KARAKTERISTIK FLAVOR BEBERAPA JENIS PRODUK IKAN ASAP DI INDONESIA
RUSKY INTAN PRATAMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia” adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Rusky Intan Pratama NRP C351080071
ABSTRACT
RUSKY INTAN PRATAMA. Flavor’s Characteristics of Several Smoked Fish Products in Indonesia. Under direction of JOKO SANTOSO and WINARTI ZAHIRUDIN Ikan pe, ikan fufu, ikan salai and ikan kayu are Indonesian traditional smoked fish delicacies. The differences in raw materials, type of woods, smoking conditions and methods that were applied in Indonesian smoked fish processing gives the products its special characteristics. All of these varieties will affect its chemical and flavor characteristics. The aims of this research were to inventory Indonesian traditional smoked fish processes and also to identify flavor compounds, chemical and sensory characteristics of each product. This research was carried out in two stages. The first one was interviewing the smoked fish processing owner, observing on smoked fish process and collecting samples and in second stage, samples were analyzed on its composition of proximate, phenolic, salt, free amino acids and Gas Chromatography-Mass Spectrometry was used to identify polycyclic aromatic hydrocarbon content and volatile compounds in smoked fish. Quantitative Descriptive Analysis with Principal Component Analysis were used to evaluate samples sensory characteristics based on attributes that were given by 10 trained panelists was also performed. The results showed that samples differences gave a significant effect on moisture, ash, fat, protein, total phenol and salt contents. Ikan pe had the highest water content (76.44%), total phenol (59.34 ppm) and salt content (0.29%) compared to other samples. Ikan kayu had the highest protein (69.12%) and carbohydrate (7.98%) content and ikan salai had the highest ash (5.55%) and fat (5.87%) content. The free amino acids analysis result were varied depends on the type of samples and none of any 18 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon compounds (at detection limit 660 ppb) were detected in any of these samples. Most volatile compounds detected came from hydrocarbons, aldehydes, ketones, alcohols, furans, phenolic, ethers and esters groups. The Quantitative Descriptive Analysis and Principal Component Analysis results showed that each sample had a certain distinctive characteristics on aroma and taste sensory attributes and can be characterized based on those certain sensory attributes. Keywords: flavor, smoked-fish, volatile, sensory
RINGKASAN RUSKY INTAN PRATAMA. Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Ikan Asap di Indonesia. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINARTI ZAHIRUDIN.
Pengasapan memberikan harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan. Pengasapan ikan pada saat ini dilakukan terutama untuk tujuan memberikan penampakan dan flavor yang khas dibandingkan untuk mengawetkan. Ikan pe, ikan fufu, ikan salai dan ikan kayu merupakan produk ikan asap tradisional khas Indonesia. Jenis bahan baku (ikan), jenis kayu, metode dan kondisi pengasapan yang dilakukan di berbagai daerah memiliki ciri yang khas. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan flavor ikan asap. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang menentukan kualitas dan penerimaan produk di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi proses pembuatan beberapa ikan asap tradisional Indonesia serta mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik. Empat jenis ikan yang dijadikan sampel tersebut ialah ikan fufu yang diperoleh dari pengolah ikan asap Kelompok Langsa 2 (Bitung, Sulawesi Utara), ikan salai dari CV DA Pabata (Padang, Sumatera Barat), ikan kayu dari CV Omereso (Kendari, Sulawesi Tenggara) dan ikan pe dari Kelompok Sukoharjo (Rembang, Jawa Tengah). Tahap kedua ialah analisis laboratorium terhadap keempat jenis sampel tersebut. Analisis yang dilakukan meliputi komposisi proksimat, total fenol, garam, asam amino bebas, Polycyclic Aromatic Hidrocarbon (PAH), komposisi flavor menggunakan Gas Chromatography/Mass Spectrometry (GC/MS) dan uji organoleptik deskripsi metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®), selanjutnya dilakukan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) untuk melihat hubungan komponen utama berdasarkan atribut-atribut yang diberikan 10 orang panelis terlatih. Komposisi kimia meliputi kadar air (76,44%), kadar total fenol (59,34 ppm) dan kadar garam (0,29%) terukur tertinggi pada ikan pe. Kadar protein (69,12%) dan kadar karbohidrat (7,98%) terukur paling tinggi pada ikan kayu. Kadar abu (5,55%) dan kadar lemak (5,87%) tertinggi terukur pada ikan salai. Jumlah kandungan asam amino bebas tertinggi yang terdapat pada ikan kayu ialah serin (220,35 mg/kg), histidin (21755,72 mg/kg), treonin (1353,34 mg/kg), alanin (2817,76 mg/kg), tirosin (272,06 mg/kg) dan fenilalanin (247,78 mg/kg). Ikan fufu memiliki kandungan asam aspartat (425,69 mg/kg), asam glutamat (1075,10 mg/kg), metionin (306,13 mg/kg), valin (448,85 mg/kg), isoleusin (324,07 mg/kg), leusin (761,32 mg/kg) dan lisin (468,46 mg/kg) yang lebih tinggi. Glisin (1211,45 mg/kg) dan arginin (541,80 mg/kg) merupakan asam amino bebas yang tertinggi jumlahnya pada ikan salai. Perbedaan komposisi kimia yang terukur pada masing-masing ikan asap tersebut dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan parameter proses pengasapan yang dilakukan seperti tahaptahap pengolahan, suhu dan waktu pengasapan. Pengujian kandungan 18 jenis senyawa golongan PAH pada keempat sampel dengan menggunakan GC/MS (limit deteksi 660 ppb) menunjukkan
bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung senyawa PAH yang berbahaya bagi kesehatan. Hasil analisis senyawa volatil menunjukkan bahwa sebagian besar golongan senyawa yang terdeteksi berasal dari golongan hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, fenol, eter, dan ester. Senyawa volatil yang terdeteksi pada ikan fufu ialah sebanyak 75 senyawa, ikan salai 82 senyawa, ikan kayu 122 senyawa dan ikan pe sebanyak 131 senyawa. Golongan senyawa yang terdeteksi paling banyak jenisnya ialah dari golongan hidrokarbon (alifatik dan aromatik) dan diikuti oleh fenol. Adanya perbedaan-perbedaan kandungan dan komposisi kimia dan senyawa volatil dari sampel ikan asap antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan metode dan kondisi pengasapan masing-masing sampel, seperti preparasi, jumlah ketersediaan oksigen, densitas asap, suhu dan waktu pengasapan, jenis dan ukuran bahan baku, jenis dan kadar air kayu serta reaksi-reaksi kimia yang terjadi seperti oksidasi lemak, degradasi asam amino, degradasi komponen kayu dan perlakuan pengolahan selain pengasapan seperti pengeringan awal dan perebusan juga turut mempengaruhi. Atribut sensoris aroma yang diuji pada pengujian organoleptik deskriptif metode QDA® ialah fishy, burnt, sweet, smoky, fatty, woody dan atribut sensoris rasa meliputi manis, asin, asam, gurih, dan pahit. Hasil penilaian oleh 10 orang panelis terlatih menunjukkan bahwa masing-masing sampel ikan asap memiliki intensitas atribut sensoris tertentu yang memberikan ciri khas. Aroma ikan kayu memiliki intensitas aroma fishy dan woody lebih tinggi dari ikan asap jenis lainnya. Kesan aroma fishy dapat ditimbulkan oleh senyawa trimetilamin yang terdapat pada bahan baku ikan kayu sedangkan senyawa-senyawa seperti fenol, guaiakol dan siringol diketahui dapat menimbulkan kesan aroma woody. Ikan pe memiliki intensitas aroma burnt dan smoky yang lebih tinggi. Senyawa-senyawa dari golongan fenol yang terdeteksi pada ikan pe memberikan peran yang besar terhadap aroma burnt dan smoky. Aroma dengan kesan burnt dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa alkil siringol sedangkan aroma dengan kesan smoky dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti 2-methoxyphenol, 2-methylphenol, 4-methylguaiacol, 4-ethylguaiacol, guaiacol dan 2,6-dimethoxyphenol dan homolognya, selain itu jarak sumber asap yang lebih dekat pada ikan pe mempengaruhi terdeteksinya atribut burnt dan smoky ini. Ikan salai memiliki intensitas aroma fatty dan sweet yang lebih tinggi. Kesan aroma fatty dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa dari golongan aldehid termasuk hexanal yang terdeteksi dan hasil proses oksidasi pada ikan salai sedangkan kesan aroma sweet dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti furanmethanol, decanal, dimethylphenol, 4-methylguaiacol, guaiacol, o-cresol, 1-(4-methylphenyl)ethanone dan rempah-rempah yang ditambahkan. Hasil penilaian terhadap atribut rasa menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki intensitas rasa gurih yang lebih tinggi daripada ikan lainnya. Kesan rasa gurih dapat ditimbulkan oleh asam glutamat maupun garamnya dan nukleotida seperti inosin monofosfat. Ikan fufu memiliki intensitas rasa pahit, asin dan asam lebih tinggi. Kesan rasa asam kemungkinan ditimbulkan oleh senyawa alkil ester pentafluoropropionic acid, 4-methoxy-benzoic acid dan trichloroacetic acid yang terdeteksi. Kesan rasa asin dapat ditimbulkan oleh kandungan garam anorganik alami pada ikan dan hasil hidrolisis protein yang dapat menghasilkan asam amino taste-active dan peptida. Kesan rasa pahit pada ikan fufu dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti seperti fenol, 3-metilfenol, 4-metil fenol, guaiakol, 4-metilguaiakol, 2-metilfenol,
4-etilguiakol, asam amino bebas arginin, metionin dan valin. Ikan salai memiliki intensitas rasa manis yang lebih tinggi. Kesan rasa manis dapat ditimbulkan oleh kandungan gula bebas yang terdapat dalam ikan, asam amino bebas seperti glisin, alanin, serin, treonin dan prolin, penambahan rempah-rempah yang dapat memberikan kesan rasa manis dan beberapa senyawa golongan fenol seperti dimetilfenol, 4-metilguiakol, guaiakol dan orto kresol. Hasil analisis PCA menggambarkan hubungan antara variabel-variabel atribut sensoris (fishy, burnt, sweet, smoky, fatty, woody, manis, asin, asam, gurih, dan pahit) dan sampel ikan asap secara keseluruhan. Hasil analisis PCA (PC1 47%; PC2 37%) mengelompokkan sampel ikan kayu ke dalam kuadran pertama, ikan fufu pada kuadran kedua, ikan pe pada kuadran ketiga dan ikan salai pada kuadran keempat. Atribut-atribut sensoris yang menjadi karakteristik masingmasing sampel ikan asap juga terdapat pada masing-masing kuadran sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian sensoris dengan baik. Terdeteksinya aroma dan rasa tertentu pada masing-masing sampel antara lain disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa kimia yang terbentuk sebagai sumber aroma dan rasa tersebut serta sebagian besar hasil yang diperoleh dengan metode ini mendukung hasil pengujian QDA®.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK FLAVOR BEBERAPA JENIS PRODUK IKAN ASAP DI INDONESIA
RUSKY INTAN PRATAMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.
Judul Tesis
:
Nama : NIM : Program Studi :
Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia Rusky Intan Pratama C351080071 Teknologi Hasil Perairan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Winarti Zahirudin, M.S. Anggota
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 7 Juli 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat dan izin-Nya, maka karya ilmiah tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini berjudul “Karakteristik Flavor Beberapa Jenis Produk Ikan Asap di Indonesia”. Tesis ini merupakan bagian dari penelitian Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan judul penelitian “Pengembangan Teknologi Pengasapan Ikan yang Efisien, Menggunakan Bahan Baku Lokal dan Berorientasi Pasar dengan UKM sebagai Sentra Pengembangan” yang diajukan oleh Bapak Ir. Heru Sumaryanto, M.Si., (peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor) selaku peneliti utama dan penyandang dana dari penelitian tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si., selaku ketua komisi pembimbing, yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini serta telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian Program Insentif Kemenristek mengenai teknologi pengasapan ikan. 2. Ir. Winarti Zahiruddin, M.S., selaku anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 3. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., sebagai dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini. 4. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si., selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan atas dukungan dan kemudahan yang diberikan selama studi. 5. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, M.S., selaku Sekretaris Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini.
6. Ir. Heru Sumaryanto, M.Si., selaku peneliti utama pada Program Insentif Kemenristek yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian pengembangan teknologi pengasapan ikan, memberikan motivasi, arahan, bimbingan dan juga selaku penyandang dana penelitian tesis ini. 7. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa bagi penulis. 8. Bapak Andi Bachri, Ibu Epi Pabata, Kelompok Sukoharjo-Rembang, Kelompok Langsa 2-Bitung, selaku pemilik UKM tempat pengambilan sampel ikan asap atas kesempatan yang telah diberikan. 9. Ir. Bram Kusbiantoro, M.S., selaku Kepala Laboratorium Flavor, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPTP), Sukamandi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menguji flavor dan organoleptik ikan asap dan memberikan arahan serta bimbingannya. 10. Desi Arofah (Laboratorium Flavor BBPTP, Sukamandi), Mas Khatib (Laboratorium Terpadu,
IPB), dan Endang Rusmalia (Laboratorium
Konservasi Satwa Langka dan Harapan, IPB) selaku teknisi laboratorium analisis yang telah melaksanakan, membantu dalam pengujian sampel ikan asap serta memberikan masukan kepada penulis. 11. Dr. Ir. Eddy Afrianto, M.Si. dan Ir. Evi Liviawaty M.Si., selaku Kepala Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Universitas Padjadajaran, Bandung yang telah memberikan masukan serta arahan kepada penulis. 12. Tim panelis organoleptik terlatih BBPTP, Sukamandi (Mb Elsera, Bapak Rasam, Ibu Nani Yunani, Bapak Kamijo, Bapak Husen, Bapak Encep Rianto, Mb Diah Arismiati, Mb Desi Arofah, Bapak Ahmad Yajid dan Bapak Edi Suryadi) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan. 13. Seluruh dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan banyak ilmu dan pendidikan kepada penulis selama menjalani studi. 14. Ayah (Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S.) dan Ibu (Tatan Suryani, SE.), kakak (Sheila Intan Safitri, S.Si; Marisa Intan Dwifitri, S.P., M.Sc., M.T.) atas segala dukungan dan do’a yang senantiasa diberikan selama penulis menjalani studi.
iv
15. Teman-teman satu angkatan THP 2008 (Iis Rostini, S. Ridha Kasim, Hafiludin, Nikmawati, Silvana, Erika, Vivi, Sholi Nasution, Lilis) atas dukungan, kerjasama dan kebersamaannya selama ini. 16. Indryana Dathiarmaulida, drg. beserta keluarga atas segala dukungan, do’a dan bantuannya kepada penulis selama ini. 17. Seluruh pihak yang belum penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu lancarnya penyusunan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat yang berkecimpung dalam pengolahan hasil perikanan. Untuk segala kekurangan, kesalahpahaman dan kata-kata yang kurang tepat, penulis ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2011
Rusky Intan Pratama
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 28 September 1980 dari ayah H. Prof. Dr. Ir. Masyamsir, M.S. dan ibu Hj. Tatan Suryani, SE. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bandung dan pada tahun yang sama lulus masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis diterima pada Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian dan lulus sebagai sarjana pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai staf pengajar pada tahun 2006 pada instansi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dengan bidang pengajaran Teknologi Industri Hasil Perikanan. Penulis mendaftar beasiswa untuk melanjutkan sekolah pada jenjang magister pada tahun 2008 dan diterima di Sekolah Pascasarjana, Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi panitia pada Seminar Nasional 2010 Keamanan dan Mutu Produk Agroindustri yang diadakan oleh P2SDM-LPPM IPB di Bogor serta Seminar dan Pameran Nasional MPHPI 2010 di Jatinangor. Penulis juga menjadi asisten peneliti pada penelitian Program Insentif Kementerian Riset dan Teknologi tahun 2010 dengan judul “Pengembangan Teknologi Pengasapan Ikan yang Efisien, Menggunakan Bahan Baku Lokal dan Berorientasi Pasar dengan UKM sebagai Sentra Pengembangan” serta menulis artikel “Manfaat Mengkonsumsi Ikan” untuk majalah Men’s Fitness Edisi Mei 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………...............
x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xii
1
PENDAHULUAN ………………………………………………..... 1.1 Latar Belakang ……………………………………..………..... 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………… 1.3 Kerangka Pemikiran …………………………………………... 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………... 1.5 Hipotesis………………………………………………..………
1 1 3 3 6 6
2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 2.1 Pengolahan Tradisional ……………………………………….. 2.2 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional……………….….………...... 2.3 Bahan Baku Ikan Asap ………..……………………………..... 2.3.1 Cakalang (Katsuwonus pelamis) ……………………….. 2.3.2 Pari (Daystatis kuhlii) …………………………………... 2.3.3 Lele (Clarias gariepinus) ………………………………. 2.4 Pengasapan ……………………………………………………. 2.4.1 Senyawa penyusun asap ………………………………... 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan ………... 2.4.3 Jenis sumber asap ………………………………………. 2.5 Metode Pengasapan …………………………………………… 2.5.1 Metode pengasapan panas ……………………………… 2.5.2 Metode pengasapan dingin ……………………………... 2.5.3 Metode pengasapan cair ………………………………... 2.6 Tahap-tahap Pengasapan …………………………………….... 2.6.1 Pemilihan bahan baku….……………………………….. 2.6.2 Thawing ………………………………………………… 2.6.3 Pemotongan …………………………………………….. 2.6.4 Penyiangan ……………………………………………... 2.6.5 Penggaraman ………………………………………….... 2.6.6 Pengeringan …………………………………………….. 2.6.7 Pengasapan ……………………………………………... 2.6.8 Penyimpanan ………………………………………….... 2.7 Jenis Alat Pengasap …………………………………………… 2.7.1 Oven sederhana ……………………………………….... 2.7.2 Oven pengasapan tipe drum ……………………………. 2.7.3 Oven chorkor …………………………………………… 2.7.4 Ruang pengasapan ……………………………………… 2.8 Komponen dalam Ikan Asap…………………………………...
7 7 7 9 10 11 12 13 14 15 16 18 18 18 20 20 21 22 22 22 22 23 23 24 24 25 25 25 25 26
2.8.1 Senyawa fenolik……………………………………….... 2.8.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) ……………... 2.8.3 Asam Amino Bebas ……………..……………………... 2.9 Flavor ………………………………………………………..... 2.10 Metode Ekstraksi Solid Phase Microextraction (SPME) …….. 2.11 Standar Mutu Produk Ikan Asap ………………...…………… 2.12 Pengujian Organoleptik …………………………………….....
26 27 28 29 31 31 32
3
BAHAN DAN METODE …………………………………………. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………….... 3.2 Bahan dan Alat ………………………………………………... 3.3 Tahapan Penelitian ………………………………………......... 3.3.1 Penelitian lapangan……...……………………………..... 3.3.2 Analisis…………….……………………………………. 3.4 Prosedur Analisis ……………………………………………… 3.4. 1 Analisis kadar air metode oven …………………........ 3.4. 2 Analisis kadar abu ………………………………........ 3.4. 3 Analisis kadar protein……………………………….... 3.4. 4 Analisis kadar lemak ……….….…………………….. 3.4. 5 Analisis kadar karbohidrat …………………………… 3.4. 6 Analisis kadar klorida metode merkuri nitrat………… 3.4. 7 Analisis fenol metode ekstraksi kloroform………....... 3.4. 8 Analisis kandungan asam amino bebas …………….... 3.4. 9 Metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®)…. 3.4.10 Analisis flavor menggunakan GC/MS ………………. 3.4.11 Analisis Polycyclic Aromatic Hydrocarbon …………. 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ……………………...
35 35 35 36 36 37 37 37 37 38 38 39 39 39 40 42 48 50 52
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………. 4.1 Proses Pengasapan Ikan di Berbagai Daerah …………………. 4.1.1 Ikan fufu…………...…………………………………... 4.1.2 Ikan salai ………….…………………………………… 4.1.3 Ikan kayu ……………………………………………… 4.1.4 Ikan pe ………………………………………………… 4.2 Karakteristik Kimia……………………………………………. 4.2.1 Kadar air …………………………..………………....... 4.2.2 Kadar abu …………………………………………....... 4.2.3 Kadar lemak …………………………………………... 4.2.4 Kadar protein ………………………………………….. 4.2.5 Kada karbohidrat ………. …………………………….. 4.2.6 Kadar total fenol …………………………..…………... 4.2.7 Kadar garam ………………………………………....... 4.2.8 Komposisi asam amino bebas ……..………………….. 4.2.9 Komposisi Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH).………………………………………………….. 4.3 Karakteristik Flavor Volatil …………………………………… 4.3.1 Ikan fufu ……………………………………………….. 4.3.2 Ikan salai ………………………………………………..
55 55 55 58 59 63 65 65 66 67 70 71 72 75 76
viii
82 85 86 86
4.3.3 Ikan kayu ………………………………………………... 4.3.4 Ikan pe …………………………………………………... 4.3.5 Perbandingan komposisi flavor volatil keempat ikan asap..……...……………………………………………... 4.4 Karakteristik Organoleptik …………………………………..... 4.4.1 Pengujian menggunakan metode Quantitave Descriptive Analysis (QDA®)……..……………………... 4.4.2 Pengolahan data menggunakan Principle Component Analysis (PCA) ………………………………………….. 5
87 87 88 100 100 107
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 5.1 Kesimpulan …………………………………………………..... 5.2 Saran …………………………………………………………...
111 111 113
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...........
115
LAMPIRAN ……………………………………………………………….
127
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang ………..……………...
11
2 Komposisi kimia ikan pari ………………………………………………
12
3 Komposisi kimia ikan lele ………………………………………………
13
4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin ………………..
19
5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku ………………………….
23
6 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap……………………...
32
7 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga rasa……………..….........
43
8 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga aroma……………………
43
9 Konsentrasi larutan standar untuk uji ranking ……………………..........
44
10 Senyawa standar aroma yang digunakan …………………………..........
45
11 Flavor standar yang digunakan pada uji konsistensi aroma……………..
45
12 Larutan standar yang digunakan pada uji konsistensi rasa………………
46
13 Persamaan penentuan konsentrasi standar aroma ……………………….
47
14 Persamaan penentuan konsentrasi standar rasa …………………………
47
15 Atribut, definisi, referensi standar dan intensitas pengujian …………….
49
16 Kondisi GC/MS untuk analisis senyawa volatil ikan asap ……………...
50
17 Kondisi GC/MS untuk analisis PAH ………….………………………...
51
18 Hasil inventarisasi proses pengasapan empat jenis ikan asap …………..
56
19 Hasil analisis proksimat, total fenol dan garam empat jenis ikan asap …
65
20 Hasil analisis asam amino bebas ikan asap……………………..………..
76
21 Hasil analisis 18 PAH empat sampel ikan asap …………………………
83
22 Jumlah senyawa volatil sampel ikan asap berdasarkan golongan ………
88
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Alur kerangka pemikiran …………………………………………………..
5
2 Proses produksi ikan asap secara umum …………………………………..
21
3 Diagram alir tahapan penelitian …………………………………………...
36
4 Diagram alir proses pengasapan ikan fufu ….……………………………..
57
5 Diagram alir proses pengasapan ikan salai. ……………………………….
60
6 Diagram alir proses pengasapan ikan kayu ……….……………………….
61
7 Diagram alir proses pengasapan ikan pe….………………………………..
64
8 Grafik reaksi kimia berdasarkan aktivitas air ……………………………...
79
9 Diagram spider web aroma dan rasa dari keempat jenis ikan asap .……….
101
10 Diagram Bi-plot atribut sensori dan sampel-sampel ikan asap …..………..
108
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Kuesioner penelitian ……………………………………………………... 129 2 Hasil pengujian proksimat ikan asap (% berat basah) .…………………..
134
3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar air …..………………..………..
135
4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar abu ….……………….………... 136 5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar lemak………………..………… 137 6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar protein…..……………………..
138
7 Hasil pengujian analisis ragam karbohidrat (by difference) ……..………
139
8 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar total fenol …..….……………...
140
9 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar garam …..…….……………….
141
10 Prosedur preparasi analisis klorida dan fenol ……………………………. 142 11 Komposisi senyawa volatil ikan fufu …………………………………….
144
12 Komposisi senyawa volatil ikan salai ……………………………………
146
13 Komposisi senyawa volatil ikan kayu……………………………………. 148 14 Komposisi senyawa volatil ikan pe………………………………………. 151 15 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan fufu dan ulangannya………….
155
16 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan salai dan ulangannya…………. 156 17 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan kayu dan ulangannya…………
157
18 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan pe dan ulangannya……………
158
19 Daftar nama panelis terlatih di lingkungan BBPTP Sukamandi………….
159
20 Kuisioner tahap uji screening hingga uji konsistensi ……………………. 160 21 Hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan intensitas menggunakan persamaan Moskowitz……………………………………. ®
166
22 Kuisioner uji QDA ……………………………………………………....
170
23 Nilai rata-rata hasil perhitungan analisis QDA keempat ikan asap menggunakan 10 panelis …………………………………………………
177
24 Hasil PCA empat sampel ikan asap………………………………………
178
25 Dokumentasi penelitian: alat pengasapan………………………………...
179
26 Dokumentasi penelitian: denah ruang pengasapan ikan kayu……………. 180 27 Dokumentasi penelitian: ikan asap……………………………………….. 181
28 Dokumentasi penelitian: pengangkutan sampel …………………………. 183 29 Dokumentasi penelitian: pengujian organoleptik QDA®…………………
xiii
184
1
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia memiliki volume produksi perikanan yang cukup besar dan
semakin meningkat tiap tahunnya. Volume produksi perikanan tangkap (perikanan laut dan perairan umum) dan budidaya (air laut, tambak, kolam, karamba, jaring apung, sawah) pada tahun 2006 ialah sebesar 7.488.708 ton, sedangkan pada tahun 2010 telah meningkat menjadi 10.826.502 ton (KKP 2011). Hasil perikanan tersebut pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, diekspor dan diolah baik secara modern maupun tradisional. Produk hasil olahan tradisional dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, dan produk-produk fermentasi. Jumlah produksi ikan asap di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 66.970 ton, masih jauh dibawah produksi ikan asin yaitu 473.679 ton (JICA 2009). Hal ini cukup disayangkan karena menurut SCERT (2006), pengasapan memberikan nilai harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan saja, selain itu warna dan flavor yang menarik dari produk hasil pengasapan dapat meningkatkan permintaannya di pasaran. Pengasapan ikan merupakan penggabungan dari proses penggaraman, pengeringan, dan pemberian asap untuk mencegah kerusakan ikan. Menurut Adebowale et al. (2008) dan Lyhs (2002), pengasapan memiliki beberapa keuntungan yaitu memberikan efek pengawetan, mempengaruhi citarasa, memanfaatkan hasil tangkap yang berlebih ketika tangkapan berlimpah, memungkinkan ikan untuk disimpan ketika musim paceklik, meningkatkan ketersediaan protein bagi masyarakat sepanjang tahun, membuat ikan lebih mudah dikemas, diangkut dan dipasarkan, biaya cukup murah dan peralatannya sederhana. Ikan asap menjadi awet karena adanya pengurangan kadar air akibat dari proses pemanasan dan adanya senyawa-senyawa kimia di dalam asap seperti golongan fenol yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan berperan sebagai antioksidan, walaupun begitu pengasapan ikan pada saat ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan warna, tekstur dan flavor yang khas (Bligh et al. 1988; Martinez et al. 2007). Flavor ikan asap juga dipengaruhi oleh
2
kandungan senyawa lain selain fenol, seperti asam amino bebas (hasil penguraian protein selama pengolahan) dan garam yang berasal dari penggaraman. Asap juga mengandung senyawa hasil pembakaran lain yang perlu diwaspadai seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang ditengarai bersifat karsinogen. Produk ikan asap tradisional dari suatu daerah pada umumnya sulit untuk ditemukan di daerah lain sehingga dikenal sebagai exotic indigeneous food. Beberapa contoh produk ikan asap khas Indonesia diantaranya ikan salai dari Sumatera Barat dengan bahan baku yang digunakan biasanya ikan lele yang berasal dari perairan lokal (limbe, saluang), ikan fufu dari Sulawesi Utara dengan bahan baku ikan cakalang, ikan pe dari Jawa Tengah dengan bahan baku ikan pari dan ikan kayu dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang biasanya menggunakan bahan baku ikan cakalang. Jenis bahan baku, jenis kayu, metode pengasapan maupun faktor-faktor proses lainnya yang dilakukan di daerah-daerah tersebut memiliki ciri yang khas. Bahan baku dan proses pengasapan yang berbeda tentu saja akan mempengaruhi karakteristik kimia dan flavor dari produk yang dihasilkan. Para peneliti Jepang telah melakukan identifikasi flavor dari ikan asap sejak tahun 1960-an. Hal ini diketahui dari ditemukannya jurnal mengenai analisis komponen flavor katsuobushi yang dilakukan oleh Kokichi Nishibori pada tahun 1965 (Nishibori 1965). Penelitian negara lain terutama mengkaji mengenai pengaruh proses pengasapan terhadap kualitas dan beberapa karakteristik ikan asap (Birkeland et al. 2004; Oyelese 2006; Martinez et al. 2007) serta komponen volatil ikan asap (Sakakibara et al. 1990a; Sakakibara et al. 1990b; Guillen & Errecalde 2002; Guillen et al. 2006; Varlett et al. 2007; Jonsdottir et al. 2008). Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi dan metode pengasapan lokal di negara tersebut. Jenis ikan yang sering digunakan ialah ikan yang hidup dalam perairan dingin seperti Atlantic salmon dan herring serta metode pengasapan yang dilakukan pada umumnya ialah pengasapan dingin dengan suhu antara 20-30 oC. Beberapa penelitian mengenai ikan asap juga telah dilakukan di Indonesia terutama mengenai pengaruh proses pengasapan dan penyimpanan terhadap berbagai karakteristik mutu, dan fisiko-kimia ikan asap. Beberapa penelitian tersebut yaitu penelitian dari Rieuwpassa (1991) mengenai daya awet ikan tongkol
3
asap, Zakaria (1996) meneliti tentang mutu ikan bilih asap, Giyatmi (2000) meneliti tentang kapang pada ikan kayu dan Aqliyanto (2005) meneliti tentang mutu ikan lele asap. Penelitian mengenai inventarisasi proses dan identifikasi senyawa-senyawa kimia, komposisi flavor dan profil sensori produk-produk ikan asap khas Indonesia hingga saat ini belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, inventarisasi langkah-langkah proses pembuatan ikan asap dari beberapa provinsi di Indonesia dan pengkajian yang mendalam mengenai pengaruh spesifik dariproses pengasapan terhadap karakteristik kimia, komposisi penyusun flavor dan profil sensori flavor dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia dilakukan dalam penelitian ini. 1.2
Perumusan Masalah Pengasapan menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik
flavor yang khas. Flavor merupakan salah satu karakteristik penting yang menentukan kualitas dan penerimaan produk tersebut di pasaran. Informasi ilmiah yang tersedia mengenai karakteristik kimia dan flavor ikan asap khas Indonesia pada saat ini masih terbatas. Salah satu penyebabnya ialah hasil penelitian mengenai ikan asap bersifat spesifik untuk masing-masing produk ikan asap. Hasil proses pengasapan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan baku, metode pengasapan, bahan bakar, alat pengasap yang digunakan serta faktor-faktor proses lainnya. Ciri khas proses pengasapan dari masing-masing daerah tersebut akan mempengaruhi karakteristik ikan asap yang dihasilkan. Hasil penelitian untuk suatu jenis produk ikan asap atau metode pengasapan tertentu belum tentu sesuai untuk diterapkan pada jenis ikan dan metode pengasapan lain yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai jenis bahan baku dan parameter pengolahan sehingga hanya pengujian langsung pada produk sesungguhnya yang dapat memberikan informasi yang dapat diandalkan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai proses pengasapan serta identifikasi senyawa-senyawa kimia yang terkandung dan mempengaruhi flavor ikan asap tersebut penting untuk dilakukan. 1.3
Kerangka Pemikiran Indonesia memiliki beragam jenis produk ikan asap tradisional dan
menjadi komoditas unggulan dari daerah asalnya (exotic indogenous food).
4
Beberapa jenis ikan asap khas Indonesia diantaranya adalah ikan salai dari Sumatera Barat; ikan fufu dari Sulawesi Utara; ikan pe dari Jawa Tengah; dan ikan kayu dari Sulawesi Tenggara. Jenis-jenis ikan asap tersebut memiliki karakteristik yang khas sesuai daerahnya masing-masing. Keragaman yang terdapat pada metode pengasapan, bahan baku, bahan bakar, alat pengasap dan spesifikasi tahap proses pengasapan yang dilakukan pengolah dari masing-masing daerah turut berperan dalam menciptakan ciri khas dari produk ini. Menurut Whittle
dan
Howgate
(2000),
spesifikasi
proses
pengasapan
dapat
menggambarkan langkah-langkah proses penting yang berpengaruh terhadap kualitas produk akhir dan akan berguna ketika menghadapi kesulitan dalam menentukan, mengendalikan dan mengukur atribut kualitas yang diperlukan pada produk akhir. Komponen asap mengandung berbagai senyawa kimia penting yang akan menentukan sifat organoleptik dan keawetan produk. Berbagai macam senyawa akan terbentuk dalam asap selama proses pirolisis yaitu senyawa golongan fenol, karbonil (terutama keton dan aldehida), asam, furan, alkohol, ester, lakton, hidrokarbon alifatik dan hidrokarbon polisiklik aromatis (Yudono et al. 2007). Fenol adalah komponen aromatik yang terkandung dalam asap yang berperan untuk mengurangi kerusakan produk akibat aktivitas bakteri, bersifat antioksidan dan berfungsi sebagai pemberi citarasa khas produk asap (Venugopal 2006; Whittle & Howgate 2000). Asap juga mengandung sejumlah senyawa PAH seperti benzo[a]pyrene dan dibenzo[a,h]anthracene yang ditengarai merupakan senyawa yang bersifat karsinogen untuk manusia (Whittle & Howgate 2000). Pengasapan bukan hanya merupakan metode pengawetan tetapi juga menghasilkan flavor asapyang menjadi atribut khas yang seringkali dicari oleh konsumen. Flavor merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penerimaan suatu produk olahan perikanan. Flavor pada ikan asap tidak hanya dipengaruhi oleh senyawa fenol tetapi komponen-komponen ekstraktif seperti asam amino bebas yang terkandung dalam produk perikanan juga akan berperan dalam pemberian citarasa produk (Yamaguchi & Watanabe 1988). Pengukuran kandungan senyawa-senyawa tersebut di dalam produk asap dapat memberikan informasi mengenai jenis asam amino yang berpengaruh pada pembentukan flavor
5
ikan asap, selain itu proses penggaraman juga dapat mempengaruhi citarasa produk akhir tergantung dari waktu dan konsentrasi garam yang digunakan (Regenstein & Regenstein 1991). Skema alur berpikir pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Ikan Fufu (Bitung)
Ikan Pe (Rembang)
Ikan Kayu (Kendari)
Spesifikasi proses pengasapan: Metode pengasapan, bahan baku, jenis kayu alat pengasapan, dll.
Ikan Salai (Padang)
Inventarisasi
Karakteristik khas produk
Karakteristik flavor
Karakteristik kimia
Identifikasi
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran. Teknologi analisis menggunakan instrumen pada saat ini sangat berkembang kemajuannya tetapi sensasi flavor yang diterima oleh manusia hanya dapat diukur secara organoleptik. Pengaruh dari berbagai flavor yang berbeda terhadap pemilihan konsumen hanya dapat dinilai dengan uji sensori yang bersifat subyektif (Noble 2006). Berdasarkan hal itu, uji sensori deskriptif yang dapat diandalkan yaitu metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®) perlu digunakan untuk menganalisis karakteristik flavor ikan asap sebagai salah satu jenis exotic indigenous food Indonesia.
6
Pembentukan flavor khas dan karakteristik kimia ikan asap tradisional pada penelitian ini dipelajari dan ditinjau dari beberapa spesifikasi proses yang akan mempengaruhi hasil pengasapan sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruh faktor-faktor proses terhadap pembentukan atribut flavor, identifikasi komposisi penyusun flavor dan pengukuran intensitas flavor yang menjadi karakteristik ikan asap. Kajian mengenai karakteristik kimia (misal proksimat) juga penting untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi mengenai nilai gizi dari produk ikan asap tradisional Indonesia. 1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menginventarisasi proses pembuatan empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia yaitu ikan fufu, ikan pe, ikan kayu dan ikan salai. 2) Mengidentifikasi komponen flavor, karakteristik kimia dan organoleptik dari empat jenis ikan asap tradisional khas Indonesia tersebut. Manfaat yang diharapkan ialah agar hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi dasar mengenai keunggulan dan ciri khas masing-masing produk ikan asap tradisional Indonesia sehingga berbagai karakteristik khas ikan asap tersebut dapat dipelajari, dipetakan, didokumentasikan dengan baik yang pada akhirnya akan dapat melindungi produk-produk dalam negeri dari klaim negara lain. Informasi yang diperoleh mengenai bahan baku, metode pengasapan dan komponen-komponen lain yang teridentifikasi pada penelitian ini dapat bermanfaat sebagai data dasar untuk mengembangkan produk flavor asap sintetis dan untuk memodifikasi proses pengasapan yang bertujuan mendapatkan kualitas produk akhir yang lebih baik. 1.5
Hipotesis Jenis bahan baku dan metode pengasapan yang dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia akan mempengaruhi karakteristik flavor, kandungan kimia dan karakteristik organoleptik produk akhir ikan asap.
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan Tradisional Pengolahan secara tradisional memiliki beberapa kelemahan antara lain
kemampuan pengetahuan pengolah rendah dengan keterampilan atau teknologi yang diperoleh secara turun-menurun, tingkat sanitasi dan higien terendah, umumnya tidak memiliki sarana air bersih, menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan pangan tidak terjamin, permodalan sangat lemah, perusahaan dikelola oleh keluarga dengan tingkat kemampuan manajemen kurang memadai, peralatan yang digunakan sangat sederhana dan pemasaran produk hanya terbatas pada pasaran lokal (Anisah & Susilowati 2007; Irianto & Soesilo 2007). Ikan olahan tradisional, atau "traditional cured" menurut terminologi FAO adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah ikan kering atau ikan asin kering, ikan pindang, ikan asap, serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi, dan sejenisnya (Anisah & Susilowati 2007). 2.2
Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional Jenis ikan yang biasa diasapi diantaranya ialah ikan bandeng, tembang,
lemuru, kembung, selar, tongkol, dan cakalang (Margono et al. 2000). Setiap jenis ikan secara teori dapat diasapi tetapi ikan yang berlemak lebih banyak dipilih karena dapat mencegah terbentuknya tekstur daging yang kering dan tidak diinginkan dan dapat menyerap lebih banyak citarasa asap (Ingham & Hilderbrand 1999; Adebona 1978). Produk ikan asap tradisional cenderung lebih asin dan terlalu kering serta memiliki citarasa asap yang kuat jika akan dijual ke pasaran. Penggunaan garam dan asap pada produk pengasapan modern hanya ditujukan terutama untuk memberi citarasa produk dan biasanya pengasapannya dilakukan dengan intensitas asap rendah dan sedang (mild and light smoking) (Whittle & Howgate 2000). Beberapa daerah di Indonesia memiliki komoditas ikan asap yang khas karena adanya perbedaan bahan baku, jenis bahan bakar, jenis alat dan kondisi pengasapan maupun metode pengasapan yang digunakan, tetapi kadang-kadang
8
ada juga produk ikan asap yang sama dikenal dengan nama berbeda di daerah lain. Beberapa produk ikan asap khas Indonesia ialah ikan salai di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan; ikan asar di Maluku dan ikan fufu di Sulawesi Utara dan Gorontalo; ikan pe atau iwak panggang di Jawa Tengah dan Jawa Timur; serta ikan kayu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Papua Barat (Giyatmi et al. 2000; DKP Papua 2006; Missae 2009; Heriyanto 2009b). Ikan fufu biasanya dibuat dari bahan baku ikan cakalang dengan menggunakan alat pengolah yang sederhana. Prosedur pembuatannya ialah pertama-tama ikan disiangi, ikan berukuran besar dipotong dengan irisan membujur untuk memudahkan pengasapan. Proses pengasapannya dimulai dengan membakar sabut kelapa, menyusun ikan pada rak-rak, lalu ikan dibiarkanterasapi selama 4 jam. Proses pengolahan ikan fufu ini memiliki persamaan dengan proses pengolahan ikan asar, hanya saja pada beberapa daerah terdapat perbedaan pada jenis kayu yang digunakan, proses preparasi, suhu dan waktu pengasapan (DKP Papua 2006). Ikan pe adalah sebutan untuk ikan yang diproses dengan cara diasap di Jawa Timur dimana ikan dimatangkan dengan dibakar di atas api sehingga ikan tersebut matang bukan karena panas api tetapi lebih karena panasnya asap. Biasanya ikan yang digunakan untuk ikan pe adalah ikan pari tetapi saat ini hampir semua jenis ikan dapat dibuat menjadi ikan pe. Potongan-potongan ikan ditusuk dengan batangan bambu pada proses pembuatannya untuk memudahkan proses pengasapan dan kemudian dipanggang di atas bara tempurung kelapa. Tempurung kelapa ketika dibakar akan mengeluarkan minyak yang akan memberikan aroma asap yang khas (Missae 2009). Produk ikan salai lele merupakan salah satu bentuk hasil olahan ikan lele yang diasapi dan banyak ditemukan di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara hingga Sumatera Selatan. Proses pengolahan ikan salai ini cukup praktis, mudah dan hemat biaya. Pengolahannya dapat menggunakan peralatan yang sederhana dan mudah dibuat. Pembuatan ikan salai lele pada prinsipnya merupakan suatu cara pengolahan ikan melalui proses penarikan air dari jaringan tubuh ikan dibarengi dengan pelapisan senyawa kimia yang berasal dari asap hasil
9
pembakaran kayu. Mutu ikan salai dapat dilihat dari penampakan dan warna produk yang cokelat keemasan, bersih dan mengkilat. Tekstur daging salai ikan lele adalah padat, kering, liat, berkeping halus dan agak lembab. Pengasapan ikan salai lele ini dapat dilakukan dengan pengasapan dingin dan panas. Tahap-tahap pengolahannya meliputi pemberokan, preparasi bahan bakar dan alat pengasapan, pembelahan dan penyiangan ikan, pemanggangan, pengasapan (4-16 jam) dan pengepakan (Djarijah 2004). Ikan kayu diproduksi secara komersial untuk diekspor. Ikan kayu yang dihasilkan berupa arabushi, yaitu ikan yang sudah diasapi dan dikeringkan tanpa dilakukan proses fermentasi sesuai dengan permintaan negara pengimpor. Biasanya fermentasi produk dilakukan sendiri di negara pengimpor dengan cara khusus untuk mengontrol pertumbuhan kapang. Ekspor dalam bentuk arabushi ini menyebabkan nilai tambah menjadi lebih kecil dibandingkan nilai tambah yang diperoleh dari katsuobushi. Mutu katsuobushi sebagai bahan penyedap masakan sangat ditentukan oleh citarasa spesifik yang dimilikinya. Citarasa ini ditentukan oleh perubahan senyawa volatil dan nonvolatil selama proses fermentasi. Proses fermentasi ditentukan oleh jenis kapang yang digunakan dan lama fermentasi (Giyatmi et al. 2000). Menurut penelitian Giyatmi (1998), ikan kayu arabushi memiliki kandungan air 13,22%, kadar protein 74,57%, kadar lemak 3,51% dan kadar abu 3,20%, sementara menurut Sunahwati (2000), arabushi memiliki kandungan air 14,57%, kadar protein 67,54%, kadar lemak 1,57% dan kadar abu 4,08%. 2.3
Bahan Baku Ikan Asap Bahan baku ikan asap yang digunakan sebaiknya masih dalam keadaan
segar agar ikan asap yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Seluruh jenis ikan yang biasa dikonsumsi pada umumnya dapat diolah dengan proses pengasapan baik terhadap ikan air laut maupun ikan air tawar. Ikan salmon, haddock, herring dan mackerel merupakan ikan yang umum diasapi di negara Jepang, sementara di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan seperti cakalang, lele dan pari yang biasa diolah dengan pengasapan.
