KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA DAN ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN DENGAN SISTEM SEMI KONTINU
Oleh SURYANA MANALU F34060147
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SURYANA MANALU. F34060147. Karakterisasi Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nutrien dari Limbah Cair Peternakan dengan Sistem Semi Kontinu. Di bawah bimbingan Muhammad Romli dan Suprihatin. 2010
RINGKASAN Salah satu cara pengolahan limbah cair adalah pengolahan secara biologis dengan bantuan mikroorganisme misalnya kombinasi bakteri dan mikroalga. Degradasi kandungan organik limbah cair dilakukan oleh bakteri dan kemudian hasil degradasi oleh bakteri berupa nitrat dan CO2 dimanfaatkan oleh mikroalga. Mikroalga juga akan menghasilkan O2 sebagai hasil fotosintesis yang dapat digunakan bakteri. Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Unsur hara yang dibutuhkan mikroalga terdiri atas unsur hara makro (N, P, K, S, Fe, Mg, Si dan Ca) dan unsur hara mikro (Mn, Zn, Co, Bo, Mo, B, Cu, dan lain-lain). Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga, antara lain cahaya, suhu, pH air, dan salinitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pertumbuhan mikroalga pada limbah cair peternakan dan mengetahui karakteristik laju eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan pada kultivasi mikroalga dengan sistem semi kontinu. Pada penelitian ini dilakukan kultivasi mikroalga, dengan menggunakan inokulum mikroalga dari Danau LSI IPB dan menggunakan limbah cair peternakan sapi dari MT Farm Ciampea. Limbah cair di-pretreatment terlebih dahulu pada tangki aerator selama lima minggu. Tujuan dari pretreatment ini untuk mengurangi bau yang ditimbulkan limbah cair dan mengurangi kandungan bahan organik. Pada penelitian pendahuluan kultivasi mikroalga dilakukan dengan dua perlakuan yaitu pada bak I (75% limbah cair: 25% inokulum mikroalga) dan bak II (50% limbah cair: 50% inokulum mikroalga). Teknik kultur mikroalga dilakukan secara semi kontinu. Pemanenan dilakukan secara periodik, dan dilakukan penambahan nutrien ke volume kultur semula sebanyak jumlah yang dipanen. Dari dua perlakuan penelitian pendahuluan diperoleh metode kultivasi yang terbaik adalah pada bak I, dimana kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan dengan bak II. Pada penelitian utama dengan menggunakan perbandingan limbah 75% : mikroalga 25% terlihat kelimpahan mikroalga pada percobaan awal H-12 dan dilakukan pemanenan sebanyak 25% dengan sistem semi kontinu, dan pada H-16 dilakukan lagi pemanenan dengan sistem semi kontinu juga sebanyak 75%. Dari perlakuan ini terlihat pertumbuhan mikroalga lebih cepat setelah pemanenan mikroalga sebanyak 75%, karena limbah yang ditambahkan juga banyak (75% = sebanding dengan yang dipanen) sehingga nutrien yang tersedia juga semakin banyak untuk pertumbuhan mikroalga. Pada percobaan pertama dengan waktu
detensi 12 hari penurunan kadar nitrogen 5,79%, penurunan kadar ortofosfat 0,34%, dan penurunan kadar COD 75%. Pada percobaan kedua dengan waktu detensi 2 hari penurunan kadar nitrogen 0,63%, penurunan kadar ortofosfat 0,15%, dan penurunan kadar COD 33%. Pada percobaan ketiga dengan waktu detensi 6 hari penurunan kadar nitrogen 3,14%, penurunan kadar ortofosfat 0,42%, dan penurunan kadar COD 78%. Hasil pemanenan dengan pengujian TSS pada H-12 kelimpahan mikroalga 2135 mg/L. Mikroalga baik digunakan untuk penanganan limbah cair yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi. Selain kandungan nutrien yang terdapat dalam mediakultivasi, cahaya, suhu, dan pH merupakan faktor penting juga dalam kultivasi mikroalga. Untuk meningkatkan kemampuan mikroalga mengeliminasi nutrien yang terdapat dalam limbah cair, perbandingan volume limbah harus lebih besar dari volume mikroalga. Teknik kultur mikroalga sebaiknya digunakan secara bertahap, supaya mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungannya (limbah cair peternakan).
Kata kunci : Pertumbuhan mikroalga, limbah cair peternakan sapi, nutrien
SURYANA MANALU. F34060147. Microalgae Growth Characterization and Elimination of Nutrients from Animal Wastewater with Semi-Continuous System. Under the guidance of Muhammad Romli and Suprihatin. 2010
ABSTRACT
One way of wastewater treatment is a biological process with the help of a combination of microorganism such as bacteria and microalgae. Degradation organic content of waste water by bacteria and then the result of degradation by bacteria in the form of nitrate and CO2 utilized by microalgae. Microalgae also produce O2 as a result of photosynthetic bacteria that can be used. The growth of microalgae is very closely related to the availability of macro and micro nutrients as well as influenced by environmental conditions. Microalgae needed nutrients consist of macro nutrients (N, P, K, S, Fe, Mg, Si and Ca) and micro nutrients (Mn, Zn, Co, Bo, Mo, B, Cu, etc. ). Environmental factors that influence the growth of microalgae, including light, temperature, water pH, and salinity. The purpose of this research to know microalgae growth caracterization in wastewater cattle breeding and to know nutrient eliminate caracterization from wastewater cattle breeding on microalgae cultivation with semi-continuous system. In this research, microalgae was cultivated, using microalgae inoculum from Lake LSI IPB and use wastewater of cattle breeding from MT Farm Ciampea. Pretreatment wastewater used aerator in a tank for five weeks. The purpose of this pretreatment to reduce odor generated liquid waste and reduce organic matter content. In a preliminary study done by two microalgae cultivation treatments on the vessel I (75% wastewater: 25% inoculum microalgae) and the vessel II (50% wastewater: 50% inoculum microalgae). Techniques of microalgae culture has done semi continuous. Harvesting was conducted periodically, and the addition of nutrients to the volume culture as much as the amount have harvested. Of the two treatment obtained a preliminary study of the best cultivation method is in the vessel I, where the abundance of microalgae were compared with the second vessel. At the main study by using waste ratio 75%: 25% visible microalgae abundance of microalgae in the early experiments of H-12 and the harvesting of 25% with semi-continuous system, and the H-16 was again semi-continuous harvesting system as well as 75%. From this treatment more quickly visible growth after harvesting microalgae microalgae as much as 75%, because the waste was added too many (75% = proportional to that harvested). In the first experiment with detention time of 12 days nitrogen concentration was decreased 5.79%, orthophosphate concentration was decreased 0.34%, and COD concentration was decreased 75%. In the second experiment with two days detention time nitrogen concentration was
decreased 0.63%, orthophosphate concentration was decreased 0.15%, and COD concentration was decreased 33%. In the third experiment with detention time of 6 days the nitrogen concentration was decreased 3.14%, orthophosphate concentration was decreased 0.42%, and COD concentration was decreased 78%. Harvesting with the test results of TSS in H-12 abundance of microalgae in 2135 mg / L. Microalgae are good for handling wastewater has a high nutrient content. In addition nutrient content that have contained in mediakultivasi, light, temperature and pH are important factors also in microalgae cultivation. To enhance the ability of microalgae to eliminate the nutrient contained in the wastewater, waste volume ratio must be greater than the volume of microalgae. Microalgae culture technique should be used in the scale-up, so that microalgae used was first to adapt to its environment (farm waste). Key words : Microalgae growth, wastewater of cattle breeding, nutrient.
KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA DAN ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN DENGAN SISTEM SEMI KONTINU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh SURYANA MANALU F34060147
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Karakterisasi Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nutrien dari Limbah Cair Peternakan dengan Sistem Semi Kontinu Nama
: Suryana Manalu
NIM
: F34060147
Menyetujui
Pembimbing I,
Pembimbing II,
( Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St )
( Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing )
NIP: 196012051986091001
NIP : 196312211990031003
Mengetahui : Ketua Departemen,
( Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 196210091989032001
Tanggal Lulus :
BIODATA PENULIS
Suryana Manalu. Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 18 Maret 1988 dan merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Mangiring Manalu dan Lermin Sianturi. Pendidikan dasar penulis diperoleh di SD Negeri 175742 Sipoholon. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Tarutung, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Tarutung.
Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2006. Pada tahun kedua lewat program mayor-minor, penulis diterima di mayor departemen Teknologi Industri Pertanian , Fakultas Teknologi Pertanian dengan minor Ekonomi Pertanian dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Selama masa studi penulis aktif di berbagai kegiatan, organisasi, dan kepanitiaan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kegiatan yang penulis ikuti antara lain panitia Malam Sukacita Paskah IPB 2008 sebagai sekretaris, panitia Techno-F 2008 Fakultas Teknologi Pertanian sebagai divisi Tata tertib, panitia Hari Warga Industri (HAGATRI) 2008 Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) sebagai divisi konsumsi, panitia fieldtrip mahasiswa/i Teknologi Industri Pertanian Jawa-Bali 2009 divisi logistik dan transportasi.
