i
KARAKTERISTIK HABITAT PREFERENSIAL TARSIUS (Tarsius tarsier) DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, MAROS, SULAWESI SELATAN
NUR AISYAH AMNUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 (i)
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Habitat Preferensial bagi Tarsius (Tarsius tarsier) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2010
Nur Aisyah Amnur NRP. E351080265
(ii)
iii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(iii)
ABSTRAK NUR AISYAH AMNUR. Characteristics of Habitat Preference of Tarsius tarsier in Bantimurung Bulusaraung National Park, Maros, South Sulawesi. Supervised by ABDUL HARIS MUSTARI and AGUS PRIYONO KARTONO. Tarsius tarsier was reported to occur throughout the island of Sulawesi and several small adjacent islands around it. For effective conservation, a detailed knowledge of the habitat requirements and preferences of the species concerned is needed. The presence of tarsier population and its habitat characteristics in Bantimurung Bulusaraung National Park are not clearly known. The habitat quality and space have been decreasing due to the increasing of human activities. This study that was carried out in Pattunuang Resort from Desember 2009 to Pebruari 2010, aimed to analyze the relationship between the existence of tarsier and its habitat characteristics, and to determine habitat preferences of tarsiers in the study area. The results showed that the tarsier was found on flat to steep topography with slope gradient reached 38%. The densities of plants at various of structure vegetation were higher in Blok Pute. Plant diversity was generally significantly different in each location. The abundance of insect species richness was highest in Blok Pattunuang among other location with pattern distribution were clumped. Based on the index of Neu, Tarsius tarsier preferred bamboo habitats to the secondary forest and karst vegetation to maintain their viability in this area. Keywords: Tarsius tarsier, habitat characteristics, habitat preferences,
RINGKASAN NUR AISYAH AMNUR. Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius Tarsius tarsier di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Tarsius merupakan salah satu spesies endemik di Pulau Sulawesi yang tersebar luas, mulai dari Kepulauan Sangihe hingga ke Pulau Selayar. Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan salah satu kawasan ditemukannya tarsius, dimana satwa ini ditemukan di tebing-tebing karst dan rumpun bambu. Diduga pemilihan tebing karst dan rumpun bambu dilakukan guna menghindari aktivitas perburuan, predator, serta semakin meningkatnya aktivitas manusia di kawasan ini. Dalam upaya mempertahankan keberadaannya di alam, pemilihan habitat dilakukan terhadap habitat yang terbentuk dari interaksi dan kombinasi berbagai faktor fisik dan biotik yang dapat menjamin semua kebutuhannya. Penelitian karakteristik habitat preferensial tarsius perlu dilakukan guna mengetahui habitat yang dipilih tarsius di TN Babul. Hasil penelaahan yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan populasi dan habitat dalam upaya pelestarian tarsius di TN Babul. Penelitian dilaksanakan di Resort Pattunuang, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Camba, TN Babul, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sejak bulan Desember 2009 sampai dengan Pebruari 2010. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis hubungan keberadaan tarsius dengan karakteristik habitat di TN Babul dan menentukan preferensi habitat tarsius di TN Babul. Bahan dan alat yang digunakan untuk pengamatan di lapangan antara lain: peta kawasan TN Babul, GPS, teropong binokuler, altimeter, termohygrometer, hagahypsometer, kaliper, kertas label, meteran, kain putih, lampu petromaks, botol spesimen, alkohol 70%, kantong plastik untuk herbarium, field guide, tally sheet, alat tulis dan SPSS ver. 16 untuk pengolahan dan analisa data. Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari (1) Karakteristik habitat, meliputi (a) komponen fisik habitat yaitu ketinggian tempat, kemiringan lahan, iklim mikro (suhu dan kelembaban udara), serta jarak terhadap pemukiman dan sungai; (b) komponen biotik habitat yaitu struktur dan komposisi vegetasi, keberadaan satwa lainnya, jumlah jenis serangga sebagai potensi pakan tarsius, (2) Preferensi habitat. Data-data tersebut kemudian dianalisis melalui: 1) Analisa data deskriptif, yang meliputi analisis data-data biotik dan fisik lokasi penenlitian. Hasil analisisnya kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, dan persentase, 2) Analisis vegetasi, untuk mengetahui struktur tumbuhan, kerapatan, keanekaragaman jenis, serta kesamaan komunitas tumbuhan, 3) Uji beda chi-square, untuk melihat perbedaan karakteristik habitat pada ketiga blok pengamatan, dan yang terakhir adalah 4) Analisis dengan menggunakan metode Neu untuk menentukan habitat preferensi tarsius. Penelitian dilakukan pada tiga blok pengamatan, yaitu blok Pute, Parang Tembo dan Pattunuang. Tarsius ditemukan pada ketinggian tempat dengan kisaran 75 – 360 m dpl. Berdasarkan topografi dan konfigurasi lahan, berada pada kondisi datar hingga berbukit agak curam, dengan kemiringan 0 – 25%. Suhu udara berada pada kisaran 24 – 280C dengan kelembaban udara pada kisaran
69 - 80%. Lokasi pemukiman berada pada kisaran 350 – 513 meter dan jarak sungai 50 – 412 meter dari lokasi tarsius. Hasil analisis vegetasi ditemukan 901 individu dari 87 jenis tumbuhan. Kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan lebih tinggi ditemukan pada blok Pute, kemudian blok Parang Tembo dan terendah pada blok Pattunuang. Tingkat kesamaan komunitas tumbuhan antara blok Pute dengan blok Parang Tembo lebih besar pada tingkat pancang (34,61%), antara blok Pute dengan blok Pattunuang pada tingkat tiang (48,96%), dan antara blok Parang Tembo dengan blok Pattunuang 38,57% pada tingkat semai dan 2,33% pada tingkat pohon. Secara keseluruhan satwa lain yang teridentifikasi adalah Elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus), Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), dare’ (Macaca maura), burung srigunting (Dicrurus hottentotus), Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii), burung hantu (Otus manadensis), ular sanca (Python reticulatus), tongali (Ailurops ursinus). burung madu, beo, tekukur (Micropaga amboinensis), tikus tanah, nuri bayam, kelelawar, Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), kadal terbang (Draco sp.), dan beberapa jenis kupu-kupu endemik. Ditemukan 54 jenis serangga dari 11 ordo dengan jumlah keseluruhan 692 individu. Keanekaragaman jenis lebih besar di blok Parang Tembo (3,04), kemudian blok Pute (3,01) dan blok Pattunuang (2,85). Pola penyebaran serangga secara keseluruhan adalah mengelompok dan seragam. Berdasarkan uji chi-square terhadap 19 variabel yang diukur dari komponen fisik dan biotik, secara keseluruhan terdapat perbedaan karakteristik habitat pada ketiga blok pengamatan. Berdasarkan hasil analisis indeks preferensi dengan metode Neu diketahui bahwa habitat yang disukai tarsius adalah blok Parang Tembo dengan nilai indeks preferensi 1,56. sedangkan untuk blok Pute (0,87) dan blok Pattunuang (0,89) lebih dihindari oleh tarsius. Sebagai kesimpulan habitat yang dipilih oleh tarsius di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kondisi topografi datar hingga berbukit agak curam dengan kemiringan 0 – 25%. Tarsius menggunakan rumpun bambu dan tebing karst menjadi lokasi tidur, dengan struktur dan komposisi vegetasi sekitarnya yang cukup mendukung pergerakan tarsius. Ketersediaan serangga sebagai sumber pakan lebih beragam jenisnya dengan pola sebaran mengelompok. Terdapat perbedaan karakteristik habitat pada ketiga blok pengamatan lokasi ditemukannya tarsius. Habitat blok Parang Tembo lebih dipilih sebagai tempat berkembang biak dibandingkan blok Pute dan blok Pattunuang.
LAMPIRAN
iv
KARAKTERISTIK HABITAT PREFERENSIAL TARSIUS (Tarsius tarsier) DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, MAROS, SULAWESI SELATAN
NUR AISYAH AMNUR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 (iv)
v
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. M. Bismark, MS
(v)
vi Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius (Tarsius tarsier) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan : Nur Aisyah Amnur : E351080265 : Konservasi Keanekaragaman Hayati
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Abdul Haris Mustari. M.Sc.For NIP. 19651015 199103 1 003
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si NIP. 19660221 199103 1 001
Diketahui,
Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA NIP. 19601004 198501 1001
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. NIP. 19560404 198011 1 002
Tanggal Ujian: 30 Juli 2010
Tanggal lulus:
(vi)
vii
PRAKATA Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi
pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis berjudul Karakteristik Habitat
Preferensial Tarsius (Tarsius tarsier) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, dibimbing oleh Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.For selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku anggota. Tesis ini disusun atas dasar kurangnya data dan informasi tentang tarsius, sebagai salah satu primata terkecil yang penyebarannya cukup luas di Pulau Sulawesi. Populasinya di alam terindikasi mengalami penurunan akibat terjadinya peningkatan aktivitas manusia. Ditemukannya tarsius di tebing-tebing karst dan rumpun bambu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) mengindikasikan
tarsius
menggunakan
ruang-ruang
tertentu
didalam
mempertahankan keberlangsungan hidupnya di alam. Tesis ini menguraikan tentang karakteristik habitat ditemukannya tarsius yang terdiri atas komponen fisik dan biotik, seperti ketinggian tempat, kelerengan, suhu dan kelembaban udara, jarak dari pemukiman dan sungai, struktur dan komposisi vegetasi, keberadaan satwa lainnya, serta jumlah jenis serangga yang berpotensi sebagai pakan tarsius. Selain itu, diuraikan pula variabel dominan komponen habitat yang dipilih dan disukai oleh tarsius di TN Babul. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga informasi yang terkandung dalam tesis ini bermanfaat bagi para pihak terkait dan bagi mereka yang memerlukan. Bogor,
Agustus 2010
Nur Aisyah Amnur (vii)
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan rahmat-NYA sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dorongan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis menyampaikan
terima kasih kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin dan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, (2) Ir Helmi, selaku Kepala Balai TN Takabonerate dan seluruh staf TN Takabonerate atas dukungan dan motivasinya (3) Ir. Agus Budiono, MSc selaku Kepala Balai TN Bantimurung Bulusaraung atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini, (4) Seluruh staf Balai TN Bantimurung Bulusaraung atas bantuan yang diberikan selama penelitian berlangsung, serta (4) Pak Pado dan seluruh masyarakat Kampung Pute, Parang Tembo dan Pattunuang atas segala keramahannya menerima penulis selama berada di lapangan. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.For dan Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si, atas segala curahan pemikiran, waktu, kesabaran, nasihat, dan pengarahan selama pembimbingan, juga kepada Bapak Prof. Dr. M. Bismark, MS atas kesediaannya meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi. Kepada Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku ketua program dan seluruh staf pengajar program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diucapkan terima kasih atas segala tambahan ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama pendidikan berlangsung. Seluruh staf Departemen KSHE, Dede, Pak Sofwan, Mbak Irma (Almh), Bi Um, dan Mang Udin, terima kasih atas waktu yang diluangkan dalam membantu kelancaran studi. Seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S2 KKH 2008 (Mbak Atun, Fitri, Tuti, Ika, Rikha, Lili, Titi, Nur Rohma, Maria, Yaya, Lita, Desi, Astri, Mas Kuswandono, Sapto Aji, Taqiuddin, Yudhi, Ginda, (viii)
ix Yakub, Allan, Bambang, Purwadi, Haris, Steph) dan KVT 2008 (Pak Maman, Toto, Ihsan, Insan, dan Kak Juli) terima kasih atas kebersamaan yang kita jalani selama ini. Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada Ibu Wirdateti dan Pak Hadi (Puslit Biologi LIPI), Mbak Maya (BPK Makassar), Pak Rosyid (UNTAD), DJ, Nasri, Siadi, Jimmy (KSH Fahutan UNHAS) atas diskusi, sumbangsih saran dan wawasan yang diberikan kepada penulis. Ucapan
khusus
penulis
sampaikan
kepada
suami
tercinta
Hadikesumanjaya, S.Pt dan putri kecilku Fathima Az-Zahra atas keikhlasan dan ketulusan hati menerima ketidakbersamaan kita selama menjalani studi ini. Kepada Ayahanda Amrullah Mahmud dan Ibunda Nur Aeni H. Amir serta saudara-saudaraku tercinta, terima kasih atas doa dan segala dukungan yang kalian berikan. Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT akan memberikan balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan studi, sehingga nantinya tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor,
Agustus 2010
Nur Aisyah Amnur
(ix)
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 Desember 1976, anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Amrullah Mahmud dan Ibu Nur Aeni H. Amir.
Pendidikan formal pertama diperoleh
penulis tahun 1982 di TK Pertiwi Makassar. Tahun 1983 melanjutkan pendidikan ke SD Negeri Gunung Sari I Makassar, kemudian tahun 1989 melanjutkan ke SMP Negeri 3 Makassar. Tahun 1995 lulus dari SMA Negeri 2 Makassar, kemudian menjadi mahasiswa pada tahun 1996 pada program studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Memulai karir kerja tahun 2000 – 2001 pada KSU Milik Bersama Makassar, konsultan lingkungan pada Bapedalda Kota Makassar dan CV. ESCO (Environmental Services Consultant) tahun 2002-2003, dan pada tahun yang sama diterima menjadi Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada Departemen Kehutanan dan ditempatkan pada Balai Taman Nasional Laut Takabonerate, Benteng, Selayar, Sulawesi Selatan. Tahun 2008 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan guna melanjutkan pendidikan pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
(x)
xi
(xi)
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..........................................................................................
i
DAFTAR TABEL....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
v
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian........................................................................ 1.3 Manfaat Penelitian......................................................................
1 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Umum Tarsius........................................................... 2.2 Morfologi ................................................................................... 2.3 Habitat dan Penyebaran ............................................................. 2.4 Perilaku Makan .......................................................................... 2.5 Perilaku Sosial ........................................................................... 2.6 Perilaku Reproduksi ................................................................... 2.7 Perkembangan Penelitian Tarsius .............................................. 2.8 Pemilihan Habitat ......................................................................
3 4 6 9 10 12 13 14
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Kondisi Umum TN Bantimurung Bulusaraung........................... 3.1.1 Dasar Hukum dan Luas Kawasan ...................................... 3.1.2 Batas Administrasi ............................................................. 3.1.3 Kondisi Fisik Kawasan ...................................................... 3.1.4 Kondisi Bioekologi ............................................................ 3.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ............. 3.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian................................................
16 16 17 17 21 23 23
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.2 Peralatan dan Bahan.................................................................... 4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan .................................................... 4.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 4.5 Metode Analisis Data ..................................................................
(i)
26 26 27 28 31
ii V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Habitat Tarsius 5.1.1 Komponen Fisik Habitat..................................................... 5.1.2 Komponen Biotik Habitat................................................... 5.2 Preferensi Habitat Tarsius ..........................................................
35 40 53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 6.2 Saran ............................................................................................
57 57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
58
LAMPIRAN ............................................................................................
