KARAKTERISTIK PEPTIDA KOLAGEN TERIPANG GAMA (Stichopus variegatus) SEBAGAI INGRIDIEN POTENSIAL PANGAN FUNGSIONAL ANTIHIPERTENSI
MUHAMMAD HABBIB KHIRZIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Peptida Kolagen Teripang Gama (Stichopus variegatus) sebagai Ingridien Potensial Pangan Fungsional Antihipertensi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016
Muhammad Habbib Khirzin F251130081
_________________________ *Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN MUHAMMAD HABBIB KHIRZIN. Karakteristik Peptida Kolagen Teripang Gama (Stichopus variegatus) sebagai Ingridien Potensial Pangan Fungsional Antihipertensi. Dibimbing oleh SUKARNO, NANCY DEWI YULIANA dan EKOWATI CHASANAH. Teripang merupakan hewan berkulit duri (echinodermata) yang memiliki panjang tubuh 10-30 cm dengan warna bervariasi dan banyak ditemukan di dasar perairan yang jernih. Teripang gama merupakan salah satu jenis teripang yang memiliki warna tubuh hijau tua dengan bintik-bintik kecil berwarna putih dan banyak ditemui di perairan Lampung dan Nusa Tenggara. Teripang diketahui memiliki berbagai komponen bioaktif yang bermanfaat untuk kesehatan. Teripang kering memiliki kandungan protein yang tinggi dimana 70% nya merupakan protein kolagen. Hidrolisis kolagen secara enzimatis menghasilkan hidrolisat yang mengandung peptida kolagen. Produk ini dilaporkan memiliki bioaktivitas yang bermanfaat untuk kesehatan diantaranya penghambat enzim ACE (antihipertensi) dan antioksidan. ACE merupakan enzim peptidil-dipeptidase yang mengkatalisis perubahan substrat angiotensin I menjadi angiotensin II. Perubahan ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga tekanan darah menjadi meningkat. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat proses oksidasi di dalam tubuh sehingga kerusakan metabolisme yang diakibatkan oleh paparan radikal bebas dapat dihambat. Saat ini masyarakat cenderung kembali ke bahan alami karena dinilai lebih aman terhadap kesehatan. Eksplorasi bahan alami dan khasiatnya terus dikembangkan sebagai sumber pangan fungsional maupun obat tanpa efek samping. Salah satunya yaitu eksplorasi teripang gama sebagai sumber kolagen dan peptidanya sebagai agen penghambat enzim ACE (ACE inhibitor) dan antioksidan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas penghambatan ACE dan antioksidan peptida kolagen teripang gama. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu: 1) pra-perlakuan, 2) ekstraksi kolagen, 3) hidrolisis kolagen. Ekstraksi kolagen memberikan hasil rendemen sebesar 16.40% dengan berat molekul sebesar 130.33 kDa. Hidrolisis kolagen dengan enzim pepsin mencapai derajat hidrolisis tertinggi pada waktu inkubasi 120 menit dengan persentase sebesar 54.61% dan kolagen terhidrolisis menjadi 3 fraksi peptida dengan berat molekul 95.03-91.91 kDa; 47.14-42.06 kDa; dan 29.55-24.1 kDa. Aktivitas penghambatan ACE terbaik terdapat pada peptida yang dihidrolisis selama 180 menit dengan persen penghambatan sebesar 82.31% sedangkan aktivitas antioksidan terbaik terdapat pada peptida yang dihidrolisis selama 120 menit dengan nilai inhibition concentration 50 (IC50 ) sebesar 1.9 mg/ml. Kata kunci: teripang gama, peptida kolagen, ACE inhibitor, antioksidan
SUMMARY MUHAMMAD HABBIB KHIRZIN. Study on Antihypertensive Activity of Collagen Peptides from Gama Sea Cucumber (Stichopus variegatus) as a Potential Ingredient of Functional Food. Supervised by SUKARNO, NANCY DEWI YULIANA and EKOWATI CHASANAH. Sea cucumber is one of echinoderm (thorn-skined animals) which has body length about 10-30 cm. It has various colors and dwelt in the bottom of the sea. Gama sea cucumber is one of sea cucumber’s species which has dark green body loss, with small spots around it. They can be found around Lampung’s or Nusa Tenggara’s coastal region. They are known to have bioactive compound which has benefit for health. Dried sea cucumber contains a high level of protein, in which 70% of the protein consists of collagen. Enzymatic hydrolysis of collagen produces hydrolysates which contains collagen peptides. Researches have already reported that marine peptides posses bioactive compound which is good for health such as ACE inhibitor (Antihypertensive) and antioxidant. ACE is a peptidyl-dipeptidase enzyme which is catalyzes angiotensin I to be angiotensin II. This transformation can cause vasoconstriction of blood vessel and thus increase the blood pressure level (hypertension). In the other side, antioxidant are compound which are able to prevent oxidation process in our body so metabolism failure can be inhibited. Nowadays people prefer to use natural products because of their safety health. Exploration of natural products and their benefit are developed continuosly as functional food and possibilities to provide healing without side effect. One of them is the exploration of sea cucumber as source of collagen and its peptides as ACE inhibitor (antihypertensive) and antioxidant. Accordingly, aim of this research was to assess ACE inhibitor and antioxidant activity of sea cucumber collagen peptides. This research was divided into 3 steps: 1) pretreatment, 2) extraction of collagen, 3) hydrolysis of collagen. Extraction of collagen produced yield of 16.40% with molecular weight of 130.33 kDa. Hydrolysis of collagen with pepsin enzyme produced highest degree of hydrolysis at incubation time of 120 minutes with percentage of 54.61%. Collagen peptides has been obtained in the form of three fractions. First fraction had moleculer weight between of 95.03-91.91 kDa, the second fraction had moleculer weight of 47.14-42.06 kDa, and the third fraction had moleculer weight of 29.55-24.1 kDa. The best level of antioxidant activity of peptides was obtained from 120 minutes hydrolysis (IC50 1.9 mg/ml) while ACE inhibitors activity was the highest in the peptides resulted from 180 minutes hydrolysis with a percent inhibition of 82.31%. Keywords: gama sea cucumber, collagen peptides, ACE inhibitor, antioxidant
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK PEPTIDA KOLAGEN TERIPANG GAMA (Stichopus variegatus) SEBAGAI INGRIDIEN POTENSIAL PANGAN FUNGSIONAL ANTIHIPERTENSI
MUHAMMAD HABBIB KHIRZIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 hingga Agustus 2015 ini ialah Karakteristik Peptida Kolagen Teripang Gama (Stichopus variegatus) sebagai Ingridien Potensial Pangan Fungsional Antihipertensi. Riset ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian APBN Balai Besar Penelitian Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sukarno MSc, Ibu Dr Nancy Dewi Yuliana STP MSc, dan Ibu Dr Ir Ekowati Chasanah MSc selaku tim komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bantuan, motivasi dan saran selama proses penyusunan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Endang Prangdimurti MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tesis. Di samping itu, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs H Agung Darmanto (Ayah), Dra Hj Sulikah (Ibu), Dhina Rohmah Halimatul Azizah (adik), Laily Yunita Susanti SPd MSi (istri) dan keluarga besar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Pascasarjana IPB Dr Ir Dahrul Syah MSc dan Kepala Program Studi Ilmu Pangan Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc yang telah memberikan izin untuk penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada para peneliti Balai Besar Penelitian Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Bu Nuri, Pak Nursid, Bu Dewi Z, Bu Dewi R, Pak Tamrin, Pak Dedy, Bu Dini, Bu Tati, Bu Rinta, Bu Elena, para teknisi dan staff Mas Benget, Mbak Maya, Mbak Candra, Mbak Iis, Mas Joe, Mbak Hana, Mas Yudi, Pak Har, Pak Tomi, Pak Agus yang telah banyak membantu dan kepada rekan pejuang BBP4BKP Bu Sherly, Bang Sepri, Hana, Ayu, Gita, Gesti, Omi, Anjar, Ifah, Nur, Sabrina, Erni, Fajar, dan April yang selalu kompak dan saling mendukung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar Ilmu Pangan angkatan 2013, FORMASIP dan staff Departemen Ilmu Pangan yang telah membantu, sahabat wisma sas Alvian, Ridho, Haga, Rahman, keluarga besar UBIPB Fajrin, Alif, barok, Wahida, Nora, Miftah, Tirta, dan sahabat-sahabat Hendratna, Silvie, Mas Novan, dan Winda RG yang selalu membantu dalam penelitian dan memberikan support demi terselesaikannya tesis. Terakhir ucapan terima kasih disampaikan kepada DIKTI yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi program magister dengan beasiswa BPPDN 2013 dan BBP4BKP Jakarta Pusat yang telah memberikan kesempatan penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2016
Muhammad Habbib Khirzin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Teripang Kolagen Ekstraksi Kolagen Pangan Fungsional Peptida Bioaktif Hipertensi Antioksidan
4 4 6 8 10 12 13 16
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Pra-perlakuan Ekstraksi Kolagen Hidrolisis Kolagen Penentuan Derajat Hidrolisis dan Pola Peptida Kolagen Derajat Hidrolisis Pola Peptida Kolagen Uji Bioaktivitas Peptida Kolagen Uji Penghambatan ACE Uji Antioksidan Rancangan dan Analisis Data
19 19 19 19 21 21 21 21 21 22 22 22 23 23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku Pra-perlakuan dan Ekstraksi Kolagen Rendemen Kolagen Persen Derajat Hidrolisis Pola Peptida Kolagen dan Hidrolisat Kolagen Aktivitas Penghambatan ACE
24 24 24 26 27 29 31
Aktivitas Antioksidan
33
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran Ucapan Terima Kasih
36 36 36 36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
45
RIWAYAT HIDUP
52
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Kandungan gizi teripang Komposisi asam amino kolagen tipe I (residu/1000residu) Metode ekstraksi kolagen dari berbagai sumber bahan Aktivitas penghambatan ACE dari berbagai sumber bahan Aktivitas antioksidan dari berbagai sumber bahan Persen derajat hidrolisis dari berbagai substrat, metode, dan enzim
5 8 9 16 17 29
DAFTAR GAMBAR 1 Teripang gama (Stichopus variegatus) 2 Struktur kimia kolagen tipe I.a) sekuens asam amino primer, b) struktur sekunder left handed helix dan tersier right handed triple-helix, c) struktur kuartener 3 Skema kerja penelitian 4 Teripang gama segar (Stichopus variegatus) 5 Kolagen teripang gama 6 Derajat hidrolisis kolagen teripang gama 7 Pola hidrolisis kolagen oleh enzim pepsin dengan aktivitas 0.1 U/mg 8 Aktivitas penghambatan ACE peptida kolagen 9 Aktivitas penangkalan radikal DPPH peptida kolagen
5
7 20 24 26 28 30 32 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Komposisi dan pereaksi SDS PAGE Perhitungan berat molekul kolagen dan peptida kolagen Analisis keragaman dan uji lanjut untuk persen derajat hidrolisis Analisis keragaman dan uji lanjut untuk aktivitas penghambatan ACE Analisis keragaman dan uji lanjut untuk aktivitas antioksidan Dokumentasi penelitian
47 49 50 51 52 53
PENDAHULUAN Latar Belakang Teripang merupakan salah satu hewan berkulit duri (Echinodermata) yang memiliki warna bervariasi, tubuhnya bulat dan silindris memanjang, berlendir, banyak ditemukan di dasar perairan yang jernih, tenang, dan di wilayah yang banyak ditumbuhi oleh lamun, rumput laut, dan terumbu karang. Makanan utama teripang adalah organisme kecil, detritus, protozoa, dan nematoda (Kustiariyah 2007). Permintaan pasar dunia terhadap ketersediaan teripang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Beberapa komoditas ekspor teripang Indonesia diantaranya teripang pasir, teripang hitam, teripang getah, teripang merah, dan teripang coklat (Martoyo et al. 2000). Harga jual teripang tersebut di pasaran bervariasi antara Rp 50.000,00 hingga Rp 300.000,00 per kg bahkan jenis teripang pasir yang sudah dikeringkan bisa mencapai Rp 1.000.000,00 per kg (KKP 2013). Teripang gama merupakan salah satu jenis teripang yang memiliki ciri tubuh berwarna hijau tua dengan bintik-bintik kecil berwarna putih, tubuh bagian dalam berwarna abu-abu muda, memiliki panjang 20-30 cm, bertekstur kenyal, dan tubuhnya silindris memanjang. Teripang ini jumlahnya cukup melimpah akan tetapi nilai ekonomisnya masih rendah. Teripang gama banyak dijumpai di perairan Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara (Setyastuti dan Purwati 2015). Teripang di beberapa negara Asia merupakan salah satu makanan yang lezat dan telah diperdagangkan selama ribuan tahun. Teripang mengandung berbagai komponen bioaktif yang bermanfaat terhadap kesehatan (Forero et al. 2013). Teripang memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 73 % dimana 2/3 dari total protein tersebut merupakan protein jenis kolagen (Saito et al. 2002). Kolagen merupakan salah satu jenis protein jaringan ikat yang menyusun komponen gigi, otot, tulang, kuku, dan kulit. Kolagen memiliki stuktur yang unik karena struktur primernya berbentuk triple helix yang berarti 3 rantai polipeptida spiral (Kucharz 1992). Kolagen yang selama ini banyak beredar di pasaran merupakan kolagen yang berasal dari kulit dan tulang mamalia darat seperti kulit babi (46 %), tulang sapi (23 %), dan ayam. Beberapa tahun terakhir banyak ditemukan laporan sapi terserang penyakit sapi gila dan juga mewabahnya firus flu burung yang banyak menyerang unggas (Gomez-Guillen et al. 2009). Selain itu, meningkatnya kesadaran masyarakat akan sumber pangan yang halal (non babi) menyebabkan masyarakat berusaha mencari alternatif sumber kolagen yang lebih aman. Teripang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif sumber kolagen dari biota laut. Beberapa penelitian melaporkan kolagen dapat diekstrak dari teripang jenis Stichopus vastus, Parastichopus californicus, dan Stichopus monotuberculatos (Abeedin et al. 2013; Liu et al. 2010; Zhong et al. 2015). Kolagen yang dihidrolisis secara enzimatis menggunakan enzim-enzim pencernaan menghasilkan hidrolisat yang mengandung peptida kolagen. Produk ini dilaporkan memiliki bioaktivitas yang bermanfaat terhadap kesehatan. Beberapa penelitian melaporkan kolagen ikan salmon (Gu et al. 2011), kolagen cumi-cumi (Aleman et al. 2013), dan gelatin ikan nila (Vo et al. 2011) yang dihidrolisis dengan enzim protease menghasilkan peptida dengan sekuen yang
2 unik dan memiliki aktivitas penghambatan ACE (antihipertensi). Selain itu, peptida protein juga memiliki aktivitas antioksidan seperti yang dilaporkan You et al. (2010) pada hidrolisat ikan sidat dan antimikroba seperti yang dilaporkan Liu et al. (2008) pada hidrolisat kerang. Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang disebabkan karena mekanisme renin angiotensinogen yang tidak seimbang di dalam tubuh. Renin mengkatalisis substrat angiotensinogen yang dihasilkan oleh hati menjadi senyawa aktif angiotensin I. Senyawa ini selanjutnya dikatalisis oleh enzim ACE (angiotensin-I converting enzyme) dari paru-paru menjadi angiotensin II. Perubahan angiotensin I menjadi II menyebabkan meningkatknya sekresi aldosteron, aktivitas syaraf simpatik, retensi garam, dan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga tekanan darah menjadi meningkat (Kearney et al. 2005). Beberapa senyawa penghambat kerja enzim ACE (ACE inhibitor) yang telah diproduksi secara sintetik diantaranya captopril, ramipril dan enalapril (Jimsheena dan Gowda 2010). Peptida bioaktif dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan ACE menyerupai senyawa sintetik. Hal ini disebabkan karena peptida mampu berikatan dengan sisi aktif enzim sehingga menghalangi reaksi enzim dan substrat. Selain itu, peptida bioaktif juga mampu membentuk molekul kompleks dengan substrat sehingga proses katalisis enzim menjadi terganggu (Kim dan Byun 2012). Radikal bebas yang berasal dari lingkungan maupun pangan dapat memicu terjadinya stres oksidatif tingkat seluler. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka dapat memicu kerusakan sistem metabolisme dan timbulnya penyakit degeneratif. Senyawa yang mampu menangkal radikal bebas dan menghambat laju oksidasi disebut dengan antioksidan (Valko et al. 2007). Senyawa antioksidan alami yang bisa didapatkan dari sumber makanan diantaranya vitamin C, vitamin E, senyawa fenolik, flavonoid sedangkan senyawa antioksidan sintetik diantaranya BHT (buthylated hydroxyl toluene), BHA (buthylated hydroxyl anisole), dan TBHQ (Tertier buthylated hydroxyl quinone) (Shebis et al. 2013). Selain dari kedua sumber tersebut, antioksidan juga bisa dihasilkan dari peptida bioaktif. Hal ini disebabkan peptida mampu mendonorkan atom hidrogen sehingga mampu menghambat laju oksidasi (Mendis et al. 2005). Penelitian mengenai aktivitas penghambatan angiotensin-I converting enzyme (ACE) saat ini banyak dilakukan karena penyakit darah tinggi merupakan salah satu penyakit yang berpotensi menjadi penyebab kematian terbesar dunia pada tahun 2020 (Norris dan Fitzgerald 2013). Prediksi tersebut menyebabkan eksplorasi peptida bioaktif dari berbagai sumber bahan lokal Indonesia seperti teripang merupakan hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Indonesia memiliki wilayah lautan luas dengan sumber daya laut yang berlimpah. Salah satu yang sangat prospektif adalah mengembangkan produk pangan dari peptida bioaktif yang dihasilkan dari sumber alam. Kolagen teripang memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai sumber peptida bioaktif yang memiliki sifat fungsional. Akan tetapi, pembuatan peptida dari kolagen teripang belum banyak diteliti. Penelitian mengenai produksi dan karakterisasi peptida kolagen teripang serta menggali bioaktivitasnya sebagai agen antihipertensi dan antioksidan merupakan penelitian yang penting untuk dilakukan sehingga luaran ke depan diharapkan mampu menghasilkan peptida kolagen dari sumberdaya alam Indonesia.