Penulis juga pernah menjabat sebagai wakil ketua organisasi
mahasiswa Parsadaan Anak Rantau Tarutung (PARTARU) Bogor periode jabatan 2008/2009, pemerhati Komisi Literatur persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB periode jabatan 2008/2009. Selain itu, penulis juga pernah sebagai asisten praktikum agama Kristen Protestan pada semester ganjil tahun ajaran 2007/2008, asisten praktikum Teknik Pengemasan dan Transportasi pada semester ganjil tahun ajaran 2008/2009,
dan asisten praktikum Teknik Penyimpanan dan
Penggudangan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1 B. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIMBAH PETERNAKAN ....................................................................... 3 B. MIKROALGA .......................................................................................... 3 1. Pengertian Mikroalga ............................................................................ 3 2. Karakteristik Mikroalga ........................................................................ 3 C. KONDISI KULTUR MIKROALGA ........................................................ 5 D. FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN MIKROALGA ........................................................... 6 1. Intensitas Cahaya .................................................................................. 6 2. Suhu ....................................................................................................... 6 3. pH .......................................................................................................... 7 4. Unsur Hara ............................................................................................ 7 E. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA .......................... 10 F. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN ........... 14 III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................... 18 1. Bahan ..................................................................................................... 18 2. Alat ........................................................................................................ 18 B. METODE PENELITIAN .......................................................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI LIMBAH PETERNAKAN ...................................... 24 B. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA .......................... 25
iii
1. Karakterisasi Inokulum Mikroalga........................................................ 25 2. Pertumbuhan Mikroalga pada Limbah Cair Peternakan ....................... 27 C. ELIMINASI NUTRIEN DARI IMBAH CAIR PETERNAKAN ............. 32 1. Eliminasi Nitrogen ................................................................................ 33 2. Eliminasi Fosfat..................................................................................... 37 3. Eliminasi Kalium ................................................................................... 49 4. Eliminasi COD....................................................................................... 40 E. BIOMASSA ALGA .................................................................................. 41 1. Jenis Mikroalga ..................................................................................... 41 2. Kelimpahan Mikroalga .......................................................................... 43 3. Proksimat Mikroalga ............................................................................. 50 F. KAJIAN UMUM ....................................................................................... 51 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ......................................................................................... 56 B. SARAN ..................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58 LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteri............................ 4 Tabel 2.2. Kondisi Umum Kultur Mikroalga ....................................................... 5 Tabel 2.3. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan Mikroalga ............................................................................................ 10 Tabel 4.1. HasilKarakterisasi Limbah Cair Peternakan ....................................... 24 Tabel 4.2. Hasil Karakterisasi Air Danau LSI IPB .............................................. 26 Tabel 4.3. Hasil Analisis Prevalensi dan Dominasi Mikroalga dalam Konsorsium ......................................................................................... 27 Tabel 4.4. Hasil Analisis Prevalensi Dominansi Kultivasi Mikroalga dari Limbah Cair Peternakan ...................................................................... 42 Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga ................................................ 43 Tabel 4.6. Hasil Analisis TSS pada Media Kultivasi Mikroalga ......................... 44 Tabel 4.7. Hasil Analisis Proksimat Mikroalga ................................................... 50 Tabel 4.8. Hasil Analisis Eliminasi Nutrien dan Pertumbuhan Mikroalga .......... 52
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga.................................. 12 Gambar 3.1. Tangki Pre-treatment Limbah Cair Peternakan ............................... 19 Gambar 3.2. Bak Media Kultivasi Mikroalga ....................................................... 20 Gambar 4.1. Danau LSI IPB ................................................................................. 26 Gambar 4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair Peternakan ........................................................................................ 28 Gambar 4.3. Pertumbuhan Mikroalga pada Skala Kecil. ...................................... 30 Gambar 4.4. Kurva Total Suspended Solid pada Bak I (75%;25%) ..................... 30 Gambar 4.5. Kurva Total Suspended Solid pada Bak II (50%:50%).................... 31 Gambar 4.6 Suhu dan pH media kultivasi ........................................................... 32 Gambar 4.7. Kurva Eliminasi Nitrat dari Limbah Cair Peternakan ..................... 35 Gambar 4.8. Kurva Eliminasi Nitrogen dari Limbah Cair Peternakan ................. 36 Gambar 4.9. Kurva Eliminasi Ortofosfat dari Limbah Cair Peternakan ............... 38 Gambar 4.10. Kurva Eliminasi Kalium dari Limbah Cair Peternakan ................. 39 Gambar 4.11. Kurva Eliminasi COD dari Limbah Cair Peternakan ..................... 41 Gambar 4.12. Hasil Foto Sampel Mikroalga ........................................................ 43 Gambar 4.13. Sampel Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga .................. 44 Gambar 4.14. Kurva TSS Pada Media Kultivasi Mikroalga ................................ 45 Gambar 4.15. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair Peternakan ..................................................................................... 46 Gambar 4.16. Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga ............................... 48 Gambar 4.17. Mikroalga yang Sudah Dikeringkan .............................................. 50 Gambar 4.18. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Kalium Percobaan I .................................................................................... 53 Gambar 4.19. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nitrogen Percobaan I .................................................................................... 53 Gambar 4.20. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Ortofosfat Percobaan I .................................................................................... 54
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Nitrogen Organik, N-NH3, N-NO3, Ortofosfat TSS, Kerapatan Sel, COD ............................................................... 62 Lampiran 2. Analisis Mikroalga ......................................................................... 68 Lampiran 3. Data Hasila Pengamatan Kultivasi Mikroalga Skala Kecil ............ 70 Lampiran 4. Data Kerapatan Sel Pada Media Sakla Kecil.................................. 72 Lampiran 5. Data TSS Pada Media Skala Kecil ................................................. 73 Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Suhu dan pH Media Kultivasi .................. 74 Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kadar Nitrogen Media Kultivasi .................... 75 Lampiran 8. Data Hasil Analisis Kadar Ortofosfat Media Kultivasi .................. 76 Lampiran 9. Data Hasil Analisis COD Media Kultivasi ..................................... 77 Lampiran 10. Data Hasil Analisis Penelitian Utama ............................................ 78
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang melimpahkan segala berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2010 di laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Penulisan skripsi ini dapat selesai atas bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Mama dan Papa serta saudara saya tercinta ( Agus, Fernando, Penata, dan Daniel), yang telah memberikan dukungan melalui doa serta dukungan moral dan material. 2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St. sebagai dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing II atas segala bimbingan, perhatian, dan bantuannya selama penulisan skripsi ini. 3. Dr. H. Ono Suparno S.Tp,. M.T. sebagai dosen penguji, terimakasih atas semua saran dan kritik yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh laboran TIN : Pak Yogi, Pak Dicky, Pak Edi, Pak Gun, Pak Sugi, Pak Angga, Bu Ega, Bu Sri, dan Bu Rini atas segala bantuan dan kerjasamanya. 5. Wynda, Ajiz, Praja, kak Ajizah teman satu tim dan satu bimbingan dalam penelitian saya, terimakasih atas semua dukungan dan bantuannya. 6. Evi, Laura, Bernadetha, Endah terimakasih atas persahabatan yang telah kita jalin selama menuntut ilmu di TIN. 7. Terimakasih buat teman-temanku seperjuangan yang tetap mendukung dalam study saya sampai selesai (Aron, Esther, Golda, Goldy, Gusty, Grace, Jonathan, Marhon, Tiur, Windy). 8. Kelompok kecilku Kak Triva, Desna, Kartika dan teman-temanku di Komisi Literatur PMK IPB terimakasih atas dukungan dan doanya. 9. Keluargaku tercinta penghuni Rumah Qyu-Qyu (Ririn, Tiur, Rosi, Vivin, Eva, Rina, Sry dan Siska) terimakasih atas segala dukungan dan doanya. 10. Terimakasih buat saudariku Erika Batubara, Esther Tampubolon, dan Gusty Simanjuntak atas dukungan dan doanya, semoga kita tetap dapat menjaga persahabatan kita sampai selamanya.
11. Seluruh teman-teman TIN 43 Kompak yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada saya baik saat penulisan skripsi ini. 12. Seluruh pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan selanjutnya. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
Bogor,
Agustus 2010
Penulis
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Limbah peternakan adalah seluruh sisa buangan dari usaha kegiatan peternakan, baik berupa limbah cair, limbah padat, maupun berupa gas. Menurut Hidayatullah et al. (2005) limbah padat adalah semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang sudah mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat). Limbah gas adalah semua gas yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas. Kehadiran bahan pencemar di dalam air dalam jumlah yang tidak normal mengakibatkan air dinyatakan terpolusi (Anonim, 2007). Satu ekor sapi dengan bobot 400-500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,7-30 kg/ hari. Diantara ketiga jenis limbah peternakan ini, limbah cair merupakan imbah yang paling banyak dihasilkan dan limbah cair dari usaha kegiatan peternakan ini diyakini masih banyak terdapat kandungan bahan mineral yang dapat digunakan mikroalga untuk pertumbuhan hidupnya. Penanganan limbah cair yang memiliki kandungan mineral yang tinggi biasa dilakukan dengan cara kimiawi dan biologis. Penanganan secara kimiawi dapat menimbulkan jenis limbah baru lagi, sedangkan penanganan secara biologis relatif lebih ramah lingkungan. Untuk menangani limbah cair yang memiliki kandungan mineral yang tinggi secara biologis, umumnya menggunakan organisme yang mampu memanfaatkan
mineral tersebut.
Organisme dari
kelompok vegetasi sering digunakan dalam kegiatan ini, karena organisme flora dengan aktivitas fotosintesis mampu mensintesis bahan-bahan anorganik (mineral) yang terkandung dalam limbah menjadi senyawa organik dengan bantuan zat hijau daun (klorofil) yang dimilikinya dan energi cahaya. Menurut Kabinawa (2001), diantara mikroorganisme yang melakukan fotosintesis, mikroalga merupakan mikroorganisme yang paling efisien dalam menggunakan sinar matahari, yaitu sekitar 7% dengan kemampuan produksi 6080 ton berat kering/Ha/th, sedangkan tanaman budidaya secara konvensional
berkisar antara 10-30 ton berat kering/Ha/th.
Mikroalga merupakan vegetasi
tingkat rendah yang sering digunakan dalam pengolahan limbah cair yang kaya kandungan mineral, karena sifat mineral yang larut dalam air, dan mikroalga sebagai pemanfaat mineral yang mampu hidup dalam kolom air, mulai dari permukaan air sampai batas daya tembus cahaya di badan air tersebut. Mikroalga adalah koloni tumbuhan renik yang dapat hidup di seluruh wilayah perairan tawar, payau, ataupun yang asin (laut). Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga yang dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan yang perlu diperhatikan. Teknik kultur mikroalga yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik semi kontinu, yaitu teknik pemanenan mikroalga pada saat akhir fase eksponensial yang diikuti dengan penambahan jumlah nutrien (limbah cair peternakan) sebanyak jumlah yang dipanen.
Berdasarkan permasalahan
penanganan limbah cair peternakan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi penanganan limbah cair usaha kegiatan peternakan secara biologis. Selain itu dapat juga sebagai informasi bagi pemerintah dan swasta dalam pengembangan sistem usaha peternakan yang ramah lingkungan dan juga usaha dalam budidaya mikroalga yang dapat digunakan sebagai sumber energy terbaharukan.
B. Tujuan Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
karakteristik
pertumbuhan mikroalga pada limbah cair peternakan dan mengetahui karakteristik laju eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan pada kultivasi mikroalga dengan sistem semi kontinu.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH PETERNAKAN Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu usaha kegiatan peternakan, baik berupa limbah padat, cairan, gas ataupun sisa pakan (Soehadji, 1992). Menurut Juheini dan Sakryanu (1998), sebanyak 56,67% dari jumlah usaha peternakan sapi perah membuang limbah ke badan sungai tanpa pengelolaan, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran ini disebabkan oleh aktivitas
peternakan, terutama berasal dari limbah yang
dikeluarkan oleh ternak yaitu feses, urin, sisa pakan, dan sisa air pembersihan ternak dan kandang (Prasetyo dan Padmono, 1993).
Feses dan urin yang
dihasilkan sapi sebesar 10% dari berat ternak (Mubaroq, 2009).
B. MIKROALGA 1. Pengertian Mikroalga Mikroalga adalah koloni tumbuhan renik yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar, payau, ataupun yang asin (laut). Ganggang mikro yang tak kasatmata itu lazim disebut fitoplankton (Hidayat dan Hidayat, 2008). Mikroalga umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan dan dikenal sebagai fitoplankton. Mikroalga dikelompokkan dalam filum thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan fotosintesis (Kabinawa, 2001).
2. Karakteristik Mikroalga Mikroalga memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik seperti NO3-, NH4-, dan PO4-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa, 2001).
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang. Mikroalga dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya proses fotosintesis.
Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat
menyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliela sp. dan Chlorella sp.
ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh
Chaetoceros sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp. serta berbagai jenis lainnya (Borowitzka dan Borowitzka, 1988). Mikroalga tertentu, seperti Botryococcus sp., mampu menghasilkan hidrokarbon dengan rantai C23-C40, misalnya n-alkadiena dan n-alkena. Kemampuan ini membuat Botryococcus amat potensial sebagai sumber bahan bakar cair terbarukan, menggantikan bahan bakar minyak fosil, seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Mikroalga yang terkenal sebagai penghasil hidrokarbon, sumber biodiesel ini, adalah diatom, cocolith, dan chlorofita, seperti Botryococcus braunii. Sel mikroalga mengandung protein, asam lemak tak jenuh, pigmen, dan vitamin tinggi sehingga dapat dijadikan suplemen pangan bergizi tinggi. (Anonim, 2009). Sifat fisiologis antara mikroalga dengan bakteri dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteri Karakteristik
Alga
Bakteri
pH optimum
4 – 11
6.5 – 7.5
Suhu optimum
20 – 30oC
20 – 37oC
Kebutuhan oksigen
Aerobik
Aerobik atau anaerobik
Cahaya
Sebagian besar
Sebagian kecil
Sumber karbon
Kebanyakan organik
Organik dan anorganik
Dinding Sel
Sebagian besar selulosa, Peptidoglikan beberapa digantikan oleh xilan dan manan.