65
(ii)
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa hasil penelitian tarsius di Indonesia
13
2
Jumlah curah hujan dan hari hujan pada stasiun meteorologi Hasanuddin Mandai 2004 – 2008
18
Rata-rata suhu udara tiap bulan pada stasiun meteorologi Hasanuddin Mandai tahun 2006 - 2008
19
4
Kepadatan penduduk di sekitar TN Babul tahun 2007
24
5
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian
27
6
Kriteria yang diukur pada metode Neu
34
7
Hasil pengukuran populasi tarsius, ketinggian tempat, kelerengan di blok pengamatan
34
Hasil pengukuran suhu, kelembaban udara, jarak pemukiman dan sungai dari blok pengamatan
35
Jumlah jenis dan individu masing-masing tingkat pertumbuhan pada ketiga blok pengamatan
40
10 Jumlah individu, jenis dan kelimpahan serangga di lokasi penelitian
51
11 Nilai Indeks Neu untuk preferensi habitat tarsius di TN Babul
55
3
8 9
(iii)
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Sketsa tujuh spesies tarsius di Sulawesi
5
2
Perbedaan anatomi kelompok Western tarsier, Philippine tarsier dan Eastern tarsier
6
3
Peta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
17
4
Puncak Gunung Bulusaraung di TN Bantimurung Bulusaraung
20
5
Lokasi penelitian di TN Babul
26
6
Bentuk dan ukuran petak pengamatan vegetasi untuk berbagai tingkat pertumbuhan
30
7
Kerapatan pada berbagai tingkat pertumbuhan pada blok pengamatan 42
8
Diameter dan tinggi tumbuhan tingkat tiang dan pohon
43
9
Kondisi habitat di blok Pute
45
10 Kondisi habitat di blok Parang Tembo
46
11 Kondisi habitat di blok Pattunuang
47
12 Beberapa jenis satwa yang ditemukan di lokasi penelitian
50
13 Beberapa jenis serangga yang ditemukan di lokasi penelitian
52
14 Tarsius tarsier yang ditemukan di lokasi penelitian
54
(iv)
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi penelitian
65
2
Rekapitulasi nama tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian
66
3
Rekapitulasi nama serangga yang ditemukan di lokasi penelitian
69
4
Perhitungan kerapatan dan indeks Shannon-Wiener pada tingkat semai
71
5
Perhitungan kerapatan dan indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang 74
6
Perhitungan kerapatan dan indeks Shannon-Wiener pada tingkat tiang
78
7
Perhitungan kerapatan dan indeks Shannon-Wiener pada tingkat pohon
81
8
Perhitungan kesamaan komunitas tumbuhan tingkat semai
84
9
Perhitungan kesamaan komunitas tumbuhan tingkat pancang
86
10 Perhitungan kesamaan komunitas tumbuhan tingkat tiang
88
11 Perhitungan kesamaan komunitas tumbuhan tingkat pohon
90
12 Perhitungan pola sebaran jenis serangga di TN Babul
92
13 Perhitungan indeks Shannon-Wiener jenis serangga di TN Babul
97
14 Perhitungan kesamaan komunitas jenis serangga di TN Babul
103
15 Hasil uji Chi-square 19 variabel antara blok Pute dengan blok Parang Tembo
105
16 Hasil uji Chi-square 19 variabel antara blok Pute dengan blok Pattunuang
112
17 Hasil uji Chi-square 19 variabel antara blok blok Parang Tembo dengan blok Pattunuang 119
(v)
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu spesies endemik yang terdapat di Pulau Sulawesi yaitu tarsius, tersebar luas, mulai dari Kepulauan Sangihe hingga ke Pulau Selayar. Tarsius tergolong dalam satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Dikategorikan vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan termasuk dalam Appendiks II CITES (IUCN 2008). Terdapat kurang lebih 17 populasi tarsius di Pulau Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies yang sudah mempunyai nama yaitu Tarsius tarsier (=spectrum), T. pumilus, T. dianae, T. pelengensis, T. sangirensis (Shekelle & Leksono 2004). Dua spesies jenis baru adalah T. siau (Shekelle et al. 2008) dan T. lariang (Merker & Groves 2006). Bervariasinya masing-masing spesies ini menunjukkan karakteristik dari masing-masing wilayah sebaran, dimana secara khusus variasi habitat dan pakan mempengaruhi keberlangsungan perkembangbiakan satwa tersebut di alam (Wirdateti & Dahruddin 2008). Tarsius ditemukan dalam kisaran habitat yang luas dari vegetasi sekunder, hutan bakau, hutan dataran rendah, hutan-hutan tepi sungai dan hutan pegunungan (MacKinnon & MacKinnon 1980). Populasinya mengalami penurunan 15 tahun terakhir seiring terjadinya perubahan fungsi hutan (Gursky 1998).
Menurut
Shekelle & Salim (2008), sejak tahun 1999 hingga 2000 sekitar 15 – 26% luasan hutan di suatu pulau di konversi menjadi lahan pertanian, dan sejak itu hilangnya habitat tarsius bertambah hingga 10%.
Ditemukannya tarsius di luar hutan
mengindikasikan terjadi perubahan pola pergerakan dalam mencari sumberdaya dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan habitat yang terjadi (Wirdateti & Dahruddin 2008, Merker et al. 2004). Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan salah satu kawasan ditemukannya tarsius di Sulawesi Selatan. Keberadaannya telah lama diketahui oleh masyarakat setempat, namun hingga (1)
2 saat ini belum diketahui berapa jumlah populasi tarsius yang terdapat dalam kawasan karena belum dilakukannya identifikasi dan inventarisasi secara menyeluruh terhadap satwa ini. Satwa ini ditemukan di tebing-tebing karst dan rumpun bambu (Wirdateti & Dahruddin 2008, Qiptiyah et al. 2009), diduga keberadaannya di lokasi tersebut adalah untuk menghindari perburuan yang dilakukan penduduk setempat serta menghindari predator alami seperti ular sanca (Python reticulatus), elang (Spizaetus lanceolatus), anjing dan kucing liar yang banyak ditemukan disekitar kawasan ini.
Terjadinya peningkatan aktivitas
manusia disekitar dan di dalam kawasan TN Babul juga menjadi salah satu ancaman tarsius di kawasan ini. Dalam upaya mempertahankan keberadaannya di alam, pemilihan habitat dilakukan sehingga tarsius dapat bertahan hidup dan aman dari gangguan.
Pemilihan dilakukan terhadap habitat yang terbentuk dari
interaksi dan kombinasi berbagai faktor fisik dan biotik yang dapat menjamin semua kebutuhannya seperti makanan, air, tempat berlindung, serta untuk berkembang biak.
Penelitian karakteristik habitat preferensial tarsius perlu
dilakukan guna mengetahui habitat yang dipilih tarsius di TN Babul.
Hasil
penelaahan yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengelolaan populasi dan habitat dalam upaya pelestarian tarsius di TN Babul. B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Menganalisis hubungan keberadaan tarsius dengan karakteristik habitat di TN Babul.
2.
Menentukan preferensi habitat tarsius di TN Babul.
C. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan data tentang habitat yang dipilih dan sesuai bagi tarsius di TN Babul.
Informasi yang
diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dan acuan dalam pengelolaan populasi dan habitat dalam rangka konservasi insitu dan eksitu tarsius di TN Babul. (2)
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Umum Tarsius Tarsius tarsier merupakan salah satu satwa endemik Pulau Sulawesi dan salah satu spesies dari tiga spesies tarsius yang terkenal di dunia. Spesies lainnya adalah T. syrichta yang ditemukan di Philipina dan T. bancanus yang banyak ditemukan di Kalimantan dan Sumatera (Wirdateti & Dahrudin 2006). IUCN (2008) mengklasifikasikan tarsius ke dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Primata, Sub ordo Haplorrhini, Superfamili Tarsoidea, Familia Tarsiidae, Genus Tarsius, Spesies Tarsius tarsier Erxleben 1977, merupakan sinonim T. spectrum Pallas 1779 (Hill 1955), dan merupakan tipe lokal Makassar (Jones et al. 2004, Shekelle 2008). Genus tarsius berdasar data morfologi yang didukung dengan data vokalisasi dikelompokkan ke dalam lima spesies, yaitu Tarsius pumilus, T. dianae, T. tarsier, T. bancanus dan T. syrichta (Musser & Dagosto 1987). Empat spesies diantaranya terdapat di Indonesia dengan daerah penyebaran Sumatera dan Kalimantan (T. bancanus), Sulawesi (T. tarsier, T. pumilus, T. dianae) dan satu spesies ada di Philipina (T. syrichta). Telah ditemukan 17 populasi tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies sendiri dan baru lima spesies di antaranya sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. dianae, T. pumilus, T. sangirensis, dan T. pelengensis (Shekelle & Leksono 2004). Setiap wilayah sebaran mempunyai jenis spesifik yaitu T. sangirensis dari Pulau Sangihe, T. spectrum dari Sulawesi Utara, T. dianae dari Sulawesi Tengah, T. pumilus dari Sulawesi Tengah dan Selatan, serta T. pelengensis dari Kepulauan Peleng (Supriatna & Wahyono 2000). Dua spesies tarsius jenis baru adalah dari Kepulauan Siau oleh Myron Shekelle (Shekelle et al. 2008) dan T. lariang oleh Stevan Merker di daerah Gimpu dan sekitarnya, Sulawesi Tengah (Merker & Groves 2006). Di Indonesia tarsius memiliki banyak nama lokal. T tarsier disebut juga Tangkasi (Minahasa), Ngasi (Sulteng), Tanda-bona Passo (Wana), Podi (Tolaki dan Selayar), Wengu (Mornene), Tenggahe (Sangir), Tanda-bana (Sulut). (3)
4 T. Bancanus disebut Kera buku, Singapuar (Bengkulu), Krabuku (Lampung), Palele (Belitung), Mentiling ingkir, Ingkit, Linseng (Ngaju), Page (Tidung), Makikebuku (Karimata), Singaholeh (Kutai), Tempiling (Kalbar), binatang hantu dan Simpalili (Melayu) (Supriatna & Wahyono 2000). Masyarakat sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung menyebut satwa ini balao cangke (bahasa Makassar) yang artinya tikus jongkok karena bentuknya yang mirip tikus dan apabila satwa ini berada di atas dahan pohon posisinya seperti dalam keadaan jongkok. B. Morfologi Primata kecil yang unik ini sering juga disebut binatang hantu, dengan tampang seperti monyet kecil bermata merah besar dan bulat yang digunakan untuk melihat pada malam hari (Dephut 1978). Satwa dari sub familia Prosimia ini merupakan hewan pencengkeram dan pelompat vertikal (Jolly 1972) dan juga mempunyai loncatan panjang beruntun yang cepat (Niemitz 1984). Niemitz (1984) mengemukakan kunci dalam mengidentifikasi jenis dari tarsius sebagai berikut: T. spectrum Pallas 1778 yang merupakan sinonim dari T. tarsier, mempunyai ciri-ciri antara lain, muka menyerupai Galago senegalensis, ekor berambut, panjang jumbai kurang lebih 110 mm, tinggi rambut jumbai 5 mm – 12 mm, suatu kelompok dari rambut yang pendek dan keras memiliki sisik menyerupai struktur kulit ekor.
T. bancanus Hersfield 1821
mempunyai ciri-ciri antara lain, panjang kaki belakang sekitar 59 mm - 74 mm, panjang ekor 80 mm – 245 mm, jumbai rambut pada ekor berkembang dengan baik, tinggi rambut jumbai 7 mm dan kulit bagian tarsal tertutup rambut. T. syrichta Linnaeus 1758 mempunyai ciri-ciri antara lain, panjang kaki belakang 56 mm – 69 mm, panjang ekor sekitar 200 mm – 240 mm, rambut jumbai pada bagian ekor tidak begitu tumbuh, tinggi rambut jumbai sekitar 3 mm, kulit bagian tarsal ditumbuhi rambut pendek dan sangat sedikit. Tarsius bersifat nokturnal sehingga jarang terlihat di tempat-tempat terbuka, dengan ukuran badan relatif kecil dibanding ukuran matanya yang besar dan senantiasa menatap (Wharton 1974, MacKinnon & MacKinnon 1980, (4)
5 Niemitz 1984). Ukuran badannya kira-kira sebesar tikus dewasa dengan berat badan sekitar 120 gram saat dewasa, panjang badan sekitar 13 cm dan panjang ekor berkisar antara 15 cm sampai 20 cm. Hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi rambut tebal dan halus berwarna coklat keabu-abuan (MacKinnon & MacKinnon 1980). Perbedaan ukuran badan, warna rambut, serta panjang ekor beberapa jenis tarsius Sulawesi disajikan pada Gambar 1.
siau
Gambar 1 Sketsa tujuh spesies tarsius di Sulawesi (sumber: Shekelle et al. 2008) Kepala tarsius bundar dengan moncong tereduksi tanpa struktur pelindung. Bola matanya hampir tidak dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan, sehingga kemampuan visualnya dibantu dengan kemampuan memutar kepala yang dapat mencapai 1800 tanpa memutarkan badannya. Pendengaran satwa ini lebih tajam daripada fungsi organ penciuman.
Telinganya tipis, membranous dan tidak
berambut. Bagian atas telinga dapat dilipat untuk mengurangi daerah permukaan, kemudian seluruh telinga dirapatkan sepanjang samping kepala.
Jika sedang
mendengar dengan tajam telinga dibuka lebar-lebar dan silih berganti digerakkan ke depan dan ke belakang. Wharton (1974) menyatakan bahwa ekor tarsius lebih panjang daripada badannya. Pada ujung ekor memiliki bulu sepanjang kira-kira tujuh cm dan ini biasanya digunakannya untuk keseimbangan di saat memanjat dan melompat. Sekitar dua inci dari pangkal ekornya berbentuk kaku yang dipakai untuk (5)
6 tumpuan waktu makan, sedangkan sisanya fleksibel. Bagian bawah dari jari-jari tangan dan kaki terdapat bongkolan atau bantalan yang memungkinkan melekat pada berbagai permukaan di saat melompat dari cabang ke cabang. Semua jari berkuku dan pada jari kaki kedua dan ketiga terdapat cakar yang berguna untuk menyisir rambutnya dan penahan di saat mendarat di tempat yang licin. Kinnaird (1997) menyatakan bahwa tarsius memiliki kaki belakang dengan panjang dua kali lipat panjang badan dan kepala yang memberikan kekuatan untuk melompat. Perbedaan anatomi kelompok Western tarsier, Philippine tarsier dan Eastern tarsier ditunjukkan pada Gambar 2.
© Myron Shekelle, 2008
Western tarsier
Philippine tarsier
Eastern tarsier
Gambar 2 Perbedaan anatomi kelompok Western tarsier, Philippine tarsier dan Eastern tarsier (sumber: Shekelle 2008) C. Habitat dan Penyebaran Tarsius ditemukan hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang berbeda struktur tegakannya, hutan primer (Fogden 1974), hutan sekunder (Niemitz 1979) dan areal perkebunan (MacKinnon & MacKinnon 1980). Habitat yang disukai adalah hutan hujan tropis yang memiliki sumber air yang banyak sehingga mendukung ketersediaan makanan dan juga dapat dijumpai di hutanhutan sekunder dengan pohon-pohon yang berukuran kecil dan sedang (Yasuma & Alikodra 1990). Tarsius juga mendiami belukar-belukar bambu yang padat, (6)
7 dan kadangkala ditemukan dikebun dekat hutan (Napier & Napier 1967, Supriatna & Wahyono 2000). Tarsius tersebar luas di Pulau Sumatera, Kalimantan, Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Jenis T. spectrum ditemukan di hutan primer maupun hutan sekunder di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus Sulawesi Utara, pada ketinggian 500 m dpl. Jenis ini juga ditemukan di Makassar, Pulau Togean, Pulau Selayar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Musser & Dagosto 1987, Wirdateti & Dahrudin 2006). T. pumilus ditemukan endemik di Sulawesi Tengah yaitu di Gunung Rano-rano pada ketinggian 1.800 m, di Gunung Rorekatimbu Sulawesi Tengah pada ketinggian 2.200 m, dan di hutan Gunung Latimojong Sulawesi Selatan pada ketinggian sekitar 2.200 m (Jones et al. 2004). T. dianae ditemukan di hutan primer tidak jauh dari batas sebelah utara Taman Nasional Lore Lindu dan di sebelah tenggara Kamarora pada ketinggian 700 m dpl (Niemitz et al. 1991). T. bancanus ditemukan di Sumatera Selatan, Kalimantan dan sekitar Pulau Bangka dan Belitung (Musser & Dagosto 1987). T. syrichta ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder di Pulau Samar, Leyte, Bohol, Mindanao, dan pulau-pulau kecil lainnya di Philipina. Tarsius dapat hidup pada ketinggian yang bervariasi tergantung pada jenisnya, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2200 m dpl (Supriatna & Wahyono 2000). Di Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah ditemukan pada ketinggian berkisar antara 10 m dpl – 150 m dpl, di Pulau Selayar ditemukan mulai dari hutan pantai sampai ketinggian 250 m dpl (Wirdateti 2005, Wirdateti & Dahrudin 2006, Wirdateti & Dahruddin 2008). Nietsch & Niemitz (1991) juga menemukan tarsius pada area perkebunan hingga pada ketinggian 1220 m dpl. Pohon tempat tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Kelompok tarsius dihutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis pohon berongga, terlindung sinar matahari dan agak gelap (Widyastuti 1993). Jenis ini di Pulau Selayar menggunakan rumpun bambu sebagai tempat bersarang terutama dari jenis bambu berduri (Bambusa multiflex), (7)
8 dibagian bawah yang rapat dan berupa lobang-lobang yang dalam, hal ini dilakukan guna menghindari predator (Wirdateti & Dahrudin 2008). Tarmudji (1978) melaporkan tempat tidur yang disukai oleh tarsius berupa tempat-tempat yang ditumbuhi gelagah dan berbentuk terowongan yang gelap. Umumnya pohon tidur tarsius di Tangkoko adalah tumbuhan Ficus caulocarpa (Gursky 1998), juga pada akar/liana yang melilit pada pohon utama dan membentuk rongga sedangkan diluar kawasan ditemukan pada rumpun bambu atau pada pertautan daun yang lebat pada rotan dan pada percabangan pohon yang besar (Wirdateti & Dahruddin 2006). Kinnaird (1997) menyatakan bahwa tarsius menggunakan rumpun bambu, jalinan tumbuhan merambat, pohon gerowong sebagai tempat tidur, dan yang paling di sukai pada umumnya di Sulawesi Utara adalah jalinan akar pencekik pohon beringin yang besar. Tarsius bertubuh kecil dan melompat menyamping secara vertikal menjadi kebiasaannya diantara pohon, memungkinkan hewan ini hanya beradaptasi pada tumbuhan dengan batang atau cabang dengan diameter kecil sampai sedang dengan tajuk daun terbuka (tidak lebat). Tarsius pada areal dengan tajuk terbuka dengan mudah menangkap mangsanya terutama pakan serangga (Wirdateti 2005). Tempat tidur tarsius berada pada ketinggian 6 m – 12,5 m dari permukaan tanah (MacKinnon & MacKinnon 1980), 3 m – 15 m (Wirdateti & Dahruddin 2006), 2 m - 3 m pada rumpun bambu (Wirdateti & Dahruddin 2008), dan pada tebing karst berada pada ketinggian 10 m - 20 m dari permukaan tanah (Qiptiyah et al. 2009).