10
2.3.1
Cakalang (Katsuwonus pelamis) Ikan ini dikenal juga dengan nama skipjack tuna (Inggris), bonito (Afrika
Selatan, Spanyol), sehewa (Kenya), mandara, katsuo (Jepang). Taksonomi ikan ini menurut ITIS (2009a) ialah: Dunia Filum Subfilum Superkelas Kelas Subkelas Superordo Ordo Subordo Famili Subfamili Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Osteichthyes : Actinopterygii : Neopterygii : Acanthopterygii : Perciformes : Scombroidei : Scombridae : Scrombrinae : Katsuwonus : Katsuwonus pelamis
Cakalang memiliki ciri-ciri fisik seperti bentuk tubuh yang fusiform (lebar ditengah dan meruncing pada ujung-ujungnya), memanjang dan bulat; gigi kecil, berbentuk kerucut; memiliki dua sirip dorsal, sirip pektoral pendek; tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian tertentudan garis lateral; warna ikan biasanya biru keunguan gelap, bagian bawah agak keperakan. Distribusinya tersebar pada perairan tropis dan beriklim hangat pada kedalaman 260 meter hingga permukaan. Ikan ini berproduksi sepanjang tahun pada perairan khatulistiwa, fekunditasnya meningkat bersamaan dengan semakin besarnya ukuran tapi hal ini sangat bervariasi. Makanan kegemaran ikan cakalang pada umumnya ialah ikan, crustacea, moluska dan dapat juga bersifat kanibalisme. Ikan ini memiliki kecenderungan untuk bergerak dalam kelompok pada permukaan air. Ukuran ikan dapat mencapai 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg (Collete & Nauen 1983). Komposisi kimia dalam 100 gram daging ikan cakalang tersaji pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Komposisi kimia dalam 100 gram ikan cakalang Kandungan Air Protein Lemak Abu Kalsium Besi Vitamin C Vitamin A Asam lemak EPA Asam lemak DHA
Satuan g g g g mg mg mg IU g g
Jumlah 70,580 22,000 1,010 1,300 29,000 1,250 1,000 52,000 0,071 0,185
Sumber: USDA (2009)
2.3.2
Pari (Daystatis kuhlii) Ikan pari (rays) termasuk dalam subgrup elasmobranchii, yaitu ikan yang
bertulang rawan. Spesies pari Dasyatis kuhlii atau Blue-spotted stingray di Indonesia khususnya Laut Jawa termasuk salah satu hasil tangkapan terbesar dibanding spesies pari lain yaitu sebesar 23,05% (Rahardjo & Chodriyah 2006). Taksonomi lengkap ikan ini (Genus Dasyatis) menurut ITIS (2009b) ialah sebagai berikut: Dunia Filum Subfilum Kelas Superordo Ordo Famili Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Chondrichthyes : Euselachii : Myliobatiformes : Dasyatidae : Dasyatis : Dasyatis kuhlii
Ikan pari juga terkenal sebagai ikan yang hampir keseluruhan tubuhnya bisa dimanfaatkan seperti daging, sirip, tulang dan kulit. Ikan ini mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar dimana sepasang sirip dadanya melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan kepalanya sehingga tampak atas atau tampak bawahnya terlihat bundar atau oval. Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang sangat berkembang (memanjang) menyerupai cemeti. Ekor ikan pari pada beberapa spesies dilengkapi duri penyengat sehingga disebut sting-rays, mata ikan pari umumnya terletak di kepala bagian samping. Posisi dan bentuk mulutnya adalah terminal dan umumnya bersifat predator. Ikan ini bernafas melalui celah
12
insang yang berjumlah 5-6 pasang. Posisi celah insang adalah dekat mulut di bagian bawah (ventral). Ikan pari jantan dilengkapi sepasang alat kelamin yang disebut clasper letaknya di pangkal ekor. Ikan pari betina umumnya berbiak secara melahirkan anak (vivipar) dengan jumlah anak antara 5-6 ekor (Mukhtar 2008). Komposisi kimia ikan pari tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia ikan pari Kandungan Air Protein Lemak Abu
Jumlah 79,10% 16,86% 0,42% 0,83%
Sumber: Mardiah et al. (2008)
2.3.3
Lele (Clarias gariepinus) Salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terus dikembangkan
dan produksinya meningkat secara signifikan setiap tahunnya adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan lele yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah Clarias batrachus (ikan lele lokal) dan Clarias gariepinus (ikan lele dumbo). Taksonomi dari ikan lele dumbo menurut ITIS (2009c) ialah: Dunia Filum Subfilum Superkelas Kelas Subkelas Infrakelas Superordo Ordo Famili Genus Spesies
: Animalia : Chordata : Vertebrata : Osteichtthyes : Actinopterygii : Neopterygii : Teleostei : Ostariophysi : Siluriformes : Clariidae : Clarias : Clarias gariepinus
Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan memipih pada bagian pangkal ekor, kepala agak pipih dan dilengkapi dengan empat pasang sungut di sekitar mulut. Ikan ini memiliki alat bantu pernafasan yang disebut selaput labirynth. Ikan lele memiliki sirip perut dan sirip dubur yang terpisah. Sirip dadanya memiliki taji yang runcing dan bergerigi. Taji atau patil ini berfungsi sebagai alat pertahanan dan alat bantu untuk merayap di atas permukaan lumpur.
13
Ikan lele memiliki kulit yang licin dan tidak bersisik. Permukaan kepala dan punggung berwarna gelap dan permukaan perut berwarna lebih terang. Ikan lele memiliki lambung relatif besar dan panjang sementara ususnya relatif pendek jika dibandingkan dengan panjang badannya. Ikan lele memiliki sepasang hati dan gelembung renang (Djarijah 2004). Komposisi kimia ikan lele dumbo dapat dilihat pada pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele Kandungan Air Protein Lemak Abu
Jumlah (%) 79,73 17,71 0,95 1,47
Sumber: Nurilmala et al. (2009)
2.4
Pengasapan Pengasapan ikan ialah proses pengaplikasian asap dari kayu untuk
memberikan citarasa asap pada ikan atau bagian dari ikan seperti fillet, selain itu juga untuk mengeringkan ikan secara parsial. Pengasapan dilakukan untuk menghasilkan produk ikan asap dan memperpanjang masa simpan produk. Pengaruh pengawetan dari asap kemungkinan besar disebabkan oleh adanya sejumlah komponen fenolik, nitrit dan formaldehida. Prinsip utama pengawetan dengan pengasapan ialah mengurangi aktivitas air sebagai akibat dari adanya garam dan tingkat pengeringan. Terdapat tiga tahap utama proses pengasapan yaitu penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Whittle & Howgate 2000). Penggunaan bahan tambahan pangan pada produk pengasapan harus memperhatikan aturan tertentu. Konsentrasi dan waktu kontak bahan tambahan harus diawasi dengan ketat menurut saran ahli atau lembaga resmi yang berwenang. Hanya bahan pengawet yang diperbolehkan yang dapat ditambahkan pada larutan perendam atau digunakan setelah perendaman (Codex Alimentarius 1979). Pewarna makanan kuning oranye dan coklat juga dapat ditambahkan ke dalam larutan perendam yang mengandung garam yang digunakan pada pengolahan ikan asap (Whittle & Howgate 2002).
14
2.4.1
Senyawa penyusun asap Asap dari kayu keras mengandung banyak senyawa kimia yang pada
awalnya merupakan bagian dari proses metabolisme pohon hidup. Ikan yang diasapi akan menyerap senyawa-senyawa kimia ini. Proses pengeluaran ini disebut distilasi destruktif yaitu ketika kayu berubah menjadi arang. Senyawasenyawa kimia alami dalam asap dari kayu keras bermanfaat baik dalam membunuh maupun menghambat pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri. Senyawa-senyawa kimia ini merupakan dasar utama akan kuatnya proses pengawetan yang terjadi selama pengasapan (Spira 2007). Komposisi dan karakteristik asap tergantung dari jenis kayu, kandungan air kayu, suhu dan cara pemanasan (untuk menimbulkan asap). Pengaruh pengawetan yang berasal dari asap kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan sejumlah komponen fenolik, formaldehida dan asam (Whittle & Howgate 2000). Senyawa penyusun asap terdiri dari gas, distilat cair dan distilat tar. Bagian gasnya
mengandung
oksigen,
hidrogen,
nitrogen,
karbondioksida
dan
karbonmonoksida. Distilat cairnya mengandung alkohol, keton, aldehida, asam format, asam asetat dan asam propionat, sedangkan distilat tar-nya mengandung guiakol, kresol, katekol dan fenol. Asap juga mengandung polinukleo aromatik hidrokarbon 3,4-benzopyrene yang merupakan senyawa bersifat karsinogen (SCERT 2006). Anion-anion format diketahui dapat mencegah proses peroksidasi yang merupakan penangkap radikal yang ditemukan pada citarasa asap (Bower et al. 2009). Komponen asap seperti formaldehida memiliki pengaruh dalam mengeraskan protein otot. Komponen yang tersimpan dalam asap seperti fenol, formaldehida dan nitrit juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada produk (Njai 2000; Whittle & Howgate 2000). Menurut Dwiari et al. (2008), fungsifungsi komponen asap tersebut adalah sebagai berikut: 1) fenol berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan membentuk citarasa, 2) alkohol memiliki fungsi utama membentuk citarasa, selain itu sebagai antimikroba, 3) asam-asam organik berfungsi sebagai antimikroba, 4) karbonil memiliki fungsi untuk membentuk warna dan citarasa spesifik,
15
5) senyawa hidrokarbon tertentu memiliki fungsi negatif karena bersifat karsinogen. 2.4.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat
menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengasapan harus diperhatikan. Menurut Burt (1988); Pan (1988); Afrianto dan Liviawaty (1989); Regenstein dan Regenstein (1991); Moeljanto (1992); Adawyah (2007) dan Irianto dan Giyatmi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi: 1) Bahan bakar Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu: keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan asap dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak digunakan di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang, ampas tebu, tempurung dan sabut kelapa. 2) Mutu dan volume asap Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan kandungan unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar. Volume asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran. 3) Suhu ruang pengasapan Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan merata. Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh ikan akan menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air terhalang dan proses pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam daging ikan. 4) Kelembaban udara ruang pengasapan Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pengasapan. Kelembaban udara ruang pengasapan yang
16
rendah akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap, proses pengasapan lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan dan ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90% akan memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70% banyak digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang maksimal dengan kejadian case harderning yang paling minimal. 5) Sirkulasi udara Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan merata. 6) Lama pengasapan Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur simpannya. Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan beberapa vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya nilai ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama pengasapan yang dilakukan. 2.4.3
Jenis sumber asap Pemilihan jenis kayu yang digunakan harus benar-benar memperhatikan
bentuk dan asalnya, misalnya apakah serbuk kayu yang digunakan berasal dari jenis kayu keras atau kayu lunak. Kadar air yang tinggi dalam kayu akan menurunkan kadar fenol dan meningkatkan senyawa karbonil serta flavor produk menjadi lebih asam. Ukuran partikel kayu juga harus diperhatikan, jika terlalu besar akan mengurangi luas permukaan kontak kayu dengan panas sehingga proses pirolisis kurang sempurna (Yudono et al. 2007). Penggunaan serbuk gergaji untuk mengasapi akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas tinggi. Api pada serbuk gergaji tidak mudah terkena udara sehingga serbuk gergaji akan membara dan tidak terbakar. Hal ini akan menyebabkan ikan yang diasapi berwarna coklat keemasan dan tidak gosong. Penggunaan kayu menyebabkan api
17
yang dihasilkan menjadi lebih panas dengan asap yang lebih sedikit sehingga terdapat kemungkinan ikan akan gosong bukan terasapi (Njai 2000). Kayu keras (hard wood) banyak mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa, contohnya tempurung kelapa, kayu turi, kayu mahoni, jati dan bengkirai. Jenis kayu tersebut sebagian memang cukup mahal dan banyak digunakan untuk pembuatan industri mebel, tetapi dalam pengolahan ikan asap dapat digunakan limbah dari jenis kayu tersebut sehingga harga dapat ditekan. Jenis kayu yang banyak mengandung selulosa adalah yang terbaik karena menghasilkan mutu asap yang baik dan akan mempengaruhi mutu produknya juga (BI 2009). Bahan-bahan berbagai jenis limbah kayu dapat digunakan sebagai bahan pengasap. Kayu yang mengandung resin atau damar yang tinggi memberi rasa tidak enak pada ikan yang diasap, oleh karena itu limbah kayu dari pohon yang memiliki daun lebar yang lebih sering digunakan. Kayu dari pepohonan konifer, kayu lunak, lumut dan daun dapat meninggalkan rasa yang tidak dikehendaki pada ikan dan tidak disarankan untuk menggunakan kayu dari pohon fir, spruce, cemara atau cedar (Snyder 1996; JICA 2008). Jenis kayu yang apabila dibakar menghasilkan asap yang banyak namun sisa pembakarannya sedikit, cocok digunakan sebagai bahan pengasap. Jenis-jenis kayu yang dipilih untuk bahan pengasap pada kenyataannya berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, kayu pohon cherry, oak, kayu pohon maple, beech, white birch, chestnut banyak digunakan di Jepang, namun di negara lain kayu-kayu dari pohon walnut, birch, poplar, elm, light oak, alder, hickorybanyak digunakan. Kombinasi jenis kayu yang berbeda dapat digunakan untuk menciptakan aroma asap tertentu. Kayu buah seperti apel, cherry dan pir akan menghasilkan asap dengan aroma manis. Banyak pengusaha pengasapan lebih memilih mencampur kayu keras dan kayu buah (JICA 2008; Sullivan 2009; Snyder 1996). Kayu yang digunakan untuk menghasilkan asap harus kering dan bebas dari tanah, debu, bahan-bahan berbahaya seperti pengawet kayu dan cat. Serbuk kayu yang basah atau berjamur tidak boleh digunakan, walaupun begitu tergantung dari jenis kayu dan tujuan pengasapan, kemungkinan serbuk kayu yang
18
lembab lebih dikehendaki (Codex Alimentarius 1979). Lontar, inti palem, bongkol jagung dan sabut kelapa dapat digunakan sebagai bahan bakar jika kayu menjadi langka (Berkel et al. 2004). 2.5
Metode Pengasapan Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk
perikanan yang paling tua. Cara melakukan pengasapan banyak mengalami perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern. Pemilihan metode pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan produk akhir yang dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat pengasapan. Beberapa metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah metode pengasapan panas, dingin dan cair. 2.5.1
Metode pengasapan panas Pengasapan panas adalah proses dimana ikan diasapi dengan suhu paling
tidak 70 oC sehingga daging menjadi matang selain terkena asap. Lapisan protein larut garam yang disebut pellicle akan terbentukpada permukaan daging selama proses. Lapisan ini menyerap sebagian besar antioksidan dan komponen bakteriostatik dari asap. Penghalang terhadap invasi bakteri terbentuk pada tahap berikutnya setelah pengerasan (Lyhs 2002). Kebanyakan ikan asap yang dijual di pasaran saat ini ialah ikan yang diasapi dengan cara panas (Spira 2007). Ikan akan menjadi matang selama proses dan produk dapat dimakan tanpa pemasakan lebih lanjut (Whittle & Howgate 2000). Suhu asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara bertahap menjadi 95 oC. Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan penggaraman dan pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate 2000). Suhu internal produk pada pengasapan panas mencapai 71,12 oC atau lebih tinggi. Tergantung dari produk yang diinginkan maka proses pengasapan umumnya berlangsung selama 6-15 jam. Waktu pemasakan yang lebih singkat akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi (Crapo 2000). 2.5.2
Metode pengasapan dingin Ikan yang melalui proses pengasapan dingin didefinisikan sebagai ikan
asap yang dihasilkan dengan perlakuan asap pada suhu dimana produk mengalami
19
koagulasi protein yang tidak sempurna (Oyelese 2006). Proses pembentukan pellicle sebagai hasil denaturasi protein selama penggaraman, sama pentingnya dengan pengasapan panas (Lyhs 2002). Pengasapan dingin di Kanada pada umumnya dilakukan pada suhu 21,11-37,79 oC. Perhatian yang khusus perlu dilakukan untuk menjamin agar bakteri tidak dapat tumbuh pada makanan yang diasap mengingat suhu pada pengasapan dingin yang sangat rendah (Traeger 2008). Perbedaan mendasar antara metode pengasapan panas dan dingin tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Perbedaan antara metode pengasapan panas dan dingin Metode Pengasapan Pengasapan dingin
Pengasapan panas
Karakteristik Produk Suhu tidak pernah meningkat hingga tahap yang dapat memodifikasi kandungan protein atau mematangkan daging (maksimum 30 oC) Pengasapan dapat berlangsung selama 4-6 minggu Metode ini biasanya digunakan untuk jenis ikan yang hidup pada iklim sedang karena suhu yang tinggi akan dengan mudah mendenaturasi proteinnya. Hal ini tidak termasuk bagi jenis ikan yang hidup di daerah tropis Pengasapan dengan suhu sedang dilakukan pada suhu 30-50 oC, pengasapan dengan suhu tinggi dilakukan pada suhu hingga 80 oC Pengasapan dapat berlangsung selama 3-8 jam Pengaturan suhu di ruang pengasapan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk menghindari produk menjadi terbakar dan hangus Pada negara berkembang, faktor curing yang lebih sering digunakan ialah karena panas bukan asapnya Pengasapan panas menghasilkan daging yang lebih kokoh dan mudah mengelupas dibandingkan pengasapan dingin, tetapi lebih lembab dari daging hasil pemanggangan Biasanya ikan yang diasapi panas dipotong menjadi bentuk kubus, potongan, atau serpihan tebal daripada dalam bentuk irisan, yang dapat hancur jika dipotong terlalu tipis
Sumber: Patterson (2004)
Suhu ikan pada metode pengasapan dingin tidak boleh melebihi tahap dimana koagulasi protein terjadi. Pengasapan dingin berarti mengasapi ikan pada suhu dimana produk tidak menunjukkan tanda-tanda koagulasi protein akibat panas. Ada kemungkinan selama pengasapan dingin suhu daging ikan melebihi 29 oC selama lebih dari beberapa menit sehingga protein akan terkoagulasi dan sebagian dari ikan akan matang (Codex Alimentarius 1979).
20
Sumber lain menyatakan bahwa pada pengasapan dingin suhu pengasapan tidak boleh melebihi 30 oC dan ikan belum matang benar. Ikan dari perairan beriklim sedang membutuhkan suhu melebihi 30 oC agar proses bisa mulai mematangkan ikan terutama jika terdapat kandungan garam. Pengasapan dingin dengan waktu yang lebih lama menyebabkan ikan menjadi keras, terutama sebagai akibat dari pengeringan yang dikenal sebagai hard smoking atau hard cure (Venugopal 2006; Whittle & Howgate 2000). Pengasapan dingin dapat berlangsung antara 16 jam hingga7 hari bahkan ada yang mencapai 3 minggu tergantung dari produk akhir yang diinginkan (Crapo 2000; JICA 2008). 2.5.3
Metode pengasapan cair Aroma asap dalam metode ini dihasilkan tanpa melalui proses pengasapan,
melainkan dengan penambahan cairan bahan pengasap (smoking agent) ke dalam produk. Bahan baku ikan direndam dalam cuka kayu (wood acid) yang didapat dari hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang ditambahi pewangi kayu yang hampir sama dengan aroma asap, setelah itu ikan dipanaskan dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke dalam ikan dapat dilakukan melalui penuangan langsung, pengolesan atau penyemprotan. Keuntungan proses ini ialah tidak memerlukan ruang tempat pengasapan atau alat pengasap, namun aroma produk yang dihasilkan lebih rendah dari aroma produk yang diasapi dengan proses pengasapan sesungguhnya (JICA 2008). 2.6
Tahap-tahap Pengasapan Lima tahap dasar yang terdapat dalam proses pengasapan ikan secara
umum yaitu pembersihan, curing, pengeringan, pengasapan dan penyimpanan (Snyder 1996). Metode yang digunakan akan memiliki beberapa persamaan, contohnya yaitu ikan pada umumnya diasapi dalam ruang tertutup dengan waktu dan suhu pengasapan beragam (Sullivan 2009). Bentuk produknya bervariasi, yaitu pengasapan ikan dalam bentuk utuh, tanpa kepala dan jeroan, telah dibelah punggungnya, telah difilet dan lain sebagainya (JICA 2008). Ikan kemudian diasapi dalam ruang asap dengan waktu dan suhu pengasapan yang beragam. Ikan dapat diasapi dengan cara panas atau dingin bergantung pada suhu dan waktu
21
yang digunakan (Sullivan 2009). Tahap-tahap pengasapan secara umum dapat dilihat pada Gambar 2. Bahan mentah beku
Thawing
Pemotongan
Penyiangan
Pencucian
Penggaraman
Pencucian
Pengeringan
Pengasapan
Ikan asap
Gambar 2 Proses produksi ikan asap secara umum. (JICA 2008)
2.6.1
Pemilihan bahan baku Ikan asap atau produk perikanan harus memiliki kualitas yang baik,
dipersiapkan dengan baik dan dikemas sehingga tetap menarik dan aman untuk dikonsumsi. Bahan baku yang akan diolah menjadi ikan asap ialah ikan segar atau ikan beku yang layak jual. Bahan baku dengan kualitas yang buruk akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas yang buruk juga (Codex Alimentarius 1979).
22
2.6.2
Thawing Ikan dicairkan terlebih dahulu dengan air mengalir atau dalam suatu
wadah berisi air bila mengunakan bahan baku yang dibekukan. Hal penting dalam proses pencairan ini ialah ikan tetap dijaga dalam keadaan setengah beku untuk keperluan proses selanjutnya (JICA 2008). 2.6.3
Pemotongan Ikan dapat diasapi secara utuh, dipotong atau difillet. Semakin luas daerah
permukaan ikan maka akan semakin banyak jumlah partikel asap yang dapat diserap selama pengasapan dan produk dapat kering dengan lebih baik (Berkel et al. 2004). 2.6.4
Penyiangan Proses ini sama dengan proses penyiangan yang dilakukan terhadap
produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Bagian dalam ikan harus dikeluarkan dengan hati-hati agar tidak merusak penampilan fisik produk (JICA 2008). Ikan dibersihkan sesegera mungkin setelah ditangkap. Sisik ikan dipisahkan dan dibuang isi perutnya termasuk ginjal dan tulang rangka jangan dibuang agar bentuk tetap terjaga kecuali akan dibuat fillet (Snyder 1996). 2.6.5
Penggaraman Garam dapat ditambahkan dengan cara injeksi, penggaraman kering atau
perendaman. Dua cara penggaramanyang disebutkan terakhir merupakan cara yang paling banyak diadopsi oleh industri (Salan et al. 2006). Proses ini pada dasarnya sama dengan produk ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Produk yang mengandung tingkat keasinan tinggi cenderung tidak disukai khususnya untuk masyarakat Jepang sehingga tingkat keasinan produk akhir perlu dibatasi dalam rentang 2,0-2,5% (JICA 2008). Proses penggaraman memegang peranan penting pada produk ikan asap. Garam dapat menyebabkan denaturasi permukaan protein dan bersama pengeringan, protein yang terdenaturasi membentuk lapisan seperti kulit pada permukaan produk yang disebut pellicle. Lapisan ini melindungi bagian dalam ikan dan menjaga agar aroma asap tetap berada di dalam ikan (Lyhs 2002). Kelebihan air garam setelah penggaraman harus dipisahkan dengan cara
23
mencucinya dengan air bersih karena garam dapat membentuk lapisan keras yang tidak dapat ditembus selama pengasapan (Berkel et al. 2004). Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Waktu penggaraman berdasarkan bahan baku Segar (jam)
Suhu dingin (jam)
Thawing (jam)
Fillet atau ikan dibelah dengan ketebalan 1,27 cm hingga 2,54 cm
18-24
16
12-14
Ikan besar utuh dengan berat 4,5 kg atau lebih
48-72
36-60
24-48
Ukuran Ikan
Sumber: Medeiros(2009).
2.6.6
Pengeringan Pengeringan tidak diperlukan pada beberapa proses pengasapan tertentu
tetapi jika permukaan ikan masih mengandung kadar air yang tinggi maka hal ini dapat mengakibatkan produk akhir menjadi tidak menghasilkan warna khas ikan asap yaitu warna kuning kecoklatan (amber) (JICA 2008). Ikan biasanya dipanaskan terlebih dahulu selama 30 menit sebelum dilakukan pengasapan. Sirkulasi udara dan kelembaban akan mempengaruhi waktu proses dan penggunaan kipas akan mempercepat proses pengeringan (Snyder 1996). Ikan yang diasapi dengan cara panas sebelum diasapi sebaiknya dilakukan proses pengeringan tambahan terlebih dahulu. Pengeringan dilakukan dengan cara meningkatkan suhu secara perlahan untuk memperkuat kulit kepala dan tubuh dengan mengeringkan dan mengeraskan sehingga dapat menyangga berat dari tubuh ikan yang digantung selama pengasapan cara panas (Codex Alimentarius 1979). 2.6.7
Pengasapan Tahap berikutnya ialah melakukan pengasapan sesuai dengan tujuan
pembuatan produk asap yaitu pengasapan dingin (cold smoking) atau pengasapan panas (hot smoking). Ikan diletakkan di dalam ruang atau alat pengasapan. Tumpukan kecil bara ditumpuk di atas plat pemanas untuk menimbulkan api kecil. Api dijaga agar tidak menyala terlalu besar. Lapisan bara ditutup dengan serpihan kayu keras yang kering. Serpihan ditambahkan sesuai kebutuhan untuk
24
menjaga asap agar tetap padat selama proses. Aliran udara dikendalikan dengan cara mengatur ventilasi atau dengan menambah dan mengurangi tutup pinggiran ruang pengasapan. Ikan dikeluarkan dari tempat pengasapansetelah pengasapan selesai dan dibiarkan sampai dingin (Snyder 1996). Selama pengasapan produk yang digantung tidak boleh saling bersentuhan karena asap tidak akan mencapai seluruh bagian dan produk tidak akan mengering dengan merata (Berkel et al. 2004). 2.6.8
Penyimpanan Ikan harus didinginkan dengan cepat dan meratasetelah proses pengasapan
selesai dan sebelum dikemas, jika tidak maka ikan asap akan menjadi lembek, lembab dan asam atau berjamur (Codex Alimentarius 1979). Ikan asap sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu lebih rendah dari 2,22 oC dan dikonsumsi dalam waktu 14 hari setelah pengasapan. Ikan harus dibekukan sesegera mungkin setelah pengasapan agar dapat disimpan lebih lama. Ikan asap disimpan dalam freezer tidak lebih dari dua bulan. Ikan yang telah diasapi dapat dikonsumsi ketika masih panas tidak lama setelah pengasapan dilakukan namun kebanyakan orang setuju bahwa citarasa ikan asap akan meningkat ketika ikan telah dingin. Citarasa ikan asap berkembang pada hari pertama atau kedua setelah pengasapan karena asap lebih menyerap ke dalam daging ikan (Snyder 1996). Pembungkus plastik atau alumunium foil dapat digunakan untuk menyimpan ikan asap (Crapo 2000). 2.7
Jenis Alat Pengasap Terdapat dua jenis alat pengasap atau kiln yaitu kiln tradisional dan kiln
mekanis. Pergerakan asap dan udara hangat pada kiln tradisional tergantung seluruhnya dari aliran udara dan perpindahan panas alami. Udara biasanya dialirkan melalui cerobong yang dirancang khusus untuk pengasapan dingin atau panas. Asap bergerak akibat konveksi udara melalui ikan yang digantung diatas sumber asap, sementara ituasap pada kiln mekanis bergerak disekeliling ikan secara vertikal maupun horizontal karena adanya kipas dan dilengkapi dengan pengatur suhu (Whittle & Howgate 2000). Beberapa jenis oven pengasap menurut Berkel et al. (2004) ialah:
25
2.7.1
Oven sederhana Oven ini menggunakan kisi terbuka dan ikan ditempatkan di atasnya
dengan bara api di bawahnya. Kapasitasnya kecil dan selama proses akan banyak terjadi kehilangan asap. Perkembangan dari tipe ini ialah oven yang dibuat dari lapisan lumpur kering atau tanah liat atau drum yang dilengkapi dengan kisi-kisi di bagian atasnya. 2.7.2
Oven pengasapan tipe drum Oven ini terdiri dari beberapa drum-oil yang ditempatkan di atas drum-oil
lainnya (menumpuk). Pinggiran lingkarannya harus cocok ukurannya satu sama lain. Kantung yang basah ditempatkan diatas pinggiran lingkaran pada drum yang paling atas. Sistem ini digunakan agar proses pengasapan berlangsung secara efisien. Urutan drum atau ikan di dalam drum harus diubah secara berkala karena drum bagian bawah akan mendapatkan asap yang paling panas. Kekurangannya ialah suhu sulit dikendalikan dan produk akhir tidak terasapi secara merata. Kelebihannya ialah bahan untuk membuat oven berasal dari bahan yang berbiaya rendah. 2.7.3
Oven chorkor Oven pengasap yang besar dan persegi empat ini cocok untuk mengasapi
ikan yang lebih kecil ukurannya. Alat ini terdiri dari sebuak kotak tempat api berbentuk persegi empat yang diatasnya terdapat beberapa nampan kawat kasa yang diberi bingkai kayu dan ditumpuk. Ikan diletakkan di atas nampan dan kayu dibakar pada kotak api. Lapisan paling atas dapat ditutupi dengan triplek atau seng. Selama pengasapan berlangsung, nampan-nampan tersebut dapat ditukar posisinya. 2.7.4
Ruang pengasapan Ruang pengasapan ini sebaiknya memiliki luas paling tidak 2 x 2 m2.
Sebuah drum-oil ditempatkan pada lantai tanah atau batu. Tempat berdirinya drum ini diupayakan agar kedap api. Dasar drum dihilangkan dan sedikit di atas dasarnya dibuat rangka kisi sebagai tempatmenyalakan api. Pintu dibuat di dalam drum untuk mengatur aliran udara dan lubang asap di atasnya dipotong. Ruang pengasapan di bagian atasnya diletakkan rak-rak untuk menyusun ikan. Dinding
26
memiliki penahan untuk menyandarkan tiang-tiang yang dapat dipindahkan. Ikan dapat digantung pada tiang-tiang ini. Dinding dan atap harus ditutup sehingga asap tidak dapat keluar. Katup ventilasi atau tutup tingkap pada atap ruang pengasapan perlu dibuat untuk mengatur sirkulasi asap. 2.8
Komponen dalam Ikan Asap Metode pengasapan yang dilakukan akan berpengaruh pada komponen
yang terbentuk dalam ikan asap. Komponen-komponen ini kemungkinan berasal dari hasil pirolisis komponen kayu yang menempel dan berpenetrasi pada daging ikan, komponen alami yang terkandung dalam ikan itu sendiri dan hasil interaksi antara keduanya. Menurut Guillen et al. (2006), komponen asap akan diserap oleh permukaan ikan dan selanjutnya dapat bereaksi atau berinteraksi dengan komponen ikan selama proses pengasapan. Hal yang sama dinyatakan oleh Rusz dan Miller (1977) bahwa proses penyerapan asap akan disertai proses kimia, yaitu interaksi antara senyawa asap dengan unsur-unsur pokok penyusun makanan. Senyawa fenolik, Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) dan asam amino bebas merupakan komponen utama yang penting untuk dikaji diantara sekian banyak komponen yang terdapat dalam ikan asap. 2.8.1
Senyawa fenolik Senyawa fenol merupakan komponen aromatik yang terdapat pada asap
kayu dan berperan dalam mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bakteri (Whittle & Howgate 2000). Senyawa ini memiliki aktivitas antimikroba dan juga bersifat sebagai antioksidan (Sikorski & Sun Pan 1994). Kayu keras cenderung mengandung selusosa, hemiselulosa dan lignin yang tinggi. Fenol dalam asap ialah salah satu hasil degradasi panas dari lignin dalam kayu. Lignin merupakan polimer fenolik penting yang menyebabkan karakteristik kayu berwarna coklat, memberikan densitas dan massa (Armstrong 2007). Kandungan fenol dalam ikan asap yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin lamanya masa simpan. Penampakan yang mengkilap dan rasa yang spesifik juga dipengaruhi oleh kandungan fenol dalam produk yang diasap. Fenol dapat digunakan sebagai indeks kualitas dari hasil pengasapan ikan. Kandungan fenol yang terlalu tinggi akan cenderung untuk menghasilkan PAH yang bersifat karsinogen. Batas kandungan fenol pada makanan asap ialah 317 mg/kg (Swastawati et al. 2007).
27
Komponen fenolik juga mempengaruhi warna produk. Kualitas dan kuantitas komponen kimia ini di dalam asap tergantung dari jenis kayu, umur pohon dan kondisi tanah dimana pohon tersebut tumbuh. Warna coklat keemasan dari ikan asap disebabkan oleh reaksi dari fenol dengan oksigen dari udara. Fraksi fenol yang berperan dalam pembentukan aroma dan rasa spesifik adalah guaiakol, 4-metilguaiakol, 2,6-dimetoksifenol. Guaiakol memberikan citarasa asap dan syringol berperan dalam pembentukan aroma. Rasa asap yang lezat disebabkan oleh reaksi asam, fenol dan komponen lainnya (Swastawati et al. 2007). 2.8.2
Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) PAH pada ikan asap berasal dari asap kayu terutama lignin dan selulosa.
Lebih dari 200 PAH telah diidentifikasi hingga saat ini. Jenis dan konsentrasi senyawa PAH yang teridentifikasi dipengaruhi oleh jenis kayu dan suhu pengasapan. Beberapa PAH merupakan senyawa yang bersifat karsinogen, ko-karsinogen, teratogen dan mutagen sehingga beberapa komponennya sebagai senyawa yang terkandung dalam makanan memang harus diawasi. Konsentrasi PAH tertinggi ditemukan pada produk tradisional yang intensitas pengasapannya tinggi. Tidak semua PAH bersifat karsinogen tetapi benzo[a]pyrene diketahui sebagai indikator senyawa yang bersifat karsinogen (Whittle & Howgate 2000; Heruwati 2002; Swastawati et al. 2007). Benzo[a]pyrene yang terkandung pada ikan asap cara panas dapat terkandung 10 kali lebih banyak daripada pengasapan cara dingin. Senyawa ini juga terkandung 10 kali lebih banyak pada ruang pengasapan tradisional dibandingkan dalam alat pengasapan modern karena terjadi resirkulasi asap. Sumber lain menyatakan bahwa kandungan benzo[a]pyrene pada ikan asap sebesar 0,70 hingga 60 ng/g (bb) dan terbanyak terdapat di bagian kulit (Heruwati 2002). Asap kayu mengandung berbagai jenis PAH seperti fluorantrena, 1,2benzanthrasena, krisena, 3,4-benz(α)pirena dan 1,2-benz(α)pirena (Whittle & Howgate 2000; Heruwati 2002). Pengasapan pada prinsipnya harus dilakukan dengan mengatur suhu dan kecepatan aliran udara serta kepekatan asap agar produksi fenol dan karbonil sesuai dengan harapan yaitu agar pembentukan PAH sekecil mungkin. Suhu dekomposisi kayu harus lebih rendah dari 400 oC dan suhu oksidasi senyawa
28
volatil hasil dekomposisi tersebut tidak lebih dari 200 oC untuk mencegah pembentukan benzo[a]pyrene (Heruwati 2002). 2.8.3
Asam amino bebas Komponen ekstraktif yang menjadi unsur utama rasa dari makanan laut
didefinisikan sebagai komponen yang larut air dan memiliki berat molekul rendah kecuali vitamin, mineral dan pigmen. Komponen ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu komponen yang mengandung nitrogen (asam amino bebas, asam amino tidak bebas, nukleotida beserta komponen-komponennya, basa organik) dan komponen yang tidak mengandung nitrogen (gula dan asam-asam organik) (Fuke 1994). Degradasi protein melalui reaksi proteolitik akan memberikan pengaruh yang menguntungkan dan merugikan pada flavor. Asam amino bebas memberikan peran pada sifat rasa nonvolatil dari produk dan memberikan pengaruh yang menguntungkan karena ikut serta dalam reaksi termal yang memberikan rasa seperti daging, karamel dan atribut flavor panggang dari komponen flavor volatil. Asam amino ini larut dalam air sedangkan komponen volatil yang berasal dari degradasi panas asam amino dapat larut dalam lemak yang selanjutnya akan mempengaruhi persepsi flavor (Gordon & Josephson 2000). Kandungan total asam amino bebas pada ikan pada umumnya lebih rendah daripada kekerangan, udang, cumi-cumi dan sotong. Kandungan histidin yang tinggi diketahui terdapat pada ikan yang aktif bermigrasi seperti tuna dan cakalang, tetapi beberapa spesies ikan berdaging putih juga diketahui memiliki kandungan histidin yang tinggi. Kandungan taurin yang tinggi merupakan salah satu karakteristik khas dari ikan berdaging putih baik ikan laut maupun ikan air tawar (Fuke 1994). Asam amino-asam amino yang berperan pada pembentukan rasa dalam ikanpada umumnya ialah asam glutamat, glisin, alanin, arginin, metionin, valin dan prolin (Yamaguchi & Watanabe 1988). Berdasarkan analisis terhadap hasil ekstraksi ikan asap katsuobushi dengan menggunakan air panas diketahui bahwa komponen utama yang menghasilkan rasa spesifik produk ini ialah glutamat, histidin, lisin, karnosin, inosin monofosfat (IMP), inosin, hipoksantin, kreatinin, asam laktat, garam, kalium dan ion klorida. Kandungan histidin sebesar 86% dari total asam amino bebas akan mempengaruhi
29
rasa umami dan keasaman dari ekstrak katsuobushi (Fuke 1994). Asam glutamat berperan pada munculnya rasa umami; prolin pada rasa manis dan pahit; glisin dan alanin pada rasa manis, selain itu glisin dan alanin memiliki efek sinergis pada campuran senyawa yang mengandung asam glutamat (Kato et al. 1989). 2.9
Flavor Flavor merupakan kombinasi antara rasa dan aroma dan dapat dipengaruhi
oleh sensasi rasa sakit (pedas, menyengat), panas dan dingin, dan sensasi nyata sentuhan (tactile) ketika bahan pangan dikonsumsi. Flavor pada dasarnya dirasakan oleh reseptor rasa di dalam mulut dan reseptor aroma di dalam hidung. Komponen flavor pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu komponen flavor yang berperan sebagai rasa dan komponen yang berperan sebagai aroma. Flavor juga merupakan komponen yang kompleks karena dapat berbentuk volatil atau nonvolatil. Komponen flavor yang menimbulkan persepsi rasa harus larut dalam air ludah sebelum dapat dirasakan. Komponen tersebut berinteraksi dengan reseptor rasa yang terletak di kuncup pencecap pada lidah. Komponen flavor yang berperan sebagai aroma merupakan komponen volatil yang dirasakan oleh reseptor aroma dari organ pencium seperti jaringan olfaktori pada rongga nasal. Komponen ini mencapai reseptor ketika dihirup oleh hidung (deteksi nasal) dan melalui tenggorokan setelah dilepaskan pada proses pengunyahan (deteksi retronasal) (Botta 1994; Liu et al. 2009; Naknean & Meenune 2010). Molekul citarasa dilepaskan dari makanan ke dalam rongga mulut dan komponen citarasa yang volatil bergerak melewati nasofaring di dalam hidung ketika makanan dimakan. Molekul citarasa dengan konsentrasi tinggi yang cukup harus dilepaskan dari makanan untuk merangsang sistem olfaktori dan menimbulkan respon. Sifat penahanan dan pelepasan flavor tergantung pada sifat alami dan konsentrasi dari komponen volatil dalam makanan. Persepsi panelis juga dipengaruhi oleh ketersediaan komponen volatildan hasil interaksi antara komponen utama dan komponen aroma dalam makanan. Pelepasan flavor tergantung pada ketersediaan dari komponen flavor dalam fase gas dan afinitas antara komponen citarasa dan matriks makanan. Sifat-sifat dari komponen flavor akan menentukan interaksi dengan komponen makanan seperti ukuran molekul, gugus fungsional, bentuk dan volatilitas (Naknean & Meenune 2010).
30
Flavor makanan merupakan hal yang sangat penting karena konsumen lebih memilih makanan dengan citarasa yang lebih enak. Aroma merupakan salah satu komponen penting pada flavor. Aroma makanan pada umumnya merupakan campuran yang seimbang antara komponen-komponen aroma. Semua komponen aroma biasanya berukuran relatif sangat kecil (<400 Da) dan merupakan komponen organik. Struktur kimia dari komponen aroma memiliki jenis yang beragam termasuk asam, komponen-komponen netral, komponen belerang dan nitrogen, alkohol, aldehida, keton, hidrokarbon dan ester. Pelepasan komponen aroma dari makanan ditentukan oleh koefisien partisi antara fase udara dan matriks makanan atau koefisien partisi antara fase air ludah dan matriks makanan (Naknean & Meenune 2010). Komposisi komponen aroma yang dihasilkan pada proses pengasapan tergantung pada jumlah oksigen yang tersedia untuk pembakaran, suhu pada zona api, jenis kayu yang dibakar dan kadar air kayu yang digunakan. Komponen volatil yang spesifik, khususnya komponen fenolik, keberadaannya telah dihubungkan dengan perbedaan teknik pengasapan yang secara langsung mempengaruhi karakteristik inderawi dari ikan yang diasapi (Jonsdottir 2008). Persepsi flavor didefinisikan sebagai sensasi yang timbul dari integrasi (penggabungan) atau saling mempengaruhinya sinyal yang dihasilkan sebagai akibat dari terdeteksinya komponen kimia oleh indera penciuman, indera perasa dan perubahan rangsangan dari makanan atau minuman. Sel reseptor rasa di dalam mulut dapat merasakan empat perbedaan dasar rasa sementara di dalam hidung banyak terdapat neuron yang berbeda yang mampu untuk menanggapi berbagai macam komponen volatil yang berbeda. Jumlah intensitas suatu komponen flavor tertentu tergantung pada konsentrasi dan karakteristik flavor dari produk dan karakteristik dari indera yang merasakan citarasa. Flavor juga dapat berubah akibat waktu dan kondisi pengolahan (Smit 2004; Naknean & Meenune 2010). Senyawa golongan aldehid, alkohol, keton, asam dan hidrokarbon adalah senyawa volatil utama dalam produk perikanan dan asam amino bebas, nukleotida dan peptida merupakan senyawa utama nonvolatil (Liu et al. 2009)
31
2.10
Metode Ekstraksi Solid Phase Microextraction (SPME) SPME digunakan untuk menyerap komponen volatil dan selanjutnya
dianalisis menggunakan Gas Chromatography/Mass Spectrometry (GC/MS). Proses ekstraksi jenis ini telah terbukti berguna untuk mempelajari komponen volatil dari beberapa jenis makanan yang berbeda. Kondisi pengujian pada waktu dan suhu tertentu dipilih karena kondisi ini memberikan hasil yang terbaik. SPME yang digabungkan dengan GC/MS merupakan teknik yang bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menentukan komponen volatil dari ikan asap dan ikan mentah. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi dan membedakan antara komponen volatil ikan mentah dan komponen lain, baik yang ditambahkan untuk pengawet, diperoleh selama proses pengasapan atau dihasilkan dari proses sekunder seperti oksidasi lemak. Teknik gabungan ini berguna untuk mengkarakterisasi
senyawa-senyawa
volatil
ikan,
memonitor
teknologi
pengolahan atau degradasi ikan dan untuk mengevaluasi adanya kontaminan atau aditif pada ikan (Guillen & Errecalde 2002). SPME menjadi sangat populer karena prosedurnya sederhana dan pengumpulan senyawa-senyawa volatilnya berlangsung cepat walaupun mengandalkan GC untuk pemisahan zat-zat volatil dan MS untuk identifikasinya. Prosedur ini lebih dipilih oleh lembaga-lembaga penyusun peraturan dalam mengevaluasi kualitas (Linder & Ackman 2002). 2.11
Standar Mutu Produk Ikan Asap Spesifikasi produk akhir yang diharapkan ialah ikan asap dan produknya
harus bebas dari mikroorganisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia, bebas dari parasit yang berbahaya bagi manusia dan tidak mengandung bahan apapun yang berasal dari mikroorganisme, bebas dari kontaminan kimia, bebas dari bahan yang tidak dikehendaki dan parasit dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Proses pengolahan ikan asap harus memenuhi Good Manufacturing Practice (GMP) dan harus memenuhi semua ketentuan yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission mengenai residu pestisida dan bahan tambahan pangan (Codex Alimentarius 1979). Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap menurut SNI 2725.1:2009 tercantum pada Tabel 6.
