PENDAPAT MAHASISWA AKTIVIS BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA (BEM) UNIVERSITAS NEGERI MALANG TERHADAP MASUKNYA PERILAKU “KUMPUL KEBO” DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) TAHUN 2013 ACTIVIST STUDENT OPINION OF STUDENT EXECUTIVE ORGANIZATION (BEM-BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA) IN STATE UNIVERSITY OF MALANG TO THE INCLUSION OF “KUMPUL KEBO (COHABIT)” ATTITUDE IN LAW PLAN OF INDONESIAN PENAL CODE (RUU KUHP-RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) 2013 EENG NANA LUTHFIANA Pembimbing I: Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H. M.Hum Pembimbing II: Drs. I Ketut Diara Astawa, S.H. M.Si Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRACT: This research aimed to know about: (1) activist student opinion of Student Executive Organization (BEM-Badan Eksekutif Mahasiswa) in State University of Malang to the “kumpul kebo (cohabit)” attitude, (2) factors that cause “kumpul kebo (cohabit)” attitude in society, (3) activist student opinion of Student Executive Organization (BEMBadan Eksekutif Mahasiswa) in the State University of Malang to the Law Plan of Indonesian Penal Code (RUU KUHP – Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) in 2013 that set about “kumpul kebo (cohabit)” attitude, (4) activist student opinion of Student Executive Organization (BEM-Badan Eksekutif Mahasiswa) in the State University of Malang about keep whwther or not the clause of Law Plan of Indonesian Penal Code (RUU KUHP) that set about “kumpul kebo (cohabit)” attitude. In this research, the data collected by interview and documenttaion to the written source. Informant in this research is activist student of Student Executive Organization (BEM-Badan Eksekutif Mahasiswa) in State University of Malang. Data from research result analyzed using descriptive qualitative approach. Data analysis technique in this research is data collection,data reduction, data display, and conclusion drawing. The research result as follow: (1) most of informants give the opinion that “kumpul kebo (cohabit)” is two people with opposite sex that have no relative relationship, stay in same house without married, and do the sexual relationship, (2) factors of “kumpul kebo (cohabit)” such as bilogical needs, less parent attention, less religion understanding, technology sophisticated, environmental influence, less of sex education from parent, many rent house, the inclusion of West culture in Indonesia, the availability of rent house that consist of male and female, people that have no sensitive to their rnvironment, there is no rule that firmly set about “kumpul kebo (cohabit)”, and faded social norm, (3) most of
informants give the opinion that the action to create Law about “kumpul kebo (cohabit)” in the Law Plan of Indonesian Penal Code (RUU KUHP) is positive step, but it must be re-studied about “kumpul kebo (cohabit)” category and the punishment that still be alternative punishment of jail or fines, (4) most of informants give the opinion that “kumpul kebo (cohabit)” needs to set up in Law Plan of Indonesia Penal Code (RUU KUHP) in order to get official regulation that will bind people, but social punishment also should be implemented. ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pendapat
mahasiswa aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Malang terhadap perilaku “kumpul kebo”, (2) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku “kumpul kebo” dalam masyarakat, (3) pendapat mahasiswa aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Malang terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2013 yang mengatur tentang perilaku “kumpul kebo”, (4) pendapat mahasiswa aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Malang tentang perlu tidaknya pasal-pasal RUU KUHP yang mengatur perilaku “kumpul kebo”. Data dikumpulkan dengan wawancara dan dokumentasi pada sumber tertulis. Informan dalam penelitian ini yaitu mahasiswa aktivis BEM UM. