101 KAJIAN HISTOPATOLOGI TANAMAN KECIPIR YANG TERSERANG JAMUR KARAT PALSU (Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gäumann) STUDY OF HISTOPATHOLOGY OF WINGBEAN PLANT ATTACKED BY FALSE RUST FUNGUS (Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gäumann) Astam Wiresyamsi Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK Suatu kajian histopatologi telah dilakukan untuk melacak perkembangan patogen, gejala-gejala internal, dan untuk mengetahui pembentukan organ-bertahan atau “spora istirahat” jamur karat palsu (Synchytrium psophocarpi) pada tanaman kecipir. Hasil percobaan menunjukkan bahwa jamur terlacak di dalam jaringan tanaman kecipir lima hari setelah inokulasi, pembentukan prosorus tampak antara tujuh hingga sembilan hari, dan pembentukan sori tampak sembilan hari setelah inokulasi. Penilikan mikroskopik pada batang sakit menunjukkan bahwa patogen menginvasi dan berkoloni-sasi pada jaringan korteks. Pada daun banyak sorus terbentuk di dalam jaringan palisade dan parenkim spons, tetapi pada tangkai daun sorus bahkan berkembang hingga pada jaringan pembuluh. Pengujian inokulum berupa suspensi sorus tidak infektif terhadap tanaman kecipir, sehingga keberadaan organ-bertahan jamur karat palsu belum dapat disimpulkan. ABSTRACT A histopathological study was conducted to detect the development of pathogen, to see the internal symptoms, and to know the formation of survival organ or resting spore of false rust fungus (Synchytrium psophocarpi) on winged bean. The results showed that the fungus was detected inside the bean tissue five days after inoculation, prosorus formation occurred between seven and nine days after inoculation, and sori were seen after nine days. Microscopic observation of infected stems indicated that the pathogen invades and colonizes the cortex tissue. On the leaf, most sori formed within the palisade tissue and spongy parenchyma, but on the petiole, sorus can also develop in the vascular tissue. Inoculation using suspensions of sori failed to produce any infection of winged bean plants, so the existence of resting spore of the fungus have not been conclusively established. ____________________ Kata Kunci: histopatologi; tanaman kecipir; penyakit karat palsu Keywords: histopathology; winged bean; false rust disease PENDAHULUAN Penyakit karat palsu pada tanaman kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) yang disebabkan oleh jamur Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gäumann, merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena jamur tersebut tergolong endoparasit sejati (obligate biotroph), dan penyebarannya bertipe epidemi bunga majemuk. Penyakit tersebut dilaporkan telah banyak menimbulkan kerugian di Negara-negara Australia, Papua Niugini, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan bahkan juga di Afrika Barat (Eagleton, 1978; Anonim, 1981; Drinkall dan Price, 1983; Eagleton et al., 1985). Baru-baru ini pun penyakit karat palsu (sinonim orange gall diseases) sempat terlacak mencemari polong-polong kecipir impor pada Karantina Tumbuhan di bandara Narita Jepang (Yoichi, Eiji dan Yoshinori, 2001). Selain mereduksi
hasil polong (Parman et al., 1983), penyakit tersebut juga belum diketahui memiliki inang penggilir (alternate host) selain kecipir, dan pula cara bertahannya di alam belum diketahui (Drinkall, 1978; Thompson dan Sri Kuntjijati Haryono, 1979). Di Afrika, bahkan diketahui terdapat spcies liar Psophocarpus scandens, yang dinilai tahan (kebal) terhadap penyakit karat palsu, di samping P. palustris dan P. grandiflorus (Schippers, 2010). Penyakit karat palsu senantiasa ditemukan di sepanjang musim pertanaman kecipir (Parman et al., 1983), dan usaha pengendaliannya pun masih banyak mendapat-kan kesulitan (Drinkall dan Price, 1984). Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut berupa hiperplasia, hipertrofi dan pembengkakan sebagai akibat terbentuknya pustul yang berisi sorus (kantong sporangium) di dalam jaringan inang yang terinfeksi. Untuk menelaah mekanisme patogenesis dan Agroteksos Vol. 19 No. 3, Desember 2009