3 Rumusan Masalah Teripang gama (Stichopus variegatus) dapat dijumpai di beberapa perairan Indonesia dengan jumlah yang cukup melimpah. Akan tetapi sampai saat ini pemanfaatan secara komersial masih terbatas pada jenis teripang pasir (Holothuria scabra). Malaysia secara intensif telah mengeksplorasi jenis teripang gama untuk dijadikan ekstrak teripang. Teripang gama memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor perikanan Indonesia. Permintaan pasar yang terus meningkat dan wilayah laut yang begitu luas merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi produsen produk teripang bernilai tambah. Saat ini masyarakat cenderung kembali pada penggunaan bahan alami karena dinilai lebih aman dibandingkan obat-obat yang umumnya berasal dari senyawa sintetik yang memiliki efek samping. Potensi kolagen dan hidrolisat kolagen dari teripang gama masih belum banyak diteliti sehinga diperlukan penelitian mengenai metode ekstraksi, hidrolisis, dan pengujian bioaktivitasnya. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Perlu mengetahui pengaruh derajat hidrolisis terhadap bioaktivitas peptida dari kolagen teripang, dan 2. Perlu mengetahui aktivitas penghambatan ACE dan antioksidan peptida bioaktif dari kolagen teripang.
Hipotesis Hipotesis yang ingin dibuktikan pada penelitian ini adalah peptida kolagen teripang gama (Stichopus variegatus) memiliki aktivitas penghambatan ACE dan antioksidan.
Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan 1) mendapatkan persen derajat hidrolisis yang menghasilkan peptida bioaktif dengan aktivitas yang diharapkan, 2) mendapatkan data bioaktivitas peptida kolagen meliputi aktivitas penghambatan ACE dengan enzim angiotensin-I coverting enzyme dan aktivitas antioksidan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian uji bioaktivitas peptida kolagen teripang gama diharapkan mampu memberikan alternatif sumber kolagen selain dari sumber hewan darat dan mamalia. Selain itu juga untuk memberikan informasi khasiat peptida kolagen teripang sebagai sumber senyawa penghambat ACE dan antioksidan alami.
4
TINJAUAN PUSTAKA Teripang Teripang merupakan salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata) tapi tidak semua memiliki duri. Duri tersebut sebenarnya merupakan rangka (skeleton) yang tersusun dari zat kapur yang terbenam di dalam kulit. Di antara 3 famili teripang, hanya famili Holothuroidea dan Stichopodidea saja yang dapat dimakan dan bernilai ekonomis (Martoyo et al. 2000). Tubuh teripang pada umumnya berbentuk bulat dengan panjang sekitar 10-30 cm. Mulutnya ada pada salah satu ujung dan duburnya berada di ujung lain. Tubuh teripang silindris memanjang seperti mentimun. Oleh sebab itu teripang sering disebut dengan istilah mentimun laut. Gerakannya sangat lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada di dasar perairan. Warna tubuh teripang bermacammacam ada yang hitam pekat, coklat, abu-abu, dan ada juga yang merah tua dan orange. Teripang banyak ditemukan di dasar perairan yang jernih dengan kedalaman 1-40 m. makanan utama teripang adalah organisme kecil, detritus, rumput laut, lamun, diatom, protozoa, dan nematoda (Widodo 2011). Ukuran tubuh teripang berbeda-beda antar spesies misalnya jenis Actinophyga mauritidna memiliki panjang 30 cm dengan berat 2.8 kg, sedangkan jenis Holothuria scabra dengan panjang 25-35 cm memiliki berat antara 0.25-0.35 kg. Di Indonesia terdapat sekitar 23 spesies yang telah teridentifikasi (Sendih dan Gunawan 2006). Genus teripang yang banyak ditemukan di Indonesia dan memiliki nilai ekonomis ada 3 yaitu Holothuria, Muelleria, dan Stichopus. Spesies dari genus Holothuria diantaranya Holothuria scabra, Holothuria vacabunda, Holothuria edulis, dan Holothuria marmorata. Spesies dari genus Muelleria hanya satu yaitu Muelleria lecanora sedangkan spesies dari genus Stichopus diantaranya Stichopus vastus, Stichopus cloronotus, Stichopus quadrifascinatus, dan Stichopus variegatus (Setyastuti dan Purwati 2015). Teripang gama merupakan nama lokal untuk spesies Stichopus variegatus. Teripang ini memiliki warna tubuh kuning agak hijau tua kehitaman dengan bintik-bintik kecil berwarna putih di seluruh tubuh sedangkan tubuh bagian dalam berwarna abu-abu muda. Tubuhnya dipenuhi oleh duri-duri halus, bertekstur kenyal, silindris memanjang dan berlendir. Teripang dewasa memiliki berat 500-1000 gram per ekor. Teripang gama banyak ditemukan di perairan dangkal Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara (Colin dan Arneson 1995). Gambar teripang gama disajikan pada Gambar 1. Secara taksonomi, teripang gama diklasifikasikan sebagai berikut (WoRMS 2012) : Phylum : Echinodermata Class : Holothuroidea Ordo : Aspidochirota Family : Stichopodidae Genus : Stichopus Spesies : Stichopus variegatus
5
Gambar 1 Teripang gama (Sumber: Colin dan Arneson 1995) Teripang kering memiliki kandungan gizi tinggi yang kaya akan kandungan protein, asam lemak tidak jenuh (omega 3), mineral (magnesium, fosfor, sodium, potassium, seng, tembaga), vitamin B kompleks (tiamin, riboflavin, niasin), dan beberapa senyawa bioaktif seperti lektin, glukosamin, kondroitin sulfat, mukopolisakarida, dan saponin glikosida (Kordi 2010). Teripang memiliki kandungan protein yang tinggi sekitar 72 % dan telah banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan medis. 70 % dari total kandungan protein tersebut merupakan protein jenis kolagen (Saito et al. 2002). Manfaat kolagen dalam tubuh diantaranya sebagai agen antipenuaan, memelihara kesehatan sendi dan tulang, serta mampu mempercepat penyembuhan luka. Asam lemak omega 3 mampu menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol di dalam darah, mempercepat penyembuhan luka dan menghalangi pembentukan prostaglandin penyebab radang. Lektin dari ekstrak teripang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan memiliki efek positif terhadap perlawanan virus HIV. Glukosamin mampu meningkatkan sistem imun, mencegah terjadinya gangguan persendian, antiinflamasi, dan juga dapat menurunkan resiko terkena aterosklerosis (Sendih dan Gunawan 2006). Kondroitin sulfat memiliki manfaat dapat mencegah pengeroposan sendi, memperbaiki jaringan tulang rawan, dan sebagai suplemen yang dapat meningkatkan stamina tubuh. Saponin glikosida memiliki struktur yang sama dengan senyawa ganoderma pada gingseng laut. Senyawa ini dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan sebagai tonik suplemen gizi (Widodo 2011). Komposisi kandungan gizi teripang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi teripang Komposisi Air (bb) Protein (bk) Lemak (bk) Abu (bk) Karbohidrat (bk) Sumber: Karnila (2012)
Persentase (%) 87.33 ± 1.09 72.93 ± 7.58 3.54 ± 0.24 16.5 ± 4.24 7.04 ± 4.23
6 Kolagen Kolagen merupakan salah satu jenis protein jaringan ikat berbentuk serat yang menyusun sekitar sepertiga tubuh vertebrata. Kolagen merupakan komponen utama penyusun gigi, otot daging, tulang, dan lapisan kulit dalam. Kolagen tersusun dari asam amino unik yang membentuk struktur tripel heliks. Glisin sebagai asam amino utama penyusun kolagen dan selalu berada pada posisi ketiga disetiap pengulangan sekuens. Struktur utama kolagen yaitu gly-x-y, dimana x biasanya berisi asam amino prolin sedangkan y berisi asam amino hidroksiprolin. Hidroksiprolin merupakan turunan prolin dari reaksi hidroksilasi pos-translasi yang dimediasi oleh prolil hidroksilase. Kolagen juga mengandung asam amino yang tidak umum yaitu hidroksilisin. Hidroksilisin terbentuk dari lisin yang mengalami hidroksilasi oleh enzim lisil hidroksilase. Kedua asam imino tersebut membentuk ikatan hidrogen dan struktuk yang stabil dari tripel heliks kolagen (Kucharz 1992). Struktur helix kolagen berbentuk left hand helix. Ketiga molekul heliks dihubungkan satu sama lain dengan ikatan hidrogen seperti pada -helix DNA (Cui et al. 2007). Selain struktur heliks, kolagen juga mengandung stuktur non heliks berupa telopeptida yang mengapit bagian heliks, C-propeptida, dan Npropeptida. Telopeptida berfungsi membentuk ikatan silang kovalen antar molekul dan sebagai penghubung matriks antar molekul. Stuktur sekunder kolagen terus berpilin membentuk stuktur tersier kompleks dan akhirnya menjadi serat (fibril). Kolagen saat ini telah terbagi menjadi 28 tipe, akan tetapi 90 % nya merupakan kolagen tipe I, II, III, dan IV (Friess 1998). Kolagen tipe I merupakan kolagen utama penyusun kulit, tendon, dan tulang hewan. Tipe ini tersusun dari 3 rantai, dua rantai identik berbentuk α1(I), dan satu rantai berbentuk α2(I) dengan komposisi asam amino yang berbeda dan terkadang juga tersusun dari trimer rantai α1(I). Stuktur kolagen tipe I disajikan pada Gambar 2. Kolagen tipe II terdapat pada tulang rawan hialin dan subunit α1(II) memiliki bentuk yang mirip dengan α1(I). Tipe III ditemukan dalam jumlah yang sedikit (sekitar 10 %) dan berikatan dengan tipe I. Tipe ini terkadang menjadi penghalang proses ekstraksi kolagen tipe I pada kulit hewan. Komponen penyusun pembuluh darah banyak didominasi oleh kolagen tipe III. Kolagen tipe I, II, dan III sebagian besar tersusun dari komponen homolog tergantung spesies. Kolagen tipe IV merupakan penyusun utama jaringan urat syaraf pada membran basal. Kolagen tipe lain terdapat dalam jumlah yang sedikit di dalam tubuh dan biasanya berikatan dengan kolagen tipe I-IV (Kucharz 1992). Menurut Kadler et al. (2007), pembagian tipe kolagen adalah sebagai berikut : Kolagen fibrillar, yaitu kolagen tipe I, II, III, V, dan XI. Kolagen yang membentuk jaringan, yaitu kolagen Tipe IV (Lamina densa dari dasar membran Hemidesmosom), VIII dan X. Kolagen fibrillar terasosiasi (FACIT), yaitu kolagen tipe IX, XII, XIV, dan XXII. Kolagen berbentuk rangkaian mutiara, yaitu kolagen tipe VI. Verankerungsfibrillen, yaitu kolagen tipe VII. Kolagen dengan transmembran, yaitu kolagen tipe XIII, XVII, XXIII, dan XXV
7
Gambar 2. Stuktur kimia kolagen tipe I. a) sekuens asam amino primer, b) stuktur sekunder left handed helix dan tersier right handed triple-helix, c) stuktur kuartener (Friess 1998). Fungsi kolagen dalam tubuh yaitu menghasilkan asam amino penting diantaranya (Kadler et al. 2007) : Lisin, prolin dan glisin secara khusus diperlukan oleh tubuh untuk membentuk struktur jaringan penyokong, dan untuk menjaga fungsi sel Hidroksiprolin, memberi kekuatan dan kekenyalan pada jaringan penyokong dan tulang Glisin, melembabkan kulit Alanin, prolin dan asparagin menstabilkan struktur dan mengenyalkan kulit dan sebagai agen anti penuaan Arginin, mengatur pola tidur yang seimbang Melindungi tulang rawan dan sendi dari kerusakan oksidatif Mengenyalkan dan melembabkan kulit. Kolagen tersusun dari asam amino yang bervariasi dan berbeda-beda antar spesies. Akan tetapi secara umum kolagen tersusun dari 3 asam amino utama yaitu glisin, prolin, dan alanin. Glisin menyusun hampir dua pertiga struktur kolagen sedangkan sisanya merupakan asam amino yang lain (Chi et al. 2014). Kolagen tipe I umumnya terdiri dari 15 hingga 17 asam amino. Asam amino sistein sedikit ditemukan bahkan beberapa spesies tidak ditemukan adanya asam amino sistein. Asam glutamat lebih banyak ditemukan dari sumber hewan laut dibandingkan mamalia darat (Jongjareonrak et al. 2005). Kolagen merupakan sumber asam amino yang tidak lengkap karena tidak memiliki asam amino triptofan. Kolagen dari tipe I hingga tipe 28 tidak ditemukan adanya asam amino tersebut (Kaddler et al. 2007). Komposisi asam amino kolagen dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 2.
8 Tabel 2 Komposisi asam amino kolagen tipe I (residu/1000residu) Asam amino
Sapi (Bos taurus)1
Ikan hiu Ikan kakap Teripang Teripang (Sphyrna (Lutjanus (Stichopus (Stichopus lewini)1 vita)2 japonicus)3 vastus)4 Hyp 94 78 81 68 79 Asp 45 76 50 59 59 Thr 18 27 29 33 45 Ser 33 29 37 44 41 Glu 75 102 81 109 91 Pro 121 129 131 95 87 Gly 330 227 252 325 355 Ala 119 97 143 112 96 Cys 0 0 0 0 0 Val 21 29 18 23 22 Met 6 16 15 9 5 Ile 11 22 7 21 17 Leu 23 30 24 18 24 Tyr 3 4 4 5 4 Phe 3 20 15 3 8 Hyl 7 9 9 10 Lys 26 37 33 7 4 His 5 99 7 4 2 Arg 50 72 65 55 61 Keterangan: 1(Chi et al. 2014); 2(Jongjareonrak et al. 2005); 3(Saito et al.2002); 4 (Abedin et al. 2013).
Ekstraksi Kolagen Permasalahan utama dalam ekstraksi kolagen tipe I dari jaringan adalah keberadaan ikatan silang kovalen antar molekul. Kolagen merupakan protein yang tidak larut dalam pelarut organik. Jumlah kolagen yang bisa diekstrak tergantung pada jenis jaringan dan usia hewan. Jaringan hewan yang masih muda mengandung sedikit ikatan silang antar molekul sehingga kolagen mudah larut dalam pelarut air. Kolagen tipe I dapat diekstrak dengan beberapa metode di antaranya metode asam, basa, modifikasi asam-enzim, dan garam netral (Friess 1998). Sebelum ekstraksi, sampel kolagen terlebih dahulu dilakukan proses praperlakuan. Tahapan ini bertujuan untuk membuka struktur kolagen yang terikat pada matriks tripel heliks. Komponen nonkolagen dapat dipisahkan dengan melarutkannya ke dalam larutan basa hidroksida atau basa sulfat seperti 10 % NaOH dan Na2SO4 selama 48 jam. Lemak yang terikat pada kolagen mengalami saponifikasi, telopeptida nonheliks terpotong dan serat kolagen terpisah. Ukuran dan berat molekul kolagen yang dihasilkan tergantung pada lamanya waktu perendaman dan konsentrasi larutan basa (Roreger 1995). Larutan asam seperti asam asetat, buffer sitrat atau HCl dengan pH 2-3 sering digunakan untuk mengekstrak kolagen. Ikatan silang antar molekul jenis aldimin dapat dipisahkan oleh pelarut asam sehingga struktur tripel heliks kolagen
9 terbuka. Larutan asam tidak dapat memisahkan ikatan silang keto-imin sehingga kolagen yang berasal dari jaringan seperti tulang, kartilago, hewan yang sudah tua tidak akan larut dalam pelarut asam. Ekstraksi asam biasanya dilakukan pada suhu dingin untuk menjaga integritas jaringan dan dicuci dengan aquades untuk menghilangkan protein larut air dan polisakaria (Trelstad 1982). Selain menggunakan metode asam, ekstraksi kolagen juga dapat dilakukan dengan modifikasi asam-enzim. Penggunaan enzim seperti pepsin, kimotripsin, dan pronase dibawah suhu 20 0C yang dikombinasikan dengan asam asetat 0.5 M mampu menghasilkan rendemen kolagen yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena enzim mampu memutus ikatan peptida dan ikatan silang pada ujung nonheliks kolagen. Selain itu ujung telopeptida pada rantai polimer juga terputus sehingga kelarutan kolagen dalam pelarut asam menjadi meningkat (Piez 1985). Kolagen larut asam biasanya dimurnikan dengan metode persipitasi setelah suhu, pH dan konsentrasi garamnya dinetralkan. Larutan kolagen yang terlalu tinggi kekentalannya membutuhkan metode tambahan seperti kromatografi, elektroforesis dan sedimentasi (Piez 1985). Garam netral yang biasa digunakan dalam ekstraksi kolagen adalah NaCl dengan konsentrasi 0.1-2 M. Modifikasi suhu, laju pengadukan, dan rasio sampel dengan larutan pengekstrak dapat mengubah komposisi turunan kolagen. Bahan yang telah terekstrak biasanya dimurnikan dengan dialisis, persipitasi, dan sentrifugasi (Fielding 1976). Beberapa metode ekstraksi kolagen dari berbagai sumber bahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Metode ekstraksi kolagen dari berbagai sumber bahan Sumber Bahan Kulit ikan bandeng (Chanos chanos)
Kulit ikan mas (Cyprinus carpio), bandeng (Chanos chanos), dan kakap (Lutjanus) Kulit ikan hiu martil (Sphyrna lewini)
Kulit ikan kakap merah (Lutjanus vita)
Pra-perlakuan Deproteinasi dengan NaOH 0.1 M dan dilanjutkan dengan asam asetat 1.5 %
Ekstraksi Water soluble collagen (WSC) perendaman dalam aquades dengan rasio 2:1 dan dipanaskan 50 0C selama 3 jam Defatting dengan Acid soluble collagen etanol 50 % dan (ASC) perendaman dilanjutkan dalam asam asetat 0.5 deproteinasi dengan M selama 24 jam NaOH 0.1 M Deproteinasi Acid soluble collagen dengan NaOH 0.1 (ASC) perendaman M dan dilanjutkan dalam asam asetat 0.5 defatting dengan M butil alkohol 15 % Deproteinasi Acid soluble collagen dengan NaOH 0.1 (ASC) perendaman M dan dilanjutkan dengan asam asetat defatting dengan 0.5 M butil alkohol 10 %
Referensi Baihaki et al. (2016)
Wibawa et al. (2015)
Chi et al. (2014)
Jongjareonrak et al. (2005)
10 Tabel 3 Metode ekstraksi kolagen dari berbagai sumber bahan (lanjutan) Teripang (Stichopus japonicus)
Teripang (Stichopus vastus)
Teripang (Bohadschia spp.)
