KARAKTERISASI REPRODUKSI MUNCAK, Muntiacus muntjak muntjak JANTAN: KAJIAN ANATOMI, PROFIL METABOLIT TESTOSTERON, DAN SPERMATOGENESIS SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH
SRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Reproduksi Muncak, Muntiacus muntjak muntjak Jantan: Kajian Anatomi, Profil Metabolit Testosteron, dan Spermatogenesis selama Periode Pertumbuhan Ranggah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2012
Sri Wahyuni NIM B362080011
ABSTRACT SRI WAHYUNI. Reproductive Characterization of Male Muntjak, Muntiacus muntjak muntjak: Study of Anatomy, Testosterone Metabolite Profile, and Spermatogenesis during Antler Growth Periods. Under direction of TUTY L. YUSUF, SRIHADI AGUNGPRIYONO, and MUHAMMAD AGIL. Muntjaks (Muntiacus muntjak muntjak) are belonging to Cervidae which distributed in Java Island and Southern part of Sumatera. Muntjaks have been protected by Indonesian Government since 1999. In order to support breeding program of the species and to avoid from extinction, several activities in this study were conducted. Therefore, the objective of this study was to investigate the reproductive capacity of male muntjaks in captivity. Anatomical procedure and histological preparation of reproductive organ (testis, ductus epididymidis, accessory sex glands, and penis) from an adult male muntjak (♂#1) in hard antler period was carried out to collect data of their morphology and histology structure. Immunoreactive testosterone (iT) level of fecal samples was measured by the enzymeimmunoassay method using testosterone assay (Möstl) from two adult male muntjaks with individual code as ♂#2 and ♂#3. Furthermore, core needle biopsy and electroejaculation methods were applied for obtained testicular tissues and semen for study spermatogenesis. The entire samples were collected in hard antler (RK), casting (C), and velvet antler (RV) periods with different sampling frequency. The result showed that in general, the anatomy of reproductive organ in male muntjak was somewhat similar with other small ruminant included Cervids (ram and goat, rusa deer, pampas deer, and reeves muntjak). As dominant male, ♂#2 had sturdier and bigger hard antlers (RK1 and RK2) compare to ♂#3. The duration of antler cycle of ♂#2 was also longer (459 days) than ♂#3 (381 days) in the first antler cycle. Duration of second antler cycle of ♂#3 was longer (20.65%) than in previous cycle (485 days) Based on the hormonal data, iT level of ♂#2 was different among RK, C, and RV periods where iT level during RK 1 period was higher than C (p = 0.003) and RV (p = 0.02). In addition, iT level during RK 2 was also significantly higher than those C (p = 0.009) and RV (p = 0.06). In the first antler cycle, the pattern of T secretion in ♂#3 was slightly different if compared to the ♂#2. ♂#3 showed iT level was significantly lower in RK1 than RK2 (p = 0.0003), RK3 (p= 0.0034), C1 (p = 0.05), and C2 (p = 0.0001). However, the pattern of testosterone secretion was changed when ♂#3 in RK2 at the second of antler cycle coincided with increase of ♂#3’s age and death of ♂#2. Interestingly, iT level still detected during C and RV periods in both of muntjaks and showed a positive correlation with spermatogenesis which was proven by presence of spermatozoa in semen with significant concentration during those periods. The highest sperm concentration, however, was found in RK, and slightly decreased in C and RV. These findings provide that the specific pattern of testosterone metabolite profile that exhibited by ♂#2 and ♂#3 had closed correlation with their age, body size, antler size, and antler cycles length. In conclusion, testosterone that synthesized during an antler cycle plays a central role in continuing reproductive activities in male muntjaks. Therefore, muntjaks could provide reproductive function throughout the year of reproductive aseasonality which is similar to the reeves and formosan muntjaks. Keywords: muntjak, testosterone metabolite profile, antler growth period, spermatogenesis, and spermatozoa
RINGKASAN SRI WAHYUNI. Karakterisasi Reproduksi Muncak, Muntiacus muntjak muntjak Jantan: Kajian Anatomi, Profil Metabolit Testosteron, dan Spermatogenesis selama Periode Pertumbuhan Ranggah. Dibimbing oleh TUTY L. YUSUF, SRIHADI AGUNGPRIYONO, dan MUHAMMAD AGIL. Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) termasuk ke dalam famili Cervidae yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera bagian selatan. Sejak tahun 1999, muncak ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi di Indonesia. Perburuan liar dan eksploitasi habitat muncak dan satwa lainnya di alam menjadi penyebab utama penurunan populasi muncak. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai populasi muncak di habitat asli maupun di area konservasi. Kekhawatiran akan punahnya muncak di Indonesia menjadi alasan kuat dilakukannya penelitian ini. Selain itu karakteristik reproduksi muncak Indonesia sejauh ini belum dilaporkan, sehingga upaya pengembangbiakan muncak di penangkaran tidak dapat berjalan dengan baik. Pada penelitian ini digunakan tiga ekor muncak jantan dewasa sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor SK. 23/Menhut-II/2011. Muncak diperoleh dari hasil tangkapan masyarakat di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Regulasi hormonal terhadap pertumbuhan ranggah berkaitan erat dengan aktivitas reproduksi selama satu siklus ranggah, meliputi: periode ranggah keras (RK), lepas ranggah atau casting (C), dan ranggah velvet (RV). Sejauh mana keterkaitan antara pertumbuhan ranggah dengan aktivitas steroidogenesis dan spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa selama satu siklus ranggah pada muncak dapat diketahui dari penelitian ini. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari karakteristik reproduksi muncak jantan selama periode pertumbuhan ranggah yang pada akhirnya dapat menjelaskan gambaran fertilitas muncak dan pola reproduksinya. Ada empat kegiatan penelitian yang dilakukan dengan metode spesifik, yaitu: 1) anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan, 2) karakteristik pertumbuhan ranggah muncak, 3) profil metabolit testosteron selama periode pertumbuhan ranggah, dan 4) spermatogenesis dan kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah. Hasil pengamatan selanjutnya dibahas pada bagian akhir dari penelitian ini. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam manajemen pemeliharaan dan pengembangbiakan muncak di penangkaran. Posedur anatomi dan histologi dilakukan untuk memperoleh data tentang anatomi dan histologi organ reproduksi dari seekor muncak jantan dewasa dengan kode ♂#1 pada periode RK. Pengamatan morfologi, morfometri, struktur histologi organ reproduksi muncak jantan meliputi testis, duktus epididimidis, kelenjar asesoris kelamin dan penis. Karakteristik organ reproduksi muncak secara umum mirip dengan ruminansia kecil dan spesies rusa lainnya. Muncak memiliki testis berbentuk bulat lonjong dengan kauda epididimidis yang teramati dengan jelas walaupun bagian tersebut masih terbungkus skrotum. Penis muncak bertipe fibroelastik dilengkapi dengan fleksura sigmoidea di bagian korpus penis. Glans penis muncak berukuran kecil dengan prosesus uretralis yang pendek. Kelenjar prostat secara makroskopis tidak ditemukan, namun secara mikroskopis kelenjar tersebut ditemukan di sekeliling uretra pars pelvina dalam bentuk pars diseminata. Ciri lainnya adalah kelenjar bulbouretralis yang berukuran besar, seperti yang ditemukan pada reeves muntjak. Secara morfometri organ reproduksi muncak lebih kecil dibandingkan domba dan rusa
timor, namun lebih besar dibandingkan organ reproduksi kancil. Struktur histologi organ reproduksi muncak juga mirip dengan domba, tetapi perbandingan dengan rusa timor, pampas deer, dan spesies rusa, spesies dan subspesies muncak lainnya tidak dapat dilakukan, karena gambaran histologi seluruh organ reproduksi kecuali testis dan duktus epididimidis belum dilaporkan pada Cervidae tersebut. Data anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan tersebut dapat digunakan untuk mengetahui fungsi fisiologi masing-masing organ dalam aktivitas reproduksi. Gambaran histologi testis pada periode ranggah keras dapat digunakan untuk menentukan tahapan epitel tubuli seminiferi dan durasinya selama spermatogenesis berlangsung. Selain itu, ukuran panjang penis muncak dapat digunakan untuk memprediksi ukuran panjang saluran reproduksi muncak betina yang penting diketahui untuk aplikasi teknik inseminasi buatan. Informasi mengenai karakteristik pertumbuhan ranggah muncak diperoleh dari dua ekor muncak jantan dewasa yang diberi kode ♂#2 dan ♂#3. Pengamatan dilakukan terhadap morfologi dan morfometri pertumbuhan RV dan RK post casting, serta durasi setiap periode ranggah. Pengamatan dilakukan selama mendekati satu siklus ranggah pada ♂#2, dan dua siklus ranggah pada ♂#3. Pada kegiatan ini juga diamati kaitan antara periode pertumbuhan ranggah dengan pemunculan perilaku spesifik, yaitu perilaku reproduksi dan agresif. Pertumbuhan RV dimulai setelah casting dengan urutan pertumbuhan ranggah velvet utama (RVU) dan diikuti ranggah velvet cabang (RVC). Kedua muncak mengalami urutan pertumbuhan RVU dan RVC yang sama, namun morfometrinya berbeda. Morfologi dan morfometri RK1 dan RK2 post casting pada ♂#2 berukuran lebih besar dan sudah memiliki cabang rangah dibandingkan RK1 dan RK2 pada ♂#3. Durasi masing-masing periode ranggah ♂#2 juga lebih panjang dibandingkan ♂#3 pada siklus ranggah pertama. Memasuki siklus ranggah kedua, terjadi perubahan morfologi dan peningkatan morfometri RK pada ♂#3. Hasil menunjukkan bahwa periode RK merupakan periode terpanjang dibandingkan periode C dan RV, dengan total durasi satu siklus ranggah muncak ♂#2 lebih lama (459 hari) dibandingkan ♂#3 pada siklus rangah pertama, yaitu 319 hari. Peningkatan umur dan ukuran tubuh ♂#3 berimplikasi terhadap perubahan morfologi dan peningkatan morfometri dan durasi satu siklus ranggah (489 hari). Oleh karena itu prediksi umur ♂#2 di awal penelitian adalah 5 tahun, sedangkan ♂#3 berumur 3 tahun. Prediksi umur ♂#2 dan ♂#3 tersebut diperlukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh status sosial, seperti peringkat dominasi dan pengaruh stimulo-social dari muncak betina fertil terhadap profil metabolit testosteron, aktivitas spermatogenesis, dan kualitas spermatozoa pada ♂#2 dan ♂#3, selama periode pertumbuhan ranggah. Perilaku reproduksi dan perilaku agresif ditemukan saat kedua muncak berada pada periode RK, dan jarang ditemukan pada periode C dan RV. Aplikasi metode enzymeimmunoassay (EIA) menggunakan asai testosteron Möstl telah memperlihatkan profil testosteron kedua muncak selama periode pertumbuhan ranggah. Penggunaan asai testosteron telah memberikan hasil yang dapat menerangkan adanya keterkaitan antara status sosial seperti peringkat dominasi antara ♂#2 dan ♂#3 dengan pola sekresi testosteron selama periode pertumbuhan ranggah. Pola sekresi testosteron diketahui dari hasil pengukuran konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) selama periode RK, C, dan RV. Konsentrasi iT ♂#2 pada periode RK lebih tinggi dibandingkan saat muncak tersebut berada pada periode C (p = 0.009) dan RV (p = 0.06). Tingginya konsentrasi iT pada periode RK juga dilaporkan pada Cervidae lainnya yang ditandai dengan peningkatan aktivitas reproduksi. Pola sekresi testosteron ♂#3 pada siklus ranggah pertama sedikit berbeda dengan ♂#2, yaitu konsentrasi iT pada periode RK1 lebih rendah dibandingkan periode C1 (p = 0.05), C2
(p = 0.0001), dan RK2 (p = 0.0003), namun tidak berbeda dengan RV1 dan RV2. Pada saat ♂#3 memasuki siklus ranggah kedua, pola sekresi testosteron mulai menyerupai pola sekresi testosteron ♂#2, walaupun secara statistik tidak berbeda. Perubahan pola sekresi tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya umur ♂#3 dan kematian ♂#2 pada saat ♂#3 berada pada awal periode RK2 dari siklus ranggah kedua. Pada periode awal pertumbuhan RV, konsentrasi iT relatif rendah dibandingkan pada periode RK. Pola ini dibuktikan dengan adanya korelasi negatif (pearson correlation, r = -0.785) antara laju pertumbuhan RV dengan konsentrasi iT pada ♂#2 dan secara statistik berbeda (p = 0.021), dan periode RV2 dari siklus ranggah kedua pada ♂#3 (pearson correlation, r = -0.574), namun secara statistik tidak berbeda (p = 0.311). Hasil lain memperlihatkan bahwa testosteron masih terdeteksi dalam konsentrasi yang lebih rendah walaupun muncak berada pada periode C dan RV. Hal ini mengindikasikan bahwa testosteron tetap diperlukan untuk kelangsungan aktivitas spermatogenesis selama satu siklus ranggah, meskipun aktivitas tersebut sedikit menurun dibandingkan saat muncak berada pada periode RK. Berdasarkan metode morfologi tubular, ditemukan delapan tahapan epitel tubuli seminiferi (tahapan spermatogenik) pada muncak. Frekuensi dan durasi masing-masing tahapan yang dikelompokkan atas tahap pre meiosis (tahap I-III), tahap meiosis (tahap IV), dan tahap post meiosis (tahap V-VIII) bervariasi. Frekuensi tahap pre meiosis 47.75% lebih tinggi dibandingkan tahap meiosis 6.87%, dan post meiosis 43.37%, dengan durasi setiap tahapan adalah 5.07 hari, 0.73 hari, dan 4.81 hari. Identifikasi terhadap perkembangan spermatid pada periode RK, C, dan RV memperlihatkan gambaran diferensiasi round spermatid menjadi elongated spermatid. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode C dan RV, aktivitas spermatogenesis masih berlangsung dan dibuktikan dengan masih tingginya konsentrasi spermatozoa pada kedua periode tersebut, yaitu 262.5 juta/ml pada periode C, dan 362.60 ± 17.68 pada periode RV. Konsentrasi spermatozoa tertinggi, yaitu 506.25 ± 61.87 juta/ml ditemukan pada periode RK. Hasil tersebut paralel dengan konsentrasi testosteron yang terdeteksi pada setiap periode ranggah, namun berbeda dengan rusa timor dan spesies rusa lainnya. Periode aktif reproduksi pada rusa timor dan spesies rusa di wilayah temperate berlangsung selama periode RK. Hal berbeda ditemukan pada formosan muntjak dan axis deer, kedua spesies tersebut aktif bereproduksi sepanjang siklus pertumbuhan ranggahnya seperti yang diperlihatkan oleh muncak penelitian.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI REPRODUKSI MUNCAK, Muntiacus muntjak muntjak JANTAN: KAJIAN ANATOMI, PROFIL METABOLIT TESTOSTERON, DAN SPERMATOGENESIS SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH
SRI WAHYUNI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Drh. Amrozi Dr. Drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, M.Si. Dr. Drh. Bambang Purwantara, M.Sc.
Judul Disertasi
Nama NIM
: Karakterisasi Reproduksi Muncak, Muntiacus muntjak muntjak Jantan: Kajian Anatomi, Profil Metabolit Testosteron, dan Spermatogenesis selama Periode Pertumbuhan Ranggah. : Sri Wahyuni : B362080011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Drh. Tuty L. Yusuf, M.S. Ketua
Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet (K). Anggota
Dr. Drh. Muhammad Agil, M.Sc. Agr. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Drh. M. Agus Setiadi
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 15 Mei 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul Karakterisasi Reproduksi Muncak, Muntiacus muntjak muntjak Jantan: Kajian Anatomi, Metabolit Testosteron, dan Spermatogenesis selama Periode Pertumbuhan Ranggah, diajukan untuk memperoleh gelar doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Drh. Tuty L. Yusuf, M.S., Bapak Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet (K), dan Bapak Dr. Drh. Muhammad Agil, M.Sc. Agr., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, dan saran yang diberikan selama penulis menjalani penelitian menempuh pendidikan doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi doktor di PS BRP, SPs IPB. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs IPB) yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa di SPs IPB angkatan 2008. 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional atas pemberian dana BPPS, beasiswa Sandwich-like 2010, dan Hibah Penelitian Disertasi Doktor tahun 2011. 4. Pemerintah Provinsi Aceh atas bantuan beasiswa yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. 5. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan instansi terkait: Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah dan BKSDA Jawa Barat atas proses perizinan penggunaan muncak pada penelitian ini. 6. Pusat Penelitian Biologi LIPI atas rekomendasi yang diberikan terkait penggunaan muncak penelitian. 7. Ibu Dr. Drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet dan Bapak Dr. Drh. Amrozi, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. 8. Bapak Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, M.Si. dan Bapak Dr. Drh. Bambang Purwantara, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. 9. Bapak Prof. Dr. Drh. M. Agus Setiadi selaku Ketua PS BRP, SPs IPB beserta seluruh staf pendidik dan kependidikan atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama menjalankan studi di PS BRP. 10. Bapak Dr. Drh. Amrozi selaku Kepala Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) FKH IPB beserta staf atas izin penggunaan fasilitas kandang dan laboratorium serta bantuan teknis selama penelitian berlangsung. 11. Dr. Drh. Nurhidayat, PAVet, selaku Kepala Laboratorium Anatomi beserta staf: Prof. Dr. Drh. Koeswinarning Sigit, M.S., Dr. Drh. Heru Setijanto, PAVet., Dr. Drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet., Dr. Drh. Savitri Novelina, M.Si, PAVet, dan Drh. Supratikno, M.Si, PAVet., yang telah memberikan
fasilitas untuk penelitian dan bimbingan selama penulis meneliti di Laboratorium Anatomi FKH IPB. 12. Prof. J. Keith Hodges dan Dr. Michael Heistermann dari Reproductive Biology Unit, German Primate Center, Goettingen, Germany beserta staf (Petra Kiesl dan Andrea Heistermann) atas bimbingan pada kegiatan analisis hormon muncak dalam Program Sandwich-like 2010. 13. Drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si, Ph.D, PAVet., Ir. Asri Pudjirahaju, M.Si, dan Gholib, S.Pt, M.Si, atas segala bantuan yang diberikan selama penelitian. 14. Rumah Sakit Hewan IPB atas bantuan teknis saat proses pengambilan sampel penelitian. 15. Teman-teman PS. BRP angkatan 2008: Ir. Ekayanti M. Kaiin, M. Si., Ir. Tatan Kostaman, MP, dan Harry Murti, S.Si atas persahabatan yang baik, dukungan dan bantuan selama menjalankan studi di BRP. 16. Juliper Silalahi, SKH., Lidya M.Manik, SKH., Rissar Siringo Ringo, SKH, Danang Dwi Cahyadi, SKH., Drh. Dedi R.S, Bondan Achmadi, SE., Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, M.Si, PAVet., Drh. Kusdiantoro Mohammad, M.Si, PAVet., Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi Reproduksi (Forum Wacana BRP), Madia, Rudi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala bantuan yang diberikan. Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada suami tercinta Said Ashim, SE dan ananda tersayang Said Muhammad Muafi, serta ayahanda dr. H. Anwar Jakfar, M.S. dan ibunda Hj. Trimurti Chaidir, kakanda Sri Wartini dan Sri Maryam, serta adinda Sri Haryani, Rahmat Hidayat, dan Firman Hidayat, keluarga besar Walid (alm) H. Said Ismail dan Ummi Hj. Syarifah Nurbasty atas segala dukungan dan doa yang dipanjatkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2012 Sri Wahyuni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 November 1969 dari Ayahanda dr. H. Anwar Jakfar, M.S dan Ibunda Hj. Trimurti Chaidir sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Said Ashim, SE pada tahun 1996 dan dikarunai seorang putra, Said Muhammad Muafi. Saat ini penulis merupakan staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Pendidikan dokter hewan diselesaikan pada tahun 1994 dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Pada tahun 2005 penulis memulai pendidikan magister (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun dan di perguruan tinggi yang sama, penulis melanjutkan pendidikan program doktor (S3) pada Program Studi Biologi Reproduksi (BRP). Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksplorasi mengenai karakteristik reproduksi muncak jantan yang tersebar di Indonesia. Satwa tersebut merupakan satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1999. memberikan
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat
rekomendasi
bagi
program
pengembangbiakan
muncak
di
Indonesia. Sehubungan hal tersebut, penulis telah mensosialisasikan penelitian ini pada pertemuan Southeast Asia Veterinary Association (SEAVSA) di Bogor tahun 2010 dengan judul Testicular Needle Biopsy as an Alternative Biopsy Method for Assessment of Spermatogenesis in the Kijang Muntjak (Muntiacus muntjak muntjak). Publikasi pertama berjudul: Morfologi dan Morfometri Pertumbuhan Ranggah Velvet Muncak Jantan (Muntiacus muntjak muntjak), telah dimuat di Jurnal Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala tahun 2011. Publikasi berikutnya berjudul Histologi dan Histomorfometri Testis dan Epididimis Muncak, Muntiacus muntjak muntjak pada Periode Ranggah Keras, akan dimuat pada Jurnal Veteriner Universitas Udayana pada bulan September 2012.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………………….
xv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………….
xvii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………………
xviii
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………. Latar Belakang ……………………………………………………………… Perumusan Masalah ……………………………………………………….. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………. Manfaat Penelitian ………………………………………………………….. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………
1 1 4 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………… Muncak dan Status Konservasinya ………………………………………. Morfologi dan karakteristik Reproduksi Muncak Jantan………………… Pertumbuhan dan Siklus Ranggah ……………………………………….. Biosintesis dan Metabolisme Androgen ………………………………….. Metode Pengukuran Kadar Metabolit Steroid …………………………… Anatomi Organ Reproduksi Jantan ……………………………………….. Spermatogenesis dan Tahapan Epitel Tubuli Seminiferi Testis……….. Morfologi dan Kualitas Semen …………………………………………….. Peluang Pemanfaatan Ejakulat Muncak ………………………………….
9 9 10 13 15 17 19 21 24 25
ANATOMI DAN HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUNCAK JANTAN PADA PERIODE RANGGAH KERAS ……………………………………………. Abstrak ………………………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………….................. Pendahuluan ………………………………………………………………… Bahan dan Metode …………………………………………………………. Hasil dan Pembahasan ……………………………………………………. Simpulan …………………………………………………………………….. Daftar Pustaka ………………………………………………………………
29 29 29 30 32 37 67 67
KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN RANGGAH MUNCAK………………….. Abstrak ………………………………………………………………………. Abstract ……………………………………………………………………… Pendahuluan ………………………………………………………………… Bahan dan Metode …………………………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………………………….. Simpulan …………………………………………………………………….. Daftar Pustaka ………………………………………………………………
73 73 73 74 76 81 97 97
PROFIL METABOLIT TESTOSTERON MUNCAK JANTAN SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH ………………………………………… Abstrak ………………………………………………………………………. Abstract …………………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………………….. Bahan dan Metode ………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………………. Simpulan ……………………………………………………………………. Daftar Pustaka ………………………………………………………………
101 101 101 102 104 110 122 122
SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH……………………………. Abstrak ……………………………………………………………………… Abstract …………………………………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………………………… Simpulan ……………………………………………………………………. Daftar Pustaka ………………………………………………………………
127 127 127 128 130 137 161 161
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………………..
167
SIMPULAN DAN SARAN UMUM ………………………………………………….
175
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………...
176
LAMPIRAN ………………………………………………………………………….. .
187
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kelenjar asesoris pada beberapa spesies hewan ……………………….
20
2 Morfometri organ reproduksi muncak jantan ……………………………..
39
3 Perbandingan morfometri organ reproduksi jantan ……………………..
40
4 Karakteristik sel epitel germinal tubuli seminiferi muncak ………………
46
5 Morfometri duktus epididimidis muncak …………………………………..
52
6 Keberadaan kelenjar asesoris kelamin muncak ………………………….
56
7 Morfometri ranggah keras post casting pada muncak ...........................
89
8 Durasi siklus ranggah muncak …..…………………………………………
90
9 Kriteria penentuan umur muncak pada periode awal penelitian ……….
91
10 Perilaku percumbuan (courtship) pada muncak …………………………
93
11 Perilaku agresif pada muncak ……………………………………………..
95
12 Pemunculan perilaku reproduksi dan agresif pada muncak ……………
96
13 Frekuensi dan durasi delapan tahapan epitel tubuli seminiferi ……….
143
14 Ukuran sel germinal tubuli seminiferi testis muncak …………………….
146
15 Tahapan epitel tubuli seminiferi testis pada setiap periode …………….
147
16 Tipe sel germinal tubuli seminiferi testis ………………….………………
149
17 Morfometri testis dan skrotum muncak selama periode …….................
151
18 Morfometri spermatozoa muncak ...........................................................
153
19 Kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah……….
156
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alir kerangka penelitian ……………………………………………
7
2 Muncak (Muntiacus muntjak muntjak, Zimmermann 1780) jantan ……
9
3 Lokasi penyebaran muncak di Indonesia ……………………………….
10
4 Morfologi tulang kepala muncak jantan (Muntiacus sp) ……………….
11
5 Regulasi hormonal pertumbuhan ranggah Cervidae ………………….
14
6 Regulasi steroidogenesis androgen ……………………………………..
16
7 Anatomi testis ………………………………………………………………
21
8 Spermatogenesis pada mamalia …………………………………………
22
9 Morfologi spermatozoa mamalia …………………………………………
25
10 Bagan alir disain penelitian I ………………………………………………
36
11 Orientasi eksternal testis muncak ……………………………………….
37
12 Anatomi organ reproduksi muncak jantan ………………………………
38
13 Morfologi testis dan duktus epididimidis …………………………………
42
14 Struktur histologi testis muncak jantan ………………………………….
43
15 Tipe sel epitel germinal tubuli seminiferi testis muncak ………………..
45
16 Struktur histologi duktus epididimidis …………………………………….
51
17 Duktus deferens muncak ………………………………………………….
54
18 Morfologi kelenjar asesoris kelamin muncak ……………………………
55
19 Morfologi komparatif kelenjar asesoris kelamin muncak ………………
56
20 Struktur histologi ampula muncak ……………………………………….
58
21 Struktur histologi kelenjar vesikularis muncak ………………………….
59
22 Struktur histologi pars diseminata prostat muncak …………………….
61
23 Struktur histologi kelenjar bulbouretralis muncak ………………………
64
24 Morfologi penis muncak …………………………………………………..
65
25 Struktur histologi penis muncak ………………………………………….
66
26 Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) jantan ……………………………
77
27 Pengukuran panjang dan diameter ranggah keras …………................
78
28 Bagan alir disain penelitian II ……………………………………………..
80
29 Pertumbuhan ranggah velvet muncak …………………………………...
83
30 Morfometri pertumbuhan ranggah velvet ♂#2……….........................
85
31 Morfometri pertumbuhan ranggah velvet ♂#3……….………………….
86
32 Morfologi ranggah keras post casting ……………………………………
87
33 Perilaku percumbuan (courtship) pada muncak ………………………..
94
34 Perilaku agresif pada muncak …………………………………………….
95
35 Uji paralel dari asai testosteron (Möstl)...………………………………..
107
36 Bagan alir disain penelitian III…………….……………………………….
109
37 Konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#2 …………………………
111
38 Perbedaan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#2 ...………….
112
39 Konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#3 …………………………
113
40 Perbedaan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#3 …………….
114
41 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#2 ……………
118
42 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#3 siklus I …..
120
43 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#3 siklus II ....
120
44 Bagan alir disain penelitian IV …………………………………………….
136
45 Delapan tahapan epitel tubuli seminiferi muncak ………………………
139
46 Skema delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak ……….
140
47 Perkembangan sel germinal, durasi spermatogenesis ………………...
143
48 Spermatogenesis pada tubuli seminiferi testis ....................................
148
49 Morfologi spermatozoa muncak ………………………………………….
152
50 Ultrastruktur spermatozoa muncak ………………………………………
152
51 Morfologi spermatozoa abnormal pada muncak ……………………….
159
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) ………………………….
187
2
Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) ……………………….
188
3
Preparasi spermatozoa untuk SEM ………………………………………
189
4
Prosedur pewarnaan William ……………………………………………..
190
DAFTAR SINGKATAN Singkatan 5α-DHT 17β-HSD ♂#1 ♂#2 ♂#3 ABP ACTH C C1 C2 CNB D DHEA DHT DRKC DRKU DRVC DRVU E EIA GnRH HE HPG IB iT L LC LH P PAS PC Pl PRKC PRKU PRVC PRVU R RIA RK RK1 RK2 RK3
Kata 5α-dehidrotestosteron 17β-hidroksisteroid dehidrogenase Muncak jantan nomor 1 Muncak jantan nomor 2 Muncak jantan nomor 3 Androgen binding protein Adrenocorticothropic hormone Casting Casting 1 Casting 2 Core needle biopsy Diplotene Dehidroepiandrosteron Dehidrotestosteron Diameter ranggah keras cabang Diameter ranggah keras utama Diameter ranggah velvet cabang Diameter ranggah velvet utama Elongated spermatid Enzymeimmunoassay Gonadothropin releasing hormone Hematoksilin-eosin Hipotalamus-hipofise-gonad Inseminasi buatan Testosteron imunoreaktif Leptotene Least concern Luteinizing hormone Pachytene Periodic acid Schiff Principle cells Preleptotene Panjang ranggah keras cabang Panjang ranggah keras utama Panjang ranggah velvet cabang Panjang ranggah velvet utama Round spermatid Radioimmunoassay Ranggah keras Ranggah keras 1 Ranggah keras 2 Ranggah keras 3
RKC RKU RV RV1 RV2 RVC RVU SEM SHBG Ss Sz VNO Z
Ranggah keras cabang Ranggah keras utama Ranggah velvet Ranggah velvet 1 Ranggah velvet 2 Ranggah velvet cabang Ranggah velvet utama Scanning electron microscope Steroid hormone-binding globulin Spermatosit sekunder Spermatozoa Vomeronasal organ Zygotene
PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pengetahuan dan informasi mengenai biologi reproduksi suatu spesies satwa khususnya satwa liar sangat diperlukan untuk mensukseskan program konservasi satwa tersebut. Biologi reproduksi satwa liar bersifat spesifik spesies, dengan variasi kompleks yang meliputi struktur anatomi dan fungsi organ reproduksi, profil hormon reproduksi, siklus estrus pada betina, fisiologi gamet serta deposisi semen pada organ reproduksi betina. Data biologi reproduksi tersebut
sangat
penting
untuk
mendukung
program
pemeliharaan,
pengembangbiakan maupun penerapan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan, embrio transfer, fertilisasi in vitro, bank plasma nutfah (genome resource bank), mikromanipulasi gamet, semen sexing dan transfer inti sel somatis pada satwa liar (Comizolli et al. 2000; Andrabi dan Maxwell 2007). Selain itu informasi dasar mengenai biologi reproduksi satwa liar, juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan strategi pengelolaan satwa liar di penangkaran.
Keberhasilan
dari
strategi
tersebut
akan
menjamin
dan
meningkatkan populasi satwa yang dilindungi dan terancam punah. Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera bagian selatan. Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), status konservasi muncak (kecuali M. criniforns) adalah tergolong least concern (LC) atau berisiko rendah untuk punah (IUCN 2011).
Walaupun status muncak masih tergolong LC, namun seluruh sub
spesies muncak yang tersebar di Indonesia telah dilindungi seperti yang tercantum dalam Daftar Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 sejak tanggal 27 Januari 1999 (PHKA 2004). Penetapan status perlindungan muncak di Indonesia, disebabkan telah terjadinya penurunan populasi muncak di habitat alami. Laporan tentang populasi muncak di habitat alami maupun di area konservasi hingga saat ini belum tersedia. Kekhawatiran akan punahnya muncak di Indonesia menjadi alasan penting dilakukannya upaya pengembangbiakan muncak di luar kawasan konservasi. Namun demikian, upaya tersebut harus didukung dengan ketersediaan data aspek reproduksi yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas dan pola reproduksi muncak Indonesia yang sampai saat ini belum dilaporkan.
2
Cervidae jantan dicirikan dengan keberadaan ranggah (Bubenik 2006). Pada beberapa spesies rusa, pertumbuhan ranggah berkorelasi erat dengan aktivitas organ reproduksinya, seperti sintesis testosteron, spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa dan aktivitas kelenjar asesoris kelamin dalam menghasilkan plasma semen. Hal tersebut telah dilaporkan pada rusa timor jantan, yang memperlihatkan adanya keterkaitan antara aktivitas reproduksi dengan pertumbuhan ranggahnya (Handarini et al. 2004; Handarini dan Nalley 2008). Demikian pula pada spesies rusa lainnya seperti axis deer (Axis axis) (Loudon dan Curlewis 1988), pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus)
(Pereira
et
al.
2005)
dan
red
deer
(Cervus
elaphus)
(Bartos et al. 2009). Namun demikian, pola reproduksi seperti yang ditemukan pada beberapa spesies rusa tersebut sedikit berbeda pada formosan muntjak. Walaupun
pertumbuhan
ranggah
berkorelasi
erat
dengan
konsentrasi
testosteron, namun aktivitas reproduksi formosan muntjak tetap berjalan sepanjang tahun (Pei et al. 2009) yang ditandai dengan ditemukannya spermatozoa
motil pada berbagai stadia ranggah (Liu et al. 2004). Pola
reproduksi muncak yang tersebar di Indonesia hingga saat ini belum dilaporkan, apakah terdapat kemiripan dengan pola reproduksi formosan muntjak atau menyerupai pola reproduksi rusa yang hidup di berbagai negara termasuk Indonesia. Sejauh ini informasi mengenai pola reproduksi genus Muntiacus masih terbatas pada spesies reeves muntjak (Muntiacus reevesi) (Chapman dan Harris 1991) yang diintroduksi ke Inggris, dan sub spesies formosan muntjak (M. reevesi micrurus) yang berasal dari Taiwan (Pei et al. 2009). Di sisi lain, penelitian pada beberapa spesies rusa famili Cervidae di Indonesia telah dilakukan, diantaranya tentang karakteristik ranggah rusa timor (Cervus timorensis) (Semiadi 1997) dan pertumbuhan ranggah pada rusa bawean (Axis kuhlii) (Semiadi et al. 2003). Selain itu aplikasi teknik inseminasi buatan (IB) juga telah dilakukan pada rusa timor, rusa sambar (Cervus unicolor) dan rusa bawean (Dradjat 2002). Sehubungan hal tersebut, ada beberapa metode pengamatan yang dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dan pola reproduksi muncak selama satu siklus ranggah. Pengamatan tersebut dilakukan terhadap: 1) profil metabolit testosteron yang dilakukan secara non invasif, 2) pertumbuhan ranggah, dan 3) spermatogenesis dan kualitas semen selama periode pertumbuhan ranggah.
3
Pengamatan terhadap ketiga aspek reproduksi tersebut terlebih dahulu diawali dengan pengamatan terhadap anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan yang hingga saat ini datanya belum tersedia. Pada penelitian ini, penentuan karakteristik dan pola reproduksi muncak jantan berdasarkan profil metabolit testosteron terkait aktivitas steroidogenesis selama periode pertumbuhan ranggah, dilakukan dengan teknik non invasif menggunakan metode enzymeimmunoassay (EIA). Melalui teknik dan metode tersebut, aktivitas steroidogenesis selama periode pertumbuhan ranggah dapat dideteksi berdasarkan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT). Teknik non invasif telah dikenal luas sebagai teknik yang praktis, murah, dan cocok digunakan pada berbagai spesies satwa liar, baik yang berada di habitat ex situ maupun in situ (Mauget et al. 2007). Aplikasi metode EIA pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) (Heistermann et al. 1998; Agil 2007) telah memberikan hasil dengan tingkat validitas yang baik. Pada muncak, teknik analisis tersebut baru dilakukan pada formosan muntjak dengan metode radioimmunoassay (RIA) (Pei et al. 2009). Analisis dengan metode EIA sejauh ini belum dilakukan, sehingga metode EIA sangat sesuai diaplikasikan pada penelitian ini. Karakteristik dan pola reproduksi muncak jantan selama periode pertumbuhan ranggah dapat pula diketahui dari aktivitas spermatogenesis pada tubuli seminiferi testis muncak. Kemungkinan adanya perbedaan aktivitas spermatogenesis selama periode ranggah keras, casting, dan ranggah velvet, dapat diketahui berdasarkan proses diferensiasi spermatid untuk menghasilkan spermatozoa pada ketiga periode pertumbuhan ranggah tersebut. Diferensiasi spermatid dapat dideteksi menggunakan metode pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). Evaluasi terhadap semen muncak dapat memberi gambaran tentang aktivitas spermatogenesis dan fertilitas muncak selama satu siklus ranggah. Motilitas, konsentrasi, jumlah spermatozoa hidup dan tingkat abnormalitasnya menjadi karakteristik penting dalam menentukan fertilitas satwa tersebut. Selain itu, data tentang kualitas spermatozoa selama periode pertumbuhan ranggah dapat digunakan untuk menentukan waktu yang tepat untuk penampungan semen. Manfaat lainnya adalah sebagai data pendukung pada teknik preservasi spermatozoa muncak yang dapat digunakan untuk IB dan disimpan sebagai materi genetik.
4
Perumusan Masalah Informasi berupa data lengkap yang berhubungan dengan karakteristik reproduksi pada muncak jantan belum dilaporkan, yaitu: 1. Anatomi dan histologi organ reproduksi. 2. Pertumbuhan ranggah, durasi siklus ranggah dan perilaku spesifik selama periode ranggah. 3. Profil hormon reproduksi selama periode pertumbuhan ranggah. 4. Aktivitas reproduksi selama periode pertumbuhan ranggah yang dikaitkan dengan spermatogenesis dan kualitas semen. 5. Pola reproduksi selama periode pertumbuhan ranggah.
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendukung program konservasi muncak melalui penyediaan data yang berhubungan dengan aspek reproduksi, baik yang dilakukan dengan perkawinan alami maupun penerapan teknologi reproduksi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah mempelajari
karakteristik
reproduksi
muncak
jantan
selama
periode
pertumbuhan ranggah dengan cara menganalisis dan menggali informasi mengenai: 1. Anatomi dan histologi organ reproduksi. 2. Pertumbuhan ranggah dan durasi siklus ranggah, serta perilaku spesifik selam periode pertumbuhan ranggah. 3. Profil metabolit testosteron dan korelasinya dengan pertumbuhan ranggah. 4. Spermatogenesis dan kualitas semen.
Manfaat Penelitian Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan informasi mengenai karakteristik reproduksi muncak jantan yang dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi pada program pengembangbiakan muncak di penangkaran. 2. Sebagai data dasar untuk aplikasi teknologi reproduksi pada muncak. 3. Mendukung program konservasi plasma nutfah melalui preservasi semen muncak.
5
4. Mendukung program budidaya muncak yang dapat digunakan sebagai satwa harapan penghasil protein alternatif asal hewan.
Kerangka Pemikiran Ranggah merupakan karakteristik reproduksi sekunder yang dimiliki oleh sebagian besar Cervidae jantan, termasuk muncak. Pertumbuhan ranggah bersifat tahunan yang disebut dengan siklus pertumbuhan ranggah. Satu siklus pertumbuhan ranggah terbagi atas periode ranggah keras (RK), tanpa ranggah atau casting (C), dan ranggah lunak atau ranggah velvet (RV). Tumbuh kembangnya ranggah, berada dibawah kontrol poros hipotalamus-hipofise-gonad yang melibatkan GnRH dari hipotalamus, LH dari hipofise anterior dan testosteron dari gonad (testis). Tingginya konsentrasi LH yang terjadi pada periode ranggah keras (RK) akan menstimulasi sel-sel Leydig testis untuk mensintesis testosteron dalam konsentrasi tinggi. Testosteron diperlukan untuk membantu
spermatogenesis
(efek
parakrin)
khususnya
pada
proses
spermiogenesis. Tingginya konsentrasi testosteron selama periode RK akan meningkatkan aktivitas spermatogenesis yang dapat diketahui dari konsentrasi spermatozoa, meningkatkan perilaku agresif dan tingginya libido. Pada akhir periode RK dan saat memasuki periode C, konsentrasi testosteron menurun drastis. Kondisi ini terjadi karena testosteron dalam konsentrasi tinggi di sirkulasi darah memberikan umpan balik negatif ke hipotalamus dan hipofise, sehingga sekresi GnRH dan LH menurun. Akibatnya konsentrasi testosteron juga menurun dan berefek pada penurunan aktivitas reproduksi. Setelah periode C, muncak memasuki periode RV yang ditandai dengan masih rendahnya testosteron akibat belum optimalnya rangsangan LH pada sel Leydig testis. Akhir periode RV (shedding) merupakan awal periode RK baru dengan konsentrasi testosteron yang tinggi dan muncak memasuki periode aktif reproduksi. Dari uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa konsentrasi testosteron berpengaruh terhadap periode pertumbuhan ranggah, spermatogenesis dan kualitas spermatozoa dan pemunculan perilaku spesifik seperti perilaku reproduksi dan agresif. Sejauh mana keterkaitan antara testosteron dan beberapa aktivitas reproduksi pada muncak jantan, dapat diketahui dari kegiatan penelitian yang dibagi atas empat tahapan penelitian. Masing-masing penelitian dilakukan dengan metode spesifik yang hasil dan pembahasannya disampaikan pada bagian tersendiri dari disertasi ini, dengan judul:
6
1. Anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan. 2. Karakteristik pertumbuhan ranggah muncak jantan. 3. Profil metabolit testosteron muncak jantan selama periode pertumbuhan ranggah. 4. Spermatogenesis
dan
kualitas
semen
muncak
selama
periode
pertumbuhan ranggah. Keterkaitan antara data yang diperoleh setiap penelitian tersebut khususnya data penelitian II, III, dan IV, akan dibahas di bagian pembahasan umum dari disertasi ini. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui fertilitas dan status reproduksi muncak jantan selama satu siklus ranggah.
7
MUNCAK JANTAN C
RV
RK PERIODE RANGGAH HIPOTALAMUS (GnRH)
PENELITIAN I: ANATOMI DAN HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUNCAK JANTAN
HIPOFISE ANTERIOR (LH) GONAD (TESTIS) Sel Leydig
TESTOSTERON
PENELITIAN II: KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN RANGGAH
1. Pertumbuhan RV 2. Morfologi dan morfometri RK 3. Siklus ranggah 4. Perilaku spesifik
PENELITIAN III: PROFIL METABOLIT TESTOSTERON
1. Profil testosteron imunoreaktif (iT) 2 . Korelasi iT dan pertumbuhan RV
PENELITIAN IV: SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN
1. Spermatogenesis pada periode RK 2. Spermatogenesis pada periode RK, C, dan RV 3. Kualitas semen pada Periode RK, C, dan RV
KARAKTERISTIK REPRODUKSI MUNCAK JANTAN
AKTIVITAS DAN POLA REPRODUKSI MUNCAK JANTAN
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran. GnRH: gonadotrophin releasing hormone, LH: luteinizing hormone, C: casting (lepas ranggah), RV: ranggah velvet, RK: ranggah keras.
TINJAU UAN PUST TAKA Muncak dan n Status Ko onservasiny ya Muncak (Muntia acus sp) terrgolong artio odactyla (he ewan berku uku genap) yang y tersebar luas di As sia (Gambar 2 dan 3). Pada P awalnyya, muncak terdiri atas sepuluh s spe esies, namu un saat ini h hanya tersisa lima spessies, yaitu: M. M reevesi, M. M rooseveltorum, M. feae, M. crinifrons dan M. muntjjak (Ma et al. 1986). Spesies S M muntjak (iindian muntj M. tjak) sering disebut barrking deer, terdiri t atas 15 sub spe esies yang tersebar t mu ulai dari Ind dochina, Ind dia, Srilanka a, Vietnam, Thailand, T Malaysia dan Indonesia. Beberapa sub spesies muncak yan ng terdapat di d Indonesia a adalah: M. m. montanu us di Pulau Sumatera S (b bagian utara dan barat) dan d
Nias,
M.
m.
robinsoni r
d di
Kepulauan
Riau
(Bintan)
da an
Linga;
M. M m. banccanus di Pu ulau Bangka a dan Belitu ung, M. m. muntjak di Sumatera Selatan S dan n Pulau Jawa a; M. m. ple echaricus di Pulau Kalim matan, Bawa al, Matasiri, dan d Pulau Jawa; da an M. m. nainggolan ni di Pulau u Bali dan n Lombok (Maryanto et e al. 2008). Sub spesie es M. m. Mu untjak Zimm mermann 178 80, disebut juga j munca ak jawa me emiliki gamb baran morfo ologis yang mirip deng gan indian muntjak. m De ensie (1970) mengklasifikasikan mun ncak sebaga ai berikut: ordo o
: Artiodacctyla
famili f
: Cervida ae
sub s famili
: Cervina ae
genus g
: Muntiaccus
spesies s
: Muntiaccus muntjak
sub s spesies
: Muntiaccus muntjak muntjak, Zim mmermann 1 1780
Gambar 2
Muncak (M Muntiacus mu untjak muntja ak, Zimmermann 1780) jantan pada periode ra anggah velvet.
10
Muncak (M. m. muntjak) dan sub spesies muncak lainnya yang tersebar di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia, seperti yang tercantum di dalam Daftar Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999, sejak tanggal
27 Januari 1999 (PHKA 2004). Namun
demikian, satwa ini belum tercantum di dalam Daftar Appendix CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora). Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), terdapat satu spesies muncak dengan status vulnerable di dunia, yaitu Muntiacus crinifrons (Black Muntjak) yang berasal dari China (Wemmer 1998). Sedangkan spesies muncak lainnya termasuk bahan penelitian ini (M. m. muntjak) masih memiliki status least concern (IUCN 2011). Populasi muncak di habitat asli diduga semakin menurun, seperti yang terjadi pada populasi spesies satwa liar Indonesia lainnya. Penyebab utama dari penurunan populasi muncak di Indonesia adalah hilangnya habitat satwa seiring dengan alih fungsi hutan sebagai lahan pertanian, dan maraknya perburuan liar.
Gambar 3 Lokasi penyebaran muncak di Indonesia yang meliputi Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Bali dan Lombok (Sumber: IUCN 2011).
Morfologi dan Karakteristik Reproduksi Muncak Jantan Secara umum, tubuh seluruh spesies muncak (Muntiacus sp) ditutupi oleh rambut pendek, lembut, berwarna kuning hingga coklat tua serta abu-abu kecoklatan. Rambut di bagian perut berwarna lebih terang (Worlddeer 2005; Maryanto et al. 2008). Muncak jantan berukuran lebih besar dari betina dengan berat badan 22 kg (jantan) dan 20 kg (betina) (Philips 1984), memiliki ranggah, taring dan kelenjar preorbital di bagian frontal wajah. Kelenjar ini berfungsi sebagai penghasil sekreta yang berfungsi sebagai marker untuk menentukan daerah teritorialnya (Jackson 2002). Ukuran tubuh M. muntjak sedikit lebih besar
11
dibandingkan dengan M. crinifrons, yaitu dengan rataan panjang tubuh 1043 mm, tinggi bahu 611 mm, panjang kepala 209 mm dengan ukuran fossa lacrimalis lebih kecil dari pada fossa orbitalis (Ma et al. 1986). Ranggah merupakan organ asesoris reproduksi sekunder yang tumbuh apabila seekor rusa jantan telah mencapai pubertas (Wallace dan Birtles 1985). Selain sebagai simbol keindahan, ranggah juga digunakan sebagai organ pertahanan saat terjadi perkelahian dengan jantan lainnya (Price et al. 2005). Dari seluruh Cervidae jantan di dunia, hanya ada beberapa spesies yang tidak memiliki ranggah, yaitu chinese water deer (Hydropotes inermis), rusa musk (Moschus chrysogaster) dan mouse deer (Moschiola mimenoides). Selain pada rusa jantan, ranggah juga ditemukan pada rusa betina, yaitu pada rheindeer (Rangifer tarandus), namun ukuran ranggahnya lebih kecil dibandingkan rheindeer jantan (Rajaram 2004). Muncak yang tergolong Cervidae memiliki bentuk ranggah yang berbeda dengan ranggah Cervidae lainnya, yaitu berukuran pendek dengan ujung tanduk cenderung melengkung ke dalam pada muncak berumur tua dan memiliki pedikel (dasar ranggah) yang panjang (Gambar 4). Panjang ranggah pada beberapa spesies muncak bervariasi, yaitu 29-47 mm pada M. reevesi, 38-47 mm pada M. rooseveltorum, 36-49 mm pada M. feae, 48-55 mm
pada
M. crinifrons dan 48-84 mm pada M. Muntjak
(Ma et al. 1986).
Gambar 4 Morfologi tulang kepala muncak jantan (Muntiacus sp). Muntiacus reevesi (kiri), Muntiacus feae (tengah) dan Muntiacus muntjak (kanan). Ranggah (1), pedicle (2), frontal ridge (3), os temporale (4), os frontale (5), foramen orbitalis (6), fossa lacrimalis (7), os nasale (8), os premaxillaris (9), dan os maxillaris (10) (Sumber: Ma et al. 1986).
12
Ciri khas muncak jantan lainnya adalah sepasang gigi taring atas yang tumbuh dari os maxillaris dengan ukuran sekitar 2 cm yang tetap terlihat saat mulutnya tertutup. Pada saat melakukan aktivitas reproduksi, taring lebih berperan sebagai alat pertahanan saat terjadi kompetisi dengan jantan lainnya dari pada ranggah (Chapman 1997). Selain itu, muncak memiliki vokalisasi spesifik berupa suara gongongan sebagai panggilan atau peringatan kepada muncak lainnya agar menghindar dari predator. Namun vokalisasi tersebut tidak digunakan pada saat aktivitas reproduksi dan untuk penentuan teritorialnya (Oli dan Jacobson 1995). Perilaku reproduksi M. muntjak secara umum mirip dengan Cervidae lainnya, yaitu poligami pada jantan dan poliestrus pada betina. Aktivitas organ reproduksi jantan dan betina berlangsung setelah muncak berumur di atas satu tahun. Siklus estrus muncak betina berkisar antara 14-21 hari dengan durasi estrus selama dua hari. Sedangkan periode gestasi berlangsung selama 210 hari dengan jumlah anak 1-2 ekor per kelahiran (Jackson 2002) dengan jarak per kelahiran sekitar tujuh bulan (Barrette 2008). Aktivitas reproduksi formosan muntjak (Muntiacus reeves micrurus) menunjukkan pola yang tidak berhubungan dengan periode pertumbuhan ranggah dan konsentrasi testosteron. Walaupun diketahui testosteron dibutuhkan dalam konsentrasi tinggi untuk pertumbuhan ranggah, namun pada saat konsentrasi testosteron rendah, spermatogenesis tetap berlangsung (Pei et al. 2009). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya spermatozoa selama satu siklus ranggah (Liu et al. 2004). Aktivitas reproduksi muncak seperti tersebut diatas berbeda dengan Cervidae yang hidup di negara empat musim yang dipengaruhi oleh panjangpendeknya hari (photoperiod). Pada saat intensitas pencahayaan sedikit, terjadi peningkatan sekresi hormon gonadotropin, aktivitas testikular dan aktivitas reproduksi lainnya (Lincoln 1985; Semiadi 1995). Ukuran testis, kelenjar asesoris kelamin, sekresi hormon dan spermatogenesis mengalami perubahan mengikuti siklus ranggah. Pada saat ranggah keras aktivitas reproduksi semakin meningkat, yang ditandai dengan terjadinya perkawinan antara rusa jantan dan betina (Lincoln 1985). Namun demikian pada beberapa spesies rusa lainnya ditemukan adanya variasi pada aktivitas perkawinan. Pada red deer (Cervus elaphus), aktivitas reproduksi dimulai dua bulan sebelum musim gugur berlangsung (Suttie dan Kay 1985). Sedangkan pada roe deer (Capreolus
13
capreolus), perkawinan lebih sering terjadi pada musim panas antara bulan Mei sampai Agustus (Sempere 1990; Blottner et al. 1996). Pertumbuhan dan Siklus Ranggah Ranggah
merupakan
satu-satunya
organ
pada
mamalia
yang
mengalami perpanjangan dan mampu beregenerasi secara berulang. Setiap tahun ranggah lepas dan tumbuh kembali dari blastema dan selanjutnya bercabang. Ranggah terdiri atas kulit, syaraf, buluh darah, jaringan fibrosa, tulang rawan (kartilago) dan tulang keras. Struktur ranggah tersebut berbeda dengan tanduk pada ruminansia lain seperti kerbau dan kambing. Tanduk ruminansia merupakan jaringan yang mengalami keratinisasi yang tumbuh dibawah kontrol sel-sel mesenkim pada lapisan basal tanduk. Pada beberapa spesies rusa, ranggah dapat tumbuh sekitar 2 cm per hari, sehingga ranggah disebut sebagai organ yang mengalami pertumbuhan tercepat dibandingkan organ lainnya (Price dan Allen 2004; Price et al. 2005). Regenerasi ranggah bersifat tahunan dan terjadi secara berulang disepanjang hidup Cervidae jantan. Fenomena konsentrasi
tersebut berbeda
dipengaruhi
oleh
keberadaan
sesuai
dengan
tahapan
testosteron regenerasi
dengan ranggah
(Suttie et al. 1992). Pada roe deer (Capreolus capreolus), pertumbuhan ranggah berlangsung setelah bulan Januari di saat periode pencahayaan dan konsentrasi testosteron mulai meningkat. Namun pada sebagian besar Cervidae lainnya, proses tersebut terjadi pada musim panas (Sempere dan Boissin 1981). Pertumbuhan ranggah pada Cervidae yang hidup di daerah beriklim tropis, sub tropis, dan beriklim sedang, terbagi atas empat tahapan pertumbuhan, yaitu tahap pedicle, tahap ranggah lunak (velvet), tahap ranggah keras (hard antler) dan tahap lepas ranggah (casting) (Fennessy dan Suttie 1985). Suatu siklus ranggah diawali dengan inisiasi pertumbuhan pedicle pada Cervidae jantan yang memasuki usia pubertas. Pada red deer (Cervus elaphus), inisiasi tersebut berhubungan erat dengan peningkatan konsentrasi testosteron plasma sebagai respon terhadap perubahan sekresi LH. Pertumbuhan ranggah pada jantan pubertas dan dewasa terjadi pada saat konsentrasi testosteron plasma menurun atau rendah yang disebabkan adanya mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofise karena tingginya konsentrasi testosteron selama periode ranggah keras. Akibatnya sekresi GnRH dan LH berkurang (Gambar 5) (Fennessy dan Suttie 1985). Peningkatan testosteron plasma secara
14
signifikkan terjadi pada saat proses p peng gelupasan kulit k velvet rranggah. Na amun pada tahap castin ing, konsenttrasi hormon tersebut sangat rend dah dan bahkan pesies rusa temperate konsentrasinya tidak te erdeteksi, se eperti pada beberapa sp d pada red dee er (Price et al. a 2005). yang dilaporkan
ar 5 Regulasi hormonal pertumbuha an ranggah pada Cervidae. Gonadottropin Gamba einizing hormone (LH), cassting (C), ran nggah releasiing hormone (GnRH), lute velvet (RV), pengelupasan kulit vvelvet atau sh hedding (S), d dan ranggah keras (RK). (Modifikasi ( da ari Fennessy dan Suttie 19 985).
