata dari kebijakan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang peduli terhadap nasib rakyat kecil. Bahwa pemberian blanko paspor gratis tersebut dimaksudkan agar para calon tenaga kerja Indonesia yang pertama kali melakukan perjanjian kontrak kerja dengan pihak majikannya di luar negeri mendapat keringanan biaya dan kemudahan, selama ini calon tenaga kerja tersebut mengalami biaya tinggi, sedangkan mereka pada umumnya adalah masyarakat yang tidak mampu. Beban biaya tersebut pada akhirnya akan ditanggung oleh para calon TKI yang dipotong dari gaji yang diterimanya setiap bulan. Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang selama ini mengajukan permohonan paspor membutuhkan waktu selama 7 (tujuh) hari, pihak
Kementerian
Hukum
dan
HAM
telah
merubahnya
dengan mengeluarkan kebijakaan Menteri Hukum dan HAM yang isinya merubah waktu permohonan paspor menjadi 4 (empat) hari kerja. c. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Nunukan84 Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Syahrial, mengatakan bahwa Tenaga Kerja Indonesia rata-rata telah memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Negara Sabah. Mayoritas warga Sabah adalah suku Bugis, jadi jarang sekali terjadi kekerasan fisik terhadap TKI karena sifatnya sudah kekeluargaan. Namun pada prakteknya masih ditemukan dimana tiba-tiba ada orang yang sudah dalam kondisi tidak menyenangkan berada di jalanan. Minat TKI bekerja di Malaysia tidak semata-mata karena sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia. Sebagai contoh kasus, di Nunukan ada beberapa perkebunan kelapa sawit yang masih membutuhkan banyak tenaga 84
Syahrial, Sekretaris Dinas pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Nunukan, wawancara pada tanggal 29 September 2010
kerja, namun tetap saja pilihan untuk menyeberang lebih tinggi. Kenyataan ini mudah-mudahan dapat dijadikan bahan untuk pembenahan, bahwa meskipun sama-sama memberikan peluang kerja di sektor informal, samasama memberikan gaji dalam jumlah yang sama, namun Indonesia belum bisa memberikan fasilitas yang memberikan TKI kenyamanan selama bekerja. Malaysia tidak hanya memberikan kemudahan dalam bekerja, mereka juga memberikan fasilitas mall kecil, wahana wisata sederhana yang memberikan kenyamanan sehingga para TKI tidak merasa bosan dan tidak merasa berada di suatu tempat terpencil. Dalam hal pendeportasian, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi belum memiliki suatu kebijakan khusus, namun sebagai tim Satgas tetap berupaya untuk memberikan pelayanan maksimal bagi TKI yang dideportasi. Rata-rata TKI yang dideportasi tidak mau dipulangkan ke daerah asal, dari 200 orang yang dideportasi, hanya tiga orang saja yang mau dipulangkan. Sedikitnya jumlah TKI yang bersedia dipulangkan ke daerah asalnya dapat dilihat pada data pemulangan di bawah ini. Tabel 3.18 Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia dan Pemulangan ke Daerah Asal N o
Tahun
Deportasi TKI
1
2006
Lk 3079
2
2007
4510
3 4 5
2008 2009 2010
3008 2985 1952
Pr 101 3 122 6 866 902 508
Jmlh 4092
Dipulangkan ke Daerah Asal Lk Pr Jmlh 14 10 24
5734
12
9
21
3847 3887 2460
18 42 34
16 15 7
34 57 41
Ket
s/d Agustus
Sumber: Dinsosnakertrans Kab. Nunukan
Beberapa alasan kenapa TKI tidak memiliki minat untuk kembali ke daerah asal ialah TKI yang bekerja membawa keluarganya ikut serta ke Malaysia, sebenarnya praktek ini tidak dibenarkan, namun majikan yang mempekerjakan mereka senang apabila TKI membawa keluarganya, hal itu sebagai pengikat atau tanda bahwa TKI sungguh-sungguh dalam bekerja dan tidak akan lari. Selain itu majikan di Sabah masih menjanjikan untuk tetap
menerima TKI apabila mereka kembali ke Malaysia, selanjutnya masih ada harta benda yang tertinggal di Sabah. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menangani TKI yang dideportasi memberikan pelayanan mulai dari menampung, memberi makan dan kebutuhan sehari-hari sampai kepada pemulangan. Selain itu juga berperan sebagai pihak yang menjembatani apabila ada TKI yang mau bekerja di Nunukan, maka akan dibantu untuk bekerja di salah satu perkebunan kelapa sawit yang ada di Nunukan. Seringkali ditemukan orangorang dalam kondisi tidak menyenangkan di jalan-jalan, hal ini juga menjadi perhatian
Dinsosnakertrans,
namun
keterbatasan
anggaran
membuat
pelayanan kepada TKI menjadi terbatas. Dalam kondisi demikian, apabila para TKI ingin pulang ke daerah asalnya, Dinsosnakertrans akan bekerjasama dengan BP3TKI untuk memulangkannya. Dinsosnakertrans berharap dapat berbuat lebih banyak apabila ditunjang dengan bantuan berupa dana dan shelter sebagai rumah singgah selama deportan belum memutuskan langkah selanjutnya. d. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nunukan85 Kebijakan penempatan TKI di luar negeri diarahkan untuk memanfaatkan peluang kerja di luar negeri dengan mengedepankan aspek perlindungan terhadap harkat dan martabat serta keselamatan dan kesehatan TKI sejak di daerah asal, selama di negara tujuan sampai kembali ke daerah asal. Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan BP3TKI Nunukan, Pardamean Siahaan,
mengemukakan
bahwa
pada umumnya
proses
pendeportasian di Nunukan tidak rumit bahkan telah menjadi agenda rutin karena setiap minggu selalu ada deportasi. Tim Satgas telah memiliki koordinasi yang baik, sehingga proses pendataan sampai kepada deportan memilih untuk menetap di Nunukan, ingin kembali lagi ke Malaysia atau pun ingin pulang ke daerah asalnya dapat diakomodir dengan baik. Mayoritas deportan akan memilih kembali ke Malaysia karena mereka masih memiliki 85
Pardamean Siahaan, Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan pada BP3TKI Pemerintah Kabupaten Nunukan, wawancara pada tanggal 30 September 2010
harta benda yang tertinggal. Selain itu, masyarakat Nunukan dan Sabah terikat tali persaudaraan, karena rata-rata warga negara di Tawau merupakan suku bugis, sehingga kasus pendeportasian yang biasanya terjadi adalah kecerobohan TKI yang tidak membawa paspor mereka saat razia terjadi. Permasalahan yang muncul ke permukaan sampai TKI di deportasi umumnya karena masalah keimigrasian. Sejak tahun 2009 tidak ada lagi kasus penyiksaan yang dialami TKI, hal ini mungkin dikarenakan TKI yang berangkat dari Nunukan diarahkan untuk sektor formal yakni bekerja di perkebunan atau pabrik. Praktek yang berlaku saat deportasi, ialah sebelum kapal turun di Pelabuhan, sudah ada kerabat/keluarga yang menunggu para deportan untuk menjemput deportan. Sehingga setelah pendataan maka deportan diserahkan kepada keluarga/kerabat sebagai penjamin keberadaan mereka selama di Nunukan. Bagi TKI yang berangkat melalui jalur resmi, BP3TKI akan meyerahkan TKI kepada PPTKIS sebagai penanggung jawab. Mereka yang akan mengurus kebutuhan TKI apakah TKI memilih untuk pulang ke daerah asal atau kembali ke Malaysia. BP3TKI sifatnya hanya memonitor pelayanan PPTKIS terhadap TKI dan memastikan bahwa TKI mendapatkan haknya. Selain itu, BP3TKI memberikan pelayanan kepada TKI yang akan dipulangkan ke daerah asal dengan menyediakan shelter/penampungan selama mereka menunggu jadual kepulangan. BP3TKI juga memperhatikan kebutuhan deportan akan permakanan mereka, obat-obatan untuk sakit ringan serta kebutuhan sehari-hari selama mereka di shelter. BP3TKI menyediakan 3 blok untuk shelter di mana setiap blok memiliki fasilitas 6 kamar mandi dan 10 kamar, di mana setiap kamar dapat menampung 8 orang. e. Dinas Perhubungan Kabupaten Nunukan86 Sekretaris