32
Tabel 6 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
a. Organoleptik
Angka (1-9)
Min.7
b. Cemaran mikroba* - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholerae* - Staphylococcus aureus*
Koloni/g APM/g per 25 g per 25 g Koloni/g
Maks.1,0 x 105 Maks.<3 Negatif Negatif Maks.1,0 x 103
c. Kimia* - Kadar air - Kadar histamin - Kadar garam
% fraksi massa mg/kg % fraksi massa
Maks.60 Maks. 100 Maks.4
Keterangan: *Bila diperlukan Sumber: SNI (2009)
2.12
Pengujian Organoleptik Persepsi inderawi dari suatu makanan merupakan karakteristik produk
yang penting. Persepsi inderawi merupakan proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kandungan komponen flavor, tekstur, penampakan produk, dan juga kondisi panelis pada saat mengkonsumsi produk tersebut (Smit 2004). Persepsi dari indera manusia terhadap suatu sifat produk dapat diukur dengan metode pengujian organoleptik. Proses
pengasapan
mempengaruhi
atribut
inderawi
dari
produk
pengasapan karena terjadinya perubahan-perubahan protein akibat proses penggaraman atau pemanasan. Pengasapan juga memberikan warna dan citarasa yang menarik terhadap ikan asap. Warna dari ikan asap tidak hanya tergantung pada perubahan warna pigmen kulit tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi komponen asap yang terserap serta interaksinya dengan produk selain itu jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap juga akan mempengaruhi warna dari produk pengasapan. Komponen fenol yang terkandung dalam asap merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan citarasa asap dari produk pengasapan (Sikorski & Sun Pan 1994). Evaluasi mengenai flavor memiliki sifat dasar yang sangat subjektif sehingga ada yang menilai bahwa analisis kuantitatif secara objektif tidak tepat untuk dilakukan. Pembeli dan penjual harus mendefinisikan kriteria dari sekelompok flavor atau aroma dari produk pada umumnya untuk alasan komersial
33
sementara untuk keperluan riset maka panelis terlatih yang harus berperan dalam menilai atau mengukur flavor utama dan intensitasnya. Pengujian organoleptik dapat dibagi menjadi tiga kelompok pengujian yaitu pengujian diskriminasi (pembedaan), afektif (penerimaan) dan deskriptif (Meilgaard et al. 1999; Stone & Sidel 2004). Uji deskriptif merupakan uji yang paling canggih dari sekian metodologi organoleptik yang ada khususnya bagi ahli-ahli organoleptik (dibandingkan dengan metode diskriminasi dan penerimaan) (Stone & Sidel 2004). Hasil dari analisis deskriptif memberikan deskripsi lengkap dari suatu jajaran produk sehingga dapat menjadi dasar untuk memetakan persamaan dan perbedaan produk dan menentukan atribut sensoris yang penting bagi penerimaan produk. Hasil yang diperoleh mampu untuk menghubungkan bahan baku tertentu atau variabel proses pada perubahan spesifik dalam beberapa atau seluruh atribut sensoris produk tersebut. Termasuk ke dalam uji ini ialah Flavor Profile®, Texture Profile®, Quantitative Descriptive Analysis (The QDA Method®), Spectrum™ Descriptive Analysis dan Free Choice Profiling. Metode QDA® lahir dari ketidakpuasan yang dialami para analis organoleptik terhadap kurangnya perlakuan statistika terhadap data yang diperoleh dari metode Flavor Profile® dan metode lainnya yang berhubungan. Metode ini mengandalkan metode statistik untuk menentukan istilah yang tepat, prosedur dan panelis untuk keperluan analisis produk tertentu (Meilgaard et al. 1999).
3
3.1
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011.
Pengambilan sampel ikan asap dilakukan di Kota Rembang, Jawa Tengah; Padang, Sumatera Barat; Bitung, Sulawesi Utara dan Kendari, Sulawesi Tenggara. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan; Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Flavor Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang, Jawa Barat. 3.2
Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan ialah 4 jenis ikan asap yang diperoleh dari
empat provinsi yaitu ikan kayu, salai, fufu, dan pe. Bahan-bahan untuk analisis kimia dan pengujian organoleptik yang digunakan ialah HgO, tablet Kjeldahl, K2SO4, Na2SO4, H2SO4, NaCl, AgNO3, H3BO3, HCl, CuSO4, H2O2, NaOH, HNO3, KOH, H3PO4, K3Fe(CN)6, NH4OH, CHCl3, alkohol, florisil, benzen, heksadekana, isooktan, larutan standar aroma ikan asap (furfuril mercaptan, hexyl acetate, Butter 09002, guaiakol, squalane, octen-1-ol-3), bahan standar untuk rasa dasar (sukrosa, garam, MSG, kafein, asam sitrat), standar NaCl, difenilkarbazona, bromfenol biru, standar Hg(NO3)2, etanol, isopropil alkohol, kloroform, indikator jingga
metil,
larutan
2-merkaptoetanol,
fenol
larutan
standar,
standar
ortoftalaldehida,
asam
amino,
larutan
Na-EDTA,
Brij-30, metanol,
tetrahidrofuran, Na-asetat, air. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah timbangan, plastik, alumunium foil, coolbox, pengatur waktu, tanur pengabuan, alat distilasi, pH meter, timbangan analitik, cawan pengabuan, waterbath, desikator, peralatan analisis protein dan lemak (Kjeltec dan Soxhlet), Gas Chromatography (GC) (Agilent Technologies 7890A GC System) dan Mass Spectrometry (MS) (Agilent Technologies 5975C Inert XL EI CI/MSD), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (UFLC Shimadzu CBM-20A, Shimadzu Corporation, Japan), spektrofotometer US-VIS, vorteks, perlengkapan pengujian organoleptik, peralatan analitik dan peralatan gelas seperti buret, erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, labu ukur, pipet volumetrik, pipet Mohr, syringe, vial.
36
3.3
Tahapan Penelitian
3.3.1
Penelitian lapangan Keempat sampel produk ikan asap diambil dari 4 provinsi berbeda yaitu
Jawa Tengah (Rembang), Sumatera Barat (Padang), Sulawesi Utara (Bitung) dan Sulawesi Tenggara (Kendari). Sampel yang diambil masing-masing seberat 4 kg untuk keperluan analisis dan sebagai cadangan. Sampel tersebut dikemas dengan menggunakan alumunium foil, plastik cling wrap dan disimpan dalam kemasan tertier (kotak plastik atau kardus) lalu diangkut ke Bogor untuk disimpan pada suhu beku (freezer). Masing-masing jenis ikan asap kemudian dibagi menjadi beberapa bagian yaitu untuk analisis kimia proksimat, fenol, garam, asam amino bebas, PAH, flavor dan QDA®. Pengambilan data primer dengan cara mengamati proses pengasapan secara langsung dan melakukan wawancara dengan narasumber ahli (depth interview) mengenai proses pembuatan ikan asap (purposive sampling) dengan panduan kuesioner (Lampiran 1) juga dilakukan saat pengambilan sampel pada masing-masing provinsi. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 3. Ikan Fufu (Bitung)
Ikan Pe (Rembang)
Ikan Kayu (Kendari)
Ikan Salai (Padang)
Pengambilan sampel 4 jenis ikan asap Pengambilan data primer
Lapangan Laboratorium
Pengangkutan Analisis: Kimia (proksimat, fenol, garam, asam amino bebas, PAH) GC-MS (flavor) Organoleptik (QDA®) Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.
37
3.3.2
Analisis Sampel langsung dipreparasi (dipotong, dibagi, ditimbang dan dikemas
menggunakan alumunium foil, cling wrap) setelah tiba di Bogor. Sampel disimpan dalam kotak pendingin berinsulasi (coolboxy ang berisi es) (Lampiran 28) kemudian sampel langsung diangkut ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat (% berat basah), kandungan fenol, garam, asam amino bebas, PAH dan analisis identifikasi komposisi penyusun flavor volatil menggunakan GC/MS. Uji organoleptik flavor dilakukan menggunakan metode QDA®. 3.4
Prosedur Analisis
3.4.1
Analisis kadar air metode oven (AOAC 2005) Sebanyak 2 g sampel uji dikeringkan pada suhu 95-100 oC hingga berat
konstan dibawah tekanan ≤ 100 mm Hg selama kurang lebih 5 jam. Wadah yang digunakan ialah piringan alumunium dengan diameter tutup 50 mm dan kedalaman 40 mm. Kehilangan berat dalam pengeringan dilaporkan sebagai perkiraan kandungan kelembaban. Kadar air % b⁄b 3.4.2
berat hilang selama pengeringan g berat sampel uji g
100%
Analisis kadar abu (AOAC 2005) Sampel kering sebanyak 2 gram dipanaskan dalam piringan logam
50-100 mL pada suhu 100 oC hingga kandungan air keluar. Piringan ditempatkan dalam tanur dengan suhu kurang dari 550 oC dan ditunggu hingga abu berwarna putih terbentuk. Abu didinginkan lalu dilembabkan dengan air, kemudian dikeringkan dalam steam bath dan dalam hot plate. Sampel diabukan kembali pada suhu 525
o
C hingga mencapai berat konstan jika bahan yang diuji
mengandung lemak dalam jumlah banyak maka pengabuan awal perlu dilakukan pada suhu yang serendah mungkin untuk menguapkan lemak tanpa membakarnya. Kadar abu ditentukan dengan menggunakan rumus: Kadar abu %
berat abu g berat sampel g
100%
38
3.4.3
Analisis kadar protein(AOAC 2005) Penentuan kadar protein ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl.
Sampel sebanyak 0,75 g dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 mL H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan ke dalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 oC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih. Hasil destruksi didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 mL akuades. Erlenmeyer disiapkan dan diisi dengan 25 mL larutan H3BO3 4% yang mengandung indikator (Bromchresol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilata uap dan ditambahkan 50 mL NaOH 40% (alkali). Kemudian hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 mL (hasil destilat berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N dan dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu. Blanko diberi perlakuan yang sama seperti tahapan sampel. Pengujian dilakukan secara duplo. Kadar protein dihitung dengan rumus: N %
mL HCl
mL blanko N HCl 14,007 berat sampel mg %k
Kadar Protein % 3.4.4
N %
100%
6,25
Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 oC) ditimbang
hingga didapatkan berat konstan. Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 8 jam dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak telah terekstrak semua. Pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak lalu labu lemak dikeringkan dengan oven 105 oC selama 30 menit. Labu ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar lemak ditentukan dengan menggunakan rumus:
39
Kadar lemak % 3.4.5
Berat labu akhir Berat labu awal Berat sampel
100%
Analisis kadar karbohidrat (BeMiller 2003) Kandungan karbohidrat dihitung dengan metode by difference dengan
rumus: Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak) 3.4.6
Analisis kadar klorida metode merkuri nitrat (Clesceri et al.1998) Tujuan pengujian ini untuk memperoleh kadar klorida dalam air. Ruang
lingkupnya meliputi cara pengujian kadar klorida yang terdapat dalam air yang berkisar pada kadar 0,1 mg/L. Sampel terlebih dahulu dipreparasi (Lampiran 10). Setelah tahap preparasi selesai lalu sampel diambil menggunakan pipet sebanyak 5-50 mL dan ditambahkan 0,5 mL indikator campuran (difenilkarbazona dan bromfenol biru). Campuran seharusnya menjadi berwarna ungu lalu HNO3 0,1 N ditambahkan dengan caraditetes sampai larutan berwarna kuning kemudian dititrasi dengan Hg(NO3)2 0,0141 N hingga jernih. Kadar klorida ditentukan dengan rumus perhitungan: Kadar Klorida mg Cl/L
A
N
BE Cl 1000 mL sampel
Keterangan: A = volume titran sampel (mL) N = normalitas titran (N) BE Cl = Berat Ekivalen Cl (35,45) 3.4.7
Analisis fenol metode ekstraksi kloroform (Eaton et al. 2005) Prinsip dari metode ini ialah fenol yang telah didistilasi bereaksi dengan
4-aminoantipirin pada pH 7,9±0,1 dengan adanya K3Fe(CN)6 membentuk senyawa antipirin berwarna. Senyawa ini diekstrak dari larutan berair dengan kloroform dan absorbannya diukur pada 460 nm. Metode ini dapat mengukur fenol pada kisaran 1-250 µg/L dengan sesitifitas 1 µg/L. Distilat sebanyak 500 mL yang mengandung tidak lebih dari 50 µg fenol disimpan dalam beaker 1 L setelah sampel selesai dipreparasi (Lampiran 10). Sebanyak 500 mL air distilasi untuk blanko dan serangkaian standar fenol juga
40
disiapkan. NH4OH 0.5 N sebanyak 12 mL ditambahkan pada sampel, blanko dan standar fenol kemudian sesegera mungkin pH-nya disesuaikan menjadi 7,9 dengan buffer fosfat sekitar 10 mL lalu setelah itu dipindahkan pada corong pemisah 1 L. Larutan aminoantipirin ditambahkan sebanyak 3 mL, diaduk merata lalu ditambahkan ke dalamnya 3 mL larutan K3Fe(CN)6, diaduk merata kembali dan dibiarkan hingga warna terbentuk selama 15 menit. Larutan tersebut seharusnya berwarna kuning terang dan jernih. Larutan selanjutnya diekstrak dengan 25-50 mL CHCl3 kemudian diaduk paling tidak 10 kali, didiamkan hingga CHCl3 mengendap, lalu diaduk lagi 10 kali dan dibiarkan hingga mengendap lagi. Masing-masing ekstrak CHCl3 disaring dengan kertas saring. Ekstrak kering kemudian dikumpulkan untuk diukur absorbansinya pada 460 nm. Absorbansi dengan konsentrasi mikrogram fenol dituliskan dalam bentuk grafik selain itu kurva kalibrasi terpisah untuk masingmasing fotometer juga dibuat. Kadar fenol ditentukan dengan rumus: Fenol µg/L
A B
1000
Keterangan: A = µg fenol dalam sampel B = mL sampel 3.4.8
Analisis kandungan asam amino bebas (modifikasi dari Ishida et al. 1987) Metode analisis ini memiliki prinsip bahwa hasil analisis bisa
ditingkatkan dengan memanfaatkan reaksi pra kolom gugus amino dengan pereaksi tertentu membentuk suatu derivat yang dapat menyerap sinar UV atau berfluoresensi. Salah satu pereaksi pra kolom yang sangat populer dalam analisis asam amino adalah ortoftalaldehida (OPA). Pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi, sehingga deteksinya dapat dilakukan dengan detektor fluoresensi. Prosedur tahap preparasi sampelnya ialah pertama-tama sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 50 mL larutan asam sulfosalisilat 5%, kemudian dikocok sampai homogen. Sampel didiamkan sampai terjadi endapan maksimal. Campuran yang terbentuk kemudian disaring dan ditera
41
ke dalam labu 50 mL. Tahap berikutnya ialah pembuatan pereaksi OPA yaitu dengan cara melarutkan OPA sebanyak 50 mg dalam 4 mL metanol dan menambahkan merkaptoetanol kemudian campuran dikocok secara perlahan, lalu ditambahkan larutan Brij-30 30% dan buffer borat. Larutan dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap pada suhu 4 oC dan akan stabil selama 2 minggu. Pereaksi derivatisasi dibuat dengan cara mencampurkan satu bagian larutan stok dengan dua bagian larutan buffer kalium borat pH 10,4 dan harus dibuat segar setiap hari. Fase mobil yang digunakan terdiri dari buffer A dan buffer B. Buffer A terdiri dari komposisi campuran Na-asetat (pH 6,5), Na-EDTA, metanol dan tetrahidrofuran yang dilarutkan dalam 1 liter air HP. Buffer ini harus disaring dengan kertas millipore 0,45 µm dan akan stabil selama 5 hari pada suhu kamar bila disimpan dalam botol berwarna gelap yang diisi dengan gas helium atau nitrogen. Buffer B terdiri dari metanol 95% dan air HP. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas millipore 0,45 mikron. Larutan ini akan stabil dalam waktu tak terbatas. Kondisi alat HPLC yang digunakan ialah sebagai berikut: Kolom
: Ultra Techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit Detektor
: fluoresensi
Fase mobil
: Buffer A dan buffer B
Grafik hubungan antara waktu (menit) sebagai absis dengan % buffer B sebagai ordinat dibuat. Tahap analisis asam amino yang dilakukan pertama-tama ialah melarutkan sampel yang telah ditera ke dalam labu 50 mL, lalu disaring dengan kertas millipore. Setelah itu buffer kalium borat pH 10,4 ditambahkan dengan perbandingan 1:1. Sampel sebanyak 10 µL dimasukkan ke dalam vial kosong yang bersih dan ditambahkan 20 µL pereaksi OPA dan dibiarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna. Sampel kemudian diinjeksikan ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µL kemudian ditunggu sampai pemisahan semua asam amino selesai. Waktu yang diperlukan ialah sekitar 25 menit. Konsentrasi asam amino (dinyatakan dalam µmol asam amino (AA) dalam sampel) ditentukan melalui perhitungan: Konsentrasi AA
luas puncak sampel luas puncak standar
Konsentrasi standar
42
Konsentrasi AA
luas puncak sampel luas puncak standar
0.5 µmol⁄mL
5 mL
Sementara persen asam amino di dalam sampel ditentukan melalui perhitungan: AA % 3.4.9
µmol Asam Amino
Massa Relatif Asam Amino µg sampel
100
Metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA®) (modifikasi dari Meilgaard et al. 1999) Sampel ikan asap dianalisis secara sensori menggunakan metode QDA®.
Metode QDA® pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu perekrutan dan pelatihan panelis, pengembangan bahasa atribut deskripsi, uji konsistensi panelis dan tahap pengujian QDA®. 1) Perekrutan dan pelatihan panelis Kemampuan dalam menentukan intensitas dan karakteristik perbedaan sifat sensoris sampel yang diuji harus diperhatikan dalam tahap ini. Pengisian kuesioner prescreening, uji segitiga aroma dan rasa dasar, uji deskripsi flavor dan uji ranking terhadap ikan asap yang dilakukan pada tahap ini oleh 10 panelis terlatih yang berada di lingkungan Laboratorium Flavor Sukamandi. Uji segitiga dilakukan untuk mengumpulkan data-data dasar panelis yang mengikuti uji dan mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan aroma dan rasa dasar. Adapun panelis yang melakukan uji tercantum pada Lampiran 19. Pengujian ini dilakukan dalam 4 sesi. Panelis diminta mengisi lembar kuesioner uji segitiga yang ada pada layar komputer (Lampiran 20). Uji deskripsi flavor menggunakan empat standar aroma yaitu amis, asap, terbakar, lemak (fishy, smoky, burnt, fatty) dan uji ranking flavor bagi panelis terlatih juga dilakukan pada tahap ini. Pengujian ini dilakukan sebanyak 4 sesi. Uji deteksi dapat menghasilkan sekelompok panelis yang dapat mendeteksi terjadinya perubahan kecil pada produk, namun belum cukup dalam memilih panelis untuk melakukan analisis deskriptif. Panelis juga harus mampu untuk membedakan dan menggambarkan dengan cukup baik beberapa atribut kunci sensoris dari sampel-sampel produk yang diuji dan juga harus dapat menunjukkan kemampuan untuk menggambarkan perbedaan intensitas dari atribut sensoris yang terdeteksi. Konsentrasi larutan standar yang digunakan pada uji segitiga rasa dan
43
aroma tercantum pada Tabel 7 dan 8. Konsentrasi larutan standar yang digunakan pada uji ranking tercantum pada Tabel 9 dan lembar kuesioner uji dapat dilihat pada Lampiran 20. Tabel 7 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga rasa Deskripsi rasa
Senyawa uji*
Manis
Larutan sukrosa
Asam
Larutan asam sitrat
Asin
Larutan NaCl
Pahit
Larutan kafein
Garam
Konsentrasi (%) 10,000 20,000 0,250 0,500 1,000 2,000 0,300 0,600 0,015 0,030
Larutan Monosodium glutamat
Keterangan: *senyawa dilarutkan dalam air mineral
Tabel 8 Konsentrasi larutan standar untuk uji segitiga aroma Deskripsi aroma
Senyawa uji*
Smoky
Guaiacol
Fishy
Burnt
Minyak ikan Squalene merk FishQua Minyak ikan merk Tunghai Furfuril mercaptan
Fatty
Butter 09002
Konsentrasi (%) 1,0 0,5
1 kapsul 1 kapsul 1,0 0,5 1,0 2,0
Keterangan: *senyawa dilarutkan dalam larutan propilen glikol (PG)
2) Pengembangan bahasa atribut deskripsi Jumlah waktu yang diperlukan untuk mengenalkan karakteristik produk pada panelis dalam tahap pengujian deskriptif tergantung dari tingkat kesulitan produk, jumlah atribut yang akan diuji, kebutuhan akan validitas dan keterandalan hasil. Pelatihan panel QDA® membutuhkan pemahaman terhadap kegunaan produk dan referensi bahan baku untuk merangsang munculnya istilah-istilah yang konsisten.
44
Tabel 9 Konsentrasi larutan standar untuk uji ranking Deskripsi aroma
Senyawa uji*
Smoky
Guaiacol
Fishy
Burnt
Minyak ikan Squalene merk FishQua Minyak ikan merk Tunghai Furfuril mercaptan
Fatty
Butter 09002†
Konsentrasi (%) 1,0 0,5 2,0
1 kapsul 2 kapsul 1,0 0,5 2,0 1,0 2,0 0,5
Keterangan: * senyawa dilarutkan dalam larutan propilen glikol (PG) † diperoleh dari Flavor Inn Corporation, Malaysia
Variabel kunci produk (atribut flavor penting) pada tahap pengembangan istilah harus teridentifikasi dengan baik untuk disajikan pada panelis selama pengujian. Tahap awal ini dirancang untuk mempersiapkan panelis dengan latar belakang yang kuat sebagai dasar untuk melakukan uji dan memulai penilaian terhadap karakteristik yang berbeda dari berbagai jenis produk yang berbeda. Tahap ini dimulai dengan pengenalan produk yang akan diuji dan melakukan diskusi secara kelompokyang dipimpin oleh panel leader yang meliputi pengembangan bahasa deskripsi produk dibandingkan dengan standar yang telah dikenal sebelumnya. Hal ini ditujukan untuk mengenali atribut-atribut kunci dari produk dan menambah atau mengurangi standar atribut yang sekiranya diperlukan untuk tahapan berikutnya berdasarkan pengamatan panelis dan hasil diskusi terhadap produk yang diuji. Hasil diskusi yang dilakukan sepakat untuk menambahkan standar aroma woody dan sweet. 3) Uji konsistensi panelis Tahap ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi standar dan melatih kemampuan panelis dalam menetapkan skala standar aroma dan rasa yang digunakan (Tabel 10). Penggunaan skala intensitas referensi selama pelatihan dimaksudkan untuk memberikan kekuatan pengertian dari atribut maupun intensitas produk. Uji ini dilakukan dalam 6 sesi. Adapun konsentrasi yang
45
digunakan pada pengujian konsistensi tercantum pada Tabel 11 dan Tabel 12. Pada tahap ini telah digunakan lembar penilaian berskala yang sama dengan pengujian QDA® yaitu dengan skala garis sepanjang 15 cm yang tercantum pada Lampiran 20. Tabel 10 Senyawa standar aroma yang digunakan Senyawa standar Guaiacol Furfuril mercaptan Butter 09002 Octen-1-ol-3 Hexyl acetate Minyak hati ikan cucut (Squalene)
Deskripsi Phenolic smoke, vanilla, woody Sulfurous, roasted coffe, burnt, smoky Fatty, buttery Earthy, green, vegetative, fungal Green, fruity, sweet Fishy
Sumber: Jonsdottir et al. (2007) dan www.thegoodscentcompany.com
Tabel 11 Flavor standar yang digunakan pada uji konsistensi aroma Aroma
Flavor standar*
Konsentrasi
Fishy
Minyak squalene
99,33%/5 mL 49,67%/5 mL 24,83%/5 mL
Smoky
Guaiacol
Burnt
Furfuril mercaptan
Fatty
Butter 09002
Woody
Octen-1-ol-3
Sweet
Hexyl acetate
0,0140 mL/5 mL 0,0355 mL/5 mL 0,0570 mL/5 mL 0,0080 mL/5 mL 0,0045 mL/5 mL 0,0010 mL/5 mL 0,0430 mL/5 mL 0,0525 mL/5 mL 0,0620 mL/5 mL 0,0020 mL/5 mL 0,0060 mL/5 mL 0,0100 mL/5 mL 0,0020 mL/5 mL 0,0110 mL/5 mL 0,0200 mL/5 mL
Keterangan: *dilarutkan dalam Propilen Glikol
46
Tabel 12 Larutan standar yang digunakan pada uji konsistensi rasa Rasa
Senyawa standar*
Asam
Asam sitrat
Asin
NaCl
Gurih
MSG
Manis
Sukrosa
Pahit
Kafein
Konsentrasi (%) 0,0250 0,0405 0,0560 0,2050 0,5355 0,8660 0,0240 0,0570 0,0900 0,600 1,200 1,800 0,020 0,027 0,034
Keterangan *dilarutkan dalam air mineral
Penentuan konsentrasi standar bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi standar yang kemudian akan digunakan sebagai standar pada tahap pengujian akhir. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dimasukkan dalam persamaan Moskowitz (Setyaningsih et al. 2010), yaitu: Log SI = Log K + n (Log PI) Keterangan: SI (Sensory Intensity) = PI (Physical Intensity) = Log K = n =
Perkiraan intensitas yang terdeteksi Konsentrasi flavor Konstanta Kemiringan garis
Hasil perhitungan persamaan garis yang digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi standar rasa dan aroma disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Hubungan antara SI dan PI pada Tabel 13 dan Tabel 14 dapat diamati dalam bentuk grafik pada Lampiran 21.
47
Tabel 13 Persamaan penentuan konsentrasi standar aroma Atribut Aroma
SI
PI*
Fishy Minyak squalene
33,82 50 61,71
24,8 49,7 99,3
Log SI = 0,949 + 0,426 Log PI
Sweet Hexyl acetate
32 50 64,79 30,27 50 62,93
2 11 20 2 6 10
Log SI = 1,417 + 0,290 Log PI
Burnt Furfuril mercaptan
36,42 50 66,62
1 4,5 8
Log SI = 1,551 + 0,274 Log PI
Smoky Guaiacol
31,49 50 62,13
14 35,5 57
Log SI = 0,951 + 0,478 Log PI
Fatty Butter 09002
33,11 50 62,96
43 52,5 62
Log SI = -1,345 + 1,761 Log PI
Woody Octen-1-ol-3
Persamaan
Log SI = 1,342 + 0,457 Log PI
Keterangan: *untuk kemudahan penulisan kolom konsentrasi PI dikalikan 103
Tabel 14 Persamaan penentuan konsentrasi standar rasa Atribut Rasa Manis Sukrosa Asam Asam sitrat Asin NaCl Pahit Kafein Gurih MSG
SI 26,75 50 63,89 30,49 50 70,13 23,20 50 74,73 30,91 50 61,93 25,46 50 71,13
PI 0,6 1,2 1,8 0,025 0,0405 0,056 0,205 0,536 0,866 0,02 0,027 0,034 0,024 0,057 0,09
Persamaan Log SI = 1,602 + 0,928 Log PI
Log SI = 3,169 + 1,056 Log PI
Log SI = 1,916 + 0,792 Log PI
Log SI = 3,744 + 1,319 Log PI
Log SI = 2,657 + 0,770 Log PI
4) Tahap pengujian QDA® Tahap ini dilakukan dalam 4 sesi oleh 10 orang panelis terlatih. Sampel ikan asap disajikan pada panelis beserta standar-standar aroma dan rasa yang digunakan. Panelis kemudian mengisi lembar penilaian skala garis 15 cm yang
48
telah diberi intensitas standar tertentu (untuk aroma 30, 50, 70 dan untuk rasa 25, 50 dan 75) (Lampiran 22). Panelis mengevaluasi atribut-atribut aroma dan rasa yang terdapat pada sampel berdasarkan intensitas standar-standar tersebut (Tabel 15). Penilaian dilakukan panelis QDA® dalam kamar-kamar terpisah untuk mengurangi gangguan dan interaksi dengan panelis lain (Lampiran 29). Panelis memasukkan data ke dalam lembar penilaian yang tertera pada layar komputer setelah selesai menilai lalu dikumpulkan secara individu dari masing-masing panelis. Hasil dari uji QDA dianalisis secara statistika dan pada umumnya hasil laporannya berupa grafik data dalam bentuk spider web. 3.4.10 Analisis flavor menggunakan GC/MS (modifikasi dari Guillen & Errecalde 2002) Analisis GC memiliki keunggulan karena adanya perkembangan pesat pada kolom yang lebih stabil dan dapat dipasangkan dengan spektrometer massa. Analisis GC sejauh ini merupakan teknik yang paling berperan terhadap perkembangan analisis-analisis flavor selama 30 tahun belakangan ini. Kombinasi dari kekuatan pemisahan yang dimiliki oleh GC dengan selektivitas yang dimiliki oleh MS telah menjadi peralatan utama untuk menganalisis komponen-komponen minyak esensial, produk alami dan juga seluruh komponen flavor volatil. Sampel dalam keadaan beku diambil, lalu dipotong-potong menggunakan pisau dan dihancurkan menggunakan mortar. Sebanyak 1,5 gram sampel yang telah halus dimasukkan ke dalam vial khusus untuk SPME ukuran 22 mL. Fiber yang
digunakan
untuk
metode
Solid
Phase
Microextraction
ialah
Carboxen/Polydimethylsiloxane dengan ketebalan film 75 µm, Fused Silica, Black. Fiber ini harus melalui tahap pengkondisian terlebih dahulu yaitu pemanasan pada suhu 300 oC selama 1 jam sebelum digunakan untuk menyerap flavor dari headspace sampellalu setelah itu fiber disuntikkan ke dalam vial, diantara sampel dan tepi tutup vial (headspace). Vial dipanaskan dalam waterbath pada suhu 70 oC selama 40 menit untuk menguapkan senyawa-senyawa volatil dalam sampel. Fiber dimasukkan pada injector sampel alat kromatografi gas merk Agilent Technologies 7890A GC System dan MS merk Agilent Technologies 5975C Inert XL EI CI/MSD setelah
49
fiber tersebut menyerap senyawa-senyawa volatil dalam headspace. Pengaturan kondisi alat GC/MS dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 15 Atribut, definisi, referensi standar dan intensitas pengujian Istilah Burnt
Definisi† Aroma hangus terbakar
Smoky
Aroma dari asap kayu dari perapian
Fatty
Aroma makanan berlemak
Fishy
Sweet
Woody
Aroma yang berhubungan dengan ikan yang sudah disimpan/tidak segar Aroma manis pada makanan masak
Aroma dari kayu segar dan basah, atau jamur
Referensi standar Larutan furfuril mercaptan 0,540 ml/5ml PG Larutan furfuril mercaptan 3,470 ml/5ml PG Larutan furfuril mercaptan 11,84 ml/5ml PG Larutan guaiacol 12,61 ml/5 ml PG Larutan guaiacol 36,71 ml/5 ml PG Larutan guaiacol 74,22 ml/5 ml PG Larutan Butter 09002 40,05 ml/5 ml PG Larutan Butter 09002 53,52 ml/5 ml PG Larutan Butter 09002 64,79 ml/5 ml PG Minyak squalene 17,370 %/5 ml PG Minyak squalene 57,610%l/5 ml PG Minyak squalene 126,92 %/5 ml PG Larutan hexyl acetate 1,610 ml/5 ml PG Larutan hexyl acetate 9,380 ml/5 ml PG Larutan hexyl acetate 29,94 ml/5 ml PG Larutan octen-1-3-ol 1,980 ml/5 ml PG Larutan octen-1-3-ol 6,040 ml/5 ml PG Larutan octen-1-3-ol 12,61 ml/5 ml PG
Intensitas 30 50 70 30 50 70 30 50 70 30 50 70
30 50 70 30 50
70 Rasa pada lidah yang Larutan sukrosa 0,60% 25 berhubungan dengan Larutan sukrosa 1,27% 50 gula Larutan sukrosa 1,97% 75 Asam Sensasi rasa yang Larutan asam sitrat 0,021% 25 umumnya karena Larutan asam sitrat 0,041% 50 keberadaan asam-asam Larutan asam sitrat 0,059% 75 organik Asin Rasa di llidah yang Larutan NaCl 0,222% 25 berhubungan dengan Larutan NaCl 0,532% 50 garam atau Natrium Larutan NaCl 0,888% 75 Pahit Rasa pahit biasanya Larutan kafein 0,017% 25 karena kafein dan Larutan kafein 0,028% 50 quinin Larutan kafein 0,038% 75 Gurih Rasa yang dihasilkan Larutan MSG 0,023% 25 dari senyawa seperti Larutan MSG 0,057% 50 MSG dalam larutan Larutan MSG 0,096% 75 Keterangan: † diperoleh dari Codex Allimentarius (1999), Morita et al. (2003); Kostyra dan Pikielna (2006); Varlet et al. (2007). Manis
50
Tabel 16 Kondisi GC/MS untuk analisis senyawa volatil ikan asap No
Kondisi
1.
GC Merk alat Kolom Injektor Suhu inlet injektor Suhu interface Volume injeksi Gas pembawa Flow gas Tipe injeksi Program suhu: Suhu awal Peningkatan suhu Suhu akhir Waktu running alat
2.
MS Merk alat Suhu Detektor volts Kisaran massa
Keterangan Agilent Technologies 7890A DB-5 (60 m x 0,25 mm x 0,25 µm) SPME injector 220 oC 280 oC 75 µm Helium 0,7 mL/menit Splitless 45 oC (hold 0.5 menit) 4 oC/menit 250 oC(hold 5 menit) 53,75 menit Agilent Technologies 5975C Inert XL EI CI/MSD with triple axis detector 280 oC 1906 40-400
Alat GC dioperasikan selama 53,75 menit lalu setelah selesai akan muncul hasil berupa kromatogram, senyawa-senyawa yang terdeteksi di dalam sampel dan kemungkinan senyawa-senyawa lainnya. Spektra massa senyawa yang terdeteksi kemudian dibandingkan dengan pola spektra massa yang terdapat dalam pusat data atau library NIST versi 0.5a (National Institute of Standard and Technology) pada komputer. 3.4.11 Analisis Polycyclic Aromatic Hydrocarbon Metode 8270C (USEPA 1996) Metode ini digunakan untuk menentukan konsentrasi komponen organik semivolatil pada ekstrak yang dipreparasi dari berbagai jenis matriks sampel padatan, udara dan air menggunakan GC/MS. Metode ini dapat digunakan untuk membuat kuantifikasi senyawa organik basa, asam dan netral yang larut dalam metilen klorida dan dapat dielusi tanpa derivatisasi termasuk kuantifikasi komponen PAH. Perkiraan batas kuantifikasi (estimated quantitation linmit) metode 8270 untuk menentukan senyawa individu ialah sekitar 660 µg/kg (berat basah). Prosedur pengujiannya pertama-tama ialah tahap preparasi sampel yaitu
51
sampel dicampur dengan Na2SO4 anhidrat, diletakkan dalam jidal ekstraksi (thimble) lalu diekstraksi menggunakan pelarut (sesuai dengan sampel analisis) pada ekstraktor Soxhlet selama kurang lebih 16-24 jam. Tahap berikutnya ialah melakukan pengaturan kondisi GC/MS seperti tercantum pada Tabel 17. Tabel 17 Kondisi GC/MS untuk analisis PAH Kondisi Kisaran massa MS Waktu scan MS Suhu awal Suhu program Suhu akhir Suhu injektor Suhu transfer line Suhu sumber Injector Volume injeksi Gas pembawa Spesifikasi kolom
Keterangan 35-500 amu 1 detik/scan 40 oC, hold 4 menit 40-270 oC (10 oC/menit) 270 oC 250-300 oC 250-300 oC Sesuai dengan spesifikasi pabrik Splitless 1-2 µL Hidrogen (50 cm/detik) atau helium (30 cm/detik) 30 m × 0,25 mm ID, tebal 1 µm (DB-5 atau ekivalen dengan DB-5)
Sistem GC/MS harus melalui tahap pengaturan terlebih dahulu menggunakan injeksi decafluorotriphenylphosphine (DFTPP) sebanyak 50 ng dan menyesuaikan spektra massanya dengan standar kriteria. Sampel dibiarkan pada suhu kamar sebelum dianalisis dan ditambahkan larutan standar internal pada 1 mL sampel direkomendasikan
yang telah dipreparasi. Larutan standar internal yang ialah
1,4-diklorobenzene,
naftalen,
acenaphthene,
pphenanthrene, chrysene dan perylene. Ekstrak sampel sebanyak 1-2 µL kemudian diinjek pada GC/MS. Kolom GC akan memisahkan senyawa berdasarkan suhu yang diprogram lalu dideteksi menggunakan MS yang terhubung dengan GC. Komputer harus memiliki perangkat lunak yang dapat mencari data GC/MS mengenai ion dari massa yang spesifik yang dapat memplotkan kelimpahan ion dengan waktu atau jumlah scan atau disebut Extracted Ion Current Profile (EICP). Identifikasi dari senyawa target diperoleh dengan cara membandingkan spektra massanya dengan spektra elektron dari standar. Kuantitasi dilakukan setelah senyawa teridentifikasi dan berdasarkan pada kelimpahan terpadu dari ion karakteristik dari EICP. Konsentrasi yang
52
dilaporkan harus mengindikasikan bahwa nilai tersebut ialah perkiraan. Konsentrasi dalam ekstrak ditentukan dengan rumus-rumus sebagai berikut: RF
A6 C76 A76 C6
Keterangan: RF = response factor As = peak area sampel yang dianalisis Ais = peak area standar internal Cs = konsentrasi senyawa yang dianalisis (µg/L) Cis = konsentrasi standar internal (µg/L) 8888 RF
∑:7;< RF7 n
x6
A6 8888 RF
Keterangan: n = jumlah standar kalibrasi 8888 = rata-rata RF RF C76 A76
Keterangan: xs = massa senyawa yang dianalisis (ng) As = peak area senyawa yang dianalisis Ais = peak area standar internal Cis = massa standar internal (ng) 8RF 888 = rata-rata RF Konsentrasi
x6 V? D VA W6
Keterangan: xs = massa senyawa yang dianalisis (ng) Vt = volume total ekstrak (µL) D = faktor pengenceran (D = 1 jika tidak diencerkan) Vl = volume ekstrak yang diinjeksi (µL) Ws = berat sampel yang diekstraksi (g) 3.5
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil analisis proksimat, kandungan garam dan
fenol dianalisis secara statistik menggunakan rancangan acak lengkap dengan
53
empat perlakuan dan dua ulangan. Model rancangan percobaan menurut Gasperz (1991) adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Dimana: Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j (j = 1,2) µ = nilai tengah populasi τi = pengaruh aditif dari perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4) εij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j Uji lanjutan dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) atau Least Significant Difference (LSD) dilakukan jika analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Apabila setiap perlakuan mempunyai ulangan yang sama yaitu r, maka menurut Gasperz (1991) formula untuk perhitungan nilai LSD pada taraf nyata α adalah: LSD
t α⁄D 2sD ⁄r
Dimana: tα/2 = nilai t dari tabel t pada taraf nyata α s2 = nilai kuadrat tengah galat r = nilai jumlah ulangan Selisih (beda) nilai tengah perlakuan dibandingkan dengan nilai LSD untuk menilai apakah dua nilai tengah perlakuan berbeda secara statistika. Jika beda dua nilai tengah perlakuan lebih besar daripada nilai LSD, maka dikatakan berbeda secara nyata pada taraf α dan jika lebih kecil daripada nilai LSD maka perlakuan tersebut tidak berbeda nyata (Gasperz 1991). Data yang diperoleh dari hasil analisis flavor GC/MS dan ulangannya diambil nilai rata-ratanya. Selanjutnya data hasil analisis flavor, asam amino bebas dan data PAH dari keempat jenis sampel diuji secara deskriptif. Data yang diperoleh dari pengujian organoleptik metode QDA® dianalisis secara statistik dengan menghitung nilai rata-rata. Nilai-nilai ini kemudian akan diplotkan ke dalam grafik jaring laba-laba (spider web) (Microsoft Office EXCEL 2007). Selanjutnya dilakukan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) menggunakan software The Unscrambler® 9.6 (Camo Software AS) untuk melihat hubungan-hubungan komponen utama berdasarkan atribut-atribut hasil penilaian
54
dari para panelis. Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata berdasarkan Steel dan Torrie (1983), ialah:
F Y
∑:7G< Y7 n
Dimana: F = nilai rata-rata Y Y7 = nilai sampel pengamatan ke-i sampai n n = jumlah sampel
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pengasapan Ikan di Beberapa Daerah Inventarisasi proses pengasapan dilakukan di empat unit Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) pengolah ikan asap yaitu Kelompok Langsa 2 (Bitung), Kelompok Sukoharjo (Rembang), CV. DA Pabata (Padang) dan CV. Omereso (Kendari). Penentuan lokasi UKM tersebut dilakukan berdasarkan rekomendasi Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Hasil inventarisasi disusun berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung terhadap proses pengasapan yang dilakukan. Tabel 18 menyajikan hasil inventarisasi proses dari keempat sampel ikan asap dari masing-masing daerah. 4.1.1
Ikan fufu Prosedur pengolahan ikan fufu ialah sebagai berikut, pertama-tama ikan
cakalang dibersihkan menggunakan air bersih dan dikeluarkan isi perutnya setelah itu ikan dibelah menjadi dua bagian dengan cara dipotong secara membujur dan dipisahkan duri dan tulangnya. Preparasi ikan sebelum pengasapan yang dilakukan ialah potongan ikan dijepit pada bagian kepala dan ekor menggunakan batang bambu dan pada beberapa bagian dagingnya ditusuk menggunakan batang bambu kecil yang tegak lurus terhadap batang bambu utama. Kerangka bambu ini menyebabkan daging ikan melengkung ke arah tengah (bambu utama) dan memudahkan penyusunannya dalam ruang pengasapan. Ujung ikan dan rangkarangka diikat menggunakan daun lontar pada rangka bambu utama dengan tujuan agar ikan dan rangka akan menempel kuat dan tidak mudah lepas. Pewarna makanan dioleskan pada daging ikan setelah preparasi selesai lalu ikan disusun dalam ruang pengasapan. Pengasapan dilakukan selama 4 jam tanpa pengukuran suhu. Gambar ruang pengasapan ikan fufu dapat dilihat pada Lampiran 25 serta proses pengolahan ikan fufu dalam bentuk diagram alir disajikan pada Gambar 4.
