KARAKTERISTIK UNJUK KERJA DAN EMISI SISTEM DUAL-FUEL ENGINE MENGGUNAKAN SYN-GAS HASIL GASIFIKASI CANGKANG KELAPA SAWIT Jupri Yanda Zaira1) Bambang Sudarmanta2) 1) Jurusan Teknik Mesin-FTI, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya 60111, email: jupza ir a @ya ho o . co m/ jupr i@pcr . ac. id 2) Jurusan Teknik Mesin-FTI, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya 60111, s u d a r ma nt a @me. it s. ac. id
Abstrak: Gasifikasi biomassa dihasilkan menggunakan reactor gasifier downdraft. Bahan baku yaitu dari cangkang kelapa sawit yang mempunyai nilai kalor tinggi hasil limbah padat perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan eksperimen untuk menguji unjuk kerja mesin diesel sistem dualfuel bahan bakar fossil (solar) dan syn-gas gasifikasi cangkang kelapa sawit. Variasi yang dilakukan adalah mengubah AFR dari bahan bakar yang menggunakan single fuel hingga dual fuel, dan memberikan pembebanan pada generator dengan beban 200 – 2000 Watt. Pengujian performance engine dilakukan dengan pengukuran daya output listriknya, dan analisa gas buang dengan melakukan uji emisi gas buang terhadap mesin. Hasil penelitian ini adalah peningkatan efisiensi volumetrik masimkum 91.03%, penurunan pemakaian solar rata-rata 75,56% pada bukaan ½ udara masuk (air intake) menyebabkan peningkatan spesific fuel consumption (sfc), penurunan efisiensi termal kenaikkan temperatur gas buang terjadi pada beban 1302,64 (VA) sebesar 362 oC pada bukaan ¼ katup air intake. Untuk kandungan emisi gas buang, CO2 dan CO kenaikan maksimum terjadi pada beban 2000 Watt sebesar 5,6% dan 0,76% pada bukaan ¾ air intake, HC pada beban 0 pada bukaan udara ½ dan ¼ sebesar 3 ppm, O2 pada seluruh dual-fuel sebesar 25%, NOx single-fuel dan dual-fuel adalah 0%. .Kata Kunci: Syn-gas, Sistem dual fuel, Cangkang kelapa sawit, Mesin diesel, Solar. 1. PENDAHULUAN Energi sangat dibutuhkan didalam kemajuan suatu negara. Selama ini energi banyak di ambil dari alam yaitu dari bahan bakar fossil yang tidak dapat diperbaharui, dengan keadaan tersebut tentunya lama kelamaan akan terjadi krisis energi yang akan mengakibatkan terpuruknya perekonomian penduduk suatu negara khususnya di Indonesia. Bahan bakar fossil seperti solar dan bensin yang digunakan terus menerus akan menyebakan polusi dan pemanasan global yang berdampak terjadinya perubahan iklim yang terasa saat ini, selain itu data statistik energi dunia tahun 2011, khusus Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa total konsumsi minyak sebesar 1.304.000 barrel perhari, sedangkan total produksi minyak hanya sebesar 986.000 barrel perhari [1].
Dengan kondisi seperti itu menyadarkan kita pentingnya mengembangkan energi alternatif. Beberapa energi alternatif yang dikembangkan masyarakat saat ini antara lain pemanfaatan tenaga air dan energi matahari untuk pembangkit listrik, pengembangan bioenergi yang sesuai dengan potensi wilayah seperti bioethanol, biodiesel, dan syn-gas dari biomassa. Gasifikasi biomassa merupakan teknologi proses thermo-kimia yang mengubah berbagai jenis biomassa benda padat menjadi combustible gas yang mudah terbakar yaitu menghasilkan gas CO, H2, CH4. Biomassa yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah kayu, sekam padi, tempurung kelapa, cangkang kelapa sawit yang menghasilkan gas yang mudah terbakar. Provinsi Riau sebagai satu diantara penghasil komoditi kelapa sawit terbesar di Indonesia dapat menjawab tantangan untuk mengatasi krisis energi di Indonesia dengan mengembangkan energi alternatif dari gasifikasi biomassa limbah perkebunan yaitu cangkang kelapa sawit yang merupakan satu diantara bahan baku untuk gasifikasi biomassa. Data statistik perkebunan Indonesia 2009-2011 Provinsi Riau mempunyai luas areal kelapa sawit terbesar di Indonesia yang sudah digunakan yaitu 1.781.900 Ha, dengan hasil produksi sebesar 6.064.391 ton produksi tahun 2010 yang merupakan komoditi terbesar dari jenis perkebunan lainnya di Provinsi Riau[2,3]. Napitupulu (2006), dalam percobaannya diperoleh nilai kalor 100% cangkang sawit adalah sebesar HHV : 21274, 56 kJ/kg, LHV :18034,56 kJ/kg[4]. Untuk menghasilkan gas dari proses gasifikasi dilakukan di gasifier downdraft. Syn-gas dalam pemakaian sebagai bahan bakar pada