Karakteristik Fisik Secara Somatoskopi dan Adaptasi Budaya pada Populasi Masyarakat Tengger di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang Valentinus Deeshandio Pamedar Jati
[email protected] Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik fisik masyarakat Tengger di Desa Argosari berdasarkan metode somatoskopi. Penelitian ini juga membahas mengenai adaptasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, guna mendapatkan gambaran adaptasi secara lengkap. Penelitian ini bersifat kuantitatif deskriptif dengan memaparkan presentase berbagai variasi temuan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 100 orang, yang terdiri dari 57 responden laki-laki dan 43 responden perempuan. Teknik pemilihan responden adalah purposive sampling dengan kriteria pemilihan responden berada pada rentang usia 20-40 tahun. Instrumen utama penelitian ini adalah lembar pengamatan somatoskopi dan pedoman wawancara. Hasil penelitian menghasilkan temuan warna kulit berada rentang 21-26 Skala Luschan. Sebanyak 100% responden memiliki warna iris mata pada kategori skala 2-3 coklat tua dan juga menunjukkan bahwa mereka memiliki distribusi pigmen pada mata yang berbentuk radial. Sebesar 71% responden berada pada kategori letaknya celahnya mata yang sifatnya miring ke atas. Besarnya celah mata menunjukkan bahwa 92% responden berada pada kategori sedang. Bentuk celah mata dengan presentase tertinggi berada pada kategori IA dengan jumlah sebanyak 51%. Sebanyak 53% responden tidak memiliki epicantus. Bentuk punggung hidung dari arah depan atau en face menghasilkan 100% responden berada pada kategori en face yang lebar. Sebanyak 45% dalamnya pangkal hidung berada pada skala kode ke 3. Sebanyak 34% responden berada pada kategori bentuk punggung hidung dari samping yang lurus dan ujungnya naik. Sebanyak 72% responden berada pada kategori ujung hidung yang naik dan sebanyak 64% responden berada pada bentuk lubang hidung yang sifatnya oval dan miring. Temuan mengenai bentuk rambut menunjukkan bahwa 52% responden berada pada kategori rambut berombak dangkal. Temuan bentuk bibir menunjukkan bahwa 71% responden berada pada kategori bentuk bibir yang sedang. Kata Kunci : Somatoskopi, Variasi Biologis Manusia, Adaptasi Budaya, Lingkungan
Abstract This study aims to look at the physical characteristics of the Tengger people in the village Argosari based methods somatoskopi. This study also discusses the cultural adaptations that are owned by the community, in order to get a complete picture adaptation. This research is quantitative descriptive findings expose the percentage variations. This study was conducted using a sample of 100 people, consisting of 57 male respondents and 43 female respondents. Respondent selection technique is purposive sampling with criteria for selection of the respondents were in the age range of 20-40 years. The main instrument of this study is the observation sheet somatoskopi and interview guidelines. The results of the study produced findings were the skin color range Scale Luschan 21-26. A total of 100% of the respondents have the color of the iris on a 2-3 scale AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 245
category of dark brown and also show that they have a distribution of pigment in the eyes of the radial. 71% of respondents in the category located slit eyes that are slanted upward. The amount of eye slits showed that 92% of respondents are in the medium category. Shape slit eyes with the highest percentage in the category IA with a total of 51%. As many as 53% of respondents do not have epicantus. Forms the back of the nose from the front or en face generate 100% of respondents in the category en face width. As many as 45% inside base of the nose are in scale code to 3. As many as 34% of respondents in the category forms the back of the nose of the side edges straight and go up. As many as 72% of respondents are in the category of nasal tip rises and 64% of respondents were in the shape of the nostrils that are oval and slanted. Findings regarding the shape of the hair showed that 52% of respondents in the category shallow wavy hair. Findings shape of the lips showed that 71% of respondents in the category lip shape being. Keywords: Somatoskopi, Human Biological Variation, Cultural Adaptation, Environment
capaian akhir bentuk fisik manusia
Pendahuluan Manusia merupakan komponen biotik
kehidupan
(Gallahue & Ozmun, 1998, pp. 204-
yang memiliki
205). Temperatur udara, keadaan
keistimewaan di antara makhluk
iklim, dan ketinggian akan memiliki
hidup
Manusia
dampak terhadap proses yang terjadi
mempunyai pemikiran dan akal yang
pada tubuh manusia. Mekanisme
dapat berkembang. Pemikiran dan
tersebut merupakan sebuah adaptasi
akal tersebut yang menyebabkan
morfologi dan adaptasi fisiologi pada
manusia mampu menguasai bumi.
manusia. Dataran tinggi dan dataran
Manusia dapat beradaptasi dengan
rendah memiliki keadaan alam yang
berbagai keadaan yang ada di bumi.
berbeda.
Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa
mengenai ilmu alam sudah mampu
dari lingkungan yang bersuhu panas
menunjukkan bahwa kondisi dari
hingga dingin, terdapat manusia yang
dataran rendah dan dataran tinggi
masih menghuninya. Pada dasarnya,
berbeda. Menurut Guyton dan Hall
manusia di bumi memiliki perbedaan
salah
secara fisik dan budaya disebabkan
membedakan dataran rendah dan
karena
dataran tinggi adalah kadar oksigen.
yang
proses
lain.
adaptasi
terhadap
lingkungannya (Glinka, 2008). Gallahue dan Ozmun mengatakan bahwa lingkungan dapat menentukan
Kadar
Berbagai
satu
kondisi
indikator
oksigen
lingkungan
penelitian
dalam
dapat
fisik
yang
suatu
mempengaruhi
seseorang
yang
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 246
menghuni
lingkungan
tersebut
(Guyton & Hall, 1997, p. 684).
permasalahan
hipoksia
berkaitan
dengan pengaturan sistem pernafasan
Salah satu tokoh yang telah
yang berbeda pada ketiga populasi
beberapa kali melakukan penelitian
tersebut. Penelitian tersebut berusaha
manusia dataran tinggi di dunia
membandingkan
adalah Beall. Penelitian-penelitian
pada tiga populasi manusia yang
tersebut menunjukkan bahwa stress
berbeda,
lingkungan
berada
pada
menghasilkan fisiologi
dataran
tinggi
morfologi
dan
berbeda.
Hasil
yang
penelitian Beall mengatakan bahwa
akan pada
Hal
ini
penduduk dataran tinggi Aymara di
ketinggian
Bolivia
konsekuensi
daripada
sama-sama
kategori
manusia
24).
pemahaman
tinggi
tetapi
fisiologi
dataran tinggi (Beall, 2006, pp. 18-
kadar hemoglobin yang dimiliki oleh
lebih
fungsi
memberikan
peneliti
bahwa
perbedaan
saja,
memiliki
yang berbeda
penduduk dataran tinggi di Tibet.
Ketinggian
Kondisi geografis Tibet lebih rendah
menghasilkan stress lingkungan yang
daripada Aymara (Beall, et al., 1999,
juga
pp. 41-51).
parsial oksigen (Frisancho, 1993, p.
Penelitian
Beall
yang
pula.
berbeda,
misalnya
berbeda,
tekanan
kemudian
223). Beberapa penelitian yang lain
berlanjut hingga tahun 2004 yang
pada manusia dataran tinggi juga
memusatkan perhatian penelitiannya
pernah dilakukan oleh Majumder di
pada genotipe yang dimiliki oleh
Timur
populasi Tibet. Beall melanjutkan
Penelitian Majumder tersebut lebih
penelitiannya
menekankan pada aspek genetik dan
pada
tahun
2006
Pegunungan
mengenai manusia dataran tinggi di
antropometris
Andean, Tibet, dan Ethiopia. Hasil
dataran tinggi Himalaya tersebut
penelitian Beall menunjukkan bahwa
(Majumder, et al., 1986).
di antara ketiga daerah tersebut
populasi
Himalaya.
manusia
Dataran tinggi di Indonesia dapat
memiliki pola adaptasi berbeda, yang
ditemui
berkaitan
Indonesia, dari Barat hingga Timur
hipoksia.
dengan Dalam
permasalahan hal
ini,
di
berbagai
wilayah
bagian Indonesia. Di pulau Jawa, AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 247
dataran-dataran tinggi yang populer
penelitian ini. Penelitian ini tidak
adalah dataran tinggi Tengger di
mempermasalahkan
Jawa Timur, dataran tinggi Dieng di
yang ada pada masyarakat Tengger
Jawa Tengah, dan dataran tinggi
sebagai bagian dari adaptasi terhadap
Cianjur di Jawa Barat. Penelitian-
lingkungan atau genetik. Perdebatan
penelitian manusia dataran tinggi di
mengenai hal tersebut, bukanlah
Indonesia rata-rata selalu dilakukan
tujuan
dengan metode somatometris, yakni
Somatoskopi
biasanya membandingkan salah satu
metode untuk melihat ciri-ciri fisik
variabel
populasi
manusia, baik secara keseluruhan
manusia dataran tinggi dan dataran
atau bagian-bagian tertentu saja.