Analisis histologi h terh hadap form masi dan id dentifikasi ta ahapan osiffikasi pedicle e dan awal pertumbuha an ranggah pada Cervidae jantan yang mema asuki usia pubertas p dije elaskan oleh Li dan Sutttie (1994). Tahap T pertam ma adalah tahap osifika asi intramem mbran, dita andai denga an dimulain nya proses proliferasi dan diferen nsiasi sel-se el antlerogen nik menjadi osteoblas ya ang selanjuttnya membe entuk trabeccular bone di dalam periosteum. p Tahap ked dua adalah tahap osiffikasi transis sional yang berlangsung pada saa at panjang pedicle p men ncapai 5-10 mm. Tahap p ini ditandai dengan n terbentukknya jaring gan kartilag go oleh se el-sel antlero ogenik yang terdapat pa ada permuka aan apikal. Sel-sel S antle erogenik terssebut selanju utnya berdiferensiasi menjadi ko ondrosit. Ta ahap ketiga a adalah tahap osifika asi endokon ndral yang ditandai de engan berla angsungnya a kondrogen nesis pedicle e. Sedangka an tahap keempat adala ah tahap osifikasi endokkondral rang ggah.
15
Tahap ini merupakan tahap akhir yang ditandai dengan berlanjutnya proses osifikasi kondrogenik hingga terbentuk ranggah. Onset formasi ranggah ditandai dengan munculnya selaput tipis (velvet skin) yang menutupi bagian ujung distal pedicle.
Biosintesis dan Metabolisme Androgen Pada hewan jantan terdapat tiga jenis hormon steroid yang berperan penting dalam sistem reproduksi, yaitu testosteron, dihidrotestosteron dan estradiol. Dari ketiga jenis hormon steroid tersebut, testosteron memiliki peran dominan. Sekitar 95% testosteron disintesis dan disekresikan oleh sel-sel Leydig tubuli semeniferi testis, sedangkan sebagian kecil lainnya disekresikan oleh kelenjar adrenal. Selain testosteron, sel-sel Leydig testis juga mensekresikan androgen lainnya, yaitu dehidrostestosteron (DHT), dehidroepiandrosteron (DHEA) dan androstenedion yang kurang memiliki efek androgen dibandingkan testosteron. Sel-sel Leydig juga menghasilkan beberapa hormon steroid lainnya dalam
jumlah
kecil,
seperti
estradiol,
estron,
pregnenolon,
17α-
hidroksipregnenolon dan 17α-hidroksiprogesteron (Braunstein 1997). Pada vertebrata, biosintesis hormon steroid seperti testosteron dan metabolitnya berasal dari kolesterol sebagai prekursor hormon (Koolman dan Röhm 2001).
Biosintesis testosteron oleh sel-sel Leydig dapat berlangsung
akibat stimulus luteinizing hormone (LH) yang dihasilkan oleh sel-sel LH di hipofise anterior. Hormon ini bekerja secara sinergis dengan follicle stimulating hormone (FSH) dan prolaktin. Peran prolaktin pada proses sintesis testosteron adalah dengan meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor LH di membran sel Leydig. Adanya interaksi antara LH dan reseptornya akan mengaktifkan sistem adenilat
siklase,
termasuk
aktivasi
protein
kinase
dan
sintesis
RNA
(Pineda 2003), sehingga terjadi peningkatan sintesis pregnenolon dengan jumlah rantai karbon 21 (C21) dari kolesterol (C27) oleh mitokondria sel-sel Leydig. Hasil akhir dari proses tersebut adalah testosteron (C19) (Koolman dan Röhm 2001; Pineda 2003). Jalur biosintesis hormon androgen (Gambar 6) diawali dengan proses konversi kolesterol menjadi pregnenolon oleh enzim cytochrome P450 side-chain cleavage (P450scc) yang berlangsung di mitokondria sel Leydig. Pregnenolon selanjutnya berdifusi ke sitoplasma dan dikonversikan melalui jalur ∆5 atau ∆4 dengan produk akhir testosteron. Pada jalur ∆5, pregnenolon diubah menjadi 17α-pregnenolon oleh P450c17/C17 hidroksilase dan akan berubah menjadi
16
DHEA A oleh P450c17 t manussia, jalur ∆5 lebih c /C17,20 liase/desmollase. Pada testis dominan dibandin ngkan denga an jalur ∆4. Walaupun DHEA dapat dikonvers sikan menjadi
testostteron
mela alui
andro ostenedion
oleh
17β-hidroksisteroid
dehidrrogenase (1 17β-HSD) dan d 3β-hidroksisteroid dehidrogen nase (3β-H HSD). Jalur ∆4 lebih dominan dite emukan pad da testis ro odensia den ngan mengubah enolon men njadi progesteron oleh h 3β-HSD. Tahap sela anjutnya ad dalah pregne terjadinya
konve ersi
proge esteron
menjadi
α-hidroksipro ogesteron 17α
dan
androsstenedion oleh P450c17, sedangkan n androsten nedion akan diubah me enjadi testosteron sebag gai produk akkhir oleh 17β β-HSD (Hikim m et al. 2005 5).
Gamba ar 6 Regulassi steroidogenesis androg gem oleh lutteinizing horm mone (LH). Kotak K hitam menunjukkan m proses yan ng berlangsung di mitoko ondria sel Leydig testis, garis hitam tebal menun njukkan jalur steroidogen nik dominan pada a. STAR = steroidoge enic acute regulatory p protein (Sum mber: manusia Hikim et al. 2005).
17
Testosteron yang memasuki sirkulasi darah terikat pada albumin serum dan steroid hormone-binding globulin (SHBG). Senyawa ini merupakan suatu glikosilasi protein dimer yang terutama diekspresikan di hati dan selanjutnya memasuki sel secara difusi. Testosteron dapat dikonversikan menjadi 5α-DHT oleh dua tipe isoenzim mikrosomal, yaitu 5α-reduktase-1 dan 5α-reduktase-2. Enzim 5α-reduktase-2 akan mengkonversi testosteron menjadi 5α-DHT pada organ genital. Enzim ini dikode oleh gen SRD5A2 yang terdapat di kromosom 2 (2p23) dan hanya diekspresikan oleh jaringan genital yang bergantung pada androgen. Selain itu, testosteron juga dapat diaromatisasi menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase sitokrom P450 (P450arom) di jaringan perifer. Walaupun estradiol-17β merupakan hormon steroid utama pada betina, namun pada jantan hormon ini diperlukan dalam konsentrasi kecil pada proses spermatogenesis, libido, dan beberapa fungsi reproduksi lainnya (Meaden dan Chedrese 2009). Menurut Hodges dan Heistermann (2003); Heisterman (2010), hormon steroid yang beredar di sirkulasi darah akan mengalami perubahan metabolik di hati atau ginjal sebelum dieliminasi oleh tubuh. Perubahan yang terjadi secara alami bervariasi di antara spesies hewan, baik dari jenis metabolit maupun jalur ekskresinya. Informasi yang diperoleh dari variasi tersebut, pada tahap berikutnya akan bermanfaat untuk memilih teknik pengukuran metabolit hormon steroid dan interpretasi hasil yang akurat. Metabolisme hormon steroid seperti androgen secara mayoritas berlangsung di hati, namun beberapa aktivitas katabolik juga berlangsung di ginjal. Metabolit steroid yang dihasilkan akan diekskresikan
oleh
ginjal
melalui
urin,
sedangkan
sistem
empedu
mengekskresikan metabolit melalui feses (Amaral et al. 2009). Hormon androgen yang beredar di sirkulasi darah akan dikonversikan oleh hati menjadi beberapa metabolit androgen, seperti androsteron dan etiokolanolon. Metabolit androgen tersebut selanjutnya akan terkonjugasi dengan glukoronik dan asam sulfat sebelum diekskresikan melalui urin sebagai 17-ketosteroid
(sekitar
20-30%),
sedangkan
sisanya
merupakan
hasil
metabolisme steroid kelenjar adrenal (Meaden dan Chedrese 2009). Metode Pengukuran Konsentrasi Metabolit Steroid Penentuan konsentrasi hormon reproduksi jantan (androgen) dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemeriksaan hormon dari plasma (Morais et al. 2002), urin dan feses (Busso et al. 2004). Teknik pemeriksaan rutin melalui plasma yang diperoleh dari darah juga dapat dilakukan pada hewan
18
ternak, namun teknik tersebut sedikit berisiko bila dilakukan pada satwa liar, karena harus melewati prosedur imobilisasi dengan bahan kimia dan restrain fisik (Hamasaki et al. 2001). Oleh karena itu perlu dilakukan teknik pemeriksaan lainnya yaitu dengan teknik non invasif. Teknik ini sangat sesuai bila diaplikasikan pada satwa liar untuk tujuan penelitian jangka panjang (longitudinal study), baik di lingkungan in situ maupun ex situ. Dengan pendekatan non invasif, hewan terhindar dari stres akibat proses restrain yang biasa dilakukan pada teknik invasif. Teknik non invasif dapat diaplikasikan untuk menganalisis metabolit hormon yang terdapat pada feses dan urin (Mateo dan Cavigelli 2005; Washburn et al. 2004). Poole et al. (1984), menggunakan teknik tersebut untuk menentukan konsentrasi testosteron dari sampel feses dan urin gajah liar afrika (Loxodonta africana), Hamasaki et al. (2001) pada sika deer (Cervus nippon), Morato et al. (2004) pada jaguar (Panthera onca), dan Mauget et al. (2007) pada chinese water deer (Hydropotes inermis) Pada tahap berikutnya penelitian mengenai teknik ini terus berkembang, terutama yang berhubungan dengan improvisasi metode analisis, transportasi dan purifikasi sampel (Ziegler dan Wittwer 2005). Proses validasi monitoring non invasif terhadap variasi metabolit androgen yang terdapat di dalam ekstrak feses juga telah dilakukan pada beberapa spesies satwa liar, seperti spotted hyena (Crocuta crocuta) (Dloniak et al. 2004) dan Gajah Afrika (Loxodonta africana) (Ganswindt et al. 2005). Pada satwa betina aplikasi teknik ini telah dilaporkan untuk menentukan siklus ovariumnya, seperti pada badak putih (Ceratotherium simum simum) (Patton et al. 1999; Schwarzenberger et al. 1998), schimitar horned-oryx (Oryx dammah) (Morrow dan Monfort 1998) dan okapi (Okapia jhonstoni) (Kusuda et al. 2007). Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk menganalisis profil hormon reproduksi dengan memanfaatkan sampel feses, yaitu: 1) koleksi sampel feses dari lapangan, 2) penanganan dan persiapan sampel feses, dan 3) analisis laboratorium. Sebelum sampling dilakukan, perlu diketahui kondisi lapangan tempat sampel berada dan jumlah feses yang akan dikoleksi. Hal tersebut berkaitan dengan proses transportasi sampel dari lapangan hingga tahap analisis laboratorium dilakukan (Ziegler dan Wittwer 2005). Proses penyimpanan sampel sangat menentukan kualitas hormon yang akan dianalisis. Metabolisme bakteri gastrointestinal yang terdapat di feses secara cepat akan merusak hormon yang diekskresikan (Heistermann 2010). Metode terdahulu yang dilakukan untuk
19
sampling feses di lapangan adalah menyimpan sampel menggunakan alkohol sebagai bahan preservatif hingga tahap analisis dilakukan. Namun metode ini memiliki kelemahan, yaitu dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur steroid
hormon
akibat
terbatasnya
udara
pada
saat
transportasi
(Khan et al. 2002). Untuk itu, telah dilakukan beberapa metode penyimpanan yang dapat mempertahahankan kondisi sampel yang dikoleksi, seperti pembekuan sampel (freezing samples), dan pengeringan sampel (drying samples). Proses pengeringan (lyophilization) sampel feses merupakan tahapan penting untuk mengawetkan metabolit hormon steroid agar dapat disimpan dalam waktu lama, sehingga konsentrasi metabolit steroid yang akan diperiksa tidak berubah secara signifikan (Hunt dan Wasser 2003).
Tahap berikutnya
adalah ekstraksi sampel di yang dilanjutkan dengan tahap analisis laboratorium. Sampel feses yang telah diekstraksi dapat dianalisis secara langsung dengan teknik enzymeimmunoassay menggunakan antibodi spesifik terhadap hormon yang akan dideteksi (Ziegler dan Wittwer 2005). Pengukuran hormon dan metabolit hormon biasanya dilakukan dengan prosedur imunologi menggunakan antibodi hormon atau antibodi grup spesifik hormon. Ada dua metode immunoassay yang tersedia, yaitu radioimmunoassay (RIA) dan enzyme immunoassay (EIA). Metode RIA dilakukan dengan melabel hormon dengan marker radioaktif tertentu, sedangkan EIA menggunakan preparasi enzim atau enzim yang dilabel dengan biotin. Metode EIA lebih dipilih karena tidak menimbulkan efek radioaktif seperti RIA. Selain itu
biaya asai
lebih murah dibandingkan dengan RIA (Hodges dan Heistermann 2003). Aplikasi metode EIA terhadap metabolit androgen feses dari spesies rusa telah dilaporkan (Pereira
pada et
al.
pampas 2005),
deer
dan
red
(Ozotoceros brocket
bezoarticus
buck
(Mazama
bezoarticus) americana)
(Versiani et al. 2009). Meode tersebut telah terbukti sebagai metode yang tepat dan praktis untuk mengetahui status reproduksi pada kedua spesies rusa tersebut. Anatomi Organ Reproduksi Jantan Anatomi organ reproduksi jantan bervariasi pada berbagai spesies hewan. Variasi tersebut berhubungan erat dengan fungsi reproduksinya serta penyesuaian terhadap anatomi organ reproduksi betina. Secara umum, organ reproduksi jantan terdiri atas: sepasang testis dan saluran-salurannya: duktus epididimidis dan duktus deferens yang menyalurkan produk eksokrin testis
20
menuju uretra (Colville dan Bassert 2002). Selain itu terdapat pula kelenjar asesoris kelamin yang terdiri atas: glandula vesikularis, glandula prostata dan glandula bulbouretralis (Tabel 1). Kelenjar asesoris kelamin tersebut berperan sebagai
organ
yang
menghasilkan
bahan
pembentuk
plasma
semen
(Haron et al. 1999). Uretra adalah saluran reproduksi jantan yang berjalan di sepanjang penis dan berfungsi untuk menyalurkan urin dan semen. Sedangkan penis merupakan organ kopulasi jantan yang menyalurkan semen ke dalam organ reproduksi betina saat terjadi ejakulasi (Senger 2005). Tabel 1 Kelenjar asesoris kelamin pada beberapa spesies hewan. Spesies
Glandula Vesikularis
Glandula Prostata
Glandula Bulbourethralis
Sapi
+
+
+
Anjing
-
+
-
Kuda
+
+
+
Kucing
-
+
+
Llamas
-
+
+
Domba
+
+
+
Babi
+
+
+
(Sumber: Pineda 2003).
Secara anatomi testis berada di luar tubuh dan dilindungi oleh kulit tebal yang disebut skrotum. Testis merupakan organ elipsoidal padat dengan ukuran bervariasi pada setiap spesies hewan. Pada kucing, ukuran testis relatif lebih kecil bila dibandingkan domba dan kambing. Selain itu orientasi testis pada tubuh hewan juga bersifat spesifik spesies, seperti testis sapi yang menjulur kearah vertikal dari sumbu tubuh, testis kuda dan anjing pada posisi horizontal, sedangkan testis babi dan kucing berada di bagian ventral anus (Senger 2005). Testis dexter et sinister digantung dan dipisahkan di dalam skrotum oleh funikulus spermatikus yang terdiri atas duktus deferens, buluh darah (arteri dan vena) dan syaraf serta dibungkus oleh peritoneum. Dari arah superfisial ke profundal, testis dilapisi oleh skrotum, tunika dartos, fasia spermatikus eksterna, tunika vaginalis lamina parietalis dan tunika vaginalis lamina viseralis, serta tunika albuginea (Dyce et al. 1996). Mayoritas jaringan parenkim testis ditempati oleh tubuli seminiferi. Komposisi jaringan parenkim testis babi terdiri atas 87% tubuli seminiferi dan 7% sel sel Leydig dengan jumlah sel sertoli sekitar 42 juta per gram testis (Almeida et al. 2006).
21
Seca ara fungsion nal testis me erupakan org gan utama dari sistem reproduksi jantan j
yan ng
berpera an
penting g
dalam
proses
ga ametogenessis
jantan
(spermatoge enesis) dan n steroidoge enesis atau sintesis ho ormon stero oid jantan. Spermatoge S enesis berla angsung di tubuli sem meniferi testis (Gambarr 7) untuk menghasilka an sel gam met jantan (spermatozzoa), sedangkan prose es sintesis di jaringan interstisial testis, yaitu androgen a b berlangsung u pada sel--sel Leydig (Senger 200 05).
A. A
B B.
Gambar G 7 A Anatomi testis s. Skema tesstis sapi dan bagian-bagia annya (A) da an scanning electron microg graph jaringa an parenkim testis t kuda (B B). Tubulus seminiferus (S ST), dengan sel-sel s germin nal (GC) yang g dikelilingi ole eh membran basal (BM). Flagela (F) ya ang berasal dari perkem mbangan sperrmatid dapatt diamati di P jaringan n interstisial te erdapat sel L Leydig (LC), jaringan ikat lumen tubuli. Pada (C CT), dan bulu uh darah (BV V). (Sumber: Constantine escu 2007 (A A); Johnson 19 978 (B) di dala am Senger 2005).
Spermatog S enesis dan Tahapan Epitel E Tubuli Semeniferri Testis Siklu us epitel tub buli seminife eri testis da apat diklasiffikasikan be erdasarkan tahapan t spermatogene esis (sperma atogenic sta ages) yang berlangsung di tubuli seminiferi s te estis dan du urasinya (Nakai et al. 2004). Seca ara histolog gis, lapisan epitel e tubuli semenife eri testis terdiri t atas tiga tipe sel germ minal yang berdiferensiasi,
yaitu u
sperma atogonia,
spermatosit
dan
spermatid
a 1999). Sp permatogene esis merupa akan fungsi fundamenta f (Franςa et al. l dari testis berupa suattu kesatuan n diferensiassi selular ya ang komplekks (Dreef ett al. 2007). Pada sperm matogenesis s terjadi proses p diferrensiasi spermatogonia a (diploid) menjadi spe ermatozoa (haploid). (h Pe embentukan spermatozo oa dari sperrmatogonia
22
terseb but terjadi melalui m tahap pan (stage) tertentu yang ditandai dengan tipe e sel spesifik. Spermatogenesis dimulai dari lapisan basa al tubuli sem miniferi, berg gerak a sentripetal menuju adluminal tubuli (Gambar 8) 8 (Russel et al. 1990). Pada P secara hewan n mamalia, tahapan te ersebut dap pat dibedaka an berdasa arkan perubahan bentukk dan ukura an inti sel spermatid, posisi sel di dalam la apisan epite elium germin nal dan prosses pembela ahan sel seccara meiosiss atau perkembangan sistem akroso om dan inti sel s spermatid d (Almeida e et al. 2006).
ar 8 Spermatogenesis pa ada mamalia.. Terbagi ata as tahapan p proliferasi (miitosis) Gamba A1) – spermatogonia (B), meiosis m dari sspermatosit primer p dari sperrmatogonia (A – sperm matid, dan diferensiasi d s spermatid me enjadi sperm matozoa (Sum mber: Senger 2005). 2
Penelitian tentang karrakteristik ta ahapan sperrmatogenesiis atau tahapan epitel tubuli sem miniferi testiss telah dila akukan pada a berbagai hewan, se eperti h (Fran nςa et al. 1999; Onyango et al. 200 00), tahapan n dan kambing (Capra hircus) a ferret (Mustela putoriu us furo) (Na akai et al. 20 004), durasi spermatogenesis pada p babi Landrace L (G Garcia-Gil ett al. 2002). Tahapan spermatogen s nesis dan pada pada hewan-hew wan tersebutt terjadi dalam delapan n tahap.
S Sedangkan pada
et ekor pan njang (Maccaca fascicu ularis) dan manusia, spermatogen s nesis monye terjadi dalam 12 tahap (Dree ef et al. 200 07). Franςa a et al. (199 99) menyata akan, permatogene esis, dapat pula p diketah hui frekuensii dan selain penentuan tahapan sp arameter terssebut dapat diukur deng gan teknik in njeksi durasi dari setiap tahapan. Pa e secara intratestikula i ar menggun nakan hypo odermic ne eedle. tritiated thymidine
23
Setelah melalui tahapan berikutnya, jaringan testis difiksasi dengan glutaraldehid buffer 4% dan dibuat sediaan histologi untuk selanjutnya diwarnai dengan pewarna toluidine blue. Durasi spermatogenesis pada berbagai spesies hewan bervariasi, pada sapi berlangsung selama 54 hari, babi 39 hari, domba 47 hari dan manusia 74 hari (Juneja dan Koide 2000). Androgen adalah hormon steroid jantan yang berperan penting dalam proses spermatogenesis. Target androgen pada jaringan testis adalah sel Leydig dan sel Sertoli. Testosteron merupakan androgen utama yang disintesis oleh sel Leydig testis. Hormon ini memiliki efek parakrin pada sel Sertoli, yaitu sebagai salah satu komponen penting pada saat spermatogenesis. Sedangkan pada sel Leydig, testosteron memiliki efek otokrin yang berfungsi untuk menginisiasi diferensiasi dan fungsi sel Leydig pada masa pubertas (Shan et al 1997). Aktivitas androgen pada jaringan testis seperti pada sel Leydig dan sel Sertoli dapat diketahui melalui deteksi terhadap reseptor yang terdapat pada sel-sel tersebut. Aksi androgen dimediasi oleh reseptor intraselular yang berperan sebagai faktor transkripsi akibat adanya ikatan antara ligan dengan reseptor tersebut (Madjig et al. 1995). Beberapa peneltian tentang lokalisasi reseptor androgen telah dilaporkan, seperti pada tikus (Bremner et al. 1994), yang menyatakan bahwa reseptor androgen pada setiap tahapan spermatogenesis menunjukkan ekspresi berbeda. Pada sel Sertoli testis tikus, ekspresi reseptor androgen dapat dideteksi pada tahap II-VII dengan level tertinggi pada tahap VII dari siklus tubuli seminiferi. Selain itu, reseptor androgen ditemukan juga pada jaringan testis lainnya seperti sel myoid peritubular, arteriol dan sel Leydig, namun tidak ditemukan pada selsel germinal. Ekspersi reseptor androgen pada jaringan selain sel Sertoli, tidak berhubungan dengan tahapan spermatogenesis yang berlangsung pada tubuli seminiferi yang berdekatan dengan jaringan tersebut. Hill et al. (2004) menyatakan, spermatogenesis dapat berlangsung normal jika konsentrasi androgen (testosteron) intraselular lebih tinggi dari pada konsentrasi testosterone plasma di sirkulasi. Pada tikus, konsentrasi testosteron intraselular adalah 40-50 kali lebih tinggi dari pada konsentrasi testosteron plasma (1-2 ng/ml). Apabila konsentrasi testosteron intraselular lebih rendah, maka sel germinal akan kehilangan beberapa tahapan spermatogenesis yang spesifik. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki bila diberikan testosteron dosis tinggi yang selanjutnya akan berikatan dengan reseptornya di sel Sertoli.
24
Morfologi dan Kualitas Semen Kualitas
semen
merupakan
salah
satu
parameter
yang
dapat
menentukan status reproduksi pada Cervidae jantan. Pada red deer (Cervus elaphus), kualitas semen menunjukkan perbedaan pada setiap periode reproduksinya, yaitu pada periode pre-mating, mating dan post-mating. Kualitas semen yang terbaik ditemukan pada saat periode musim kawin (mating), yang berlangsung dari akhir September sampai akhir Oktober. Kondisi tersebut ditandai
dengan
tingginya
libido
rusa
jantan
untuk
mengawini
betina
(Gizejewski 2004). Selanjutnya dijelaskan oleh Monfort et al. (1995) bahwa musim juga berpengaruh pada kualitas semen eld’s deer (Cervus eldi thamin). Volume semen tertinggi pada rusa tersebut ditemukan pada musim dingin yaitu: 3.49 ± 0.36 ml, musim panas: 2.95 ± 0.42 ml dan musim gugur 2.11 ± 0.61 ml. Sedangkan volume terendah ditemukan pada musim semi 0.69 ± 0.03 ml. Spermatozoa merupakan sel berbentuk panjang dan motil, berperan sebagai
agen
pengantar
genom
haploid
jantan
menuju
oosit
betina.
Spermatozoa terbagi atas kepala yang mengandung inti (nukleus) dan ekor (flagellum) yang memiliki bagian leher (connecting piece), badan ekor (midpiece), ekor utama (principle piece) dan ujung ekor (end-piece) (Gambar 9) (Manandhar dan Sutovsky 2007). Secara umum, kepala spermatozoa berbentuk oval dengan struktur kromatin padat dan berinti tipis serta dilapisi oleh tudung akrosom di bagian anterior dan selubung post akrosom di bagian posterior (Barth dan Oko 1989). Struktur kromatin pada inti spermatozoa lebih padat 6–10 kali lipat dibandingkan struktur kromatin pada tahap metafase kromosom saat pembelehan sel somatis (Manandhar dan Sutovsky 2007). Sedangkan akrosom merupakan struktur pelindung dengan lapisan ganda, terletak di antara plasma membran dan bagian anterior kepala spermatozoa, berfungsi sebagai pelindung inti selama tahap akhir formasi spermatozoa. Selain itu akrosom mengandung akrosin, enzim hialuronidase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya yang berperan dalam proses fertilisasi (Garner dan Hafez 2000). Ekor spermatozoa merupakan struktur organel silinder, memanjang dari posterior kepala yang berfungsi sebagai penggerak dan sumber energi bagi spermatozoa. Bagian penghubung (connecting piece) ekor atau leher tersusun atas struktur kompleks yang menghubungkan kepala dan ekor.
Permukaan
kepala bagian posterior berbentuk konkaf (basal plate) dihubungkan dengan permukaan ekor yang konveks (capitulum) oleh struktur filamen padat. Capitulum
25
memanjang kearah kaudal yang terrsusun atas sembilan m mikrotubuli da an berakhir an terluar dari serabu ut padat. Lapisan ini akan terp pisah saat pada lapisa spermatozo s a
ung bergabu
dengan
ma, ooplasm
proses
ini
didug ga
akibat
g yan ng berasal dari oosit (Su utovsky et all. 1996). berkurangnyya aktivitas glutation
I
III
Gambar G 9 M Morfologi sperrmatozoa ma amalia. (I) Skkema sperma atozoa ungula ata (A) dan ro odensia (B). Secara umum m terdiri atas kepala, conn necting piece e, mid-piece, principal p piecce dan end--piece. (II) Gambaran G m mikroskopis spermatozoa mamalia. m A. Spermatozoa S a opossum (D Didelphis virg giniana), B. mencit m (Mus musculus), m C.. tikus (Rattu us novergicus s), D. kelinci (Oryctolaguss cuniculus), E. E kuda (Equ us caballus), F. babi (Sus scrofa), G. sapi (Bos taurus) dan H. H manusia (H Homo sapienss) (Sumber: Manandhar M da an Sutovsky 2007). 2
Peluang Pe emanfaatan Ejakulat Muncak Teknologi repro oduksi telah berkemban ng pesat pad da hewan te ernak. Bila teknologi t ini dapat dima anfaatkan pa ada satwa lia ar maka keja adian inbree eding dapat dicegah d de engan mem manfaatkan materi genetik dari satwa diluarr kawasan pengembangbiakan. Pe ertukaran m materi genettik antar da aerah konse ervasi atau antar a negarra dapat dila akukan mela alui teknik IB B dengan m menggunaka an ejakulat (semen) hasil preserva asi dan kriop preservasi. Perilaku P rep produksi mu uncak yang diduga d tidakk bermusim m, memberi peluang untuk dilakuka annya pene elitian yang berkaitan dengan d pen nerapan bio oteknologi reproduksi r dengan tujuan untuk mengoptima alisasi sistem reprodukksinya, baik k untuk tuju uan konserv vasi satwa tersebut t maupun komerrsial. minasi buatan merupakkan salah sa atu teknik re eproduksi yang y cukup Insem efektif e dan dapat d diaplikasikan di b bidang budidaya ternakk dengan tujuan untuk
26
meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Menurut Pesch dan Hoffmann (2007), teknik IB menggunakan ejakulat hasil kriopreservasi telah dilakukan pada program budidaya sapi sejak 60 tahun yang lalu, dan bertujuan untuk mencegah penularan agen infeksi organ genital yang dapat terjadi pada perkawinan alami. Namun, menurut Rizal (2005), teknik ini belum banyak dilakukan pada ternak ruminansia kecil karena terdapat beberapa kendala teknis, seperti sulitnya deposisi semen pada saluran reproduksi betina saat pelaksanaan IB, ukuran serviks yang kecil serta tidak memungkinkan dilakukannya palpasi rektal seperti pada ternak besar. Dengan demikian diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas ejakulat dan saat yang tepat untuk pelaksanaan IB. Menurut Morrow et al. (2009), aplikasi IB untuk tujuan manajemen genetik pada Cervidae dan sapi non domestik (antelop) mengalami beberapa kendala, seperti; 1) terbatasnya informasi tentang karakterisitik reproduksi yang bersifat spesifik spesies, 2) sulitnya untuk mengurangi stres akibat handling yang dilakukan, 3) kegagalan kebuntingan, dan 4) tantangan terhadap regulasi impor semen. Teknik IB pada spesies non domestik tersebut telah diuji coba pada beberapa peternakan rusa dan antelop dengan mengadaptasi protokol IB pada sapi. Sejauh ini penerapan teknik IB pada Cervidae sudah dilakukan pada red deer (C. elaphus) dengan metode IB intrauterin dengan tindakan laparoskopi (High dan Bowen 1991; Asher et al. 2000), pada white-tailed deer (Odocoileus virginianus) dengan IB intraservikal dan intrauterin (Jacobson et al. 1989) dan pada rheindeer (Rangifer tarandus) secara intraservikal dan intravaginal (Asher et al. 2000). Namun teknik IB dengan berbagai metode tersebut belum pernah dilakukan pada muncak. Sebelum pelaksanaan IB, perlu dilakukan pengenceran spermatozoa ejakulat dengan bahan pengencer tris kuning telur seperti yang diaplikasikan pada rusa (Asher et al. 2000). Selain tris kuning telur terdapat pula bahan pengencer lainnya, yaitu tris, sitrat, susu skim dan bahan pengencer komersial. Untuk proses pengenceran, diperlukan komponen pengencer, yaitu larutan buffer (natrium sitrat dan tris buffer) yang berfungsi sebagai pengontrol pH. Ejakulat yang telah diencerkan selanjutnya dipreservasi dengan berbagai teknik seperti rapid freezing tanpa krioprotektan (Agca dan Crister 2002), serta kriopreservasi dengan bahan pengencer, krioprotektan dan antioksidan (Rizal 2005).
27
Pemanfaatan ejakulat untuk IB pada muncak dapat dilakukan dengan mengadaptasi prosedur pengenceran, preservasi dan kriopreservasi yang dilakukan pada white-tailed deer (Ake-Lopez et al. 2010), yang melakukan kriopreservasi spermatozoa yang dikoleksi dari duktus epididimidis. Sebagai bahan krioprotektan digunakan tris-fruktosa dan tryladil. Teknik IB dengan pemanfaatan semen beku post-thawed yang dipreservasi dengan sitrat kuning telur juga telah dilakukan pada wapiti (C. elaphus) (High dan Bowen 1991). Selain itu kriopreservasi spermatozoa iberian red deer telah dilakukan dengan menggunakan krioprotektan tes-tris-fruktosa dengan komposisi kuning telur 10% dan gliserol 4% (Martinez-Pastor et al. 2005).
ANATOMI DAN HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUNCAK JANTAN Abstrak Informasi dasar mengenai aspek anatomi dan histologi organ reproduksi muncak (Muntiacus muntjak muntjak) hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Data morfologi, morfometri, struktur histologi, dan histomorfometri organ reproduksi muncak yang diperoleh pada penelitian ini dapat menjelaskan fungsi setiap organ pada saat berlangsungnya aktivitas reproduksi selama periode pertumbuhan ranggah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai karakteristik anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan pada periode ranggah keras. Seekor muncak jantan dewasa yang diberi kode ♂#1, berumur 4-5 tahun dengan bobot badan 19 kg terlebih dahulu diexanguinasi untuk memperoleh organ reproduksi yang meliputi testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis yang diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa organ reproduksi muncak jantan memiliki sepasang testis yang relatif kecil dengan lingkar testis berikut skrotum 15.98 cm, dan bobot 18.82 g. Karakteristik lainnya adalah kelenjar prostat tidak teramati secara makroskopis, kelenjar bulbouretralis berukuran besar, serta penis berukuran relatif panjang membentuk fleksura sigmoidea dan glans penis berukuran kecil dengan bagian dorsal yang cembung. Panjang penis tanpa preputium adalah 23.37 cm, sedangkan panjang prosesus uretralisnya hanya 0.22 cm. Secara histologi, struktur pars diseminata prostat ditemukan disekeliling uretra pars pelvina. Tebal lapis epitel kaput, korpus dan kauda epididimidis berturut-turut adalah 62.21 ± 4.21 µm, 49.53 ± 3.01 µm, dan 16.30 ± 2.27 µm. Perbedaan ketebalan lapis epitel tersebut berhubungan dengan fungsi penyerapan, pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Tipe kelenjar tubuloalveolar ditemukan pada ampula, kelenjar vesikularis dan pars diseminata prostat, sedangkan tipe kelenjar tubular ditemukan pada kelenjar bulbouretralis. Dapat disimpulkan bahwa secara umum morfologi organ reproduksi muncak jantan mirip dengan ruminansia kecil lainnya seperti kambing dan domba, serta rusa timor dan pampas deer pada periode ranggah keras, namun morfometrinya berbeda. Kata kunci: anatomi dan histologi, organ reproduksi jantan, muncak
Abstract Information concerning the aspect of anatomy and histology of reproductive organ in adult male muntjak (Muntiacus muntjak muntjak) are important to be understood where those information are not reported yet. Data of morphology, morphometry, histology, and histomorfometri of each organ subsequently can explain their function in relationship to the reproductive activities during of antler growth period. Therefore, the objective of this study was to investigate the characteristic of anatomy and histology of reproductive organs in male muntjak during hard antler period. An adult male muntjak (♂#1), aged 4-5 years old and 19 kg of bodyweight was used in this study. After exanguination procedure, all of reproductive organs that consist of testis, ductus epididymidis, ductus deferen, accessory sex glands, and penis were observed macroscopically
30
and microscopically. The result showed that muntjak had small testis with scrotal circumference and it weight were 15.98 cm and 18.82 g Other characteristics were unappeared of prostate gland macroscopically, conspicuous of bulbourethral gland, and long penis with sigmoid flexure and small gland penis with convex shape in it dorsal region. The length of penis included of urethral processus were 23.37 cm and 0.22 cm. Histologicaly, pars disseminate prostate gland was observed around of urethra pelvina. Aditionally, the thickness of epithelial lining of caput, corpus, and cauda epididymidis were 62.21 ± 4.21 µm, 49.53 ± 3.01 µm, and 16.30 ± 2.27 µm respectivelly. The differentiation of epithelial thickness correlated to their function in fluid absorption, maturation and sperm storage. In addition tubuloalveolar glands were found in the ampullae, vesicular gland, and also in pars disseminate prostate gland, whereas tubular glands were found in bulbourthral gland. In conclusion, the morphology of reproductive organs of adult male muntjak in hard antler period are somewhat similar to the other small ruminants, e.g. goat and ram, and also other cervids, e.g. timor deer and pampas deer during hard antler period but it differed in morphometry. Keywords: anatomy and histology, male reproductive organs, muntjak
Pendahuluan Organ reproduksi jantan mamalia terdiri atas testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin: ampula, kelenjar vesikularis, prostat dan bulbouretralis, serta penis. Testis memiliki fungsi gametogenesis dan steroidogenesis. Fungsi gametogenesis dikenal dengan spermatogenesis, bertujuan untuk menghasilkan spermatozoa, sedangkan fungsi steroidogenesis bertujuan
untuk
mensintesis
hormon
steroid
jantan
yaitu
testosteron
(Weinbauer et al. 2010). Spermatozoa yang berada di lumen tubuli seminiferi testis ditransfer oleh rete testis ke duktus eferen, dan selanjutnya memasuki kaput, korpus dan kauda epididimidis. Ketiga bagian duktus epididimidis memiliki fungsi spesifik dalam proses pematangan dan penyimpanan spermatozoa sebelum disalurkan melalui duktus deferens menuju ampula dan uretra (Wrobel dan Bregmann 2006). Sebelum diejakulasikan melewati uretra, spermatozoa terlebih dahulu bergabung dengan plasma semen yang dihasilkan oleh kelenjar asesoris. Sebagai organ kopulasi, penis berfungsi sebagai organ untuk menyalurkan semen ke saluran reproduksi betina (Senger 2005). Kelenjar asesoris meliputi ampula, kelenjar vesikularis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbouretralis (Colville dan Bassert 2002). Keberadaan kelenjar asesoris tersebut adalah spesies spesifik. Tidak semua spesies memiliki keempat kelenjar tersebut, demikian pula dengan morfologi kelenjar yang juga berbeda. Perbedaan morfologi dan morfometri juga diperlihatkan oleh penis. Pada
31
umumnya, penis ruminansia termasuk Cervidae bertipe fibroelastik dengan fleksura sigmoidea di bagian korpus penis. Namun pada mamalia lainnya seperti kuda, memiliki penis bertipe muskulo-kavernosus. Variasi morfologi organ reproduksi jantan secara makroskopis tersebut tentu saja diikuti dengan adanya variasi secara mikroskopis. Cervidae
jantan
dengan
pola
reproduksi
musiman
(seasonal),
memperlihatkan perubahan morfologi dan morfometri pada organ reproduksinya, baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas pencahayaan (photoperiod) dan ketersediaan pakan di alam. Akibatnya pada periode tertentu, aktivitas reproduksi Cervidae berhenti secara temporer bersamaan dengan turunnya konsentrasi testosteron di sirkulasi darah. Kondisi tersebut berkorelasi erat dengan morfometri dan morfofungsi organ reproduksinya, seperti yang dilaporkan pada red deer, Cervus elaphus (Lincoln 1985); fallow deer, Dama dama (Asher and Peterson 1991); roe deer, Capreolus capreolus (Sempere 1990),
korean
water
deer,
Hydropotes
inermis
argyropus
(Shon
dan
Kimura 2012). Namun demikian, seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap perubahan morfometri dan morfofungsi organ reproduksi pada muncak jantan belum dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan mulai dari testis, duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis. Adapun kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi: 1) pengamatan morfologi dan morfometri organ reproduksi muncak jantan secara makroskopis, dan 2) pengamatan histologi dan histomorfometri organ reproduksi muncak jantan secara mikroskopis. Data anatomi dan histologi organ reproduksi muncak yang diperoleh pada penelitian ini selanjutnya dikomparasikan dengan data organ reproduksi ruminansia kecil lainnya seperti domba, serta beberapa spesies Cervidae seperti rusa timor, kancil, pampas deer, dan reeves muntjak. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar mengenai anatomi dan struktur histologi organ reproduksi muncak jantan yang dapat digunakan sebagai data pendukung pada penelitian berikutnya.
32
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai Desember 2009. Hewan Penelitian Pada penelitian ini digunakan seekor muncak jantan dewasa normal dengan kode ♂#1 dan telah memiliki ranggah keras, berumur antara 4-5 tahun dengan berat badan 19 kg. Muncak tersebut secara klinis dinyatakan sehat dan telah memperlihatkan aktivitas reproduksi. Muncak diperoleh dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan ijin tangkap berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 23/Menhut-II/2011. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi: anastetikum xylazin HCl 2% (Seton®) dan ketamin HCl 10% (Ketamil®), NaCl fisiologis, paraformaldehid 4%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, 95% dan absolut), silol, parafin, akuades, pewarna hematoksilin-eosin (HE) dan bahan perekat Entelan®. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah: spuit ukuran 5 ml, scalpel, kateter, arteri klem, pinset, gunting, wadah penyimpan jaringan, tissue cassette, micro calliper digital (mm), pita ukur (cm), cawan petri, gelas objek dan penutup, inkubator 37OC, inkubator parafin, blok kayu, bunsen, mikrotom, penangas air, hot plate, termometer, mikroskop (Olympus CH30, Japan) dan kamera digital (Sony Cyber-shot DSC-W30 dan Canon Power Shot A540). Metode Penelitian Orientasi eksternal testis dan epididimis yang masih terbungkus skrotum diamati sebelum muncak di-exanguinasi. Pengamatan dilakukan saat muncak berada pada posisi berdiri sehingga testis dan skrotum terlihat jelas dan selanjutnya didokumentasikan. Hasil pemotretan dibandingkan dengan orientasi testis dan epididimis pada beberapa ruminansia dan mamalia lainnya. Data anatomi dan morfometri organ reproduksi muncak jantan secara makroskopis dan mikroskopis diperoleh setelah muncak di-exanguinasi. Muncak terlebih dahulu dianastesi dengan kombinasi anastetikum xylazin HCl dan
33
ketamin HCl dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Prosedur exanguinasi dilakukan dengan cara mengeluarkan darah dari arteri Carotis communis dan diperfusi dengan mengalirkan larutan paraformaldehid 4% melalui arteri yang sama. Pengambilan organ reproduksi jantan dilakukan secara laparotomi medianus di daerah inguinal. Morfologi dan morfometri organ reproduksi muncak Organ reproduksi muncak jantan yang digunakan pada tahap ini merupakan organ yang telah difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4%. Parameter pengamatan terhadap morfologi dan morfometri secara makroskopis, meliputi ukuran panjang, lebar, dan berat setiap bagian organ reproduksi, yaitu testis berikut duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin, dan penis. Organ reproduksi dipreparir untuk memisahkan testis dan duktus epididimidis dari skrotum, hingga seluruh bagian duktus deferens, ampula, kelenjar asesoris kelamin (kelenjar vesikularis, kelenjar bulbouretralis), dan penis dipisahkan dari tubuh. Selanjutnya dilakukan pengukuran organ reproduksi muncak jantan yang meliputi panjang, lebar dan ketebalan. Penimbangan organ reproduksi
dilakukan
setelah
masing-masing
bagian
organ
reproduksi
dipisahkan, sehingga diperoleh testis berikut duktus epididimidis, duktus deferens, kelenjar asesoris kelamin (ampula, kelenjar vesikularis dan kelenjar bulbouretralis) dan penis. Prosedur pengukuran organ reproduksi diuraikan sebagai berikut: Skrotum Lingkar skrotum berikut testis diukur dengan cara melingkarkan pita ukur pada lingkaran terbesar dari skrotum. Testis Pengukuran dilakukan setelah testis dipisahkan dari skrotum. Panjang testis diukur dengan cara menempatkan pita ukur dari ekstremitas kapitata ke ekstremitas kaudata. Diameter testis diukur pada bagian terbesar dari testis, yaitu dari margo epididimalis ke margo liber testis. Bobot testis beserta epididimidis ditimbang dengan meletakkan testis dexter et sinister beserta epididimis dalam cawan petri yang telah diletakkan di atas timbangan digital bersatuan gram (g). Duktus epididimidis Pengukuran dilakukan terhadap kaput, korpus, dan kauda epididimidis yang masih melekat pada testis. Panjang kaput diukur menggunakan benang
34
pada bagian proksimal ekstremitas kapitata (awal kaput) hingga bagian menyempit yang berbatasan dengan korpus epididimidis; panjang korpus diukur dari bagian distal kaput epididimidis hingga bagian distal ekstremitas kaudata, sedangkan panjang kauda diukur dari distal ekstremitas kaudata sampai ujung distal kauda epididimidis. Lebar kaput, korpus, dan kauda epididimidis juga diukur pada masing-masing bagian terlebar menggunakan mikrokaliper. Kelenjar asesoris kelamin Panjang ampula dexter et sinister diukur mulai dari pembesaran duktus deferens hingga bagian kaudal yang berbatasan dengan kelenjar vesikularis. Panjang kelenjar vesikularis dexter et sinister diukur dari bagian kauda ampula sampai ujung kranial kelenjar vesikularis. Kelenjar bulbouretralis diukur dari kranial ke kaudal kelenjar tersebut yang berada di proksimal muskulus bulbospongiosus. Pengukuran bobot sepasang ampula, kelenjar vesikularis, dan kelenjar bulbouretralis ditimbang dengan menempatkan masing-masing kelenjar di atas cawan petri yang diletakkan di atas timbangan digital. Penis Pengukuran panjang total penis dimulai dari radiks penis hingga ke ujung bebas penis. Pengukuran panjang juga dilakukan pada bagian-bagian penis seperti glans penis dan prosesus uretralis. Diameter penis diukur pada bagian yang terbesar dari penis. Pengukuran diameter juga dilakukan pada glans penis dan prosesus uretralis. Histologi organ reproduksi muncak Pengamatan struktur histologi organ reproduksi muncak dilakukan secara mikroskopis terhadap jaringan testis, kelenjar asesoris kelamin dan penis. Jaringan testis dan duktus epididimidis yang masih menempel dengan testis dipotong menjadi beberapa bagian kecil berukuran 0.5 cm2. Untuk kelenjar asesoris, sampel yang diambil mengikuti besar kecilnya organ tersebut yang disayat secara transversal. Sampel penis diambil pada bagian korpus penis. Untuk mengetahui posisi kelenjar prostat diambil jaringan pada bagian uretra pars pelvina antara ujung kaudal testis dan kranial kelenjar bulbouretralis. Proses pembuatan preparat histologi (Kiernan 1990) meliputi tahapan sebagai berikut: •
fiksasi jaringan dengan larutan paraformaldehid 4%
•
perendaman dalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point
35
•
dehidrasi jaringan dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan absolut) dan clearing atau penjernihan dalam larutan silol dengan tiga kali ulangan
•
infiltrasi di dalam parafin cair dengan tiga kali ulangan, dilanjutkan dengan penanaman jaringan (embedding) dalam parafin
•
pembuatan blok parafin, sectioning dan pewarnaan dengan pewarna HE. Pengamatan mikroskopis meliputi struktur histologi umum jaringan testis
dan duktus epididimidis bagian kaput, korpus dan kauda epididimidis; duktus deferens; kelenjar asesoris kelamin: ampula, kelenjar vesikularis; bagian uretra pars pelvina untuk mengetahui posisi pars diseminata prostat, dan kelenjar bulbouretralis; serta organ kopulatoris (penis). Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan data histomorfometri testis dan duktus epididimidis. Parameter histomorfometri testis meliputi: lebar tubuli seminiferi dan lumen, serta ketebalan lapisan sel epitel germinal (diukur dari membran basal sampai adluminal tubuli seminiferi testis). Parameter pengukuran duktus epididimis meliputi: lebar duktus dan lumen, serta ketebalan lapisan epitel tanpa stereosilia pada kaput, korpus dan kauda epididimidis (Arrighi et al. 2010). Pengamatan dan pengukuran histomorfometri tubuli seminiferi dan ketiga bagian duktus epididimis dilakukan terhadap potongan transversal dari 30 tubuli seminiferi testis, dan dari 10 duktus epididimidis pada masing-masing bagian (kaput, korpus dan kauda). Pengamatan dan pengukuran menggunakan mikroskop cahaya serta skala mikrometer dengan perbesaran lensa objektif 10 kali. Seluruh parameter diukur menggunakan program Image J (Mc Master Biophotonic Facility). Analisis Data Analisis data anatomi makroskopis dan mikroskopis organ reproduksi muncak jantan dilakukan secara deskriptif, sedangkan data morfometri dan histomorfometri
organ
simpangan baku (SB).
reproduksi
ditabulasikan
dalam
bentuk
rataan
±
36
Muncak Jantan ♂#1 Exanguinasi Organ Reproduksi Jantan Testis dan skrotum, saluran reproduksi, kelenjar asesoris kelamin dan penis
Anatomi Makroskopis
Pengukuran: panjang, lebar / diameter, lingkar, dan bobot
Pengamatan dan pemotretan
Data
Pengamatan orientasi eksternal testis dan duktus epididimidis
Pengamatan dan Pemotretan
Data
Anatomi Mikroskopis
Preparat histologi (3-4 µm)
Struktur histologi Pewarnaan HE
Pengamatan dan pemotretan
Data
Gambar 10 Bagan alir disain penelitian I: anatomi dan histologi organ reproduksi muncak jantan.
37
Hasil dan Pembahasan Orientasi O Eksternal Te estis dan Sk krotum opis, testis dan skrotum m muncak tterletak di daerah d pre Secarra makrosko pubis dan berada b di an ntara paha bagian med dial dengan bentuk bulat lonjong. Pada posissi berdiri, orrientasi ekssternal orga an tersebut menggantu ung secara dorso-ventra d ad (Gambarr 11), teram mati pada ba agian ventra al testis dan n skrotum. Kauda epididimidis dextter et siniste er yang berb bentuk bulat, sedangkan n kaput dan ak dapat dia amati. Posisi testis dextter et siniste er di dalam korpus epididimidis tida skrotum s ada alah simetris dengan konsistensi k y yang bervarriasi bergan ntung pada periode perttumbuhan ra anggahnya. Pada period de ranggah keras (RK) konsistensi k testis t kenya al, dan sediikit lunak pa ada periode e casting (C C) dan ranggah velvet (RV). Perb bedaan kon nsistensi te ersebut juga a dilaporka an pada rusa r timor (Handarini 2006). 2 Orien ntasi ekstern nal testis da an skrotum m muncak ters sebut mirip pada ruminansia lainn nya, seperti sapi, domb ba dan kam mbing, namu un berbeda dengan d kuda, babi, anjin ng, dan kuciing. Pada ke eempat spessies terakhir, testis dan skrotum s terrletak di ka audal paha dan kaud do-ventral d dari arcus ischiadicus i (Toelihere 1981).
Gambar G 11 Orientasi ekssternal testis muncak. Tesstis mengganttung secara vertikal v atau dorso-ventrad. Sketsa me emperlihatkan n posisi testiss sinister (1), testis t dexter (2), kauda ep pididimidis de exter (3). Skala: 1 cm.
Morfologi dan d Morfom metri Organ Reproduksi Muncak Ja antan Organ n reproduksii muncak ja antan terdiri atas 1) se epasang gonad, yaitu: testis t dexterr et sinister; 2) saluran rreproduksi meliputi m duktu us epididimidis, duktus deferens, d da an uretra, 3)) kelenjar-ke elenjar aseso oris kelamin yaitu ampula, kelenjar vesikularis, v dan kelenja ar bulbourettralis, serta 4) organ kopulatoris k a atau penis 2). Testis terrbungkus kulit skrotum dan d berada d di luar ruang g abdomen (Gambar 12
38
serta menggantung secara vertikal de engan posissi dorso-ven ntrad. Pada a sisi duktus epidid dimidis dan sebagian du uktus medial testis dexter et sinister, berjalan d defere ens. Pada bagian b prokksimal testiss, duktus deferens berrgabung dengan buluh darah (arterri dan vena), serta syara af di bagian proksimal te estis membe entuk njar asesoriss kelamin muncak m yang dapat dia amati funikulus spermattikus. Kelen a makroskop pis, terdiri attas ampula, kelenjar vesikularis, da an bulbourettralis, secara sedangkan kelenjjar prostat tidak t teramati.
Penis muncak be ertipe fibroellastik
an fleksura sigmoidea s ya ang jelas dia amati pada bagian korp pus penis. Selain S denga itu, ditemukan muskulus retraktor penis dan muskuluss bulbospon ngiosus di ka audoal dari kelenjar bulbourettralis. ventra S Secara umu um, morfolo ogi organ re eproduksi muncak m janta an mirip dengan organ reproduksi ruminansia a jantan lain nnya sepertti rusa timor (Nalley 20 006), pampa as
deer
(Ungerfeld d
et
al.
2008),
sapi,
mbing, kam
do omba
(Frand dson et al. 2009). Morrfometri orga an reprodukksi muncak berukuran lebih kecil dibandingkan d n domba dan rusa timorr, tetapi lebih h besar diba andingkan ka ancil. Morfom metri organ reproduksi muncak dita ampilkan pa ada Tabel 2,, dan morfometri kompa aratif organ reproduksi r ja antan antara a muncak, domba, rusa timor dan ka ancil. disajikkan Tabel 3.
Gamba ar 12 Anatom mi organ repro oduksi munca ak jantan. Ka auda epididim midis (1), testiis (2), korpus epididimidis (3), kaput epididimidis e ( (4), funikuluss spermatikus s (5), etraktor penis (7), radiks p penis (8), fleksura duktus deferens (6), muskulus re dea (9), korpus penis (10), preputium (11), prose esus uretralis (12), sigmoid glans penis p (13), uretra u pars pelvina (14), kelenjar bulbouretralis (15), kelenjarr vesikularis (16), ( ampula ((17), vesika urinaria u (18). S Skala: 1 cm.