motor pembakaran dalam, dapat digunakan pada motor bensin dan motor diesel. Pada motor diesel pemakaian syn-gas hasil gasifikasi harus dikombinasikan dengan bahan bakar solar. Penelitian tentang pemanfaatan syn-gas pada proses gasifikasi banyak yang dilakukan dan telah dipublikasikan. Berdasarkan pengalaman ITB Susanto (1976) menyebutkan bahwa satu liter bensin atau solar dapat digantikan dengan 7,5 m3 gas dari gasifikasi 4 kg kayu atau 6 kg sekam[5], Penelitian juga dilakukan oleh Lawanaskol (1997) menyebutkan bahwa penggunaan bahan bakar gas hasil gasifikasi yang berasal dari sekam kayu dapat menggantikan 72 % atau sebanyak 2,2 l/h bahan bakar bio-diesel B5 untuk
mendapatkan daya sebesar 10 kWe[6]. Penelitian oleh Sudarmanta dkk, (2010) menyimpulkan bahwa Reaktor gasifikasi downdraft sekam padi secara kontinyu menghasilkan syn-gas dengan efisiensi sampai 60%, konsumsi sekam padi pada reaktor gasifikasi sebesar 6 kg/h, dan mampu menggantikan 72% fossil diesel pada pembangkitan energi listrik 3 kWe[7]. Selain itu Sudarmanta dkk (2011), juga melakukan penelitan pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik” menyebutkan bahwa peningkatan efisiensi volumetrik sebesar 19,63 % dengan pemakaian mixer yang dilengkapi dengan mixing jet, penurunan pemakaian bensin paling tinggi ⁄ hingga 75,12 % pada ̇ dan beban listrik 1241,2 VA, dengan penambahan massflowrate syn gas menyebabkan peningkatan spesific fuel consumption (sfc) sebesar 70,04%, penurunan efisiensi termal sebesar 14,64 % serta kenaikkan temperatur engine, oli pelumas dan gas buang[8]. Dari berbagai penelitian diatas, menunjukkan bahwa syn-gas dari hasil gasifikasi berbagai bahan baku biomassa berpengaruh terhadap performance mesin dan efisiensi pemakaian bahan bakar, maka penelitian untuk bahan baku cangkang sawit perlu juga dilakukan supaya dapat mengetahui pengaruh syn-gas dari hasil gasifikasi terhadap performance mesin diesel dual fuel dan seberapa besar efisiensi pemakaian bahan bakar solar yang bisa diketahui. 2. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang dimulai dari karakterisasi biomassa umpan secara proximate dan ultimate analysis. Secara keseluruhan, sistem pembangkit listrik berpenggerak motor diesel dual fuel ini terdiri dari unit pengmpan biomassa berupa cangkang kelapa sawit, reaktor gasifier, unit pemurnian raw syn gas, motor Diesel dual fuel dan generator set. Unit pengumpan biomassa dirancang untuk memasukkan biomassa umpan, yaitu dimasukkan cangkang kelapa sawit kedalam reaktor gasifier sesuai dengan kebutuhan. Reaktor gasifier menggunakan sistem downdraft untuk mereduksi kandungan tar. Pemakaian unit pemurnian untuk membersihkan kandungan debu dan partikel berat yang terikut dalam raw syn gas dengan cara melewatkannya dalam unit cyclone, dan dilanjutkan dengan membersihkan dengan air secara berlawanan arah didalam water scrubber. Selain itu, water scrubber juga berfungsi sebagai media pendinginan syn gas. Syn gas yang sudah dimurnikan selanjutnya dimasukkan kedalam saluran udara motor diesel yang sudah dimodifikasi menjadi sistem dual fuel. Mekanisme pemasukan syn gas hasil gasifikasi dilakukan dengan pemasangan mixer yang berbentuk venturi dan pengaturan valve udara masuk ruang pembakaran pada mesin diesel sistem dual fuel. AFR (Air Fuel Ratio) sistem dual-fuel divariasikan melalui pengaturan Kecepatan pada udara masuk ruang pembakaran dengan pengaturan valve yaitu dengan
variasi bukaan full, ¾, ½, dan ¼. Variasi beban pada motor bensin dimulai dari 200 sampai 2000 Watt dengan interval 200 Watt. Pengukuran dilakukan terhadap laju alir udara dan syn gas, waktu konsumsi bahan bakar solar setiap interval 5ml, dan temperatur mesin. Bahan baku cangkang kelapa sawit didapatkan dari PTPN 5. Sei. Galuh Kabupaten kampar Riau, Cangkang kelapa sawit ini merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit yang masih kurang pemanpaatannya. Hasil karakterisasi komposisi gas hasil gasifikasi Cangkang kelapas sawit dan beberapa biomassa lainnya ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Gas hasil gasifikasi cangkang kelapa sawit dan beberapa biomassa lainnya.[5]