Pemisahan kulit dengan Tris-HCl 0.1 M, EDTA 50 mM, NaCl 0.5 M merkaptoetanol 0.2 M lalu dilanjutkan deproteinasi dengan NaOH 0.1 M Deproteinasi dengan NaOH 0.1 M
Pepsin soluble Park et al. (2012) collagen (PSC) perendaman dalam asam asetat 0.5 M dan pepsin 1 %
Pepsin soluble collagen (PSC) perendaman dalam asam asetat 0.5 M dan pepsin 0.5 % Pemisahan kulit Pepsin soluble dengan Tris-HCl collagen (PSC) 0.1 M dan EDTA 4 perendaman dalam mM dilanjutkan asam asetat 0.5 M deproteinasi dengan dan pepsin 1 % NaOH 0.1 M
Abedin et al. (2013)
Siddiqui et al. (2013)
Pangan Fungsional Pangan fungsional merupakan pangan konvensional bagian dari menu diet yang mampu memberikan manfaat bagi kesehatan dan mengurangi resiko terkena penyakit kronis (Health Canada 2006). Pangan fungsional merupakan pangan modifikasi maupun pangan alami yang mampu memberikan manfaat kesehatan melebihi nutrisi dasar yang terkandung didalamnya (Arai 2002). Pangan yang dikonsumsi secara teratur sebagai diet keseharian yang telah dirancang secara khusus untuk memberikan manfaat kesehatan dengan mengatur fungsi tubuh untuk melindungi terhadap penyakit seperti hipertensi, kanker, diabetes, jantung koroner, dan osteoporosis (CSIRO Human Nutrition 2004). Pangan fungsional dikategorikan menjadi 2, yaitu pangan konvensional dan pangan modifikasi. Pangan konvensional merupakan pangan yang mengandung komponen alami dan tersedia dalam bentuk utuh misalnya biji-bijian utuh, kacang, kedelai, buah, sayuran dan sebagainya. Pangan modifikasi merupakan pangan yang telah diubah dengan teknologi untuk mendapatkan khasiat fungsional, dengan diperkaya atau ditambahkan komponen tertentu yang memiliki efek positif, atau juga dengan menghilangkan komponen yang memiliki dampak negatif (misalnya protein alergen, laktosa susu) (Giacco et al. 2013). Beberapa aspek yang harus dipenuhi sebagai syarat pangan fungsional (Doyon dan Labrecque 2003): 1. Pangan (bukan kapsul tablet, atau serbuk) yang berasal dari bahan alami 2. Bisa dikonsumsi sebagai diet keseharian 3. Memiliki fungsi ketika dicerna, dan memberikan efek terhadap tubuh seperti :
11 Meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh Mencegah penyakit tertentu Memulihkan dari penyakit tertentu Mengendalikan kondisi fisik dan mental Memperlambat proses penuaan dini Pangan fungsional selain memberikan asupan nutrisi juga memberikan manfaat terhadap kesehatan diantaranya meningkatkan kesehatan saluran pencernaan, menyeimbangkan metabolisme glukosa dan lipid, mengurangi resiko penyakit kardiovaskular, mengurangi resiko kanker, dan meningkatkan kesehatan tulang (Giacco et al. 2013). Indeks glikemik (IG) merupakan indikator kemampuan karbohidrat dalam meningkatkan gula darah yang secara langsung berhubungan dengan meningkatnya resiko diabetes militus tipe 2 dan penyakit jantung koroner. Pangan dengan IG rendah dipercaya mampu menurunkan resiko terhadap penyakit tersebut. Beberapa bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah diantaranya pati resistan, inulin, FOS (fructo-oligosaccaride), dan GOS (glucooligosaccaride). Bahan pangan tersebut juga dapat berfungsi sebagai prebiotik. (Liu et al. 2013). Selain prebiotik, bahan pangan yang mengandung probiotik juga diketahui mampu meningkatkan kesehatan usus dan mengurangi resiko terkena kanker kolon. Probiotik yang biasa ditambahkan ke dalam pangan diantaranya Lactobacillus sp, Bifidobacterium sp, dan Stretococcus sp. (Howlett 2008). Pasien dengan riwayat penyakit diabetes memiliki resiko yang lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular. Resiko ini tidak hanya disebabkan karena kadar gula yang tinggi akan tetapi juga karena konsentrasi kolesterol yang tinggi. Diet rendah kolesterol serta peningkatan asupan serat tinggi dan fitosterol mampu menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Pangan yang mengandung serat tinggi diantaranya barley, oat, gandum, umbi-umbian. Selain itu kedelai dan kacang juga mampu menurunkan konsentrasi kolesterol. (Jenkins et al. 2011). Penyakit kardiovaskular merupakan kelompok penyakit degeneratif dari jantung dan sistem sirkulasi darah termasuk penyakit jantung koroner (PJK), aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah), dan stroke. Radikal bebas diketahui sebagai penyebab timbulnya penyakit jantung kronis dan akut karena di dalam sel terjadi stress oksidatif. Oksidasi LDL (Low Density Lipoprotein) yang berasal dari lemak jenuh dan trans menyebabkan terjadinya aterosklerosis dan PJK yang di inisiasi oleh terbentuknya plak pada pembuluh arteri. (Wang et al. 2007). Penyakit jantung koroner merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan secara langsung berhubungan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Hipertensi meningkatkan resiko kerusakan pembuluh arteri. Faktor penting penyebab timbulnya penyakit jantung koroner diantaranya obesitas, kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan diabetes militus tipe 2. Peningkatan resiko PJK tidak hanya dikarenakan pola makan yang buruk, tetapi juga disebabkan gaya hidup tidak sehat seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol. Orang dengan pola konsumsi pangan yang sehat, gaya hidup produktif, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol memiliki resiko lebih rendah terkena PJK (Riccioni et al. 2008). Kontrol tekanan darah merupakan hal yang penting untuk menanggulangi resiko terkena penyakit jantung, ginjal, dan stroke. Tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya aterosklerosis, sistem rennin-angiotensin yang tidak seimbang, hiperinsulin, dan meningkatnya retensi garam didalam tubuh (Wang et al. 2007).
12 Peptida Bioaktif Peptida bioaktif merupakan potongan-potongan protein spesifik yang memiliki efek positif terhadap tubuh dan dapat mempengaruhi kesehatan. Protein dalam bentuk utuh memiliki bioaktivitas yang rendah sedangkan protein yang telah dihidrolisis dengan enzim akan meningkat bioaktivitasnya karena protein telah lepas dari ikatan panjang fragmennya. Peptida bioaktif memiliki potensi sebagai senyawa antihipertensi, antioksidan, antagonis opioid, antibakteri, antitrombotik, dan imunomodulator (Murray dan Fitzgerald 2007). Peptida yang dihasilkan dari protein pangan dapat menurunkan tekanan darah, menjaga keseimbangan berat badan, menghambat aktivitas endopeptidase spesifik prolin, meningkatkan sistem imun, menghambat agregasi platelet darah, menghambat proteinase HIV dan proses oksidasi, memiliki aktivitas antibakteri dan antikapang, mengikat ion dan membantu tanspor mineral dan memperbaiki nilai gizi pangan (Li dan Yu 2014; Chakrabarti et al. 2014). Beberapa peptida dilaporkan memiliki manfaat multifungsi sebagai contoh peptida dengan sekuen tertentu memiliki aktivitas antioksidan maupun antihipertensi. Aktivitas suatu peptida tergantung pada komposisi dan sekuen asam amino. Peptida bioaktif biasanya tersusun dari 2-20 residu asam amino meskipun beberapa penelitian melaporkan peptida dengan sekuen lebih dari 20 asam amino juga memiliki aktivitas biologis (Pihlanto 2001). Peptida bioaktif memiliki aktivitas menyerupai hormon atau obat-obatan yang memodulasi fungsi biologis melalui interaksi ikatan spesifik terhadap suatu reseptor pada sel target sehingga memberi efek kesehatan (Sharma et al. 2011). Aplikasi peptida untuk tujuan terapi seperti terapi kanker, infeksi, kerusakan sistem imun, dan penyakit kardiovaskular telah banyak diteliti dan dikembangkan (Bhat et al. 2015). Peptida bioaktif dapat dihasilkan dari beberapa cara yaitu 1) hidrolisis enzimatis dengan enzim pencernaan, 2) fermentasi dengan memanfaatkan aktivitas mikroba, 3) sintesis kimia (Bhat et al. 2015). Hidrolisis enzimatis protein dengan enzim proteolitik yang sesuai mampu menghasilkan peptida dengan aktivitas yang diharapkan. Kondisi fisiko-kimia dari substrat seperti suhu dan pH larutan harus sesuai dengan kondisi optimal kerja enzim. Beberapa enzim yang biasa digunakan untuk hidrolisis diantaranya papain, tripsin, α-kimotripsin, pepsin, bromelain, alkalase, dan netrase. Faktor terpenting dalam produksi peptida bioaktif adalah berat molekul dari peptida tersebut. Metode yang biasa digunakan untuk menghasilkan peptida dengan berat molekul tertentu adalah sistem membran ultrafiltrasi. Sistem hidrolisis bertingkat dengan memanfaatkan beberapa enzim sekaligus mampu menghasilkan peptida dengan ukuran yang lebih kecil. Kombinasi dari sistem membran reaktor multistep hidrolisis dan sistem membran ultrafiltrasi mampu menghasilkan peptida dengan aktivitas optimal (Kim dan Wijesekara 2010). Mikroba yang ada secara alami dalam bahan pangan maupun starter yang telah dikembangkan seperti golongan bakteri asam laktat (BAL) dilaporkan mampu menghasilkan senyawa peptida bioaktif. Beberapa jenis BAL yang digunakan dalam fermentasi diantaranya Lactobacillus sp, Streptococcus sp, Bacillus sp, dan Bifidobacterium sp. Bakteri-bakteri tersebut telah banyak digunakan untuk menghasilkan produk fermentasi susu (yoghurt). Proses fermentasi dengan bakteri asam laktat kemudian dilanjutkan hidrolisis dengan
13 mikroba protease mampu menghasilkan peptida dengan ukuran kecil sehingga bioaktivitasnya mengalami peningkatan (Bhat et al. 2015). Selain susu, hidrolisat daging hewan juga telah banyak dilaporkan menghasilkan peptida bioaktif. Saiga et al. (2003) melaporkan daging ayam yang difermentasi dengan Aspergillus sp kemudian dihidrolisis dengan enzim pencernaan menghasilkan peptida dengan sekuens Gly-Phe-Hyp-Gly-Thr-Hyp-Gly-Leu-Hyp-Gly-Phe. Peptida ini memiliki aktivitas penghambatan ACE. Sintesis secara kimiawi merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk memproduksi peptida dalam skala laboratorium. Ada dua metode yang digunakan yaitu sintesis fase cair dan fase padat. Sintesis fase padat mampu menghasilkan peptida dengan residu 1-10 asam amino. Peptida yang telah diketahui sekuen dan residunya dari hasil hidrolisis enzimatis selanjutnya dilakukan sintesis secara kimiawi untuk menghasilkan peptida dengan sekuen yang sama. Selain secara kimiawi, peptida juga bisa dihasilkan dari teknologi DNA rekombinan. Akan tetapi, metode ini belum mampu menghasilkan peptida dengan sekuen kurang dari 10 asam amino. Pengembangan metode sintesis terus dilakukan untuk menghasilkan peptida dengan aktivitas yang sama dari proses hidrolisis secara enzimatis maupun fermentasi mikroba (Korhonen dan Pihlanto 2003). Biota laut telah banyak diteliti mampu menghasilkan peptida bioaktif dengan hidrolisis secara enzimatis (Jee et al. 2005). Peptida bioaktif dari sumber biota laut maupun dari limbah pengolahan telah dilaporkan memiliki fungsi fisiologis diantaranya sebagai agen antioksidan, antimikroba, dan penghambatan ACE (Mendis et al. 2005; Liu et al. 2008; Byun dan Kim 2001). Beberapa penelitian telah mengungkapkan aktivitas peptida bioaktif secara in vitro maupun in vivo dan mengkaji hubungan antara keduanya namun klaim resmi sifat fungsionalnya masih belum dilakukan oleh komunitas kesehatan internasional karena masih dalam tahap investigasi (Shahidi 2007). Kolagen dan gelatin yang diekstrak dari sumber biota laut kemudian dihidrolisis dengan enzim pencernaan menghasilkan peptida dengan sifat yang unik. Aleman et al. (2013) melaporkan kolagen yang diekstrak dari cumi-cumi kemudian dihidrolisis dengan enzim esperase menghasilkan dekapeptida dengan sekuen Gly-Arg-Gly-Ser-Val-Pro-Ala-Hyp-Gly-Pro. Dekapeptida ini memiliki aktivitas penghambatan ACE (antihipertensi). Vo et al. (2011) dalam penelitiannya menggunakan gelatin dari kulit ikan nila kemudian dihidrolisis menggunakan enzim alkalase, pronase E, pepsin, dan tripsin. Hidrolisis dengan enzim alkalase menghasilkan peptida dengan sekuens Asp-Pro-Ala-Leu-Ala-ThrGlu-Pro-Asp-Pro-Met-Pro-Phe dan peptida ini juga memiliki aktivitas penghambatan ACE (antihipertensi).
Hipertensi Manusia normal memiliki tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan diastolik < 80 mmHg. Apabila tekanan darah di atas angka tersebut maka diindikasikan terkena penyakit hipertensi. Secara umum hipertensi dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1) pre-hipertensi dengan tekanan darah 130 mmHg dan 80 mmHg, 2) hipertensi moderat dengan tekanan darah 150 mmHg dan 90 mmHg, 3)
14 hipertensi berat dengan tekanan darah > 160 mmHg dan > 100 mmHg. 90 % hipertensi disebabkan karena gejala primer yang belum diketahui sebabnya dan 10 % karena gejala sekunder akibat rusaknya metabolisme organ tubuh seperti penyakit ginjal, kelainan endokrin, penurunan fungsi organ tubuh atau karena pemakaian obat. Hipertensi merupakan bagian dari kelompok penyakit kardiovaskular (cardiovascular disease) termasuk aterosklerosis, jantung koroner, gagal jantung, dan stroke. Kardiovaskular merupakan jenis penyakit yang menyebabkan kematian terbesar di seluruh dunia. Sekitar 25% populasi manusia di dunia mengalami hipertensi pada tahun 2000 dan akan meningkat menjadi 1.56 triliyun pada tahun 2025 (Baker 2005). Sistem renin-angiotensin aldosteron merupakan sistem hormon yang mengatur tekanan darah dan keseimbangan cairan tubuh. Selain itu, sistem tersebut memegang peranan penting dalam patofisiologi penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner dan hipertensi. Renin plasma yang dihasilkan oleh ginjal bertanggung jawab dalam mengubah hormon angiotensinogen yang dilepaskan hati menjadi angiotensin I. Angiotensin I merupakan dekapeptida dengan sekuens Asp-Arg-Tyr-Val-Ile-His-Pro-Phe-His-Leu. Senyawa ini akan aktif apabila dikatalisis oleh enzim ACE (angiotensin-I converting enzymes) yang dihasilkan oleh paru-paru menjadi oktapeptida angiotensin II (Khullar 2012). Angiotensin II merupakan hormon yang kuat dan menyebabkan serangkaian perubahan di dalam tubuh. Hormon ini pada pembuluh darah menyebabkan vasokontriksi sehingga dinding pembuluh darah menebal dan menyempit. Angiotensin II merangsang adrenal korteks untuk memproduksi senyawa aldosteron sehingga retensi garam natrium di dalam darah meningkat. Selain itu, angiotensin II juga meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatik. Semua mekanisme tersebut menyebabkan tekanan darah menjadi meningkat (hipertensi). Keberadaan angiotensin II di dalam darah hanya sekitar 30-60 detik dan selanjutnya dikatalisis oleh aminopeptidase A menjadi angiotensin III dan aminopeptidase N menjadi angiotensin IV. Kedua angiotensin ini merupakan hormon yang tidak aktif dan didetoksifikasi oleh organ ginjal (Kearney et al. 2005). Penelitian mengenai hipertensi terus dikembangkan hingga menghasilkan obat antihipertensi komersial. Obat hipertensi dibagi menjadi beberapa golongan yaitu diuretik (hydrochlorothiazide, indapamida, metalozone), aldosteron reseptor bloker (eplerenone, spironolactone), alfa bloker (doxasozin, terasozin), beta bloker (atenolol, nadolol, propanolol), kombinasi alfa dan beta bloker (carvediol, labetalol), ACE inhibitor (captopril, enalapril, ramipril), Angiotensin II reseptor bloker (candesartan, irbesartan, valsartan), kalsium channel bloker (amlodipine, felodipine, nisoldipine), direct renin inhibitor (aliskirene, remikirene), dan direct vasodilator (hydralazine, minoxidil). Semua obat tersebut disintesis secara kimiawi dan telah disetujui oleh Food and Drug Association (FDA) (Chobanian et al. 2003). Obat hipertensi yang diproduksi secara kimiawi dilaporkan memiliki efek samping terhadap kesehatan diantaranya sesak nafas, perut kembung, susah buang air besar, mulut kering, alergi kulit, dan pusing kepala. Selain itu, obat hipertensi juga memicu munculnya penyakit degeneratif yang lain. Oleh karena itu, semenjak 1 dekade terakhir mulai dikembangkan obat hipertensi yang lebih alami dan tidak memiliki efek samping (Vikrant dan Tiwari 2001). ACE merupakan enzim peptidil-dipeptidase (EC.3.4.15.1) dan termasuk ektoenzim multifungsi yang memegang peranan penting dalam mengatur tingkat
15 tekanan darah melalui sistem renin angiotensin. ACE merupakan enzim yang disekresikan oleh paru-paru dan aktif pada pH 8.0 (Norris dan Richard 2013). ACE memiliki 3 sisi aktif yaitu antepenultimate (S1) yang berupa ion Zn2+, penultimate (S1’) yang berupa ikatan hidrogen dan ultimate (S2’) yang berupa ikatan kovalen. ACE bekerja spesifik pada substrat angiotensin I yang merupakan dekapeptida kemudian sisi aktif Zn2+ memutus ikatan peptida antara asam amino fenilalanin dan histidin menghasilkan oktapeptida angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang menyebabkan tekanan darah menjadi meningkat. Senyawa yang mampu menghambat kerja enzim ACE diantaranya captopril dan enalapril. Captopril bekerja secara spesifik dengan mengikat sisi aktif enzim ACE dan termasuk inhibitor kompetitif sehingga substrat angiotensin I tidak bisa bereaksi dengan enzim ACE (Guimaraes et al. 2011). Penghambat ACE secara alami terdapat pada racun ular berbisa dan beberapa jenis kalajengking sedangkan penghambat ACE yang sintesis diantaranya captopril. Meskipun bahan sintetik ini mampu menghambat hipertensi, tetapi menimbulkan beberapa efek samping seperti batuk, alergi, pahit, dan kulit kering. Oleh karena itu penelitian tentang penghambat ACE yang lebih alami dan lebih aman terus dikembangkan untuk mencegah hipertensi (Patchett et al. 1980). Peptida yang dihasilkan dari hidrolisis protein memiliki sifat inhibitor kompetitif. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir dilaporkan ada yang bersifat nonkompetitif. Meskipun beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan positif antara peptida dengan ACE, akan tetapi penelitian tersebut masih secara in vitro dan secara in vivo masih belum banyak dilaporkan. Aktivitas peptida sebagai penghambat ACE harus sampai pada target organ dan dalam bentuk aktif. Namun demikian, karena peptida ini melewati saluran pencernaan dan didegradasi enzim pencernaan, maka terjadi perbedaan aktivitas antara penghambatan secara in vitro dan in vivo. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mendalam tentang bioavailabilitas peptida di dalam tubuh (Guimaraes et al. 2011). Penelitian terkini melaporkan bahwa peptida yang dihasilkan dari hidrolisis berbagai sumber biota laut memiliki aktivitas penghambatan ACE. Wijesekara et al. (2011) melaporkan bahwa ikan pipa (Syngnathus schlegeli) yang dihidrolisis dengan enzim alkalase kemudian dimurnikan dengan gel filtrasi dan RP HPLC menghasilkan 2 peptida dengan sekuens Thr-Phe-Pro-His-Gly-Pro dan His-Trp-Thr-Thr-Gln-Arg. Peptida ini memiliki aktivitas penghambatan ACE sebesar 0.62 mg/ml dan 1.44 mg/ml. Jung et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa tulang ikan sebelah (Limanda aspera) yang dihidrolisis dengan enzim α-kimotripsin kemudian dipurifikasi menghasilkan peptida dengan sekuen Met-Ile-Phe-Pro-Gly-Ala-Gly-Gly-Pro-Glu-Leu. Peptida ini memiliki aktivitas penghambatan ACE sebesar 28.7 µg/ml. Intarasiriwat et al. (2013) juga melaporkan hal yang serupa. Telur ikan cakalang (Katsuwana pelamis) yang dihidrolisis dengan enzim alkalase kemudian dipurifikasi menghasilkan peptida dengan sekuen Met-Leu-Val-Phe-Ala-Val dan memiliki aktivitas sebesar 3.07 µM. Eksplorasi peptida dari biota laut terus dikembangkan sebagai alternatif obat alami yang mampu menurunkan resiko hipertensi karena dinilai lebih aman tanpa memberikan efek samping. Aktivitas penghambatan ACE dari berbagai sumber bahan disajikan pada Tabel 4.