Dinas
Perhubungan
Kabupaten
Nunukan,
Zulkifli,
mengatakan bahwa Dinas Perhubungan dalam hal pendeportasian memiliki Tupoksi memantau arus lalu lintas kepulangan TKI, karena tidak semua deportan yang pulang ke daerah asalnya setelah dideportasi. Beberapa 86
Zulkifli Sekretaris Dinas pada Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Nunukan, wawancara pada tanggal 1 Oktober 2010
deportan ada yang kembali ke Malaysia, ada juga yang bekerja di perkebunan yang ada di Nunukan. Peran aktif dinas perhubungan adalah membantu dalam hal memfasilitasi transportasi, dimana sarana transportasi yang sering digunakan adalah Pelni. Apabila pada saat jadual deportasi, kapal Pelni tidak sedang beroperasi maka selama menunggu kedatangan kapal, para deportan dititipkan di PPTKIS. Informan juga mengharapkan kepada pemerintah pusat dan daerah bekerjasama
memaksimalkan sumber daya alam yang ada di Nunukan
sehingga TKI tidak perlu mencari pekerjaan ke luar negeri. Selain itu perlunya pendanaan yang khusus untuk pemulangan ke daerah asal TKI. Selama ini, koordinasi diantara SKPD yang tergabung dalam Tim Satgas kurang terintegrasi, namun tidak mengurangi pelayanan kepada deportan. f. Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan87 Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan, Marwan Sulistiyadi, Dinas Kesehatan bekerjasama dengan RSUD Nunukan dan Puskesmas dalam menangani proses deportasi. Puskesmas sebagai ujung tombak Dinas Kesehatan adalah untuk memberikan penyuluhan kesehatan kepada PPTKIS, calon TKI dan TKI yang dideportasi. Selanjutnya dalam menangani TKI yang mengalami gangguan kesehatan, maka pasien akan diserahkan ke RSUD Nunukan untuk dapat segera ditangani secara medis. Namun RSUD belum memiliki tenaga ahli psikiater dan psikolog sehingga apabila ada pasien yang mengalami gangguan mental, RSUD Nunukan harus merujuk pasien ke RSUD Tarakan. g. Kepolisian Resor Nunukan88 Kepala Kepolisian Resort Nunukan, Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan bahwa kasus yang menyebabkan TKI dideportasi adalah pelanggaran keimigrasian. Kasus yang sering terjadi di Sabah adalah TKI masuk secara resmi, hanya saja dalam proses berpindahnya yang merubah 87
Marwan Sulistiyadi, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Nunukan, wawancara pada tanggal 4 Oktober 2010 88 Raden Prabowo Argo Yuwono, Kepala Kepolisian Resor Nunukan, wawancara pada tanggal 5 Oktober 2010
status TKI menjadi Pendatang Asing Tanpa Ijin. Hal ini bisa dikarenakan TKI yang bekerja pada satu majikan tiba-tiba berpindah pekerjaan padahal paspornya masih ditahan oleh majikan yang lama atau TKI yang sedang keluar untuk pelesiran pada saat pemeriksaan tidak membawa dokumennya. Selain itu, ada juga WNI di Malaysia yang pada awalnya tidak memiliki paspor. Hal ini disebabkan pengurusan paspor TKI lebih mahal dari paspor umum, sehingga untuk mengakalinya, TKI menggunakan paspor kunjungan, lalu setelah berada di Malaysia maka TKI mengurus paspor TKI melalui Konsulat Jenderal. Jumlah pemulangan WNI bermasalah yang dihimpun oleh Polres Nunukan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.19 Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia Dipulangkan Ke Daerah Asal No Tahun Lk Pr Lk Pr Anak Lk Pr Anak 2007 49609 23027 4507 1222 60 24 1 Proses TKI
Deportasi TKI
2
2008
21677 9206
3474 846
244
55
19
3
2009
6351
1653
2896 824
196
18
9
2
4
2010*
1000
258
1897 465
133
-
-
-
Ket Sulsel, Sultra, NTT, NTB Jatim, Kaltim, Kalsel, Kalbar Sulsel, NTT, Ambon, Kalbar, Sulteng, Jatim, Sultra NTT, NTB, Sulbar, Sulsel -
Data terhitung sampai Agustus 2010
Kepolisian sebagai anggota dari tim Satgas bertugas untuk membantu kelancaran proses kedatangan deportan sampai kepada pemulangannya dalam hal pengamanan. Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) berupaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang mungkin terjadi pada saat deportan dalam jumlah besar masuk ke pelabuhan. Namun sayangnya, setiap
kali ada deportasi, masing-masing instansi berusaha untuk lepas tangan, karenanya terkadang polisi bertugas untuk menangani deportan tidak hanya pemeriksaan di pelabuhan, juga berperan sampai kepada pemulangannya.
5. KJRI Johor Bahru dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia89 Negara Malaysia adalah salah satu negara Asia yang cukup makmur dan sejahtera dengan perekonomian yang berbasis industri dan pertanian. Lapangan pekerjaan di Malaysia sangat memberikan peluang bagi TKI untuk bekerja di sana. Letak geografis yang berdekatan dengan Indonesia, menjadikan salah satu alasan mengapa Malaysia mempunyai daya tarik tersendiri bagi para TKI untuk mengadukan nasibnya di sana, disamping adanya faktor kesamaan suku, agama, dan budaya. Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah saling terpenuhinya kebutuhan kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatifnya dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang Malaysia, beberapa hal yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI), sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI yang bekerja di Malaysia mengalami berbagai macam permasalahan yang berdampak pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara. Sebagai data tambahan mengenai bagaimana peran instansi Pemerintah Indonesia yang bekerja di Malaysia dalam melindungi WNI yang dideportasi adalah sebagai berikut: a. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru (KJRI-JB) Malaysia Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan dengan Bapak Nelwansyah dari Bidang Imigrasi, Ibu Woro dari Bidang Konsuler, dan Bapak Suryana dari Bidang Pensosbud KJRI-JB dengan tujuan untuk membahas permasalahan-permasalahan TKI khususnya di Johor Bahru, maka diketahui bahwa pihak KJRI-JB telah melakukan berbagai upaya untuk
89
Berdasarkan Laporan Identifikasi dan Verifikasi data pelanggaran HAM, serta penanganan pemulangan WNI/TKI-B di Johor Bahru dan Kuala Lumpur Malaysia oleh tim Balitbang HAM tanggal 21-24 November 2010
memberikan perlindungan terkait permasalahan TKI di Malaysia, yaitu sebagai berikut: 1) Bidang Konsuler berperan aktif dalam melakukan negosiasi kepada majikan untuk menerapkan standar gaji sesuai dengan kontrak kerja (minimal RM 481). Majikan dan TKI bersama-sama menandatangani kontrak kerja di depan pejabat Konsuler. Apabila diketahui majikan tidak mentaati kontrak kerja yang telah disepakati, maka pejabat Konsuler dapat melaporkan ke Mahkamah Perburuhan untuk diproses peradilan. 2) Konsuler melakukan blacklist bagi majikan dan agen yang tidak mentaati aturan yang telah ditetapkan. Pemberlakuan blacklist tersebut juga disampaikan ke seluruh Perwakilan RI di Malaysia.