Mendapatkan karakterisasi gasifikasi dilakukan pada reaktor gasifier type downdraft dengan rangkaian perlatan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peralatan gasifikasi cangkang kelapa sawit. Syn gas hasil gasifikasi selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan sistem dual fuel, rangkaian percobannya ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peralatan karakterisasi unjuk kerja mesin sistem dual fuel
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakterisasi unjuk kerja sistem dual fuel solar dan syn gas hasil gasifikasi biomassa yang diaplikasikan pada motor diesel stasioner diuraikan sebagai berikut: 3.1. Daya Motor Unit gen-set tersebut bekerja dengan menghasilkan tegangan listrik dimana putaran generator harus dijaga konstan pada 1500 rpm untuk mendapatkan tegangan listrik tetap, sementara pada saat beban listrik ditambah maka akan menyebabkan putaran generator yang diputar oleh engine akan turun. Putaran tersebut diperoleh dengan melakukan kontrol pada jumlah bahan bakar minyak solar yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar melalui mekanisme pada Pompa Injeksi minyak solar. Setiap penambahan beban listrik maka jumlah minyak solar yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar akan lebih banyak untuk menjaga putaran engine konstan. Sementara untuk mekanisme pada dual-fuel, bahan bakar gas yang masuk dijaga konstan sesuai dengan tekanan yang diatur melalui katup bukaan udara masuk ruang pembakaran, sementara jumlah minyak solar diatur pada Pompa Injeksi untuk mendapatkan putaran yang konstan pada 1500 rpm. Dapat dikatakan bahwa daya yang diperlukan akan naik dengan bertambahnya beban listrik yang diberikan sebagai kompensasi bertambah-nya bahan bakar yang masuk ke ruang bakar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Bahan bakar yang bertambah banyak menyebabkan semakin banyak energi yang dapat dikonversi menjadi energi panas dan mekanik dengan udara yang cukup. Energi menjadikan daya mesin semakin besar, sesuai dengan beban yang diberikan kepada mesin.
Gambar 3. Daya motor fungsi beban listrik Idealnya untuk putaran engine konstan daya akan sebanding dengan bertambahnya beban, karena nilai putaran tidak berpengaruh pada perubahan nilai daya engine. Untuk beban 200 s.d. 800 Watt mengikuti idealnya kenaikan daya yang linier dengan kenaikan beban, sementara untuk beban 1000 s.d. 2000 Watt terlihat adanya perubahan dan variasi nilai yang menyimpang dari bentuk ideal meskipun secara umum dapat dikategorikan linier. Hal ini disebabkan apabila dilihat dari hasil pengambilan data (seperti yang ditunjukkan pada lampiran 1) nilai dari Voltase
yang dibaca oleh alat ukur mengalami penurunan 3.5 s.d. 6 Volt mulai dari beban 1000 Watt. Penulis menganalisa bahwa tidak terjadi permasalahan apapun pada engine yang menyebabkan terjadinya variasi nilai tersebut. Kemungkinan permasalahan yang terjadi ada pada sistem generator listrik, penurunan voltase tersebut terjadi pada beban 1000 s.d. 2000 Watt. Untuk daya pada sistem dual fuel lebih kecil rata-rata 0,28 HP dari pada daya sisten single fuel dengan beban 1400 s/d 2000 Watt, hal ini dikarenakan pengaruh pemasukkan syngas pada engine. 3.2. Torsi Motor Grafik torsi engine fungsi beban listrik ini memiliki karakteristik yang sama dengan grafik daya engine. Melalui persamaan berikut,
Gambar 4. Torsi motor fungsi beban listrik dimana nilai torsi kemudian bergantung pada nilai daya (Ne) dan putaran mesin (n). Karena dalam pengujian ini putaran mesin dijaga konstan, maka perubahan nilai torsi bergantung variasi daya motor dan pada akhirnya bentuk grafik yang ditunjukkan sama dengan bentuk grafik yang ditunjukkan oleh grafik daya fungsi beban listrik. Secara umum pengecilan katup bukaan udara masuk ke ruang bakar akan membuat torsi yang dihasilkan oleh engine bervariasi terbukti bahwa pada saat bukaan ½ udara masuk torsi yang terjadi kecil dari bukaan penuh, dan juga kecil dari bukaan ¼ udara masuk ruang pembakaran, karena bukaan ½ bahan bakar yang masuk paling sedikit ke ruang bakar yang kemudian diubah menjadi energi mekanik mengatasi beban pada poros engine. Idealnya bentuk grafik torsi putaran konstan adalah bentuk linier dari torsi engine terhadap pertambahan beban. Karena itu pada beban 200 s.d. 800 Watt pada gambar 4.2 menunjukkan model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1000 s.d. 2000 Watt bentuk garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan udara masuk dan laju alir massa syngas membentuk hubungan yang tidak stabil dan ada perbedaan yang sedikit lebih besar dari beban di
bawahnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai voltase yang dimulai dari beban 1000 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase listrik ini kemudian mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya engine sebagai variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai torsi yang direpresentasikan melalui grafik torsi fungsi beban listrik yang demikian. Torsi yang terjadi pada sistem dual fuel rata-rata lebih kecil 5,6 s/d 8,5 kg.cm. 3.3.Tekanan efektif rata-rata (bmep)
5,4 5,1 4,8 4,5 4,2 3,9 3,6 3,3 3 2,7 2,4 2,1 1,8 1,5 1,2 0,9 0,6 0,3 0
single fuel Dual Fuel 0,1 bar Gas
3.4. Konsumsi bahan bakar spesifik (sfc) Dari gambar terlihat pada bukaan ½ adalah kondisi maksimum dengan nilai sfc dan persentase penggantian minyak solar paling besar dimana engine tidak mati pada saat beban listrik nol dan engine selalu dalam keadaan hidup dari beban nol sampai beban 2000 Watt.
Dual Fuel 0,2 bar Gas Dual Fuel 0,3 bar Gas Dual Fuel 0,4 bar Gas Dual Fuel 0,5 bar Gas
0
200
400
600
800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400
Load (Watt)
Gambar 5. bmep fungsi beban listrik Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban, dimana nilai bmep didapat melalui persamaan berikut, dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa variabel yang mempengaruhi perubahan nilai bmep dalam pengujian engine kali ini adalah daya engine (Ne), sementara variabel yang lain bernilai konstan termasuk putaran engine (n). Pengamatan yang lebih detail menunjukkan pada beban 200 s.d. 1200 Watt pada gambar 4.4 menunjukkan model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1400 s.d. 2000 Watt bentuk garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan katup udara masuk ruang pembakaran membentuk hubungan yang kurang stabil dan ada perbedaan yang sedikit lebih besar dari beban di bawahnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai voltase yang dimulai dari beban 1400 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase listrik ini kemudian mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya engine sebagai variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai
Apabila diambil satu kondisi beban listrik maka akan terlihat pengecilan bukaan katup udara masuk akan membuat besar sfc semakin kecil, hal ini terjadi dari bukaan penuh sampai bukaan ½, tetapi dari ½ ke bukaan ¼ mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan aliran massa syngas semakin besar. Apabila kita lihat pada beban listrik 200 Watt, maka besar sfc pada dual fuel bukaan full sebesar 1,94 kg/hp.hour . dimana dalam hal ini massa bahan bakar selalu konstan sementara waktu konsumsi bahan bakar semakin sedikit saat beban listrik ditambah. Demikian pula saat penggunaan syngas dimana meskipun waktu yang diperlukan untuk konsumsi minyak solar semakin lama.
Spesific Fuel Consumption (kg/hp.hr)
bmep (kg/cm2)
Secara umum pengecilan bukaan jumlah syngas yang masuk ke ruang bakar akan membuat bmep yang dihasilkan oleh engine semakin kecil terutama dari bukaan full sampai bukaan ½, namun dari bukaan ½ kebukaan ¼ mengalami kenaikan. Proses pembakaran campuran udara-bahan bakar menghasilkan tekanan yang bekerja pada piston untuk melakukan langkah kerja. Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban
torsi yang direpresentasikan melalui grafik torsi fungsi beban listrik yang demikian. Dalam keadaan ideal, bmep umumnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Namun pada data awal pengujian ini terlihat bahwa nilai bmep berada di bawah tekanan atmosfer. Hal ini dimungkinkan karena tekanan yang ditampilkan adalah tekanan alat ukur, sehingga untuk mendapatkan tekanan absolute harus ditambah dengan tekanan atmosfer. Selain hal tersebut nilai bmep yang berada di bawah tekanan atmosfer yaitu pada bebab 200 sampai 400 Watt, dimungkinkan karena generator tersebut dioperasikan di bawah kondisi operasi minimal yang disyaratkan, akibatnya performa yang dihasilkan pada pembebanan awal tidak akan optimal.