39
Tabel 2 Morfometri organ reproduksi muncak jantan pada periode ranggah keras setelah difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4% Organ reproduksi
Panjang (cm)
Parameter pengukuran Diameter Lingkar Tebal (cm) (cm) (cm)
Testis1 4.99 2.60 Dexter 5.02 2.31 Sinister Rataan 5.01 2.45 Skrotum dan testis 15.98 Kaput epididimidis 1.92 1.36 Dexter 1.60 1.25 Sinister Rataan 1.76 1.31 Korpus epididimidis 4.22 0.41 Dexter 3.85 0.33 Sinister Rataan 4.03 0.37 Kauda epididimidis 1.44 0.81 Dexter 1.32 0.60 Sinister Rataan 1.38 0.7 Duktus deferens 9.99 Dexter 10.05 Sinister Rataan 10.02 Ampula Dexter 3.64 3.56 Sinister Rataan 3.6 Kelenjar vesikularis 2.35 Dexter 2.15 Sinister Rataan 2.25 Kelenjar bulbouretralis 1.66 Dexter 1.56 Sinister Rataan 1.61 Penis (total) 30.50 Penis tanpa preputium 23.38 Glans penis 0.91 0.34 Prosesus uretralis 0.23 0.11 1 Bobot testis dan duktus epididimidis tanpa skrotum
-
Bobot (g) 18.82 -
-
-
-
-
-
-
-
-
0.44 0.39 0.41
1.45
0.67 0.61 0.64
2.06
0.74 0.68 0.71 -
2.39 -
40
Tabel 3 Perbandingan morfometri organ reproduksi jantan antara muncak, domba, rusa timor, dan kancil. Organ Reproduksi Jantan
Muncak1
Domba2
Rusa timor3
Kancil4
Testis Panjang (cm) 5.01 7.5-11.5 7.85-8.55 0.94-1.52 Diameter (cm) 2.45 3.5-6.8 3.24-4.06 0.62-1.01 Bobot (g) 18.82 250-300 102.16-114.06 0.64-0.98 Lingkar skrotum (cm) 15.98 19.3-21.12 Duktus epididimidis Panjang (cm) 7.17 15.48 - 16.31 Duktus deferens Panjang (cm) 10.02 24.0 45.15-45.24 Ampula Panjang (cm) 3.60 7.0 7.01-7.49 1.44-2.02 Tebal (cm) 0.41 0.2 Bobot (g) 1.45 0.06-0.08 Kelenjar vesikularis Panjang (cm) 2.25 4.0 4.39-4.67 1.45-2.14 Tebal (cm) 0.64 1.5 0.46-0.68 Bobot (g) 2.06 5 0.2-0.38 Bulbouretralis Lebar (cm) 1.61 0.72-0.92 Tebal (cm) 0.71 1.0 0.46-0.63 Bobot (g) 2.39 3 0.82-0.9 Penis Panjang total (cm) 30.50 35 40.28-46.22 12.75-15.707 Panjang tanpa preputium (cm) 23.37 26.2-43.8 4.792-6.874 Glans penis Panjang (cm) 0.91 5.0-7.5 0.42-0.46 Diameter (cm) 0.34 Prosesus uretralis Panjang (cm) 0.22 3.0-4.0 Diameter (cm) 0.11 1 2 3 4 Sumber Muncak penelitian, Toelihere (1981), Nalley (2006), Najamudin (2010).
41
Testis Morfologi dan morfometri Testis muncak berbentuk oval yang dilindungi oleh skrotum pada bagian luarnya (Gambar 11). Skrotum terdiri atas dua kantong (lobus) yang membungkus testis dexter et sinister. Lapisan skrotum dari superfisial ke profundal terdiri atas: 1) kulit, 2) tunika dartos, 3) fasia skrotalis, dan 4) tunika vaginalis lamina parietalis yang juga membungkus duktus epididimidis dan duktus deferens. Di profundal tunika vaginalis lamina perietalis terdapat kapsula pembungkus testis, yaitu tunika vaginalis lamina viseralis yang berhubungan erat dengan tunika albuginea. Tunika albuginea tersusun atas jaringan ikat dan serabut otot polos yang berhubungan langsung dengan jaringan parenkim testis. Penjuluran tunika albuginea ke jaringan parenkim testis membentuk mediastinum testis (Wrobel dan Bergmann 2006). Rataan ukuran testis dexter et sinister muncak yang meliputi panjang, dan lebar, serta lingkar skrotum setelah difiksasi berturut-turut adalah: 5.01 cm, 2.45 cm dan 15.98 cm dengan bobot 18.82 g. Rataan lebar testis muncak (2.45 cm) lebih kecil dibandingkan lebar testis rusa timor 3.24 - 4.07 cm (Nalley 2006), tetapi lebih besar dari pada testis kancil 0.63-1.01 cm (Najamudin 2010). Menurut Toelihere (1981), perbedaan ukuran organ reproduksi, terutama testis, berhubungan erat dengan produksi spermatozoa. Bobot testis muncak (18.82 g) jauh lebih ringan dibandingkan bobot testis domba (250 - 300 g). Ukuran testis muncak tersebut hanya sekitar 0.1 % dari bobot badannya. Akan tetapi bobot testis muncak lebih berat dibandingkan reeves muntjak (Muntiacus reevesi), yaitu 8.87 - 9.51 g yang diukur pada tahap ranggah keras (Chapman dan Harris 1991). Menurut Chapman dan Harris (1991), rataan bobot testis muncak dewasa saat ranggah keras berkorelasi dengan bobot badan, sedangkan umur tidak berpengaruh secara signifikan pada bobot testis saat ranggah keras. Ukuran panjang testis berkorelasi dengan lebar, lingkar skrotum, dan bobot testis. Lingkar skrotum muncak (15.98 cm) pada tahap ranggah keras lebih kecil dari pada lingkar skrotum domba garut (30.68 - 34.04 cm) (Rizal 2004) dan rusa timor (19.3 - 21.12 cm) (Nalley 2006).
42
Gambarr 13 Morfolo ogi testis dan n duktus epididimidis mu uncak. Kauda a epididimidiss (1), testis (2), korpus epididimidiss (3), kaput epididimid dis (4), funiikulus sperma atikus (5), dukktus deferens (6). Skala: 1 cm.
Histollogi dan his stomorfome etri Struktur histologi testiis muncak secara domin nan ditempa ati oleh kump pulan tubuli seminiferi yang y dipisah hkan oleh ja aringan interrstisial. Ada a tiga komponen s bila diamati pa ada sayatan n melintang, yaitu: mem mbran penyusun tubuli seminiferi an sel-sel spermatoge enik (Gamb bar 14). Testis T basal tubuli, sell Sertoli da pakan kump pulan kelen njar tubularr yang memiliki fungssi eksokrin dan merup endokkrin (Augheyy dan Frye 2001). 2 Fung gsi eksokrin testis berhu ubungan dengan pembe entukan spe ermatozoa (spermatog genesis) yan ng berlangssung di lap pisan epitel germinal. Proses P diferrensiasi dan n maturasi sel-sel s epite el germinal akan hasilkan sp permatid ya ang dilepaskan ke lum men tubuli melalui prroses mengh sperm miasis dalam bentuk spe ermatozoa (R Rosenfeld 2007). Fungssi endokrin testis t terkaitt dengan produksi p horrmon andro ogen yang berlangsung g di sel Le eydig jaringa an interstisia al testis (Aug ghey dan Fryye 2001). Keberadaa an sel-sel spermatogen nik pada tub buli seminife eri testis mu uncak dapat diamati de engan jelass, yaitu: 1) spermatog gonia, 2) sspermatosit, dan ermatid (Gambar 15). Spermatogon S nia terletak di membran n basal tubuli di 3) spe antara a sel Sertoli, memiliki inti sel bergra anul kromatin dengan ukkuran berva ariasi. Sperm matogonia membelah se ecara mitosiss menghasilk kan spermattogonia A da an B. Hasil pembelahan spermato ogonia B ad dalah sperm matosit taha ap preleptotene. Menurrut Wrobel dan Bergm mann (2006 6), spermattogonia A merupakan tipe sperm matogonia be erukuran terb besar denga an bagian me embran sel menempel pada memb bran basal tubuli seminiferi. Inti sel s spermatogonia A berwarna pucat p denga an anak inti (nukleoli) yang y menon njol. Sperma atogonia B berukuran lebih kecil dengan d inti bulat b yang be erisi partikel kromatin.
43
Gambar 14 Struktur histologi testis muncak jantan pada periode ranggah keras. A. Beberapa tubuli seminiferi (TS) testis muncak yang dipisahkan oleh jaringan interstisial (JI); jaringan parenkim testis dibungkus oleh tunika albugenia (TA). B. Inset A: Sel epitel germinal tubuli seminiferi testis (SG) memperlihatkan perkembangan mulai dari membran basal (Mb) sampai lumen (L). Buluh darah (Bd), buluh kapiler (Kp), dan jaringan ikat longgar (JIL) ditemukan di sekitar TS. Pewarnaan HE. Skala: 100 µm (A); 50 µm (B).
Pada lapisan berikutnya terdapat spermatosit dengan jumlah yang lebih banyak dan ukuran sel yang lebih besar dibandingkan spermatogonia. Spermatosit primer selanjutnya berdiferensiasi menjadi spermatosit sekunder. Namun pada saat pengamatan, keberadaan spermatosit sekunder jarang ditemukan. Hal ini disebabkan proses diferensiasi spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder berlangsung dalam waktu singkat (Dreef et al. 2007). Spermatosit primer ditemukan dalam jumlah besar dengan berbagai tahap pembelahan yang diidentifikasi berdasarkan karakteristik perubahan susunan kromatin (Tabel 4 dan Gambar 15). Tahap tersebut adalah preleptotene, leptotene, zygotene, pachytene, dan diplotene. Kromosom yang berbentuk rantai tipis merupakan ciri khas tahap preleptotene dan leptotene (Gambar 15A, 15E, 15F). Tahap zygotene ditandai dengan bergabungnya kromosom dan membentuk setengah lingkaran pada inti sel spermatosit primer (Gambar 15B, 15D). Lanjutan dari tahap zygotene adalah pachytene (Gambar 15A, 15D). Tahap ini paling banyak ditemukan pada tubuli seminiferi testis muncak dan mudah diidentifikasi. Inti sel berukuran besar dan didominasi dengan kromosom yang merata pada seluruh inti, sehingga sitoplasmanya tidak teramati dengan jelas. Tahap berikutnya adalah diplotene (Gambar 15D) yang jarang ditemukan. Karakteristik tahap ini adalah posisi inti sel yang menepi di pinggir membran sitoplasma. Posisi tersebut memperlihatkan sitoplasma yang bersifat eosinofilik. Tahap diplotene merupakan tahap akhir perubuhan kromatin
44
inti sel spermatosit primer yang selanjutnya akan memasuki pembelahan meiosis untuk menghasilkan spermatosit sekunder dan spermatid. Sel berikutnya adalah spermatid berbentuk bulat (round spermatid) dan berbentuk lonjong (elongated spermatid) dengan struktur kromatin padat yang terwarnai lebih gelap dibandingkan inti sel lainnya. Pada lumen tubuli terdapat spermatozoa non motil dan infertil, bercampur dengan substansi yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Substansi tersebut seperti: glikoprotein, gliserofosforil kolin, androgen binding protein (ABP) dan inhibin (Wrobel dan Bregmann 2006). Proses diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa dapat diamati dengan jelas melalui
pewarnaan
periodic-acid
Schiff
(PAS)
yang
bermanfaat
untuk
menentukan jumlah tahapan diferensiasi yang terjadi mulai dari round spermatid hingga menjadi elongated spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa (Nakai et al. 2004; Dreef et al. 2007). Sitoplasma sel Sertoli atau sustentacular cells dapat diamati diantara selsel epitel germinal, mulai dari membran basal sampai mendekati lumen tubuli dengan jumlah lebih sedikit. Sitoplasma sel Sertoli yang eosinofilik jarang ditemukan pada pengamatan, kecuali pada tahap tertentu dari tahapan epitel tubuli seminiferi. Bentuk sitoplasma sel ini tidak beraturan, dan secara mikroskopis terlihat memanjang di antara sel-sel germinal. Namun keberadaan inti sel lebih mudah diamati dengan bentuk oval dan berwarna lebih pucat dibandingkan inti sel spermatogonia, spermatosit dan spermatid. Ciri khas inti sel ini adalah keberadaan nukleolus yang menonjol dan dapat dibedakan dengan inti spermatogonia A yang juga berinti pucat dan berdekatan dengan inti sel Sertoli. Fungsi utama sel Sertoli adalah sebagai sel pendukung berlangsungnya spermatogenesis dibawah kontrol testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig. Fungsi fagositosis terhadap sel germinal yang mengalami apoptosis juga terjadi pada sel Sertoli (Johnson 1991). Berbagai substansi penting dihasilkan oleh sel Sertoli, yaitu: inhibin, estrogen, estradiol-17β, gonadokrinin, ABP, asam amino dan enzim, serta insulin-like growth factor 1, 2 (IGF 1, IGF 2) (Pineda 2003).
45
Gambar 15 Tipe sel epitel germinal tubuli seminiferi testis muncak (A-F). Spermatogonia A (SgA); dan spermatogonia B (SgB); spermatosit primer : preleptotene (Pl); pachytene (P); zygotene (Z); leptotene (L); dan diplotene (D); pembelahan meiosis (Me); spermatosit sekunder (Sk) spermatid : round (R) dan elongated (E); fase golgi (G); fase akrosom (A); dan fase maturasi (M); spermatozoa (Sz); sel Sertoli (Ss); sel Leydig (Lg); sel peritubular (Pt). Pewarnaan HE. Skala A- F: 30 µm.
46
Tabel 4 Karakteristik sel epitel germinal tubuli seminiferi muncak Tipe sel germinal
Diskripsi
Karakteristik
Spermatogonia A (SgA)
Terletak di membran basal, berinti pucat dengan sebagian besar sitoplasma tertutup inti
Spermatogonia B (SgB)
Terletak di membran basal dalam jumlah lebih banyak dibandingkan spermatogonia A, dan berinti gelap
Spermatosit primer preleptotene (Pl)
Merupakan hasil pembelahan spermatogonia B, terletak di lapis kedua setelah spermatogonia A dan B
Spermatosit primer leptotene (L)
Inti sel kecil dengan struktur kromatin membentuk untaian tipis yang mulai menyebar
Spermatosit primer zygotene (Z)
Inti sel mengumpul dan berbentuk setengah lingkaran (bulan sabit)
Spermatosit primer pachytene (P)
Inti sel berukuran besar dengan sebaran kromatin merata. Tahap spermatosit ini berada di antara spermatogonia dan spermatid
Spermatosit primer diplotene (D)
Berinti besar dan sitoplasma yang menonjol, terletak di antara pachytene dan spermatid
Spermatosit sekunder (Sk)
Hasil pembelahan meiosis, berukuran kecil dan sangat jarang ditemukan (berdiferensiasi cepat)
Spermatid fase Golgi (G)
Merupakan hasil diferensiasi spermatosit sekunder, sering dijumpai dalam jumlah besar
Spermatid fase akrosom (A) awal
Spermatid fase golgi yang mulai memanjang, memasuki fase akrosom, dan tersebar di atas lapisan spermatosit
Spermatid fase akrosom (A)
Spermatid dengan akrosom di proksimal, banyak ditemukan dan tersebar di antara spermatosit
Spermatid fase maturasi (M)
Spermatid mengalami maturasi, dan terletak di ujung adluminal yang berhadapan dengan lumen tubuli seminiferi
Spermatozoa (Sz)
Dilepaskan dari adluminal ke lumen tubuli (spermiasis) seminiferi testis,dan banyak ditemukan di lumen tubuli
47
Sel lainnya yang dapat diamati adalah sel myoid peritubular yang terletak di lamina basalis tubuli seminiferi. Inti sel peritubular berbentuk lonjong dan pipih seperti inti sel otot polos. Jarak antar inti sel teratur di sepanjang lamina basalis tubuli seminiferi. Kontraksi sel tersebut mengakibatkan spermatozoa berpindah dari tubuli seminiferi menuju duktus epididimidis (Egger dan Witter 2009). Jaringan interstisial (inter tubuli seminiferi) merupakan jaringan ikat longgar dengan sel fibroblas dan sel fibrosit. Pada jaringan interstisial tersebut juga terdapat sel Leydig dan sel-sel endotel dinding buluh darah. Sel Leydig merupakan sel polimorf yang berkelompok di sekitar buluh darah, dengan inti sel berbentuk polihedral. Inti sel fibroblas dan fibrosit berbentuk lebih lonjong. Jaringan ikat longgar inter tubuli seminiferi testis muncak diduga tersusun atas serabut retikular yang sulit dibedakan dengan serabut kolagen pada pewarnaan histologi standar (HE). Tipe serabut retikular merupakan serabut kolagen individual (kolagen tipe III) yang dilapisi oleh proteoglikan dan glikoprotein, yang dapat diidentifikasi dengan pewarnaan PAS, silver impregnations tertentu (Wrobel dan Bregmann 2006) dan pewarnaan histokimia lektin. Struktur histologi jaringan testis muncak pada periode ranggah keras secara umum mirip dengan struktur jaringan testis pada ruminansia lainnya, seperti kerbau (Arrighi et al. 2010); kambing (França et al. 1999); eld’s deer, Cervus eldi thamin (Monfort et al. 1993); dan rusa timor, Cervus timorensis (Handarini 2006; Moonjit dan Suwanpugdee 2007). Rataan diameter tubuli seminiferi testis dan lumennya yang diukur pada saat muncak berada pada periode ranggah keras, secara berurutan adalah adalah 176.60 ± 7.06 µm dan 84.53 ± 6.91 µm. Diameter tubuli seminiferi muncak pada periode ranggah keras lebih kecil dibandingkan diameter tubuli seminiferi beberapa spesies Cervidae pada periode ranggah yang sama. Diameter tubuli seminiferi rusa timor adalah: 271.12 ± 9.7 µm (Handarini 2006), red deer (Cervus elaphus): 180.0 ± 8.5 µm (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978), tetapi lebih besar dibandingkan diameter tubuli seminiferi fallow deer (Dama dama), yaitu 143.1 µm (Massanyi et al. 1999). Perbedaan diameter tubuli seminiferi antara muncak, rusa timor, dan red deer diduga berkaitan dengan perbedaan lingkar skrotum, volume testis, postur tubuh, dan bobot badan.
Bobot rusa timor jantan berada pada kisaran 48.0-86.9 kg, dengan
lingkar skrotum dan volume testis pada periode ranggah keras berturut-turut adalah: 20.21 ± 0.91 cm dan 187.85 ± 13.61 g (Handarini et al. 2004), sedangkan
48
bobot badan red deer adalah 91.5-104.6 kg (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978), namun ukuran lingkar skrotum dan volume testis tidak dilaporkan. Data tersebut memperlihatkan bobot kedua spesies rusa tersebut jauh di atas bobot muncak jantan dewasa (17.0-19.5 kg). Peningkatan diameter tubuli seminiferi dari periode ranggah velvet ke periode ranggah keras adalah 36.49% pada rusa timor (Handarini 2006), dan 31.39% pada red deer (Hochereau-de Reviers dan Lincoln 1978). Data tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan diameter tubuli pada Cervidae tersebut tidak hanya terjadi pada spesies yang hidup di wilayah beriklim sedang, tetapi dilaporkan pula pada rusa timor yang hidup di wilayah beriklim tropis. Perbedaan konsentrasi testosteron pada setiap periode ranggah merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas spermatogenesis di tubuli seminiferi testis. Akibatnya, terjadi perbedaan komponen sel germinal tubuli dan histomorfometri jaringan testis pada kedua periode ranggah tersebut (Loudon dan Curlewis 1988). Berbeda dengan Cervidae, diameter tubuli seminiferi testis ruminansia dengan pola reproduksi tidak bermusim seperti kambing kacang (153.33 ± 10.07 µm) dan domba lokal (155.93 ± 14.17 µm), tidak mengalami perubahan dengan produksi spermatozoa yang stabil sepanjang tahun (Noviana et al. 2000).
Duktus Epididimidis Morfologi dan morfometri Duktus epididimidis merupakan saluran tunggal memanjang dan sangat berliku yang melekat erat dengan sisi medial testis dexter et sinister (Gambar 12). Duktus epididimidis muncak terbagi atas kaput di anterior testis, korpus di dorsal testis, dan kauda di posterior testis. Pembagian lain menyebutkan istilah intial segment yang merupakan perbatasan antara duktus eferen dan kaput epididimidis (Serre dan Robaire 1999). Namun pada penelitian ini bagian tersebut tidak digunakan, baik pada pengamatan morfologi maupun struktur histologi. Morfometri duktus epididimidis (kaput, korpus dan kauda) diperlihatkan pada Tabel 2. Rataan panjang kaput, korpus, dan kauda epididimidis dexter et sinister secara berurutan adalah: 1.76 cm, 4.03 cm, dan 1.38 cm dengan panjang keseluruhan adalah
7.17 cm. Ukuran tersebut lebih
pendek dibandingkan dengan ukuran panjang duktus epididimidis rusa timor yaitu 15.48-16.31 cm (Nalley 2006). Menurut Johnson (1991), ukuran duktus epididimidis pada jantan dewasa yang masih terbungkus skrotum adalah sekitar 7-8 cm, namun bila direntangkan, panjangnya dapat mencapai 6 m. Kaput
49
epididimidis memiliki lipatan duktus terbanyak, diikuti korpus dan kauda epididimidis. Histologi dan histomorfometri Pada sayatan melintang, duktus epididimidis muncak dilapisi oleh epitel tipe silindris banyak baris (psedostratified columnar epithelium) yang dikelilingi oleh jaringan ikat longgar dan lapisan otot polos sirkular (Gambar 16). Lumen kaput epididimidis berisi spermatozoa yang berasal dari tubuli seminiferi dan duktus eferen. Beberapa tipe sel ditemukan dengan jelas pada lapisan epitelnya, yaitu: principle cells (PC) dengan stereosilia, sel basal di bagian membran basal dengan ukuran inti sel yang bervariasi, dan sel-sel limfosit diantara PC. Menurut Primiani et al. (2007), PC berstereosilia merupakan sel dengan populasi terbanyak dibandingkan tipe sel lainnya, hal ini juga diamati pada lapisan epitel duktus epididimidis muncak. Selain sel-sel tersebut masih ada beberapa tipe sel lainnya, yaitu: sel halo, sel clear, sel apikal, monosit, dan makrofag (Ahmed et al. 2009). Sel halo merupakan sel imun yang tergolong limfosit atau monosit (Serre dan Robaire, 1999). Namun pada pewarnaan HE yang digunakan pada penelitian ini, beberapa tipe sel tersebut sulit diidentifikasi, kecuali dengan metode pewarnaan menggunakan marker spesifik untuk tipe sel-sel imun, seperti marker untuk limfosit T helper dan cytotoxic, dan limfosit B, selain itu dapat pula digunakan metode pewarnaan toluidine blue dan preparasi jaringan duktus epididimidis untuk diamati dengan transmission electron microscope (TEM) (Yeung et al. 1994; Ahmed et al. 2009). Posisi inti PC pada kaput epididimidis muncak lebih mendekati sel basal yang terdapat di membran basal kaput. Beberapa ciri khas lainnya yang ditemukan pada kaput epididimidis, adalah: 1) ukuran stereosilia yang lebih panjang dibandingkan stereosilia pada korpus dan kauda epididimidis, 2) adanya sel-sel limfosit di intra epitel yang bermigrasi dari membran basal ke lumen, 3) spermatozoa masih bercampur dengan substansi yang berasal dari testis yang belum
diserap
oleh
sel
epitel
duktus
eferen
dan
kaput
epididimidis
(Gambar 15A, 15B). Korpus epididimidis juga dilapisi oleh tipe sel epitel yang sama dengan kaput epididimidis, namun posisi inti PC lebih mengarah ke bagian sentral sitoplasma sel dengan ukuran silia yang lebih pendek (Gambar 16C, 16D). Kemiripan lainnya dengan kaput epididimidis adalah masih ditemukannya limfosit, dengan jumlah yang lebih banyak, baik yang sedang bermigrasi, maupun yang bercampur dengan spermatozoa di lumen epididimidis. Di
50
sekeliling duktus ditemukan lapisan otot polos sirkular yang lebih tebal dibandingkan lapisan otot pada kaput epididimidis. Pada lumen korpus epididimidis, cairan yang berasal dari tubuli seminiferi testis dan duktus eferen yang ditransfer bersama spermatozoa menuju duktus epididimidis semakin berkurang. Hal ini menunjukkan, bahwa proses absorbsi cairan tersebut sebagian besar berlangsung di kaput epididimidis. Karakteristik yang ditemukan pada kauda epididimidis muncak adalah lapisan otot polos sirkular yang paling tebal dibandingkan lapisan otot pada bagian epididimis sebelumnya (Gambar 16E, 16F). Selain itu, ukuran sel utama dan stereosilianya lebih pendek serta masih ditemukannya sel makrofag, namun jumlahnya semakin berkurang. Lumen kauda epididimidis paling besar dibandingkan lumen kaput dan korpus epididimidis dan berisi spermatozoa motil dan fertil dalam jumlah besar yang disimpan sebelum disalurkan ke duktus deferens. Perbedaan struktur histologi yang diamati pada penelitian ini berkorelasi erat dengan fungsi dari masing-masing bagian duktus epididimidis sebagai organ penyalur, pematangan, dan penyimpanan spermatozoa. Saat melewati kaput dan korpus epididimidis, spermatozoa mengalami serangkaian perubahan morfologi dan fungsi serta mengalami proses maturasi, sehingga saat mencapai kauda
epididimidis,
spermatozoa
telah
motil
dan
fertil
(Wrobel
dan
Bregmann 2006). Keberadaan PC dengan jumlah terbesar di sepanjang duktus epididimidis, khususnya pada bagian kaput dan korpus, berperan pada proses absorpsi cairan yang berasal dari tubuli seminiferi testis, serta sintesis dan sekresi substansi yang diperlukan untuk maturasi spermatozoa (Cooper 1986). Proses absorpsi dan sekresi oleh PC berlangsung di bagian sel yang berhadapan dengan lumen, bagian lateral dan basal sel di antara ruang interselular. Ruang interselular tersebut berbatasan dengan ruang perivaskular dari kapiler subepitel (Kumar et al. 1982). Setelah melalui proses maturasi di bagian kaput dan korpus, spermatozoa disimpan di lumen kauda epididimidis dengan diameter terbesar dan lapisan epitel paling tipis. Struktur demikian sangat sesuai bagi kauda epididimidis sebagai saluran berbentuk kantong untuk menampung dan menyimpan spermatozoa dalam jumlah besar sebelum disalurkan ke duktus deferens menuju ampula.
51
Gambar 16 Struktur histologi duktus epididimidis muncak (Muntiacus muntjak muntjak). A. Kaput epididimidis, C. korpus epididimidis, dan E. kauda epididimidis. B, D, dan F adalah inset dari A, C, dan E. Ketiga bagian duktus epididimidis tersusun atas epitel silindris banyak baris (Ep) dengan stereosilia (Ss) dan dikelilingi oleh serabut otot polos (Sm) dengan fibroblas (Fb) dan fibrosit (Fs), serta dipisahkan oleh jaringan ikat longgar (Jil). Pada lumen (L) duktus terdapat spermatozoa (Sz). Sel-sel epitel duktus: principle cells (Pc); sel apikal (Sa); sel basal (Bc) pada membrane basal (Mb); limfosit (Lm); dan sel clear (Sc). Pewarnaan HE. Skala A, C, E: 100 µm; B, D, F: 50 µm.
52
Perbedaan histomorfometri ketiga bagian duktus epididimidis muncak yang meliputi diameter duktus dan ketebalan lapisan epitel disajikan pada Tabel 5. Diameter terbesar duktus epididimis muncak yang diamati pada periode ranggah keras ditemukan pada kauda epididimidis, yaitu: 324.26 ± 25.79 µm. Ukuran ini lebih kecil dibandingkan diameter duktus epididimidis rusa timor (386.52 ± 21.06 µm) pada periode ranggah yang sama (Handarini 2006). Tabel 5 Morfometri duktus epididimidis muncak pada periode ranggah keras.
Diameter duktus (µm)
Kaput 269.56 ± 1.88
Duktus epididimidis Korpus 202.09 ± 8.36
Kauda 324.26 ± 25.79
Tebal lapis epitel (µm)
62.21 ± 4.21
49.53 ± 3.01
16.30 ± 2.27
Parameter
Ketebalan epitel yang melapisi duktus epididimidis pada bagian kaput adalah 62.21 ± 4.21 µm. Ketebalan tersebut semakin berkurang pada korpus epididimidis, yaitu 49.53 ± 3.01 µm dan semakin menipis pada kauda epididimidis, yaitu 16.30 ± 2.27 µm. Perbedaan diameter duktus dan lumen epididimidis serta ketebalan lapis epitelnya juga dilaporkan pada kucing (Axner et al. 1999), cane rat (Olukole dan Obayemi 2010), dan neotropical bats (Beguelini et al. 2010). Secara kualitatif, kepadatan spermatozoa yang terdapat di lumen ketiga bagian epididimis juga bervariasi. Kepadatan spermatozoa tertinggi ditemukan pada kauda epididimidis, sedangkan terendah ditemukan di lumen kaput epididimidis. Namun parameter histomorfometri duktus epididimidis pada rusa timor yang dilaporkan Handarini (2006) hanya terbatas pada kauda epididimidis, sedangkan kedua bagian kaput dan korpus belum dilaporkan. Histomorfometri epididimis rusa timor menunjukkan perbedaan signifikan antara periode ranggah keras dan velvet. Diameter duktus kauda epididimidis rusa timor pada periode ranggah keras, adalah: 386.52 ± 21.06 µm, sedangkan periode ranggah velvet adalah 297.63 ± 9.52 µm, dengan peningkatan diameter sebesar 29.87% (Handarini, 2006). Diameter tersebut
lebih besar 19.2%
dibandingkan diameter kauda epididimidis muncak (324.26 ± 25.79 µm) pada periode
ranggah
yang
sama.
Perbedaan
signifikan
dari
parameter
histomorfometri epididimis juga dilaporkan pada mediteranian buffalo saat musim kawin dan sebaliknya (Arrighi et al. 2010). Pada Cervidae dan mamalia lain dengan pola reproduksi musiman, histomorfometri komponen duktus epididimidis memperlihatkan perubahan sesuai periode aktif reproduksinya. Perubahan yang
53
terjadi pada kedua periode ranggah tersebut disebabkan oleh perbedaan konsentrasi androgen (testosteron) dalam sirkulasi darah. Tingginya konsentrasi testosteron yang telah dikonversi oleh 5α-reduktase menjadi DHT pada periode ranggah keras,
mempengaruhi aktivitas duktus epididimidis yang ditandai
dengan meningkatnya ukuran diameter kaput, korpus dan kauda epididimidis. Kondisi
yang
sama
juga
terjadi
pada
tubuli
seminiferi
testis
tikus
(Kolasa et al. 2004). Periode aktif reproduksi rusa timor juga ditandai dengan konsentrasi testosteron plasma yang tinggi, dan menurun drastis pada saat lepas ranggah dan ranggah velvet (Handarini dan Nalley 2008). Sejauh mana perbedaan histomorfometri komponen epididimis muncak pada periode ranggah keras dan ranggah velvet dapat diketahui dengan melakukan kajian yang sama pada saat muncak berada pada periode ranggah velvet.
Duktus deferens Morfologi dan morfomteri Duktus deferens menghubungkan kauda epididimidis dengan bagian uretra pelvina. Secara makroskopis, duktus deferens muncak terdiri atas duktus deferens dexter et sinister, berjalan di sisi medial testis dan bergabung dengan buluh darah, dan syaraf membentuk funikulus spermatikus. Di anterior, duktus deferens dexter et sinister bermuara pada kolikulus seminalis, yaitu di bagian proksimal dari uretra pars pelvina. Bagian yang berbatasan dengan kolikulus seminalis melebar membentuk ampula dexter et sinister. Menurut Colville dan Bassert (2002), pada sebagian besar hewan, duktus deferens akan melebar sebelum bergabung dengan uretra yang disebut dengan ampula.
Frandson
et
al. (2009)
menyatakan
bahwa,
duktus
deferens
meninggalkan kauda epididimidis melalui kanalis inguinalis yang merupakan bagian dari funikulus spermatikus dan pada cincin inguinal internal memutar ke kaudal, memisah dari buluh darah dan syaraf dari funikulus spermatikus. Selanjutnya duktus deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian berjalan ke arah dorso-kaudal vesika urinaria, serta dalam lipatan peritoneum yang disebut lipatan urogenital (genital fold). Rataan panjang duktus deferens muncak adalah 10.02 cm (Tabel 2). Ukuran tersebut lebih pendek dibandingkan dengan ruminansia seperti domba (24.00 cm) (Toelihere 1981) dan Cervidae seperti rusa timor (45.16 - 45.24 cm)
54
(Nalley 2006). Duktus deferens berfungsi untuk menyalurkan spermatozoa dari kauda epididimidis pada proses emisi dan ejakulasi (Constantinescu 2007). Struktur histologi Pada sayatan melintang, struktur histologi duktus deferens muncak dari superfisial ke profundal terdiri atas: tunika serosa, tunika muskularis, lamina propria dan tunika mukosa yang mengelilingi lumen duktus (Gambar 17A, 17B). Tunika mukosa duktus deferens muncak membentuk lipatan-lipatan yang lebih pendek dibandingkan tunika mukosa pada uretra pars pelvina. Menurut Johnson (1991), lipatan-lipatan tersebut ditemukan di sepanjang duktus deferens dan dilapisi oleh epitel tipe silindris banyak baris, sama dengan jenis lapis epitel yang melapisi mukosa duktus epididimidis. Namun demikian, ukuran epitelnya lebih pendek dibandingkan epitel duktus epididimidis. Di bagian basal tunika mukosa (lamina propria) ditemukan jaringan ikat longgar yang kaya dengan fibroblas. Lapisan selanjutnya adalah tunika muskularis yang merupakan lapisan paling tebal. Tunika muskularis mengandung serabut otot polos sirkular di bagian dalam dan longitudinal di bagian luar. Lapisan terluar duktus deferens adalah tunika serosa. Pada lapisan ini banyak ditemukan buluh darah.
Gambar 17 Duktus deferens muncak. A struktur umum dengan bagian tunika serosa (Ts) dengan buluh darah (Bd), tunika muskularis (Tm), lamina propria (Lp), lapisan epitel (Ep). B inset A memperlihatkan epitel silindris banyak baris dengan stereosilia (Ss), sel pricipal (Pc), sel basal (Bc), lumen (L), membran basal (Mb), fibroblas (Fb), fibrosit (Fs), serabut otot polos (Sm), dan sekreta (Sk). Pewarnaan HE. Skala: 200 µm (A), 50 µm (B).
Sel-sel utama atau principle cells (PC) merupakan sel dominan yang ditemukan pada lapisan epitel mukosa duktus deferens, dilengkapi dengan stereosilia bercabang dan lebih pendek dibandingkan stereosilia pada kauda epididimidis. Fungsi dari PC adalah sebagai aparatus endositosis, absorbsi
55
cairan c yang g melewati duktus defe erens, dan sekresi cairan (apokrin). Fungsi tersebut t juga dimiliki ole eh PC duktu us epididimidis. Pada m membran bassal duktus, masih ditem mukan sel ba asal. Fungssi sel basal diduga d seba agai penghubung antar PC di bagian membran basal duktus (Orsi et all. 2009). Jum mlah sel basal semakin banyak dite emukan di bagian b yang g mendekatii ampula (W Wrobel dan Bergmann 2006). 2 Bagian akhir duktus deferens disebut ampula a dengan keberadaan yang bervariasi pa ada beberap pa spesies h hewan.
Kelenjar As sesoris Kela amin Kelenjjar asesoris kelamin mu uncak terdirri atas sepassang kelenja ar ampula, sepasang s
kelenjar
v vesikularis,
dan
sep pasang
ke elenjar
bullbouretralis
8); dan kele enjar prosta ata. Secara makroskop pis, morfolog gi kelenjar (Gambar 18 asesoris a ke elamin pada a muncak m memiliki kem miripan den ngan rumina ansia kecil (domba dan n kambing) dan Cervid dae (rusa timor t dan kkancil), tetap pi memiliki morfometri yang berbeda. Kelenjar prostat tid dak teramatii pada muncak jantan secara s makroskopis, sa ama halnya d dengan kam mbing dan do omba (Gambar 19 dan Tabel T 6). Untuk U menge etahui kebe eradaan kele enjar prosta at pada muncak perlu dilakukan d p pengamatan secara mikkroskopis. Pengamatan P n dilakukan di bagian uretra pars pelvina yang terletak diantara ke elenjar vesikkularis dan ampula di k bulb bouretralis di d kaudal. kranial dan kelenjar
Gambar G 18 M Morfologi kele ejar asesoris kelamin mun ncak. Ampula a (1), kelenjar vesikularis ( uretra pars pelvina (3), dan kelenjar bulbouretrallis (4). Skala: 1 cm. (2),
m n plasma semen dengan volume Sekrresi kelenjarr asesoris menghasilka terbesar t (60 0-90%) dari volume tottal plasma. Sekreta kelenjar disekkresikan ke lumen uretrra sebagai medium ya ang sesuai untuk men ngalirkan sp permatozoa selama s ejakkulasi menu uju organ rreproduksi betina b (Aug ghey dan Frye 2001). Motilitas dan n aktivitas metabolik m sp permatozoa dapat berla angsung akib bat sekresi
56
kelenja ar asesoriss bersama sekresi ya ang berasa al dari tesstis dan du uktus epididimidis saat terjadi t ejakulasi (Pineda 2003). Morfologi dan d histologi kelenjar assesoris kelam min bervaria asi pada mam malia jantan (Chugtai et e al. 2005; Thomson dan Marker 2006). 2 Kebe eradaan kelenjar ak secara um mum sama dengan dom mba (Colville e dan asesoris kelamin pada munca ert 2002), da an pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). 2 Belum m dilaporkannya Basse kebera adaan pars diseminata kelenjar pro ostat pada pampas dee er diduga belum b dilakukannya pen ngamatan hiistologi bagian uretra pars p pelvina a antara kelenjar ularis dan bulbouretrali b ga memperllihatkan kom mposisi kelenjar vesiku s. Sapi jug asesoris yang mirip dengan muncak, namun n kelen njar prostattnya membe entuk an Bassert 2002). 2 korpuss (Colville da
A
B
D
C
E
ar 19 Posisi kelenjar asessoris kelamin muncak deng gan hewan la ainnya. A. Kud da, B. Gamba Sapi, C. C Babi, D. Anjing, A dan E. Muncak hasil h penelitia an. Ampula a (1), Kelenja ar vesikulariss (2), Kelenjjar prostat (3), kelenjar bulbouretralis (4) (Sumber: A,B,C,D Colville C dan B Bassert 2002)).
Tabel 6 Keberad daan kelenjar asesoriss kelamin muncak m dan n hewan ja antan lainnya. Kelenjarr Prostat Pars Korpus diseminata a +* ?
Ampula A
Kelenjar sikularis Ves
Munca ak1 Pampa as deer2
+ +
+ +
Rusa timor3 Domba a4 4 Babi Anjing4 Sapi5
+ + +
+ + + +
+ + + +
? + + -
Kuda5
+
+
+
-
He ewan
1
*
Kelenjjar Bulboure etralis + + ? + + + + 2
Sumbe er: Muncak hasil h penelitia an, ditemukan n setelah pen ngamatan histtologi, Unge erfeld et al. (20 008), 3Nalley (2006),?tidak teramati atau a belum a ada data strruktur histologi, 4Colville dan Bassert (2002), 5Aughey dan d Frye (200 01).
57
Ampula Morfologi dan morfometri Secara makroskopis, ampula terbagi atas ampula dexter et sinister, berbentuk lonjong dan merupakan tempat bermuaranya duktus deferens di bagian anterior. Bagian kranial ampula yang berhubungan langsung dengan duktus deferens berukuran lebih kecil dan membesar ke arah kaudal. Setengah bagian lateral dari ampula dexter et sinister melekat dengan bagian medial kelenjar vesikularis. Ampula bagian kaudal berbatasan dengan bagian kranial uretra pars pelvina. Pada beberapa spesies mamalia, ampula sering disebut sebagai pelebaran duktus deferens (bagian terminal), seperti pada great cane rat (Adebayo et al. 2009), sehingga pembahasan anatomi dan histologi ampula dilakukan bersamaan dengan duktus deferens. Rataan morfometri ampula dexter et sinister muncak adalah: panjang 3.60 cm, tebal 0.41, dan bobot 1.45 g. Panjang ampula muncak lebih pendek dibandingkan dengan panjang ampula domba 7 cm (Toelihere 1981) dan rusa timor (7.01-7.49 cm) (Nalley 2006), namun lebih besar dibandingkan dengan kancil (Tabel 3). Ketebalan ampula muncak disebabkan banyaknya kelenjar sekretori
dibandingkan
dengan
kelenjar
sekretori
ampula
pada
kancil
(Toelihere 1981). Ampula berfungsi dalam mensekresikan cairan kelenjar dan merupakan komponen salah satu kelenjar pembentuk semen (Colville dan Bassert 2002). Struktur histologi Ampula merupakan pelebaran dan tempat bermuaranya sekresi duktus deferens. Gambar 20A dan 20B memperlihatkan struktur histologi ampula muncak yang dari superfisial ke profundal terbagi atas 1) tunika serosa, 2) tunika muskularis, 3) kelenjar sekretori, dan 4) lumen. Tunika serosa merupakan lapisan terluar, mengandung buluh darah. Tunika muskularis tersusun atas serabut otot polos sirkular yang membungkus kelenjar sekretori di bagian superfisial. Kelenjar sekretori ampula tergolong kelenjar simple tubuloalveolar bertipe apokrin. Masing-masing kelenjar tersebut dipisahkan oleh jaringan ikat longgar dengan beberapa buluh darah kecil. Kelenjar sekretori ampula dilapisi oleh simple columnar epithelium atau epitel silindris sederhana, dengan posisi inti sedikit di atas membran basal. Selain itu keberadaan sel-sel basal masih ditemukan di membran basal lapis epitel. Pada bagian apikal sel epitel kelenjar, terdapat stereosilia berukuran pendek dan tidak bercabang.
58
Gambar 20 Struktur histologi ampula muncak. A. kelenjar sekretori ampula bertipe tubuloalveolar (Ta), dilindungi oleh tunika muskularis (Tm), dan jaringan ikat longgar di antara kelenjar. B. inset A, memperlihatkan karakteristik lapis epitel. Sce: simple columnar epithelium (epitel silindris sederhana), Bc: sel basal, Ss: stereosilia, Fb: fibroblas, Bd: buluh darah, dan Sk: sekreta. Pewarnaan HE. Skala: 100 µm (A), 50 µm (B).
Sekresi kelenjar ampula ditemukan di lumen kelenjar yang akan disekresikan ke lumen ampula. Menurut Hafez (2000), sekresi ampula mengandung fruktosa dan asam sitrat, namun demikian kelenjar vesikularis merupakan sumber utama penghasil fruktosa dan asam sitrat. Metode pewarnaan spesifik dapat diaplikasikan pada ampula muncak, seperti metode histokimia PAS dan alcian blue (AB) untuk melokalisasi sebaran karbohidrat netral maupun karbohidrat asam serta sebaran glikokonjugat dengan histokimia lektin. Perbedaan aktivitas kelenjar ampula maupun kelenjar asesoris lainnya selama periode pertumbuhan ranggah, dapat diketahui dari intensitas warna yang dihasilkan. Namun pewarnaan AB dan PAS tidak dilakukan pada penelitian ini, karena sampel kelenjar asesoris kelamin dikoleksi pada saat muncak berada pada periode ranggah keras.
Kelenjar Vesikularis Morfologi dan morfometri Kelenjar vesikularis muncak secara makroskopis berjumlah sepasang yang berbentuk lonjong dan memiliki beberapa lobus yang dapat diamati dengan jelas dari superfisial. Kelenjar ini terletak di dorso-lateral pangkal vesika urinaria dan di lateral ampula dexter et sinister. Di kaudal, kelenjar vesikularis berbatasan dengan uretra pars pelvina yang posisinya sejajar dengan ampula. Fungsi kelenjar vesikularis adalah sebagai organ penghasil plasma semen dengan porsi terbesar dibandingkan kelenjar asesoris kelamin lainnya (Pineda 2003).
59
Komposisi sekresi kelenjar vesikularis mengandung heksosa, fruktosa, dan asam sitrat dengan konsentrasi tinggi yang selanjutnya akan disekresikan ke kolikulus seminalis (Hafez 2000). Kelenjar vesikularis memiliki rataan ukuran panjang 2.25 cm, tebal 0.64 cm, dan bobot 2.06 g. Rataan panjang kelenjar vesikularis hampir setengah dari panjang kelenjar vesikularis domba (4 cm) dan rusa timor (4.39-4.68 cm) (Naley 2006). Struktur histologi Histomorfologi kelenjar vesikularis muncak diperlihatkan pada Gambar 21. Secara umum struktur histologi kelenjar tersebut mirip dengan kelenjar vesikularis domba, yang terdiri atas kapsula otot polos yang membungkus kelenjar sekretori. Kelenjar sekretori membentuk lobus, dan masing-masing lobus kelenjar dipisahkan oleh septum interlobular yang kaya akan serabut otot polos dan buluh darah. Lobus kelenjar selanjutnya membentuk lobulus kelenjar dan masing-masing lobulus dipisahkan oleh trabekula yang merupakan penjuluran dari septum interlobularis. Struktur trabekula adalah jaringan ikat padat yang tersusun atas serabut otot polos dengan sel fibrosit.
Gambar 21 Struktur histologi kelenjar vesikularis muncak. A. Struktur umum kelenjar memperlihatkan tipe kelenjar tubuloalveolar (Ta), kapsula otot polos (K) septum interlobular (Si), dan trabekuli (Tr) di antara kelenjar. B. inset A, memperlihatkan karakteristik lapis epitel. Pse: pseudostratified columnar epithelium (epitel silindris banyak baris), Bc/Ld: sel basal dengan lipid droplet, Ap: penjuluran apikal, Fs: fibrosit, Bd: buluh darah, dan Sk: sekreta. Pewarnaan HE. Skala: 200 µm (A), 50 µm (B).
Kelenjar vesikularis tergolong tipe kelenjar tubuloalveolar dan dilapisi oleh epitel kolumnar dan beberapa sel epitel membentuk penjuluran di bagian apikal sel (apical projection) yang berhadapan dengan lumen kelenjar (Gambar 21B).
60
Sel-sel sekretori kelenjar vesikularis muncak mensekresikan sekreta secara apokrin, dimana bagian apikal dari sel-sel tersebut ikut luruh bersama sekreta yang dihasilkan. Sekreta kelenjar vesikularis ditemukan di lumen kelenjar yang selanjutnya disalurkan ke lumen uretra pars pelvina. Sekreta yang dihasilkan kelenjar vesikularis bersifat alkalis yang berfungsi untuk menetralisir saluran reproduksi betina yang bersifat asam dan memberikan bau yang spesifik pada cairan semen (Frandson et al. 2009). Ukuran sel epitel kelenjar vesikularis pada Cervidae jantan lebih tinggi pada periode musim kawin (Wrobel dan Bergmann 2006). Namun belum dapat diperlihatkan sejauh mana perbedaan ukuran sel epitel kelenjar vesikularis muncak pada periode ranggah keras dan ranggah velvet. Hal ini disebabkan keterbatasan sampel kelenjar asesoris pada periode ranggah keras. Diduga terdapat perbedaan ukuran sel terkait dengan aktivitas kelenjar yang dipengaruhi oleh fluktuasi konsentrasi testosteron selama periode ranggah. Testosteron dalam bentuk DHT beperan penting dalam proses sintesis dan sekresi plasma semen pada kelenjar asesoris kelamin seperti kelenjar vesikularis (Pineda 2003). Pada membran basal epitel kelenjar vesikularis muncak ditemukan beberapa sel basal dengan lipid droplet. Pada domba, lipid droplet tidak ditemukan, namun ditemukan pada kelenjar vesikularis rusa (Wrobel dan Bergmann 2006). Dari pengamatan, jumlah sel basal pada membran basal epitel kelenjar vesikularis muncak lebih sedikit dibandingkan dengan kelenjar pada ampula. Pars Diseminata Kelenjar Prostat Struktur histologi Kelenjar prostat pada muncak berbentuk pars diseminata (Gambar 22A, 22B). Dari superfisial ke profundal ditemukan kapsula, lamina propria dengan kelenjar sekretori, stratum spongiosum, tunika mukosa, dan lumen uretra di bagian sentral. Kapsula merupakan jaringan ikat padat yang tersusun atas serabut otot polos tebal mengelilingi lamina propria dengan kelenjar sekretori dan uretra pars pelvina. Kapsula selanjutnya membentuk penjuluran ke profundal dan memisahkan setiap lobus kelenjar. Kelenjar sekretori pars diseminata prostat muncak tergolong tipe tubuloalveolar dan mengelilingi uretra pars pelvina secara keseluruhan. Distribusi kelenjar sekretori lebih banyak ditemukan di bagian dorsal yang berada di ventral kapsula tunika muskularis, sedangkan di bagian profundal yang berdekatan dengan stratum spongiosum, kelenjar sekretori lebih sedikit (jarang). Posisi pars
61
diseminata d k kelenjar prosstat seperti yyang ditemu ukan pada muncak m juga ditemukan pada sapi dan d rusa, na amun pada domba, pa ars disemina ata hanya mengelilingi m bagian dorso-lateral ure etra pars pelvvina yang membentuk m h huruf ’u’ (Pineda 2003). Babi memiliki kedua bentuk kelenja ar prostat, ya aitu korpus prostat yang g pipih dan pars disemiinata kelenja ar prostat yyang menge elilingi seluru uh sisi uretra (Wrobel dan d Bergma ann 2006).
Gambar G 22 Struktur S histolo ogi pars disem minata kelenjjar prostat mu uncak. A. Stru uktur umum. In nset A: lobuss pars disemiinata dan kelenjar sekreto ori (B dan C), penjuluran uretra u pars pe elvina (D), da an korpus sp pongiosum (E E). Pars disem minata (Pd), otot o polos (Sm m), lamina prropria (Lp), ko orpus spongiosum (Cs), septum s inter lo obuli (S), jaringan ikat lon nggar (Jil), du uktus (D), tipe e kelenjar tub buloalveolar (T Ta), epitel ku uboid (Sce); vena (V), urretra pars pe elvina (Up), epitel e uretra (Ep), dan sekkreta (Sk). Pe ewarnaan HE. Skala A: 1 mm; B, D, dan E: 200 µm; µ dan C: 50 0 µm.
62
Tipe epitel yang melapisi kelenjar sekretori tersebut adalah epitel kuboid sederhana. Di antara kelenjar terdapat duktus yang berfungsi untuk menyalurkan sekresi kelenjar yang bersifat mukus menuju duktus kelenjar dan berakhir di lumen uretra pars pelvina. Menurut Frappier (2006), kelenjar sekretori pars diseminata kelenjar prostat mensekresikan substansi secara merokrin atau ekrin, yaitu sekreta berikut granul sekretori dilepaskan oleh sel sekretori ke lumen kelenjar. Lapisan berikutnya adalah stratum spongiosum yang mengelilingi uretra pars pelvina (Gambar 22A, 22E). Pada bagian ini ditemukan buluh darah vena dengan ukuran bervariasi. Menurut Wrobel dan Bergmann (2006), pada saat terjadi ereksi, buluh darah tersebut dialiri darah sehingga ukuran penis sedikit membesar.
Mukosa uretra pars pelvina pada muncak membentuk beberapa
lipatan longitudinal yang menjulur ke arah lumen uretra. Di antara penjuluran tersebut ditemukan sekresi kelenjar yang berasal dari duktus kelenjar sekretori untuk dialirkan ke lumen uretra (Gambar 22D). Tipe epitel yang melapisi mukosa uretra pars pelvina adalah epitel transisi antara epitel kolumnar dan epitel kuboid. Lapis sub mukosa uretra terdiri atas jaringan ikat longgar dengan serabut elastis dan sel-sel otot polos. Cervidae seperti rusa timor, memiliki kelenjar prostat yang membentuk korpus seperti yang ditemukan pada sapi (Nalley 2006), namun struktur histologi korpus prostat pada rusa tersebut belum dilaporkan. Muncak tidak memiliki korpus prostat, dan kondisi tersebut juga dilaporkan pada pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang menghasilkan sekreta yang bersifat sedikit asam dan berfungsi untuk menetralisir plasma semen. Sifat sedikit asam tersebut disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme karbondioksida dan asam laktat yang berfungsi untuk merangsang pergerakan spermatozoa ejakulat (Wrobel dan Bergmann 2006). Selain itu sekreta juga berfungsi untuk memberikan aroma yang spesifik pada plasma semen (Frandson et al. 2009). Deteksi terhadap komponen sekresi kelenjar prostat pada sapi dapat diketahui dengan metode pewarnaan histokimia PAS. Reaksi positif menunjukkan keberadaan granul glikogen, mukopolisakarida netral, amiloid, dan granul lipid (Bhosle et al. 2007). Aplikasi pewarnaan PAS perlu dilakukan pada muncak untuk mengetahui perbedaan aktivitas kelenjar sekretori prostat pada periode ranggah keras maupun ranggah velvet. Kontribusi sekreta kelenjar prostat terhadap volume total semen bervariasi pada berbagai spesies.
63
Ruminansia (sapi, kambing, domba) sebanyak 4-6%, kuda sebanyak 25-30%, dan babi sebanyak 35-60% (Wrobel dan Bergmann 2006), serta 20–30% pada manusia (Martini 2006).
Kelenjar Bulbouretralis Morfologi dan morfometri Muncak memiliki sepasang kelenjar bulbouretralis yang terletak di bagian kaudal uretra pars pelvina. Di bagian kaudo-ventral kelenjar bulbouretralis terdapat muskulus bulbospongiosus. Menurut Dyce et al. (2002), kelenjar bulbouretralis dilapisi oleh muskulus bulbospongiosus yang tebal dan kuat, dan membentuk saluran hingga ke bagian dorsal divertikulum. Sekresi kelenjar tersebut berfungsi untuk membersihkan dan menetralisir uretra dari bekas urin yang bersifat asam dan kotoran-kotoran lainnya sebelum ejakulasi berlangsung (Hafez 2000), serta untuk lubrikasi glans penis (Martini 2006). Secara makroskopis, kelenjar bulbouretralis muncak berukuran besar, dengan lebar 1.61 cm, tebal 0.71 cm, dan bobot 2.39 g. Selain itu, ukuran kelenjar bulbouretralis muncak lebih besar dari pada kancil yang memiliki diameter 0.72-0.93 cm, tinggi 0.46-0.63 cm, dan bobot 0.82-0.9 g. Bila diamati pada tahap ranggah keras, bobot kelenjar bulbouretralis reeves muntjak (1.19-1.27 g) (Chapman dan Harris 1991) lebih ringan dibandingkan dengan bobot kelenjar ini pada muncak (2.39 g). Hal ini berbeda dengan rusa timor yang diduga memiliki ukuran kelenjar bulbouretralis sangat kecil sehingga kelenjar ini tidak ditemukan (Nalley 2006). Struktur histologi Struktur histologi kelenjar bulbouretralis diperlihatkan pada Gambar 23A, 23B. Kelenjar bulbouretralis pada muncak terletak di bagian kaudal uretra pars pelvina memiliki kelenjar sekretori yang padat. Jaringan interstisial kaya akan serabut otot polos yang memisahkan masing-masing kelenjar sekretori. Tipe kelenjar sekretori bulbouretralis muncak adalah tipe tubular yang dilapisi oleh epitel kuboid. Frappier (2006) menyatakan, sekreta yang dihasilkan oleh kelenjar bulbouretralis bersifat mukus, yaitu cairan kental (mucin). Sekreta ini berfungsi untuk melindungi permukaan organ yang kopulatori saat kopulasi berlangsung. Sekreta dialirkan ke lumen kelenjar menuju duktuli dan selanjutnya bermuara ke duktus besar yang berada di bagian tengah kelenjar bulbouretralis (duktus sentralis). Mukosa duktus sentralis kelenjar juga dilapisi oleh epitel kuboid.