102 perkembangan patogen di dalam jaringan inang, maka telah dilakukan suatu kajian histopatologi yang diharapkan dapat memberikan petunjuk adanya kemungkinan pembentukan organbertahan (survival organ) bagi jamur tersebut. Lebih jauh penelitian ini juga menguji potensi sorus sebagai organ-bertahan jamur di kala tidak infektif pada inang berupa tanaman kecipir. METODE PENELITIAN Kajian histopatologi Tanaman kecipir kultivar UM-8 yang tergolong rentan terhadap penyakit karat palsu (Parman dan Wiresyamsi, 1981) ditanam di dalam pot plastik dengan medium tanah sawah jenis Aluvial, kemudian dipelihara pada kondisi rumah kaca. Pada waktu berumur 18 hari, tanaman diinokulasi menggunakan bahan inokulum berupa suspensi sporangium dengan teknik penguasan (brushing). Suspensi sporangium yang digunakan mengandung rata-rata 1,18 X 105 sporangia ml-1 dengan potensi daya berkecambah sporangium 69%. Inokulasi dilakukan pada pukul 18.00, kemudian semua pot tanaman yang sudah diinokulasi disungkup selama 24 jam sebagai predisposisi terhadap patogen. Penyungkupan menggunakan sungkup plastik transparan berukuran 100 X 80 X 40 cm3. Penilikan histopatologi dilakukan dengan mikroskop optik di Laboratorium Biologi Universitas Mataram. Preparat disiapkan pada 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 hari setelah inokulasi. Organ tanaman sakit dari hasil inokulasi dipotong-potong sepanjang 5 mm. Potongan tersebut kemudian difiksasi di dalam FAA (Formalin-Aceto-Alcohol) selama 4 jam lalu dibilas/direndam di dalam air suling selama 2 jam, dan kemudian dicuci lagi sampai lima kali dengan menggunakan Etanol 50%. Dehidrasi dilakukan dengan suatu seri perendaman di dalam Etanol dan TBA (TertiaryButyl-Alcohol) mengikuti metode Jensen (1962) dengan modifikasi (Heroetadji, 1983). Organ tanaman berturut-turut dimasukkan ke dalam Etanol 50, 10, dan kemudian 30% masingmasing selama 1 – 2 jam. Setelah itu organ dipindahkan ke dalam larutan TBA 50, 70, 85 dan 95% masing-masing selama 2 – 4 jam dan selanjutnya ke dalam TBA 100% sebanyak tiga kali masing-masing selama 2 – 4 jam. Organ tanaman kemudian diinfiltrasikan di dalam campuran Xylene-Parafin selama 0,5 jam (suhu 50oC), dipindahkan ke dalam cairan Parafin murni (suhu 60oC) selama 0,5 jam, lalu
Astam Wiresyamsi: Kajian Histopatologi Tanaman …
diselubungi (embedded) di dalam kotak (blokblok) Parafin, baru kemudian dikering-anginkan. Setelah blok Parafin yang berisi organ tanaman tersebut mengering, lalu dilakukan pengirisan setebal 15 Hm menggunakan mikrotom (model Ernst Leitz Wetzlar). Hasil irisan ditampung di dalam suatu cawan berisi air, kemudian dilekatkan di atas gelas benda yang telah dilapisi perekat Meyer (Johansen, 1940; Sass, 1958). Setelah itu preparat ditetesi Formalin 4%, lalu gelas benda diletakkan di atas lempeng Aluminium yang agak panas (suhu + 43oC) sampai lapisan Parafinnya meluluh. Preparat kemudian dikering-anginkan selama 2 – 3 hari. Sesudah kering, preparat kemudian dicat (stained) menggunakan kombinasi pengecatan “Safranin-Malachite Green” (Heroetadji, 1983). Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop binokuler (merk Leitz Laborlux D). Hasil pengamatan struktur-struktur histopatologi dicatat dan diukur, kemudian direkam dengan menggunakan kamera mikrografi (merk Asahi Pentax Spotmatic buatan Jepang). Pengujian potensi sorus sebagai organbertahan Organ tanaman yang terserang berat dikumpulkan dari lapang, kemudian diperlakukan dengan beberapa tekanan lingkungan. Organ tanaman sakit disimpan di dalam kantong plastik yang tertutup rapat lalu dibuat 5 (lima) variasi penyimpanan selama 10 hari yaitu masingmasing: perlakuan A (penyimpanan pada suhu 10oC); perlakuan B (penyimpanan pada suhu 20oC), perlakuan C (penyimpanan pada suhu 30oC), perlakuan D (penyimpanan pada suhu kamar) dan perlakuan E (perendaman dalam air pada suhu kamar). Setelah organ tanaman sakit disimpan selama 10 hari, sorus diisolasi dari masingmasing perlakuan dan dibuat suspensi dengan kerapatan 25 sorus ml-1 (dibuat setara dengan suspensi sporangium pada percobaan pertama). Suspensi tersebut digunakan sebagai bahan inokulasi pada tanaman muda (berumur 15 hari) menggunakan teknik penguasan. Tanaman yang sudah diinokulasi disungkup dengan sungkup plastik transparan selama 24 jam sebagai predisposisi. Pengamatan infektivitas suspensi sorus sebagai inokulum atau sebagai penghasil sporangium dan zoospora yang infektif dilakukan 13 hari setelah inokulasi. Pengamatan infektivitas tersebut ditetapkan sebagai kriterium bentuk struktur tahan apabila hasil inokulasi positif (infektif).
