Karakteristik PerambatanGelombang Pembakaran Campuran LPG-Oksigen pada Kondisi Stoikiometris JAYAN SENTANUHADY dan JANNATI ADNIN TUASIKAL Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika 2 55281 Yogyakarta E-mail :
[email protected]
Abstract:Liquified Petroleum Gas (LPG) produced by PT Pertamina is one of the most used fuel in household application and also in industry application in Indonesia. Pertamina’s LPG contains 30% propane and 70% butane, andit has enough heating value to generate detonation wave in proper condition. Detonation wave can propagate up to 2000 m/s in velocity and up to 28 times its an initial pressure. Thus accident related to leakage on LPG combustion system can harm people, environment, and piping system. The aim of this experiment is to observe effects of an initial pressure to LPG-Oxigen combustion characteristic. The test tube used in this experiment has 50 mm of inner diameter and 6000 mm in length. This tube is divided into two sections which are 1000 mm in length for driver section and 5000 mm in length for driven section. Driver section and driven section are separated by mylar film to prevent mixing between driver gas and driven gas which are usually containing different gas mixture and different pressure. Three pressure sensors are installed to detect the shockwave propagation and also three ionization probe sensors are used to detect the time arrival of flame front. The driver section contained hydrogen-oxygen mixture to ignite detonation in driven section as direct initiation with an initial pressure of 100 kPa at stoichiometric condition. The driven section contained stoichiometric mixture of LPG and oxygen with an initial pressure varied from 10 to 100 kPa. Three typicals of combustion inside the driven tube are observed in this experiment, which are (a) deflagration, occurred when the flame front propagate at subsonic speed (b) unstable detonation, occurred when flame front propagate with highly fluctuating supersonic velocity and (c) stable detonation, occurred when flame front propagate with stable supersonic velocity. Deflagration occurred at initial pressure of 10 kPa, while unstable detonation occurred at initial pressure of 20 kPa up to 50 kPa, and stable detonation occurred at initial pressure of 60 kPa up to 100 kPa. Results of this experiment indicates that LPG-Oxygen mixture is highly detonable for initial pressure above 20 kPa. Keyword: LPG combustion, detonation, deflagration
1. PENDAHULUAN Liquified Petroleum Gas (LPG) merupakan salah satu bahan bakar yang paling banyak digunakan di Indonesia, baik untuk keperluan rumah tangga maupun penggunaan di industri. Beberapa industri menambahkan oksigen pada pembakaran LPG untuk meningkatkan temperatur dan energi yang dihasilkan dalam proses pembakaran. Akan tetapi, penambahan oksigen akan meningkatkan risiko terbentuknya gelombang detonasi pada proses pembakaran. Lebih lanjut, jika terjadi kebocoran pada sistem pembakaran LPG yang juga menggunakan oksigen sebagai oksidizer dapat menghasilkan gelombang detonasi yang dapat membahayakan manusia, lingkungan dan sistem perpipaan di sekitarnya. LPG yang digunakan di Indonesia diproduksi oleh Pertamina memiliki komposisi 30% propana dan 70% butana. LPG Pertamina memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda dibandingkan dengan LPG yang diproduksi di negara lain karena perbedaan komposisi dari LPG yang diproduksi di tiap negara, sehingga data keselamatan berkaitan dengan pembakaran gas LPG dari negara lain
menjadi tidak presisi untuk diaplikasikan di Indonesia. Untuk mengendalikan dan mencegah kecelakaan yang berkaitan dengan kegagalan sistem pembakaran LPG di Indonesia danmemastikan keselamatan orang di sekitarnya, karakteristik pembakaran LPG produksi Pertamina perlu diketahui dan dipelajari. Gelombang pembakaran dapat merambat dengan beberapa fase, dari kecepatan rendah hingga kecepatan tinggi. Gelombang pembakaran yang merambat di bawah kecepatan sonik (suara)disebut gelombang deflagrasi, sedangkan gelombang pembakaran yang merambat di atas kecepatan sonikdisebut gelombang detonasi. Gelombang detonasi sendiri dapat terbentuk dari gelombang deflagrasi yang mengalami percepatan selama merambat sampai melampaui kecepatan sonik. Pada perambatan gelombang detonasi, selalu timbul shock wave dengan kecepatan yang sangat tinggi dengan tekanan mencapai 30 kali tekanan awal dan selalu merambat tepat di depanperambatan gelombang pembakaran (flame front).