9,5 9 8,5 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
single fuel Dual Fuel 0,1 bar Gas Dual Fuel 0,2 bar Gas Dual Fuel 0,3 bar Gas Dual Fuel 0,4 bar Gas Dual Fuel 0,5 bar Gas
0
200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400
Load (Watt)
Gambar 6. sfc campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel fungsi beban listrik Hal ini dapat kita pahami melalui persamaan sfc secara umum sebagai berikut,
dimana dalam hal ini massa bahan bakar selalu konstan sementara waktu konsumsi bahan bakar
sfc Liqiud Fuel Replacement (%)
80 70 60
yang masuk ke ruang bakar lebih besar pada dual fuel untuk beban yang sama. 35
single fuel Dual Fuel 0,1 bar Gas
30
Dual Fuel 0,2 bar Gas Dual Fuel 0,3 bar Gas
Thermal Efficiency (%)
semakin sedikit saat beban listrik ditambah. Demikian pula saat penggunaan syn gas dimana meskipun waktu yang diperlukan untuk konsumsi bensin semakin lama, akan tetapi saat settingan awal laju alir massa syn gas sudah sangat besar melebihi laju alir massa bensin dan hal ini sangat terasa pada saat beban rendah.
Dual Fuel 0,4 bar Gas
25
Dual Fuel 0,5 bar Gas
20 15 10 5
50 40
0 0
30
200
400
600
800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400
Load (Watt)
20 10 0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
2400
Gambar 9. Efisiensi termal campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel
Load (Watt) Dual Fuel 0,1 bar Gas
Dual Fuel 0,2 bar Gas
Dual Fuel 0,4 bar Gas
Dual Fuel 0,5 bar Gas
Dual Fuel 0,3 bar Gas
Gambar 8. Persentase penggantian konsumsi bensin oleh syn gas Melalui gambar 8 dapat dilihat jumlah persentase minyak solar yang digantikan oleh syngas setiap penambahan syngas dan beban listrik dan variasi bukaan katup udara masuk ruang pembakaran. Setiap pengecilan bukaan katup udara masuk ruang pembakaran , maka terjadi kenaikan laju alir massa syngas yang masuk ke dalam ruang bakar. Setiap kenaikan laju alir massa syngas, maka besarnya jumlah persentase minyak solar yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar untuk menjaga putaran engine konstan akan semakin turun. Sehingga jumlah persentase minyak solar yang digantikan akan semakin besar. Saat beban listrik semakin besar, jumlah minyak solar semakin banyak untuk menjaga putaran konstan sehingga persentase pergantian semakin kecil. Pada grafik tersebut terlihat bahwa jumlah persentase penggantian minyak solar yang terbesar terjadi pada bukaan ½ katup udara masuk ruang pembakaran yaitu memiliki persentase rata-rata 75,65%. Hal ini disebabkan syngas menjalani perannya sebagai secondary fuel dengan baik, meskipun perannya tidak dapat menggantikan minyak solar 100 %. Minyak solar dibutuhkan tidak hanya sebagai primary fuel/pilot fuel tetapi juga sebagai pelumas pada bagian pompa bahan bakar minyak. Syngas memiliki kelebihan untuk mencapai homogenitas campuran udara-bahan bakar, sehingga diharapkan periode tunda (delay period) proses pembakaran dalam ruang bakar semakin pendek. 3.5. Effisiensi Thermal Dari Gambar 9. terlihat bahwa efisiensi termal tertinggi ada pada penggunaan single fuel, dan kemudian diikuti penurunan nilai efisiensi termal saat laju alir massa syn gas yang direpresentasikan oleh besar tekanan syngas dilakukan penambahan. Hal ini disebabkan besar energi input melalui bahan bakar
Dari gambar 9 terlihat bahwa efisiensi termal tertinggi ada pada penggunaan single fuel, dan kemudian diikuti penurunan nilai efisiensi termal saat laju alir massa syngas yang direpresentasikan oleh besar tekanan syngas akibat pengecilan bukaan katup udara masuk ruang pembakaran. Hal ini disebabkan besar energi input melalui bahan bakar yang masuk ke ruang bakar lebih besar pada dual-fuel untuk beban yang sama. Grafik juga menunjukkan bahwa efisiensi termal maksimum untuk kondisi single-fuel dan kondisi dual-fuel berada pada kisaran beban (80-90) % . Kemudian setelah itu efisiensi termal menurun karena jumlah energi input yang masuk ke ruang bakar sudah terlalu besar atau campuran dalam ruang bakar kaya akan bahan bakar. Melalui persamaan umum efisiensi termal,