Sumber: Pelczar dan Chan (2007)
4
C. KONDISI KULTUR MIKROALGA Proses kultur sebaiknya dilakukan pada kondisi indoor karena mudah dikontrol dan diprediksi hasilnya. Sebagian besar mikroalga membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesa. Gelombang cahaya yang biasa digunakan untuk kultur alga berkisar 400 – 700 nm yang menggunakan warna merah dan biru. Dalam kondisi indoor sumber cahaya berasal dari lampu flourecent bulb antara 20 – 40 watt (Becker, 1994). Secara umum, terdapat beberapa parameter kondisi yang umumnya harus terpenuhi dalam sistem kultur mikroalga. Kondisi-kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Bentuk wadah kultur yang ideal adalah bentuk silinder lonjong dengan bentuk dasar darat / rata atau konkav, warna transparan tembus cahaya dan mempunyai tutup tabung. Bentuk dan ukuran wasah kultur ini berhubungan dengan sistem sirkulais, aerasi, pencahayaan, pengoperasian, dan khususnya untuk mengoptimalkan agar wadah kultur dapat menghasilkan kelimpahan sel yang tinggi per satuan volume media kultur yang digunakan (Fox, 1985). Tabel 2.2. Kondisi Umum Kultur Mikroalga Parameter
Kisaran
Nilai Optimal
Temperatur (oC)
16 – 27
18 – 24
Salinitas (g.l-1)
12 – 40
20 – 24
1,000 – 10,000 (tergantung
2,500 – 5,000
Intensitas Cahaya (lux)
volume dan densitas) Periode Pencahayaan
-
(terang; gelap, jam)
24 : 0 (maximum) 7–9
pH
16 : 8 (minimum) 8.2 – 8.7
Sumber: Anonim (1991) dalam FAO (1996)
D. FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN MIKROALGA Secara umum komunitas fitoplankton dan mikroalga pada umumnya di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada. Suhu, intensitas cahaya, pH, konsentrasi zat hara anorganik, senyawa pemacu dan penghambat
5
pertumbuhan, serta adanya pemangsaan akan mempengaruhi kondisi alga tersebut (Welch, 1980).
1. Intensitas Cahaya Cahaya bersama dengan klorofil sangat berperan dalam proses fotosintesis pada alga. Pemanfaatan cahaya dalam proses fotosinteis melibatkan reaksi fisik dan kimia. Dimulai dengan absorbsi dan transfer energi di dalam klorofil hingga proses konversinya menjadi energi kimia yang terlibat dalam proses pembentukan karbohidrat (Krisanti, 2003). Menurut Tjahjo et al. (2002) mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik melalui proses fotosintesis. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan fotosintesis. Setiap jenis alga membutuhkan suhu dan cahaya tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya (Fogg, 1975). Diatom akan mendominasi perairan pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Alga hijau melimpah pada kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan alga biru akan mendominasi apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi (Welch, 1980).
2. Suhu Laju fotosintesis alga selain dipengaruhi intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh suhu. Berbagai proses dalam sel sangat tergantung pada suhu. Kecepatan proses-proses ini bertambah sejalan dengan meningkatnya suhu. Nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40oC (Reynolds, 1990).
Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis
dan faktor yang menentukan pertumbuhan.
Suhu optimum untuk kultur
mikroalga antara 25-32oC (Fogg, 1975). Kenaikan temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi. Umumnya setiap kali kenaikan 10oC dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat.
Akan tetapi, temperatur tinggi yang melebihi temperatur
maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Krisanti (2003) menyatakan bahwa suhu tidak menjadi faktor pembatas pada alga alami selama banyak spesies mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan lain yang sesuai, namun demikian suhu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya pertumbuhan dan
6
reproduksi.
Menurut Fogg (1975) intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien
tertentu dapat menyebabkan perubahan temperatur optimal bagi pertumbuhan fitoplankton, dan fitoplankton tersebut dapat beradaptasi terhadap temperatur tinggi atau rendah yang kadang-kadang terjadi.
3. pH Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dalam air, yang mengakibatkan penurunan kandungan CO2 terlarut dalam air. Penurunan ini akan meningkatkan nilai pH berkaitan dengan keseimbangan CO2 terlarut, bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO2-) dalam air. Oleh karena itu laju, fotosintesis akan terbatas oleh penurunan karbon dalam hal ini karbondioksida, perubahan bentuk karbon yang ada diperairan dan tingginya nilai pH (Talling, 1976
dalam
Reynolds, 1990). Menurut Boyd (1984) kesetimbangan karbonat akan bertindak sebagai buffer (penyangga) pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan menjadi netral.
Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion karbonat akan
mengalami hidrolisis menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion hidrogen oksida yang bersifat basa, sehingga keadaan netral kembali, seperti terlihat reaksi berikut: HCO3
H+ + CO3=
CO3= + H2O
HCO3= + OH-
4. Unsur Hara 4.1. Sumber Karbon Bentuk karbon utama yang digunakan oleh alga adalah CO2, bahkan beberapa peneliti yakin bahwa hanya CO2 yang dapat digunakan secara langsung oleh alga (Richmond, 1986). Alga mendapatkan CO2 melalui absorpsi dari udara, hasil respirasi organisme, dan alkalinitas senyawa bikarbonat (Loehr, 1974).
Karbondioksida di dalam air bisa berbentuk
senyawa gabungan C, H, dan O, yakni H2CO3, HCO3-, atau CO3- yang konsentrasinya tergantung nilai pH air (Richmond, 1986).
7
4.2. Sumber Nitrogen Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis. Nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen ammonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis (Jenie dan Rahayu, 1993). Nitrogen merupakan unsur penyusun yang penting dalam sintesis protein, karena itu diperlukan data tentang nitrogen dan siklusnya agar dapat tercapai pengolahan air limbah yang tepat. Sebagian besar dari nitrogen total dalam air terikat sebagai nitrogen organik, yaitu dalam bahan-bahan yang berprotein. Sumber-sumber nitrogen dalam air dapat bermacam-macam, meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, limbah peternakan dan pupuk. Bentuk utama nitrogen di air limbah adalah material protein dan urea. Umur dari air limbah dapat ditentukan dari jumlah amonia yang ada. Bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam lingkungan yang aerobik.
Jumlah nitrogen nitrat yang lebih banyak
menunjukkan bahwa air limbah telah distabilkan dengan keberadaan oksigen. Nitrat sebagai nutrien dapat digunakan oleh binatang untuk memebentuk Norganik yaitu protein (Metcalf dan Eddy, 2004). Menurut Davis dan Conwell (1991), jika NH3 dalam kondisi rendah, NO3 bertindak sebagai nutrien untuk pertumbuhan ganggang secara eksesif dan konversi dari NH3 menjadi NO3 menggunakan sejumlah besar oksigen terlarut. Menurut Richmond (1986), kebanyakan mikroalga mempunyai kemampuan menggunakan ammonium (NH4), nitrat (NO3), dan nitrit (NO2), sedangkan kemampuan mengikat nitrogen dari udara hanya dimiliki oleh mikroalga prokariotik. Anonim (2009) menjelaskan bahwa N sangat diperlukan dalam pembentukan protein dan DNA dalam sel mikroalga. Beberapa mikroalga dapat menggunakan berbagai senyawa N-organik seperti amida, urea, glutamin, dan asparagin sebagai sumber nitrogen Richmond, 1986).
8
4.3. Sumber Fosfor Fosfor adalah salah satu elemen penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan baik oleh tanaman maupun hewan. Fosfor dalam bentuk dasarnya sangat toksik dan penyebab bioakumulasi (Quevauviller, et.all, 2006). Fosfor merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1986) kekurangan fosfor dapat menyebabkan perubahan morfologi sel, misalnya perubahan bentuk dan ukuran sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat. Bentuk fosfor utama yang digunakan mikroalga adalah P-anorganik.
4.4. Makronutrien Lain Makronutrien lain yang esensial bagi pertumbuhan mikroalga yakni Ca, Mg, Na, K, S, dan Cl. Khusus untuk sulfur (S), Bezrra (2007) menyatakan bahwa sulfur juga merupakan unsur yang diperlukan oleh mikroalga untuk melakukan biosintesa. Sulfur ditemukan di dalam sel dalam bentuk asam amino tertentu yang strukturnya mengandung gugus sulfohydril (-SH), misalnya sistin, sistein, dan metionin.
4.5. Mikronutrien Beberapa mikronutrien yang esensial terhadap pertumbuhan alga dapat dilihat pada Tabel 2.3. Selain logam-logam mineral yang terdapat pada Tabel 2.3. mikronutrien lain yang juga sangat penting bagi pertumbuhan mikroalga adalah thiamin (vitamin B1), cyanocobalamin (vitamin B12), dan terkadang biotin (FAO, 1996). Menurut Richmond (1986), vitamin B12 dan thiamin (vitamin B1) diperlukan secara terpisah atau bersama, tetapi vitamin B12 lebih sering diperlukan dibanding dengan thiamin.
9
Tabel 2. 3. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan Mikroalga Unsur Besi (Fe)
Peranan Asimilasi nitrogen, fotosintesis, sintesa pigmen fotosintesis utama (klorofil-A)
Bohr (B)
Diperlukan oleh beberapa cyanobacteria dan diatom, tetapi tidak diperlukan oleh alga hijau.
Mangan dan Tembaga Komponen penting dalam transfer elektrom fotosintesis, (Mn dan Cu)
sebagai komponen dan kofaktor beberapa enzim dan diperlukan oleh semua alga.
Molibden (Mo)
Diperlukan alga untuk reduksi nitrat dan fiksasi nitrogen
Vanadium (V)
Penting bagi alga tertentu.
Kobalt (Co)
Diperlukan beberapa alga Cyanobacterium, seperti Calotrix
parientina,
Coccochloris
peniocystic,
Diplocystis aeruginosa. Silikon
Komponen utama dinding sel diatom
Selenium
Meningkatkan Cyanobacterium dan menurunkan diatom
Sumber: Richmond (1986)
E. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA Selama periode kultur sel mikro alga terjadi lima tipe fase pertumbuhan (Anonim, 2007). Lima fase tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut dan dapat dilihat pada Gambar 2.1: 1. Pertumbuhan phase lag, yaitu pertumbuhan fase awal dimana penambahan kelimpahan sel yang terjadi jumlahnya sedikit. Fase ini mudah diobservasi ketika suatu kultur alga ditransfer dari suatu tempat ke suatu media kultur. pada fase ini biasanya terjadi stressing fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media awal ke media yang baru. Dilain pihak kelarutan mineral dan nutrien mungkin lebih banyak daripada sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi sintesis metabolik dari konsentrasi
10
rendah ke konsentrasi yang tinggi. Dari perubahan-perubahan inilah, maka sel alga mengalami proses penyesuaian. 2. Setelah fase lag, alga kultur akan mengalami pertumbuhan secara cepat, atau yang disebut fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel alga dan apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Untuk kepentingan budidaya sebaiknya sel alga dipanen pada akhir fase eksponensial. Karena pada fase ini, struktur sel masih normal secara nutrisi terjadi keseimbangan antara nutrien dalam media dan kandungan nutrisi dalam sel. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pada fase akhir eksponensial, didapatkan kandungan protein dalam sel sangat tinggi, sehingga kualitas sel alga benar-benar terjaga untuk kepentingan kultivasi budidaya lebih lanjut. 3. Pada tahapan pola pertumbuhan terjadi pengurangan kecepatan pertumbuhan sampai mencapai fase awal pertumbuhan yang stagnan. Pada fase ini disebut Declining Growth Phase. Pada fase ini ditandai dengan berkurangnya nutrien dalam media sehinga memengaruhi kemampuan pembelahan sel sehinga hasil produksi sel semakin berkurang. Walaupun kelimpahan sel masih terjadi pertambahan namun nilai nutrisi dalam sel mengalami penurunan, maka untuk kepentingan budidaya perikanan pada fase ini adalah alternatif kedua untuk dilakukan pemanenan. 4. Stationery phase adalah fase pertumbuhan ketika kelimpahan sel mengalami pertumbuhan konstan akibat dari kesimbangan katabolisme dan anabolisme sel. Pada fase ini ditandai dengan rendahnya tingkat nutrien dalam sel dan biasanya untuk kelimpahan sel alga yang rendah dalam kultur tejadi fase stationery yang pendek sehingga menyulitkan didalam pemanenan. Disarankan jangan melakukan pemanenan sel pada fase ini karena bukan merupakan sumber pakan yang mengandung nutrisi yang tinggi. 5. Death phase adalah fase kematian sel karena tejadi perubahan kualitas air yang semakin memburuk, penurunan nutrien dalam media kultur dan kemampuan sel yang sudah tua untuk melakukan metabolisme. Kenyataan ini biasanya ditandai dengan penurunan jumlah sel yang cepat. Secara morfologi
11
pada fase ini sel alga banyak terjadi kematian dari pada melakukan pembelahan, warna air kultur berubah, terjadi buih dipermukaan media kultur dan warna yang pudar serta gumpalan sel alga yang mengendap didasar wadah kultur. Untuk kepentingan bididaya perikanan pada fase ini dilarang untuk digunakan sebagai pakan kultivan budidaya. (Anonim, 2007)
Gambar 2.1 . Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga (FAO, 1996)
Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan eksponensial mikroalga pada kultur volume yang terbatas akan berakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain: kehabisan nutrien, laju suplai CO2 dan O2, perubahan pH, intensitas cahaya, serta auto-inhibisi.