3) KJRI-JB melakukan Welcoming Programme. Program ini dimaksudkan untuk mengadakan penyuluhan terhadap TKI yang baru bekerja di Malaysia. Kegiatan ini bekerjasama antara KJRI-JB dengan perusahaan yang mempekerjakan TKI tersebut. 4) KJRI-JB telah membuat call centre, sms centre untuk memfasilitasi para TKI apabila ada permasalahan dapat menghubungi via telepon atau SMS yang nomornya telah ditentukan. 5) KJRI-JB telah membuat shelter atau tempat penampungan sementara yang cukup baik bagi TKI yang bermasalah. 6) KJRI-JB telah membuat brosur/leaflet mengenai cara aman bekerja di Malaysia. Meskipun upaya telah dilakukan namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan berbagai kendala yang dialami dalam melakukan perlindungan terhadap TKI di Johor Bahru, yakni sebagai berikut: 1) KJRI-JB: a) Pemerintah Malaysia belum meratifikasi konvensi Hak-hak Sipol dan Ekosob, tidak tunduk pada Viena Convention 1962, dan memiliki Internal Security Act (ISA), sehingga saat melakukan penangkapan tidak ada kewajiban Pemerintah Malaysia untuk memberitahukan kepada Perwakilan RI di Malaysia. Banyak kasus-kasus penangkapan
TKI tidak dilaporkan kepada KJRI-JB, sehingga KJRI-JB tidak dapat memberikan pelayanan dan perlindungan hukum terhadap TKI. Kondisi
demikian
sangat
menyulitkan
bagi
KJRI-JB
dalam
mengklarifikasi jenis kesalahan yang dilakukan oleh para TKI. b) Kebijakan petugas penegak hukum Malaysia yang memberlakukan “kebijakan wilayah” artinya TKI yang sedang bepergian keluar wilayah, dianggap “berada di wilayah yang salah”. c) Pemerintah Malaysia memberikan bonus atau peningkatan karir bagi para petugas yang dapat menangkap pendatang haram. d) Banyak majikan yang “nakal” dalam arti mempekerjakan TKI tanpa dokumen yang sah, sehingga bisa leluasa mempekerjakan TKI dengan upah yang dibawah standar (RM.481). Kepada majikan seperti ini Pemerintah Malaysia tidak memberikan sanksi apapun. e) Banyak TKI yang menjadi korban salah tangkap oleh Polisi, Imigrasi, maupun RELA (Relawan Rakyat Malaysia). Hal ini terjadi karena saat dilakukan razia banyak TKI tidak mampu menunjukkan dokumen yang sah, karena dokumen asli dipegang oleh majikan. Di lain pihak majikan TKI tersebut enggan untuk menjelaskan permasalahan dan membawa dokumen asli kepada pihak berwajib. Selain itu ada beberapa WNI yang ditangkap karena dicurigai sebagai TKI bermasalah karena berpenampilan kurang meyakinkan. Permasalahan yang terbanyak pada TKI adalah mereka tidak memiliki dokumen yang sah, baik untuk tinggal maupun untuk bekerja di Malaysia. 2) Satgas Deportasi KJRI-JB: a)
Jumlah staf KJRI-JB yang kurang memadai, sehingga pengecekan dan wawancara terhadap WNI/TKI-B yang akan dipulangkan dilakukan sore hari setelah selesai pekerjaan di KJRI-JB.
b) WNI/TKI-B yang dideportasi belum dapat diberikan SPLP sehingga ketentuan sebagaimana di dalam UU No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian belum dapat dilaksanakan. c)
Depoh Transit Pasir Gudang (DTPG) Johor kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas yang tersedia sangat minim sekali dan tidak layak huni sehingga perlu didukung fasilitas terutama
makanan, pakaian, kasur, peralatan MCK, dan sebagainya bagi WNI/TKI-B yang akan dipulangkan ke Indonesia. d) Pemerintah Malaysia tidak pernah melaporkan kepada KJRI-JB apabila melakukan penangkapan terhadap WNI. Demikian juga sulit memperoleh data jenis pelanggaran terhadap WNI/TKI-B yang akan dideportasi. e)
Pemerintah Malaysia tidak memberikan sanksi apapun terhadap majikan “nakal” yang mempekerjakan WNI/TKI-B tanpa ijin kerja.
f)
Dana perlindungan TKI di KJRI-JB masih kurang. Tahun 2010 anggaran yang disediakan oleh BNP2TKI dihentikan dan diserahkan kepada Satker (Kementerian Luar Negeri RI). Tahun anggaran 2010, KJRI-JB terpaksa mempergunakan dana kas besi untuk menangani WNI/TKI-B yang ditempatkan di Shelter (penampungan sementara di lingkungan KJRI-JB).
Berdasarkan keterangan Atase Imigrasi KJRI-JB, kriteria WNI/TKI yang dapat dideportasi adalah seperti dalam tabel 3.20 Tabel 3.20 Kriteria WNI/TKI Yang Dideportasi
KJRI-JB memiliki empat wilayah akreditasi diantaranya Johor, Malaka, Pahang, dan Negeri Sembilan. Namun sejak tahun 2007, Pemerintah Malaysia
telah mengeluarkan kebijakan satu pintu untuk pemulangan (deportasi) WNI/TKI-B dari seluruh Semenanjung Malaysia melalui Pelabuhan Pasir Gudang
Johor
dengan
membangun
Depoh
Imigrasi
Pasir
Gudang.
