KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR
VENTY INDRIANI PAIRUNAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Fermentasi Pulp Kakao dalam Produksi Asam Asetat Menggunakan Biorekator adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Venty Indriani Pairunan NIM F051060041
ABSTRACT VENTY INDRIANI PAIRUNAN. Characteristic of Cocoa Pulp Fermentation in Acetic Acid Production using Bioreaktor. Under direction of USMAN AHMAD, and TRESNAWATI PURWADARIA Acetic acid is produced from two stages of fermentation. At the first stage, in the anaerob condition sugars from the mixture of cocoa pulp and sucrose at 18% brix, was fermented with Saccharomyces cerevisiae producing ethanol. The next stage was by oxidation in aerobic process, where ethanol was transformed to acetic acid by Acetobacter aceti. The purpose of this research is to characterize the kinetic changes of acetic acid production from cocoa pulp through alcohol fermentation using batch and fed-batch fermentation added without and with cellulase (0 and 13.8 U/l medium fermentation). Result showed that the highest ethanol production was observed in 96 hours at 9.38% (w/v) µmax 0.01, Y x/s 0.31, Y p/s 0.53 by using fed-batch fermentation. Meanwhile the highest acetic acid production was observed at 7.84% (w/v) µmax 0.01, Y x/s 0.30, Y p/s 0.77 by using fed-batch fermentation. Key words: Cocoa pulp, ethanol, acetic acid, batch / fed-batch, and cellulase.
RINGKASAN VENTY INDRIANI PAIRUNAN. Karakteristik Fermentasi Pulp Kakao dalam Produksi Asam Asetat Menggunakan Bioreaktor. Dibimbing oleh USMAN AHMAD, dan TRESNAWATI PURWADARIA. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditi ekspor nonmigas yang memiliki potensi yang sangat baik, sebab permintaan dalam negeri terus meningkat dengan semakin berkembangnya sektor industri yang memanfaatkan biji kakao sebagai bahan bakunya. Salah satu kelemahan kakao Indonesia adalah kemasaman biji kakao yang terlalu tinggi sehingga menghasilkan biji kakao yang kurang baik. Pengurangan jumlah pulp sebelum biji kakao difermentasi merupakan upaya menurunkan kemasaman biji kakao. Pulp kakao mengandung glukosa dan sukrosa antara 12-15%, asam-asam organik, beberapa asam amino dan selulosa. Komposisi demikian cukup baik digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan asam asetat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fermentasi pulp kakao dalam produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol menggunakan bioreaktor. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol menggunakan kultur batch dan fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase dalam bioreaktor. Rancangan acak lengkap faktorial digunakan dalam penelitian ini apabila terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Medium fermentasi 1000 ml (pulp kakao diencerkan 3x dengan medium Mandels ditambahkan sukrosa hingga kadar gula total substrat 18% Brix) dan inokulum Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% (v/v). Pada fermentasi alkohol masing-masing perlakuan terdiri dari batch tanpa enzim selulase; batch dengan penambahan selulase 13.8 U/l medium fermentasi; fedbatch tanpa enzim selulase, fed-batch dengan penambahan enzim selulase 13.8 U/l medium fermentasi. Selanjutnya etanol yang dihasilkan dari fermentasi alkohol dalam bioreaktor dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat dengan menambahkan inokulum Acetobacter aceti sebanyak 10% (v/v). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa S. cerevisiae dapat digunakan untuk fermentasi alkohol karena pulp kakao mengandung kadar gula reduksi sebesar 9.53% (b/v) dengan total padatan terlarut sebesar 18% brix, sedangkan A. aceti BTCC-618 dapat digunakan untuk fermentasi asam asetat. Kultur fed-batch dalam fermentasi alkohol pada medium pulp kakao merupakan perlakuan terbaik dimana etanol yang dihasilkan sebesar 9.38% (b/v) dengan µmax 0.01, Y p/s 0.53 dan Y x/s 0.31, sedangkan etanol yang dihasilkan pada kultur batch sebesar 8.23% (b/v) dengan µmax 0.03, Y p/s 0.57 dan Y x/s 0.65. Produksi asam asetat yang dihasilkan dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada medium pulp kakao secara kultur fed-batch merupakan perlakuan terbaik sebesar 7.84% (b/v) dengan µmax 0.01, Y p/s 0.77 dan Y x/s 0.30.
Kombinasi penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) pada kultur batch (jam ke-0) dan fed-batch (jam ke-48) dalam medium pulp kakao tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar etanol dan produksi asam asetat, demikian halnya dengan Y p/s dan Y x/s. Kata kunci: Pulp kakao, etanol, asam asetat, batch / fed-batch, dan selulase.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR
VENTY INDRIANI PAIRUNAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suroso, M.Agr. (Alm.)
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Karakteristik Fermentasi Pulp Kakao dalam Produksi Asam Asetat Menggunakan Bioreaktor Venty Indriani Pairunan F051060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr. Ketua
Dr. Tresnawati Purwadaria Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian : 16 Januari 2009
Tanggal lulus : 29 Januari 2009
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala limpahan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah yang berjudul Karakteristik Fermentasi Pulp Kakao dalam Produksi Asam Asetat Menggunakan Bioreaktor. Penghargaan yang tulus diberikan kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr. dan Dr. Tresnawati Purwadaria sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala arahan, saran, masukan, dan bantuannya dalam penulisan karya ilmiah.
Disamping
itu,
penghargaan
juga
penulis
sampaikan
kepada
Dr. Ir. Suroso, M.Agr. (Alm.) selaku penguji luar komisi. Penulis bersyukur dan berterimakasih telah diberikan bantuan dalam melaksanakan penelitian oleh Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc. dan Dr. Ir. Sofyan Iskandar, M.Si selaku Kepala Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor beserta staf. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada staf Laboratorium Bioindustri, Teknologi Industri Pertanian, IPB yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah bersedia memberikan bantuan dan fasilitas selama penelitian. Doa dan kasih sayang yang senantiasa mengalir dari kedua orang tua tercinta dr. Ishak Pairunan, SpA. dan Dra. Evitha Nuri Lepongbulan, Apt. beserta kakak dan adik-adik Fredy Revanio Pairunan, SE., Edward Ronaldo Pairunan, dan Lorenzo Pairunan untuk canda-tawa dan kasihnya yang selalu ada terimakasih. Sahabat-sahabat di program studi Teknologi Pascapanen angkatan 2006 Ibu Ros, Ibu Nona, Kak Deva, Etha, Darmayanti (Almh.) dan angkatan 2007 serta 2008 semangat kebersamaan membuat kita menjadi saudara dalam menyelesaikan studi. Doa senantiasa penulis panjaatkan kepada Tuhan Yesus Kristus agar kasih dan berkat serta damai sejahtera melimpah untuk kita semua AMIN. Bogor, Januari 2009
Venty Indriani Pairunan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 6 September 1981 dari ayah dr. Ishak Pairunan, SpA. dan ibu Dra. Evitha Nuri Lepongbulan, Apt. penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun 2000 penulis tamat dari Sekolah Menengah Umum Gamaliel Makassar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Agronomi, Fakultas Pertanian dan Kehutanan dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan studi magister sains program studi Teknologi Pascapanen pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................... Tujuan Penelitian ...............................................................................
1 3
TINJAUAN PUSTAKA Pulp Kakao .......................................................................................... Fermentasi Alkohol ............................................................................ Fermentasi Asam Asetat .................................................................... Enzim Selulase .................................................................................... Bioreaktor .......................................................................................... Tipe Fermentor ................................................................................... Sistem Operasi Bioreaktor ................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi dalam Bioreaktor .......................................................................................... Kinetika Fermentasi ........................................................................... METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ............................................................................. Bahan dan Alat ................................................................................... Metode Penelitian .............................................................................. Pelaksanaan Penelitian ....................................................................... Parameter yang Diamati ..................................................................... Rancangan Percobaan .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Galur S. cerevisiae untuk Produksi Etanol ...................... Penentuan Aerasi Kultur Batch dan Fed-Batch .............................. Peningkatan Optimasi Kadar Gula pada Substrat ............................ Fermentasi Alkohol Kultur Batch ...................................................... Fermentasi Alkohol Kultur Fed-batch ............................................... Kinetika Fermentasi Alkohol ............................................................. Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan Batch dan Penambahan Enzim Selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) .. Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan Fed-batch dan Penambahan Enzim Selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) .. Kinetika Fermentasi Asam Asetat .....................................................
4 5 6 8 10 11 12 14 15 17 17 18 19 23 23 25 26 28 30 35 40 42 44 47
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
50
LAMPIRAN ...............................................................................................
55
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi pulp kakao Ivorian, Nigerian dan Malaysian ....................
4
2. Sakarifikasi dan fermentasi simultan selebiosa menjadi etanol menggunakan berbagai katalis ..............................................................
10
3. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium Mandels pada tiga kadar gula total dengan kultur fed-batch (anaerob) ...............................................................................
30
4. Perhitungan kinetika fermentasi alkohol ...............................................
40
5. Perhitungan kinetika fermentasi asam asetat yang dilanjutkan dari perlakuan fermentasi alkohol ................................................................
47
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan fermentasi sinambung selulosa menjadi etanol ..............................
9
2 Penampang fermentor untuk fermentasi skala laboratorium ................
10
3. Penampang bioreaktor berkapasitas 2 liter ...........................................
18
4. Diagram alir tahapan penelitian produksi asam asetat dari pulp kakao ..
22
5. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae ..........................................................................................
25
6. Penurunan gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae ..........................................................................................
26
7. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan pengaturan aerasi dan kultur batch, fed-batch ..........
27
8. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan pengaturan aerasi dan kultur batch dan fed-batch ..............................................................................................
28
9. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan kadar gula total 6, 12, dan 18% pada kultur fed-batch (anaerob) ...............................................................................
29
10. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem batch ......................................................
30
11. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan sistem batch ..........................................................
31
12. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem batch .........
33
13. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase dan menggunakan sistem batch ...............
33
14. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase ...........................
34
15. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch ................................................
35
16. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan sistem fed-batch ....................................................
36
17. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch ...
38
18. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch ...
38
19. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase .....................
39
20. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan berat kering (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch tanpa penambahan enzim selulase ........................................................
43
21. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dengan penambahan enzim selulase .....................................................
43
22. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch tanpa penambahan enzim selulase ........................................
45
23. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch dengan penambahan enzim selulase ..................................................... 24. Perubahan nilai pH fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dan fed-batch dengan penambahan enzim selulase ..................................................................
45 46
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Komposisi media Mandels ....................................................................
56
2. Nilai absorbansi dan volume inokulum yang ditambahkan ..................
57
3. Prosedur analisis parameter fermentasi ..................................................
58
4. Data awal fermentasi alkohol menggunakan kultur batch dengan penambahan selulase ...............................................................................
60
5. Data awal fermentasi alkohol menggunakan kultur fed-batch dengan penambahan selulase .............................................................................
61
6. Analisis sakarifikasi enzim selulase terhadap pulp kakao ....................
62
7. Analisa statistik keragaman fermentasi alkohol......................................
63
8. Data awal fermentasi asam asetat menggunakan substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan perlakuan kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan selulase ...................................
67
9. Analisis statistik keragaman fermentasi asam asetat ............................
68
PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditi ekspor non-migas yang memiliki potensi yang sangat baik, sebab permintaan dalam negeri terus meningkat dengan semakin berkembangnya sektor industri yang memanfaatkan biji kakao sebagai bahan bakunya. Kakao juga memiliki peranan penting sebagai sumber penghasil devisa negara dan sebagai salah satu sumber perekonomian rakyat yang sangat potensial. Buah kakao disamping digunakan sebagai bahan minuman penyegar non-alkohol, juga dapat berfungsi sebagai bahan baku industri pangan dan industri farmasi. Produksi kakao Indonesia pada tahun 2000 sebesar 431 142 ton, tahun 2001 sebesar 536 804 ton sedangkan pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi kakao sebesar 779 474 ton. Peningkatan produksi kakao telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d'Ivoire) pada tahun 2002 (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2006). Salah satu kelemahan kakao Indonesia adalah kemasaman biji kakao yang terlalu tinggi. Biji kakao yang masam mengakibatkan citarasa coklat yang lemah sehingga kurang disukai oleh konsumen (Suryatmi 1995). Kondisi asam yang berlebihan dapat menghambat proses fermentasi biji kakao. Pengurangan jumlah pulp sebelum biji kakao difermentasi merupakan upaya menurunkan kemasaman biji kakao. Pengurangan jumlah pulp kakao dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengurang pulp mekanik (depulper). Pengurangan pulp dengan cara ini menghasilkan limbah pulp kakao yang berupa bubur pulp kakao. Jika dikelola dengan baik, lendir biji kakao merupakan hasil samping industri pengolahan kakao yang cukup menarik. Menurut Adamoko (1984), produksi lendir biji kakao mencapai 0.10-0.19 l/kg biji basah. Pulp kakao mengandung glukosa dan sukrosa antara 12-15%, asam-asam organik dan beberapa asam amino (Effendi 2002 dan Opeke 1984). Komposisi demikian cukup baik digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan asam asetat.
Pettipher (1986), menyatakan kandungan selulosa dalam pulp kakao sebesar 4.73% berat kering (freeze dried), diharapkan dengan penambahan enzim selulase akan lebih banyak selulosa yang terpecah menjadi molekul glukosa, sehingga jumlah molekul glukosa yang lebih banyak dapat meningkatkan kadar etanol sebagai substrat untuk produksi asam asetat yang tinggi. Saat ini pemanfaatan pulp kakao belum optimal. Pemanfaatan pulp kakao yang selama ini hanya sebagai limbah organik ke lingkungan juga dapat dimanfaatkan sebagai substrat produksi alkohol dan asam asetat sehingga perlu dilakukan dan perlu dicari teknologi pengolahan limbah kakao yang dapat menangani limbah dalam jumlah yang besar. Fermentasi adalah salah satu bagian dari bioteknologi yang menggunakan mikroorganisme sebagai pemeran utama dalam suatu proses. Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi aerob atau partikel anaerob dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Hasil fermentasi diperoleh sebagai akibat metabolisme mikroba pada suatu bahan pangan dalam keadaan anaerob ataupun dalam keadaan aerob. Hasil penguraian adalah energi, CO2, air dan sejumlah asam organik lainnya seperti etanol, asam asetat, dan asam laktat. Dalam
fermentasi
alkohol,
khamir
yang
digunakan
adalah
Saccharomyces cerevisiae dimana hasil utamanya adalah etanol. S. cerevisiae merupakan salah satu jenis khamir yang cukup banyak digunakan sebagai inokolum dalam berbagai proses industri antara lain produksi roti, tape, minuman beralkohol dan industri etanol. S. cerevisiae juga digunakan untuk menghasilkan produk-produk seperti biomassa, ekstrak khamir, komponen flavor. Asam asetat merupakan salah satu produksi industri yang banyak dibutuhkan di Indonesia. Asam asetat dapat dibuat dari substrat yang mengandung alkohol, yang diperoleh dari berbagai macam bahan seperti buah-buahan, kulit nanas, pulp kopi, air kelapa dan pulp kakao. S. cerevisiae dan Acetobacter aceti merupakan jenis khamir dan bakteri yang telah digunakan untuk produksi alkohol dan asam asetat secara komersial. Kultivasi fed-batch dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi alkohol dan asam asetat, serta dapat mengurangi pengaruh inhibisi substrat. Teknik kultivasi
fed-batch yang berfokus pada pengumpanan sumber karbon yang murah dan pembatasan nutrisi esensial lainnya seperti oksigen, nitrogen, fosfat dan magnesium diharapkan dapat meningkatkan produksi alkohol dan asam asetat. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari karakteristik fermentasi pulp kakao dalam produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol menggunakan bioreaktor. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Menentukan galur biakan, pengaturan aerasi dan kadar gula total substrat untuk produksi etanol. b. Mengevaluasi produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan metode kultur batch dan fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase dalam bioreaktor.