Dalam satu pohon masing-masing tarsius mempunyai lubang
tersendiri untuk beristirahat dengan ketinggian berbeda. Ketinggian tumbuhan yang digunakan tempat bersarang mencapai 30 meter lebih tergantung jenis pohonnya, dengan diameter sekitar 1,5 cm - 2,5 cm, sedangkan jenis bambu mencapai ketinggian 15 m, dengan jarak antara satu lokasi dengan lokasi tempat tidur lainnya sekitar 1 ha - 5 ha. (Wirdateti & Dahrudin 2006, Wirdateti & Dahrudin 2008). Wilayah jelajah tarsius bervariasi antara 1,6 ha hingga 4,1 ha, dengan ratarata 2,3 ha untuk betina dan 3,1 ha untuk jantan, dimana batas setiap individu radius 10 meter dari tepi wilayah teritorinya (Gursky 2007). MacKinnon & (8)
9 MacKinnon (1980) berpendapat bahwa setiap anggota kelompok dalam tarsius menggunakan wilayahnya sekitar 1 hektar.
Tumpang tindih wilayah antar
kelompok lainnya rata-rata 15%, dimana mayoritas setiap wilayah kelompok digunakan secara eksklusif oleh kelompok tersebut namun adakalanya dimasuki oleh individu dari kelompok lainnya (Gursky 2007). Penandaan wilayah teritori yang dilakukan oleh tarsius pada umumnya untuk mempertahankan proses kawin daripada mempertahankan sumberdaya (Gursky 2007). D. Perilaku Makan Tarsius termasuk satwa pemakan serangga (insektivorous) dan juga pemakan daging (carnivorous). Jenis serangga yang umumnya dimakan oleh tarsius antara lain belalang, walang nona dengan berbagai ukuran, kupu-kupu, ngengat, semut, larva kumbang kelapa, jengkrik, capung, rayap/anai-anai, kecoa, dan laba-laba.
Disamping itu juga memangsa vertebrata kecil seperti cecak,
kadal, ular cabe, burung-burung kecil, kelelawar serta beberapa jenis reptil kecil (Whitten et al. 2002, Niemitz 1979, MacKinnon & MacKinnon 1980). Mumbunan (1998) melaporkan bahwa T. spectrum mengkonsumsi beberapa jenis makanan seperti kupu-kupu 37,3%, burung kecil 31,25%, belalang 18,75% dan rie-rie 12,5%. Komposisi pakan T. bancanus 35% sejenis kumbang, 21% semut, 16% belalang, 10% tonggeret, 8% kecoa, dan 10% binatang bertulang belakang seperti burung, ular dan kelelawar (Supriatna & Wahyono 2000). Gursky (2007) membedakan dua periode kelimpahan sumberdaya pakan tarsius di Cagar Alam Tangkoko yaitu periode high insect biomass pada bulan Nopember–April, dan periode low insect biomass pada bulan Mei - Oktober. Tarsius juga memodifikasi lokasi mencari pakan selama musim hujan dan musim kemarau, dimana pakan diperoleh pada empat lokasi yang berbeda yaitu di daun 46,3%, udara 34,8%, batang 11,1%, dan di lantai hutan 7,8% (Gursky 2007). Tarsius mengkonsumsi jenis pakan alami dengan kandungan protein tinggi yaitu sekitar 17,47% – 67,53 % dan 3654 kal/gram – 4016 kal/gram (Wirdateti & Dahrudin 2006). Hal ini dapat terlihat dari kandungan protein belalang 67,53%,
(9)
10 jangkrik 57,28%, cicak 64,48% dan kadal 17,47%. Tingginya kadar protein dari pakan yang dikonsumsi memberikan bau khas pada tarsius, terutama pada urine. Tarsius dapat melihat mangsanya dalam jarak 6 m - 10 m (Wirdateti & Dahrudin 2008). Sebelum memakan mangsanya, tarsius lebih dahulu mengamati mangsanya sekitar 5 – 10 menit, setelah aman baru menangkap dengan cara melompat dan menyambar dengan tangan dan melompat dengan cara membalik ke pohon/tempat semula.
Lama tarsius memakan mangsanya atau berpindah ke
pohon lain sekitar 10 - 25 menit, tergantung pada jenis mangsanya (Wirdateti & Dahrudin 2006). Tarsius terkadang berpegang pada bagian tumbuhan atau ranting bagian yang terbuka agar dengan mudah menyambar mangsa yang terbang di depannya. Rowe (1996) melaporkan bahwa tarsius dapat memburu mangsa pada jarak 9 m dan apabila mangsanya berada ditanah tarsius akan turun ke tanah mengambilnya dan secepatnya kembali ke pohon semula. Tarsius sesekali menggigit dedaunan tetapi mereka tidak benar-benar memakannya.
Sering ditemui sejumlah kecil jaringan tumbuhan dalam
kandungan perutnya, diduga berasal dari isi perut serangga atau binatang yang dimakannya (Niemitz 1984). Tarsius memperolehnya minum dari air yang menetes didedaunan dan pohon-pohon berlobang serta aliran-aliran air yang terdapat diwilayah tempat mereka tinggal (Nietmitz 1984). E. Perilaku Sosial Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial (MacKinnon 1986, Whitten et al. 2002). Sifat seperti ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena sukarnya mereka beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial T. spectrum pada umumnya adalah membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamous) dan hanya sekitar 20% saja yang multi male-multi female (lebih banyak jantan atau betina) dalam suatu kelompok (Supriatna & Wahyono 2000). Ukuran kelompok pada tarsius sangat bervariasi dari 2 individu hingga paling banyak 8 individu pada setiap wilayah tidur. Komposisi dalam satu kelompok (10)
11 juga bervariasi, namun lebih banyak ditemukan 1 jantan dewasa, 2 betina dewasa dengan masing-masing keturunannya (Gursky 2007). Setiap sarang terdapat 3 - 6 ekor tarsius dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga (Wirdateti & Dahrudin 2006). Tarsius melakukan aktivitasnya mulai sore hari sampai pagi hari, yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam seperti rasa takut/gelisah dan lapar sedangkan faktor dari luar seperti keadaan cuaca, habitat, serta kemampuan kelompok dalam mempertahankan wilayahnya (Mumbunan 1998). Umumnya saat bangun atau aktif, tarsius jantan dewasa selalu lebih dahulu melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan keluarga. Cara ini dimaksudkan untuk pengintaian demi keamanan sebelum anggota keluarga lainnya keluar. Jika dirasakan aman, tarsius jantan dewasa akan berteriak dengan suara melengking yang khas untuk memberitahu anggota keluarga lainnya. Tarsius akan kembali masuk ke lubang jika dirasakan tidak aman, dan keluar beberapa saat lagi untuk melakukan pengintaian sampai keadaan dirasakan telah aman.
Sebelum berpencar, kelompok tarsius masih
berkumpul beberapa menit lalu kemudian turun dari pohon tidur atau 10 - 20 menit setelah matahari terbenam. Terdapat 7 (tujuh) nada panggil yang dikeluarkan oleh tarsius (Rowe et al. 1996), baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, territorial call, fear call, threat call, nada-nada yang dikeluarkan oleh induk maupun anak yang dalam masa pengasuhan, nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dewasa yang mencari pasangan. Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang amat tinggi sehingga berada diluar jangkauan atau tangkapan pendengaran manusia. Tarsius adalah satwa yang konservatif sifatnya, mereka biasanya menuju ke tempat perburuannya melalui jalan yang sama. Kelompok tarsius melakukan penjelajahan dengan cara melompat-lompat dengan posisi badan tegak lurus (Kairupan 1994). Dalam menangkap serangga yang terbang membutuhkan ketangkasan maupun waktu yang cermat, penglihatan yang baik, penilaian yang tepat akan jarak, pengenalan objek jarak jauh dan mungkin sesekali kebutuhan pengenalan warna, sesuatu yang jelas sangat membantu bagi hewan yang berburu (11)
12 lewat penglihatan. Kebutuhan ini didukung oleh alat yang dimiliki tarsius dalam bentuk yang menguntungkan yaitu otak yang lebih besar dan lebih kompleks (Tiono 1990). Tarsius menangkap mangsanya dengan menggerak-gerakkan kedua telinganya untuk mendeteksi bunyi serangga yang sedang terbang di dekatnya lalu memastikan dengan penglihatan, kemudian disertai gerakan melompat yang sangat cepat langsung menangkap mangsanya (Wharton 1974). Kedua kaki/tangan depan tarsius yang lebih dahulu digerakkan dalam melompat dan menangkap mangsa, ini gunanya untuk memutar badan agar dapat mengarah ke sasarannya dan melompat dengan tangan terbuka. Jika mangsanya terlalu kecil langsung dapat ditangkap dengan mulutnya, tetapi kedua tangan atau kaki depan tetap melakukan gerakan seperti menangkap disebelah kiri dan kanan mulutnya (Niemitz 1984). Tingkah laku grooming seperti merawat bulu jarang dilakukan oleh dua individu tetapi sering dilakukan oleh individu itu sendiri. Kebiasaan menjilat bulu dilakukan oleh tarsius pada sore hari sebelum melakukan aktivitas berburu, saat waktu istirahat sehabis menangkap mangsa dan pagi hari setelah selesai berburu. Tarsius jantan dan betina sering memperlihatkan perilaku kopulasi tetapi kadang-kadang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Indera pencium tarsius sangat buruk, Tiono (1990) menyatakan bahwa tarsius lebih banyak menggunakan mata daripada hidung untuk mengenali dan menemukan benda-benda yang dapat dimakan seperti halnya primata lainnya.
Tingkah laku lain yang sering
ditunjukkan oleh tarsius adalah pemberian tanda dengan bau. Ciri-ciri untuk penandaan pada tarsius biasanya berasal dari urine yang memiliki bau khas sehingga manusia pun akan mudah mendeteksinya (Rowe et al. 1996). Baik jantan maupun betina akan memberikan ciri yang berbau dengan menggunakan epigastric glands yaitu kelenjar-kelenjar diantara dua lipatan paha. F. Perilaku Reproduksi Tarsius termasuk golongan hewan poliestrus karena musim kawinnya dapat terjadi beberapa waktu dalam setahun (Hill 1955). (12)
MacKinnon &
13 MacKinnon (1980) menyatakan bahwa tarsius yang hidup bebas, kawin pada awal dan akhir musim hujan, sedangkan tarsius yang berada dalam kurungan musim kawin dapat terjadi sepanjang tahun (Mitchell & Erwin 1986). Dewasa kelamin tarsius dicapai pada umur 18 bulan sampai 2 tahun khususnya organ kelamin jantan sudah berkembang baik terutama scrotum dan testes. Lama kebuntingan pada tarsius adalah 6 bulan, dengan jumlah anak yang dilahirkan hanya satu dalam setiap kelahiran (Napier & Napier 1967). Beberapa daerah musim beranak tarsius waktunya tertentu (Tarmudji 1978), di Cagar Alam Tangkoko berkembang biak hampir sepanjang tahun dan kebanyakan betina beranak lebih dari satu anak setiap tahunnya (Gursky 2007). Menjelang estrus (tahap akhir proestrus) tarsius jantan mulai mengendusendus alat kelamin dan urine betina, kadang-kadang mengejar betina. Betina mengeluarkan reaksi dengan mengeluarkan suara lengkingan sambil mendorong, menggigit, atau menghindari si jantan (Tiono 1990). Periode siklus birahi tarsius 23 – 24 hari (Napier & Napier 1967, Hill 1955). Lamanya fase proestrus dalam tiap siklus 4 – 7 hari, fase estrus 1 – 3 hari, dan metestrus 1 – 2 hari. Selama fase siklus follikuler terjadi peningkatan sekresi vagina dan tanda-tanda luar berupa pembengkakan alat kelamin bagian luar atau kadang-kadang collapse atau susut dengan timbulnya fase luteal. Tarsius juga diduga memproduksi feromon sebagai isyarat bagi yang jantan, sedangkan jantan memberi isyarat betina dengan panggilan-panggilan percumbuan yang di dengar sebelum kawin, pupil mata yang besar dan ekor yang dilengkungkan ke atas punggungnya (Gursky 2007). G. Perkembangan Penelitian Tarsius Beberapa penelitian mengenai tarsius di Sulawesi dan di Indonesia telah banyak dilakukan dengan menggunakan metode dan analisis yang berbeda. Beberapa hasil penelitian tarsius di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.
(13)
14 Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tarsius di Indonesia Hasil Penelitian
Lokasi
The behaviour of wild spectral tarsiers
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
MacKinnon & Mac Kinnon (1980)
Conservation status of the spectral tarsier T.spectrum: Population density and home range size
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
Gursky S.(1998)
Predator mobbing in T. spectrum
CA Tangkoko,
Gursky S.(2005)
Effects of seasonality on the behaviour of an insectivorous primate, T. Spectrum
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
Gursky S.(2000)
Group size and composition in the spectral tarsier: Implications for social organization
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
Gursky S.(1995)
Pengamatan pakan dan habitat T. spectrum di kawasan Cagar Alam Tangkoko-Batuangus
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
Wirdateti & Dahrudin (2006)
Pengamatan habitat, pakan dan distribusi T. tarsier di Pulau Selayar dan TWA Pattunuang
Pulau Selayar Sulawesi Selatan
Wirdateti & Dahrudin (2008)
Studi tentang beberapa aspek biologis tangkasi T. spectrum Tangkoko Sulawesi Utara dalam upaya penangkaran
CA Tangkoko, Sulut
Hengky J. Kiroh (2002)
Studi perbedaan beberapa aktivitas harian dua kelompok tangkasi T. Spectrum di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara
CA Tangkoko, Sulawesi Utara
Kairupan F.A (1994)
Habitat use analysis of Dian’s Tarsier in a mixed-species plantation in Sulawesi
Sulawesi Tengah
Merker & Yustian (2008)
Field observation T. dianae at Lore Lindu National Park, Central Sulawesi
TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Mustika & Supriatna (1993)
Tarsius dianae: A new primate species from Central Sulawesi, Indonesia
Sulawesi Tengah
Niemitz et al. (1991)
The Third of Pigmy Tarsier T. Pumilus from Lore Lindu National Park
TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Maryanto & Yani (2000)
(14)
Sumber
15 Tabel 1 Lanjutan Tarsius lariang: A new primate species from Western Central Sulawesi
TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Merker & Groves (2006)
Tarsius tumpara: A new tarsier species from Siau Island, North Sulawesi
Pulau Siau, Sulawesi Utara
Shekelle et al. (2008)
The identity of T. pumilus, a pygmy species endemic to the mountane mossy of Central Sulawesi
Sulawesi Tengah
Musser & Dagosto (1987)
H. Pemilihan Habitat Habitat merupakan kumpulan sumberdaya dan kondisi lingkungan yang menentukan kehadiran, kemampuan hidup, dan perkembangan suatu populasi (Caughley & Sinclair 1994), dimana tipe habitat satwaliar dapat berupa kawasan berhutan dan kawasan tidak berhutan (Alikodra 2002). Suatu habitat tersusun oleh komponen fisik seperti suhu udara dan kelembaban; komponen biotik seperti ketersediaan pakan; dan komponen edapik seperti kedalaman dan kimia tanah (Bailey 1984). Keberadaan ketiga komponen tersebut pada suatu habitat menyebabkan layak bagi suatu spesies berada didalamnya (Caughley & Sinclair 1994),
dimana
keberadaan
komponen-komponen
tersebut
menentukan
karakteristik habitat satwaliar (Bailey 1984). Suatu tindakan yang dilakukan satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya adalah dengan melakukan pemilihan habitat yang sesuai (Bolen & Robinson 1995). Faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Tidak seluruh kawasan hutan digunakan satwa sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian dan dipilih secara selektif (Morris 1987). Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang ada.
(15)
16 Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, bereproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa) beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif. Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator. Evolusi preferensi habitat ditentukan oleh struktur morfologi, perilaku, kemampuan memperoleh makanan dan perlindungan (Cody 1964). Faktor-faktor yang mendorong satwa untuk memilih suatu habitat tertentu adalah ciri struktural dari lansekap, peluang mencari pakan, bersarang atau keberadaan spesies lain. Shannon et al. (1975) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan ekspresi respon yang kompleks pada satwaliar terhadap sejumlah besar variabel yang saling terkait yang menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi satwaliar. Variabel tersebut dapat bersifat intrinsik (tergantung pada status fisiologis dan perilaku satwaliar) dan ekstrinsik (tergantung pada faktor-faktor abiotik dan biotik dari lingkungannya).
(16)
17
III.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Umum TN Bantimurung Bulusaraung Informasi kondisi umum Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) yang disajikan berikut merupakan data-data sekunder yang diperoleh dari Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (BTN Babul 2008). 1.