56
Tabel 18 Hasil inventarisasi proses pengasapan empat jenis ikan asap Parameter
Ikan fufu
Ikan salai
Ikan kayu
Ikan pe
a. Bahan baku b. Bahan bakar
Cakalang Sabut kelapa
Cakalang Mahoni, Eha, limbah jati
c. Alat pengasapan: Ukuran (m3) Bahan
Ruang pengasapan 6×4×4 Seng, kayu, rak bambu ± 40 cm
Lele dumbo Meranti, serbuk gergaji dan sabut kelapa Oven asap
Pari Sabut dan tempurung kelapa, limbah jati Tungku asap 0,8×0,6×0,1 Kayu, kasa besi, seng. ± 5-10 cm
Jarak sumber asap Kelengkapan lain
1×0,9×1 Besi, 5 tray stainless steel ± 85 cm
Ruang pengasapan 4×2×4 Semen, rangka kayu, rak kayu Lt. 1 ± 55 cm Lt. 2 ± 200 cm Termometer, pengatur udara
-
Termometer, pengatur udara
-
d. Perebusan sebelum pengasapan e. Pengeringan sebelum pengasapan
-
-
90 oC selama 2 jam
-
-
Pada oven terpisah, 90 oC selama 15 menit
-
f. Suhu pengasapan
± 80 oC
Pada tray I, II, III, suhu 60-80 oC, waktu keseluruhan 3 jam 45 menit 60-80 oC
± 80 oC
g. Waktu pengasapan h. Pengeringan setelah pengasapan
4 jam
10 menit
12 jam pertama 90 oC lalu diturunkan menjadi 40 oC 7-30 hari
30 menit
-
-
-
i. Penanganan lainnya
Pengolesan warna sebelum diasapi
Pada tray IV dan V, suhu 60 oC, waktu keseluruhan 19 jam Penutupan dengan karung goni selama pengeringan pada tray V
Penganginan ikan setelah ikan diasapi 3-7 hari
-
57
Preparasi bahan baku
Pemotongan
Pemisahan duri dan tulang
Preparasi ikan sebelum pengasapan
Pengolesan warna
Penyusunan ikan dalam ruang pengasapan Penyusunan sabut kelapa dalam ruang pengasapan Pengasapan Waktu 4 jam, suhu ±80 OC
Ikan Cakalang Fufu
Gambar 4 Diagram alir proses pengasapan ikan fufu. Pengasapan yang dilakukan sesuai dengan teori pengasapan dari Berkel (2004), yaitu pengasapan dimulai dengan api yang membara menggunakan kayu yang lembab sehingga akan dihasilkan asap yang banyak. Asap ini akan membentuk lapisan permukaan produk yang lembab dan menyebabkan partikel asap akan terserap lebih cepat. Suhu dinaikkan secara perlahan dengan membiarkan udara masuk untuk menghindari terbentuknya case hardening. Produk pengasapan panas akan matang dalam waktu yang singkat (2-4 jam, pada suhu 85oC). Kelembaban asap dan udara panas merupakan titik kritis untuk proses
58
inaktifasi bakteri dan dapat menyebabkan perubahan protein jaringan ikat (Doe 1998). Pembuatan ikan fufu dilakukan dalam suatu ruang pengasapan khusus walaupun sangat sederhana. Proses pengasapan akan menghasilkan produk yang baik jika dilakukan pada lingkungan yang kering oleh karena itu proses pengasapan sebaiknya dilakukan di dalam sebuah ruang pengasapan dibandingkan pada udara terbuka (Berkel 2004). Prosedur pengasapan yang berbeda telah dikembangkan di beberapa daerah dan hasilnya akan dipengaruhi oleh sifat-sifat ikan yang digunakan, kondisi cuaca pada saat pengasapan dan tingkat teknologi secara umum. Istilah pengasapan panas memang tidak memberikan informasi yang terinci mengenai waktu dan kisaran suhu yang digunakan, umumnya suhu yang digunakan berkisar antara 50-80 oC (Doe 1998). 4.1.2
Ikan salai Prosedur pengolahan ikan salai yang dilakukan ialah sebagai berikut,
pertama-tama ikan dipindahkan dari kolam budidaya (umur ikan kira-kira 2 bulan 10 hari sampai 3 bulan) ke kolam air penampungan selama 8-24 jam tanpa diberi makan. Setelah itu ikan dibersihkan, dibelah menjadi dua bagian (ada juga yang difilet bentuk butterfly) lalu dikeluarkan isi perutnya. Ikan kemudian dicampur dengan ekstrak cair bumbu rempah-rempah. Ikan disusun pada tray pertama dengan posisi horisontal setelah kayu dibakar. Ikan dikeringkan pada tray pertama dengan suhu sekitar 60 oC lalu ditingkatkan hingga 80 oC dengan waktu keseluruhan selama 15-30 menit. Pembalikan posisi ikan dilakukan setiap 10-15 menit sekali. Ikan dipindahkan ke tray kedua yang terletak di atas tray pertama untuk dikeringkan dengan suhu antara 60-80 oC dan waktu 15 menit, setelah itu ikan dari tray kedua dipindahkan ke tray ketiga untuk dikeringkan hingga setengah matang dengan suhu 60 oC dan waktu 3 jam. Intensitas asap pada tiga tahap pengeringan tersebut ialah rendah. Proses pengasapan dengan intensitas asap tinggi dilakukan pada tray ketiga pada suhu 60-80 oC dan waktu 10 menit. Ikan dipindahkan ke tray keempat setelah selesai diasapi. Ikan disusun dengan posisi vertikal (tegak) pada tray ini lalu dikeringkan kembali dengan suhu 60 oC dan waktu 3 jam. Ikan dipindahkan ke tray kelima setelah pengeringan selesai dan
59
disusun dengan posisi tegak untuk dikeringkan dengan suhu 60 oC dan waktu 15-16 jam. Ikan sudah tidak boleh terkena asap pada tahap ini dan sekeliling tray ditutup dengan karung goni. Kayu yang digunakan pada proses pengasapan berasal dari berbagai jenis kayu. Menurut Sullivan (2009) kombinasi kayu yang berbeda dapat dilakukan untuk menciptakan aroma asap yang khas. Sabut kelapa memiliki odor dan flavor yang baik. Pencampuran jenis kayu dapat mengoptimalkan atribut-atribut inderawi dari produk ikan asap yang dihasilkan. Menurut Maga (1987), pada beberapa makanan asap tertentu, akan terbentuk suatu kombinasi kompleks dari beberapa atribut inderawi akibat dari pencampuran beberapa jenis kayu sebagai sumber asap. Pengeringan awal yang dilakukan pada pengasapan ikan salai berfungsi untuk mencegah penutupan lapisan luar ikan sebagai akibat dari pengerasan lapisan luar selama pengasapan. Ikan tidak akan mengering dengan sempurna selama pengasapan jika pengerasan terjadi karena kelembaban yang tertahan di dalam kulit ikan. Ikan yang telah melalui proses pengeringan sebelum pengasapan akan memiliki lapisan permukaan yang mengkilap (Berkel 2004). Terdapat tiga tahap proses pengeringan pendahuluan sebelum proses pengasapan pada pembuatan ikan salai yang menyebabkan permukaannya mengkilap. Lama pengeringan dapat berlangsung mulai dari beberapa menit hingga berjam-jam, tergantung jenis ikan (semakin rendah kandungan lemak ikan pada spesies yang sama maka pengeringan berlangsung lebih cepat), cara preparasinya (semakin rendah kandungan garam maka pengeringan berlangsung lebih cepat) dan tingkat kondisi pengeringan eksternal (suhu udara, kelembaban, kecepatan aliran udara) (Doe 1998). Gambar oven pengasap ikan salai dapat dilihat pada Lampiran 25 serta proses pengolahannya dalam bentuk diagram alir disajikan pada Gambar 5. 4.1.3
Ikan kayu Ikan kayu tanpa fermentasi atau dikenal juga sebagai arabushi oleh
penduduk Jepang, merupakan komoditi ekspor yang penting. Ikan ini merupakan bahan baku untuk pembuatan ikan kayu yang telah difermentasi atau katsuobushi yang biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan khas Jepang. Lampiran 26 menyajikan hanya sketsa denah ruang pengasapan karena pada saat
60
itu pengambilan gambar di ruang pengasap dalam pabrik pengolahan tidak diperbolehkan. Proses pengolahan ikan kayu dalam bentuk diagram alir tercantum pada Gambar 6. Penangkapan ikan Penampungan ikan Preparasi bahan baku Pencampuran bumbu Pembakaran kayu Penyusunan ikan di dalam tray oven
Pengeringan padaTray I (15-30 menit, 60-80 oC)
Pengeringan padaTray II (15 menit, 60-80 oC)
Pengeringan padaTray III (3 jam, 60 oC)
Pengasapan (10 menit, 60-80 oC) Pengeringan pada Tray IV (3 jam, 60 oC) Pengeringan pada Tray V (15-16 jam, 60 oC)
Produk akhir Ikan salai
Gambar 5 Diagram alir proses pengasapan ikan salai.
61
Preparasi bahan baku Perebusan (2 jam, 90 oC)
Pemotongan
Pemisahan duri dan tulang Pencucian
Pemanasan awal (15 menit, 90 oC)
Penyusunan ikan di lantai 1
Pembakaran kayu
Pengasapan I 1 hari, 90 oC selama 12 jam, kemudian bertahap diturunkan hingga min. 40 oC
Penganginan ikan Pengasapan II - selesai suhu min. 40 oC, lama pengasapan tergantung dari ukuran ikan bisa hingga 7, 14, 30 hari
Pengaturan suhu dan asap Ikan kayu
Gambar 6 Diagram alir proses pengasapan ikan kayu. Prosedur pengolahan ikan kayu yang dilakukan ialah sebagai berikut, pertama-tama ikan dibersihkan, disortasi berdasarkan ukuran dan kesegarannya dan dikeluarkan isi perutnya. Ikan berukuran besar difilet terlebih dahulu sedangkan ikan berukuran lebih kecil tidak difilet setelah itu ikan direbus dengan suhu air 90 oC selama 2 jam. Ikan berukuran kecil (<1 kg) dipotong melintang bagian tengahnya menjadi dua bagian sedangkan ikan yang lebih besar dipotong
62
menjadi empat bagian dan dipisahkan duri dan tulangnya lalu dibersihkan setelah proses perebusan selesai. Pemanasan awal dilakukan dengan suhu 90 oC selama 15 menit dengan cara memasukkan ikan ke dalam oven Tapiyama dengan tujuan agar bahan baku tidak mudah rusak selama waktu menunggu untuk dimasukkan ke dalam ruang pengasapan. Setelah selesai dipanaskan, ikan disusun di lantai 1 ruang pengasapan dalam suatu rak bertingkat. Ikan diasapi selama 1 hari di lantai 1 pada suhu 90 oC selama 12 jam. Suhu ini merupakan suhu maksimal pengasapan, selanjutnya suhu diturunkan secara bertahap hingga 40 oC. Ikan diasapi di lantai 2 dengan suhu pengasapan minimal 40 oC hingga menjadi produk akhir setelah pengasapan tahap pertama selesai. Waktu pengasapan tergantung dari ukuran ikan yang diasapi, biasanya berkisar mulai dari 7, 14 hingga 30 hari. Ikan dibiarkan terkena udara (diangin-anginkan) selama 3-7 hari (tergantung ukuran ikan) setelah diasapi selama 7 hari dengan tujuan agar struktur daging menjadi lebih kompak dan tidak mudah retak. Ikan kembali diasapi hingga kering menjadi ikan kayu setelah dibiarkan pada suhu ruang. Pintu ruang asap akan dibuka jika asap di dalam terlalu tebal atau suhu ruang asap melebihi 90 oC selama pengasapan berlangsung. Permukaan ikan kayu disikat menggunakan sikat kawat yang lembut dengan tujuan untuk memisahkan jelaga asap dari permukaan kulitnya. Menurut Whittle dan Howgate (2000), bahan baku ikan yang berasal dari perairan beriklim sedang membutuhkan suhu pengasapan dingin di atas 30 oC agar pengasapan bisa mematangkan ikan terutama jika terdapat kandungan garam. Pengasapan dingin dengan waktu yang lebih lama hingga ikan menjadi keras disebabkan oleh pengeringan yang dikenal dengan hard smoking atau hard cure. Beberapa
tahapan
dalam
pengolahan,
terutama
perebusan,
pengasapan,
pengeringan dan fermentasi dapat berpengaruh pada produk akhir selain tingkat kesegaran dan kadar lemak ikan yang digunakan (BBRP2B 1984). Mutu ikan kayu tergantung pada kandungan lemak daging ikan segar yang digunakan. Daging ikan yang berkadar lemak tinggi (4-5%) menghasilkan ikan kayu yang berminyak, berwarna coklat kehitaman, tekstur lunak, rasa agak pahit dan flavor kurang baik, sebaliknya bila diolah dari daging ikan yang kadar lemaknya rendah (0,5%) akan dihasilkan produk yang berwarna merah coklat,
63
tidak berasa dan flavor kurang. Daging ikan yang digunakan pada umumnya berkadar lemak antara 1-2% (BBRP2B 1984; Giyatmi 1998). Waktu yang diperlukan untuk pengasapan dingin seperti pada pengasapan ikan kayu biasanya lebih lama (dapat berlangsung berhari-hari) dibandingkan dengan pengasapan panas (Rozum 2009). Sirkulasi udara dan kelembaban akan mempengaruhi waktu pengasapan (Snyder 1996). Proses penganginan ikan selama beberapa waktu dilakukan dalam pengolahan ikan kayu. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Giyatmi et al.(2000) pada pengasapan katsuobushi yang kemudian dibiarkan dalam udara terbuka selama 1 hari dengan tujuan agar kadar air filet seragam. 4.1.4
Ikan pe Ikan pe yang dimaksud disini ialah ikan pari yang diasapi dengan metode
pengasapan panas. Pada saat ini tidak hanya ikan pari saja yang biasanya dibuat ikan pe, tetapi ikan-ikan konsumsi jenis lain juga dapat digunakan sebagai bahan baku. Ikan pe biasanya merupakan produk setengah jadi yang akan diolah menjadi jenis makanan konsumsi lainnya. Tungku pengasapan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 25, sementara tahap-tahap proses pengolahan ikan pe dalam bentuk diagram alir disajikan pada Gambar 7. Prosedur pengolahan ikan pe ialah sebagai berikut, pertama-tama ikan pari dibersihkan menggunakan air bersih dan dikeluarkan isi perutnya. Ikan dipotongpotong menjadi beberapa bagian setelah dibersihkan (biasanya 6 potong/kg ikan) untuk memudahkan penyusunan di atas tungku pengasap lalu ditiriskan di atas para-para selama kurang lebih satu jam. Ikan disusun pada kasa-kasa besi di atas tungku pengasapan yang sudah menyala lalu diasapi selama 30 menit dengan beberapa kali pembalikan tanpa pengukuran suhu. Kisaran suhu pengasapan panas secara teoritis antara 50-80 oC (Doe 1998). Persiapan bahan mentah bagi pengasapan tergantung pada spesies dan ukuran ikan. Ikan kecil biasanya diasapi secara utuh dan tidak disiangi karena hal ini dapat menghemat kerja dan mencegah dehidrasi yang berlebihan dari produk yang diasapi secara panas. Ikan yang lebih besar atau ikan yang memiliki isi perut dengan bau yang menyimpang perlu dikeluarkan isi perutnya. Ikan besar biasanya
64
dibelah, difilet atau dipotong-potong sebelum pengasapan, tetapi ikan yang lebih kecil juga dapat diasapi dalam bentuk fillet (Doe 1998). Preparasi bahan baku
Pemotongan
Penirisan di atas para-para
Preparasi bahan bakar
Penyusunan ikan pada tungku
Pengasapan Waktu 30 menit, suhu ± 80 oC
Ikan Pe
Gambar 7 Diagram alir proses pengasapan ikan pe. Ikan pe masih memiliki kandungan air yang tinggi karena biasanya ikan pe diolah kembali menjadi jenis masakan lain. Pengaruh pengasapan dalam hubungannya dengan kualitas dan umur simpan produk tergantung pada persiapan bahan mentah, jenis pengasapan, kelembaban, laju, suhu, densitas dan komposisi asap serta waktu pengasapan (Doe 1998). Kualitas yang lebih baik dapat diperoleh ketika produk diberi perlakuan asap dari pembakaran lambat atau bara kayu. Jenis dan campuran kayu yang dipilih untuk pengasapan dan bumbu yang digunakan pada umumnya berdasarkan pengalaman dari masing-masing pengolah (Toth & Potthast 1984).
65
4.2
Karakteristik Kimia Sampel-sampel ikan asap dianalisis beberapa karakteristik kimianya.
Analisis tersebut meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat) untuk mengetahui komponen penyusun dasar, kandungan total fenol untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik sebagai salah satu senyawa yang penting dalam pengasapan serta kandungan garam dan asam amino bebas sebagai komponen penyusun flavor nonvolatil yang penting dalam produk ikan asap. Doe (1998) menyatakan bahwa reaktifitas kimia komponen asap tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kandungan nutrisi produk secara keseluruhan terutama untuk ikan yang hanya diasapi dengan intensitas pengasapan ringan. Hasil tabulasi analisis proksimat, total fenol dan garam tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis proksimat, total fenol dan garam empat jenis ikan asap Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar karbohidrat (%) Kadar total fenol (ppm) Kadar garam (%)
Ikan fufu 59,23b 2,21c 0,86c 35,45b 2,26b 34,64c 0,11d
Ikan salai 17,34c 5,55a 5,87a 68,25a 2,99b 42,35b 0,27b
Ikan kayu
Ikan pe
17,24c 3,55b 2,12b 69,12a 7,98a 31,34d 0,23c
76,44a 0,75d 1,01c 20,37c 1,43b 59,34a 0,29a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%
4.2.1
Kadar air Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan pe memiliki kadar air
sebesar 76,44%, ikan fufu 59,23%, ikan salai 17,34% dan ikan kayu 17,24%. Kadar air ikan pe menurut SNI (2009) belum memenuhi persyaratan kadar air yang ditentukan yaitu maksimal sebesar 60%. Hasil Anova (Lampiran 3) menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 3) menunjukkan bahwa ikan fufu dan ikan pe memiliki kadar air yang berbeda nyata sementara ikan salai dan ikan kayu tidak berbeda nyata tetapi kadar air ikan salai dan ikan kayu berbeda nyata dengan ikan fufu dan ikan pe pada taraf 5%. Perbedaan kadar air yang terjadi antara lain dipengaruhi oleh proses pengasapan yang dilakukan terhadap masing-masing jenis ikan. Ikan pe dan fufu memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada ikan salai dan ikan kayu karena
66
kedua ikan asap ini diasapi dengan metode pengasapan panas. Kedua ikan ini diasapi dengan waktu lebih singkat dan suhu lebih tinggi dibandingkan ikan salai dan kayu. Ikan pe diasapi dengan waktu selama 30 menit sedangkan ikan fufu diasapi selama 4 jam, ikan salai 24 jam dan ikan kayu minimal 7 hari. Proses pengasapan ikan pe tentu saja akan menghasilkan produk ikan asap dengan kadar air yang masih tinggi jika dilihat dari waktu pengolahannya. Menurut Crapo (2000), waktu pengolahan ikan asap yang lebih pendek akan menghasilkan produk dengan kadar air yang masih tinggi. Ikan salai dan ikan kayu diasapi dengan metode pengasapan dingin. Kandungan air hasil proses pengasapan dinginsecara umum cukup rendah atau produk akhirnya cukup keras (JICA 2008). Kadar air produk juga akan dipengaruhi oleh kadar air awal bahan bakunya dalam hal ini kadar air jenis ikan yang digunakan. Daging ikan pari (Mardiah et al. 2008) secara umum memiliki kandungan air yang lebih tinggi (79,10%) dibandingkan ikan cakalang (70,58%) (USDA 2009) dan ikan lele 78,1% (Suprapti 2000) tergantung dari banyak faktor. Air pada ikan asap hilang karena adanya penguapan yang disebabkan oleh pengeringan di udara dan asap serta terjadinya drip. Kehilangan air akan tergantung pada sifat permukaan dan bagian ikan yang terkena panas, waktu dan suhu pemanasan, serta laju dan kelembaban udara dan asap (Doe 1998). Pengaruh pengeringan juga berhubungan dengan difusi air dari dalam produk asap ke bagian luarnya (Rusz & Miller 1977). Ikan kayu memiliki kadar air yang sedikit lebih rendah dari ikan salai walaupun secara statistik tidak signifikan. Kadar air produk kering dipengaruhi oleh kadar air lingkungan karena permukaan sangat kering dan menjadi higroskopis sehingga kemungkinan produk ini dapat menyerap kembali air dari lingkungan sekitar selama proses preparasi atau penyimpanan sampel. Ikan kayu (katsuobushi) pada penelitian Giyatmi et al. (2000) juga menyerap kembali uap air yang berada di sekitarnya selama proses fermentasi. 4.2.2
Kadar abu Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kadar abu
sebesar 5,55%, ikan kayu 3,55%, ikan fufu 2,21% dan ikan pe 0,75%. Hasil Anova (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 4)
67
menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap memiliki kadar abu yang berbeda nyata. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik dan menggambarkan jumlah total mineral dalam bahan. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Mineral dapat berupa garam organik dan garam anorganik. Mineral kadang-kadang berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik dan sulit untuk ditentukan jumlahnya dalam bentuk murni (Harbers & Nielsen 2003; Sudarmadji et al. 1996; Winarno 2008). Kadar abu ikan asap dipengaruhi oleh adanya kandungan mineral-mineral dalam bahan baku ikan asap atau penambahan bahan aditif yang mengandung mineral tertentu selama pengolahan seperti pada saat proses penggaraman. Kadar abu dalam penelitian ini lebih dipengaruhi oleh kandungan mineral masingmasing bahan baku dibandingkan dengan tahap pengolahan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penambahan garam-garam mineral tertentu seperti melalui proses penggaraman atau penambahan bahan aditif tertentu pada seluruh tahap prosedur pengasapan sampel. Kandungan abu alami dalam ikan dipengaruhi oleh spesies, umur, fase pertumbuhan, musim, waktu tangkap, lingkungan dan faktor internal atau eksternal lainnya. Espe et al. (2002) menyatakan bahwa pada umumnya komposisi kimia (berat basah) dari filet asap yang ditelitinya akan mencerminkan nilai komposisi kimia bahan baku filet segarnya. Menurut Hassan (1988), selama proses pengasapan dingin dengan waktu 6 atau 12 jam, terjadi kehilangan kadar air yang besar dan kehilangan kandungan lemak yang rendah bersamaan dengan peningkatan jumlah protein dan abu yang rendah. Ikan-ikan yang diasapi menggunakan metode pengasapan dingin dalam penelitian ini memiliki kandungan abu lebih tinggi daripada ikan yang diasapi dengan metode pengasapan panas. 4.2.3
Kadar Lemak Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan salai memiliki kandungan
lemak sebesar 5,87%, ikan kayu 2,12%, ikan pe 1,01% dan ikan fufu 0,86%. Hasil Anova (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 5),
68
menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar lemak yang berbeda nyata. Kandungan lemak ikan salai yang tinggi dipengaruhi oleh metode pengolahan dan kandungan lemak alami dari bahan baku yang digunakan. Komposisi kimia lemak dalam ikan lebih beragam dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh daripada lemak dan minyak lain yang terkandung secara alami. Variasi jumlah kandungannya dipengaruhi oleh tempat hidup, musim, sumber makanan, aktivitas, fase pertumbuhan (Bligh et al. 1988). Kandungan lemak ikan lele lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan cakalang menurut USDA (2009) yaitu 1,01 % dan pari menurut Mardiah et al. (2008) yaitu 0,42%. Kandungan lemak lele dumbo dapat mencapai 8,4% (Suprapti 2000). Bahan baku segar yang digunakan dalam pengasapan secara signifikan akan mempengaruhi hilangnya komponen nutrisi, semakin tidak berlemak ikan maka kehilangan lemak akan lebih tinggi (Espe et al. 2002). Ikan salai memiliki permukaan daging paling berminyak dan mengkilap dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Hal ini menandakan bahwa ikan salai memiliki kandungan lemak yang masih tinggi pada permukaan dagingnya. Perbedaan lemak yang terdapat pada beberapa bagian tubuh ikan juga akan mempengaruhi kadar lemak yang terukur (BBRP2B 1984). Kadar lemak yang cukup tinggi juga terukur pada penelitian Huda et al. (2010) terhadap ikan baung (Macrones nemurus) dan lais (Cryptopterus micronema) asap dimana kandungan lemak yang sangat tinggi yaitu 32,06% (bb) terukur pada ikan baung dan 8,02% (bb) untuk ikan lais. Tingginya lemak ikan salai juga dapat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan karena ikan salai berasal dari lele dumbo yang dibudidaya sedangkan ketiga jenis ikan asap lainnya menggunakan bahan baku hasil tangkapan alami. Birkeland et al. (2007) meneliti mengenai filet salmon asap dan menyatakan bahwa komposisi filet ikan salmon sangat dipengaruhi oleh komposisi pakan yang diberikan dan terdapat korelasi positif antara kandungan lemak dari makanan dengan jumlah lemak yang tersimpan dalam filet. Pengukuran kandungan lemak juga akan dipengaruhi oleh kandungan air yang
69
terukur dan hal ini dipengaruhi oleh sumber makanan yang diperoleh ikan yang berlemak (Doe 1998). Lemak dan air akan keluar dari ikan selama proses pengasapan sehingga terjadi susut fisik (physical loss) lemak (termasuk asam lemak essensial) dan nutrisi mikro lainnya (Kabahenda et al. 2009). Lama pengasapan dapat mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang tinggi selama proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak omega-3 ikan (BI 2009). Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi pada ikan juga mengakibatkan ikan rentan terhadap proses oksidasi selama proses pengeringan dan pengasapan sehingga manfaat nutrisi yang berasal dari asam lemak ini menjadi berkurang (Doe 1998). Kadar lemak ikan pe dan ikan fufu yang diasapi dengan metode pengasapan panas terukur lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya kandungan air yang terdapat dalam kedua jenis ikan tersebut sehingga lemak yang terukur nilainya lebih rendah dibandingkan dengan ikan salai atau kayu yang diasapi dengan waktu yang lebih lama (pengasapan dingin). Kandungan lemak lebih dipengaruhi oleh metode pengolahan yang dilakukan dibandingkan karakteristik awal bahan bakunya (Birkeland et al. 2007). Berkel (2004) menyatakan bahwa pengasapan panas menghasilkan produk dengan kandungan lemak yang rendah karena lemak akan meleleh keluar. Kehilangan kadar lemak dan air yang besar juga dapat terjadi karena denaturasi protein pada jaringan dalam tingkatan yang dapat menyebabkan penurunan daya ikat air dan sifat emulsifikasi protein (Hassan 1988). Proses pengeringan ikan salai yang dilakukan sebelum pengasapan lebih lama (selama 3 jam 45 menit) dibandingkan ikan kayu (15 menit), sedangkan ikan fufu dan ikan pe tidak melalui tahap pengeringan pendahuluan. Pengeringan dapat membentuk suatu lapisan mengkilat seperti kulit yang akan terbentuk pada permukaan ikan. Lapisan ini melapisi permukaan dan menahan atau mencegah kehilangan cairan alami selama pengasapan dan membuat penampakan produk akhir menjadi lebih baik (Snyder 1996; Crapo 2000).
70
4.2.4
Kadar protein Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar protein
sebesar 69,12%, ikan salai 68,25%, ikan fufu 35,45% dan ikan pe 20,37%. Hasil Anova (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 6) menunjukkan bahwa ikan fufu dan ikan pe memiliki kadar protein yang berbeda nyata sedangkan ikan salai dan ikan kayu memiliki kadar protein yang tidak berbeda nyata. Kadar protein ikan salai dan ikan kayu tersebut berbeda nyata dengan ikan fufu dan ikan pe pada taraf 5%. Kadar protein dari keempat sampel ikan asap bervariasi menurut jenisnya. Protein merupakan nutrisi penting yang terdapat pada ikan dalam jumlah yang tinggi. Molekul protein tersusun dari berbagai jenis asam amino. Kandungan protein akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor internal seperti jenis ikan, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan lain sebagainya. Menurut Chung et al. (2002) adanya perbedaan dalam nilai proksimat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan spesies. Faktor eksternal seperti lingkungan tempat ikan hidup, musim, cara tangkap, penyimpanan, pemanasan, cara pengolahan juga berpengaruh terhadap kadar protein. Penelitian Hultmann et al. (2004) terhadap daging asap menunjukkan bahwa jumlah protein larut garam ternyata akan berkurang sebagai akibat dari pengasapan. Protein daging yang terlarut berperan penting bagi terbentuknya ikatan silang tiga dimensi dan gelasi yang terjadi selama pemanasan campuran daging. Sifat gelasi juga menentukan tingkat retensi air dan lemak selama pemasakan dan sebagai akibatnya akan mempengaruhi produk yang dihasilkan (Sebranek 2009). Pengasapan panas pada suhu tertentu akan mengakibatkan denaturasi dan degradasi protein serta menurunkan fungsi dari asam amino esensial. Hal ini bergantung pada jenis ikan dan protein yang terkandung di dalamnya (Opstvedt 1988; Hassan 1988; Kabahenda et al. 2009). Tinggi atau rendahnya nilai protein yang terukur dapat dipengaruhi oleh besarnya kandungan air yang hilang (dehidrasi) dari bahan. Kadar protein yang terukur pada ikan kayu lebih tinggi daripada ikan salai, ikan fufu dan ikan pe. Perbedaan nilai yang terjadi tidak hanya tergantung pada kadar protein awal bahan
71
baku, tetapi juga pada metode pengasapan yang digunakan. Ikan kayu diasapi dengan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Nilai protein yang terukur akan semakin besar jika jumlah air yang hilang semakin besar. Kandungan protein yang terukur tergantung pada jumlah bahanbahan yang ditambahkan dan sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan air (Sebranek 2009). Persentase protein total, lemak dan abu pada ikan nila yang diasapi tanpa digarami meningkat karena hilangnya air selama pengasapan (Yanar et al. 2006). Kadar protein ikan pe yang rendah dapat juga disebabkan oleh senyawa fenolik yang banyak terkandung di dalamnya. Senyawa fenolik dapat mempengaruhi kadar protein karena dapat bereaksi dengan asam amino yang mengandung sulfur (Rusz dan Miller 1977). Senyawa fenol cenderung bereaksi dengan kelompok sulfhidril protein. Reaksi tersebut dapat mengakibatkan protein terdenaturasi dan menyebabkan turunnya nilai protein, agregasi protein dan pembentukan ikatan baru (Dwiari et al. 2008; Opstvedt 1988). Protein dan asam amino dalam makanan bereaksi dengan berbagai komponen asap yang berbeda. Karbonil pada asap bereaksi dengan asam amino sehingga menyebabkan terjadinya pencoklatan. Penurunan pada kandungan gugus amino dan asam amino lisin disebabkan oleh reaksi dari fenol dan komponen karbonil (Opstvedt 1988; Doe 1998). 4.2.5
Kadar karbohidrat Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kandungan
karbohidrat sebesar 7,98%, ikan salai 2,99%, ikan fufu 2,26% dan ikan pe 1,43%. Hasil Anova (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar karbohidratnya. Hasil uji LSD (Lampiran 7) menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki kadar karbohidrat yang berbeda nyata, sementara ketiga jenis ikan asap lainnya tidak berbeda nyata. Kadar karbohidrat yang terukur pada sampel ikan asap dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat alami bahan baku yang digunakan dan proses pengasapan yang dilakukan. Doe (1998) meneliti kandungan nutrisi proksimat ikan asap tradisional India dan menemukan bahwa hasilnya sangat beragam tergantung dari spesies. Karbohidrat pada umumnya merupakan kandungan nutrisi yang terdapat
72
dalam jumlah kecil (0,5-1,5%) pada ikan segar (Hadiwiyoto 1993). Hal ini seringkali membuat kadar karbohidrat diabaikan, walaupun begitu karbohidrat memiliki konsekuensi penting terhadap mutu ikan selama pengolahan. Karbohidrat dalam otot ikan sebagian besar adalah glikogen yang merupakan polimer glukosa. Kandungannya bervariasi menurut musim dan menurun drastis setelah ikan mati (Irianto & Giyatmi 2009). Penelitian lain mengenai ikan kayu jarang menghitung atau mengukur kandungan karbohidrat. Penelitian tentang arabushi yang dilakukan oleh Giyatmi (1998) dan Sunahwati (2000) jika dihitung kadar karbohidratnya (by difference) maka kandungan karbohidratnya bervariasi yaitu sebesar 5,5% dan 12,24%. Penelitian Huda et al. (2010) terhadap ikan baung (Macrones nemurus) dan lais (Cryptopterus micronema) asap menunjukkan kandungan karbohidrat yang sangat tinggi yaitu 14,92% (bb) untuk ikan baung dan 26,53% (bb) untuk ikan lais. Kandungan karbohidrat pada produk perikanan akan dipengaruhi oleh proses pengolahan disamping kandungan awalnya dalam ikan. Karbohidrat dapat terurai menjadi bentuk-bentuk senyawa
yang lebih sederhana.
Produk
dekomposisinya antara lain ialah glukosa, gula fosfat, asam piruvat dan asam laktat (Irianto & Giyatmi 2009). Pengurangan kandungan air yang terjadi dapat berpengaruh terhadap hasil pengukuran nilai karbohidrat sama seperti nilai kadar proksimat lainnya. 4.2.6
Kadar total fenol Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa ikan pe memiliki kadar total
fenol sebesar 59,34 ppm, ikan salai 42,35 ppm, ikan fufu 34,64 ppm dan ikan kayu 31,34 ppm. Hasil Anova (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar fenolnya. Hasil uji LSD (Lampiran 8) menunjukkan bahwa keempat jenis ikan asap memiliki kandungan fenol yang berbeda nyata pada taraf 5%. Senyawa fenol dan turunannya banyak terkandung di dalam asap yang berasal dari kayu. Jumlah kadar fenol akan dipengaruhi oleh proses pengolahan seperti lamanya waktu pengasapan, komposisi asap, jarak sumber asap dengan bahan baku, ketebalan asap, jenis kayu dan kondisi pengasapan lainnya (Toth & Potthast 1984; Rusz & Miller 1977). Kandungan fenol ikan pe yang tinggi dapat
73
disebabkan oleh jarak antara bahan baku dan sumber asap yang lebih dekat dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya. Toth dan Potthast (1984) dalam penelitiannya terhadap daging asap melaporkan jumlah fenol yang berbeda dengan kisaran mulai dari sangat rendah (0,06 mg/kg) hingga sangat tinggi (5000 mg/kg). Penelitian lain menyatakan kisaran total fenol pada 15 sampel flavor asap komersial mulai dari 0,001 hingga 1,06 mg/ml (Maga 1987). Kandungan air ikan pe masih sangat tinggi dan penampakan fisik permukaan daging ikan pe masih tampak basah. Fenol pada asap lebih mudah terserap ketika permukaan ikan agak basah. Asap yang lembab akan membentuk lapisan kelembaban pada permukaan produk yang menyebabkan partikel asap menyerap lebih cepat (Berkel 2004). Jumlah senyawa penyusun asap yang dapat diserap oleh ikan tergantung dari derajat kebasahan permukaan dan konsentrasi senyawa penyusun asap yang ada dalam asap (Whittle & Howgate 2000). Hal senada juga dinyatakan oleh Toth dan Potthast (1984) dan Hassan (1988) dalam penelitiannya. Permukaan ikan yang kering perlahan menunjukkan pengendapan asap yang lebih lambat selama pengasapan dibandingkan dengan permukaan yang basah. Permukaan ikan kayu yang sangat kering kemungkinan menyebabkan penyerapan fenol menjadi tidak maksimal sehingga kandungannya tidak banyak bertambah setelah pengasapan selesai. Permukaan luar ikan yang terlalu kering menyebabkan mengerasnya bagian luar sehingga asap sulit diserap (Codex Allimentarius 1979). Kandungan fenol produk dengan permukaan yang basah selama periode waktu yang sama ialah 20 kali lebih besar daripada produk yang kering. Komponen volatil lebih mudah diserap oleh asap dalam kelembaban yang lebih tinggi. Bahan kulit yang berbeda dapat membantu penyerapan asap yang cepat atau lambat. Kebasahan kulit yang semakin tinggiakan menyebabkan semakin besarnya jumlah asap yang terserap (Toth & Potthast 1984; Rusz & Miller 1977). Flavor dan aroma yang baik dapat terakumulasi dalam jaringan selama 6 jam pertama pengasapan ketika jaringan permukaan masih basah (Hassan 1988). Waktu tahap penganginan dan pengasapan pada ruang pengasapan tingkat kedua yang cukup lama menyebabkan waktu pengolahan ikan kayu menjadi lebih lama daripada ikan asap jenis lainnya. Hal ini akan mempengaruhi jumlah fenol
74
yang terkandung dalam ikan kayu. Kandungan fenol dipengaruhi oleh waktu penyimpanan karena fenol sangat sensitif terhadap cahaya, oksigen dan membentuk kompleks dengan logam. Pyrocatechol, resorcinol dan pyrogallol, serta fenol yang memiliki beberapa gugus hidroksi adalah senyawa fenol yang paling sensitif (Sakakibara et al. 1990a; Toth & Potthast 1984). Maga (1987) juga menyatakan hal yang sama, bahwa selama penyimpanan, jumlah fenol bebas secara individu dapat menurun secara dramatis bahkan pada suhu -4 oC sekalipun. Fenol banyak terdapat di bagian permukaan ikan dibandingkan bagian dalam daging ikan yang diasapi. Komponen asap biasanya menempel pada permukaan ikan asap dan terakumulasi tidak lebih dalam dari 1 mm di bawah kulit selama penyimpanan (Lyhs 2002). Penelitian lain menyatakan bahwa sebagian besar fenol pada bologna asap berada pada lapisan luar sedalam 1-2 mm. Sebanyak 75% fenol yang berada dalam ham diisolasi dari lapisan luarnya. Senyawa penyusun asap lainnya seperti karbonil dan asam kemungkinan dapat berpenetrasi melewati seluruh produk utuh (Maga 1987; Toth & Potthast 1984). Cara pemotongan ikan yang dilakukan akan mempengaruhi penyerapan asap karena perbedaan ukuran bahan. Ikan salai diasapi secara utuh, ikan fufu diasapi dagingnya secara utuh setelah dipisahkan tulangnya, ikan kayu difilet dagingnya dalam potongan yang besar sedangkan ikan pari sebagai bahan baku ikan pe dipotong-potong terlebih dahulu agar lebih mudah menempatkan dalam alat pengasapnya. Ikan pe memiliki ukuran bahan baku yang lebih kecil daripada ikan-ikan lainnya dan sebagai akibatnya daerah permukaan yang terkena asap lebih besar daripada sampel lainnya. Ikan salai memiliki kandungan fenol yang cukup tinggi karena lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih tipisnya daging ikan lele dibandingkan dengan bahan baku ikan asap lainnya sehingga asap akan lebih banyak bersentuhan dengan permukaan daging ikan lele yang telah dipotong. Daerah permukaan ikan yang semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya jumlah partikel asap yang dapat diserap selama pengasapan. Produk asap juga menjadi lebih kering dengan baik (Berkel 2004). Pengasapan cara panas menggunakan suhu pengasapan lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan cara dingin. Ikan pe dan fufu diasapi dengan cara panas sedangkan ikan salai dan kayu dengan cara dingin. Kandungan fenol
75
total filet meningkat dua kali lipat setelah menaikkan suhu pengasapan pada penelitian Birkeland et al. (2007) terhadap filet salmon asap. Suhu pada proses pengasapan ikan pe tampaknya mempengaruhi akumulasi total fenol pada ikan asap yang diteliti. Ikan pari yang menjadi bahan baku ikan pe memiliki kandungan lemak yang lebih rendah daripada bahan baku ikan asap lainnya. Kandungan lemak bahan baku juga ternyata mempengaruhi kemampuan ikan dalam menyerap asap. Rata-rata kandungan fenol total pada ikan dengan kategori lemak tinggi ialah lebih rendah daripada kandungan fenol pada ikan kategori lemak rendah (Maga 1987; Birkeland et al. 2007). 4.2.7
Kadar garam Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwaikan fufu memiliki kandungan
garam 0,11%; ikan salai 0,27%; ikan kayu 0,23% dan ikan pe sebesar 0,29%. Hasil Anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar garam masing-masing ikan asap. Hasil uji LSD (Lampiran 9) menunjukkan bahwa seluruh sampel ikan asap memiliki kadar garam yang berbeda nyata pada taraf 5%. Proses penggaraman tidak dilakukan pada proses pengolahan keempat jenis ikan asap ini sehingga kandungan garam ikan asap tidak terlalu tinggi. Hal serupa terjadi pada bagian barat Afrika dimana proses pengasapan panas disana tidak menggunakan garam (Doe 1998). Ion Cl- dari garam akan berinteraksi dengan protein daging pada konsentrasi yang rendah (0,5-1%), untuk meningkatkan sifat pengikatan air dalam campuran daging. Peningkatan retensi air struktur protein dalam kondisi terdapat ion klorida memiliki pengaruh besar pada hasil pemasakan, juiciness, keempukan dan mouthfeel ketika produk dikonsumsi. Ion klorida lebih penting dibandingkan ion natrium dalam mencapai peningkatan pengikatan air oleh protein daging. Ion natrium bertanggung jawab bagi flavor yang berasal dari garam. Fungsi yang penting bagi persepsi flavor bukan saja rasa asin yang diberikan natrium tapi juga peningkatan intensitas dari flavor lain yang dihasilkan dengan adanya natrium, dengan demikian garam tidak hanya penting bagi pemberian flavor tapi juga bertindak sebagai peningkat citarasa bagi komponen flavor lainnya dalam makanan (Sebranek 2009).