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik analisis data yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian adalah (1) mayoritas informan berpendapat bahwa “kumpul kebo” yaitu dua orang lawan jenis yang tidak mempunyai hubungan saudara, tinggal dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan, dan melakukan hubungan seksual, (2) faktor-faktor terjadinya “kumpul kebo” antara lain kebutuhan biologis, kurangnya pengawasan orang tua, kurangnya pemahaman agama, kecanggihan teknologi, pengaruh lingkungan, kurangnya pendidikan seks dari orang tua, banyaknya rumah kontrakan, masuknya budaya Barat ke Indonesia, tersedianya rumah kos yang di dalamnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, masyarakat yang tidak peka terhadap lingkungannya, tidak adanya peraturan yang tegas yang mengatur tentang “kumpul kebo”, dan lunturnya norma-norma sosial, (3) mayoritas informan berpendapat bahwa tindakan pembentuk Undang-Undang mengatur “kumpul kebo” ke dalam RUU KUHP merupakan langkah positif, tetapi harus diadakan pengkajian ulang mengenai kategori “kumpul kebo” dan sanksinya yang masih berupa sanksi alternatif penjara atau denda, (4) mayoritas informan berpendapat bahwa “kumpul kebo” perlu diatur dalam RUU KUHP supaya terdapat peraturan resmi yang mengikat masyarakat, tetapi sanksi sosial harus tetap diterapkan. Kata Kunci : Pendapat, Mahasiswa Aktivis BEM UM, “Kumpul Kebo”, RUU KUHP
Penulis memilih untuk mengkaji masuknya perilaku “kumpul kebo” dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2013”, karena beberapa pertimbangan. Pertama, pada era globalisasi saat ini arus informasi berjalan begitu cepat karena kecanggihan teknologi, sehingga
ada pergeseran norma-norma sosial di masyarakat. Masyarakat bisa mengakses informasi dan bertukar informasi dari negara lain dalam waktu singkat. Globalisasi berdampak positif dan negatif, tergantung dari cara menyikapinya. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial tesebut mengakibatkan banyaknya penyimpangan, salah satunya adalah fenomena hidup bersama antara laki-laki dan perempuan sebagaimana suami istri tanpa ada ikatan perkawinan atau disebut dengan “kumpul kebo”. Kedua, di Indonesia, “kumpul kebo” merupakan perbuatan yang dianggap tidak benar karena melanggar norma-norma sosial. Oleh karena itu, pemerintah memasukkan “kumpul kebo” ke dalam RUU KUHP tahun 2013. Dalam KUHP yang berlaku saat ini sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang perzinahan yaitu pada Pasal 284 KUHP. Akan tetapi hanya berlaku bagi pasangan yang sudah bersuami atau beristri dan belum menjangkau pasangan yang masih lajang atau pasangan di bawah umur yang melakukan seks bebas. Ketiga, revisi Rancangan RUU KUHP tahun 2013 yang diadakan oleh Komisi III DPR RI menimbulkan banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menilai bahwa RUU KUHP tersebut perlu disahkan menjadi Undang-Undang karena “kumpul kebo” telah merusak tatanan keluarga ideal yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan, memperbaiki moral generasi penerus bangsa yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai ketimuran, serta untuk menghindari aksi main hakim sendiri yang sering terjadi dalam masyarakat yang tertangkap melakukan “kumpul kebo”. Sedangkan pihak yang kontra menyatakan bahwa hubungan intim antara laki-laki dan perempuan meskipun mereka belum ada ikatan perkawinan, tidak boleh diganggu karena masuk dalam wilayah privat masing-masing individu. Berdasarkan paparan di atas penulis bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “Pendapat Mahasiswa Aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Malang Terhadap Masuknya Perilaku “Kumpul Kebo” Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2013”. METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan
pendekatan yang memungkinkan peneliti akan melakukan pencatatan serta analisis data dari hasil penelitian yang disajikan berupa kata-kata. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, artinya mencatat secara teliti segala gejala atau fenomena yang dilihat, didengar, dan dibacanya (melalui wawancara, catatan lapangan, foto, video, tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dokumen resmi dan lain-lain). Peneliti harus membanding-mbandingkan, mengkombinasikan, mengabstraksikan, dan menarik kesimpulan. Jadi penelitian deskriptif kualitatif mementingkan fenomena realitas dinamis dari hasil penelitiannya. Orientasinya lebih kepada proses, sehingga bersifat fleksibel. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan di Universitas Negeri Malang yang terletak di Jalan Semarang 5, Malang, khususnya di BEM UM. Informan dalam penelitian ini adalah 50 mahasiswa aktivis yang berasal dari BEM Universitas dan BEM Fakultas. Analisis data dalam penelitian ini yaitu dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Untuk pengecekan keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding-pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 2007:330). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara tidak hanya kepada satu BEM saja, tetapi lintas BEM Fakultas dan juga BEM Universitas yang ada di kampus (Universitas Negeri Malang). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Universitas Negeri Malang Universitas Negeri Malang (UM) adalah lembaga pendidikan tinggi yang merupakan organisasi, institusi, dan komunitas yang memiliki otonomi keilmuan yang bertumpu pada tata nilai kehidupan akademik, moral, sosial, dan kultural dalam lingkungan Departemen Nasional, dan berkedudukan di Malang. UM sebagai organisasi mempunyai ciri-ciri seperti yang terdapat pada organisasi pada umumnya, misalnya setiap organisasi dibangun untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Universitas Negeri Malang mempunyai delapan fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Sastra (FS), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Teknik (FT),
Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), dan Fakultas Imu Psikologi (FPPsi). Pendapat
Mahasiswa
Aktivis
Badan
Eksekutif
Mahasiswa
(BEM)
Universitas Negeri Malang Terhadap Perilaku “Kumpul Kebo” Berdasarkan temuan peneiltian yang diperoleh peneliti, terdapat 3 definisi mengenai perilaku “kumpul kebo” sebagai berikut. (1) terdapat 45 informan berpendapat bahwa “kumpul kebo”
yaitu apabila seorang laki-laki dan
perempuan yang tidak mempunyai hubungan saudara, mereka tinggal dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan, dan melakukan hubungan seksual, (2) terdapat 3 informan berpendapat bahwa “kumpul kebo” yaitu ketika seorang lakilaki dan perempuan tinggal dalam satu rumah dan melakukan hubungan seksual tanpa ada ikatan perkawinan. “Kumpul kebo” bukan perzinahan karena pihakpihak yang melakukannya masih lajang. Kalau perzinahan, salah satu pihak mempunyai ikatan perkawinan. Temuan penelitian ini sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang memandang bahwa “kumpul kebo” bukan tindakan perzinahan karena pelakunya masih lajang, sedangkan perzinahan salah satu pihak mempunyai ikatan perkawinan. Muslich (2005:3) berpendapat sebagai berikut. Hukum positif di Indonesia tidak memandang semua hubungan kelamin di luar perkawinan sebagai zina. Pada umumnya, yang dianggap sebagai zina menurut hukum positif itu hanyalah hubungan kelamin di luar perkawinan yang dilakukan oleh orangorang yang berada dalam status bersuami atau beristri saja. (3) terdapat 2 informan yang berpendapat “kumpul kebo” yaitu apabila ada lawan jenis yang tinggal dalam satu rumah tanpa ada ikatan perkawinan dan melakukan hubungan seksual. Dalam agama Islam, “kumpul kebo” dianggap sebagai tindakan perzinahan, baik untuk pelaku yang masih lajang atau sudah mempunyai ikatan perkawinan. Temuan pelitian ini sesuai dengan Hukum Islam yang memandang bahwa “perzinahan yaitu setiap hubungan kelamin yang terjadi di luar nikah, baik pelaku yang sudah kawin maupun pelaku yang belum kawin” (Muslich, 2005:3). Jadi dapat disimpulkan bahwa “kumpul kebo” yaitu apabila ada seorang laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai ikatan persaudaraan, mereka tinggal dalam satu rumah tanpa adanya ikatan perkawinan. Mereka melakukan
hubungan seksual atas dasar suka sama suka. Perbuatan yang bisa disebut “kumpul kebo” yaitu apabila kedua belah pihak masih lajang. Dalam hukum positif, yang disebut sebagai perzinahan yaitu apabila salah satu pihak mempunyai ikatan perkawinan. Berbeda dengan Hukum Islam yang memandang bahwa setiap hubungan seksual dianggap sebagai perbuatan zina, baik pelaku yang masih lajang maupun pelaku yang sudah mempunyai ikatan perkawinan. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perilaku “Kumpul Kebo” dalam Masyarakat Berdasarkan temuan penelitian, faktor-faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo” dalam masyarakat sebagai berikut. (1) kebutuhan biologis merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Hasrat seksual harus mendapatkan penyaluran supaya seseorang merasa kebutuhan seksnya terpenuhi. Akan tetapi, tidak semua orang siap untuk menyalurkan hasrat seksnya dengan cara yang baik, yaitu melalui ikatan perkawinan. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab, misalnya pada anak sekolah atau kuliah yang belum siap untuk kawin dengan pasangannya, sedangkan kebutuhan biologisnya menuntut untuk mendapatkan pemenuhan. Hal tersebut bisa menjadi faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo” dalam masyarakat. Horton dan Hunt (1987:148) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Dorongan seks adalah salah satu penghalang untuk kehidupan sosial manusia. Walaupun tidak ada dorongan bawaan yang memaksa manusia untuk bertindak dengan cara tertentu, namun setiap dorongan terdiri dari seperangkat keadaan tegang yang berulangulang yang memaksa orang melepaskannya [dengan berbagai macam kegiatan]. Faktor lainnya yaitu kurangnya pengawasan dari orang tua kepada anak, sehingga anak merasa mempunyai kebebasan yang dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang dia inginkan. Anak tidak takut melakukan perilaku menyimpang karena merasa tidak diawasi. Forehand (dalam Sarwono 2011:205) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang menimpa seorang remaja. Karena itu, di samping komunikasi yang baik dengan anak, orang tua juga perlu mengembangkan kepercayaan anak kepada orang tua sehingga remaja lebih terbuka