TINJAUAN PUSTAKA Pulp Kakao Kakao lindak paling banyak dibudidayakan di seluruh negara produsen kakao dunia termasuk Indonesia, dan didominasi oleh perkebunan rakyat. Kakao lindak Indonesia ditandai dengan ciri pulp yang tebal, keasaman biji keringnya tinggi. Pulp yang tebal dapat berasal dari buah yang kurang masak atau biji kecil (Suryatmi 1995). Hasil analisis komposisi dari pulp kakao dari Ivorian, Nigerian dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 1 (Pettipher 1986). Tabel 1. Komposisi pulp kakao Ivorian, Nigerian dan Malaysian (Pettipher 1986) Komposisi
Ivorian
Nigerian
Malaysian
(g/100g berat segar pulpa) Etanol Sukrosa Glukosa Fruktosa
0 4.35 3.00 3.80
0.10 1.92 5.06 6.07
0.20 1.35 4.90 5.35
Dalam freeze dried (g/kg berat kering) Selulosa Hemiselulosa Pektin Lignin
51.80 28.50 66.10 15.00
Tidak ditentukan Tidak ditentukan 59.1 Tidak ditentukan
47.30 15.80 37.50 5.00
Sekitar 15-25% larutan gula dapat diubah selama fermentasi. Berbagai jenis bahan seperti pati kentang, sirup glukosa, sukrosa, sirup gula tebu, molases tebu dan molases bit dapat digunakan sebagai karbohidrat. Tetapi pada umumnya hanya gula yang dapat dengan cepat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dalam fermentasi. Atmawinata et al. (1998) menyatakan bahwa pulp diketahui mempunyai kandungan glukosa antara 10-15% dan air 80-85%. Effendi (2002) menyatakan bahwa, limbah cair pulp kakao dengan kadar gula 12-15% potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk proses kimia industri melalui pendekatan bioteknologi.
Komposisi media merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Purawisastra et al. (1994) komponen media yang diperlukan adalah unsur karbon, nitrogen dan mineral. Pengaruh konsentrasi sukrosa awal yang berbeda pada fermentasi gula pasir dan nira tebu terhadap etanol yang dihasilkan disebabkan karena konsentrasi glukosa pada awal fermentasi untuk kedua medium adalah berbeda. Nira tebu mengandung glukosa lebih besar dari gula pasir karena nira tebu merupakan bahan alami, sehingga molekul glukosanya tidak hanya secara alami sudah mengandung glukosa, tetapi juga berasal dari molekul sukrosa yang terhidrolisis. Fermentasi Alkohol Etanol adalah nama kimia dari alkohol, rumus kimianya adalah C2H5OH. Penggunaannya sangat luas antara lain dalam industri kimia, kosmetik, industri minuman, sebagai bahan pelarut dan bahan bakar. Etanol dapat dibuat dari bahan hasil pertanian, seperti bahan yang mengandung turunan gula (molase gula tebu, sari buah), bahan yang mengandung pati, atau bahan yang mengandung selulosa kayu, limbah kayu, onggok, pulp kakao (Hartono 1991). Gula sederhana seperti glukosa dapat langsung difermentasi menjadi etanol. Bahan yang mengandung senyawa yang lebih kompleks seperti pati atau selulosa harus dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana sebelum difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi atau menggunakan enzim. Purawisastra et al. (1994) menjelaskan bahwa medium gula pasir dengan penambahan enzim invertase dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan. Susijahadi et al. (1998) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsentrasi gula awal substrat berpengaruh terhadap jumlah alkohol yang dihasilkan. Wardani et al. (1991) menjelaskan bahwa, secara teoritis kadar alkohol maksimum yang dapat diperoleh dari 180 g/l gula adalah 12.26% v/v. S. cerevisiae adalah galur yang memproduksi etanol dalam jumah tinggi sehingga sering digunakan dalam produksi etanol, anggur, minuman keras, dan enzim invertase. Purawisastra et al. (1994) menyimpulkan bahwa enzim invertase disamping berperan pada hidrolisis molekul sukrosa menjadi fruktosa dan
glukosa. Juga dapat membantu proses konversi glukosa menjadi etanol. Dengan demikian, etanol yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsentrasi awal molekul sukrosa dan glukosa sebelum fermentasi berlangsung. Baik khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk memproduksi etanol. Khamir S. cerevisiae var ellipsoids mampu menghasilkan etanol dalam jumlah tinggi 16-18% pada media yang sesuai. Damanhuri (2004) menyimpulkan bahwa, substrat larutan madu rambutan afkir dengan kadar gula total 20% menghasilkan 16.10% etanol. Effendi (2002) berpendapat bahwa, fermentasi substrat limbah cair pulp kakao dengan kadar gula 12.63% baik tanpa maupun dengan penambahan urea dan S. cerevisiae R60 dengan konsentrasi inokulum 10% (v/v), suhu 30 οC, waktu fermentasi 48 jam dihasilkan kadar etanol rata-rata 5.30%. Untuk menghasilkan kadar etanol sebesar 5% sampai 6% diperlukan waktu fermentasi antara 48 sampai 50 jam. Pada kondisi aerob atau konsentrasi glukosa tinggi S. cerevisiae tumbuh dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah dibandingkan secara anaerob. Pada kondisi anaerob, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur katabolik dipecah oleh enzim piruvat dikarbosilase menjadi asetaldehid dan karbon dioksida. Pada umumnya produksi etanol meliputi tiga tahap dimana tiap tahap harus dioptimasi, fermentasi dan destilasi (Hartoto 1991). Fermentasi Asam Asetat Asam asetat merupakan hasil dua tahap proses fermentasi dimana tahap pertama adalah fermentasi gula menjadi etanol oleh khamir, sedangkan tahap kedua adalah oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh bakteri asam asetat. Asam asetat (vinegar) adalah senyawa yang cukup penting dalam pengolahan bahan pangan baik sebagai bumbu maupun bahan pengawet (Luwihana 1998). Menurut Wardani et al. (1991) bahwa vinegar adalah larutan encer asam asetat yang dihasilkan melalui dua tahap fermentasi larutan gula menjadi etanol dan dilanjutkan dengan proses oksidasi etanol menjadi asam asetat. Fermentasi asam asetat membutuhkan medium yang mengandung etanol 10-13%, umumnya medium tersebut diperoleh dari hasil fermentasi alkohol, yaitu fermentasi pengubahan gula menjadi etanol. Bila konsentrasi etanol terlalu tinggi,
pembentukan asam asetat akan terganggu, sehingga fermentasi etanol menjadi asam asetat tidak berlangsung dengan sempurna, selain itu keasaman medium perlu diperhatikan (Darwis dan Sukara 1989). Damanhuri (2004) menjelaskan fermentasi asam asetat dengan substrat etanol 16.10% menghasilkan 0.11% asam asetat dengan lama fermentasi selama 5 minggu. Pada proses pembuatan cuka fermentasi, mula-mula dilakukan tahap fermentasi alkohol dimana gula yang ada diubah menjadi etanol menggunakan khamir S. cerevisiae dalam kondisi anaerobik, selanjutnya dalam tahap fermentasi asetat, etanol akan diubah menjadi asam asetat, galur yang paling umum digunakan ialah A. aceti, dalam kondisi aerob (Chandra et al. 1990). Effendi (2002), menyimpulkan bahwa pada fermentasi etanol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh A. aceti B127 dengan kondisi suhu 30 οC, nilai pH awal 4, konsentrasi etanol 5% (v/v), inokulum 10% (v/v), dengan kecepatan pengadukan terbaik 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24%. Ebner (1983) dan Standardisasi Nasional (1990) menjelaskan cuka yang baik minimal harus mengandung 4% asam asetat. Produksi asam asetat dapat ditingkatkan dengan cara pemberian aerasi dan agitasi serta pengaturan suhu fermentasi pada suhu optimum pertumbuhan bakteri asam asetat. Produksi asam sangat bergantung pada tingkat kesuburan pertumbuhan sel bakteri dan tingkat kesuburan tersebut menurun seiring dengan peningkatan kadar etanol substrat (Soedarini et al. 1998). Pudjiraharti et al. (1998) menyimpulkan bahwa pembuatan asam cuka dari sari buah jambu mete telah dilakukan dalam fermentor Biostat B skala 2 liter. Fermentasi berlangsung pada suhu 35 οC, pH awal 4, aerasi 1 vvm dan berbagai kecepatan agitasi 500, 600 dan 700 rpm selama 6 hari. Kadar total asam maksimum dicapai pada hari ke-tiga fermentasi pada semua kecepatan agitasi. Fermentasi dengan kecepatan agitasi 600 rpm menunjukkan total asam tertinggi 4.01% (b/v) ekivalen dengan 3.90% (b/v) asam asetat dengan efisiensi pengubahan dari etanol menjadi asam asetat 58.64%. Dari hasil analisis kandungan etanol, pada hari ke-tiga fermentasi kadar etanol sisa dalam media mendekati nol pada semua kecepatan agitasi.
Nurika et al. (2001) menyimpulkan bahwa, nilai rata-rata jumlah asam asetat yang terbentuk dari media air kelapa secara fermentasi kontinyu dengan penambahan 10% (v/v) A. aceti FNCC 0016 (IFO 3283) berkisar antara 0.44 sampai dengan 1.12 g/hari yang diperoleh dari perlakuan tinggi partikel dalam kolom bio-oksidasi 34 cm dengan kecepatan aerasi 0.08 vvm. Enzim Selulase Irawadi (1999) menyatakan bahwa, enzim yang berperan dalam proses hidrolisis limbah lignoselulosa terdiri dari tiga kelompok, yaitu kelompok selulase, ligninase dan hemiselulase. Masing-masing kelompok terdiri atas tiga jenis enzim. Selulase terdiri dari endoglukanase (CHC-ase), eksoglukanase (selobio-hidrolase)
dan
β-glukosidase.
Ligninase
terdiri
dari
laccase,
lignin-peroksidase dan Mn-peroksidase. Hemiselulase (xilanase) terdiri dari endoxilanase, eksoxilanase dan β-xilosidase. Sudaryati et al. (1993) menyatakan bahwa, selulase adalah nama trival bagi semua enzim yang memutuskan ikatan glikosidik β-1.4 di dalam selulosa, sedodekstrin, selobiosa. Selulase sesungguhnya adalah enzim yang kompleks sehingga dapat mendegradasi selulosa membentuk monosakaridanya yaitu glukosa. Aktivitas enzim selulase dinyatakan dalam satuan unit per mililiter filtrat enzim (U/ml). Satu unit aktivitas enzim setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan dari perlakuan enzim terhadap larutan karboksimetil selulosa 1% setara 1 unit (Wirakartakusumah et al. 1987). Menurut Irawadi (1999) bahwa, semakin tinggi aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Purwadaria et al. (2004) menyatakan bahwa, produksi enzim selulase dengan Penicillium nalgiovense S11 pada media pollard gandum dapat ditingkatkan dengan perlakuan awal pada substrat. Perlakuan NaOH
dengan
peningkatan konsentrasi substrat dari 2 menjadi 4% dengan waktu inkubasi optimum 5 hari meningkatkan produksi enzim selulase (CMCase, FPase, β-glucosidase). Penambahan 250 ppm glukosa juga meningkatkan aktivitas spesifik dari CMCase, FPase, β-glucosidase.
Menurut Ghani et al. (1990) bahwa, enzim selulotik terbentuk dari beberapa mikroorganisme termasuk fungi, actinomycetes dan bakteri, ada 40 spesies fungi, 12 spesies bakteri dan 4 spesies dari actinomycetes yang dapat memproduksi selulase. Beberapa keuntungan dalam penggunaan bakteri : 1) Spesies bakteri mempunyai waktu potensial lebih besar dalam manipulasi genetik. 2) Bakteri memiliki waktu pendek untuk produksi enzim Selulosa yang tersedia berlimpah sangat potensial dipakai sebagai bahan baku untuk produksi etanol. Proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari selulosa menjadi glukosa dipengaruhi oleh faktor penghambat yang sangat menentukan didalam biokonversi selulosa menjadi etanol. Faktor penyebab utamanya ialah adanya penghambatan produk (terutama selobiosa dan glukosa) terhadap semua tahapan hidrolisis karena rendahnya aktivitas enzim β-glukosidase (EC.3.2.1.21) dalam kompleks enzim selulase dapat dilihat pada Gambar 1. Hambat
Hambat Selobiosa gula lain
Selulosa
Eksoglukanase endoglukanase Sakarifikasi
Gambar 1.
Hambat Glukosa
β -- glukosidase dan fermentasi
Etanol Khamir
sinambung
Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan fermentasi sinambung selulosa menjadi etanol (Koesnandar, 2001).
Koesnandar
(2001)
menyimpulkan
bahwa,
konversi
selobiosa
menggunakan sistem batch berulang dengan penambahan substrat selobiosa secara bertahap dengan kondisi anaerob, etanol yang diperoleh ialah 60-70 g/l selama 50-75 jam inkubasi dengan hasil konversi antara 0.40-0.47 g etanol/g selobiosa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa imobilisasi sel ganda antara Lipomyces starkeyi dan S. cerevisiae sangat potensial untuk memproduksi etanol dari selobiosa secara langsung pada konsentrasi yang tinggi (Tabel 2).
Tabel 2.