76
Perbedaan kandungan garam yang terjadi diantara masing-masing jenis ikan asap disebabkan oleh adanya perbedaan pada parameter-parameter proses pengolahan ikan asap tersebut dan variasi kandungan alami garam yang dimiliki masing-masing bahan baku ikan. Garam dapat menyebabkan sedikit penurunan pada kemampuan retaknya jaringan ikat ikan yang diasapi dengan cara panas karena tingkat kehilangan kelembaban ikan menjadi turun (Doe 1998). Menurut Bligh et al. (1988), garam pada jumlah tertentu dapat memperkokoh daging ikan, mempengaruhi oksidasi lemak dan mempertegas flavor produk. 4.2.8
Komposisi asam amino bebas Jumlah asam amino yang digunakan sebagai standar untuk analisis ialah
sebanyak 15 jenis dan seluruhnya terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap dalam jumlah dan komposisi yang bervariasi. Asam aspartat, asam glutamat, metionin, valin, isoleusin, leusin dan lisin merupakan asam amino bebas yang terdapat pada ikan fufudalam konsentrasi tinggi dibandingkan ikan asap lainnnya. Asam amino bebas lain yang tekandung lebih tinggi ialah glisin dan arginin pada ikan salai, sedangkan asam amino serin, histidin, alanin, tirosin, treonin dan fenilalanin terkandung lebih tinggi pada ikan kayu. Jenis serta konsentrasi asam amino bebas yang terdeteksi pada ikan asap beserta persentasenya di dalam masing-masing ikan asap disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis asam amino bebas ikan asap Hasil Asam Amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin
Ikan Fufu
mg/kg
%
425,69 1075,10 83,43 54,74 388,36 213,08 433,49 1460,36 175,46 306,13 448,85 200,28 324,07 761,32 468,46
6,24 15,77 1,22 0,80 5,70 3,12 6,36 21,42 2,57 4,49 6,58 2,94 4,75 11,16 6,87
Ikan Salai mg/kg 32,33 169,96 181,91 32,71 1211,45 102,69 541,80 977,03 37,30 32,21 70,08 41,19 15,54 45,23 168,35
% 0,88 4,64 4,97 0,89 33,10 2,81 14,80 26,70 1,02 0,88 1,91 1,13 0,42 1,24 4,60
Ikan Pe mg/kg % 5,61 26,69 10,02 9,72 10,27 5,22 4,45 518,37 8,08 4,98 123,54 48,37 72,37 52,38 75,42
0,58 2,74 1,03 1,00 1,05 0,54 0,46 53,14 0,83 0,51 12,66 4,96 7,42 5,37 7,73
Ikan Kayu mg/kg % 182,09 336,33 220,35 21755,72 1095,77 1353,34 229,83 2817,76 272,06 179,42 296,19 247,78 244,08 444,13 405,88
0,61 1,12 0,73 72,32 3,64 4,50 0,76 9,37 0,90 0,60 0,98 0,82 0,81 1,48 1,35
77
Menurut Doe (1998) komponen aktif rasa (taste-active) pada ikan diantaranya ialah asam amino bebas, peptida, asam-asam organik, basa amonium kuartener dan mineral. Komponen-komponen ini juga sebagian besar berperan pada pembentukan rasa produk kering. Asam amino bebas merupakan senyawa ekstraktif berberat molekul rendah yang larut air dan merupakan penyumbang flavor utama pada produk perikanan. Terbentuknya asam amino bebas ini dipengaruhi oleh parameter pengasapan, penyimpanan, spesies ikan, kesegaran bahan baku sebelum pengeringan dan metode pengeringan yang digunakan. Kandungan nitrogen ekstraktif dari ikan berdaging merah seperti keluarga tuna lebih tinggi daripada spesies ikan berdaging putih (Okada 1990). Ikan fufu dan ikan kayu pada penelitian ini menggunakan bahan baku ikan cakalang yang masih merupakan keluarga ikan tuna dan hal ini menjelaskan terdeteksinya sebagian besar asam amino bebas dengan kandungan tertinggi pada kedua jenis ikan asap ini (7 jenis pada ikan fufu dan 6 jenis pada ikan kayu) dibandingkan ikan salai dan ikan pe. Proses pengasapan meningkatkan pembentukan produk-produk degradasi. Suatu penelitian terhadap denaturasi protein ikan salmon yang diasapi menyatakan bahwa terdapat peningkatan kandungan asam amino bebas pada ikan setelah ikan tersebut diasapi (Hultmann et al. 2004; Motohiro 1988). Penelitian lain menyatakan bahwa asam amino bebas pada telur mullet meningkat selama pemasakan (Doe 1998). Menurut Toth dan Potthast (1984) dan Liu et al (2009), reaksi proteolisis dipercaya bertanggung jawab pada taraf tertentu bagi pembentukan flavor. Suatu penelitian mengenai perubahan kimia ikan herring menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi proses autolisis atau reaksi lainnya pada daging ikan yang menyebabkan terurainya komponen-komponen yang mengandung nitrogen untuk menghasilkan asam amino bebas dan hal tersebut menyebabkan pembentukan rasa pada ikan asap (Motohiro 1988). Jenis ikan cakalang sebagai bahan baku dan pengasapan panas selama 4 jam pada pengolahan ikan fufu kemungkinan mempengaruhi tingginya asam glutamat (15,77%), alanin (21,42%) dan leusin (11,16%) yang terukur. Alanin memang terukur lebih tinggi pada ikan kayu (2817,76 mg/kg) tetapi persentasenya lebih rendah (9,37%), hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
78
internal ikan cakalang yang digunakan sebagai bahan baku yaitu tempat hidup, lokasi tangkap, konsumsi pakan dan proses pengolahan sebelum pengasapan yang dilakukan pada ikan kayu tetapi tidak pada ikan fufu (perebusan dan pemanasan pendahuluan pada oven). Pengasapan dan pengeringan menyebabkan reaksi pencoklatan yang disebabkan oleh reaksi Maillard dan oksidasi lemak. Intensitas pencoklatan dipengaruhi oleh asam amino bebas, gula pereduksi, enzim proteolitik dan tahapan oksidasi lemak. Semakin banyak asam amino bebas maka pencoklatan yang terjadi akan semakin luas. Reaksi ini cukup penting pada produk perikanan yang dikeringkan. Asam amino yang memiliki tingkat pencoklatan tinggi ialah lisin, glisin, histidin dan asam glutamat. Penyebab utama dari hilangnya protein pada produk perikanan kering antara lain disebabkan olehreaksi Maillard serta pencoklatan karena reaksi antara protein (atau asam amino) dan lemak (karbonil hasil oksidasi lemak). Senyawa-senyawa karbonil ini dapat bereaksi dengan lisin dan mempengaruhi kandungannya (Doe 1998). Kandungan lisin pada seluruh produk ikan asap terutama ikan salai (168,35 mg/kg) dan ikan pe (75,42 mg/kg) kemungkinan dapat berkurang melalui tahap pencoklatan yang terjadi ini. Reaksi antara gugus epsilon amin lisin dengan senyawa pereduksi non protein melalui kondensasi karbonil amin dapat dijelaskan dengan baik jika senyawa non proteinnya ialah gula pereduksi tetapi kandungan gula ini jumlahnya terlalu rendah dalam ikan. Senyawa karbonil yang terdapat dalam asap dan yang berasal dari oksidasi lemak dapat bereaksi dengan lisin dalam mekanisme yang hampir sama dengan gula pereduksi (Opstvedt 1988). Reaksi pencoklatan Maillard mendominasi ketika aktivitas air produk tinggi dan pencoklatan protein-lemak merupakan mekanisme reaksi pencoklatan utama ketika aktivitas air produk rendah. Kedua reaksi ini saling interaktif karena reaksi Maillard menjadi semakin cepat dengan adanya oksidasi lemak. Enzimenzim endogen juga dapat berperan sebagai penghasil produk-produk hidrolisis protein dan karbohidrat yang nantinya akan membentuk asam amino bebas dan gula pereduksi sebagai prekursor reaksi Maillard (Doe 1998). Aktivitas air juga dapat menunjukkan jenis reaksi apa saja yang mungkin terjadi dalam bahan pangan. Hubungan antara perubahan kimia dan enzimatis dalam bahan pangan
79
sebagai fungsi dari aktivitas air ditunjukkan pada Gambar 8. Nilai aktivitas air bahan pangan tertentu dapat menyebabkan tingkat reaksi oksidasi lemak dan pencoklatan non enzimatis yang rendah juga. Semakin tinggi aktivitas air (bergeser ke arah kanan) maka kemungkinan bahan pangan untuk rusak semakin meningkat (Canovas et al. 2003). Olley et al. (1988) menyatakan bahwa pencoklatan non enzimatis pada produk perikanan yang tidak digarami disebabkan oleh oksidasi lemak.
Gambar 8 Grafik reaksi kimia berdasarkan aktivitas air Pembentukan warna dan flavor juga efek pencoklatan didasarkan pada reaksi protein dengan senyawa karbonil dari asap. Reaksi ini menyebabkan kehilangan pada kelompok amino. Protein dengan gugus amino bebas mengalami perubahan dengan sangat mudah. Kehilangan lisin yang merupakan asam amino essensial, dapat terjadi dan akan semakin tinggi bersamaan dengan tingginya endapan asap pada makanan (Toth & Potthast 1984). Opstvedt (1988) menyatakan bahwa pengasapan dan kandungan aldehida dalam asap akan mempengaruhi kandungan lisin yang reaktif. Pemanasan yang berlebihan akan mengurangi ketersediaan metionin dan lisin. Karbonil dan fenol dalam asap dapat bereaksi dengan lisin, arginin dan metionin (Doe 1998; Irianto & Giyatmi 2009). Filet ikan atlantic mackerel yang diasapi dengan cara panas mengalami kehilangan lisin maksimal 8,8% dan hanya terjadi pada bagian ikan yang paling luar (Doe 1998). Penelitian mengenai pengasapan ikan nila yang tidak digarami menyimpulkan persentase kehilangan lisin yaitu sebesar 25% pada pengasapan
80
dengan suhu 98 oC selama 65 jam, 7, 8, 9% pada pengasapan dengan suhu 50, 70, 100 oC selama 38 jam begitu pula penyimpanan ikan asap selama 3 bulan tidak mempengaruhi kandungan lisin yang terukur secara signifikan. Lisin ialah asam amino yang reaktif tetapi pada suatu penelitan mengenai ikan sardin yang dipanaskan dengan suhu 50 oC selama 240 menit dan suhu 100 oC selama 15 menit, kandungan lisin diketahui dapat meningkat (Opstvedt 1988). Penelitian mengenai kandungan asam amino bebas pada ikan sand yang dikeringkan dan digarami menyimpulkan bahwa terdapat beberapa asam amino bebas dalam kandungan yang tinggi yaitu asam glutamat, alanin, leusin dan lisin (Motohiro 1988). Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai dehidrasi ikan shad dan haddock diketahui bahwa pengeringan secara signifikan mempengaruhi penurunan kandungan asam amino valin, fenilalanin dan triptofan tetapi tidak asam amino lain. Jumlah asam amino tersebut tidak berbeda secara signifikan kandungannnya dengan ikan segar (Opstvedt 1988). Waktu pengolahan yang lebih lama akan menyebabkan lebih lamanya proses pengeringan ikan. Persentase valin dan fenilalanin ikan kayu sebagai ikan yang mengalami waktu pengolahan lebih lama pada penelitian ini lebih rendah daripada ketiga jenis ikan asap lainnya (0,98% dan 0,82%) sementara valin dan fenilalanin ikan pe sebagai ikan yang mengalami waktu pengolahan lebih singkat lebih tinggi daripada ikan yang lainnya yaitu sebesar 12,66% dan 4,96%. Produk asap ikan kayu dan ikan fufu memiliki daging yang masih cukup tebal dibandingkan ikan lele dan pari dan lisin kemungkinan belum banyak terurai. Jumlah lisin yang terukur pada kedua ikan asap ini lebih tinggi daripada ikan salai dan ikan pe (ikan fufu 468,46 mg/kg dan ikan kayu 405,88 mg/kg), walaupun begitu lisin pada ikan kayu sebenarnya memiliki persentase (asam amino bebas dalam produk yang sama) yang rendah jika dibandingkan ikan asap lainnya yaitu 1,35% dan lisin pada ikan pari persentasenya paling tinggi yaitu 7,73%, hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemanasan ikan pe yang singkat (30 menit). Ikan cakalang yang telah diolah dengan pemanasan kering dapat mengandung lisin hingga 25.900 mg/kg (USDA 2010). Ikan asap dapat menjadi sumber asam amino esensial yang penting karena kandungan lisin dan
81
jumlah asam amino esensial pada produk ikan asap lebih tinggi secara signifikan dibandingkan produk ikan yang diasinkan atau diacar (marinate) (Huda et al. 2010). Kandungan asam amino bebas juga akan tergantung pada spesies ikan. Histidin bebaspada ikan jenis mackerel dan herring adalah prekursor bagi histamin (Mackie 1997). Ikan pari yang menjadi bahan baku ikan pe pada penelitian ini memiliki kandungan histidin yang rendah dibandingkan dengan ikan pelagis seperti cakalang sebagai bahan baku ikan kayu dan ikan fufu. Sakakibara et al. (1990a) melaporkan bahwa komponen nonvolatil utama pada katsuobushi ialah histidin, anserin, karnosin dan taurin. Histidin terdiri dari sekitar 43-47% dari total asam amino bebas. Rasa dari histidin sangat lemah dan diperkirakan bahwa asam amino ini tidak memberikan peran langsung pada karakteristik rasa dari katsuobushi. Hal ini senada dengan hasil penelitian dimana ikan kayu memiliki jumlah asam amino bebas histidinyang lebih besar daripada ikan asap jenis lainnya. Suatu penelitian mengenai perubahan asam amino bebas dalam pembuatan katsuobushi menyimpulkan bahwa sekitar 80% asam amino bebas yang terkandung adalah histidin, kandungan lisin dan alanin produk tinggi, sejumlah asam amino berkurang jumlahnya selama tahap perebusan dan pengasapan dapat meningkatkan jumlah asam amino bebas yang terbentuk (Sikorski 1988). Ikan cakalang segar memiliki kandungan histidin yang termasuk tinggi dibanding tuna yellowfin, marlin, mackerel, dan salmon yaitu mencapai 6.480 mg/kg (USDA 2009) hingga 23.000 mg/kg1. Faktor pemanasan dapat berpengaruh pada kandungan histidin yang terukur pada ikan kayu dan ikan fufu karena reaksi proteolisis saat pemanasan dapat meningkatkan kandungan asam amino bebas (Liu et al. 2009). Kedua jenis ikan ini memiliki bahan baku yang sama tetapi waktu pengasapan yang jauh berbeda (4 jam dan >14 hari) sehingga jumlah asam amino bebas total lebih tinggi pada ikan kayu daripada ketiga jenis ikan asap lainnya dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pengolahan ikan kayu yang jauh lebih lama dari ketiga ikan asap lainnya. Histidin dapat berkurang kandungannya karena oksidasi lemak (Bligh et al. 1988) sedangkan asap memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi 1
http://wholefoodcatalog.info/nutrient/histidine/foods/high/
82
(Doe 1998). Histidin pada ikan kayu kandungannya terukur lebih tinggi kemungkinan karena oksidasi lemak lebih terhambat karena adanya asap yang terus menerus menempel pada ikan karena waktu pengasapan yang sangat lama (>14 hari). Asam amino bebas pada ikan kayu juga kemungkinan dapat hilang selama perebusan yang dilakukan. Glisin, alanin, leusin, asam glutamat, valin dan serin ditemukan dalam air untuk memasak ikan dan kekerangan dan diketahui bahwa perebusan dapat mengurangi kandungan asam amino sebesar 40% (Opstvedt 1988). Asam glutamat pada ikan kayu terukur lebih rendah daripada ikan fufu, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlarutnya sebagian asam glutamat pada saat proses perebusan. Asam glutamat biasanya terkandung tinggi pada ikan kayu jenis katsuobushi dimana protein atau peptida-peptida telah terurai menjadi asam amino setelah proses fermentasi. Ikan cakalang yang telah diolah dengan cara pemanasan kering dapat mengandung asam glutamat hingga 42.100 mg/kg (USDA 2010). 4.2.9
Komposisi Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) Produksi asap merupakan proses yang rumit, sangat sulit dikendalikan dan
menghasilkan produk lain disamping penyusun yang diinginkan. Produk yang tidak diinginkan ini salah satunya ialah PAH. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung 18 standar PAH yang dianalisis dalam limit deteksi metode EPA 8270c (USEPA 1996) yaitu 660 ppb. PAH anthracene, fluorene dan phenanthrene adalah senyawa aromatik tricyclic yang dapat ditafsirkan sebagai senyawa induk dari kelompok PAH. Benzo[a]pyrene bersama dibenzo[a,h]anthracene yang terdapat pada produk perikanan merupakan senyawa karsinogenik yang paling kuat bagi manusia (Whittle & Howgate 2000). Acenaphthtylene, fluorene, phenanthrene, anthracene dan tetrahydrocrysene (atau isomer dari komponen tersebut) diketahui telah terdeteksi pada ikan bream asap (Guillen & Errecalde 2002). Tabel 21 menunjukkan hasil analisis terhadap 18 standar PAH pada keempat jenis ikan asap.
83
Tabel 21 Hasil analisis 18 PAH empat sampel ikan asap Parameter Naphthalene 2-Methylnaphthalene 2-Chloronaphthalene Acenaphthene Fluorene Phenanthrene Anthracene Fluoranthene Pyrene Chrysene Benz (a) anthracene Perylene Benzo (b) fluoranthene Benzo (k) fluoranthene Indeno (1,2,3-cd) pyrene Dibenz (ah) anthracene Dibenzo (ghl) perylene Benzo (a) pyrene
Ikan Fufu nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd
Hasil (ppb) Ikan Salai Ikan Pe nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd
Ikan Kayu nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd nd
Keterangan: nd = not detected (limit deteksi 660 ppb)
PAH merupakan hidrokarbon dengan berat molekul tinggi dan tidak larut air hasil pembakaran kayu (lignin dan selulosa) yang tidak sempurna. Fraksi PAH ialah yang paling tidak diinginkan dalam asap dan peparasi asap karena beberapa PAH telah menunjukkan sifat mutagen atau karsinogen pada eksperimen menggunakan hewan. PAH diketahui tidak mempengaruhi flavor produk asap (Toth & Potthast 1984; Heruwati 2002; Guillen et al. 2006) dan bagian PAH yang paling besar dalam asap ialah dalam tar-nya (Rozum 2009). PAH produk asap biasanya berasal dari asap hasil pembakaran kayu (penguraian lignin dan selulosa) karena ikan vertebrata pada umumnya tidak mengandung PAH karena PAH dapat dimetabolisme dan dieksresikan menjadi turunan senyawa lain. Kandungan PAH dipengaruhi oleh proses pengolahan seperti suhu pembakaran kayu, waktu pengasapan, ketebalan asap, aliran udara, bahan baku dan kondisi pengasapan lainnya. Kandungan PAH akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu (Toth & Potthast 1984; Rozum 2009; Rusz & Miller 1977; Sikorski 1988; Whittle & Howgate 2000). Terdapat kira-kira 200 jenis PAH yang berada dalam asap, beberapa bersifat mutagen atau karsinogen
84
(Toth & Potthast 1984; Whittle & Howgate 2000). Tidak tertutup kemungkinan dalam ikan asap yang diuji terdapat juga PAH jenis lainnya yang tidak berada dalam standar. Bagian utama dari massa total komponen asap berakumulasi pada bagian terluar ikan, tidak lebih dalam dari 1 mm di bawah kulit. Bagian luar ikan yang terkena asap, terutama kulit dapat mengandung PAH lima kali lebih banyak daripada bagian utama tubuh dari produk (Doe 1998; Heruwati 2002). PAH lebih banyak terkandung pada lapisan paling luar ikan asap. Umumnya bagian dalam daging ikan asap lebih banyak dikonsumsi dan aroma asap yang dikehendaki tetap diperoleh. Ikan kayu diasapi lebih lama dari jenis ikan asap lainnya yaitu bisa mencapai lebih dari 14 hari dan sebelum diolah lebih lanjut daging ikan kayu biasanya disikat permukaannya untuk menghilangkan lapisan kulit yang menghitam, hal ini kemungkinan berpengaruh pada kandungan PAH yang terukur pada penelitian ini. Menurut Doe (1998), PAH lebih banyak terkandung pada berbagai produk makanan lain selain produk ikan asap. Jumlah PAH yang terbentuk selama pengolahan juga tergantung pada kandungan lemak, waktu dan suhu pengolahan. Pembentukan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, perubahan beberapa komponen makanan seperti trigliserida dan kolesterol. Lemak yang meleleh dan jatuh pada bahan bakar yang panas akan menyebabkan terjadinya pirolisis lemak yang dapat menghasilkan PAH yang kemudian menguap dan tersimpan pada permukaan makanan (Menichini & Bocca 2003). Menurut Toth dan Potthast (1984) dalam penelitian mengenai daging asap, diketahui tidak terdeteksi kontaminasi tinggi benzo[a]pyrene atau PAH lainnya pada produk daging jika dilakukan proses pengasapan dengan suhu lebih rendah dari 700 oC (suhu api) selama 2 hari. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa suhu ruang pengasapan tidak terlalu mempengaruhi kandungan benzo[a]pyrene dalam daging asap. Kemungkinan besar pada pengolahan ikan asap ini suhu pembentukan asap tidak mencapaisuhu api 700 oC sehingga kandungan PAH tidak terdeteksi atau terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (trace) tetapi hal ini memerlukan
pembuktian
lebih
lanjut.
Untuk
mencegah
pembentukan
85
benzo[a]pyrene, suhu dekomposisi kayu harus di bawah 400 oC dan suhu oksidasi senyawa volatil hasil dekomposisi tersebut tidak lebih dari 200 oC (Heruwati 2002; Doe 1998; Toth & Potthast 1984). Menurut (Doe 1998), kandungan benzo[a]pyrene pada ikan asap menurun secara signifikan selama penyimpanan produk pada 18 oC dari 0,58 µg/g menjadi 0,22 µg/g dalam waktu 2 hari. Benzo[a]pyrene dianggap sebagai indikator senyawa yang bersifat karsinogen pada makanan asap. Kandungan benzo[a]pyrene dari ikan asap yang diolah dengan pengasapan panas berkisar antara 0,5-3,5 µg/g, tergantung pada ukuran, preparasi dan kondisi pengasapan (Doe 1998). Maksimum kandungan benzo[a]pyrene dalam produk daging asap telah dibatasi oleh peraturan hingga 1 ppb di Jerman (Toth & Potthast 1984) dan menurut survey yang dilakukan di Jerman sebanyak 30% produk ikan asap mengandung 40 µg/g benzo[a]pyrene (Doe 1998). Uni Eropa telah membatasi jumlah benzo(a)pyrene dalam asap sebesar 5 ppb pada bahan yang diasapi secara tradisional (Rozum 2009). PAH sendiri secara langsung tidak karsinogen dan memerlukan aktivitas metabolik yang dapat mendorong senyawa tersebut menjadi karsinogen. Kandungan PAH ikan asap secara umum masih jauh dari konsentrasi yang diperlukan untuk dapat menimbulkan kanker. Suatu penelitian terhadap tikus menghasilkan kesimpulan bahwa kanker kulit baru terjadi jika benzo[a]pyrene dalam konsentrasi 50 ppm dioleskan secara langsung, sedangkan jika digunakan secara oral memerlukan waktu yang lebih lama. Beberapa jenis PAH lainnya seperti benz(a)antrasen, benzo(j)fluoranten, dibenz(a,h)antrasen memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menimbulkan kanker (Hadiwiyoto 1997). Kandungan benzo[a]pyrene pada produk makanan lain seperti daging asap, roti panggang, biskuit, kopi (roasted), minyak kedelai dan iga bakar diketahui lebih tinggi dibandingkan jenis ikan asap tertentu. Vitamin A dan antioksidan diketahui dapat mengurangi sifat karsinogen yang ditimbulkan PAH. Ikan berlemak kaya akan vitamin A dan asap mengandung banyak fenol sebagai antioksidan sehingga efek merugikan PAH bagi kesehatan manusia tidak terlalu tinggi (Sikorski 1988). 4.3
Karakteristik Flavor Volatil Senyawa yang lebih bersifat volatil berperan pada pembentukan flavor.
Jenis khas flavor produk yang diasapi tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh senyawa
86
penyusun endapan asap pada permukaan. Senyawa flavor asap sebagian besar tersusun dari gugus yang mudah bereaksi dengan penyusun makanan. Komposisi asap dan sifat flavornya dapat dipengaruhi oleh berbagai perlakuan (Toth & Potthast 1984), oleh karena itu masing-masing sampel ikan asap memiliki perbedaan komposisi dan jumlah senyawa volatil yang terdeteksi. 4.3.1
Ikan Fufu Analisis GC/MS dari ikan fufu berhasil mendeteksi 75 jenis senyawa yang
berasal dari berbagai golongan: 32 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon dengan pentadekana sebagai senyawa yang memiliki proporsi tertinggi (18,109%); 10 senyawa dari golongan aldehida dengan benzaldehida yang memiliki proporsi tertinggi (3,480%); 5 senyawa dari golongan keton dengan 2-undekanon yang memiliki proporsi tertinggi (1,170%); 4 senyawa berasal dari golongan furan dengan 2-pentilfuran yang memiliki proporsi tertinggi (0,824%); 19 senyawa berasal dari golongan fenol dan turunannya dengan senyawa fenol yang memiliki proporsi tertinggi (16,043%); 1 senyawadari golongan eter (2,6-dimetoksitoluen);
3
senyawa
dari
golongan
ester
dengan
asam
pentafluoropropionic undecyl ester yang memiliki proporsi tertinggi serta 1 senyawa dari golongan senyawa lainnya (4-methoxybenzhydrazide). Hasil analisis senyawa volatil ikan fufu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11 dan kromatogramnya pada Lampiran 15. 4.3.2
Ikan salai Analisis GC/MS dari ikan salai berhasil mendeteksi 82 jenis senyawa yang
berasal dari berbagai golongan: 34 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon dengan dodekana yang memiliki proporsi tertinggi (10,153%); 2 senyawa dari golongan aldehida dengan heksanal yang memiliki proporsi tertinggi (1,885%); 4 senyawa dari golongan keton dengan 3-metil-2-siklopenten-1-on yang memiliki proporsi tertinggi (1,676%); 1 senyawa dari golongan alkohol (1-heksadekanol); 5 senyawa dari golongan furan dengan 2-furanmetanol yang memiliki proporsi tertinggi (2,262%); 20 senyawa dari golongan fenol dengan fenol yang memiliki proporsi
tertinggi
(5,546%);
6
senyawa
dari
golongan
eter
dengan
2,4-dimetoksitoluen yang memiliki proporsi tertinggi (0,952%); 1 senyawa dari golongan ester (Pentafluoropropionic acid, tetradecyl ester) dan 9 senyawa
87
berasal dari golongan senyawa lainnya. Hasil analisis senyawa volatil ikan salai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan kromatogramnya pada Lampiran 16. 4.3.3
Ikan kayu Analisis GC/MS dari ikan kayu berhasil mendeteksi 122 jenis senyawa
yang berasal dari berbagai golongan: 65 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon dengan pentadekana yang memiliki proporsi tertinggi (7,841%); 1 senyawa dari golongan aldehida (3-fenil-2-propenal); 7 senyawa dari golongan keton dengan 1-(2,6-dihidroksi-4-metoksifenil)-etanon yang memiliki proporsi tertinggi (0,936%); 1 jenis dari golongan alkohol (2-heksil-1-dekanol); 6 senyawa dari golongan furan dengan 2-furanmetanol yang memiliki proporsi tertinggi (1,068%); 22 senyawa berasal dari golongan fenol dengan 2-metoksifenol (guaiakol) yang memiliki proporsi tertinggi (3,545%); 3 senyawa berasal dari golongan eter dengan 1,2,4-trimetoksibenzen yang memiliki proporsi tertinggi (0,863%); 10 senyawa dari golongan ester dengan asam sulfurous butyl dodecyl ester yang memiliki proporsi tertinggi (1,318%); 1 senyawa dari golongan asam organik (asam nonahexacontanoic) dan 6 senyawa dari golongan lainnya. Hasil analisis GC-MS senyawa volatil ikan kayu dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 13 dan kromatogramnya pada Lampiran 17. 4.3.4
Ikan pe Analisis GC/MS dari ikan pe berhasil mendeteksi 131 jenis senyawa yang
berasal dari berbagai golongan: 55 senyawa berasal dari golongan hidrokarbon, dengan 1,6,7-trimetilnaftalen memiliki proporsi tertinggi (2,559%); 2 senyawa dari golongan aldehida dengan [1,1'-Biphenyl]-4-carboxaldehyde yang memiliki proporsi tertinggi (0,980%); 10 senyawa berasal dari golongan keton dengan 2,3-dimetil-1,4-naftalendion
(1,443%)
yang
memiliki
proporsi
tertinggi;
3 senyawa dari golongan alkohol dengan 4,9,13,17-tetramethyl-4,8,12,16Octadecatetraen-1-ol yang memiliki proporsi tertinggi (1,498%); 6 senyawa dari golongan furan dengan dibenzofuran yang memiliki proporsi tertinggi (0,872%); 30 senyawa dari golongan fenol dengan2-metoksi-4-(1-propenil)-, (Z)-fenol yang memiliki proporsi tertinggi (7,005%); 2 senyawa berasal dari golongan ester dengan asam hexadecanoic methyl ester yang memiliki proporsi tertinggi
88
(0,842%); 2 senyawa dari golongan asam-asam organik dengan asam asetat yang memiliki proporsi tertinggi (0,670%); dan 21 senyawa dari golongan lain-lain. Hasil analisis senyawa volatil ikan pe dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 14 dan kromatogramnya pada Lampiran 18. 4.3.5
Perbandingan komposisi flavor volatil keempat ikan asap Hasil analisis GC/MS seperti yang telah disebutkan sebelumnya
menunjukkan bahwa dari sekian banyak senyawa yang terdeteksi, terdapat golongan dan senyawa tertentu yang lebih tinggi proporsinya. Perbedaan komposisi dan jumlah senyawa volatil yang terdeteksi pada sampel ikan asap disebabkan oleh adanya perbedaan metode dan kondisi pengasapan seperti preparasi, jumlah ketersediaan oksigen, densitas asap, suhu dan waktu pengasapan, jenis dan ukuran bahan baku, jenis dan kadar air kayu, reaksi-reaksi kimia yang terjadi serta perlakuan pengolahan lainnya. Variasi besar yang terjadi pada konsentrasi komponen asap pada sampel ikan asap mengindikasikan bahwa proses pengasapan belum seluruhnya homogen (Guillen & Errecalde 2002; Doe 1998; Toth & Potthast 1984; Rozum 2009). Tabel 22 menyajikan jumlah senyawa volatil pada masing-masing sampel ikan asap berdasarkan golongan senyawanya. Tabel 22 Jumlah senyawa volatil sampel ikan asap berdasarkan golongan Golongan Hidrokarbon Aldehid Keton Alkohol Furan Fenol Eter Ester Asam Lain-lain Jumlah
Ikan fufu
Ikan salai
Ikan kayu
Ikan pe
32 10 5 nd 4 19 1 3 nd 1 75
34 2 4 1 5 20 6 1 nd 9 82
65 1 7 1 6 22 3 10 1 6 122
55 2 10 3 6 30 nd 2 2 21 131
Keterangan: nd = not detected
Rasa dan aroma ikan segar pada taraf tertentu berubah selama proses pengeringan. Kimia flavor dari produk ikan kering cukup rumit, dan ratusan senyawa aromatik baru dapat terbentuk. Reaksi pencoklatan, oksidasi lemak, aktivitas enzim endogen dan mikroba dapat berperan pada pengembangan atau
89
pembentukan profil flavor baru pada produk perikanan kering (Doe 1998). Beberapa senyawa volatil yang terdeteksi, tidak diketahui asalnya dan belum pernah terdeteksi sebelumnya pada penelitian sejenis. Senyawa-senyawa ini perlu ditentukan lebih lanjut dengan prosedur identifikasi tertentu. 1) Hidrokarbon Hidrokarbon yang terdeteksi terdiri dari berbagai seri homolog dan siklik dengan berbagai jumlah atom karbon. Berdasarkan hasil analisis, senyawa volatil maka dapat dilihat bahwa ikan kayu memiliki golongan hidrokarbon yang lebih banyak daripada ikan asap jenis lainnya yaitu sebanyak 65 senyawa, diikuti oleh ikan pe 55 senyawa, ikan salai 34 senyawa dan ikan fufu 32 senyawa. Hidrokarbon dalam golongan ini termasuk alifatik, aromatik dan turunanturunannya selain fenol dan furan. Hidrokarbon alifatik dalam asap dianggap tidak terlalu penting bagi karakteristik flavor. Kelompok ini terdapat dalam jumlah besar dalam produk asap daripada dalam asap itu sendiri (Toth & Potthast 1984). Hidrokarbon seperti pentadekana, tetradekana, heksadekena, benzena dan senyawa-senyawa lainnya banyak sekali terdeteksi pada ikan asap yang diuji. Penelitian Guillen dan Errecalde (2002) terhadap ikan bream asap menunjukkan bahwa tidak ditemukan pengaruh hidrokarbon yang signifikan terhadap flavor kecuali beberapa turunan terpene yang dalam penelitian ini tidak terdeteksi. Penelitian Chung et al. (2002) dan Linder dan Ackman (2002) menyatakan bahwa golongan senyawa-senyawa alkana pada umumnya tidak memberikan banyak odor yang signifikan pada makanan. Semua komponen pada gugus alkana sebelumnya terdeteksi pada makanan laut dan ikan. Golongan alkena dapat berasal dari dekarboksilasi dan pemisahan rantai karbon asam lemak. Beberapa hidrokarbon tidak jenuh dan siklik juga merupakan hasil reaksi sekunder dari oksidasi termal lemak tak jenuh (Liu et al. 2009). Senyawa 2,6,10,14-tetramethylpentadecane atau pristane terdeteksi pada ikan fufu, salai dan kayu. Hidrokarbon ini ditemukan pada krill matang dan lobster air tawar, kemungkinan terbentuk dari proses autooksidasi (Tanchotikul & Hsieh 1989; Chung et al. 2002) dan komponen khas ikan yang berasal dari asap (Guillen et al. 2006). Hidrokarbon aromatik dimethyl benzene, ethyl benzene,
90
toluene dan turunan-turunannya terdeteksi pada ikan salai, fufu dan ikan pe sedangkan naphthalene, methylnaphthalene dan turunannya terdeteksi pada seluruh sampel dalam komposisi yang berbeda. Guillen dan Errecalde (2002) dan Toth dan Potthast (1984) menyatakan bahwa beberapa alkylbenzene, naphthalene dan methylnaphthalene terdeteksi sebagai hidrokarbon yang berasal dari asap. Beberapa alkylbenzene ditemukan pada merica, teh dan daging. Senyawa-senyawa ini dapat berasal dari degradasi panas gula atau asam amino (Chung et al. 2002) dan dari asap (Guillen et al. 2006). Naphthalene dapat dihasilkan dari degradasi bahan-bahan tumbuhan oleh mikroorganisme, pirolisis yang melibatkan fenilalanin (Chung et al. 2002) atau polutan (Linder & Ackman 2002). Beberapa hidrokarbon yang terdeteksi pada sampel ikan kayu sebagian besar hampir sama dengan hidrokarbon yang terdeteksi dalam penelitian mengenai katsuobushi oleh Sasaki et al. (1969a), yaitu tetradekana, heksadekana, oktadekana, nonadekana dan dokosana. Asal sumber hidrokarbon alifatik jenuh tetradekana yang berubah menjadi dokosana, dapat berasal dari kandungan asam lemak bahan baku melalui proses dekarboksilasi oleh pemanasan selama pengolahan. Bahan-bahan baku ikan asap seperti ikan cakalang, lele dan pari seperti kita ketahui kaya akan kandungan asam lemak-asam lemak tidak jenuh. Pentadekana
dan
heptadekana,
kemungkinan
berasal
dari
asam
n-hexadecanoic dan asam n-octadecanoic. Pentadekana terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap dan heptadekana terdeteksi pada ikan fufu, salai dan ikan kayu. Senyawa n-hexadecanoic terdeteksi pada ikan pe yang dianalisis sedangkan pada ikan lain tidak terdeteksi. Hal ini tidak menunjukkan bahwa pada sampel ikan lain tidak terkandung sama sekali asam organik, hanya saja terdapat kemungkinan asam-asam organik tersebut telah terurai menjadi senyawa lain. Adanya keragaman terdeteksinya hidrokarbon ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan waktu pemanasan dan proses pengasapan (Sasaki et al. 1969a). 2) Aldehida Ikan fufu memiliki golongan aldehida lebih banyak daripada ikan asap lain yaitu sebanyak 10 senyawa dan diikuti ikan salai, ikan pe sebanyak 2 senyawa serta ikan kayu 1 senyawa. Alkanal, alkenal dan alkadienal yang teridentifikasi dapat terjadi karena adanya oksidasi dari asam lemak tak jenuh seperti asam
91
lemak omega 3 dan omega 6 yang juga terdapat pada ikan sebagai bahan baku (Cha et al. 1992; Guillen & Errecalde 2002; Sakakibara et al. 1988; Guillen et al. 2006; Linder & Ackman 2002; Liu et al. 2009). Kandungan aldehida yang tinggi dapat menunjukkan bahwa ikan telah mengalami proses oksidasi yang lebih tinggi serta sebaliknya, kandungan aldehida yang rendah menunjukkan bahwa ikan belum mengalami oksidasi degradatif yang tinggi (Guillen et al. 2006). Hal ini tidak selalu menunjukkan bahwa ikan fufu ini telah mengalami kerusakan tetapi ada kemungkinan kandungan darah yang masih terdapat pada ikan cakalang dapat mempercepat
terjadinya
proses
oksidasi
karena
haemoprotein
termasuk
prooksidan dan banyak terdapat pada daging merah keluarga ikan tuna (Bligh et al. 1988). Alkohol alifatik, aldehida dan keton sebagian besar diperkirakan dibentuk oleh oksidasi lemak dan asam-asam lemak serta oleh degradasi asam amino selama proses pengolahan. Produk yang terbentuk oleh proses ini tergantung pada asam lemak yang terkandung, isomer hidroperoksida yang terbentuk dan kestabilan produk dekomposisi. Suhu, waktu pemanasan dan derajat autooksidasi merupakan variabel yang mempengaruhi oksidasi termal (Ho & Chen 1994; Sakakibara et al. 1990b; Yajima et al. 1983). Oksidasi lemak dikenal sebagai proses peroksidasi dan akan semakin meningkat prosesnya bersamaan dengan menurunnya aktivitas air. Hidroperoksida akan terbentuk dan kemudian terurai menjadi aldehida dan keton yang bertanggung jawab terhadap rasa tengik (Toth & Potthast 1984; Guillen & Errecalde 2002). Aldehida diketahui merupakan salah satu komponen yang penting hasil dekomposisi termal hemiselulosa selama pirolisis. Aldehida berperan pada pembentukan warna permukaan yang dimiliki oleh daging olahan dan makanan lainnya (Maga 1987; Rozum 2009). Hal senada dinyatakan juga oleh Toth dan Potthast (1984), bahwa golongan karbonil seperti aldehida dan keton berperan pada pembentukan warna asap oleh reaksi karbonil-amin dan juga pada pembentukan flavor. Senyawa lain yang telah terdeteksi dalam asap ialah benzaldehida yang memiliki pengaruh dalam pengawetan (Toth & Potthast 1984). Benzaldehida memiliki aroma kacang almond (Cha et al 1992). Benzaldehida terdeteksi pada
92
ikan fufu pada sampel-sampel ikan asap yang diuji. Benzaldehida kemungkinan berasal dari degradasi asam amino dan telah teridentifikasi sebagai monokarbonil utama pada kacang panggang. Benzaldehida juga diketahui merupakan flavor penting pada ekor daging lobster air tawar, ikan turbot, salmon dan pakan ikan. Komponen volatil lain seperti 2-nonenal yang terdeteksi juga pada ikan fufu dapat digunakan sebagai marker untuk mengevaluasi tingkat dan lingkup oksidasi pada minyak dari laut (Tanchotikul & Hsieh 1989; Linder & Ackman 2002). Aldehida yang ditemukan pada ikan fufu juga ditemukan dalam kekerangan dan ikan silver carp masaksertadapat memberikan kesan (note) tertentu pada flavor ikan. Heksanal memberikan kesan berlemak dan hijau, amis, manis; heptanal memiliki kesan seperti kayu, berlemak dan seperti kacang; benzaldehida seperti krim dan kacang; oktanal berlemak dan citrus; nonanal dan dekanal seperti bunga (floral), citrus, berlilin (waxy), berlemak, hijau dan manis (Guillen & Errecalde 2002; Jonsdottir et al. 2008; Varlet et al. 2007; Liu et al. 2009). Heksanal pada penelitian ini terdeteksi pada ikan fufu dan salai sedangkan oktanal, nonanal dan heptanal terdeteksi pada ikan fufu saja. Heksanal dapat berasal dari 2,4-Decadienal yang merupakan turunan karbonil melalui autooksidasi dari asam lemak omega-6 (Tanchotikul & Hsieh 1989). 3) Keton Senyawa golongan keton terbanyak dimiliki oleh ikan pe sebanyak 10 senyawa dan diikuti oleh ikan kayu 7 senyawa, ikan fufu 5 senyawa serta ikan salai sebanyak 4 senyawa. Keton sebagian besar telah diketahui berada pada zatzat volatil dan kemungkinan dihasilkan dari oksidasi lemak (terutama asam lemak tak jenuh) selama pemanasan, selain itu degradasi termal, degradasi asam amino dan reaksi Maillard merupakan mekanisme yang mungkin untuk pembentukan komponen-komponen keton. Keton yang ditemukan pada lobster air tawar memiliki odor seperti krim dan keju (Toth & Potthast 1984 ; Guillen & Errecalde 2002; Cha et al 1992; Linder & Ackman 2002; Sakakibara et al. 1988; Sakakibara et al. 1990a; Guillen et al. 2006; Chung et al. 2002; Liu et al. 2009). Degradasi lemak pada produk perikanan tradisional dapat menghasilkan flavor-flavor yang dikehendaki sebagai ciri kualitas beberapa jenis makanan tradisional tertentu (Bligh et al. 1988).
93
Keton cukup reaktif, evaluasi sensoris telah menunjukkan bahwa keton memiliki sifat-sifat pembentuk flavor dan terlibat pada pembentukan produk reaksi aromatik dengan senyawa penyusun makanan (Toth & Potthast 1984). Jumlah komponen ini sepertinya berkorelasi dengan kandungan lemak pada ikan asap. Komponen-komponen ini diduga bertanggung jawab terhadap bau menyerupai minyak ikan teroksidasi (Sakakibara et al. 1990b). Senyawa-senyawa cyclopentenone dan alkyl cyclopentenone ditemukan pada seluruh sampel ikan asap yang diuji. Homolog 2-cyclopentenone sebagian besar diperkirakan berasal dari asap kayu yang digunakan pada proses pengasapan (Sakakibara et al. 1990a; Yajima et al 1983; Kim et al. 1974), selain itu terdeteksi juga 2-nonanone dengan odor seperti buah terdeteksi pada ikan fufu yang sebelumnya terdeteksi pada otot adductor scallop, kijing, udang, ikan turbot (Linder & Ackman 2002). 4) Furan Senyawa golongan furan yang terbanyak dimiliki oleh ikan pe dan ikan kayu yaitu sebanyak 6 senyawa, ikan salai 5 senyawa dan ikan fufu 4 senyawa. Furan mewakili jenis komponen heterosiklik yang mengandung lima oksigen, senyawa ini kemungkinan berasal dari dehidrasi glukosa yang kemudian merupakan perantara dari degradasi termal selulosa (Maga 1987). Rozum (2009) menyebutkan bahwa furan dan furfural merupakan produk dekomposisi selulosa dan hemiselulosa kayu. Beberapa furan juga dapat dihasilkan melalui reaksi Maillard (Chung et al. 2002). Furan lain seperti furfuraldehida dapat dibentuk dari pentosa yang merupakan produk degradasi dari hemiselulosa. Furfuraldehida pada gilirannya dapat berkondensasi dan memiliki aroma manis, buah dan rumput (fruity and grassy). Furan juga berperan terhadap sifat sensoris keseluruhan dari asap kayu dimana furan cenderung untuk meringankan aroma asap yang tajam yang sering dihubungkan dengan komponen fenolik. Fraksi furan yang diidentifikasi dari asap cair memiliki aroma manis, harum, seperti bunga (Maga 1987; Toth & Potthast 1984). Benzofuran dan turunan metilnya telah terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap yang diuji. Toth dan Potthast (1984) menyatakan bahwa senyawa ini
94
terdeteksi dalam asap. Senyawa furan lainnya ialah furfural yang terdeteksi pada sampel ikan fufu dan pe. Senyawa ini berperan dalam pembentukan warna pada daging asap. Furfural memiliki flavor manis, daging panggang, hangus dan seperti karamel dan merupakan produk degradasi dari gula (Toth & Potthast 1984; Maga 1987; Tanchotikul & Hsieh 1989). Kandungan furfural yang tinggi dipengaruhi oleh waktu pengasapan dan jenis kayu (Jonsdottir et al. 2008). Penelitian Jonsdottir et al. (2008) menunjukkan bahwa furfural merupakan pemberi odor yang lemah sehingga tidak memberikan peran banyak pada karakteristik aroma asap. Senyawa 2-furanmethanol terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap. Senyawa ini diketahui memiliki flavor hangus, manis, pahit, kelapa pada kopi, daging dan produk-produk unggas (Cha et al. 1992). Furfuryl alcohol diperkirakan sebagai komponen dari asap selama proses pengasapan (Sakakibara et al. 1988; Guillen et al. 2006). Senyawa 2-pentylfuran terdeteksi pada ikan fufu dan merupakan produk khas oksidasi lemak (Guillen & Errecalde 2002). Furfural dan 2-pentylfuran diketahui berada pada limbah lobster air tawar. Komponen 2-pentylfuran memberikan flavor pada daging masak (Tanchotikul & Hsieh 1989). Sampel ikan kayu memiliki furanmetanol dengan proporsi tinggi. Penelitian Sakakibara et al. (1990b) terhadap beberapa jenis katsuobushi menyimpulkan bahwa bahwa senyawa golongan furfuryl alcohol terdapat dalam turunan-turunan furan yang diidentifikasi. Jonsdottir
et
al.