Terkonsentrasinya proses deportasi dalam satu wilayah menyebabkan terjadinya penumpukan jumlah WNI/TKI-B yang akan dideportasi. Adapun mekanisme dalam penanganan WNI/TKI-B yang akan dideportasi dari Johor ke Tanjungpinang, dapat dilihat alurnya pada gambar 3.1
Gambar 3.1 Alur Penanganan WNI/TKI-B Yang Akan Dideportasi Dari Johor Ke Tanjungpinang
b. Kedutaan Besar Republik Indonesia Malaysia
di Kuala Lumpur (KBRI-KL),
Berdasarkan data yang diperoleh dari KBRI-KL, diketahui bahwa jumlah TKI yang bekerja di Malaysia sebanyak 953.685 orang, dengan perincian bekerja di ladang 336.848 orang, bekerja sebagai pembantu rumah tangga 203.359 orang, bekerja di konstruksi 179.122 orang, bekerja di kilang 114.634 orang, pekerja pelayanan 39.847 orang, dan pekerja di pertanian 79.875 orang. Jumlah WNI/TKI-B yang ada di penampungan sementara (shelter) setiap tahunnya mengalami kenaikan. Tahun 2006 sebanyak 659 orang, tahun 2007 sebanyak 744 orang, tahun 2008 sebanyak 727 orang, dan tahun 2009 sebanyak 1.042 orang. Tahun 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 sebanyak 709 orang dewasa dan 19 orang bayi/anak-anak. WNI/TKI-B ditampung di 2 (dua) tempat: Pertama, di shelter untuk WNI/TKI-B yang masih atau sedang mengalami/dalam proses penyelesaian masalah di Malaysia. Kedua, di Rumah Kita yang merupakan bantuan kemanusiaan dari CINB Malaysia untuk menempatkan WNI/TKI-B yang sudah selesai permasalahannya di Malaysia, namun masih menunggu untuk proses pemulangannya. Jenis pengaduan yang masuk ke KBRI-KL dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian antara lain dalam bentuk sektor informal dan sektor formal yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3.2 Jenis pengaduan yang masuk ke KBRI-KL
1) Kunjungan ke shelter atau tempat penampungan sementara KBRI di Kuala Lumpur Malaysia Berdasarkan hasil kunjungan ke shelter atau tempat penampungan sementara, diketahui sampai dengan tanggal 24 Nopember 2010, penghuni shelter sebanyak 59 orang terdiri dari 57 orang dewasa dan 2 bayi. Sedangkan yang tinggal di shelter Rumah Kita sebanyak 46 orang yang terdiri dari 44 orang dewasa dan 2 orang bayi. Shelter atau tempat penampungan sementara tidak diperuntukkan bagi TKI laki-laki, sehingga kalau ada kasus TKI laki-laki ditempatkan di ruang sopir. Saat ini terdapat 20 orang TKI laki-laki yang ditempatkan di ruangan sopir. Berikut ini adalah hasil wawancara yang dilakukan tim dengan WNI/TKI-B di shelter atau tempat penampungan sementara: a)
Sdri. Fiona 14 tahun, yang bersangkutan membakar rumah majikan. Alasan pembakaran rumah karena yang bersangkutan mau diperkosa majikan.
b) Sdri. Umi Lawati (Butet), yang bersangkutan bekerja sebagai PRT namun kenyataannya dipekerjakan di bengkel sebagai mekanik dan sering dipukul majikan. c)
Sdri. Fatimah, yang bersangkutan sudah 14 tahun bekerja sebagai PRT namun tidak pernah digaji.
d) Sdri. Kurniasih, yang bersangkutan korban trafficking yang diperjualbelikan.
Berdasarkan keterangan dari para WNI/TKI-B, permasalahan yang paling banyak adalah mereka tidak dibayar gaji dan tidak betah untuk bekerja di Malaysia. Kondisi demikian tidak sesuai dengan harapan atau janji-janji agen saat mereka di rekrut sebagai TKI di Indonesia. Pada saat wawancara dengan beberapa WNI/TKI-B di shelter, dijumpai ada beberapa orang yang stress dan sakit. Khusus yang sakit diketahui bahwa WNI/TKI-B tersebut terserang kanker servik stadium 4. Khusus untuk yang sakit seperti ini, KBRI-KL tidak serta merta dapat memulangkan WNI/TKI-B ke Indonesia, hal ini dikarenakan pihak penerbangan meminta jaminan dari KBRI-KL kurang lebih RM.4.000 untuk sekali perjalanan ke Indonesia, sementara KBRI-KL tidak memiliki dana untuk itu. Selain
itu
juga
diketahui
bahwa,
banyaknya
agen-agen
ilegal/individu yang memanfaatkan salah satu agen resmi untuk memberangkatkan TKI ke Malaysia. Namun sesampainya di Malaysia, TKI tersebut dipekerjakan sebagai PSK dan setelah dianggap tidak bermanfaat lagi, mereka dicampakkan di halaman KBRI-KL. Ada juga agen-agen ilegal/individu yang mengirimkan TKI yang tidak sehat atau memiliki penyakit, sehingga sesampainya di Malaysia menjadi permasalahan tersendiri. Agen-agen ilegal/individu ini setelah ditelusuri ternyata banyak berkeliaran di Batam dan sekitarnya. Pada saat tim melakukan kunjungan ke shelter, para WNI/TKI-B sedang mengadakan pengajian (bagi yang beragama Islam). Pengajian diselenggarakan tiga kali dalam satu minggu. Selain dari pengajian juga dilakukan kegiatan peningkatan keterampilan seperti menjahit dan
melakukan pekerjaan kebersihan di lingkungan shelter. Kondisi shelter sangat baik dan bersih, sehingga WNI/TKI-B yang berada di shelter tersebut nyaman menempatinya. Disisi lain, WNI-TKI-B yang memiliki tingkat pendidikan cukup dan keahlian tertentu diberdayakan di lingkungan KBRI-KL. Mereka ikut membantu lokal staf untuk kegiatan fotocopy berkas, melaminating paspor, melakukan data entry, dan sebagainya. WNI/TKI-B yang membantu pekerjaan di KBRI-KL diberikan honor sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya. Hampir setiap hari, ada saja WNI/TKI-B yang datang ke shelter tersebut. Mereka biasanya datang diantar sopir taxi pada malam hari sampai di halaman KBRI-KL. Selanjutnya petugas konsuler dan petugas shelter menempatkan WNI/TKI-B yang baru datang tersebut di shelter. Hanya saja shelter tersebut diperuntukkan bagi wanita saja sementara untuk laki-laki tidak ada tempat penampungan. Saat kunjungan kami ke KBRI-KL, terdapat 20 orang WNI-TKI-B laki-laki yang berada di ruangan sopir KBRI-KL. 2) Focus Group Discussion (FGD) dengan Bapak Sayid Budihardjo Atase Imigrasi dan Bapak Agus Triyanto A.S. Atase Tenaga Kerja KBRI-KL. Berdasarkan hasil FGD dengan Atase Imigrasi dan Atase Tenaga Kerja KBRI-KL, diperoleh keterangan sebagai berikut: a) Bahwa permasalahan WNI/TKI-B di Malaysia yang ada saat ini berawal dari permasalahan di Indonesia saat recruitment calon TKI. Kualifikasi pendidikan yang rendah turut membuat mereka mudah dibujuk rayu oleh majikan untuk melakukan hal-hal yang yang tidak diatur dalam kontrak kerja. b) Pemerintah tidak dapat mengawasi pemotongan gaji yang dilakukan oleh agen terhadap TKI kurang lebih 8 bulan. Pemotongan gaji ini cukup bervariasi tergantung berapa besar jumlah uang yang telah dikeluarkan PPTKIS mulai saat pemberangkatan sampai tiba di negara tujuan. Program Kementerian Hukum dan HAM yang memberikan “nol rupiah” terhadap pembayaran biaya paspor bagi calon TKI pertama kali berangkat, perlu dievaluasi kembali. Program ini perlu dievaluasi dan di cross check dengan pemotongan gaji TKI