rendah, misalnya aspek tinggi badan
Observasi
dan lingkar dada. Penelitian yang
dianggap
dilakukan oleh Hastuti pada tahun
dilakukan, mengingat deskripsi ini
2007 di dataran tinggi Samigaluh dan
memberikan kesan umum pertama
dataran rendah Galur Kulon Progo
saat menggambarkan orang lain.
menunjukkan
Observasi
fisik
antara
bahwa
terdapat
dalam
bentuk
penelitian
merupakan
secara sangat
fisik
ini. sebuah
somatoskopi penting
pada
untuk
somatoskopi
perbedaan indeks dada yang dimiliki
menyangkut tiga hal penting antara
oleh
lain,
kedua
Populasi
populasi
pigmentasi,
bentuk,
dan
Samigaluh
proporsi. Pigmentasi dalam metode
cenderung
somatoskopi meliputi warna kulit,
mendekati rata, sedangkan populasi
warna rambut, dan warus iris mata.
Galur menunjukkan dada yang rata
Berbagai
(Hastuti, 2007, p. 55). Penelitian
dahi, mata, hidung, bibir, dan wajah,
yang
tersebut
juga merupakan hal terpenting dalam
somatometris,
metode somatoskopi. Aspek ketiga
memiliki
penduduk
tersebut.
dada
dilakukan
menggunakan yakni
yang
dengan
cara
mengukur
lingkar
dada.
rambut,
dalam somatoskopi adalah proporsi, yang dimana proporsi tubuh dapat
Somatoskopi merupakan sebuah metode
bentuk-bentuk
yang
digunakan
untuk
berhubungan badan,
dengan
pembagian
konstitusi ras,
dan
menggambarkan bentuk fisik dalam AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 248
perubahan ontogenesis (Glinka, et
al., 2007, p. 49).
aimana
Pada bagian latar belakang, telah dijelaskan
Bag
mengenai
mekanisme
adaptasi
fenomena
budaya
yang
dilakukan
oleh
adaptasi dan penelusuran berbagai
masyarakat Tengger Desa
penelitian
Argosari sebagai respon
yang
sudah
pernah
dilakukan pada populasi manusia
dalam
dataran
lingkungan dataran tinggi
tinggi.
Berbagai
studi
manusia dataran tinggi di dunia dan
menghadapi
?
Indonesia telah menunjukkan bahwa, secara fisik populasi manusia dataran tinggi
berbeda
dengan
populasi
manusia dataran rendah. Penelitian ini
tidak
bermaksud
untuk
membandingkan karakteristik fisik populasi manusia dataran tinggi dan dataran rendah, karena telah banyak penelitian
menunjukkan
bahwa
Gambar 1. Skema Adaptasi Fungsional dan Adaptasi Budaya dalam Rangka Mencapai Homeostasis (Frisancho, 1993, p. 12) Pada
akhirnya
Frisancho
karakteristik kedua populasi tersebut
mengatakan bahwa adaptasi budaya
memang
dan teknologi merupakan puncak
berbeda.
paparan-paparan
Berdasarkan
tersebut,
maka
tertinggi
dari
proses
adaptasi
dapat mengarahkan peneliti pada
manusia. Melalui adaptasi budaya
rumusan masalah penelitian sebagai
manusia
dapat
berikut.
berbagai
lingkungan
Apa
bertahan
dalam
yang
ada.
Dengan mekanisme adaptasi budaya,
saja variasi karakteristik
orang dataran rendah tetap mampu
fisik
pada
hidup di dataran tinggi, bahkan
masyarakat Tengger Desa
dalam jangka waktu yang sangat
Argosari
lama (Frisancho, 1993).
yang
ada
berdasarkan
metode somatoskopi ?
