Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer: Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’ Fadhli Lukman Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Alumnus Ponpes Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi Abstrak Tulisan ini membahas tentang Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer:Telaah Konsep Kunci Tafsir al-Bayni li al-Qur’an alKarim karya ‘Aisyah Abdul Rahman Bint al-Syati’. Diantara karakteristi tafsir ini adalah Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.
A. Pendahuluan Tafsir memiliki umur setua Alquran. Karena manusia diberi otoritas untuk menafsir Alquran, maka ia terus berkembang sepanjang zaman. Saat ini bisa diidentifikasi sejumlah aliran tafsir, yang informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam diskursus sejarah tafsir. Abdul Mustaqim memberikan klasifikasi periodik untuk mengidentifikasi keragaman tafsir tersebut, mulai dari era formatif dengan nalar quasi-kritis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis. Dengan klasifikasi ini, Mustaqim mengidentifikasi karakteristik paling menonjol pada masing-masing periode.1 Perkembangan tafsir dalam dialektikanya dengan perkembangan situasi empiris berperan besar dalam pergeseran dan keragaman tafsir. Jika pada periode awal para sahabat enggan menafsirkan Alquran menggunakan ra’y, secara perlahan-lahan tafsir bi al-ra’y hid1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), hal. 31.
41
up dan berkembang luas yang dibuktikan dengan kategorisasi lanjutan dari para mufassir, yaitu kategori mazmum (tafsir yang tercela) dan mahmud (tafsir yang terpuji). Pada era afirmatif, keragaman tafsir dibentuk oleh perbedaan mazhab yang menajam, sementara era reformatif bergerak berlawanan, menghindari bias-bias mazhab ini.2 ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint al-Syati’ (selanjutnya: Bint Syati’) telah muncul menjadi tokoh penting dalam sejarah tafsir kontemporer, atau era reformatif jika menggunakan klasifikasi Abdul Mustaqim. Dengan dua jilid al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim maka nama Bint Syati’ adalah nama yang tidak boleh diabaikan. Kitab ini berawal dari kegelisahannya tentang sedikitnya upaya para ulama untuk melakukan karya komprehensif terhadap Alquran yang menekankan kearabannya, dalam artian penggunaan pendekatan sastra yang lebih mumpuni. Tafsir-tafsir terdahulu ia klaim tidak begitu berhasil mengungkap bayan dari Alquran. Ketika para pakar sastra disibukkan dengan mengkaji sya’ir-sya’ir klasik Arab, mereka justru meninggalkan Alquran yang notabene kitab sastra Arab terbesar. Dari pengakuan tersebut, maka tafsir Bint Syati’ dapat digolongkan kepada tafsir kontemporer dengan kecenderungan sastra.3 Artikel ini akan membahas pemikiran Bint Syati’ terkait konsep-konsep inti seputar Alquran dan tafsir. Untuk itu, artikel ini akan difokuskan pada pemikiran Bint Syati’ pada empat hal: Alquran, Tafsir, Takwil, dan posisi akal terhadap wahyu. Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Deskriptif digunakan untuk memaparkan apa yang dikatakan oleh Bint Syati’ seputar tema terkait, dan analitis untuk mengungkap hal-hal terdalam dari hal tersebut. Pada beberapa hal, Bint Syati’ tidak mendeklarasikan secara eksplisit apa bagaimana pandangannya seputar tema-tema yang diinginkan. Untuk itu, penulis akan menganalisis pernyataan-pernyataan Bint Syati’ untuk kemudian dikaitkan dengan tema yang diinginkan. Menimbang minimnya data biografi dibutuhkan dalam tema dan metode yang digunakan artikel ini, maka riview biografi Bint Syati’ 2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hal. 65. 3 Kolega Bint Syati’ sesama didikan Amin Khulli bahkan menilai bahwa metode sastra adalah satu-satunya metode yang paling relevan untuk menafsirkan Alquran. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas (Beirut: Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 2000), hal. 24.
42
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
tidak akan dilakukan.