dan mau bercerita kepada orang tua agar oang tua bisa memantau pergaulan anak remajanya. Kurangnya pemahaman agama dalam diri seseorang bisa menjadi faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo”. Agama sebagai pedoman seseorang dalam melakukan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya pemahaman agama membuat seseorang mudah terpengaruh kepada hal-hal yang negatif, termasuk “kumpul kebo”. Agama berfungsi sebagai benteng atau pencegah dari perbuatanperbuatan yang menyimpang, sehingga seseorang yang imannya tidak kuat, dia lebih mudah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau tercela. Faridi (2002:BAB 4) yang menyatakan sebagai berikut. Agama berasal dari bahasa sankrit yang berarti tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwariskan secara turun-temurun. Ada pula yang mengatakan bahwa „agama‟ berarti teks, kitab suci, tuntunan, atau dengan singkat dapat dirumuskan bahwa „agama‟ merupakan ajaran yang bersifat tetap dan diwariskan secara turuntemurun, mempunyai kitab suci, dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya. Faridi (2002:BAB 5) menyatakan bahwa “karena agama apapun yang diturunkan Tuhan ke dunia mempunyai implikasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, seperti ketenangan, ketentraman hidup, bebas dari keresahan dan kegelisahan, selalu membimbing penganutnya ke arah kebaikan dan kedamaian”. Kemajuan teknologi juga bisa menjadi penyebab terjadinya “kumpul kebo”. Saat ini, setiap orang bisa mengakses informasi apapun dari internet, misalnya ketika seseorang ingin melihat gambar wanita telanjang atau video orang yang sedang melakukan hubungan seksual, maka dia bisa mengakses di internet. Hal tersebut membuat seseorang ingin mencoba apa yang sudah dilihatnya, kemudian setelah mencoba berhubungan seksual, pasti ingin mengulangi lagi karena kecanduan. Kecanduan tersebut terjadi karena di dalam tubuh manusia terdapat 4 hormon yang terus-menerus keluar secara berlebihan apabila seseorang sering melihat gambar, video, atau film yang menyebabkan rangsangan seksual. Sarwono (2011:187-188) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Kecenderungan pelanggaran [makin] meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi
tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. Lingkungan juga bisa mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang. Lingkungan berpengaruh pada kehidupan seseorang. Jika seseorang tersebut sering berinteraksi dengan orang-orang yang berperilaku negatif, maka dia juga bisa melakukan hal yang sama. Ketika seseorang berada dalam suatu kelompok yang menganggap bahwa “kumpul kebo” adalah hal yang biasa atau wajar, maka seseorang tersebut juga akan berpikir dan berbuat hal yang sama. Temuan penelitian ini selaras dengan teori
differential association, kenakalan remaja
adalah akibat salah pegaulan. Seorang anak menjadi nakal karena bergaul dengan teman yang nakal (Sarwono, 2011:255). Orang tua yang menganggap seks adalah hal tabu juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo”. Seharusnya orang terbuka mengenai seks kepada anaknya, supaya anak mengetahui bahaya-bahaya seks yang dilakukan sebelum ada ikatan perkawinan. Jika orang tua tertutup kepada anak mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, maka anak akan mencari tahu kepada orang lain atau media.. Hal tersebut bisa menimbulkan dampak yang negatif. Ketika seseorang merasa penasaran, maka dia akan mencari tahu sampai berhasil mendapatkan jawaban dari orang lain yang belum tentu benar, sehingga bisa menyebabkan anak berperilaku menyimpang, salah satunya yaitu melakukan “kumpul kebo”. Budiman (1999:75) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Berbicara soal seks memang tidak mudah, juga tidak pada anak sendiri. Soal seks biasanya tidak patut dibicarakan, lebih lazim ditutup-tutupi, dilarang, dan ditabukan. Akibatnya orang tua segan memberikan pendidikan seksualitas, juga anak segan bertanya pada orang tuanya, sampai akhirnya sudah terlambat. “Kumpul kebo” bisa terjadi karena banyaknya rumah kontrakan. Pada umumnya rumah yang sudah dikontrakkan tidak ditunggui oleh pemilik rumah, sehingga penyewa bisa dengan bebas memasukkan lawan jenis ke dalam rumah kontrakan.