103
HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian histopatologi Dari hasil pengamatan histopatologi dapat diketahui bahwa pada irisan batang, satu hari setelah inokulasi menunjukkan belum ada perbedaan yang tegas antara struktur jaringan tanaman yang sehat (tidak diinokulasi) (Gambar 1A) dengan jaringan tanaman yang diinokulasi; tetapi pada pengamatan tersebut tampak bahwa di permukaan organ tanaman yang diinokulasi terdapat sporangium-sporangium yang masih menempel dan belum berkecambah (Gambar 1B). Sampai dengan tiga hari setelah inokulasi kelainan anatomi pada jaringan tanaman belum tampak. Hal ini berarti bahwa pada waktu itu masih berlangsung reaksi antara substansi kimia
yang dikeluarkan oleh patogen dengan senyawasenyawa penyusun jaringan tanaman. Kelainan anatomi berupa gejala hiperplasia di dalam jaringan periderm dan korteks, baru tampak lima hari setelah inokulasi (Gambar 1C dan Gambar 1D). Kelainan tersebut ditandai dengan intensifnya perbanyakan sel dan reaktifnya penyerapan cat (pewarna) di sekitar gejala anatomi tersebut. Pada fase selanjutnya, patogen membentuk prosorus dan gejala hiperplasia tampak di sekitar prosorus. Gejala tersebut diamati tujuh hari setelah inokulasi (Gambar 2). Sembilan hari setelah inokulasi prosorus telah berkembang membentuk dinding tebal menjadi sorus. Fenomena tersebut diamati, baik pada irisan batang maupun irisan tangkai daun (Gambar 3A dan Gambar 3B).
A
B
C
D
Gambar 1. Irisan melintang batang kecipir (Transverse section of winged bean stems) A. B. C. D.
tidak diinokulasi (uninoculated) satu hari setelah inokulasi (one day after inoculation) tiga hari setelah inokulasi (three days after inoculation) lima hari setelah inokulasi (five days after inoculation)
S: sporangium e: epidermis c: cortex h: gejala hiperplasia (hyperplasia symptom) v: jaringan pembuluh (vascular tissue)
Agroteksos Vol. 19 No. 3, Desember 2009
104
Gambar 2.