Dasar Hukum dan Luas Kawasan Kawasan hutan Bantimurung Bulusaraung ditunjuk menjadi taman
nasional karena pertimbangan keunikan ekosistemnya. Sebagian besar kawasan berupa ekosistem karst yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi serta keunikan dan kekhasan gejala alam dengan fenomena alam yang indah; adanya berbagai jenis flora dan fauna endemik, langka dan unik; serta untuk keperluan perlindungan sistem tata air beberapa sungai besar dan kecil di Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Karst MarosPangkep merupakan bentang alam karst terluas kedua di dunia setelah bentang alam karst yang ada di China bagian Selatan. TN Babul ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan BantimurungBulusaraung seluas ± 43.750 hektar terdiri atas Cagar Alam seluas ± 10.282,65 hektar, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 hektar, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 hektar, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.355 hektar terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan.
Penunjukan kawasan ini oleh Menteri Kehutanan
dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati dan DPRD Kabupaten Maros, Bupati dan DPRD Kabupaten Pangkep, serta Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
(17)
18 2.
Batas Administrasi Secara goegrafis TN Babul terletak pada 119°34’17” – 119°55’13” Bujur
Timur dan antara 4°42’49” – 5°06’42” Lintang Selatan (Gambar 2).
Secara
administrasi wilayah kerja TN Babul termasuk dalam dua wilayah administrasi pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Propinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan
berbatasan atau berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone.
Gambar 3 Peta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 3.
Kondisi Fisik Kawasan
a. Iklim Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari beberapa stasiun yang ada disekitar kawasan taman nasional, ditemukan bahwa pada wilayah bagian selatan terutama bagian yang berdekatan ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D menurut pembagian tipe (18)
19 hujan dari Schmidt dan Ferguson, sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang Labboro, Tonasa dan Minasa Te’ne termasuk kedalam iklim tipe C, sementara pada bagian utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam tipe B. Tabel 2 Jumlah curah hujan dan hari hujan pada stasiun meteorologi Hasanuddin Mandai 2004 – 2008 Bulan 1 Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
2004 2 398 671 655 172 55 42 1 0 19 113 254 2380
Curah hujan (mm) 2005 2006 2007 3 4 5 401 723 629 219 565 803 341 412 372 295 223 128 109 140 107 5 129 117 15 2 8 1 17 3 9 26 259 94 350 82 204 514 359 662 2512 2644 3167
2008 6 585 850 484 167 208 97 25 15 6 124 373 728 3662
2004 7 22 26 22 18 13 5 2 1 4 7 19 139
Hari hujan 2005 2006 2007 8 9 10 25 28 25 19 25 24 25 20 15 13 16 17 13 13 10 4 14 17 5 1 4 1 3 1 1 3 17 7 22 10 20 27 26 29 172 154 174
2008 11 28 28 22 18 13 13 7 4 1 8 23 23 188
Sumber: BPS Maros 2009, BMG Maros 2009 Data stasiun meteorologi Hasanuddin Mandai tahun 2004 – 2008 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan November – April dan terendah terjadi pada bulan Mei – Oktober dengan ratarata hari hujan 165 hari/tahun. Data stasiun metereologi Hasanuddin Mandai tahun 2006 – 2008 pada Tabel 3, menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata berfluktuasi antara 20,9oC – 35,4oC dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Agustus. Kelembaban udara berkisar antara 70,33% - 89%, dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dan terendah pada bulan September. b. Geologi dan tanah Formasi geologi kawasan TN Babul dikelompokkan menurut jenis batuan, yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi dari setiap satuan batuan. (19)
20 Formasi-formasi tersebut antara lain : Formasi Balang Baru, Batuan Gunung Api Terpropilitkan, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, Formasi Camba, Batuan Gunung Api Formasi Camba, Batuan Gunung Api Baturape-Cindako, Batuan Terobosan, dan endapan aluvium. Tabel 3 Rata-rata suhu dan kelembaban udara tiap bulan pada stasiun meteorologi Hasanuddin Mandai tahun 2006 – 2008 Suhu
Kelembaban Udara (%) Minimum (⁰C) Maksimum (⁰C) 2006 2007 2008 2006 2007 2008 2006 2007 2008 Januari 23.7 24.2 22.2 31.0 31.2 30.8 87 87 91 Pebruari 24.2 23.6 22.4 31.0 30.7 31.4 89 89 89 Maret 23.5 23.9 22.5 31.5 31.7 32.0 85 86 83 April 22.9 23.8 22.3 33.3 31.9 33.0 85 82 84 Mei 22.6 23.6 22.4 34.7 33.0 33.8 79 79 83 Juni 22.9 24.0 20.8 31.7 32.0 33.0 84 81 80 Juli 21.3 22.1 20.4 33.0 32.8 32.8 77 76 79 Agustus 21.1 22.0 19.6 34.6 33.6 34.2 71 70 71 September 21.2 21.7 21.6 34.8 34.1 35.0 69 71 71 Oktober 21.7 23.3 22.0 35.4 34.2 36.6 76 77 71 Nopember 23.9 23.7 23.8 34.5 32.5 32.2 83 86 77 Desember 24.0 23.8 23.2 32.5 31.0 31.7 88 88 88 Total 273 280 263 398 389 397 973 972 967 Rata-rata 22.75 23.31 21.93 33.17 32.39 33.04 81 81 81 Sumber: BPS Maros 2009, BMG Maros 2009 Bulan
Dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst MarosPangkep, kaya akan kalsium dan magnesium. Tanah jenis rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian selatan dari karst Maros. Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang. c. Topografi Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landskap karst, bentuk permukaan kawasan TN Babul bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian kawasan yang bergunung terletak pada sisi (20)
21 Timur Laut kawasan atau terletak pada blok Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros dan Gunung Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di sebelah utara Pegunungan Bulusaraung (Gambar 4). Sisi ini dicirikan oleh kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal dan tekstur topografi yang kasar. Daerah perbukitan dicirikan oleh bentuk relief dan tekstur topografi halus sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit yang tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar. Daerah perbukitan ini dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan sedimen dan perbukitan karst. Kawasan dengan topografi dataran dicirikan oleh bentuk permukaan lahan yang datar sampai sedang dan sedikit bergelombang, relief rendah dan tekstur topografi halus. Bentuk permukaan seperti ini banyak dijumpai di antara perbukitan karst yang berbentuk menara.
Gambar 4 Puncak Gunung Bulusaraung di kawasan TN Babul d. Hidrologi Kawasan TN Babul merupakan bagian dari hulu beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Sisi sebelah timur antara lain merupakan hulu Sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem Danau Tempe. Pada bagian barat terdapat Sungai Pangkep dan Sungai Bone di Kabupaten Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung di Kabupaten Maros. Sungai Bantimurung merupakan sumber pengairan persawahan di Kabupaten Maros serta dimanfaatkan untuk pemenuhan air bersih bagi masyarakat Kota Maros. (21)
22 Ditemukan pula beberapa mata air dan sungai-sungai kecil, terutama di wilayah karst, serta aliran air bawah tanah/danau bawah tanah pada sistem perguaan. Mata air berdebit besar dijumpai pada batu gamping pejal dengan debit 50 - 250 l/dtk, sedang mata air yang muncul di batuan sedimen terlipat dan batuan gunung api umumnya kurang dari 10 l/dtk. e. Potensi wisata Beragam jenis kegiatan wisata dapat dilakukan di dalam kawasan TN Babul. Aktifitas wisata yang telah lama berlangsung dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah kegiatan wisata tirta pada Air Terjun Bantimurung. Aktifitas wisata tirta di kawasan Air Terjun Bantimurung tersebut dapat dirangkaikan pula dengan kegiatan penelusuran gua serta menikmati keindahan warna-warni kupukupu di habitat aslinya. Selain pada kawasan Bantimurung, pada kawasan Pattunuang Asue Biseang Labboro juga dapat dilakukan aktifitas wisata yang beragam, mulai dari wisata tirta sampai dengan pengamatan satwa unik. Untuk wisatawan minat khusus, dapat dilakukan olah raga panjat tebing pada beberapa tempat terpisah. Kegiatan wisata lain yang dapat dilakukan pada kawasan TN Babul adalah wisata atraksi satwa, terutama untuk jenis-jenis kupu-kupu dan monyet sulawesi Macaca maura. 4. Kondisi Bioekologi a. Tipe ekosistem Kawasan TN Babul dibagi ke dalam tiga tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan di atas batuan karst (forest over limestone/hutan di atas batu gamping) atau lebih dikenal dengan nama ekosistem karst, ekosistem hutan dataran rendah, serta ekosistem hutan pegunungan bawah. Terdapat dua lokasi ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di wilayah Maros - Pangkep pada bagian barat taman nasional dikenal dengan kelompok Pangkajene, dan di ujung utara, yakni di wilayah Mallawa disebut kelompok pegunungan bagian timur.
Kedua lokasi ini merupakan wilayah penyebaran
vegetasi bukit karst (vegetasi bukit kapur) dan lainnya merupakan areal (22)
23 penyebaran vegetasi hutan dataran rendah. Seperti pada umumnya kawasan karst, ekosistem karst TN Babul memiliki sangat banyak gua dengan ornamen stalagtit dan stalagmit serta ornamen endokarst lainnya. b. Flora dan fauna Tingginya kandungan kalsium dan magnesium dari batuan kapur yang mendominasi areal karst di wilayah TN Babul, menyebabkan terbatasnya jenisjenis tumbuhan yang dapat hidup pada ekosistem tersebut.
Jenis flora yang
terdapat di kawasan ini sangat beraneka ragam dan di antaranya terdapat jenisjenis dominan seperti palem wanga Piqafetta filaris dan Arenga sp. yang tidak dijumpai lagi pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Jenis kayu-kayuan antara lain terdiri dari uru Elmerillia sp., Casuaria sp., Duabanga moluccana, Vatica sp., Pangium edule, termasuk dijumpai tegakan murni Eucalyptus deglupta. Pada hutan pegunungan bawah dijumpai Litsea sp., Agathis philippinensis, berbagai jenis bambu dan Ficus sumatrana. Pada hutan dataran rendah terdapat bitti Vitex cofassus, nyatoh Palaquium obtusifolium, cendana Pterocarpus indicus, beringin Ficus spp., Sterculia foetida, dao Dracontomelon dao, D. mangiferum, aren Arenga pinnata, Colona sp., Dillenia serrata, kemiri Aleurites moluccana, bayur Pterospermum celebicum, Mangifera spp. Kenanga Canangium odoratum, Duabanga moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp., Syzygium cuminii, Arthocarpus spp., kayu hitam Diospyros celebica, Buchanania arborescens, Antocephalus cadamba, Myristica sp., Knema sp., dan Calophyllum inophyllum. Berbagai jenis satwa liar endemik diantaranya kelelawar, monyet Sulawesi Macaca maura, kuskus beruang Ailurops ursinus, kuskus sulawesi Strigocuscus celebencis, musang sulawesi Macrogalidia musschenbroeckii, babi hutan dan rusa. Jenis-jenis burung yang ditemukan dalam kawasan antara lain rangkong sulawesi Rhyticeros cassidix, kangkareng sulawesi Phenelopides exarhatus, elang, kutilang Pycnonotus aurigaster, kucica Saxicola caprata, raja udang Halcyon chloris, punai Treron sp., pelatuk Dendrocarpus teiminkii, srigunting Dicrurus hottentotus, walet Collocalia spp., burung hantu Otus manadensis, burung pipit 3 jenis Loncura molucca, L. malacca, L. vallida, burung tekukur Macropygia amboinensi, capili Turacoena manadensis, kakatua putih jambul kuning Cacatua (23)
24 sulphurea, kakatua hijau “Danga” Tanygnathus sumatranus, serta ayam hutan Gallus gallus. Terdapat pula 37 jenis herpetofauna, yang terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3 jenis yang belum teridentifikasi. Di antara jenis yang dijumpai, termasuk jenis-jenis endemik Sulawesi seperti kodok Bufo celebensis dan Rana celebensis, serta reptil endemik seperti ular kepala dua Cylindrophis melanotus, Calamaria muelleri dan cicak hutan Cyrtodactylus jellesmae. Kadal akuatik Soa-soa Hydrosaurus amboinensis dapat dijumpai berjemur di batu-batu besar sepanjang sungai di Pattunuang, dan katak jenis Limnonectes modestus di Pegunungan Bulusaraung. Jenis lain yang dapat dijumpai adalah kadal terbang Draco sp. yang sering diawetkan dan dijual sebagai souvenir. Terdapat kurang lebih 103 jenis kupu-kupu jenis endemik di hutan wisata Bantimurung antara lain: Papilio blumei, P. polites, P. sataspes, Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. 5.
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kawasan TN Babul berada di dalam tiga wilayah administrasi kabupaten.
Kawasan ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/desa.
Jumlah dan kepadatan penduduk di sekitar TN
Babul pada akhir tahun 2007 disajikan pada Tabel 4. Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.
Namun pada
umumnya masyarakat menggantungkan hidupnya pada usaha persawahan dan pertanian lahan kering. B. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan yaitu blok Pute, Parang Tembo dan Pattunuang merupakan salah satu wilayah yang terdapat dalam kawasan TN Babul, yang termasuk dalam Resort Pattunuang Karaenta, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Camba. Secara administrasi kawasan ini berada di Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. tersebar dibeberapa tempat dalam kawasan ini. (24)
Keberadaan tarsius diidentifikasi
25 Tabel 4 Jumlah dan kepadatan penduduk di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tahun 2007 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Mandai Moncongloe Maros Baru Marusu Turikale Lau Bontoa Bantimurung Simbang Tanralili Tompobulu Camba Cenrana Mallawa Total
Luas (km²) 49.11 46.87 53.76 53.73 29.93 73.83 93.52 173.7 105.31 89.45 287.66 145.36 180.97 235.92 1619.12
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
15,158 5,803 11,085 11,393 17,685 11,105 13,122 13,886 10,860 12,145 7,250 6,982 6,695 5,790 148,959
15,462 5,820 11,492 12,298 18,403 11,355 13,857 14,472 11,360 12,019 6,635 7,333 7,644 6,102 154,252
30,620 11,623 22,577 23,691 36,088 22,460 26,979 28,358 22,220 24,164 13,885 14,315 14,339 11,892 303,211
Kepadatan /km² 623 248 420 441 1,206 304 288 163 211 270 48 98 79 50 4,452
Sumber : Badan Pusat Statistik 2009 Secara umum topografi kawasan ini berada pada dataran rendah hingga perbukitan sangat curam, dengan kemiringan lahan sedang hingga agak terjal. Bentangan alam kawasan Pattunuang berada pada aliran sungai yang diapit oleh tebing-tebing curam dengan kelerengan ≥ 80º. Tebing yang berada di kanan kiri sungai mempunyai ketinggian 25 – 30 meter (Qiptiyah et al. 2009). Formasi bebatuan tersusun oleh batu kapur, dimana bongkahan-bongkahan batu membentuk lubang-lubang gua.
Daerah sempadan sungai ditumbuhi oleh
beberapa jenis vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan. Kawasan Patunuang juga memiliki hamparan vegetasi yang banyak terdapat rumpun bambu yang juga merupakan habitat bagi tarsius. Secara umum, kawasan Patunuang merupakan hutan sekunder yang diselingi dengan areal sawah tadah hujan dan pemukiman. Pertambahan penduduk akan mengakibatkan perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi pemukiman atau ladang. Peta tutupan lahan menunjukkan kawasan ini merupakan keterwakilan dari hutan primer dan sekunder yang terdapat di kawasan TN Babul.
Namun
meningkatnya aktivitas manusia membuka jalan dan lahan pertanian, sehingga (25)
26 diduga mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan komposisi vegetasi di dalamnya. Blok Pute dan Parang Tembo merupakan kawasan berhutan yang sebagian masih alami dan sebagian lainnya telah diubah menjadi lahan pertanian. Blok Pute dikategorikan mewakili kondisi vegetasi dari hutan sekunder yang terdapat dalam kawasan ini. Blok Parang Tembo juga mewakili hutan sekunder namun lebih didominasi oleh tegakan bambu.
Blok Pattunuang merupakan
kawasan hutan karst yang berada di antara aliran sungai Pattunuang Asue, dimana banyak dijumpai gua-gua serta dinding batu terjal di kanan kiri sungai tersebut. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Objek wisata sungai Pattunuang Asue, Biseang Labboro, Leang Batu menjadi salah satu objek daya tarik wisata yang terdapat dalam kawasan ini. Aktivitas susur gua, panjat tebing, panjat tebing, penelusuran sungai serta melihat aktraksi satwa seperti melihat kupu-kupu, dare’ Macaca maura, serta tarsius menjadi salah satu kegiatan yang dapat dilakukan disepanjang kawasan ini.
Dengan segala potensi alam yang
terdapat didalamnya, sehingga kawasan ini dapat menjadi salah satu wilayah yang berpotensi sebagai objek daya tarik wisata yang dimiliki oleh TN Babul selain wisata air tejun Bantimurung.