B. Alquran menurut Bint Syati’
Bagaimanakah pandangan Bint Syati’ mengenai Alquran? Untuk menjelaskan hal ini, klasifikasi bisa dimanfaatkan antara Bint akademisi. Dalam pengantar Syati’ sebagai Muslim dan dia sebagai 4 al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, ia menyebut :
ألفت منذ الصغر, ذالك ألني بحكم نشأتي في بيت علم و دين وان أتلو آياته في تاثير, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في … دراسة النصوص Pernyataan Bint Syati’ di atas memperlihatkan bagaimana ia فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Ia terbiasa membaca Alquran dengan penuh danتقديم kekhusyu’an. Itu berarti, sebالكلمة تقوم مقام انperasaan كلمة يمكن يعني بحال ما هي أنه ال agai seorang Muslim Bint Syati’ memandang Alquran sebagai kitab فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف liturgis, kitab ibadah dalam Agama. Oleh sebab itu, Alquran menالقرآنposisi مثل هذا بآيةbagi يأتيumat ان jadi sebuah kitab suci yang menempati yangمن khas Muslim, dan diperlakukan secara khas pula. Ia berbeda dari kitabkitab lainnya. Para ulama telah mengonsep adab dan tata tertib untuk mendekati Alquran. Ia harus ditempatkan di tempat yang layak, dihormati, dijaga, dan dibaca dalam kondisi fisik yang bersih. Sejumlah hadis melaporkan fadilah membaca Alquran, motivasi membaca atau menghafal Alquran, dan sebagainya. Tema ini ditemukan dalam sejumlah literatur, seperti tulisan al-Nawawi yang berjudul al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. Dalam buku ini, al-Nawawi menuliskan sejumlah hadis yang bersandar kepada Rasulullah, dan beberapa diantaranya kepada Sahabat atau Ulama kenamaan, yang menjelaskan cara terbaik untuk berinteraksi dengan Alquran.5 Bint Syati’ dalam hal ini meyakini bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Perilaku khas yang ditunjukkan oleh Muslim terhadap Alquran, sebagaimana Bint Syati’ juga mengakuinya, dilatar-
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ... Fadhli Lukman
43
belakangi oleh keyakinan bahwa Alquran adalah kitab wahyu. Ia adalah kalam Tuhan, dan karena itu ia harus dihormati sebagaimana manusia menghormati Tuhan. Sebagai wahyu dan kalam Tuhan, Alquran adalah kitab yang dibaca ketika shalat dan doa. Ia sendiri juga menekankan dirinya sebagai kitab yang dibaca pada ayat yang pertama diturunkan. Dengan demikian, Bint Syati’ sangat meninggikan makna dari Alquran. Pandangannya mengenai makna Alquran sejalan dengan teori noumena dan phenoumena dalam ranah filsafat, bahwasanya makna Alquran adalah noumena dan tafsir adalah phenoumena. Itu berarti bahwa tafsir tidak akan pernah menyamai Alquran. Bagi Bint Syati’, penjelasan dari tafsir hanya menempati syarh dan taqrib, bukan mumasalah atau taraduf terhadap Alquran.6 Hal ini sejalan dengan pandangan fenomenologi tentang Alquran yang menyatakan Alquran sebagai scripture, kitab suci. Wilfred Cantwel Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi scripture dengan memandang hubungan antara kitab terkait dengan manusia yang meyakininya, yang dalam hal ini hubungan Alquran dengan Muslim umumnya atau Bint Syati’ khususnya. Smith menyebut bahwa sebuah kitab bisa menjadi suci tergantung kepada bagaimana umatnya bertindak terhadapnya.7 Pandangan ini menilai kitab suci dari dua arah, dari kitab terkait dan dari manusia penganutnya. Maka, dalam konsepsi itu, Bint Syati’ telah memperlihatkan bahwa ia meyakini Alquran sebagai sebuah scripture, kitab suci. Namun begitu, Bint Syati’ dalam kutipan di atas juga menyebut bahwa ia belum memahami bayan Alquran hingga dia terlibat dalam kajian tentang nusus. Bagian ini adalah bagaimana Bint Syati’ memandang Alquran dalam kompetensinya sebagai akademisi. Sebagai akademikis, dalam pengantar tafsirnya, Tafsir al-Bayan, Bint Syati’ menyebut Alquran adalah kitab bahasa Arab terbesar (al-kitab al-‘arabiyah al-akbar).8 Frasa tersebut sepertinya berasal dari Amin alKhulli, guru sekaligus suaminya, yang oleh M. Nurchalis Setiawan 6 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9.