16 Tabel 4 Aktivitas penghambatan ACE dari berbagai sumber bahan Sumber Telur ikan cakalang Otot sotong
Kolagen cumi-cumi Cacing laut Kulit Ikan Alaska Ubur-ubur Otot ikan pipa Tulang ikan sebelah Gelatin ikan nila Kolagen kulit ikan salmon Gelatin kulit ikan Cod Ikan pipa
Sekuens MLVFAV
IC50 3.07 µM
Referensi Intarasirisawat et al. (2013) Balti et al. (2010)
MAT VYAP VIIF GRGSVPAPGP
16.32 µM 6.1 µM 8.7 µM 47.78 µM
AWLHPGAPKVF GPL GPM YI KVNGPAMSPNAN MIFPGAGGPEL
135 µM 2.6 µM 17.13 µM 3.3 µM 63.9 µM 28.7 µg/ml
Du et al. (2013) Byun dan Kim (2001)
DPALATEPDPMPF AP VR TCSP
62.2 µM 60 µg/ml 332µg ml 270 µg/ml
Vo et al. (2011) Gu et al. (2011)
TGGGNV TFPHGP HWTTQR
450 µg/ml 0.62 mg/ml 1.44 mg/ml
Aleman et al. (2013)
Lim et al. (2013) Kim dan Byun (2012) Jung et al. (2006)
Ngo et al. (2011)
Wijesekara et al. (2011)
Antioksidan Oksidasi terjadi setiap saat di dalam tubuh dan menghasilkan senyawa reaktif yang disebut radikal bebas. Radikal bebas dapat memicu kerusakan sistem metabolisme dan memicu timbulnya penyakit degeneratif. Senyawa yang mampu menetralisir radikal bebas yaitu antioksidan. Beberapa enzim dalam tubuh yang mampu menetralisir radikal bebas diantaranya Super Oxide Dismutase (SOD), gluthatione dan katalase. Antioksidan juga bisa diperoleh dari makanan yang kaya kandungan vitamin, mineral, fenol dan senyawa bioaktif (Valko et al. 2007). Peranan antioksidan sangat penting dalam meredam efek radikal bebas yang berkaitan erat dengan terjadinya penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes dan kanker yang didasari oleh proses biokimiawi dalam tubuh (Hamid et al. 2010). Kapasitas antioksidan dan aktivitas antioksidan memiliki makna yang berbeda. Kapasitas antioksidan merupakan pengukuran efisiensi konversi termodinamika dari senyawa oksidan selama bereaksi dengan senyawa antioksidan sedangkan aktivitas antioksidan merupakan kinetika reaksi antara senyawa antioksidan dan radikal bebas yang ditangkap. Metode pengukuran antioksidan dibagi menjadi dua yaitu metode transfer elektron (ET assay) dan metode transfer atom hidrogen (HAT assay). Metode ET meliputi 2.2-diphenyl-1pycrilhidrazil (DPPH), Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP), Cupric
17 Reducing Antioxidant Capacity (CUPRAC), dan Trolox-Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC). Metode HAT meliputi Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC), 2.2’-azobis(2-amidinopropane) hydrochloride (AAPH), dan Total peroxyl radical-Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) (Aspak et al. 2013). Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Molyneux 2004). Produksi radikal bebas yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan makromolekul seperti lemak, protein, DNA, dan penyakit degeneratif seperti diabetes militus, kerusakan syaraf, inflamasi, dan kanker (Butterfiled et al. 2002). Terlebih lagi, kerusakan beberapa bahan pangan juga disebabkan karena proses oksidasi lemak sehingga menyebabkan bau tengik. Oleh karena itu, dalam industri pangan biasanya ditambahkan bahan antioksidan sintesis seperti BHT, BHA, TBHQ, dan PG untuk mencegah proses oksidasi. Namun demikian, penggunaan antioksidan sintetik harus mengikuti peraturan karena bisa memicu timbulnya penyakit tertentu (Park et al. 2001). Penelitian terkini menunjukan bahwa selain dari tumbuhan yang kaya akan kandungan fenolik, makanan dari sumber hewani juga memiliki aktivitas antioksidan (Kim et al. 2001). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa peptida dari hasil hidrolisis sumber biota laut memiliki aktivitas antioksidan diantaranya cumi-cumi (Mendis et al. 2005), kerang (Qian et al. 2008), ikan tuna (Je et al. 2008), ikan Alaska Pollack (Je et al. 2005), belut (Ranathunga dan Rajapakse 2006), dan ikan sebelah (Jun et al. 2004). Peptida-peptida dari hasil hidrolisis protein mampu mendonorkan atom hidrogen dan muatan proton sehingga mampu menghambat laju proses oksidasi (Vo et al. 2011). Aktivitas antioksidan dari beberapa sumber bahan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Aktivitas antioksidan dari berbagai sumber bahan Sumber Tulang ikan nila Sisik ikan layang
Ikan sidat
Metode Hidroksil radikal Hidroksil radikal DPPH Superoksida anion Hidroksil radikal DPPH
Sekuens DCGY NYDEY
IC50 27 µg/ml 38 µg/ml
Referensi Fan et al. (2012)
GFPSG
107 µg/ml
Wang et al. (2013)
GFPSG
283 µg/ml
GFPSG
151 µg/ml
PSYV
2.64 mg/ml
PSYV
1.70 mg/ml
You et al. (2010)
18 Tabel 5 Aktivitas antioksidan dari berbagai sumber bahan (lanjutan) Kerang hijau
Teripang Teripang coklat
Kulit ikan hoki
Kerang
Hidroksil radikal DPPH Superoksida anion DPPH Hidroksil radikal Superoksida anion DPPH Superoksida anion Carbon centered Hidroksil radikal Superoksida anion
YPPAK
228 µg/ml
YPPAK YPPAK
2.62 mg/ml 72 µg/ml
-
2.13 mg/ml 2.77 mg/ml
-
5.08 mg/ml
HGPLGPL
3.59 mg/ml 28.8 µM
HGPLGPL
94.1 µM
LKQELED LLEKQE LKQELED LLEKQE
28.76 µM 78.97 µM
Wang et al. (2012)
Althunibat et al. (2009) Yu et al. (2013)
Mendis et al. (2005)
Qian et al. (2008)
19
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2014 hingga Agustus 2015 di Laboratorium Bioteknologi, Laboratorium Kimia, dan Laboratorium Fisik Balai Besar Penelitian Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Jakarta Pusat. Selain itu penelitian juga dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pisau, timbangan analitik, gelas beaker, erlenmeyer, stirer, gelas ukur, sentrifuge (Beckman coulter, USA), kain saring, freeze dryer (christ alpha 1-2 LD, USA), kantong dialisis (Sigma-Aldrich, USA), spatula, waterbath, tabung reaksi, mikropipet (Eppendorf, Sigma-Aldrich, USA), tabung konikal, botol vial, vortex, oven, microtube (Thermofisher, Denmark), microplate 96 well (Thermofisher, Denmark), Spektrofotometer UV-Vis (ShimadzuUVmini-1240, Jepang). Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teripang gama yang didapat dari Balai Budidaya Perikanan Lampung. Bahan untuk ekstraksi dan hidrolisis kolagen yaitu aquades, EDTA, etanol, tris-HCl, NaOH, CH3COOH, NaCl, enzim pepsin (P7000, Sigma-Aldrich, USA), KCl dan HCl. Bahan untuk analisis derajat hidrolisis dan pola peptida kolagen yaitu Na2CO3, CuSO4, NaKTartat, BSA (bovine serum albumin), TCA, gliserol, APS, SDS, Bromphenol blue, glisin, merkaptoetanol, akrilamida, bisakrilamida, TEMED, metanol, dan CBB. Bahan untuk uji bioaktivitas yaitu enzim angiotensin-I converting enzyme (ACE from rabbit lung A6778-.25 UN, Sigma-Aldrich, USA), substrat NHippuryl-His-Leu hydrate (H1635-100MG, Sigma-Aldrich, USA), captopril (PHR1307-1G, Fluka, Jerman), bufer borat, NaCl, HCl, etil asetat, aquabides, metanol, DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil) (1898-66-4, Sigma-Aldrich, USA), asam askorbat (100468, Merkmillipore, USA).
Metode Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu 1) pra-perlakuan, 2) ekstraksi kolagen, 3) hidrolisis kolagen. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.
20 Teripang gama Pembersihan isi perut (visceral), dipotong-potong kecil, ditimbang 100 gram
Tahap 1. Pra-perlakuan (Modifikasi Park et al. 2012)
Pencucian dengan aquades, perendaman dalam etanol 50% 200 ml, 30 menit Pencucian dengan aquades, perendaman dalam Tris-HCl 0.1 M dan EDTA 4mM 1000 ml, 12 jam Pencucian dengan aquades, perendaman dalam NaOH 0.1 M 1000 ml, 48 jam
Serat kolagen kasar
……………………………………………………………………………………… Tahap 2. Ekstraksi kolagen Perendaman dalam asam asetat 0.5 M, 48 jam (Modifikasi Park et al. 2012) Penyaringan , pengendapan dengan NaCl 1M, 12 jam
Sentrifuse 10.000g 60 menit, dialisis dengan asam asetat 0.5 M dan terakhir dengan aquades Pembekuan dan pengeringan pelet dengan freeze dryer
Kolagen
-
Rendemen Berat molekul kolagen
-
Persen derajat hidrolisis Pola peptida kolagen Aktivitas penghambatan ACE Aktivitas antioksidan
……………………………………………………………………………………… Tahap 3. Hidrolisis kolagen Pelarutan 1 gram kolagen dalam 100 ml buffer pH 2.0, (Modifikasi Zhang et al. 2013) inkubasi suhu 37 0C, 15 menit Penambahan enzim pepsin 0.1 U/mg, inkubasi 0; 30; 60; 90; 120; 180; 240 menit Penghentian reaksi dengan pemanasan, pendinginan dan penetralan pH dengan NaOH 1 M Sentrifuse 3000g 15 menit, pembekukan dan pengeringan supernatan dengan freeze dryer
Peptida kolagen
Gambar 3 Skema kerja penelitian
21 Pra-perlakuan Teripang segar diambil dan dicuci bersih dengan air, kemudian bagian perut dibelah menggunakan pisau dan dibuang isi perut (visceral). Selanjutnya teripang kembali dicuci dengan air lalu disimpan dan dibekukan sampai siap digunakan. Tahapan pra-perlakuan mengacu pada metode Park et al. (2012) dengan sedikit modifikasi pada waktu inkubasi yang digunakan. Semua tahapan ekstraksi dilakukan pada suhu 4 0C. 100 gram teripang segar dipotong-potong kecil kemudian direndam dalam aquades 1000 ml selama 30 menit sambil diaduk menggunakan stirrer. Selanjutnya sampel teripang direndam dalam etanol 50% 200 ml selama 30 menit kemudian dicuci dengan akuades lalu direndam dalam 1000 ml 0.1 M Tris-HCl dan 4 mM EDTA selama 12 jam. Teripang dicuci kembali dengan akuades lalu direndam dalam 1000 ml NaOH 0.1 M selama 48 jam. Teripang kembali dicuci dengan akuades sampai pH netral dan didapatkan serat kolagen kasar. Ekstraksi Kolagen Ekstraksi kolagen didasarkan pada metode Park et al. (2012) dengan sedikit modifikasi pada bufer dialisis yang digunakan. Serat kolagen kasar yang dihasilkan dari tahapan pra-perlakuan direndam ke dalam 1000 ml asam asetat 0.5 M selama 48 jam. Suspensi disaring menggunakan kain saring lalu filtrat diendapkan dengan NaCl 1 M selama 12 jam. Filtrat disentrifuse kecepatan 10.000g selama 60 menit lalu pelet dilarutkan kedalam 0.5 M CH3COOH dan didialisis menggunakan kantong dialisis dengan buffer asetat 0.1 M. Bufer diganti secara berkala dan terakhir dengan akuades selama 12 jam. Pelet kemudian dibekukan dan dikeringkan dengan freeze dryer. Hidrolisis Kolagen Hidrolisis kolagen dilakukan berdasarkan pada metode Zhang et al. (2013) dengan sedikit modifikasi pada jumlah substrat dan enzim yang digunakan. Satu gram sampel kolagen dilarutkan ke dalam 100 ml buffer pH 2.0 lalu diaduk secara merata. Sampel diinkubasi pada suhu 37 0C dengan waterbath shaker selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan enzim pepsin dengan aktivitas 0.1 U dan diinkubasi selama 0; 30; 60; 90; 120; 180; dan 240 menit. Reaksi dihentikan dengan dipanaskan pada air mendidih selama 4 menit. Sampel didinginkan lalu dinetralkan dengan menambahkan NaOH 1 M. Selanjutnya sampel disentrifuse dengan kecepatan 10.000g selama 15 menit lalu supernatan yang didapat selanjutnya dibekukan untuk uji derajat hidrolisis dan dikeringkan dengan freeze dryer untuk uji aktivitas penghambatan ACE dan antioksidan. Penentuan Derajat Hidrolisis dan Pola Peptida kolagen Derajat Hidrolisis Persen derajat hidrolisis ditentukan berdasarkan metode Silvestree et al. (2013) dengan pengendapan Trichloroacetic acid (TCA) 20% untuk menghasilkan 10% fraksi protein terlarut dan 10% fraksi tidak larut. Sebanyak 500 µl sampel ditambahkan pada 500 µl TCA 20% kemudian dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 4 0C selama 30 menit. Campuran disentrifuse 3000g selama 20 menit kemudian supernatan dianalisis kandungan protein terlarut dan protein total berdasarkan metode Lowry et al. (1951). Bovin Serum Albumin (BSA)
22 digunakan sebagai standar protein. Persen derajat hidrolisis dihitung dengan rumus: DH (%) = Protein terlarut 20% TCA x 100 Total kandungan protein Pola Peptida Kolagen Instrumen SDS PAGE (Sodium Deodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electroforesis) digunakan untuk menganalisis pola peptida kolagen sebelum dan sesudah dihidrolisis. Komposisi gel dan reagen disajikan pada Lampiran 1. Prosedur uji yang digunakan berdasarkan metode Laemmli (1970). Sebanyak 10 mg sampel dilarutkan dalam 0.5 ml SDS 10% kemudian diinkubasi suhu 85 0C selama 1 jam. Selanjutnya 80 µl sampel ditambahkan 20 µl buffer sampel (mengandung Tris-HCl, gliserol, SDS, merkaptoetanol dan bromfenol biru) lalu dipanaskan selama 5 menit. Sampel diinjeksikan ke dalam gel yang berisi 10 % gel pemisah (separating gel) dan 4 % gel penahan (stacking gel). Elektroforesis dijalankan pada 35 volt 15 mA selama 6 jam. Setelah itu, gel diwarnai dengan larutan pewarna (staining solution) selama 1 jam lalu dilunturkan dengan larutan peluntur (destaining solution) sampai band protein terlihat jelas di permukaan gel. Sebagai penanda protein digunakan marker broad range protein ladder dari Thermo scientific. Berat molekul protein ditentukan dengan memasukan jarak migrasi ke dalam persamaan regresi linier standar marker. Uji Bioaktivitas Peptida Kolagen Uji penghambatan ACE (Antihipertensi) Uji penghambatan ACE (ACE inhibitor) dilakukan berdasarkan metode Arihara et al. (2001). Sebanyak 50 µl sampel (15 mg/ml) ditambahkan dengan 125 µl larutan buffer substrat (mengandung 7.6 mM N-hippuryl-his-leu hydrate dan 608 mM NaCl dalam 10 ml buffer borat pH 8.3) lalu ditambahkan 15 µl BSA (10 mg/ml). Selanjutnya campuran diinkubasi pada suhu 37 0C selama 15 menit dengan menggunakan waterbath. Reaksi dimulai dengan menambahkan 50 µl enzim ACE 50 mU/ml lalu diinkubasi selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 200 µl HCl 1 N. Campuran divortex kemudian ditambah 1140 µl etil asetat lalu disentrifuse 10.000g selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 1000 µl lalu dikeringkan dengan oven suhu 95 0C selama 75 menit. Asam hipurat yang terbentuk dilarutkan ke dalam 1000 µl aquabides. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 228 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan sebagai kontrol positif digunakan standar kaptopril. Aktivitas penghambatan ACE dihitung dalam bentuk persen menggunakan rumus : (%) aktivitas penghambatan: (A-B)-(C-D) x 100% (A-B) Keterangan : A = absorbansi kontrol (substrat HHL + enzim ACE) B = absorbansi blanko kontrol (substrat HHL + aquades) C = absorbansi sampel (substrat HHL + enzim ACE + sampel) D = absorbansi blanko sampel (substrat HHL + sampel)
23 Uji Aktivitas Antioksidan Uji aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas DPPH berdasarkan metode Li et al. (2006). Sepuluh miligram sampel dilarutkan ke dalam metanol p.a lalu dibuat seri konsentrasi 100; 200; 400; dan 800 ppm. Tiap seri konsentrasi dimasukan ke dalam sumur microplate sebanyak 160 µl, kemudian ditambahkan larutan DPPH (0.3 mg/ml) masing-masing 40 µl. Larutan DPPH dibuat dengan cara melarutkan 3 mg DPPH ke dalam 10 ml metanol p.a. Blanko sampel dibuat dengan cara 160 µl sampel dimasukan ke dalam sumur lalu ditambahkan 40 µl metanol p.a. Kontrol negatif dibuat dengan cara 160 µl metanol p.a ditambahkan dengan 40 µl DPPH dan sebagai blanko digunakan 200 µl metanol p.a. Asam askorbat digunakan sebagai kontrol positif dengan seri konsentrasi 4; 6; 8; 10 ppm. Selanjutnya microplate diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dan dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Persen aktivitas penghambatan radikal bebas dihitung dengan rumus : % aktivitas penghambatan: (A-B)-(C-D) x 100% (A-B) Keterangan: A = absorbansi kontrol negatif (metanol + DPPH) B = absorbansi blanko (metanol) C = absorbansi sampel (metanol + DPPH + sampel) D = absorbansi blanko sampel (metanol + sampel) Persen aktivitas penghambatan yang didapat kemudian diplotkan ke dalam kurva regresi linier dengan sumbu x berupa konsentrasi dan sumbu y berupa persen penghambatan. Nilai IC50 (inhibition concentration 50) didapat dengan memasukan angka 50 ke dalam sumbu y dan hasil IC50 sampel dibandingkan dengan IC50 dari standar asam askorbat.