Sakarifikasi dan fermentasi simultan selebiosa menjadi etanol menggunakan berbagai katalis Etanol Produksi Sumber acuan (g/g Katalis yang digunakan etanol final substrat) (g/l) Imobilisasi sel ganda 70.00 0.47 Koesnandar Lypomyces starkeyi dan (2001) Saccharomyces cerevisiae Rekombinan Klebsiella oxytoca 45.20 0.49 Wood & Ingram (1992) Keuntungan lain dari hidrolisis enzim selain dapat bekerja pada
kondisi normal atau tidak memerlukan suhu, tekanan dan pH yang tinggi, juga produk yang dihasilkan lebih spesifik dan dekomposisi dapat dihindari. Laju reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh adsorpsi enzim substrat. Semakin banyak enzim yang dapat diserap maka semakin tinggi kecepatan reaksi hidrolisis enzim. Faktor yang mempengaruhi adsorpsi selulase pada selulosa adalah sifat substrat, konsentrasi enzim, perubahan struktur substrat selama hidrolisis, inaktivasi selulase oleh produk-produk hidrolisis (Irawadi 1999). Bioreaktor Bioreaktor adalah alat yang digunakan untuk memperoleh lingkungan terkontrol untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga diperoleh produk yang diinginkan. Dua
kriteria
penting
dalam
penggunaan
bioreaktor adalah
(1) peralatan harus dapat dioperasikan secara aseptis selama beberapa hari dan mampu digunakan untuk jangka waktu yang lama, (2) agitasi dan aerasi harus cukup tersedia agar kebutuhan metabolisme mikroorganisme terpenuhi (Stanbury dan Whitaker 1984.) Penggunaan bioreaktor diharapkan antara lain mampu memberikan kondisi lingkungan seperti pH, suhu, oksigen terlarut bagi pertumbuhan mikroorganisme beserta aktivitas metabolik yang diharapkan sehingga tercapai proses optimum serta dapat dicegah terjadinya kontaminasi yang berasal dari lingkungan (Hartato dan Sailah 1989). Berdasarkan cara pemberian medium atau substrat dan pengambilan produk, sistem operasi bioreaktor dapat digolongkan menjadi sistem batch, kontinyu dan fed-bacth (Hartoto 1991).
Tipe Fermentor Penggolongan tipe fermentor dilakukan berdasarkan mode operasi dan pola alir fermentor. Sistem yang paling umum digunakan adalah tangki batch berpengaduk. Pada beberapa kasus, reaktor tipe ini juga dikerjakan secara fed-batch. •
Fermentor Batch Fermentor batch relatif sederhana sesuai dengan cara operasinya, sehingga
baik untuk percobaan penentuan kinetika reaksi skala kecil. Konfigurasi fermentor ini dapat dilihat pada Gambar 2. Beberapa kelebihan fermentor batch antara lain adalah fleksibilitas operasinya, yaitu lebih mudah dan cepat. Namun kelemahannya perlu banyak tenaga kerja, dan pengawasan mutu produk yang rendah selama operasi (Hartato dan Sailah 1989). Menurut Machfud et al.
(1989) tangki fermentor bacth adalah jenis
reaktor yang paling sederhana. Reaktor ini digunakan untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi. Reaktor jenis ini dapat pula dibuat secara fed-batch sehingga reaksi dapat berlangsung lebih efisien.
Motor Pengendali pH Pemecah Busa Uap untuk Sterilisasi
Impeller
Medium
Udara Steril
Gambar 2.
Penampang fermentor untuk fermentasi skala laboratorium
•
Fermentor Tangki Teraduk Kontinyu Jenis fermentor ini tidak berbeda dengan fermentor batch, kecuali adanya
saluran untuk memasukan umpan dan mengeluarkan produk. Perbedaan kedua jenis fermentor ini terutama pada tangki teraduk kontinyu berjalan secara steady state yaitu kondisi (konsentrasi dan suhu) dalam fermentor tidak berubah selama fermentasi. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya aliran umpan masuk dan aliran produk yang keluar sama secara kontinyu. Karakteristik penting fermentor tangki teraduk kontinyu adalah kondisi di dalam fermentor sama dengan kondisi pada aliran keluar. Dengan demikian untuk mengetahui kondisi di dalam fermentor seperti sisa umpan atau produk yang terbentuk dapat dilakukan dengan menganalisis cairan fermentasi yang keluar fermentor (Rahman 1992). Sistem Operasi Bioreaktor Berdasarkan pemberian medium atau substrat dan pengambilan produk, sistem operasi bioreaktor dapat digolongkan menjadi sistem batch, kontinyu dan fed-batch. •
Sistem Batch Pada sistem batch atau curah, substrat dimasukkan ke dalam bioreaktor,
kemudian dibiarkan teraduk sampai selang waktu tertentu. Setelah tercapai tingkat konversi yang dikehendaki, produk yang dihasilkan dikeluarkan. Selang waktu operasi sistem batch biasanya lebih pendek dari sistem kontinyu. Disebabkan selama proses tidak ada aliran yang keluar dan masuk dimana dikenal dengan sistem tertutup. Sistem batch merupakan sistem yang paling sederhana dan efektif untuk reaksi-reaksi homogen (Hartato 1991). Pada fermentasi sistem tertutup, setelah inokulasi tidak dilakukan lagi penambahan
medium
ke dalam fermentor,
kecuali
pemberian
oksigen,
antibuih dan asam atau basa untuk mengatur pH. Karena itu pada sistem tertutup ini, dengan semakin lamanya waktu fermentasi, laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme semakin
menurun sampai akhirnya pertumbuhan
berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan karena dengan
berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan karena dengan semakin bertambahnya waktu fermentasi, nutrien-nutrien esensial dalam medium semakin berkurang yang mempengaruhi laju pertumbuhan (Rahman 1992). •
Sistem Kontinyu Pada sistem ini terdapat aliran medium yang masuk ke dalam bioreaktor
serta ada aliran produk beserta sisa substrat yang belum terkonversi keluar. Adanya kedua aliran ini menyebabkan sistem ini disebut sebagai sistem terbuka (Hartato 1991). Lebih lanjut menurut Machfud et al. (1989), bahwa dalam sistem kontinyu, larutan nutrien steril dalam volume tertentu ditambahkan ke dalam fermentor secara terus-menerus, dan pada saat bersamaan cairan fermentasi yang mengandung sel dan produk fermentasi dikeluarkan dari fermentor dengan volume yang sama. Sistem kontinyu sangat efektif untuk reaksi homogen dengan jumlah substrat yang besar. Modifikasi sistem ini antara lain sistem seri yaitu beberapa bioreaktor digabung atau adanya daur ulang untuk meningkatkan konsentrasi produk yang diinginkan (Rahman 1992). •
Sistem Fed-Batch Istilah kultur fed-batch pertama kali digunakan oleh Yoshida et al. (1973)
untuk menggambarkan pengoperasian kultur batch yang secara bertahap. Dengan adanya penambahan nutrien (media) mengakibatkan volume kultur terus meningkat. Kultur fed-batch dibandingkan dengan kultur batch konvensional memiliki beberapa
keuntungan yaitu rendahnya konsentrasi gula tereduksi,
tingginya konsentrasi oksigen terlarut di dalam media, penurunan waktu fermentasi dan meningkatkan produktivitas (Roukas 1996). Ciri lain dari kultur fed-batch adalah adanya keleluasan untuk mengatur konsentrasi nutrien tertentu di dalam kultur selama proses berlangsung, yaitu dengan memanipulasi laju penambahannya (Minihane dan Brown 1986). Oleh karena itu kultur fed-batch umumnya lebih unggul dibandingkan kultur batch konvensional khususnya pada proses fermentasi yang produktivitasnya dapat ditingkatkan melalui manipulasi konsentrasi nutrien medium.
Kultur fed-batch sangat ideal diterapkan pada fermentasi yang pertumbuhan sel atau proses pembentukan produknya peka terhadap konsentrasi substrat pembatas. Umumnya teknik ini efektif dalam mengurangi pengaruh inhibisi substrat. Selain itu, teknik ini juga dapat digunakan untuk menghasilkan konsentrasi sel yang tinggi, mengatasi kehilangan air akibat penguapan selama fermentasi serta untuk mempertahankan viskositas medium (Minihane dan Brown 1986). Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi dalam Bioreaktor •
Suhu Laju pertumbuhan mikroorganisme yang terdiri dari serangkaian reaksi
kompleks yang melibatkan enzim sebagai katalis, akan meningkatkan dua kali dengan meningkatnya suhu sebesar 10 οC. Peningkatan laju pertumbuhan tersebut hanya terjadi pada selang suhu tertentu. Pada suhu rendah, laju pertumbuhan menurun kematian sel meningkat dan akibat mekanisme pengaturan nutrien dan produk ke dalam dan keluar sel. Pada suhu yang tinggi, laju pertumbuhan menurun dikarenakan laju kematian sel meningkat akibat denaturasi thermal komponen protein dan pemecahan struktur sel yang penting seperti fluiditas membran seluler. Berdasarkan fermentasi
etanol
penelitian meliputi
Purawisastra et al. (1994) konsentrasi,
efisiensi
dan
bahwa
hasil
yield
pada
Zymomonas mobilis dalam medium gula dan nira tebu dapat ditingkatkan dengan penambahan enzim invertase pada suhu 35
ο
C. Pudjiraharti et al. (1998)
menyatakan bahwa pembuatan asam cuka dari sari buah jambu mete telah dilakukan dalam fermentor Biostat-B skala 2 liter dimana fermentasi dilangsungkan pada suhu 35 οC. •
pH Kondisi medium seperti pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme. Tingkat pH medium juga mempengaruhi produk yang dibentuk, selain mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh kebenyakan bakteri pada kondisi
anaerob cenderung membentuk produk yang bersifat netral selama pertumbuhan pada pH rendah, sementara pada pH alkalis berubah membuat produk bersifat asam. Hal ini mengakibatkan pengontrolan pH selama bioreaktor merupakan hal yang sangat penting. •
Aerasi dan Agitasi Pada fermentasi alkohol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh
A. aceti B127 secara kultur batch dengan kondisi suhu 30 οC nilai pH awal 4, konsentrasi etanol 5.0% v/v, inokulum 10% v/v, diperoleh kecepatan pengadukan terbaik adalah 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24% dengan efisien 71.20%. Berdasarkan kinetika produksi asam asetat dari etanol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh A. aceti B127 dengan kecepatan aerasi 1.0 vvm sebesar 4.24% lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan aerasi 0.5 vvm dan 1.5 vvm (Effendi 2002). Roukas (1996) menyimpulkan bahwa, kultur fed-batch membuktikan proses fermentasi untuk produksi etanol lebih baik dibanding kultur batch. Kultur fed-batch dengan atau tanpa immobilisasi sel S. cerevisiae menghasilkan konsentrasi etanol maksimum 53 g/l dengan konsentrasi gula awal 250 g/l dengan feeding rate 250 ml/jam. Pada repeated fed-batch kultur, secara keseluruhan sel imobilisasi S. cerevisiae memberikan konsentrasi etanol tertinggi. Kinetika Proses Fermentasi Pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh mikroorganisme merupakan proses biokonversi dengan nutrien kimiawi yang diumpankan pada fermentasi dikonversi menjadi metabolit. Setiap tahap konversi tersebut dapat dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk persatuaan massa sel atau produk yang terbentuk per-unit massa nutrien yang dikonsumsi yaitu Y x/s untuk sel dan Y p/s untuk produk. Hubungan kinetika di antara pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dua buah kinetik yang umum digunakan adalah kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama pertumbuhan, dan kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama pertumbuhan terhenti (Said 1987).
Menurut Darwis dan Sunarti (1991) produk-produk yang dihasilkan pada pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk biasanya merupakan produk-produk langsung dari suatu jalur katabolit seperti pada fermentasi anaerob glukosa menjadi etanol, atau produk-produk tersebut dihasilkan sebagai metabolit-metabolit primer dan hubungannya dengan pertumbuhan dinyatakan dalam persamaan berikut : •
Laju pertumbuhan spesifik Peningkatan jumlah biomassa (dx) (b/v) selama interval waktu yang sangat kecil sebanding dengan jumlah biomassa yang ada dan interval waktu :
dx = μ × dt
…(1)
dengan µ adalah laju pertumbuhan spesifik (jam-1). Xt = X0eµt
•
… (2)
Growth Yield etanol / asam asetat Growth yield (Y x/s) didefinisikan sebagai peningkatan jumlah biomassa (x) sebagai akibat penggunaan substrat (s). Y
x dx =− s ds
… (3)
Growth Yield diasumsikan konstan dan dapat berubah jika terlampaui fase
pertumbuhan yang berasosiasi dengan fermentasi. Y
x ( x − x0 ) = s ( s0 − s)
… (4)
Dengan s dan s0 masing-masing adalah substrat akhir dan substrat awal. Product yield (Y p/s) dapat dihitung dari persamaan berikut ini :
Yp = s
( p − p0 ) (s0 − s)
... (5)
dengan p dan p0 masing-masing adalah konsentrasi produk akhir dan konsentrasi produk awal.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan November 2008 di Laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi-Bogor dan Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan sebagai substrat utama dalam pembuatan etanol dan asam asetat dari pulp kakao jenis lindak dari perkebunan rakyat Bone, Makassar, sukrosa, gula, enzim selulase Penicillium nalgiovense SS240, PDA (agar-agar
kentang-dekstrosa)
miring,
PDB
(kentang-dektrosa
cair),
Saccharomyces cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak, Acetobacter aceti BTCC-
618 koleksi LIPI Cibinong, dinitrosalicylic acid (DNS), glukosa, etanol absolute, K2Cr2O7, Na asetat, asam sulfat, Na2CO3, NaCl, aquades, medium Mandels. Peralatan yang digunakan adalah erlenmeyer volume 250 ml, tabung reaksi, gelas
ukur,
autopipet
1000-5000
μl,
inkubator
bergoyang,
vorteks,
spektrofotometer, cawan conway, autoclave, pengaduk magnetik, bioreaktor berkapasitas 2 liter (Gambar 3).
Gambar 3. Penampang bioreaktor berkapasitas 2 liter. Metode Penelitian •
Pembuatan Media Agar Miring (Agar-Agar Kentang-Dekstrosa) Bahan-bahan pembuatan media agar miring meliputi : aquades 150 ml,
yeast extract 0.6 gr, potato dextrose agar 6 gr. Bahan-bahan tersebut dicampur dan dilarutkan dalam aquades dan dimasak selanjutnya dituang dalam tabung reaksi sebanyak 3 ml, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 οC selama 15 menit. •
Pembuatan Media Cair untuk Aktivasi (Kentang-Dektrosa Cair) Bahan-bahan pembuatan media cair untuk aktifasi meliputi : kentang
200gr, aquades 500 ml, sukrosa 10gr. Bahan-bahan tersebut dimasak dalam aquades kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer (volume 500 ml) sebanyak 100 ml selanjutnya disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 οC selama 15 menit.