1. Kehabisan Nutrien Fogg (1975) menerangkan bahwa nitrat dan besi biasanya membatasi pertumbuhan eksponensial mikroalga. Penambahan nutrien tersebut dapat memperpanjang fase eksponensial sampai terjadi faktor pembatas lain. Besi unchelated ferric diendapkan sebagai fosfat dalam media basa. Bentuk besi tersebut tidak tersedia cukup banyak pada mikroalga, sehingga sulit menjamin kecukupan suplai besi. Pemberian bahan pengkelat seperti ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) atau versene memungkinkan jumlah ion besi dan unsur kelumit (trace element) cukup tersedia untuk memperpanjang pertumbuhan eksponensial tanpa memberikan efek toksik. Vitamin B12 juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan eksponensial mikroalga. 12
2. Laju Suplai CO2 atau O2 Laju difusi CO2 dari udara ke dalam media menjadi pembatas pertumbuhan kultur mikroalga pada densitas populasi yang rendah. Peningkatan laju aerasi kultur secara pengocokan atau pengadukan, atau penggelembungan udara akan memperpanjang pertumbuhan eksponensial. Suplai CO2 udara yang diperkaya, diperlukan untuk menjaga pertumbuhan eksponensial kultur padat mikroalga. Kultur mikroalga biasanya menyuplai 1 – 5 persen CO2, tetapi konsentrasi setinggi itu bisa menimbulkan efek inhibisi pada beberapa spesies mikroalga seperti Anabaena cylindrica. Oksigen juga dapat menjadi faktor pembatas pada kultur mikroalga heterotrop dan aerasi dapat memperpanjang pertumbuhan eksponensial (Fogg, 1975).
3. Perubahan pH Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan komponen tertentu. Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber nitrogen menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan pengambilan CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan. Keterbatasan CO2 merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis yang dapat meningkatkan pH media hingga pH 11 atau lebih sehingga pertumbuhan mikroalga terhenti. Penggunaan beberapa asam organik tanpa memperhatikan jumlah kation juga meningkatkan pH, sehingga media terlalu basa (Fogg, 1975).
4.
Kekurangan Cahaya Fogg (1975) menyatakan bahwa sinar matahari tidak dapat diterima secara penuh pada kultur mikroalga yang padat, sehingga fotosintesis hanya dilakukan oleh sel alga yang terletak di bagian atas atau permukaan media. Kultur yang sangat padat menyebabkan bagian bawah media menjadi gelap, sehingga pertumbuhan eksponensial berubah menjadi pertumbuhan linier, yaitu pertumbuhan yang proporsional dengan waktu, sampai timbul faktor pembatas lain.
13
5.
Autoinhibisi Beberapa alga telah terbukti menghasilkan bahan-bahan toksik terhadap dirinya dalam proses metabolismenya. Akumulasi bahan beracun tersebut mengakibatkan pertumbuhan eksponensial terhenti. Kasus autoinhibisi dalam kultur tidak murni telah ditemukan pada beberapa mikroalga, misalnya Nostoc punctiforme, Chlorella vulgaris dan Nitzschia palea (Fogg, 1975). Jika terjadi autoinhibisi, pertumbuhan akan terhenti pada saat konsentrasi sel tertentu telah tercapai. Kasus ini dapat diatasi dengan melakukan pemanenan mikroalga atau pengenceran media tanpa menambahkan nutrien. FAO (1986) menambahkan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan autoinhibisi cahaya (foto-inhibisi).
F. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN Kebanyakan usaha kegiatan industri menghasilkan limbah cair yang mengandung beberapa macam garam dan bahan organik, demikian juga limbah cair usaha peternakan sapi, oleh karena itu jenis limbah cair ini dapat dijadikan medium pertumbuhan mikroalga ( Aspuranto, 1980). Nutrien yang berlebihan akan mendorong untuk terjadinya pertumbuhan alga yang pesat yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kandungan DO (Metcalf dan Eddy, 2004).
1. Degradasi Senyawa Karbon Degradasi senyawa karbon terjadi ketika senyawa-senyawa organik diuraikan dan dioksidasi oleh mikroorganisme heterotropik pada proses aerasi. Mikroorganisme tersebut menggunakan sumber karbon yang sama, baik untuk sintesis sel menghasilkan sel-sel baru maupun untuk oksidasi (Qin, 2005). Menurut Widianingsih (2008), degradasi senyawa organik aerobik secara sederhana dapat dituliskan dengan reaksi berikut : Karbohidrat Protein Hidrokarbon
O2
CO2 + H2O + mineral + biomassa baru Mikroorganisme
14
2. Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan sistem yang utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Dalam sistem biologis, mikroorganisme mnenggunakan limbah untuk bahan selular baru dan menyediakan energi untuk sintesis (Jenie dan Rahayu, 1993). Prorses penyisihan limbah secara biologis terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kebutuhan proses terhadap keberadaan oksigen terlarut, yaitu: a. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron merupakan
mekanisme
untuk
menghasilkan
energi
kimiawi
bagi
mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara aerobik. b. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan pengoksidasi selain oksigen seperti karbondioksida, senyawa-senyawa organik yang telah teroksidasi sebagian sulfat dan nitrat dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisnme yang berperan dalam proses pengolahan secara anaerobik. c. Proses pengolahan limbah yang menggunakan mikroorganisme yang bersifat obligat aerob dan obligat anaerob atau fakultatif.
Mikroorganisme-
mikrorganisme tersebut dapat melakukan metabolisme terhadap bahan-bahan organik secara sempurna dengan adanya oksigen terlarut (Quevauviller, 2006).
Dekomposisi bahan organik yang mengandung nitrogen ditunjukkan oleh terbentuknya ammonia.
Pada kondisi aerobik bakteri nitrifikasi merombak
ammonia menjadi nitrit selanjutnya masih dalam kondisi aerobik nitrit dioksidasi menjadi nitrat.
Proses selanjutnya pada kondisi aerobik atau anoksik bahan
organik dioksidasi dan nitrat digunakan sebagai aseptor hidrogen untuk membebaskan gas nitrogen (Becker, 1994). Transformasi bentuk senyawa nitrogen dapat dijadikan sebagai prinsip untuk penyisihan nutrien secara biologis. Perubahan tersebut dapat digambarkan dengan
siklus nitrogen dalam proses oksidasi, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.2. Nitrogen dalam limbahn cair yang tidak ditangani biasanya dalam bentuk amoinia atau nitrogen organik, baik dalam bentuk terlarut maupun partikel. Nitrogen dapat terjadi dalam berbagai bentuk dalam limbah cair dan mengalami
15
transformasi dalam penaganan limbah cair. Transformasi ini mengikuti konversi amonia-nitrogen untuk produk yang dapat dengan mudah dibuang dari limbah cair. Dua mekanisme yang utama dalam pembuangan atau penyisihan nitrogen adalah asimilasi
dan
proses
nitrifikasi-denitrifikasi
(Metcalf
dan
Eddy,
2004).
Transformasi nitrogen diantaranya dipengaruhi oleh keseimbangan oksigen terlarut. Nitrogen Organik Sintesis Bahan Organik + O2 + NH3
Sel CH2O + O2 + H2O
Sel + CO2 + H2O otoksidasi NH3 + CO2 + H2O NO2
nitrifikasi NO3
denitrifikasi +CH2O
N2 + N2O Gambar 2.2. Siklus nitrogen dalam proses oksidasi biologis (Eckenfelder, 1989)
1.1. Nitrifikasi Nitrifikasi dapat didefinisikan sebagai konversi biologis nitrogen dari komponen organik atau dari bentuk tereduksi ke bentuk teroksidasi.
Pada
penanganan pencemaran air, nitrifikasi adalah proses biologis yang akan mengoksidasi ion amoniak menjadi nitrit atau nitrat. Pada dasarnya, faktor-faktor yang berpengaruh pada proses nitrifikasi antara lain konsentrasi amonia dan nitrit, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu retensi (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), faktor pengendali nitrifikasi antara lain: konsentrasi amonia/nitrit, konsentrasi DO, pH, temperatur, dan rasio BOD5/ TKN. Konsentrasi DO diatas 1 mg/L adalah syarat untuk terjadinya nitrifikasi.
16
1.2. Denitrifikasi Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen. Konversi ini melalui beberapa sneyawa antara yaitu HNO2, NO, N2O. Proses denitrifikasi memerlukan elektron donor yang berasal dari bahan organik atau senyawasenyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Karena terbatasnya elektron donor sehingga senyawa antara tersebut sangat mudah terbentuk (Boyd,1984). Denitrifikasi merupakan langkah kedua dalam penyisihan nitrogen setelah proses nitrifikasi. Pembuangan nitrogen dalam bentuk nitrat dikonversi menjadi gas nitrogen dalam kondisi anoksik (tanpa oksigen). Reaksi untuk pengurangan nitrat: NO3-
NO2-
NO
N2O
N2
Tiga senyawa terkahir merupakan produk gas yang dapat dilepas ke atmosfer. Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses denitrifikasi antara lain konsentrasi bahan organik, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu retensi (Jenie dan Rahayu, 1993).
3. Penyisihan Fosfat Keberadaan fosfor dalam bentuk fosfat yang bersamaan dengan nitrat seakan memacu pertumbuhan alga pada badan air.
Limbah cair umumnya
mengandung fosfor dalam bentuk fosfat, polifosfat, dan senyawa-senyawa organik fosfor.
Konsentrasi PO4-3 0,5 mg/L
dapat mencegah pertumbuhan alga,
sedangkan pertumbuhan alga dapat dihentikan pada konsentrasi PO4-3 dibawah 0,005 mg/L (Reynolds, 1990). Penyisihan fosfat dilakukan pada kondisis aerobik karena pada kondisi anaerobik terjadi pembebasan ortofosfat sehingga kandungan ortofosfat pada sistem penanganan limbah cair akan meningkat. Pada kondisi aerobik terjadi pemanfaatan ortofosfat untuk sintesis sel dan disimpan untuk kebutuhan dimasa mendatang, bersamaan dengan penyisihan senyawa organik.
Proses aerobik
mampu menurunkan kandungan fosfat dalam limbah cair sekitar 10-30%. Proses penyisihan tidak akan berjalan pada konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,20,4mg/L. Efisiensi penyisihan fosfat dipengaruhi oleh oksigen terlarut, pH, konsentrasi biomassa dan laju aliran udara (Quevauviller dan Andre, 2006).