Rancangan dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan untuk analisis persen derajat hidrolisis, penghambatan ACE dan antioksidan adalah rancangan acak lengkap (RAL) sederhana dengan satu faktor. Data yang didapat kemudian dianalisa menggunakan analisa keragaman ANOVA dan uji lanjut Duncan pada taraf 5% menggunakan software SPSS versi 16.
24 HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Bahan Baku Teripang gama yang diteliti diperoleh dari Balai Budidaya Laut Provinsi Lampung. Secara umum morfologi teripang gama berbentuk bulat, panjang, berwarna hijau tua kehitaman dengan bintik-bintik putih. Tubuhnya kenyal, lembek jika ditekan dan bertekstur seperti kasur sehingga sering disebut dengan istilah teripang kasur. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 15-25 cm dengan berat 250-300 g/ekor. Menurut Dewi (2008), teripang dikatakan dewasa apabila memiliki bobot 200-500 g/ekor dengan panjang 25-35 cm. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 4. Teripang segar dicuci bersih dengan air mengalir untuk membersihkannya dari kotoran, kemudian dibelah perutnya dengan menggunakan pisau untuk membersihkan isi perut dan bagian visceral. Kulit teripang dikerok secara perlahan dengan menggunakan pisau, dicuci dengan air dingin, dimasukan kedalam kantong plastik yang tertutup rapat dan disimpan di dalam freezer. Penyimpanan ini bertujuan untuk mempertahankan kesegaran teripang dan kualitas teripang sebelum diolah pada proses selanjutnya.
Gambar 4 Teripang gama segar (Stichopus variegatus)
Pra-perlakuan dan Ekstraksi Kolagen Beberapa metode ekstraksi kolagen dari teripang telah dicoba dalam penelitian ini. Metode ekstraksi yang pernah dilakukan di antaranya metode Cui et al. (2007), Zhu et al. (2012) dan Park et al. (2012). Ketiga metode tersebut mengacu pada metode sebelumnya yaitu Trotter et al. (1995) dan Saito et al. (2002). Berdasarkan metode tersebut, hasil ekstraksi kolagen yang didapatkan kurang maksimal. Hal ini diduga karena proses ekstraksi yang terlalu lama dan perbedaan spesies teripang yang digunakan sehingga rendemen yang didapatkan sedikit. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan maka metode ekstraksi yang digunakan adalah modifikasi dari metode Park et al. (2012). Ekstraksi teripang dilakukan dengan cara 100 gram teripang segar dipotong-potong kecil untuk mempermudah proses ekstraksi kemudian dicuci dengan air. Semua tahapan ekstraksi dilakukan pada suhu 4 0C untuk mencegah kontaminasi dari mikroorganisme. Teripang direndam di dalam 1000 ml aquades dan diaduk perlahan menggunakan stirrer selama 30 menit. Tahapan tersebut
25 diulangi sebanyak 2 kali. Perendaman dalam aquades bertujuan untuk mencuci teripang dari sisa kotoran yang masih menempel pada daging dan melarutkan senyawa yang larut dalam air. Sampel teripang kemudian disaring lalu direndam dalam 200 ml etanol 50% selama 30 menit. Etanol berfungsi untuk melarutkan senyawa pengotor yang tidak bisa larut dalam air. Selanjutnya, sampel dicuci dengan aquades untuk menetralkan pH dan direndam dalam 1000 ml Tris-HCl 0.1 M dan 4 mM EDTA selama 12 jam. TrisHCl mampu mempertahankan stabilitas dan pH sehingga proses ekstraksi berjalan dengan benar. pH saat perendaman dengan Tris-HCl adalah 8.0. Larutan Tris-HCl dan EDTA berubah menjadi larutan kental berwarna kuning. Matsumura et al. (1973) menyatakan bahwa EDTA tidak mampu memisahkan jaringan hewan. Akan tetapi, penelitian yang diungkapkan Trotter et al. (1995) dan Cui et al. (2007) melaporkan bahwa inkubasi teripang dalam air dan EDTA mampu memisahkan serat kolagen kasar sehingga integritas jaringan terjaga karena terjadi interaksi elektrostatik. Tahapan selanjutnya yaitu pencucian sampel dengan aquades untuk menetralkan pH dan perendaman sampel dalam 1000 ml NaOH 0.1 M selama 48 jam. Perendaman dalam NaOH menyebabkan sampel membengkak dan mengembang beberapa kali lipat. Menurut Sato et al. (1987) perendaman dalam NaOH bertujuan untuk defatting (menghilangkan lemak), demineralisasi (menghilangkan mineral pengotor), menghilangkan komponen protein nonkolagen, dan menghilangkan pengaruh protease endogenous pada kolagen. Menurut Parker (1982) zat basa menyebabkan tropokolagen terdenaturasi kemudian terdisosiasi menjadi 3 komponen yaitu α, β, ϒ. Komponen α merupakan komponen rantai tunggal polipeptida, sedangkan β dan ϒ merupakan dimer dan trimer. Zhou dan Regenstein (2005) mengungkapkan penggunaan larutan basa pada tahap praperlakuan ekstraksi lebih efektif dalam proses pengeluaran protein nonkolagen. Jaswir et al. (2011) menambahkan bahwa selama perendaman NaOH terjadi pembengkakan kulit, yang menyebabkan air masuk kedalam matriks protein nonkolagen sehingga protein tersebut mudah dilepaskan. Setelah perendaman dengan NaOH, sampel dicuci dengan aquades sampai pH mendekati netral dan direndam dalam 1000 ml asam asetat 0.5 M selama 48 jam. Kolagen merupakan salah satu jenis protein yang larut dalam asam. Ketika direndam dalam asam asetat disertai dengan pengadukan secara kontinyu, maka kolagen akan larut. Produk hasil ekstraksinya disebut dengan kolagen larut asam. Menurut Jaswir et al. (2011) asam mampu meningkatkan ion H+ sehingga air mudah masuk kedalam serat kolagen dan terjadi gaya elektrostatik antargugus polar dan ikatan hidrogen antargugus nonpolar. Gimenez et al. (2009) menambahkan bahwa efek lyotropic dari asam karboksilat lebih dominan dalam peningkatan swelling. Suspensi yang dihasilkan dari hasil perendaman asam asetat kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Filtrat kemudian diendapkan dengan NaCl 1 M selama 12 jam. Menurut Scopes (1981), ketika dalam suatu larutan terdapat garam dalam konsentrasi tinggi, protein cenderung berkumpul dan mengendap dari larutan. Pengendapan protein dikarenakan adanya beda jenis protein dalam konsentrasi garam yang berbeda-beda. Oleh karena itu teknik ini sering disebut dengan pemurnian protein. Persipitasi dipengaruhi oleh pH, suhu dan kemurnian protein. Berg et al. (2002) menyatakan bahwa semakin meningkat
26 konsentrasi garam dalam larutan, sisi yang bermuatan dari permukaan protein akan berinteraksi dengan garam. Dengan demikian terjadi interaksi hidrofobik pada permukaan protein dan menyebabkan protein mengendap dari larutan (terjadi proses agregasi dan persipitasi). Setelah proses pengendapan, suspensi selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 10.000g selama 60 menit. Pelet yang didapat dari hasil sentrifuse dilarutkan ke dalam asam asetat 0.5 M dan didialisis dengan bufer asetat 0.1 M. Bufer diganti secara berkala dan terakhir diganti dengan aquades selama proses dialisis. Proses dialisis dilakukan menggunakan kantong dialisis yang terbuat dari membran selulosa dengan cutoff membrane 20 kDa. Tujuan dari proses dialisis adalah untuk mengurangi kadar garam dalam kolagen. Menurut Lehninger (1982) proses dialisis menyebabkan air dan molekul kecil seperti garam berdifusi keluar kantong menuju ruangan di luar karena difusi molekul cenderung ke arah yang mempunyai konsentrasi lebih rendah. Penggantian fase cairan luar dengan air beberapa kali dapat menurunkan konsentrasi garam sehingga protein yang didapatkan lebih murni. Kolagen selanjutnya dibekukan dan diliofilisasi dengan freeze dryer. Bollag dan Edelstein (1991) menyatakan bahwa liofilisasi bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang masa simpan protein karena protein lebih stabil apabila disimpan dalam bentuk serbuk. Liofilisasi dilakukan dengan cara membekukan kolagen dan menurunkan tekanan hingga mencapai 0 atm, kemudian dipanaskan hingga terjadi sublimasi. Setelah dikeringkan, kolagen kemudian disimpan dan siap untuk dianalisis. Kolagen dari teripang gama yang telah dikeringkan ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kolagen teripang gama
Rendemen Kolagen Rendemen merupakan parameter dari keefektifan suatu proses ekstraksi. Semakin tinggi rendemen yang dihasilkan, maka proses ekstraksi yang dilakukan semakin baik. Pada penelitian ini rendemen dinyatakan dalam basis kering (bk). Rendemen kolagen teripang gama (Stichopus variegatus) yang diekstrak dengan menggunakan metode acid soluble collagen (ASC) adalah sebesar 16.40%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kolagen teripang yang diekstrak dengan menggunakan metode pepsin soluble collagen (PSC). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Abedin et al. (2013); Park et al. (2012); dan Liu et al. (2010) melaporkan bahwa kolagen teripang yang diekstrak menggunakan metode PSC menghasilkan rendemen berturut-turut sebesar 21.3%;
27 26.6%; dan 20.8%. Menurut Zhang et al. (2007), metode PSC memberikan hasil ekstraksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ASC. ASC dapat diekstraksi dengan cara merusak ikatan garam dan basa shift dalam struktur ikatan silang dengan asam lemah, sedangkan PSC dapat diekstraksi dengan pengaruh enzim pepsin terhadap proses hidrolisis telopeptida nonheliks di dalam ikatan silang. Zhong et al. (2015) menambahkan bahwa ikatan silang kovalen merupakan faktor utama yang mempengaruhi kelarutan kolagen. Kelarutan kolagen secara signifikan dapat ditingkatkan dengan menghilangkan telopeptida nonheliks.
Persen Derajat Hidrolisis Kolagen teripang yang telah dihidrolisis kemudian dianalisis persen derajat hidrolisisnya. Menurut Ruthefurd (2010), derajat hidrolisis merupakan proporsi atau jumlah ikatan peptida yang terpecah selama proses hidrolisis yang dinyatakan dalam satuan persen (%). Beberapa metode yang sering digunakan untuk menentukan persen derajat hidrolisis diantaranya pH-stats, trinitrobenzenesulfonic acid (TNBS), O-phtaldialdehyde (OPA), trichloroacetic acid (TCA), dan titrasi formol. Derajat hidrolisis dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan proses hidrolisis. Semakin tinggi persen derajat hidrolisis maka proses hidrolisis berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, derajat hidrolisis peptida kolagen teripang gama ditentukan menggunakan metode TCA. Menurut Silvestre et al. (2013) prinsip dari metode TCA yaitu mereaksikan sampel dengan larutan TCA 20% untuk mendapatkan fraksi sampel yang terlarut dan tidak terlarut dalam 20% TCA. Persen derajat hidrolisis dihitung sebagai perbandingan protein terlarut dalam TCA 20% dengan total protein. Persen derajat hidrolisis peptida kolagen teripang gama disajikan pada Gambar 6 dan data analisis keragamannya disajikan pada Lampiran 3. Hasil penelitian yang didapat yaitu persen derajat hidrolisis dari waktu 0; 30; 60; 90; 120; 180; dan 240 menit berturut -turut sebesar 0%; 21.39%; 36.29%; 44.79%; 54.61%; 54.54%; 54.23%. Derajat hidrolisis tertinggi terdapat pada waktu inkubasi 120 menit yaitu sebesar 54.61%. Ketika proses hidrolisis baru dimulai, reaksi berjalan lambat karena enzim dan substrat masih belum bereaksi. Seiring berjalannya waktu, proses hidrolisis mulai berjalan meningkat. Setelah mencapai waktu 120 menit, reaksi mulai berjalan stabil dan tidak ada peningkatan yang signifikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa reaksi berjalan konstan pada waktu 120 menit. Kondisi konstan ini diduga karena substrat telah habis dipotong oleh enzim sehingga jumlah peptida yang dihasilkan tetap dan enzim telah jenuh terhadap substrat. Peningkatan derajat hidrolisis disebabkan oleh peningkatan peptida dan asam amino yang terlarut dalam TCA akibat pemutusan ikatan peptida selama hidrolisis. Selain faktor tersebut, konsentrasi enzim, waktu hidrolisis, serta jenis enzim juga menyebabkan perbedaan derajat hidrolisis. Derajat hidrolisis meningkat lebih cepat ketika 2 jam pertama, setelah itu semakin melambat. Kecepatan peningkatan derajat hidrolisis yang semakin menurun dapat disebabkan oleh adanya penghambatan proses hidrolisis substrat oleh produk yang dihasilkan selama proses hidrolisis (Haslaniza et al. 2010). Semakin meningkat derajat hidrolisis maka kelarutan hidrolisat protein dalam air semakin tinggi. Kelarutan
28 yang tinggi ini disebabkan karena protein telah terpecah menjadi peptida sederhana. Proses hidrolisis mampu membuka ikatan antar gugus hidrofobik sehingga menyebabkan berubahnya gugus hidrofobik menjadi hidrofilik dengan menghasilkan ujung karboksil dan amino yang mudah berikatan dengan air (Ovissipour et al. 2010).