Dari
kutipan
membuktikan
tersebut bahwa
telah metode
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 249
penelitian
kuantitatif
deskriptif
profil Desa Argosari akan dijabarkan
adalah metode yang paling tepat
dalam bab II. Penentuan lokasi
untuk digunakan dalam penelitian
penelitian didasarkan pada letak
ini. Gambaran obyek yang diteliti
geografis masyarakat Tengger di
adalah proses adaptasi pada populasi
Desa Argosari adalah paling tinggi
manusia.
dibandingkan
Gambaran
yang
ingin
didapatkan peneliti adalah gambaran mengenai proses adaptasi fungsional
dengan
desa
adat
Tengger yang lain. Yang dimaksud populasi dalam
dan adaptasi budaya yang terjadi
penelitian
pada semua anggota masyarakat
masyarakat yang tinggal di dataran
Tengger Desa Argosari. Peneliti
tingi
berasumsi bahwa semua manusia
Kecamatan
yang berada dalam populasi tersebut
Lumajang. Yang dimaksud sampel
pasti mengalami kedua mekanisme
dalam
adaptasi tersebut, sehingga penelitian
masyarakat asli suku bangsa Tengger
kuantitatif merupakan metode yang
Desa Argosari, Kecamatan Senduro,
paling tepat untuk digunakan.
Kabupaten Lumajang, yang sejak
Penelitian penelitian
ini
merupakan
dengan
pendekatan
menggunakan
kuantitatif,
yang
ini
adalah
Tengger
Desa
Senduro,
penelitian
kecil
tinggal
di
semua
Argosari, Kabupaten
ini
adalah
dataran
tinggi
tersebut. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara
membutuhkan data-data kuantitatif
non
dari hasil mengkoding skala kategori
menekankan
temuan
dan
sampling. Dalam teknik purposive
mengkategorikan hasil wawancara
sampling, sampel yang dibutuhkan
terbuka.
dalam penelitian didasarkan oleh
karakteristik
fisik
Penelitian ini dilakukan pada populasi
manusia
Tengger
yang
Argosari, Kabupaten
dataran
berada
Kecamatan Lumajang.
di
tinggi Desa
Senduro,
probability
sampling pada
yang
purposive
beberapa pertimbangan karena ada maksud tertentu (Arikunto, 1983, pp. 98-99). Asal-usul
masyarakat
Tengger
Hal-hal
dapat ditinjau berdasarkan dua hal,
mengenai suku bangsa Tengger dan
yakni dari mitos suci mengenai AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 250
Tengger dan bukti arkeologis yang
penelitian ini. Lingkungan adalah
ada. Berdasarkan mitos suci yang
faktor yang paling mendasar dan
ada, suku bangsa Tengger percaya
berpengaruh dalam penelitian ini.
bahwa mereka merupakan keturunan
Desa Argosari berbatasan dengan
dari Roro Anteng dan Joko Seger.
berbagai desa-desa adat Tengger
Masyarakat
yang
Tengger
seringkali
lainnya.
Desa
Argosari
menyebut diri mereka sebagai Wong
merupakan salah satu desa dari 12
Tengger, yang dimana kata Tengger
desa yang berada di Kecamatan
berasal dari kedua nama tokoh
Senduro. Berikut merupakan gambar
tersebut, yakni Anteng dan Seger.
peta
Beberapa
Argosari,
literature
menunjukkan
bahwa asal-usul suku bangsa ini tidak
dapat
dipisahkan
wilayah
administratif
Kecamatan
Desa
Senduro,
Kabupaten Lumajang.
dengan
Kerajaan
Majapahit.
Kerajaan
Majapahit
mengalami
keruntuhan
bersamaan dengan datangnya Islam di pulau Jawa. Islam begitu pesat berkembang perdagangan
melalui dan
jalur
hingga
pada
akhirnya mampu mendirikan sebuah Kesultanan yang bercorak Islam. Perkembangan Islam yang semakin pesat ini mendorong masyarakat Majapahit untuk melarikan diri ke daerah daerah luar atau pedalaman, salah satunya
adalah
pedalaman
Gunung Bromo (Turmudi, 2008, p. 7). Kondisi lingkungan dan geografis
Desa Argosari Berada Dalam Garis Merah Gambar 2. Wilayah Administratif Desa Argosari pada Posisi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Sumber : Google Maps (diakses pada tanggal 21 November 2016)
pada masyarakat Tengger sangat perlu
untuk
dijelaskan
dalam AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 251
Pembahasan Berdasarkan
analisis
statistik
deskriptif dari 100 responden yang ada, didapatkan skala terendah atau nilai minimum berada pada nilai 15. Skala tertinggi atau nilai maksimum yang didapatkan berada pada nilai 28. Nilai mean atau rata-rata yang
Gambar 3. Rentang Nilai Skala Luschan Paling Dominan pada Masyarakat Tengger di Desa Argosari
didapatkan sebesar 22,43. Modus atau nilai yang sering muncul berada
Berdasarkan hasil penelitian ini,
jumlah
telah menunjukkan bahwa masyara-
sebanyak 19 responden. Skala 15 dan
kat Tengger yang dikategorikan se-
28 merupakan rentang yang sangat
bagai Protomalayid, masih memiliki
jauh, jika hendak menggambarkan
persamaan karakteristik pada warna
karakteristik
dalam
mata dan bentuk radial mata dengan
Tengger di
ras Mongoloid. Analisis somatoskopi
Desa Argosari. Nilai mean 22,43
menunjukkan hasil yang menyatakan
dapat disimpulkan berada pada nilai
bahwa masyarakat Tengger masih
skala Luschan 22 dan 23. Gambar di
memiliki
bawah ini merupakan potongan dari
Gambar di bawah ini adalah hasil
skala Luschan yang bernilai 21-26.