17
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Limbah cair usaha kegiatan peternakan dari MT Farm Ciampea b. Air Danau LSI IPB. c. Aquades d. Bahan kimia untuk analisis COD yaitu larutan K2Cr2O7 0.0167 M, reagen H2SO4, indikator ferroin, larutan FAS 0.1 M. e. Bahan kimia untuk analisis kadar nitrogen yaitu digestion reagen, larutan NaOH 6N, larutan H2SO4 0.02 N, larutan H3BO3 2%. f. Bahan kimia untuk analisis kadar ortofosfat yaitu larutan ammonium molibdat, larutan SnCl2. g. Bahan kimia untuk analisis kadar nitrat yaitu larutan standar nitrat, larutan NaCl 30%, larutan H2SO4, reagen brusin-asam sulfanilat. h. Bahan kimia untuk kerapatan sel metode haemacytometer yaitu larutan lugol 2%. i. Kertas milipore (0.45 μm) untuk mengetahui konsentrasi sel metode TSS.
2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tangki aerator untuk pretreatment limbah. b. Bak kultivasi berbahan kaca dan fiberglass. c. Alat-alat untuk analisis laboratorium (erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu takar, pipet mohr, pipet tetes, mikropipet manual, bulp, buret, haemacytometer, tabung ulir) d. Spektrofotometer DR 2000 e. Spektrofotometer HACH f. Alat destilasi Kjeldhal
g. Oven h. Pompa Vakum i. Penangas Air j. Mikroskop k. Reaktor COD
B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Tangki Aerator Tangki aerator terbuat dari torn berbahan plastik yang dilengkapi dengan pipa paralon berbahan PVC, pompa aerator, dan kran untuk mengatur aliran udara ke dalam torn, dalam tangki aerator dilengkapi dengan pipa paralon untuk membantu distribusi aerasi (Gambar 3.1). Pre-treatment ini bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik, mengurangi bau dari limbah, dan pengkondisian media untuk kultivasi mikroalga.
Kran pengatur udara
Kran pengeluaran limbah
Paralon distribusi udara
Blower
Tangki Pre Treatment
Gambar 3.1. Tangki Pre-Treatment Limbah Cair Peternakan
19
2. Pembuatan Bak Kultivasi Bak kultivasi untuk kultur konsorsium mikroalga didesain berbahan kaca dengan dimensi (25 x 40 x 50) cm3 = 50.000 cm3 = 50 L untuk penelitian pendahuluan dan
fiberglass dengan dimensi (100 x 60 x 40) cm3 =
240.000 cm3 = 240 L untuk penelitian utama. Bentuk bak kultivasi dapat dilihat pada Gambar 3.2.
a. Skala Kecil (28 L)
b. Skala Besar (240 L) Gambar 3.2. Bak Media Kultivasi Mikroalga
3. Pengambilan Limbah Cair Organik Limbah cair organik yang dipakai sebagai nutrien dalam sistem kultur konsorsium mikroalga ini diambil dari usaha kegiatan peternakan sapi pedaging MT Farm, Ciampea. Limbah
sumber ini diduga merupakan
penyebab algae blooming secara alami. Sehingga dapat dipastikan limbah ini mengandung nutrien yang dibutuhkan mikroalga secara umum.
4. Analisis Karakterisasi Limbah Organik dan Pre-treatment Sebelum limbah dipakai sebagai nutrien, terlebih dahulu dilakukan karakterisasi limbah dari segi nutrien, COD, TSS dan pH. Hal ini dilakukan untuk menduga perlu atau tidaknya faktor pengenceran serta pengendalian pH yang tepat terhadap limbah, sebelum diumpankan sebagai nutrien ke dalam sistem kultur konsorsium mikroalga. Pengujian kadar nutrien limbah untuk analisis kadar nitrogen dilakukan dengan metode TKN, analisis kadar fosfor dilakukan dengan metode Ortofosfat/
20
Stannous Chloride), analisis kadar kalium dilakukan dengan metode Absorption
Spectrophotometry
Departemen
Teknologi
(AAS)
Industri
oleh
laboratorium
Pertanian,
Fakultas
CDSAP, Teknologi
Pertanian,Institut Pertanian Bogor dan análisis kadar nitrat dilakukan dengan metode Brusin. Pengukuran TSS limbah dilakukan dengan menggunakan
kertas
saring
milipore
(0.45
μm)
dan
metode
spektrofotometer DR 2000. Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter Beckman terkalibrasi. Setelah selesai dilakukan pengujian karakterisasi limbah cair, dilanjutkan dengan pre-treatment yang bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik dalam limbah dan bau dari limbah cair peternakan.
5. Media Pertumbuhan Media pertumbuhan yang digunakan adalah limbah cair kegiatan peternakan. Kadar nutrien N, P, K serta pH yang telah diketahui dari limbah, kemudian dibandingkan dengan kadar nutrien N, P, K serta pH yang optimum bagi pertumbuhan mikroalga pada literatur. Hal ini dilakukan untuk menentukan faktor pengenceran serta pengendalian pH yang tepat. Volume keseluruhan media dalam kolam sebanyak 100 liter, dimana volume limbah cair 75% ( 75 liter).
6. Inokulum Mikroalga diambil Sampel konsorsium mikroalga dalam sistem kultur ini berasal dari Danau LSI IPB yang diduga memiliki banyak kandungan mikroalga dengan parameter badan air yang ditandai dengan warna hijau tua. Sampling dilakukan di lima titik acak dengan jumlah 25% dari volume keseluruhan kultur per kolam yakni 25 L.
7. Analisis Kualitas Media Kultur (Eliminasi Nutrien) Limbah yang dipakai sebagai nutrien dalam kultur mikroalga diukur parameter eliminasi nutriennya seperti kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/ DO), chemical oxygen demand (COD), total suspenden solid
21
(TSS), kadar N-organik, kadar N-NH3, kadar N-NO3-, kadar fosfat, kadar kalium, pH, serta suhu. Metode analisis kadar N-organik, N-NH3, N-NO3, fosfat, kalium, COD, TSS, dan pH dijelaskan di Lampiran 1. Untuk analisis DO menggunakan DO meter, pengukuran suhu menggunakan termometer, dan analisis kadar kalium diuji oleh CDSAP Teknologi Industri Pertanian IPB, dengan metode APHA ed 20th 311B, 2005.
8. Analisis Pertumbuhan Mikroalga Pertumbuhan mikroalga dari kedua kolam dicek pertumbuhannya setiap dua hari (mulai hari ke-0 sampai hari ke-24) dan menerapkan sistem semi kontinu pada saat pertumbuhan mikroalga memasuki fase stasioner. Pengamatan pertumbuhan mikroalga dilakukan di laboratorium melalui perhitungan kerapatan sel dengan metode Haemacytometer, konsentrasi sel dengan metode TSS (metode spektrofotometer dan menggunakan kertas saring
milipore)
dan
prevalensi/dominasi
konsorsium dengan metode SRC.
jenis
mikroalga
dalam
Penentuan prevalensi dan dominasi
jenis mikroalga dalam konsorsium dilakukan oleh Laboratorium Produktivitas
dan
Lingkungan
Perairan
(ProLing),
Departemen
Manajemen Sumberdaya dan Perairan, Fakultas Perikanan IPB.
9. Teknik Kultivasi Mikroalga dengan Sistem Semi Kontinu Kultivasi mikroalga dilakukan denga tiga kali percobaan secara semi kontinu. Percobaan I dilakukan dengan membuat media pertumuhan yaitu 75% limbah cair peternakan ditambah 25% kultur mikroalga. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum dilakukan pemanenan sebanyak 25% secara semi kontinu.
Dilanjutkan dengan percobaan II yaitu setelah
penambahan nutrien (limbah cair peternakan sebanyak 25%) dan diamati pertumbuhan mikroalga setelah mulai kehabisan nutrien dan pertumbuhan mikroalga mulai berkurang dilakukan pemanenan sebanyak 75% secara semi kontinu, supaya mikroalga yang mati tidak menjadi toksik bagi lingkungannya.
Setelah ditambah nutrien (limbah cair peternakan)
sebanyak 75% dilakukan percobaan III dan diamati sampai media
22
kehabisan nutrien untuk pertumbuhan mikroalga, hal ini dapat dilihat dari mikroalga yang sudah memasuki fase kematian.
10. Teknik Pemanenan Mikroalga Teknik pemanenan mikroalga dilakukan dengan cara sentrifugasi, yaitu dengan cara memasukkan kultur hasil panen ke dalam tabung sentrifuse, kemudian diputar pada kecepatan yang tinggi (2500 rpm) selama 20 menit. Setelah selesai disentrifuse air pada yang sudah terpisah dari endapan mikroalga dipipet, mikroalga yang mengendap pada bagian dasar tabung dipindahkan ke dalam cawan petri, kemudian dikeringkan di oven pada suhu ± 650C, sampai mikrolaga terlihat kering secara fisik.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI LIMBAH PETERNAKAN Limbah yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair yang berasal dari usaha kegiatan peternakan sapi pedaging di MT Farm, Ciampea. Limbah cair yang digunakan berupa urin sapi, air bekas pembersihan sapi dan pembersihan kandang sapi. Volume urin yang dihasilkan oleh sapi pedaging pada kegiatan usaha peternakan sapi MT Farm Ciampea ini 5-10 liter/ekor/sapi.
Menurut Mubaroq
(2009), volume urin dari sapi perah sebanyak 10-20 liter/ekor/hari. Secara garis besar tujuan dari pengolahan limbah cair secara biologis adalah untuk perombakan ikatan karbon (eliminasi BOD atau COD), eliminasi nitrogen (nitrifikasi dan denitrifikasi), eliminasi fosfor, pemisahan partikel tersuspensi, dan disinfeksi. Pengolahan limbah cair peternakan ini dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai media kultivasi mikroalga. Sebelum limbah tersebut digunakan dalam penelitian, limbah di-treatment terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan bahan organik dan bau yang ditimbulkan limbah. Limbah di-treatment pada tangki aerator selama lima minggu.
Setelah limbah di-treatment dilakukan karakterisasi limbah untuk
mengetahui kandungan nutrien yang terdapat dalam limbah.
Hasil pengujian
karakterisasi limbah cair peternakan tersaji pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Karakterisasi Limbah Cair Peternakan Nilai (mg/L) Parameter
Sebelum
Sesudah
pretreatment
pretreatment
Ortofosfat
12,78
11,12
N-NH3
10,95
4,09
N-NO3
3,54
5,14
N-Organik
13,65
6,82
COD
1846
989
TSS Millipore
385
160
TSS Spektrofotometer
380
100
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat nilai kandungan bahan nutrien dalam limbah cair peternakan berkurang kecuali kandungan N-NO3, jumlahnya meningkat. Kenaikan kadar N-NO3 ini disebabkan adanya reduksi kandungan N-organik dalam limbah menjadi N-NH3 melalui proses hidrolisis. Kadar N-NH3 berkurang karena terjadi proses nitrifikasi yang menghasilkan produk akhir N-NO3 sehingga kadar N-NO3 dalam limbah cair ya di-treatment ini meningkat. Pospat dan N-NO3 menunjukkan kandungan bahan nutrien dalam limbah cair. Dari nilai COD dapat diketahui total kandungan bahan organik termasuk total nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nilai TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi menunjukkan padatan yang tersuspensi di dalam limbah cair berupa bahan-bahan organik dan anorganik. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari/ cahaya ke dalam air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser yang terdapat dalam perairan.
B. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA Mikroalga merupakan tumbuhan air yang berukuran mikroskopik, memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan, baik sebagai sumber pangan, pakan, farmasi, dan saat ini sudah mulai dikembangkan sebagai sumber bahan bakar alternatif (biofuel). Mikroorganisme ini berfotosintesis untuk mengubah cahaya matahari dan karbondioksida menjadi karbohidrat sebagai sumber energi untuk kelangsungan hidupnya. Budidaya mikroalga sangat menarik karena tingkat pertumbuhan yang tinggi dan cepat, dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan yang bervariasi. 1.