4 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1990), hal. 1: 14.
7 Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-agama terj. Dede Iswadi (Jakarta: Teraju, 2005), p. 12-23
5 Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an (Jeddah: Haramayn, t.t)
8 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal 13.
44
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
diterjemahkan dengan ‘kitab sastra Arab terbesar’.9 Cara pandang Bint Syati’ terhadap Alquran sebagai akademisi, dari kutipan di atas, terlihat melengkapi cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Sebagai seorang Muslim, hal yang terpenting dalam kitab untuk ibadah, untuk diresapi dalam Alquranadalah sebagai rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, sebagai akademisi orientasi pengungkapan bayan lah yang menjadi cirikhasnya. Itu berarti cara akademik ini berkaitan dengan bagaimana cara Bint Syati’ mengungkap bayan tersebut. Pembicaraan ini kemudian akan berkaitan dengan aktifitas menafsirkan ayat Alquran. Sebagaimana disampaikan di awal pendahuluan al-Tafsir alBayani li al-Qur’an, metode yang digunakan oleh Bint Syati’ adalah studi sastra metode sastra. Pada satu sisi ia melihat perkembangan Arab pada ranah sya’ir-sya’ir klasik, akan tetapi pada sisi lain metode yang sama cenderung mengabaikan Alquran sebagai kitab berbahasa Arab terbesar.
C. Tafsir dan Takwil
Syati’ terkesan acak tafsir dan ta’wil Bint menggunakan istilah dalam tafsirnya. Mengenai metode penafsiran yang ia tempuh dalam al-Tafsir al-Bayani, ia menggunakan istilah tafsir, sementara untuk menjelaskan makna ayat dalam penjelasan demi penjelasan ia terkadang menggunakan istilah ta’wil. Oleh sebab itu, dalam hal ini penulis bergerak bahwaبحكم bagi Bint الصغر منذlebih ألفت,lanjut و دينdari علمpandangan نشأتي في بيت ألنيSyati’, ذالك tafsir dan ta’wil adalah dua hal yang sama, dan oleh sebab itu untuk في تاثيرpenulisan, وان أتلو آياته , القرآن وجداني هذاhanya أصغي بكل أن kesederhanaan penulis menggunakan kata tafsir saja dalam فيmakalah تخصصيini.وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد Dalam pandangannya mengenai tafsir, Bint Syati’ mengemu… دراسة النصوص kakan10:
فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف (مثل هذاYogyakarta: يأتي بآية من ان 9 Nur Khalis Setiawan, Al-Qur’an Kitabالقرآن Sastra Terbesar eLSAQ, 2006), hal. 3. 10 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal 9. 2: 9.