Pada 2002 Mishra et al. melakukan pengujian untuk mengidentifikasi flammability limit dari campuran LPGUdara, dimana LPG terdiri dari 29% butana dan 70% propana [1]. Mishra menggunakan pipa terbuat dari kaca borosilicatedengan diameter dalam 50 mm dan panjang 1200 mm sesuai dengan standar dari US Bureu of Mines. Mishra mendapatkan hasil bahwa Lower Flamability Limit (LFL) adalah 1,81% LPG dan Upper Flamability Limit (UFL) adalah 8,86% LPG. Sentanuhady et al. pada tahun 2010 melakukan penelitian untuk menentukan flammability limit dari campuran LPG Pertamina-Udara dengan tekanan awal 100 kPa dan equivalence ratio divariasikan [2]. Penelitian tersebut menggunakan pipa uji detonasi dengan panjang total 6 m dan diameter dalam 50 mm yang terdiri dari bagian driver sepanjang 1 m dan bagian driven sepanjang 5 m. Bagian driver diisi dengan campuran hidrogenoksigen untuk menginisiasi detonasi campuran LPGUdara di bagian driven.Dari penelitian tersebut didapatkan Lower Flamability Limit (LFL) adalah 4% LPG danUpper Flamability Limit (UFL) adalah 13% LPG. Pada penelitian tersebut detonasi hanya timbul pada campuran dengan 6 % LPG. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa shock wave yang dihasilkan dari pembakaran LPG dapat merambat hingga mencapai kecepatan 1569 m/s dengan tekanan mencapai 30 kali tekanan awalnya.Pada tahun 2010 Sentanuhady et al. juga melakukan penelitian mengenai flame quenching menggunakan campuran LPG-oksigen dengan equivalence ratio 1 pada sebuah constant volume combustion chamber [3]. Pada penelitian tersebut gelombang detonasi tidak timbul dikarenakankecilnya ruang bakar sehingga tidak memungkinkan terjadinya perambatan dan akselerasi lebih lanjut dari flame front untuk membentuk gelombang detonasi. Efek dari tekanan awal campuran bahan bakaroksidizer terhadap karakteristik pembakaran dan detonasi telah diteliti sebelumnya oleh Stamps et al. pada tahun 1991 menggunakan campuran hidrogen-udara dengan diluentkarbon dioksida, uap air, excess air dan excess hidrogen[4]. Stamps menemukan bahwa tekanan awal campuran bahan bakar-oksidizer berbanding terbalik dengan lebar sel detonasi, meskipun pada beberapa pengujian kenaikan nilai tekanan awal disertai dengan pengurangan lebar sel detonasi yang tidak signifikan. Pada tahun 1999, Schultz melakukan penelitian menggunakan bahan bakar hidrogen, etilene, maupun propana dengan oksigen sebagai oksidizer dan beberapa jenis diluent antara lain argon, karbon dioksida, helium, and nitrogen [5]. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa nilai laminar burning velocity berbanding lurus dengan tekanan awal campuran. Semakin tinggi tekanan awal campuran bahan bakar-oksidizer, semakina cepat perambatan pambakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari tekanan awal campuran LPG-Oksigen terhadap karakteristik pembakaran, termasuk kemungkinan terjadinya detonasi. Lebih lanjut, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam perancangan dan pengembangan flame arrester untuk sistem pembakaran dengan LPG. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, UGM. Skema peralatan yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada gambar 1. Peralatan penelitian terdiri dari Pipa Uji Detonasi (PUD), sensor tekanan, sensor ionisasi, sistem akuisisi data, dan sistem pencampuran gas.PUD memiliki panjang total 6 m dengan diameter dalam 50 mm dan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian driver sepanjang 1 m dan bagian driven sepanjang 5 m. PUD dilengkapi dengan dump tank yang dikondisikan vakum untuk mencegah shock waveterpantul ke arah upstream setelah melalui bagian driven. Masing-masing bagian tersebut dipisahkan dengan lapisan mylar untuk mencegah pencampuran gas pada bagian driver, driven, dan dump tank tidak bercampur, serta untuk memastikan tekanan di tiap-tiap bagian tersebut sesuai dengan kondisi eksperimen. Tiga sensor tekanan PCB Piezoelectric 113A24 digunakan pada penelitian ini untuk mendeteksi perambatan shock waveyang timbul akibat proses pembakaran. Sensor tersebut dipasang pada bagian driven pada jarak 5 m dari busi, dan masing-masing sensor berjarak 70 mm. Selain itu, tiga sensor ionisasi digunakan untuk mendeteksi perambatan flame front yang masingmasing sensor dipasang berlawanan dengan sensor tekanan. Untuk memvisualisasikan perambatan pembakaran, plat aluminium yang permukaannya dilapisi jelaga (sooted track record) dari pembakaran minyak tanah diletakkan dalam pipa uji detonasi pada lokasi yang sama dengan lokasi sensor.
Gambar 1.Skematik peralatan eksperimen Tabel 1. Kondisi eksperimen Parameter Bahan bakar Oksidizer Equivalence Ratio Tekanan Awal (kPa) Temperatur Awal Mixing Method
Driver Hidrogen Oksigen 1 100 Suhu ruang Premixed
Driven LPG Pertamina Oksigen 1 10-100, interval 10 Suhuruang Premixed
Bagian driverpada pipa uji dari diisi campuran hidrogen-oksigen pada kondisi stoikiometris dengan tekanan awal 100kPa yang berfungsi untukmenginisiasi detonasi di bagian driven. Bagian driven diisi dengan campuran gas yang akan diamati, yaitu campuran LPGOksigen pada kondisi stoikiometris dengan tekanan awal divariasikan dari 10 kPa hingga 100 kPa dengan interval 10. Campuran gas baik pada bagian driver maupun driven dicampur terlebih dahulu (premixed) di dalam mixing tank dan didiamkan selama 12 jam sebelum digunakan pada pengujian untuk memastikan homogenitas dari campuran. Proses pengisian gas ke dalam PUD dikontrol
dengan high precision digital pressure sensor untuk memastikan keakuratan tekanan awal campuran gas di dalam PUD. Rincian dari kondisi eksperimen pada penelitian ini tercantum pada tabel 1. Pembakaran diinisiasi oleh busi pada ujung awal bagian driver, dan menginisiasi detonasi campuran hidrogen-oksigen pada bagian driver. Kemudian detonasi merambat ke arah bagian driven, membakar lapisan mylar dan menginisiasi detonasi secara langsung campuran LPG-Oksigen pada bagian driven.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian ini dapat diobservasi tiga kondisi pembakaran, yaitu (1) deflagrasi (deflagration), dimana flame front merambat dengan kecepatan subsonik, (2) detonasi tidak stabil (unstable detonation), dimana flame front dan shock wave merambat pada daerah kecepatan supersoniksecara fluktuatif dan (3) detonasi stabil (stable detonation), dimana flame front dan shock wave merambat dengan stabil pada kecepatan supersonik.