Karakterisasi Inokulum Mikroalga Mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari air danau LSI
IPB. Pemilihan inokulum dari danau ini karena jumlahnya tersedia dalam jumlah banyak, dan diyakini banyak terdapat mikroalga dalam danau LSI IPB, hal ini dapat dilihat dari penampakan air danau secara fisik yang berwarna hijau seperti pada Gambar 4.1. Jenis mikroalga ini juga sudah beradaptasi dengan iklim lingkungan di Bogor. Hasil pengujian karakterisasi air danau LSI IPB tersaji pada Tabel 4.2 dan
25
hasil analisisi dominasi dan prevalensi konsorsium mikroalga danau LSI IPB tersaji paba Tabel 4.3.
Gambar 4.1. Danau LSI IPB Tabel 4.2. Hasil Karakterisasi Air Danau LSI IPB Karakteristik
Hasil
Fosfat
10,7 mg/L
N-Organik
4,09 mg/L
N-NH3
2,73 mg/L
N-NO3
0,289 mg/L
COD
4614 mg/L
TSS-millipore
60 mg/L
TSS-spektrofotometer
46 mg/L
Kerapatan sel
361111 ind/ml
(Sumber : Rachmad Danu Subrata, 2010)
Sampel inokulum mikroalga dari danau LSI dilakukan juga analisis prevalensi dan dominansi untuk mengetahuia jenis mikroalga yang terdapat dalam inokulum yang aka digunakan. Hasil pengujian tersaji pada Tabel 4.3. Dari hasil analisis ini terdapat 13 taksa mikroalga yang terdapat dalam konsorsium mikroalga dari air danau LSI IPB. Jumlah total mikroalga yang terdapat dalam sampel yang diuji sebanyak 46.688 individu/liter. keseragaman sebesar 0,73.
Indeks keragaman sebesar 1,87; indeks
Dari hasil nilai perhitungan analisis mikroalga ini,
keragaman mikroalga masih tergolong rendah, ditunjukkan dari nilai keragaman masih dibawah 2,3026
(keterangan nilai ketentuan keragaman dapat dilihat di
Lampiran 2). Nilai keseragaman berkisar antara 0-1, dan dari hasil perhitungan analisis mikroalga ini nilai keseragaman mendekati satu (0,73), maka jumlah setiap spesies/taksa hampir sama.
Dari 13 taksa ini tidak ada jenis mikroalga yang
26
mendominasi, walaupun jumlah Selenastrum sp dan Ankristodesmus lebih banyak dibandingkan jenis mikroalga yang lain, namun kedua jenis mikroalga belum cukup mendominasi dari total seluruh mikroalga yang terdapat dalam konsorsium ini. Hal ini ditunjukkan dari data indeks dominasi yang bernilai 0,206 (masih dibawah 0,5). Untuk ketentuan nilai dan cara pernitungan indeks keragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi tersaji di Lampiran 2.
Tabel 4.3. Hasil Analisis Prevalensi dan Dominasi Mikroalga dalam Konsorsium Organisme CYANOPHYCEAE Microcystis sp. EUGLENOPHYCEAE Euglena sp. Trachelomonas sp. CHOLOPHYCEAE Ankistrodesmus Dictyosphaerium sp. Gloeocystis Westella sp. Gloeotilla sp. Kirchneriella sp. Selenastrum sp. XANTHOHYCEAE Centritractus sp. CRYPTOPHYCEAE Cryptomonas sp. DINOPHYCEAE Glenodinium sp. Jumlah Taksa Kelimpahan Total (ind/l) Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominasi 2.
Kelimpahan (ind/l) 4444 356 178 8800 5600 266 4622 3733 2311 18400 89 711 178 13 49688 1.87 0.73 0.206
Pertumbuhan Mikroalga pada Limbah Cair Peternakan Mikroalga merupakan komponen dasar dalam rantai makanan dalam
lingkungan air. Organisme ini menyimpan energi selama fotosintesis dan berguna sebagai produsen dalam jaring-jaring makanan. Pertumbuhan adalah bertambahnya 27
susbtansi sebagai akibat dari metabolisme biota tersebut. Menurut Dwidjoseputro (1986), pertumbuhan untuk organisme bersel satu (unisel) diartikan sebagai pertambahan jumlah sel. Laju pertumbuhan untuk organisme bersel satu adalah jumlah sel persatuan waktu. Laju pertumbuhan mikroalga akan membentuk kurva pertumbuhan mulai dari fase lag (fase adaptasi), fase eksponensial, fase penurunan pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian.
Pertumbuhan mikroalga
dipengaruhi oleh konsentrasi DO, pH, suhu, kekeruhan, keadaan di permukaan air, dan ketersediaan nutrien dalam air tersebut. Pola pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini diketahui dengan cara menghitung jumlah sel dibawah mikroskop dengan menggunakan hemasitometer. Untuk mengetahui pola dan waktu pertumbuhan mikroalga pada limbah cair peternakan, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan, yaitu kultivasi pada skala kecil dengan menggunakan bak aquarium. Pada penelitian pendahuluan ini ada dua perlakuan konsentrasi: bak I (75% limbah : 25% mikroalga), bak II (50% limbah : 50% mikroalga). Pada penelitian pendahuluan ini perhitungan jumlah sel dilakukan pada hari pertama dan setelah media mulai terlihat berwarna hijau.
Hasil
perhitungan dari sampel yang diamati tersaji pada Lampiran 4. Kurva pertumbuhan mikroalga dalam penelitian pendahuluan ini dapat dilihat pada Gambar 4.2. 2,000,000
Kerapatan sel (ind/ml)
1,800,000 1,600,000 1,400,000
1L
1,200,000 1,000,000
2L
1L
800,000
75%:25% 50%:50%
600,000 400,000 200,000 0 0
5
10
15
20
25
Hari ke-
Gambar 4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair Peternakan Keterangan :
= pemanenan mikroalga = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
28
Sel mikroalga sangat tahan dalam kondisis lingkungan yang tidak sesuai bagi pertumbuhan optimumnya, karena dapat membentuk spora dorman terhadap kodisi lingkungan yang buruk.
yang tahan
Hal ini ditunjukkan dapat bertahannya
kultur mikroalga pada media limbah cair, saat fase adaptasi mulai dari H-0 sampai H-11. Pada penelitian pendahuluan ini setelah terjadi pertumbuhan mikroalga yang mulai melimpah dilihat dari penampakan fisik seperti pada Gambar 4.3, dilakukan pemanenan mikroalga yang tumbuh dipermukaan media mulai H-13 tanpa penambahan nutrien dan juga pada H-17. Setelah mikroalga dipanen dilakukan pengadukan media, supaya nutrien yang mengendap dibagian bawah tercampur keseluruh bagian media. Teknik pemanenan seperti ini dilakukan untuk memastikan nutrien yang tersedia dalam media sudah berkurang sampai batas minimum kemampuan mikroalga hidup. Pemanenan mikroalga di bagian atas juga bertujuan membantu penetrasi cahaya ke dalam media.
Pada H-19 dilakukan pemanenan
diikuti dengan penambahan nutrien. Dari grafik kelimpahan mikroalga terlihat setelah pemanenan mikroalga tanpa penambahan nutrien pertumbuhan mikroalga semakin menurun (memasuki fase kematian),
hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan nutrien pada media semakin sedikit. Sementara pemanenan yang diikuti dengan penambahan nutrien pada H-19, terlihat lagi pertumbuhan mikroalga (memasuki fase eksponensial). Pada bak I kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan bak II. Dari dua perlakuan konsentrasi ini, bak I menjadi pilihan untuk penelitian utama karena kelimpahan mikroalga lebih banyak dibandingkan dengan bak II, selain itu juga jumlah limbah yang didegradasi lebih banyak, sehingga lebih banyak manfaatnya untuk penanganan limbah cair peternakan. Pengukuran biomassa pada penelitian ini didasarkan pada biomassa kasar, karena teknik kultur alga murni sulit diterapkan, khusunya pada skala besar (skala lapangan). Biomassa kasar masih mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, bakteri serta mikroorganisme lainnya seperti jamur dan kadang-kadang protozoa. Selain dari perhitungan kerapatan sel dengan hemasitometer, kelimpahan mikroalga juga dapat diketahui dengan menghitung total suspenden solid (TSS) pada media ini. TSS adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45μm. Data
29
hasil pengamatan pada kultivasi mikroalga skala kecil dapat dilihat di Lampiran 3. Untuk TSS pada kedua perlakuan ini tersaji pada Gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.3. Pertumbuhan Mikroalga pada Skala Kecil.
2500
TSS (mg/L)
2000 1500 Millipore
1L 2L
1L
1000
Spektrofotometer
500 0 0
5
10
15
20
25
Hari keKeterangan :
= pemanenan mikroalga = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.4. Kurva Total Suspended Solid pada Bak I (75% : 25%)
30
TSS (mg/L)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
75% Limbah (Bak I)
1L
0
5
10
1L
50% Limbah (Bak II)
2L
15
20
25
Hari ke-
Keterangan :
= pemanenan mikroalga = pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.5. Kurva Total Suspended Solid pada Bak II (50% : 50%)
Cahaya dan klorofil merupakan faktor penting dalam proses fotosintesis mikroalga. Mikroalga mampu mengasimilasi karbon inorganik untuk dikonversi menjadi senyawa-senyawa organik. Oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan intensitas cahaya, serta periode pencahayaan dalam sistem kultur mikroalga. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan mikroalga yang melakukan fotosintesis. Kebutuhan cahaya tergantung pada kedalaman dan kepadatan kultur, semakin dalam kultur
dan semakin tinggi
kepadatan kultur,
intensitas cahaya yang dibutuhkan semakin tinggi. Pada penelitian ini yang terlihat secara fisik adalah pertumbuhan mikroalga hijau. Mikroalga hijau akan melimpah pada kondisi suhu dan cahaya yang tinggi. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroalga berkisar antara 20-300C.
Suhu
mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam air dan organisme yang hidup di dalamnya.
Peningkatan suhu air dapat meningkatkan
aktifitas mikroalga, karena reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam tubuh mikroalga semakin cepat. Dalam penelitian ini suhu media pertumbuhan mikroalga cenderung fluktuatif yaitu berada pada kisaran 24-320C, hal ini disebabkan karena penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan lapangan, jadi sangat tergantung dengan suhu lingkungan. pH optimum untuk pertumbuhan mikroalga berada pada kisaran 4-11.
31
12
30
10
25
8
20
pH
Suhu ( °C)
35
15
6 4
10 5
2
0
0 0 2 4 6 8 1012141618202224
0 2 4 6 8 1012141618202224
Hari ke-
Hari ke-
Gambar 4.6. Suhu dan pH media kultivasi
Dalam penelitian ini pH media pertumbuhan mikroalga berada pada kisaran 7-11, dan pH media pertumbuhan mikroalga cenderung naik (data hasil pengukuran pH tersaji di Lampiran 6).
Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan
komponen tertentu. Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber nitrogen menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan pengambilan CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan. Keterbatasan CO2 merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis yang dapat meningkatkan pH media hingga pH 11 atau lebih sehingga pertumbuhan mikroalga terhenti. Peningkatan nilai pH ini disebabkan oleh penurunan kandungan CO2. Kandungan CO2 berkurang karena proses fotosintesis mikroalga menggunakan CO2 yang terlarut dalam air limbah.
C. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN Nutrien merupakan substansi yang dibutuhkan organisme untuk bertahan hidup atau yang dibutuhkan untuk sintesis komponen organik sel (pertumbuhan sel). Nutrien yang dibutuhkan mikroalga untuk pertumbuhan sel ada unsur hara makro (C, H, N, P, K, S, Mg, dan Ca) dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn, dan Si).
Diantara unsur makro ini N dan P sering menjadi faktor pembatas
pertumbuhan mikroalga (Reynolds, 1990).
32
1.
Eliminasi Nitrogen Nitrogen merupakan unsur makronutrien yang berpengaruh terhadap kegiatan metabolisme sel yaitu proses transportasi, katabolisme, asimilasi, dan khusunya biosintesis protein
(Agustini dan Kabinawa, 2002).