(26)
27
IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat preferensial tarsius ini dilaksanakan di Resort Pattunuang Karaenta, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Camba, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.
Petak-petak contoh ditempatkan pada tiga lokasi yaitu Blok
Pute, Blok Parang Tembo dan Blok Pattunuang (Gambar 5).
Penelitian
dilaksanakan selama ± 6 bulan dari Desember 2009 hingga Mei 2010.
Blok Pute Blok Parang Tembo Blok Pattunuang
Gambar 5 Lokasi penelitian di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 5. (27)
28 Tabel 5 Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian Bahan dan Alat Kegunaan Bahan: 1. Peta kawasan TN - Sebagai panduan dalam pengenalan lokasi Babul skala 1 : 50.000 penelitian 2. Kertas label - Digunakan untuk penandaan herbarium dan spesimen 3. Kain putih 1 m x 1 m - Digunakan dalam pengumpulan serangga dengan metode perangkap cahaya 4. Alkohol 70% - Digunakan dalam pembuatan herbarium dan spesimen serangga 5. Tally sheet - Tempat mencatat data yang diukur dilapangan Alat: 1. GPS Garmin 76CSx - Digunakan untuk penandaan lokasi/posisi 2. Teropong binokuler - Digunakan dalam mengamati tarsius dan satwa lainnya 3. Kamera foto - Digunakan dalam pengambilan gambar 4. Altimeter - Digunakan untuk mengukur ketinggian suatu tempat 5. Termohygrometer - Digunakan untuk pengukuran suhu dan kelembaban udara 6. Hagahypsometer - Digunakan untuk pengukuran tinggi pohon 7. Tambang plastik - Sebagai pembatas dalam analisis vegetasi 8. Kaliper - Digunakan dalam mengukur diameter tumbuhan 9. Meteren - Digunakan untuk mengukur jarak 10. Lampu petromaks - Digunakan dalam pengumpulan serangga dengan metode perangkap cahaya 11. Botol sampel spesimen - Untuk penyimpanan spesimen serangga yang dikumpulkan 12. Kantung Plastik - Digunakan sebagai tempat herbarium yang diambil di lapangan 13. Buku panduan flora - Sebagai panduan pengenalan jenis tumbuhan dan fauna dan satwa di lapangan 14. Alat tulis - Alat untuk mencatat data yang dikumpulkan 15. SPSS 16.0 - Software untuk pengolahan data C. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan, antara lain : 1.
Karakteristik habitat, meliputi: komponen fisik dan biotik habitat tarsius. Komponen fisik habitat meliputi: ketinggian tempat, kemiringan lahan, suhu, kelembaban udara, jarak terhadap pemukiman dan sungai. Komponen biotik habitat meliputi: struktur dan komposisi vegetasi, keberadaan satwa lainnya, dan jumlah jenis serangga sebagai potensi pakan tarsius. (28)
29 2.
Preferensi habitat tarsius di lokasi pengamatan.
D. Metode Pengumpulan Data Studi literatur terlebih dahulu dilakukan sebelum penelitian dilakukan, guna memperoleh data pendukung sebagai sumber data dan informasi tentang bioekologi tarsius, kondisi umum habitat tarsius, penyebaran dan kondisi populasi saat ini. Data dan informasi dikumpulkan dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya, jurnal ilmiah, dan handbook, didukung dengan peta-peta yang diperlukan dalam pengolahan data seperti peta situasi TN Babul, peta penutupan lahan, peta kelas lereng, peta kelas ketinggian, peta hidrologi dan peta topografi. Observasi lapangan dilakukan pada awal penelitian guna mengetahui kondisi awal lokasi penelitian, mencocokkan peta kerja dengan kondisi lapangan, identifikasi keberadaan tarsius berdasarkan informasi dari masyarakat serta tanda yang ditinggalkan, pencatatan karakteristik habitat, lokasi pemukiman penduduk, sungai dan penentuan letak petak pengamatan yang harus diambil pada lokasi pengamatan. Tahapan pengambilan data dilakukan setelah informasi awal yang diperlukan melalui observasi lapangan dianggap sudah mencukupi. Pengamatan di lakukan pada tiga lokasi berbeda di TN Babul, yaitu Blok Pute, Blok Parang Tembo dan Blok Pattunuang. Pengumpulan data komponen fisik dan biotik habitat, serta individu tarsius yang ditemukan dilakukan pada masing-masing petak pengamatan.
Petak pengamatan ditempatkan disekitar
lokasi tidur tarsius, tempat yang lebih mudah untuk menemukan individu dalam satu kelompok tarsius. 1.
Komponen Fisik Habitat Komponen fisik habitat tarsius dilakukan dengan mengamati dan
mengukur data sebagai berikut: a.
Ketinggian tempat.
Pengukuran ketinggian tempat di lokasi penelitian
menggunakan altimeter dan GPS. b.
Kemiringan lahan. Pengukuran kemiringan lahan dilakukan dengan GPS receiver yang selanjutnya dikalibrasi terhadap peta kontur dan peta kelerengan yang ada di TN Babul. (29)
30 c.
Suhu dan kelembaban udara. Pengukuran suhu udara harian dan kelembaban udara relatif menggunakan termo-hygrometer..
d.
Jarak dari pemukiman dan sungai.
Pengukuran jarak dilakukan secara
manual dan digital. Masing-masing lokasi di catat titik koordinatnya dengan menggunakan meteran dan GPS, untuk kemudian dipetakan pada peta kawasan TN Babul untuk mengukur jarak. 2.
Komponen Biotik Habitat Komponen biotik habitat tarsius yang diukur dan diamati meliputi struktur
dan komposisi vegetasi, keberadaan satwa lain serta jumlah jenis serangga sebagai potensi pakan tarsius. Data struktur dan komposisi vegetasi dikumpulkan melalui analisis vegetasi di setiap petak pengamatan. Pencatatan jenis-jenis satwa lainnya dilakukan selama pengamatan di sekitar lokasi keberadaan tarsius. Pengumpulan serangga dilakukan dengan metode perangkap cahaya (light trap). Analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak di masing-masing petak pengamatan dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 100 m. Dilakukan pengukuran untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Petak berukuran 20 m x 20 m untuk pencatatan tumbuhan tingkat pohon diletakkan sepanjang jalur pengamatan dengan jarak antar petak 20 m.
Data tingkat
pertumbuhan tiang, pancang, dan semai dikumpulkan dengan cara nested sampling, yaitu anak petak yang berukuran lebih besar mengandung anak petak yang berukuran lebih kecil (Kusmana & Istomo 1995). Ukuran anak petak untuk tingkat pertumbuhan semai sebesar 2 m x 2 m, pancang sebesar 5 m x 5 m, tiang sebesar 10 m x 10 m, dan pohon sebesar 20 m x 20 m (Gambar 6). Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut: (a) Semai
: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m;
(b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm; (c) Tiang
: Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm; dan (30)
31 (d) Pohon
: Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih. C
D
20 m
B A A
Arah
B
20 m
C
D
100 m Gambar 6 Bentuk dan ukuran petak pengamatan vegetasi untuk berbagai tingkat pertumbuhan Pengumpulan data serangga menggunakan metode perangkap cahaya (light trap) dilakukan dengan meletakkan lampu petromaks didepan kain putih ukuran 1 m x 1 m yang dipasang pada petak pengamatan. Pengumpulan serangga dilakukan selama tiga jam (pukul 18.00-20.00) dan diulang 3 malam berturutturut. Sampel yang diperoleh kemudian disortasi dari kotoran yang ada, lalu dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70%. Sampel diberi tanda untuk kemudian dikirim ke Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, untuk diidentifikasi lebih lanjut guna mengetahui jumlah individu dan jenis serangga hingga ke takson terendah. 3.
Preferensi Habitat Tarsius Keberadaan tarsius disuatu lokasi dapat diketahui dengan mengumpulkan
data individu yang ditemukan dalam satu kelompok tarsius.
Pengamatan
dilakukan pada 3 blok pengamatan dengan metode concentration count di lokasi tidurnya.
Pengumpulan data dilakukan serentak agar tidak terjadi double
counting, dengan dua kali pengamatan yaitu pada saat tarsius meninggalkan lokasi (31)
32 tidur (antara pukul 16.00 - 20.00) dan pada saat kembali ke lokasi tidurnya (antara pukul 04.00 - 08.00).
Ulangan pengamatan dilakukan selama 3 hari guna
memastikan keberadaan tarsius serta melakukan pencatatan jumlah individu, jenis kelamin, dan kelas umur pada saat dijumpai. E. Metode Analisis Data 1.
Analisis Komponen Fisik Habitat Komponen fisik habitat tarsius yang akan dianalisis terdiri dari ketinggian
tempat, kemirinngan lahan, suhu dan kelembaban udara, serta jarak pemukiman dan sungai. Komponen-komponen tersebut dianalisis secara deskriptif sebagai penggambaran langsung dari hasil identifikasi, pengamatan dan pengukuran serta kondisi sesungguhnya di lapangan. Data-data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, grafik, diagram dan persentase. 2.
Analisis Komponen Biotik Habitat Keberadaan satwa lain di lokasi penelitian dianalisis secara deskriptif
sebagai penggambaran langsung dari hasil pengamatan di lapangan. Sedangkan komposisi jenis tumbuhan dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif yang mencerminkan tingkat penyebaran, dominansi dan kelimpahannya dalam suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah kerapatan tumbuhan yang dirumuskan sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2005): jumlah individu suatu jenis (ind) Kerapatan (K) =
total luas petak contoh (ha)
Keanekaragaman jenis diukur guna mengetahui tingkat keanekaragaman tumbuhan dan serangga, dengan menggunakan pendekatan indeks keragaman Shannon-Wiener (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut: H’ = -
s
( pi ln pi ) i 1
Keterangan:
H’ pi ni N
= = = =
indeks keragaman Shannon-Wiener proporsi jumlah individu ke-i (ni/N) banyaknya individu spesies ke-i total individu seluruh jenis (32)
33 Pengukuran tingkat kesamaan komunitas tumbuhan dan serangga antar tipe habitat dilakukan dengan menggunakan indeks kesamaan komunitas Morisita yang telah dimodifikasi oleh Horn pada tahun 1966 (Magurran 1988) dengan persamaan: 2
S
i 1
Mjk =
s i 1
x ij .x ik s
x 2ij
i 1
x 2ik
Keterangan: Mjk = indeks Morisita-Horn xij = proporsi spesies ke-j pada tipe habitat ke-i xik = proporsi spesies ke-k pada tipe habitat ke-i Pola sebaran serangga sebagai pakan tarsius
dilakukan dengan
menggunakan pendekatan indeks penyebaran Morisita (Kreb 1989) dengan tahapan pertama menghitung indeks Morisita sebagai berikut: Id = n.
Keterangan:
x2 x )2
( (
x) x
Id = derajat penyebaran Morisita n = jumlah unit contoh x2 = jumlah kuadrat dari total individu suatu jenis pada suatu komunitas x = jumlah total individu suatu jenis pada suatu komunitas
Selanjutnya menentukan bentuk pola sebaran spasial dengan uji statistik menggunakan uji Chi-square: 2 0.975
Mu =
n xi
xi 1
Keterangan: Mu
= indeks Morisita untuk pola sebaran seragam (uniform) = nilai Chi-square pada db (n-1), selang kepercayaan 97,5% xi = jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i. n = jumlah unit contoh 2 0.975
Derajat pengelompokkan (clumping index) suatu spesies kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan: Mc =
2 0.025
n xi
xi 1 (33)
34 Keterangan: Mc
= = xi = n = 2 0.025
indeks Morisita untuk pola sebaran agregatif (clumped nilai Chi-square pada db (n-1), selang kepercayaan 95% jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i. jumlah unit contoh
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan rumus sebagai berikut: a). Bila Id
Mc > 1.0, maka dihitung: = 0.5 0.5
Ip
b). Bila Mc> Id
1.0, maka dihitung:
= 0.5
Ip
Id Mc n Mc
Id 1 Mc 1
c). Bila 1.0>Id>Mu, maka dihitung: =
Ip
0.5
Id 1 Mu 1
d). Bila 1.0 > Mu >Id, maka dihitung: =
Ip
0.5 0.5
Id
Mu Mu
Kaidah pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: - Jika Ip = 0, maka pola penyebarannya adalah acak (random) - Jika Ip > 0, maka penyebarannya adalah mengelompok (clumped) - Jika Ip < 0, maka penyebarannya seragam (reguler). 3.
Analisis Preferensi Habitat Tarsius Analisis untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan karakteristik habitat
pada ketiga blok pengamatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan uji Chisquare dengan persamaan sebagai berikut (Johnson & Bhattacharyya 1992). 2
hit
(O E ) 2 E
Keterangan: O = frekuensi pengamatan E = frekuensi harapan
(34)
35 Hipotesis yang dibangun adalah: Ho = tidak ada perbedaan karakteristik habitat di ketiga blok pengamatan H1 = terdapat perbedaan karakteristik habitat di ketiga blok pengamatan Keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: 1. Jika λ2hit > λ2(0.05,k-1), maka tolak Ho artinya terdapat perbedaan karakteristik habitat pada ketiga blok pengamatan 2. Jika λ2hit ≤ λ2(0.05,k-1), maka terima Ho artinya tidak terdapat terdapat perbedaan karakteristik habitat pada ketiga blok pengamatan Menganalisis tipe habitat yang disukai tarsius digunakan dengan pendekatan Metode Neu (indeks preferensi). Metode Neu merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan indeks preferensi habitat oleh satwa (Neu et al. 1974). Jika nilai indeks preferensi lebih dari 1 (w≥1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w<1) maka habitat tersebut akan dihindari (Bibby et al. 1998). Pengolahan data untuk menentukan indeks preferensi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria yang diukur pada metode Neu (1974) Habitat 1 2 3 Total
a a1 a2 a3 Ai
p p1 p2 p3 1.00
n n1 n2 n3 Σ ni
u u1 u2 u3 1.00
e e1 e2 e3 Σ ei
w w1 w2 w3 Σ wi
b b1 b2 b3 1.00
Keterangan: a = luas areal pengamatan, p = proporsi luas areal pengamatan, n = jumlah satwa yang teramati, u = proporsi jumlah satwa yang teramati (ni / Σ ni ), e = nilai harapan (pi x Σ ni), w = indeks preferensi habitat (ui / pi ), b = indeks preferensi yang distandarkan (wi / Σ wi)
(35)
36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Habitat Tarsius 1.
Komponen Fisik Habitat Tarsius Hasil pengukuran komponen fisik habitat tarsius pada tiga blok
pengamatan disajikan pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7 Hasil pengukuran ketinggian tempat, kelerengan di tiga blok pengamatan Blok pengamatan Pute Parang Tembo Pattunuang
Jumlah individu tarsius 9 8 12
Ketinggian (m dpl) 175 – 325 319 – 360 75 – 225
Kemiringan lahan (%) 8 – 25 0 – 10 8 – 25
Tabel 8 Suhu udara, kelembaban udara, serta jarak pemukiman dan sungai di tiga blok pengamatan Blok pengamatan
Suhu udara (oC)
Kelembaban udara (%)
Pute Parang Tembo Pattunuang
25 – 27 25 – 26 24 – 27
69 – 80 70 – 80 70 – 80
a.
Rata-rata Jarak Jarak pemukiman sungai (m) (m) 513 412 351 371 397 50
Ketinggian Tempat Salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan
satwaliar termasuk tarsius adalah ketinggian tempat. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa ketinggian pada blok Pute berada pada kisaran 175 m dpl – 325 m dpl, blok Parang Tembo pada kisaran 319 m dpl – 360 m dpl, dan blok Pattunuang 75 m dpl – 225 m dpl. Terdapat perbedaan ketinggian tempat antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). Hal ini mengindikasikan bahwa tarsius di TN Babul ditemukan pada kisaran ketinggian 75 m dpl - 360 m dpl. Berdasarkan topografi dan konfigurasi lahan, ketiga lokasi (36)
37 ini berada pada kondisi datar hingga berbukit agak curam. Hal serupa ditemukan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, dimana T. spectrum ditemukan di hutan primer maupun hutan sekunder pada ketinggian 10 m dpl - 500 m dpl (Gursky 1998, Wirdateti & Dahrudin 2006), dan mencapai 1220 m dpl (Nietsch & Niemitz 1991). T. bancanus di Kalimantan Tengah ditemukan pada ketinggian 10 m dpl – 150 m dpl (Wirdateti 2005). T. tarsier di Pulau Selayar ditemukan dari dataran rendah berupa hutan pantai sampai dengan ketinggian 250 m dpl (Wirdateti & Dahruddin 2008).
T. pumilus ditemukan endemik di Sulawesi Tengah pada
ketinggian 1.800 mdpl – 2.200 m dpl (Jones et al. 2004). T. dianae ditemukan di hutan primer dekat Taman Nasional Lore Lindu pada ketinggian 700 m dpl (Niemitz et al. 1991). Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan bahwa tarsius dapat hidup pada ketinggian yang bervariasi tergantung pada jenisnya, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2200 m dpl. Gursky (1997) menyatakan kepadatan populasi tarsius tidak dipengaruhi oleh ketinggian,
dimana kepadatan populasi lebih tinggi di hutan sekunder
dibandingkan hutan primer dan lebih banyak ditemukan pada kawasan yang dilindungi daripada yang tidak dilindungi.