Masuknya budaya Barat ke Indonesia juga merupakan faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo” dalam masyarakat. Banyak budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, salah satunya yaitu “kumpul kebo”. Di negara Barat, “kumpul kebo” adalah hal yang dianggap wajar atau sudah biasa. Budaya tersebut masuk ke Indonesia dan merubah pola pikir sebagian masyarakat Indonesia menjadi lebih liberal, masyarakat menganggap “kumpul kebo” adalah hal yang biasa, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, jadi masyarakat menganggap tidak ada pihak yang dirugikan akibat perilaku “kumpul kebo” tersebut. Tanjung (2007:8) menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Bagi sebagian masyarakat di Barat, tidur (melakukan hubungan badan) sepasang laki-laki dan perempuan di luar pernikahan tidak dipersoalkan. Mereka boleh saja tidur bersama asal suka sama suka. Pasangan “kumpul kebo tidak hanya sekedar menyalurkan kebutuhan seks semata, tetapi ada yang sampai melahirkan anak. Tersedianya kos yang yang di dalam satu rumah terdapat kamar laki-laki dan perempuan. Meskipun berbeda lantai, misalnya laki-laki di lantai bawah dan perempuan di lantai atas, namun hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya “kumpul kebo”. “Kumpul kebo” juga bisa terjadi karena masyarakat yang tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya terlebih masyarakat kota. Selama para pelaku “kumpul kebo” tidak menganggu, maka masyarakat tidak akan bertindak, karena mereka tidak merasa dirugikan dengan adanya kumpul kebo tersebut dan mereka menganggap “kumpul kebo” bukan urusan mereka, tetapi urusan masing-masing individu. Kurangnya kontrol sosial tersebut yang menyebabkan semakin banyaknya “kumpul kebo” yang terjadi dalam masyarakat. Mansyur (tanpa tahun:107-108) menyatakan sebagai berikut. Sifat-sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota ialah sikap hidupnya cenderung pada individuisme/egoisme. Yaitu masingmasing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, hal mana menggambarkan corak hubungan yang terbatas, di mana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana yang disebut oleh Prof. Djojodiguno S.H. dengan istilahnya masyarakat [PATEMBAYAN] atau sama dengan yang dimaskud oleh sosiologi Jerman Ferdinand Tonnies yang terkenal dengan istilahnya [GESSELSCHAFT].