penelitian warna iris mata dan dis-
pada
skala
populasi
21
dengan
warna
masyarakat
kulit
ciri-ciri
mongoloidisasi.
tribusi pigmen pada populasi masyarakat Tengger di Desa Argosari.
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 252
Gambar 6. Jumlah Responden yang Berada Pada Kategori Sempit (A) = 8 dan Jumlah Responden yang Berada Pada Kategori Sedang (B) = 92
A Gambar 4. Penelitian Menunjukkan bahwa 100% Responden Menunjukkan Warna Iris Mata pada Skala 2-3 (Warna Cokelat Tua) dan Distribusi Pigmen Berbentuk Radial
Gambar 5. Sebanyak 71 Jumlah Responden Berada pada Kategori Miring Ke Atas
B
A C
B
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 253
Gambar 7. Temuan Data Bentuk Celah Mata pada Populasi Masyarakat Tengger di Desa Argosari (A) Kategori IA = 51 Responden, (B) Kategori IIC = 26 Responden, dan (C) Kategori IIA = 18 Responden
A
A
B
C
Gambar 3.9. Temuan Dalamnya Pangkal Hidung pada Populasi Masyarakat Tengger di Desa Argosari, (A) = Kode 3 atau Skala 1 Jumlah Responden 45, (B) = Kode 4 atau Skala 2 Jumlah Responden 25, (C) = Kode 2 atau Skala 0-1 Jumlah Responden 15
B A
B
Gambar 8. Bentuk Punggung Hidung En Face pada Masyarakat Tengger di Desa Argosari (A) = Laki-Laki, (B) = Perempuan
Gambar 10. Sebanyak 34% Responden Berada pada Kategori Bentuk Punggung Hidung yang Lurus dan Ujungnya Naik (A) = Laki-laki, (B) = Perempuan AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 254
Gambar 13. Temuan Bentuk Bibir Kategori Sedang Sebanyak 71%, A = Perempuan, B = Laki-Laki
Simpulan Penelitian
ini
menitikberatkan
pada dua hal, yakni karakteristik A
fisik dan adaptasi budaya pada suatu populasi
B
masyarakat
Tengger di
Desa Argosari. Karakteristik fisik secara somatoskopi merupakan salah
Gambar 11. Sebanyak 64 Responden Berada pada Kategori Lubang Hidung dengan Kode 3 Oval dan Miring (A) = Perempuan, (B) = Lakilaki
satu metode untuk melihat variasi biologis
pada
manusia
yang
didasarkan atas aspek nonmetris. Penelitian
dengan
metode
somatoskopi perlu dilakukan karena Gambar 12. Morfologi Bentuk Rambut Berombak Dangkal yang Memiliki Presentase 52% pada Populasi Masyarakat Tengger di Desa Argosari
didasarkan
pada
karateristik
morfologi yang dapat diamati dan memberikan kesan tertentu terhadap suatu populasi. Dalam penelitian ini ada lima aspek bentuk fisik utama yang
diobservasi
menggunakan
metode somatoskopi. Lima aspek tersebut A
adalah
warna
kulit,
pigmentasi dan bentuk mata, bentuk hidung, bentuk rambut, dan bentuk
B
bibir mukosal dan integumental. Fenotipe pada intinya merupakan gabungan
antara
genotipe
dan
lingkungan. Dalam setting penelitian masyarakat
Tengger
di
Desa
Argosari, tekanan utama lingkungan AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 255
adalah
permasalahan
temperature
tetapi
temuan
pada
morfologi
udara, intensitas radiasi sinar UV,
menunjukkan hasil yang bervariasi.