وان أتلو آياته في تاثير, أن أصغي بكل وجداني هذا القرآن وخشوع لكني لم أع بيانه حق الوعي إال بعد تخصصي في … دراسة النصوص Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Fadhli Lukman
45
فإن القضية الكبري في هذي التفسير وكل تفسير,وبعد وقبل هي أنه ال يعني بحال ما تقديم كلمة يمكن ان تقوم مقام الكلمة فهيهات لبشر.القرآنية في سياقها علي وجه المماثلة والترادف ان يأتي بآية من مثل هذا القرآن
Sahiron Syamsuddin, dalam tesisnya menyebutkan bahwa pernyataan di atas adalah definisi Bint Syati’ terhadap tafsir. Ia menyebutkan bahwa “Bint Syati’ defines tafsir as an attempt to understand the Qur’an that consist in explaining and claryfing the text by using interpretive as opposed to synonymous language.”11 Namun begitu, penulis lebih menilai hal itu adalah penjelasan Bint Syati’ mengenai ontologi tafsir. Sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa Bint Syati’ begitu meninggikan makna Alquran, dan manusia hanya bisa mencapai makna tafsir. Dalam pandangannya, tafsir tidak akan menempati makna Alquran ‘ala wajh al-mumusalah wa al-taraduf, melainkan hanya sebagai penjelas dan pengungkapan makan terdekat. Dengan pernyataan tersebut, Bint Syati’ telah membuka relativitas kebenaran tafsir. Ia seakan menyatakan bahwa kebenaran utama ada pada Alquran, sementara tafsir tidak akan mencapai makna hakikat dari Alquran. Dalam konteks relativitas tersebutlah kiranya Bint Syati’ mengapresiasi sekaligus mengkritisi setumpuk tafsir yang telah diwarisi oleh generasi pendahulu.
وما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم الذين بذلوا في خدمة القرآن جهودا جليلة و تركوا آثارهم زادا لما بعدهم Demikianlah Bint Syati’ menghargai peninggalan dari para
12 أستاذي—هو تلقيتهhalكماitu– dibuktikan هذا التفسيرdengan في منهج و األصلia pendahulu. Lebihعن lanjut, banyaknya merujuk pendapat para mufassir tersebut al-Tafsir al-Bayani-nya. , الواحد فيه الموضوع الدراسة يفرغdalam الموضوعي الذي التناول Namun begitu, ia mengkritisi tafsir-tafsir tersebut. Ia secara tegas meاستعماله لأللفاظ بمألوفia ويهتدي , القرآن منه ما فيdari كلmufassir فيجمع nyebutkan bahwa sesekali harus menolak pandangan klasik tersebut. Dalam of Bintتحديد Syati’’s of Interوهو منهج .ذاكAnلكلExamination الداللة اللغوية بعدMethod , واألساليب preting the Qur’an, Sahiron Syamsuddin merinci poin-poin kritik Bint , سورة سورة القرآنklasik, تفسيرyang فيsecara المعروفة والطريقة يختلف Syati’ terhadap kitab tafsir umum bisa dijelaskan , يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله 11 Sahiron Syamsuddin, An Examination Syati’’sإلي Method Interpreting , أللفاظه القرآنية إلي الداللةof Bint اإلهتداء معهof السبيل مماthe Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hal. 8. أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية 12 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 16.
46
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
dengan istilah penggunakan materi extra Qur’an dalam tafsir.13 Bint Syati’ terlihat sangat menekankan peran tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Lebih lanjut, Syamsuddin membagi kritik Bint Syati’ terhadap tafsir klasik kepada dua kelompok besar, yaitu tendentious interpretation (penafsiran tendensius) pada satu kelompok dan tafsir al-mutakallaf serta i’jaz-misoriented interpretation pada kelompok lain. Untuk kelompok pertama, terdapat beberapa poin turunan yaitu penggunaan isra’iliyat, orientasi teologis, mistik, filosofis, dan tafsir saintis.14 Meskipun penyebaran Isra’iliyat15 telah dilarang pertengahan abad kedua hijriah oleh sejumlah tabi’in seperti A’masy dan Sufyan al-Tawri, penggunaannya alih-alih berkembang justru semakin populer. Sejumlah tafsir bi al-riwayat tidak bersih dari pengaruh isra’iliyat. Bint Syati’ termasuk sarjana kontemporer yang mengkritisi penggunaan riwayat isra’iliyat. Ia menegaskan bahwa tidaklah tepat untuk menafsirkan Alquran dengan basis isra’iliyat. Ia, menurut catatan Sahiron Syamsuddin, memperluas cakupan makna dari isra’iliyat, bukan terbatas kepada informasi dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang masuk kepada tafsir, melainkan setiap informasi detail tafsir yang tidak ada di dalam Alquran. Sebagai contoh, detail informasi mengenai ‘Ad dan Samud tidak ditemukan dalan Bible dan Taurat, namun Bint Syati’ masih menyebutnya sebagai isra’iliyat. Bagi Syamsuddin, tanggapan Bint Syati’ ini merupakan upayanya untuk menjaga konsistensi terhadap penggunaan metode sastra (literary analysis) untuk menafsirkan Alquran.16 Mengenai orientasi teologis, Bint Syati’ menyayangkan masuknya perdebatan teologis dalam penafsiran Alquran. Mazhab teologis yang ia kritisi diantaranya qadariyah dan jabariyah yang bertolakbelakang dalam menafsirkan Alquran. Mereka mengutip argumen-argumen, baik yang rasional maupun skriptural, yang sesuai dengan pandangan sekte teologis mereka. Pada sisi lain, jika men13 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal 8. 14 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 13.