Kepadatan populasi tarsius di
Tangkoko 70 individu/km2 (MacKinnon & MacKinnon 1980) dan 156 individu/km2 (Gursky 1995), 270 individu/km2 di hutan alami, 190 individu/km2 dihutan yang gangguannya sedikit, 130 individu/km2 dihutan yang tingkat gangguannya sedang dan 45 individu/km2 dihutan yang tingkat gangguannya sudah berat (IUCN 2008). b. Kemiringan Lahan Kemiringan lahan pada blok Pute dan Pattunuang berada pada kemiringan lahan 8% – 25%, sedangkan blok Parang Tembo berada pada kemiringan lahan 0% – 10%. Terdapat perbedaan kemiringan lahan antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=7.367<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.002), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=16.100<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.003), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.000). Hal ini menunjukkan bahwa tarsius di TN Babul ditemukan pada kemiringan lahan rendah hingga sedang pada kisaran 0% 25%. Hal serupa ditemukan oleh Qiptiyah et al. (2009) pada kawasan Pattunuang (37)
38 dimana lokasi tidur tarsius berada pada kemiringan lahan yang bervariasi dari lokasi landai dengan kemiringan 4% hingga lokasi terjal dengan kemiringan 80% (Qiptiyah et al. 2009). Tarsius di Pulau Selayar ditemui di sekitar hutan pantai dengan topografi datar hingga kemiringan 10o dan pada hutan pegunungan dengan topografi landai hingga kemiringan 20o (Wirdateti & Dahruddin 2008). Kemiringan lahan suatu tempat sangat mendukung pergerakan tarsius sebagai peloncat dan pemanjat vertikal. Tarsius berloncatan dan memanjat antar cabang, ranting atau liana dengan arah vertikal hingga sudut 450 - 900, yang sangat membantu dalam menangkap serangga yang terbang atau hingga di daun. Diduga keberadaan tarsius pada tempat yang lebih terjal dilakukan guna menghindari predator atau pemburu yang akan kesulitan mencapai lokasi tersebut. c.
Suhu dan kelembaban udara Hasil pengamatan suhu udara pada ketiga blok pengamatan secara
keseluruhan berada pada kisaran 25oC – 27oC. Suhu udara harian di blok Pute berkisar antara 25oC – 27oC, Parang Tembo berkisar 25oC - 26 oC, dan Pattunuang berkisar antara 24oC - 27oC. Tidak terdapat perbedaan suhu antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=7.367<χ2(3,0.05)=7.81, p=0.61), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=4.792<χ2(2,0.05)=5.99, p=0.091), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=5.000<χ2(2,0.05)=5.99, p=0.082). Kelembaban udara ketiga blok pengamatan berada pada kisaran 69% – 80%. Rata-rata kelembaban udara pada blok Pute berada pada kisaran 69% – 80%, blok Parang Tembo dan Pattunuang berada pada kisaran 70% - 80%. kelembaban
udara
antara
(χ2=10.979<χ2(4,0.05)=9.49, 2
2
(χ =12.833<χ
(4,0.05)=9.49,
blok
p=0.027),
Pute blok
Terdapat perbedaan rata-rata dengan Pute
Parang
dengan
Tembo
Pattunuang
p=0.012), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang
(χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). Hal ini mengindikasikan bahwa suhu dan kelembaban udara pada TN Babul relatif seragam. Curah hujan per tahun pada lokasi ini berkisar antara 2.300 mm hingga 3.600 mm, suhu berkisar antara 200C – 35oC dengan kelembaban rata-rata 81% (BPS Maros 2009). Whitten et al. (1987) menyatakan bahwa rata-rata curah hujan per tahun pada daerah ini sekitar 3.500 mm, dan kelembaban udara pada musim hujan di sekitar kawasan Pattunuang (38)
39 berkisar antara 64,03% - 83,6% (Qiptiyah et al. 2009). Pengamatan ini dilakukan pada bulan Desember – Januari, dimana curah hujan cukup tinggi pada lokasi tersebut, dimana curah hujan bulanan tertinggi pada kawasan ini terjadi pada bulan November hingga April. Kondisi ini sangat mendukung tarsius dalam memenuhi kebutuhannya karena ketersediaan pakan cukup melimpah pada musim hujan. Gursky (2007) menyatakan bahwa periode high insect biomassa terjadi pada bulan November hingga April.
Kondisi ini juga mendukung tarsius
bereproduksi, dimana musim kawin terjadi pada awal dan akhir musim hujan (MacKinnon & MacKinnon 1980). d. Jarak dari pemukiman dan sungai Jarak pemukiman dengan habitat tarsius menunjukkan bahwa jarak ratarata di blok Pute 513 m, Parang Tembo 351 m, dan Pattunuang 397 m. Terdapat perbedaan jarak rata-rata pemukiman dengan habitat tarsius antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang
(χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07,
p=0.001).
Menunjukkan
bahwa
keberadaan pemukiman pada masing-masing blok pengamatan jaraknya berada pada kisaran 351 m – 513 m, dan dapat dikatakan cukup dekat dengan habitat tarsius. Keberadaan pemukiman di dalam kawasan TN Babul diikuti dengan aktivitas pembukaan jalan dan lahan pertanian dan kebun, serta kemudahan dalam mengakses sumberdaya dari hutan. Peningkatan aktivitas manusia menjadi salah satu ancaman keberadaan tarsius di alam, dimana mengakibatkan berkurangnya ruang habitat serta penurunan kualitas habitat yang dibutuhkan oleh satwa. Salah satu pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan antara lain mengambil bambu dari dalam kawasan, yang digunakan penduduk dalam membangun rumah dan beberapa fasilitas lainnya. Hal tersebut tentunya mengancam keberadaan tarsius diTN Babul, dimana pada lokasi ini rumpun bambu digunakan sebagai tempat tidur bagi tarsius. Bambu juga merupakan salah satu tumbuhan yang lebih disukai tarsius dalam melakukan pergerakan karena struktur fisik dari bambu itu sendiri yang fleksibel sehingga menunjang tarsius memanjat dan melompat antar (39)
40 pohon (Roberts & Cunningham 1986, Crompton & Andau 1987). Menurunnya kepadatan populasi T. dianae di Sulawesi Tengah adalah akibat illegal logging (Merker et al. 2004, Merker & Yustian 2008), dan populasi T. spectrum di Cagar Alam Tangkoko mengalami penurunan akibat kerusakan habitat dan perubahan fungsi hutan untuk perkebunan dan aktivitas wisata (Gursky 1998). Kemudahan akses menuju kawasan juga membuka peluang kegiatan perburuan terhadap tarsius sebagai satwa yang unik dan langka. Jarak rata-rata sungai dari lokasi keberadaaan tarsius pada blok Pute 412 m, Parang Tembo 371 m dan Pattunuang 50 m. Terdapat perbedaan jarak ratarata sungai dari habitat tarsius antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07,
p=0.004),
blok
Pute
dengan
Pattunuang
(χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). Hal ini mengindikasikan keberadaan aliran sungai pada ketiga blok pengamatan jaraknya bervariasi dari yang dekat sekitar 50 m hingga sekitar 412 m dari habitat tarsius, dimana anak sungai dan mata air sebagai sumber air banyak ditemukan dalam kawasan TN Babul yang mampu memenuhi kebutuhan satwa yang terdapat disekitarnya. Tarsius dapat dikatakan sebagai salah satu satwa yang tidak bergantung pada sungai dalam memenuhi kebutuhan minumnya, dimana Niemitz (1984) menyatakan bahwa selain memanfaatkan aliran air yang terdapat di wilayah tempat tinggal mereka, tarsius juga memanfaatkan air yang menetes dari dedaunan dan genangan air yang terdapat di pohon-pohon berlubang. Curah hujan yang cukup tinggi di kawasan ini memudahkan tarsius dalam memenuhi kebutuhan minumnya tanpa harus ke sumbernya, dan dekatnya sumber air tentu tidak membutuhkan waktu yang lama bagi tarsius melakukan perjalanan mencari minum bahkan pada musim kemarau.
Yasuma & Alikodra (1990) juga
menyatakan bahwa tarsius menyukai habitat pada hutan hujan tropis yang memiliki sumber air yang banyak sehingga dapat mendukung ketersediaan pakan yang dibutuhkannya.
(40)
41 2.
Komponen Biotik Habitat Tarsius
a.
Struktur dan Komposisi Vegetasi Hasil analisis vegetasi pada blok Pute, Parang Tembo dan Pattunuang,
tercatat 87 jenis tumbuhan dari 901 individu yang ditemukan dan merupakan jumlah keseluruhan dari tingkat tumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon (Lampiran 2). Hasil analisis vegetasi di masing-masing tipe habitat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah jenis dan individu masing masing tingkat pertumbuhan pada ketiga blok pengamatan Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang Pohon 25 29 20 16 156 89 50 77 22 20 19 19 107 88 44 46 24 31 16 17 90 80 33 41
Blok Pute
Jenis Individu Jenis Individu Jenis Individu
Parang Tembo Pattunuang
1) Tumbuhan tingkat semai Hasil analisis vegetasi secara keseluruhan di 27 petak contoh ditemukan sebanyak 46 jenis dari 353 individu tumbuhan tingkat semai. Jumlah individu terbanyak ditemukan di blok Pute dengan 156 individu dari 25 jenis tumbuhan, dan terkecil ditemukan di blok Pattunuang dengan 90 individu dari 24 jenis, sedangkan blok Parang Tembo ditemukan 107 individu dari 22 jenis tumbuhan. Terdapat perbedaan jumlah jenis antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.002) dengan tingkat kesamaan komunitas sebesar C=32.69%.
Blok
Pute
dengan
Pattunuang
berbeda
nyata
(χ2=21.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.000) dengan tingkat kesamaan sebesar C=19.56%. Blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=15.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.005) dengan tingkat kesamaan C=38.57%.
Indeks Shannon-Wiener menunjukkan
keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat semai lebih besar pada blok Pattunuang (2.90), kemudian blok Parang Tembo (2.73) dan blok Pute (2.62). perhitungan disajikan pada Lampiran 8. (41)
Hasil
42 Kerapatan tumbuhan tertinggi 130,000 individu/ha ditemukan di blok Pute dan terendah di blok Pattunuang 75,000 individu/ha, sedangkan blok Parang Tembo kerapatan tumbuhan 89,167 individu/ha (Gambar 7a). Terdapat perbedaan kerapatan antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). 2) Tumbuhan tingkat pancang Tercatat 257 individu dari 59 jenis pada tumbuhan tingkat pancang dikeseluruhan blok pengamatan. Jumlah individu terbanyak ditemukan pada blok Pute yaitu 89 individu dari 29 jenis dan terkecil ditemukan di blok Pattunuang dengan 80 individu dari 31 jenis tumbuhan, sedangkan di blok Parang Tembo terdapat 88 individu dari 20 jenis tumbuhan. Terdapat perbedaan jumlah jenis antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.002) dengan tingkat kesamaan komunitas sebesar C=34,61%.
Blok Pute dengan
Pattunuang berbeda nyata (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001) dengan tingkat kesamaan sebesar C=27,22%.
Blok Parang Tembo dengan Pattunuang
(χ2=15.000<χ2(3,0.05)=7.81, p=0.002) dengan tingkat kesamaan C=25,08%. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada tingkat pancang berdasarkan indeks Shannon-Wiener menunjukkan blok Pattunuang memiliki keanekaragaman lebih besar (3.26), kemudian blok Pute (3.02) dan blok Parang Tembo (2.68). Hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 9. Total kerapatan tertinggi terdapat di blok Pute 11.867 individu/ha dan terendah di blok Pattunuang yaitu 11.733 individu/ha, di blok Parang Tembo sebesar 10.667 individu/ha (Gambar 7b). Terdapat perbedaan kerapatan antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=14.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.007), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). 3) Tumbuhan tingkat tiang Terdapat 39 jenis tumbuhan dari 127 individu pada tumbuhan tingkat tiang di seluruh blok pengamatan. Jumlah individu lebih banyak ditemukan di blok (42)
43 Pute dengan 50 individu dari 20 jenis tumbuhan dan paling sedikit ditemukan di blok Pattunuang dengan 33 individu dari 16 jenis tumbuhan, sedangkan blok Parang Tembo terdapat 44 individu dari 19 jenis tumbuhan. Terdapat perbedaan jumlah jenis antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004) dengan tingkat kesamaan komunitas sebesar C=28.09%. Blok Pute dengan Pattunuang berbeda nyata (χ2=11.926<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.018) dengan tingkat kesamaan sebesar C=48.96%. Blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=6.607<χ2(3,0.05)=7.81,
p=0.086)
dengan
tingkat
kesamaan
C=23.77%.
Keanekaragaman jenis pada tingkat tiang lebih besar pada blok Pute (2.76), kemudian blok Parang Tembo (2.66) dan blok Pattunuang (2.46).
Hasil
perhitungan disajikan pada Lampiran 10.
Gambar 7 Kerapatan jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di blok Pute, Parang Tembo dan Pattunuang Total kerapatan paling tinggi terdapat pada blok Pute dengan 1,667 individu/ha dan terendah pada blok Pattunuang 1,100 individu/ha, sedangkan blok Parang Tembo total kerapatan 1,467 individu/ha (Gambar 7c). (43)
Terdapat
44 perbedaan
kerapatan
antara
2
2
(5,0.05)=11.07,
2
2
(3,0.05)=7.81,
(χ =17.000<χ (χ =21.000<χ
blok
p=0.004),
Pute blok
dengan Pute
Parang
dengan
Tembo
Pattunuang
p=0.000), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang
(χ2=20.000<χ2(3,0.05)=7.81, p=0.000). Diameter tumbuhan pada tingkat tiang pada ketiga blok pengamatan berkisar antara 10 cm – 18 cm. Rata-rata diameter tumbuhan tingkat tiang di blok Pute 13,24 cm, Parang Tembo 14,50 cm dan Pattunuang 14,47 cm. Uji beda antar blok pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan diameter antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), antara blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001).
Gambar 8 Diameter (Q) dan tinggi total (TT) rata-rata tumbuhan tingkat tiang dan pohon pada blok Pute, Parang Tembo dan Pattunuang Tinggi total tumbuhan tingkat tiang pada ketiga blok pengamatan berkisar antara 4 m - 12 m. Rata-rata tinggi tumbuhan tingkat tiang pada blok Pute 8,29 m, blok Parang Tembo 7,47 m dan blok Pattunuang 6,97 m. Terdapat perbedaan tinggi tumbuhan tingkat tiang antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), antara blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001).
(44)
45 4) Tumbuhan tingkat pohon Hasil analisis vegetasi terhadap tumbuhan tingkat pohon pada seluruh blok pengamatan ditemukan sebanyak 164 individu dari 34 jenis tumbuhan. Jumlah individu paling banyak ditemukan di blok Pute yaitu 77 individu dari 16 jenis, kemudian blok Parang Tembo 46 individu dari 19 jenis tumbuhan, dan pada blok Pattunuang terdapat 41 individu dari 17 jenis tumbuhan. Terdapat perbedaan jumlah jenis tumbuhan tingkat pohon antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.002), dengan kesamaan komunitas paling besar yaitu
C=0,59%.
Blok
Pute
dengan
Pattunuang
berbeda
nyata
(χ2=21.000<χ2(3,0.05)=7.81, p=0.000), dengan tingkat kesamaan komunitas sebesar C=1,44%.
Blok Parang Tembo dengan Pattunuang berbeda jumlah jenis
tumbuhannya (χ2=20.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.000) dengan tingkat kesamaan komunitas paling kecil yaitu C=2,33%. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada tingkat pohon lebih besar pada blok Parang Tembo (2,69), kemudian blok Pattunuang (2,65) dan blok Pute (2,44).
Hasil perhitungan disajikan pada
Lampiran 12. Total kerapatan tertinggi ditemukan di blok Pute yaitu 642 individu/ha dan terendah blok Pattunuang dengan 342 individu/ha, sedangkan di blok Parang Tembo kerapatan sebesar 383 individu/ha (Gambar 7d). Terdapat perbedaan @Amnur doc’s
@Amnur doc’s
kerapatan antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=14.048<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.007). Diameter tumbuhan pada tingkat pohon pada ketiga blok pengamatan berkisar antara 20 cm - 205 cm. Rata-rata diameter tumbuhan tingkat pohon di blok Pute 35,86 cm, blok Parang Tembo 56,70 cm dan blok Pattunuang 31,95 cm. Terdapat perbedaan diameter pohon antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), antara blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001).