dan derajat kesilauan sinar matahari
Mayoritas responden berada pada
pada dataran tinggi di ketinggian
kategori letaknya celah mata yang
±2.900 meter di atas permukaan laut.
sifatnya miring ke atas. Besarnya
Penelitian
dengan
celah mata menunjukkan bahwa
menggunakan 100 responden yang
mayoritas responden berada pada
merupakan
masyarakat
kategori sedang. Bentuk celah mata
Tengger di Desa Argosari dengan
dengan presentase tertinggi berada
rentang usia 20-40 tahun.
pada kategori IA. Temuan pada
dilakukan
penduduk
Berdasarkan populasi
penelitian
masyarakat
pada Tengger
menghasilkan hasil temuan yang bervariasi pada setiap aspek. Temuan data pada warna kulit menunjukkan hasil mayoritas responden berada pada rentang skala nilai 21-26 Skala Luschan,
dengan
nilai
terbesar
adalah skala 21 dengan jumlah responden sebanyak 19 responden. Temuan
pada
menunjukkan
pigmentasi bahwa
mata seluruh
responden memiliki warna iris mata pada kategori skala 2-3 coklat tua. Seluruh
responden
juga
bahwa
mereka
menunjukkan
memiliki distribusi pigmen pada mata yang berbentuk radial. Temuan pada
pigmentasi
mata
memang
menunjukkan hasil yang sama, akan
morfologi hidung juga menghasilkan temuan data yang bervariasi. Bentuk punggung hidung dari arah depan atau en face menghasilkan seluruh responden berada pada kategori en face yang lebar. Sebagian dalamnya pangkal hidung berada pada skala kode ke 3. Nilai terbesar responden berada
pada
kategori
bentuk
punggung hidung dari samping yang lurus dan ujungnya naik. Mayoritas responden ujung
berada
hidung
pada
yang
kategori
naik
dan
mayoritas responden berada pada bentuk lubang hidung yang sifatnya oval dan miring. Temuan mengenai bentuk rambut menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada
kategori
dangkal.
rambut
Temuan
menunjukkan
berombak
bentuk
bahwa
bibir
mayoritas
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 256
responden
berada
kategori
hangat. Temuan mekanisme adaptasi
bentuk bibir yang sedang. Dalam
budaya yang kedua dapat dilihat
membuat kesimpulan ini peneliti
pada
menyajikan kembali data-data yang
digunakan pada masyarakat Tengger
menjadi nilai terbesar berdasarkan
di
statistik deskriptif yang ada. Pada
responden
dasarnya gene pool yang terdapat
pemanas air untuk mandi. Cara
pada
menggunakan pakaian juga menjadi
suatu
pada
populasi,
mengakibatkan
suatu
akan populasi
berbagai
Desa
salah
teknologi
Argosari. telah
satu
yang
Beberapa
menggunakan
mekanisme
adaptasi
memiliki kecenderungan bentuk fisik
budaya. Mereka menutup bagian
tertentu.
badan tertentu dengan menggunakan
Temuan
mengenai
adaptasi
budaya dapat ditunjukkan melalui pola perilaku dan teknologi yang mereka gunakan. Adaptasi budaya merupakan
bentuk
mekanisme
mereka, agar lebih survive dalam menghadapi lingkungan di dataran tinggi. Mekanisme adaptasi budaya pertama dapat dilihat berdasarkan aktivitas dan pembagian jam kerja pada masyarakat Tengger di Desa Argosari. Terlihat sekali adanya hubungan
pembagian
jam
kerja
mereka dengan keadaan temperature udara. Mereka dapat membagi waktu yang
tepat
untuk
bekerja
dan
beristirahat. Mereka memanfaatkan waktu
untuk
temperature
bekerja
udara
dirasa
ketika lebih
kain sarung, agar badan mereka tetap terasa hangat. Mekanisme adaptasi budaya juga dapat diamati pada bentuk rumah mereka, yang dimana memiliki ciri khas tungku perapian di tengah-tengah rumah mereka. Pada saat malam hari, khususnya di musim kemarau tungku api tersebut lebih difungsikan. Tungku api dapat diletakkan di ruang tamu, ruang tengah, atau di rumah belakang atau dapur. Makanan juga merupakan salah
satu
budaya
mekanisme
agar
dapat
adaptasi
menciptakan
kondisi tubuh menjadi lebih hangat. Salah satu makanan yang dapat dijumpai pada masyarakat Tengger di Desa Argosari adalah sambal bawang.