Dua irisan melintang batang kecipir, tujuh hari setelah inokulasi (Two transverse sections of winged bean stems, seven days after inoculation) p: prosorus s: sorus h: gejala hiperplasia (hyperplasia symptom)
A
B
Gambar 3. Irisan melintang batang (A) dan tangkai daun (B) kecipir, sembilan hari setelah inokulasi (Transverse sections of a stem (A) and of a petiole (B) of winged bean, nine days after inoculation) s: sorus c: cortex v: jaringan pembuluh (vascular tissue) Menurut Mc Alpine (1911) dan Walker (1957), prosorus berisi eksospora yang berwarna jingga dan dindingnya lebih tebal, dan di bagian dalam terdapat endospora yang hialin. Di dalam prosorus terjadi perbanyakan sel sehingga volumenya bertambah besar. Pada waktu sel membelah, endospora terdesak oleh inti sel dan sitoplasma sehingga terbentuk suatu vesicle (vesikel = gelembung). Vesikel mengalami fragmentasi dengan membentuk dinding-dinding baru menjadi banyak sekali sporangium. Hasil penelitian ini tidak menghitung jumlah sporangia yang terkandung dalam sebuah sorus, tetapi Drinkall (1978) mencatat bahwa terdapat masing-masing sejumlah 4272 dan 4890 sporangia pada dua buah sorus yang berdiameter 160 Hm. Hasil pengukuran diameter sporangia di Malaysia mencatat rata-rata 20,69 Hm, dan
Astam Wiresyamsi: Kajian Histopatologi Tanaman …
diameter zoospora rata-rata 2,02 Hm dengan panjang bulu getar (flagellum) 10,75 Hm (Karami, Ahmad dan Sijam, 2009). Sporangium di dalam sorus berkembang menjadi lebih besar sehingga volume sorus pun menjadi bertambah besar dan bahkan dapat melebihi diameter 200 Hm. Dengan pembesaran sporangium maka sorus mendapatkan tekanan dari dalam, sehingga pada pengamatan 13 hari setelah inokulasi tampak bahwa sorus sudah mulai pecah. Proses ini diawali oleh robeknya dinding sorus dan rusaknya jaringan epidermis, yang mengakibatkan terjadinya sporulasi (penghamburan sporangium) ke luar sorus dan/atau ke luar permukaan inang (Gambar 4A dan Gambar 4B). Demikian pula pada preparat 15 hari setelah inokulasi, dapat diamati bahwa sorus mengalami sporulasi.
105
A
Gambar 4.
B
Sebagian irisan melintang tangkai daun (A), 13 hari setelah inokulasi dan irisan melintang batang (B), 15 hari setelah inokulasi (A portion of a transverse section of a petiole (A), 13 days after inoculation and transverse section of a stem (B), 15 days after inoculation) Tanda panah menunjukkan sorus yang mengalami sporulasi (Arrow sign showed a sporulating sorus)
Kerusakan anatomi pada batang, tangkai maupun helai daun tampak tidak menunjukkan banyak perbedaan. Pada tangkai daun, sorus tidak hanya terbentuk di sekitar jaringan korteks, tetapi juga ditemukan di dalam berkas jaringan pembuluh (Gambar 3B). Pada irisan batang, semua sorus ditemukan pada jaringan periderm, korteks dan pada lapisan endodermis. Hal ini disebabkan karena jaringan korteks banyak mengandung khloroplas yang merupakan organel fotosintetik, sedangkan pada lapisan endodermis banyak tersedia butir-butir pati yang dapat memenuhi kebutuhan hara untuk kehidupan jamur. Pada irisan batang maupun tangkai daun, struktur jamur tidak didapatkan di bawah jaringan berkas pembuluh. Belum diketahui, apakah hal itu disebabkan oleh terbatasnya penelitian ini yang hanya mengamati preparat sampai dengan 15 hari setelah inokulasi saja ataukah bukan; tetapi alasan lain yang dapat diterima ialah karena jaringan di bawah berkas pembuluh merupakan parenkim gabus yang mengeras. Selain itu invasi dan kolonisasi hingga ke jaringan tersebut akan lebih menghambat sporulasi dan penyebaran patogen. Pada helai daun ternyata bahwa invasi dan kolonisasi patogen pun tidak hanya sebatas jaringan epidermis tetapi struktur-struktur patogen dapat ditemukan pada jaringan palisade dan jaringan mesofil. Hal itu menunjukkan
bahwa hara bagi kebutuhan hidup patogen lebih tersedia pada kedua jaringan tersebut (Eames dan Mac Daniels, 1947; Esau, 1965). Sorus dapat ditemukan, baik pada jaringan palisade di bagian adaxial maupun pada parenkim spons di bagian abaxial sub-epidermal layer. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa patogen dapat melakukan penetrasi, baik melalui permukaan atas maupun permukaan bawah helaian daun (Gambar 5C). Selain gejala hipertrofi dan pembengkakan ternyata irisan melintang helaian daun (Gambar 5A dan Gambar 5B) juga menampakkan gejala hipotrofi. Gejala ini belum pernah dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya, namun diperkirakan bahwa gejala ini merupakan lantunan gejala hipertrofi yang timbul pada helaian daun yang sama. Akibat komplikasi gejala tersebut maka permukaan daun tampak menjadi bergelombang dengan pinggiran yang menggulung. Dalam penelitian ini tidak dapat ditelusuri secara runtut mengenai perkembangan zoospora, baik ketika melakukan penetrasi maupun proses terbentuknya di dalam sporangium. Hal ini disebabkan karena selain belum sempurnanya teknik pengecatan (staining) yang dilakukan, juga alat-alat yang digunakan masih cukup sederhana. Pengembangan mikroteknik dan metode histokhemistri untuk penelitian ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut.