64
Gambar 23 Struktur histologi kelenjar bulbouretralis muncak. A. Struktur umum kelenjar dengan lumen (L) dan duktus sekretori (D). B. inset A. tipe kelenjar tubular (Tu), epitel kuboid (Sce) dengan sel sekretori (Sr), serabut otot polos (Sm) dan sekreta (Sk). Pewarnaan HE. Skala A : 200 µm, B: 50 µm.
Penis Morfologi dan morfometri Penis muncak tergolong fibroelastik (Gambar 24), terdiri atas radiks penis, korpus penis, dan glans penis. Radiks penis bertaut di bagian lateral dari arcus ischiadicus yang dihubungkan oleh crura penis dexter et sinister. Pada penis juga ditemukan muskulus ischio cavernosus atau erektor penis yang merupakan sepasang otot pendek yang terlihat dari tuber ischii dan ligamentum sacroischiadicum dan bertaut pada crura dan korpus penis. Pada korpus penis muncak terdapat fleksura sigmoidea yang membentuk huruf ‘S’. Fleksura sigmoidea akan meregang saat terjadi ereksi akibat relaksasi muskulus retraktor penis, sehingga penis tertarik keluar dari preputium dan sedikit membesar (Pineda 2003). Muskulus retraktor penis bertaut pada penis di bagian ujung kranio-ventral dari fleksura sigmoidea. Fleksura sigmoidea tidak teramati atau tidak nyata secara makroskopis pada hewan bertipe penis fibroelastik lainnya seperti rusa timor (Nalley 2006) dan pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). Panjang penis muncak yang diukur bersama preputium adalah 30.50 cm. Panjang penis muncak hampir sama dengan panjang penis domba, yaitu 35 cm (Frandson et al. 2009), dan rusa timor, yaitu 40.28-46.22 cm (Nalley 2006). Ukuran penis muncak lebih pendek dibandingkan penis domba dan rusa timor. Ukuran panjang penis muncak yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga panjang saluran reproduksi muncak betina yang bermanfaat untuk aplikasi teknik inseminasi buatan menggunakan semen muncak segar atau hasil preservasi.
65
Gambar G 24 M Morfologi penis muncak. Radiks penis (1), muskkulus retrakto or penis (2) k korpus peniss (3), fleksura a sigmoidea (4), preputiu um (5), glanss penis (6), p prosesus urettralis (7), dan n duktus deferrens (8). Skala: 1 cm.
a muncak be erukuran ke ecil, sedikit ccembung pa ada bagian Glans penis pada dorsal d dan memiliki m pro osesus uretrralis, seperti yang ditem mukan pada penis sapi dan d domba (Frandson et e al. 2009). Glans penis s diselubung gi oleh kulit preputium. ans penis dan prosessus uretraliss muncak adalah 0.91 1 cm dan Panjang gla 0.23 0 cm. Prosesus ure etralis munccak tidak me embentuk p putaran (spirral) seperti yang y dimilikki oleh bebe erapa rumina ansia lain. Prosesus P urretralis kanc cil berputar dua d setengah putaran searah jarrum jam da an bercaban ng (Najamudin 2010). alis pada ba abi adalah sa atu setengah h putaran de engan arah Putaran prosesus uretra m. Prosesuss uretralis berperan b da alam mend deposisikan berlawanan jarum jam semen s ke sa aluran repro oduksi betina a saat ejakulasi berlangssung (Toelihere 1981). Struktur his stologi Struk ktur histologi korpus penis dan uretra pa ars eksterna a muncak diperlihatkan d n pada Ga ambar 25. Struktur S penis dari superfisial ke profundal adalah: a 1) korpora ka avernosa pe enis, dan 2) 2 korpus spongiosum s penis. Di orpora kave ernosa, terda apat rongga a (kaverna) yang berjalan sirkular profundal ko mengelilingi uretra. Bentuk kavern na tidak berraturan deng gan ukuran bervariasi 5A, 25B). Menurut M Aug ghey dan Frye F (2001), secara um mum organ (Gambar 25 kopulatoris (penis) terrdiri atas kapsula k jarin ngan ikat fibroelastik f di bagian superfisial, s dan tunika a albuginea a yang menjulur ke p profundal membentuk m trabekula t se ebagai jaring gan pendukkung kaverna yang dilapisi sel end dotel. Pada saat s ereksi, kaverna berisi darah ya ang berasal dari buluh a arteri. Lapis berikutnya
66
adalah lamina propria (sub mukosa), terdiri atas kombinasi jaringan ikat longgar dan padat, tidak beraturan dengan serabut elastik dan otot polos. Lamina propria mengelilingi mukosa uretra dan memisahkan bagian tersebut dengan korpus kavernosum penis.
p
Gambar 25 Struktur histologi korpus penis muncak. A. uretra dikelilingi tunika albugenia dan rongga kaverna. inset A lapis epitel mengelilingi lumen uretra (B), dan jaringan erektil penis (C). D. uretra radiks penis. Tunika albuginea (Ta); kaverna (Ka); lumen uretra (Lu); Sekreta (Sk); epitel kolumnar berlapis (Ep); lamina propria (Lp); dan otot polos (Sm); korpus spongiosum (Cs); jaringan ikat longgar (Jil); vena (V). Pewarnaan HE. Skala A: 200 µm; B dan C: 100 µm; dan D: 50 µm.
Mukosa uretra membentuk lipatan-lipatan longitudinal yang mengarah ke lumen uretra dan dilapisi oleh sel epitel. Lipatan longitudinal yang lebih panjang ditemukan di bagian uretra pars pelvina (Gambar 22C). Lipatan tersebut menurun di mukosa uretra bagian radiks penis (Gambar 25D), dan semakin memendek di bagian uretra pars eksterna Gambar 25B). Tipe epitel yang melapisi mukosa uretra bagian radiks penis adalah epitel silindris banyak baris. Lapis epitel memendek pada mukosa uretra pars eksterna bagian korpus penis (Gambar 25B). Korpus spongiosum penis tidak teramati pada sayatan histologi korpus penis, bagian ini dapat dilihat pada pars diseminata kelenjar prostat di
67
bagian uretra pars pelvina (Gambar 22C) dan uretra radiks penis (Gambar 25D). Struktur histologi tipe penis fibroelastik pada muncak mirip dengan stuktur histologi penis domba, rusa, dan sapi. Penjuluran trabekula di antara jaringan ikat korpus kavernosum seperti yang ditemukan pada penis sapi (Wrobel dan Bergmann 2006), juga ditemukan pada penis muncak.
Simpulan 1. Organ reproduksi muncak jantan dicirikan dengan ukuran testis yang relatif kecil, kelenjar prostat tidak teramati secara makroskopis, ukuran kelenjar bulbouretralis yang besar, ukuran penis yang relatif panjang dan memiliki glans penis serta prosesus uretralis berukuran kecil. 2. Karakterisitik histologi kelenjar asesoris kelamin adalah posisi kelenjar sekretori pars diseminata kelenjar prostat yang tersebar mengililingi uretra pars pelvina.
Daftar Pustaka Adebayo AO, Oke BO, Akinloye AK. 2009. The gross morphometri and histology of the male accessory sex gland in the greater cane rat (Thryonomys swinderianus, Temmick). J Vet Anat 2: 41-51. Ahmed
MH, Sabry SM, Zaki SM, El-Sadik AO. 2009. Histological, immunohistochemical and ultrastructural study of the epididimis in the adult albino rat. Aus J Basc App Sci 3: 2278-2289.
Arrhigi S, Bosi G, Groppetti D, Cremonesi F. 2010. Morpho- and histometric evaluations on the testis and epididymis in buffalo bulls during the different reproductive season. Open Anat J 2: 29-33. Asher GW, Peterson AJ. 1991. Pattern of LH and testosterone secretion in adult male fallow deer (Dama dama) during the transition into the breeding season. J Reprod Fert 91: 649-654. Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology. London: Manson Publish. Axner E, Malmqvist M, Linde-Forsberg C, Rodriguez-Martinez H. 1999. Regional histology of ductus epididymidis in the domestic cat. J Reprod Dev 45: 151-160. Beguelini MR, Sergio BFS, Leme FLJ, Taboga SR, Morielle-Versute E. 2010. Morphological and morphometric characteristix of the epididymis in the neotropical bats Eumops glaucinus and Molossus molossus (Chiroptera: Molossidae). Chiroptera Neotropical 16: 769-779.
68
Bhosle NS, Shingatgire RK, Kapadnis PI. 2007. Histochemical study of prostate gland in uncastrated and castrated cattle. Ind J Anim Res 41: 141-143. Chapman NG, Harris S. 1991. Evidence that seasonal antler cycle of adult Reeves muntjak (Muntiacus reevesi) is not associated with reproductive quiescence. J Reprod Fert 92: 361-369. Chughtai B, Sawas A, O’malley RL, Naik RR, Khan AS, Pentyala S. 2005. A neglected gland: a review of Cowper’s gland. Int J Androl 28: 74-77. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. St. Louis: Mosby. Constantinescu GM. 2007. Anatomy of Reproductive Organ. Di dalam: Schatten H, Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. Iowa: Blackwell Publish. Cooper TG. 1986. Epididymis: Sperm Maturation and Fertilisation. Berlin: Springer-Verlag. Dreef. HC, van Esch E, de Rijk EPCT. 2007. Spermatogenesis in cynomolgus monkey (Macaca fascicularis): a practical guide for routine morphological staging. Toxicol Pathol 35: 395-404. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 2002. Text Book of Veterinary Anatomy. Ed ke-3. Philadelphia: WB. Saunders. Egger GF, Witter K. 2009. Peritubular contractile cells in testis and epididymis of the dog, Canis lupus familiaris. Act Vet Brno 78: 3-11. Franςa LR, Becker-Silva SC, Chiarini-Garcia H. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31: 274-280. Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed ke-7. Iowa: Wiley-Blackwell. Frappier BL. 2006. Epithelium. Di dalam: Eurell JA, Frappier B, editor. Dellman’s Textbook Veterinary Histology. Iowa: Blackwell. Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. Di dalam: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Handarini R, Nalley WMM, Semiasi G, Agungpriyono S, Subandriyo, Purwantara B. Toelihere MR. 2004. Penentuan masa aktif reproduksi rusa timor jantan (Cervus timorensis) berdasarkan kualitas semen dan tahap pertumbuhan ranggahnya. Di dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Optek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional; Bogor: 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan.
69
Handarini R. 2006. Dinamika aktivitas reproduksi berkaitan dengan tahap pertumbuhan ranggah rusa timor (Cervus timorensis) jantan dewasa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handarini R, Nalley WMM. 2008. Profil hormon testosteron rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Med Konserv 13: 1-7. Hochereau-de Reviers MT, Lincoln GA. 1978. Seasonal variation in the histology of the testis of the red deer, Cervus elaphus. J Reprod Fert 54: 209-213. Johnson KE. 1991. Histology and Cell Biology. Baltimore: William & Wilkins. Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory & Practice. Ed ke-2. England: Pergamon Pr. Kolasa A, Marchlewicz M, Wenda-Rozewicka L, Wiszniewska B. 2004. Morpology of the testis and the epididymis in rats with dihydrotestosterone (DHT) deficiency. Ann Ac Med Biol Proceed 49: 117-119. Kumar TCA, Prakash A, Prasad MRN. 1982. Ultrastructural features of the principal cell in the epididymis of the rhesus monkey. J Bio Sci 4: 469-479. Lincoln GA. 1985. Seasonal breeding in deer. Bull Roy Soc 22: 165-179. Loudon ASI, Curlewis JD. 1988. Cycles of antler and testicular growth in an aseasional tropical deer (Axis axis). J Reprod Fert 83:729-738. Martini FH. 2006. Fundamental of Anatomy and Physiology. Ed ke-7. San Franscisco:Pearson. Massanyi P, Lukac N, Hluchy S, Slamecka J, Jurcik R, Toman R, Kovacik J. 1999. Seasonal variation in the metric analysis of the testis and epididymis in fallow-deer (Dama dama). Fol Vet 43: 67-70. Monfort SL, Asher GW, Wildt DE, Wood TC, Schiewe MC, Williamson LR, Bush M, Rall WF. 1993. Circannual inter-relationship among reproductive hormones, gross morphometry, behavior, ejaculate characteristic and testicular histology in eld’s deer stags (Cervus eldi thamin). J Reprod Fert 98: 471-480. Moonjit P, Suwanpugdee A. 2007. Histological structure of testis and ductus epididymis of rusa deer (Cervus timorensis). Kasetsart J Nat Sci 41: 86-90. Najamudin. 2010. Kajian Pola Reproduksi pada Kancil (Tragulus javanicus) dalam Mendukung Pelestariannya [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue & Cell 36: 439-446.
70
Nalley WMM. 2006. Kajian Biologi Reproduksi dan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada Rusa Timor (Cervus timorensis) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Noviana C, Boediono A, Wresdiyati T. 2000. Morfologi dan histomorfometri testis dan epididimis kambing kacang (Capra sp) dan domba lokal (Ovis sp). Med Vet 7(2): 12-16. Olukole SG, Obayemi TS. 2010. Histomorphometry of the testis and epididymis in the domestic adult African great cane rat (Thryonomys swinderianus). Int J Morphol 28: 1251-1254. Orsi AM, Simoes K, Domeniconi RF, da Cruz C, Machado MRF, Filho JG. 2009. Vas deferen surface epithelium of agouti paca: fine structural features. Int J Morphol 27: 89-96. Pineda MH. 2003. Male Reproductive System. Di dalam: McDonald’s Veterinary Endocrinology and Reproduction. Pineda MH, Dooley MP. Iowa, editor. Iowa: Iowa State Pr. Primiani N, Gregory M, Dufresne J, Smith CE, Liu YL, Bartless JR, Cyr DG, Hermo L. 2007. Microvillar size and espin expression in principal cells of the rat epididymis are regulated by androgens. J Androl 28: 659-669. Rizal M. 2004. Fertilitas Spermatozoa Ejakulat dan Epididimis Domba Garut Hasil kriopreservasi Menggunakan Modifikasi Pengencer Tris dengan Berbagai Krioprotektan dan Antioksidan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosenfeld CS. 2007. Overview of Male Reproductive Organs. In Schatten H, Constantinescu GM, editor. Comparative Reproductive Biology. New York: Blackwell. Sempere AJ. 1990. The annual antler cycle of the European roe deer (Capreolus capreolus) in relationship to the reproductive cycle. J Reprod Fert 396-415. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed ke-2. Washington: Current Conception, Serre V, Robaire B. 1999. Distribution of immune cells in tehe epididymis of the ageing brown norway rat is segment-spesific and related to the luminal content. Biol Reprod 61: 705-714. Sohn JH, Kimura J. 2012. Observation of male reproductive organ in korean water deer (Hydropotes inermis argyropus). Asian J Anim Vet Adv 7: 30-37. Thomson AA, Marker PC. 2006. Branching morphogenesis in the prostate gland and seminal vesicles. Differentiation 74: 382-392.
71
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa. Ungerfeld R, Gonzalez-Pensado S, Bielli A, Villagran M, Olazabal D, Perez W. 2008. Reproductive biology of the pampas deer (Ozotoceros bezoarticus): a review. Act Vet Scand 50:16. Weinbauer GF, Luetjens CM, Simoni M, Nieschlag E. 2010. Physiology of Testicular Function. Di dalam: Nieschlag E, Behre HM, Nieschlag M, editor. Andrology Male Reproductive Health and Dysfunction. Ed ke-3. Berlin: Springer-Verlag. Wrobel KH, Bergmann M. 2006. Male Reproductive System. Di dalam: Eurell JA, Frappier B, editor. Dellman’s Textbook Veterinary Histology. Iowa: Blackwell. Yeung CH, Nashan D, Sorg C, Oberpenning F, Schulze H, Nieschlag E, Cooper TG. 1994. Basal cells of the human epididymis-antigenic and ultrastructural similarities to tissue-fixed macrophages. Biol Reprod 50: 917-926.
73
KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN RANGGAH MUNCAK JANTAN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi dan morfometri pertumbuhan ranggah velvet (RV), ranggah keras (RK) post casting, dan penentuan durasi siklus ranggah pada muncak jantan. Dua ekor muncak jantan dewasa digunakan pada penelitian ini, yaitu: ♂#2 umur 5 tahun, bobot badan 19.5 kg; dan ♂#3 umur 3 tahun, bobot badan 17 kg. Data morfometri RV dan RK pada ♂#2 dikumpulkan selama satu siklus ranggah dan dua siklus ranggah pada ♂#3. Pencatatan dilakukan terhadap tanggal casting (C), hari pertama pertumbuhan RV, dan awal periode RK, serta periode C berikutnya. Pengukuran pertumbuhan RV dan RK post casting meliputi panjang dan diameter ranggah utama dan cabang ranggah, serta bobot RK dexter et sinister. Penentuan durasi siklus ranggah dimulai dari periode C, RV, RK, dan C berikutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan urutan pertumbuhan ranggah utama dan cabang RV pada kedua muncak. Morfometri RV dan RK post casting pada ♂#2 lebih tinggi dibandingkan ♂#3. Durasi periode C, RV dan RK pada ♂#2 berturut-turut adalah 7 hari, 104 hari, dan 348 hari dengan durasi satu siklus ranggah adalah: 459 hari (durasi mendekati satu siklus ranggah), sedangkan durasi periode C1, RV1, RK2 siklus ranggah I pada ♂#3 berturut-turut adalah 8, 98, dan 213 hari dengan durasi siklus ranggah I selama 319 hari. Durasi periode C2, RV2, dan RK3 pada siklus ranggah II berturut-turut adalah 21, 83, dan 381 hari dengan durasi total adalah 485 hari. Durasi RK3 (381 hari) muncak ♂#3 lebih lama dibandingkan RK2 (213 hari), sehingga terjadi peningkatan durasi siklus ranggah I ke siklus ranggah II sebesar 20.65%. Dari hasil pengukuran morfometri (panjang, diameter dan berat) RK post casting ♂#2 dan ♂#3 memperlihatkan adanya peningkatan antara RK1, RK2, dan RK3. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan morfometri pertumbuhan RV dan RK serta durasi siklus ranggah pada kedua muncak berkorelasi erat dengan faktor umur dan postur tubuh. Kata kunci: muncak, periode ranggah, ranggah velvet, ranggah keras, casting
Abstract The objective of this study was to elaborate the characteristic of morphology and morphometry of velvet antler (RV) growth, hard antler (RK) post casting, and determination duration of antler cycles in male muntjak. Two adult male muntjaks (♂#2, aged 5 years, body weight 19.5 kg and ♂#3, aged 3 years, body weight 17 kg) were used in this study. The morphometry data of RV and RK were collected from approximately in one antler cycle (♂#2) and two antler cycles (♂#3). The date of antler cast, first day of RV growth, early RK period, and further cast were recorded. Measuring of RV growth and RK post casting included the length, and diameter of main antler and its branch (dexter et sinister), and as well as their weight. In addition, the duration of antler cycle was determined at the beginning of C, RV, RK, till next C periods. The result showed that there were no difference in order of velvet growth (main and branch antlers) in both of muntjaks but they were different in size and duration of velvet antler growth. The morphometry of RV and RK post casting in ♂#2 were higher than ♂#3, and duration of antler cycle as well as. The duration of C, RV, and RK in ♂#2 were
74
7, 104, and 348 days with total duration of a cycles was 459 days (approximately one antler cycle). Additionally, ♂#3 showed shorter duration of C1, RV2, and RK2 periods during the first antler cycle, i.e. 8, 98, and 213 days respectivelly with total duration was 319 days. In the second antler cycle, it duration increased become 21, 83, and 381 days for C2, RV2, and RK3 periods respectivelly with total duration was 485 days. The duration of RK3 (381 days) in the second antler cycle was longer than RK2 (213 days). The increased of the first to second antler cycles duration was 20.65%. In addition, the morphometry of RK post casting in both of muntjaks also showed an increase between RK1 and RK2. In conclusion, variation of morphometry of RV growth, RK, and duration of antler cycles showed a close correlation to age and body size in both of male muntjaks. Keywords: muntjak, antler period, velvet antler, hard antler, casting
Pendahuluan Siklus pertumbuhan ranggah yang bersifat tahunan pada sebagian besar Cervidae
berkorelasi
erat
dengan
aktivitas
reproduksinya,
seperti
spermatogenesis, kualitas spermatozoa dan kemampuan mengawini betina. Hal tersebut
dilaporkan pada rusa timor jantan, yang memperlihatkan adanya
keterkaitan antara aktivitas reproduksi dengan pertumbuhan ranggahnya (Handarini 2006a). Demikian pula pada spesies Cervidae lainnya seperti red deer (Cervus elaphus) (Bartos et al. 1980; Price and Allen 2004), white-tailed deer (Odocoileus virginianus) (Forand et al. 1985), dan pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus) (Pereira et al. 2005; Ungerfeld et al. 2008). Pertumbuhan dan siklus ranggah pada Cervidae jantan terbagi atas empat periode ranggah, yaitu 1) periode pedicle, ranggah velvet (RV), ranggah keras (RK) dan lepas ranggah atau casting (C) (Fennessy dan Suttie, 1988). Pertumbuhan ranggah tersebut berlangsung di bawah kontrol testosteron yang disintesis oleh sel Leydig testis (Bartos et al. 2009). Testosteron dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya osifikasi RV dan shedding, sedangkan
casting
terjadi
pada
saat
konsentrasi
testosteron
menurun
(Schwartz 1992). Periode C merupakan periode tersingkat dibandingkan periode lainnya, yaitu 15 -18 hari pada rusa timor (Handarini 2006a). Penutupan luka akibat casting oleh kulit velvet menandakan awal periode RV. Pertumbuhan RV berlangsung cepat dan mencapai ukuran maksimum seiring peningkatan konsentrasi testosteron. Pada tahap akhir dari pertumbuhan RV terjadi proses pengelupasan kulit velvet yang dikenal dengan shedding. Terjadinya shedding menandakan Cervidae memasuki periode RK. Periode tersebut merupakan periode terpanjang dari satu siklus ranggah. Rataan durasi periode RK pada rusa
75
timor adalah 207.25 hari (Handarini 2006b), dan 8 bulan pada rusa bawean (Semiadi et al. 2003). Perbedaan durasi periode ranggah pada Cervidae jantan berhubungan dengan perbedaan tingkatan umur dan status sosial, seperti tingkat dominasi antara jantan. Jantan dominan umumnya berumur lebih tua dibandingkan jantan subordinat. Selain itu, durasi periode ranggah pada jantan dominan lebih lama dibandingkan jantan subordinat. Rusa timor jantan dengan umur lebih tua dan ukuran ranggah yang lebih besar (dominan) memiliki durasi siklus ranggah terlama dengan urutan casting terakhir dibandingkan rusa yang lebih muda (subordinat) (Handarini 2006a). Hal yang sama juga dilaporkan pada white-tailed deer yang hidup di Amerika Selatan. Casting pada rusa tersebut didahului oleh jantan subordinat, diikuti jantan peringkat menengah dan jantan dominan (Forand et al. 1985). Urutan casting red deer yang berada di wilayah beriklim sedang (températe) berbeda dengan white-tailed deer tersebut, dimana jantan dominan lebih awal memasuki periode C dibandingkan jantan subordinat (Bartos 1980). Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti perbedaan letak geografis terkait intensitas pencahayaan tahunan yang diterima kedua rusa tersebut. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap perbedaan pola sekresi testosteron pada jantan dominan dan subordinat (Forand et al. 1985). Perbedaan konsentrasi testosteron selama periode ranggah juga berpengaruh terhadap perilaku Cervidae jantan. Konsentrasi testosteron tertinggi pada periode RK meningkatkan pemunculan perilaku reproduksi, agresif, dan agonis pada Cervidae jantan. Libido rusa timor jantan meningkat selama periode RK, demikian pula dengan perilaku agresif (Handarini 2006a). Perilaku percumbuan (courtship) dan perkawinan (mating) ditemukan saat pampas deer berada pada periode RK, demikian pula dengan perilaku agresif, dan menyerang jantan lainnya (agonis) (Ungerfeld et al. 2008a). Namun pada periode C dan RV, perilaku tersebut tidak ditemukan terutama pada Cervidae dengan pola reproduksi seasonal. Pada penelitian ini pengamatan perilaku muncak jantan diamati selama periode C, RV dan RK. Berbagai perilaku spesifik yang ditemukan pada muncak akan memberikan gambaran mengenai keterkaitan perilaku dengan periode ranggah.seperti yang dilaporkan pada rusa timor dan pampas deer. Sejauh ini data tentang morfologi dan morfometri pertumbuhan ranggah RV dan RK pada Cervidae jantan belum banyak dilaporkan. Kajian mendalam
76
tentang karakteristik pertumbuhan RV dan RK, durasi setiap periode ranggah dan durasi satu siklus ranggah, penentuan umur berdasarkan parameter ranggah dan kaitannya dengan perilaku pada muncak jantan perlu dilakukan. Keterkaitan periode ranggah dengan aktivitas reproduksi muncak jantan pada akhirnya dapat menjelaskan pola reproduksi dan tingkat fertilitas satwa tersebut yang didukung oleh data aktivitas reproduksi lainnya, seperti profil metabolit testosteron dan spermatogenesis.
Oleh
karena
itu,
tujuan
dari
penelitian
ini
adalah:
1) mempelajari morfologi dan morfometri pertumbuhan RV; 2) mempelajari morfologi dan morfometri RK post casting; 3) menentukan durasi satu siklus ranggah; dan 4) mempelajari perilaku spesifik selama periode pertumbuhan ranggah. Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal untuk mendukung penelitian berikutnya (penelitian III dan IV), sehingga dapat ditentukan periode aktif reproduksi muncak jantan.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, dan Laboratorium Riset Anatomi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2009 sampai Oktober 2010. Hewan Penelitian Dua ekor muncak (Muntiacus muntjak muntjak) jantan dewasa digunakan pada penelitian ini, yaitu ♂#2 dengan bobot badan 19.5 kg; dan ♂#3 dengan bobot badan 17 kg (Gambar 26). Umur kedua muncak tidak diketahui, namun kedua muncak telah memasuki usia dewasa yang dicirikan dengan keberadaan pedikel dan ranggah keras. Kedua muncak dinyatakan sehat secara klinis dan telah memperlihatkan aktivitas reproduksi. Penggunaan muncak untuk penelitian ini sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 23/Menhut-II/2011. Muncak diperoleh dari hasil tangkapan dan dipelihara di kandang individual berukuran 1 x 2 m2 dan kandang terbuka (kandang exercise) berukuran 7 x 7.5 m2 selama penelitian berlangsung. Pemberian pakan dilakukan setiap pagi dan sore, dengan berat pakan yang disesuaikan dengan bobot badan muncak, yaitu sekitar 10% dari bobot badan (Handarini 2006a). Pakan yang
77
diberikan d be erupa pelet,, wortel, rum mput dan pisang sebag gai makanan n selingan, sedangkan s a minum diberikan seccara ad libitu air um. Sebe elum pengamatan dilakkukan, munccak terlebih dahulu diadaptasikan selama s 3 bulan. b Pada a masa ada aptasi, munc cak diberika an antelmen ntikum dan diulangi d setiiap 3 bulan selama pen nelitian berla angsung. Se elain itu dibe erikan pula vitamin v A de engan dosis 10.000 IU dan d vitamin E dengan do osis 50 mg per p hari.
A
B
Gambar G 26 Muncak (Muntiacus muntj tjak muntjak) jantan penelitian. Muncak k ♂#2 pada periode ranggah keras (A A) dan ♂#3 pada p periode ranggah velvvet (B) yang nelitian URR FKH F IPB. dipelihara di kandang pen
Alat A Penelittian Alat yang digun nakan pada a kegiatan ini adalah pita ukur (ccm), micro calliper digittal (mm), tim mbangan digital (Ohausss) dan kamera digital (So ony Cybershot s DSC-W W30). Metode Pen nelitian Pada a kegiatan ini dilakukan penga amatan terh hadap morffologi dan morfometri pertumbuha an ranggah h velvet (R RV), dan pe enentuan satu s siklus d 2 (dua) individu m muncak jan ntan (♂#2 dan ♂#3). Selain itu rangggah dari dilakukan d pu ula pengama atan morfolo ogi dan morffometri rangg gah keras 1 (RK1) dan ranggah kerras 2 (RK2) pada kedua a muncak yang y telah le epas dari pe edikel (post casting). Pe engamatan perilaku spe esifik selam ma periode p pertumbuha an ranggah juga j dilakukkan pada pen neltian ini.
78
Morfologi dan morfometri pertumbuhan ranggah velvet Pengukuran pertumbuhan ranggah velvet (RV) pada kedua muncak bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan RV serta durasinya yang dapat digunakan untuk menentukan kecepatan pertumbuhan RV pada muncak. Selain itu data morfometri RV dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar peran testosteron selama pertumbuhan RV (dibahas pada penelitian III mengenai profil metabolit testosteron). Pengukuran pertumbuhan RV dilakukan seminggu sekali secara manual handling dengan memegang bagian pedikel dexter et sinister. Alat ukur yang digunakan adalah micro caliper digital dan pita ukur. Setiap perubahan terhadap morfologi dan morfometri RV diobservasi, diukur dan didokumentasikan. Pengamatan dimulai setelah terjadi casting (C) hingga mencapai shedding, sedangkan pengukuran RV dimulai setelah terjadi percabangan RV meliputi panjang dan diameter dari ranggah velvet utama (RVU) dan ranggah velvet cabang (RVC). Morfologi dan morfometri ranggah keras post casting Pengamatan morfologi dan morfometri RK bertujuan untuk mengetahui atau memprediksi umur kedua muncak berdasarkan perbedaan morfologi dan morfometri RK. Data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui status dominasi antara ♂#2 dan ♂#3. Pengamatan dilakukan terhadap empat pasang RK dexter et sinister (RK1 dan RK2) dari ♂#2 dan ♂#3 yang telah mengalami casting. Parameter yang diukur meliputi panjang, diameter dan bobot ranggah keras utama (RKU) dan ranggah keras cabang (RKC) (Gambar 27).
DRKU
PRKU
DRKC
PRKC
Gambar 27 Pengukuran panjang dan diameter ranggah keras post casting. PRKU: panjang ranggah utama; PRKC: panjang ranggah cabang; DRKU: diameter ranggah keras utama; dan DRKC: diameter ranggah keras cabang.
79
Penentuan durasi siklus pertumbuhan ranggah muncak Penentuan durasi siklus pertumbuhan ranggah pada kedua muncak bertujuan untuk mengetahui hubungan umur dan status dominasi antara muncak ♂#2 dan ♂#3. Kriteria penentuan durasi setiap periode ranggah dan durasi satu siklus ranggah adalah sebagai berikut: 1. Periode casting (C), dihitung pada saat RK dexter et sinister terlepas dari pedikelnya sampai luka akibat casting RK (blastema) ditutupi oleh kulit tipis (velvet). 2. Periode ranggah velvet (RV), dihitung pada saat luka telah tertutup kulit velvet sampai terjadinya pengelupasan kulit velvet (shedding). 3. Periode ranggah keras (RK), dihitung setelah shedding sampai RK baru mengalami casting berikutnya. Durasi satu siklus pertumbuhan ranggah merupakan jumlah hari yang diperlukan untuk ketiga periode ranggah, dihitung dari awal periode C, RV, RK, dan C berikutnya. Penentuan umur muncak Penentuan umur ♂#2 dan ♂#3 dilakukan berdasarkan data morfologi dan morfometri RK post casting dan durasi siklus ranggah, serta ukuran panjang gigi taring atas (prosedur pengukuran dilakukan bersamaan dengan penampungan semen). Selanjutnya dilakukan komparasi dengan data morfologi dan morfometri RK, durasi siklus ranggah dan ukuran gigi taring dari beberapa spesies Cervidae jantan lainnya yang dibahas dalam literatur terkait. Pengamatan perilaku muncak Perilaku spesifik yang muncul selama periode ranggah, yaitu pada periode C, RV dan RK diamati pada kedua muncak. Pengamatan dilakukan setiap pagi dan sore masing-masing selama 2-3 jam di kandang terbuka. Pengamatan perilaku ♂#2 dan ♂#3 dilakukan secara bergantian, yang meliputi perilaku percumbuan (courtship) dan perilaku agresif. Pada periode tertentu kedua muncak digabungkan dengan betina secara bergantian di kandang terbuka untuk mengamati perilaku yang berhubungan dengan aktivitas reproduksi. Jenis perilaku spesifik yang diperlihatkan kedua muncak selanjutnya dicatat dan dipotret menggunakan kamera digital.
80
Analisis Data Data morfologi pertumbuhan RV, RK1 dan RK2 dexter et sinister post casting serta data perilaku spesifik pada kedua muncak, dianalisis secara deskriptif. Data morfometri pertumbuhan (panjang dan diameter) RV serta morfometri RK1 dan RK2 (♂#2); RK1, RK2, dan RK3 (♂#3) dexter et sinister post casting ditabulasikan dalam bentuk rataan ± SB, sedangkan durasi setiap periode ranggah dan durasi satu siklus ranggah ditampilkan dalam satuan hari.
Muncak Jantan ♂#2 dan ♂#3 C
RK
RV Periode Ranggah
Pengamatan Morfologi: • Pertumbuhan RV • RK post casting
Penentuan Durasi Siklus Ranggah
Pengukuran Morfometri: • Pertumbuhan RV • RK post casting
Penentuan Umur
Pengamatan Perilaku Spesifik
Gambar 28 Bagan alir penelitian II: Karakteristik pertumbuhan dan durasi siklus ranggah muncak jantan. C: casting, RV: ranggah velvet, RK: ranggah keras.
81
Hasil dan Pembahasan Morfologi dan Morfometri Pertumbuhan Ranggah Velvet Pertumbuhan ranggah velvet (RV) pada muncak berlangsung di bagian proksimal pedikel (dasar ranggah). Muncak memiliki pedikel terpanjang dibandingkan Cervidae jantan lainnya dan merupakan karakteristik tersendiri. Panjang pedikel dexter et sinister pada ♂#2 adalah 65.46 ± 2.86 mm, lebih panjang dibandingkan ♂#3, yaitu 57.10 ± 7.05 mm. Keberadaan pedikel adalah permanen dan tidak mengalami casting. Pertumbuhan ranggah baru (RV) dimulai setelah terjadi casting pada ranggah keras (RK). Periode casting (C) pada kedua muncak tidak sama, tetapi tahapan pertumbuhan RV tidak berbeda. Proses casting RK terjadi secara bertahap. Tahap pertama adalah RK dexter dan diikuti RK sinister pada hari berikutnya. Namun urutan casting dapat pula dimulai dari RK sinister diikuti RK dexter, seperti yang ditemukan pada siklus ranggah II muncak ♂#3. Menurut Goss et al. (1992), proses casting terjadi akibat terjadinya resorbsi matriks tulang oleh osteoklas di bagian distal pedikel yang akan menimbulkan luka dan perdarahan ringan. Luka bekas casting di bagian proksimal pedikel selanjutnya membentuk blastema sebagai titik awal regenerasi ranggah baru. Hasil pengamatan terhadap morfologi pertumbuhan RV yang meliputi ranggah velvet utama (RVU) dan ranggah velvet cabang (RVC) menunjukkan tahapan proses antlerogenesis yang sama pada kedua muncak, sehingga gambar yang disajikan untuk memperlihatkan proses tersebut (Gambar 29) hanya diambil dari muncak ♂#3. pada siklus ranggah I. Casting RK mengakibatkan luka ringan pada permukaan proksimal pedikel yang disebut blastema. Perdarahan mengering selama 2-3 hari setelah casting, membentuk keropeng dan diikuti dengan proses penutupan jaringan luka (epitelisasi) dengan kulit tipis (velvet). Epitelisasi luka blastema pada kedua muncak mencapai maksimum pada hari ke 8-21 post casting dan menandakan dimulainya proses pertumbuhan RV. Posisi pertumbuhan RVC terjadi di bagian anterior pedikel dan bagian posterior untuk RVU (Gambar 29a). Menurut Price et al. (2005), blastema merupakan cekungan bekas casting di permukaan pedikel yang dialiri darah dan selanjutnya ditutupi oleh lapisan kulit tipis (velvet) beberapa jam setelah casting. Secara histologi, blastema terdiri atas kumpulan sel berbentuk kerucut yang berhubungan langsung dengan kulit velvet (Li et al. 2004). Walaupun Price dan Allen (2004); Price et al. (2005) menyatakan bahwa blastema merupakan titik awal pertumbuhan RV, namun Li et al. (2004)
82
menyatakan bahwa bagian distal dari pedikel lebih potensial untuk regenerasi ranggah baru dibandingkan blastema yang berada di bagian proksimal. Mekanisme regenerasi ranggah baru melibatkan aktivitas stem cell yang mengalami diferensiasi osteogenik dan kondrogenik pada bagian antlerogenik periosteum di bagian distal pedikel (Kierdorf et al. 2003). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari fenomena regenerasi ranggah yang sering dijadikan sebagai model penelitian untuk terapi regeneratif, seperti metode stimulasi pertumbuhan jaringan bekas trauma pada ekstremitas mamalia yang dapat diaplikasikan pada manusia (Kierdorf dan Kierdorf 2011). Aplikasi metode imunositologi menggunakan antibodi spesifik dapat mengidentifikasi keberadaan stem cell secara in vivo pada saat pertumbuhan RV dan secara in vitro dengan teknik kultur sel (Cegielski et al. 2006). Tahap awal pertumbuhan RVC, ditandai dengan pembengkakan di bagian anterior pedikel dan selanjutnya membentuk protuberansia pada hari ke-14. Pertumbuhan RVC pada muncak berlangsung lebih awal dibandingkan pertumbuhan
RVU
yang
baru
muncul
pada
hari
ke-18
post
casting
(Gambar 29b). Pada hari hari ke-20, pertumbuhan RVU telah menyamai ukuran panjang dan diameter RVC dan tumbuh secara progresif pada hari ke-22 sampai hari ke-48 (Gambar 29c), diikuti dengan pembengkokan bagian proksimal RV ke arah medial (Gambar 29d). Pada periode tersebut terjadi proses osifikasi endokondral (Price et al. 2005; Price dan Allen 2004) yang dimulai dari bagian distal RVU dan RVC. Osifikasi endokondral bergerak ke arah proksimal RV yang terbagi atas empat zona, yaitu zona proliferasi, maturasi, hipertrofi dan kalsifikasi (Price et al. 2005). Konsistensi RV yang mulai mengeras mengindikasikan terjadinya proses mineralisasi ranggah. Pertumbuhan ranggah mencapai ukuran maksimum setelah sempurnanya proses mineralisasi ranggah. Pada tahap ini terjadi pengelupasan kulit velvet yang disebut shedding (Gambar 29e). Proses shedding terjadi akibat terbentuknya formasi tulang ranggah yang diawali dengan diferensiasi osteoblas dari populasi osteoblas progenitor di bagian perivaskular jaringan kartilago. Pada saat yang bersamaan terjadi pula osifikasi intramembran di sekitar batang RV (Faucheux et al. 2001; Price et al. 2005). Berakhirnya shedding menandakan muncak jantan mulai memasuki periode RK. Periode RK merupakan periode ranggah dengan durasi terlama dibandingkan periode C dan RV (Gambar 29f).
83
Ca asting
Ran nggah Velvett (awal)
Ra anggah Velve et
Ran nggah Velvett
Sh hedding
Ran nggah Keras s
Gambar G 29 Pertumbuhan P n ranggah ve elvet (RV) pad da muncak ja antan. Bagian proksimal pedicle post casting mem mbentuk blasttema (a); awa al pertumbuh han ranggah ng (RVC) (b); pertumbuha an ranggah velvet v utama (RVU) dan velvet caban RVC (c); uku uran panjang RVU mening gkat (d); pertu umbuhan RV VU dan RVC mencapai ma aksimum dita andai dengan pengelupasa an kulit velvet (shedding) (e); muncakk memasuki p periode rangg gah keras (RK K) (f). Blastem ma (1), kulit velvet (2), tittik awal RVU U (3), protube eransia RVC (4), RVU (5 5), RVC (6), ranggah kera as utama (RK KU) (7), peng gelupasan ku ulit velvet (sh hedding) (8), ranggah kera as cabang (R RKC) (9), dan dasar ran nggah atau pedikel p (10). Skala: 5 cm.
Dura asi periode pertumbuhan RV pad da ♂#2 berlangsung lebih l lama (104 hari) dibandingkan n ♂#3, baik p pada siklus ranggah I (9 98 hari) mau upun siklus ( hari). Pe erbedaan du urasi pertum mbuhan RV antara kedu ua muncak ranggah II (83 diduga d berh hubungan dengan d fakktor umur dan d postur tubuh mun ncak yang selanjutnya s berpengaruh terhadap bentuk dan ukuran RV d dan RK baru u. Muncak ♂#2 yang le ebih tua deng gan postur tubuh lebih besar, b serta bentuk RV lebih kokoh dan d berukurran lebih besar dibandin ngkan ♂#3, menjalani p periode RV lebih l lama. Kondisi seru upa juga dilaporkan pa ada rusa tim mor (Cervuss timorensiss), dimana rusa berumur tua (6 tahun) menjallani periode RV selama a 170 hari, sedangkan s
84
rusa yang berumur 4 tahun berada pada periode RV selama 151 hari (Handarini 2006a). Pampas deer dewasa muda (subadult) juga dilaporkan menjalani durasi pertumbuhan RV yang lebih singkat dibandingkan pampas deer dewasa (adult) (Ungerfeld et al. 2008b). Pengukuran pertumbuhan RV dexter et sinister kedua muncak dimulai setelah terbentuknya cabang RV. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari perlukaan pada RV yang baru tumbuh dan mengurangi stres pada muncak akibat manual handling selama pengukuran berlangsung. Selain itu perilaku muncak sangat sensitif pada periode post casting dan awal pertumbuhan RV. Namun demikian, pengamatan dan pemotretan terhadap tahapan pertumbuhan RV dilakukan segera setelah casting. Pengukuran pertumbuhan ranggah velvet pada ♂#2 dan ♂#3 dihentikan saat shedding berakhir. Rachlow et al. (2003) menyatakan, abnormalitas ranggah keras (RK) pada rocky mountain elk (Cervus elaphus nelsoni) dapat terjadi apabila terjadi perlukaan diawal pertumbuhan RV. Rusa
totol
yang
mengalami
luka
saat
pertumbuhan
RV
berlangsung
memperlihatkan jumlah cabang ranggah lebih banyak dari ranggah normal (Rajaram 2004). Data morfometri pertumbuhan RV yang diukur meliputi panjang ranggah velvet utama (PRVU), diameter ranggah velvet utama (DRVU), panjang ranggah velvet cabang (PRVC), dan diameter ranggah velvet cabang (DRVC). Pengukuran dilakukan terhadap RV dari satu siklus ranggah pada ♂#2, serta RV1 dan RV2 dari siklus ranggah I dan kedua pada ♂#3. Gambar 29 dan 30 memperlihatkan nilai rataan panjang dan diameter RVU dan RVC dexter et sinister kedua muncak. Kecepatan pertumbuhan RV (mm/hari) pada kedua muncak, dihitung berdasarkan data PRVU. Periode pertumbuhan RV pada ♂#2 berlangsung selama 104 hari atau 3.5 bulan (Gambar 30). Rataan PRVU dan PRVC di awal pengukuran adalah 51.84 ± 0.56 mm dan
26.21 ± 0.81 mm, dengan DRVU dan DRVC adalah
24.33 ± 0.62 mm dan 15.84 ± 0.16 mm. Pertumbuhan RV terus berlangsung dan mencapai panjang maksimum 148.25 ± 1.12 mm (PRVU) dan 46.26 ± 0.68 mm (PRVC), 24.33 ± 0.62 mm (DRVU) dan 16.44 ± 0.64 mm (DRVC). Kecepatan pertumbuhan RV pada ♂#2 adalah 1.42 mm/hari.
85
Gambar G 30 M Morfometri pe ertumbuhan ra anggah velve et ♂#2. Perio ode pertumbuhan Januari – Mei 2009. PRVU: P panjan ng ranggah velvet v utama; PRVC: panja ang ranggah velvet v cabang g; DRVU: diameter periode ranggah ve elvet utama; dan DRVC: periode p pertum mbuhan ranggah velvet ca abang.
Perio ode pertumb buhan RV1 dari siklus ranggah r I pa ada ♂#3, be erlangsung selama s 98 hari atau se ekitar 3 bula an (Gambar 31A). Rata aan morfome etri RV1 di awal a pengukkuran adalah h 49.5 ± 1.10 mm (PRV VU) dan 25.1 19 ± 3.94 mm (PRVC), 23.99 2 ± 1.12 mm (DRV VU) dan 17.54 ± 2.41 mm (DRVC C). Ukuran maksimum setelah s terja adi shedding g, adalah 14 46.44 ± 1.58 mm (PRV VU); 46.95 ± 1.97 mm (PRVC); 13.65 ± 1.27 mm (DRVU U) dan 8.49 9 ± 0.30 mm m (DRVC). Kecepatan an RV munca ak ♂#3 pada a siklus rang ggah I adalah 1.49 mm/h hari. pertumbuha Peningkatan uku uran rangga ah velvet ♂#3 ditemuka an pada pe eriode RV2 dari d siklus ra anggah II, dengan durassi selama 83 3 hari (Gamb bar 31B). Pa anjang dan diameter d
m maksimum
setelah
te erjadi
shed dding
secarra
beruruta an
adalah
166.50 ± 2.12 mm (PRV VU); 47.50 ± 1.34 mm (PRVC); 15.2 20 ± 1.34 mm (DRVU), dan d 9.46 ± 0.21 mm (D DRVC). Panjang dan dia ameter RV a antara sikluss ranggah I dan d kedua meningkat sebesar s 6.4 41% (PRVU)), 0.58% (P PRVC), 5.37% (DRVU) dan d 5.29% (DRVC). Kecepatan pe ertumbuhan RV ♂#2 pada p siklus ranggah II m 2.0 mm/hari. m meningkat menjadi Ukurran diamete er ranggah tertinggi te erjadi di aw wal pertumb buhan RV, sekitar s 29 hari h post cas sting. Namu un ukuran te ersebut mula ai menurun pada awal pertengahan n periode RV V dan sema akin mengecil menjelang g shedding. Penurunan ukuran diameter terja adi seiring peningkatan konsentrasi testoste eron yang mbuhan end dokondral RV R terhenti dan kals sifikasi RV mengakibatkkan pertum mencapai maksimum. m Akibatnya, A kkulit velvet menjadi m tipiss, kering da an akhirnya terkelupas t a atau sheddin ng (Price et al. 2005).
86
A
B
Gamba ar 31 Morfom metri pertumb buhan rangga ah velvet ♂#3 3. A. siklus rranggah I, da an B. siklus ranggah II. C: C casting; C1 1: casting 1; C2: casting 2 2; PRVU: panjang rangga ah velvet uta ama; PRVC: panjang ranggah velvet cabang; DRVU: diametter ranggah velvet utama a; DRVC: dia ameter rangga ah velvet cab bang; RK: ranggah keras.
n pertumbuh han ranggah h pada muncak (1.49-2..0 mm/hari) jauh Kecepatan lebih rendah r diban ndingkan red deer (>2.0 0 cm/hari) (L Li 2003) dan n rusa timor yang berada a pada kisa aran 1.19-2 2.34 cm/harri (Handarin ni 2006a). Kondisi K terssebut terkaitt dengan kecilnya k uku uran RV p pada munca ak yang m mencapai uk kuran maksimum yaitu 166.50 ± 2.12 2 mm (♂ ♂#3). Ukura an tersebut jauh lebih kecil dingkan uku uran RV pa ada rusa yang y dapat mencapai 63 cm. Uk kuran diband maksimum ranggah keras uttama pada rusa timor ditemukan pada rusa timor 6 tahun) den ngan ukuran tubuh lebih besar dan bobot b jantan dewasa berumur tua (6 n 86.9 kg. Ke ecepatan pe ertumbuhan RV muncak k ♂#3 menin ngkat pada siklus s badan rangga ah II bersam maan denga an meningkkatnya umurr dan ukuran tubuhnya. Hal terseb but mirip sep perti yang dilaporkan pad da rusa timo or.
Morfo ologi dan Mo orfometri Ranggah R Keras Post-ca asting Morfologi ranggah keras (RK) po ost casting kedua k munccak diperliha atkan an ♂#3 terse ebut diamatti pada RK1 dan pada Gambar 32. Morfologi RK ♂#2 da y mengallami casting pada period de berbeda, kecuali RK2 2 pada ♂#2 yang RK2 yang belum mencapai casting. c Sec cara umum RK muncakk terbagi ata as ranggah keras k a (RKU) dan ranggah keras caba ang (RKC). Struktur RK K tersusun atas utama tulang padat yang g berwarna putih p krem.
87
Muncak ♂#2 memiliki RK1 (post casting) dan RK2 (pre casting) yang telah bercabang dan simetris, namun ukuran RK1 lebih kecil dibandingkan RK2. Permukaan RK membentuk alur dengan garis yang memanjang dari proksimal ke distal RK. Warna kehitaman pada RK1 berasal dari kulit velvet yang mengelupas (shedding) dan menempel pada permukaan RK. Perbedaan morfologi RK ditemukan pada ♂#3. Morfologi RK1 dexter et sinister tidak simetris dan hanya RK sinister yang memiliki cabang kecil, sedangkan ranggah dexter belum bercabang (spike antler). Permukaan ranggah masih licin dan belum memperlihatkan alur yang jelas. Struktur RK ♂#2 mengalami perubahan morfologi dan morfometri setelah memasuki periode RK2, dimana kedua RK telah bercabang, simetris dan memperlihatkan alur pada permukaan ranggah. Ukuran panjang, diameter dan bobot RK1 dan RK2 ♂#2 juga lebih tinggi dibandingkan ♂#3 (Tabel 7).
Gambar 32 Morfologi ranggah keras post casting pada ♂#2 dan ♂#3. Ranggah keras (RK1) dan ranggah keras 2 (RK2). Ranggah keras utama (RKU); dan ranggah keras cabang (RKC). Skala: 3 cm.
Muncak ♂#3 pada siklus ranggah I, memiliki RK1 yang tidak simetris dengan permukaan ranggah yang masih licin dan belum memperlihatkan alur. Cabang ranggah yang berukuran kecil hanya ditemukan pada RK1 sinister, sedangkan RK1 dexter belum bercabang yang disebut spike antler. Morfologi ranggah mengalami perubahan pada RK2 dari siklus ranggah II dengan bentuk RK telah simetris dan bercabang. Pengaruh umur terhadap morfologi RK terlihat jelas pada ♂#3. Keberadaan spike antler pada ♂#3 menandakan muncak tersebut tergolong dewasa muda dan diduga baru mengalami sekali casting.
88
Spike antler juga dapat digunakan sebagai indikator usia pubertas pada Cervidae, dan indikator tersebut juga digunakan pada muncak penelitian. Puber pada revees muntjak jantan terjadi pada umur sekitar 1 tahun yang ditandai dengan
tumbuhnya
pedikel
(dasar
ranggah)
dan
dilanjutkan
dengan
pertumbuhan ranggah pertama berbentuk spike dan belum bercabang (Jackson 2002). Periode C spike antler pada rusa bawean (Axis kuhlii) terjadi pada umur 16 - 18 bulan, dan telah bercabang pada umur 20 bulan (Semiadi et al. 2003). Secara umum, morfometri RK muncak ♂#2 yang meliputi panjang dan diameter ranggah, berbeda antara RK1 dan RK2 dexter et sinister. Rataan untuk PRKU, DRKU, PRKC dan DRKC tertinggi ditemukan pada periode RK2, secara berurutan adalah: 148.25 mm; 19.21 mm; 46.26 mm; dan 9.19 mm. Terjadi peningkatan sebesar 20.05%, 7.71%, 24.37%, dan 10.85%. Bobot RK1 ♂#2 adalah 20.15 g, sedangkan bobot RK2 tidak diperoleh, karena ♂#2 mati sebelum casting 2 (C2) terjadi. Namun bila diamati secara morfologi terhadap panjang dan diameter RK2, bobot RK2 lebih berat dibandingkan bobot RK1. Muncak ♂#3 juga memperlihatkan peningkatan morfometri ranggah keras dexter et sinister dari RK1 ke RK2. Rataan untuk PRKU, DRKU, PRKC dan DRKC pada periode RK1 adalah RK2 secara berurutan adalah: 146.44 mm, 13.65 mm, 46.26 mm; dan 8.49 mm, dengan persentase peningkatan ukuran sebesar 25.36%, 4.12%, 31.74%, dan 26.52%. Adapun bobot RK pada periode RK1 adalah 10.78 g, dan meningkat sebesar 44.72% menjadi 28.22 g pada periode RK2. Peningkatan
morfometri
RK
tersebut
juga
berhubungan
dengan
peningkatan umur dan ukuran tubuh kedua muncak. Hubungan tersebut telah dilaporkan pada rheindeer (Rangifer tarandus) (Hoymork dan Reymers 1999), moose (Alces alces) (Stewart et al. 2000), revees muntjak (Jackson 2002), dan rusa bawean (Semiadi et al. 2003). Stewart et al. (2000) menyatakan bahwa moose jantan dewasa dengan ukuran tubuh lebih besar, memiliki ranggah berukuran lebih besar dibandingkan moose dewasa muda. Kebutuhan mineral dalam jumlah besar untuk pertumbuhan ranggah tercukupi pada moose jantan dewasa dengan kondisi tubuh lebih besar dibandingkan jantan yang lebih muda.