Deflagrasi merupakan tipe pembakaran dimana flame front merambat dengan kecepatan subsonik dan secara natural pembakaran ini juga akan terbentuk gelombang tekanan jauh di depan flame front. Jarak antara flame front dan gelombang tekanan tergantung dari kecepatan rambat pembakaran deflagrasi tersebut. Semakin tinggi kecepatan rambat pembakaran, maka jarak flame front dan gelombang tekanan menjadi lebih dekat. Gambar 2(a) menunjukkan data tekanan dan kecepatan perambatan pembakaran pada kondisi deflagrasi dengan tekanan awal 10 kPa. Sumbu vertikal menunjukkan tekanan non dimensi dan sumbu horizontal menunjukkan waktu. Waktu kedatangan flame front melewati sensor ditandai dengan penurunan kurva ionization probe, sedangkan waktukedatangan dan besarnya gelombang tekanan ditandai dengan kenaikan kurva tekanan.Dari gambar 2(a), terlihat bahwa flame front terdeteksi pada semua lokasi sensor, yang menunjukkan bahwa perambatan gelombang pembakaran terjadi pada semua lokasi sensor. Lebih lanjut pada setiap lokasi sensor,flame front tedeteksi setelah gelombang tekanan melalui lokasi sensor, sehingga dapat dikatakan flame frontmerambat di belakang perambatan gelombang tekanan. Kondisi seperti inidisebut kondisi deflagrasi.Kondisi ini juga tampak dari visualisasi pembakaran pada gambar 3(a) dimana tidak terbentuk sel detonasi sepanjang soot track record.Dari hasil perhitungan kecepatan rambatflame frontpada kondisi ini adalah sebesar 691,9 m/s yang jauh lebih lambat dari kecepatan teoritis detonasi Chapman-Jougout (CJ) sebesar 2589 m/s. Bila dilihat dari tekanan, nilai tekanan tertinggi terdeteksi pada sensor 3 sebesar 53,8 kPa, yaitu 5,38 kali tenanan awal. Nilai tekanan tertinggi yang terdeteksi tersebut jauh lebih rendah dari nilai tekanan teoritis CJ sebesar 535 kPa. Jadi dapat disimpulkan kondisi-kondisi seperti pada gambar 2(a) adalah kondisi deflagrasi dengan kecepatan rambat 100
LPG-O2 Po=10kPa
100
100
LPG-O2 Po=40kPa
ion probe
ion probe
80
P1 60
P2
80
P1
P1
60
P2 40
P3
0 -0.0002 -0.0001
40
P3
20
0.0001
0.0002
time (s)
(a)
0.0003
0.0004
0.0005
P2
P3
20
0
LPG-O2 Po=100kPa
ion probe
80
60
40
gelombang pembakaran yang relatif rendah bila dibandingkan dengan kecepatan rambat pembakaran pada kondisi detonasi. Gelombang detonasi merupakan pembakaran dimana flame front merambat dengan kecepatan supersonik, sehingga akibat dari perambatan supersonik ini akan timbul shockwave didepan flame front(reaction wave) dan kedua gelombang tersebut akan merambat secara berimpit. Ciri lain yang menunjukkan terjadinya gelombang detonasi adalah terbentukknya sel detonasi yang menyerupai sisik ikan(fish scale pattern)pada soot track record akibat interaksi incident shock wave, transvese shock wave dan mach stem.Gelombang detonasi dapat merambat dengan kondisi yang tidak stabil bila detonasi tersebut mendekati daerah DDT (deflagration to detonation transition) atau pada kondisi timbulnya hot spot setelah detonasi merambat setelah melalui hambatan(obstacle). Detonasi tidak stabil (unstable detonation) didefinisikan sebagai detonasi yang merambat dengankecepatan rambat yang sangat fluktuatif. Di atas sooted track record yang dilalui gelombang detonasi yang tidak stabil, akan tampak ukuransel detonasi yang tidak merata. Gambar 2(b) menunjukkan data tekanan dan kecepatan perambatan pembakaran pada kondisi tekanan awal 40 kPa. Terlihat dari gambar 2(b), perambatan flame front dideteksi bersamaan dengan perambatan shock wave pada setiap lokasi sensor, sehingga dapat disimpulkan bahwa gelombang detonasi terjadi pada kondisi tekanan awal 40 kPa ini.Kecepatan rerata perambatan flame front terhitung dari data sensor sebesar 1928,125 m/s yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kecepatan teoritis CJ sebesar 2656 m/s. Dilihat dari nilai tekanan shock wavetertinggi yang dapat dideteksi pada kondisi ini mencapai 15,54 kali tekanan awal yaitu 621.77 kPa, yang juga bernilai lebih kecil dari nilai tekanan teoritis CJ sebesar 2230 kPa.