•
Persiapan Inokulum S. cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak serta A. aceti dibiakkan pada PDA
(agar-agar kentang-dekstrosa) miring selama 2 hari pada suhu ruang dalam tabung reaksi disuspensikan dengan NaCl sebanyak 5 ml selanjutnya dipindahkan sebanyak 2.5 ml dalam 50 ml PDB (kentang-dektrosa cair). PDB diinkubasi dalam inkubator bergoyang 150 rpm pada 30 οC selama 20 jam untuk selanjutnya digunakan sebagai inokulum. •
Produksi Enzim Selulase P. nalgiovense SS240 ditanam pada media agar miring (agar-agar kentang-
dekstrosa) selama 5 hari, ditambahkan larutan NaCl 0.85%. Produksi enzim dilakukan dengan menginokulasi 2 ml inokulum pada 50 ml media Mandels (Lampiran 1) dengan 3% polard NaOH sebagai sumber karbon dalam labu erlenmeyer 250 ml. Diinkubasi pada suhu 30 οC dalam inkubator bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 4 hari. Supernatan yang merupakan enzim disimpan dalam freezer untuk digunakan dalam penelitian. Pelaksanaan Penelitian Penelitian Pendahuluan •
Penentuan Galur S. cerevisiae untuk Produksi Etanol pada Media Pulp Kakao Mengkaji fermentasi anaerob pada media pulp kakao oleh S. cerevisiae
koleksi IPB dan Balitnak. Masing-masing medium yang dikaji diencerkan 3x dan ditambahkan sukrosa 3.3% (b/v) sebagai kontrol tidak ditambahkan gula. Inokulum sebanyak 10% (v/v) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi medium fermentasi (volume kerja 150 ml) diinkubasikan pada suhu 30 οC selama 120 jam.
•
Penentuan Aerasi dan Kadar Gula Total pada Medium Mandels ♦ Penentuan Aerasi Kultur Fed-Batch dan Batch
Mengkaji fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan kadar gula total 6% (b/v) dan pengaturan aerasi fed-batch (anaerob ; anaerob dan aerob ; anaerob), batch (anaerob) . Substrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer (volume 250 ml) sebanyak 200 ml, 10% (v/v) inokulum S. cerevisiae koleksi Balitnak. Pada jam ke-48 ke dalam kultur ditambahkan (fed) media baru dan diinkubasikan selama 120 jam. ♦ Peningkatan Optimasi Kadar Gula pada Substrat
Pada kondisi terbaik percobaan pengaturan aerasi penelitian dilanjutan dengan meningkatkan kadar gula total 6, 12 dan18 % (b/v) dengan kondisi kultur fed-batch secara anaerob ; anaerob. Substrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer
(volume 250 ml) sebanyak 200 ml. Pada jam ke-48 ke dalam kultur ditambahkan (fed) media baru dan diinkubasikan selama 120 jam. Penelitan Utama •
Fermentasi Alkohol dan Fermentasi Asam Asetat ♦ Kultur Batch
Perlakuan terbaik dari penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penelitian utama dimana sebanyak 1000 ml substrat (pulp kakao diencerkan 3x dengan medium Mandels) (Lampiran 1) ditambahkan sukrosa hingga total padatan terlarut 18% Brix). Inokulasi S. cerevisiae ke dalam substrat sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) selanjutnya diinkubasi selama 48 jam. Pada fermentasi alkohol beberapa perlakuan yang dilakukan pada kultur batch ini meliputi :
o Kultur batch tanpa penambahan enzim selulase o Kultur batch dengan penambahan enzim selulase 13.8 U/l medium fermentasi pada jam ke-0
Etanol yang dihasilkan dari fermentasi alkohol pada jam ke-48 dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat dimana ke dalam bioreaktor ditambahkan inokulum A. aceti sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) diinkubasi selama 96 jam dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm. ♦ Kultur Fed-Batch
Sebanyak 1000 ml substrat (pulp kakao diencerkan 3x dengan medium Mandels) (Lampiran 1) ditambahkan sukrosa hingga kadar gula total substrat 18% Brix). Inokulasi S. cerevisiae ke dalam substrat sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) selanjutnya diinkubasi selama 96 jam. Pada jam ke-48 dilakukan pemanenan sebanyak 500 ml selanjutnya ke dalam kultur tersebut ditambahkan kembali substrat sebanyak 500 ml sehingga total substrat menjadi 1000 ml. Pada fermentasi alkohol beberapa perlakuan yang dilakukan pada kultur fed-batch ini meliputi :
o Kultur fed-batch tanpa penambahan enzim selulase o Kultur fed-batch dengan penambahan enzim selulase 13.8 U/l medium fermentasi pada jam ke-48 Etanol yang dihasilkan dari fermentasi alkohol pada jam ke-96 dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat dimana ke dalam bioreaktor ditambahkan inokulum A. aceti sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) diinkubasi selama 96 jam dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm. Bagan alir produksi asam asetat dapat dilihat pada Gambar 4.
Fermentasi alkohol pada medium pulp kakao secara batch dengan penambahan sukrosa 3.3% (b/v) dan inokulum 10% (v/v) S. cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak Fermentasi alkohol pada medium Mandels (gula 6% (b/v)) secara kultur fed-batch (anaerob ; anaerob dan aerob ; anaerob) dan peningkatan optimasi kadar gula pada substrat 6, 12, dan 18% (b/v)
Fermentasi alkohol pada media pulp kakao secara kultur batch dan fed-batch (anaerob) diencerkan 3x dengan medium Mandels, total padatan terlarut substrat 18% Brix
Batch
Fed-batch
Tanpa penambahan enzim selulase jam ke-0
Penambahan enzim selulase jam ke-0
Fed & Tanpa penambahan enzim selulase jam ke-48
Fed & Penambahan enzim selulase jam ke-48
Etanol jam ke-48
Etanol jam ke-48
Etanol jam ke-96
Etanol jam ke-96
Penambahan 10% (v/v) inokulum A. aceti, kecepatan agitasi 300 rpm, kecepatan aerasi 1.0 vvm
Asam Asetat
Penambahan 10% (v/v) inokulum A. aceti, kecepatan agitasi 300 rpm, kecepatan aerasi 1.0 vvm
Asam Asetat
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian produksi asam asetat dari pulp kakao.
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati meliputi : 1. Analisis kadar gula reduksi pada fermentasi alkohol (Lampiran 3). 2. Total padatan terlarut. 3. Analisis kadar alkohol pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat (Lampiran 3). 4. Dry weight
pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat
(Lampiran 3). 5. pH substrat pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat. 6. Kadar asam asetat pada fermentasi asam asetat (Lampiran 3). 7. Kenetika Fermentasi µmaks (jam-1), Y x/s, dan Y p/s. Rancangan Percobaan Urutan pengerjaan penelitian pada proses fermentasi alkohol yang kemudian dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat dilakukan mengikuti Rancangan Percobaan Acak Lengkap Faktorial (Sudjana 1994). Faktor yang diamati pengaruhnya adalah kultur batch dan fed-batch (S1, S2) serta faktor penambahan enzim selulase 0, 13.8 U/l medium fermentasi (E1, E2,). Replikasi ditetapkan sebanyak 2 kali. Model matematis dari rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y ijk = μ + Si + Ej + (SE)ij + εijk
... ( 6 )
Keterangan : Y ijk =
nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor kultur dan taraf ke-j faktor penambahan enzim selulase dengan ulangan ke-k
μ
= rata-rata umum
Si
= pengaruh kultur substrat ke-i (i = 1, 2, 3)
Ej
= pengaruh penambahan enzim selulase ke-j (j = 1, 2, 3, 4)
(SE)ij = pengaruh kultur ke-i dengan penambahan enzim selulase ke-j εijk
= error pada unit percobaan yang dikenai faktor S taraf ke-i, faktor E taraf ke-j dengan ulangan ke-k.
Hipotesa dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. H1 ; (S1) ≠ 0 (i = 1, 2, 3), dimana H0 berarti tidak ada pengaruh faktor kultur yang digunakan terhadap respon yang diamati. H1 berarti ada pengaruh faktor kultur yang digunakan terhadap respon yang diamati. 2. H2 ; (E1) ≠ 0 (j = 1, 2, 3, 4), dimana H0 berarti tidak ada pengaruh faktor penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati. H1 berarti ada pengaruh faktor penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati. 3. H3 ; (SE)ij ≠ 0, dimana H0 berarti tidak ada pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor kultur yang digunakan dan taraf ke-j faktor penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati. H1 berarti ada pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor kultur yang digunakan dan taraf ke-j faktor penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati. H1 dan H2 menyatakan bahwa faktor S dan faktor E berpengaruh dalam eksperimen. H3 menyatakan bahwa terdapat pengaruh interaksi faktor S dan faktor E terhadap respon yang diamati. Jika nilai F hitung > F
α
dengan α merupakan taraf
signifikasi, maka hipotesa akan diterima. Uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) dilakukan bila terdapat perbedaan yang signifikan dari
faktor perlakuan yang dicobakan atau hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan berpengaruh nyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Galur S. cerevisiae untuk Produksi Etanol Khamir yang sering digunakan pada proses fermentasi alkohol adalah S. cerevisiae sedangkan beberapa bakteri juga mampu membentuk etanol sebagai
produk utamanya seperti Clostridium dan Zymomonas (Purawisastra et al. 1994). Pada penelitian ini menggunakan galur S. cerevisiae dari koleksi IPB dan Balitnak dalam proses fermentasi alkohol. Sebelum dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan bioreaktor, maka terlabih dahulu perlu dilakuan penentuan galur S. cerevisiae dengan penambahan sukrosa pada medium fermentasi untuk meningkatkan kadar etanol pada skala erlenmeyer. Galur S. cerevisiae koleksi balitnak dengan penambahan sukrosa 3.30% (b/v) menunjukkan produksi etanol tertinggi pada setiap hari pengamatan dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 5).
6 Etanol (% b/v)
5 4 3 2 1 0 0
2
3
4
5
Waktu Fermentasi (Hari) (-) sukrosa & Biakan IPB
(-) sukrosa & Biakan Balitnak
(+) sukrosa & Biakan IPB
(+) sukrosa & Biakan Balitnak
Gambar 5. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae.
Gula Reduksi (% b/v)
3
2
1
0 0
2
3
4
5
Waktu Fermentasi (Hari) (-) sukrosa & Biakan IPB
(-) sukrosa & Biakan Balitnak
(+) sukrosa & Biakan IPB
(+) sukrosa & Biakan Balitnak
Gambar 6. Penurunan gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae. Galur S. cerevisiae koleksi balitnak dapat memanfaatkan substrat pada medium pulp kakao dengan baik ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar gula reduksi pada medium pulp kakao (Gambar 6). Galur S. cerevisiae koleksi balitnak (Gambar 6) memperlihatkan konsumsi substrat dalam hal ini gula reduksi pada hari ke-3 sangat cepat dibandingkan dengan galur S. cerevisiae koleksi koleksi IPB. Penentuan Aerasi Kultur Batch dan Fed-Batch Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penelitian fermentasi alkohol dilanjutkan dengan menggunakan biakan S. cerevisiae koleksi Balitnak serta penambahan konsentrasi gula ditingkatkan, sehingga diharapkan kadar etanol yang dihasilkan juga dapat diperoleh hasil yang optimum dimana menurut Barlina dan Lay (1994), kadar gula dalam substrat fermentasi etanol 10-12% menghasilkan etanol sebesar 5-6%. Pada penelitian ini dilakukan fermentasi alkohol dengan meningkatkan gula total dari penelitian sebelumnya sebesar 6% (b/v) dengan pengaturan aerasi kultur batch (anaerob) dan fed-batch (aerob ; anaerob dan anaerob ; anaerob). S. cerevisiae merupakan khamir anaerob fakultatif, sehingga pada penelitian ini
bertujuan menentukan kondisi aerasi pada kultur batch dan fed-batch yang terbaik dalam produksi etanol. Gambar 7 menjelaskan bahwa etanol yang diproduksi hari ke-5 pada kultur fed-batch dengan aerasi secara anaerob menghasilkan kadar
etanol tertinggi (5%) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Etanol yang dihasilkan pada perlakuan kultur fed-batch dengan aerasi secara aerob-anaerob hari ke-2 sebesar 5% lebih tinggi dari kedua perlukuan lainnya, dimana kondisi aerob menyebabkan sel S. cerevisiae lebih cepat dalam pembelahan sel, namun etanol yang dihasilkan hari ke-5 terlihat menurun dibandingkan secara anaerob. Kondisi aerob atau konsentrasi glukosa tinggi sel
S. cerevisiae dapat tumbuh
dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah dibandingkan secara anaerob. Pada kondisi anaerob, pertumbuhan sel lambat dan piruvat dari jalur katabolik dipecah oleh enzim piruvat dikarbosilase menjadi asetaldehid dan karbon dioksida (Hartoto 1991). 6
Fed
Etanol (% b/v)
5 4 3 2 1 0 0
2
3
4
5
Waktu Fermentasi (Hari) Fed-batch (Anaerob-Anaerob)
Fed-batch (Aerob-Anaerob)
Batch (Anaerob)
Gambar 7. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan pengaturan aerasi dan kultur batch, fed-batch. Perlakuan batch secara anaerob dari hari ke-2 hingga ke-5 tidak terjadi perubahan dalam produksi etanol. Berbeda halnya dengan perlakuan fed-batch, kultur batch tidak dilakukan penambahan substrat yang dapat diubah menjadi etanol. Gambar 8 menjelaskan gula reduksi pada kultur batch terus menurun selama inkubasi sesuai pendapat Roukas 1996, menyatakan bahwa kultur fedbatch dibandingkan dengan kultur batch konvensional memiliki beberapa
keuntungan yaitu rendahnya konsentrasi gula tereduksi, tingginya konsentrasi oksigen terlarut di dalam media dan penurunan waktu fermentasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas.