(2008)
menyatakan
bahwa
senyawa
seperti
5-methyl-2-furancarboxyaldehyde dan 1-(2-furanyl)-ethanone dipilih sebagai senyawa volatil kunci potensial yang berhubungan dengan asap selain furfural, guaiacol, 4-methyl-guaiacol, 4-ethyl-guaiacol, fenol dan 2-furancarboxaldehyde sebagai indikator kualitas bagi salmon asap dingin. Flavor dan odor salmon asap berhubungan dengan adanya komponen-komponen ini dan senyawa-senyawa tersebut terdeteksi pada sampel ikan pe. 5) Alkohol Senyawa golongan alkohol lebih banyak terdapat pada ikan pe, yaitu sebanyak 3 senyawa dan pada ikan salai serta ikan kayu masing-masing sebanyak 1 senyawa. Golongan alkohol yang umum terdapat dalam asap, yaitu metanol,
95
etanol, allylalcohol, benzylalcohol, phenylethylalcohol tidak terdeteksi pada sampel ikan asap. Hal ini kemungkinan dikarenakan alkohol tersebut sudah terurai menjadi senyawa lain atau menjadi penyusun senyawa lain. Sebagai contoh ialah senyawa metanol yang berasal dari gugus metoksi seperti lignin dan ketika teroksidasi akan membentuk aldehida atau asam (Toth & Potthast 1984). Penelitian Sasaki et al. (1969b) menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis senyawa alkohol dan 10 jenis asam yang ditemukan dalam sebagai penyusun ester. Alkohol dapat terbentuk dari dekomposisi hidroperoksida sekunder dari asam lemak. Alkohol ini pada umumnya kontributor minor pada flavor makanan karena ambang odornya yang tinggi kecuali terdapat pada konsentrasi yang tinggi atau tidak jenuh (Tanchotikul & Hsieh 1989; Chunga et al. 2002; Linder & Ackman 2002; Sakakibara et al. 1988; Sakakibara et al. 1990a; Liu et al. 2009). Beberapa alkohol memiliki ambang odor khas yang lebih rendah daripada aldehida dan keton dan tidak berperan terlalu banyak terhadap odor kerusakan salmon asap dingin (Jonsdottir et al. 2008). Hal senada dinyatakan oleh Ho dan Chen (1994) yang menunjukkan bahwa pembelahan hidroperoksida lemak juga akan menghasilkan alkohol, alkana, alkena dan alkuna. Alkohol dan hidrokarbon tidak dianggap sebagai kontributor penting bagi flavor lemak, minyak dan makanan yang mengandung lemak karena ambang odornya yang relatif tinggi. 6) Fenol Senyawa dari golongan fenol lebih banyak terdapat pada ikan pe yaitu sebanyak 30 senyawa dan ikan kayu 22 senyawa, ikan salai 20 senyawa serta ikan fufu sebanyak 19 senyawa. Pohon berkayu keras mengandung 20-25% lignin. Pirolisis dari lignin sebagian besar menghasilkan senyawa fenolik (Rozum 2009). Fenol merupakan hidrokarbon aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksi yang secara langsung terhubung dengan cincin benzen. Sifat fisika dan kimia fenol dapat dipengaruhi lebih lanjut oleh gugus fungsional yang berasal dari alkohol, aldehida, keton dan asam (Toth & Potthast 1984; Chung et al. 2002). Komponen fenolik utama yang penting bagi karakteristik flavor asap ialah: guaiacol, 4-methyl-, 4-ethyl-, 4-propyl- dan 4-vinylguaiacol, eugenol, isoeugenol, syringol, phenol, cresol, 4-ethylphenol (Doe 1998; Cardinal et al. 2006; Guillen et
96
al. 2006; Rozum 2009). Senyawa golongan fenol yang disebutkan di atas terdeteksi pada keempat sampel ikan asap ini dengan proporsi dan komposisi yang berbeda-beda tergantung dari bahan baku, kondisi dan metode pengasapannya. Fenol yang berada dalam asap tidak hanya berhubungan dengan lignin. Fenol dari pirolisis selulosa dipercaya berasal dari konversi senyawa alifatik menjadi senyawa aromatik pada suhu yang tinggi. Amilopektin yang merupakan suatu penyusun hemiselulosa dapat menghasilkan fenol dan 3 kresol. Hasil ini menunjukkan bahwa semua senyawa penyusun kayu memberikan peran dalam pembentukan komponen fenolik selama pembentukan asap (Toth & Potthast 1984). Senyawa-senyawa monohidroksifenol seperti kresol (metilfenol) terdeteksi pada seluruh sampel ikan asap yang diuji, begitu juga senyawa dihidroksi fenol yang paling utama yaitu guaiacol. Turunan guaiacol yang disubstitusi pada posisi 4 ialah 4-methyl-, 4-ethyl-, 4-vinyl-, 4-propyl-, 4-propenyl- (Toth & Potthast 1984) juga terdeteksi pada sampel ikan asap dengan komposisi yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh metode pengasapan, jenis dan kadar air kayu yang digunakan (Toth & Potthast 1984; Jonsdottir et al. 2008). Senyawa trihidroksifenol seperti syringol diketahui merupakan unsur pokok asap (Toth & Potthast 1984). Syringol ditemukan pada seluruh sampel asap yang diuji dan turunan propenyl-nya ditemukan pada ikan pe. Syringol dan turunannya juga guaiacol dan turunannya dapat ditemukan pada kedua kayu keras dan kayu lunak, tapi dalam jumlah yang berbeda (Toth & Potthast 1984). Hasil maksimum dari komponen penyusun asap yang berbeda dapat diperoleh dengan kondisi tertentu (guaiacol dan syringol pada suhu 400-600 oC, serta fenol pada 300 oC). Jumlah fenol yang terdapat di dalam produk asap dipengaruhi oleh tingkat pengasapannya (Doe 1998; Sakakibara et al. 1990a; Toth & Potthast 1984). Vinylguaiacol terdeteksi pada sampel ikan fufu dan pe. Asam ferulic dan sinapinic dengan adanya oksigen akan membentuk vinylguaiacol sebagai komponen utama selama pirolisis, tetapi hal ini bergantung pada jenis kayunya. Senyawa penyusun kayu mempengaruhi terhadap hasil dekomposisi termalnya (Toth & Potthast 1984). Yajima et al. (1981) menemukan 2,5-dimethylphenol, 2,3-dimethylphenol dan 4-vinylphenol dalam katsuobushi
97
untuk pertama kalinya dansebagian besar dari komponen ini berasal dari asap kayu yang digunakan selama proses pengasapan katsuobushi. Senyawa 2,3-dimethylphenol dan 2,5-dimethylphenol juga terdeteksi pada sampel ikan kayu yang diuji. Guaiacol memiliki aroma fenolik, seperti asap, panas, dan manis serta memiliki rasa fenolik, panas, pedas, flavor daging asap, manis, dan kering. Syringol (2,6-Dimethoxyphenol) memiliki aroma asap, rempah-rempah, aromatik, seperti daging asap, fenolik, panas dan manis, serta rasanya seperti senyawa fenolik, asap, terbakar, arang kayu, kering dan panas. 4-Methylguaiacol memiliki aroma manis, seperti vanila, buah, manis, asap, dan panas yang tidak mengganggu, serta rasanya manis, seperti vanila, seperti karamel, aromatik, flavor asap yang menyenangkan dan terbakar. Isoeugenol memiliki aroma manis, seperti buah, vanila, fenolik serta rasanya manis seperti buah, flavor asap sedang, kering dan panas. Dimethylphenol yang terdeteksi pada keempat jenis ikan asap memiliki aroma fenolik, seperti tinta, aromatik, manis, serta rasanya seperti senyawa fenolik, panas, manis dan kering. o-Cresol memiliki aroma fenolik, manis seperti buah, aromatik, karamel, daging asap, rasanya manis, panas, seperti asap dan terbakar (burning). Fenol memiliki aroma manis dan berminyak, seperti obat dan deskripsi citarasanya ialah menyengat dan sepat. Eugenol memiliki deskripsi aroma seperti asap, pala dan cengkeh, dengan deskripsi flavor asap, manis dan cengkeh (Toth & Potthast 1984; Brown 2009; Tanchotikul & Hsieh 1989; Chung et al. 2002). 7) Eter Senyawa golongan eter lebih banyak pada ikan salai yaitu sebanyak 6 senyawa dan diikuti oleh ikan kayu 3 senyawa dan ikan fufu 1 senyawa. Minyak eter memiliki pengaruh terhadap flavor asap (Toth & Potthast 1984). Eter yang terdeteksi pada sampel diantaranya ialah senyawa-senyawa dari dymethoxy- dan trimethoxybenzene. Eter diperkirakan merupakan komponen dari asap selama proses pengasapan (Sakakibara et al. 1988). Beberapa eter (anisole) yang terdeteksi pada penelitian Sakakibara et al. (1990b) dan Yajima et al. (1983) diketahui terbentuk dari metilasi beberapa fenol tertentu dan dikenal juga sebagai komponen flavor asap kayu yang berasal dari batang kayu. Toth dan Potthast
98
(1984) juga menyatakan bahwa methoxybenzene (anisole) memiliki sifat flavor yang khusus dan dapat berasal dari dalam asap. Dimethoxytoluene diketahui merupakan salah satu karakteristik komponen asap dan terdeteksi pada ikan salai, kayu dan fufu. Sebelumnya senyawa ini diketahui terdapat pada ikan bream asap (Guillen & Errecalde 2002). 8) Ester Senyawa golongan ester lebih banyak terdapat pada ikan kayu sebanyak 10 senyawa, ikan fufu 3 senyawa, ikan pe 2 senyawa dan ikan salai 1 senyawa. Pada sampel ikan asap telah terdeteksi beberapa ester dari asam propionat, benzoat, oksalat, sulfat dan tiosianat. Ester seperti metil ester dari asam format, asetat dan butirat yang terdeteksi telah diketahui berada pada asap cair. Ester secara umum ialah unsur pokok dengan sifat pembentukan flavor yang tinggi (Toth & Potthast 1984). Hal senada dinyatakan Guillen dan Errecalde (2002), bahwa ester secara umum, dianggap penting bagi flavor makanan terutama dalam buah. Turunan benzenedicarboxylate termasuk dalam gugus ini dan dapat ditemui padaswordfish asap (Guillen & Errecalde 2002; Guillen et al. 2006). Ester yang ditemukan dalam ikan kemungkinan berasal melalui esterifikasi asam dengan alkohol yang sebelumnya terbentuk dari metabolisme lipid (Guillen & Errecalde 2002). Ester dari methyl hexadecanoate terdeteksi pada ikan pe. Methyl hexadecanoate sebelumnya ditemukan pada udang, kijing, dan cumi panggang. Kemungkinan merupakan produk degradasi termal dari lemak karena memiliki kerangka dasar karbon yang panjang (Chung et al 2002). 9) Asam Asam-asam organik seperti nonahexacontanoic acid terdeteksi pada ikan kayu sementara asam asetat dan n-Hexadecanoic acid terdeteksi pada ikan pe. Asam merupakan hasil dekomposisi penting dari selusosa dan hemiselulosa (Rozum 2009). Asam pada penelitian ini hanya terdeteksi sejumlah kecil saja. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena selama pirolisis asam berubah menjadi senyawa lain, sebagai contoh ialah asam ferulic yang merupakan hasil dekomposisi lignin dapat berubah menjadi 4-vinylguaiacol, 4-methylguaiacol, 4ethylguaiacol, acetovanillone, vanilin, vanillic acid, guaiacol, selain itu asam
99
dapat juga terbentuk oleh hidrolisis trigliserida pada ikan oleh lipase (Sakakibara et al. 1990b). Asam memiliki pengaruh yang lebih sedikit terhadap flavor daging asap (Toth & Potthast 1984). Asam yang terdapat pada ikan asap tidak terlalu signifikan sama seperti pada ikan mentahnya tetapi sekelompok asam dapat memberikan note kurang menyenangkan pada flavor ikan. Octanoic memberikan kesan tengik, berlemak, tidak menyenangkan; nonanoic seperti keju, berlilin; decanoic tengik, berlemak (Guillen & Errecalde 2002). Asam asetat terdeteksi pada ikan pe dan merupakan salah satu asam utama yang terdeteksi pada ikan bream asap yang juga merupakan komponen asap utama (Guillen & Errecalde 2002; Guillen et al. 2006), selain itu juga asam ini terdeteksi pada komponen salmon asap yang mulai rusak (Jonsdottir et al. 2008). 10) Golongan lainnya Golongan senyawa lain-lain biasanya terdiri dari senyawa yang mengandung nitrogen, mineral atau senyawa-senyawa lainnya yang jarang sekali terdapat pada ikan asap sehingga memerlukan identifikasi lebih lanjut. Golongan ini terdapat pada ikan pe sebanyak 21 senyawa, ikan salai 9 senyawa, ikan kayu 6 senyawa dan ikan fufu sebanyak 1 senyawa. Komponen-komponen volatil yang beragam dan memberikan flavor tertentu akan muncul selama pengolahan, degradasi termal, oksidasi lemak dan reaksi Maillard. Hasil dari komposisi dan jumlahnya bergantung dari berbagai faktor. Penyimpanan juga akan menyebabkan perubahan pada keseimbangan komponen flavor volatil antara lain dalam penurunan komponen titik didih rendah dan peningkatan komponen karbonil yang dibentuk melalui oksidasi lemak selama penyimpanan (Sakakibara et al. 1990a). Komponen-komponen baru yang akan terbentuk selama pembakaran kayu dan interaksi-interaksinya dengan bahan makanan dapat menyebabkan reaksi yang tak terhingga dan munculnya flavor-flavor tetapi tidak semua reaksi dan flavor ini baik. Pembakaran yang terkontrol, atau pirolisis kayu dapat mempengaruhi komponen yang terbentuk dan dengan demikian juga akan mempengaruhi flavor dan kualitas dari produk yang dihasilkan (Rozum 2009). Senyawa-senyawa dari golongan lain juga dapat timbul sebagai akibat dari kontaminasi ikan asap dengan bahan-bahan lain yang bersentuhan selama pengolahan (Doe 1998).
100
4.4
Karakteristik Organoleptik Senyawa penyusun flavor produk asap yang dihasilkan bervariasi
komposisi kimianya secara alami. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kayu, kondisi pirolisis, metode pengolahan, jenis bahan bahan baku dan tahap pengolahan yang digunakan. Variasi faktor-faktor yang terjadi menyebabkan kompleksnya komposisi kimia yang dihasilkan (Kostyra & Pikielna 2006). Flavor ikan asap terdiri dari senyawa volatil dan nonvolatil yang memiliki berbagai karakteristik kimia dan organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan oleh panelis terlatih diharapkan dapat mendeteksi karakteristik-karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari masing-masing sampel ikan asap. 4.4.1
Pengujian menggunakan metode Quantitave Descriptive Analysis (QDA®) Evaluasi terhadap keempat jenis ikan asap dilakukan dengan metode
QDA®. Atribut sensoris aroma yang diuji antara lain ialah fishy, burnt, sweet, smoky, fatty, woody dan atribut sensoris rasa meliputi manis, asin, asam, gurih, dan pahit. Hasil deskripsi aroma pada grafik spider web (Gambar 9) menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki intensitas aroma fishy dan woody yang lebih tinggi dari ikan asap jenis lainnya. Ikan pe memiliki intensitas aroma burnt dan smoky yang lebih tinggi serta ikan salai memiliki intensitas aroma fatty dan sweet yang lebih tinggi dibandingkan ikan asap jenis lainnya. Hasil deskripsi atribut rasa menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki intensitas rasa gurih yang lebih tinggi daripada ikan lainnya. Ikan fufu memiliki intensitas rasa pahit, asin dan asam yang lebih tinggi serta ikan salai memiliki intensitas rasa manis yang lebih tinggi daripada ketiga jenis ikan asap lainnya. Senyawa yang memberikan karakteristik aroma pada produk kering hasil perikanan sebagian berasal dari oksidasi lemak dan hidrolisis lemak sementara sebagian lainnya dapat berasal dari makanan dan kondisi hidup atau budidaya ikan lainnya (Doe 1998).
101
Fishy 70,00
Pahit
Burnt
60,00 50,00 40,00
Gurih
Sweet
30,00 20,00
Fufu
10,00
Salai
0,00
Asam
Smoky
Pe Kayu
Asin
Fatty Manis
Woody
Gambar 9 Diagram spider web aroma dan rasa dari keempat jenis ikan asap. Menurut Guillen dan Errecalde (2002), senyawa amin volatil seperti dimetil dan trimetilamin sering dihubungkan dengan off-flavour dan biasanya terdeteksi sebagai komponen volatil pada ikan segar. Trimetilamin memiliki deskripsi aroma amis (fishy), tajam (pungent) dan seperti amonia (Burdock 2002). Trimetilamin merupakan hasil reduksi dari trimetilamin oksida yang merupakan suatu komponen osmoregulator yang terdapat pada ikan air laut (Huss 1995; Venugopal 2006), oleh karena itu aroma fishy kemungkinan besar berasal dari komponen trimetilamin yang terdapat pada bahan baku ikan kayu yaitu ikan cakalang yang termasuk jenis ikan air laut. Aroma woody dideskripsikan sebagai aroma yang menimbulkan kesan segar seperti kayu basah dan jamur. Atribut aroma woody yang terdeteksi pada ikan kayu juga pernah terdeteksi pada penelitian flavor asap kayu. Atribut sensoris woody terdeteksi dominan pada salah satu fraksi asap pada hasil penelitian Kostyra dan Pikielna (2006) yang ditunjukkan dengan adanya jumlah senyawa golongan karbonil yang menurun, sedangkan senyawa fenol, guaiacol dan syringol jumlahnya meningkat. Ketiga komponen ini terdapat pada hasil analisis senyawa volatil ikan kayu dimana ikan ini memiliki proporsi guaiacol (3,545%), fenol (3,397%) dan syringol (1,721%). Senyawa-senyawa ini berasal dari asap hasil pembakaran kayu yang menempel pada ikan dan atribut ini terdeteksi lebih
102
tinggi pada ikan kayu, kemungkinan karena lebih lamanya waktu proses pengasapan yang dilakukan (>14 hari). Atribut sensoris aroma burnt digunakan juga oleh Varlet et al. (2007), pada penelitiannya mengenai aroma salmon asap. Aroma burnt dapat ditimbulkan antara
lain
2-butenolide,
oleh
senyawa
atau
2,6-dimethoxy-4-methylphenol,
golongan
senyawa
seperti
2,6-dimethoxy-4-ethylphenol,
2,6-dimethoxy-4-propylphenol, 2,6-dimethoxy-4-propenylphenol, pyrocatechol, 3-methylpyrocatechol, 4-methylpyrocatechol, 4-ethylpyrocatechol, 2-acetylfuran, pyrrole (Kim et al. 1974; Maga 1987; Varlet et al. 2007; Toth & Potthast 1984). Senyawa-senyawa dari golongan fenol memberikan peran yang besar terhadap aroma burnt ini. Ikan pe memiliki intensitas aroma burnt paling tinggi. Hal ini didukung oleh hasil analisis senyawa volatil ikan pe yang memiliki jumlah senyawa golongan fenol paling banyak (30 senyawa) jika dibandingkan dengan ikan asap lainnya. Senyawa-senyawa golongan fenol ini berasal dari asap hasil pembakaran kayu dan menempel pada permukaan ikan pe yang masih basah selama pengasapan berlangsung (kadar air 76,44%). Tingkat jumlah senyawa penyusun asap yang dapat diserap oleh ikan tergantung dari derajat kebasahan permukaan dan konsentrasi senyawa penyusun asap yang terdapat dalam asap (Whittle & Howgate 2000). Atribut sensoris aroma smoky merupakan atribut sensoris yang khas pada produk asap dan senyawa-senyawa dari kelompok fenol merupakan sumber komponen utamanya. Atribut ini juga digunakan pada penelitian produk asap yang dilakukan oleh Jonsdottir et al. (2008); Kostyra dan Pikielna (2006); dan Varlet et al. (2007). Senyawa-senyawa yang memiliki deksripsi smoky antara lain ialah 2-methoxyphenol, 2-methylphenol, 4-methylguaiacol, 4-ethylguaiacol, guaiacol, 2,6-dimethoxyphenol (syringol) (Maga 1987). Ikan pe memiliki intensitas atribut smoky yang tinggi, hal ini didukung juga oleh hasil analisis total fenol ikan pe yang paling tinggi dibandingkan dengan ikan asap lainnya (59,34 ppm). Ikan pe juga memiliki jenis senyawa golongan fenol yang paling banyak dibandingkan dengan ikan asap lainnya (30 senyawa) serta seluruh komponen senyawa-senyawa fenol tersebut memang terdeteksi pada hasil analisis senyawa volatil ikan pe (Lampiran 14). Jarak ikan pari dengan sumber asap yang lebih dekat (5-10 cm)
103
pada proses pengasapan ikan pe dan tingginya kadar air bahan baku (76,44%) dibandingkan dengan ketiga jenis ikan asap lainnya kemungkinan berpengaruh terhadap tingginya intensitas atribut sensoris smoky yang terdeteksi oleh panelis. Kandungan fenol pada produk dengan permukaan yang basah selama periode waktu yang sama ialah 20 kali lebih besar daripada produk yang kering (Toth & Potthast 1984). Atribut sensoris aroma fatty pada ikan asap digunakan pula pada penelitian ikan asap yang dilakukan oleh Jonsdottir et al. (2008); Cardinal et al. (2006) dan Varlet et al. (2007). Senyawa-senyawa yang dapat memberikan deskripsi fatty atau berlemak diantaranya ialah 3,5-octadien-2-one, hexanal, heptanal, oktanal, nonanal, octanoic acid, decanoic acid (Cha et al. 1992; Guillen & Errecalde 2002; Varlet et al. 2007; Jonsdottir et al. 2008). Atribut fatty sebetulnya terdeteksi pada ikan asap dengan intensitas yang tidak jauh berbeda nilainya, yaitu pada ikan salai rata-rata intensitas yang terukur adalah 27,57, ikan fufu 25,98, ikan pe 25,28 dan ikan kayu 23,27 (Lampiran 23) sehingga garis pada grafik spiderweb tampak berdekatan. Ikan salai diketahui memiliki aldehid hexanal yang dapat memberikan kesan fatty (1,885%), sedangkan pada ikan asap lainnya tidak terdeteksi. Oksidasi lemak yang terjadi selama lima tahap pengeringan ikan salai dapat menjadi penyebab karena proses ini dapat mempengaruhi flavor produk dan berlangsung lebih cepat pada kandungan air yang rendah (Doe 1998). Oksidasi lemak juga diketahui berlangsung lebih cepat jika daging ikan bersentuhan dengan darah, tulang dan sisik. Ikan salai diasapi masih dalam bentuk utuh bersama tulang dan kulitnya berbeda dengan ketiga jenis ikan asap lain yang telah difilet dan dipisahkan dari tulang dan durinya. Kulit yang masih menempel pada ikan salai dan ikan fufu juga dapat mempengaruhi terjadinya oksidasi lemak karena dapat menahan penetrasi komponen-komponen antioksidan pada asap. Cara preparasi seperti pemotongan filet ikan salai, pembersihan dan proses lain yang dapat menyebabkan kerusakan fisik selama pengolahan akan menyebabkan terlepasnya minyak-minyak alami pada ikan dan menyebar ke seluruh permukaannya (Bligh et al. 1988). Atribut sensoris aroma sweet telah digunakan juga pada penelitian Jonsdottir et al. (2008) mengenai ikan asap dan Morita et al. (2002) mengenai
104
scallop rebus. Senyawa atau golongan senyawa yang menghasilkan deskripsi sweet dari asap kayu diantaranya ialah furfuraldehida, alkyl phenyl ketone, furfural,
5-methylfurfural,
2-(5-Methylfuryl)-methylketone,
2-ethylfuran,
2-furanmethanol, decanal, dimethylphenol, 4-methylguaiacol, guaiacol, o-cresol, 2-ethyl-1-hexanol, dimethyl sulfide, diethyl sulfide; ethyl acetate dan ethyl decanoate (Maga 1987; Guillen & Errecalde 2002; Linder & Ackman 2002; Yajima et al. 1983). Ikan salai diketahui memiliki beberapa senyawa tersebut berdasarkan hasil GC/MS (Lampiran 12) yaitu furanmethanol, decanal, dimethylphenol,
4-methylguaiacol,
guaiacol,
o-cresol,
1-(4-methylphenyl)-
ethanone. Senyawa-senyawa ini berpengaruh terhadap intensitas aroma sweet yang terdeteksi. Selain itu juga adanya penambahan berbagai jenis bumbu rempah pada pembuatan ikan salai akan mempengaruhi komposisi flavornya. Minyak volatil dari rempah-rempah mewakili aspek aromatik dan berkontribusi besar pada flavornya. Minyak nonvolatil (oleoresin) merupakan komponen flavor yang memberikan rempah-rempah kesan tajam menusuk, panas, manis atau pahit (Brown 2009). Flavor makanan yang berasal dari laut terdiri dari senyawa aroma aktif volatil dan senyawa rasa aktif nonvolatil. Penyusun rasa aktif pada umumnya ialah senyawa nonvolatil seperti asam amino bebas, nukleotida, gula, garamgaram mineral, basa organik, asam organik, senyawa inorganik (Shahidi & Cadwallader 1997; Yamaguchi & Watanabe 1990; Lyhs 2002). Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 2008). Menurut JICA (2008) dan Swastawati et al.(2007), rasa lezat yang menjadi ciri khas produk ikan yang diasap terutama berasal dari senyawa fenol dan aldehida. Toth dan Potthast (1984) menyatakan bahwa perbedaan jenis senyawa fenolik yang dihasilkan akan mempengaruhi rasa produk. Senyawa seperti 4-metilguaiakol, guaiakol, kresol, isoeugenol dan lainlain dapat memberikan rasa khas produk asap (Maga 1987). Rasa asam disebabkan oleh donor proton, misalnya asam cuka. Intensitas rasa asam tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari hidrolisis asam (Winarno 2008). Rasa asam pada ikan asap fufu kemungkinan ditimbulkan dari adanya asam-asam organik yang terkandung di dalam asap atau hasil reaksi penguraian
105
dari komponen-komponen ikan asap yang dapat menghasilkan asam. Asam merupakan hasil dekomposisi penting dari selusosa dan hemiselulosa (Rozum 2009) dan hasil hidrolisis trigliserida (Sakakibara et al. 1990b). Rasa asam yang dihasilkan pada ikan fufu dipengaruhi oleh banyaknya komponen asap (hasil degradasi selulosa dan hemiselulosa) dan kandungan lemak ikan cakalang sebagai bahan baku. Rasa asin dihasilkan oleh sebagian garam-garam anorganik. Garam anorganik yang umum adalah NaCl (Winarno 2008). Proses hidrolisis protein juga dapat menghasilkan asam amino taste-active dan peptida yang berperan pada karakteristik rasa produk seperti ikan asin dan cumi kering (Doe 1998). Ion natrium bertanggung jawab bagi flavor yang berasal dari garam. Fungsi yang penting bagi persepsi flavor bukan saja rasa asin yang diberikan natrium tapi juga peningkatan intensitas dari flavor lain yang dihasilkan dengan adanya natrium (Sebranek 2009). Rasa asin pada sampel ikan asap ini lebih dipengaruhi oleh kandungan alami senyawa kimianya dan interaksi yang terjadi selama pengasapan daripada proses pengolahannya karena tidak adanya proses penggaraman. Kemungkinan lain beberapa asam amino bebas hasil penguraian selama pengolahan seperti asam aspartat dan glutamat yang dapat memberi citarasa gurih juga turut mempengaruhi terdeteksinya rasa asin pada ikan fufu (masking). Rasa manis ditimbulkan oleh senyawa organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida dan gliserol. Sumber rasa manis yang utama adalah gula atau sukrosa serta monosakarida dan disakarida lainnya (Winarno 2008). Gula bebas yang terkandung pada ikan biasanya ialah glukosa dan ribosa (Okada 1990). Asam amino dan gula yang terdapat pada ikan salai kemungkinan mempengaruhi atribut sensoris manis yang terdeteksi oleh panelis pada ikan ini. Selain itu rasa manis dapat berasal dari proses pengolahan ikan salai yang melalui tahap proses perendaman bumbu dari berbagai macam rempah. Bumbu rempah ini akan mempengaruhi aroma dan rasa yang terdapat pada ikan salai tersebut. Rempah-rempah memiliki bahan dasar dari karbohidrat (termasuk gula, serat dan gum) (Brown 2009). Asam amino yang memiliki rasa manis yaitu glisin, alanin, serin, treonin dan prolindan dapat ikut mempengaruhi atribut rasa (Okada 1990; Liu et al. 2009). Berdasarkan hasil
106
analisis asam amino bebas, ikan salai memiliki konsentrasi glisin paling tinggi yaitu 1211,45 mg/kg atau 33,10% dibandingkan asam amino bebas lain pada ikan salai. Persentase glisin pada jenis ikan asap lainnya hanya mencapai 5,70% (ikan fufu), 1,05% (ikan pe) dan 3,64% (ikan kayu). Persentase serin pada ikan salai juga (4,97%) lebih tinggi daripada ketiga jenis ikan asap lainnya. Rasa manis juga dapat dipengaruhi oleh beberapa senyawa golongan fenol yang berasal dari asap dan menempel pada daging ikan salai. Senyawa-senyawa seperti dimetilfenol, 4-metilguiakol, guaiakol dan orto kresol diketahui menimbulkan rasa manis khas pada produk asap (Maga 1987). Rasa pahit pada umumnya disebabkan oleh alkaloid-alkaloid seperti kafein, kuinon, glikosida, amonium, senyawa fenol, Mg dan Ca (Winarno 2008). Fenol, cresol (metilfenol), guaiacol dan methyl- dan ethyl guaiacol memiliki citarasa panas (hot) dan pahit (Maga 1987). Jumlah kandungan total fenol dan jenis senyawa golongan fenol pada ikan fufu memang lebih rendah daripada ikan pe, tetapi sebagian besar proporsi senyawa golongan fenolnya jauh lebih tinggi. Proporsi senyawa fenol (16,043%), 3-metilfenol (5,727%), 4-metil fenol (3,766%), guaiakol (3.611%), 4-metilguaiakol (2,748%), 2-metilfenol (1,776%) dan 4-etilguiakol (1,052%) yang cukup tinggi pada ikan fufu kemungkinan akan mempengaruhi rasa pahit yang terdeteksi. Kandungan senyawa golongan fenol ini dipengaruhi oleh komposisi asap yang menempel pada ikan fufu. Senyawa yang dapat memberikan rasa pahit lainnya diantaranya ialah asam amino arginin, metionin, histidin, fenilalanin, leusin, isoleusin, lisin dan valin (Yamaguchi & Watanabe 1990; Liu et al. 2009). Kandungan asam amino bebas metionin (306,13 mg/kg), valin (448,85 mg/kg), isoleusin (324,07 mg/kg), leusin (761,32 mg/kg) dan lisin (468,46 mg/kg) pada ikan fufu memang terukur lebih tinggi daripada ketiga jenis ikan asap lainnya. Rasa gurih dihubungkan dengan adanya senyawa seperti asam glutamat atau garamnya pada bahan makanan, misalnya monosodium glutamat dan jenis 5-nukleotida seperti Inosin 5-monofosfat (IMP), guanidin 5-monofosfat (GMP) (Winarno 2008). Asam glutamat bebas terkandung pada seluruh spesies ikan dan merupakan kontributor rasa paling penting (Yamaguchi & Watanabe 1990). Ikan kayu yang memiliki rasa gurih dengan intensitas tinggi kemungkinan memiliki
107
kandungan-kandungan nukleotida yang mempengaruhi rasa gurih seperti yang telah diteliti oleh Sakakibara et al. (1990a). Yamaguchi dan Watanabe (1990) menyatakan bahwa umami dari katsuobushi terutama disebabkan oleh adanya senyawa IMP. Asam aspartat (182 mg/kg) dan glutamat (336,33 mg/kg) pada ikan kayu juga kemungkinan mempengaruhi rasa gurih yang terdeteksi. Peptidapeptida dan asam amino bebas berperan terhadap flavor, baik secara langsung maupun secara tidak langsung sebagai prekursor senyawa flavor lain (Liu et al. 2009). 4.4.2
Pengolahan data menggunakan Principle Component Analysis (PCA) Nilai hasil PCA dapat menunjukkan titik lokasi masing-masing sampel
ikan asap disekitar atribut sensoris aroma (fishy, sweet, burnt, woody, fatty, smoky) dan rasa (manis, asam, pahit, asin, gurih) yang menjadi karakteristik sampel tersebut dalam suatu grafik. Dua komponen utama (PC1, PC2) digunakan untuk menerjemahkan data-data karena keduanya telah dapat menjelaskan 84% dari total keragaman yang ada pada data atribut sensoris (PC1 47%; PC2 37%). Menurut Setyaningsih et al. (2010), komponen utama berikutnya akan diambil jika komponen utama tersebut belum mampu menjelaskan 70% dari total keragaman. Gambar 10 menunjukkan grafik Bi-plot atau scatter plot yang menjelaskan hubungan antara sampel ikan asap dan atribut sensoris aroma serta rasa (variabel) secara keseluruhan. Grafik ini memberikan informasi mengenai hubungan antar variabel, kemiripan relatif antar objek pengamatan, posisi relatif antar objek pengamatan dengan variabel. Jarak antara variabel maupun sampel menunjukkan hubungan diantara variabel maupun sampel tersebut. Hubungan antara dua titik sampel dapat dilihat dengan membandingkan jaraknya dengan titik-titik dari variabel (Setyaningsih et al. 2010).
108
Gambar 10 Diagram Bi-plot atribut sensori dan sampel-sampel ikan asap. Hasil analisis PCA (PC1 47%; PC2 37%) menunjukkan bahwa masingmasing sampel ikan asap dikelompokkan ke dalam kuadran-kuadran yang berbeda dan jaraknya saling berjauhan. Hal ini menunjukkan bahwa keempat sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain sehingga dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian sensoris dengan baik. Ikan asap yang diuji memiliki kekhasan masing-masing, baik dalam tahap preparasi, proses, kondisi pengasapan maupun bahan baku. Ikan kayu terdapat pada sisi paling kanan kuadran pertama dan dikarakterisasikan oleh atribut aroma woody, rasa manis dan gurih. Hasil QDA® (Lampiran 22) aroma woody dan rasa gurih ikan kayu memberikan deskripsi hasil yang sama dengan hasil grafik PCA. Intensitas rasa manis berdasarkan pengujian deskripsi oleh para panelis (Lampiran 23) terdeteksi lebih tinggi pada ikan salai dengan nilai sebesar 33,10 sementara ikan kayu 24,72. Rasa manis juga kemungkinan tetap menjadi karakteristik ikan kayu jika dilihat dari kandungan karbohidratnya yang tinggi (7,98%) dan kandungan asam amino bebas yang memiliki rasa manis seperti serin (220,35 mg/kg), alanin (2817,76 mg/kg) dan treonin (1353,34 mg/kg) pada ikan kayu yang lebih tinggi. Sumber rasa manis yang utama adalah gula atau monosakarida dan disakarida lainnya (Winarno 2008; Okada 1990) dan beberapa asam amino bebas seperti glisin, serin, alanin,
109
treonin dan prolin (Liu et al. 2009). Atribut aroma woody dan rasa manis berada dalam kuadran yang sama. Menurut Maga (1987), beberapa senyawa guaiakol dapat menimbulkan deskripsi odor woody (4-allylguaiacol) dan citarasa yang manis (4-methylguaiacol). Sampel ikan fufu berada di bagian paling bawah kuadran kedua dan dikarakterisasikan oleh atribut rasa asin, pahit, asam dan fishy. Hasil pengujian QDA® (Lampiran 22) memberikan deskripsi hasil rasa yang sama yaitu ikan fufu memiliki intensitas rasa asin, pahit dan asam yang tinggi. Intensitas aroma fishy ikan kayu lebih tinggi daripada ikan fufu berdasarkan hasil QDA®. Karakteristik fishy yang terletak dalam kuadran berdekatan ini dapat dijelaskan karena kedua ikan ini memiliki bahan baku yang sama yaitu ikan cakalang yang merupakan ikan air laut yang mengandung trimetilamin serta intensitas aromanya yang lebih dekat nilainya (Lampiran 23) dibandingkan dengan nilai aroma ikan salai dan ikan pe (nilai atribut fishy ikan fufu 46,35; ikan kayu 53,97; ikan salai 35,35; ikan pe 35,83). Ikan pe pada kuadran ketiga dikarakterisasikan dari aroma burnt yang berada pada kuadran yang sama dan hasilnya juga sama dengan hasil pengujian QDA®. Atribut burnt yang memiliki korelasi negatif dengan atribut yang berada pada kuadran pertama dan kedua. Sampel ikan salai pada kuadran keempat dikarakterisasi dari atribut aroma fat (fatty), sweet dan smoky. Hasil QDA® memberikan deskripsi yang sama untuk aroma fatty dan sweet dimana ikan salai memiliki intensitas yang tinggi untuk kedua aroma ini. Aroma fatty terdapat dalam perbatasan sumbu kuadran ketiga dan keempat tetapi sedikit lebih memasuki kuadran keempat dan mendekati titik pusat kemungkinan karena intensitas aroma fatty yang dirasakan tidak terlalu terpaut jauh (ikan salai 27,57; ikan fufu 25,98; ikan pe 25,28; kan kayu 23,27). Ikan pe memiliki nilai intensitas smoky yang tinggi menurut hasil pengujian QDA® dan pada posisi berikutnya ialah ikan salai (62,32 dan 55,47). Ikan pe memiliki intensitas smoky tinggi karena kandungan total fenolnya paling tinggi (59,34 ppm) dan senyawa golongan fenolnya terdeteksi lebih banyak (30 jenis senyawa). Produk ini diproses pada jarak pengasapan paling dekat dan kandungan airnya yang masih tinggi yang akan mempermudah proses penempelan komponen-komponen dari asap. Komponen
110
fenol merupakan kontributor utama pada aroma asap (Maga 1987). Ikan salai juga memiliki karakteristik smoky karena dipengaruhi oleh proses pengolahan yang cukup lama (1 hari) dan daging ikan lele tidak terlalu tebal dibandingkan bahan baku ikan asap lainnya sehingga partikel asap dapat lebih meresap ke dalam bagian tertentu pada permukaan ikan salai dan mudah dideteksi oleh panelis. Atribut aroma smoky dan burnt memiliki hubungan (korelasi) yang dekat tetapi dalam kuadran yang berbeda sehingga dapat disimpulkan bahwa atribut aroma smoky dan burnt memiliki hubungan kesan yang berdekatan tetapi masih dapat dibedakan karakteristiknya dengan mudah.
5
5.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil dari inventarisasi proses pengasapan yang dilakukan menunjukkan
bahwa ikan fufu, ikan salai, ikan kayu dan ikan pe secara garis besar memiliki perbedaan dalam hal parameter proses pengasapan yaitu jenis kayu yang digunakan, bahan baku, preparasi, alat pengasap, metode dan kondisi pengasapan lainnya. Metode pengasapan ikan fufu dan ikan pe memiliki persamaan yaitu menggunakan metode pengasapan panas sedangkan ikan salai dan ikan kayu menggunakan metode pengasapan dingin. Perbedaan yang terdapat pada proses pengasapan menyebabkan produk-produk tradisional Indonesia ini memiliki ciri khas. Komposisi kimia meliputi kadar air (76,44%), kadar total fenol (59,34 ppm) dan kadar garam (0,29%) terukur tertinggi pada ikan pe. Kadar protein (69,12%) dan kadar karbohidrat (7,98%) terukur paling tinggi pada ikan kayu. Kadar abu (5,55%) dan kadar lemak (5,87%) tertinggi terukur pada ikan salai. Jumlah kandungan asam amino bebas tertinggi yang terdapat pada ikan kayu ialah serin (220,35 mg/kg), histidin (21755,72 mg/kg), treonin (1353,34 mg/kg), alanin (2817,76 mg/kg), tirosin (272,06 mg/kg) dan fenilalanin (247,78 mg/kg). Ikan fufu memiliki kandungan asam aspartat (425,69 mg/kg), asam glutamat (1075,10 mg/kg), metionin (306,13 mg/kg), valin (448,85 mg/kg), isoleusin (324,07 mg/kg), leusin (761,32 mg/kg) dan lisin (468,46 mg/kg) yang lebih tinggi sementara glisin (1211,45 mg/kg) dan arginin (541,80 mg/kg) merupakan asam amino bebas yang tertinggi jumlahnya pada ikan salai. Perbedaan komposisi kimia yang terukur pada masing-masing sampel antara lain dipengaruhi oleh jenis bahan baku dan parameter proses pengasapan yang dilakukan tahap-tahap pengolahan, suhu dan waktu pengasapan. Pengujian kandungan 18 jenis senyawa golongan PAH pada keempat sampel dengan menggunakan GC/MS (limit deteksi 660 ppb) menunjukkan bahwa seluruh jenis ikan asap tidak mengandung senyawa PAH yang berbahaya bagi kesehatan. Komponen senyawa volatil yang terdeteksi dalam sampel dibagi menjadi beberapa golongan. Golongan hidrokarbon (65 jenis) dan ester (10 jenis)
112
terdeteksi paling banyak jumlahnya pada ikan kayu, aldehida (10 jenis) pada ikan fufu, eter (6 jenis) pada ikan salai, furan (masing-masing 6 jenis) pada ikan kayu dan ikan pe. Golongan senyawa keton (10 jenis), alkohol (3 jenis), fenol (30 jenis), asam (2 jenis) dan golongan lainnya (21 jenis) paling banyak terdeteksi pada ikan pe. Masing-masing sampel memiliki jumlah senyawa yang terdeteksi, komposisi dan proporsi yang berbeda-beda tergantung dari bahan baku dan parameter-parameter proses pengasapan yang memang tidak homogen. Evaluasi sensoris deskriptif metode QDA (menggunakan panelis terlatih) yang dilakukan terhadap keempat ikan asap menunjukkan bahwa masing-masing sampel ikan asap memiliki intensitas atribut sensoris tertentu yang memberikan ciri khas. Hasil penilaian oleh 10 orang panelis terlatih menunjukkan aroma ikan kayu memiliki intensitas aroma fishy dan woody lebih tinggi dari ikan asap jenis lainnya. Kesan aroma fishy dapat ditimbulkan oleh senyawa trimetilamin yang ada pada bahan baku ikan kayu sedangkan senyawa-senyawa seperti fenol, guaiakol dan siringol diketahui dapat menimbulkan kesan aroma woody. Ikan pe memiliki intensitas aroma burnt dan smoky yang lebih tinggi. Senyawa-senyawa dari golongan fenol yang terdeteksi memberikan peran yang besar terhadap aroma burnt dan smoky ini. Aroma dengan kesan burnt dapat ditimbulkan oleh senyawasenyawa alkil siringol sedangkan aroma dengan kesan smoky dapat ditimbulkan oleh
senyawa-senyawa
seperti
2-methoxyphenol,
2-methylphenol,
4-methylguaiacol, 4-ethylguaiacol, guaiacol dan 2,6-dimethoxyphenol dan homolognya. Jarak pengasapan yang lebih dekat pada ikan pe mempengaruhi terdeteksinya atribut burnt dan smoky. Ikan salai memiliki intensitas aroma fatty dan sweet yang lebih tinggi. Kesan aroma fatty dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa dari golongan aldehid termasuk hexanal yang terdeteksi dan hasil proses oksidasi pada ikan salai sedangkan kesan aroma sweet dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa
seperti
furanmethanol,
decanal,
dimethylphenol,
4-methylguaiacol, guaiacol, o-cresol, 1-(4-methylphenyl)- ethanone dan rempahrempah yang ditambahkan. Hasil penilaian terhadap atribut rasa menunjukkan bahwa ikan kayu memiliki intensitas rasa gurih yang lebih tinggi daripada ikan lainnya. Kesan rasa gurih dapat ditimbulkan oleh asam glutamat maupun garamnya dan nukleotida seperti inosin monofosfat. Ikan fufu memiliki intensitas
113
rasa pahit, asin dan asam lebih tinggi. Kesan rasa asam kemungkinan ditimbulkan oleh senyawa alkil ester pentafluoropropionic acid, 4-methoxy-benzoic acid dan trichloroacetic acid yang terdeteksi. Kesan rasa asin dapat ditimbulkan oleh kandungan garam anorganik alami pada ikan dan hasil hidrolisis protein yang dapat menghasilkan asam amino taste-active dan peptida. Kesan rasa pahit pada ikan fufu dapat ditimbulkan oleh senyawa-senyawa seperti fenol, 3-metilfenol, 4-metil fenol, guaiakol, 4-metilguaiakol, 2-metilfenol, 4-etilguiakol, asam amino bebas arginin, metionin dan valin. Ikan salai memiliki intensitas rasa manis yang lebih tinggi. Kesan rasa manis dapat ditimbulkan oleh kandungan gula bebas yang terdapat dalam ikan, asam amino bebas seperti glisin, alanin, serin, treonin dan prolin, penambahan rempah-rempah yang dapat memberikan kesan rasa manis dan beberapa senyawa golongan fenol seperti dimetilfenol, 4-metilguiakol, guaiakol dan orto kresol. Hasil analisis PCA (PC1 47%; PC2 37%) menunjukkan bahwa sampel ikan kayu dikelompokkan ke dalam kuadran pertama, ikan fufu pada kuadran kedua, ikan pe pada kuadran ketiga dan ikan salai pada kuadran keempat. Atributatribut sensoris yang menjadi karakteristik masing-masing sampel ikan asap juga terdapat pada masing-masing kuadran sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian sensoris dengan baik. 5.2
Saran Parameter-parameter lain sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
karakteristik kimia, flavor dan sensoris produk ikan asap perlu penelitian lebih lanjut. Faktor-faktor seperti komposisi asap, komposisi kayu, komposisi masingmasing jenis ikan, bumbu yang digunakan dan karakteristik mikrobiologis produk kemungkinan juga dapat mempengaruhi karakteristik ikan asap yang dihasilkan. Penelitian ini juga harus lebih mengarah pada identifikasi maupun isolasi flavor volatil yang menjadi kunci bagi masing-masing aroma yang berpengaruh pada kekhasan ikan asap serta pengaruh penyimpanan terhadap perubahan senyawasenyawa yang berperan terhadap flavor ikan asap.