Tidak adanya peraturan yang tegas untuk orang-orang yang melakukan “kumpul kebo” menjadi salah satu faktor penyebab semakin banyaknya ”kumpul kebo” dalam masyarakat. Apabila tidak ada peraturan yang tegas, maka masyarakat tidak akan takut untuk melakukan perilaku yang meyimpang. Norma-norma sosial dalam masyrakat yang semakin longgar bisa menyebabkan seseorang berperilaku menyimpang. Semakin longgar suatu nilai dan norma dalam masyarakat akan semakin mudah orang melakukan penyimpangan di daerah atau masyarakat lainnya. Pendapat
Mahasiswa
Aktivis
Badan
Eksekutif
Mahasiswa
(BEM)
Universitas Negeri Malang Terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2013 yang Mengatur tentang Perilaku “Kumpul Kebo” Terdapat 46 informan yang berpendapat bahwa tindakan pembentuk Undang-Undang mengatur “kumpul kebo” ke dalam RUU KUHP merupakan sebuah langkah yang positif. Akan tetapi, harus diadakan pengkajian ulang karena di dalam RUU KUHP tersebut masih banyak kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain mengenai kategori “kumpul kebo” dan sanksinya. Apabila kategori mengenai “kumpul kebo” dalam RUU KUHP tidak jelas, maka berakibat adanya penangkapan tanpa adanya pembuktian karena tinggal dalam satu rumah dengan lawan jenis belum tentu “kumpul kebo”, bisa jadi lawan jenis tersebut masih mempunyai hubungan saudara. Selain itu yang perlu dikaji ulang yaitu penentuan sanksi kepada pelaku “kumpul kebo”. Pasal 485 RUU KUHP berbunyi “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (30 juta rupiah)”. Terdapat 46 informan yang tidak setuju apabila pembuat Undang-Undang memberikan sanksi alternatif atau sanksi pilihan. Menurut mereka sanksinya harus tegas. Jangan hanya sanksi denda saja atau penjara saja, tetapi harus keduanya, denda sebanyak-banyaknya dan penjaranya ditambah waktunya supaya pelaku jera. Jika ada sanksi alternatif, maka yang diuntungkan adalah orang kaya. Ada 2 informan yang berpendapat bahwa sebaiknya sanski denda dihilangkan dan pelaku “kumpul kebo” diberi sanksi penjara saja, karena sanksi
denda tidak menimbulkan jera. Jadi sanksinya penjara saja dan waktunya jangan paling lama 1 tahun.Waktu penjaranya sebaiknya ditambah. Dengan ancaman sanksi penjara selama beberapa tahun, diharapakan pelaku “kumpul kebo” jera dan masyarakat lain tidak akan melakukan hal yang sama. Ada 2 informan yang berpendapat bahwa peraturan mengenai larangan “kumpul kebo” tidak efektif jika diatur oleh negara. “Kumpul kebo” dilakukan atas dasar suka sama suka, jadi sulit untuk menanganinya. Apabila tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan melapor, maka pihak yang berwajib juga sulit untuk mengetahui bahwa dalam masyarakat terjadi “kumpul kebo”. Menurut informan tersebut, “kumpul kebo” sebaiknya diserahkan kepada masyarakat saja. Mengenai sanksinya, biar masyarakat yang memberikan sanksi. Sanksi sosial akan lebih menimbulkan efek jera. Misalnya saja bagi orang yang ketahuan melakukan “kumpul kebo” diarak keliling kampung. Pendapat
Mahasiswa
Aktivis
Badan
Eksekutif
Mahasiswa
(BEM)
Universitas Negeri Malang Tentang Perlu Tidaknya Pasal-Pasal RUU KUHP yang Mengatur Perilaku “Kumpul Kebo” Terdapat 46 informan yang berpendapat bahwa “kumpul kebo” perlu diatur dalam RUU KUHP karena “kumpul kebo” merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Mereka berharap RUU KUHP mengenai larangan “kumpul kebo” tersebut disahkan supaya terdapat peraturan resmi yang mengikat masyarakat dan terdapat sanksi-sanksi yang tegas bagi orang yang melanggar. Dengan adanya sanksi yang tegas, diharapkan pelaku “kumpul kebo” jera. Akan tetapi, sanksi sosial juga harus tetap diterapkan, misalnya bagi orang yang ketahuan “kumpul kebo”, diarak keliling kampung, dikucilkan masyarakat setempat, membeli material, membersihkan balai desa seminggu sekali dalam satu tahun atau membantu kegiatan desa tempat dia tinggal selama satu tahun. Said (2009:225) menyatakan pendapatnya tentang tujuan hukum pidana sebagai berikut. Tujuan hukum pidana ialah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak dan kepentingan masyarakat itu terlindungi. Dengan menjatuhkan sanksi pada orang-orang atau badan yang perbuatannya membahayakan kepentingan orang lain atau masyarakat, hukum pidana dapat menjaga ketertiban dan keteraturan dalam dalam masyarakat. Apabila masyarakat tetib dan teratur, maka segala aktivitas kehidupan masyarakat menjadi tenteram dan aman. Apabila masyarakat aman dan tenteram