0.004 Gula Reduksi (& b/v)
Fed 0.0032 0.0024 0.0016 0.0008 0 0
2
3
4
5
Waktu Fermentasi (Hari) Fed-batch (Anaerob-Anaerob)
Fed-batch (Aerob-Anaerob)
Batch (Anaerob)
Gambar 8. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan pengaturan aerasi dan kultur batch dan fed-batch. Jika dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan, maka perlakuan fed-batch anaerob menghasilkan etanol tertinggi (5%) bila dibandingkan dengan perlakuan lain (4%). Perlakuan anaerob dengan adanya penambahan substrat mempengaruhi pembelahan sel untuk pemanfaatan substrat yang tersedia dalam meningkatkan produksi etanol (Gambar 7). Berbeda halnya dengan fermentasi sistem batch, selama inkubasi tidak dilakukan lagi penambahan substrat ke dalam fermentor, kecuali pemberian oksigen, antibuih dan asam atau basa untuk pengaturan pH. Karena itu pada sistem tertutup ini, dengan semakin lamanya waktu fermentasi, laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme semakin menurun sampai akhirnya pertumbuhan
berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan
karena semakin bertambahnya waktu fermentasi, sumber nutrisi dalam medium semakin berkurang yang menurunkan laju pertumbuhan (Rahman 1992). Peningkatan Optimasi Kadar Gula pada Substrat Peningkatan optimasi kadar gula substrat dilakukan dengan mencari konsentrasi optimal dimana galur S. cerevisiae dapat melakukan metabolisme serta menghasilkan kadar etanol yang maksimal. Kadar gula total yang dicobakan pada penelitian ini adalah 6, 12, 18% (b/v). Menurut Higins et al. (1984) konsentrasi gula yang terbaik untuk fermentasi etanol adalah 16 – 25% yang akan menghasilkan etanol sebesar 6 – 12%. Menurut Judoamidjojo (1990), jika konsentrasi gula terlalu tinggi, maka akan berakibat buruk bagi khamir yang
digunakan, sehingga waktu fermentasi akan lebih lama, serta sebagian gula tidak dapat dikonversi. Akibat apabila konsentrasi gula terlalu tinggi adalah dapat menyababkan dehidrasi sel dalam larutan yang pekat.
12
Etanol (% b/v)
10
Fed
8 6 4 2 0 0
2
3
4
5
6
Waktu Fermentasi (Hari) Fed-batch anaerob 6%
Fed-batch anaerob 12%
Fed-batch anaerob 18%
Gambar 9. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan kadar gula total 6, 12, dan 18% pada kultur fed-batch (anaerob). Gambar 9 memperlihatkan perbedaan etanol yang dihasilkan pada ketiga perlakuan tersebut. Terlihat bahwa kadar gula total sebesar 18% menghasilkan etanol sebesar 10.35% sedangkan total gula 6 dan 12% etanol yang dihasilkan masing-masing sebesar 2.05 dan 6.02%. Pada perlakuan gula total 18% hari ke-4 terlihat bahwa etanol yang dihasilkan terus meningkat hingga hari ke-6. Gula reduksi pada perlakuan gula total 18% pada hari ke-4 (Tabel 3) terlihat substrat yang tersedia semakin menurun namun produksi etanol hari ke-4 masih berjalan. Diduga sel S. cerevisiae tidak memanfaatkan substrat untuk melakukan proses pembelahan dan peningkatan jumlah sel melainkan digunakan untuk pembentukan produk akhir dalam hal ini etanol. Penurunan jumlah gula reduksi yang digunakan pada medium menunjukkan bahwa pada kondisi yang tidak terdapat suplai oksigen (anaerob), khamir akan melakukan proses fermentasi yang akan merubah gula reduksi menjadi etanol dan CO2 (Judoamidjojo et al. 1989).
Tabel 3. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium Mandels pada tiga kadar gula total dengan kultur fed-batch (anaerob) Fed-batch anaerob 6%
Waktu Fermentasi (Hari) 2 4
0.0052 0.0023
Fed-batch anaerob 12% % (b/v) 0.0615 0.0020
Fed-batch anaerob 18% 0.1265 0.0418
Penetapan kadar gula total ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi total gula yang optimum untuk menghasilkan kadar etanol. Berdasarkan Gambar 8, yang menunjukan bahwa kadar gula total 18% menghasilkan etanol tertinggi, dengan demikian penelitian selanjutnya menggunakan bioreaktor, akan dilakukan dengan peningkatan konsentrasi substrat sebesar 18%. Penelitian Utama Fermentasi Alkohol •
Kultur Batch Fermentasi alkohol menggunakan kultur batch, dilakuan dengan perlakuan
penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) pada jam ke-0. Hasil dari proses fermentasi yang dilakukan pada sistem batch ini dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11, sedangkan untuk data awal pada perlakuan ini dapat
20
20
16
16
12
12
8
8
4
4
0
Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) TPT (% Brix)
dilihat pada Lampiran 4.
0 0
12
24
36
48
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
TPT (%Brix)
Dry Weight (g/l)
Gambar 10. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem batch.
20
16
16
12
12
8
8
4
4
0
Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) TPT (% Brix)
20
0 0
12
24
36
48
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
TPT (%Brix)
Dry Weight (g/l)
Gambar 11. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan sistem batch. Pada Gambar 10 dan 11 terlihat bahwa pola pertumbuhan dari S. cerevisiae yang digunakan berbeda. Pada Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa
fase stasioner terjadi pada jam ke-12 sedangkan pada Gambar 11 fase stasioner terjadi pada jam ke-24. Adanya penambahan enzim selulase menyebabkan perbedaan pertumbuhan sel S. cerevisiae, dimana enzim selulase berperan dalam pemanfaatan biokonversi selulosa untuk membentuk monosakaridanya yaitu glukosa, oleh karena itu terdapat perbedaan konsentrasi gula reduksi dalam medium yang mempengaruhi pertumbuhan sel (dry weight) dan pembentukan etanol. Sejalan dengan pendapat Irawadi (1999) yang menjelaskan bahwa, gula reduksi hasil degradasi enzim selulase dapat digunakan oleh S. cerevisiae untuk pertumbuhan sehingga pada jam ke-24 sel berada pada fase eksponensial. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti kandungan nutrient dalam hal ini gula reduksi (Gambar 12 dan 13 ). Perlakuan batch tanpa penambahan enzim selulase (Gambar 10) pada jam ke-12 sel memasuki fase stasioner dimana pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Aktivitas metabolisme dari sel mulai menurun, sedangkan produksi metabolit masih berjalan walaupun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan
berjalan walaupun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan habisnya nutrient yang dibutuhkan, fase stasioner ini kemudian akan diikuti dengan fase kematian. Hasil yang diperoleh berdasarkan uji lanjut Duncan 5% (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan dengan dan tanpa penambahan enzim selulase pada kultur batch tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar etanol (% b/v) yang dihasilkan pada jam ke-48. Kadar etanol yang dihasilkan tidak berbeda disebabkan oleh selang pada kadar gula reduksi tidak terlalu besar pada kedua perlakuan sehingga etanol yang dihasilkan juga hampir sama. Medium fermentasi pulp kakao dengan total gula 18% brix yang di inkubasi selama 48 jam pada Gambar 10 menghasilkan etanol sebesar 8.16% (b/v) sedangkan Gambar 11 sebesar 8.32% (b/v). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih efisien dalam penggunaan gula sebagai substrat dimana pada penelitian lainnya yang menggunakan substrat pulp kakao dan S. cerevisiae, kadar etanol yang dihasilkan sebesar 8% (b/v) dengan total gula sebesar 20% brix lama fermentasi 48 jam (Asep 2008). Etanol merupakan produk utama pada fermentasi anaerob, tetapi etanol ini merupakan racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi untuk itu konsentrasi substrat awal harus diperhatikan agar dapat di metabolisme oleh khamir dengan baik. Fungsi utama khamir adalah mengubah gula dalam substrat menjadi etanol dan karbondioksida. S. cerevisiae yang digunakan pada penelitian ini menghasilkan enzim invertase yang berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) serta enzim zimase yang mengubah monosakarida tersebut menjadi etanol pada proses fermentasi. Purawisastra et al. (1994)
menyimpulkan
bahwa
medium
gula
pasir
dengan
biakan
Zymomonas mobilis dan penambahan enzim invertase dapat meningkatkan
konsentrasi etanol yang dihasilkan. Pengukuran kadar gula reduksi perlu dilakukan untuk membandingkan perubahan total padatan terlarut selama proses fermentasi sehingga dapat diketahui konversi substrat menjadi produk akhir fermentasi serta pengaruh yang ditimbulkan dari penambahan enzim selulase terhadap kadar gula reduksi. Perbandingan gula reduksi dan total padatan terlarut pada perlakuan batch tanpa
Perbandingan gula reduksi dan total padatan terlarut pada perlakuan batch tanpa enzim selulase dan perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase dapat
20
20
16
16
12
12
8
8
4
4
0
TPT (% Brix)
Gula Reduksi (% b/v)
dilihat pada Gambar 12 dan 13.
0 0
12
24
36
48
Waktu Fermentasi (jam ke-) Gula Reduksi (% b/v)
TPT (%Brix)
20
20
16
16
12
12
8
8
4
4
0
TPT (% Brix)
Gula Reduksi (% b/v)
Gambar 12. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem batch.
0 0
12
24
36
48
Waktu Fermentasi (jam ke-) Gula Reduksi (% b/v)
TPT (%Brix)
Gambar 13. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase dan menggunakan sistem batch. Gambar 12 dan 13 menjelaskan bahwa kadar gula reduksi pada jam ke-36 telah habis seiring dengan pertumbuhan sel S. cerevisiae (dry weight) yang sudah menurun namun sel tidak memanfaatkan substrat untuk melakukan proses pertumbuhan serta peningkatan jumlah sel melainkan digunakan untuk
pembentukan produk akhir. Penurunan jumlah gula reduksi sejalan dengan penurunan total padatan terlarut pada kedua perlakuan, dimana penurunan jumlah substrat yang digunakan pada media menunjukkan bahwa pada kondisi yang tidak terdapat suplai oksigen, khamir akan melakukan proses fermentasi yang akan merubah gula menjadi alkohol dan CO2 (Judoamidjojo 1989), lebih lanjut Hardjo et al. (1991) menyatakan gula merupakan komponen terbesar total padatan
terlarut, peningkatan konsentrasi gula akan meningkatkan total padatan terlarut. Pada kedua perlakuan terjadi penurunan pH, dapat dilihat pada Gambar 14. Penurunan pH ini diduga disebabkan oleh akumulasi dari asam-asam yang dihasilkan pada fermentasi alkohol tersebut. 6
pH
5
4
3 0
12
24
36
48
Waktu fermentasi (jam ke-) Batch tanpa selulase
Batch dengan selulase
Gambar 14. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase. Pada
awal
(Romli et al. 2000).
fermentasi
pH
yang
digunakan
adalah
4.8
–
5.2
Gambar 14 memperlihatkan bahwa penurunan pH
ini
kemungkinan disebabkan oleh akumulasi dari asam-asam yang dihasilkan pada fermentasi alkohol. Asam piruvat yang terbentuk selama proses metabolisme dimanfaatkan oleh sel S. cerevisiae untuk pembentukan etanol. S. cerevisiae mampu mengkonsumsi substrat gula reduksi. Secara umum, S. cerevisiae ini dapat tumbuh dan memfermentasi gula reduksi secara efisien
pada pH 3.5-6.0 dan suhu 28-35 οC (Ratledge 1991).
•
Kultur Fed-Batch Sama halnya dengan sistem batch, pada sistem fed-batch juga di lakukan
dengan 2 perlakuan yaitu dengan dan tanpa penambahan enzim selulase. Namun pada kultur fed-batch diinkubasi selama 96 jam dan dilakuan penambahan substrat baru ke dalam medium fermentasi pada jam ke-48, yang disertai dengan perlakuan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi). Hasil fermentasi yang dilakukan pada kultur fed-batch ditunjukkan oleh Gambar 15 dan 16, sedangkan untuk data awal pada perlakuan ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari kedua perlakuan tersebut dapat terlihat bahwa pada awal fermentasi terjadi penurunan total padatan terlarut dan gula reduksi (Gambar 17 dan 18). Penurunan konsentrasi total padatan terlarut ini disebabkan sel menggunakan substrat untuk melakukan metabolisme untuk pertumbuhan dan pembentukan sel baru (dry weight) serta memproduksi etanol, sejalan dengan Judoamidjojo et al. 1989 yang menyimpulkan bahwa pada fase eksponensial, semua sel mempunyai kemampuan untuk berkembang biak sehingga nutrien yang ada banyak digunakan untuk pertumbuhan serta pembentukan sel baru. 20
20 16
12
12
8
8
4
4
0
0 0
12
24
36
48
48+
60
72
84
Dry Weight Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) TPT (% Brix)
Fed 16
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
TPT (%Brix)
Dry Weight (g/l)
Gambar 15. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch. Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed.
16
20
12
12 8 8 4
4 0
Dry Weight
Etanol (% b/v) TPT (%Brix)
16
(g/l)
Fed + Selulase
0 0
12
24
36
48
48+
60
72
84
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
TPT (%Brix)
Dry Weight (g/l)
Gambar 16. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan sistem fed-batch. Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 15 fase ekponensial terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-24 sedangkan Gambar 16 fase eksponensial terjadi lebih singkat pada jam ke-0 hingga jam ke-12. Setelah penambahan medium baru (fed) pada Gambar 15 terlihat bahwa, sel S. cerevisiae (dry weight) kembali meningkat. Fase eksponesial terjadi 30 menit setelah penambahan medium baru (fed) hingga jam ke-72. Sedangkan pada Gambar 16 terlihat bahwa fase eksponensial terjadi 30 menit setelah penambahan medium baru (fed) hingga jam ke-60. Menurut Fiechter (1982), produktivitas sel S. cerevisiae merupakan fungsi dari konsentrasi glukosa, suhu dan pH. Glukosa merupakan reaktan dasar untuk metabolisme khamir. Fungsi utama khamir dalam pembuatan etanol adalah mengubah gula dalam substrat menjadi alkohol dan CO2. Frazier (1977), berpendapat enzim yang dihasilkan S. cerevisiae adalah enzim ivertase yang berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa), serta enzim zimase yang mengubah monosakarida tersebut menjadi etanol pada proses fermentasi.