Fadhli Lukman
47
emukan ayat yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka, dianggap mutasyabih dan oleh sebab itu dita’wil supaya menghasilkan kesimpulan yang kembali mendukung pandangan masing-masing mazhab. Bint Syati’ menyebut bahwa tidak layak untuk menerima beberapa ayat dan menolak ayat lainnya, karena sesungguhnya kesatuan Alquran berasal dari Allah.17 Kritik lainnya juga disampaikan Bint Syati’ terhadap tafsir isyari yang termanifestasi pada tafsir sufi dan tafsir falsafi. Tafsir simbolik (al-tasir al-isyari), yaitu upaya hermeneutis yang bergantung kepada upaya untuk memahami isyarat yang tersembunyi dari ekspresi Alquran, adalah topik yang diperdebatkan. Tafsir model ini dikembangkan oleh mufassir yang memiliki kepakaran dalam pengetahuan dan pengalaman mistik maupun dalam pemikiran filsafat. Pendekatan ini berasal dari luar Islam, dan oleh sebab itu ia juga bersifat extra-Qur’ani. Dalam bentuk yang lebih modern, pendekatan extraQur’ani lainnya juga digunakan oleh tafsir saintifik (tafsr al-‘ilmi) seperti yang diperkenalkan oleh Tantawi Jawhari, Hanafi Ahmad, dan Mustafa Mahmud. Bint Syati’ dalam hal ini percaya bahwa Alquran adalah buku keagamaan, bukan buku filsafat atau sains. Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa setiap ayat Alquran hanya memiliki satu makna, dan harus ditafsirkan sesuai dengan bagaimana bangsa Arab pada masa Rasulullah memahaminya. Dengan itu, ia lantas menolak penafsiran simbolik terhadap Alquran.18 Mengkritisi tafsir-tafsir terdahulu dalam beberapa aspek, Bint Syati’ menawarkan metode penafsiran sekaligus produk tafsirnya, yaitu al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Sebagaimana disampaikan di muka, tafsir Bint Syati’ adalah tafsir sastra (literary analysis) dengan bertumpu pada keyakinan bahwa setiap ayat Alquran saling menafsirkan dan oleh sebab itu memasukkan hal ekstra-Qur’ani adalah terlarang. Pendekatan ini dilatarbelakangi pandangannya bahwa sejauh ini para ahli sastra Arab disibukkan mempelajari sya’ir-sya’ir klasik, namun melupakan kitab sastra Arab terbesar, yaitu Alquran.19
15 Isra’iliat secara massif mempengaruhi kitab-kitab tafsir klasik seperti tafsir alTabari dan tafsir Muqatil bin Sulayman. Lihat Fadhli Lukman, “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQur’an dan Hadis edisi Juli 2010.
17 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 19.
16 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 17.
19 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 13-14.
18 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 25.