masyarakat bisa bekerja dengan tenang sehingga dapat tercapainya tujuan hukum dan tujuan negara yakni menjadikan masyarakat yang adil dan makmur. Hukum pidana adalah hukum bersanksi. Sifat hukum pidana yang istimewa bukan hanya norma-normanya, melainkan juga hukuman (sanksi pidana) nya. Temuan penelitian tersebut sesuai dengan teori yang ada. Salah satu tujuan hukum pidana yaitu sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Seluruh masyarakat terikat dengan hukum. Hukum bersifat memaksa kepada masyarakat untuk mematuhi peraturan dan memberikan sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Terdapat 2 informan lainnya yang berpendapat bahwa “kumpul kebo” perlu diatur dalam RUU KUHP, tetapi sanksinya selain dari pihak yang berwajib juga harus mendapat sanksi dari agama masing-masing. Dalam agama Islam, orang yang ketahuan “kumpul kebo” dan masih sama-sama lajang, kemudian ada 4 orang saksi, maka sanksinya didera seratus kali. Untuk pelaku zina yang sudah mempunyai ikatan perkawinan sanksinya yaitu dera seratus kali dan rajam. Jadi pelaku “kumpul kebo” mendapatkan sanksi yang berat supaya pelaku “kumpul kebo” maupun orang lainnya tidak berani mengulangi perbuatan yang sama. Temuan penelitian ini sesuai dengan hukum Islam. Berdasarkan hadits, hukuman atau sanksi bagi pelaku zina dalam agama Islam dapat dirinci sebagai berikut. Dera seratus kali dan pengasingan selama 1 tahun bagi pezina yang belum berkeluarga, dera seratus kali dan rajam untuk pelaku zina yang sudah berkeluarga. Diriwayatkan oleh jama‟ah kecuali Bukhari dan Nasa‟i (dalam Muslich, 2005: 28) sebagai berikut. Dari Ubadah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama 1 tahun, sedangkan duda dan janda dera seratus kali dan rajam”. Berbeda dengan 2 informan lainnya yang berpendapat bahwa “kumpul kebo” tidak perlu diatur dalam RUU KUHP karena “kumpul kebo” dilakukan atas dasar suka sama suka, jadi kalau tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan tidak ada yang melapor kepada pihak yang berwajib, maka sulit untuk menangani
kasus “kumpul kebo”. Setiap daerah mempunyai hukum adat masing-masing, jadi pemerintah tidak perlu mengatur masalah “kumpul kebo”. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. “Kumpul kebo” yaitu apabila seorang laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai hubungan saudara, mereka tinggal dalam satu rumah tanpa adanya ikatan perkawinan dan melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka. “Kumpul kebo” bukan perzinahan karena pihak yang melakukan masih lajang. Dalam hukum positif Indonesia, disebut perzinahan apabila salah satu pihak mempunyai ikatan perkawinan. Sedangkan, dalam agama Islam, “kumpul kebo” dianggap perzinahan, baik untuk pelaku yang masih lajang atau sudah mempunyai ikatan pekawinan. Faktor-faktor penyebab terjadinya “kumpul kebo” antara lain: kebutuhan biologis yang ingin dipenuhi, kurangnya pengawasan orang tua, kurangnya pemahaman agama, kecanggihan teknologi, pengaruh lingkungan, kurangnya pendidikan seks dari orang tua, banyaknya rumah kontrakan, masuknya budaya Barat ke Indonesia, tersedianya rumah kos yang di dalamnya terdiri dari laki-laki dan perempuan, serta masyarakat yang tidak peka terhadap lingkungannya, tidak adanya peraturan yang mengatur tentang perilaku “kumpul kebo”, dan lunturnya norma-norma sosial dalam masyarakat. Dari semua faktor tersebut, kebutuhan biologis adalah faktor utamanya. Mayoritas informan mengatakan bahwa tindakan pembentuk UndangUndang mengatur “kumpul kebo” ke dalam RUU KUHP merupakan sebuah langkah yang positif. Akan tetapi, harus diadakan pengkajian ulang karena di dalam RUU KUHP tersebut masih banyak kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain mengenai kategori “kumpul kebo” dan sanksinya. Apabila kategori mengenai “kumpul kebo” dalam RUU KUHP tidak jelas, hal tersebut berakibat adanya penangkapan tanpa adanya pembuktian karena tinggal dalam satu rumah dengan lawan jenis belum tentu “kumpul kebo”, bisa jadi lawan jenis tersebut masih mempunyai hubungan saudara. Selain itu yang perlu dikaji ulang yaitu penentuan sanksi kepada pelaku “kumpul kebo”. Pasal 485 RUU KUHP berbunyi “Setiap
orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (30 juta rupiah)”. Beberapa informan tersebut tidak setuju apabila ada sanksi alternatif atau sanksi pilihan. Menurut mereka sanksi harus bersifat tegas. Jangan hanya sanksi denda saja atau penjara saja, tetapi harus keduanya, denda sebanyak-banyaknya dan penjaranya ditambah waktunya supaya pelaku jera. Jika ada sanksi alternatif, maka yang diuntungkan adalah orang kaya. Mereka bisa melakukan “kumpul kebo” berulang-ulang karena misalnya ketahuan dan tertangkap, mereka bisa memilih sanksi denda kemudian bebas. Mayoritas mahasiswa aktivis BEM UM berpendapat bahwa “kumpul kebo” perlu diatur dalam RUU KUHP karena “kumpul kebo”. Mereka berharap RUU KUHP mengenai larangan “kumpul kebo” tersebut disahkan supaya terdapat peraturan resmi yang mengikat masyarakat dan terdapat sanksi-sanksi yang tegas bagi orang yang melanggar. Dengan adanya sanksi yang tegas, diharapkan pelaku “kumpul kebo” merasa jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Akan tetapi, sanksi sosial juga harus tetap diterapkan, misalnya bagi orang yang ketahuan “kumpul kebo”, diarak keliling kampung, dikucilkan masyarakat setempat, membeli material, membersihkan balai desa seminggu sekali dalam satu tahun atau membantu kegiatan desa tempat dia tinggal selama satu tahun. Sanksi sosial membuat pelaku “kumpul kebo” malu dengan perbuatannya dan menimbulkan efek jera. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diajukan saran sebagai berikut. Apabila pembuat Undang-Undang ingin menindaklanjuti RUU KUHP tahun 2013 yang mengatur tentang “kumpul kebo”, maka perlu diadakan peninjauan ulang karena masih banyak kelemahan yang perlu diperbaiki. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dijelasan sebagai berikut. Pertama, “kumpul kebo” dilakukan atas dasar suka sama suka, jadi kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Jika tidak ada yang melaporkan, maka pihak yang berwajib, misalnya kepolisian juga tidak mengetahui adanya “kumpul kebo” yang terjadi dalam masyarakat. Pihak yang berwajib bisa bertindak jika ada orang yang merasa dirugikan atas perilaku “kumpul kebo” kemudian melapor. Kedua, kategori atau batasan-batasan mengenai “kumpul kebo” dalam RUU KUHP tersebut tidak jelas. Jika RUU
KUHP tersebut disahkan, maka tidak perlu pembuktian adanya hubungan seksual antara pasangan “kumpul kebo”. Asalkan hidup dalam satu rumah atau satu kamar layaknya suami istri, maka dapat dipidana.
Ketentuan-ketentuan mengenai
perbuatan yang bisa dikatakan sebagai “kumpul kebo” dalam RUU KUHP tersebut tidak jelas. Hal tersebut dapat menjadi pemicu kegaduhan di dalam masyarakat karena tinggal dalam satu rumah dengan lawan jenis belum tentu “kumpul kebo”, bisa jadi lawan jenis yang tinggal dalam satu rumah tersebut masih mempunyai hubungan saudara. Ketiga, di dalam RUU KUHP Pasal 485 disebutkan bahwa pelaku “kumpul kebo” akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembuat Undang-Undang tidak tegas karena terdapat sanksi alternatif untuk pelaku “kumpul kebo”. Bagi masyarakat, “kumpul kebo” merupakan perbuatan yang tidak bermoral karena melanggar norma-norma sosial. Sebagai masyarakat Indonesia yang berbudaya timur sebaiknya menjauhi “kumpul kebo”. Selain itu, Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila, terutama sila pertama yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah negara religius, negara yang mengakui adanya Tuhan, tidak pantas jika masyarakatnya melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama. DAFTAR RUJUKAN Budiman, Leila CH. 1999. Menjadi Orang Tua Idaman. Jakarta: Kompas. Faridi. 2002. Agama Jalan Kedamaian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1987. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Mansyur, Muhammad Cholil. Tanpa tahun. Sosiologi Masyarakat Kota & Desa. Surabaya: Usaha Nasional. Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Garfika. Said, Umar. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Setara Press. Sarwono, Sarlito W. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Tanjung, Armaidi. 2007. Free Sex No! Nikah Yes!. Jakarta: Amzah.