89
Tabel 7 Morfometri ranggah keras post casting pada muncak ♂#2 Parameter
♂#3
RK1
RK2*
PRKU (mm)
98.73
148.25
DRKU (mm)
16.46
PRKC (mm)
Peningkatan
Peningkatan
RK1
RK2
49.52 (20.05)
87.18
146.44
59.26 (25.36)
19.21
2.75 (7.71)
12.57
13.65
1.08 (4.12)
28.13
46.26
18.13 (24.37)
24.32
46.94
22.62 (31.74)
DRKC (mm)
7.32
9.15
1.83 (10.85)
4.93
8.49
3.56 (26.52)
Bobot RK (g)
20.15
-
-
10.78
28.22
17.44 (44.72)
ukuran (%)
ukuran (%)
Keterangan: RK1: ranggah keras 1; RK2: ranggah keras 2; PRKU: panjang ranggah keras utama; DRKU: diameter ranggah keras utama; PRKC: panjang ranggah keras cabang; DRKC: diameter ranggah keras cabang; RK: ranggah keras. *diukur setelah kematian ♂#2.
Adanya pengaruh umur terhadap ukuran ranggah juga dilaporkan pada rusa timor jantan. Rusa jantan dewasa yang lebih tua dengan ukuran tubuh lebih besar memiliki ukuran ranggah yang juga lebih besar, panjang dan kokoh dibandingkan rusa jantan yang lebih muda (Handarini 2006a). Korelasi antara bobot RK dan umur Cervidae jantan juga dilaporkan pada pampas deer (Ungerfeld et al. 2008c). Pampas deer jantan berumur 2 tahun memiliki bobot ranggah 55 g, sedangkan jantan yang berumur 6 tahun bobot ranggahnya adalah 200 g.
Durasi Siklus Pertumbuhan Ranggah Durasi siklus pertumbuhan ranggah yang terbagi atas periode C, RV dan RK pada kedua muncak ditampilkan pada Tabel 8. Pengamatan durasi siklus ranggah pada ♂#2 dilakukan dari bulan Januari 2009 sampai Maret 2010 (sekitar 15 bulan). Data durasi satu siklus ranggah pada ♂#2 tidak diperoleh karena di akhir periode RK (Maret 2010) muncak tersebut mati. Periode C berlangsung selama 7 hari, RV 104 hari dan RK 348 hari dengan total durasi 459 hari atau 15 bulan (durasi sampai akhir Maret 2009). Durasi siklus ranggah ♂#3 diamati dari dua siklus ranggah, yaitu siklus ranggah I dari Desember 2009 sampai Oktober 2010 (sekitar 10 bulan), dan siklus ranggah II dari Oktober 2010 sampai Maret 2012 (sekitar 16) bulan). Durasi periode C1 adalah 8 hari, sedangkan durasi periode RV1 dan RK2 adalah 98 dan 213 hari, dengan total durasi siklus ranggah I adalah 319 hari atau
90
10 bulan. Durasi periode C2, RV2, dan RK3 dari siklus ranggah II adalah 21, 83, dan 381 hari, dengan total durasi siklus ranggah II adalah 485 hari (16 bulan). Terjadi peningkatan durasi dari siklus ranggah I ke siklus ranggah II, yaitu selama 166 hari (20.65%). Namun durasi siklus ranggah II tersebut belum dapat dikatakan melebihi prediksi durasi siklus ranggah pada ♂#2 (459 hari), karena nilai durasi tersebut dihitung hingga tanggal kematian ♂#2, saat muncak tersebut berada pada periode RK dan belum mencapai casting berikutnya. Tabel 8 Durasi siklus ranggah muncak Durasi satu siklus ranggah (hari)
Durasi periode ranggah (hari)
Muncak
C 7 8 (C1) 21 (C2)
♂#2 ♂#3 siklus ranggah I ♂#3 siklus ranggah II
RV 104 98 (RV1) 83 (RV2)
RK 3481 213 (RK2) 381 (RK3)
Keterangan: C: casting, RV: ranggah velvet, RK: ranggah keras, kematian ♂#2 (akhir Maret 2009).
1, 2
4592 319 485 dihitung sampai
Dengan demikian, terjadi peningkatan durasi dari siklus ranggah I ke siklus ranggah II yang terjadi bersamaan dengan peningkatan umur dan ukuran tubuh muncak ♂#3.
Hal yang sama juga dilaporkan pada rusa timor
(Handarini 2006a). Rusa timor berumur
6 tahun menjalani periode casting
selama 16 hari, periode RV selama 170 hari, dan periode RK selama 211 hari dengan total durasi satu siklus ranggah selama 397 hari. Durasi ini lebih lama dibandingkan rusa yang berumur 4 dan 5 tahun. Kondisi serupa juga dilaporkan pada white-tailed deer (Forand et al. 1985); red brocket (Versiani et al. 2009); dan pampas deer (Ungerfeld et al. 2009). Pada spesies rusa tersebut ditemukan bahwa jantan dewasa berumur lebih tua dan lebih dominan cenderung memiliki durasi satu siklus ranggah yang lebih lama dibandingkan jantan dewasa muda dengan status subordinat. Penentuan Umur Muncak Penentuan umur pada kedua muncak perlu dilakukan, mengingat tidak ada data pasti tentang umur kedua muncak tersebut. Penentuan umur ♂#2 dan ♂#3 dilakukan berdasarkan bobot badan di awal penelitian,
morfologi dan
morfometri RK1, durasi satu siklus ranggah yang dihitung dari tanggal casting RK1, dan panjang sepasang gigi taring atas (Tabel 9).
91
Secara morfologi, RK1 dan RK2 dexter et sinister pada ♂#2 lebih kokoh, simetris dan telah bercabang, dibandingkan morfologi RK1 pada ♂#3 yang tidak simetris. Salah satu RK belum bercabang dengan ranggah utama (RK dexter) berukuran kecil dan lurus yang dikenal dengan spike antler. Morfologi RK berubah pada RK2, dimana bentuk RK dexter et sinister telah simetris dan bercabang. Menurut Rajaram (2004), morfologi ranggah dapat digunakan untuk menentukan umur Cervidae jantan. Rusa jantan berumur muda (subadult) memiliki bentuk ranggah tidak simetris, dan setelah rusa tersebut mencapai dewasa bentuk ranggah menjadi simetris. Morfologi RK1 yang tidak simetris pada muncak ♂#3, menandakan muncak tersebut masih tergolong dewasa muda. Tabel 9 Kriteria penentuan umur muncak pada periode awal penelitian Parameter Bobot badan di awal penelitian (kg) Morfologi RK1 dexter et sinister Panjang RKU (mm) Diameter RKU (mm) Bobot RK (g) Rataan panjang taring atas (mm) Durasi satu siklus ranggah2 (hari) Prediksi umur di awal penelitian (tahun)
Muncak Jantan ♂#2 ♂#3 19.5 17.0 Simetris Tidak simetris1 98.73 ± 8.82 87.18 ± 17.08 16.46 ± 0.15 12.57 ± 1.91 20.15 ± 0.14 10.78 ± 2.17 25.53 ± 0.41 24.77 ± 0.72 4593 319 5 3 1
2
Keterangan: RK1: ranggah keras 1, RKU: ranggah keras utama, spike antler, durasi siklus ranggah setelah RK1 mengalami casting, 1dihitung sampai kematian ♂#2 (akhir Maret 2009).
Penentuan umur dengan metode pengukuran panjang gigi taring kedua muncak semakin memperkuat perbedaan umur antara ♂#2 dan ♂#3. Metode ini telah dilaporkan pada revees muntjak dengan penentuan umur berdasarkan panjang gigi taring post natal (Pei 1996). Rataan panjang taring dexter et sinister pada muncak ♂#2 adalah 25.53 ± 0.41 mm, sedangkan muncak ♂#3 adalah 24.77 ± 0.72 mm. Revees muntjak berumur 3.5 tahun memiliki panjang taring 23.0 mm dan meningkat menjadi 25.0 mm setelah berumur 5.5 tahun (Pei 1996). Ukuran panjang gigi taring yang digunakan untuk menentukan umur ♂#2 (5 tahun) dan ♂#3 (3 tahun) sedikit lebih tinggi dibandingkan panjang gigi taring revees muntjak. Hal ini sesuai dengan laporan Ma et al. (1986) mengenai perbandingan morfologi dan morfometri karakteristik tubuh genus Muntiacus.
92
Revees muntjak (Muntiacus reveesi) merupakan spesies muncak terkecil, sedangkan Muntiacus muntjak seperti yang digunakan pada penelitian ini merupakan spesies kedua terbesar setelah Muntiacus crinifrons. Dari beberapa kriteria tersebut dapat ditetapkan bahwa umur ♂#2 di awal penelitian adalah 5 tahun dan merupakan jantan dewasa (adult), sedangkan ♂#3 berumur 3 tahun dan merupakan jantan dewasa muda (subadult). Perilaku Spesifik Muncak Selama Periode Pertumbuhan Ranggah Beberapa perilaku spesifik pada muncak jantan dapat diamati pada penelitian ini. Keterbatasan jumlah individu muncak jantan dan betina, serta lokasi pemeliharaan muncak selama penelitian, menjadi penyebab terbatasnya data perilaku yang diperoleh. Perilaku spesifik yang diamati meliputi perilaku yang berhubungan dengan reproduksi. Perilaku percumbuan (courtship) dapat diamati dengan jelas, sedangkan perilaku perkawinan (mating) tidak teramati pada penelitian ini. Perilaku lainnya yang dominan ditemukan adalah perilaku agresif. Jenis perilaku spesifik tersebut diuraikan pada Tabel 10 dan 11. Perilaku percumbuan (courtship) Perilaku percumbuan yang berhasil diamati pada ♂#2 dan ♂#3 saat keduanya berada pada perode RV dan RK diperlihatkan pada Gambar 33. Percumbuan juga diamati pada saat muncak jantan dan betina berada di kandang
terpisah.
Pada
kondisi
tersebut,
muncak
jantan
menginisiasi
percumbuan dengan berjalan mendekati betina, berdiri berhadapan dan mencium (sniffing) serta menjilat (licking) bagian kepala betina, terutama di bagian frontalis dan di sekitar daun telinga. Urutan perilaku percumbuan pada saat muncak jantan digabungkan dengan muncak betina pada kandang terbuka (exercise), diuraikan pada Tabel 10. Durasi perilaku courtship mulai dari merendahkan kepala hingga flehmen berlangsung sekitar 85 detik (diamati pada ♂#3). Urutan perilaku courtship pada muncak secara umum mirip seperti yang diamati pada pampas deer (Ungerfeld et al. 2008a). Namun perilaku mengangkat kepala dan bejalan perlahan sambil mengangkat kaki depan bergantian (ostentation behavior) di depan betina seperti yang ditemukan pada pampas deer tidak diperlihatkan oleh kedua muncak. Perilaku tersebut juga tidak dilaporkan pada rusa timor (Handarini 2006a). Perilaku sniffing dan licking pada
93
bagian anogenital muncak betina diakhiri dengan perilaku flehmen yang terjadi sebanyak 3-4 kali pada muncak jantan. Tabel 10 Perilaku percumbuan (courtship) pada muncak jantan dan betina Uraian perilaku
Jenis perilaku Mendekati dan menjilat kepala betina
Muncak jantan berjalan mendekati betina yang berada di kandang terpisah, dilanjutkan dengan menjilat (licking) bagian frontalis kepala dan sekitar daun telinga
Merendahkan kepala
Muncak berjalan mendekati betina sambil merendahkan posisi leher dan kepala mendekati permukaan tanah dan berada pada jarak sekitar 3 m dengan betina
Mengejar betina
Bergerak mengejar betina dengan posisi kepala normal
Menjilat tubuh betina
Muncak menjilat tubuh betina yang berada pada posisi duduk
Mencium dan menjilat anogenital betina
Pada posisi berdiri, muncak jantan mendekati betina dan mengarahkan kepala ke bagian anogenital betina, mencium (sniffing) dan menjilat (licking) bagian tersebut
Flehmen
Muncak mengangkat kepala sambil membuka lubang hidung dan melipat bibir atas
Menurut Senger (2005), perilaku reproduksi terbagi atas 1) perilaku pre kopulasi, 2) perilaku kopulasi, dan 3) perilaku post kopulasi. Perilaku reproduksi yang ditemukan masih terbatas pada perilaku pre kopulasi yang meliputi perilaku mencari dan mengenal pasangan, sniffing, licking, dan reaksi flehmen. Mekanisme flehmen melibatkan vomeronasal organ (VNO) untuk mendeteksi feromon betina yang bersifat non volatil. Reaksi khas yang terlihat adalah melipat bibir yang bertujuan untuk menutup cavum nasi, sehingga memberikan tekanan negatif pada duktus nasopalatinus. Akibatnya, feromon yang berada di cavum oris disalurkan ke VNO. Neuron sensoris pada VNO mendeteksi feromon tersebut dan mengirimkan sensor ke otak dan diproses untuk keperluan perkawinan. Perilaku flehmen juga ditemui pada domba, sapi, kuda, dan babi (Senger 2005). Perilaku muncak jantan mencium urin betina dan dilanjutkan dengan
respon
flehmen
seperti
yang
terjadi
pada
pampas
deer
(Ungerfeld et al. 2008a), tidak teramati saat dilakukan pengamatan. Munculnya perilaku reproduksi pada jantan diawali dengan terjadinya aromatisasi
testosteron
menjadi
estradiol
di
otak,
akibatnya
jantan
memperlihatkan perilaku reproduksi (Trainor et al. 2003; Senger 2005). Faktor hormonal yang menginisiasi perilaku kawin melibatkan estradiol dan DHT. Estradiol berperan pada saat kopulasi, sedangkan DHT berperan untuk merelaksasi organ genital. Aktivasi kedua hormon tersebut berlangsung di bagian pre optik area otak (Hull dan Dominguez 2007).
94
A
B
C
D
Gamba ar 33 Perilaku u percumbuan n (courtship) pada muncak k. (A) muncakk jantan mend dekati betina, (B) menjilat tu ubuh betina, (C) mencium dan menjilat anogenital betina, dan (D)) flehmen.
ercumbuan yang dilanju utkan denga an perilaku perkawinan atau Perilaku pe perilak ku kopulasi, meliputi mo ounting dan kopulasi tida ak teramati. Setelah mu uncak jantan memperlih hatkan reaks si flehmen, muncak betina tidak memperliha atkan ak jantan. M Menurut Se enger (2005 5), betina akan keinginan menerima munca perlihatkan perilaku p lordo osis apabila telah siap untuk u meneriima jantan. Pada P memp penelitian ini, perrilaku lordossis tidak tera amati (Gambar 33D). P Perkawinan yang telah menghasilka m an anak diduga terjadi pada malam m hari, pada a saat ♂#2 atau ♂#3 digabungkan d n dengan muncak m betina. Hal ini sesuai den ngan pernya ataan Fricovva et al. (20 007), bahwa a keberhasila an reprodukksi pada fallllow deer (D Dama dama)) terjadi pada a malam hari. Perila aku agresif Perilaku agresif a yang g diamati p pada kedua a muncak meliputi m perrilaku memb benturkan ra anggah ke tiang dan pa agar pembattas kandang g serta peralatan kanda ang, berlari kencang, be erguling di ttanah, mem mbongkar tanah dan rumput mengg gunakan ran nggah dan dilanjutkan d d dengan mem mbuat mahkkota dari rumput kering di antara RK R dexter ett sinister. Pe erilaku agres sif menyeran ng jantan lainnya (agoniis) tidak dia amati, karen na kedua muncak m tida ak digabungkan dalam satu kanda ang. Jenis perilaku p dan n uraian akttivitas munccak selama memperliha atkan perilak ku agresif diuraikan pada Tabel 11 d dan Gambarr 34.
95
Tabel 11 Perilaku u agresif pad da muncak ja antan Uraian aktivitass
Jenis perrilaku Membenturka an ranggah kera as
Ranggah kera R as dibenturka an pada pag gar pembatass, peralatan ka andang dan objek o keras la ainnya.
Menggelengkkan kepala
Kepala digele K engkan ke kanan k dan kiri dilanjutk kan dengan m mengangkat kepala ke atass
Berlari kenca ang
Muncak berlari tanpa arah M h dengan ke ecepatan ting ggi, dengan ge erakan kaki yyang tidak berraturan
Berguling di tanah t
Setelah berlarii kencang, dilanjutkan den S ngan perilaku berguling di ta anah hingga tubuh t kotor de engan tanah
Membongkarr tanah
Tanah di kandang terbu uka dibongka ar dengan RK hingga be erlubang dan n mengotori ba agian kepalan nya
Mencabut rum mput
Rumput dicabu R ut mengguna akan RK, teru utama rumputt yang mulai m mengering
Membuat ma ahkota
Merupakan akktivitas lanjutan dari me M encabut rump put, rumput ke ering diletakkkan di antara a RK dexter e et sinister, da an bertahan hingga bebera apa jam
A
B
D
C
E
Gambar G 34 Perilaku agrresif pada m muncak janta an. (A) berlari kencang tanpa t arah, (B) berguling g di tanah, (C C) membongkar tanah da an rumput, (D D) membuat mahkota di antara a kedua a ranggah keras, dan (E) membenturk kan ranggah keras ke tiang.
96
Menurut Fricova et al. (2007), perilaku agonis (perkelahian) sesama fallow deer jantan meningkat saat musim kawin dan tidak berhubungan dengan kehadiran fallow deer betina. Moore et al. (1995) menyatakan bahwa keberhasilan memenangkan perkelahian pada spesies tersebut berkorelasi erat dengan suksesnya perkawinan. Tabel 12 Pemunculan perilaku reproduksi dan agresif pada muncak ♂#2 Perilaku C
RV
♂#3 Periode ranggah RK C
RV
RK
√
√
Courtship : Mendekati dan menjilat kepala betina
√
√
Merendahkan kepala
√
√
√
Mengejar betina
√
√
Menjilat tubuh betina
√
√
Menjilat anogenital betina
√
√
Flehmen
√
√
√
√
Agresif : Membenturkan ranggah keras Menggelengkan kepala
√
√
√
√
Berlari kencang
√
√
√
√
Berguling di tanah
√
√
Membongkar tanah
√
√
Mencabut rumput
√
√
Membuat mahkota
√
Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras.
Pemunculan perilaku spesifik pada ketiga periode ranggah bervariasi pada kedua muncak (Tabel 12). Perilaku percumbuan dari kandang terpisah masih ditemukan pada periode RV menjelang shedding pada kedua muncak, tetapi perilaku percumbuan dalam kandang bersama dengan betina selama periode tersebut tidak diamati. Perilaku agresif secara dominan ditemukan pada periode RK, dan jarang diamati pada periode C dan RV. Saat berada pada periode C dan RV, muncak lebih sering menyendiri dan menghindari kontak dengan benda-benda keras. Benturan pada bagian blastema maupun RV yang sedang tumbuh akan mengakibatkan perdarahan. Luka yang ditimbulkan akibat benturan dengan benda keras selama pertumbuhan RV akan berakibat terhadap abnormalitas RK (Rachlow et al. 2003). Perilaku agresif yang diperlihatkan oleh
97
♂#3 setelah kematian ♂#2 lebih sering ditemukan, dimana sebelumnya perilaku tersebut lebih sering diperlihatkan oleh ♂#2. Namun perilaku membuat mahkota di antara kedua RK tidak ditemukan pada ♂#3. Adanya perbedaan umur, postur tubuh, dan ukuran ranggah antara kedua muncak yang berpengaruh terhadap peringkat dominasi, diduga sebagai faktor yang menyebabkan tidak munculnya perilaku tersebut pada ♂#3.
Simpulan 1. Morfologi pertumbuhan ranggah velvet berlangsung dalam tahapan yang sama pada kedua muncak. 2. Perbedaan morfometri rangah velvet dan ranggah keras serta durasi siklus ranggah pada kedua muncak dipengaruhi oleh faktor umur dan postur tubuh. 3. Muncak ♂#2 merupakan jantan dewasa (adult) dan lebih dominan dibandingkan ♂#3 yang tergolong dewasa muda (subadult). 4. Perilaku
percumbuan
(courtship)
dan
perilaku
agresif
umumnya
diperlihatkan oleh kedua muncak pada periode ranggah keras.
Daftar Pustaka Bartos L. 1980. The date of antler casting, age and social hierarchy relationships in the red deer stag. Behav Proc 5: 293-301. Bartos L, Schams D, Bubenik GA. 2009. Testosterone, but not IGF-1, LH, prolactin or cortisol, may serve as antler-stimulating hormone in red deer stags (Cervus elaphus). Bone 44: 691-698. Cegielski M, Izykowska I, Dziewiszek W, Zatonski M, Bochnia M, Kalisiak O. 2006. Search for stem cells in the growing antler stag (Cervus elaphus). Bull Vet Inst Pulawy 50: 247-251. Faucheux SA, Nesbitt MA, Horton Price JS. 2001. Cells in regenerating deer antler cartilage provide a microenvironment that supports osteoclast differentiation. J Exper Biol 204: 443-445. Fennessy PF, Suttie JM. 1985. Antler Growth: Nutritional and Endocrine Factors. Di dalam Biology of Deer Production. Fennessy PF, Drew KR. The Royal Society of New Zealand, editor. New Zealand Bull 22: 239-250. Forand KJ, Marchinton RL, Miller KV. 1985. Influence of dominance rank on the antler cycle of white-tailed deer. J Mammal 66: 58-62.
98
Fricova B, Bartos L, Panama J, Sustr P, Jozifkova E. 2007. Female presence and male agonistic encounters in fallow deer Dama dama during the rut. Folia Zool 56: 253-262. Goss RJ, Van Praagh A, Brewer P. 1992. The mechanism of antler casting in the fallow deer. J Exp Zoo 264: 429-436. Handarini R. 2006a. Dinamika aktivitas reproduksi berkaitan dengan tahap pertumbuhan ranggah rusa timor (Cervus timorensis) jantan dewasa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handarini R. 2006b. Pola dan siklus pertumbuhan ranggah rusa timor jantan (Cervus timorensis). J Agr Pet 2: 28-35. Hoymork A, Reimers E. 1999. Antler development in reindeer in relation to age and sex. Rangifer 22: 75-82. Hull AM, Dominguez JM. 2007. Sexual behavior in male rodents. Horm Behav 52: 45-55. Jackson A. 2002. Muntiacus muntjak. [terhubung berkala] http://animdiversity/ Muntiacusmuntjac.html [3 Agustus 2008]. Kierdorf U et al. 2003. Histological studies of bone formation during pedicle restoration and early antler regeneration in roe deer and fallow deer. Anat Rec 273A: 741-751. Kierdorf U, Kierdorf H. 2011. Deer antlers-a model of mammalian appendage regeneration: an extensive review. Gerontology 57: 53-65. Li C. 2003. Development of deer antler model for biomedical research. Rec Adv Res Up 4: 256-274. Li C, Suttie JM, Clarck DE. 2004. Morphological observation of antler regeneration in red deer (Cervus elaphus). Morphology 262: 731-740. Ma S, Wang Y, Xu L. 1986. Taxonomic and phylogenetic studies on the genus Muntiacus. Ac theriol Sin 3: 190-209. Moore NP, Kelly PF, Cahill JP, Hayden TJ. 1995. Mating strategies and mating success of fallow (Dama dama) bucks in a non-lekking population. Behav Ecol Sociobiol 36: 91-100. Pei K. 1996. Post-natal growth of the Formosan reeves’ muntjac Muntiacus reevesi micrurus. Zool Stud 35(2):111-117. Pereira RJG, Duarte JMB, Negrao JA. 2005. Seasonal changes in fecal testosterone concentrations and their relationship to the reproductive behavior, antler cycle and grouping patterns in free-ranging male pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus).Theriogenology 63: 2113-2125.
99
Price JS, Allen S, Faucheux C, Althnaian T, Mount JG. 2005. Deer antlers: a zoological curiosity or the key to understanding organ regeneration in mammals? [Ulas balik]. J Anat 207: 603-618. Price J, Allen S. 2004. Exploring the mechanisms regulating regeneration of deer antlers. Phil Trans R Soc Lond 359: 809-822. Rachlow JL, Lee RM, Riley RK. 2003. Abnormal antler and pedicle on rocky mountain elk in northern arizona. Southwest Nat 1: 147-152. Rajaram A. 2004. Deer antler: rapid growing calcified tissue. Resonance 50-63. Schwartz CC. 1992. Reproductive biology of north american moose. Alces 28: 165-173. Semiadi G, Subekti K, Sutama IK, Masy’ud B, Affandi L. 2003. Antler’s growth of endangered and endemic bawean deer (Axis kuhlii Muller and chlegel,1842). J Zool Treubia 33: 89-95. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed ke-2. Washington: Current Conception, Stewart KM, Bowyer RT, Kie JG, Gasaway WC. 2000. Antler size relative to body mass in moose: tradeoffs associated with reproduction. Alces 36: 77-83. Trainor CB, Bird IM, Alday NA, Schilinger BA, Marler CA. 2003. Variation in aromatase activity in the medial preoptic area and plasma progesterone is associated with the onset of paternal behavior. Neuroendocrinology 78:36-44. Ungerfeld R, Gonzalez-Pensado SX, Bielli A, Villagran M, Olazabal D, Perez W. 2008a. Reproductive biology of the pampas deer (Ozotoceros bezoarticus): a review. Act Vet Scand 50:16. Ungerfeld R, Gonzalez-Sierra UT, Bielli A. 2008b. Seasonal antler cycle in a herd of pampas deer (Ozotoceros bezoarticus) in uruguay [Ulas balik]. Mamm Biol 73: 388-391. Ungerfeld R, Bielli A, Gonzalez-Pensado SX, Villagran M, Gonzalez-Sierra UT 2008c. Antler size and weight in a herd of pampas deer (Ozotoceros bezoarticus). Mamm Biol 73: 478-481. Ungerfeld R, Damian JP, Villagran M, Gonzalez-Pensado SX. 2009. Female effect on antlers of pampas deer (Ozotoceros bezoarticus). Can J Zool 87: 734-739. Versiani NF, Pereira RJ, Duarte JMB. 2009. Annual variation in fecal androgen metabolites and antler cycle of captive red brocket bucks (Mazama americana) in southeast Brazil. Eur J Wildl Res 55: 535-538.
PROFIL METABOLIT TESTOSTERON MUNCAK JANTAN SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil metabolit testosteron selama periode pertumbuhan ranggah dari dua ekor muncak jantan dewasa, yaitu: ♂#2 (umur 5 tahun, berat badan 19.5 kg) dan ♂#3 (umur 3 tahun, berat badan 17 kg). Total sampel feses yang dianalisis adalah 394 sampel yang terdiri atas: 137 sampel feses ♂#2 (mendekati satu siklus ranggah) dan 257 sampel feses ♂#2 (mendekati dua siklus ranggah). Sampel-sampel tersebut dikoleksi pada periode ranggah keras (RK), casting (C), dan ranggah velvet (RV). Sampel feses ♂#2 dikelompokkan atas: RK1, C, RV dan RK2, sedangkan sampel ♂#3 dikelompokkan atas: RK1, C1, RV1, RK2, C2, RV2 dan RK3. Sampel dianalisis dengan metode enzymeimmunoassay (EIA) menggunakan asai testosteron (Möstl). Hasil analisis memperlihatkan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#2 pada RK1 lebih tinggi dibandingkan pada saat ♂#2 berada pada periode C (p = 0.003) dan RV (p = 0.02). Selain itu tingginya konsentrasi iT pada periode RK 2 secara signifikan juga berbeda dengan konsentrasi iT pada periode C (p = 0.009) dan RV (p = 0.06). Namun tidak terdapat perbedaan konsentrasi iT antara periode RK1 dan RK2 (p = 0.25). Ini menunjukkan bahwa pada ♂#2 terdapat perbedaan konsentrasi iT antara RK, C,dan RV dengan konsentrasi iT tertinggi ditemukan pada RK. Pola sekresi testosteron pada ♂#3 sedikit berbeda dengan ♂#2. Konsentrasi iT ♂#3 pada RK1 secara signifikan lebih rendah dibandingkan RK2 (p= 0.0003) dan RK3 (p = 0.0034), C1 (p = 0.05), dan C2 (p = 0.0001), tetapi tidak berbeda dengan RV1 dan RV2. Ini menunjukkan bahwa pada ♂#3, konsentrasi iT pada RK1 lebih rendah dibandingkan dengan C1, RV1, RK2, C2, RV2, dan RK3. Namun, tidak terdapat perbedaan konsentrasi iT antara RV1 dan RV2, serta RK2 dan RK3. Hasil tersebut memperlihatkan adanya perbedaan pola sekresi testosteron pada ♂#3 antara siklus ranggah I dan kedua. Pada saat memasuki siklus ranggah II, pola sekresi testosteron ♂#3 memperlihatkan kemiripan dengan siklus ranggah ♂#2. Perubahan pola sekresi tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya umur ♂#3 dan matinya ♂#2 pada saat ♂#3 berada pada awal RK2 dari siklus ranggah II. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi testosteron pada periode rangga keras secara umum lebih tinggi dibandingkan pada periode ranggah casting dan velvet. Selain itu perbedaan pola sekresi testosteron dan konsentrasi iT yang ditemukan pada kedua muncak berkorelasi erat dengan umur, postur tubuh, dan ukuran ranggah. Kata kunci : metabolit testosteron, periode pertumbuhan ranggah, muncak jantan dan asai testosteron.
Abstract The objective of this study was to characterisize the testosterone metabolite profile during the antler growth periods of two adult male muntjaks: ♂#2 (aged 5 years old, weight 19.5 kg) and ♂#3 (aged 3 years old, weight 17 kg). A total of 394 samples: 137 samples of ♂#2 (approximately one antler cycle) and 257 samples of ♂#3 (approximately two antler cycles) were collected throughout the antler period: hard antler (RK), casting (C), and velvet antler (RV). The entire samples of ♂#2 were grouped as RK1, C, RV, and RK2, whereas
102
samples of ♂#3 were grouped as RK1, C1, RV1, RK2, C2, RV2 and RK3. Immunoreactive testosterone level was measured by the enzymeimmunoassay (EIA) method using testosterone assay (Möstl). The results showed that immunoreactive testosterone (iT) level of ♂#2 during RK1 period was higher than C (p = 0.003) and RV (p = 0.02). RK2 was also significantly higher than those C (p = 0.009) and RV (p = 0.06). However, there was no significant difference of iT level between RK 1 and RK 2 (p = 0.25). This result showed that iT level during RK period was the highest level found within the antler period. The pattern of testosterone secretion of ♂#3 was slightly different compared to ♂#2’s pattern. In RK1, iT level was significantly lower than RK2 (p = 0.0003), RK3 (p= 0.0034), C1 (p = 0.05), and C2 (p = 0.0001), but there was no difference with RV1 and RV2. This result indicated that in ♂#3, iT level in RK1 was lower than C1, RV1, RK2, C2, RV2, and RK3. iT level of RV1 was not different from RV2, as well as between RK2 and RK3. The results showed that iT level in the first antler cycle differed to the second antler cycle of ♂#3. The ♂#3’s pattern showed a similarity with ♂#2’s pattern when ♂#3 was enter in the second antler cycle. Alteration in that pattern of testosterone secretion occurred coincide with increase of ♂#3’s aged and death of ♂#2 when ♂#3 in the initial of RK2 of the second antler cycle. In conclusion, iT level in hard antler was higher compared to the casting and velvet antler periods. In addition, the pattern of testosterone secretion and iT level which were found in both of muntjaks showed a close correlation to the age, body size, and antler size. Keywords: testosterone immunoreactive level, antler period, male muntjak, and testosterone assay.
Pendahuluan Aktivitas gonad yang berhubungan dengan fungsi steroidogenesis untuk menghasilkan hormon steroid jantan (androgen) dapat dimonitor dari konsentrasi metabolitnya yang diekskresikan melalui urin maupun feses. Beberapa tipe metabolit androgen pada urin dan feses telah berhasil diidentifikasi pada beberapa spesies mamalia. Tipe dan jalur ekskresi metabolit androgen bersifat spesifik spesies, artinya tidak semua tipe metabolit tersebut diekskresikan lewat urin dan feses pada semua spesies (Hodges dan Heistermann 2011). Sebagai contoh, tipe metabolit androgen dominan pada urin marmoset adalah androsteron (5α-androstan-3α-ol-17-one), sedangkan metabolit epiandrosteron (17-oxo-androgen) ditemukan pada feses macaca (Möhle et al. 2002). Pada gajah
afrika,
17β-OH-androgens
merupakan
metabolit
testosteron
yang
ditemukan di dalam urin, sedangkan epiandrosteron dideteksi dalam jumlah besar di dalam feses satwa tersebut (Ganswindt et al. 2002). Penentuan tingkat fertilitas dan pola reproduksi pada Cervidae jantan berdasarkan konsentrasi metabolit androgen seperti testosteron sering dikaitkan dengan periode pertumbuhan ranggahnya.
Periode ranggah pada Cervidae
103
jantan terbagi atas periode ranggah keras (RK), lepas ranggah/casting (C), ranggah velvet (RV), dimana terdapat perbedaan konsentrasi testosteron pada setiap periode ranggah tersebut (Bubenik et al. 1991). Fenomena ini telah dilaporkan pada sebagian besar Cervidae yang hidup di wilayah temperate dengan aktivitas reproduksi yang dipengaruhi oleh intensitas pencahayaan (photoperiod). Selain berperan dalam pengaturan siklus pertumbuhan ranggah, testosteron juga berfungsi sebagai hormon pengatur aktivitas reproduksi jantan lainnya, seperti aktivitas testikular (spermatogenesis), dan kelenjar asesoris (Sempere dan Boissin 1981), dan kualitas semen (Gizejewski 2004), serta pemunculan perilaku seksual dan perilaku agresif (Golinski et al. 2011). Selain itu, status sosial seperti tingkat dominasi (Arlet et al. 2011), pelepasan energi (energy expenditure) dan perubahan masa tubuh terkait aktivitas reproduksi pada jantan juga berlangsung dibawah kontrol testosteron (Place et al. 2002). Fertilitas rusa jantan yang tersebar di Indonesia yang diketahui dari kualitas semen dan aktivitas spermatogenesis di tubuli seminiferi testis, memiliki korelasi
erat
dengan
periode
pertumbuhan
ranggah
(Handarini
2006).
Konsentrasi testosteron plasma selama satu siklus ranggah pada rusa tersebut menunjukkan pola sekresi yang mirip dengan Cervidae lainnya, yaitu adanya perbedaan
konsentrasi
testosteron
pada
setiap
periode
ranggah
yang
merefleksikan aktivitas reproduksinya (Handarini dan Nalley 2008). Periode aktif reproduksi pada rusa timor diketahui berlangsung secara optimal pada periode RK, sedangkan pada periode C dan RV aktivitas reproduksi berhenti secara temporer (Handarini 2006).
Konsentrasi metabolit testosteron tertinggi pada
formosan muntjak selama periode RK adalah 20.59 ± 9.29 ng/g feses, sedangkan konsentrasi terendah (6.79 ± 3.26 ng/g feses) ditemukan pada periode ranggah velvet. Walaupun terdapat fluktuasi konsentrasi testosteron pada setiap periode ranggah, namun aktivitas reproduksi muncak tersebut tetap berjalan (Pei et al. 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan fertilitas dan pola reproduksi muncak jantan dewasa berdasarkan data yang diperoleh dari pengukuran konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT). Pengukuran konsentrasi iT dilakukan terhadap sampel feses muncak dan dianalisis dengan metode EIA menggunakan jenis asai testosteron Möstl. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan konsentrasi iT pada setiap periode ranggah dan korelasinya dengan laju pertumbuhan RV. Manfaat dari penelitian ini
104
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil metabolit testosteron muncak jantan selama periode ranggah. Informasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan pola reproduksi dan fertilitas muncak jantan sebagai bahan rekomendasi bagi program pengembangbiakan muncak di penangkaran.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hormon, Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) FKH IPB untuk kegiatan preparasi sampel feses, yang meliputi proses kering beku (lyophylization), dan pulverisasi (pulverization) sampel.
Kegiatan ekstraksi sampel dan analisis metabolit androgen feses
dilakukan di Endocrine Laboratory, Reproductive Biology Unit, German Primate Center/Deutsches Primatenzentrum (DPZ), Goettingen, Germany. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Oktober 2008 sampai Oktober 2011.
Hewan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua ekor muncak jantan dewasa yang dinyatakan sehat secara klinis dan memperlihatkan aktivitas reproduksi yang berjalan normal. Adapun data kedua muncak sebagai berikut: ♂#2, umur 5 tahun dengan berat badan 19.5 kg; dan ♂#3, umur 3 tahun dan berat badan 17 kg (Gambar 26). Penggunaan muncak untuk penelitian ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 23/MenhutII/2011. Muncak berasal dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan dipelihara di kandang individual berukuran 1 x 2 m2 yang dilengkapi dengan kandang terbuka (kandang exercise) selama penelitian berlangsung. Pakan diberikan dua kali per hari, pagi dan sore, berupa irisan wortel, rumput dan pelet dengan berat pakan bervariasi yang disesuaikan dengan bobot badan muncak, yaitu sekitar 10% dari bobot badan (Handarini 2006), sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Selama penelitian berlangsung, kedua muncak diberi akses untuk berdekatan dengan muncak betina dewasa.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan terdiri atas: feses segar muncak, metanol (MeOH) 80 %, goat-anti-rabbit IgG (Quartett, 3AG394) untuk coating plate, testosteron standar, testosterone-HRP, antibodi testosteron, larutan substrat, larutan buffer
105
(assay buffer), tetramethylbenzidine (TMB) di dalam dimethylsulfoxid (DMSO), strepatavidin-peroxidase (POD), asam sulfat (H2SO4). Alat yang digunakan terdiri atas: freezer (-20oC), mesin freeze dryer atau lyophilizer (Christ®, Gamma 1-20), mortar, tabung ependorff, timbangan (Sartorius AG), tabung ekstraksi, tabung reaksi, rak tabung, mesin pencuci plat mikrotiter (Bio-tex ELX 405), sentrifus (Thermo Scientific Heraeus Megafuge 40), vorteks (Multi-tube vortexer VWR Vx-2500 SMI®, USA), plat mikrotiter (microtiter plate), mikropipet (Eppendorf EDOS 5331), ELISA reader (Bio-tex EL 808), dan komputer. Metode Penelitian Sebelum proses sampling feses dimulai, kedua muncak terlebih dahulu diadaptasikan selama 2-3 bulan. Selama masa adaptasi, muncak diberikan antelmentikum dan diulangi setiap tiga bulan selama penelitian berlangsung. Selain itu diberikan pula vitamin A dengan dosis 10.000 IU per hari dan vitamin E dengan dosis 50 mg per hari.
Kegiatan penelitian meliputi: 1) koleksi dan
preparasi sampel feses, dan 2) analisis metabolit testosteron. Koleksi dan preparasi sampel feses Frekuensi koleksi sampel dilakukan berdasarkan periode pertumbuhan ranggah yang meliputi periode: ranggah keras (RK), ranggah lepas (casting/C), dan ranggah velvet (RV). Periode koleksi sampel feses pada kedua muncak adalah: •
Sampel feses ♂#2 dikoleksi selama satu siklus ranggah, meliputi periode RK1, C, RV, dan RK2,
•
Sampel feses ♂#3 dikoleksi selama dua siklus ranggah, meliputi periode RK1, C1, RV1, RK2, C2, RV2, dan RK3.
Frekuensi koleksi sampel pada ketiga periode pertumbuhan ranggah adalah: •
Pada periode RK, sampel dikoleksi setiap dua kali per minggu (durasi periode RK: 213-381 hari).
•
Pada periode C, sampel dikoleksi setiap hari (durasi periode C: 7-21 hari).
•
Pada periode RV, sampel dikoleksi setiap dua hari sekali (durasi periode RV: 83-104 hari).
106
Koleksi sampel dilakukan di antara pukul 6.00–7.00 WIB. Sampel feses segar yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik yang diberi kode individu muncak berikut tanggal koleksi, dan kemudian disimpan di dalam freezer (-20oC) hingga proses preparasi sampel dilakukan. Preparasi sampel feses segar meliputi dua tahapan, yaitu: 1) pengeringan dan pulverisasi feses; dan 2) ekstraksi sampel feses. Untuk proses pengeringan dan pulverisasi feses dilakukan berdasarkan prosedur kering beku (freeze drying), (Heisterman et al. 1993). Prosedur berikutnya adalah pengukuran konsentrasi metabolit androgen dari sampel ekstrak feses dengan metode EIA. 1. Pengeringan dan pulverisasi sampel feses Prosedur pengeringan sampel diawali dengan pengeringan sampel feses segar menggunakan mesin freeze dryer (lyophilizer) pada temperatur -20OC dan tekanan vakum 1.030-0,630 mbar selama 3-4 hari. Sampel feses yang telah dikeringkan selanjutnya dihaluskan (pulverization) menggunakan mortar. Sampel yang telah berbentuk serbuk kemudian dimasukkan ke dalam tabung plastik dan disimpan pada suhu -20OC sampai tahap ekstraksi dilakukan. 2. Ekstraksi sampel feses Proses ekstraksi sampel feses muncak dilakukan sesuai prosedur ekstraksi metabolit androgen, estrogen dan progestin yang telah diaplikasikan pada berbagai spesies primata dengan tingkat efisiensi ekstrak >80% (Engelhardt et al 2004; Klinkova et al. 2005). Sampel serbuk feses diambil dan ditimbang sebanyak 50 mg dan dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan menambahkan 3 ml larutan metanol (MeOH) 80%, divorteks selama 10 menit menggunakan mesin vortekser multi tabung dan dilanjutkan
dengan
sentrifugasi
ekstrak
menggunakan
sentrifus
dengan
kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya supernatan yang dihasilkan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang dilengkapi dengan plastik penutup tabung dan dilapisi dengan plastik parafilm. Sampel ekstrak feses tersebut selanjutnya disimpan pada suhu -20OC hingga pengukuran metabolit testosteron dilakukan. 3. Analisis sampel feses: uji paralel dan variasi intra dan inter asai Sebelum dilakukan pengukuran metabolit testosteron, terlebih dahulu dilakukan uji paralel (parallelism test) yang bertujuan untuk 1) mengetahui gambaran paralel antara kurva larutan standar dan kurva hormon dari sampel
107
yang y diuji, dan d 2) men nentukan tingkat pengenceran sam mpel ekstrakk feses. Uji paralel dilakkukan terhad dap sampel ekstrak fese es ♂#2 dan ♂#3 pada periode p RK, RV, dan C. Keseluruha an sampel e ekstrak terse ebut diencerrkan secara bertingkat dengan d laru utan assay buffer b denga an perbandingan 1:5 – 1:80. Hasil uji paralel menunjukka an posisi tin ngkat penge enceran darri masing-m masing samp pel ekstrak dan d membe entuk garis yang y paralel dengan kurrva larutan sstandar, dima ana tingkat pengenceran yang tepa at adalah 1:80 (50% biinding, Gam mbar 35). Ha asil paralel tersebut t me engindikasika an bahwa assai hormon yang y diguna akan dapat mendeteksi m keberadaan metabolit hormon targe et.
Gambar G 35 Uji paralel dari asai testo osteron (Mösstl) yang digu unakan untukk mengukur konsentrasi testosteron t im munoreaktif (iT T) pada munccak jantan.
Coeffiesien varia ation (CV) in ntra dan inte er-asai dari asai yang digunakan, d dihitung d untuk mengetahui tingkat a akurasi dari asai tersebu ut. Untuk CV V intra asai diperoleh d de engan meng ghitung dua a jenis stand dard controll dalam satu u plat asai yaitu y low qu uality controll (L) dan hig gh quality co ontrol (H) de engan nilai 8.05% 8 dan 4.51%. 4 Sedangkan CV untuk inter asai dihitun ng dari low quality conttrol (QC L) dan d high quality contro ol (QC H) dari bebera apa plat asa ai, adalah 15.1% 1 dan 16.7%. Analisis A me etabolit testtosteron Konssentrasi testosteron imunoreaktif fes ses (iT) diukkur dengan metode m EIA (Heisterman nn et al. 1993) 1 meng ggunakan asai a testostteron Möstll. Antibodi testosteron t yang digunakan mem mperlihatkan n cross rea activity 100% % dengan
108
testosterone,
23.7%
dengan
5α-dihydrotestosterone,
12.3%
dengan
5β-dihydrotestosterone, 7.6% dengan 4-androstene-3β, 17β-diol, 5.5% dengan 5α-androstane-3α-17β-diol, 1.3% dengan 5α-androstane-3β-17β-diol, 1.1% dengan
5β-androstane-3α-17β-diol,
dan
<0.1%
dengan
epitestosterone
androsterone dan 5α-androstane-17α-ol-3-one. Pemilihan asai testosteron yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada publikasi Pei et al. (2009), yang menggunakan asai testosteron dalam menganalisis sampel ekstrak feses formosan muntjak dengan metode RIA. Prosedur analisis metabolit testosteron muncak adalah: •
Plat EIA yang telah dilapisi (coating) dengan goat-anti-rabbit IgG dicuci dengan mesin pencuci plat.
•
Ekstrak feses diencerkan menjadi larutan perbandingan 1:80 (sesuai dengan hasil uji paralel) menggunakan asai buffer.
•
Larutan ekstrak feses sebanyak 50 µl dikombinasikan dengan 50 µl label enzim, 50 µl antibodi dimasukkan ke dalam tiap sumur plat dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 6-8OC.
•
Plat mikrotiter dicuci kembali sebanyak 4 kali, dikeringkan dan ditambahkan dengan larutan streptavidin-peroxidase, dan diinkubasikan selama 30 menit pada temperatur ruang.
•
Tahap berikutnya adalah penambahan substrat buffer yang terdiri atas 1.2 mM H2O2, 0.4 mM 3.3’,5.5’-tetramethylbenzidine di dalam 10 mM natrium asetat, pH 5.5, dan diinkubasikan selama kurang lebih 40 menit pada temperatur ruang (tergantung perubahan warna standar).
•
Reaksi enzimatis dihentikan dengan menambahkan 4 M asam sulfur sebanyak 50 µl ke setiap sumur, absorban yang terbentuk dibaca menggunakan plate reader dengan filter pada panjang gelombang 450 nm dengan referensi filter 630 nm.
Analisis Data Data konsentrasi iT kedua muncak yang diperoleh, ditabulasikan dalam bentuk rataan ± SB. Sedangkan untuk mengetahui adanya perbedaan konsentrasi iT pada setiap periode ranggah: RK, C, RV, dan RK berikutnya dilakukan uji statistik dengan menggunakan nilai rataan dari konsentrasi iT. Uji statistik yang digunakan adalah uji permutasi (permutation test) dengan membandingkan konsentrasi iT pada berbagai periode ranggah. Uji ini
109
menggunakan program RSwMV yang dapat menganalisis hubungan sampel dengan missing value (Mundry 1999). Uji statistik pearson correlation dengan software SPSS 15 digunakan untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi iT dengan laju pertumbuhan ranggah velvet pada ♂#2 dan ♂#3.
Muncak Jantan C
RV
RK
Periode ranggah
Koleksi Sampel Feses: 137 sampel (♂#2) dan 257 sampel (♂#3)
Preparasi Sampel Feses
Pengeringan, pulverisasi, ekstraksi
Analisis Sampel Ekstrak Metode enzymeimmunoassay (EIA)
Uji Paralel (Parallelism test) Variasi intra dan inter asai (CV %)
Analisis Metabolit Testosteron Asai testosteron Möstl
Testosteron imunoreaktif (ng/g feses)
Data
Gambar 36 Bagan alir disain penelitian III: profil metabolit testosteron muncak jantan selama periode pertumbuhan ranggah. C: casting, RV: ranggah velvet, S: shedding, RK: ranggah keras.
110
Hasil dan Pembahasan Testosteron merupakan metabolit dominan yang ditemukan pada feses muncak (M. m. muntjak) jantan. Tipe metabolit serupa juga ditemukan pada feses formosan muntjak (M. reveesi micrurus) (Pei et al. 2009), sika deer (Cervus nippon) (Hamasaki et al. 2001), pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus) (Pereira et al. 2005), dan red brocket (Mazama americana) (Versiani et al. 2009). Pemilihan asai testosteron untuk mengukur konsentrasi metabolit testosteron pada muncak sangat tepat. Hal tersebut diketahui dari hasil uji paralel (parallelism test) terhadap asai testosteron memperlihatkan kurva yang paralel antara sampel ekstrak feses dan larutan standar (Gambar 35). Selain itu, berdasarkan data cross reactivity dari antibodi yang digunakan, menunjukkan bahwa antibodi testosteron memiliki kemampuan untuk mendeteksi konsentrasi testosteron dengan cross reactivity 100%. Profil metabolit testosteron selama periode pertumbuhan ranggah memperlihatkan adanya perbedaan aktivitas steroidogenesis berdasarkan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT). Konsentrasi iT pada periode RK lebih tinggi dibandingkan pada periode C, dan RV. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada beberapa spesies dari famili Cervidae tersebut di atas, yang juga menggunakan
asai
testosteron
untuk
mendeteksi
konsentrasi
metabolit
testosteron. Oleh karena itu asai testosteron merupakan asai yang tepat digunakan untuk mengukur konsentrasi metabolit testosteron pada muncak jantan.
Konsentrasi Testosteron Imunoreaktif Muncak Jantan Profil metabolit testosteron selama periode pertumbuhan ranggah pada kedua muncak memperlihatkan perbedaan. Rataan konsentrasi iT ♂#2 pada periode RK1 (September - Januari 2008) adalah 579.06 ± 163.98 ng/g feses dengan konsentrasi tertinggi sebesar 745.8 ± 261.01 ng/g feses (Oktober 2008). Konsentrasi iT menurun (267.0 ± 50.21 ng/g feses) pada periode C (Januari 2009), dan mencapai konsentrasi terendah pada periode RV, yaitu: 251.92 ± 53.88 ng/g feses. Pada akhir periode RV (April 2009), konsentrasi iT mulai meningkat menjadi 559.0 ± 210.31 ng/g feses. Peningkatan konsentrasi tersebut ditandai dengan pengelupasan kulit velvet atau shedding, dan proses mineralisasi tulang ranggah yang telah sempurna dan ditandai dengan terbentuknya struktur tulang ranggah yang padat dan keras. Selama ♂#2 berada
111
pada periode RK2, rataan konsentrasi iT adalah 434.88 ± 73.68 ng/g feses. Nilai ini lebih rendah dibandingkan konsentrasi iT pada periode RK1 (Gambar 37). Namun, konsentrasi iT pada periode RK2 tersebut bukan merupakan nilai akhir untuk periode RK2, karena ♂#2 mati sebelum RK2 mencapai casting 2 (C2).
†
Gambar 37 Konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#2 selama satu siklus ranggah (September 2008 – Maret 2010). Konsentrasi tertinggi terjadi pada periode RK1 (Oktober 2008) dan konsentrasi terendah terjadi pada periode RV (Maret 2009;). RK: ranggah keras; C: casting/tanpa ranggah; RV: ranggah velvet. † mati pada periode RK (akhir Maret 2010).
Dari hasil uji statistik ditemukan adanya perbedaan konsentrasi iT pada ♂#2 dari setiap periode (tahap) ranggah (Gambar 38). Konsentrasi iT pada periode RK1 lebih tinggi dibandingkan pada saat ♂#2 berada pada periode C (p = 0.003) dan RV (p = 0.02). Selain itu tingginya konsentrasi iT pada periode RK 2 secara signifikan juga berbeda dengan periode C (p = 0.009) dan periode RV (p = 0.06). Namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara periode RK 1 dan RK 2 (p = 0.25).
112
†
ar 38 Perbed daan konsentrasi testoste eron imunore eaktif (iT) ♂#2 selama pe eriode Gamba (tahap) pertumbuha an ranggah. Konsentrasi tertinggi (RK K1) dan tere endah R dan C; C dan RK2; se erta RV dan RK2. R RK1: ra anggah keras 1; C: (RV). RK1 casting g/tanpa rangg gah; RV: rang ggah velvet; RK2: R ranggah h keras 2. p < 0.05 = berb beda nyata; p < 0.01 = berrbeda sangat nyata; † mati pada period de RK (akhir Maret 2010).
n konsentra asi iT pada ♂#2 ditem mukan pada a setiap periode Perbedaan mbuhan ranggah (RK, C, RV). Ko onsentrasi iT T pada perriode RK se ecara pertum umum m lebih tinggii dibandingkkan dengan periode C dan d RV. Perrbedaan terssebut mereflleksikan flukktuasi konse entrasi testossteron plasm ma yang beredar di sirkkulasi darah.. Adanya flu uktuasi konssentrasi testosteron plas sma selama a periode RK K, C, dan RV R dilapork kan pada rusa r timor (Handarini 2006), dan n pampas deer (Unge erfeld et all. 2008), sedangkan s kuran perbedaan berdasarkkan penguk konsentrasi meta abolit testos steron
tela ah dilaporka an pada forrmosan mu untjak
Versiani et all. 2009). (Pei ett al. 2009) dan red brockket bucks (V n konsentra asi testosteron selama a satu siklu us pertumbuhan Perbedaan rangga ah berada di d bawah kontrol poros hipotamus-h hipofise-gona ad (poros HPG). H Tingginya
konse entrasi
tesstosteron
sselama
periode
RK
terjadi
a akibat
di sel Leydiig di bawah h kontrol LH dari meningkatnya akttivitas steroiidogenesis d at konsentra asi testostero on mencapa ai level tertinggi, umpan balik hipofisse. Pada saa negatif testosteron n terhadap hipotalamuss dan hipofisse terjadi, a akibatnya se ekresi b d dan berdam mpak terha adap penurrunan sinte esis testostteron LH berkurang (Pined da 2003). Ko ondisi ini ditemukan pa ada saat mu uncak dan Cervidae C lainnya berada a pada periode RK. Konsentrasi K testosteron yang berbe eda pada setiap s period de
ranggah h
berpeng garuh
terh hadap
aktiv vitas
repro oduksi,
se eperti
113
spermatogenesis. Tingginya konsentrasi testosteron selama periode RK secara langsung meningkatkan spermatogenesis (Blottner et al. 1996), yang ditandai dengan lebih baiknya kualitas spermatozoa. Intensitas perkawinan juga meningkat pada periode RK, seperti yang dilaporkan pada roe deer (Sempere dan Boisin 1981), red deer (Suttie et al. 1984; 1992), rusa timor (Handarini 2006), pampas deer (Ungerfeld et al. 2008). Konsentrasi iT ♂#3 selama mendekati dua siklus pertumbuhan ranggah (Februari 2009 – Juli 2011), memperlihatkan pola yang fluktuatif (Gambar 39). Rataan konsentrasi iT (ng/g feses) selama siklus ranggah I adalah: 198.1 ± 28.62 pada RK1 (Februari - November 2009); 257.8 ± 62.5 pada C1 (Desember 2009); 253.1 ± 45.05 pada RV1 (akhir Desember 2009 – akhir Maret 2010); 544.3 ± 168.3 pada RK2 (akhir Maret – akhir Oktober 2010). Pola sekresi testosteron memperlihatkan perubahan pada siklus ranggah II dengan rataan konsentrasi iT (ng/g feses) sebagai berikut: 606.2 ± 194.1 pada C2 (akhir Oktober – pertengahan November 2010); 294.2 ± 27.2 pada RV2 (November 2010 – Februari 2011); dan 388.7 ± 107.85 pada RK3 (Februari – Juli 2011). Rataan konsentrasi iT pada periode RK3 tersebut diukur hingga pertengahan periode RK3, dimana saat analisis hormon dilakukan, ♂#3 belum mencapai periode casting 3 (C3). Konsentrasi iT pada periode RK3 tersebut diduga lebih tinggi dan akan menyerupai konsentrasi iT periode RK2 muncak ♂#2 (434.88 ± 73.68 ng/g).