Nitrogen merupakan
nutrien, karenanya mikroorganisme hadir dalam proses penanganan yang akan mengasimilasi amonia-nitrogen dan memasukkannya ke dalam massa sel. Nitrogen yang terdapat dalam berbagai bentuk di alam seperti nitrogen organik, amonia (NH3), ion amonium (NH4+), ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-), merupakan nutrien yang harus dibatasi jumlahnya dalam air limbah (air buangan), supaya pertumbuhan alga dapat dikontrol dalam badan air. Kandungan nitrogen dalam badan air perlu dibatasi karena N-NH3 dalam jumlah yang tinggi bersifat racun bagi ikan, NH3 dalam jumlah rendah dan NO3merupakan nutrien untuk pertumbuhan alga yang melampaui batas, dan konversi NH4+ menjadi NO3- mengkonsumsi DO dalam jumlah yang tinggi. Eliminasi nitrogen di alam dapat terjadi secara kimia dan biologis. Mekanisme eliminasi nitrogen yang terdapat dalam limbah tergantung dari bentuk nitrogen yang ada (nitrogen organik, amonia, atau nitrat). Eliminasi nitrogen dapat terjadi melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi adalah oksidasi ammonium dan nitrat ke nitrit, karena ammonium merupakan polutan pengkonsumsi oksigen dan penghasil racun bagi ikan, jika pH>7. Nitrat bersifat relatif tidak toksik. Dasar-dasar nitrifikasi Hirolisis N-organik + H2O
NH4+ + OH-
Nitrifikasi tahap I oleh nitrosomonas NH4+ + 1.5 O2
NO2- + 2H+ + H2O + energi
Nitrifikasi tahap II oleh nitrobakter NO2- + 0.5O2
NO3- + energi
Reaksi total NH4+ + 2O2 NO3- + 2 H+ + H2O + energi Nitrat adalah indikasi terjadinya nitrifikasi yaitu amonia dalam air limbah dioksidasi menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat. Nitrat merupakan produk
33
akhir dekomposisi aerobik dari senyawa nitrogen organik.
Menurut
Sastrawijaya (1991) nitrat air terbanyak diproduksi oleh mikrooragnisme. Kadar nitrat yang tinggi dapat disebabkan oleh pembusukan sisa tanaman dan hewan, limbah industri, kotoran hewan, dan pengotor dari lahan pertanian. Eliminasi nitrogen dalam bentuk nitrat dengan mengkonversi menjadi gas nitrogen dapat dicapai pada kondisi anoksik (kondisi tidak adanya oksigen terlarut). Proses ini dikenal sebagai denitrifikasi. Tahap denitrifikasi adalah produksi nitrik oksida, nitrous oksida, dan gas nitrogen. Reaksi penguraian adalah sebagai berikut: NO3Beberapa
NO2-
NO
N2O
mikroorganisme
Achromobacter,
N2
yang
Aerobacter,
terlibat
Alcaligenes,
dalam
denitrifikasi
Bacillus,
adalah
Brevibacterium,
Flavobacterium, Lactobacillus, Micrococcus, Proteus, dan Spirillum. (Metcalf dan Eddy, 1991). Kondisi temperatur mempengaruhi laju eliminasi nitrat dan laju pertumbuhan mikroorganisme, karena mikroorganisme sensitif terhadap perubahan temperatur. Eliminasi nitrat dalam media kultivasi ini terjadi karena mikroalga yang tumbuh mengikat nitrat yang tersedia dalam lingkungannya. Nitrat menjadi sumber nutrien utama dalam pertumbuhan mikroalga, berperan dalam pembentuka protein sel. Nitrogen yang ada dalam komponen organik bisa dikatakan nitrogen organik. Nitrogen tersebut termasuk
nitrogen dalam asam amino, amida, imida,dan
turunan nitro (Sawyer et al., 2001). Nitrogen organik bisa berhubungan dengan padatan tersuspensi dalam air limbah dihilangkan dengan sedimentasi dan filtrasi. Beberapa nitrogen organik dihidrolisis menjadi asam amino yang larut dan memungkinkan pemecahan lebih lanjut untuk melepas amonium (NH4+) (Metcalf dan Eddy, 1991). Selama proses penguraian mikrobiologis baik secara alamiah di dalam air sungai, maupun diatur dalam
sistem pengolahan air
buangan, zat organik tersebut melepaskan nitrogen sebagai amonia (NH3). Nitrogen dalam air limbah umumnya dalam bentuk N-organik dan Namonium (N-NH4+).
N-organik dan NH4+ merupakan bahan pengkonsumsi
oksigen, sehingga mengganggu kesetimbangan ekosistem badan air. Nitrogen terlarut dalam limbah cair akan dikonversi menjadi beberapa bentuk yaitu
34
amonia (NH3), ion nitrit (NO2-), ion nitrat (NO3-) dan molekul organik seperti asama amino. Pada sistem perairan alami, nitrat merupakan senyawa yang paling dominan dan selanjutnya amonia dan nitrit. Pada penelitian ini jenis nitrogen terlarut dalam limbah cair peternakan yang diuji adalah N-organik, NNH3, dan N-NO3. Dari ketiga jenis nitrogen ini pada H-0 kadar N-organik paling tinggi yaitu 5,46 mg/L, namun untuk data secara keseluruhan selama kultivasi mikroalga pada limbah cair peternakan kandungan N-nitrat lebih tinggi diantara ketiga jenis nitrogen yang diuji ini. Data hasil pengujian nitrogen tersaji pada Lampiran 7. 15.00
konsentrasi (mg/L)
12.00 9.00
25 L
6.00
75 L
3.00 0.00 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.7. Kurva Eliminasi Nitrat dari Limbah Cair Peternakan
Nitrat merupakan nutrien utama untuk pertumbuhan tanaman air.
Nitrat
adalah senyawa stabil dan merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein dalam tumbuhan dan hewan. Jenis nitrogen yang langsung diikat oleh mikroalga adalah dalam bentuk nitrat. Kadar N-NO3 yang tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan jenis nitrogen lain, akan menyebabkan mikroalga terbiasa terlebih dulu menggunakan N-NO3 sebagai sumber nitrogen utama untuk pertumbuhan sel. Pada awal kultivasi (H-0) kandungan nitrat pada media kultivasi 4,54 mg/l dan pada H-12 kandungan nitrat pada media turun menjadi 3,68, terjadi penurunan kadar nitrat sebesar 18,9% selama 12 hari.
35
Seperti yang tersaji pada Gambar 4.7 (data hasil pengukuran kadar nitrogen tersaji pada Lampiran 7).
Kurva kadar nitrat pada media ini cenderung
menurun. Pada H-14 dan H-18 terjadi kenaikan kurva nitrat karena adanya penambahan limbah cair peternakan (sebagai nutrien untuk kultivasi mikroalga) sebanyak jumlah yang dipanen yaitu 25 liter pada H-12 dan 75 liter pada H-16. Dari H-18 dengan kadar nitrat 4,02 mg/L sampai H-24 dengan kadar nitrat 3,33 mg/L terjadi penurunan kadar nitrat sebesar 17,2% selama 6 hari. Berdasarkan hasil pengukuran, penurunan kadar nitrat pada penelitian ini dipengaruhi oleh waktu detensi.
12
kadar N (mg/L)
10
25 L
8
75 L
N-organik N-NH₃
6
N-NO₃
4
Total Nitrogen 2 0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.8. Kurva Eliminasi Nitrogen dari Limbah Cair Peternakan
Persensate penurunan mulai kadar nitrogen pada percobaan I yaitu mulai H-0 sampai H-12 sebesar 50,8%, pada percobaan kedua yaitu H-14 sampai ke-16 sebesar 11,1 %, dan pada percobaan ketiga yaitu mulai dari H-18 sampai H-24 sebesar 39,3%. Data hasil pengujian nitrogen tersaji pada Lampiran 7. Dari data ini terlihat perbedaan persentase penurunan kadar nitrogen dari media limbah cair pada masing-masing percobaan. masing-masing percobaan juga berbeda.
Hal ini terjadi karena waktu
Rata-rata laju penurunan kadar
nitrogen dari media limbah cair peternakan ini yang digunakan untuk kultivasi mikroalga mulai dari H-0 sampai H-24 sebasar 5,45%/hari atau 0,44 mg/hari. 36
Transformasi bentuk senyawa nitrogen dapat dijadikan sebagai prinsip untuk penyisihan nutrien secara biologis. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4+ pada pH rendah dan disebut amonium.
Amonia dapat
mengakibatkan keadaan kekurangan oksigen pada air karena konversi amonia menjadi nitrat membutuhkan 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia. Dengan keadaan tersebut maka kadar oksigen terlarut dalam cairan akan turun. Dari data hasil pengamatan seperti yang tersaji pada Lampiran 7, terlihat penurunan kadar N-NH3 dari 1,40 mg/l menjadi 0,56 mg/l (pengurangan sebesar 60%). Penurunan kadar NH3 ini karena terjadinya proses nitrifikasi sehingga terbentuk NO3 yang menjadi sumber nutrien untuk pertumbuhan mikroalga.
2.
Eliminasi Fosfat Fosfor di dalam limbah cair terdapat dalam bentuk ortofosfat (PO43-), polifosfat, dan fosfor yang terikat secara organik.
Mikroorganisme
menggunakan fosfor selama sintesa sel dan transport energi berlangsung. Fosfor merupakan bagian dari unsur hara anorganik sebagai unsur pembatas yang dibutuhkan mikroalga untuk tumbuh dan berproduksi.
Fosfor diperoleh
mikroalga dari senyawa fosfor organik (ion ortofosfat) dan ada juga dari fosfor organik terlarut. Fosfor berperan dalam proses pembentukan sel mikroalga dan juga dalam proses pengalihan energi di dalam sel. Menurut Krisanti, 2003 kekurangan fosfor akan mengakibatkan kekerdilan dan kematangan tertunda. Fosfor yang tersedia dalam limbah cair akan diikat oleh mikroalga untuk kebutuhan pembentukan, pertumbuhan, dan pematangan sel. Pada awal percobaan pada penelitian utama terjadi penurunan kadar orfosfat media sebesar 3,26% yaitu dari H-0 (10,42 mg/L) menjadi (10,08 mg/L) pada H-12, dan pada H-12 dilakukan pemanenan sebanyak 25% secara semi kontinu yaitu dengan penambahan nutrien kedalam media sebanyak jumalah yang dipanen.
Data
penurunan kadar ortofosfat tersaji pada Lampiran 8 dan Gambar 4.9.
37
10.80 10.60
konsentrasi (mg/L)
10.40
25 L 10.20
75 L
10.00 9.80 9.60 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.9. Kurva Eliminasi Ortofosfat dari Media
Dari hasil analisis ini terlihat penurunan kandungan ortofosfat, karena dalam media ini jumlah mikroalga semakin banyak yang tumbuh sehingga kebutuhan akan nutrien fosfor juga semakin besar. Pada H-12kadar ortofosfat meningkat karena penambahan nutrien sebanyak 25%, setelah dilakukan pemanenan pada H-12. Dari H-14 sampai H-16 penurunan kadar ortofosfat sebesar 1,49%. Pada H-16 dilakukan lagi pemanenan sebanyak 75% secara semi kontinu, dan pada H18 terlihat peningkatan kadar orfofosfat dari 9,93 mg/l (H-16) menjadi 10,57mg/l (H-18).
Pengamatan dilakukan sampai terlihat pertumbuhan
mikroalga pada media sudah sangat sedikit (berada pada fase kematian) yaitu pada H-24, dan kadar ortofosfat pada H-24 sebesar 10,15 mg/l. Dari data ini penurunan kadar ortofosfat mulai dai H-18 samapi H-24 sebesar 3,97%. Penurunan kadar ortofosfat terlihat paling tinggi pada percobaan III (pemanenan sebanyak 75%), hal ini dapat disebabkan karena pertumbuhan mikroalga pada percobaan III ini lebih melimpah dibandingkan percobaan I dan II, dan juga karena mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi dengan media limbah cair peternakan. Laju penurunan kadar ortofosfat dari limbah cair peternakan yang
38
digunakan sebagai media kultivasi mikroalga sebesar 0,34%/hari atau 0,06 mg/hari. Untuk data lengkap hasil pengukuran analisis kadar ortofosfat dapat dilihat pada Lampiran 8.