(45)
46 Tinggi total tumbuhan tingkat pohon pada ketiga blok pengamatan berkisar antara 6 m - 18 m. Rata-rata tinggi tumbuhan tingkat pohon pada blok Pute 12,74 m, blok Parang Tembo 13,55 m dan blok Pattunuang 10,61 m. Terdapat perbedaan tinggi pohon antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.004), antara blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=20.000<χ2(5,0.05)=11.07, p=0.001). Vegetasi merupakan salah satu komponen habitat yang memiliki arti penting bagi kehidupan harian tarsius, dimana cabang, ranting dan permudaan dari suatu vegetasi digunakan tarsius sebagai sarana untuk melakukan pergerakan baik dalam mencari makan, bermain, istirahat dan bersosialisasi.
Hasil analisis
vegetasi menunjukkan 87 jenis tumbuhan yang ditemukan berasal dari 30 familia yang didominasi oleh family Euphorbiaceae, Fabaceae dan Moraceae. Jenis Pavetta sylvatica dan Spatodea campanulata yang memiliki kerapatan tertinggi pada blok Pute, jenis Planchonia valida dan Ficus sp. pada blok Parang Tembo, dan jenis Colubrina sp. dan Dracontomelon dao pada blok Pattunuang. Selama pengamatan tarsius senantiasa menggunakan vegetasi ini dalam mendukung pergerakannya berpindah antar pohon dan menangkap mangsa yang terdapat disekitarnya. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis vegetasi pada ketiga blok pengamatan dengan nilai kerapatan yang tinggi cukup mendukung pergerakan tarsius dalam mencari makan, istirahat dan bermain serta bersosialisasi.
Wirdateti & Dahrudin (2006) dan Gursky (1998) menyatakan
bahwa beberapa jenis tumbuhan yang secara intensif digunakan dalam aktivitas tarsius, yaitu: Kleinhovia hospita, Ficus spp., Leea indica, Barringtonia acutangula, Dracontomelon dao dan Syzygium aqueum. Terdapat perbedaan kerapatan tumbuhan pada ketiga blok pengamatan ditemukannya tarsius pada berbagai tingkat pertumbuhan.
Hal ini disebabkan
oleh perbedaan kondisi hutan di masing-masing blok pengamatan. Blok Pute dapat dikatakan mewakili vegetasi hutan sekunder yang masih alami meskipun sebagian telah mengalami gangguan akibat aktivitas manusia.
Blok Parang
Tembo merupakan hutan sekunder yang telah terfragmentasi oleh pembukaan (46)
47 jalan dan lahan pertanian oleh penduduk setempat. Blok Pattunuang mewakili bentangan hutan karst yang sebagian wilayahnya juga telah terganggu akibat aktivitas wisata seperti kemah, susur gua dan panjat tebing. Komposisi vegetasi secara keseluruhan dapat dikatakan masih alami yang terlihat dari komposisi jenis dan jumlah individu penyusunnya.
Apabila anakan pohon memiliki kondisi
kerapatan fase semai > fase pancang > fase tiang > fase pohon dapat dikatakan bahwa proses regenerasi tegakan hutan tersebut berjalan dengan baik.
@amnur doc’s
Gambar 9 Kondisi habitat di blok Pute
(47)
48
@amnur doc’s
Gambar 10 Kondisi habitat di blok Parang Tembo Keanekaragaman jenis pada blok Pute berbeda nyata dengan blok Parang Tembo pada tumbuhan tingkat pancang dan tiang, sedangkan dengan blok Pattunuang berbeda pada tumbuhan tingkat tiang.
Tidak terdapat perbedaan
keanekaragaman pada berbagai tingkat pertumbuhan antara blok Parang Tembo dengan blok Pattunuang. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis tumbuhan yang terdapat pada ketiga blok pengamatan memiliki kemampuan bertahan yang berbeda-beda dan diduga pengaruh lingkungan sangat berperan di dalamnya. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam (48)
49 komunitas itu sangat tinggi (Indriyanto 2006). Hal ini juga dipengaruhi oleh fluktuasi faktor lingkungan fisik yang berbeda pada setiap tempat.
@amnur doc’s
Gambar 11 Kondisi habitat di blok Pattunuang
@Amnur doc’s
Ditemukannya tarsius pada ketiga blok pengamatan di kawasan TN Babul dengan kondisi vegetasi yang berbeda diameter dan tinggi total pohonnya mengindikasikan bahwa tarsius dapat berkembang biak pada ketiga habitat yang berbeda karakternya dengan memanfaatkan kondisi habitat yang tersedia. Selama pengamatan berlangsung, tarsius juga menggunakan liana dengan diameter sekitar 0,5 cm – 2.5 cm yang banyak ditemui pada ketiga blok pengamatan untuk berpindah antar pohon.
Tarsius menggunakan masing-masing bagian dari
tumbuhan untuk melakukan aktivitas yang berbeda, dimana mampu menopang (49)
50 dan menunjang pergerakannya melompat dan memanjat secara vertikal. MacKinnon & MacKinnon (1980) menyatakan bahwa tarsius dalam melakukan pergerakan membutuhkan cabang dengan diameter kecil <4 cm terutama untuk berburu dan menjelajah, diameter sedang 4 cm – 8 cm digunakan terutama untuk istirahat dan menandai wilayah jelajah, sedangkan diameter >8 cm digunakan untuk istirahat dan juga untuk penandaan wilayah jelajah. T. bancanus di Pulau Belitung menggunakan tumbuhan yang memiliki cabang, ranting dan permudaan pohon dengan diameter 1 cm – 4 cm dengan tinggi 1 m – 5 m dari permukaan tanah untuk melakukan pergerakan mencari makan, bermain dan bersosialisasi (Yustian 2006). Tarsius di Tangkoko menggunakan pohon tidur dengan diameter berkisar 167 cm – 700 cm dan tinggi berkisar 10 m – 38 m (Gursky 1998). Pola fenologi vegetasi di suatu habitat dipengaruhi oleh fluktuasi faktor fisik lingkungan. Perubahan fenologi yang terjadi akan mempengaruhi komposisi dan kelimpahan serangga sebagai pakan tarsius, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan tarsius. Penduduk sering menemukan tarsius pada tumbuhan yang sedang berbunga atau pada pohon yang sedang berbuah dan juga sering terlihat pada bagian pohon yang berlubang dan mengambil serangga yang ada di dalamnya.
Keberadaannya bukan untuk
memakan buah akan tetapi menangkap serangga yang hinggap pada bunga atau buah tersebut.
Semakin beragam jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu
habitat akan menciptakan iklim mikro yang mendukung beragamnya jenis serangga di habitat tersebut.
Serangga dapat berkembang dengan baik pada
kondisi habitat yang mampu menyediakan kebutuhan pakan yang lebih beragam. b. Keberadaan Jenis Satwa Lainnya TN Babul dihuni oleh sekitar 356 spesies satwa liar yang terdiri dari 6 species mamalia, 73 species aves, 7 species amphibi, 19 species reptilia, 224 species insecta, serta 27 species collembola, pisces, moluska dan lain sebagainya. Selama melakukan penelitian di lokasi secara umum jenis satwa yang teridentifikasi berdasarkan perjumpaan langsung, suara yang dikeluarkan, serta berdasarkan informasi dari masyarakat lokal. (50)
51
@TN Babul doc’s @TN Babul doc’s
@TN Babul doc’s
Ailurops ursinus
Spizaetus lanceolatus
@Amnur doc’s
@TN Babul doc’s
Hydrosaurus amboinensis
Macaca maura
Gambar 12 Beberapa jenis satwa yang ditemukan di lokasi penelitian Satwa yang teridentifikasi pada blok Pute, antara lain ular sanca Python reticulatus, dare’ Macaca maura, elang Sulawesi Spizaetus lanceolatus, rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix, burung hantu Otus manadensis, srigunting Dicrurus hottentotus, musang Sulawesi Macrogalidia musschenbroeckii, dan tongali Ailurops ursinus. Satwa yang teridentifikasi pada blok Parang Tembo antara lain (51)
52 srigunting Dicrurus hottentotus, burung hantu Otus manadensis, burung madu, beo, tekukur Macropygia amboinensis, ular sanca Python reticulatus, musang Sulawesi Macrogalidia musschenbroeckii, dan tikus tanah.
Satwa yang
teridentifikasi pada blok Pattunuang selain ditemui kelelawar, rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix, burung hantu Otus manadensis, nuri bayam, ular sanca Python reticulatus, Soa-soa Hydrosaurus amboinensis, kadal terbang Draco sp., dare’ Macaca maura, dan beberapa jenis kupu-kupu endemik. c.
Jumlah Jenis Serangga Potensi Pakan Tarsius Pengamatan serangga di tiga tipe habitat dengan menggunakan metode
perangkap cahaya (light trap), ditemukan 54 jenis serangga dari 11 ordo dengan jumlah keseluruhan 692 individu (Lampiran 3). Hasil analisis serangga pada tiga blok pengamatan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah individu, jenis dan kelimpahan serangga di blok pengamatan Blok pengamatan Pute Parang Tembo Pattunuang Total
Jumlah jenis 29 32 38
Jumlah individu 244 196 252 692
Kelimpahan individu (%) 35,26 28,32 36,42
Jumlah individu serangga lebih banyak ditemukan di blok Pattunuang yaitu 252 individu dari 38 jenis dan terendah ditemukan pada blok Parang Tembo 196 individu dari 32 jenis serangga, sedangkan pada blok Pute ditemukan 244 individu dari 29 jenis. Terdapat perbedaan jumlah jenis serangga antara blok Pute dengan Parang Tembo (χ2=17.000<χ2(4,0.05)=9.49, p=0.002), antara blok Pute dengan Pattunuang (χ2=21.000<χ2(5,0.05)=7.81, p=0.000), dan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang (χ2=12.857<χ2(3,0.05)=7.81, p=0.005).
Hal ini
mengindikasikan bahwa jenis serangga di masing-masing habitat berbeda yang dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan serta struktur dan komposisi vegetasi, dimana kelimpahan terbanyak ditemukan pada blok Pattunuang.
(52)
53 Tarsius mengkonsumsi berbagai jenis serangga dan vertebrata kecil dalam memenuhi kebutuhannya.
Jenis pakan yang dikonsumsi oleh tarsius adalah
serangga dan beberapa jenis vertebrata (MacKinnon & MacKinnon 1980, Niemitz 1984, Gursky 2000, Wirdateti & Dahrudin 2006). Beberapa jenis serangga yang menjadi pakan tarsius adalah kumbang, belalang, jangkrik, nyamuk, kupu-kupu, semut, ngengat, capung, rayap/anai-anai, dan kecoa, disamping itu juga tarsius memangsa vertebrata kecil seperti ular cabe, burung-burung kecil dan kelelawar (MacKinnon & MacKinnon 1980, Niemitz 1984, Supriatna & Wahyono 2000, Gursky 2000). Jenis serangga yang diperoleh dari hasil pengamatan lebih banyak tergolong dalam ordo Lepidoptera (12 jenis), Coleoptera (11 jenis) dan Orthoptera (7 jenis). Pola sebaran setiap jenis serangga adalah mengelompok dan seragam, sedangkan pola penyebaran serangga berdasarkan tiga tipe habitat menunjukkan pola mengelompok (Lampiran 13).
Terdapat pula jenis serangga yang pola
sebarannya tidak dapat teridentifikasi karena hanya terdapat satu individu dari semua plot pengamatan. Keanekaragaman jenis serangga pada blok Parang Tembo 3,04 lebih tinggi dibandingkan blok Pute 3,01 dan blok Pattunuang 2,85.
Suatu komunitas
dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies dan sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan (Indriyanto 2006). Ketersediaan serangga yang beragam jenisnya, menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan peningkatan jumlah tarsius di suatu habitat.
Kesamaan
komunitas paling besar C=75,60% ditemukan antara blok Parang Tembo dengan blok Pattunuang, kemudian antara blok Pute dengan Pattunuang sebesar C=70,48% dan blok Pute dengan Parang Tembo dengan kesamaan paling kecil yaitu sebesar C=69,92%. Hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 15.
(53)
54
a. Odonata
b. Orthoptera
c. Lepidoptera
Gambar 13 Beberapa jenis serangga yang ditemukan di lokasi penelitian Kelimpahan individu lebih banyak di blok Pattunuang 36,42%, blok Pute 35,26% dan blok Parang Tembo 28,32%. Distribusi dan kualitas sumberdaya pakan merupakan salah satu faktor yang menjelaskan banyaknya variasi perilaku interspesifik dan intraspesifik dari primata. Primata yang hidup pada lingkungan musiman senantiasa memperlihatkan respon yang dapat diduga terhadap perubahan sumberdaya. Untuk menggantikan ketersediaan sumberdaya pakan yang berkurang, primata berupaya mencari alternatif pengganti sumber pakan dan menambah waktu untuk mencari makan dengan menambah panjang lintasannya (daily path length) untuk mendapatkan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhannya (Crompton 1984). Melimpahnya sumberdaya pakan di alam tentunya tidak akan menyulitkan bagi tarsius dalam memenuhi kebutuhan makannya sehingga lebih banyak meluangkan waktu untuk aktivitas lainnya seperti bermain, istirahat dan bersosialisasi serta mencari pasangan. Tarsius memodifikasi jenis serangga yang dikonsumsi sesuai dengan ketersediaan sumberdaya, ukuran serangganya, juga lokasi dimana mencari pakannya sesuai dengan musimnya (Gursky 2000). Pada musim hujan, ketersediaan serangga meningkat disebabkan oleh kondisi habitat dan faktor biologis yang mendukung cepatnya perkembangbiakan serangga. Hal tersebut tentunya mempermudah tarsius dalam memenuhi kebutuhan pakannya. Tarsius mengkonsumsi lebih banyak jenis Orthoptera dan Lepidoptera di musim hujan meskipun ketersediaannya di alam peningkatannya tidak terlalu besar (Gursky 2006), sedangkan Tarsius bancanus dalam penangkaran lebih banyak memakan jangkrik dibandingkan belalang, karena tingginya kandungan serat kasar dan (54)
55 kemungkinan adanya kandungan kitin dalam belalang yang kurang disukai tarsius (Farida et al. 2005).
Meskipun serangga tersedia melimpah atau meningkat
jumlahnya di alam baik pada musim hujan maupun musim kemarau, tarsius tetap selektif dalam memilih atau mengkonsumsi serangga sebagai pakannya. Keberadaan pemukiman yang diikuti dengan pembukaan lahan pertanian dan kebun, cukup dekat dengan lokasi keberadaan tarsius di masing-masing habitat. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab melimpahnya serangga di sekitar habitat tarsius, dimana serangga menyenangi jenis tanaman yang ditanam oleh penduduk seperti padi, jagung, kelapa dan sayuran. Ditemukannya tarsius di kebun masyarakat serta di perbatasan hutan, mengindikasikan serangga memodifikasi lokasi tempat makannya. Hal ini juga membuktikan bahwa tarsius dapat beradaptasi dengan perubahan habitat yang terjadi akibat pembukaan lahan pertanian. B. Preferensi Habitat Pengamatan ini menemukan tiga kelompok tarsius di tiga tempat berbeda di TN Babul. Total individu yang teramati 29 individu dengan rata-rata tiga individu per kelompok. Terdapat 2 – 5 individu per kelompok dalam bentuk keluarga dengan komposisi masing-masing kelompok terdiri atas satu jantan dewasa, satu betina dewasa, dan anaknya dengan sex ratio 1:2. Tarsius diamati pada lokasi tidurnya, dimana pada blok Pute dan blok Parang Tembo dijumpai pada rumpun bambu duri Bambusa multiflex yang sangat rapat, yang banyak ditemui pada lokasi ini. Rumpun bambu yang digunakan memiliki batang tua dan paling sedikit terdiri atas 8 batang per rumpun. Sedangkan di blok Pattunuang, tarsius menggunakan tebing-tebing karst sebagai lokasi tidur dengan ketinggian 7 m – 20 meter dari permukaan tanah.
Pemilihan lokasi tidur diduga demi
menghindari pemburu dan predator alami yang banyak ditemukan di lokasi ini.
(55)
56
Gambar 14 Tarsius tarsier yang ditemukan di lokasi penelitian Menganalisis tipe habitat yang disukai oleh tarsius menggunakan asumsi bahwa semakin banyak jumlah tarsius ditemukan maka semakin disukai tipe habitat tersebut karena besarnya proporsi pemanfaatan (usage) dibanding proporsi ketersediaannya (availability). Untuk mengetahui hubungan antara jumlah tarsius dengan tipe habitat dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu (indeks preferensi). Metode Neu’s merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan indeks preferensi habitat oleh satwa (Neu et al 1974). Jika nilai indeks preferensi lebih dari satu (w>1) maka habitat tersebut disukai sedangkan jika kurang dari satu (w<1) maka habitat tersebut akan dihindari (Bibby et al. 1998). Proses pengolahannya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Indeks Neu untuk preferensi habitat tarsius di TN Babul p
n
u
e
w
b
Pute
a (ha) 10,16
0,36
9
0,31
10,39
0,87
0,26
Parang Tembo
5,00
0,18
8
0,28
5,11
1,56
0,47
Pattunuang
13,20
0,47
12
0,41
13,50
0,89
0,27
Jumlah
28,36
1,00
29
1,00
29,00
3,32
1,00
Blok pengamatan
Keterangan: a=luas areal pengamatan, p=proporsi luas areal pengamatan, n=jumlah individu tarsius yang teramati, u=proporsi jumlah individu tarsius, e=harapan jumlah individu tarsius, w=indeks preferensi, b=indeks preferensi yang distandarkan
(56)
57 Berdasarkan indeks Neu diketahui bahwa habitat blok Parang Tembo lebih dipilih tarsius dibandingkan blok Pute dan blok Pattunuang.