Agroteksos Vol. 19 No. 3, Desember 2009
106
A
B
C
D
E
Gambar 5.
Irisan melintang helaian daun kecipir, tujuh hari setelah inokulasi (A, B, C), dan D: daun sehat, tanpa penularan) (Transverse section of winged bean leaves, seven days after inoculation (A, B, C), and D: healthy leaf (un-inoculated)) g: pembengkakan dan hipertrofi (galling and hypertrophy) h: hipotrofi (hypotrophy) p: prosorus pada jaringan palisade (prosorus in the palisade tissue) s: sorus pada parenkim spons (sorus in the spongy parenchyma) v: jaringan pembuluh (vascular tissue) E: Dua buah sorus hasil isolasi dari organ tanaman sakit yang disimpan selama 10 hari pada suhu 20oC (Two sori of infected plants, isolated after 10 days stored at 20oC)
Pengujian potensi sorus sebagai struktur tahan Pengujian potensi sorus sebagai alat bertahan jamur karat palsu menunjukkan bahwa semua perlakuan tekanan lingkungan terhadap bahan inokulum tidak memberikan hasil positif (tidak infektif) terhadap tanaman muda yang diinokulasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelima perlakuan tekanan lingkungan selama 10 hari tersebut, ternyata mampu menghambat sorus menghasilkan sporangium dan zoospora Astam Wiresyamsi: Kajian Histopatologi Tanaman …
yang infektif. Daya berkecambah sporangium yang dihasilkan dari sorus tersebut tidak menunjukkan viabilitas setelah diamati 24 jam. Sorus yang diisolasi dari organ tanaman setelah diperlakukan 10 hari, sebagian masih berwarna cerah (Gambar 5E), namun demikian banyak pula di antaranya yang berwarna agak pucat dengan struktur yang lunak. Variasi tersebut diduga hanya merupakan pengaruh perbedaan
107 umur atau tingkat kemasakan struktur tersebut ketika diperlakukan. Ketidak infektifan suspensi sorus dalam hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa mungkin sorus bukan organ-bertahan yang sesungguhnya; dengan perkataan lain, bahwa jamur karat palsu tidak mempertahankan diri di alam dengan struktur-tahan atau organ berupa sorus. Kemungkinan lain yang menyebabkan tidak infektifnya suspensi sorus tersebut adalah akibat pengaruh perlakuan dengan pembungkus plastik terhadap brangkasan tanaman sakit yang masih segar karena sewaktu penyimpanan, semestinya aktivitas fisiologi seperti respirasi pada organ tersebut juga masih berlangsung. Hasil akhir respirasi tersebut dapat berupa CO2, uap air dan juga energi dalam bentuk panas, sehingga ada kemungkinan bahwa selain akibat pengaruh perlakuan waktu penyimpanan terhadap organ tanaman yang mengandung sorus, maka faktorfaktor tersebut juga turut mempengaruhi penurunan viabilitas sorus ataupun sporangium di dalamnya. Karena tidak terbuktinya sorus sebagai struktur-tahan jamur karat palsu, maka dapat diulas kembali bahwa inang penggilir serrta cara bertahannya jamur S. psophocarpi masih merupakan topik yang perlu diteliti. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Jamur karat palsu pada tanaman kecipir mulai menampakkan gejala internal (anatomi) berupa hiperplasia lima hari setelah inokulasi; membentuk prosorus dan berkembang menjadi sorus, tujuh sampai sembilan hari setelah inokulasi. Sorus dan pustul pecah 13 – 15 hari setelah inokulasi, kemudian menghamburkan sporangium ke luar jaringan inang. 2. Pada batang, patogen hanya melakukan invasi dan kolonisasi hingga ke jaringan korteks. Pada helai daun sebagian besar sorus terbentuk pada jaringan palisade serta parenkim spons, tetapi pada tangkai daun, sorus ditemukan pula pada berkas pembuluh. 