apakah biaya paspor dimasukkan dalam rincian pemotongan gaji atau tidak. Apabila biaya paspor masih dimasukkan dalam unsur pemotongan gaji TKI, maka hal ini bukan meringankan TKI, namun malah memberikan biaya lebih terhadap agen-agen. c) Dasar hukum bilateral dengan
Memorandum of Understanding
(MOU) yang telah dilakukan dengan Pemerintah Malaysia kurang kuat. Dasar hukum MOU tidak kuat dikarenakan menurut aturan Pemerintah Malaysia, warga negaranya dapat secara langsung merekrut calon TKI dari Indonesia dan tidak ada sanksi apa-apa terhadap hal seperti ini. Disarankan agar dasar hukum tidak dalam bentuk MOU tetapi Memorandum of Agreement (MOA) yang memuat secara rinci hal-hal yang disetujui kedua belah pihak. d) Menurut keterangan parlemen Malaysia, terdapat uang sebesar 13 (tiga belas) juta ringgit Malaysia yang merupakan uang asuransi para TKI yang tidak dapat dicairkan. Dana tersebut merupakan akumulasi asuransi para TKI yang tidak diambil secara perseorangan karena banyak data TKI tersebut sudah berubah. Oleh karena itu disarankan perlu ada pengetatan dan konsistensi terhadap data TKI untuk menghindari tidak dapat dicairkannya biaya asuransi TKI di Malaysia. Pola penanganan pemulangan (deportasi) WNI/TKI-B yang dilakukan KBRI-KL
mengacu
pada
ketentuan
Pemerintah
Malaysia
yang
memberlakukan pemulangan satu pintu untuk seluruh depoh/penjara yang ada di Semenanjung Malaysia ke Depoh Transit Pasir Gudang Johor. Dengan demikian WNI/TKI-B yang sudah mengalami masa hukumannya di penjara yang ada di Semenanjung Malaysia untuk selanjutnya dikirim ke Depoh Transit Pasir Gudang dan kemudian dipulangkan ke Tanjungpinang. WNI/TKI-B yang berada di Shelter dan Rumah Kita yang ada di lingkungan KBRI-KL, dipulangkan ke Jakarta melalui Bandar Udara Kuala Lumpur dan Pelabuhan Port Klang untuk mereka yang akan menuju Medan Sumatera Utara. Pemulangan terhadap WNI/TKI-B yang sakit atau stress dilakukan pengawalan oleh staf KBRI-KL, dengan maksud untuk memastikan bahwa yang bersangkutan sudah sampai dan bertemu dengan keluarganya.
BAB IV PENUTUP Penelitian yang dilakukan menggambarkan bagaimana penanganan para deportan pada saat tiba di daerah entry point (wilayah perbatasan). Sedangkan peran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di negara pendeportasi (Malaysia) ataupun peran pemerintah daerah asal para deportan belum dapat diketahui karena keterbatasan ruang lingkup penelitian ini.
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut bahwa: 1. Masalah deportasi adalah masalah yang paling banyak menimpa Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, khususnya di Malaysia. Berdasarkan temuan di empat wilayah penelitian, paling banyak TKI yang dideportasi disebabkan pelanggaran keimigrasian. Dalam rangka melindungi warga negara Indonesia yang dideportasi, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan payung hukum kebijakan melalui Kementerian Luar Negeri, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelayanan Warga di Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap buruh migran Indonesia di luar negeri yang mengalami masalah, termasuk masalah deportasi. Pola penanganan perlindungan diatur secara lebih khusus dengan beberapa peraturan, yakni Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TK-PTKIB), Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebagai panduan pelaksanaan perlindungan di daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota di daerah entry point (wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia), transit dan daerah asal TKI kemudian membentuk Satgas secara lintas sektoral dengan
tugas operasional untuk menangani penerimaan dan pemulangan TKIB dan PMBS dari Malaysia. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang menjadi entry point para deportan, menjadi pihak yang paling berperan dalam melakukan penanganan perlindungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola penanganan WNI yang dideportasi oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan, bersifat koordinatif dengan melibatkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada setiap provinsi atau kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menangani para deportan. Di dalam Satgas ditunjuk satu instansi yang menjadi koordinator dalam pelaksanaan penanganan WNI yang dideportasi. Namun demikian pelaksanaan koordinasi diantara SKPD yang tergabung dalam Satgas belum memperlihatkan kinerja yang maksimal karena kurangnya koordinasi diantara SKPD. Seperti yang berlaku pada Tim Satgas di Sumatera Utara dimana Pemerintah Daerah Provinsi Sumut hanya sebatas memfasilitasi pembentukan tim melalui Keputusan Gubernur. Sementara itu, pelaksanaan penanganan pemberangkatan dan pemulangan TKI dilakukan oleh BP3TKI (yang berkedudukan sebagai Sekretaris Tim) berkoordinasi dengan instansi lainnya. Demikian juga di provinsi lain, ada beberapa SKPD yang merasa telah melakukan banyak hal dalam penanganan para deportan, namun instansi lain merasa kurang berperan dalam tim Satgas. 2. Semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) di empat wilayah penelitian, sudah membentuk ketentuan yang menjadi dasar hukum dalam penanganan WNI yang dideportasi.