Gambar 6 Derajat hidrolisis kolagen teripang gama Enzim merupakan protein yang mengkatalisa reaksi kimia spesifik. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim-substrat yang bersifat sementara, yang mampu terurai membentuk enzim bebas dan produknya. Jika konsentrasi substrat meningkat, aktivitas katalitik suatu enzim akan meningkat mengikuti pola hiperbolik mendekati kecepatan maksimum Vmax yang khas. Pada kondisi ini semua enzim berada dalam bentuk kompleks ES (enzim-substrat) dan jenuh oleh substrat. Selain memiliki spesifisitas terhadap substrat, enzim juga memiliki pH optimum dan suhu optimum. Enzim dapat terinaktivasi oleh modifikasi irreversible terhadap gugus fungsional yang penting bagi aktivitas katalitiknya (Lehninger 1982). Terdapat berbagai macam jenis enzim, salah satunya adalah enzim pepsin, yang digunakan untuk proses hidrolisis dalam penelitian ini. Pepsin merupakan salah satu jenis enzim hidrolase dan menjadi salah satu penyusun utama enzim proteolitik saluran pencernaan serta banyak diaplikasikan dalam industri. Secara umum, pepsin disekresikan dari mukosa lambung dan memiliki spesifisitas terhadap asam amino aromatis seperti fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Pepsin merupakan jenis enzim endopeptidase dengan spesifisitas mendegradasi protein. Pepsin merupakan satu dari tiga jenis enzim pemecah protein (proteolitik) dalam saluran pencernaan, di samping tripsin dan αkemotripsin (Zhao et al. 2011). Enzim pepsin merupakan kelompok aspartic protease, yaitu enzim yang memiliki sisi aktif berupa dua residu asam aspartat. Pepsin juga termasuk dalam kelompok endopeptidase yang memutus ikatan peptida spesifik pada bagian tengah rantai polipeptida (Kim dan Byun 2012). Beberapa penelitian tentang hidrolisat protein dari berbagai sumber hewani disajikan pada Tabel 6. Zhang et al. (2013) mengungkapkan bahwa
29 kolagen sapi yang dihidrolisis dengan enzim alkalase, kolagenase, termolisin, pepsin dan dianalisa dengan metode uji OPA memiliki derajat hidrolisis 12%; 18.1%; 14.8%; dan 6.88%. Peneliti lain, Baihaki (2012) menyatakan bahwa kolagen ikan bandeng yang dihidrolisis dengan enzim kolagenase dengan metode uji TNBS memiliki derajat hidrolisis sebesar 79.41%. Penelitian lain yang menggunakan metode uji TCA dari berbagai jenis enzim dan substrat juga memberikan hasil yang bervariasi. Kim dan Byun (2012) melaporkan otot ikan salmon yang dihidrolisis dengan enzim pepsin, tripsin, dan α-kimotripsin memiliki derajat hidrolisis sebesar 49.12%; 28.75%; dan 30.52%. Qian et al. (2007) mengemukakan bahwa daging merah ikan tuna yang dihidrolisis dengan enzim alkalase, α-kimotripsin, tripsin, dan pepsin memiliki derajat hidrolisis sebesar 67.22%; 77.71%; dan 46.72%. Menurut Silvestre et al. (2013) dari beberapa metode uji derajat hidrolisis, metode yang memberikan hasil paling tinggi adalah metode TCA. Hal ini diduga karena metode uji TCA merupakan uji yang masih kasar sehingga semua peptida terhitung dalam analisis. Sedangkan metode uji TNBS dan OPA lebih spesifik terhadap peptida tertentu. Tabel 6 Persen derajat hidrolisis (DH) dari berbagai substrat, metode dan enzim Substrat Otot ikan salmon Kerang Daging merah ikan tuna Cumi-cumi Kolagen ikan salmon Kolagen ikan bandeng Teripang Kolagen sapi
Limbah filet ikan nila
Metode Enzim TCA Pepsin Tripsin α-kimotripsin TCA Bromelain TCA Alkalase α-kimotripsin Tripsin Pepsin TNBS Esperase TNBS Tripsin
% DH 49.12 28.75 30.52 58 67.22 77.71 46.28 78.72 15.48 53.1
Referensi Kim dan Byun (2012)
TNBS
Kolagenase
79.41
Baihaki (2012)
TNBS OPA
Tripsin Alkalase Kolagenase Termolisin Pepsin Alkalase
100 12 18.1 14.8 6.88 20.2
Karnila (2012) Zhang et al. (2013)
OPA
Haslaniza et al. (2010) Qian et al. (2007)
Aleman et al. (2013) Han et al. (2011)
Roslan et al. (2014)
Pola Peptida Kolagen dan Hidrolisat Kolagen Sodium deodecyl sulfate polycrilamide gel electroforesis (SDS-PAGE) merupakan salah satu teknik pemisahan protein berdasar kemampuannya untuk bergerak terhadap muatan listrik. Protein terpisah berdasarkan ukuran molekul dan interaksinya terhadap muatan listrik. Metode ini digunakan untuk
30 menganalisis protein secara kualitatif. Gel poliakrilamida terbentuk dari polimerisasi akrilamida dengan agen pembentuk ikatan silang bis-akrilamida dan ikatan silang dari polimer akrilamida menghasilkan pori-pori dengan ukuran yang berbeda-beda (Roy et al. 2012). Elektroforesis dilakukan pada tegangan 35 volt dan arus listrik 15 mA selama 6 jam dengan komposisi gel pemisah 10% dan gel penahan 4%. Pola elektroforesis SDS-PAGE dari kolagen dan peptida kolagen disajikan pada Gambar 7 dan perhitungan berat molekulnya disajikan pada Lampiran 2. Konsentrasi protein kolagen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 mg/ml dan perbandingan sampel dengan bufer sampel sebesar 4 : 1. Hasil analisis menunjukan bahwa kolagen teripang gama memiliki berat molekul sebesar 130.33 kDa, yang merupakan rantai triple helix (α1)3 dan diduga termasuk kolagen tipe I. Saito et al. (2002) menyebutkan bahwa kolagen tipe I biasanya tersusun dari heterolog rantai α1 dan α2 membentuk triple helix (α1)2 α2 dimana komponen berat molekul tinggi β dan γ merupakan dimer dan trimer dari rantai α. Menurut Zhong et al. (2015) penambahan merkaptoetanol tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap pita protein yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan kolagen teripang tidak mengandung asam amino sistein sehingga tidak ada ikatan disulfida yang terputus. Ditinjau dari aspek berat molekul, kolagen teripang gama (130.33 kDa) menunjukan berat molekul rantai α1 yang serupa dengan kolagen dari Stichopus monotuberculatos (137 kDa; Zhong et al. 2015), Stichopus japonicus (135 kDa; Cui et al. 2007), dan Parastichopus californicus (138 kDa; Liu et al. 2010). 140 k
140 k 130.33 k 100 k
100 k
70 k
70 k
50 k
50 k
40 k
40 k
25 k
25 k
M K
91.91 k
44.09 k
27.64 k
M
30’ 60’ 90’ 120’ 180’ 240’
Gambar 7 Pola hidrolisis kolagen oleh enzim pepsin dengan aktivitas 0,1 U/mg (M = marker, K = kolagen tanpa hidrolisis) Hidrolisis kolagen teripang dengan enzim pepsin menghasilkan peptidapeptida kolagen dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa kolagen yang dihidrolisis menghasilkan potongan protein dengan berat molekul lebih rendah dari kolagen utuh. Waktu hidrolisis yang semakin lama menghasilkan peptida dengan ukuran yang lebih kecil. Kolagen yang terpotong dari 30 menit hingga 240 menit sebagian besar menghasilkan 3 fraksi peptida dengan berat molekul yang bervariasi. Peptida yang pertama memiliki berat molekul antara 95.03-90.42 kDa, peptida kedua memiliki berat molekul antara 57.6-52.11 kDa sedangkan peptida ketiga memiliki berat molekul antara 29.55-24.1 kDa. Pola potongan peptida yang dihasilkan berhubungan erat
31 dengan jenis, konsentrasi dan spesifisitas enzim terhadap substrat yang digunakan. Enzim pepsin merupakan salah satu jenis enzim aspartic protease yang hanya mampu memecah kolagen pada asam amino tertentu saja. Secara umum, peptida yang dihasilkan masih tergolong besar karena berat molekulnya berkisar dari 24 kDa hingga 95 kDa. Baihaki (2012) melaporkan bahwa kolagen kulit ikan bandeng ketika dhidrolisis dengan enzim kolagenase kasar menghasilkan peptida dengan berat molekul sekitar 4.6 kDa sedangkan ketika dihidrolisis dengan enzim kolagenase murni menghasilkan peptida dengan berat molekul sekitar 10 kDa. Enzim kolagenase bersifat lebih spesifik terhadap substrat kolagen dibandingkan dengan enzim pepsin sehingga potongan kolagen yang dihasilkan juga lebih kecil. Zhang et al. (2013) menambahkan di dalam kolagen hanya terdapat sedikit situs pemotongan yang sesuai dengan sisi aktif enzim pepsin sehingga potongan peptida yang dihasilkan berukuran besar.
Aktivitas Penghambatan ACE (Antihipertensi) Analisis penghambatan ACE (ACE inhibitor) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara in vitro menggunakan enzim ACE dengan substrat HHL dan secara in vivo menggunakan spontaneously hypertensive rats (SHR). Menurut Arihara (2001), metode uji aktivitas penghambatan ACE secara in vitro berdasar pada pembebasan asam hipurat dari substrat Hip-His-Leu yang dikatalisis oleh ACE. Asam hipurat yang dibebaskan oleh ACE ditentukan absorbansinya pada panjang gelombang 228 nm setelah diekstrak dengan etil asetat. Semakin sedikit asam hipurat yang dibebaskan, maka persen penghambatan ACE semakin besar. Aktivitas penghambatan ACE peptida kolagen disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sampel peptida kolagen dengan konsentrasi 15 mg/ml memiliki persen penghambatan ACE dari 0; 30; 60; 90; 120; 180; 240 menit berturut-turut sebesar 29.23%; 63.59%; 67.93%; 77.00%; 78.58%; 82.31%; dan 80.49%. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa semakin lama waktu hidrolisis, semakin meningkat pula persen penghambatan ACE. Akan tetapi, setelah 180 menit persen penghambatan ACE mengalami penurunan. Persen penghambatan tertinggi terdapat pada waktu hidrolisis 180 menit yaitu sebesar 82.31% dan terendah pada 0 menit sebesar 29.23%. Perbedaan lama waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata (P < 0,05) terhadap persen penghambatan ACE yang dihasilkan (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji keragaman (ANOVA), dilakukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukan hasil bahwa tiap perlakuan memberikan kode yang berbeda-beda. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah captopril. Captopril dengan konsentrasi 1 mg/ml memiliki persen penghambatan ACE sebesar 90,32%. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif, peptida kolagen memiliki persen penghambatan yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan sampel peptida kolagen masih dalam bentuk peptida kasar (crude). Captopril merupakan salah satu obat yang telah digunakan secara komersial untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Menurut Bryan (2009), captopril termasuk dalam golongan inhibitor enzim yang bersifat kompetitif karena berikatan langsung dengan sisi aktif enzim.
32 Nilai inhibition concentration 50 (IC50) captopril sebesar 0.02 µM, sedangkan IC50 enalapril sebesar 7.34 µM. Captopril sering digunakan sebagai pembanding dalam uji aktivitas penghambatan ACE peptida baru yang belum diketahui aktivitasnya.
Gambar 8 Aktivitas penghambatan ACE peptida kolagen Menurut Byun dan Kim (2001), terdapat korelasi antara berat molekul hidrolisat dengan aktivitas penghambatan ACE. Semakin rendah berat molekul suatu peptida maka aktivitas penghambatan ACE akan semakin meningkat. Asam amino aromatis yang memiliki ujung terminal-C dan asam amino alifatik yang memiliki ujung terminal-N mampu berikatan dengan sisi aktif ACE dan bertindak sebagai sebagai inhibitor kompetitif. Abeedin et al. (2013), Zhong et al. (2015), adan Liu et al. (2010) melaporkan kolagen teripang Stichopus sp memiliki komposisi asam amino utama yaitu glisin, prolin, dan alanin. Selain itu juga mengandung asam glutamat. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam golongan Stichopus sp sehingga teripang ini juga memiliki komposisi asam amino dominan yang hampir sama. Hidrolisis menyebabkan ikatan peptida kolagen terputus sehingga menghasilkan peptida dengan residu asam amino hidrofobik (prolin, alanin) yang tinggi. Kapel et al. (2006) menjelaskan bahwa peptida yang memiliki prolin atau residu aromatis pada ujung terminal-C dan residu asam amino hidrofobik pada ujung terminal-N memiliki aktivitas penghambatan ACE yang potensial. Wijesekara et al. (2011) mengungkapkan bahwa peptida dengan residu asam amino hidrofobik seperti valin dan leusin pada ujung terminal-N dan asam amino yang bermuatan positif di tengah juga menunjukan aktivitas penghambatan ACE. Balti et al. (2010) menambahkan bahwa rantai samping asam amino alifatik seperti isoleusin dan valin yang dominan di antara ujung terminal-N asam amino merupakan peptida dengan rantai pendek yang aktif. Sisi aktif enzim ACE (S1’) lebih disukai oleh residu asam amino hidrofobik seperti leusin, valin, dan alanin. Terlebih lagi, keberadaan fenilalanin pada ujung terminal-C asam amino ketiga lebih dipilih sebagai penghambat ACE
33 (Jung et al. 2006). Peptida bioaktif biasanya mengandung 3-20 residu asam amino. Peptida dengan berat molekul rendah lebih potensial daripada peptida dengan berat molekul tinggi. Peptida yang mengandung prolin, fenilalanin, atau tirosin pada ujung terminal-C dan isoleusin atau valin pada ujung terminal-N menunjukan aktivitas penghambatan yang tinggi. Prolin diketahui dapat lolos dari saluran pencernaan dan mudah masuk ke dalam kapiler pembuluh darah pada sekuens peptida pendek. Meskipun hubungan antara struktur peptida dengan aktivitas penghambatan ACE belum banyak dilaporkan, peptida yang dimurnikan menunjukan beberapa sifat penghambatan yang sama (Pihlanto 2001). Secara umum, aktivitas penghambatan ACE memiliki 2 mekanisme yaitu bersifat kompetitif dan nonkompetitif. Kim dan Byun (2012) dalam penelitiannya melaporkan bahwa otot ikan pipa yang dihidrolisis menggunakan enzim pepsin dengan sekuens KVNGPAMSPNAN memiliki mekanisme penghambatan yang bersifat kompetitif setelah diuji menggunakan kurva lineweaver burk. Penghambat kompetitif ini mampu masuk kedalam molekul protein ACE kemudian berinteraksi dengan sisi aktif enzim dan menghalangi pengikatan substrat. Du et al. (2013) juga mengungkapkan hal yang senada. Balti et al. (2010) dalam penelitiannya melaporkan hal yang berbeda. Sotong yang dihidrolisis dengan enzim protease menghasilkan 3 fraksi peptida dengan sekuen MAW, VYAP, dan VIIF. Setelah diplot ke dalam kurva Lineweaver Burk, peptida tersebut memiliki mekanisme penghambatan yang bersifat nonkompetitif. Hal ini menandakan bahwa peptida dapat bergabung dengan molekul enzim ACE dan membentuk dead-end complex, terlepas dari apakah molekul substrat berikatan atau tidak. Hal senada juga dilaporkan oleh Jung et al. (2006) bahwa ikan sebelah yang dihidrolisis dengan enzim α-kemotripsin menghasilkan peptida dengan sekuens MIFPGAGGPEL dan memiliki aktivitas penghambatan ACE yang bersifat non kompetitif.
Aktivitas Antioksidan Aktivitas antioksidan peptida kolagen dianalisis menggunakan metode DPPH. Prinsip analisis metode DPPH didasarkan pada reduksi larutan DPPH ketika terdapat senyawa antioksidan yang mendonorkan atom hidrogennya. Interaksi tersebut menghasilkan reaksi DPPH-H yang bersifat tidak radikal. Metode uji penangkapan radikal DPPH bersifat cepat, mudah, dan efisien untuk memprediksi aktivitas hidrolisat protein, fraksi, dan peptida yang dimurnikan (Wang et al. 2013). Radikal DPPH memiliki elektron tunggal, berwarna ungu violet dan memiliki absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam larutan metanol. Absorbansi akan menurun secara bertahap ketika ada senyawa yang mendonorkan proton dan warna larutan akan berubah menjadi kuning (Luo et al. 2013). Aktivitas antioksidan peptida kolagen disajikan pada Gambar 9. Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dalam bentuk persen penghambatan (% inhibition) maupun inhibition concentration 50 (IC50). IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi hidrolisat (sampel) yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa IC50 peptida kolagen dari 0; 30; 60; 90; 120; 180; dan 240 menit berturut-turut adalah adalah 3.67
34 mg/ml; 3.31 mg/ml; 2.72 mg/ml; 2.51 mg/ml; 1.90 mg/ml; 2.12 mg/ml; dan 2.19 mg/ml. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa semakin lama waktu hidrolisis, maka nilai IC50 semakin menurun. Akan tetapi, setelah 120 menit perbedaannya tidak terlalu signifikan. Perbedaan lama waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang beda nyata (P < 0.05) pada nilai IC50 yang dihasilkan (Lampiran 5). Berdasarkan hasil uji keragaman (ANOVA), dilakukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukkan hasil bahwa tiap perlakuan memberikan kode yang berbeda kecuali pada perlakuan waktu hidrolisis 180 menit dan 240 menit. Nilai IC50 tertinggi terdapat pada waktu hidrolisis 0 menit, sedangkan IC50 terendah terdapat pada waktu hidrolisis 120 menit. Semakin rendah nilai IC50 maka semakin tinggi aktivitas penangkalan radikal bebas DPPH oleh sampel.
Gambar 9 Aktivitas penangkalan radikal DPPH peptida kolagen Kontrol positif yang digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini adalah vitamin C (asam askorbat). Nilai IC50 asam askorbat yaitu 0.01 mg/ml. Apabila dibandingkan dengan vitamin C, nilai IC50 dari peptida kolagen masih jauh berbeda. Menurut Naidu (2003), vitamin C merupakan senyawa antioksidan yang mampu menangkal oksigen reaktif seperti hidroksil, peroksil, superoksida anion, dan radikal nitrogen yang reaktif. Vitamin C sering digunakan sebagai pembanding dalam uji aktivitas antioksidan senyawa baru yang belum diketahui aktivitasnya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kolagen teripang Stichopus sp memiliki kandungan asam amino glisin, prolin, alanin, dan asam glutamat yang tinggi (Saito et al. 2002; Liu et al. 2010). Keberadaan asam amino ini diduga menyebabkan munculnya aktivitas penangkalan radikal bebas. Teripang gama termasuk ke dalam golongan Stichopus sp sehingga diduga memiliki kandungan asam amino prolin, glisin, dan alanin yang tinggi. Menurut Mendis et al. (2005), semakin meningkat hidrofobisitas suatu peptida atau protein maka kemampuannya menangkap radikal juga semakin besar. Tingkat hidrofobisitas protein atau peptida merupakan hal yang penting dalam meningkatkan afinitas dan reaktivitas peptida dari membran sel hidup. Ren et al. (2008) menambahkan asam
35 amino hidrofobik seperti metionin, prolin, fenilalanin, triptofan dapat meningkatkan aktivitas peptida antioksidan. Aktivitas peptida berkaitan dengan sekuen dan residu asam amino tertentu. Glisin dan prolin telah diteliti memiliki peran penting dalam kemampuannya menangkap radikal dari beberapa peptida. Rantai samping glisin mengandung atom hidrogen tunggal dan memberikan fleksibilitas yang tinggi pada rantai utama peptida. Cincin pirolidin dari prolin cenderung memutus struktur sekunder dari peptida sehingga menyebabkan pembentukan pembatas. (Qian et al. 2008). Fenilalanin dan glisin terbukti memiliki aktivitas positif terhadap penghambatan radikal secara langsung. Hal tersebut disebabkan karena kemampuannya menetralisir elektron bebas atau radikal dengan mendonorkan proton (Zhang et al. 2009). Persen derajat hidrolisis yang tinggi dan rendahnya berat molekul hidrolisat memberikan kontribusi besar terhadap tingginya aktivitas antioksidan (Wang et al. 2012). Aktivitas antioksidan dari hidrolisat tergantung pada distribusi berat molekulnya. Hidrolisat atau peptida dengan berat molekul rendah bisa lebih mudah menembus ke dalam dinding usus dan berinteraksi lebih efektif dengan radikal bebas untuk menghambat proses oksidasi. Peptida yang mengandung 2-10 asam amino memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan protein utuh ataupun polipeptida yang panjang. Selama proses hidrolisis, pemutusan ikatan peptida memungkinkan pelepasan peptida aktif yang mampu mengikat radikal oksigen, mengkelat ion logam prooksidan dan menghambat reaksi peroksidasi (Ranatunga dan Rajapakse 2006). Asam amino yang bermuatan positif seperti asam aspartat dan asam glutamat memiliki kemampuan mengkhelat seperti logam Fe2+ dan Cu2+. Daya khelat ini mampu menghambat pembentukan radikal hidroksil dari anion superoksida dan hidrogen peroksida. Hal ini mengindikasikan bahwa asam amino tersebut dapat digunakan sebagai sumber antioksidan (You et al. 2010).