Lokasi Parang
Tembo terpisah secara geografis dengan blok Pute dan Pattunuang. Tarsius yang ditemukan pada blok ini diduga “terperangkap’ akibat dibukanya jalan dan lahan pertanian disekitarnya.
Tarsius masih tetap bertahan dan dapat ditemukan pada
habitat ini diduga karena kondisi habitat yang masih cukup alami dan mampu menyediakan segala yang dibutuhkan oleh tarsius dalam mempertahankan keberadaannya di alam. Kondisi habitat yang didominasi oleh rumpun bambu diduga sangat mendukung pemilihan lokasi ini sebagai habitat yang disukai oleh tarsius. Rumpun bambu digunakan tarsius sebagai lokasi tidur, serta tempat yang aman dalam menghindari pemburu dan predator yang terdapat di sekitarnya karena lebih rapat dan jenisnya berduri. Keberadaan rumpun bambu yang berdekatan satu sama lain juga sangat mendukung tarsius dalam melakukan pergerakan mencari makan, bermain, serta bersosialisasi. Ketersediaan sumber pakan pada habitat ini dapat dikatakan cukup melimpah dengan karakteristik habitat yang mendukung melimpahnya serangga dan vertebrata lainnya.
Keberadaan lahan pertanian
dengan pola tanam musiman juga menjadi salah satu sumber beragamnya jenis serangga yang ditemukan pada habitat ini. Gursky (2007) menyatakan bahwa pola penggunaan ruang tarsius lebih dijelaskan oleh pemilihan ketinggian, jenis dan sudut tertentu dari tumbuhan pendukung. Keberadaan tarsius di suatu habitat bergantung pada jenis tumbuhan dengan diameter kecil dengan arah vertikal atau dengan sudut sekitar 450 – 900 (Crompton & Andau 1986). Rumpun bambu yang terdapat di habitat ini sangat membantu pergerakan tarsius dalam mencari pakan, bermain dan bersosialisasi, dimana lebih stabil dalam menopang tubuh tarsius yang kecil serta lebih elastis untuk berpijak pada saat memanjat dan meloncat antar pohon atau rumpun bambu. Karakteristik habitat pada blok Pute dan Pattunuang dapat dikatakan memiliki banyak kesamaan dengan karakter habitat pada blok Parang Tembo. Diduga tarsius dulunya lebih banyak ditemukan pada blok Pattunuang dan blok Pute yang secara geografis masih terhubung. Keberadaan pemukiman yang cukup (57)
58 dekat dengan segala aktivitasnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dan membuka lahan pertanian sehingga menjadi salah satu ancaman berkurangnya luasan habitat tarsius di kawasan ini. Lokasi ini juga merupakan tempat wisata rekreasi, panjat tebing, susur gua serta berkemah bagi wisatawan lokal dan mancanegara sehingga keberadaan tarsius menjadi terusik. Belum lagi adanya pemburu yang berasal dari masyarakat lokal yang pada saat itu belum mengetahui status tarsius yang dilindungi, yang menangkap untuk kemudian dijual kepada kolektor. Hal ini mengindikasikan keberadaan tarsius terancam sehingga lebih memilih celah-celah pada tebing karst sebagai lokasi tidur yang letaknya mencapai 20 m dari permukaan tanah, dan meningkatkan kewaspadaan pada saat akan keluar dan kembali ke lokasi tidurnya. Faktor lain yang diduga menjadi alasan pemilihan habitat bagi tarsius adalah keberadaan predator alami yang banyak ditemukan pada lokasi ini.
(58)
59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa: 1.
Tarsius di TN Babul ditemukan pada ketinggian 75 m - 360 m, dengan topografi datar hingga berbukit agak curam dengan kemiringan lahan 0% – 25%, dengan jarak rata-rata habitat tarsius cukup dekat dengan pemukiman dan sungai. Jenis Pavetta sylvatica dan Spatodea campanulata memiliki kerapatan tertinggi pada blok Pute, jenis Planchonia valida dan Ficus sp. pada blok Parang Tembo, dan jenis Colubrina sp. dan Dracontomelon dao pada blok Pattunuang. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga blok pengamatan berbeda pada berbagai tingkat pertumbuhan, dengan kesamaan komunitas lebih banyak ditemukan antara blok Parang Tembo dengan Pattunuang. Teridentifikasi keberadaan satwa predator seperti Python reticulatus, Otus manadensis serta Spizaetus lanceolatus di masing-masing habitat. Ditemukan beragam jenis serangga yang berbeda jumlahnya dengan tingkat kesamaan komunitas cukup tinggi antar ketiga blok pengamatan, dengan pola sebaran mengelompok dan seragam.
2.
Indeks Neu menunjukkan tarsius memilih habitat di blok Parang Tembo dibandingkan blok Pute dan blok Pattunuang.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1.
Perlu dilakukan pembatasan terhadap pengambilan bambu duri Bambusa multiflex oleh masyarakat dari dalam kawasan karena fungsinya sebagai lokasi tidur dan penunjang dalam pergerakan tarsius.
2.
Perlu dilakukan pengawasan lebih intensif terhadap aktivitas masyarakat seperti keberadaan pemburu yang dapat mengancam keberadaan tarsius di TN Babul.
(59)
60
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Aqsar ZE. 2009. Hubungan ketinggian dan kelerengan dengan tingkat kerapatan vegetasi menggunakan sistem informasi geografis di Taman Nasional Gunung Leuser. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: Wiley. 373 p. Bibby C, S Marsden, A Fielding. 1998. Bird-Habitat Studies. The Expedition Advisory Centre. Royal Geographical Society. London. Bolen EG & WL Robinson. 1995. Wildlife Ecology and Management. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall. Borror DJ, CA Triplehorn, NF Jhonson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [BMG] Badan Metereologi dan Geofisika Maros. 2009. Data curah hujan, hari hujan, suhu udara dan kelembaban udara Kabupaten Maros tahun 2006 – 2008. Maros: BMG Kabupaten Maros. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros. 2009. Maros Dalam Angka. Maros: BPS Kabupaten Maros. [BTN BABUL] Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros: BTN Babul. Caughley G & ARF Sinclair. 1994. Wildlife Ecology and Management. Boston: Blackwell Scientific Publication. Cody ML. 1964. An Introduction to Habitat Selection in Birds. Academic Press Inc.
Orlando:
Crompton R. 1984. Foraging, habitat structure and locomotion in two species of Galago. In Adaptations for foraging in non-human primates. P Rodman, J Cant (eds). New York: Columbia University Press. Crompton RH & PM Andau. 1986. Locomotion and habitat utilization in freeranging Tarsius bancanus: A preliminary report. Primates 27(3): 337-355.
(60)
61 Crompton RH & PM Andau. 1987. Ranging, activity rhythms, and sociality in free-ranging Tarsius bancanus: A preliminary report. Int. J. Primatol. 8: 43-71. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. Direktorat PPA. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka; Mamalia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. Farida WR, KK Wardani, AS Tjakradidjaja, D. Diapari. 2005. Konsumsi dan penggunaan pakan pada tarsius (Tarsius bancanus) betina di penangkaran. Biodiversitas 9 (2) : 148-151. Fogden MPL. 1974. A preliminary field studyof the Western Tarsier Tarsius bancanus Horsfield. In: RD Martin, GA Doyle, AC Walker (eds), Prosimian Biology. Duckworth, London: 151-165. Gunawan, AP Kartono, I Maryanto. 2008. Keanekaragaman mamalia besar berdasarkan ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Jurnal Biologi Indonesia 4 (5): 321-324. Gursky S. 1995. Group size and composition in the Spectral tarsier Tarsius spectrum: implication for social organization. Tropical biodiversity 3(1): 57-62. Gursky S. 1998. Conservation status of the Spectral Tarsier Tarsius Spectrum: Population density and home range size. Folia Primatologica 69 (suppl 1): 191-203. Gursky S. 2000. Effect of seasonality on the behaviour of an insectivorous primate, Tarsius spectrum. Int J Primatology 21(3): 477-495. Gursky S. 2007. Primate Field Studies: The Spectral Tarsier. New Jersey: Pearson Education Inc. 204 p. Gursky S, M Shekelle, A Nietsch. 2008. The conservation status of Indonesia’s tarsiers. In: M Shekelle, I Maryanto, C Groves, H Schulze, H Fitch-Snyder (eds), Primates of The Oriental Night. LIPI press, Jakarta: 105-114. Hill WCO. 1955. Primates: Comparative Anatomy and Taxonomy. II. Haplorhinii: Tarsoidea. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hariyanto NM & S Iskandar. 2004. Status populasi dan habitat surili (Presbytis Comata Desmarets) di Kompleks Hutan Kalajeten-Karang Panjang, Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(1):89-98. (61)
62
Heip C & P Engels. 1974. Comparing species diversity and evenness indices. Journal of Marine Biological Associations 54:559–563. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2008. Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/ [11 Mei 2009]. Indrawan M, RB Primack, J Supriatna. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta:
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Iriawan N & SP Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: C.V Andi offset. Jensen V. 1974. Decomposition of Angiospermae tree leaf litter in biology of plant litter decomposition. Dickinson CH, GJF Pugh (eds). Academic Press, London, New York. Johnson RA & GK Bhattacharyya. 1992. Statistics: Principles and Methods. Second Edition. United States of America: John Wiley & Sons. Jolly A. 1972. The Evolution of Primate Behaviour. New York: Macmillan. Jones DB, AA Eudey, T Geissmann, CP J Melnick, JC Morales, M Shekelle, CB Stewart. 2004. Asian Primate Classification. International Journal of Primatology 25 (1): 97-164. Kairupan FA. 1994. Studi Perbedaan Beberapa Aktivitas Harian Dua Kelompok Tangkasi (Tarsius spectrum) di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara [Abstrak]. Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtan Baru-Van Hoeve. Kinnaird MF. 1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Volume I. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea. 82 p. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper & Row Publishers. Kusmana C & Istomo. Pertanian Bogor.
1995.
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut
Ludwig JA & JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer On Methods and Computing. New York: A Wiley-Interscience. (62)
63 Mackinnon JR & K Mackinnon. 1980. The Behaviour of Wild Tarsier. International Journal of Primatology 1: 4. MacKinnon K. 1986. Alam Asli Indonesia Fauna dan Keserasian. Volume I. Jakarta: Pustaka PT. Gramedia. 307 p. Magurran, AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Cambridge University Press. Mitchell G & J Erwin. 1986. Comparative Primate Biology Volume 2, Part B: Behaviour, cognition and motivation. New York: Alan R Liss. Merker S & CP Groves. 2006. Tarsius lariang: A new primate species from Western Central Sulawesi. International Journal of Primatology Vol. 27 (2): 465 – 485. Merker S, I Yustian, M Muhlenberg. 2004. Losing ground but still doing wellTarsius dianae in human-altered rainforests of Central Sulawesi, Indonesia. Folia Primatologica 299 – 311. Merker S & I Yustian. 2008. Habitat use analysis of Dian’s tarsier Tarsius dianae in a mixed-species plantation in Sulawesi, Indonesia. Primates 49:161164. Morris DW. 1987. Test of density-dependent habitat selection in a patchy environment. Ecological Monographs 57 (4) : 269 – 281. Mumbunan E. 1998. Identifikasi Sifat Ekologis dan Tingkah Laku T. spectrum di Sekitar Pemukiman Desa Tumaluntung, Manado. Sulawesi Utara. [Skripsi]. Menado: Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Mursidin. 2007. Tarsius di Taman Nasional Bantimurung, Sulawesi Selatan. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Makassar. Musser GG & M. Dagosto. 1987. The identity of Tarsius pumilus, a pygmy species endemic to the montane mossy forests of Central Sulawesi. Am. Mus. Novit. (2867): 1–53. Napier JR & PH Napier. 1967. A Handbook of Living Primates. London: Academic Press. Neu, CW, CR Byers, JM Peek. 1974. A Technique for analysis of UtilizationAvailability Data. Journal of Wildlife Management, Vol. 38, No.3, Juli 1974: 541 – 545. Niemitz C. 1979. Outline of the behaviour of Tarsius bancanus. In: Doyle GA, RD Martin (eds.). The study of Prosimian Behaviour. London: Academic Press. (63)
64
Niemitz C. 1984. Tarsier. In: Donald, M. (eds.). The Encyclopedia of Mammals. Oxford: Equinox Books. Niemitz C, A Nietsch, S Warter, Y Rumpler. 1991. Tarsius dianae: a new primate species from Central Sulawesi, Indonesia. Folia primatologica 56: 105-116. Nietsch A & C. Niemitz. 1991. Use of habitat and space in free-ranging tarsius spectrum. Primate Report 31: 27-28. Nowak RM. 1999. Walker's Primates of the World. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, penyunting. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Qiptiyah M, H Setiawan, MA Rakhman, Mursidin, F Ansari. 2009. Laporan Hasil Penelitian: Teknologi Konservasi In Situ Tarsius di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (tidak dipublikasikan). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Makassar. Roberts M & Cunningham B. 1986. Space and substrate use in captive western tarsiers, Tarsius Bancanus. International Journal of Primatology, Volume 7(2): 113- 130 Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York: Pogonias Press. Santoso T. 2001. Riset Pemasaran Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Gramedia. [SBKSDA SULUT] Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. 1996. Kehidupan Tarsius. Manado: Balai KSDA Sulawesi Utara. Shannon NH, RJ Hudson, VC Brink, WD Kitts. 1975. Determinants of spatial distribution of rocky mountain bighorn sheep. Journal Wildlife Management 39(2): 387 – 401. Shekelle M. 2008. Distribution and biogeography of tarsiers. In: M Shekelle, I Maryanto, C Groves, H Schulze, H Fitch-Snyder (eds), Primates of The Oriental Night. Jakarta: LIPI press. (64)
65 Shekelle M & SM Leksono. 2004. Rencana Konservasi di Pulau Sulawesi : dengan Menggunakan Tarsius sebagai Flagship Spesies. Biota 9 (1): 1 – 10. Shekelle M & A Salim. 2008. Siau Island Tarsier, Tarsius sp. in: RA Mittermeier et al. (compilers), Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2006 – 2008, pp. 12, 27. Primate Conservation (22); 1 – 40. Shekelle M, C Groves, S Merker, J Supriatna. 2008. Tarsius tumpara: A new tarsier species from Siau Island, North Sulawesi. Primate Conservation (23); 55 – 64. Soerianegara I & A Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sulistyono. 1995. Pengaruh tinggi tempat tumbuh terhadap produksi getah Pinus (Pinus merkusii Jungh et. De Vriese) di KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Supranto J. 2004. Analisis Multivariat: Arti & Interpretasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Supriatna J & EH Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Primata Indonesia.
Tarmudji. 1978. Tarsius binatang hantu bermata besar. Suara Alam 1(2):14-15. Tiono R. 1990. Aspek Biologis dan Pola Reproduksi Binatang Hantu (Tarsius spectrum). [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Wharton CH. 1974. Seeking Mindanau’s strength creatures national geography Journal Mammal. 51 (3): 225 – 230. Whitten T, M Mustafa, G Henderson. 2002. Gadjah Mada University Press.
Ekologi Sulawesi. Yogyakarta:
Widayanti R. 2006. Kajian Penanda Genetik Gen Cytochrome B dan Daerah DLoop pada Tarsius sp. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widyastuti YG. 1993. Flora Fauna Maskot Nasional dan Propinsi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 86 – 95. Wirdateti. 2005. Pakan alami dan habitat kukang (Nycticebus coucang) dan Tarsius (Tarsius bancanus) di Kawasan Hutan Pasir Panjang Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi Indonesia 3 (9): 360-370. (65)
66
Wirdateti & H Dahrudin. 2006. Pengamatan pakan dan habitat Tarsius spectrum (tarsius) di Kawasan Cagar Alam Tangkoko-Batu Angus, Sulawesi Utara. Biodiversitas 7 (4): 382-386. Wirdateti & H Dahrudin. 2008. Pengamatan Habitat, Pakan, dan Distribusi Tarsius tarsier (Tarsius) di Pulau Selayar dan TWA Pattunuang, Sulawesi Selatan. Biodiversitas 9 (2): 152 – 155. Yasuma S & HS Alikodra. 1990. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest. The Tropical Rain Forest Research Project. Kalimantan Timur. Yustian I. 2006. Population density and the conservation status of Belitung;s tarsier Tarsius bancanus saltator on Belitung Island, Indonesia. Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan.
(66)
67
LAMPIRAN
(67)