Ketentuan yang dibuat pada umumnya
hanya merupakan dasar hukum bagi tim koordinasi ataupun satuan tugas yang bekerja untuk penanganan WNI yang dideportasi, dimana WNI yang dideportasi ini dapat dikategorikan sebagai WNI bermasalah atau TKI bermasalah. Lebih lanjut, di dalam ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah daerah hanya memuat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh setiap SKPD. Ketentuan yang telah dibentuk tidak secara tegas memuat hak-hak para deportan pada proses deportasi. Namun jika diteliti lebih dalam tentang tupoksi masing-masing SKPD, maka akan diketahui hak-hak apa saja yang dapat diperoleh oleh para deportan seperti kewajiban SKPD untuk memberikan kebutuhan tempat penampungan, permakanan, transportasi pemulangan ke daerah asal, ataupun pelayanan kesehatan bagi para deportan. Berdasarkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap SKPD di dalam tim Satgas, maka hak-hak inilah yang dapat dituntut oleh para deportan pada saat proses penanganan deportasi kepada pemerintah daerah. Hak-hak tersebut tidak lain adalah bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia dalam melindungi WNI yang dideportasi. Pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan para deportan sesuai dengan tugas pokok masing-masing SKPD sebagaimana telah dituangkan dalam ketentuan (keputusan gubernur atau bupati atau walikota). 3. Pemenuhan hak-hak kepada para deportan yang diberikan oleh pemerintah daerah tidak terlepas dari berbagai kendala, yaitu: a. Kendala terbesar adalah terkait kewenangan penanganan dan perlindungan bagi para deportan itu sendiri yang dialami di setiap daerah, dimana sebagian besar WNI atau TKI yang dideportasi adalah bukan merupakan warga di pemerintah daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam alokasi anggaran melalui APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi warga daerah masing-masing. Alokasi dana ini menjadi masalah tersendiri karena berbagai bentuk penanganan ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena biasanya deportasi terjadi secara massal. b. Dalam hal pemulangan yang tidak hanya membutuhkan biaya besar tetapi juga membutuhkan koordinasi yang intens terutama dengan pemerintah daerah asal, yang belum tentu memiliki kepedulian, apalagi pemulangan hanya sampai di provinsi, sementara pelaksanaan koordinasi sebenarnya sangat diperlukan hingga ke daerah asal para deportan. Sistem pembiayaan yang bersifat reimburse menimbulkan beban bagi beberapa instansi karena harus menyiapkan dana talangan yang tidak dapat dialokasikan dalam anggaran instansi yang bersangkutan. Sementara itu, beberapa SKPD mengungkapkan bahwa biaya operasional penanganan para deportan belum dapat didukung oleh anggaran setiap SKPD yang melekat pada tupoksinya. Selain itu, pemerintah daerah yang menerima deportan juga belum mempunyai kerjasama dengan pemerintah daerah asal para deportan, sehingga pemerintah daerah di entry point merasakan beban dalam hal pembiayaan bagi pemulangan para deportan ke daerah asalnya. c. Pemerintah daerah belum dapat menyediakan tempat penampungan khusus bagi para deportan. Pada saat ini, tempat penampungan yang ada hanya memakai gedung yang bukan diperuntukkan bagi tempat penampungan
(seperti rumah dinas atau tempat yang dipinjamkan oleh pihak ketiga) dan prasarana dan fasilitas yang tersedia belum memberikan perlindungan khusus seperti kepada kaum perempuan dalam hal penyediaan tempat penampungan, maupun keterbatasan tenaga ahli seperti tenaga kesehatan. d. Sedangkan dari sisi deportan, sebenarnya banyak diantara mereka yang ingin kembali bekerja di Malaysia, namun mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sebagian besar paspor para deportan diambil oleh aparat Malaysia. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu (diistilahkan dengan ”tekong”) untuk mengirim para deportan kembali bekerja ke Malaysia dengan cara ilegal.
B. Saran Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menangani WNI yang dideportasi, peningkatan komitmen dari para pihak yang terkait sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan perlu diperkuat melalui petunjuk teknis yang lebih konkrit tentang kewenangan dan tanggung jawab instansi pusat dan daerah yang terlibat, terutama terkait pemulangan deportan ke daerah asal. Pelaksanaan penanganan WNI yang dideportasi secara koordinatif dapat dilakukan lebih terpadu, dalam arti dilakukan satu atap di suatu tempat, sehingga mengurangi beban para deportan selama proses pemeriksaan dan pemulangan. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan lebih berperan, jangan sekedar hanya badan pembuat kebijakan, tetapi juga harus lebih aktif memantau kinerja tim Satgas dan juga melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal para deportan untuk menyelesaikan proses pemulangan para deportan sampai ke daerah asalnya masing-masing. Sementara itu, keterlibatan Kementerian Luar Negeri dalam memberikan perlindungan bagi WNI yang dideportasi perlu ditingkatkan, terutama sejak WNI berada di luar negeri agar tidak terjadi deportasi besar-besaran yang akhirnya menimbulkan permasalahan baru bagi daerah penerima.
2. Pada setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah) sebaiknya tidak hanya memuat langkah-langkah dalam penyelesaian
suatu permasalahan, seperti halnya penanganan WNI yang dideportasi, tetapi juga harus memuat secara jelas hak-hak dari subyek hukum yang diatur (hak-hak para deportan) agar perlindungan hak asasi manusia bagi para deportan pada proses deportasi memiliki kekuatan hukum untuk dapat dipenuhi oleh pemerintah. 3. Untuk menghilangkan kendala-kendala dalam melindungi hak-hak WNI yang dideportasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu: 1) Untuk mendukung tim koordinasi/Satgas, pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan alokasi anggaran kepada Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang tergabung dalam tim koordinasi untuk mendukung kinerja tim Satgas. Anggaran ini dapat dilekatkan pada tupoksi masing-masing instansi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Satgas. 2) Pemerintah daerah yang menjadi entry point harus memiliki fasilitas yang lengkap untuk melakukan perlindungan dan penanganan para deportan termasuk alokasi anggaran yang didukung oleh pemerintah pusat.
Pemerintah
pusat
khususnya
Kementerian
Sosial
harus
memberikan prioritas dalam membangun tempat penampungan para deportan, dimana pembangunan tempat penampungan ini harus memperhatikan kebutuhan para deportan berdasarkan jenis kelamin maupun usia agar tidak terjadi pelanggaran HAM, khususnya bagi kaum perempuan dan anak-anak. 3) Permasalahan deportasi, yang sebagian dilakukan terhadap para TKI non prosedural, dikarenakan permasalahan pengiriman TKI yang masih melalui jalur non prosedural. Oleh karena itu pemerintah (pusat dan daerah) harus mengadakan pembenahan terhadap persoalan ini, diantaranya dengan melakukan sosialisasi kepada calon TKI untuk menjadi TKI yang berkualitas dan mengetahui prosedur yang benar. Selain itu, pemerintah (pusat dan daerah) harus segera membenahi sistem penempatan TKI agar TKI dapat bekerja dengan benar secara prosedural. Pemerintah daerah juga harus membantu para deportan yang ingin kembali bekerja secara legal. Program ”pemutihan” harus didukung oleh SKPD terkait, agar para deportan tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang mengambil keuntungan dari situasi kemalangan yang diderita oleh para deportan (proses daur ulang).
Daftar Pustaka Buku: Asep Kurnia, Implementasi Sismenas pada Penanganan dan Pencegahan Imigran Gelap Guna Memanfaatkan Kemajuan Iptek dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional, Kertas Karya Perorangan (Taskap) Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA)XLIV, Lembaga Ketahanan Nasional RI, Tahun 2010. Frans Ceufin SVD, ed., 2004, Hak-hak Asasi Manusia, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, Maumere, Penerbit Ledalero. F.L. Whitney,1960, The Elements of Research, New York, Prentice Hall Inc. Jack Donnelly, 1998, International Human Rights, Colorado, Wetsview Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed. 3, cet. 2, Jakarta, Balai Pustaka. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Petunjuk Pelaksanaan dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TKIB) dari Malaysia, Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB), Jakarta, 2009. Moh. Nazir, 2003, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia. Peter Baerh, 2001, et. all., Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan ke-2, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Wahono, 2000, Jenis-Jenis Penelitian, Bahan Kuliah Kelima Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana UI, Pengkajian Ketahanan Nasional. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH01.DL.08.01 Tahun 2009, tentang Panduan Penelitian di Bidang Hak Asasi Manusia
Website: Lagi-(lagi) Soal Deportasi Buruh Migran Indonesia di Malaysia, dikutip dari http://thepurple.notes. multiply.com/journal/item/9/. Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat tentang kinerja Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, sebagaimana dikutip dari http://74.125.153.132/search?q=cache:OP4z8 01IMJ:www.dostoc.com/docs/2021296/Kinerja-Tim-Koordinas Pemulangan-TenagaKerja-Indonesia-Bermasalah. Senia Febrica, Kebijakan Penanganan Tenaga Kerja Ilegal Indonesia di Malaysia, http://gpansor. org/1479-04122006.html. Wahyu Susilo, Deportasi Buruh Migran Indonesia 2005 = Tragedi Nunukan Jilid II, dikutip dari http://buruhmigranberdaulat.blogspot.com/2005/02/deportasi-buruhmigran-indonesia-2005. html , 11 Februari 2005. Wahyu Susilo, Opsi Atasi Buruh Migran Tak Bedokumen di Malaysia, Pemutihan Paspor dan Kontrak Kerja, dikutip dari http://www2.kompas.com/kompascetak/0502/12/opini/1552100. htm, 12 Februari 2005. Wagiman, Batam dan Imigran Gelap, dikutip dari http://www.yphindonesia.org/index.php/publikasi/ artikel/54-batam-dan-imigran-gelap. ”WNI yang Bermasalah Terlantar di Entikong”, dikutip http://www.cetak.kompas.com/read/xml/ 2008/03/22/01444227/, 22 Maret 2008.