36
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kolagen teripang gama yang diekstrak dengan metode asam memberikan hasil rendemen sebesar 16.40% basis kering (bk) dengan berat molekul 130.33 kDa. Hidrolisis kolagen dengan enzim pepsin menghasilkan 3 fraksi peptida dengan berat molekul yang bervariasi, yaitu fraksi yang pertama memiliki berat molekul antara 95.03-90.42 kDa, fraksi kedua memiliki berat molekul antara 57.652.11 kDa dan fraksi ketiga memiliki berat molekul antara 29.55-24.1 kDa. Persen derajat hidrolisis tertinggi terdapat pada waktu inkubasi 120 menit yaitu sebesar 54.61%. Aktivitas penghambatan ACE terbaik terdapat pada peptida kolagen yang dihasilkan dari hidrolisis selama 180 menit yaitu sebesar 82.31%. Perbedaan lama waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap persen penghambatan ACE. Aktivitas antioksidan terbaik terdapat pada peptida kolagen yang dihasilkan dari hidrolisis selama 120 menit dengan IC50 sebesar 1.92 mg/ml. Waktu hidrolisis yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap aktivitas antioksidan.
Saran Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan uji bioaktivitas terhadap serbuk teripang utuh tanpa hidrolisis sebagai pembanding serbuk teripang yang telah dihidrolisis. Selain itu, perlu dilakukan sekuensing peptida hasil hidrolisis untuk mengetahui urutan asam amino yang menghasilkan bioaktivitas terbaik.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Besar Penelitian Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Jakarta Pusat atas sponsor yang telah diberikan dengan dana APBN tahun 2014/2015.
37 DAFTAR PUSTAKA
Abedin MDZ, Karim AA, Latif AA, Gan CY, Ghazali FC, Zaman W, Hossain MDM, Ahmed F, Absar N, Sarker MDZI. 2013. Physicochemical and biochemical properties of pepsin solubilized collagen isolated from the integrument of sea cucumber (Stichopus vastus). J Food Process Pres. 2:1-10. Aleman A, Gomez-guillen MC, Montero P. 2013. Identification of ace-inhibitory peptides from squid skin collagen after in vitro gastrointestinal digestion. Food Res Int. 54:790-795. Althunibat OY, Hashim RB, Taher M, Daud JM, Ikeda MS, Zali BI. 2009. In vitro antioxidant and antiproliferative activities of three Malaysian sea cucumber species. Eur J Sci Res. 37(3):376-387. Arihara K, Nakashima Y, Mukai T, Ishikawa S, Itoh M. 2001. Peptide inhibitor for angiotensin-I converting enzyme from enzymatics hydrolysates of porcine skeletal muscle proteins. Meat Sci. 57:319-324. Aspak R, Gorinstein S, Bohm V, Schaich KM, Ozyurek M, Guclu K. 2013. Method of measurement and evaluation of natural antioxidant capacity (IUPAC Technical Report). Pure Appl Chem. 85(5):957-998. Baihaki A, Suhartono MT, Sukarno, Syah D, Setyahadi S. 2016. Collagen peptides from fish skin and with angiotensin-I converting enzyme (ACE) inhibitor and cancer antiproliferative activity. Res J Pharm Biol Chem Sci. 7(1):1994-2000. Baihaki A. 2012. Kolagenase Bacillus licheniformis F11 asal Palembang dan aplikasinya pada pembuatan peptida kolagen bioaktif. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Baker K. 2005. Hypertension and Its Pharmacological Management. HST. 151: Principle of Pharmacology. Harvard-MIT Division of Health Science and Technology. USA. Balti R, Nedjar AN, Bougatef A, Guillochon D. Nasri M. 2010. Three novel angiotensin-I converting enzymes inhibitory peptides from cuttlefish (Sepia officinalis) using digestive proteases. Food Res Int. 43:1136-1143. Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. 2002. Biochemistry, 5th Edition. New York (US): W.H. Freeman Publisher. Bhat ZF, Kumar S, Bhat HF. 2015. Bioactive peptides of animal origin: a review. J Food Sci Technol. 52(9):5377-5392. Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York (US): Wiley-Liss, INC. 41 East 11th Street. Bryan J. 2009. From snake venom to ACE inhibitor: The discovery and rise of captopril. Pharmacol J. 282:455-465. Butterfield DA, Castenga A, Pocernich CB, Drake J, Scapagnini G, Calabrese V. 2002. Nutritional approaches to combat oxidative stress in alzheimers disease. J Nutr Biochem. 13:444-461. Byun HG, Kim SK. 2001. Purification and characterization of angiotensin-I converting enzymes inhibitory peptides from Alaska Pollack (Theragra chalcogramma) skin. Process Biochem. 36:1155-1162.
38 Chakrabarti S, Jahandideh F, Wu J. 2004. Food-derived bioactive peptides on inflammation and oxidative stress. Biomed Res Int. 1:1-11. Chi CF, Wang B, Li ZR, Luo HY, Ding GF, Wu CW. 2014. Characterization of acid soluble collagen from the skin of hammerhead shark (Sphyrna lewini). J Food Biochem. 38:236-247. Chobanian AV, bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT et al. 2003. Seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension. 42:1206-1252. Colin PL, Arneson C. 1995. Tropical Pacific Invertebrates:.A Field Guides to The Marine Invertebrates Occurring on Tropical Pacific Coral Reef, Seagrass Beds, and Mangroves. US: Coral Reef Press 270 North Canon Drive. CSIRO Human Nutrition. 2004. Functional Food. CSIRO Human Nutrition. Australia. www.foodscience.csiro.au/functional-foods.htm. [23 Februari 2016]. Cui FX, Chang HX, Zhao JL, Yong QZ, Ping D, Xue YF, Xin G. 2007. Characterization and subunit composition of collagen from the body wall of sea cucumber (Stichopus japonicus). Food Chem. 100:1120-1125. Dewi KH. 2008. Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra) sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Doyon M, Labrecque J. 2008. Functional food: a conceptual definition. Brit Food J. 110(11):1133-1149. Du L, Fan M, Wu H, Xie J, Wu Y, Li P, Zhang D, Huang Z, Xia Y, Zhou L, Wei D. 2013. A novel angiotensin-I converting enzymes inhibitory peptides from Phascolosoma esculenta water soluble protein hydrolysates. J Funct Food. 5:475-483. Fan J, He J, Zhuang Y, Sun L. 2012. Purification and identification of antioxidant peptides from enzymatic hydrolysates of Tilapia (Oreochromis niloticus) frame protein. Molecules. 17:12836-12850. Fielding AM. 1976. Preparation of neutral salt soluble collagen. In: DA Hall (Ed). The Methodology of Connective Tissue Research. Oxford (UK): JoysonBruvvers. Forero AR, Hernandez WV, Martinez VA. 2013. First insight into colombian caribbean sea cucumbers and sea cucumber fishery. SPC Beche-de-mer inf Bull. 33:9-13. Friess W. 1998. Review article: Collagen-biomaterial for drug delivery. Eur J Pharm Biopharm. 45:113-136. Giacco R, Guilio BD, Vitale M, Cozzolino R. 2013. Functional food: can food technology help in the prevention and treatment of diabetes?. Food Nutr Sci. 4:827-837. Gimenez B, Aleman A, Montero P, Gomez-Guillen MC. 2009. Antioxidant and functional properties of gelatin hydrolysates obtained from skin of sole and squid. Food Chem. 114:976-983. Gomez-Guillen MC, perez-mateos M, Gomez-estaca J, Lopez-Caballero E, Gimenez B, Montero P. 2009. Fish gelatin: a renewable material for the development of active biodegradable films. Trends Food Sci Tech. 20:3-16.
39 Gu RZ, Chen YL, Wen YL, Wei XY, Mu YC. 2011. Angiotensin-I converting enzymes inhibitory activity of low moleculer weight peptides from atlantic salmon (Salmo salar L) skin. Food Res Int. 44:1536-1540. Guimaraes PB, Alvarenga EC, Siquera PD, Gamero EJ, Sabatini RA, Morain RLT, Reis RI, Santo EL, Teixeria LGD, Casarini DE et al. 2011. Angiotensin II binding to angiotensin-I converting enzyme trigger calcium signaling. Hypertension. 57:965-972. Hamid AA, Aiyelagbe OO, Usman LA, Ameen OM, Lawai A. 2010. Antioxidant: Its medicinal and pharmacological applications. Afr J Pure Appl Chem. 4:142-151. Han SH, Uzawa Y, Moriyana T, Kawamura Y. 2011. Effect of collagen and collagen peptides from bluefin tuna abdominal skin on cancer cells. Health. 3:129-134. Haslaniza H, Maskat MY, Wan WM, Mamot S. 2010.The effect of enzyme concentration, temperature and incubation time of nitrogen content and degree of hydrolysis of protein precipitate from cockle (Anadara granosa) meat wash water. Int Food Res. J. 17:147-152. Howlett J. 2008. Functional Foods: From Science to Health and Claims. Belgium: International Life Science Institute. Intarasiriwat R, Benjakul S, Wu J, Vissesanguan W. 2013. Isolation of antioxidative and ACE inhibitory peptides from protein hydrolysate of skipjack (katsuwonus pelamis) roe. J Funct Food. 5:1854-1862. Jaswir I. Monsur HA, Saleh HM. 2011. Nano-structural analysis of fish collagen extract for new process development. Afr J Biotechnol. 10:18847-18854. Je JY, Park PJ, Kim SK. 2005a. Antioxidant activity of a peptides isolated from Alaska Pollack (Theragra chalcograma) frame protein hydrolisate. Food Res Int. 38:45-50. Je JY, Qian ZJ, Lee SH, Byun HG, Kim SK. 2008. Purification and antioxidant properties of bigeye tuna (Thunnus obesus) dark muscle peptides on free radical mediated oxidation systems. J Med Food. 11(4):629-637. Jenkins DJ, Srichaikul K, Mirrahimi A, Chiavaroli L, Kendal CW. 2011. Functional food to increase the effect of diet in lowering serum cholesterol. Can J Cardiol. 27(4):397-400. Jimsheena VK, Gowda LR. 2010. Arachin derived peptides as selective angiotensin I-converting enzyme (ACE) inhibitors: Structure-activity relationship. Peptides. 31:1165-1176. Jongjareonrak A, Benjakul S, Vissesanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Isolation and characterization of acid and pepsin solubilized collagen from the skin of brownstripe red snapper (Lutjanus vitta). Food Chem. 93:475484. Jun SY, Park PJ, Jung WK, Kim SK. 2004. Purification and characterization of an antioxidative peptides from enzymatic hydrolisates of yellowfin sole (Limanda aspera) frame protein. Eur Food Res Technol. 219:20-26. Jung WK, Mendis E, Je K, Park PJ, Son BW, Kim H, Choi YK, Kim SK. 2006. Angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptide from yellowfin sole (Limanda aspera) frame protein and its antihypertensive effect in spontaneously hypertensive rats. Food Chem. 94:26-32.
40 Kadler KE, Clair B, Jordi B, raymond P, Boot H. 2007. Collagen at a glance. J Cell Sci. 120(12):1955-1958. Kapel R, Rahou E, Lecouturier D, Guillochon D, Dhulster D. 2006. Characterization of an antihypertensive peptide from an alfalfa white protein hydrolysates produced by continuous enzymatic membrane reactor. Process Biochem. 41:1961-1966. Karnila R. 2012. Daya hipoglikemik hidrolisat, konsentrat, dan isolate protein teripang pasir (Holothuria scabra) pada tikus percobaan. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Kearney PM, Whelton M, Reynold K, Muntner P, Whelton PK, He J. 2005. Worldwide prevalence of hypertension: A systematic review. Hypertensions. 22:11-19. Khullar M. 2012. Genetics and Pathophysiology of Essential Hypertension. Janeza Trdine Rijeka (Croatia): InTech Publisher. Kim SK, Kim YT, Byun HG, Nam KS, Joo DS, Sahidi F. 2001. Isolation and characterization of antioxidative peptides from gelatine hydrolisate of alaska pollock skin. J Agric Food Chem. 49:1984-1989. Kim SK, Wijesekara I. 2010. Development and biological activities of marinederived bioactive peptides: a review. J Funct Food. 2:1-9. Kim SR, Byun HG. 2012. The novel angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptide from rainbow trout muscle hydrolysates. Fish Aqua Sci. 15:183190. [KKP] Kemeterian Kelautan dan Perikanan. 2013. Prospek sektor budidaya teripang indonesia. http://www.djpb.kkp.go.id. [23 November 2015]. Kordi GH. 2010. Cara Gampang Membudidayakan Teripang. Yogyakarta (ID): Lily Publisher. Korhonen H, Pihlanto A. 2003. Food derived bioactive peptides opportunities for designing future foods. Curr Pharm. 9:1297-1308. Kucharz EJ. 1992. The collagens: Biochemistry and Pathophysiology. Berlin. (Germany): Springer-Verlag. Kustiariyah. 2007. Teripang sebagai sumber pangan dan bioaktif. Bul Teknol Has Perk. 10(1):1-8. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature. 227:680-685. Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawijaya M. penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principle of Biochemistry. Li Y, Xifeng L, Lee UK, Kang JS, Choi DH, Son BW. 2006. A new radical scavenging anthracene glycoside, asperfavin ribofuranoside, and polyketides from a marine isolate of the fungus microsporum. Chem Pharm Bull. 54:882-883. Li Y, Yu J. 2014. Research progress in structure-activity relationship of bioactive peptides. J Med Food. 18(2):147-156. Lim CW, Kim YK, Yeun SM, Lee MH, Moon HS, Yoon NY, Yoon HD, Park HY, Lee DS. 2013. Purification and characterization of angiotensin-I converting enzymes inhibitory peptides from the jellyfish (Nemopilema nomurai). Afr J Biotechnol. 12:1888-1893.
41 Liu Z, Alexandria CM, Oliveira, Su YC. 2010. Purification and characterization of pepsin solubilized collagen from skin and connective tissue of giant red sea cucumber (Parastichopus californicus). J Agric Food Chem. 58:12701274. Liu Z, Dong S, Xu J, Zeng M, Song H, Zhao Y. 2008. Production of cycteine-rich antimicrobial peptides by digestion of oyster (Crassosrea gigas) with alcalase and bromelin. Food Control. 19:231-235. Lowry OH, Roseburgh NJ, Farr AL, Randal RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. J Bio Chem. 193:265-275. Luo HY, Wang B, Li ZR, Chi CF, Zhang QH, He GY. 2013. Preparation and evaluation of antioxidant peptides from papain hydrolysates of Sphyrna lewini muscle protein. Food Sci Technol. 51:281-288. Martoyo J, Aji N, Winanto TJ. 2000. Budidaya Teripang. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Matsumura T, Shinmei M, Nagai Y. 1973. Disaggregation of connective tissue: Preparation of fibrous component from sea cucumber bodywall and calf skin. J Biochem. 73:155-162. Mendis E, Rajapakse N, Kim SK. 2005. Antioxidant properties of radical scavenging peptides purified from enzymatically prepared fish skin gelatin hydrolysates. J Agric Food Chem. 53:581-587. Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songkl J Sci Techol. 26:211-219. Murray BA, Fitzgerald RJ. 2007. Angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptides derived from food proteins: Biochemistry, bioactivity and production. Curr Pharm Design. 13:773-791. Naidu KA. 2003. Vitamin C in human health and disease is still a mystery? An overview. Nutr. J. 2:7-12. Ngo DH, Ryu B, Vo TS, Himaya SWA, Wijesekara I, Kim SK. 2011. Free radical scavenging and angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptides from pacific cod (Gadus macrocephalus) skin gelatine. Int J Biol Macromol. 49(5):1110-1116. Norris R, Fitzgerald RJ. 2013. Antihypertensive Peptides from Food Proteins. Chapter 3. Rijeka (Kroatia): Intech. Ovissipour M, Benjakul S, Safari R, Motamedzadegan A. 2010. Fish protein hydrolysates production from yellowfin tuna Thunnus albacores head using alcalase and protamex. Int Aqua Res. 2:87-95. Park PJ, Jung WK, Nam KD, Shahidi F, Kim SK. 2001. Purification and characterization of antioxidative peptides from protein hydrolysates of lechitin free egg yolk. J Am Oil Chem Soc. 78:651-656. Park SY, Hee KL, Seogjae L, Hyeong CH, Somi KC, Moonjae C. 2012. Pepsin solubilized collagen (PSC) from red sea cucumber (Stichopus japonicas) regulates cell cycle and fibronectin synthesis in HaCaT cell migration. Food Chem. 132:487-492. Parker AL. 1982. Principle of Biochemistry. Maryland (US): Worth Pub Inc. Patchett AA, Harris E, Tristram EW, Wyvrat MJ, Wu MT, Taub D. 1980. A new class of angiotensin-I converting enzyme inhibitors. Nature 3:298-280. Piez KA. 1985. Collagen in; JI Kroschwitz (Ed). Encyclopedia of Polymer Science and Engineering. New York (US): John Wiley and Sons Inc.