3. Tidak didapatkan bukti bahwa sorus merupakan struktur-tahan (resting spore) jamur karat palsu. Disarankan agar kajian ini dilanjutkan untuk mempelajari lebih luas mengenai biologi jamur karat palsu, khususnya mengenai survival patogen serta asosiasi jamur tersebut dengan tanaman lain.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1981. The Winged bean a high protein crop for the tropics. 2nd Ed. National Academy Press. Washington, D.C. 46 pp. Drinkall, M.J., 1978. Investigations of biology of Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gaumann, the cause of false rust of Winged bean. Workshop/Seminar on the Development of the potential of the Winged bean. Los Banos, Philippines. January 1978. 42 pp. Drinkall, M.J. and T.V. Price, 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology (32): 229 – 237. Drinkall, M.J. and T.V. Price, 1984. Chemical control of false rust of Winged bean. Trop. Agric. (Trinidad) (61): 293 – 296. Eagleton, G.E., 1978. Winged bean in Australia; personalities, Opinions and Little Research. Workshop/Seminar on the Development of the potential of the Winged bean. Los Banos, Philippines. January 1978. 10 pp. Eagleton, G.E., T.N. Khan and W. Erksine, 1985. Winged bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) D.C.). In Grain legume crops (R.J. Summerfield and E.H. Roberts Eds). Pp 624 – 657. Collins, London. Eames, A.J. and L.H. Mac Daniels, 1947. An introduction to plant anatomy. 2nd Ed. McGraw-Hill Book Company Inc. New York – London. 427 pp. Esau, K., 1965. Plant anatomy. 2nd. John Wiley & Sons, Inc. New York – London – Sydney. 767 pp. Heroetadji, H., 1983. Resistance of sugarcane (Saccharum officinarum) varieties to root knot nematodes, Meloydogyne incognita and M. javanica. Ph.D. Thesis University of Philippines, Los Banos, 197 pp. Johansen, D.A., 1940. Plant microtechnique. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. 523 pp. Karami, A., Z.A.M. Ahmad and K. Sijam, 2009. Morphological characteristics and pathogenecity of Synchitrium psophocarpi (Rac.) Baumann associated with false rust on Winged bean. Am. J. Applied Sci., 6 (11): 1876 – 1879. Mc Alpine, D., 1911. Handbook of fungus diseases of the potato in Australia and their
Agroteksos Vol. 19 No. 3, Desember 2009
108 treatment. J. Kemp. Government Printer, Melbourne. 215 pp. Parman dan A. Wiresyamsi, 1981. Uji ketahanan kultivar lokal kecipir terhadap penyakit karat palsu. Kongres Nasional dan Serminar Ilmiah PFI ke-VI, 11 – 13 Mei 1981. Bukittinggi. 8 pp. Parman, Murdan, L. Irasakti dan A. Wiresyamsi, 1983. Pengendalian penyakit karat palsu pada tanaman kecipir dengan mengatur waktu tanam. Universitas Mataram, Mataram. 19 pp. Sass, J.E., 1958. Botanical microtechnique. 3rd Ed. The Iowa State University Press, Ames, Iowa. 228 pp. Schippers, R.R., 2010. Psophocarpus scandens (Endll.) Verdc. Dalam Grubben, G.J.H., O.A. Denton, C.-M. Messiaen, R.R.
Astam Wiresyamsi: Kajian Histopatologi Tanaman …
Schippers, R.H.M.J. Lemmens and L.P.A. Oyen (Eds.) Prota 2: Vegetables/Legumes Record. http://database.prota.org/PROTAhtml/Psoph ocarpus%20scandens_En.htm. Diunduh tanggal 19 Mei 2010. Thompson, A.E. and Sri Kuntjijati Haryono, 1979. Sources of resistance to two important disease of Winged bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) D.C.) Hort. Sci. 14 (4): 532 – 533. Walker, J.C., 1957. Plant pathology. Kogagusha Company, Ltd. Tokyo. 707 pp. Yoichi, M., T. Eiji and K. Yoshinori, 2001. Orange gall diseases of winged bean caused by Synchytrium psophocarpi intercepted in Plant Quarantine. http//sciencelinks.jp/jeast/article/200123/000020012301A077311 9.php. Diunduh tanggal 19 Mei 2010.