dari
“WNI Ilegal Dideportasi Malaysia”, dikutip dari http://matanews.com/2009/09/19/wniilegal-dideportasi-malasia/, 19 September 2009. Lihat juga “Puluhan WNI Dideportasi Setelah Lebaran”, dikutip dari http://mediaindonesia.com/read/2009/09/09/96448/39/6/Puluhan-WNI-DideportasiSetelah-Lebaran, tanggal 19 September 2009. “1.796 WNI Dideportasi dari http://www.kapanlagi.com/h/0000252108-html.
Malaysia”,
dikutip
dari
“61 WNI yang Dideportasi Dari Timor Leste Sampai di Perbatasan”, dikutip dari http://tempo interaktif.com/hg/nusa/2004/11/30/brk , 20041130-24,id,html, 30 November 2004.
Media Massa: Kompas, 16 Mei 2006, Makmur Keliat, ”Gerak Bandul Intervensi Negara:. Kompas, 17 Februari 2010, “Antisipasi Nasib TKI, Malaysia Akan Gelar Razia Pekerja Asing Ilegal”. Kompas, 18 Februari 2010, “Penuhi Hak TKI Ilegal, Malaysia Mengabaikan Deklarasi ASEAN”.
INSTRUMEN PENELITIAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA LAPANGAN PENELITIAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH PERBATASAN DALAM MELINDUNGI WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI
STUDI DOKUMEN Studi dokumen akan dilakukan untuk melihat apakah secara substansi peraturan yang ada telah mengakomodir kepentingan dalam memberikan perlindungan bagi WNI yang dideportasi. Ada beberapa peraturan yang akan direview, baik dalam tingkat internasional maupun nasional, yaitu: a. Level Internasional: 1. DUHAM 2. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 3. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4. Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (UN Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families) 5. Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, 2007 b. Level Nasional: 1. Undang-undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 2. Undang-undang No.52 Tahun 2009 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera. 3. Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. 4. Undang-undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 5. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 6. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 7. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 8. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 9. Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 10. Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 11. Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) 12. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesra No. 27/KEP/ MENKO/KESRA/XI/2004 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TKPTKIB).
STUDI LEITERATUR Studi literatur akan dilakukan terhadap hasil penelitian, laporan, dan artikel tentang kasus-kasus deportasi yang menimpa WNI. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penanganan yang telah diberikan kepada para deportan.
WAWANCARA Wawancara akan dilakukan kepada informan dari berbagai instansi yang bertanggung jawab dalam melindungi WNI yang dideportasi di wilayah perbatasan, yaitu: 1. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) 2. Kantor imigrasi 3. Dinas sosial 4. BP3TKI 5. Dinas perhubungan 6. Dinas kesehatan 7. Dinas pendidikan 8. Kepolisian 9. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang buruh migran 10. Para deportan OBSERVASI Peneliti akan melakukan observasi pada fasilitas-fasilitas yang tersedia bagi perlindungan WNI yang dideportasi untuk mengetahui perhatian pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan deportasi.
POINTERS UNTUK MELIHAT INDIKATOR DALAM PENANGANAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI NO.
INDIKATOR PERLINDINGAN WNI YANG DIDEPORTASI
POINTERS TELAAHAN
1.
Lembaga-lembaga mana yang terkait dalam menangani WNI yang dideportasi.
1. Apakah sudah terbentuk satuan tugas dalam penanganan WNI yang didepotasi? 2. Instansi mana saja yang tergabung dalam satuan tugas tersebut? 3. Bagaimana sifat dari satuan tugas atau koordinasi yang dibentuk, bersifat ad hoc atau permanen?
2.
Program Pelayanan bagi para deportan
1. Program-program apa saja yang diberikan kepada para deportan? a. Hal apa yang dilakukan dalam pemberian hak atas kesehatan? b. Hal apa yang dilakukan dalam penyediaan tempat tinggal? c. Hal apa yang dilakukan dalam pemberian hak atas pendidikan bagi anak-anak para deportan? d. Hal apa yang dilakukan dalam proses pemulangan? e. Hal apa yang dilakukan untuk menangani para deportan yang tersangkut dengan permasalahan hukum? 2. Apakah program tersebut sudah dapat dilaksanakan?
3.
Standar dalam norma- 1. Apakah pemerintah daerah telah mempunyai norma yang terkait dengan kebijakan (dasar hukum) untuk menangani WNI yang konteks lokalitas atau dideportasi? regional 2. Adakah regualasi lokal yang dibentuk dalam penanganan para deportan? 3. Apakah terdapat perjanjian kerjasama dengan negara tetangga dalam penanagann WNI yang dideportasi?
4.
Mekanisme Pemantauan 1. Apakah ada mekanisme pemantauan dan evaluasi dan evaluasi dalam memberikan pelayanan kepada para deportan? 2. Siapa yang bertanggung jawab dalam pemantauan terhadap para deportan yang telah dipulangkan ke daerah asal?
Pointers di atas akan dikembangkan pada saat melakukan wawancara dengan informan dari instansi terkait sebagaimana pedoman wawancara berikut.
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK MELIHAT PERAN INSTANSI DI DAERAH DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI
No. 1.
Kategori Informan Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) Urgensi: Pemda melakukan koordinasi penyelenggaraan layanan kepada Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (TKIB) di daerah, dilaksanakan melalui Departemen Dalam Negeri yang juga anggota TK-PTKIB. Menteri Dalam Negeri melalui Radiogram No.560/2909/SJ tanggal 29 Oktober 2004 telah meminta kepada Gubernur dan Bupati/Walikota Daerah entry point, transit dan daerah asal untuk membentuk Satgas secara lintas sektoral dengan tugas operasional untuk menangani penerimaan dan pemulangan TKIB dari Malaysia
2.
Kantor Imigrasi Urgensi: lembaga ini adalah instansi yang pertama kali menerima para deportan manakala terjadi deportasi. Oleh karena itu, dari instansi ini akan diketahui langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan, serta koordinasi dengan instansi mana saja dalam dalam penanganan deportan.