DAFTAR PUSTAKA Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.160 hlm. Adebona MB. 1978. Evaluation of the keeping quality of smoked fish [terhubung berkala]. http://www.apfic.org/Archive/symposia/1978/62.pdf [3 Maret 2010] Adebowale BA, Dongo LN, Jayeola CO, Orisajo SB. 2008. Comparative quality assesment of fish (Clarias gariepinus) smoked with cocoa pod husk and three other different smoking material. J Food Technol.. 6:5-8. Afrianto E, Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 125 hlm. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International 18th Edition. Gaithersburg, USA: AOAC International. 2464 hlm. Anisah RN, Susilowati I. 2007. Kajian manajemen pemasaran ikan pindang layang di Kota Tegal. Jurnal Pasir Laut. 3:1-18. Armstrong WP. 2007. Major types of chemical compounds in plants & animals part II. phenolic compounds, glycosides & alkaloids [terhubung berkala]. http://www.waynesword.palomar.edu/chemid2.htm [4 Maret 2010] [BBRP2B] Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 1984. Pengamatan pada proses pembuatan ikan kayu cakalang (Katsuwonus pelamis). Laporan Teknologi Perikanan. 27:15-22. BeMiller JN. 2003. Carbohydrate analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Food Analysis. New York: Kluwer Academic/Plenum. hlm 143-174. Berkel BM van, Boogard B van de, Heijnen C. 2004. Preservation of fish and meat. Wageningen: Agromisa Foundation. 86 hlm. [BI] Bank Indonesia. 2009. Pola pembiayaan usaha kecil (PPUK) usaha pengasapan ikan Bank Indonesia. [terhubung berkala]. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1475D25D.../UsahaPengasapanIkan.pdf [3 Maret 2010] Birkeland S, Rora AMB, Skara T, Bjerkeng B. 2004. Effects of cold smoking procedures and raw material characteristics on product yield and quality parameters of cold smoked Atlantic salmon (Salmo salar L.) fillets. Food Research International. 37:273-286.
116
Bligh EG, Shaw SJ, Woyewoda AD. 1988. Effect of drying and smoking on Lipids of fish. Di dalam: Burt JR, editor. Fish Smoking and Drying. New York: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 41-52. Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: a review. Di dalam: Shahidi F & Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. hlm 140-167. Bower CK, Ietala KA, Oliveira ACM, Wu TH. 2009. Stabilizing oils from smoked pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha). J Food Sci. 74:248-257. Brown JJ. 2009. Spices, seasonings and flavors. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Products. New York: Springer Science. hlm 199-210. Burdock AG. 2002. Fenaroli’s Handbook of Flavor Ingredients, Fourth Edition. Boca Raton: CRC Press.1808 hlm. Burt JR. 1988. The effect of drying and smoking in the vitamin content of fish. Di dalam: Burt JR, editor. Fish Smoking and Drying. New York: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 53-60. Cha YJ, Baek HH, Hsieh CY. 1992. Volatile components in flavour concentrates from crayfish processing waste. J Sci Food Agric. 58:239-248. Chung HY, Yung IKS, Ma WCJ, Kim J. 2002. Analysis of volatile components in frozen and dried scallops (Patinopecten yessoensis) by gas chromatography/mass spectrometry. Food Research International. 35:43-53. Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 1998. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 20th. Washington: American Public Health Association. 1325 hlm. Codex Alimentarius. 1979. Volume 9: recommended international code of practice for smoked fish CAC/RCP 25-1979 [terhubung berkala]. www.codexalimentarius.net/download/standards/123/CXP_025e.pdf [15 Maret 2010] Codex Alimentarius. 1999. Codex guidelines for the sensory evaluation of fish and shellfish in laboratories CAC-GL-31-1999 [terhubung berkala]. http://www.seafood.nmfs.noaa.gov/NOAA%20Handbook25/CODEX%20St andards/Guidelines_for%20_SensoryEval_of_FishandShellfish.pdf[15Maret 2010] Collete BB, Nauen CE. 1983. FAO Species catalogue, vol. 2 scombrids of the world an annonated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis.125:42-44.
117
Crapo C. 2000. Smoking fish at home [terhubung berkala].http://www.uaf.edu/ces/publications-db/catalog/hec/FNH00325.pdf [3 Maret 2010] Djarijah AS. 2004. Sale Ikan Lele. Yogyakarta: Kanisius. 59 hlm. [DKP Papua] Dinas Kelautan dan Perikanan Papua. 2006. Aneka produk ikan olahan khas provinsi papua [terhubung berkala]. http://www.papua.go.id/ddpperik/modules.phpname=News&file=print&sid=21.htm [3 Maret 2010] Doe PE. 1998. Fish Drying and Smoking: Production and Quality. Pennsylvania: Technomic Publication. 245 hlm. Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Yudhanti SFAR; Yoga IBKW. 2008. Teknologi Pangan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 285 hlm. Eaton AD, Clescer LS, Rice EW, Greenberg AE. 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Washington: American Public Health Association. 1368 hlm. Espe M, Nortvedt R, Lie O, Hafsteinsson H. 2002. Atlantic salmon (Salmo salar, L) as raw material for the smoking industry. II: Effect of different smoking methods on losses of nutrients and on the oxidation of lipids. Food Chem. 77:41-46. Canovas GVB, Molina JJF, Alzamora SM, Tapia MS, Malo AL, Chanes JW. 2003. Technical Manual: Handling and Preservation of Fruits And Vegetables by Combined Methods for Rural Areas. Rome: Food and Agriculture Organization. 99 hlm. Fuke S. 1994. Taste-active components of seafoods with special reference to umami substances. Di dalam: Shahidi F & Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. hlm 115-136. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu- ilmu Pertanian, Teknik, Biologi. Bandung: Penerbit CV Armico. 623 hlm. Giyatmi. 1998. Isolasi dan identifikasi kapang pada pembuatan ikan kayu (katsuobushi) cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan fermentasi alami [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
118
Giyatmi, Basmal J, Wijaya CH, Fardiaz S. 2000. Pengaruh jenis kapang dan lama fermentasi terhadap mutu ikan kayu (katsuobushi) cakalang. Buletin Teknologi dan Industri Pangan . 9:10-20. Gordon RJ, Josephson DB. 2000. Surimi seafood flavors: creation and evaluation. Di dalam: Park JW, editor. Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcell Dekker Inc. hlm 393-416. Guillen M, Errecalde M. 2002. Volatile components of raw and smoked black bream (Brama raii) and rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) studied by means of solid phase microextraction and gas chromatography/mass spectrometry. J Sci Food Agric. 82:945-952. Guillen MD, Errecalde MC, Salmeron J, Casas C. 2006. Headspace volatile components of smoked swordfish (Xiphias gladius) and cod (Gadus morhua) detected by means of solid phase microextraction and gas chromatography–mass spectrometry. Food Chem. 94:151-156. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. 275 hlm. Hadiwiyoto S. 1997. Hasil perikanan: manfaat dan keamanannya serta implikasinya pada kesehatan; tinjauan dari sisi teknologi pengolahan dan lingkungan. Agritech. 17:28-43. Harbers LH, Nielsen SS. 2003. Ash Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Food Analysis. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. hlm 103-112. Hassan IM. 1988. Processing of smoked common carp fish and its relation to some chemical, physical and organoleptic properties. Food Chem. 27:95106. Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian. 21:92-99. Ho CT, Chen Q. 1994. Lipids in food flavors: an overview. Di dalam: Ho CT, Hartman TG, editor. Lipids in Food Flavors. Washington DC: American Chemical Society. hlm 2-14. Huda N, Dewi RS, Ahmad R. 2010. Proximate, color, and amino acid profile of Indonesian traditional smoked catfish. Journal of Fisheries and Aquatic Science. 5:106-112. Hultmann L, Rora AMB, Steinsland I, Skara T, Rustad T. 2004. Proteolytic activity and properties of proteins in smoked salmon (Salmo salar)—effects of smoking temperature. Food Chem. 85:377-387
119
Huss HH. 1995. Quality and quality changes in fresh fish. FAO Fisheries Technical Paper-348, [terhubung berkala]. http://www.fao.org/docrep/v7180e/V7180E06.htm. [5 Januari 2009] Ingham SC, Hilderbrand KS. 1999. Smoking your catch: do it safely [terhubung berkala] www.foodsafety.wisc.edu/assets/pdf_Files/smokingyourcatch.pdf [3 Maret 2010] Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan. Didalam: Makalah Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, Bogor 21 November 2007. Bogor: Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu. hlm 1-20. Irianto HE, Giyatmi S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. 530 hlm. Ishida Y, Fujiwara M, Kinoshita T, Nimura N. 1987. Method of amino acid analysis. united states patent 4670403 [terhubung berkala] http://www.freepatentsonline.com//4670403 [8 Maret 2011] [ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 2009a. Katsuwonus pelamis [terhubungberkala]http://itis.gbif.net/pls/itisca/taxastep?king=every&p_actio n=containing&taxa=katsuwonus+pelamis&p_format=&p_ifx=plglt&p_lang = [27 Juni 2010] [ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 2009b. Dasyatis kuhlii [terhubung berkala] http://itis.gbif.net/pls/itisca/taxastep?king=every&p_action=containing&taxa =dasyatis+kuhlii&p_format=&p_ifx=plglt&p_lang= [26 Juni 2010] [ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 2009c. Clarias gariepinus[terhubung berkala] http://itis.gbif.net/pls/itisca/taxastep?king=every&p_action=containing&taxa =Clarias+gariepinus&p_format=&p_ifx=plglt&p_lang= [27 Juni 2010] [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2009. Indonesian fisheries statistic index 2009. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. [terhubung berkala] http://www.dkp.go.id/index.php/ind/news/1125/jica-downloadbook [15 Maret 2010] [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2008. Bantuan teknis untuk industri ikan dan udang skala kecil dan menengah di Indonesia (teknik pasca panen dan produk perikanan) [terhubung berkala] www.dkp.go.id/upload/jica/book_file/10_SME.pdf. [15 Maret 2010] Jittinandana S, Kenney PB, Slider SD, Kiser RA. 2002. Effect of brine concentration and brining time on quality of smoked rainbow trout fillets. J Food Sci. 67:2095-2099.
120
Jonsdottir R, Olafsdottir G, Chanie E, Haugen J. 2008. Volatile compounds suitable for rapid detection as quality indicators of cold smoked salmon (Salmo salar). Food Chem. 109:184-195. Kabahenda MK, Omony P, Husken SMC. 2009. Post-harvest handling of lowvalue fish products and threats to nutritional quality: a review of practices in the Lake Victoria region [terhubung berkala] www.worldfishcenter.org/.../Project%20Report%201975%20%208Dec09.pdf [3 Maret 2010] Kato H, Rhue MR, Nishimura T. 1989. Role of free amino acids and peptides in food taste. Di dalam: Teranishi R, editor. Flavor chemistry; trends and developments. Di dalam: Wongso S, Yamanaka H. 1998. Extractive components of the adductor muscle of japanese baking scallop and changes during refrigerated storage. J Food Sci. 63:772-776. Kim K, Kirata T, Fujimaki M. 1974. Identification of flavor constituents in carbonyl, non-carbonyl neutral and basic fractions of aqueous smoke condensates. Agric Biol Chem. 38:53-63. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum Tahun 2010. Jakarta: Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. 16 hlm. Konosu S, Watanabe K. 1987. Search for the secret of seafood’s taste. Di dalam: Kawamura Y, Kimura S, editor. Rediscovery of umami taste. Di dalam: Wongso S Yamanaka H. 1998. Extractive components of the adductor muscle of japanese baking scallop and changes during refrigerated storage. J Food Sci. 63:772-776. Kostyra E, Pikielna NB. 2006. Volatiles composition and flavour profile identity of smoke flavourings. Food Quality and Preference. 17:85-95. Land DG. 1996. Perspectives on the effects of interactions on flavor perception: an overview. Di dalam: McGorrin RJ, Leland JV, editor. Flavor Food Interactions. Washington DC: American Chemical Society. hlm 2-11. Linder M, Ackman RG. 2002 Volatile compounds recovered by solid-phase microextraction from fresh adductor muscle and total lipids of sea scallop (Placopecten magellanicus) from Georges Bank (Nova Scotia). J Food Sci. 67:2032-2037. Liu JK, Zhao SM, Xiong SB. 2009. Influence of recooking on volatile and nonvolatile compounds found in silver carp Hypophthalmichthys molitrix. Fish Sci. 75:1067-1075.
121
Lyhs U. 2002. Lactic acid bacteria associated with the spoilage of fish products [disertasi]. Helsinki: Department of Food and Environmental Hygiene Faculty of Veterinary Medicine University of Helsinki. Maga JA. 1987. The flavor chemistry of wood smoke. Food Review International. 3:139-183. Mardiah A, Huda N, Ahmad R. 2008. Potensi penggunaan ikan pari (Himantura sp.) sebagai bahan baku pembuatan flakes ikan [terhubung berkala] http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/abstrak/prosiding2008/poster/a_pa scapanen.php [25Juni 2010] Margono T, Suryati D, Hartinah S. 2000. Ikan Asap [terhubung berkala] www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/piwp/ikan_asap.pdf [3 Maret 2010] Martinez O, Salmerón J, Guillén MD, Casas C. 2007. Sensorial and physicochemical characteristics of salmon (Salmo salar) treated by different smoking processes during storage. Food Science and Technology International. 13:477-484. Medeiros, LC. 2009. Home Preservation of Fish [terhubung berkala]. ohioline.osu.edu/hyg-fact/5000/pdf/5351.pdf [10 Maret 2010] Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Edition. Boca Raton: CRC Press. 387 hlm. Menichini E, Bocca B. 2003. Polycyclic aromatic hydrocarbons. Di dalam: Caballero B, Trugo L, Finglas PM, editor. Encyclopedia of Food Sciences and Nutrition. Maryland: Academic Press. hlm 4616-4625. Missae. 2009. Iwak Pe Surabaya [terhubung berkala]. http://kelanakulinermissae.blogspot.com/2009/06/iwak-pe-surabaya.html [10 Maret 2010] Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. 259 hlm. Morita K, Kubota K, Aishima T. 2003. Comparison of aroma characteristics of 16 fish species by sensory evaluation and gas chromatographic analysis. Journal of the Science of Food and Agriculture. 83:289-297. Motohiro T. 1988. Effect of smoking and drying on the nutritive value of fish: a review of Japanese studies. Di dalam: Burt JR. Fish Smoking and Drying. England: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 91-120. Mukhtar. 2008. Mengenal jenis ikan pari [terhubung berkala] www.dkp.go.id/upload/Mengenal_Jenis_Ikan_Pari.pdf [26 Juni 2010]
122
Naknean P, Meenune M. 2010. Review article factors affecting retention and release of flavour compounds in food carbohydrates. International Food Research Journal, 17:23-34. Nishibori K. 1965. Studies on flavor of katsuobushi-II. relation between flavors of “smoke” and of “katsuobushi”. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries. 31:47-50. Njai SE. 2000. Traditional Fish Processing and Marketing of The Gambia [terhubung berkala] www.unuftp.is/static/fellows/document/sirra3.pdf [10 Maret 2010] Noble AC. 2006. Sensory analysis of food flavor. Di dalam: Voilley A, Etievant P, editor. Flavour in Food. Boca Raton: Woodhead Publishing Limited. hlm 62-80. Nurilmala M, Nurjanah, Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 12:1-16. Okada M. 1990. Fish as raw material of fishery products. Di dalam: Motohiro T, Kadota H, Hashimoto K, Kayama M, Tokunaga T, editor. Science of Processing Marine Products Vol I. Hyogo International Centre: Japan International Cooperation Agency. hlm 1-15. Olley J, Doe PE, Heruwati ES. 1988. The influence of drying and smoking on the nutritional properties of fish: an introductory overview. Di dalam: Burt JR, editor. Fish Smoking and Drying. England: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 1-22. Opstvedt J. 1988. Influence of drying and smoking on protein quality. Di dalam: Burt JR, editor. Fish Smoking and Drying. England: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 23-40. Oyelese OA. 2006. Quality assessment of cold smoked hot smoked and oven dried Tilapia nilotica under cold storage temperature conditions. Journal of Fisheries International. 1:92-97. Patterson J. 2004. Smoking: an ideal method to preserve mollusc meat. SPC Trochus Information Buletin. 11:8-10. Rahardjo P, Chodriyah U. 2006. Studi perbandingan komposisi jenis ikan pari berdasarkan lima lokasi pendaratan utama di Laut Jawa [terhubung berkala].http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/abstrak/prosiding2007/bid ang_ilmu_kelautan.php [27 Juni 2010] Regenstein JM, Regenstein CE. 1991. Introduction to Fish Technology. New York: Van Nostrand Reinhold. 269 hlm.
123
Rozum J. 2009. Smoke flavor. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Product. Properties, Functionality and Applications. New York: Springer Science. hlm 211-226. Rusz J, Miller KBM. 1977. Physical and chemical processes involved in the production and application of smoke. Pure and Applied Chemistry. 49:16391654. Sakakibara H, Yanai T, Yajima I, Hayashi K. 1988. Changes in volatile flavor compounds of powdered dried bonito (katsuobushi) during storage. Agric Biol Chem. 52:2731-2739. Sakakibara H, Hosokawa M, Yajima I. 1990a. Flavor constituents of dried bonito (katsuobushi). Food Reviews International. 6:553-572. Sakakibara H, Ide J, Yanai T, Yajima I, Hayashi K. 1990b. Volatile flavor compounds of some kinds of dried and smoked fish. Agric Biol Chem. 54:916. Salan EO, Galvao JA, Oetterer M. 2006. Use of smoking to add value to the salmoned trout. Brazilian Archives of Biology and Technology. 49:57-62. Sasaki S, Arai S, Kato H, Masao F. 1969a. Chemical studies on components of dried bonito, "katsuobushi" part I. volatile hydrocarbons. Agric Biol Chem. 33:270-275. Sasaki S, Arai S, Kato H. 1969b. Chemical studies on components of dried bonito,"katsuobushi" part II. volatile neutral, non-carbonyl oxygenated compounds. Agric Biol Chem. 33:1037-1041. [SCERT] State Council of Educational Research and Training. 2006. Fish Processing Technology Teachers’ Sourcebook; Government Of Kerala Department of Education. Thiruvananthapuram. [terhubung berkala]http://www.vhse.kerala.gov.in/.../PDF%20II/Fish%20Processing%2 0Technology-II.pdf [4 Maret 2010] Sebranek J. 2009. Basic curing ingredients. Di dalam: Tarte R, editor. Ingredients in Meat Product. Properties, Functionality and Applications. New York: Springer Science. hlm 1-24. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori Untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press. 180 hlm. Shahidi F, Cadwallader KR. 1997. Flavor and lipid chemistry of seafoods: an overview. Di dalam: Shahidi F, Cadwallader KR, editor. Flavor and Lipid Chemistry of Seafoods Washington DC: American Chemical Society. hlm 18.
124
Sikorski ZE. 1988. Smoking of fish and carcinogens. Di dalam: Burt JR, editor. Fish Smoking and Drying. England: Elsevier Science Publishers Ltd. hlm 73-84. Sikorski ZE, Sun Pan B. 1994. Preservation of seafood quality. Di dalam: Shahidi F & Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. hlm 168-195. Smit BA. 2004. Flavor formation from amino acids in fermented dairy products [terhubung berkala]. http://www.library.wur.nl/wda/dissertations/dis3574.pdf [3 Maret 2010]. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 2725.1:2009. Ikan Asap-Bagian 1: Spesifikasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 5 hlm. Snyder F. 1996. FS-032: Fish smoked at home [terhubung berkala]. www.ohioseagrant.osu.edu/_.../FS/FS032%20Fish%20smoked%20at%20home.pdf [10 Maret 2010]. Spira JJ. 2007. How to smoke fish; Spira International, Inc Huntington Beach, California [terhubung berkala].www.spirainternational.com/r_smokeebook.pdf [4 Maret 2010]. Steel RGD, Torrie JH. 1983. Principles and Procedures of Statistic a Biometrical Approach. London: McGraw-Hill Book Company.748 hlm. Stone H, Sidel JL. 2004. Sensory Evaluation and Practices 3rd Edition. San Diego: Elsevier Academic Press. 377 hlm. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. 172 hlm. Sullivan B. 2009. Smoking seafood [terhubung http://www.australianarticlefinder.com [3 Maret 2010]
berkala].
Sunahwati E. 2000. Studi karakteristik arabushi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) setelah proses fermentasi kapang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 50 hlm. Suprapti L. 2000. Kerupuk Lele. Surabaya: Trubus Agrisarana. 30 hlm. Swastawati F, Agustini TW, Darmanto YS, Dewi EN. 2007. Liquid smoke performance of lamtoro wood and corn cob. Journal of Coastal Development. 10:189–196. Tanchotikul U, Hsieh TCY. 1989. Volatile flavor components in craysfish waste. J Food Sci. 54:1515-1520.
125
Toth L, Potthast K. 1984. Chemical aspects of the smoking of meat and meat products. Di dalam: Chichester CO, editor. Advances in Food Research. New York: Academic Press Inc. hlm 87-158. Traeger 2008. Cold smoker manual [terhubung berkala]. http://www.traegergrill.com/support/manuals/2008_Cold_Smoke.pdf [4 Maret 2010] [USDA] United States Department of Agriculture. 2009. Skipjack, raw. National Nutrient Database for Standard Reference [terhubung berkala]. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl[27Juni 2010] [USDA] United States Department of Agriculture. 2010. Skipjack, fresh, cooked, dry heat. National Nutrient Database for Standard Reference [terhubung berkala]. http://www.nal.usda.gov/fnic/cgi-bin/list_nut.pl [12 Juli 2011] [USEPA] United States Environmental Protection Agency. 1996. Method 8270C semivolatile organic compounds by GC/MS [terhubung berkala]. ttp://www.caslab.com/EPA-Methods/PDF/8270c.pdf [12 Juli 2011] Varlet V, Serot T, Cardinal M, Courcoux P, Cornet J, Knockaert C, Prost C. 2007. Relationships between odorant characteristics and the most odorant volatile compounds of salmon smoked by four industrial smoking techniques. EUROFOODCHEM XIV, Congress 29-31 August, Paris [terhubung berkala].http://www.ifremer.fr/docelec/doc/2007/acte-3982.pdf [4 Maret 2010] Venugopal V. 2006. Seafood Processing. Boca Raton: CRC, Taylor and Francis Group. 485 hlm. Whittle KJ, Howgate P. 2000. Glossary of Fish Technology Terms. Prepared under contract to the Fisheries Industries Division of the Food and Agriculture Organization of the United Nations [terhubung berkala]. http://www.onefish.org/global/FishTechnologyGlossaryFeb02.pdf [4 Maret 2010] Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.286 hlm. Yajima I, Nakamura M, Sakakibara H, Yanai T, Hayashi K. 1981. Volatile flavor components of dried bonito (katsuobushi). I. on basic, acidic and weak acidic fractions. Agric Biol Chem. 45:2761-2768. Yajima I, Nakamura M, Sakakibara H. 1983. Volatile flavor components of dried bonito (katsuobushi) II. from neutral fraction. Agric Biol Chem. 47:17551760.
126
Yamaguchi K, Watanabe K. 1990. Taste-active components of fish and shellfish. Di dalam: Motohiro T, Kadota H, Hashimoto K, Kayama M, Tokunaga T, editor. Science of Processing Marine Products Vol I. Hyogo International Centre: Japan International Cooperation Agency. hlm 111-122. Yanar Y, Celik M, Akamca E. 2006. Effects of brine concentration on shelf-life of hot-smoked tilapia (Oreochromis niloticus) stored at 4 oC. Food Chem. 97:244-247. Yudono B, Pertiwi SE, Munawar. 2007. Perbaikan proses produksi asap cair pada industri kecil asap cair di Desa Sembawa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Di Dalam Prosiding Seminar Pembahasan Hasil Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Program Penerapan Ipteks dan Vucer Universitas Sriwijaya Indralaya, 6-7 Desember. hlm 47-55.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner penelitian
KUESIONER PENELITIAN Kuesioner ini merupakan instrumen pengumpulan data dan juga sebagai panduan wawancara kepada narasumber dalam rangka penyusunan tesis dengan judul: “KARAKTERISTIK FLAVOR DARI BEBERAPA JENIS IKAN ASAP DI INDONESIA” Oleh: Rusky I. Pratama/NRP. C351080071 Sekolah Pascasarjana, Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor
PETUNJUK PENGISIAN: Isilah kuisioner ini berdasarkan hasil wawancara pada tempat yang telah disediakan dengan jelas. Pada setiap nomor pertanyaan disediakan petunjuk berupa kalimat dalam kurung yang berisi pokok permasalahan apa saja yang dapat ditanyakan. A. INFORMASI UMUM 1. Identitas responden Nama Alamat No Telepon Umur Pekerjaan Nama Unit Pengolahan Jabatan/Posisi Pendidikan Terakhir
:…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :…………………………………………………………………… :……………………………………………………………………
B. BAHAN BAKU 2. Jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku (Apakah ikan air tawar, ikan laut; namanya: ikan bandeng, tembang, lemuru, kembung, selar, tongkol, cakalang, lele, lais, baung, lainnya?) Jenis ikan :………………………………………………………………………………………… Nama ikan :………………………………………………………………………………………… 3. Asal bahan baku dan tingkat kesegaran (Berasal dari manakah bahan baku ikan yang digunakan: sumber asal bahan baku (TPI, pasar, pengecer dll.)? segar atau tidak?jauh atau dekat dari tempat pengolahan?) Asal bahan baku : Tingkat kesegaran :
130
Perkiraan jarak ke tempat pengolahan : 4. Ukuran bahan baku yang digunakan (Berapakah ukuran rata-rata bahan baku ikan yang digunakan: panjang (cm/m), berat (g/kg), relatif seragam atau tidak ukurannya, lainnya?) Panjang rata-rata : Berat rata-rata : Tingkat keseragaman antar bahan baku : 5. Waktu dan tempat penyimpanan bahan baku (Berapa lama waktu penyimpanan bahan baku segar sampai akan mulai diolah? (kaitannya dengan ikan laut scombroidae); dimanakah tempat menyimpannya?) Lama penyimpanan hingga pengolahan (menit/jam/hari): Lokasi penyimpanan: 6. Bentuk penangananterhadap ikan sebelum diasapi (Dalam bentuk apa ikan disimpan/diolah, apakah dilakukan pemotongan dan penyiangan, seperti: pembuangan kepala, pembuangan isi perut, fillet bentuk butterfly, fillet biasa, ikan utuh, lainnya?) …………………………………………………………………………………………………………………… 7. Informasi produksi (Berapakah jumlah pasokan bahan baku per-satukali produksi/kiriman/pengambilan; Berapakah hasil yang diperoleh persatu kali produksi/sampai bahan baku tersebut habis; berapakah rendemen yang dihasilkan: dalam g/kg/kuintal/ton) Jumlah suplai bahan baku/produksi :……………………………………………………… Jumlah suplai bahan baku/kiriman : ……………………………………………………… Jumlah ikan asap yang dihasilkan per-tiap jumlah bahan baku yang dikirim: ………………………………………………………………………………………………………………… Jumlah rendemen ikan asap yang dihasilkan :…………………………………………… 8. Fase pertumbuhan ikan/umur ikan ketika dipanen dan dijadikan bahan baku (jika ikan budidaya) (dalam minggu/bulan/tahun) Fase ikan : ………………………………………………………………………………………… C. JENIS BAHAN BAKAR 9. Jenis kayu (Jenis bahan bakar yang digunakan: kayu, sabut kelapa, bongkol jagung, dll); apakah jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bakar: kayu keras, lunak; apakah bahan bakar sumber asap yang digunakan terdiri dari campurancampuran kayu: kayu keras dan kayu pohon buah, serbuk gergaji dan sabut kelapa dll?) Jenis bahan bakar yang digunakan: …………………………………………………………… Jenis kayu : ……………………………………………………………………………… Nama kayu/pohon : ……………………………………………………………………………… Jenis/nama kayu pencampur:………………………………………………………………………
131
10. Kondisi tanah tempat kayu ditanam (kondisi tanah secara umum di daerah tersebut) Kondisi tanah : ………………………………………………………………………………………. 11. Asal sumber bahan bakar (Dari manakah didapatkan sumber bahan bakar yang digunakan: hutan, penggergajian, limbah pertanian, lainnya). Asal sumber bahan bakar:………………………………………………………………………… 12. Tingkat kelembaban kayu (Apakah kayu yang digunakan kelembabannya tinggi? Apakah dilakukan proses pemercikan air/pelembaban kayu dalam proses untuk menimbulkan asap?Bagaimana teknik yang dilakukan?) Tingkat kelembaban kayu:…………………………………………………………………………… Proses pelembaban kayu:…………………………………………………………………………… D. METODE PROSES PENGASAPAN 13. Proses penggaraman (apakah dilakukan proses penggaraman, bagaimana tekniknya, berapa konsentrasinya (%, berat/bahan baku), berapa waktu penggaraman, apa metode penggaraman yang dilakukan: basah, kering, lainnya?) Penggaraman dilakukan: (ya/tidak) Konsentrasi garam yang digunakan: …………………………………………………………… Waktu penggaraman: ……………………….menit Metode penggaraman yang dilakukan: ……………………………………………………. 14. Suhu Pengasapan (Berapakah suhu yang digunakan untuk pengasapan: <30oC 40, 60, atau >80oC, lainnya?; Apakah dilakukan pengukuran suhu di dalam ruang pengasapan pada beberapa titik panas yang berbeda; Apakah dilakukan pengukuran suhu internal pada daging ikan yang diasapi; apakah suhu dinaikkan secara bertahap?) Suhu pengasapan: ……………oC Pengukuran suhu pada beberapa titik panas dalam ruang asap: ……………………………………………………………………………………………………………. Pengukuran suhu internal ikan yang diasapi: ……………………………………………………………………………………………………………. Peningkatan suhu mulai dari: …………………oC, lalu menjadi: …………………oC setelah berapa menit: …………………… 15. Waktu Pengasapan (Berapakah waktu yang digunakan untuk proses pengasapan: berapa lama waktu pengasapan <3 jam, 4 jam, 6 jam, 1 minggu >2minggu, lainnya?) Waktu pengasapan: ………………………………………………………………………………… 16. Penyaring Asap (Apakah terdapat penyaring asap yang digunakan selama pengasapan untuk menyaring asap agar kotoran tidak menempel pada ikan asap, bau bahan bakar tidak terikutkan)
132
Penyaring asap yang digunakan:. …………………………………………………………………. 17. Cara menyimpan ikan dalam ruang asap (Apakah produk ikan diasapi dengan cara digantung, diikat, ditaruh dalam nampan, lainnya?) Cara menyimpan ikan: ……………………………………………………………………………… 18. Metode pengasapan (pengasapan panas, pengasapan dingin, pengasapan cair, pengasapan elektrostatik, pengasapan campuran, lainnya?) Metode pengasapan: ……………………………………………………………………………….. 19. Intensitas asap (Bagaimana intensitas asap secara umum dalam ruang pengasap: tebal, tipis, bukaan katup pengatur udara lebar atau sedikit?) Intensitas asap:………………………………………………………………………………………. Bukaan katup udara:……………………………………………………………………………….. 20. Proses pengolahan lain sebelum atau setelah pengasapan (apakah dilakukan proses tambahan lain selain pengasapan pada sebelum dan setelah pengasapan?pemanggangan, penggorengan, pengeringan, perebusan; berapakah lama waktu yang digunakan untuk proses pengolahan sebelum atau setelah pengasapan: dalam menit, jam; berapakah suhu yang digunakan?) Proses pengolahan lain sebelum pengasapan: ……………………………………………………………………………………………………………. Proses pengolahan lain setelah pengasapan: ……………………………………………………………………………………………………………. 21. Waktu pengolahan (Berapa lama waktu pengasapan yang dilakukan (hanya proses pengasapan); Berapa waktu yang dihabiskan dari mulai pengolahan hingga selesai menjadi ikan asap: dalam jam, dalam hari, dalam minggu; dengan kata lain berapakah waktu yang dihabiskan untuk proses pengolahan keseluruhan mulai bahan mentah menjadi produk ikan asap, termasuk proses penggaraman, pengeringan dll.) Waktu pengasapan:…………………………………………………………………………………. Waktu pengolahan yang dihabiskan: ………….……………………………………………. 22. Bahan aditif makanan (apakah selama pengolahan ikan asap digunakan bahan aditif?pewarna, pengawet, antioksidan, lainnya?; digunakan ketika tahap apa) Bahan aditif yang digunakan:………………………………………………………………………. Digunakan pada tahap pengolahan: …………………………………………………………. 23. Jenis alat pengasapan (jenis alat apakah yang digunakan dalam mengasapi ikan: oven, tipe drum, ruang pengasapan, tradisional, modern, apakah ada pengatur aliran udara
133
(meratakan pemanasan), indikator/pengatur suhu; Berapakah ukuran dimensi alat pengasap yang digunakan?) Jenis alat pengasapan:………………………………………………………………………………. Peralatan lain: pengatur aliran udara, pengatur suhu, indikator suhu: ………………………………………………………………………………………………………………… Dimensi alat pengasap: ……………………………………………………………………………… 24. Sirkulasi udara (Apakah sirkulasi udara dalam ruang pengasapan berlangsung dengan baik, merata, tidak baik; adakah pengatur sirkulasi udara?apa jenisnya?katup, pintu udara, lainnya?) Keadaan sirkulasi udara:…………………………………………………………………………. Pengatur sirkulasi:……………………………………………………………………………………. 25. Kapasitas alat pengasapan (Berapa kapasitas ikan yang dapat diasap dalam alat pengasap dalam sekali proses pengasapan: dalam kilogram, kuintal) Kapasitas ikan yang masuk:…………………………………………………………………………. 26. Kondisi kelembaban lingkungan (Apakah ada perbedaan perlakuan pengasapan jika kondisi kelembaban lingkungan berbeda, apakah ada perlakuan khusus yang dilakukan jika kondisi lingkungan panas, dingin, hujan, lainnya; apakah kelembaban lingkungan diperhatikan?) Pengukuran kelembaban lingkungan dilakukan: (ya/tidak) Perlakuan tambahan jika kelembaban berubah:…………………………………………. 27. Suhu Api (Apakah dilakukan pengukuran suhu api?) Suhu api yang digunakan:……………………………………………………………………………
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI
Produk Ikan fufu Rata-rata Ikan kayu Rata-rata Ikan salai Rata-rata Ikan pe Rata-rata
Kadar air (%) I II 55.62 62.75 55.76 62.79 55.69 62.77 16.56 17.23 15.51 17.25 16.035 17.24 17.77 14.29 16.9 14.65 17.335 14.47 76.52 76.25 76.68 76.32 76.6 76.285
Kadar abu (%) I II 1.89 2.48 1.94 2.53 1.915 2.505 3.71 3.41 3.89 3.68 3.8 3.545 5.52 4.68 5.58 5.2 5.55 4.94 0.71 0.82 0.73 0.72 0.72 0.77
Lemak (%) I II 1.23 0.61 0.92 0.67 1.075 0.64 1.85 2.01 1.77 2.23 1.81 2.12 5.85 5.39 5.89 5.71 5.87 5.55 1.07 0.9 0.95 1.13 1.01 1.015
Protein (%) I II 39.02 31.68 39.12 31.96 39.07 31.82 65.45 68.55 66.9 69.69 66.175 69.12 68.65 67.41 67.85 67.58 68.25 67.495 20.43 20.14 20.52 20.39 20.475 20.265
Karbohidrat (%) I II 2.24 2.48 2.26 2.05 2.25 2.265 12.43 8.8 11.93 7.15 12.18 7.975 2.21 8.23 3.78 6.86 2.995 7.545 1.27 1.89 1.12 1.44 1.195 1.665
134
Lampiran 2 Hasil pengujian proksimat ikan asap (% berat basah)
135
Lampiran 3 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar air SUMMARY Groups Fufu Kayu Salai Pe
Count Sum Average Variance 2 118.46 59.23 25.0632 2 34.48 17.24 0.0002 2 34.67 17.335 0.37845 2 152.885 76.4425 0.04961
ANOVA Source of Variation SS Between Groups 5406.63 Within Groups 25.4915 Total 5432.12
df
MS 3 1802.21 4 6.37287 7
F 282.794
P-value F crit 4.12E-05 6.59138
Uji LSD Jenis Ikan Rata-rata Selisih (|d|) Asap 59.23000 Ikan fufu 17.24000 41.99 Ikan kayu 17.33500 41.895 0.095 Ikan salai 76.44250 17.2125 59.2025 59.1075 Ikan pe H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 7,009
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
136
Lampiran 4 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar abu SUMMARY Groups Fufu Kayu Salai Pe
Count 2 2 2 2
ANOVA Source of Variation SS Between Groups 25.0161 Within Groups 0.21355 Total 25.2296
Sum Average Variance 4.42 2.21 0.17405 7.09 3.545 0.03645 11.1 5.55 0.0018 1.49 0.745 0.00125
df
MS 3 8.33868 4 0.05339 7
F P-value F crit 156.192 0.000134 6.59138
Uji LSD Jenis Ikan Rata-rata Selisih (|d|) Asap 2.21000 Ikan fufu 3.54500 1.335 Ikan kayu 5.55000 3.34 2.005 Ikan salai 0.74500 1.465 2.8 4.805 Ikan pe H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 0,642
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
137
Lampiran 5 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar lemak SUMMARY Groups Fufu Kayu Salai Pe
Count 2 2 2 2
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 32.8137 0.11963 32.9334
Sum 1.715 4.24 11.74 2.025
df
Average Variance 0.8575 0.09461 2.12 0.0242 5.87 0.0008 1.0125 1.2E-05
MS 3 4 7
10.9379 0.02991
F 365.74
P-value
F crit
2.47E-05
6.59138
Uji LSD Jenis Ikan Asap Rata-rata Selisih (|d|) 0.85750 Ikan fufu 1.2625 2.12000 Ikan kayu 5.87000 5.0125 3.75 Ikan salai 1.01250 0.155 1.1075 4.8575 Ikan pe H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar lemak pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar lemak pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 0,480
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
138
Lampiran 6 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar protein SUMMARY Groups Fufu Kayu Salai Pe
Count Sum 2 70.89 2 138.24 2 136.5 2 40.74
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS
df
Average 35.445 69.12 68.25 20.37
Variance 26.2813 0.6498 0.32 0.02205
MS
F
P-value
173.73
0.000108 6.59138
3553.62
3
1184.54
27.2731 3580.89
4 7
6.81828
F crit
Uji LSD Jenis Ikan Rata-rata Selisih (|d|) Asap Ikan fufu 35.44500 Ikan kayu 69.12000 33.675 Ikan salai 68.25000 32.805 0.87 15.075 48.75 47.88 Ikan pe 20.37000 H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar protein pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar protein pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 7,250
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
139
Lampiran 7 Hasil analisis ragam kandungan karbohidrat (by difference) SUMMARY Groups Fufu Kayu Salai Pe
Count 2 2 2 2
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS
Sum 4.515 15.95 5.99 2.86
df
Average Variance 2.2575 0.00011 7.975 1.36125 2.995 1.23245 1.43 0.11045
MS
52.0026
3
17.3342
2.70426 54.7068
4 7
0.67607
F
P-value
25.6398 0.004505
F crit 6.59138
Uji LSD Jenis Ikan Rata-rata Selisih (|d|) Asap Ikan fufu 2.25750 Ikan kayu 7.97500 5.7175 Ikan salai 2.99500 0.7375 4.98 Ikan pe 1.43000 0.8275 6.545 1.565 H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar protein pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar protein pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 2,283
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
140
Lampiran 8 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar total fenol SUMMARY Groups Salai Fufu Kayu Pe ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Count 2 2 2 2
SS 938.41 0.0129 938.422
Sum 84.7 69.28 62.67 118.71
df
Average 42.35 34.64 31.335 59.355
Variance 0.0072 0.0032 5E-05 0.00245
MS 3 312.803 4 0.003225 7
F 96993.23
P-value 0.00
Uji LSD Selisih (|d|) Jenis Ikan Asap Rata-rata Ikan Salai 42.35 Ikan Fufu 34.64 7.71 Ikan Kayu 31.335 11.015 3.305 Ikan Pe 59.355 17.005 24.715 28.02 H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar fenol pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar fenol pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 0.158
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
F crit 6.59
141
Lampiran 9 Hasil analisis ragam dan uji lanjut kadar garam SUMMARY Groups Salai Fufu Kayu Pe ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Count 2 2 2 2 SS 0.04005 0.00010 0.04015
Sum Average 0.54 0.27 0.21 0.105 0.46 0.23 0.57 0.285 df
MS 3 0.01335 4 0.00002 7
Variance 0 0.00005 0 0.00005 F
P-value
F crit
534 0.000012
Uji LSD Jenis Ikan Rata-rata Selisih (|d|) Asap Ikan Salai 0.27 Ikan Fufu 0.105 0.165 Ikan Kayu 0.23 0.04 -0.125 Ikan Pe 0.285 0.015 0.18 0.055 H0: Jenis ikan asap tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar garam pada taraf 5%; H1: Jenis ikan asap memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar garam pada taraf 5% LSD = HI/D J LSD = 0.014
DK L M
; d > LSD (Tolak H0) dan d ≤ LSD (gagal tolak H0)
6.59
142
Lampiran 10 Prosedur preparasi analisis klorida dan fenol Preparasi sampel analisis klorida metode merkuri nitrat (Clesceri et al. 1998) Metode penentuan kadar klorida termasuk dalam teknik titrimetri. Bahan penunjang uji yang digunakan ialah: standar NaCl 0,0141 N (yang diperoleh dengan cara melarutkan 824 mg NaCl yang telah dikeringkan pada suhu 140 oC selama 2 jam dalam air distilata dan meneranya sampai 1 L), HNO30.1 N, larutan indikator
campuran
(yang
diperoleh
dengan
cara
melarutkan
0,5
g
difenilkarbazona dan 0,05 g bromfenol biru dalam 100 mL etanol 95% atau isopropyl alcohol, larutan kemudian disimpan pada botol gelap dalam pendingin karena indikator ini tidak stabil), titran Hg(NO3)2 standar 0,0141 N (yang diperoleh dengan cara melarutkan 2,5 g Hg(NO3)2 atau Hg(NO3)2.H2O dalam 100 mL air distilata yang mengandung 5 mL HNO3 pekat dan meneranya sampai 1 L, kemudian disimpan dalam botol gelap dan tempat yang terhindar dari cahaya).