48
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
Fadhli Lukman
D. Posisi Akal terhadap Wahyu Berkaitan dengan posisi akal dari wahyu, Bint Syati’ sendiri tidak menjelaskan bagaimanakah konsepsinya mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal ini digunakan bagaimana cara dia melakukan penafsiran sebagai alat ukur. Untuk itu, bagian ini pertama sekali akan meriview metode penafsiran yang ia lakukan dan menganalisis bagaimana dia menempatkan akal terhadap wahyu. Dalam tesisnya, Sahiron Syamsuddin menggunakan dua kata kunci untuk menjelaskan metode penafsiran Alquran. Kedua kata kunci tersebut adalah tafsir al-mawdu’i (cross-referential interpretation)20 dan irtibat al-ayat wa al-suwar (interconnection between verses and chapters).21 Terkait irtibat, pandangan Bint Syati’ sejalan dengan panوما يجرأ منصف علي ان يجحد فضل أحد من هؤالء جميعا هم dangan Mustansir Mir dengan ide bahwa satu surat memiliki satu آثارهم جهودا جليلة القرآن بذلوا في ide زادا (the sura as aتركوا unity). وSebagai contoh, suratخدمة al-‘Adiyat bagiالذين Bint Syati’ membicarakan satu tema dan setiap ayat membicarakan tema لما بعدهم tersebut.22 Terkait tafsir mawdu’i, ia menyatakan23:
و األصل في منهج هذا التفسير –كما تلقيته عن أستاذي—هو , التناول الموضوعي الذي يفرغ الدراسة الموضوع الواحد فيه ويهتدي بمألوف استعماله لأللفاظ, فيجمع كل ما في القرآن منه وهو منهج. بعد تحديد الداللة اللغوية لكل ذاك, واألساليب , يختلف والطريقة المعروفة في تفسير القرآن سورة سورة , يؤخذ اللفظ أو اآلية فيه مقتطعا من سياقه العام في القرآن كله , مما السبيل معه إلي اإلهتداء إلي الداللة القرآنية أللفاظه أولمح ظواهره األسلوبية وخصائصه البيانية Pernyataan Bint Syati’ di atas secara jelas memperlihatkan bahwa metode yangia gunakan al-mawdu’i. adalah tafsir Tema tersebut membicarakan satu tema tema dengan mekanisme mengumpulkan semua ayat yang terkait. Hanya saja, metode ini tidak sama dengan 20 Sahiron An Examination 40. Syamsuddin, ofBint Syati’’s, hal. 21 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 68.
22 Sahiron Syamsuddin, An Examination of Bint Syati’’s, hal. 74. 23 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 17.
49
prinsip al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’da yang lebih identik dengan tafsir tahlili yang memperlakukan surat demi surat secara atomistik dan terpisah-pisah. Pada sisi lain, Tafsir Bint Syati’ berusaha mengungkap setiap ayat yang dikumpulkan menjadi satu pada siyaq yang tepat—untuk itu ia menggunakan pola tartib nuzuli sebagai kerangka analisis—untuk mengungkap original meaning teks, sebagaimana para pendengar pertama Alquran ketika ia diwahyukan. Oleh sebab itulah Sahiron Syamsuddin menerjemahkan tanawul al-mawdu’i pada pernyataan Bint Syati’ di atas dengan objective comprehension dan membandingkannya dengan pandangan beberapa hermeneut terkait upaya untuk mengungkap makna original atau makna historis. Berkaitan dengan itu Nur Kholis Setiawan menyebut bahwa metode yang digunakan oleh Bint Syati’ bisa dijelaskan dalam dua langkah penting yang merupakan modifikasi dan pengembangan model yang di gagas oleh al-Khuli. Kedua hal tersebut adalah penelitian terhadap makna leksikal kosa kata al-Qur’an yang kemudian di jadikan sebagai sarana untuk mengetahui makna yang di kehendaki dalam konteks pembicaraan ayat pada satu sisi dan pelibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama pada sisi lain. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “kesempatan” agar al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri.24 Oleh sebab itu, dalam tafsirnya, unsur ma hawla al-nas, digunakan mekanisme tartib nuzuli dengan memperhatikan asbab al-nuzul. Berkaitan dengan sabab al-nuzul, ia berpeganan pada kaidah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, la bi khusus al-sabab, illa an yata’ayyana bi al-khusus didalilin sarihin aw qarinatin bayyinatin.”25 Sebab turunnya ayat, bagi Bint Syati’, bukanlah sesuatu yang menyebabkan suatu ayat turun (bukan tujuan utama diturunkannya ayat), atau bukan merupakan sebab turunnya sebuah surat dalam pengertian sebab-akibat.26 Sementara dilalat al-alfaz dilandasi dengan kesadaran tinggi bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab. Karenanya, unsur sense of arabicity (zauq) dalam menentukan makna hakiki dan 24 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 37-39 25 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 2: hal. 9 26 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Mansyurah al‘Asr al-Hadis: 1973), hal. 77; al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut : Dar al-Fikr: 1979), hal. 104.