Pertanyaan a. Apakah pemerintah daerah telah membentuk peraturan khusus untuk membentuk Satuan Tugas (satgas) bagi penanganan WNI yang dideportasi? b. Apakah telah membentuk satgas untuk memenuhi hak-hak WNI yang dideportasi? c. Instansi mana saja yang berkewajiban memenuhi hak-hak WNI yang dideportasi? d. Apa sajakah hak-hak WNI yang dideportasi yang diakomodasi dalam satgas tersebut? e. Apakah pernah melakukan koordinasi untuk WNI yang dideportasi? f. Apakah pemerintah daerah telah memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam menangani WNI yang dideportasi? g. Apakah pemerintah daerah telah mengalokasikan dana untuk penanganan WNI yang dideportasi? Selain melalui APBD, apakah ada lembaga lain yang mendanai? h. Apakah pemerintah daerah memiliki tempat penampungan bagi WNI yang dideportasi? i. Apakah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat melakukan kerjasama dalam penanganan WNI yang dideportasi? Jika ada kerjasama, bagaimana bentuknya? j. Jika pernah menangani WNI yang dideportasi, kendala apa yang biasanya dihadapi? k. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi? a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? b. Tindakan apa saja yang dilakukan dalam menangani WNI yang dideportasi? c. Koordinasi apa saja yang dilakukan dengan instansi lain? d. Bantuan apa saja yang diberikan kepada WNI yang dideportasi? e. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh para deportan sehingga mengakibatkan mereka dideportasi? f. Apa saja kendala yang dihadapi dalam menangani WNI yang dideportasi? l. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian
perlindungan bagi WNI yang dideportasi? 3.
Dinas Sosial Urgensi: instansi ini mempunyai tugas untuk memberikan bantuan sosial kepada “pekerja migran (PM)”, yang didefinisikan sebagai “semua pekerja baik yang berdokumen maupun tidak, yang bekerja di luar daerah asalnya (migrasi), baik di dalam maupun di luar negeri”. Selain itu juga berkepentingan untuk memberikan bantuan sosial dalam bentuk pemberdayaan kepada pekerja migran sejak dari pra, selama dan purna penempatan.
4.
BP3TKI Urgensi: instansi ini mempunyai kewajiban dalam pendataan TKI sebelum keberangkatan/ pemulangan. Selain itu instansi ini juga memberi pelayanan kebutuhan dasar sejak dari penampungan, selama perjalanan sampai ke tempat asal, serta mempersiapkan kembali menjadi Tenaga Kerja Indonesia yang berkualitas dan memenuhi persyaratan, apabila mereka menghadapi pendeportasian dari negara dimana mereka bekerja.
5.
Dinas Perhubungan Urgensi: Instansi ini mempunyai kewajiban untuk mengatur pengangkutan sesuai dengan jadwal dan lokasi tujuan pemulangan/daerah asal. Selain itu juga melaksanakan pengawalan, penjagaan, pengamanan dan perlindungan para deportan selama perjalanan sampai ke tempat asal.
6.
Dinas Kesehatan Urgensi: instansi ini melakukan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan kepada para deportan.
a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? b. Apakah ada alokasi dana khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? c. Bantuan apa saja yang diberikan kepada WNI yang dideportasi? d. Apa saja kendala yang dihadapi dalam menangani WNI yang dideportasi? e. Darimana pembiayaan untuk bantuan sosial bagi WNI yang dideportasi? Jika menggunakan APBD, apa dasar hukum alokasi anggarannya? m. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi? a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? b. Penanganan apa saja yang diberikan bagi WNI yang dideportasi? c. Instansi/lembaga apa saja yang telah bekerjasama dalam pemulangan WNI yang dideportasi? d. Apakah BNP2TKI juga mempunyai kewajiban dalam menangani WNI yang dideportasi? e. Apa saja kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi bagi WNI yang dideportasi? n. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi?
a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? b. Koordinasi apa saja yang dilakukan dengan instansi lain dalam proses pemulangan WNI yang dideportasi? c. Bantuan apa saja yang diberikan kepada WNI yang dideportasi? d. Apa saja kendala yang dihadapi dalam menangani WNI yang dideportasi? e. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi?
a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk menangani WNI yang dideportasi? b. Apakah RS atau puskesmas mitra Dinkes bisa menangani WNI yang dideportasi? c. Apakah telah menetapkan prosedur tetap bagi pemeriksaan WNI yang dideportasi?
d. Apakah di wilayah perbatasan telah dibangun tempat khusus untuk pelayanan kesehatan bagi WNI yang dideportasi? e. Siapa yang menanggung biaya pelayanan kesehatan bagi WNI yang dideportasi? Jika menggunakan APBD, apa dasar hukum alokasi anggarannya? f. Apa saja kendala yang dihadapi dalam memberikan pelayanan WNI yang dideportasi? g. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi? 7.
Kepolisian Urgensi: kepolisian akan menjalankan proses hukum jika pada proses pendeportasian WNI terdapat tindak pidana yang memerlukan penyelesaian secara hukum
8.
Lembaga Swadaya Masyarakat Urgensi: lembaga non pemerintah yang memberi perhatian terhadap permasalahan pendeportasian WNI termasuk permasalahan buruh migrant.
9.
Para deportan (WNI yang dideportasi)
a. Apakah ada kebijakan institusi secara khusus untuk penanganan WNI yang dideportasi? b. Koordinasi apa saja yang dilakukan dengan instansi lain? c. Tindakan hukum apa saja yang dilakukan dalam menangani WNI yang dideportasi? d. Apa saja kendala yang dihadapi dalam menangani WNI yang dideportasi? e. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi? a. Hal-hal apa saja yang menjadi kekhawatiran terkait dengan permasalahan WNI yang dideportasi? b. Apakah menurut saudara pemerintah daearh sudah mempunyai kesiapan dalam menangani WNI yang dideportasi? c. Apakah dapat terjadi pelanggaran HAM terhadap WNI yang dideportasi? d. Peran apa yang dilakukan oleh LSM ini dalam penanganan WNI yang dideportasi? e. Adakah koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah? f. Apa saja kendala-kendala yang Anda hadapi dalam membantu WNI yang dideportasi? g. Apa harapan Anda terhadap permasalahan WNI yang dideportasi? h. Bagaimana saran saudara dalam rangka pemberian perlindungan bagi WNI yang dideportasi? a. Kegiatan apa yang dilakukan di negara tetangga? b. Ketika mau bekerja/menjadi TKI, apakah melalui penyalur/pihak lain? c. Apakah yang dijanjikan oleh penyalur/pihak pemberi kerja sebelumnya? d. Apakah sebelumnya ditampung dahulu? e. Apakah mendapatkan fasilitas dan pelatihan tenaker? f. Mengapa sampai mengalami deportasi dari negara
tetangga? g. Apakah sejak awal (proses keberangkatan ke negara tetangga) sudah menyadari akan status yang ilegal? h. Siapa yang mengatur pemulangan kembali ke daerah asal? i. Setelah kembali di daerah asal, apakah ybs dan keluarga mendapatkan program bantuan dari pemerintah atau lembaga terkait?