*
Gambar 39 Konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#3 selama dua siklus ranggah: RK1, C1, RV1, RK2, C2, RV2 dan RK3. (Februari 2009 – Juli 2011). Konsentrasi iT terendah ditemukan pada periode RK1 (siklus ranggah I). Konsentrasi iT tertinggi pada periode RK2 (siklus ranggah II). RK: ranggah keras; C: casting; RV: ranggah velvet; *sebagian dari periode RK3.
114
Berdasarkan uji statistik terhadap nilai rataan konsentrasi iT ♂#3, ditemukan adanya perbedaan konsentrasi iT pada masing-masing periode ranggah (Gambar 40). Konsentrasi iT pada periode RK1 secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada periode RK2 (p = 0.0003), dan periode RK3 (p = 0.003). Konsentrasi iT pada RK1 juga lebih rendah dibandingkan periode C1 (p = 0.05), dan C2 (p = 0.0001), tetapi tidak berbeda dengan periode RV1 (p = 0.3) dan RV2 (p = 0.06). Perbedaan konsentrasi juga diperlihatkan antara periode C1 dan C2 (p = 0.01), RV1 dan C2 (p = 0.001), serta C2 dan RV2 (p = 0.03).
Namun tidak terdapat perbedaan konsentrasi testosteron antara
periode RV1 dan RV2 (p = 0.496), serta RK2 dan RK3 (p = 0.481).
*
Gambar 40 Perbedaan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) ♂#3 dari dua siklus ranggah. Konsentrasi tertinggi (C2) dan terendah (RK1). Terdapat perbedaan konsentrasi antara RK1 dan C; RK 1 dan RK 2; RK2 dan C1; RK1 dan RK4; C2 dan RK3. Tidak terdapat perbedaan antara RK2 dan RK3; RV1 dan RK2; RV2 dan RK2. RK: ranggah keras; C: casting/tanpa ranggah; RV: ranggah velvet. P < 0.05 = berbeda nyata; p < 0.01 = berbeda sangat nyata; *sebagian dari periode RK3.
Perbedaan pola sekresi testosteron antara siklus ranggah I dan II pada ♂#3 dapat terjadi karena perbedaan umur selama menjalani kedua siklus ranggah tersebut. Pada siklus rangah I, muncak ♂#3 masih tergolong dewasa muda (3 tahun) yang dapat diketahui dari morfologi dan morfometri rangah dan postur tubuh.
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah dominasi ♂#2
terhadap ♂#3 pada siklus ranggah I. Umur ♂#2 yang lebih tua menjadikan muncak tersebut lebih dominan yang ditandai dengan ukuran ranggah dan postur
115
tubuh yang lebih besar. Konsentrasi iT selama periode RK1 pada ♂#2 adalah 2.9 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi iT selama periode RK1 pada ♂#3 dari siklus ranggah I. Pada periode tersebut, status dominasi ♂#2 dan status subordinat ♂#3 teramati dengan jelas. Namun pada periode RK2 dari siklus ranggah II, konsentrasi iT ♂#3 lebih tinggi 11% dibandingkan ♂#2 pada periode RK2. Peningkatan tersebut terjadi seiring peningkatan umur ♂#3 yang ditandai dengan perubahan morfologi dan ukuran ranggah, serta postur tubuh. Perubahan status dominasi pada ♂#3 sebagai respon terhadap kematian ♂#3 pada akhir periode RK2 belum dapat dibuktikan karena ketiadaan muncak jantan lainnya di kandang penelitian. Pengaruh dominasi terhadap konsentrasi testosteron telah dilaporkan pada
white-tailed
deer
(Odocoileus
virginianus)
di
penangkaran
(Forand et al. 1985). Padar rusa jantan dominan (umur > 3,5 tahun), secara umum konsentrasi testosteron pada periode RK lebih tinggi dibandingkan rusa subordinat (umur < 3.5 tahun). Hal tersebut dapat terjadi karena jantan dominan berusaha mempertahankan posisinya sebagai jantan dominan terhadap jantan subordinat, sehingga kebutuhan energi dibawah kontrol testosteron meningkat. Hubungan tersebut dapat dilihat antara ♂#2 selama periode RK1 dan ♂#3 selama periode RK1. Menurut Sapolsky (1985), konsentrasi testosteron yang lebih rendah pada jantan subordinat dipengaruhi oleh tingginya produksi adrenocorticothropic hormone (ACTH) dari hipofise anterior. Akibatnya kelenjar adrenal memproduksi hormon stres (glukokortikoid) dalam jumlah besar. Sekresi glukokortikoid dalam konsentrasi tinggi akan menekan fungsi testikular dalam mensintesis testosteron. Adanya pengaruh glukokortikoid terhadap sekresi androgen pada Cervidae subordinat telah dilaporkan pada white-tailed deer (Forand et al. 1985). Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap perbedaan pola sekresi testosteron antara kedua muncak selain faktor umur dan status dominasi adalah kehadiran muncak betina fertil. Kehadiran betina fertil akan menimbulkan stimulus socio-sexual yang akan berinteraksi dengan sistem neuroendokrin. Interaksi tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi (Pineda 2003). Namun seberapa besar pengaruh stimulus socio-sexual terhadap reproduksi Cervidae jantan belum banyak dilaporkan (Ungerfeld et al. 2009). Sebaliknya stimulus socio-sexual Cervidae jantan terhadap aktivitas reproduksi betina telah dilaporkan pada red deer betina yang lebih cepat memasuki
116
pubertas (Fisher et al. 1995) dan bunting lebih awal selama musim kawin karena berdekatan dengan red deer jantan (Moore dan Kowie 1986). Dugaan adanya pengaruh stimulus socio-sexual dari muncak betina fertil terhadap aktivitas gonad kedua muncak pada penelitian ini sangat beralasan, karena selama penelitian berlangsung kedua muncak diberikan akses untuk mendekati muncak betina walaupun berada di kandang individual. Stimulus muncak betina terhadap ♂#2 diduga lebih besar dibandingkan terhadap ♂#3 ketika posisinya sebagai jantan subordinat (siklus ranggah I). Menurut Ungerfeld et al. (2009), pampas deer jantan yang dipelihara bersama pampas deer betina, memiliki ukuran dan bobot ranggah yang lebih tinggi dan penundaan periode casting dibandingkan jantan yang dipelihara tanpa betina. Feromon betina diduga memperpanjang sekresi testosteron pada jantan dominan, sehingga durasi siklus ranggah lebih lama. Status dominasi ♂#2 yang didukung dengan morfometri RK yang lebih besar serta durasi siklus ranggah yang lebih panjang dibandingkan ♂#3 pada siklus ranggah I, mendukung pernyataan tersebut. Pengaruh kehadiran muncak betina fertil terhadap ♂#3 meningkat ketika muncak tersebut berada pada siklus ranggah II yang bersamaan dengan kematian ♂#2. Kondisi tersebut ♂#3 tidak perlu bersaing dengan muncak jantan lainnya saat berinteraksi dengan muncak betina. Besarnya pengaruh tersebut diperlihatkan
dengan
perubahan
profil
metabolit
testosteron,
perubahan
morfologi dan morfometri ranggah (RK1 ke RK2) serta semakin panjangnya durasi siklus ranggah I (319 hari) ke siklus ranggah II (485 hari). Fenomena khusus tingginya konsentrasi iT selama periode casting (C1 dan C2) dibandingkan periode RV1 dan RV2 pada siklus ranggah I dan II ditemukan pada ♂#3.
Pada periode tersebut diduga ♂#3 mengalami stres
karena umurnya yang masih muda dan berstatus sebagai jantan subordinat. Kondisi tersebut menjadi penyebab tingginya tingkat stres ♂#3 dibandingkan ♂#2 pada saat terjadi casting dan selama menjalani periode RV. Peningkatan konsentrasi iT selama stres berhubungan dengan peningkatan aktivitas kelenjar adrenal dalam mensintesis glukokortikoid dan androgen (Pineda 2003).
Tipe
androgen utama yang disekresikan oleh kelenjar adrenal adalah DHEA (Meaden dan Chedresse 2009), yang selanjutnya dikonversi menjadi androstenedion dan testosteron (Labrie et al. 1998). Tingginya konsentrasi androgen adrenal (testosteron, DHEA, dan androstenedion) dalam kondisi stres juga dilaporkan pada gajah yang mengalami musth (Ganswindt et al. 2005; Yon et al. 2007).
117
Diduga pada saat ♂#3 mengalami casting, androgen adrenal disekresikan sebagai respon terhadap stres akibat kehilangan ranggah dan rasa sakit pada luka akibat casting di proksimal pedikel. Androgen adrenal tersebut digunakan untuk keperluan pelepasan energi (energy expenditure) untuk mencapai kondisi homeostatis tubuh (Wingfield et al. 1990; Place et al. 2002). Masih ditemukannya konsentrasi testosteron pada muncak selama periode C dan RV tidak terjadi pada sebagian besar famili Cervidae, khususnya spesies-spesies yang hidup di wilayah beriklim sedang (temperate) dengan pola reproduksi musiman (seasonal). Pada periode C dan RV, konsentrasi testosteron plasma mencapai titik terendah hingga tidak terdeteksi, seperti yang dilaporkan pada red deer dengan konsentrasi terendah 0,1 ng/ml pada awal musim dingin sampai awal musim panas (Suttie et al. 1992). Sedangkan pada white-tailed deer, konsentrasi testosteron terendah terjadi pada bulan April – Juli (Bubenik et al. 1990), dan sika deer pada bulan April – Juni (Kameyama et al. 2002). Namun pola sekresi testosteron seperti yang ditemukan pada muncak juga
dilaporkan
pada
red
brocket
dengan
pola
reproduksi
aseasonal
(Versiani et al. 2009). Konsentrasi metabolit androgen feses pada spesies tersebut
juga
masih
terdeteksi
pada
periode
pertumbuhan
RV
(> 1000 ng/g feses).
Korelasi antara Konsentrasi Testosteron dan Pertumbuhan Ranggah Velvet Korelasi antara konsentrasi iT dan pertumbuhan RV pada kedua muncak memperlihatkan korelasi yang bervariasi (positif dan negatif) dan secara statistik korelasi tersebut juga bervariasi, yaitu: tidak berbeda, berbeda nyata, dan sangat nyata. Korelasi antara konsentrasi testosteron dengan laju pertumbuhan RV sampai awal periode RK pada ♂#2 diamati selama satu siklus ranggah, sedangkan ♂#3 selama dua siklus ranggah (Gambar 41 dan 42). Pada ♂#3, terdapat korelasi negatif (pearson correlation, r = -0,862) antara konsentrasi iT dengan ukuran ranggah yang diukur pada awal pertumbuhan RV (Januari 2009) sampai pertengahan periode RV yaitu pada saat ukuran ranggah mencapai maksimum yaitu 152.05 ± 1.19 mm (Maret 2009). Selama periode ini konsentrasi iT menurun
mencapai konsentrasi terendah
(113.33 ± 1.35 ng/g feses), dimana secara statistik korelasi tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata (p = 0.013). Pada pertengahan periode pertumbuhan RV sampai awal periode RK, juga ditemukan korelasi negatif
118
(pearson correlation, r = -0.785) antara konsentrasi iT dengan panjang ranggah yang telah stabil pada ukuran 148.25 ± 1.12 mm dan telah memperlihatkan struktur RK. Pada awal periode RK, konsentrasi iT mencapai konsentrasi tertinggi (731.55 ± 254.04 ng/g feses). Konsentrasi tersebut enam kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi iT terendah pada awal periode RV. Hasil uji statistik juga memperlihatkan korelasi yang berbeda nyata (p = 0.021).
Gambar 41 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#2 Korelasi negatif (r = -0.862) antara konsentrasi iT dan ukuran ranggah velvet (RV) pada awal - pertengahan periode RV (latar putih) berbeda nyata (p = 0.013). Korelasi periode berikutnya (latar abu-abu) adalah r = -0.785 dan berbeda nyata (p = 0.021). p < 0.01 = berbeda sangat nyata; p < 0.05 = berbeda nyata.
Muncak ♂#2 memperlihatkan korelasi negatif yang berbeda sangat nyata antara konsentrasi iT dan panjang ranggah pada awal pertumbuhan RV hingga pertengahan pertumbuhan RV. Hubungan yang sama juga ditemukan pada periode pertengahan pertumbuhan RV hingga awal periode RK dan berbeda nyata. Korelasi negatif tersebut menunjukkan rendahnya konsentrasi testosteron pada pertumbuhan ranggah baru dibandingkan pada periode RK. Tingginya konsentrasi testosteron di sirkulasi selama periode RK memberikan umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofise, sehingga sekresi GnRH dan LH menurun. Di sisi lain, konsentrasi prolaktin yang tinggi akan memblok aktivitas reseptor GnRH di hipotalamus, akibatnya sintesis LH dan testosteron berkurang (Li 2003). Walaupun diperlukan dalam konsentrasi rendah, testosteron tetap diperlukan sebagai stimulator pertumbuhan ranggah, seperti yang dilaporkan pada red deer subadult dan adult (Bartos et al. 2009).
119
Konsentrasi
testosteron
yang
rendah
selama
pertumbuhan
RV,
meningkatkan vaskularisasi arteri di lapisan vaskular kulit velvet (Kierdorf dan Kierdorf 2011). Selama periode tersebut terjadi proliferasi osteoblas yang dikontrol oleh insuline-like growth factor (IGF), retinoic acid dan parathyroid hormone (Price dan Allen 2004; Price et al. 2005). Proliferasi osteoblas menjadi osteosit berakibat terjadinya osifikasi endokondral RV yang bergerak ke arah proksimal dari RV. Setelah periode tersebut, pertumbuhan ranggah berlangsung lambat, diikuti dengan mineralisasi RV seiring peningkatan sekresi LH dan testosteron. Peningkatan konsentrasi iT mulai terlihat saat ♂#2 memasuki awal periode RK, yaitu ditandai dengan ukuran RK yang telah stabil. Testosteron yang tinggi mengakibatkan vasokonstriksi buluh darah pada akhir RV, akibatnya kulit velvet menjadi tipis, kering dan akhirnya mengelupas (shedding) (Li et al. 2004). Berakhirnya shedding menandakan awal RK baru dengan durasi terlama dibandingkan periode C dan RV. Korelasi berbeda antara konsentrasi iT dan laju pertumbuhan RV antara kedua muncak ditemukan pada saat muncak ♂#3 berada pada siklus ranggah I. Pengukuran konsentrasi iT dan panjang RV dilakukan di awal periode RV (Januari 2010) hingga pertengahan Februari 2010 dari siklus ranggah I. Selama periode tersebut ditemukan korelasi positif (Gambar 42), yaitu pearson correlation, r = 0.759. Pada periode tersebut konsentrasi iT meningkat seiring peningkatan panjang ranggah, dimana secara statistik korelasi tersebut tidak berbeda (p = 0.08). Pada periode berikutnya (pertengahan Februari – akhir Mei 2010), korelasi antara iT dan ukuran ranggah masih tetap positif (pearson correlation, r = 0.452) dan secara statistik korelasi tersebut juga tidak berbeda (p = 0.309). Secara umum, korelasi antara konsentrasi iT dan laju pertumbuhan RV ♂#3 pada siklus ranggah I, belum memperlihatkan korelasi yang menyerupai korelasi ♂#2. Korelasi positif yang ditemukan pada periode awal pertumbuhan RV, berhubungan dengan konsentrasi iT yang masih tinggi di akhir periode C hingga awal pertumbuhan RV. Hal ini disebabkan kondisi ♂#3 yang masih tergolong dewasa muda (subadult) dan menempati posisi subordinat mengalami stres setelah casting. Pada kondisi stres aktiftas kelenjar adrenal meningkat, baik dalam mensintesis glukokortikoid maupun sintesis androgen yang selanjutnya dikonversi menjadi testosteron (Pineda 2003). Akibatnya, konsentrasi iT terdeteksi dalam jumlah besar yang diduga sebagiannya merupakan metabolit
120
testosteron yang berasal dari testosteron hasil sintesis kelenjar adrenal. Menurut Place et al. (2002), testosteron tersebut diperlukan untuk keperluan pelepasan energi selama stres berlangsung.
Gambar 42 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#3 siklus ranggah I. Korelasi positif (r = 0.759) antara konsentrasi iT – ukuran ranggah velvet (RV) pada awal - pertengahan periode RV (latar putih) tidak berbeda (p = 0.08). Periode berikutnya (latar abu-abu) menunjukkan korelasi positif (r = 0.452) dan tidak berbeda (p = 0.309). p < 0.01 = berbeda sangat nyata; p < 0.05 = berbeda nyata.
Gambar 43 Hubungan pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT ♂#3 siklus ranggah II. Korelasi negatif (r = -0.82) antara konsentrasi iT - ukuran RV pada awal pertengahan periode RV (latar putih), namun secara statistik tidak berbeda (p = 0.08). Periode berikutnya (latar abu-abu) menunjukkan korelasi negatif (r = -0.574) dan tidak berbeda (p = 0.311). p < 0.01 = berbeda sangat nyata; p < 0.05 = berbeda nyata.
121
Korelasi antara konsentrasi iT dan laju pertumbuhan RV pada ♂#3 selama siklus ranggah II, menunjukkan perbedaan korelasi dengan siklus ranggah I (Gambar 43). Korelasi negatif ditemukan selama periode tersebut dan memperlihatkan pola korelasi yang hampir menyerupai pola korelasi ♂#2. Pada saat ukuran RV tertinggi, yaitu 170.50 ± 0.71 mm, konsentrasi iT turun sampai 261.49 ± 72.24 ng/g feses (akhir Januari 2011), sehingga terdapat korelasi negatif (pearson correlation, r = -0.82), namun secara statistik korelasi tersebut tidak berbeda (p = 0.862). Korelasi antara konsentrasi iT dan panjang ranggah pada pertengahan periode RV hingga awal periode RK juga memperlihatkan korelasi negatif (pearson correlation, r = -0.574), dan secara statistik korelasi tersebut juga tidak berbeda (p = 0.311). Peningkatan umur ♂#3 yang didukung dengan peningkatan ukuran ranggah dan postur tubuh berpengaruh terhadap profil metabolit testosteron dan durasi siklus ranggah II pada ♂#3. Demikian pula dengan korelasi antara laju pertumbuhan RV dan konsentrasi iT pada siklus ranggah II yang hampir mirip dengan pola korelasi pada ♂#2.
Simpulan 1. Teknik non invasif dengan analisis metabolit testosteron dapat digunakan untuk mengetahui profil metabolit testosteron pada muncak jantan. 2. Profil metabolit testosteron dan korelasinya dengan pertumbuhan ranggah dipengaruhi oleh umur, postur tubuh, dan ukuran ranggah. 3. Testosteron imunoreaktif yang tetap terdeteksi selama periode casting dan ranggah velvet dalam konsentrasi cukup tinggi, menunjukkan pola reproduksi muncak jantan yang tidak bermusim (aseasonal) dengan aktivitas reproduksi berlangsung selama periode pertumbuhan ranggah.
Daftar Pustaka Arlet ME, Kaasik A, Molleman F, Lynne Isbell, Carey JR, Mand R. 2011. Social factors increase fecal testosterone levels in wild male gray-cheeked mangabeys (Lophocebus albigena). Horm Behav 59: 605-611. Bartos L, Schams D, Bubenik GA. 2009. Testosterone, but not IGF-1, LH, prolactin or cortisol, may serve as antler-stimulating hormone in red deer stags (Cervus elaphus). Bone 44: 691-698.
122
Blottner S, Hingst O, Meyer HHD. 1996. Seasonal spermatogenesis and testosterone production in roe deer (Capreolus capreolus). J Reprod Fert 108: 299-305. Bubenik GA, Brown RD, Schams D. 1990. The effect of latitude on the seasonal pattern of reproductive hormones in the male white-tailed deer. Comp Biochem Phys 97A: 253-257. Bubenik GA, Brown RD, Schams D. 1991. Antler cycle and endocrine parameters in male axis deer (Axis axis): seasonal levels of LH, FSH, testosterone and prolactin and result of GnRH and ACTH challenge test. Comp Biochem Phys 99A: 645-650. Engelhardt A, Pfeifer JB, Heistermann M, Niemitz C, van Hoff JARAM, Hodges JK. 2004. Assessment of female reproductive status by male long-tailed macaques (Macaca fascicularis) under natural condition. Anim Behav 67: 915-924. Fisher MW, Meikle LM, Johnstone PD. 1995. The influence of the stag on pubertal development in the red deer hind. Anim Sci 60: 503-508. Forand KJ, Marchinton RL, Miller KV. 1985. Influence of dominance rank on the antler cycle of white-tailed deer. J Mammal 66: 58-62. Ganswindt A, Heistermann M, Borragan S, Hodges JK. 2002. Assessment of testicular endocrine function in captive african elephants by measurements of urinary and fecal androgens. Zoo Biol 21: 27-36. Ganswindt A, Rasmussen HB, Heistermann M, Hodges JK. 2005. The sexuality active state of free-ranging male African elephants (Loxodonta Africana): defining musth and non-musth using endocrinology, physical signals and behavior. Horm Behav 47: 83-91. Gizejewski Z. 2004. Effect of season on characteristics of red deer / Cervus elaphus L. / semen collected using modified artificial vagina. Biol Reprod 4: 51-66. Golinski A, John-Alder H, Kratochvil L. 2011. Male sexual behavior does not require elevated testosterone in a lizard (Coleonyx elegans, Eublepharidae). Horm Behav 59: 144-150. Hamasaki S, Yamauchi K, Okhi T, Murakami M, Takahara Y, Takeuchi Y, Mori Y. 2001. Comparison of various reproductive status in sika deer (Cervus nippon) using fecal steroid analysis. J Vet Med Sci 63: 195-198. Handarini R. 2006. Pola dan siklus pertumbuhan ranggah rusa timor jantan (Cervus timorensis). J Agri Pet 2: 28-35. Handarini R, Nalley WM. 2008. Profil hormon testosteron rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Med Konserv 13: 1-7.
123
Heistermann M, Tari S, Hodges JK. 1993. Measurement of faecal steroids for monitoring ovarian function in New World primates, Callitichidae. J Reprod Fert 99: 243-251. Hodges JK, Heistermann M. 2011. Field endocrinology: monitoring hormonal changes in free-ranging primates. Di dalam Field and laboratory Methods in Primatology: A Practical Guide. Setchell JM, Curtis DJ, editor Cambridge: Cambridge Univ Pr. Kameyama Y, Miyamoto A, Kobayashi S, Kuwayama T, Ishijima Y. 2002. Annual changes in serum LH and testosterone concentrations in male sika deer (Cervus Nippon). J Reprod Dev 48: 613-617. Kierdorf U, Kierdorf H. 2011. Deer antlers – a model of mammalian appendage regeneration: an extensive review. Gerontology 57: 53-65. Klinkova E, Hodges JK, Fuhrmann K, de Jong T, Heistermann M 2005. Male dominance rank, female mate choice and male mating and reproductive success in captive chimpanzees. Int J Primatol 26: 357-384. Labrie F, Belanger A, Van Luu-The, Labrie C, Simard J, Cusan L, Gomez JL, Candas B. 1998. DHEA and the intracrine formation of androgens and estrogens in peripheral target tissues: Its role during aging. Steroids 63: 322-328. Li C. 2003. Development of deer antler model for biomedical research. Rec Adv Res Up 4: 256-274. Li C, Littlejohn RP, Corson ID, Suttie JM. 2004. Effect of testosterone on pedicle formation and its transformation to antler in castrated male, freemartin and normal female red deer (Cervus elaphus). Gen Com Endocrinol 131: 21-31. Meaden C, Chedrese PJ. 2009. Androgens-Molecular Basis and Related Disorders. Di dalam Reproductive Endocrinology, A Molecular Approach. Chedrese PJ. Saskatchewan, editor. New York: Springer. Möhle U, Heistermann M, Palme R, Hodges JK. 2002. Characterization of urinary and fecal metabolites of testosterone and their measurement for assessing gonadal endocrine function in male nonhuman primates. Gen Comp Endocrine 129: 135-145. Moore GH, Kowie GM. 1986. Advancement of breeding in non-lactating adult red deer hinds. Proc NZ Soc Anim Prod 46: 175-178. Mundry R. 1999. Testing related samples with missing value: a permutation approach. Anim Behav 58: 1143-1153. Pei KJ, Foresman K, Liu BT, Hong LH, Yu JYL. 2009. Testosterone levels in male Formosan Revee’s muntjac: uncoupling of the reproduction and antler cycles. Zool Stud 48: 120-124.
124
Pereira RJG, Duarte JMB, Negrao JA. 2005. Seasonal changes in fecal testosterone concentrations and their relationship to the reproductive behavior, antler cycle and grouping patterns in free-ranging male pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus). Theriogenology 63: 2113-2125. Pineda MH. 2003. The Biology of Sex. Di dalam: McDonald’s Veterinary Endocrinology and Reproduction. Pineda MH, Dooley MP. Iowa, editor. Iowa: Iowa State Pr. Place NJ, Veloso C, Visser GH, Kenagy GJ. 2002. Energy expenditure and testosterone in free-living male yellow-pine chipmunks. J Exp Zool 292: 460-467. Price J, Allen S. 2004. Exploring the mechanisms regulating regeneration of deer antlers. Phil Trans R Soc Lond 359: 809-822. Price JS, Allen S, Faucheux C, Althnaian T, Mount JG. 2005. Deer antlers: a zoological curiosity or the key to understanding organ regeneration in mammals? [Ulas balik]. J Anat 207: 603-618. Sapolsky RM. 1985. Stress-induced suppression of testicular function in the wild baboon: role of glucocorticoids. Endocrinology 116: 2273-2278. Sempere AJ and Boissin J. 1981. Relationship between antler development and plasma androgen concentration in adult roe deer (Capreolus capreolus). J Reprod Fert 62: 49-53. Suttie JM, Lincoln GA, Kay RNB. 1984. Endocrine control of antler growth in red deer stags. J Reprod Fert 71: 7-15. Suttie JM, Fennessy PF, Corson ID, Veenvliet BA, Littlejohn RP, Lapwood KR 1992. Seasonal pattern of luteinizing hormone and testosterone pulsatile secretion in young adult red deer stags (Cervus elaphus) and its association with the antler cycle. J Reprod Fert 95: 925-933. Ungerfeld R, Gonzalez-Pensado S, Bielli A, Villagran M, Olazabal D, Perez W. 2008. Reproductive biology of the pampas deer (Ozotoceros bezoarticus): a review. Act Vet Scand 50:16. Ungerfeld R, Damian JP, Villagran M, Gonzalez-Pensado SX. 2009. Female effect on antlers of pampas deer (Ozotoceros bezoarticus). Can J Zool 87: 734-739. Versiani NF, Pereira RJG, Duarte JMB. 2009. Annual variation in fecal androgen metabolites and antler cycle of captive red brocket bucks (Mazama americana) in southeast brazil. Eur J Wildl Res 55: 535-538. Wingfield JC, Hegner RE, Dufty AM, Ball GF. 1990. The challenge hypothesis: theoretical implications for pattern of testosterone secretion, mating system, and breeding strategies. Am Nat 136: 829-846.
125
Yon L.
Kanchanapangka S, Chaiyabutr N, Meepan S, Stanczyk, Dahl. N. Lasley B. 2007. A longitudinal study of LH, gonadal and adrenal steroids in four intact Asian bull elephants (Elephas maximus) and one castrate African bull (Loxodonta Africana) during musth and non-musth periods. Gen Comp Endocrinol 151:241-245.
SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH Abstrak Aktivitas spermatogenesis dan kualitas semen pada muncak diduga berhubungan erat dengan periode pertumbuhan ranggahnya seperti yang dilaporkan pada spesies rusa lainnya. Sejauh mana keterkaitan tersebut perlu dilakukan kajian untuk mengetahui tahapan spermatogenik pada periode ranggah keras (RK); spermatogenesis dan kualitas semen pada periode casting (C), ranggah velvet (RV), dan ranggah keras (RK). Jaringan testis diperoleh dari seekor muncak jantan dewasa pada periode RK yang diproses menjadi sediaan histologi dan diwarnai dengan pewarna hematoksilin-eosin (HE). Fragmen testis dan semen (ejakulat) diperoleh dari dua ekor muncak jantan dewasa, yaitu ♂#2 dan ♂#3 selama periode C, RV, dan RK. Fragmen testis diperoleh dengan metode core needle biopsy, diproses secara histologi dan diwarnai dengan periodic acid Schiff (PAS), sedangkan semen dikoleksi menggunakan metode elektroejakulasi. Hasil pengamatan dengan metode morfologi tubular (pewarnaan HE), ditemukan delapan tahap epitel tubuli seminiferi (tahap I-VIII) pada muncak dengan frekuensi masing-masing tahapan yang bervariasi. Frekuensi tahap pre meiosis (tahap I-III), meiosis (tahap IV), dan post meiosis (tahap V-VIII) berturutturut adalah 47.75%, 6.87%, dan 43.37%, dengan durasi setiap tahapan adalah 5.07 hari, 0.73 hari, dan 4.81 hari. Aktivitas spermatogenesis ditemukan pada ketiga periode ranggah (C, RV, dan RK), ditandai dengan adanya reaksi PAS positif (warna magenta) pada akrosom round dan elongated spermatid. Lingkar skrotum (cm) kedua muncak memperlihatkan perbedaan pada ketiga periode ranggah, yaitu 13.05 ± 0.91 (C), 13.86 ± 0.51 (RV), dan 15.76 ± 0.30 (RK). Hasil evaluasi semen pada periode C, RV, dan RK memperlihatkan adanya spermatozoa motil dengan konsentrasi berbeda. Rataan konsentrasi spermatozoa kedua muncak tertinggi (juta/ml) ditemukan pada periode RK (506.25 ± 61.87), dan sedikit menurun pada periode C (288.75 ± 37.12), dan RV (362.60 ± 17.68). Dapat disimpulkan bahwa aktivitas spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa tetap berlangsung walaupun muncak berada pada periode C dan RV. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya spermatozoa motil pada semen kedua muncak pada periode C dan RV. Kata kunci: spermatogenesis, periode ranggah, muncak jantan, spermatozoa Abstract There was possibility that spermatogenic activity and quality of semen in male muntjaks showed correlation to the antler cycle periods as reported in other deer species. In order to know that correlation, the study concerning spermatogenesis according to the identification of spermatogenic stages in hard antler (RK) periods; spermatogenesis and semen quality in casting (C), velvet antler (RV), and RK periods were important to be investigated. Testicular tissue was found from an adult male muntjaks in hard antler period and processed to histological preparation that subsequently stained with hematoxylin-eosin (HE). Additionally, testicular fragmen and semen were obtained from two adult male muntjaks: ♂#2 and ♂#3 during C, RV, and RK periods. Core needle biopsy method was applied to obtain testicular fragmen that processed histologically and stained with periodic acid Schiff (PAS), whereas semen (ejaculate) was collected
128
using electroejaculation method. The results showed that there were eight stages of seminiferi tubules epithelium (Stage I-VIII) according to the tubular morphology method using HE staining in male muntjak with differentiation of frequency and duration in each of stage. The frequency of pre meiosis (stage I to III), meiosis (stage IV), and post meiosis (stage V to VIII) was 47.75%, 6.87%, and 43.37% with duration 5.07, 0.73, and 4.81 days respectively. Spermatogenic activities were observed in C, RV, and RK periods which were marked by PAS positive staining (magenta) in round and elongated spermatid acrosomes. Scrotal circumference (cm) differed in each antler periods: 13.05 ± 0.91 (C), 13.86 ± 0.51 (RV), and 15.76 ± 0.30 (RK). In addition, based on semen evaluation in C, RV, and RK periods, motile spermatozoa were found with different concentration. The highest amount of sperm (x 106 spermatozoa/ml) in both of muntjaks was appeared in RK (506.25 ± 61.87), and slightly decreased in C (288.75 ± 37.12), and RV periods (362.60 ± 17.68). In conclusion, spermatogenesis to produce spermatozoa is taken place while muntjaks are in C and RV periods that provable with the existency of motile spermatozoa from ejaculates in both of male muntjaks during C and RV periods. Keywords: spermatogenesis, antler periods, male muntjak, spermatozoa
Pendahuluan Spermatogenesis merupakan proses pembelahan dan diferensiasi sel dengan produk akhir spermatozoa yang berlangsung di tubuli seminiferi testis. Proses tersebut melibatkan sel-sel germinal testis, yaitu spermatogonia, spermatosit dan spermatid serta didukung oleh sel somatis (sel Sertoli) dan sel Leydig di jaringan interstisial. Spermatogenesis terbagai atas tiga proses penting, yaitu spermatositogenesis (pembelahan mitosis), meiosis, dan spermiogenesis (diferensiasi spermatid) (Johnson et al. 2000). Tahapan tubuli seminiferi didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang terjadi pada suatu kelompok sel germinal di sepanjang tubuli seminiferi. Satu siklus spermatogenik atau siklus epitel tubuli seminiferi adalah seluruh perubahan yang terjadi di antara dua proses spermiasis pada bagian tertentu dari tubuli seminiferi (de Kretser dan Kerr 1994; Johnson et al. 2000). Identifikasi dan penentuan tahapan tubuli seminiferi diperlukan untuk mengetahui durasi satu siklus epitel tubuli seminiferi testis. Selain itu dapat pula diketahui frekuensi dari tiap tahapan tubuli seminiferi (Bitencourt et al 2006). Tahapan epitel tubuli seminiferi, frekuensi dan durasi masing-masing tahapan pada muncak sampai saat ini belum dilaporkan. Ada dua metode yang umum digunakan untuk mengamati tahapan epitel tubuli seminiferi. Metode pertama adalah dengan melakukan pengamatan terhadap karakteristik komponen tubuli seminiferi yang dikenal dengan metode morfologi tubular. Pewarnaan yang
129
sering digunakan untuk metode tersebut adalah pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) (Almeida et al. 2006).
Metode kedua adalah pengamatan terhadap
diferensiasi spermatid pada proses spermiogenesis menggunakan pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) (Dreef et al. 2007). Pengamatan spermatogenesis pada periode ranggah keras dilakukan dengan metode morfologi tubular, sedangkan untuk mengetahui aktivitas spermatogenesis pada periode casting (C), ranggah velvet (RV), dan ranggah keras (RK) digunakan metode identifikasi terhadap diferensiasi spermatid dengan pewarnaan PAS. Produk akhir spermatogenesis adalah spermatozoa. Untuk mengetahui karakteristik dan kualitas spermatozoa perlu dilakukan evaluasi terhadap semen. Kualitas semen yang meliputi spermatozoa dan plasma semen merupakan salah satu parameter pendukung untuk menentukan pola reproduksi pada Cervidae jantan termasuk muncak. Pada red deer yang hidup di wilayah beriklim sedang, kualitas semen menunjukkan perbedaan pada setiap periode reproduksinya, yaitu pada periode pre-mating, mating dan post-mating. Kualitas semen terbaik ditemukan pada saat periode musim kawin (mating) yang berlangsung dari akhir September sampai akhir Oktober saat rusa tersebut berada pada periode RK. Kondisi tersebut ditandai dengan tingginya libido rusa jantan untuk mengawini betina (Gizejewski 2004). Handarini et al. (2004) menyatakan bahwa rusa timor memiliki kualitas semen terbaik dan konsentrasi spermatozoa tertinggi saat rusa tersebut berada pada periode RK. Perbedaan kualitas semen pada setiap periode ranggah dapat dilihat dari beberapa parameter pengamatan makroskopis seperti volume, warna dan konsistensi dan pengamatan mikroskopis seperti: gerakan massa, motilitas, konsentrasi, persentase hidup dan abnormalitas spermatozoa. Data yang diperoleh dari pengamatan spermatogenesis dan kualitas semen, khususnya karakteristik dan kualitas spermatozoa pada periode C, RV, dan RK dapat digunakan untuk menentukan fertilitas muncak jantan selama satu siklus ranggah. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menentukan jumlah tahapan tubuli seminiferi, frekuensi dan durasi masing-masing tahapan pada periode RK; 2) mengetahui aktivitas spermatogenesis melalui pengamatan diferensiasi spermatid pada periode C, RV, dan RK; 3) menentukan kualitas semen khususnya spermatozoa pada periode C, RV, dan RK. Informasi awal terkait spermatogenesis dan kualitas spermatozoa muncak selama periode pertumbuhan
ranggah
dapat
digunakan
untuk
mendukung
program
130
pengembangbiakan muncak, baik yang dilakukan dengan kawin alam maupun penerapan
teknologi
reproduksi
seperti
inseminisasi
buatan
dengan
memanfaatkan semen segar atau semen hasil preservasi.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi serta di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2009 sampai Juli 2010.
Hewan Penelitian Tiga ekor muncak jantan dewasa digunakan pada penelitian ini, yaitu : muncak ♂#1 (umur sekitar 4 tahun, bobot badan 19 kg); muncak ♂#2 (umur 5 tahun, bobot badan 19.5 kg); dan muncak ♂#3 (umur 3 tahun, bobot badan 17 kg). Ketiga muncak dinyatakan sehat secara klinis dan memperlihatkan aktivitas reproduksi yang berjalan normal. Penggunaan muncak sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 23/MenhutII/2011. Muncak berasal dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan dipelihara di kandang individual berukuran 1 x 2 m2 yang dilengkapi dengan kandang terbuka (kandang exercise) selama penelitian berlangsung. Pakan diberikan dua kali per hari, pagi dan sore, berupa irisan wortel, rumput dan pelet, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Selama penelitian berlangsung, kedua muncak diberi akses untuk berdekatan dengan muncak betina dewasa.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi: anastetikum xylazine HCl 2% (Seton®) dan ketamin HCl 10% (Ketamil®), kapas, kertas tisu, larutan iodin, antibiotik, NaCl fisiologis, paraformaldehid 4%, larutan Bouin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, 95 % dan absolut), silol, parafin, akuades, pewarna hematoksilin-eosin (HE), pewarna periodic-acid Schiff (PAS), air sulfit, pewarna Meyer’s hematoksilin dan bahan perekat Entelan®, pewarna eosin-negrosin, pewarna William, kloramin 0.5%, glutaraldehid 2.5%, bahan perekat Neofren®
131
2%, asam tanin 2%, osmium tetraoksida (OsO4), 1%, larutan t-butanol dan platinum-paladium. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah: spuit ukuran 5 ml, alat biopsi tipe core needle biopsy (Dr. Japan®, Toray) dengan jarum berukuran 14 gouce (14G), pinset, wadah penyimpan jaringan, tissue cassette, gelas objek dan penutup, inkubator 37OC, inkubator parafin, blok kayu, bunsen, mikrotom, water bath, hot plate, termometer, pena parafin, kamera digital, micro caliper digital (mm), pita ukur (cm), spuit 5 ml, elektroejakulator, tabung penampung semen berskala, gelas objek dan gelas penutup, hot plate, gelas objek kecil ukuran 0.5 x 0.5 cm2, pipet, hemositometer dan kamar hitung Neubauer, microtube, sentrifus, micropipet, freeze dryer, ion coater, mikrometer eye piece, mikroskop cahaya (Olympus CH30), mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital, kamera digital (Sony Cybershoot DSC-W30) dan mikroskop elektron (scanning electron microscope) tipe JSM-5310LV, Japan. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi atas beberapa kegiatan, yaitu: 1) pengamatan tahapan epitel tubuli seminiferi testis, frekuensi dan durasi setiap tahapan pada periode RK, 2) pengamatan spermatogenesis pada periode C, RV, dan RK, dan 3) pengamatan karakteristik dan kualitas spermatozoa muncak pada periode C, RV, dan RK. Spermatogenesis pada periode ranggah keras Kegiatan ini menggunakan sampel testis dari seekor muncak jantan dewasa (♂#1) yang berada pada periode RK. Jenis pewarnaan yang digunakan pada kegiatan ini adalah pewarnaan HE. Prosedur dimulai dengan pembuatan sediaan testis dengan urutan kerja seperti yang dilakukan pada penelitian I 1. Penentuan tahapan epitel tubuli seminiferi dan frekuensinya Pengamatan tahapan epitel tubuli seminiferi menggunakan metode morfologi tubular berdasarkan perubahan morfologi sel germinal yang ditemukan di dalam sayatan melintang tubuli seminiferi testis. Selanjutnya, dilakukan identifikasi menentukan
dan
penghitungan
frekuensi
relatif
jumlah dari
tahapan
spermatogenesis.
masing-masing
tahapan
Untuk
dilakukan
penghitungan terhadap 800 tubuli seminiferi. Penentuan durasi dari masingmasing tahapan dilakukan dengan mengalikan nilai persentase masing-masing tahapan tersebut dengan nilai durasi satu siklus epitel tubuli seminiferi kambing,
132
yaitu 10.6 hari (França et al. 1999). Hasil yang diperoleh merupakan suatu asumsi nilai durasi spermatogenesis pada muncak. 2. Pengukuran diameter inti sel germinal testis Pengukuran diameter inti sel germinal pada masing-masing tahapan epitel tubuli seminiferi, dilakukan terhadap foto histologi testis dengan perbesaran lensa objektif 40 kali dan telah dilengkapi dengan skala mikrometer untuk perbesaran yang sama. Pengukuran inti sel germinal tubuli seminiferi meliputi inti sel spermatogonia; spermatosit primer dalam fase leptotene, pachytene, zygotene dan diplotene; serta spermatid (round dan elongated spermatid) menggunakan software ImageJ (McMaster Biophotonic Facility). Jumlah inti sel yang diukur adalah 20 inti sel untuk setiap tipe sel. Prosedur anastesi dan pengukuran morfometri testis Pada kegiatan ini digunakan dua muncak, yaitu ♂#2 dan ♂#3. Kedua muncak terlebih dahulu dianastesi menggunakan kombinasi anastetikum xylazin HCl dan ketamin HCl, dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan (Dradjat 2000). Muncak yang telah teranastesi ditempatkan pada posisi terbaring pada sisi kanan agar rumen berada di bagian dorsal. Pengambilan data morfometri testis muncak dalam skrotum meliputi panjang, lebar, dan lingkar skrotum. Pengukuran morfometri menggunakan micro caliper digital dan pita ukur. Selain itu juga dilakukan palpasi testis untuk mengetahui konsistensinya. Kegiatan ini dilakukan pada periode C, RV, dan RK Spermatogenesis selama periode pertumbuhan ranggah Aspirasi fragmen testis kedua muncak dilakukan setelah pengukuran morfometri testis dan skrotum. Metode biopsi yang diaplikasikan adalah metode biopsi tertutup menggunakan alat biopsi tipe core needle biopsy (CNB). Biopsi dilakukan sekali per periode pertumbuhan ranggah, yaitu periode C, RV, dan RK. Dalam keadaan teranastesi, jarum biopsi ditusukkan ke bagian testis yang telah ditentukan melewati kulit skrotum. Tekanan negatif dari alat (gun) biopsi dilepaskan apabila jarum telah berada di dalam testis yang bertujuan untuk memotong jaringan testis. Jaringan testis yang diperoleh selanjutnya difiksasi di dalam larutan Bouin selama 24 jam dan diproses hingga menjadi preparat histologi. Pembuatan preparat tersebut sama dengan prosedur pada kegiatan
133
sebelumnya. Preparat histologi testis dengan ketebalan sayatan 2-3 µm selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan PAS dengan prosedur sebagai berikut: 1. Preparat histologi dideparafinisasi dalam larutan silol dengan tiga kali ulangan dan dilanjutkan dengan rehidrasi dalam alkohol dari konsentrasi absolut sampai konsentrasi 70%. 2. Perendaman preparat dalam larutan periodic acid selama 5 menit dan dibilas dengan akuades. 3. Inkubasi dengan larutan Schiff (Schiff reagent) selama 30 menit pada temperatur
ruangan.
Setelah
reaksi
positif
terbentuk,
dilakukan
pembilasan dengan air sulfit dan dilanjutkan dengan akuades. 4. Pewarnaan latar (counterstain) dengan larutan Meyer’s hematoksilin, dan dibilas dengan akuades. 5. Dehidrasi preparat dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat dan clearing dalam larutan silol. 6. Tahap terakhir adalah penutupan jaringan dengan gelas penutup (mounting) menggunakan bahan perekat Entellan®. Pengamatan hasil pewarnaan dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran objektif 40 kali. Reaksi PAS positif ditandai dengan terbentuknya warna merah-keunguan (magenta) pada akrosom spermatid.
Karakteristik dan Kualitas Semen Muncak Koleksi semen Koleksi semen muncak ♂#2 dan ♂#3 dilakukan sekali per periode ranggah (C, RV, dan RK) yang ditampung sebelum aspirasi jaringan testis. Penampungan semen menggunakan elektroejakulator dengan stimulator AC 100 Hz dan probe rektal berdiameter 1.5 dengan empat elektroda sirkular (Fujihira, FHK), mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh Dradjat (2002) dan Prasetyaningtyas et al. (2006), yaitu: 1. Penis dikeluarkan dari preputium dan dicuci dengan NaCl fisiologis hingga bersih. 2. Tabung gelas penampung semen yang dilengkapi dengan skala ukuran volume semen terlebih dahulu disterilkan. Selanjutnya ujung penis ditempatkan di tengah tabung gelas penampung.
134
3. Probe ejakulator diberi vaseline dan dimasukkan kedalam rektum dengan kedalaman sekitar 10 cm dengan posisi elektroda probe mengarah ke bagian ventral ruang pelvis. 4. Stimulasi listrik dilakukan secara
bertahap dengan voltase antara
3 V sampai 7 V selama 5 detik per voltase dan diulangi sebanyak tiga kali ulangan dengan interval setiap ulangan selama 5 detik. Proses ini dilakukan hingga semen diperoleh. Setelah semen terkumpul, stimulasi listrik dihentikan atau setelah 2 menit walaupun semen tidak berhasil dikoleksi. Evaluasi semen Cairan semen yang terkumpul pada tabung pengumpul, selanjutnya dievaluasi secara makroskopis untuk mengetahui warna, volume, dan pH dan secara mikroskopis untuk menentukan konsentrasi spermatozoa, motilitas spermatozoa, prosentase spermatozoa hidup dan abnormalitas, serta morfologi spermatozoa individual. Prosedur evaluasi mikroskopis terhadap semen muncak adalah: 1. Konsentrasi spermatozoa Pengamatan terhadap konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan menggunakan hemositometer dan kamar hitung Neubauer. Semen diteteskan pada ujung gelas penutup yang berada di atas gelas objek. Cairan yang mengalir diamati dengan penghitungan pada kamar hitung, dengan ketentuan: konsentrasi spermatozoa adalah jumlah spermatozoa yang diperoleh dikalikan dengan faktor pengencer serta faktor hemositometer. 2. Motilitas spermatozoa Semen diteteskan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan melihat aktivitas gerak progresif spermatozoa per individu. Penilaian dilakukan dengan skoring dalam kisaran 0–100% pada skala 5%. 3. Presentase spermatozoa hidup dan abnormalitas Semen diteteskan pada gelas objek dan diwarnai dengan eosin 2% dan dibuat preparat ulas secara tipis dan merata, kemudian diamati dibawah mikroskop. Spermatozoa yang mati akan menyerap warna eosin, sedangkan yang mati tidak menyerap warna eosin. Abnormalitas spermatozoa dapat diamati dari morfologi spermatozoa.
135
4. Morfologi spermatozoa individual Pengamatan terhadap morfologi spermatozoa secara individual dilakukan dengan dua metode, yaitu 1) preparasi semen dengan pewarnaan William untuk pengamatan morfologi dan morfometri spermatozoa menggunakan mikroskop cahaya, dan 2) preparasi semen untuk pengamatan ultrastruktur spermatozoa menggunakan SEM. Prosedur pewarnaan William terhadap sampel semen muncak mengacu prosedur yang dilakukan Yudi et al. (2010). Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan mengamati bentuk kepala dan ekor spermatozoa normal dan abnormal dan selanjutnya difoto dengan kamera mikroskop. Pengukuran morfometri spermatozoa individual yang meliputi panjang dan lebar kepala, serta panjang ekor dari 100 spermatozoa
kedua
muncak pada periode RV dan RK. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikrometer eye piece yang telah dikalibrasi sesuai dengan tipe mikroskop yang digunakan pada perbesaran lensa objektif 40 kali. Prosedur preparasi SEM yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada prosedur yang dilakukan Prasetyaningtyas et al. (2004). Analisis Data Data pengamatan spermatogenesis dan tahapan epitel tubuli seminiferi atau tahapan spermatogenik testis dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk gambar, sedangkan untuk nilai durasi spermatogenesis dan ukuran diameter inti sel germinal ditabulasikan dalam nilai rataan ± SB. Data pengamatan spermatogenesis pada periode C, RV, dan RK dengan pewarnaan PAS
dianalisis secara deskriptif dengan pemberian skor. Kriteria skor terdiri
atas:
+++: banyak; ++: sedang; + sedikit, dan -: tidak ditemukan.
semen dianalisis secara diskriptif dalam bentuk rataan dan gambar.
Kualitas
136
Spermatogenesis pada Periode RK
Muncak Jantan ♂#1
Exanguinasi (Penelitian I)
Spermatogenesis pada Periode C, RV, RK
Kualitas Semen pada Periode C, RV, RK
Muncak Jantan ♂#2 dan ♂#3
Muncak Jantan ♂#2 dan ♂#3
Biopsi metode tertutup (core needle biopsy)
Koleksi Semen (Elektroejakulator)
Testis
Fragmen testis
Semen
Fiksasi (Paraformaldehid 4%)
Fiksasi (Bouin, 24 jam)
Evaluasi Semen
Preparat Histologi
Pewarnaan PAS
Pewarnaan HE
Makroskopis : volume, warna, pH Mikroskopis: motilitas (%), gerakan massa (+, ++), konsentrasi spermatozoa (%), persentase hidup dan abnormalitas (%)
Pengamatan dan Pemotretan
Morfologi Spermatozoa
Data
Pewarnaan William dan SEM
Data
Gambar 44 Bagan alir disain penelitian IV: spermatogenesis dan kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah. Casting (C), ranggah keras (RK), ranggah velvet (RV), hematoksilin dan eosin (HE), periodic acid Schiff (PAS), scanning electron microscope (SEM).
137
Hasil dan Pembahasan Spermatogenesis pada Periode Ranggah Keras Penentuan tahapan (staging) dari satu siklus spermatogenik atau siklus epitel tubuli seminiferi testis muncak dilakukan berdasarkan karakteristik morfologi komponen tubuli seminiferi (Gambar 45). Terdapat delapan tahap epitel tubuli seminiferi pada muncak yang diamati pada periode ranggah keras dengan gambaran masing-masing tahapan sebagai berikut: Tahap I Pada tahap ini ditemukan spermatid berinti bulat atau round spermatid (R) dengan granul preakrosom (PG) yang membentuk beberapa lapis sel pada epitel tubuli. Nuklei sel Sertoli dapat diamati dengan sitoplasma pucat dan nukleoli
berukuran
kecil.
Pada
membran
basal
tubuli
ditempati
oleh
spermatogonia, sedangkan spermatosit primer tipe pachytene (P) yang terletak diantara spermatogonia dan inti sel Sertoli (Gambar 45A). Tahap II Karakteristik tahap ini adalah munculnya spermatid berinti lonjong atau elongated spermatid (E) yang berdiferensiasi dari spermatid R dengan posisi ujung kepala mengarah ke nukleus sel Sertoli. Sel lainnya adalah spermatogonia dan spermatosit primer tipe leptotene (L) dan P (Gambar 45B). Tahap III Pada tahap ini spermatid tipe R mulai mengumpul (berkelompok) dengan posisi kepala mengarah ke membran basal dan nukleus sel Sertoli. Spermatosit primer beriferensiasi membentuk spermatosit tipe L dan P. Selain itu spermatogonia dan sel Sertoli juga ditemukan pada tahapan ini (Gambar 45C). Tahap IV Ciri khas tahap ini adalah terjadinya proses pembelahan meosis dari spermatosit diplotene (D) menjadi spermatosit sekunder (haploid) yang akan berdiferensiasi menjadi spermatid tipe R. Spermatosit primer tipe P juga ditemukan di lapisan atas sel spermatogonia (Gambar 45D). Tahap V Pada tahap ini ditemukan spermatid R yang berasal dari pembelahan meiosis spermatosit sekunder. Ukuran dan bentuk inti sel antara spermatosit sekunder dan spermatid R sangat mirip, sehingga keduanya sulit dibedakan.
138
Kumpulan spermatid tipe E juga ditemukan dengan beberapa sel yang berada hampir mendekati membran basal dan nukleus sel Sertoli serta diantara sel-sel epitel tubuli. Sama seperti tahap sebelumnya, spermatogonia dan sel Sertoli juga dapat diamati. Sedangkan spermatosit primer ditemukan dengan tipe zygotene (Z) dan D (Gambar 45E). Tahap VI Gambaran tahap VI ini mirip dengan tahap sebelumnya (tahap V), yaitu tubuli seminiferi diisi oleh spermatid tipe R dan E, spermatosit primer tipe Z dan D, spermatogonia dan sel Sertoli. Ciri khas dari tahap ini adalah ditemukannya kumpulan spermatid tipe E yang mulai memisahkan diri dan mengarah ke lumen tubuli (Gambar 45F). Tahap VII Spermatid tipe E yang berkelompok dengan bentuk kepala dan ekor yang semakin jelas berada pada posisi sejajar di permukaan lumen tubuli seminiferi sebelum dilepaskan ke dalam lumen tubuli seminiferi. Sel germinal lainnya adalah spermatogonia, spermatosit primer tipe Z dan D, spermatid tipe E dengan PG, serta sel Sertoli (Gambar 45G). Tahap VIII Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari siklus tubuli seminiferi testis muncak. Ciri khas pada tahap ini adalah ditemukannya tahap akhir diferensiasi spermatid tipe E dan terjadinya porses pelepasan spermatozoa dari epitel tubuli menuju lumen tubuli. Selain itu ditemukan pula badan residu (residual bodies) yang merupakan sisa sitoplasma spermatid yang telah mengalami spermiasis. Sel lainnya adalah spermatid tipe R dengan PG, spermatosit primer P dan spermatogonia di membran basal tubuli (Gambar 45H).