Berdasarkan Gambar 15 dan 16, etanol yang dihasilkan pada jam ke-96 berturut-turut sebesar 9.07% (b/v) dan 9.70% (b/v). Uji Duncan 5% terhadap interaksi kultur batch dan fed-batch dan penambahan enzim selulase tidak berbeda nyata terhadap kadar etanol demikian halnya dengan faktor tunggal penambahan enzim selulase. Namun kadar etanol pada perlakuan kultur batch (8.23%) berbeda nyata terhadap kultur fed-batch (9.38%). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Uji Duncan 5% menunjukkan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) tidak berbeda nyata terhadap pembentukan kadar etanol. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya gula reduksi yang cukup banyak pada substrat sewaktu penambahan enzim selulase yang menyebabkan enzim selulase tidak aktif. Kondisi ini dikenal sebagai efek inhibisi, namun enzim selulase tidak terikat oleh substrat sehingga dapat kembali aktif memproduksi gula reduksi saat persediaan gula pereduksi pada medium telah habis. Pada penelitian ini gula reduksi habis pada jam ke-72 (Gambar 18) sedangkan perlakuan penambahan enzim dilakukan pada jam ke-48 sehingga penambahan enzim selulase kurang efektif yang disebabkan oleh inkubasi yang terlalu lama. Hal ini sesuai dengan penjelasan Darwis (1995) bahwa konsentrasi yang tinggi dari selobiosa atau sumber karbon yang dapat cepat di metabolisme seperti glukosa dapat menghambat aktivitas selulase. Lebih lanjut Koesnandar (2001) menyatakan bahwa proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari selulosa menjadi glukosa di pengaruhi faktor penghambat yang sangat menentukan di dalam biokonversi selulosa menjadi etanol. Faktor penyebab utamanya ialah adanya penghambatan produk terutama selobiosa dan glukosa terhadap semua tahapan hidrolisis (Gambar 1). Irawadi (1999), mengemukakan bahwa tujuan utama dari hidrolisis enzimatik substrat adalah menghasilkan glukosa sebanyak mungkin. Enzim selulase yang ditambahkan ke dalam pulp kakao mampu menghidrolisis serat yang terkandung dalam pulp kakao menjadi gula reduksi sebesar 0.66% (b/v) dengan penambahan enzim selulase 0.2 ml (Lampiran 6). Namun pada penelitian ini penambahan enzim selulase belum efektif dalam menghasilkan glukosa yang digunakan sebagai substrat untuk produksi etanol.
20
16
16
Fed
12
12
8
8
4
4
0
0 0
12
24
36
48
48+
60
72
84
TPT (% Brix)
Gula Reduksi (% b/v)
20
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Gula Reduksi (% b/v)
TPT (%Brix)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Fed + selulase
0
12
24
36
48
48+
60
72
84
TPT (% Brix)
Gula Reduksi (% b/v)
Gambar 17. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch. Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Gula Reduksi (% b/v)
TPT (%Brix)
Gambar 18. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch. Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed Penurunan kadar gula reduksi selama proses fermentasi sejalan dengan penurunan total padatan terlarut seperti terlihat pada Gambar 17 dan 18. Dari gambar total padatan terlarut terlihat bahwa setelah penambahan substrat baru, semakin lama fermentasi total padatan terlarut akan semakin menurun hingga
semakin lama fermentasi total padatan terlarut akan semakin menurun hingga mencapai titik konstan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin banyaknya gula yang difermentasi sebanding dengan lamanya waktu fermentasi. Dari hasil penelitian penambahan medium baru (Gambar 17 dan 18) untuk perlakuan fed-batch sebaiknya dilakukan antara jam ke-24 dan 36 dimana pada selang waktu tersebut substrat gula reduksi terlihat sudah habis untuk efisiensi waktu inkubasi dan sel dari S. cerevisiae yang selanjutnya dapat memanfaatkan substrat yang ditambahkan (fed) sehingga proses fermentasi dapat berlangsung dengan efisien. Wang et al. (1979) mengatakan bahwa, bila penambahan substrat sangat lambat maka kadar etanol dan biomassa sel juga akan semakin rendah karena adanya pembatasan substrat. Dari setiap perlakuan, pH awal disesuaikan dengan pH medium berkitar antara 4.8 – 5.2 (Romli et al. 2000). pH awal ini diatur pada kisaran tersebut agar penurunan pH selama fermentasi tidak sampai di bawah pH 3.0 karena keasaman di bawah 3.0 kecepatan proses fermentasi akan berkurang. Nilai pH selama proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 19.
6
Fed
pH
5
4
3 0
12
24
36
48
48+
60
72
84
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Fed-batch tanpa selulase
Fed-batch dengan selulase
Gambar 19. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase. Berdasarkan hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah penambahan medium baru, pH cenderung menurun untuk setiap perlakuan. Fiechter (1982) menyatakan bahwa, konsentrasi glukosa akan mempengaruhi pH terhadap
pertumbuhan khamir. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penelitian ini konsentrasi glukosa yang cukup (tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah) maka khamir
akan
menggunakan
glukosa
tersebut
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan sel serta untuk menghasilkan produk-produk metabolisme seperti etanol, karbondioksida dan asam-asam organik seperti asam piruvat, asam suksinat, asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH. •
Kinetika Fermentasi Alkohol Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologis yang saling
mempengaruhi secara beraturan. Proses pertumbuhan ini sangat kompleks mencakup pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahanbahan nutrien menjadi energi dan berbagai konstituen sel. Hubungan antara massa sel atau hasil terbentuknya per satuan massa nutrien yang dikonsumsi dinyatakan dengan Y x/s dan Y p/s dapat dilihat pada Tabel 4. Anova (Lampiran 7) menunjukkan bahwa interaksi antara kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase serta perlakuan tambahan enzim selulase tidak berbeda nyata terhadap parameter kinetika µ, Y x/s, Y p/s, dan kadar etanol, namun faktor tunggal kultur (batch, fed-batch) berbeda nyata pada parameter kinetika µ , Y x/s, dan kadar etanol. Tabel 4. Perhitungan kinetika fermentasi alkohol Parameter Kinetika
Kultur Batch µmaks (jam-1) Fed-batch Rata-rata Batch Y x/s Fed-batch Rata-rata Batch Y p/s Fed-batch Rata-rata Batch Kadar Etanol (% b/v) Fed-batch Rata-rata
Tambahan Enzim Selulase pada Medium 0 U/l 13.8 U/l Rata-rata 0.03 a 0.03 0.04 0.01 b 0.01 0.02 0.02 A 0.03 A 0.65 c 0.55 0.74 0.31 d 0.26 0.35 0.41 B 0.55 B 0.57 e 0.53 0.61 0.53 e 0.50 0.55 0.51 C 0.58 C 8.23 f 8.14 8.32 9.07 9.70 9.38 g 8.60D 9.01 D
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf besar yang sama ke arah horizontal dan dengan huruf kecil yang sama ke arah vertikal berarti tidak berbeda menurut uji Duncan α = 0.05
Yield produk (Y p/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Y p/s terbesar diperoleh pada fermentasi menggunakan perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase yaitu 0.61, terkecil diperoleh pada fermentasi menggunakan perlakuan fed-batch tanpa penambahan enzim selulase sebesar 0.50. Namun berdasarkan uji statistika terhadap parameter Y p/s diperoleh hasil bahwa perlakuan kultur batch dan fed-batch dengan perlakuan penambahan enzim selulase serta interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Kadar etanol yang dihasilkan meningkat dengan penambahan enzim selulase pada kultur fed-batch (9.01% b/v) jika dibandingkan dengan kultur batch (8.60% b/v), walaupun berdasarkan uji Duncan 5% tidak berbeda, hal tersebut dikarenakan selang antara gula reduksi yang tidak terlalu besar dari kedua perlakuan Yield biomassa (Y x/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk persubstrat yang dikonsumsi. Y x/s terbesar diperoleh pada fermentasi menggunakan perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase yaitu 0.74, terkecil diperoleh pada fermentasi menggunakan perlakuan fed-batch tanpa penambahan enzim selulase sebesar 0.26. Berdasarkan uji statistika terhadap parameter Y x/s diperoleh hasil bahwa perlakuan penambahan enzim selulase serta interaksi penambahan enzim dan kultur batch dan fed-batch tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, namun perlakuan kultur batch dan fed-batch berpengaruh nyata.
Kecilnya nilai Y x/s pada perlakuan fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase, menunjukkan bahwa subsrat yang ditambahkan hanya sedikit yang digunakan untuk pembentukan sel, namun dengan biomassa yang sedikit tersebut mampu membentuk etanol dalam konsentrasi tinggi, hal ini dapat dilihat dari nilai kadar etanol yang tinggi sebesar 9.07% dan 9.70% menunjukkan bahwa pada perlakuan ini, cukup baik dalam membentuk etanol. Dari pola kinetika pada fase eksponensial pada penelitian ini didapat data terukur besaran kinetika fermentasi alkohol pada medium pulp kakao (Tabel 4) terlihat bahwa nilai µ, Y p/s dan Y x/s pada penelitian ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Effendi (2002) dimana µ, Y p/s dan Y x/s yang dihasilkan
dibandingkan dengan Effendi (2002) dimana µ, Y p/s dan Y x/s yang dihasilkan dari fermentasi alkohol menggunakan pulp kakao dengan penambahan gula hingga 15% sebesar 0.03, 0.29 dan 0.07. Kadar etanol yang dihasilkan pada perlakuan batch sebesar 8.23% sedangkan perlakuan fed-batch 9.38%, jika dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan pada perlakuan fed-batch cukup efisien. Melalui penelitian ini pulp kakao yang diencerkan 3x dengan medium Mandels dapat menghasilkan etanol sebanyak 130 ml sedangkan kultur batch sebanyak 80 ml. Namun penggunaan kultur fed-batch dapat lebih efisien dalam pemakaian inokulum. Fermentasi Asam Asetat Pada penelitian ini, fermentasi asam asetat dilakukan dengan cara menginkubasi substrat hasil fermentasi alkohol dengan inokulum bakteri A. aceti 10 % (v/v) selama 96 jam dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm. Medium pulp kakao yang difermentasi dengan inokulum S. cerevisiae 10% (b/v) untuk produksi etanol yang akan digunakan sebagai substrat pada fermentasi asam asetat. Etanol hasil fermentasi alkohol secara kultur (batch dan fed-batch) dengan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat. Asam asetat merupakan produk utama pada proses fermentasi asam asetat. Asam asetat yang dihasilkan merupakan hasil oksidasi etanol oleh A. aceti. Kadar asam asetat menurut standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (1996) adalah 4%. •
Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan Batch dan Penambahan Enzim Selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) Fermentasi asam asetat dilakukan pada substrat etanol hasil fermentasi
alkohol dengan perlakuan batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi). Hasil dari proses fermentasi asam asetat tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21, sedangkan untuk data awal pada perlakuan ini dapat dilihat pada Lampiran 8.
10 Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) Asam Asetat (%b/v)
12
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8 6 4 2 0 0
24
48
72
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
Asam asetat (% b/v)
Dry Weight (g/l)
Gambar 20. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan berat kering (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch tanpa penambahan enzim selulase. 16 14
8
12 10
6
8 4
6 4
2
Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) Asam Asetat (% b/v)
10
2
0
0 0
24
48
72
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
Asam asetat (% b/v)
Dry Weight (g/l)
Gambar 21. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dengan penambahan enzim selulase. Gambar 20 dan 21 terlihat bahwa pola pertumbuhan dari A. aceti yang digunakan berbeda. Dari Gambar 21 terlihat bahwa pada jam ke-0 sampai jam ke48 sel masih berada pada fase adaptasi sehingga asam asetat yang diproduksi juga belum optimal. Berbeda halnya pada Gambar 20 terlihat bahwa sel A. aceti pada jam ke-24 sudah memasuki fase stasioner. Pada saat memasuki fase stasioner ini, nilai dari biomassa sel (dry weight) mencapai kondisi yang paling maksimal.
Asam asetat adalah produk yang dihasilkan dari dua proses fermentasi berturut-turut yaitu fermentasi alkohol yang mengubah gula menjadi alkohol dan fermentasi asam asetat oleh A. aceti (Ranken dan Kill 1993). Kadar etanol dalam medium fermentasi pada Gambar 20 dan 21 terlihat menurun seiring dengan lamanya waktu fermentasi. Gambar 20 menjelaskan bahwa, pada jam ke-96 sisa etanol sebesar 2.59% sedangkan pada Gambar 21 pada jam ke-96 sisa etanol sebesar 2.15%. Sesuai dengan pendapai Desrosier (1988), menyatakan bahwa pembuatan asam asetat dihasilkan dari oksidasi alkohol oleh bakteri asam cuka dengan adanya oksigen. Dengan adanya penambahan aerasi sebesar 1.0 vvm mampu meningkatkan pertumbuhan sel
A. aceti dalam mengkonversi atau
merombak etanol menjadi asam asetat. Penurunan kadar etanol ini disebabkan substrat (etanol) dioksidasi oleh bakteri asam asetat (A. aceti) menjadi asam asetat dan air selama fermentasi berlangsung. Substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan perlakuan tunggal kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase berdasarkan uji Duncan 5% (Tabel 5) berbeda nyata terhadap produksi kadar asam asetat, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan tidak berbeda pada uji Duncan 5%. Berdasarkan Tabel 5 asam asetat yang dihasilkan dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol tanpa penambahan enzim selulase lebih baik yaitu 6.79% dibandingkan dengan substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan penambahan enzim selulase sebesar 5.07%. Hal ini mungkin diduga akibat adanya penambahan enzim selulase yang menjadi inhibitor. Serta penurunan pH larutan (Gambar 24) pada perlakuan penambahan enzim selulase yang sangat kecil. Dimana Hardjo et al. (1991) mengemukakan bahwa produksi asam asetat dipengaruhi oleh perlakuan lama fermentasi serta penurunan pH larutan hingga 2.8-3.8. •
Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan Fed-Batch dan Penambahan Enzim Selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) Fermentasi asam asetat dilakukan pada substrat etanol hasil fermentasi
alkohol dengan perlakuan fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi). Hasil dari proses fermentasi asam asetat dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.
14
10 6
8
4
6 4
2
Dry Weight (g/l)
12
8
Asam Asetat (% b/v)
Etanol (% b/v)
10
2
0
0 0
24
48
72
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Etanol (% b/v)
Asam asetat (% b/v)
Dry Weight (g/l)
12
10
10
8
8
6
6 4
4
Dry Weight (g/l)
Etanol (% b/v) Asam Asetat (% b/v)
Gambar 22. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch tanpa penambahan enzim selulase.
2
2 0
0 0
24
48
72
96
Waktu Fermentasi (Jam ke-) Etanol (% b/v)
Asam asetat (% b/v)
Dry Weight (g/l)
Gambar 23. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch dengan penambahan enzim selulase. Gambar 22 dan 23 menunjukkan bahwa asam asetat yang terbentuk pada jam ke-48 hingga jam ke-96 terus meningkat, namun asam asetat yang dihasilkan dengan perlakuan tanpa penambahan enzim selulase (Gambar 22) pada saat fermentasi alkohol lebih tinggi dibandingkan dengan adanya penambahan enzim selulase pada saat fermentasi alkohol (Gambar 23).