Dapat dilihat bahwa ada hubungan antara sfc dengan nilai efisiensi termal yang dihasilkan. Saat sfc turun hingga nilai terendah maka efisiensi termal naik hingga bernilai maksimum, yang menggambarkan bahwa dengan naiknya efisiensi termal maka semakin banyak bahan bakar yang dapat dikonversi selama proses pembakaran menjadi daya yang dikeluarkan melalui poros engine. Saat nilai sfc naik kembali maka nilai efisiensi termal turun yang mengindikasikan semakin banyak bahan bakar yang terbuang berasama gas sisa pembakaran karena tidak dapat dikonversi menjadi daya engine pada saat proses pembakaran berlangsung di ruang bakar. Pada penggunaan sistem dual-fuel nilai efisiensi termal secara umum mengalami penurunan dengan penambahan laju alir massa syngas. Hal ini disebabkan bahwa melalui persamaan, ̇ ̇ Dapat dilihat bahwa faktor yang membuat nilai efisiensi termal semakin turun adalah lebih disebabkan laju alir massa syngas semakin besar besar, dan nilai ini mempengaruhi nilai sfc-nya yang menjadi sangat besar. Sehingga dibandingkan dengan sistem singlefuel dimana nilai sfc-nya jauh lebih kecil maka
efisiensi termal-nya menjadi rendah seiring dengan bertambahnya laju alir massa syngas. Kemudian lagi disebabkan bahwa peran minyak solar sebagai pilot fuel sangat besar, dan ketika minyak solar semakin banyak maka semakin banyak juga jumlah syngas yang ikut terbakar sampai batas maksimumnya pada beban 80 s.d. 90%. 3.6. Analisis Rasio Udara - Bahan Bakar Gambar 10 menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara AFR single-fuel dengan dual-fuel. Hal ini disebabkan jumlah bahan bakar yang masuk dalam sistem dual-fuel jauh lebih besar yang disebabkan besarnya laju alir massa syngas akibat pencampuran pada venture dan variasi bukaan udara masuk yang semakin kecil, meskipun dengan penambahan syngas laju alir massa minyak solar berkurang. Sementara engine diesel yang digunakan adalah naturally aspirated yang otomatis dengan bertambahnya laju alir massa syngas akibat pengecilan katup udara masuk ruang pembakaran akan mengurangi laju alir massa udara yang masuk melalui intake manifold. .
Gambar 11. Temperatur gas buang fungsi beban listrik Selain itu grafik juga menunjukkan kenaikan nilai temperatur gas buang setiap kenaikan laju alir massa syngas (syngas massflowrate), dan tentunya yang menyebabkan hal ini adalah jumlah energi input ke ruang bakar bertambah besar. Temperatur gas buang pada dual fuel ½ bukaan udara masuk ruang pembakaran lebih tinggi dari pada saat engine menggunakan bahan bakar tunggal (single fuel) begitu juga untuk sistem dual fuel lainnya. . Data yang diambil untuk temperatur gas buang didukung dengan data yang diambil untuk oli pelumas engine (engine lube oil) di bawah ini.
Gambar 10. Rasio udara-bahan bakar (AFR) fungsi beban listrik Disebutkan bahwa idealnya AFR berada dalam kisaran , sementara yang memenuhi syarat AFR tersebut adalah kondisi single fuel antara beban 0 s.d. 2000 Watt. Untuk seluruh variasi bukaan katup udara masuk yang diujikan pada dual fuel tidak satupun yang memenuhi syarat AFR ideal. Disimpulkan bahwa untuk variasi AFR dengan menggunakan naturally aspirated diesel engine tidak sesuai digunakan dual fuel system dengan variasi bukaan katup udara masuk. 3.7. Analisis Temperatur Gas Buang, Oli Pelumas, Cilinder Blok, dan Cairan Pendingin Gambar 11 menunjukkan pengaruh laju alir massa syngas terhadap temperatur gas buang setiap kenaikan beban listrik. Dalam grafik digambarkan bahwa adanya peningkatan temperatur gas buang terhadap kenaikan beban, yang disebabkan bertambahnya jumlah energi input ke dalam ruang bakar untuk memberikan daya engine terhadap kenaikan beban istrik.