1 139
elapan tahapan epitel e tubuli semin niferi muncak. Ta ahap I (I): sperma atogonia (Sg), spe ermatosit primer leptotene (L), spermatosit pachytene Gambar 45 De (P P), dan round spe ermatid (R). Taha ap II (II): Sg, L, P, P dan E. Tahap IIII (III): Sg, Z, D, dan E. Tahap IV V (IV): Sg, Z, D, pembelahan p meio osis (M M), R, dan E. Tah hap V (V): Sg, Z,, P, R, E, dan se el Sertoli (S). Tah hap VI (VI): Sg, P, P R, E, dan S. T Tahap VII (VII): Sg, P, R, E, dan n S. Ta ahap VIII (VIII): Sg, spermatosit prreleptotene (Pl), P P, R, S, residual b bodies (Rb), dan spermatozoa (Szz). Pewarnaan HE E. Skala: 30 µm.
139
140
Gambar 46 Skema delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak. Tahap I-VIII dicirikan dengan tipe sel spesifik yang berdiferensiasi untuk menghasilkan spermatozoa. Spermatogonia A (A), dan spermatogonia B (B); spermatosit primer: preleptotene (Pl), leptotene (L), zygotene (Z), pachytene (P), dan diplotene (D); spermatid sekunder (Ss); spermatid bulat/round spermatid (R) dan elongated spermatid (E); spermatozoa (Sz); dan residual bodies (Rb). Pewarnaan HE, skala 30 µm (tahap I-VIII).
Delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak pada periode ranggah keras dapat diidentifikasi dengan jelas berdasarkan pengamatan karakteristik sel-sel epitel germinal pada setiap tahapan. Metode ini sebelumnya telah diaplikasikan pada beberapa spesies mamalia seperti babi (França dan Cardoso 1998), kambing (França et al. 1999), babi liar (Almeida et al. 2006), dan domba garut (Basrizal 2007). Ada delapan tahapan epitel tubuli seminiferi yang diidentifikasi pada ruminansia dan beberapa spesies mamalia seperti kambing (França et al. 1999; Onyango et al. 2000), babi landrace (Garcia-Gil et al. 2002), keledai (Neves et al. 2002), roe deer (Schoen et al. 2004), babi liar (Almeida et al. 2006), puma (Leite et al. 2006), da rusa timor (Handarini 2006; Moonjit dan Suwanpugdee 2007).
141
Gambar 46 memperlihatkan perkembangan sel germinal tubuli seminiferi testis muncak yang dimulai dari spermatogonia sampai spermatozoa (tahap I-VIII). Perkembangan sel germinal selama spermatogenesis pada muncak memperlihatkan kemiripan dengan beberapa spesies lainnya, yaitu kerbau rawa (McCool et al. 1988), keledai (Neves et al. 2002), puma (Leite et al. 2006), babi (Almeida et al. 2006), serta kucing, jaguar, dan cougar (Costa et al. 2006). Spermatogonia A yang berada pada membran basal tubuli (tahap I-VI) berdiferensiasi menjadi spermatogonia B pada tahap VII, dengan bentuk nukleus yang lebih tebal dan struktur kromatin yang mulai memadat. Pada tahap VIII, spermatogonia B berdiferensiasi menjadi spermatosit primer tipe preleptotene. Perubahan tipe spermatogonia pada tahap VI dan perkembangan menjadi spermatosit primer pada tahap VIII berbeda dengan ruminansia lainnya seperti kambing (Franca et al. 1999). Pada spesies tersebut ditemukan spermatogonia tipe intermediate pada tahap V dan VI. Spermatogonia intermediate selanjutnya berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B pada tahap VII dan VIII. Spermatosit primer tipe preleptotene berkembang menjadi spermatosit primer tipe leptotene pada tahap I dan II, serta spermatosit primer tipe zygotene pada tahap III-V. Pada tahap V, spermatosit primer tipe zygotene berkembang menjadi tipe pachytene (tahap V-VIII, serta tahap I-II), dan selanjutnya pada tahap III berdiferensiasi menjadi spermatosit pachytene, dan diplotene yang ditandai dengan ukuran inti lebih besar dari pada pachytene. Spermatosit diplotene mengalami pembelahan meiosis menjadi spermatosit sekunder pada tahap IV yang memiliki ukuran hampir sama dengan spermatid bulat (round spermatid), namun spermatosit sekunder sulit ditemukan karena waktu pembelahan yang singkat (Senger 2005) dan akan segera berdiferensiasi menjadi spermatid bulat yang ditemukan pada tahap V–VIII, dan tahap I. Pada tahap II spermatid bulat mulai memanjang dan terus berdiferensiasi sampai tahap VIII. Pada tahap VII dan VIII, inti spermatid memanjang dengan ukuran inti sel lebih kecil, karena adanya suatu mekanisme fisiologi pemadatan inti yang telah
diselubungi
oleh
akrosom
dan
akhirnya
berdiferensiasi
menjadi
spermatozoa yang dilepaskan ke lumen tubuli pada tahap VIII (Kwan 2002). Dalam satu sayatan melintang tubuli seminiferi muncak terkadang dapat ditemukan beberapa tahapan (multistage), seperti yang ditemukan pada primata (Wistuba et al. 2003). Hal ini terjadi karena ukuran sel hasil pembelahan mitosis (spermatogonia dan spermatosit primer) yang baru masih berukuran kecil,
142
sehingga ada ruang untuk berkembangnya sel-sel spermatogenik baru dengan tahap satu tingkat lebih rendah dibandingkan dengan tahap yang telah berkembang sebelumnya (Ehmcke et al. 2005). Teramatinya satu atau lebih tahapan dalam satu sayatan melintang tubuli seminiferi, tidak menunjukkan tinggi rendahnya
kemampuan
spermatogenesis
atau
kemampuan
fertilisasi
spermatozoa hewan jantan (Wistuba et al. 2007). Pada muncak, dalam satu sayatan melintang tubuli seminiferi, umumnya hanya ditemukan satu tahapan, walaupun ada beberapa tubuli yang memiliki dua sampai tiga tahapan. Hal yang sama dilaporkan pada ruminansia lain, seperti kambing (Onyango et al. 2000) dan sapi bali (McCool 1989) serta pada mamalia lain, seperti babi hutan (GarciaGil et al. 2002), keledai (Neves et al. 2003), puma (Leite et al. 2006), dan rodensia (Paula et al. 1999).
Frekuensi dan durasi tahapan tubuli seminiferi Frekuensi relatif dari setiap tahapan (tahap I-VIII) dikelompokkan menjadi tahap pre meiosis (tahap I-III), tahap meiosis (tahap IV), dan tahap post meiosis (tahap V-VIII).
Frekuensi relatif setiap tahapan disajikan pada Tabel 13 dan
Gambar 47. Frekuensi tahapan epitel tubuli seminiferi tertinggi ditemukan pada tahap III (17.75%), sedangkan yang paling rendah terdapat pada tahap IV (6.87%). Frekuensi tahap pre-meiosis (tahap I-III) adalah 47.75 %, tahap meiosis (tahap IV) adalah 6.87 %, dan tahap post-meiosis (tahapan V-VIII) adalah 45.37%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada muncak frekuensi tahap pre-meiosis memiliki nilai lebih besar dibandingkan tahap meiosis dan post-meiosis. Hasil ini mirip dengan frekuensi per tahap pada kerbau rawa (McCool et al. 1988), sapi bali (McCool 1989), kambing (França et al.1999, Onyango et al. 2000) dan domba
garut
(Basrizal
2007).
Perbedaan
nilai
frekuensi
tahapan
spermatogenesis bersifat spesifik spesies yang disebabkan oleh adanya pengaruh genetik, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai dewasa kelamin,
dan
perilaku
kawin
(musiman
atau
terjadi
sepanjang
tahun)
(Neves et al. 2002). Tahapan pre meiosis (tahap I-III) atau yang dikenal sebagai proses spermatositogenesis, merupakan suatu proses proliferasi satu spermatogonia secara mitosis dan menghasilkan dua spermatogonia lain dengan tipe sama dan bersifat diploid. Durasi pada tahap IV menunjukkan proses tersingkat dalam spermatogenesis muncak, yaitu proses meiosis. Meiosis merupakan suatu
143
proses diha asilkannya spermatid s h haploid dari spermatosit primer ya ang masih bersifat diplloid. Tahapa an post meio osis (tahap V-VIII) atau u yang diken nal dengan spermiogen s esis
adala ah
suatu
proses
d diferensiasi
spermatid
menjadi
spermatozo s a matang yang y akan dilepaskan ke lumen tubuli t semin niferi pada proses spermiasis (Senger 2005). F da an durasi delapan tahapa an epitel tub buli seminiferri muncak Tabel 13 Frekuensi Tahapan n epitel tubulii seminiferi
To otal
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
9 119
121
142
55
59
99
104
101
59.5±3 3.5
60.5±7.8
71±5.7
27 7.5±4.9
29.5±3.5
49.5±3..5
52±2.8
50.5±3.5
Frekue ensi (%)
14.87
15.12
17.75
6.87
7.3 37
12.37
13.0
12.62
10 00
Durasi (hari)
8 1.58
1.6
1.89
0.73
0.7 78
1.31
1.38
1.34
10 0.6
Tubuli seminifferi Rataan n±SB
80 00
Gambar G 47 P Perkembanga an sel germina al, durasi spe ermatogenesiss, dan frekue ensi tahapan epitel e tubuli seminiferi s mu uncak. Lebar tiap tahapan n menunjukka an lamanya durasi, d dan huruf dalam setiap kolo om menunjukkkan tipe se el germinal. Spermatogoni S ia A (A) dan spermato ogonia B (B B); spermato osit primer: preleptotene p (Pl), ( leptoten ne (L), zygote ene (Z), pach hytene (P), da an diplotene (D); spermato osit sekunderr (II); sperma atid bulat (ro ound spermattid) (R) dan spermatid s lonjjong (elongatted spermatid d) (E); serta sp permatozoa (Sz).
144
Penetapan durasi spermatogenesis untuk tiap tahapan pada muncak, dilakukan dengan menggunakan nilai durasi dari satu siklus epitel tubuli seminiferi testis kambing, yaitu 10.6 hari (França et al. 1999). Hal ini bertujuan untuk memprediksi durasi spermatogenesis atau waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus epitel tubuli seminiferi pada muncak. Pemilihan nilai durasi kambing tersebut dikarenakan nilai durasi spermatogenesis kambing cenderung lebih konstan dibandingkan rusa totol atau chital deer (Loudon dan Curlewis 1988). Durasi tahapan epitel tubuli seminiferi tersingkat ditemukan pada tahap IV (0.73 hari), diikuti tahap V (0.78 hari), sedangkan durasi terlama ditemukan pada tahap III (1.89 hari). Tahap pre meosis merupakan tahap dengan durasi terlama dibandingkan tahap meiosis dan post meiosis. Durasi ketiga tahap tersebut berturut-turut adalah 5.07 hari, 0.73 hari, dan 4.81 hari. Tahapan pre-meiosis memperlihatkan frekuensi lebih besar dan durasi yang lebih panjang dibandingkan dengan tahapan meiosis dan post-meiosis. Hal tersebut berhubungan dengan life span spermatosit primer yang lebih panjang dibandingkan dengan life span spermatosit sekunder yang ditemui pada tahapan post meiosis (de Kretser dan Kerr 1994). Pada kondisi patologis, frekuensi relatif dari tahapan pre-meiosis, meiosis, dan post-meiosis dapat digunakan sebagai indikator
adanya
perubahan
kinetik
dari
proses
spermatogenesis
(Hess et al. 1990). Perubahan yang terjadi pada proses tersebut berpengaruh terhadap produksi spermatozoa harian per gram testis (França dan Cardoso 1998; Johnson et al. 2000). Menurut Costa et al. (2008), pengetahuan mengenai durasi spermatogenesis pada suatu spesies bermanfaat untuk menentukan efisiensi spermatogenesis atau produksi spermatozoa harian yang dapat dikomparasikan dengan spesies hewan lainnya. Almeida
et
al.
(2006)
menyatakan,
untuk
mengetahui
durasi
spermatogenesis secara tepat, diperlukan suatu metode khusus dengan menginjeksi thymidine sebagai bahan pelacak pada proses pembelahan sel. Thymidine diinjeksikan secara intratestikular, kemudian setelah melalui periode waktu tertentu, testis diambil dengan cara kastrasi (Costa et al. 2010) atau melalui prosedur biopsi (Leite et al. 2006). Jaringan testis yang diperoleh selanjutnya diproses menjadi preparat histologi dan diwarnai dengan pewarnaan toluidine blue. Metode lain yang umum digunakan menurut Nakai et al. (2004) adalah penggunaan bromodeoxyuridine (BrdU) yang disuntikkan secara intraperitoneal. Pada hewan eksotik dan dilindungi seperti muncak dengan jumlah individu yang terbatas, metode tersebut belum dapat dilakukan, sehingga
145
diperlukan suatu asumsi durasi spermatogenesis kambing untuk memberikan gambaran mengenai durasi spermatogenesis pada muncak. Diameter inti sel germinal tubuli seminiferi testis Diameter inti sel germinal pada setiap tahapan epitel tubuli seminiferi ditampilkan pada Tabel 14. Diameter inti spermatogonia, spermatosit primer preleptotene hingga diplotene yang ditemukan pada tahapan tertentu mengalami peningkatan. Diameter inti spermatogonia dari tahap I sampai tahap VIII mengalami perkembangan dengan rataan diameter pada tahap I adalah 4.07 ± 0.89 µm. Diameter pada tahap VIII meningkat sebesar 4.5% menjadi 4.46 ± 0.66 µm. Diameter inti spermatosit primer preleptotene hanya dapat diukur pada tahap VIII, yaitu 5.15 ± 0.66 µm. Ukuran tersebut sedikit lebih kecil dibandingkan tahap leptotene dengan diameter terbesar pada tahap II, yaitu 5.33 ± 0.32 µm. Spermatosit primer zygotene juga mengalami perkembangan sebesar 2.2% yang diamati pada tahap III-V. Spermatosit primer pachytene ditemukan pada tahap I, II, dan tahap V-VII, dengan diameter terbesar ditemukan pada tahap II, yaitu 7.81 ± 0.36 µm. Spermatosit primer diplotene merupakan tipe spermatosit dengan ukuran inti sel terbesar dibandingka inti sel germinal lainnya, yaitu 8.97 ± 1.0 µm yang hanya ditemukan pada tahap III dan IV. Diameter inti sel spermatid bulat (round spermatid) relatif stabil pada kisaran 5.32-5.84 µm. Secara umum, diameter inti sel germinal testis muncak lebih kecil dibandingkan diameter inti sel germinal sapi pedaging. Diameter spermatogonia B, spermatosit primer pachytene, dan spermatid sapi pedaging, berturut-turut adalah: 9.2 ± 0.3 µm, 11.4 ± 0.4 µm, dan 7.5 ± 0.5 µm (Cerelli dan Johnson 1999). Pengukuran inti sel germinal muncak pada periode RK penting untuk dilakukan. Data yang diperoleh merupakan data awal untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan diameter inti sel germinal pada saat periode ranggah lainnya (C dan RV). Selain itu, data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui potensi produksi spermatozoa harian per gram testis (efisiensi spermatogenesis) pada muncak, baik pada periode RK, maupun periode C, dan RV. Pada sapi pedaging, data diameter inti germinal tersebut digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian suplemen tertentu terhadap laju degenerasi sel germinal yang berpengaruh terhadap produksi spermatozoa harian per gram testis (Cerelli dan Johnson 1999; Johnson et al. 2000).
95 146
Tabel 14 Diameter inti sel germinal tubuli seminiferi testis muncak No.
Ukuran inti sel (µm) / Tahap
Tipe sel germinal I 4.07 ± 0.79
II 4.11 ± 0.13
III 4.09 ± 0.91
IV 4.28 ± 0.44
V 4.33 ± 0.11
VI 4.42 ± 0.17
VII 4.50 ± 0.75
VIII 4.46 ± 0.66
-
-
-
-
-
-
-
5.15 ± 0.66
b. leptotene
5.29 ± 0.25
5.33 ± 0.52
-
-
-
-
-
-
c. zygotene
-
-
5.76 ± 0.42
5.98 ± 0.53
6.02 ± 0.89
-
-
-
d. pachytene
7.18 ± 0.33
7.81 ± 0.36
-
-
6.94 ± 0.41
6.39 ± 0.35
6.59 ± 0.29
6.92 ± 0.48
e. diplotene
-
-
8.97 ± 1.01
8.72 ± 0.17
-
-
-
-
5.32 ± 0.38
-
-
5.84 ± 0.12
5.63 ± 0.41
5.32 ± 0.32
5.81 ± 0.37
5.56 ± 0.14
4.35 ± 0.19
5.19 ± 0.43
5.44 ± 0.37
6.05 ± 0.36
6.43 ± 0.38
5.78 ± 0.53
5.71 ± 0.35
1
Spermatogonia
2
Spermatosit primer a. preleptotene
3
Round spermatid
4
Elongated spermatid
147
Spermatogenesis Selama Periode Pertumbuhan Ranggah Deteksi spermatogenesis dari fragmen testis hasil biopsi yang diwarnai dengan pewarnaan periodic acid-Schiff (PAS) pada setiap periode ranggah (C, RV, dan RK) dapat diamati pada penelitian ini. Keberadaan spermatid yang meliputi spermatid bulat (round spermatid) dan spermatid lonjong (elongated spermatid) pada tubuli seminiferi testis muncak ditampilkan pada Gambar 48 dan Tabel 15 dan 16. Tahapan epitel tubuli seminiferi testis (I-VIII) pada periode ranggah keras (RK), casting (C) dan ranggah velvet (RV) dapat diamati (Tabel 15). Pada periode RK, ditemukan tahap I-VIII dari sayatan melintang fragmen testis ♂#3, sedangkan pada ♂#2, tahap IV tidak ditemukan.
Pada
periode C, ditemukan tahap I-VIII (♂#3), sedangkan pada ♂#2 hanya ditemukan tahap I, II, III, VI dan VII. Dari ketiga periode ranggah, pada periode RV hanya ditemukan tahap I-III dan V pada ♂#3, dan tahap I, II, V dan VI pada ♂#2. Tabel 15 Tahapan epitel tubuli seminiferi testis pada setiap periode ranggah. Muncak
Periode Tahapan epitel tubuli seminiferi Ranggah I II III IV V VI VII VIII ♂#2 RK +++ ++ ++ + + + + + C +++ ++ ++ + + + + + RV + + + + ♂#3 RK ++ + + ++ + + + C ++ + ++ + + RV + + + + Keterangan: kriteria skoring tahapan epitel tubuli seminiferi testis: +++: banyak; ++: sedang; + sedikit dan -: tidak ditemukan.
Perbedaan pemunculan tahapan pada kedua muncak selama periode RK, C, dan RV disebabkan oleh kecilnya ukuran sampel yang diperoleh dari metode core needle biopsy (2-3 mm), sehingga dalam satu fragmen testis gambaran tubuli seminiferi dengan tahap yang berbeda tidak ditemukan. Namun demikian, aktivitas spermatogenesis tetap berlangsung. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya kedelapan tahapan epitel tubuli seminiferi dari fragmen testis ♂#2 pada periode RK dan C. Gambar 47A - 47F memperlihatkan perkembangan sistem akrosom spermatid berdasarkan adanya reaksi PAS positif saat berlangsungnya diferensiasi spermatid bulat menjadi spermatid lonjong dan spermatozoa. Reaksi PAS positif dengan visualisasi warna merah-keunguan (magenta) menandakan keberadaan karbohidrat netral pada jaringan testis yang diperlukan selama
148
prosess spermato ogenesis be erlangsung. Reaksi po ositif kuat d ditemukan pada sperm matid bulat pada p fase go olgi cap, fasse akrosom dan bereaksi positif le emah pada fase f maturassi.
ar 48 Sperma atogenesis pa ada tubuli sem miniferi testis muncak pada a berbagai pe eriode Gamba ranggah h. Periode ra anggah kerass (RK) (A, B,, C); casting (D); dan ran nggah velvet (RV) ( (E, F). Tanda pana ah menunjukkkan reaksi P PAS positif (w warna magentta) terjadi pada p proses perkembang gan spermattid. E: elong gated sperma atid, R: round spermatid. Pewarnaan PA AS. Skala: 30 0 µm.
149
Tabel 16 Tipe sel germinal tubuli seminiferi muncak yang ditemukan pada jaringan testis hasil biopsi Sel germinal Spermatosit Spermatid round elongated C √ √ √ √ RV √ √ √ √ RK √ √ √ √ Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras Periode ranggah
Spermatogonia
Spermatozoa √ √
Indikator lain yang memperlihatkan aktivitas spermatogenesis pada ketiga periode ranggah adalah dengan keberadaan elongated spermatid (Tabel 16). Indikator tersebut juga telah digunakan untuk menentukan tingkat fertilitas empat spesies badak, yaitu badak hitam, badak putih, badak india dan badak sumatera (Hermes et al. 2006). Prosedur biopsi testis pada badak tersebut dilakukan dengan metode fine needle biopsy menggunakan jarum yang berukuran lebih kecil (17-18G) dibandingkan ukuran jarum core needle biopsy (14G) yang digunakan pada penelitian ini. Namun demikian, kedua metode biopsi yang dilakukan pada badak dan muncak telah memberikan hasil yang dapat menggambarkan aktiftas spermatogenesis untuk penentuan tingkat fertilitas kedua satwa tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, aktivitas spermatogenesis pada muncak tetap berlangsung walaupun muncak berada pada periode C dan RV. Namun demikian aktivitas spermatogenesis pada kedua periode tersebut mengalami sedikit penurunan. Adanya variasi aktivitas spermatogenesis pada muncak berhubungan erat dengan perbedaan konsentrasi testosteron antara periode C, RV, dan RK. Variasi tersebut juga dilaporkan pada spesies Cervidae lainnya seperti, roe deer (Blottner et al. 1996), rusa timor (Handarini 2006), chital deer (Umapathy et al. 2007), dan formosan muntjak (Pei et al, 2009). Namun demikian variasi tesebut bersifat spesifik spesies, bergantung pada wilayah penyebaran spesies. Pada chital deer yang berada di wilayah beriklim sedang (Texas, USA), elongated spermatid masih ditemukan saat rusa tersebut berada pada periode RV, dan spermatozoa kauda epididimidis tetap ditemukan sepanjang tahun (Willard dan Randel 2002). Laporan berbeda dilaporkan oleh Umapathy et al. (2007) pada chital deer yang hidup di habitat asli (India), bahwa fluktuasi konsentrasi testosteron plasma sangat berpengaruh terhadap aktivitas spermatogenesis. Spermatozoa tidak ditemukan pada kauda epididimidis saat
150
chital deer berada pada periode RV. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti photoperiod untuk wilayah beriklim sedang dan pola curah hujan tahunan untuk wilayah tropis (Mishra dan Wemmer 1987). Pada roe deer (Blottner et al. 1996), dan eld’s deer (Monfort et al. 1993) yang tersebar di wilayah beriklim sedang, aktivitas spermatogenesis hanya berlangsung pada periode RK. Pada kedua spesies tersebut, photoperiod merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap sintesis testosteron oleh sel Leydig testis yang diperlukan untuk spermatogenesis dan aktivitas reproduksi lainnya. Sejauh mana perbedaan aktivitas spermatogenesis pada setiap periode ranggah juga dapat diketahui dari kualitas spermatozoa yang dihasilkan dari proses spermatogenesis. Hasil yang diperoleh memperkuat laporan penelitian Chapman dan Harris (1991) pada revees muntjak, dan Pei et al. (2009) pada formosan muntjak. Aktivitas reproduksi pada kedua muncak tersebut tetap berlangsung walaupun berada pada periode RV yang ditandai dengan ditemukannya
spermatozoa
pada
kauda
epididimidis.
Namun
demikian,
gambaran aktivitas spermatogenesis di level testikular tidak dilaporkan pada kedua spesies tersebut.
Karakteristik dan Kualitas Semen Muncak Morfometri testis pada priode casting, ranggah velvet, dan ranggah keras Morfometri testis yang berada dalam kantong skrotum pada kedua muncak selama periode, C, RV, dan RK tercantum pada Tabel 17. Rataan panjang dan lebar testis dexter et sinister, dan lingkar skrotum menunjukkan peningkatan pada setiap periode ranggah. Rataan ukuran panjang, lebar testis dan lingkar skrotum terendah ditemukan pada saat kedua muncak berada pada periode C, meningkat pada periode RV, dan tertinggi pada periode RK. Peningkatan panjang dan diameter testis secara langsung berpengaruh terhadap lingkar skrotum. Peningkatan lingkar skrotum ♂#2 dari periode C ke periode RV adalah 1.7%, dan dari periode RV ke periode RK adalah 5.5%. Hal yang sama juga ditemukan pada ♂#3, yaitu terjadi peningkatan sebesar 4.2% dari periode C ke periode RV, dan 6.9% dari periode RV ke periode RK. Secara umum ♂#2 memiliki lingkar testis yang lebih besar dibandingkan ♂#3 pada setiap periode ranggah, yaitu: 4.9% (C), 2.6% (RV), dan 1.3% (RK). Selain itu, konsistensi testis juga berbeda antara ketiga periode ranggah. Konsistensi testis pada periode RK lebih kenyal dibandingkan periode C dan RV.
151
Tabel 17 Morfometri testis dan skrotum muncak selama periode ranggah Parameter pengukuran
♂#2
♂#3
C
RV
RK
C
RV
RK
Panjang (mm)
61.7 ± 0.4
53.7 ± 0.5
75.8 ± 0.2
68.1 ± 2.8
76.6 ± 0,4
70.5 ± 1.1
Diameter (mm)
24.5 ± 0.3
24.3 ± 0.2
25.6 ± 0.7
25.7 ± 0.1
27.0 ± 0.1
26.9 ± 0.1
13.5
15.5
Testis:
Lingkar 13.7 14.2 15.9 12.4 skrotum (cm) Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras
Perbedaan morfometri testis dan lingkar skrotum antara periode RK dan RV juga dilaporkan pada Cervidae lainnya seperti rusa timor. Ukuran panjang, diameter, dan lingkar testis rusa timor lebih besar dan berbeda nyata pada periode RK dibandingkan periode RV. Konsistensi testis pada periode RK lebih kenyal dibandingkan periode RV (Handarini 2006). Perbedaan morfometri testis dan lingkar skrotum pada muncak dan Cervidae lainnya merefleksikan aktivitas spermatogenesis pada tubuli seminiferi testis. Tingginya konsentrasi testosteron pada periode RK menyebabkan aktivitas steroidogenesis dan spermatogenesis testikular meningkat. Sebaliknya, penurunan konsentrasi testosteron pada periode C dan RV mengakibatkan penurunan aktivitas spermatogenesis serta produksi spermatozoa. Hubungan antara konsentrasi testosteron dengan ukuran testis juga dilaporkan pada north american moose. Peningkatan testosteron pada akhir musim panas meningkatkan ukuran testis dan aktivitas spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa yang diperlukan saat musim kawin yang berlangsung pada musim gugur (Schwartz 1992). Korelasi yang sama juga dilaporkan pada soay sheep yang berasal darii wilayah beriklim sedang, dimana peningkatan
ukuran
testis,
aktivitas
spermatogenesis,
dan
konsentrasi
testosteron terjadi secara paralel pada musim kawin (Preston et al. 2011).
Morfologi dan morfometri spermatozoa muncak Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya, ditemukan morfologi spermatozoa muncak yang mirip dengan morfologi spermatozoa pada ruminansia lainnya (Gambar 49). Spermatozoa terbagi atas kepala yang berbentuk oval, leher, ekor tengah (mid piece), ekor utama (principal piece), dan ujung ekor (end piece). Bentuk leher spermatozoa yang menghubungkan kepala dan ekor tidak jelas teramati dengan pewarnaan
152
William m. Gambara an tersebut dapat d dilihatt pada hasil pengamata an dengan SEM (Gamb bar 50). Leher L sperm matozoa te erletak di bagian disttal kepala dan memp perlihatkan
struktur
y yang
lebih
tebal
bandingkan dib
struktur
ekor
(Gamb bar 50B).
ar 49 Morfologi spermatoz zoa muncak dengan d mikrosskop cahaya.. Kepala (1); leher Gamba (2); eko or tengah (miid-piece) (3); ekor utama (principal piece) (4); dan ujung ekor (en nd piece) (5). Pewarnaan William. Skala: 10 µm.
Gamba ar 50 Ultrastrruktur sperma atozoa munca ak. Kepala (1 1); leher (2); b p badan (mid piece) (3) ekorr utama (princciple piece) (4 4); dan ujung ekor (end pie ece) (5). Scanning electron n microscope (SEM) 20 KV V. Skala:15 µm (A); 2 µm (B ( dan C)
153
Morfometri spermatozoa individual meliputi ukuran panjang dan lebar kepala serta panjang ekor pada ♂#2 dan ♂#3 selama periode RV dan RK, ditampilkan pada Tabel 18. Secara umum morfometri spermatozoa pada kedua periode pertumbuhan ranggah tersebut relatif sama. Panjang total spermatozoa (panjang kepala dan ekor) ♂#2 adalah 50.98 µm pada periode RV dan 51.50 µm pada periode RK. Muncak ♂#3 memiliki panjang spermatozoa total pada periode RV adalah 51.57 µm dan 52.30 µm pada periode RK. Rataan panjang spermatozoa keseluruhan ♂#2 dan ♂#3 pada periode RK adalah 51.90 µm, dan 51.27 µm pada periode RV. Tabel 18 Morfometri spermatozoa muncak Ukuran (µm)
♂#2 Periode ranggah
♂#3
RV
RK
RV
RK
Lebar kepala
2.89 ± 0.29
2.91 ± 0.26
2.86 ± 0.08
2.90 ± 0.20
Panjang kepala
5.76 ± 0.56
5.78 ± 0.25
5.77 ± 0.33
5.79 ± 0.24
Panjang ekor
45.22 ± 3.23
45.74 ± 4.85
45.80 ± 2.08
46.50 ± 4.85
Panjang total
50.98
51.50
51.57
52.30
Keterangan: RV: ranggah velvet, RK: ranggah keras
Rataan morfometri spermatozoa muncak pada periode RK, berukuran lebih kecil dibandingkan morfometri spermatozoa rusa timor pada periode ranggah yang sama. Panjang dan lebar kepala, panjang bagian tengah, dan ekor spermatozoa rusa timor adalah: 7.71 ± 0.32 µm, 4.13
± 0.09 µm, 13.35 ±
1.38 µm, dan 42.05 ± 0.86 µm (Handarini 2006), dengan panjang total 63.11 µm. Gizejewski et al. (2002) melaporkan bahwa terdapat perbedaan panjang kepala spermatozoa red deer antara periode pre mating season, mating season, dan post mating season, berturut-turut adalah: 8.40 ± 0.49 µm, 8.49 ± 0.48 µm, dan 8.17 ± 0.48 µm, dengan ukuran lebih panjang pada periode mating season. Al-Makhzoomi
et
al.
(2008)
menyatakan
bahwa
perbedaan
morfologi
spermatozoa dipengaruhi oleh kualitas ejakulat, umur, individu (pejantan), dan musim. Faktor lain yang berpengaruh terhadap morfometri spermatozoa adalah konsentrasi spermatozoa dalam ejakulat. Ejakulat Landrace boar dengan konsentrasi spermatozoa lebih tinggi memiliki ukuran kepala spermatozoa lebih kecil dibandingkan ejakulat dengan konsentrasi spermatozoa lebih rendah (Wysokinska et al. 2009).
154
Panjang keseluruhan spermatozoa kancil adalah 36.52 ± 5.6 µm, dengan panjang dan lebar kepala 5.55 ± 0.8 µm, dan 4.77 ± 0.5 µm. (Prasetyaningtyas 2005), domba garut 49.19 µm (Rizal 2005), sedangkan landrace boar 54.81 ± 1.87 µm (Wysokinska et al. 2009). Hasil perbandingan dengan ruminansia tersebut memperlihatkan panjang keseluruhan spermatozoa muncak pada periode RK dan RV lebih panjang dibandingkan spermatozoa kancil, dan domba garut, namun lebih pendek dibandingkan spermatozoa sapi. Menurut Handarini (2006), morfometri spermatozoa rusa timor pada periode RV tidak dapat diukur, karena pada periode tersebut abnormalitas spermatozoa mencapai 92% (pada salah satu individu rusa penelitian).
Kualitas Semen Muncak Selama Periode Ranggah Kualitas semen muncak yang dikoleksi dengan elektroejakulator pada periode C, RV dan RK dari kedua muncak penelitian dapat dilihat pada Tabel 19. Dari pengamatan makroskopis, volume semen muncak yang diperoleh pada ketiga periode ranggah berada pada kisaran 0.1-0.6 ml. Volume semen ♂#2 pada setiap periode pertumbuhan ranggah lebih tinggi dibandingkan volume semen ♂#3. Sedangkan konsistensi semen bervariasi pada kedua muncak tersebut, yaitu konsistensi encer pada periode C dan konsistensi sedang pada periode RV dan RK, dengan warna antara krem muda pada periode C (♂#2 dan ♂#3), krem pada periode RV (♂#2 dan ♂#3), krem (♂#3) dan kuning (♂#2) pada periode RK. Adapun pH semen berada pada kisaran 6.7-7.5. Rataan volume semen muncak pada ketiga periode ranggah, yaitu 0.35 ± 0.07 ml (C), 0.3 ± 0.28 ml (RV), dan 0.4 ± 0.28 ml (RK), lebih rendah dibandingkan rusa timor, yaitu 1.16 ± 0.45 ml pada periode RV, dan 1.88 ± 0.67 ml pada periode RK. Volume tersebut juga lebih rendah dibandingkan roe deer pada periode RK, yaitu 1.1 ml (Goeritz et al. 2003), rusa sambar 1.3 ± 0.5 ml (Cheng et al. 2004), domba 0.8-1.2 ml, sapi 5-8 ml, dan kuda 60-100 ml (Garner dan Hafez 2000). Namun rataan volume semen muncak (periode RK) hampir sama dengan volume semen sika deer, yaitu 0.5 ± 0.4 ml (Cheng et al. 2004). Bila dibandingkan dengan rataan volume semen kancil, yaitu 19.44 ± 6.8 µl (Prasetyaningtyas et al. 2006), rataan volume semen muncak pada ketiga periode ranggah jauh lebih tinggi dibandingkan kancil. Perbedaan volume dan kualitas semen pada ruminansia dan mamalia lainnya disebabkan oleh faktor spesies, breed, musim, umur, dan frekuensi
155
koleksi semen (Kondracki et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Morfologi dan morfometri tubuh muncak lebih kecil dibandingkan rusa timor, rusa sambar, dan spesies Cervidae lainnya. Selain itu, kualitas dan kuantitas semen yang diperoleh dengan metode penampungan alami dan vagina buatan lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan metode elektroejakulator (Asher et al. 2000). Namun demikian, aplikasi metode elektroejakulasi untuk koleksi semen menggunakan elektroejakulator pada satwa-satwa eksotik seperti Cervidae telah menjadi
prosedur
rutin
untuk
mengetahui
kualitas
semen.
Metode
elektroejakulasi telah diaplikasikan pada rusa sambar (Semiadi et al. 1994), gazella (Gomendio et al. 2000), roe deer (Goeritz et al. 2003), beruang hitam (Okano et al. 2004), kancil (Prasetyaningtyas et al. 2006), red deer (Gizejewski et al. 2004; Gizejewski et al. 2010), badak (Roth et al. 2005), rusa timor (Handarini 2006, Nalley et al. 2012), chital deer (Umapathy et al. 2007), anoa (Yudi et al. 2010), west african dwarf goat (Olugbenga et al. 2011), dan spesies eksotik lainnya. Pada pelaksanaannya, metode elektroejakulasi memerlukan tindakan anastesi. Walaupun tindakan anastesi berisiko tinggi pada spesies-spesies tersebut, namun metode ini lebih aman bagi operator dan lebih hemat waktu. Pemilihan kombinasi anastetikum xylazine HCl dan ketamin HCl pada muncak mengacu pada prosedur anastesi yang telah dilakukan pada rusa timor (Handarini et al. 2004; Nalley et al. 2012), dan Axis deer (Sontakke et al. 2007). Volume semen muncak yang berhasil dikoleksi menggunakan elektroejakulator sangat memadai untuk keperluan evaluasi semen, sehingga kualitas semen muncak selama periode ranggah dapat diketahui. Pada penelitian ini, periode koleksi semen muncak terbatas, yaitu hanya sekali per periode ranggah. Hal ini disebabkan karena tingginya risiko yang ditimbulkan pada muncak dengan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan Cervidae lainnya. Keterbatasan koleksi semen sekali per periode ranggah juga dilakukan oleh Drajat (2000) pada rusa timor yang berada pada periode RK dan RV.
156
Tabel 19 Kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah Kualitas semen
C
♂#2 RV
RK
C
Makroskopis: Volume (ml) 0.4 0.5 0.6 0.3 pH 6.7 7.2 6.7 7.5 Warna Krem Krem Kuning Krem Konsistensi Encer Sedang Sedang Encer Mikroskopis: Gerakan massa + + ++ + Motilitas (%) 60 60 70 60 Konsentrasi (juta/ml) 315.0 375.1 462.5 262.5 Persentase hidup (%) 87.6 89.5 90.8 86.6 Abnormalitas (%) 14.0 12.5 7.2 10.9 Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras
♂#3 RV
RK
0.1 7.2 Krem Sedang
0.2 6.7 Krem Sedang
+ 60 350.1 88.5 13.5
++ 70 550.0 91.9 6.2
Pada pengamatan secara mikroskopis, ditemukan variasi nilai dari setiap parameter pemeriksaan semen muncak pada ketiga periode ranggah (C, RV dan RK). Parameter motilitas spermatozoa pada periode C, RV, dan RK berkisar antara 60-70% pada ♂#2 dan ♂#3. Nilai tersebut lebih baik dibandingkan kancil (Prasetyaningtyas 2005), dan rusa timor pada periode RV, sedangkan pada periode RK motilitas spermatozoa muncak dan rusa tersebut adalah 70% dan 72.76% (Handarini 2006). Konsentrasi spermatozoa memperlihatkan jumlah yang cenderung meningkat dari periode C, RV dan RK. Peningkatan tersebut ditemukan pada kedua muncak dengan konsentrasi tertinggi ♂#2 pada periode RK adalah 462.5 juta/ml, dan menurun pada periode C (315.0 juta/ml). Pada periode C, konsentrasi spermatozoa ♂#3 adalah 262.5 juta/ml; periode RV adalah 350.11 juta/ml dan periode RK adalah 550.0 juta/ml. Secara umum konsentrasi spermatozoa ♂#2 pada periode C dan RV lebih tinggi dibandingkan konsentrasi
spermatozoa
♂#3
kecuali
pada
periode
RK,
konsentrasi
spermatozoa ♂#3 lebih tinggi (550.0 juta/ml). Parameter persentase hidup spermatozoa meningkat dari periode C ke periode RV, dan RK. Muncak ♂#2 memiliki persentase spermatozoa hidup lebih tinggi pada periode C dan RV (87.6% dan 89.5%) dari pada ♂#3. Pada periode RK, persentase spermatozoa hidup ♂#3 lebih tinggi (91.9%) dibandingkan ♂#2. Periode C dan RV juga memperlihatkan abnormalitas spermatozoa yang lebih tinggi dibandingkan periode RK. Secara umum abnormalitas spermatozoa ♂#3 lebih rendah dibandingkan ♂#2, yaitu pada periode C dan RK. Menurut AkeLopez (2010), perbedaan umur antara white-tailed deer jantan tidak berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa. Hal ini juga terjadi pada kedua muncak,
157
walaupun ♂#2 lebih tua dan dominan dari pada ♂#3, namun kualitas spermatozoa ♂#2 tidak selalu lebih baik dibandingkan ♂#3, terutama pada periode RK. Perbandingan
konsentrasi
spermatozoa,
persentase
hidup
dan
abnormalitas antara muncak dan rusa timor (Handarini 2006) memperlihatkan pola yang berbeda. Rataan konsentrasi spermatozoa kedua muncak pada periode RK jauh lebih rendah (506.25 ± 61.87 juta/ml) dibandingkan rataan konsentrasi spermatozoa rusa timor (1055.95 ± 141.13) juta/ml). Namun demikian, pada periode RV konsentrasi spermatozoa muncak lebih tinggi (362.6 ± 17.68 juta/ml) dibandingkan rusa timor (199.56 ± 182.47 juta/ml). Rataan
persentase
hidup
spermatozoa
muncak
pada
periode
RK
(91.35 ± 0.77%) dan RV (89.0 ± 0.70%) lebih tinggi dibandingkan rusa timor pada periode RK (79.40 ± 3.00%) dan RV (50.87 ± 6.55%). Perbedaan nilai persentase abnormalitas antara muncak dan rusa timor juga memperlihatkan pola yang sama dengan persentase hidup. Persentase abnormalitas muncak pada periode RK (6.7 ± 0.70%) dan RV (13.00 ± 0.70%) juga lebih rendah dibandingkan rusa timor, yaitu 9.80 ± 3.93% (RK), dan 35.59 ± 19.97% (RV). Abnormalitas spermatozoa adalah penyimpangan morfologi spermatozoa dari morfologi yang normal. Secara umum total abnormalitas spermatozoa per ejakulat adalah 5-15% dan fertilitas hewan jantan masih tergolong normal. Namun bila total abnormalitas berada di atas kisaran tersebut (>20%), dapat dikatakan telah terjadi gangguan fertilitas (Senger 2005). Berdasarkan kisaran nilai abnormalitas tersebut, abnormalitas spermatozoa muncak masih tergolong rendah. Abnormalitas spermatozoa pada ketiga periode ranggah masih berada pada kisaran 6.2-14%, walaupun kedua muncak berada pada periode C dan RV. Baiknya kualitas spermatozoa muncak pada periode C dan RV dibandingkan rusa timor, diduga disebabkan konsentrasi testosteron yang dihasilkan pada kedua periode tersebut masih cukup tinggi (lihat data profil metabolit testosteron pada penelitian III) dalam mempertahankan aktiftas spermatogenesis, sehingga spermatozoa dengan kualitas yang cukup baik masih ditemukan. Konsentrasi basal testosteron plasma rusa timor jantan yang diteliti di Indonesia pada periode RV, berpengaruh terhadap rendahnya aktivitas spermatogenesis dan diikuti dengan penurunan konsentrasi spermatozoa secara drastis (Handarini et al. 2004; Handarini dan Nalley 2008). Hal yang sama juga dilaporkan pada iberian red deer (Cervus elaphus hispanicus) (Malo et al. 2009)
158
dan camel (Camelus dromedarius) yang memperlihatkan adanya pengaruh musim kawin terhadap konsentrasi testosteron plasma dan konsentrasi spermatoza (El-Kon et al. 2011). Pada ruminansia jantan, abnormalitas spermatozoa yang mencapai 50% per ejakulat disebut sebagai teratozoospermia (Garner dan Hafez 2000) dan dapat dikategorikan steril. Infertilitas sapi dan kambing pejantan dapat terjadi bila abnormalitas spermatozoanya berada di kisaran 30-35%, sedangkan pada domba abnormalitas >14% sudah dapat digolongkan infertil (Molnar et al. 2001). Persentase abnormalitas spermatozoa ejakulat Cervidae yang tergolong seasonal deer menunjukkan variasi yang signifikan antara periode ranggah keras dan
ranggah
velvet.
Handarini
(2006)
melaporkan
bahwa
persentase
abnormalitas spermatozoa rusa timor pada periode RV berada pada kisaran 11.46-76.03%, sedangkan pada periode RK, abnormalitas tersebut menurun drastis, dengan rataan abnormalitas sebesar 9.80 ± 3.93%. Identifikasi tipe abnormalitas spermatozoa muncak dilakukan terhadap preparat ulas semen yang diwarnai dengan pewarna eosin-nigrosin dan diamati dengan
mikroskop
cahaya.
Abnormalitas
abnormalitas di bagian kepala
yang
ditemukan
dibagi
atas
spermatozoa (abnormalitas primer) dan
abnormalitas bagian ekor (abnormalitas sekunder). Tipe abnormalitas primer dan sekunder yang ditemukan pada semen muncak dapat dilihat pada Gambar 51. Abnormalitas pada bagian kepala spermatozoa muncak dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pear shape, knobbed acrosome di bagian proksimal kepala, kepala tanpa ekor, macrocephalic, microcephalic, kepala runcing, kepala ganda, dan abaxial. Sedangkan abnormalitas pada ekor atau abnormalitas sekunder adalah: ekor membesar pada bagian badan (mid piece), ekor membesar sampai ujung, ekor kecil, ekor menggulung, ekor keriting dan ekor patah. Tipe abnormalitas bagian kepala dan ekor tersebut ditemukan pada kedua muncak pada periode C, RV, dan RK. Namun abnormalitas tersebut lebih banyak ditemukan pada periode C (♂#2), dan RV (♂#3). Tipe abnormalitas yang sering ditemukan
pada
menggulung).
kedua
muncak
adalah
abnormalitas
sekunder
(ekor
159
Gambar G 51 M Morfologi spermatozoa abn normal pada muncak. (1) spermatozoa a normal; (2) ekor e ganda; (3) pear sha ape; (4) ekorr menggulung g; (5) ekor menggulung m beberapa b kalli; (6) knobb bed acrosom me; (7) abaxiial; (8) ekor patah; (9) sitoplasmik s d droplet di pro oksimal; (10)) microcepha alic; (11) kepala patah. Pewarnaan P William. W Skala: 25 µm.
ara Seca
umum
abnormalitas
sperm matozoa
d dapat
terja adi
akibat
tergangguny t ya proses diferensiasi d s spermatozo a selama p proses sperm miogenesis di d tubuli seminiferi testtis. Gangguan tersebutt mengakiba atkan kecaccatan pada ala spermato ozoa. Gangg guan lainnya a dapat terjadi di sepanja ang duktus bagian kepa epididimidis e ,
yaitu
p pada
saat
proses
transportasii
spermato ozoa
dan
d bagian e ekor sperma atozoa (Sen nger 2005). Tingginya mengakibatkkan cacat di abnormalita a s pada spes sies rusa de engan pola reproduksi r sseasonal berhubungan erat e dengan n rendahnya testostero on selama periode C dan RV. Konsentrasi K testosteron t ular berpen ngaruh terha adap diferen nsiasi sperm matid yaitu intra testiku a spe ermatid. Gan ngguan diferensiasi terse ebut diperlih hatkan oleh pada fase akrosom tipe t abnorm malitas di ba agian kepala a seperti knobbed acrosome (Barth h dan Oko 1989). Knob bbed acrosome pada muncak dittandai deng gan penjulurran seperti lidah (tongu uelike) di bagian b apikkal tudung akrosom. Penjuluran tonguelike tersebut t juga diidentifika asi pada dom mba dan ba abi (Barth da an Oko 1989 9), red deer arini 2006). (Gizejewski et al. 2004; Gizejewski et al. 2010)), dan rusa timor (Handa Sebanyak S
5%
s kasus
knobbed
acrosome e
telah
dilaporkan
pada p
sapi
160
(Thundathil
et
al.
2002).
Abnormalitas
kepala
berupa
macrocephalus,
microcephalus, pear shape, dan abaxial, jarang ditemukan pada preparat ulas semen muncak. Abnormalitas bagian ekor yang sering ditemukan pada kedua muncak adalah ekor menggulung sekali atau simple bent tail dan menggulung beberapa kali. Cacat pada bagian principal piece tersebut terjadi saat spermatozoa berada pada korpus dan kauda epididimidis. Pada beberapa kasus sering dijumpai sitoplasmik droplet yang terperangkap dalam gulungan ekor spermatozoa, seperti yang ditemukan pada sapi (Bart dan Oko 1989). Kasus sitoplasmik droplet lainnya ditemukan di bagian proksimal dan distal ekor. Kejadian ekor patah, kepala tanpa ekor, dan ekor tanpa kepala dapat juga terjadi selama proses penampungan semen dan pembuatan preparat ulas semen muncak. Data kualitas spermatozoa muncak yang diperoleh pada penelitian ini membuktikan bahwa aktivitas spermatogenesis tetap berlangsung selama periode pertumbuhan ranggah dibawah kontrol testosteron. Data tersebut sekaligus menunjukkan pola reproduksi muncak yang tidak berhubungan dengan periode pertumbuhan ranggah dan musim. Cervidae jantan dengan pola reproduksi tidak bergantung bermusim seperti amazonian brocket, tetap menghasilkan semen berikut spermatozoa, baik pada periode RK maupun RV (Hurtado-Gonzales dan Bodmer 2006). Konsentrasi dan motilitas spermatozoa chital deer tropis pada periode RV dan RK juga tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun volume testis berkurang. Rusa yang tergolong aseasonal tropical deer ini tidak memperlihatkan perubahan pola reproduksi walaupun berada di wilayah beriklim sedang dengan siklus ranggah yang tidak seragam (non-syncronized antler cycling) (Loudon dan Curlewis 1988). Namun pernyataan berbeda disampaikan oleh Umaphaty (2007), bahwa chital deer yang berasal dari India tergolong seasonal deer dengan siklus ranggah yang seragam, memperlihatkan
konsentrasi
dan
motilitas
spermatozoa
berbeda
nyata
(P < 0.001) antara periode RK dan RV. Data yang diperoleh pada penelitian ini memperlihatkan korelasi yang paralel dengan data yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya (penelitian II dan III. Aktivitas reproduksi muncak berlangsung selama periode ranggah, walaupun terjadi sedikit penurunan pada periode C dan RV. Oleh karena itu pola reproduksi muncak adalah tidak berhubungan dengan periode ranggah dan tidak bergantung pada musim (aseasonal).
161
Simpulan 1. Siklus epitel tubuli seminiferi pada muncak berlangsung dalam delapan tahap, sama seperti ruminansia lainnya. 2. Spermatogenesis berlangsung selama periode pertumbuhan ranggah walaupun aktivitasnya sedikit menurun pada periode casting dan ranggah velvet. 3. Kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah cukup baik dengan kualitas terbaik ditemukan pada periode ranggah keras.
Daftar Pustaka Ake-Lopez J, Cavazos-Arizpe E, Magana-Monforte JG. 2010. Effect of age and postmortem time on some white-tailed deer (Odocoileus virginianus texanus) epididymal sperm characteristics and response of cryopreservation. Am J Anim Vet Sci 5: 183-186. Al-Makhzoomi A. Lundeheim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2008. Sperm morphology and fertility of progeny-testis AI dairy bulls in Sweden. Theriogenology 70: 682-691. Almeida FFL, Leal MC, França LR. 2006. Testis morphometry, duration of spermatogenesis, and spermatogenic efficiency in the wild boar (Sus scrofa scrofa). Biol Reprod 75: 792-799. Asher GW, Berg DK, Evans G. 2000. Storage of semen and artificial insemination in deer. Anim Reprod Sci 62: 195-211. Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Cambridge: Cambridge University Pr. Basrizal. 2007. Gambaran morfologi dan frekuensi tahapan spermatogenesis pada domba Garut [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bitencourt VL, de Paula TA, da Matta SL, Fonseca CC, dos Anjos BL, Costa DS. 2007. The seminiferous ephitelium cycle and daily spermatic production in the adult maned wolf (Chrysocyon brachyurus, Illger 1811). Micron 10: 10-16. Blottner S, Hingst O, Meyer HHD. 1996. Seasonal spermatogenesis and testosterone production in roe deer (Capreolus capreolus). J Reprod Fert 108: 299-305. Cerelli J, Johnson L. 1999. Potential daily sperm production, sertoli cell number, and seminiferous tubule characteristics in beef bull fed conventional or gossypol-enriched diets. J Androl 20: 519-528.
162
Chapman NG, Harris S. 1991. Evidence that seasonal antler cycle of adult Reeves muntjak (Muntiacus reevesi) is not associated with reproductive quiescence. J Reprod. Fert 92: 361-369. Cheng FP, Wu JT, Chan JP, Wang JS, Fung HP, Colenbrander B, Tung KC. 2004. The effect of different extenders on post-thaw sperm survival, acrosomal integrity and longevity in cryopreserved semen of Formosan Sika deer and Formosan Sambar deer. Theriogenology 61: 1605-1616. Costa DS, Paula TAR, da Matta SLP. 2006. Cat, cougar, and jaguar spermatogenesis: a comparative analysis. Brazil Arc Biol Tech 49: 725-731. Costa GMJ, Chiarini-Garcia H, Morato RG, Alvarenga RLLS, França LR. 2008. Duration of spermatogenesis and daily sperm production in the jaguar (Panthera onca). Theriogenology 1136-1146. Costa GMJ, Leal MC, Silva JV, Ferreira ACS, Giumaraes DA, França LR. 2010. Spermatogenic cycle length and sperm production in a feral pig species (collared peccary, Tayassu tajacu). J Androl 23: 1-22. Dradjat AS. 2000. Penerapan teknologi inseminasi buatan, embrio transfer dan in-vitro fertilisasi pada rusa Indonesia. Laporan Riset Unggulan Terpadu V. Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Jakarta 92-111. Dradjat
AS. 2002. Inseminasi Buatan Pada Rusa Indonesia. http://ntb.litbang.deptan. go.id/2002 /NP/ inseminasibuatan.doc. [12 Maret 2009].
de Kretser DM, Kerr JB. 1994. The Cytology of the Testis. Di dalam: Knobil E, Neill JD, editor. The Physiology of Reproduction. New York: Raven. Dreef HC, Van Esch E, De Rijk EPCT. 2007. Spermatogenesis in the cynomolgus monkey (Macaca fascicularis): A practical guide for routine morphological staging. Tox Pathol 35: 395-404. Ehmcke J, Luetjens CM, Schlatt S. 2005. Clonal organization of proliferating spermatogonial stem cells in adult males of two species of non-human primates, Macaca mulatta and Callithrix jacchus. Biol Reprod 72: 293300. El-Kon II. Heleil BA, Mahmoud SA. 2011. Effect of age and season on the testicular sperm reserve and testosterone profile in camel (Camelus dromedaries). Anim Reprod 8: 68-72 Franςa LR, Becker-Silva SC, Chiarini-Garcia H. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31: 274-280. França LR, Cardoso FM. 1998. Duration of spermatogenesis and sperm transit time through the epididymis in the Piau boar. Tissue & Cell 30:573–582.