Beberapa
responden
mengatakan bahwa rasa pedas dan AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 257
panas di mulut yang disebabkan oleh sambal
bawang
dapat
Keterbatasan
dalam
penelitian
membuat
menggunakan metode somatoskopi
mereka terasa lebih hangat. Beberapa
adalah sifatnya yang subyektif dalam
kebiasaan-kebiasaan
rangka menentukan kategori-kategori
yang
lain
dilakukan oleh mereka dalam rangka
untuk
untuk mengurangi ketegangan pada
membutuhkan
suhu
minimum
-6oC. Kebiasaan
individu,
Peneliti
sehingga
second
menyajikan
opinion. kembali
tersebut antara lain, mandi sehari
potongan-potongan
sekali, merokok, dan menggunakan
bentuk fisik masyarakat Tengger di
minyak bibir agar bibir tidak kering
Desa Argosari pada lampiran. Hal ini
dan pecah-pecah.
bertujuan agar di kemudian hari
Dalam
setting
masyarakat
Tengger di Desa Argosari dapat dilihat bahwa faktor lingkungan, bentuk fisik, dan budaya dapat saling menjelaskan. faktor
Budaya
antara,
merupakan
yang
dimana
lingkungan saat ini tidak secara langsung
dapat
mempengaruhi
biologis suatu populasi. Budaya yang diwujudkan dalam pola perilaku sangat mendukung dan membantu biologis masyarakat Tengger di Desa Argosari agar lebih survive dalam menghadapi lingkungan yang ada. Dengan kebiasaan-kebiasaan budaya tersebut,
biologis
mereka
dapat
mengurangi ketegangan akibat stress dari lingkungan.
gambar
dari
peneliti lain dapat melakukan cek dan ricek data yang ada. Penelitian secara somatoskopi harus dilakukan dengan
sangat
rinci
dan
teliti
berdasarkan lembar observasi yang digunakan. Penelitian karakteristik fisik pada suatu populasi akan lebih menarik, apabila penelitian ini dapat dilanjutkan pada tahap uji genetika. Dengan
memahami
populasi
berdasarkan fenotipe dan genotipe akan
memperkaya
Antropologi aspek
Ragawi
makro
dan
kajian-kajian berdasarkan biomolekuler.
Penelitian pada aspek genotipe akan memperkuat suatu rangkaian histori mengenai
asal-usul
terbentuknya
suatu populasi.
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 258
Daftar Pustaka Arikunto, S., (1983) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT BINA AKSARA. Beall, C., (2006) Andean, Tibetan, and Ethiopian patterns of adaptation to high-altitude hypoxia. Integrative and Comparative Biol, 46(1). Beall, C., L.A, A., Blangero, J. & Williams, B. S., (1999) Percent os Saturation of Arterial Hemoglobin among Bolivian Aymara at 3.900-4.000 m. Am J Phys Anthropol, 108(1), pp. 41-51. Frisancho, A., (1993) Human Adaptation and Accommodation. Michigan: The University of Michigan Press. Gallahue, D. & Ozmun, C., (1998) Understanding Motor Development Infant Children, Adolescent, Adults. USA: Mac Graw Hill Company.
Glinka, J., Artaria, M. D. & Koesbardiati, T., (2007) Metode Pengukuran Manusia. Surabaya: Airlangga University Press. Guyton, A. & Hall, J. E., (1997) Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hastuti, J., (2007) Ukuran dan bentuk dada penduduk di dataran tinggi Samigaluh dan dataran rendah Galur Kulon Progo Yogyakarta. Jurnal Anatomi Indonesia, 2(1). Majumder, P. et al., (1986) Effect of Altitude ethnicity-religion, geographical distance, and occupation on adult anthropometric characters of Eastern Himalayan Populations. Am J Phys Anthropol, 70(3). Turmudi, E., (2008) Pendidikan Islam Setelah Seabad Kebangkitan Nasional. IlmuIlmu Sosial Indonesia, Issue 2, p. 7.
Glinka, J., (2008) Manusia Makhluk Sosial Biologis. Surabaya: Airlangga University Press.
AntroUnairdotNet, Vol.VI/No.2/Juli 2017, hal 259