42 Pihlanto L. 2001. Bioactive peptide derived form bovine whey protein: Opioid and ACE-inhibitory. Trends Food Sci Technol. 11:347-356. Qian ZJ, Jee JY, Kim SK. 2007. Antihypertensive effect of angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptide from hydrolysates of bigeye tuna dark muscle Thunnus obesus. J Agric Food Chem. 55:8398-8403. Qian ZJ, Jung WK, Byun HG, Kim SK. 2008. Protective effect of an antioxidant peptide purified from gastrointestinal digest of oyster (Crassostrea gigas) against free radical induced DNA damage. Bioresource Technol. 99:33653371. Ranathunga SD, Rajapakse N. 2006. Purification and characterization of antioxidative peptide derived from muscle of conger eel (Conger myriastes). Eur Food Res Technol. 222(3):310-315. Ren J, Zhao M, Shi J, Wang J, Jiang Y, Cui C, Kakuda Y, Xue SJ. 2008. Purification and identification of antioxidant peptides from grass carp muscle hydrolysates by consecutes chromatography and electropsray ionization-mass spectrometry. Food Chem. 108(2):727-736. Riccioni G, Mancini B, Illio E, Bucciarelli T, Orazio N. 2008. Protective effect of lycopene in cardiovascular diseases. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 12:183190. Roreger M. 1995. Collagen Preparation for The Controlled Release of Active Substances. PCT WO 95/28964. Roslan J, Yunus KF, Abdullah N, Mazlina S, Kamal M. 2014. Characteristic of fish protein hydrolysates from tilapia (Oreochromis niloticus) by-product. Agric Sci Procedia. 2:312-319. Roy VK, Kumar NS, Gurusubramanian G. 2012. Proteins-structure, properties and their separation by SDS-polyacrilamide gel electrophoresis. Sci Vision. 12(4):170-181. Rutherfurd SM. 2010. Methodology for determining degree of hydrolysis of protein in hydrolysates: a review. J AOAC Int. 93(5):1515:22. Saiga A, Okumura T, Makihara T, Katsuna S, Shimizu T, Yamada R, Nishimura T. 2003. Angiotensin-I converting enzymes inhibitory peptides in a hydrolyzed chicken breast muscle extract. J Agric Food Chem. 51:17401745. Saito M, Kunisaki N, Urano, Kimura S. 2002. Collagen as the major edible component of sea cucumber (Stichopus japonicus). J Food Sci. 67:13191399. Sato K, Yoshinaka R, Sato M, Shimizu Y. 1987. Isolation of native acid soluble collagen from fish muscle. Nippon Suison gakkaishi. 53:1431-1436. Scopes RK. 1981. Protein Purification: Principles and Practice. New York (US): Springer-Verlag. Sendih S, Gunawan. 2006. Keajaiban Teripang, Penyembuh Mujarab dari Laut. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Setyastuti A, Purwati P. 2015. Species list of indonesian trepang. SPC Beche-demer Inf Bull. 35:19-25. Shahidi F. 2007. Maximising the Value of Marine by-Products. USA: CRC Press. Sharma S, Raghvendar S, Shashank R. 2011. Bioactive peptides: A Review. Int J Bioautomation. 15(4):223-250.
43 Shebis Y, Iluz D, Kinel-Tahan Y, Dubinsky Z, Yehoshua Y. 2013. Natural antioxidant: function and sources. Food Nutr Sci. 4:643-649. Siddiqui YD, Arief EM, Yusoff A, Suzina AH, Abdullah SY. 2013. Isolation of pepsin solubilized collagen (PSC) from crude collagen extracted from body wall of sea cucumber (Bohadschia spp.). Int J Pharm Sci. 5(2):555559. Silvestre MPC, Morais HA, Silva VD, Silva MR, Grau. 2013. Degree of hydrolysis and peptide profile of whey proteins using pancreatin. J Braz Soc Food Nutr. 38:278-290. Trelstad RL. 1982. Immunology of collagens, in: H. Furthmater (Ed), Immunochemistry of The Extracellular matrixs. Vol 1 Methods. Boca Raton Florida (US): CRC Press. Trotter JA, Levy GL, Thurmond FA, Koob TJ. 1995. Covalent composition of collagen fibrils from the dermis of sea cucumber (Cucumaria frondosa) a tissue with mutable mechanical properties. Biochem Physiol. 112:463-478. Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MTD, Mazur M, Telser J. 2007. Free radical and antioxidant in normal physiological function and human disease. Int J Biochem. 39:44-84. Vikrant S, Tiwari SC. 2001. Essential hypertension pathogenesis and pathofisiology. J Indian Acad Clin Med. 2(3):141-161. Vo TS, Ngo DH, Kim JA, Ryu B, Kim SK. 2011. An antihypertensive peptide from tilapia gelatin diminishes free radical formation inmurine microgial cells. J Agric Food Chem. 59:12193-12197. Wang B, Li L, Chi CF, Ma JH, Luo HY, Xu HF. 2012. Purification and characterization of a novel antioxidant peptide derived from blue mussel (Mytillus edulis) protein hydrolysates. Food Chem. 138:1713-1719. Wang B, Wang YM, Chi CF, Luo HY, Deng SG, Ma JY. 2013. Isolation and characterization of collagen and antioxidant collagen peptides from scales of croceine croaker (Pseudosciaena crocea). Mar Drugs. 11:4641-4661. Wang CZ, Mehendale SR, Yuan CS. 2007. Commonly used antioxidant botanicals: active constituents and their potential role in cardiovascular illness. Am J Chin Med. 35:543-558 Wibawa SF, Retnoningrum DS, Suhartono MT. 2015. Acid soluble collagen from skin of common carp (Cyprinus carpio L), red snapper (Lutjanus sp.) and milkfish (Chanos chanos). World Appl Sci J. 33(6):990-995. Widodo A. 2011. Budidaya Teripang, Khasiat dan Cara Olah untuk Pengobatan. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru Press. Wijesekara I, Qian ZJ, Ryu B, Ngo DH, Kim SK. 2011. Purification and identification of antihypertensive peptides from seaweed pipefish (Syngnathus schelegeli) muscle protein hydrolysates. Food Res Int. 44:703-707. [WoRMS] World of Register Marine Species. 2007. Taxonomy of holothuria sp. www.marinespecies.org. [Diakses 03 september 2015]. You L, Zhao M, Regenstein JM, Ren J. 2010. Purification and identification of antioxidative peptides from loach (Misgurnus anguilicaudatus) protein hydrolysates by consecutive chromatography and electrospray ionizationmass spectroscopy. Food Res Int. 43:1167-1173.
44 Yu P, Huihui C. 2013. Optimization of conditions for enzymatic production of collagen hydrolysates from a low value Acaudina molpadoides and their activities. J Food Biochem. 38:227-235. Zhang J, Zhang H, Wang L, Ghuo X, Wang X, H. Yao. 2009. Antioxidant activities of the rice endosperm protein hydrolysates identification of the active peptide. Eur Food Res Technol. 229:709-719. Zhang Y, Karsten O, Alberto G, Jeanette O. 2013. Effect of pretreatment on enzymatic hydrolysis of bovine collagen and formation of ACE inhibitory peptides. Food Chem. 141:2343-2354. Zhang Y, Liu W, Li G, Shi B, Maio Y, Wu X. 2007. Isolation and partial characterization of pepsin-soluble collagen from the skin of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Chem. 103:906-912. Zhao L, Budge SM, Ghaly AE, Brooks MS, Dave D. 2011. Extraction, purification and characterization of fish pepsin: A critical review. J Food Process Technol. 2:126-133. Zhong M, Chen T, Hu C, Ren C. 2015. Isolation and characterization of collagen from body wall of sea cucumber Stichopus monotuberculatus. J Food Sci. 01:1-9. Zhou P, Regenstein JM. 2005. Effect of alkaline and pretreatment on alaska pollock skin gelatin extraction. J Food Sci. 70(6):392-396. Zhu BW, Dong XP, Zhou DY, Gao Y, Yang JF, Lie DM, Zhao XK, Ren TT, Ye WX, Tan H. et al. 2012. Physichocemical properties and radical scavenging capacities of pepsin solubilized collagen from sea cucumber Stichopus japonicus. Food Hydrocolloid. 11:182-188.
45
LAMPIRAN
46
47 Lampiran 1 Komposisi dan Pereaksi SDS-PAGE 1. Pembuatan pereaksi Larutan A (30% b/v akrilamid, 0,8% b/v bisakrilamid 100 ml) 29.2 gram akrilamida ditambah 0.8 gram bis akrilamida lalu tambahkan aquades 100ml dan diaduk hingga merata Larutan B (4x bufer gel pemisah 100 ml) 75 ml Tris HCl 2 M pH 8.8 ditambah 4 ml 10% SDS lalu ditambah 21 ml aquades Larutan C (4x buffer gel penahan 100 ml) 50 ml Tris-HCl 1 M pH 6.8 ditambah 4 ml SDS 10% lalu ditambah aquades sebanyak 46 ml Bufer Tris-HCl 1 M pH 6.8 100ml 12.1 gram Tris ditambah 50 ml aquades llau ditambah HCl 1 M hingga pH 6.8 lalu ditera hingga 100ml Bufer Tris-HCl 2 M pH 8.8 (50 ml) 24,2 gram Tris ditambah 50 ml aquades lalu ditambah HCl 1M hingga pH 8.8. Larutan ditera hingga 100 ml dengan aquades Gliserol 50% 50 ml gliserol 100% ditambah aquades 50 ml 10% Amonium persulfate (APS) 5 ml 0.5 gram APS ditambah 5ml aquades 10% SDS 100 ml 10 gram SDS dilarutkan dalam 100 ml aquades Bromphenol blue (BB) 1% 100 mg BB ditambah dengan 10 ml aquades Buffer elektroforesis 1 liter 3 gram Tris ditambah 14,4 gram glisin, ditambah 1 gram SDS lalu ditambah aquades hingga volume 1000ml Buffer sampel 0.6 ml buffer Tris-HCl pH 6.8 ditambah 5 ml gliserol 50%, lalu ditambah 2 ml SDS 10% dan 0.5 ml 2-merkaptoetanol. Selanjutnya ditambah 1 ml bromphenol blue dan ditambah aquabides hingga 10 ml. Total volume larutan sebanyak 10 ml Larutan pewarna (staining) 0,5 gram commasive brilliant blue ditambah asam asetat glacial 50 ml dan metanol p.a 200 ml. Selanjutnya ditera dengan aquades hingga 500 ml Larutan peluntur (destaining) 50 ml asam setat glasial ditambah 200 ml metanol p.a lalu ditera dengan aquades hingga 500 ml
48 2. Komposisi gel pemisah (separating gel) dan gel penahan (stacking gel)
Larutan A Larutan B Larutan C Substrat (aq) Akuades 10 % APS TEMED
8% 2,72 ml 2,5 ml 1 5 ml 0,1 ml 0,01 ml
10 % 3.4 ml 2,5 ml 1 4.17 ml 0,1 ml 0,01 ml
12 % 4.2 ml 2,5 ml 1 3.33 ml 0,1 ml 0,01 ml
14 % 4,76 ml 2,5 ml 1 2.5 ml 0,1 ml 0,01 ml
4% 1,25 0,05 ml 0,005 ml
49 Lampiran 2 Perhitungan Berat Molekul Kolagen dan Peptida Kolagen Berat molekul kolagen dan peptida kolagen BM 130.33 80, 42 45.59 29.55 95.03 47.14 28.58 95.03 44.09 27.64 91.91 44.09 27.64 95.03 45.59 27.64 91.91 42.6 24.1
kolagen utuh Hidrolisis 30 menit Hidrolisis 60 menit
Hidrolisis 90 menit
Hidrolisis 120 menit
Hidrolisis 180 menit
Hidrolisis 240 menit
Jarak 10 24 41 54 19 40 55 19 42 56 20 42 56 19 41 56 20 43 60
Log BM 2.11506 1.905382 1.658945 1.470493 1.977864 1.673441 1.455996 1.977864 1.644449 1.4415 1.963368 1.644449 1.4415 1.977864 1.658945 1.4415 1.963368 1.629952 1.383515
Rf 0.096154 0.237624 0.405941 0.534653 0.188119 0.39604 0.544554 0.188119 0.415842 0.554455 0.19802 0.415842 0.554455 0.188119 0.405941 0.554455 0.19802 0.425743 0.594059
berat molekul marker 1
Log BM
0.8 y = -0.675x + 1.525 R² = 0.957
0.6 0.4 0.2 0 -0.2
0
0.5
1
1.5
Rf
2
2.5
3
50 Lampiran 3 Analisis Keragaman (ANOVA) dan Uji Lanjut untuk Analisis Persen Derajat Hidrolisis Descriptive
.00 30.00 60.00 90.00 120.00 180.00 240.00 Total Model F Model R
N
Mean
2 2 2 2 2 2 2 14
38.5500 46.6970 52.4315 55.7015 59.4780 59.4505 59.3295 53.0911
Std. Deviation .63640 .40871 .33305 .96237 .75802 .53669 .47305 7.65684 .62055
95 % Confidence interval for mean Lower Upper 32.8322 44.2678 43.0249 50.3691 49.4392 55.4238 47.0549 64.3481 52.6675 66.2885 54.6285 64.2725 55.0793 63.5797 48.6702 57.5121 52.6990 53.4833 45.7336 60.4487
Std. Error .45000 .28900 .23550 .68050 .53600 .37950 .33450 2.04638 .16585 3.00686
Test of Homogeneity of Variances Level Statistic s.
df1 6
df2 .
Sig. .
ANOVA
Between Groups
Sum of Squares 759.459
df 6
Mean Square 126.576 .385
Within Groups
2.696
7
Total
762.154
13
F 328.705
Sig. .000
Post Hoc Test Duncan N Duncan (a)
Subset for alpha = .05
waktu 00
1 2
30.00
2
60.00
2
90.00
2
240.00
2
59.3295
180.00
2
59.4505
120.00
2
Sig.
2 38.5500
3
4
5
1
46.6970 52.4315 55.7015
59.4780 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
1.000
1.000
.824
51 Lampiran 4 Analisis Keragaman (ANOVA) dan Uji Lanjut untuk Aktivitas Penghambatan ACE Descriptive
.00 30.00 60.00 90.00 120.00 180.00 240.00 Total Model F Model R
N
Mean
2 2 2 2 2 2 2 14
29.2250 63.5850 67.9350 77.0000 78.5750 82.3100 80.4900 68.4457
Std. Deviation .38891 .19092 .53033 .48083 .28991 .24042 .67882 17.87075 .43141
95 % Confidence interval for mean Lower Upper 25.7308 32.7192 61.8697 65.3003 63.1702 72.6998 72.6799 81.3201 75.9702 81.1798 80.1499 84.4701 74.3910 86.5890 58.1274 78.7640 68.1731 68.7184 51.2458 85.6456
Std. Error .27500 .13500 .37500 .34000 .20500 .17000 .48000 4.77616 .11530 7.02921
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic .
df1 6
df2 .
Sig. .
ANOVA
Between Groups
Sum of Squares 4150.427
df 6
Mean Square 691.738 .186
Within Groups
1.303
7
Total
4151.729
13
F 3716.736
Sig. .000
Post Hoc Test Duncan N Waktu .00
1 2
30.00
2
60.00
2
90.00
2
120.00
2
240.00
2
180.00
2
Sig.
Subset for alpha = .05 2 29.2250
3
4
5
6
7
1
63.5850 67.9350 77.0000 78.5750 80.4900 82.3100 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
1.000
1.000
1.000
1.000
52 Lampiran 5 Analisis Keragaman (ANOVA) dan Uji Lanjut untuk Aktivitas Antioksidan Descriptive
.00 30.00 60.00 90.00 120.00 180.00 240.00 Total Model F Model R
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
2 2 2 2 2 2 2 14
3.6710 3.3140 2.7175 2.5100 1.9035 2.1245 2.1945 2.6336
.01556 .03677 .02616 .11597 .00495 .09829 .03606 .62755 .06177
.01100 .02600 .01850 .08200 .00350 .06950 .02550 .16772 .01651 .24623
95 % Confidence interval for mean Lower Upper 3.5312 3.8108 2.9836 3.6444 2.4824 2.9526 1.4681 3.5519 1.8590 1.9480 1.2414 3.0076 1.8705 2.5185 2.2712 2.9959 2.5945 2.6726 2.0311 3.2361
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
6
.
.
.
ANOVA
Between Groups
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
5.093
6
.849
222.440
.000
.004
Within Groups
.027
7
Total
5.120
13
Post Hoc Test Duncan N
Subset for alpha = .05
Waktu 120.00
1
2
2
1.9035
180.00
2
2.1245
240.00
2
2.1945
90.00
2
60.00
2
30.00
2
.00
2
Sig.
3
4
5
6
1
2.5100
1.000 .294 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
2.7175 3.3140 3.6710 1.000
1.000
1.000
53 Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Teripang gama segar
Perendaman teripang dalam aquades
Perendaman teripang dalam Tris-HCl EDTA
Perendaman teripang dalam NaOH
Perendaman teripang dalam asam asetat
Kolagen teripang gama
Hidrolisat kolagen
Uji konsentrasi protein peptida kolagen
Uji ACE inhibitor peptida kolagen
Uji antioksidan peptida kolagen
Uji antioksidan standar asam askorbat
SDS PAGE peptida kolagen
54
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Trenggalek pada tanggal 07 April 1989 sebagai anak pertama dari ayah bernama Drs H Agung Darmanto dan Ibu Hj Drs Sulikah. Pendidikan taman kanakkanak hingga menengah atas ditempuh di Trenggalek. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri I Trenggalek sejak 2004-2007. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada bulan Juli 2012. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan beasiswa program pendidikan dalam negeri (BPPDN) dari direktorat jenderal tingkat tinggi (DIKTI) dan melanjutkan pendidikan program magister di Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2015 penulis menikah dengan Laily Yunita Susanti. Penulis memiliki minat keilmuan di bidang Kimia dan Biokimia pangan. Di masa perkuliahan, penulis aktif di lembaga Forum Mahasiswa Ilmu Pangan (FORMASIP) pada tahun 2014-2015 dan beberapa kegiatan sosial diluar kampus. Publikasi ilmiah yang pernah ditulis berjudul Aktivitas Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE) dan Antioksidan Peptida Kolagen dari Teripang Gama (Stichopus variegatus) dan diterbitkan di dalam Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol.10 No.1 Tahun 2015 ISSN 1907-9133.