163
Garcia-Gil N, Pinart E, Sancho S, Badia E, Bassols J, Konsentrasi E, Briz M, Bonet S. 2002. The cycle of seminiferous epithelium in landrace boar. Anim. Reprod. Sci 73: 211-225. Garner DL. Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. Di dalam Reproduction in farm Animals. Hafez B, Hafez ESE. South Carolina, editor. Baltimore: Lippincott Williams&Wilkins. Gizejewski Z, Wankowska M, Polkoswka J. 2002. Seasonal changes in the dimensions of red deer (Cervus elaphus) spermatozoa [abstrak]. Proc. 3rd World Conf Ungulates. New Zealand 89. Gizejewski Z. 2004. Effect of season on characteristics of red deer / Cervus elaphus L. / semen collected using modified artificial vagina. Biol Reprod 4: 51-66. Gizejewski Z, Soderquist L, Rodriguez-Martinez H. 2010. Genital and sperm characteristic of wild, free ranging red deer stags (Cervus elaphus L) hunted in different regions of Poland. Wildl Biol Pract 6: 81-94. Goeritz F, Quest M, Wagener A, Fassbender M, Broich A, Hildebrandt TB, Hofmann RR, Blottner S. 2003. Seasonal timing of sperm production in roe deer: interrelationship among changes in ejaculate parameters and function of testis accessory glands. Theriogenology 59: 1487-1505. Gomendio M, Cassinello J, Roldan ERS. 2000. A comaparative study of ejaculate traits in three endangered ungulates with different levels of inbreeding: fluctuating asymmetry as an indicator of reproductive and genetic stress. Proc R Soc Lond B 267: 875-882. Handarini R, Nalley WMM, Semiasi G, Agungpriyono S, Subandriyo, Purwantara B. Toelihere MR. 2004. Penentuan masa aktif reproduksi rusa timor jantan (Cervus timorensis) berdasarkan kualitas semen dan tahap pertumbuhan ranggahnya. Di dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Optek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional; Bogor: 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan. Handarini R. 2006. Dinamika Aktivitas Reproduksi Berkaitan Dengan Tahap Pertumbuhan Ranggah Rusa Timor (Cervus timorensis) Jantan Dewasa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Handarini R, Nalley WM. 2008. Profil hormone testosteron rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Med Konserv 11: 1-7. Hermes R, Hildebrandt T, Portas TJ, Göritz F, Bryant BR, Kretzschmar P, Walzer C, Schaffer N, Ladds P, Blottner S. 2006. Testis and epididymis ultrasonography and fine-needle biopsy in the rhinoceros for tumor and fertility diagnosis [abstrak]. Di dalam: European Association of Zoo and Wildlife Veterinarians (EAZWV) 6th scientific meeting; Budapest, 24-28 Mei 2006.
164
Hess RA. 1990. Quantitative and qualitative characteristics of the stages and transitions in the cycle of the rat seminiferous epithelium: light microscopic obsevations of perfusion-fixed and plastic-embedded testis. Biol Reprod 43: 525-542. Hurtado-Gonzalez JL, Bodmer RE. 2006. Reproductive biology of female Amazonian brocket deer in northeastern Peru. Eur J Wildl Res 52: 171-177. Johnson L, Varner DD, Roberts ME, Smith TL, Keillor GE, Sctruchfield WL. 2000. Eficiency of spermatogenesis: a comparative approach. Anim Reprod Sci 60-61: 471-480. Kondracki S, Wysokinska A, Banaszewska D, Iwanina M. 2007. Application of spermiogram classification for evaluation of the semen morphology of a boar or a group of boars (in Polish). Sci Ann Pol Soc Anim Prod 1: 79-89. Kwan PWL. 2002. Histology of the male reproductive system. [terhubung berkala]. http://ocw.tufts.edu/data/4/532443.pdf [24 Februari 2010]. Leite FLG, Rego de Paula TA, Pinto da Matta SL, Fonseca CC, David das Neves MT. 2006. Cycle and duration of the seminiferous epithelium in puma (Puma concolor). Anim Reprod Sci 91: 307-316. Loudon ASI, Curlewis JD. 1988. Cycles of antler and testicular growth in an aseasional tropical deer (Axis axis). J Reprod Fert 83: 729-738. Malo AF, Roldan ERS, Garde JJ, Soler AJ, Vicente J, Gortazar C, Gomendio M. 2009. What does testosterone do for red deer males? Proc R Soc B 276: 971-980. McCool CJ, Entwistle KW, Townsend MP. 1988. The cycle of the seminiferous epithelium in the australian swamp buffalo. Theriogenology 31: 399-417. McCool CJ. 1989. The cycle of the seminiferous epithelium in Bali cattle (Bos sondaicus). J Reprod Fert 87: 327-330. Mishra HR, Wemmer C. 1987. The comparative breeding ecology of four cervids in Royal Chitwan National Park. Di dalam Wemmer C, editor. Biology and management of the Cervidae. Washington:Smithsonian Institutional Pr. Molnar A, Sarlos P, Fancsi G, Ratky J, Nagy SZ, Kovacs A. 2001. A sperm tail defect associated with infertility in goat-case report. Acta Vet Hungarica 49: 132-140. Monfort SL, Brown JL, Bush M, Wood TC, Wemmer C, Vargas A, Williamson LR, Montali RJ, Wildt DE. 1993. Circannual inter-relationship among reproductive hormones, gross morphometry, behavior, ejaculate characteristic and testicular histology in eld’s deer stags (Cervus eldi thamin). J Reprod Fert 98: 471-480.
165
Moonjit P, Suwanpugdee A. 2007. Histological structure of testis and ductus epididymis of rusa deer (Cervus timorensis). Kasetsart J Nat Sci 41: 86-90. Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue & Cell 36: 439-446. Nalley WMM, Handarini R, Arifiantini RI, Yusuf TL, Purwantara B, Semiadi G. 2012. Deer frozen semen quality in tris sucrose and tris glucose extender with different glycerol concentrations. Med Pet 34: 196-200. Neves ES, Chiarini-Garcia H, França LR. 2002. Comparative testis morphometry and seminiferous epithelium cycle length in donkeys and mules. Biol Reprod 67: 247-255. Okano, T, Murase T, Tsubota T. 2004. Electroejaculation and semen cryopreservation on free-ranging Japanese black bears (Ursus thibetanus japonicas). J Vet Med Sci 66: 1371-1376. Olugbenga OM, Olukole SG, Adeoye AT, Adejoke AD. 2011. Semen characteristic and sperm morphological studies of the west african dwarf buck treated with aloe vera gel extract. Iran J Rep Med 9: 83-88. Onyango DW, Wango EO, Otiang’a-Owiti GE, Oduor-Okelo D. Werner G. 2000. Morphological characterization of the seminiferous cycle in goat (Capra hircus): a histological and ultrastructural study. Ann Anat 182: 235-241. Paula TAR, Chiarini-Garcia H, Franca LR. 1999. Seminiferous epithelium cycle and its duration in capybaras (Hydrochoerus hydrochaeris). Tissue Cell 31: 327-334. Pei KJ, Foresman K, Liu BT, Hong LH, Yu JYL. 2009. Testosterone levels in male Formosan Revee’s muntjac: uncoupling of the reproduction and antler cycles. Zool Stud 48: 120-124. Prasetyaningtyas WE. 2005. Kajian Karakteristik Semen dan Morfofungsi Spermatozoa Kancil (Tragulus javanicus) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Prasetyaningtyas WE, Setiadi MA, Fahrudin M, Haron AW, Agungpriyono S. 2006. Karakteristik dan komposisi semen kancil (Tragulus javanicus) yang dikoleksi dengan elektroejakulator. J Anat Ind 01: 30-37. Preston BT, Stevenson IR, Lincoln GA, Monfort SL, Pilkington JG, Wilson K. 2011. Testis size, testosterone production and reproductive behaviour in natural mammalian mating system. J Anim Ecol 1-10. Rizal M. 2005. Fertilitas spermatozoa ejakulat dan epididimis domba garut hasil kriopreservasi menggunakan modifikasi pengencer Tris dengan berbagai krioprotektan dan antioksidan. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
166
Roth TL, Stoops MA, Atkinson MW, Blumer ES, Campbell MK, Cameron KN, Citino SB, Maas AK. 2005. Semen collection in rhinoceroses (Rhinoceros unicornis, Diceros bicornis, Ceratotherium simum) by electroejaculation with a uniquely design probe. J Zoo Wildl Med 36: 617-627. Scheon J, Georitz F, Streich J, Bloottner S. 2004: Histological organization of roe deer testis throughout the seasonal cycle: variable and constant component of tubular and interstitial compartment. Anat Embryol 208: 151-159. Schwartz CC. 1992. Reproductive biology of north american moose. Alces 28: 165-173. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed ke-2. Washington: Current Conception. Sontakke SD, Reddy AP, Umapathy G, Shivaji S. 2007. Anasthesia induced by administration of xylazine hydrochloride alone or in combination with ketamin hydrochloride and reversal by administration of yohimbine hydrochloride in captive axis deer (Axis axis). Am J Vet Res 68: 1-8. Thundathil J, Palasz AT, Barth AD, Mapletoft RJ. 2002. Plasma membrane and acrosomal integrity in bovine spermatozoa with the knobbed acrosome defect. Thereogenology 43:1301-1316. Umapathy G, Sontakke SD, Reddy A, Shivaji S. 2007. Seasonal variation in semen characteristics, semen cryopreservation. Estrus synchronization, and successful artificial insemination in the spotted deer (Axis axis). Theriogenology 67: 1371-1378. Willard ST, Randel RD. 2002. Testicular morphology and sperm content relative to age, antler status and season in axis deer stags (Axis axis). Small Rumin 45: 51-60. Wistuba J, Schrod A, Greve B, Hodges KJ, Aslam H, et al. 2003. Organization of the seminiferous epithelium in primates: Relationship to spermatogenic efficiency, phylogeny and mating system. Biol Reprod 69: 582–591. Wistuba J, Stukenborg JB, Luetjens CM. 2007. Mammalian spermatogenesis. Funct Dev Embryol 1: 99-117. Wysokinska A. Kondracki S, Banaszweska D. 2009. Morphometrical characteristics of spermatozoa in polish landrace boars with regard to the number of spermatozoa in an ejaculate. Reprod Biol 9: 271-282. Yudi, Yusuf TL, Purwantara B, Agil M, Wresdiyati T, Sajuthi D, Aditya, Manangsang J, Sudarwati R, Hastuti YT. 2010. Morfologi dan biometri spermatozoa anoa (Bubalus Sp) yang diwarnai dengan pewarna William’s dan eosin-nigrosin. Med Pet 33: 88-94.
PEMBAHASAN UMUM Muncak termasuk ke dalam famili Cervidae yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia dengan status dilindungi. Populasi muncak yang terus menurun
di
habitat
asli
perlu
dicegah
dengan
melakukan
upaya
pengembangbiakan muncak di penangkaran. Muncak jantan memiliki ranggah sebagai karakteristik seksual sekunder seperti yang ditemukan pada sebagian besar spesies Cervidae lainnya. Pertumbuhan ranggah terbagi atas periode ranggah keras (RK), casting (C), dan ranggah velvet (RV). Pola pertumbuhan ranggah selama satu siklus ranggah bervariasi di antara spesies Cervidae termasuk muncak. Variasi tersebut
diperlihatkan dengan perbedaan aktivitas
reproduksi selama satu siklus ranggah. Sejauh mana perbedaan aktivitas reproduksi antara muncak jantan dan spesies Cervidae lainnya, belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik reproduksi muncak jantan yang dapat digunakan sebagai
bahan
acuan
dalam
manajemen
pemeliharaan
dan
program
pengembangbiakan muncak di penangkaran. Keberhasilan pengembangbiakan muncak yang dilakukan secara alami maupun dengan penerapan teknologi reproduksi, diharapkan dapat meningkatkan populasi muncak dan dapat mengubah status perlindungannya menjadi satwa yang tidak dilindungi, serta memberi peluang untuk dibudidayakan. Informasi awal yang penting diketahui terkait karakteristik reproduksi muncak jantan adalah anatomi organ reproduksi. Secara anatomi, organ reproduksi pada spesies ruminansia kecil termasuk muncak memiliki ciri khas yang berhubungan erat dengan fungsi reproduksinya. Puncak aktivitas reproduksi pada Cervidae jantan yang melibatkan fungsi organ reproduksi berlangsung pada periode RK, dan mengalami penurunan pada periode C dan RV. Oleh karena itu, pemilihan periode RK untuk menampilkan karakteristik anatomi organ reproduksi pada muncak sangat sesuai, karena pada periode tersebut diduga aktivitas reproduksi muncak berlangsung secara optimal. Namun demikian, kajian anatomi organ reproduksi muncak pada periode ranggah velvet masih perlu dilakukan, sehingga dapat diketahui dengan jelas sejauh mana perbedaan morfofungsi organ reproduksi pada kedua periode ranggah tersebut. Karakteristik organ reproduksi muncak ditandai dengan ukuran testis yang relatif kecil berbentuk bulat lonjong dengan panjang 5.01 cm, lebar 2.45 cm,
168
dan lingkar skrotum 15.98 cm. Ukuran tersebut lebih kecil dari pada rusa timor dan domba. Bobot testis muncak (18.82 g) jauh lebih ringan dibandingkan bobot testis
domba
(250-300
g),
dan
testis
rusa
timor
pada
periode
RK
(102.16-114.06 g). Perbedaan morfometri testis pada muncak, domba, dan rusa timor berkorelasi erat dengan aktivitas spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa. Domba garut dan rusa timor dengan ukuran testis yang lebih besar menghasilkan spermatozoa dengan konsentrasi lebih tinggi, berturut-turut adalah 3.954.05 ± 743.21 juta/ml (Rizal et al. 2003) dan 1055.95 ± 141.13 juta/ml (Handarini 2006), sedangkan konsentrasi spermatozoa muncak tertinggi yang ditemukan pada periode RK adalah 506.25 ± 61.87 juta/ml. Penis muncak tergolong fibroelastik, dengan panjang 30.50 cm, memiliki glans penis berukuran kecil dan prosesus uretralis yang pendek. Bentuk penis yang demikian adalah sebagai penyesuaian dengan bentuk saluran reproduksi pada muncak betina. Karakteristik kelenjar asesoris sebagai kelenjar penghasil plasma semen pada muncak adalah tidak ditemukannya kelenjar prostat secara makroskopis. Kelenjar tersebut berbentuk pars diseminata yang hanya dapat diamati secara mikroskopis di sekeliling uretra pars pelvina. Selain itu, muncak memiliki kelenjar bulbouretralis relatif besar yang mirip dengan revees muntjak (Chapman dan Harris 1991). Aktivitas kelenjar asesoris kelamin dalam menghasilkan plasma semen diduga meningkat selama periode RK, dan hal tersebut telah dilaporkan pada rusa timor dengan kualitas semen terbaik ditemukan pada periode RK dibandingkan periode C dan RV. Perbedaan aktivitas kelenjar selama periode pertumbuhan ranggah pada rusa berpola reproduksi seasonal dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi testosteron selama satu siklus ranggah. Namun hal tersebut belum dapat dibuktikan pada muncak, karena kelenjar asesoris yang digunakan untuk mengetahui aktivitas kelenjar di tingkat jaringan hanya terbatas pada periode RK. Peran testosteron sangat penting dalam keberlangsungan aktivitas reproduksi pada hewan jantan termasuk muncak. Sintesis testosteron oleh sel Leydig testis terjadi dibawah kontrol hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus (GnRH) dan hipofise (LH). Adanya keterkaitan antara komponen poros hipotalamus-hipofise (pituitary)-gonad (poros HPG) pada muncak dan spesies Cervidae jantan lainnya, dapat diamati dari pola pertumbuhan ranggah, spermatogenesis, produksi spermatozoa dan kualitas semen, serta pemunculan perilaku spesifik. Aktivitas poros HPG dalam mengatur
169
fungsi reproduksi pada Cervidae berbeda selama periode RK, C, dan RV. Beberapa faktor lingkungan seperti letak geografis, iklim, periode pencahayaan, temperatur, dan ketersediaan pakan di alam secara langsung mempengaruhi aktivitas poros HPG tersebut. Fenomena ini telah dilaporkan pada sebagian besar spesies Cervidae jantan yang memiliki pola reproduksi musiman (seasonal), dan beberapa spesies dengan pola reproduksi tidak bergantung bermusim (aseasonal). Keterkaitan antara poros HPG, profil metabolit testosteron, dan umur muncak selama periode pertumbuhan ranggah ditemukan pada penelitian ini. Profil testosteron pada kedua individu muncak jantan (♂#2 dan ♂#3) berbeda yang secara jelas diperlihatkan dengan ketidak-sinkronan siklus ranggah, baik saat terjadinya casting, awal memasuki periode RV, dan RK, maupun durasi ketiga periode ranggah tersebut. Muncak dewasa (♂#2) memiliki durasi satu siklus ranggah lebih lama (459 hari) dibandingkan muncak dewasa muda (♂#3), yaitu 319 hari ketika ♂#3 tersebut berumur 3 tahun. Peningkatan umur ♂#3 pada siklus ranggah berikutnya (siklus ranggah II) berdampak terhadap semakin panjangnya durasi siklus ranggahnya, yaitu 485 hari. Jelas terlihat bahwa pada kondisi dimana umur muncak semakin dewasa (>3 tahun), durasi satu siklus ranggahnya berlangsung melebihi 12 bulan (setahun). Kondisi tersebut berbeda dengan spesies rusa dengan pola reproduksi yang bergantung musim (seasonal), dimana satu siklus ranggah berlangsung selama setahun yang dikenal dengan annual antler cycle. Pada spesies tersebut konsentrasi testosteron selama satu siklus ranggah sangat dipengaruhi oleh faktor photoperiod. Konsentrasi testosteron tertinggi ditemukan pada saat intensitas pencahayaan rendah, dan sebaliknya konsentrasi testosteron menurun saat intensitas pencahayaan tinggi. Akibatnya siklus ranggah berlangsung dalam setahun dan pertumbuhan ranggah pada rusa jantan terjadi secara serentak (sinkron). Pola pertumbuhan ranggah terkait konsentrasi testosteron pada muncak yang ditemukan pada penelitian ini mirip dengan pola pertumbuhan ranggah axis deer (Loudon dan Curlewis 1988), dan red brocket deer (Versiani et al. 2009). Faktor lingkungan seperti musim diduga tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi siklus ranggah tahunan pada beberapa spesies rusa tropis, termasuk muncak. Pencahayaan yang diterima Cervidae di wilayah tropis sepanjang tahun tidak berpengaruh terhadap aktivitas kelenjar pineal untuk menghasilkan melatonin
170
yang konsentrasinya berfluktuasi di wilayah temperate. Melatonin secara langsung mempengaruhi aktivitas poros HPG pada spesies Cervidae di wilayah tersebut. Di wilayah tropis, adanya musim kemarau dan penghujan yang berlangsung dalam setahun dan terkait dengan ketersediaan pakan di alam (Mishra dan Wemmer 1987), ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan ranggah dan aktivitas reproduksi serta fertilitas pada beberapa spesies rusa tropik seperti rusa timor (Handarini 2006), dan chital deer (Umapathy et al. 2007). Namun faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi muncak penelitian yang tetap fertil selama periode ranggah. Faktor lain yang diduga sebagai penyebab ketidak-sinkronan siklus ranggah pada muncak adalah perbedaan status dominasi antara kedua muncak yang dipelihara di kandang penelitian. Adanya hubungan antara status dominasi, profil metabolit testosteron dan pola pertumbuhan ranggah pada muncak jantan masih memerlukan kajian mendalam, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap muncak dengan jumlah individu yang lebih besar yang berada di areal pemeliharaan yang lebih luas. Berbeda dengan muncak, sinkronisasi siklus ranggah dilaporkan pada formosan muntjak (Pei et al. 2009). Sejumlah formosan muntjak jantan mengalami casting RK dalam waktu yang relatif berdekatan dan menjalani periode RV selama 80.2 ± 17.3 hari. Shedding dan awal periode RK juga tejadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Penyebab perbedaan pola pertumbuhan ranggah antara muncak penelitian dan formosan muntjak, belum dapat diketahui. Namun Pei et al. (2009) menyatakan bahwa ketidak-sinkronan siklus ranggah pada beberapa spesies Cervidae jantan diakibatkan oleh faktor stres yang berasal dari lingkungan seperti curah hujan, sumber pakan, dan temperatur. Namun tidak ada penjelasan seberapa besar pengaruh perbedaan status sosial (dominan-subordinan) terhadap pola pertumbuhan dan ketidak-sinkronan siklus ranggah. Perbedaan profil testosteron berdasarkan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) pada kedua muncak pada ketiga periode ranggah yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhan ranggah, secara statistik dapat dibuktikan. Muncak ♂#2 memperlihatkan fluktuasi konsentrasi iT selama satu siklus ranggah. Pada periode RK, konsentrasi iT berada pada level tertinggi dibandingkan periode C (p = 0.003) dan RV (p = 0.02). Rendahnya konsentrasi iT selama periode C dan RV berkorelasi negatif dengan laju pertumbuhan
171
ranggah velvet, dimana secara statistik korelasi tersebut juga berbeda sangat nyata (p = 0.013). Profil metabolit testosteron dan korelasi antara laju pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT yang berbeda diperlihatkan oleh ♂#3 selama muncak tersebut berada pada siklus ranggah I. Perbedaan tersebut diperlihatkan dengan rendahnya konsentrasi iT pada periode RK1 yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada periode RK2 (p = 0.0003), dan periode RK3 (p = 0.003), tetapi tidak berbeda dengan periode RV1 (p = 0.3). Perbedaan tersebut diperkuat dengan korelasi positif antara laju pertumbuhan ranggah velvet dan konsentrasi iT. Korelasi positif berdampak terhadap mineralisasi ranggah yang berlangsung lebih cepat dan durasi periode RV1 yang lebih singkat dibandingkan periode RV2 pada siklus ranggah II. Perubahan profil metabolit testosteron pada ♂#3 terjadi pada saat muncak tersebut menjalani siklus ranggah II. Perubahan tersebut terjadi bersamaan dengan peningkatan umur, postur tubuh, dan ukuran ranggah, serta diduga perubahan status dominasi. Namun dugaan perubahan status dominasi pada ♂#3 setelah kematian ♂#2 perlu dikaji lebih lanjut dengan kehadiran individu muncak jantan lainnya. Pemunculan perilaku spesifik seperti perilaku percumbuan dan perilaku agresif juga terjadi dibawah pengaruh testosteron. Kedua tipe perilaku tersebut mayoritas ditemukan pada periode RK, dimana pada periode RK konsentrasi testosteron berada pada level tertinggi dibandingkan periode C dan RV. Muncak ♂#2 lebih sering menunjukkan perilaku agresif dibandingkan ♂#3. Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan dominasi ♂#2 terhadap ♂#3 yang didukung dengan lebih tingginya konsentrasi iT selama periode RK pada muncak tersebut. Peran testosteron terhadap aktivitas spermatogenesis selama periode pertumbuhan
ranggah
ditemukan
pada
penelitian
ini.
Peran
tersebut
diperlihatkan selama berlangsungnya spermiogenesis yang ditandai dengan ditemukannya perkembangan sistem akrosom spermatid pada periode C dan RV, walaupun aktivitasnya sedikit menurun. Diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa selama periode C dan RV tersebut dapat terjadi karena testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig testis masih cukup tinggi untuk mendukung spermiogenesis. Menurut Pineda (2003), aktivitas spermiogenesis dapat berlangsung apabila konsentrasi testosteron di intra testikular lebih tinggi dibandingkan di sirkulasi perifer. Pernyataan tersebut terbukti dengan masih ditemukannya konsentrasi iT dalam jumlah yang cukup tinggi selama periode C
172
dan RV pada kedua muncak. Kondisi berbeda dilaporkan pada rusa timor dan spesies rusa lainnya, dimana konsentrasi testosteron selama periode C dan RV mencapai level basal bahkan tidak terdeteksi. Kondisi tersebut berefek terhadap penurunan aktivitas spermatogenesis dan jumlah spermatozoa yang dihasilkan. Aktivitas spermatogenesis yang masih berlangsung dibawah kontrol testosteron dalam satu siklus ranggah pada muncak dibuktikan dengan ditemukannya spermatozoa motil pada semen muncak yang dikoleksi pada periode C (288.75 ± 37.12 juta/ml), dan RV (362.60 ± 17.68 juta/ml). Konsentrasi spermatozoa pada kedua periode tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan konsentrasi pada periode RK (506.25 ± 61.87 juta/ml).
Sejauh mana peningkatan konsentrasi
spermatozoa dan parameter spermatozoa lainnya`(persentase hidup dan abnormalitas) pada ♂#3 setelah kematian ♂#2, tidak diketahui. Hal ini disebabkan keterbatasan koleksi semen yang dilakukan hanya sekali per periode ranggah dari siklus ranggah I pada kedua muncak. Karakteristik reproduksi muncak yang tetap menghasilkan semen dan spermatozoa motil selama periode C dan RV, memperkuat pernyataan HurtadoGonzales dan Bodmer (2006), bahwa Cervidae dengan pola reproduksi aseasonal seperti amazonian brocket deer tetap menghasilkan ejakulat berikut spermatozoa, baik pada periode RK maupun RV. Kondisi serupa juga dilaporkan pada formosan muntjak, dimana spermatozoa motil masih ditemukan ketika muncak tersebut berada pada periode RV (Liu et al. 2004), di saat konsentrasi metabolit testosteron mencapai level terendah (Pei et al. 2009). Namun Pei et al. (2009) belum dapat memastikan keberadaan faktor lain (kemungkinan prolaktin dan hormon lainnya) yang mendukung spermatogenesis ketika konsentrasi testosteron rendah pada periode RV.
Kondisi berbeda dilaporkan pada rusa
timor jantan (Handarini et al. 2004; Handarini dan Nalley 2008), bahwa konsentrasi basal testosteron plasma pada periode RV berpengaruh terhadap penurunan aktivitas spermatogenesis di tubuli seminiferi testis, rendahnya konsentrasi spermatozoa dan tingginya abnormalitas spermatozoa. Dari pembahasan tersebut di atas dapat disampaikan bahwa aktivitas reproduksi muncak jantan berdasarkan data profil metabolit testosteron, spermatogenesis dan kualitas semen selama periode pertumbuhan ranggah adalah tidak bergantung musim (aseasonal). Aktivitas reproduksi muncak jantan tetap berlangsung walaupun muncak berada pada periode C dan RV. Pernyataan tersebut diperlihatkan dengan adanya keterkaitan dan paralelnya
173
data yang dihasilkan dari penelitian II, III, dan IV.
Aktivitas reproduksi muncak
jantan tersebut menyerupai aktivitas reproduksi axis deer di wilayah tropis (Loudon dan Curlewis 1988), pampas deer (Pereira et al. 2005), red brocket deer (Versiani
et
al.
2009)
dan
formosan
muntjak
di
wilayah
sub
tropis
(Pei et al. 2009). Namun aktivitas tersebut berbeda dengan rusa timor yang berasal dari wilayah tropis dengan periode aktif reproduksi berlangsung pada periode ranggah keras (Handarini 2006). Ditemukannya karakteristik reproduksi muncak dengan pola reproduksi aseasonal, memberikan harapan terlaksananya program pengembangbiakan muncak di Indonesia. Keberhasilan program tersebut diharapkan dapat mengubah status perlindungan muncak yang selama ini masih ditetapkan sebagai satwa liar yang dilindungi undang-undang.
175
SIMPULAN DAN SARAN UMUM Simpulan 1. Terdapat
keterkaitan
antara
profil
metabolit
testosteron,
aktivitas
spermatogenesis dan kualitas semen selama periode pertumbuhan ranggah. 2. Aktivitas
reproduksi
muncak
jantan
berlangsung
selama
periode
pertumbuhan ranggah dengan pola reproduksi yang tidak bergantung musim (aseasonal). 3. Pola reproduksi muncak yang aseasonal, membuka peluang untuk dilaksanakannya program pengembangbiakan muncak di Indonesia.
Saran Kegiatan terkait yang perlu dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh pada penelitian ini, adalah: 1. Analisis
aktivitas
kelenjar
adrenal
muncak
melalui
pengukuran
konsentrasi hormon stres selama periode pertumbuhan ranggah dan kaitannya dengan fertilitas muncak jantan. 2. Analisis komposisi plasma semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah yang bermanfaat dalam pemilihan bahan pengencer dan preservasi semen muncak yang tepat untuk aplikasi inseminasi buatan.
176
177
DAFTAR PUSTAKA Agca Y, Crister JK. 2002. Cryopreservation of spermatozoa in assisted reproduction. Semin Reprod Med 20: 15-23. Agil M. 2007. Reproductive Biology of Sumatran Rhinocheros, Dicerorhinus sumatrensis (Fischer 1814). [disertasi]. Bogor: Postgraduate School Bogor Agricultural University. Ake-Lopez J, Cavazos-Arizpe E, Magana-Monforte JG. 2010. Effect of age and postmortem time on some white-tailed deer (Odocoileus virginianus texanus) epididymal sperm characteristics and response of cryopreservation. Am. J. Anim Vet Sci 5: 183-186. Almeida FFL, Leal MC, Franςa LR. 2006. Testis morphomentry, duration of spermatogenesis, and spermatogenic efficiency in the wild boar (Sus scrofa scrofa). Biol Reprod 75: 792-799. Amaral RS, Rosas FCW, Viau P, d’Affonsêca N, Silva VMF, Oliveira CA. 2009. Noninvasive monitoring of androgens in male Amazonian manatee (Trichechus inunguis): biologic validation. J Zoo and Wildlife Med 40: 458-465. Andrabi SMH, Maxwell WMC. 2007. A review on reproductive biotechnologies for conservation of endangered mammalian species [ulas balik]. Anim Reprod Sci 99: 223-243. Asher GW, Berg DK, Evans G. 2000. Storage of semen and artificial insemination in deer. Anim Reprod Sci 62: 195-211. Barrette C. 2008. Barking Deer or Muntjak (Muntiacus muntjac Zimmermann, 1780). [terhubung berkala] http://www.wii.gov.in/envis/ungulatesofindia/ mizoram/htm. [3 Juli 2008]. Bartos L, Schams D, Bubenik GA. 2009. Testosterone, but not IGF-1, prolactine or cortisol, may serve as antler-stimulating hormone in red deer stags (Cervus elaphus). Bone 44: 691-698. Blottner S, Hingst O, Meyer HHD. 1996. Seasonal spermatogenesis and testosterone production in roe deer (Capreolus capreolus). J Reprod Fert 108: 299-305. Braunstein GD. 1997. Testes. Di dalam: Basic&Clinical Endocrinology. Greenspan FS, Strewler GJ. Stamford, editor. Stamford: Appleton&Lange. Bremner WJ, Millar MR, Sharpe RM, Saunders PTK. 1994. Immunohistochemical localization of androgen receptors in the rat testis: evidence for stagedependent expression and regulation by androgens. Endocrinology 135: 1227-1234.
178
Busso JM, Ponzio MF, Dabbene V, de Cunneo MF, Ruiz RD. 2004. Assessment of urine and fecal testosterone metabolite excretion in Chincilla lanigera males. Anim. Reprod. Sci 86: 339-351. Chapman NG. 1997. Upper canine Muntiacus (Cervidae) with particular reference to M. reevesi. Z. Saugetierk. Suppl II: 32-36. Chapman NG, Harris S. 1991. Evidence that seasonal antler cycle of adult Reeves muntjak (Muntiacus reevesi) is not associated with reproductive quiescence. J Reprod. Fert 92: 361-369. Colville CT, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technician. Missouri: Mosby. Comizzoli P, Mermillod P, Mauget R. 2000. Reproductive biotechnologies for endangered mammalian species. Reprod Nutr Dev 40: 493-504. Constantinescu GM. 2007. Anatomy of Reproductive Organ. Di dalam Comparative Reproductive Biology. Schatten H, Constantinescu GM. Iowa, editor. Iowa: Blackwell Publish. Densie O. 1970. Muntjac (Muntiacus sp.). Brit Deer Soc Pub 2: 3-20. Dloniak SM, French JA, Place NJ, Weldele ML, Glickman SE, Holekamp KE. 2004. Non-invasive monitoring of fecal androgens in spotted hyenas (Crocuta-crocuta). General and Comp Endocrinol 135: 51-61. Dradjat AS. 2002. Inseminasi Buatan Pada Rusa Indonesia. [terhubung berkala] http://ntb.litbang.deptan. go.id/2002 /NP/ inseminasibuatan.doc. [12 September 2008]. Dreef. HC, van Esch E, de Rijk EPCT. 2007. Spermatogenesis in cynomolgus monkey (Macaca fascicularis): a practical guide for routine morphological staging. Toxicol Pathol 35: 395-404. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 1996. Text Book of Veterinary Anatomy. Ed ke-2. Philadelphia: WB. Saunders. Fennessy PF, Suttie JM. 1985. Antler Growth: Nutritional and Endocrine Factors. Di dalam Biology of Deer Production. Fennessy PF, Drew KR. The Royal Society of New Zealand, editor. New Zealand Bull 22: 239-250. Franςa LR, Becker-Silva SC, Chiarini-Garcia H. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue & Cell 31: 274-280. Garner DL. Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. Di dalam Reproduction in farm Animals. Hafez B, Hafez ESE. South Carolina, editor. Baltimore: Lippincott Williams&Wilkins.
179
Ganswindt A, Rasmussen HB, Heistermann M, Hodges JK. 2005. The sexuality active state of free-ranging male African elephants (Loxodonta Africana): defining musth and non-musth using endocrinology, physical signals and behavior. Hormones and Behav 47: 83-91. Garcia-Gil N, Pinart E, Sancho S, Badia E, Bassols J, Kadar E, Briz M, Bonet S. 2002. The cycle of seminiferous epithelium in landrace boar. Anim. Reprod. Sci 73: 211-225. Gizejewski Z. 2004. Effect of season on characteristics of red deer / Cervus elaphus L. / semen collected using modified artificial vagina. Biol Reprod 4: 51-66. Hamasaki SI, Yamauchi K, Ohki T, Murakami M, Takahara Y, Takeuchi Y, Mori Y. 2001. Comparison of various reproductive status in sika deer (Cervus nippon) using fecal steroid analysis. J Vet Med Sci 63: 195-198. Handarini R, Nalley WMM, Semiasi G, Agungpriyono S, Subandriyo, Purwantara B. Toelihere MR. 2004. Penentuan masa aktif reproduksi rusa timor jantan (Cervus timorensis) berdasarkan kualitas semen dan tahap pertumbuhan ranggahnya. Di dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Optek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional; Bogor: 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan. Handarini R, Nalley WM. 2008. Profil hormone testosteron rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Med Konserv 11: 1-7. Haron AW, Yong M, Zainuddin ZZ. 1999. Evaluation of semen collection by electroejaculation from captive lesser mouse deer malay chevrotain (Tragulus javanicus). J Zoo and Wild Med 31: 164-167. Heistermann M, Agil M, Büthe A, Hodges JK. 1998. Metabolism and excretion of oestradiol-17β and progesterone in the Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). Anim Reprod Sci 53: 157-172. Heistermann M. 2010. Non-invasive monitoring of endocrine status in laboratory primates: methods, guidelines and applications. Adv Sci Res 1: 1-9. High JC, Bowen G. 1991. Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with frozen-thawed wapiti semen. J Reprod. Fert 93: 119-123. Hikim AS, Swerdloff RS, Wang C. 2005. The Testis. Di dalam Endocrinology: Basic and Clinical Principles. Melmed S, Conn PM. New Jersey, editor. New Jersey: Humana Pr. Hill MC, Anway MD, Zirkin BR, Brown TR. 2004. Intratesticular androgen levels, androgen receptor localization and androgen receptor expression in adult rat sertoli cells. Biol Reprod 71: 1348-1358. Hodges JK, Heistermann M. 2003. Field Endicrinology: Monitoring Hormonal Changes in Free-ranging Primates. Di dalam Field and Laboratory Methods in Primatology, A Practical Guide, Setchell JM, Curtis DJ. United Kingdom, editor. Cambridge: Cambridge Univ Pr.
180
Hunt KE, Wasser SK. 2003. Effect of long-term preservation methods on fecal glucocorticoid concentration of grizzly bear and African elephant. Phys Biochem Zool 76: 918-928. Hurtado-Gonzalez JL, Bodmer RE. 2006. Reproductive biology of female Amazonian brocket deer in northeastern Peru. Eur J Wildl Res52:171177. [IUCN]. 2011. Muntiacus muntjac. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1 [terhubung berkala] www.iucnredlist.org [22 September 2011]. Jacobson HA, Bearden HJ, Whitehouse DB. 1989. Artificial insemination trials with white-tailed deer. J Wildl Manage 53: 224-227. Jackson A. 2002. Muntiacus muntjak. [terhubung berkala] http://animdiversity/ Muntiacusmuntjac.html [3 Agustus 2008]. Johnson L. 1978. Scanning electron micrograph of testicular parenchyma in stallion. Di dalam Pathway to Pregnancy and Parturition. Senger PL. Washington, editor. Washington: Current Conception. Juneja R, Koide SS. 2000. Molecular Biology of Reproduction. Di dalam Reproduction in Farm Animals. Hafez B, Hafez ESE. South Carolina, editor. Baltimore: Lippincott Williams&Wilkins. Khan MZ, Altmann J, Isani SS, Yu J. 2002. A matter of time: evaluating the storage of fecal samples for steroid analysis. Gen Comp Endocrinol 128: 57-64. Koolman J dan Röhm KH. 2001. Biosintesis Hormon Steroid. Di dalam Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Wanandi SI. Jakarta ,penterjemah. Jakarta: Hipokrates. Kusuda S, Morikaku K, Kawada K, Ishiwada K, Doi O. 2007. Excretion pattern of fecal progestagens, androgen and estrogens during pregnancy, parturition and postpartum in okapi (Okapia johnstoni). J Reprod Develop 53: 143-150. Li C, Suttie JM. 1994. Light microscopic studies of pedicle and early first antler development in red deer (Cervus elaphus). Anat Rec 239: 198-215. Lincoln GA. 1985. Seasonal breeding in deer. Bull Roy Soc 22: 165-179. Liu BT, Cheng CY, Chou MH, Liu SS. 2004. Annual changes of semen characteristic in the Formosan muntjak bucks. Di dalam: Proc. 11th AsianAustralasian Animal Production Congr. Malaysia, 2:467-469. Loudon ASI, Curlewis JD. 1988. Cycles of antler and testicular growth in an aseasional tropical deer (Axis axis). J Reprod Fert 83: 729-738.
181
Ma S, Wang Y, Xu L. 1986. Taxonomic and phylogenetic studies on the genus Muntiacus. Ac theriol Sin 3: 190-209. Madjig G, Millar MR, Saunders PTK. 1995. Immunolocalisation of androgen receptor to interstitial cells in fetal rat testes and to mesenchymal and epithelial cells of associated ducts. J Endocrinol 147: 285-293. Manandhar G, Sutovsky G. 2007. Comparative Histology and Subcelullar Structure of Mammalian Spermatogenesis and Spermatozoa. Di dalam Comparative Reproductive Biology. Schatten H, Constantinescu GM, editor. Iowa: Blckwell Publish. Martinez-Pastor F, Garcia-Macias V, Alvarez M, Herraez P, Anel P, de Paz P. 2005. Sperm subpopulations in Iberian red deer epididymal sperm and their changes through the cryopreservation process. Biol Reprod 72: 316-327. Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Prijono SN, Noerdjito M, editor. Cibinong: LIPI Pr. Mateo JM, Cavigelli SA. 2005. A validation of extraction methods for noninvasive sampling of glucocorticoids in Free-living ground squirrels. Physiol Biochem Zool 78: 1069-1084. Mauget R, Mauget C, Dubost G, Charron F. 2007. Non-invasive assessment of reproductive status in Chinese water deer (Hydroptes inermis): correlation with sexual behavior. Mamm Biol 72: 14-26. Meaden C, Chedrese PJ. 2009. Androgens-Molecular Basis and Related Disorders. Di dalam Reproductive Endocrinology, A Molecular Approach. Chedrese PJ. Saskatchewan, editor. New York: Springer. Mishra HR, Wemmer C. 1987. The comparative breeding ecology of four cervids in Royal Chitwan National Park.Di dalam Wemmer C, editor.Biology and management of the Cervidae. Washington:Smithsonian Institutional Pr. Monfort SL, Harvey E, Geurts L, Padilla L, Simmons HA, Williamson LR. 1995. Urinary 3α, 17β-androstanediol glucoronide is a measure of androgenic status in Eld’s deer stags (Cervus eldi thamin). Biol Reprod 53: 700-706. Morais RN, Mucciolo RG, Gomes MLF, Lacerda O, Moraes W, Moreira N, Graham LH, Swanson WF, Brown JL. 2002. Seasonal analysis of semen characteristics, serum testosterone and fecal androgens in the ocelot (Leopardus pardalis), margay (L. wiedii) and tigrina (L. tigrinus). Theriogenology 57: 2027-2041. Morato RG, Verreschi ITN, Guimaraes MABV, Cassaro K, Pessuti C, Barnabe RC. 2004. Seasonal variation in the endocrine-testicular function of captive jaguars (Panthera onca). Theriogenology 61: 1273-1281. Morrow CJ, Monfort SL. 1998. Ovarian activity in the scimitar-horned oryx (Oryx dammah) determined by faecal steroid analysis. Anim Reprod Sci 53: 191-207.
182
Morrow CJ, Penfold LM, Wolfe BA. 2009. Artificial insemination in deer and nondomestic bovids. Theriogenology 71: 149-165. Nakai M, Van Cleeff JK, Bahr JM. 2004. Stages and duration of spermatogenesis in the domestic ferret (Mustela putorius furo). Tissue & Cell 36: 439-446. Oli MK, Jacobson HA. 1995. Vocalizations of barking deer (Muntiacus muntjac) in Nepal. Mammalia 59: 179-186. Onyango DW, Wango EO, Otiang’a-Owiti GE, Oduor-Okelo D. Werner G. 2000. Morphological characterization of the seminiferous cycle in goat (Capra hircus): a histological and ultrastructural study. Ann Anat 182: 235-241. Patton ML, Swaisgood RR, Czekala NM, White AM, Fetter GA, Montagne JP, Rieches RG, Lance VA. 1999. Reproductive cycle length and pregnancy in the southern white rhinoceros (Ceratotherium simum simum) as determined by fecal pregnane analysis and observations of mating behavior. Zoo Biol 18: 111-127. Pei KJ, Foresman K, Liu BT, Hong LH, Yu JYL. 2009. Testosterone levels in male Formosan Revee’s muntjac: uncoupling of the reproduction and antler cycles. Zoological Studies 48: 120-124. Pereira RJ, Duarte JMB, Negrao JA. 2005. Seasonal changes in fecal testosterone concentrations and their relationship to the reproductive behavior, antler cycle and grouping patterns in free-ranging male pampas deer (Ozotoceros bezoarticus bezoarticus). Theriogenology 63: 2113-2125. Pesch S, Hoffmann B. 2007. Cryopreservation of spermatozoa in veterinary medicine. J Reprod. Endocrinol 4:101-105. Philips
WWA. 1984. Manual of mammals of Sri Lanka. Ed ke-2. Sri Lanka: Wildlife and nature protection society.
Pineda MH. 2003. Male Reproductive System. Di dalam: McDonald’s Veterinary Endocrinology and Reproduction. Pineda MH, Dooley MP, editor. Iowa: Iowa State Pr. Poole JH, Kasman LH, Ramsay E, Lasley BL. 1984. Musth and urinary testosterone concentration in the African elephant (Loxodonta africana). J Reprod Fertil 70: 255-260. [PHKA]. 2004. Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Jakarta: Sekretariat Dirjen PHKA Departemen Kehutanan. Price J, Allen S. 2004. Exploring the mechanisms regulating regeneration of deer antlers. Phil Trans R Soc Lond 359: 809-822. Price JS, Allen S, Faucheux C, Althnaian T, Mount JG. 2005. Deer antlers: a zoological curiosity or the key to understanding organ regeneration in mammals? [Ulas balik]. J Anat 207: 603-618.
183
Rajaram A. 2004. Deer antler: rapid growing calcified tissue. Resonance 50-63. Rizal M, Toelihere MR, Yusuf TL, Purwantara B, Situmorang P. 2003. Karakteristik penampilan reproduksi pejantan domba garut. J Ilmu Ternak Vet8:134-140. Rizal M. 2005. Fertilitas Spermatozoa Ejakulat dan Epididimis Domba Garut Hasil Kriopreservasi Menggunakan Modifikasi Pengencer Tris dengan Berbagai Krioprotektan dan Antioksidan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Russel LD, Ettlin RA, Sinha Hikim AP, Clegg ED. 1990. Histological and histopathological evaluation of the testis. Florida: Cache River Pr. Schwarzenberger F, Walzer C, Tomasova K, Vahala J, Meister J, Goodrowe KL, Zima J, Strauβ G, Lynch M. 1998. Faecal progesterone metabolite analysis for non-invasive monitoring of reproduction function in the white rhinoceros (Ceratotherium simum). Anim Reprod Sci 53: 173-190. Semiadi G. 1995. Biology of deer reproduction: a comparison between temperate and tropical species. Review Bull Peternakan 19: 9-8. Semiadi G. 1997. Karakteristik ranggah pada rusa timorensis (Cervus timorensis). Biota II: 82-87. Semiadi G, Subekti K, Sutama IK, Masy’ud B, Affandi L. 2003. Antler’s growth of endangered and endemic bawean deer (Axis kuhlii Muller and chlegel,1842). J Zool Treubia 33: 89-95. Sempere AJ, Boissin J. 1981. Relationship between antler development and plasma androgen concentration in adult roe deer (Capreolus capreolus). J Reprod Fert 62: 49-53. Sempere AJ. 1990. The annual antler cycle of the European roe deer (Capreolus capreolus) in relationship to the reproductive cycle. J Reprod Fert 396-415. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Ed ke-2. Washington: Current Conceptions. Shan L, Bardin CW, Hardy MP. 1997. Immunohistochemical analysis of androgen effects on androgen receptor expression in developing Leydig and Sertoli cells. Endocrinology 138: 1259-1266. Sutovsky P, Navara C, Schatten G. 1996. The fate of sperm mitochondria and the incorporation, conversion and dissasembly of the sperm tail structure during bovine fertilization in-vitro. Biol Reprod 55: 1195-1205. Suttie JM, Kay RNB. 1985. The influence of plane of winter nutrition on plasma concentration of prolactin and testosterone and their association with voluntary food intake in red deer stags (Cervus elaphus). Anim Reprod Sci 8: 247-258.
184
Suttie JM, Fennessy PF, Corson ID, Veenvliet BA, Littlejohn RP, Lapwood KR. 1992. Seasonal pattern of luteinizing hormone and testosterone pulsatile secretion in young adult red stags (Cervus elaphus) and its association with the antler cycle. J Reprod Fert 95: 925-933. Umapathy G, Sontakke SD, Reddy A, Shivaji S. 2007. Seasonal variation in semen characteristics, semen cryopreservation. Estrus synchronization, and successful artificial insemination in the spotted deer (Axis axis). Theriogenology 67: 1371-1378. Wallace V, Birtles MJ. 1985. The accesory sex glands of the red deer stag. Biology of Deer Production. Fennessy PF dan Drew KR, editor. The Royal Society of NZ Bull 22: 381-385. Washburn BE, Tempel DJ, Millspaugh JJ, Guiterrez RJ, Seamans ME. 2004. Factor related to fecal estrogens and fecal testosterone in California spotted owls. The Condor 106: 567-579. Wemmer C. 1998. Deer. Status survey and conservation action plan. IUCN/SSC Deer spesialist group. Gland, Switzerland and Cambridge: IUCN. Worldeer. 2005. Indian Muntjak Muntiacus muntjac. [terhubung berkala] http://www.worldeer.org/indianmuntjac html. [3 Agustus 2008]. Versiani NF, Pereira RJ, Duarte JMB. 2009. Annual variation in fecal androgen metabolites and antler cycle of captive red brocket bucks (Mazama americana) in southeast Brazil. Eur J Wildl Res 55: 535-538. Ziegler TE, Wittwer DJ. 2005. Fecal steroid research in the field and laboratory: improved method for storage, transport, processing and analysis. Am J Primatol 67: 159-174.
LAMPIRAN
186
187
Lampiran 1 Prosedur pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) Pewarnaan HE adalah pewarnaan standar yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai struktur umum sel dan jaringan. Adapun prosedur pewarnaan HE (Kiernan 1990) adalah : 1. Proses deparafinisasi dilakukan dengan xylol I, II, III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol bertingkat yaitu: absolut (I, II, III), 95%, 90%, 80%, 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat ditempatkan di dalam air mengalir (air kran) selama 10-15 menit dan selanjutnya ditempatkan di dalam aquadest selama 5-10 menit. 4. Preparat diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 10-15 detik. 5. Preparat diamati (dikontrol) di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat direndam dalam air kran atau dicelupkan kembali dalam pewarna hematoksilin selama 2-3 detik. Tetapi jika warna ungu terlalu pekat, preparat dapat dicelupkan dalam larutan pemucat, yaitu 0.5% HCl dalam 70% alkohol. 6. Preparat direndam kembali di dalam air mengalir/air kran selama 10 menit dan dilanjutkan dengan aquadest selama 5 menit. 7. Preparat diwarnai dengan pewarna eosin selama 1-2 menit. 8. Preparat didehidrasi dengan alkohol bertingkat, yang dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, etanol (alkohol absolut) I (1 celup), II (2 celup) dan III (5 menit). 9. Preparat dijernihkan kembali dengan xylol I (1 celup), II (1 celup) dan III (5 menit). 10. Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan gelas penutup (cover glass) dengan bahan perekat Entellan® atau balsam Canada.
188
Lampiran 2 Prosedur pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Deparafinisasi, air mengalir, DW, sesuai dengan prosedur Oksidasi dalam larutan 0.5 – 1% periodic acid, selama 5 menit Pembilasan dengan DW 1 kali, selama 5 menit Pembilasan DDW (akuabides)*, sebanyak 2 kali @ 5 menit Schiff reagent, selama 15 menit Pembilasan dengan Air Sulfit (selalu dibuat baru), sebanyak 3 kali @ 5 menit 7. Pembilasan dengan DW, sebanyak 3 kali @ 5 menit 8. Counterstain dengan Meyer’s Hematoksilin, dicek dibawah mikroskop 9. Pembilasan dengan air mengalir (air kran), selama 10-60 menit 10. Pembilasan dengan DW, sebanyak 2 kali selama @ 5 menit. 11. Dehidrasi, clearing dan mounting *atau dengan DW sebanyak 3 kali selama minimal @ 5 menit. Langkah ini penting untuk menjaga kebersihan dan keawetan Sciff reagent. Schiff reagent Rumus: 100 ml air (DW atau DDW), basic fuchsin 0.5 g, HCl 1N 11-20 ml, NaHSO3 0.4 g dan Karbon aktif 0.42 g. Cara membuat Schiff reagent 1. Dipanaskan air 100 ml sampai mendidih. 2. Dimasukkan basic fuchsin 0.5 g sambil diaduk selama 1 menit (diaduk rata, warna merah gelap) 3. Kemudian disaring dan didiamkan hingga suhu 50OC 4. Pada suhu 50OC, ditambahkan HCl 1N dan diaduk, lalu ditambahkan NaHSO3 dan diaduk hingga rata (distirer ± 2 menit) 5. Dibiarkan hingga dingin dengan merendam botol dalam wadah berisi air dan dihindarkan dari cahaya (ditutup dengan aluminium foil) 6. Setelah dingin (warna larutan mulai tampak merah pink terang), larutan dimasukkan ke dalam botol gelap dan disimpan dalam refrigerator selama 18-36 jam 7. Setelah dikeluarkan dari kulkas, larutan dihangatkan dan ditambahkan dengan karbon aktif, kemudian distirer selama ± 1 menit 8. Selanjutnya larutan disaring kembali agar bersih dan tidak berwarna (colourless), jika belum bersih, diulangi penambahan karbon aktif 9. Larutan Schiff reagent disimpan di dalam refrigerator dan dapat digunakan setelah 48 jam kemudian 10. Pemeriksaan larutan: • Jika larutan menjadi colourless, berarti larutan siap dipakai • Uji reagent, bila diteteskan dengan formaldehid, larutan akan berubah menjadi pink kemerahan dan bila ditetes dengan PBS warna larutan tetap sama, maka reagent baik dan dapat digunakan. Air Sulfit (selalu dibuat baru): 10% larutan Na atau K hydrogen sulfit (HSO3) atau metabisulfit 6 ml 1N HCl (asam klorida) 5 ml DW atau DDW
189
Lampiran 3 Preparasi spermatozoa untuk scanning electron microscope (SEM) 1. Dibuat kotak berukuran kecil dari object glass (direndam dalam neophren 2,5 %). 2. Diteteskan
sperma
yang
telah
disentrifus
untuk
menghilangkan
pengencer. 3. Dilakukan perendaman dengan glutaraldehide 2,5%
(sebagai fiksatif)
selama 1-2 jam. 4. Dibilas dengan PBS 3 x @ 5 menit. 5. Direndam dalam Tannic acid 2 % in DW selama 1 jam. 6. Dibilas dengan PBS sampai jernih. 7. Inkubasi dengan osmium tetraoksida OsO4 1% di dalam DW selama satu jam (cukup ditetes saja). 8. Dibilas dengan PBS. 9. Dehidrasi alkohol 70% - absolut @ 1 jam (absolut 3 kali). 10. Dehidrasi II dengan t-butanol (atau propylene Oxyde atau aseton pa, 3 kali). 11. Freezedryer. 12. Ditempelkan di logam. 13. Dilapisi (coating) dengan platinum - paladium. 14. Diamati dengan scanning electron microscope (SEM).
190
Lampiran 4 Prosedur pewarnaan William
1. Semen diteteskan pada ujung gelas objek, diulas tipis 2. Gelas objek dikeringkan di atas hot plate 3. Preparat direndam di dalam alkohol absolut selama 4 menit, dan dikeringkan 4. Preparat direndam di dalam larutan kloramin 0.5% selama 1-2 menit 5. Preparat dibilas dengan akuades dan alkohol 95% 6. Pewarnaa preparat dengan pewarna William selama 8-10 menit 7. Dibilas dengan air mengalir 8. Dikeringkan dengan meletakkan preparat (gelas objek) pada posisi berdiri 9. Preparat direkatkan (mounting) dengan bahan perekat Entellan® dan ditutup dengan gelas penutup 10. Hasil pewarnaan diamati dibawah mikroskop cahaya