50
Jurnal Syahadah
Karakteristik Tafsir Sastra Kontemporer ...
Vol. 2, No. 1, April 2014
majazi adalah hal yang penting. Kemudian, ayat-ayat yang terkumpul disimpulkan secara induktif. Tahap terakhir adalah upaya untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam objek kajian. Dengan mengikuti makna implisit dan eksplisit dari sebuah ayat, ditentukan signifikansi ayat tersebut. Metodenya adalah dengan meneliti kembali pendapat para mufassir, mengadakan seleksi terhadap pemikiran mereka, menerima yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan mengabaikan yang menjurus kepada israilliyyat, fanatisme madzhab, dan kerancauan penafsiran (bida’ al-ta’wil).27 Selain itu, Bint Syati’ menekankan, sebagaimana penolakannya terhadap tafsir isyari, bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa kalimat ataupun frasa dalam Alquran yang secara sepintas telihat sama sebenarnya memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup berarti sesuai konteksnya. Sebagai contoh kata aqsama dan halafa, keduanya samasama berarti sumpah, akan tetapi ternyata keduanya memiliki implikasi berbeda. Kata aqsama selalu di gunakan untuk sumpah yang konsisten, sedangkan halafa di gunakan untuk menunjuk sumpah yang masih di langgar.28 Dalam metode tafsirnya, terlihat Bint Syati’ terobsesi untuk mengungkap makna objektif dari wahyu. Hal ini terungkap dari beberapa hal yaitu kritik tajamnya terhadap unsur-unsur ekstra-Qur’an yang masuk kepada tafsir, klaim bahwa setiap kata dalam Alquran hanya memiliki satu makna sehingga ia menolak sinonimitas dalam Alquran, penggunaan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz, dan penekanan munasabah untuk memahami makna terdalam dari ayat sesuai dengan yang dipahami oleh audien pertamanya. Beberapa alasan di atas memperlihatkan bahwa Bint Syati’ benar-benar berusaha memahami wahyu sebagaimana ‘Tuhan menghendakinya.’ Pada sisi lain, semua itu ia lakukan bukan dengan mengikuti bunyi literal ayat. Ia melakukan penalaran yang mendalam terhadap ayat. Konsep ‘surah-as-a-unity’, misalnya, memperlihatkan bahwa Bint Syati’ melakukan interpretasi bi al-ra’y untuk mengungkapnya, melalui mekanisme pengumpulan ayat-ayat, menyeleksi riwayat-riwayat untuk menyusunnya secara tartib nuzuli, dan menemukan bayan terdalam 27 Bint al-Shati’, al-Tafsir al-Bayani, 1: hal. 11. 28 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‘an Kitab Sastra ... hlm. 40
Fadhli Lukman
51
dari masing-masing ayat. Hal ini berarti bahwa meskipun Bint Syati’ terobsesi mengungkap makna original dari wahyu, ia sama sekali tidak meninggalkan akal. Pada sisi lain, ia juga tidak menempatkan penalarannya mengalahkan makna wahyu, karena ia berpandangan al-’ibrah bi ‘umum al-lafz. Itu berarti, Bint Syati’ menempatkan akal dan wahyu secara sejajar.
E. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan sederhana di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, Bint Syati’ sebagai seorang Muslim memandang Alquran sebagai kitab ibadah agama yang dibaca, sementara sebagai akademisi ia menekankan pendekatan sastra untuk mengungkap makna terdalam dari bayan Alquran. Kedua, Tafsir bagi Bint Syati’ adalah upaya untuk mengungkap makna objektif Alquran sebagaimana orang Arab pada zamannya memahaminya. Oleh sebab itu ia mengkritisi tafsir yang didasari kepada data-data ekstra-Qur’ani. Ketiga, dalam metode yang ia gunakan terlihat bawa Bint Syati’ menempatkan wahyu dan akal pada posisi yang seimbang.
Daftar Pustaka Lukman, Fadhli. “The Rising of Isra’iliyat in Early Exegetical Work and the Effect” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis edisi Juli 2010. Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010 Al-Nawawi. al-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur’an. (Jeddah: Haramayn, t.t al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Mansyurah al-‘Asr al-Hadis: 1973. Setiawan, Nur Khalis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ. 2006. al-Shati’, Bint. al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar alMa’arif. 1990. Smith, Wilfred Cantwell. Kitab Suci Agama-agama, terj. Dede Iswadi.
52
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Jakarta: Teraju, 2005. al-Suyuti. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut : Dar al-Fikr: 1979. Syamsuddin, Sahiron. An Examination of Bint Syati’’s Method of Interpreting the Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1999. Yusran, Muhammad. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006. Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nas. Beirut: Markaz al-Saqafi al‘Arabi. 2000
POLA BARU DALAM CORAK TAFSIR FIKIH (Telaah atas Pemikiran Tafsir Abdullah Ahmad An Na’im) Muhammad Makmun-Abha Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A. Pendahuluan Kajian kritis yang dilakukan oleh para pemikir-pemikir Islam kontemporer terhadap Islam dan sumber-sumbernya mendapatkan sambutan yang beragam dari beberapa akademisi baik muslim maupun non-muslim. Sebenarnya penerimaan atau penolakan terhadap pemikiran yang baru tidaklahterlalu signifikan jikalau ummat Islam atau sedikitnya diantara mereka mau membuka mata dan berpikir lebih dewasa melihat realitas dan problem-problem yang dihadapi umat islam yang sebagian besar tidak sama dengan masa lalu. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh semakin kompleksnya kasus-kasus (waqi’ah) dalam masyarakat modern yang membutuhkan jawaban yang komprehensif. Jika metode pemahaman akan sumber hukum Islam yang dalam hal ini adalah al Qur’an dan Hadits tidak lagi mampu dan memiliki relevansi dengan zaman sekarang maka secara otomatis dibutuhkan ijithad dan pemikiran-pemikiran terobosan yang mampu mencerahkan kembali kondisi ummat Islam. Dalam kondisi kemandegan inilah muncul sosok pembaharu dalam corak penfasiran yang bercorak fikih yaitu Prof. Dr. Abdullah Ahmad an Na’im. Beliau lahir dengan sejumlah pemikirannya yang ingin melakukan perombakan terhadap metode dan rumusan para ulama’ fikih klasik. Salah satu konsepnya yang terkenal liberal yakni konsep nasikh mansukh dimana ia berpendapat bahwa ayat al Qur’an yang awal me-nasakh ayat yang turun kemudian (dalam hal ini hukum ayat Makkah mengganti Hukum ayat yang turun di Madinah). Ayat Makkiyah dipandang sebagai ayat universal yang kekal dan ayat Madaniyah merupakan ayat bersifat diskriminatif dan temporal. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengupas pola pembaharuan dalam corak tafsir fikih yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Abdullah Ahmad an Na’im.