Gambar 12. Temperatur oli pelumas fungsi beban listrik Hanya saja melalui grafik yang ditampilkan pada gambar ini relatif linier, dan perubahan temperature tidak besar, baik sistem single fuel maupun dual fuel. Hal ini disebabkan karena sistem pendinginan engine yang menggunakan water cooled yang teratur dan lancar. Termasuk di dalamnya oli engine didinginkan oleh cairan pendingin melalui mekanisme heat exchanger. Selain itu sebagian panas bisa saja terbuang ke lingkungan sekitar dengan cara konduksi, konveksi dan radiasi. Tapi secara umum bahwa kenaikan laju alir massa syngas tidak terlalu berpengaruh terhadap temperatur oli pelumas engine walaupun kenaikan beban listrik tidak menyebabkan kenaikan temperatur oli pelumas engine yang signifikan. Data yang diambil untuk temperatur oli pelumas hampir sama dengan data yang diambil untuk cylinder block engine di bawah ini yaitu tidak mengalami kenaikan termperatur yang signifikan dari variasi beban listrik dari nol sampai 2000 Watt, namun sistem dual fuel lebih panas dari single fuel, hal ini disebabkan oleh aliran syn gas yang menyebabkan mesin agak lebih panas pada saat beroperasi.
Gambar 13. Grafik temperature cylinder block fungsi beban listrik 3.8 Analisa Emisi Gas Buang.
Gambar 14. Grafik beberapa kandungan emisi gas buang Dari gambar grafik diatas terlihat bahwa, kandungan CO2 paling besar terdapat pada saat operasi sistem dual fuel ¾ bukaan udara masuk ruang pembakaran dimana angka terbesar pada saat beban listrik 2000 Watt yaitu sebesar 5,6 % kandungan CO2, sedangkan sistem single fuel relatif kecil kandungan CO2nya yaitu tetap dari beban nol ke beban 2000Watt yaitu sebesar 0,7%. Hal ini terlihat bahwa dengan pemakaian sistem dual fuel terlihat secara umum menghasilkan kandungan CO2 pada emisi gas buang lebih banyak dengan sistem single fuel, hal ini disebabkan oleh pengaruh aliran syngas yang memiliki kadungan gas yang kurang baik yang masuk keruang pembakaran, sehingga memiliki kandungan CO2 emisi gas buang yang lebih tinggi dibandingkan bila hanya menggunakan bahan bakar solar saja. Kandungan CO paling besar terdapat pada saat operasi sistem dual fuel ¾ bukaan udara masuk ruang pembakaran dimana angka terbesar pada saat beban listrik 2000 Watt yaitu sebesar 0,76 % kandungan CO, sedangkan sistem single fuel relatif kecil kandungan CO nya yaitu terbesar pada saat beban 2000 watt yaitu sebesar 0,05%. Hal ini terlihat bahwa dengan pemakaian sistem dual fuel terlihat secara umum menghasilkan kandungan CO pada emisi gas buang lebih banyak dengan sistem single fuel, hal ini disebabkan oleh pengaruh aliran syngas yang memiliki kadungan gas yang kurang baik yang masuk keruang pembakaran, sehingga memiliki kandungan CO emisi gas buang yang lebih tinggi dibandingkan bila hanya menggunakan bahan bakar solar saja. Kandungan HC paling besar terdapat pada saat operasi sistem dual fuel ½ dan ¼ bukaan udara masuk ruang pembakaran dimana angka terbesar pada saat beban listrik 200 s/d 400 Watt yaitu sebesar 2 s/d 3 ppm kandungan HC,sedangkan pada beban 600 s/d
2000 Watt kandungan HC nol, sementara sistem dual fuel lainnya relatif nol begitu juga sistem single fuel memiliki kandungan HC nol. Dengan kondisi seperti ini kandungan HC emisi gas buang sistem dual fuel dan single fuel pada umumnya tidak memiliki kandungan HC emisi gas buang Kandungan O2 paling besar terdapat pada saat operasi sistem dual fuel dimana besar angkanya sama pada saat beban nol sampai 2000 Watt yaitu sebesar 25% kandungan O2, sementara sistem single fuel memiliki kandungan O2 lebih sedikit rendah yaitu sebesar 20,7% kandungan O2. Dengan kondisi seperti ini kandungan O2 emisi gas buang sistem dual fuel dan single fuel pada umumnya memiliki kandungan O2 emisi gas buang kisaran 20 s/d 25%, dikatakan masih batas bisa digunakan apabila menggunakan sistem dual fuel. Kandungan NOx pada saat operasi sistem dual fuel dan single fuel sama tidak memiliki kandungan NOx , dengan kondisi seperti ini dikatakan masih batas bisa digunakan apabila menggunakan sistem dual fuel.