20
0 -0.0008 -0.0006 -0.0004 -0.0002
0
0.0002 0.0004 0.0006 0.0008
0 -0.0004 -0.0002
time (s)
(b)
0
0.0002
0.0004
0.0006
0.0008
0.001
time (s)
(c)
Gambar 2. Data kecepatan dan tekanan pada kondisi (a) deflagrasi, pada Po=10kPa (b) detonasi tidak stabil,pada Po=40kPa (c) detonasi stabil, at Po=100kPa
Hasil visualisasi pembakaran pada kondisi tekanan awal 40 kPa,ditunjukkan gambar 3(b) yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan visualisasi pembakaran yang terekam pada sooted track recordyangdipasang padajarak 5 sampai dengan 5,1mdari busi.Sooted track recordini berada lokasi yang sama dengan lokasi sensor tekanan dan ionisasi. Bagian keduamerupakan visualisasi pembakaran yang terekam pada sooted track record yang dipasang pada jarak 5,7 sampai dengan 5,8m dari busi yang merupakan lokasi yang dimana tidak ada sensor terpasang. Pada kedua gambar terlihat bahwa sel detonasi terbentuk. Ukuran sel detonasi berkaitan dengan kecepatan perambatan detonasi, semakin tinggi kecepatan detonasi merambat, mengakibatkan interaksi antara incident shock wave, transverse shock wave dan mach stemterjadi semakin cepat sehingga lebar sel detonasi yang terbentuk semakin kecil.Sel detonasi yang terbentuk pada lokasi berjarak 5 sampai dengan 5,1 m dari busi terlihat pada gambar 3(b) bagian pertama memiliki ukuran seragam yaitu dengan lebar sel 1,8 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada
lokasi berjarak 5 sampai dengan 5,1 m dari busi, detonasi merambat dengan kecepatan relatif stabil yaitu sebesar 1928,125 m/s sebagaimana terekam oleh sensor. Hal berbeda ditunjukkan gambar 3(b)bagian kedua dimana pada lokasi berjarak 5,7 sampai dengan 5,8m dari busi sel, detonasi yang terbentuk cenderung membesar seiring perambatan detonasi ke arah downstream.Dapat dikatakan seiring dengan perambatan detonasi ke arah downstream, pada lokasi berjarak 5,7 -5,8 m dari busi, detonasi mengalami perlambatan. Nilai kecepatan pada lokasi ini tidak dapat dihitung karena tidak adanya sensor yang terpasang pada lokasi ini, akan tetapi dari sooted track record tampak ukuran sel detonasi membesar yang menunjukkan penurunan kecepatan reaksi pembakaran.Lebih lanjut, tidak dapat dipastikan apakah detonasi akan berakselerasi lagi dan membentuk detonasi stabil atau justru mengalami perlambatan lebih lanjut dan mati dengan sendirinya, dikarenakan keterbatasan panjang pipa uji detonasi yang digunakan. Kondisi detonasi tidak stabil juga teramati pada tekanan awal 20, 30, dan 50 kPa.