Preparasi sampel analisis fenol metode ekstraksi kloroform (Eaton et. al. 2005) Sampel yang akan diuji disimpan pada tempat dengan suhu 4 oC atau lebih rendah kemudian sampel diasamkan dengan 2 mL H2SO4 pekat/L sampel. Sampel yang diberi perlakuan seperti ini tidak akan rusak sampai 28 hari. Adapun prosedur clean up sampelnya pertama-tama ialah memindahkan sampel sebanyak 500 mL dalam gelas piala 1 L lalu ditambahkan dengan larutan H3PO4 sampai pHnya± 4, atau ditambah NaOH 2.5 N jika pH-nya lebih rendah. Campuran kemudian dipindahkan ke dalam labu distilasi dan menggunakan labu 500 mL sebagai penampung. Sebanyak 450 ml sampel didistilasi, lalu dihentikan sementara dan ketika berhenti mendidih maka kedalam labu distilasi ditambahkan 50 mL air hangatlalu didistilasi lagi hingga diperoleh sekitar 500 mL. Satu kali distilasi seharusnya sudah dapat membuat sampel menjadi murni. Jika distilat masih keruh maka diasamkan dengan H3PO4 dan distilasi kembali dengan cara yang sama. Jika distilat ini masih keruh maka 500 mL bagian sampel diekstrak dengan cara menambahkan indikator 4 tetes metil jingga lalu diasamkan dengan penambahan
1 N H2SO4. Larutan dilewatkan pada corong pemisah dan
143
ditambahkan 150 g NaCl. Campuran tersebut dikocok bersamaan dengan penambahan lima bagian CHCl3 dengan jumlah 40 mL pada bagian pertama dan 25 mL untuk bagian-bagian selanjutnya. Setelah itu campuran dipindahkan pada corong pemisah kedua dan dikocok kembali bersamaan dengan penambahan tiga bagian larutan NaOH 2,5 N dengan jumlah 4 mL pada bagian pertama dan 3 mL untuk dua bagian selanjutnya. Ekstrak alkali tersebut digabungkan dan dipanaskan dalam water bath hingga CHCl3 telah hilang. Setelah itu didinginkan, diencerkan hingga
500 mL menggunakan air distilata dan didistilasi dengan cara yang
sama dengan prosedur awal.
144
Lampiran 11 Komposisi senyawa volatil ikan fufu Golongan
Senyawa
Hidrokarbon
Pentadecane Dodecane Tridecane Naphthalene Pentadecane, 2,6,10,14-tetramethylUndecane Tetradecane 1-Tridecene Heptadecane Cyclohexane, 1-methylene-3-(1methylethenyl)-, (R)Toluene 1,4-Octadiene Hexadecane, 2,6,10,14-tetramethyl1-Tridecene Heptane, 2,4-dimethyl1-Pentadecene 1,4-Hexadiene, 3-ethylNaphthalene, 1-methylHexadecane 1,3-Dimethyl-1-cyclohexene Octatriene, 1,3-trans-5-transBenzocycloheptatriene Undecane, 3-methyl4-Octyne Undecane, 4-methyl1,4-Methanonaphthalene, 1,4dihydro3-Oxatricyclo[3.2.1.0(2,4)]octane, (1.alpha.,2.beta.,4.beta.,5.alpha.)1H-Indene, 1-methyleneTetratetracontane Benzene, 1-(1,5-dimethyl-4hexenyl)-4-methylBicyclo[4.1.0]heptane,-3cyclopropyl,-7-hydroxymethyl, trans Naphthalene, 2,6-dimethylBenzaldehyde Hexanal Octanal Nonanal Heptanal Benzaldehyde, 3-ethylUndecanal 2-Decenal, (E)2-Nonenal, (E)Hexadecanal 2-Undecanone 2-Nonanone 2-Cyclopenten-1-one, 3-ethyl-
Aldehida
Keton
Luas Area
Proporsi (%)
221457301 40132346 32361898.5 29901314.5 27950926.5 20361709.5 14514686.5 13055296 10879695 7967331
18.109 3.282 2.646 2.445 2.286 1.665 1.187 1.068 0.890 0.651
7202581 6954578 6393739 5989493 5137577 4849617.5 4327302.5 4059605 3199028 3048299 2815473 2621284.5 2472219 2299216 2117894 1877025
0.589 0.569 0.523 0.490 0.420 0.397 0.354 0.332 0.262 0.249 0.230 0.214 0.202 0.188 0.173 0.153
1713907
0.140
1663535 1306648 1292359
0.136 0.107 0.106
1130157
0.092
876241 42553260 40244358 35745091.5 33941623 17300499 4701084 4434274 3225318 2829752 574561 14305073 5083991 3335073
0.072 3.480 3.291 2.923 2.775 1.415 0.384 0.363 0.264 0.231 0.047 1.170 0.416 0.273
145
Golongan
Furan
Fenol
Eter Ester
Lain-lain
Senyawa Ethanone, 1-(2,6-dihydroxy-4methoxyphenyl)Benzophenone Furan, 2-pentylBenzofuran, 2-methyl2-Furanmethanol Furfural Phenol Phenol, 3-methylPhenol, 4-methylPhenol, 2-methoxy- (guaiacol) Phenol, 2-methoxy-4-methyl- (4methylguaiacol) Phenol, 2-methylPhenol, 4-ethylPhenol, 4-ethyl-2-methoxy(4ethylguaiacol) Phenol, 2,4-dimethyl2-Methoxy-4-vinylphenol (4vinylguaiacol) Phenol, 2,6-dimethoxy- (syringol) Phenol, 3-methoxy-2-methylPhenol, 2-ethylPhenol, 2-methoxy-4-propyl- (4propylguaiacol) Phenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)-, (Z)- (isoeugenol) Phenol, 2-propylPhenol, 2,3-dimethylEugenol Phenol, 2-methoxy-3-methyl2,6-Dimethoxytoluene Pentafluoropropionic acid, undecyl ester Benzoic acid, 4-methoxy-, methyl ester Trichloroacetic acid, tetradecyl ester 4-Methoxybenzhydrazide Luas Area keseluruhan
Luas Area
Proporsi (%)
1102183
0.090
924515 10076446 5670247 4324011 3406821.5 196199550 70040196 46054545 44160920 33602151
0.076 0.824 0.464 0.354 0.279 16.043 5.727 3.766 3.611 2.748
21723444 15230465 12862208.5
1.776 1.245 1.052
11147273.5 6094703.5
0.912 0.498
5784473 4642610 4168629.5 3649283
0.473 0.380 0.341 0.298
3529879
0.289
3503293 2492859 2261422.5 2141305 2433615 2452158
0.286 0.204 0.185 0.175 0.199 0.201
1332354
0.109
636671 1089729 1222942202
0.052 0.089 100.000
146
Lampiran 12 Komposisi senyawa volatil ikan salai Golongan Hidrokarbon
Aldehida Keton
Alkohol
Luas Area
Proporsi (%)
Dodecane Undecane Decane Pentadecane o-Xylene Tridecane Benzene, 1,3-dimethylToluene 1-Dodecene Ethylbenzene Benzene, 1-ethynyl-4-methylp-Xylene Naphthalene, 1,2,4a,5,6,8a-hexahyd ro-4,7-dimethyl-1-(1-methylethyl), (1.alpha.,4a.alpha.,8a.alpha.)-
Senyawa
86814266 83939754.5 68417309 20186148 17053335 16273522 13891434 12768791.5 11199809 10394303.5 9586147 8744388 7381995
10.153 9.817 8.002 2.361 1.994 1.903 1.625 1.493 1.310 1.216 1.121 1.023 0.863
1-Undecene 1H-Benzocycloheptene, 2,4a,5,6,7,8hexahydro-3,5,5,9-tetramethyl-, (R)1-Tridecene Naphthalene, 2-methylBenzene, 1-(1,5-dimethyl-4-hexenyl)4-methylNaphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-1,6dimethyl-4-(1-methylethyl)-, (1S-cis)Cyclopentane, 1-ethyl-2-methyl-, cisNaphthalene, 1-methylTricyclo[2.2.1.0(2,6)]heptane, 1,7dimethyl-7-(4-methyl-3-pentenyl)-, (-)Bicyclo[2.2.2]octane, 2-methyl1-Pentadecene Pentadecane, 2,6,10,14-tetramethyl2-Tetradecene, (E)Cyclopentane, (2-methylpropyl)Benzocycloheptatriene Tetradecane Naphthalene, 2,6-dimethylHeptadecane Benzene, 1-(1,5-dimethyl-4-hexenyl)4-methylcis-(-)-2,4a,5,6,9a-Hexahydro-3,5,5,9tetramethyl(1H)benzocycloheptene Nonadecane Hexanal 2-Propenal, 2-methyl-3-phenyl2-Cyclopenten-1-one, 3-methyl2-Cyclopenten-1-one, 2,3-dimethyl2-Cyclopenten-1-one, 3-ethylEthanone, 1-(4-methylphenyl)1-Hexadecanol
6441094 6390187
0.753 0.747
6379172 5030975 4507895
0.746 0.588 0.527
4306224
0.504
4175923 3611494 3517858
0.488 0.422 0.411
3295515 2981992 2969686 2782711 2176558 1703491 1619594 1317716 1268850 833968
0.385 0.349 0.347 0.325 0.255 0.199 0.189 0.154 0.148 0.098
783361
0.092
585495 16117641.5 5505063 14329861 13250161 8920651 3503535 502460
0.068 1.885 0.644 1.676 1.550 1.043 0.410 0.059
147
Golongan Furan
Fenol
Eter
Ester Lain-lain
Senyawa 2-Furanmethanol Benzofuran, 2-methylBenzofuran, 7-methylBenzofurane-3-carboxaldehyde, 2methylFuran, 2,5-dimethylPhenol Phenol, 2-methoxy-4-methyl(4methylguaiacol) Phenol, 4-methylPhenol, 2-methoxy- (guaiacol) Phenol, 2-methylPhenol, 2,3-dimethylPhenol, 2,4-dimethylPhenol, 4-ethyl-2-methoxy(4ethylguaiacol) Phenol, 2,6-dimethoxyPhenol, 3-methylPhenol, 3,5-dimethylPhenol, 2-methoxy-3-(2-propenyl)2-Methoxy-6-methylphenol Phenol, 2-ethyl-6-methylPhenol, 2-methoxy-4-propyl(4propylguaiacol) Phenol, 2,6-dimethylPhenol, 3,4-dimethylPhenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)(isoeugenol) Phenol, 2-methoxy-3-methyl3-Allyl-6-methoxyphenol 2,4-Dimethoxytoluene 3,4-Dimethoxytoluene Hydroquinone mono-trimethylsilyl ether 1,2,3-Trimethoxybenzene Benzene, 1,2,3-trimethoxy-5-methyl3,5-Dimethoxytoluene Pentafluoropropionic acid, tetradecyl ester .alpha.-Cubebene Methylene Chloride 1H-Benzimidazole, 5,6-dimethyl1H-3a,7-Methanoazulene, 2,3,4,7,8,8a-hexahydro-3,6,8,8tetramethyl-, [3R(3.alpha.,3a.beta.,7.beta.,8a.alpha.)]1R-.alpha.-Pinene trans-.alpha.-Bergamotene Cedrene 5-tert-Butylpyrogallol cis-.alpha.-Bisabolene Jumlah luas area keseluruhan
Luas Area
Proporsi (%)
19341631 8772172 6016534 4873684
2.262 1.026 0.704 0.570
4489470 47423982.5 43090900
0.525 5.546 5.040
31567052.5 30959196 17129583 16515435 12867417.5 12602325
3.692 3.621 2.003 1.932 1.505 1.474
10255659 8929638 6606429 4962134 4828233 3508727 3105445
1.199 1.044 0.773 0.580 0.565 0.410 0.363
2612211 2170904 1961705
0.306 0.254 0.229
1614354 1190991 8142970 4483155 2829883
0.189 0.139 0.952 0.524 0.331
2543338 1985184 1261094 476918
0.297 0.232 0.147 0.056
7010335 7006838 5179855 3270508
0.820 0.819 0.606 0.382
2814683 1943642 1869213 790108 580730 855044600.5
0.329 0.227 0.219 0.092 0.068 100.000
148
Lampiran 13 Komposisi senyawa volatil ikan kayu Golongan
Senyawa
Hidrokarbon
Pentadecane Benzene, 1,4-dichloroPentadecane, 2,6,10,14-tetramethylTritetracontane Hexadecane Heptadecane Naphthalene Undecane 2-Methyl-Z-4-tetradecene Tetradecane Tetratriacontane Tridecane (isomer) Hexadecane Tetratetracontane Biphenylene Pentadecane, 4-methylTridecane Naphthalene, 1-methyl1-Hexadecene Tridecane (isomer) Pentadecane (isomer) Octadecane, 1-bromoNaphthalene, 2-methylZ-8-Hexadecene 1-Pentadecene 10-Methylnonadecane Heptacosane, 1-chloroTetrapentacontane, 1,54-dibromoDecane, 3,8-dimethylTetracontane, 3,5,24-trimethylNaphthalene, 1,6,7-trimethylDodecane, 3-cyclohexylNaphthalene, 1,7-dimethylTetracontane, 3,5,24-trimethyl4-Propyl-1,1'-diphenyl 1-Tetradecene Naphthalene, 2,3-dimethylDodecane, 2,5-dimethylOctacosane Naphthalene, 2,6-dimethyl1-Heptadecene Dodecane Nonane, 3-methyl-5-propylCyclopentadecane Benzene, 1,2,3-trimethoxy-5-methylNaphthalene, 1,4,6-trimethylNaphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro2,2,5,7-tetramethylTridecane (isomer)
Luas Area
Proporsi (%)
148876529 113742605 50898871.5 38842061 35838631 35566892.5 32804951.5 26679482 24405243 23929101.5 22351591 21691970 21235394 21179876 19885391 19433225 19008585 18126071.5 18053357.5 17735371 17711737 17711737 17660410 16956977 16752221.5 16625654 15857519 15230978 14669431 14113961 13823313 13010510 12580177.5 12404678 11101094 10625768 10612646.5 10132527 9868778 9866445 9492929.5 9162940 8654464 8502916 7404784 6050887 5264898
7.841 5.991 2.681 2.046 1.888 1.873 1.728 1.405 1.285 1.260 1.177 1.142 1.118 1.115 1.047 1.024 1.001 0.955 0.951 0.934 0.933 0.933 0.930 0.893 0.882 0.876 0.835 0.802 0.773 0.743 0.728 0.685 0.663 0.653 0.585 0.560 0.559 0.534 0.520 0.520 0.500 0.483 0.456 0.448 0.390 0.319 0.277
5258969
0.277
149
Golongan
Aldehida Keton
Alkohol Furan
Fenol
Senyawa 1-Isopropenylnaphthalene Naphthalene, 1,3-dimethylNaphthalene, 1,4,5-trimethylPentadecane (isomer) Decane, 3,8-dimethylCyclohexane, 2-butyl-1,1,3-trimethylOctane, 4-ethylNaphthalene, 2,3,6-trimethylTridecane, 4-cyclohexyl2-(2-Hydroxyphenyl)buta-1,3-diene 7-Hexadecene, (Z)Bicyclo[4.2.0]octa-1,3,5-triene Octadecane Dodecane, 2,6,10-trimethyl1,4,5,8-Tetramethylnaphthalene 3-Hepten-1-yne, (E)Cyclododecane, ethyl2-Propenal, 3-phenylEthanone, 1-(2,6-dihydroxy-4methoxyphenyl)Ethanone, 1-(2-furanyl)2-Cyclopenten-1-one, 3-methyl2-Cyclopenten-1-one, 3-ethyl2-Cyclopenten-1-one, 2,3-dimethylEthanone, 1-(4-methylphenyl)Ethanone, 1-(3-methylphenyl)1-Decanol, 2-hexyl2-Furanmethanol Dibenzofuran Benzofuran, 2-methylBenzofuran, 4,7-dimethyl2-Acetyl-5-methylfuran Benzofuran, 7-methylPhenol, 2-methoxy- (guaiacol) Phenol Phenol, 4-methylPhenol, 4-ethyl-2-methoxy(4ethylguaiacol) Phenol, 2-methoxy-4-methyl(4methylguaiacol) Phenol, 2,6-dimethoxy- (syringol) Phenol, 3-ethylPhenol, 2-methylPhenol, 2-methoxy-4-propyl(4propylguaiacol) Phenol, 2,4-dimethylPhenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)-, (E)Phenol, 3,4-dimethylPhenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)(isoeugenol)
Luas Area
Proporsi (%)
4975826 4800346 4677553 4353204 4230746 4053116 4039791 3922511 3879953 2989866 2866141 2620746 2316832 1990615 1776203 1305391 752867 7034399 17766991
0.262 0.253 0.246 0.229 0.223 0.213 0.213 0.207 0.204 0.157 0.151 0.138 0.122 0.105 0.094 0.069 0.040 0.370 0.936
13337441 10979029.5 5952643 3779409 2917182 1485397 8826677 20271217 13567153 6911955 5727564 3629933 3456185 67303012.5 64504100 52796303 38721942.5
0.702 0.578 0.314 0.199 0.154 0.078 0.465 1.068 0.715 0.364 0.302 0.191 0.182 3.545 3.397 2.781 2.039
34749208.5
1.830
32674037 24569870 21940053.5 20298729.5
1.721 1.294 1.156 1.069
19649529 16513981
1.035 0.870
12540855 9507836
0.660 0.501
150
Golongan
Eter
Ester
Asam Lain-lain
Senyawa Phenol, 2-methoxy-3-methylEugenol Phenol, 3-methoxy-2-methylPhenol, 3-ethyl-5-methylPhenol, 2,6-dimethylPhenol, 2,5-dimethylPhenol, 2-ethyl-4-methylPhenol, 2-ethylPhenol, 2,3-dimethyl1,2,4-Trimethoxybenzene 3,5-Dimethoxytoluene 3,4-Dimethoxytoluene Sulfurous acid, butyl dodecyl ester Sulfurous acid, 2-propyl tridecyl ester Sulfurous acid, butyl heptadecyl ester (isomer) Sulfurous acid, butyl tridecyl ester Sulfurous acid, butyl heptadecyl ester Sulfurous acid, 2-propyl tetradecyl ester Sulfurous acid, butyl tetradecyl ester Pentafluoropropionic acid, hexadecyl ester Sulfurous acid, pentadecyl 2-propyl ester Oxalic acid, cyclobutyl hexadecyl ester Nonahexacontanoic acid Butylated Hydroxytoluene 1-Bromodocosane Benzonitrile 1H-Indazole, 5,7-dimethylTricyclo[3.1.0.0(2,4)]hex-3-ene-3carbonitrile Oxirane, hexadecylLuas Area Keseluruhan
Luas Area
Proporsi (%)
9226814 7964172.5 5136447 4704431 4217732 4101444 2725963 1988886 1787006 16377532.5 14683252 8692719.5 25022804 17874741 16064860
0.486 0.419 0.271 0.248 0.222 0.216 0.144 0.105 0.094 0.863 0.773 0.458 1.318 0.941 0.846
15882037 10432266 6409419
0.836 0.549 0.338
3548914 3147128
0.187 0.166
2835556
0.149
456611 7463486 14800277.5 11291835 7583295 5666637 3356567
0.024 0.393 0.779 0.595 0.399 0.298 0.177
897509 1898699232
0.047 100.000
151
Lampiran 14 Komposisi senyawa volatil ikan pe Golongan
Senyawa
Hidrokarbon
Naphthalene, 1,6,7-trimethyl2-Isopropenyl-4a,8-dimethyl1,2,3,4,4a,5,6,7-octahydronaphthalene 1,3,6-Heptatriene, 2,5,6-trimethyl2,2-Dimethyl-3-(3,7,16,20-tetramethylheneicosa-3,7,11,15,19-pentaenyl)oxirane 3,3'-Dimethylbiphenyl 4-Isopropenyl-4,7-dimethyl-1oxaspiro[2.5]octane (isomer) Azulene, 7-ethyl-1,4-dimethyl3-(2-Methyl-propenyl)-1H-indene Naphthalene, 2,3-dimethyl1,5-Heptadiene, 2,5-dimethyl-3methylene- (isomer) 2-Methyl-3-(3-methyl-but-2-enyl)-2-(4methyl-pent-3-enyl)-oxetane Naphthalene, 1,6-dimethylNaphthalene, 1,2,3,4,4a,5,6,8aoctahydro-7-methyl-4-methylene-1-(1methylethyl)-, (1.alpha.,4a.alpha.,8a.alpha.)Naphthalene, 1,6-dimethyl-4-(1methylethyl)Naphthalene, 1,4,6-trimethyl1,4,5,8-Tetramethylnaphthalene 1,4-Methanoazulene, decahydro-4,8,8trimethyl-9-methylene-, [1S(1.alpha.,3a.beta.,4.alpha.,8a.beta.)]1H-Cycloprop[e]azulene, decahydro1,1,7-trimethyl-4-methylene-, [1aR(1a.alpha.,4a.beta.,7.alpha.,7a.beta.,7b .alpha.)]Bicyclo[7.2.0]undec-4-ene, 4,11,11trimethyl-8-methylene-,[1R(1R*,4Z,9S*)]Naphthalene, 2,6-dimethylNaphthalene, 1,7-dimethyl1,1'-Biphenyl, 3-methylCycloheptane, 4-methylene-1-methyl-2(2-methyl-1-propen-1-yl)-1-vinylNaphthalene, 2,3,6-trimethylAzulene, 4,6,8-trimethylAzulene, 1,2,3,5,6,7,8,8a-octahydro1,4-dimethyl-7-(1-methylethenyl)-, [1S(1.alpha.,7.alpha.,8a.beta.)]Tetradecane Naphthalene, 1,2,3,4,4a,5,6,8aoctahydro-4a,8-dimethyl-2-(1methylethenyl)-, [2R(2.alpha.,4a.alpha.,8a.beta.)]4-Propyl-1,1'-diphenyl
Luas Area
Proporsi (%)
91045216.5 48047532
2.559 1.350
47515313.5 45850368
1.335 1.289
45314038.5 44776783
1.274 1.258
43891191 43316156 42226501 40467183
1.234 1.217 1.187 1.137
39946996
1.123
39461342 38414408
1.109 1.080
38143198
1.072
36316565 36314585.5 36093981
1.021 1.021 1.014
35330297
0.993
32821106
0.922
30595696.5 29930813.5 28643211 28051293
0.860 0.841 0.805 0.788
27655605.5 27607481 27165511.5
0.777 0.776 0.764
26225458 26166016
0.737 0.735
25453406
0.715
152
Golongan
Aldehida Keton
Senyawa Pentadecane 4-Isopropenyl-4,7-dimethyl-1oxaspiro[2.5]octane 1,5-Heptadiene, 2,5-dimethyl-3methylene(E,E,E)-3,7,11,15Tetramethylhexadeca-1,3,6,10,14pentaene Spiro[4.5]dec-7-ene, 1,8-dimethyl-4-(1methylethenyl)-, [1S(1.alpha.,4.beta.,5.alpha.)]1,2,3-Trimethylindene Benzene, (4,5,5-trimethyl-1,3cyclopentadien-1yl)Naphthalene, 1,2,3,4-tetramethylBenzene, 1-(1,5-dimethyl-4-hexenyl)-4methylBiphenyl Benzene, 1-methyl-2-phenoxyTricyclo[5.4.0.0(2,8)]undec-9-ene, 2,6,6,9-tetramethylNaphthalene, 2-methylBi-2,4,6-cycloheptatrien-1-yl 4,6,6-Trimethyl-2-(3-methylbuta-1,3dienyl)-3-oxatricyclo[5.1.0.0(2,4)]octane 1,3,3-Trimethyl-2-hydroxymethyl-3,3dimethyl-4-(3-methylbut-2-enyl)cyclohexene (isomer) Pentacyclo[9.1.0.0(2,4).0(5,7).0(8,10)]d odecane, 3,3,6,6,9,9,12,12-octamethyl-, anti,syn,anti1,8-Nonadiene, 2,7-dimethyl-5-(1methylethenyl)Naphthalene, decahydro-4a-methyl-1methylene-7-(1-methylethenyl)-, [4aR(4a.alpha.,7.alpha.,8a.beta.)]1,3,3-Trimethyl-2-hydroxymethyl-3,3dimethyl-4-(3-methylbut-2-enyl)cyclohexene (isomer) 1,3,3-Trimethyl-2-hydroxymethyl-3,3dimethyl-4-(3-methylbut-2-enyl)cyclohexene 1,5-Heptadiene, 2,5-dimethyl-3methylene- (isomer) Naphthalene, 1-methyl1-Buten-3-yne,4-trimethylsilyl Methyl ethyl cyclopentene 1H-Indene, 1,3-dimethyl[1,1'-Biphenyl]-4-carboxaldehyde 2-Propenal, 2-methyl-3-phenyl1,4-Naphthalenedione, 2,3-dimethyl1,4-Naphthalenedione, 2-ethylEthanone, 1-[5-(2-furanylmethyl)-2furanyl]-
Luas Area
Proporsi (%)
23573976 22586175
0.663 0.635
21836666
0.614
21243086
0.597
21059934
0.592
19565027.5 17817156
0.550 0.501
17739121.5 17192690
0.499 0.483
16844893 16641967 16596718
0.473 0.468 0.466
16254466.5 14280482 14056341
0.457 0.401 0.395
13647375
0.384
12376181
0.348
10943730
0.308
10918651
0.307
10879917
0.306
10683497
0.300
8155536
0.229
7733491.5 6471296 3804366 2746217.5 34882947 5860917 51336964 48579341 46227690
0.217 0.182 0.107 0.077 0.980 0.165 1.443 1.365 1.299
153
Golongan
Alkohol
Furan
Fenol
Ester
Senyawa 1,2-Cyclopentanedione, 3-methyl1H-Inden-1-one, 2,3-dihydro2-Cyclohexen-1-one, 4,4-dimethyl3-Buten-2-one, 4-phenyl-, (E)2-Cyclopenten-1-one, 3-ethylEthanone, 1-(4-methylphenyl)Ethanone, 1-(3-methylphenyl)4,8,12,16-Octadecatetraen-1-ol, 4,9,13,17-tetramethyl2H-Benz[e]inden-3-ol, 3,3a,4,5tetrahydro-3a-methyl-, (3S-cis)13-Tetradece-11-yn-1-ol Dibenzofuran 2-Furanmethanol Furfural Ethanone, 1-(2-furanyl)2-Furancarboxaldehyde, 5-methylBenzofuran, 2-methylPhenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)-, (Z)Phenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)-, (E)Phenol, 2-methoxy-4-methylPhenol, 2-methoxyPhenol, 4-ethyl-2-methoxyPhenol, 2-methoxy-4-propylPhenol, 2-methoxy-4-(1-propenyl)Phenol, 3-methylPhenol, 2-methoxy-3-(2-propenyl)Phenol 5-tert-Butylpyrogallol Phenol, 2,4-dimethyl2-Methoxy-4-vinylphenol Phenol, 2,6-dimethoxyPhenol, 2-methylPhenol, 2,6-dimethoxy-4-(2-propenyl)Phenol, 3,4-dimethylPhenol, 2-ethyl-6-methyl2-Methoxy-6-methylphenol Phenol, 2,3,6-trimethylPhenol, 2-methoxy-3-methyl2-Methyl-6-propylphenol Phenol, 2-propylPhenol, 2,4,6-trimethylPhenol, 2,6-dimethylPhenol, 3-ethyl-5-methylPhenol, 2-ethyl-5-methylPhenol, 2-ethylPhenol, 2,3-dimethylPhenol, 3-ethylHexadecanoic acid, methyl ester
Luas Area
Proporsi (%)
8030580 7625947 3199470 2308443 1822624 1133533 980260 53296484
0.226 0.214 0.090 0.065 0.051 0.032 0.028 1.498
26736916
0.751
24478870.5 31032207 23318129.5 16663908 14421299.5 10446219.5 3146006 249226862 223258078 124994376 79183638 78757327.5 71531053.5 57268487 49501668.5 46910440.5 38542588 36267068 23673064.5 19701976 17439174 17087447 16282498 14254063.5 8608275 7662856 5384090 5060968 4745885.5 4450301 3774012 3111526.5 2672308 2232874 2130895 1913118.5 1333927 29970089
0.688 0.872 0.655 0.468 0.405 0.294 0.088 7.005 6.275 3.513 2.226 2.214 2.010 1.610 1.391 1.318 1.083 1.019 0.665 0.554 0.490 0.480 0.458 0.401 0.242 0.215 0.151 0.142 0.133 0.125 0.106 0.087 0.075 0.063 0.060 0.054 0.037 0.842
154
Golongan Asam Lain-lain
Senyawa
Luas Area
Thiocyanic acid, 2,4-dinitrophenyl ester Acetic acid n-Hexadecanoic acid 2-(4-Chlorophenyl)-1,3,2-dioxaborolane Thujopsene-I3 (E,Z)-.alpha.-Farnesene 9-Anthracenamine, 9,10-dihydro9H-Fluorene, 9-methylene.beta.-Humulene 9H-Fluorene, 2-methyl.beta.-Guaiene 9H-Fluorene, 1-methylIsocaryophillene (-)-Neoclovene-(I), dihydro.gamma.-Elemene Eudesma-4(14),11-diene 1H-Benzimidazole, 2-ethyl1-(2,6-Dimethyl-phenyl)-1H-tetrazole Piperonal 3,4-Dimethylanisole Indolizine 2,6-Dimethylanisole m-Toluamide 1,1'-Bicyclopentyl Luas keseluruhan
11058897 23834612 19096964 67954242 46533164 35382451 30405529 23034148 22529846 20984306 19798471 16976131 12943306 11388113 9552464 8866439 7901438 6072689 5988983.5 4933445 3916478.5 3856838 2208732.5 1851772 3557965362
Proporsi (%) 0.311 0.670 0.537 1.910 1.308 0.994 0.855 0.647 0.633 0.590 0.556 0.477 0.364 0.320 0.268 0.249 0.222 0.171 0.168 0.139 0.110 0.108 0.062 0.052 100.000
155
Lampiran 15 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan fufu dan ulangannya
156
Lampiran 16 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan salai dan ulangannya
157
Lampiran 17 Kromatogram hasil analisis GC-MS ikan kayu dan ulangannya
158
Lampiran 18 Kromatogram analisis GC-MS ikan pe dan ulangannya
159
Lampiran 19 Daftar nama panelis terlatih di lingkungan BBPTP Sukamandi No
Nama Elsera Br Tarigan Rasam Nani Yunani Kamijo Husen Encep Rianto Diah Arismiati Desi Arofah Ahmad Yajid Edi Suryadi
No Telp. 0852217067716 08128724596 085924031162 081320459827 081912476756 081912656655 081318819575 081802900549 081809240396 085846564556
160
Lampiran 20 Kuisioner tahap uji screening hingga uji konsistensi Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
Form Uji Segitiga Rasa Dasar Nama Tanggal Jenis contoh Instruksi
: : 23/12/2010 : Larutan : Berikut ini disajikan 5 set contoh uji yang masing-masing berisi 3 larutan contoh. Mohon jangan diubah susunan contoh tersebut. Saudara diminta menentukan salah satu contoh yang berbeda pada setiap set dengan cara: 1. Cicipilah satu sendok contoh selama 3 detik, lalu telan 2. Minumlah seteguk air putih sebagai penetral sebelum mencicipi contoh yang lain 3. Tuliskan salah satu contoh yang berbeda dengan memberi tanda (x) pada kolom respon pada tabel dibawah ini
Set Pengujian Asin
Asam
Manis
Pahit
Gurih
Kode Contoh 299 141 278 793 986 318 156 939 223 918 537 233 743 459 172
Respon
161
Lanjutan Lampiran 20
Form Uji Segitiga Aroma Nama Tanggal Jenis contoh Instruksi
: : 23/12/2010 : Larutan Flavor : Berikut ini disajikan 4 set contoh uji yang masing-masing berisi 3 larutan contoh. Saudara diminta menentukan salah satu contoh yang berbeda pada setiap set dengan cara: 1. Buka tutup botol, hirup aroma setiap contoh dengan mengibas-ngibaskan udara diatas botol ke arah hidung dengan tangan; tiap selesai menghirup aroma satu sampel beristirahatlah sebentar 2. Tuliskan salah satu contoh yang berbeda dengan memberi tanda (x) pada kolom respon pada tabel dibawah 3. Tutup kembali botol dan istirahatlah selama 30 detik sebelum membaui contoh pada set contoh uji yang lain
Set Pengujian
Kode Contoh
Burnt
283 461 643 664 488 269 246 762 812 692 952 375
Smoky
Fatty
Fishy
Respon
162
Lanjutan Lampiran 20 Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
Form Uji Deskripsi Flavor Nama Tanggal Jenis contoh Instruksi
: : : :
30/12/2010 Larutan flavor Berikut ini disajikan 4 contoh larutan. Saudara diminta untuk menyatakan aroma yang berhasil Saudara identifikasi dengan cara: 1. Buka tutup botol, hirup aroma contoh dengan mengibasngibaskan udara diatas botol ke arah hidung dengan tangan 2. Tuliskan aroma yang berhasil Saudara identifikasi pada kolom deskripsi aroma 3. Tutup kembali botol dan beristirahatlah sebentar sebelum menghirup contoh yang lain
Kode Deskripsi aroma* 117 957 899 375 Keterangan: * Diskripsi aroma: pilihlah salah satu dari aroma-aroma berikut: amis (fishy) lemak (fatty)terbakar (burnt)asap (smoky)
163
Lanjutan Lampiran 20
Form Uji Ranking Flavor Nama Tanggal Instruksi
: : 30/12/2010 : Berikut ini disajikan 4 set contoh flavor standar yang masingmasing berisi 3 contoh. Saudara diminta untuk meranking (mengurutkan) intensitas aroma contoh dalam satu jenis flavor standar dengan cara: 1. Buka tutup botol, hirup aroma setiap contoh dalam satu jenis flavor standar; tiap selesai menghirup aroma satu sampel beristirahatlah sebentar 2. Ranking (urutkan) contoh berdasarkan intensitas aromanya dengan memberi angka pada kolom ranking (1= kuat; 2= sedang; 3= lemah) 3. Tutup kembali botol dan istirahatlah selama 30 detik sebelum membaui contoh pada flavor standar yang lain
Flavor Standar
Kode Contoh
Asap
217 488 664 627 461 237 342 246 762 692 952 973
(smoky) Terbakar (burnt) Lemak (fatty) Amis (fishy)
Ranking
164
Lanjutan Lampiran 20 Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
UJI KONSISTENSI RASA DASAR Nama Tanggal Instruksi
: : 05/01/2011 : Berilah penilaian intensitas rasa dari 5 contoh (dalam satu jenis rasa dasar) dengan cara: 1. Cicipi contoh dari kiri ke kanan selama 5 detik. Mohon susunan/urutan botol jangan diubah. 2. Sebelum mencicip contoh yang lain minumlah seteguk air untuk menetralkan lidah Anda. 3. Nyatakan penilaian Anda terhadap intensitas rasa contoh dengan memberikan tanda silang (x) diatas garis intensitas beserta kode contohnya
1. Rasa manis
Lemah
Reference
Kuat
Reference
Kuat
2. Rasa asin
Lemah 3. Rasa asam
Lemah
Reference
Kuat
4. Rasa pahit
Lemah
Reference
Kuat
5. Rasa gurih
Lemah
Reference
Kuat
165
Lanjutan Lampiran 20 Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
UJI KONSISTENSI AROMA Nama Tanggal Instruksi
: : 05/01/2011 : Berilah penilaian intensitas aroma dari 6 contoh (dalam satu jenis aroma) dengan cara 1. Buka tutup botol, hirup aroma contoh dari kiri ke kanan selama 5 detik. Mohon susunan/urutan botol jangan diubah. 2. Beristirahatlah sebentar sebelum menghirup aroma contoh lain 3. Nyatakan penilaian Anda terhadap intensitas aroma contoh dengan memberikan tanda silang (x) diatas garis intensitas beserta kode contohnya
1. Aroma terbakar (burnt)
Lemah
Reference
Kuat
2. Aroma asap (smoky)
Lemah
Reference
Kuat
3. Aroma lemak (fat)
Lemah
Reference
Kuat
4. Aroma amis (fishy)
Lemah
Reference
Kuat
5. Aroma manis (sweety)
Lemah
Reference
Kuat
6. Aroma kayu (woody)
Lemah
Reference
Kuat
166
Lampiran 21 Hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan intensitas menggunakan persamaan Moskowitz
Sensory Intensity (Log SI)
Furfuril Mercaptan 1,85 1,8 1,75 1,7 1,65 1,6 1,55 1,5
y = 0,274x + 1,551 R² = 0,957
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Guaiakol 1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4
y = 0,478x + 0,951 R² = 0,998
0
0,5
1
1,5
2
1,75
1,8
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Butter 09002 1,85 1,8 1,75 1,7 1,65 1,6 1,55 1,5
y = 1,761x - 1,345 R² = 0,991
1,6
1,65
1,7 Physical Intensity (Log PI)
167
Lanjutan Lampiran 21
Sensory Intensity (Log SI)
Octen-1-ol-3 2 1,5 y = 0,457x + 1,342 R² = 1
1 0,5 0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Hexyl acetate 2 1,5 y = 0,290x + 1,417 R² = 0,986
1 0,5 0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Squalene 1,85 1,8 1,75 1,7 1,65 1,6 1,55 1,5
y = 0,426x + 0,949 R² = 0,972
0
0,5
1
1,5
Physical Intensity (Log PI)
2
2,5
168
Sensory Intensity (Log SI)
Lanjutan Lampiran 21
Larutan Sukrosa 2 1,5 1 y = 0,928x + 1,602 R² = 0,992
0,5 0 -0,3
-0,2
-0,1
0
0,1
0,2
0,3
Sensory Intensity (Log SI)
Physical Intensity (Log PI)
Larutan Asam Sitrat 4 3 2 1 0
y = 1,056x + 3,169 R² = 1
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Larutan NaCl y = 0,792x + 1,916 R² = 0,999
2,5 2 1,5 1 0,5 0
-0,8
-0,7
-0,6
-0,5
-0,4
-0,3
-0,2
Physical Intensity (Log PI)
-0,1
0
0,1
169
Lanjutan Lampiran 21
Sensory Intensity (Log SI)
Larutan Kafein 4 y = 1,319x + 3,744 R² = 0,977
3 2 1 0
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
0
0,5
Physical Intensity (Log PI)
Sensory Intensity (Log SI)
Larutan MSG 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
y = 0,770x + 2,657 R² = 0,999
-2
-1,5
-1
-0,5
Physical Intensity (Log PI)
170
Lampiran 22 Kuisioner uji QDA® Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
UJI QDA AROMA DAN RASA A. UJI QDA AROMA Nama Tanggal Instruksi
: : 9/02/2011 : Dihadapan Saudara terdapat contoh ikan asap, berilah penilaian intensitas aroma contoh dengan membandingkan terhadap intensitas rasa larutan standar yang tersedia dengan cara 1. Buka tutup botol larutan flavor standar dan aroma larutan flavor standar tersebut. Mulailah dari standar yang mempunyai intensitas lebih kecil dahulu kemudian lanjutkan ke flavor standar dengan intensitas yang lebih tinggi. 2. Cium contoh ikan asap selama 5 detik dan bandingkan dengan aroma dan nilai intensitas flavor standar, kemudian berikan penilaian terhadap intensitas flavor contoh dengan memberikan tanda (x) diatas garis intensitas. 3. Beristirahatlah selama 20 detik sebelum mencium flavor standar berikutnya
Kode Contoh: 547 1. Aroma amis (fishy)
Lemah
30
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
2. Aroma terbakar (burnt)
Lemah
30
3. Aroma manis (sweet)
Lemah
30
4. Aroma asap (smoky)
Lemah
30
50
70
Kuat
171
Lanjutan Lampiran 22
5. Aroma lemak (fatty)
Lemah
30
50
70
Kuat
30
50
70
Kuat
30
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
6. Aroma kayu (woody)
Lemah
Kode Contoh: 414 1. Aroma amis (fishy) Lemah
2. Aroma terbakar (burnt) Lemah
30
3. Aroma manis (sweet) Lemah
30
4. Aroma asap (smoky) Lemah
30
5. Aroma lemak (fatty) Lemah
30
6. Aroma kayu (woody) Lemah
30
172
Lanjutan Lampiran 22 Kode Contoh: 927 1. Aroma amis (fishy) Lemah
30
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
30
50
70
Kuat
30
50
70
Kuat
2. Aroma terbakar (burnt) Lemah
30
3. Aroma manis (sweet) Lemah
30
4. Aroma asap (smoky) Lemah
5. Aroma lemak (fat) Lemah
6. Aroma kayu (woody) Lemah
30
50
70
Kuat
Kode Contoh: 761 1. Aroma amis (fishy) Lemah
30
50
70
Kuat
50
70
Kuat
2. Aroma terbakar (burnt) Lemah
30
173
Lanjutan Lampiran 22 3. Aroma manis (sweet) Lemah
30
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
50
70
Kuat
4. Aroma asap (smoky) Lemah
30
5. Aroma lemak (fatty) Lemah
30
6. Aroma kayu (woody) Lemah
30
174
Lanjutan Lampiran 22 Laboratorium Analisis Flavor Beras Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256; Telp.: 0260-520157; Fax: 0260-520158
B. UJI QDA RASA Instruksi
: Dihadapan Saudara terdapat contoh ikan asap, berilah penilaian intensitas rasa dengan membandingkan terhadap intensitas rasa larutan standar yang tersedia dengan cara 1. Cicipilah satu sendok larutan standar yang mempunyai intensitas yang lebih kecil dahulu selama 5 detik, lalu lanjutkan ke larutan standar yang lebih tinggi 2. Cicipilah contoh selama 30 detik, lalu telan 3. Bandingkan rasa dan nilai intensitas rasa standar yang diberikan, kemudian berikan penilaian terhadap intensitas rasa contoh dengan memberikan tanda (x) diatas garis intensitas 4. Netralkan lidah dan mulut Saudara dengan seteguk air sebelum mencicip contoh yang lain
Kode Contoh: 547 1. Manis Lemah
25
50
75
Kuat
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
2. Asin Lemah
25
3. Asam Lemah
4. Gurih Lemah
175
Lanjutan Lampiran 22 5. Pahit Lemah
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
Kode Contoh: 414 1. Manis Lemah
2. Asin Lemah
3. Asam Lemah
4. Gurih Lemah
5. Pahit Lemah
Kode Contoh: 927 1. Manis Lemah
2. Asin Lemah
176
Lanjutan Lampiran 22 3. Asam Lemah
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
25
50
75
Kuat
4. Gurih Lemah
5. Pahit Lemah
Kode Contoh: 761 1. Manis Lemah
2. Asin Lemah
3. Asam Lemah
4. Gurih Lemah
5. Pahit Lemah
Lampiran 23 Nilai rata-rata hasil perhitungan analisis QDA keempat ikan asap menggunakan 10 panelis IkanAsap Fufu Salai Pe Kayu
Fishy 46.35 35.35 35.83 53.97
Burnt 27.45 31.02 36.02 25.12
Sweet 25.47 28.75 22.62 24.63
Smoky 46.15 55.47 62.32 48.08
Fatty 25.98 27.57 25.28 23.27
Woody 28.33 25.42 26.13 37.77
Manis 28.13 33.10 19.03 24.72
Asin 34.17 27.92 27.95 31.10
Asam 39.82 25.18 33.00 29.15
Gurih 27.48 44.72 33.68 47.62
Pahit 28.58 18.57 25.65 25.80
177
178
Lampiran 24 Hasil PCA empat sampel ikan asap
179
Lampiran 25 Dokumentasi penelitian: alat pengasapan
a. Ruang pengasapan ikan fufu
b. Oven asap ikan salai
c. Tungku asap ikan pe
180
Lampiran 26 Dokumentasi penelitian: denah ruang pengasapan ikan kayu
IV V
V
V
II I II
V
I
Keterangan: I. II. III. IV. V. VI.
Tempat pembakaran kayu sebagai sumber asap Ruang asap lantai 1 yang di dalamnya terdapat rak-rak tempat menyimpan ikan yang diasapi Lantai yang dilengkapi dengan lubang agar asap dari bawah masuk mengasapi ikan pada rak-rak lantai 2 Ruang asap lantai 2 yang di dalamnya juga terdapat rak-rak tempat menyimpan ikan Pintu-pintu yang berfungsi sebagai saluran udara dan pengatur suhu selain tempat ikan masuk Tempat menyimpan kayu yang akan digunakan.
181
Lampiran 27 Dokumentasi penelitian: ikan asap
a. Ikan asap cakalang fufu
b. Ikan kayu (arabushi)
c. Ikan salai
182
Lanjutan Lampiran 27
d. Ikan pe
183
Lampiran 28 Dokumentasi penelitian: pengangkutan sampel
a. Pengemasan sampel ikan asap dengan alumunium foil dan cling wrap
b. Pengepakan sampel ke dalam kotak plastik yang diisolasi
c. Pengepakan sampel ke dalam coolbox berisi es
184
Lampiran 29 Dokumentasi penelitian: pengujian organoleptik QDA®
Tahap pengisian kuisioner
Tahap uji segitiga rasa dan aroma dasar
Tahap diskusi pengembangan istilah deskripsi
185
Lanjutan lampiran 29
Tahap uji konsistensi
Bilik panelis untuk uji QDA rasa.
Tahap uji QDA® .