4. KESIMPULAN Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah peningkatan efisiensi volumetrik masimkum 235,99 % dengan pemakaian Mixer yang dilengkapi dengan Mixing Jet, penurunan pemakaian minyak solar rata-rata sebesar 75,56% pada bukaan ½ udara masuk (air intake) dengan penambahan syn-gas massflowrate menyebabkan peningkatan spesific fuel consumption (sfc), penurunan efisiensi termal serta kenaikkan temperatur gas buang, kenaikan maksimum terjadi pada beban 1302,64 (VA) sebesar 362 oC pada bukaan ¼ katup udara masuk ruang pembakaran. Untuk kandungan emisi gas buang, CO2 dan CO kenaikan maksimum terjadi pada beban 2000 Watt sebesar 5,6% dan 0,76% pada bukaan ¾ udara masuk, HC pada beban 0 pada bukaan udara ½ dan ¼ sebesar 3 ppm, O2 pada seluruh dual-fuel sebesar 25%, sedangkan NOx single-fuel dan dual-fuel adalah 0%. DAFTAR REFERENSI 1. BP Statistical Review of World Energy 2011 2. http://regionalinvestment.com/newsipid/id/commo dity.php?ic=2 Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011, diakses 21/11/2011 3. http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvide o/2011/02/14/122461/ Cadangan-Minyak-Bumi-Indonesia-Tinggal-12Tahun/23,diakses 29/11/2011 4. Napitupulu H Farel. Analisis Nilai Kalor Bahan Bakar Serabut dan Cangkang Sebagai Bahan Bakar Ketel Uap di Pabrik Kelapa Sawit, Jurnal Ilmiah SAINTEK, Vol. 23 No. 1, 2006
5. http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/index.html Gas hasil sebagai umpan motor, diakses 22/11/2011 6. Asst.Prof. Suppawit Lawanaskol, Dual Fuel Gasifier-Engine For 10 kWe Power Generation, Rajamangala University of Technology Thanyaburi, Pathum Thani.1997 7. Sudarmanta B, Dirgantara W. Aplikasi Sistem Dual-Fuel Bensin dan Syn-Gas Hasil Gasifikasi Biomassa Pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik. Makalah Seminar Nasional. 2011 8. Sudarmanta B, Prabowo, Kadarisman. The Performance of Fossil Diesel Syn-gas Dual-Fuel Compression Ignition Engine For 3kW Power Generation. Jurnal Industri. Oktober 2010 9. Mathur, M.L. Sharma, R.P., A Course in Internal Combustion Engine 3rd edition, Dhanpat Rai & Sons, Nai Sarak, Delhi, 1980 10. www.energyefficiencyasia.org, diakses 20/11/2011 11. John, B. Heywood, Internal Combustion Engine, Mc GrawHill, London, 1988 12. Sauliar Jefri Novrezeki, Sudarmata B. Desain Mekanisme Sistem Dual-Fuel dan Uji Unjuk Kerja Motor Stasioner Menggunakan Gas Hasil Gasifikasi dan Minyak Solar. Tugas Akhir Mahasiswa. Surabaya. 2010 13. N. Tippawong, A. Promwungkwa, P. Rerkkriangkrai, Long-term Operation of A Small Biogas/Diesel Dual-Fuel Engine for On-Farm Electricity Generation, Chiang Mai University, Thailand,2006 14. Tirtoatmodjo Rahardjo, Willyanto. Peningkatan Unjuk Kerja Motor Diesel dengan Penambahan Pemanasan Solar. Jurnal Teknik Mesin Vol. 01 No. 02. Univesitas Kristen Petra. Surabaya. 1999 15. Sitorus Tulus Burhanuddin. Tinjauan Pengembangan Bahan Bakar Gas Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurnal Ilmiah. USU digital Library. Medan. 2002 16. Robert W. Fox, Alan T. McDonald, Philip J.Pritchard, Introduction to Fluid Mechanics 6th edition, John Wiley & Sons, Denver, 2003 17. Frank P. Incropera, David P. Dewitt, Fundamentals of Heat and Mass Transfer 4th edition , John Wiley & Sons, USA, 1996 18. Anil K. Rajvanshi, Biomass Gasification, Nimbkar Agricultural Research Institute, Maharashtra, India, 1986 19. Thomas B. Reed, Agua Das, Handbook of Biomass Downdraft Gasifier Engine Systems, Solar Energy Research Institute, Colorado, 1988