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Visualisasi pembakaran pada plat aluminium (a) deflagrasi, Po=10kPa (b) detonasi tidak stabil, Po=40kPa(d) detonasi stabil, Po=100kPa
Detonasi stabil merupakan detonasi yang merambat dengan kecepatan stabil yang diindikasikan oleh ukuran sel detonasi yang seragam pada sooted track record. Gambar 2(c) menunjukkan data tekanan dan kecepatan perambatan pembakaran pada kondisi tekanan awal 100 kPa. Pada semua lokasi sensor flame front merambat bersamaan dengan perambatan shock wave, sehingga dapat dikatakan detonasi terjadi di setiap lokasi sensor pada kondisi tekanan awal 100 kPa. Kecepatan rerata perambatan flame front terhitung dari data sensor sebesar 2320.10 m/s lebih rendah dari kecepatan teoritis CJ sebesar 2698 m/s. Nilai tekanan tertinggi terdeteksi pada kondisi ini mencapai 29.53 kali tekanan awal yaitu 2952.60 kPa yang juga bernilai lebih kecil dari nilai tekanan teoritis CJ sebesar 5759 kPa. Gambar 3(c) merupakan visualisasi dari perambatan pembakaran pada tekanan awal 100 kPa. Bagian pertama dari gambar 3(c) merupakan visualisasi pembakaran pada lokasi berjarak 5 sampai dengan 5,1 m dan bagian kedua merupakan visualisasi pembakaran pada lokasi berjarak 5,5 sampai dengan 5,7 m dari busi. Pada kedua lokasi terlihat sel detonasi yang terbentuk pada kondisi tekanan awal 100 kPa berukuran seragam yaitu sebesar 0,86 mm sehingga dapat dikatakan bahwa kecepatan perambatan detonasi stabil di sepanjang PUD. Kondisi detonasi stabil ini terjadi pada tekanan awal 60, 70, 80, 90, dan 100 kPa Hasil penelitian berupa tipe pembakaran untuk masing-masing kondisi tekanan awal tercantum pada tabel 1.Deflagrasi hanya terjadi hanya pada kondisi tekanan awal 10 kPa, sedangkan detonasi terjadi pada tekanan awal yang lebih tinggi. Detonasi tidak stabil terjadi pada kondisi tekanan awal 20, 30, 40, dan 50 kPa, sedangkan detonasi stabil terjadi pada tekanan awal 60, 70, 80, 90, dan 100 kPa. Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tekanan awal dengan tekanan shock wave. Kurva dotted linemenunjukkan nilai tekanan teoritis CJ, sedangkan kurva solid linemenunjukkan nilai tekanan maksimum aktualshock wave yang terdeteksi. Terlihat nilai tekanan aktual dari shock waveselalu lebih rendah dari nilai tekanan teoritis CJ, hal ini dikarenakan berbagai asumsi dan idealisasi yang digunakan dalam perhitungan teoritis, sehingga nilai dari tekanan CJ relatif lebih tinggi dari nilai tekanan yang diperoleh dari eksperimen.Dari hasil penelitian ini dapat diobservasi bahwa nilai tekanan maksimumshock waveterjadi pada kondisi tekanan awal 100 kPa, yaitu mencapai 2952,60 kPa. Gambar 5 menunjukkan hubunganantara tekanan awal dengankecepatan perambatan flame front. Kurva dotted line menunjukkan nilai kecepatan teoritis CJ, sedangkan kurva solid linemenunjukkan nilai kecepatan rerata aktual shock wave yang terdeteksi. Kecepatan aktual perambatan flame front dihitung dari data, yaitu membagi jarak antara dua sensor dengan durasi waktu
dideteksinyaflame front pada kedua sensor tersebut. Dari gambar 5 terlihat bahwa kecepatan aktual dari flame front selalu lebih rendah daripada nilai kecepatan teoritis CJyang diakibatkan berbagai asumsi dan idealisasi yang digunakan dalam perhitungan teoritis. Selain itu kecepatan aktual dari flame frontteramati meningkat seiring dengan peningkatan tekanan awal campuran gas dalam pipa uji, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Schultz [5]. Lebih lanjut, terlihat bahwa pada tekanan awal campuran 10 kPa kecepatan flame front mencapai 691,9 m/s yang telah melampaui kecepatan sonik, akan tetapi detonasi belum terbentuk. Hal ini disebabkan karena pada lokasi tersebut flame front belum dapat menyusulshock wave yang merambat di depannya.Bila pipa uji yang digunakan lebih panjang, dapatdipastikan flame front akanberakselerasi sehingga dapat menyusul perambatan shock wave dan terbentuk gelombang detonasi. Gambar 6 menunjukkan hubungan antara tekanan awal campuran gas dengan lebar sel detonasi. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi tekanan awal dari campuran, sel detonasi yang terbentuk semakin kecil, dimana hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Stamps [4]. Hal tersebut disebabkan nilai tekanan awal berbanding lurus dengan kecepatan perambatan detonasi sendiri, seperti yang ditunjukkan gambar 4. Ketika detonasi merambat dengan lebih cepat, maka interaksi antara triple point akan terjadi lebih cepat, sehingga menghasilkan sel detonasi yang lebih kecil. Tabel2. Karakteristik perambatan pembakaran terhadap tekanan awal Tekanan Awal(kPa) 10 20,30,40,50 60,70,80,90,100
Mekanisme Pembakaran Deflagrasi Detonasi tidak stabil Detonasi stabil overall data
6000
5000
4000
3000
2000
1000
P max P CJ
0 0
20
40
60
80
100
120
Po (kPa)
Gambar4. Pengaruh tekanan awal campuran terhadap tekanan shock wave
3000
2500
2000
1500
1000
V actual V CJ
500 0
20
40
60
80
100
120
Po (kPa)
Gambar 5. Pengaruh tekanan awal campuran terhadap kecepatan perambatan overall data shock wave 7
REFERENSI
cell width
6
5
4
3
2
1
0 0
20
40
60
80
100
(3) detonasi stabil, dimana flame front merambat dengan kecepatan supersonik yang stabil. Deflagrasi hanya terbentuk pada tekanan awal campuran gas yang sangat rendah yaitu 10 kPa, sedangkan untuk nilai tekanan awal lebih tinggi dapat menimbulkan terbentuknya detonasi. Detonasi tidak stabil terjadi pada tekanan awal 20 hingga 50 kPa dan detonasi stabil terjadi pada nilai tekanan awal 60 hingga 100 kPa. Dari hasil tersebut diketahui bahwa detonasi terjadi pada hampir semua nilai tekanan awal, kecuali pada tekanana awal 10 kPa. Pada kondisi deflagrasi yang terjadi pada tekanan 10 kPa juga merambat dengan kecepatan di atas kecepatan sonik yang memiliki kemungkinan untuk membentuk detonasi jika pipa uji yang digunakan lebih panjang. Pada campuran gas LPG-oksigen dengan kondisi stoikiometris diperolehbahwa dapat terjadi detonasi pada berbagai tekanan awal, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengendalikan detonasi dari campuran LPGoksigen.
120
Po (kPa)
Gambar6. Hubungan antara tekanan awal campuran gas dengan lebar sel detonasi 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat diobservasi efek dari variasi tekanan awal campuran gas LPG-oksigen terhadap karakteristik perambatan pembakarannya.Tiga karakteristik perambatan gelombang pembakaran juga dapat diobservasi, yaitu (1) deflagrasi, dimana flame front merambat dengan kecepatan subsonik, (2) detonasi tidak stabil dimana flame front merambat dengan kecepatan supersonikakan tetapi merambat dengan fluktuatif, dan
1. Mishra D.P., Rahman A., 2002, An Experimental Study of Flamability Limits of LPG/Air Mixtures,Fuel 82: 863–866, Elsevier. 2. Sentanuhady, Jayan., Khollis Febryanto, 2010, Flammability Limit Campuran Liquid Petrolium Gas-Udara, Proceeding Seminar Nasional Thermofluid 2010. 3. Sentanuhady, Jayan., Eko Prabowo, Tri Agung Rohmat.,2010.,Karakteristik Perambatan Api Melalui Celah Sempit Dengan Bahan Bakar Campuran LPG dan Oksigen, Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9. 4. Stamps, Douglas W., And Sheldon R. Tieszen, 1991.,The Influence of Initial Pressure and Temperature on HydrogenAir-Diluent Detonation, Combustion and Flame 83:353-364, Elsevier. 5. Schultz, E., E. Wintenberger dan J. Sheperd,1999, Investigation of Deflagration to Detonation Transition for Application to Pulse Detonation Engine Ignition Systems,36th JANNAFCombustion and Airbreathing Propulsion Subcommittees Meeting. CocoaBeach, Florida.