Substrat etanol dalam media pada kedua perlakuan tersebut (Gambar 22 dan 23) menunjukkan penurunan seiring dengan pembentukan asam asetat dan lama fermentasi. Substrat etanol yang terus menurun disebabkan oleh aktifitas yang melakukan metabolisme dalam pembelahan sel sehingga sel
A. aceti
bertambah hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya dry weight dari medium fermentasi. Jam ke-48 sel telah berada pada fase stasioner dan jam ke-72 sel berada pada fase kematian. Demikian halnya dengan pendapat Stanbury dan Whitaker (1993) yang menyatakan bahwa pada fase stasioner, persedian substrat (nutrien) yang tersedia akan berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan. Asam asetat merupakan produk fermentasi yang bersifat asam dan memiliki pH rendah 3-4 (Waluyo, 1986). Perubahan pH substrat selama inkubasi 96 jam dapat dilihat pada Gambar 24. 6
pH
5
4
3 0
24
48
72
96
Waktu Fermentasi (jam ke-) Batch tanpa selulase
Batch dengan selulase
Fed-batch tanpa selulase
Fed-batch dengan selulase
Gambar 24. Perubahan Perubahan nilai pH fermentasi asam asetat pada medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dan fed-batch dengan penambahan enzim selulase. Gambar 24 menunjukkan bahwa pH larutan fermentasi dari keempat perlakuan berkisar antara 4.3-5.1. Pengontrolan pH awal penting dilakukan karena menurut Fiechter (1982) produktivitas bakteri salah satunya dipengaruhi oleh pH, dimana pH optimum fermentasi menurut Hardjo et al. (1991) produksi asam asetat dipengaruhi oleh perlakuan lama fermentasi serta penurunan pH larutan hingga 2.8-3.8. Pada penelitian ini pH larutan belum sesuai dengan pendapat Hardjo et al. (1991). Hal ini disebabkan karena pada saat proses fermentasi juga
terbentuk senyawa yang bersifat basa yang dapat menetralkan ion H+ asam pada medium fermentasi, selain itu menurut Prijanto et al. (1983), bila media fermentasi mempunyai kapasitas buffer yang tinggi hasil fermentasi terbaik tercapai pada pH awal 4.0-4.5 sedangkan bila kapasitas buffer rendah maka pH awal tebaik adalah 5.5. •
Kinetika Fermentasi Asam Asetat Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka fermentasi yang dilakukan
dengan pengaturan kondisi operasi asam asetat diamati perhitungan kinetika µ, Y x/s, Y p/s pada substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan perlakuan kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase. Nilai dari parameter kinetika fermentasi asam asetat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perhitungan kinetika fermentasi asam asetat yang dilanjutkan dari perlakuan fermentasi alkohol Parameter Kinetika
Kultur Batch µmaks (jam-1) Fed-batch Rata-rata Batch Y x/s Fed-batch Rata-rata Batch Y p/s Fed-batch Rata-rata Kadar Asam Asetat Batch (% b/v) Fed-batch Rata-rata
Tambahan Enzim Selulase pada Medium 0 U/l 13.8 U/l Rata-rata 0.01 0.01 0.01 a 0.01 0.01 0.01 a 0.01 A 0.01A 0.35 0.30 0.32 b 0.32 0.28 0.30 b 0.34 B 0.29 B 0.40 0.10 0.25 c 0.86 0.68 0.77 d 0.63 C 0.39 D 5.11 2.93 4.02 e 8.47 7.21 7.84 f 6.79 E 5.07 F
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf besar yang sama ke arah horizontal dan dengan huruf kecil yang sama ke arah vertikal berarti tidak berbeda menurut uji Duncan α = 0.05. Anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa interaksi antara kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) tidak berbeda nyata terhadap parameter kinetika µ, Y x/s, Y p/s, dan kadar asam asetat. Sedangkan faktor tunggal perlakuan kultur (batch dan fedbatch) dan perlakuan penambahan enzim berpengaruh nyata terhadap parameter
kinetika Y p/s dan kadar asam asetat.
Efisiensi pemanfaatan substrat pada parameter kinetika Y p/s berdasarkan uji Duncan 5% (Tabel 5) berbeda nyata untuk faktor tunggal perlakuan substrat etanol hasil fermentasi secara kultur (batch dan fed-batch) sedangkan faktor tunggal perlakuan penambahan enzim tidak berbeda nyata. Sesuai dengan kadar asam asetat yang terbentuk dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol perlakuan kultur fed-batch menghasilkan asam asetat tertinggi sebesar 7.84%. Selama fase pertumbuhan, laju pertumbuhan spesifik (µ) meningkat pada waktu tertentu saat tercapai nilai konstan pada fase eksponensial. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa parameter kinetika untuk µ terlihat hampir mendekati nol untuk semua perlakuan. Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Hartoto (1989) yang menyatakan bahwa µ cenderung mendekati nol bila berkurangnya nutrien esensial. Berdasarkan uji Duncan 5% parameter kinetika µ tidak berbeda untuk perlakuan substrat etanol hasil fermentasi secara kultur dan perlakuan penambahan enzim pada fermentasi alkohol. Kadar asam asetat yang dihasilkan pada substrat etanol hasil fermentasi alkohol secara kultur fed-batch cukup menarik sebab pada kultur ini hasil fermentasi dapat dipanen dua kali. Dimana panen pertama dapat dilakukan untuk produksi etanol sebesar 8.97% (b/v) atau 44.85 ml selanjutnya panen kedua dilakukan untuk produksi asam asetat sebesar 7.80% (b/v) atau 78 ml.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini disimpulkan : 1. S. cerevisiae dapat digunakan untuk fermentasi alkohol pada substrat pulp kakao yang mengandung kadar gula reduksi sebesar 9.53% (b/v) dengan total padatan terlarut sebesar 18% brix, sedangkan A. aceti BTCC-618 dapat digunakan untuk fermentasi asam asetat. 2. Kultur fed-batch dalam fermentasi alkohol pada medium pulp kakao merupakan perlakuan terbaik dimana etanol yang dihasilkan sebesar 9.38% (b/v) dengan µmax 0.01, Y p/s 0.53 dan Y x/s 0.31, sedangkan etanol yang dihasilkan pada kultur batch sebesar 8.23% (b/v) dengan µmax 0.03, Y p/s 0.57 dan Y x/s 0.65. 3. Produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada medium pulp kakao secara kultur fed-batch merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan asam asetat sebesar 7.84% (b/v) dengan µmax 0.01, Y p/s 0.77 dan Y x/s 0.30. 4. Kombinasi penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) pada kultur batch (jam ke-0) dan fed-batch (jam ke-48) dalam medium pulp kakao tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar etanol dan produksi asam asetat, demikian halnya dengan µmax, Y p/s dan Y x/s. Saran Kultur fed-batch pada medium pulp kakao dapat diterapkan dalam skala industri, dimana kelebihan kultur fed-batch ini dapat dilakuan pemanenan dua kali, panen pertama untuk produksi etanol selanjutnya panen kedua untuk produksi asam asetat. Produksi etanol dan asam asetat ini dapat digabungkan untuk produksi etil asetat. Namun demikian waktu penambahan substrat harus dioptimasi, yang diperkirakan berada antara jam ke-24 dan jam ke-36.
DAFTAR PUSTAKA
Asep P. 2008. Karakteristik Proses Fermentasi Pulp Kakao untuk Produksi Etanol pada Bioreaktor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Amaria, Isnawati, Rini P, Tukiran. 2001. Biomassa Saccharomyces cerevisiae dari limbah buah dan sayur sebagai sumber vitamin B. Himpunan Makalah Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang 9 – 10 Oktober 2001. Atmawinata O, Muloto S, Widyotomo S, Yusianto. 1998. Teknik pra-pengolahan biji kakao segar secara mekanis untuk mempersingkat waktu fermentasi dan menurunkan kemasaman biji. Pelita Perkebunan 14:48-62. Adomoko D. 1984. Some Conversion Technologies for the Utilization of Cocoa Wastes. Dalam Tosida ET. 2002. Optimasi Biokonversi Lendir Biji Kakao untuk Produksi Senyawa Pemberi Citarasa (Flavouring Agent). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Cuka Fermentasi. (SNI 01-4371-1996). Barlina R, Lay. 1994. Pengolahan nira kelapa untuk fermentasi nata de coco, alkohol dan asam cuka. J Pen Kelapa 7:21-23. Birch GG, Cameron AG, Spencer M. 1978. Food Science 2nd edition. Pergamon Press. Oxford. Chandra A, Jenie BSL. 1990. Pemanfaatan limbah kulit pisang untuk produksi cuka fermentasi. Bul Pen Ilmu Tek Pangan 1:1-11. Damanhuri. 2004. Pola Fermentasi Alkohol dan Asam Asetat dari Madu Rambutan Afkir [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Darwis AA, Sailah I, Irawadi TT, Safriani. 1995. Kajian kondisi fermentasi pada produksi selulase dari limbah kelapa sawit (tandan kosong dan sabut) oleh Neurospora sitophila. J Teknol Ind 5(3):199-207 , Sukara E. 1989. Teknologi Mikrobial. Laboratorium Bioindustri Pusat Antar Universitas Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor. , Sunarti TC. 1991. Petunjuk Laboratorium Teknologi Mikrobial. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Effendi MS. 2002. Kinetika fermentasi asam asetat (vinegar) oleh bakteri Acetobacter aceti B127 dari etanol hasil fermentasi limbah cair pulpa kakao. J Teknol Ind Pert 13:125-135. Ebner H. 1983. Vinegar. Di dalam Reed, G. Prescott and Dunn’s Industrial Microbiology. AVI Pub. Co. Inc., Westport, Connecticut. Fiechter A. 1982. Advances in Biochemical Engineering. Springer-Verlag, Berlin. Frazier WC. 1977. Food Microbiology. Tata Mc Graw-Hill. Publ.Co.Ltd, New Delhi. Hardjo S, Hartoto L, Widjaja I. 1991. Disain proses pembuata anggur (wine) pisang. J Teknol Ind Pert 3:55-71. Hartoto L. 1991. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor. , Sailah I. 1989. Sistem Bioreaktor. Pusat Antar Universitas Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor. Hustsberger DV, Billingsley P. 1987. Elements of Statistical Inference. Allyn and Bacon Inc. Boston. Judoamidjojo RM. 1990. Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor. , Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor. Ghani BA, Rickard AD. 1990. Enzymztic hydrolysis of lignocellulose contribution of β-glucosidase. Asean Food J 5:51-70. Irawadi TT. 1999. Kajian hidrolisis enzimatik limbah lignoselulosa dari industri pertanian. J Teknol Ind Pert 8:124-134. Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan ko-imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae by fed-batch sytem. J Mikrobiol Indones 6:15-18. Luwihana SD. 1998. Studi awal ammobilisasi bakteri asam asetat. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-21 Oktober 1998. Machfud, Said EG, Krisnani. 1989. Fermentor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Minihane BJ, Brown DE. 1986. Fed-batch culture technology. Biotech Adv 4: 207-218.
Mandels M, Anderotti R, Roche C. 1976. Measurement of Saccharifying Cellulose. Biotech Bioeng Symposium. Nurika I, Hidayat N. 2001. Pembuatan asam asetat dari air kelapa secara fermentasi kontinyu menggunakan kolom bio-oksidasi. J Teknol Pert 2:51-57. Opeke LK. 1984. Optimising economic returns (profit) from cocoa cultivation trough economic efficient use of cocoa by product. Dalam Sulistyowati, Atmawinata O, Muloto S, Yusianto. 1998. Pemenfaatan limbah bubur pulpa kakao untuk pembuatan nata kakao. Pelita Perkebunan 14: 63 – 75. Purwadaria T, Kumalasari A, Haryati T, Ketaren PP, Sinurat A. 2004. Optimation of cellulase production with Penecillium nalgiovense S11 grown on pretreated wheat pollard. Biotropia 23 : 1-12. Pujiraharti S, Thelma AB, Linar ZU, Karossi AT. 1998. Effect agitation velocity on acetic acid production from cashew apple juice by Acetobacter aceti ATCC 15973. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-21 Oktober 1998. Purawisastra S, Gumbira-Sa’id E, Doelle HW. 1994. Peningkatan etanol hasil fermentasi Zymomonas mobilis dengan enzim invetase. J Mikrobiol Indones 2:31-35. Pettipher GL. 1986. Analysis of cocoa pulp and the formulation of a standardised artifisial cocoa pulp medium. J Sci Food Agric 37:297-309. Prijanto B, Karyanto L, Sajugo. 1983. Perbaikan Fermentasi CIU (Alkohol) dan Proses Penyulingan. Balai Pustaka. Jakarta. Ratledge C. 1991. Yeast Physiology – a micro-synopsis. Bioprocess Eng 6:195-203. Romli M, Darmajana DA, Daulay AM. 2000. Pengaruh jenis khamir dan penambahan serbuk kulit ubi kayu pada onggok tapioka terhadap hasil fermentasi etanol. J Teknol Ind Pert 10:13-21. Roukas T. 1996. Ethanol production from non-sterilized beet molasses by free and immobilized Saccharomyces cerevisiae cells using fed-batch culture. J Food Eng 27:87-96. Ranken MD, Kill RC. 1993. Food Industries Manual. 23rd Edition. Blockie Academic and Professional. London. Rahman A. 1992. Teknologi Fermentasi Industrial: Produksi Metabolit Primer. Penerbit Arcan. Jakarta.
Scragg AH. 1991. Bioreactors in Biotechnology, A Practicial Approach. Ellis Horword, New York. Soedarini, Kapti RK, Harmayani E. 1998. Acetobacter pasteurianus INT-7 “acidethanol tolerant” yang diisolasi dari vinegar tradisional Indonesia sebagai agensia fermentasi asam asetat yang potensial. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-21 Oktober 1998. Susijahadi, Neran, Kurniawan MF. 1998. Pengendalian fermentasi dengan pengaturan konsentrasi gula hasil hidrolisis onggok tepung tapioka untuk menghasilkan alkohol. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 1921 Oktober 1998. Suryatmi RD. 1995. Mekanisme fermentasi kakao lindak. Bahan Penyuluhan Pascapanen Kakao di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan, Kaji Terap Iptek BPP Teknologi, 25-27 September 1995. Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito, Bandung. Sudaryati Y, Sastraatmaja DD. 1993. Seleksi strain Aspergillus spp. untuk menghasilkan enzim selulase dalam media dedak. J Mikrobiol Indones 2:30-32. Said G. 1987. Bioindustri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Stanbury A, Whitaker A. 1993. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. New York. Wardani SM, Rahman A. 1991. Percobaan produksi vinegar menggunakan generator sistem aliran lambat (Genevin IUC-FN 88) dengan beberapa jenis bahan pembawa. Bul Penelitian Ilmu dan Teknol Pangan 2:17-28. Wirakartakusumah MA, Thenawidjaja M, Jenie BSL, Pontoh J, Nuraida L, Bakar A, Suprayatmi M, Marwini, Hairita I, Soekopitojo S. 1987. Isolasi dan karakteristik enzim dari Aspergillus niger serta pemanfaatan dalam pembangunan industri gula cair. Laporan Akhir. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengembangan pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wood BE, Ingram LO. 1992. Ethanol production from cellobiose, amorphous cellulose, and crystalline cellulose by recombinant Klebsiella oxytoca containing chromosomally and plasmids expressing thermostable cellulase genes from Clostridium thermocellum. Dalam Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan koimobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae by fedbatch sytem. J Mikrobiol Indones 6:15-18. Whitaker A. 1980. Fed-batch culture. Proc Biochem 15:10-15.
Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnill P, Humphrey AE, Lilly MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. New York: John Wiley & Sons. Yoshida F, Yamane T, Nakamoto K. 1973. Fed-batch Hydrocarbon Fermentation with Colloidal Emulsion Feed. Biotech Bioeng 15:257-270.
L A M P I R A N
Lampiran 1. Komposisi Medium dan Larutan •
Medium Mendels Untuk membuat 1 L medium Mendels, dipipet larutan-larutan di bawah ini,
kemudian ditambah 0.075% bacto pepton, 0.3% yeast extract. Selanjutnya volume larutan ditetapkan 1 L dengan aquades. Larutan Stok
•
Volume (ml)
14% (b/v) (NH4)2SO4
10
20% (b/v) KH2PO4
10
3% (b/v) MgSO4.7H2O
10
3% (b/v)Urea
10
30% (b/v) CaCl2
1
0.5% (b/v) FeSO4.7H2O
1
1.6% (b/v) MnSO4.H2O
1
1.4% (b/v) ZnSO4.7H2O
1
2% (b/v) CoCl2
1
Larutan Buffer Na Asetat Larutan buffer asetat 0.05 M dibuat dengan mencampurkan asam asetat
0.05 M dengan natrium asetat 0.05 M sampai mencapai pH yang diinginkan. •
Pereaksi Dinitro Salicylic Acid (DNS) Pereaksi DNS dibuat dari 10 gr NaOH, 182 gr KNa-tartrat, 10 gr DNS,
2 gr fenol, dan 0.5 gr Na2SO3 yang dimasukkan secara berurutan ke dalam erlenmeyer yang berisi aquades sambil diaduk dengan stirer. Setelah semua larut dipindahkan ke dalam labu takar dan volume larutan ditepatkan menjadi 1 L dengan aquades. •
Larutan Kalium Dikromat Larutan kalium dikromat dibuat dari 0.36 gr K2Cr2O7 dilarutkan dalam 15 ml
aquades. Tambahkan secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan stirer 28 ml asam sulfat pekat. Encerkan sampai mencapai 50 ml.
Lampiran 2. Nilai Absorbansi dan Volume Inokulum yang Ditambahkan
Perlakuan Batch tanpa selulase Batch dengan selulase Fed-batch tanpa selulase Fed-batch dengan selulase
Absorban sel S. cerevisiae A. aceti 0.793 1.353 0.705 1.14 0.757 1.322 0.741 1.946
Jumlah Inokulum (ml) S. cerevisiae A. aceti 100 100 88.90 84.26 95.46 97.71 93.44 143.82
Lampiran 3. Prosedur Analisis Parameter Fermentasi •
Analisis Kadar Gula Reduksi Analisis kadar gula reduksi dilakukan dengan metode dinitrosalicylic acid
(DNS). Sampel yang telah diencerkan dengan beberapa tingkat pengenceran diambil sebanyak 0.5 ml ditambah 0.5 ml aquades, 1.5 ml DNS divorteks. Blanko terdiri dari 0.5 ml buffer Na asetat, 1.5 DNS. Sampel dan blanko dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit, diukur pada panjang gelombang 540 nm dengan alat spektrofotometer. Standar Glukosa (DNS)
Absorban
2.0
y = 0.0042x - 0.368 2
R = 0.9981
1.5 1.0 0.5 0.0 0
100
200
300
400
500
600
Konsentrasi glukosa (µg/ml)
•
Analisis Kadar Alkohol Cawan conway disiapkan diisi dengan 2 ml larutan K2Cr2O7 pada bagian
tengah, 1 ml K2CO3 jenuh dan 1 ml sampel yang telah diencerkan terlebih dahulu pada bagian lingkaran luar. Cawan conway dibiarkan selama 2 jam pada suhu ruang. Larutan kromat yang positif pada bagian tengah dipindahkan pada tabung spektro
dan
diukur
pada
panjang
gelombang
605
nm
dengan
spektrofotometer.
Absorban
Standar Alkohol 0.8
y = 1.6238x + 0.0459
0.6
R = 0.9983
2
0.4 0.2 0 0
0.08
0.16
0.24
Konsentrasi Alkohol (µml/ml)
0.32
0.4
alat
•
Analisis dry weight (Scragg 1991)
1. Dry weight diukur berdasarkan berat kering sel. Sebanyak 10 ml cairan kultivasi disentrifuse selama 10 menit, kecepatan 3000 rpm dalam tabung yang telah dikeringkan dalam oven dan ditimbang sebelumnya. Setelah supernatan dibuang, secara hati-hati ditimbahkan 5 ml larutan NaCl 0.9% ke pelet sel lalu disentrifuse ulang pada kondisi yang sama dengan sebelumnya. 2. Endapan sel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 90 οC selama 20 jam atau sampai beratnya konstan. Kemudian tabung berisikan sel kering dimasukkan segera ke desikator. Setelah dingin tabung berisi sel kering di timbang. 3. Berat kering sel dapat dihitung sebagai berikut :
Berat kering (g/l) =
•
Berat tabung berisi sel kering (g) - berat tabung kosong (g) × 1000ml/l volume sampel (ml)
Analisis Asam Asetat
Untuk mengetahui kadar asam asetat dilakukan dengan metode titrasi. kadar asam asetat ditentukan dengan cara melarutkan 2 ml sampel dalam 10 ml aguades kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N (yang telah distandarisasi) dan indikator phenolphtalein. Asam asetat (%) = vol. Titer (NaOH) x N NaOH x 60 x 100 Vol. sampel x 1000
Lampiran 4. Data Awal Fermentasi Alkohol Menggunakan Kultur Batch dengan Penambahan Selulase Kultur
Selulase
Batch
tanpa selulase
dengan selulase
Jam Ke0 12 24 36 48 0 12 24 36 48
Gula Reduksi (% b/v) 13.613 8.618 2.398 0.210 0.158 13.613 6.252 1.167 0.206 0.164
Etanol (% b/v) 0.494 3.382 6.764 6.884 8.136 0.063 2.731 6.653 6.944 8.316
pH 5.5 4.2 4.3 4.3 4.3 5.1 4.1 4.1 4.3 4.5
TPT (%Brix) 17.7 11.9 7.5 5.5 5.3 17.4 12.4 7.0 6.0 5.5
Dry Weight (g/l) 5.85 11.90 12.30 11.30 8.35 5.55 9.30 13.55 11.45 9.70
Lampiran 5. Data Awal Fermentasi Alkohol Menggunakan Kultur Fed-batch dengan Penambahan Selulase Kultur
Selulase
Fed-batch
tanpa selulase
dengan selulase
Jam Ke0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96 0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Gula Reduksi (% b/v) 13.613 9.206 0.444 0.215 0.138 6.726 4.073 0.734 0.143 0.148 13.613 8.311 1.709 0.195 0.153 6.202 4.017 0.748 0.296 0.209
Etanol (% b/v) 0.083 4.056 7.553 7.808 8.925 5.036 6.714 8.168 9.202 9.066 0.099 4.338 7.469 8.704 9.008 4.813 6.075 7.826 8.990 9.702
pH 5.2 4.4 4.3 4.3 4.4 4.7 4.6 4.5 4.5 4.9 4.9 4.5 4.1 4.2 4.2 4.5 4.3 4.3 4.7 4.7
TPT (%Brix) 17.0 10.9 6.0 5.4 5.3 11.0 8.0 5.9 5.8 5.0 17.5 11.0 6.0 5.2 5.2 11.2 9.0 7.5 5.5 5.0
Dry Weight (g/l) 5.00 11.70 15.00 12.45 11.45 11.95 12.85 13.70 11.40 9.15 5.20 12.05 12.80 9.25 9.30 10.95 11.50 9.05 8.80 7.30
Lampiran 6. Analisis Sakarifikasi Enzim Selulase Terhadap Pulp Kakao
Pulp kakao sebanyak 1 ml dicuci menggunakan aquadest sebanyak 2x selanjutnya disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan dibuang dengan hati-hati kemudian endapan ditambahkan buffer Na-asetat pH 5.8 sebanyak 3 ml dan enzim selulase SS240 sebanyak 0.1 ml, 0.2 ml, dan 0.4 ml. Selanjutnya diinkubasi selama 2 jam dalam waterbath pada suhu 30 οC. Aktivitas enzim dihentikan dengan cara dipanaskan pada penangas air selama 10 menit kemudian disentrifuse kembali selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan diambil untuk diukur kadar glukosa yang terbentuk.
Gula Reduksi (% b/v)
1 0.8154 0.8
0.6554
0.6 0.4 0.2245 0.2 0 0.1
0.2 Selulase (ml)
0.4
Lampiran 7. Analisa Statistik Keragaman Fermentasi Alkohol Respon pada Parameter Etanol µ Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: respon µ Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .001(a) .005 .001 9.80E-005 2.00E-006 .000 .006 .001
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square .000 .005 .001 9.80E-005 2.00E-006 3.65E-005
a R Squared = .871 (Adjusted R Squared = .773) Kultur Batch Fed-batch
Means 0.034 0.014
Penambahan Enzim Enzim selulase Tanpa enzim selulase
Means 0.027591 0.020
F 8.968 126.247 24.164 2.685 .055
Sig. .030 .000 .008 .177 .826
Y x/s Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y x/s Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .276(a) 1.813 .232 .039 .005 .022 2.111 .299
Df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square .092 1.813 .232 .039 .005 .006
a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .868) Kultur Batch Fed-batch
Means 0.646 0.306
Penambahan Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 0.335 0.321
F 16.393 322.743 41.287 6.930 .963
Sig. .010 .000 .003 .058 .382
Y p/s Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y p/s Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .013(a) 2.409 .003 .009 .001 .088 2.510 .101
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square .004 2.409 .003 .009 .001 .022
a R Squared = .131 (Adjusted R Squared = -.521) Kultur Batch Fed-batch
Means 0.568 0.529
Penambahan Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 0.514 0.583
F .200 109.765 .142 .428 .031
Sig. .891 .000 .725 .549 .868
Kadar Etanol Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Kadar Etanol Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 3.119(a) 620.154 2.682 .333 .104 1.351 624.623 4.469
Df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square 1.040 620.154 2.682 .333 .104 .338
a R Squared = .698 (Adjusted R Squared = .471) Kultur Fed Batch-batch
Means 9.384 8.226
Penambahan Enzim Enzim selulase Tanpa enzim selulase
Means 9.009 8.601
F 3.079 1836.608 7.943 .986 .308
Sig. .153 .000 .048 .377 .609
Lampiran 8. Data Awal Fermentasi Asam Asetat Menggunakan Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan Kultur (Batch dan Fed-batch) dan Penambahan Selulase Sistem
Selulase
tanpa selulase
Batch
dengan selulase
tanpa selulase
Fed-batch
dengan selulase
Jam Ke0 24 48 72 96 0 24 48 72 96 0 24 48 72 96 0 24 48 72 96
Etanol (% b/v) 8.089 5.878 4.694 3.811 2.595 8.316 5.422 3.834 3.086 2.153 9.066 6.404 5.046 3.253 1.945 9.702 6.027 4.628 3.376 2.550
Asam asetat (% b/v) 2.935 4.109 4.528 5.786 5.115 2.516 3.228 3.438 3.438 2.935 2.234 4.530 3.860 5.870 8.469 2.404 2.851 3.019 5.199 7.127
pH 4.3 4.6 4.5 4.5 4.4 4.5 4.7 4.7 4.6 4.6 4.9 4.8 4.8 4.7 4.5 4.7 5.1 5.0 4.9 4.8
Dry Weight (g/l) 8.35 10.20 10.00 8.60 8.55 11.45 9.70 11.00 13.65 13.50 9.15 11.25 12.60 11.45 11.45 7.30 7.55 9.30 8.25 5.90
Lampiran 9. Analisa Statistik Keragaman Fermentasi Asam Asetat Respon pada Parameter Asam Asetat
µ Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon µ
Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1.94E005(a) .000 1.51E-005 1.13E-006 3.12E-006 2.85E-005 .000 4.79E-005
df
Mean Square
Means 0.009 0.006
Penambahn Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 0.008 0.007
Sig.
3
6.46E-006
.906
.513
1 1 1 1 4 8 7
.000 1.51E-005 1.13E-006 3.12E-006 7.12E-006
61.070 2.123 .158 .439
.001 .219 .711 .544
a R Squared = .405 (Adjusted R Squared = -.042) Kultur Batch Fed-batch
F
Y x/s Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y x/s Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .007(a) .860 .005 .000 .001 .026 .893 .033
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square .002 .860 .005 .000 .001 .007
a R Squared = .215 (Adjusted R Squared = -.374) Kultur Batch Fed-batch
Means 0.354 0.302
Penambahan Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 0.335 0.321
F .365 132.170 .807 .067 .220
Sig. .783 .000 .420 .809 .664
Y p/s Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y p/s Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .664(a) 2.094 .540 .116 .008 .014 2.772 .678
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square .221 2.094 .540 .116 .008 .003
a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .965) Kultur Fed-batch Batch
Means 0.772 0.252
Penambahan Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 0.632 0.391
F 64.672 611.701 157.821 34.002 2.192
Sig. .001 .000 .000 .004 .213
Kadar Asam Asetat Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Asam Asetat Source Corrected Model Intercept Kultur Enzim Kultur*Enzim Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 35.443(a) 281.556 29.108 5.910 .425 2.404 319.404 37.848
df 3 1 1 1 1 4 8 7
Mean Square 11.814 281.556 29.108 5.910 .425 .601
a R Squared = .936 (Adjusted R Squared = .889) Kultur Fed-batch Batch
Means 7.840 4.025
Penambahan Enzim Tanpa enzim selulase Enzim selulase
Means 6.792 5.073
F 19.655 468.397 48.425 9.832 .707
Sig. .007 .000 .002 .035 .448