Eliminasi Kalium Pada kultur mikroalga kalium dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat . (Becker, 1994). Mulai dari H-0 sampai H-12 seperti yang tersaji pada Gambar 4.11 terlihat penurunan kurva konsentrasi kalium pada media limbah cair peternakan sebesar 36% yaitu dari 698 mg/L pada H-0 menjadi 446 mg/L pada H-12. Data hasil pengujian kadar kalium tersaji pada Lampiran 10. Setelah H12 terjadi kenaikan kurva konsentrasi kalium pada media limbah cair peternakan karena adanya penambahan nutrien (limbah cair peternakan) pada H-12 dan H16 setelah dilakukan pemanenan. Sampel yang diuji untuk analisis kadar kalium pada H-12 dan H-16 adalah sampel sebelum dilakukan penambahan nutrien. Eliminasi kalium berbanding terbalik dengan pertumbuhan mikroalga yang terdapat pada mediakultivasi. Semakin banyak mikroalga yang tumbuh dalam media kultivasi maka metabolisme karbohidrat semakin banyak yang terjadi, dan untuk metabolisme ini sel mikroalga mengikat kalium yang terdapat dalam media pertumbuhannya (limbah cair peternakan).
konsentrasi (mg/L)
3.
800 700 600 500 400 300 200 100 0
75 L
25 L
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.10. Kurva Eliminasi Kalium dari Limbah Cair Peternakan
39
4.
Eliminasi COD Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam perairan secara kimiawi. Kadar bahan organik yang terkandung dalam limbah cair dapat diukur dari nilai COD. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya bahan organik di perairan. COD merupakan indikator pencemaran di badan air. Nilai COD menunjukkan keberadaan zat-zat organik yang secara ilmiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis sehingga mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di perairan. COD juga menggambarkan banyaknya zat organik yang tidak mengalami penguraian dalam air. Nilai COD yang semakin rendah menunjukkan bahwa kandungan bahan organik dalam air tersebut semakin sedikit, dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat pencemaran diperairan rendah. Pengurangan kandungan COD dalam limbah cair peternakan dapat dilihat pada Gambar 4.12. Pada kurva ini terlihat nilai COD paling rendah terdapat pada H-8, H-12, H-16, dan H- 24 yaitu sebesar 165 mg/L, untuk data hasil analisis dapat dilihat di Lampiran 9. Pada H-12 dan H-16 dilakukan pemanenan secara semi kontinu, sehingga pada H-14 dan H-18 terjadi kenaikan nilai COD, karena penambahan limbah cair peternakan ke dalam media kultivasi, dengan penambahan limbah cair ini kandungan bahan organik dalam media akan meningkat juga.
Mulai H-18
sampai H-24 kandungan COD dalam media kultivasi limbah peternakan ini semakin menurun terus, ini menunjukkan bahan organik yang tersedia dalam media semakin berkurang terus. Pada H-24 nilai COD mencapai titik terendah lagi,
menunjukkan bahwa kandungan bahan organik sudah mencapai titik
terendah yang dapat dieliminasi oleh mikroorganisme yang terdapat dalam media kultivasivasi yang sudah tidak terlihat hijau lagi.
Pada titik ini juga
mikroalga sudah berada pada fase kematian, terlihat dari jumlah biomassa, kerapatan sel, dan penampakan media kultur.
Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan mikroalga pada penelitian ini mampu mengurangi kandungan bahan organik pada limbah cair peternakan sampai mencapai titik konsentrasi COD 165 mg/L.
40
800 700
COD (mg/L)
600 500 400
75 L
25 L
300 200 100 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.11. Kurva Eliminasi COD dari Limbah Cair Peternakan
Bahan organik bertindak sebagai donor elektron dalam proses denitrifikasi nitrogen teroksidasi.
Bahan organik adalah senyawa organik yang dapat
bertindak sebagai sumber energi bagi mikroba yang melakukan denitrifikasi (Curds dan Hawkes, 1983). Pada proses anaerobik karbon yang terdapat dalam limbah diubah menjadi asam-asam organik, CO2 dan CH4, pada proses denitrifikasi komponen karbon digunakan sebagai donor elektron, dan pada proses nitrifikasi komponen karbon digunakan untuk pertumbuhan sel organisme. Terjadinya peningkatan kadar COD dalam media kultivasi, seperti yang terlihat pada Gambar 4.11, yaitu pada H-6 dan H-10 tanpa adanya penambahan nutrien, dapat disebabkan meningkatnya kandungan bahan organik yang berasal dari degradasi sel mikroalga yang mati.
D. BIOMASSA ALGA 1.
Jenis Mikroalga Mikroalga sangat toleransi terhadap perubahan lingkungan, namun tidak semua jenis mikroalga dapat tumbuh dalam suatu media.
Mikroalga hasil
kultivasi dengan menggunakan media limbah cair peternakan dianalisis dengan metode pencacahan Strip-SRC di Laboratorium Produktivitas dan lingkungan
41
perairan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan IPB.
Hasil
analisis jenis mikroalga tersaji pada Tabel 4.4 Tabel 4.4. Hasil Analisis Prevalensi Dominansi Kultivasi Mikroalga dari Limbah Cair Peternakan Organisme
Kelimpahan (ind/100 ml sampel)
Euglenophyceae Euglena sp
535.294
Bacillariophyceae Fragilaria sp
110.294
Jumlah taksa
2
Kelimpahan
645.288
Indeks keragaman
0,46
Indeks keseragaman
0,66
Indeks dominansi
0,72
Dari hasil analisis terdapat dua jenis mikroalga yang tumbuh dalam media kultivasi limbah cair peternakan, hal ini menunjukkan bahwa tidak semua jenis mikroalga dapat tumbuh pada suatu jenis media. Pada awal kultivasi mikroaga yang digunakan dari air danau LSI IPB terdapat 13 jenis mikroalga, dan disini mikroalga yang dapat bertahan adalah Euglena sp. Indeks keragaman dengan nilai 0,46 masih tergolong rendah karena berada dibawah 2,3026 (keterangan nilai ketentuan tersaji pada Lampiran 2).
Indeks keseragaman pada jenis
mikroalga ini 0,66 nilai ini mendekati satu, maka jumlah setiap spesies hampir sama.
Indeks dominansi bernilai 0,72 ini menunjukkan adanya jenis
fitoplankton yang mendominasi karena nilai indeks dominansi diatas 0,5. Jenis fitoplankton yang mendominasi adalah Euglena sp.
Perhitungan analisis
mikroalga pada sampel tersaji pada Tabel 4.5 dan rumus untuk perhitungan analisis mikroalga tersaji pada Lampiran 2 dan foto dari sampel mikroalga hasil kultivasi yang dapat bertahan pada limbah cair peternakan dapat dilihat pada Gambar 4.12.
42
Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga Kode ORGANISME
Sampel
ni/N
Peternakan
ln (ni/N)
Pi lnPi
Pi*Pi
EUGLENOPHYCEAE Euglena sp
535.294
0,83
-0,19
0,16
0,69
110.294
0,17
-1,77
0,30
0,03
BACILLARIOPHYCEAE Fragilaria sp
Jumlah Taksa Kelimpahan (Ind/sampel)
2 645.588
Indeks Keragaman
0,46
Indeks Keseragaman
0,66
Indeks Dominansi
0,72
Gambar 4.12. Hasil Foto Sampel Mikroalga
2.
Kelimpahan Mikroalga Kelimpahan mikroalga dapat dilihat dari penampakan fisik, pengujian TSS, dan perhitungan kerapatan sel. Perkembangan kelimpahan mikroalga dilihat dari perubahan kelimpahan setiap 2 hari pengamatan. Dari penampakan secara fisik dalam penelitian utama pertumbuhan mikroalga sudah mulai terlihat pada H-4
43
pada permukaan media, dan kelimpahan paling tinggi pada H-12, dimana permukaan media sudah dipenuhi dengan mikroalga dan media pertumbuhan terlihat lebih hijau dibandingkan hari sebelumnya. Perubahan warna media mulai dari H-0 sampai H-24 dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13. Sampel Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga
Tabel 4. 6. Hasil Analisis TSS pada Media Kultivasi Mikroalga Hari
TSS-Peternakan (mg/L)
Keterangan
Spektrofotometer Millipore
0
32
100
2
31
92
4
36
192
6
192
416
8
268
532
10
346
616 Pemanenan dan penambahan
12
1350
14
870
2135 nutrient (limbah) 1200 Pemanenan dan penambahan
16
850
380 nutrient (limbah)
18
162
210
20
1450
1500
22
138
205
24
63
115
44
Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, pH, suhu, DO, ketersediaan unsur hara (seperti nitrat dan fosfor), dan lain-lain.
Tidak semua jenis mikroalga dapat tumbuh pada satu kondisi
lingkungan.
Jadi hanya jenis mikroalga tertentu yang dapat tumbuh pada
lingkungan tertentu juga. Dari penampakan secara fisik jenis mikroalga yang tumbuh pada media limbah cair peternakan ini didominasi oleh mikroalga hijau. Pengujian kelimpahan mikroalga dengan TSS menggunakan kertas saring millipore, kelimpahan paling banyak pada H-12 dan H-20. Ini merupakan titik pertumbuhan maksimum mikroalga, seperti yang tersaji pada Gambar 4.14. Pada H-12 saat pertumbuhan maksimum dilakukan pemanenan sebanyak 25% yang diikuti dengan penambahan nutrien (limbah cair peternakan) sebanyak yang dipanen, disini masih terlihat pertumbuhan mikroalga namun tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan, hal ini dapat disebabkan karena nutrien yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan mikroalga secara maksimal. Pada H-16 dilakukan lagi pemanenan secara semi kontinu sebanyak 75%, dan dari hasil percobaan ini terlihat pertumbuhan mikroalga yang sangat cepat dan tinggi yaitu pada H-20 (H-4 dari percobaan III), dan setelah titik maksimum ini pertumbuhan mikroalga langsung menurun drastis berada pada fase kematian, hal ini disebabkan karena kebutuhan nutrien yang tersedia dalam media limbah cair peternakan sudah semakin sedikit. 25 L
2500
TSS (mg/L)
2000 1500
75 L
1000
Millipore Spektrofotometer
500 0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.14. Kurva TSS Pada Media Kultivasi Mikroalga 45
Kelimpahan mikroalga juga dihitung dengan mengetahui kerapatan sel menggunakan metode haemasitometer yaitu mengitung jumlah sel dibawah mikroskop. Pada penelitian utama seperti tersaji pada Gambar 4.15 fase lag terlihat mulai dari hari pertama sampai H-8, H-8 sampai H-12 merupakan fase pertumbuhan eksponensial. Pada H-12 dilakukan pemanenan sebanyak 25% (25 liter) kemudian ke dalam media kultivasi mikroalga ditambahkan limbah cair peternakan sebanyak 25 liter.
Setelah pemanenan terlihat penurunan
pertumbuhan mikroalga mulai dari H-12 sampai H-16. Pada fase ini masih tetap terjadi pertumbuhan mikroalga, namun jumlah mikroalga yang mati lebih banyak dibandingkan jumlah mikroalga yang tumbuh. Hal ini dapat disebabkan karena sudah mulai terjadi kekurangan nutrien dalam media.
Pada H-16
dilakukan lagi pemanenan sebanyak 75% (75 liter), setelah pemanenan ditambahkan limbah sebanyak 75 liter ke dalam bak media kultivasi mikroalga. Pada H 18 mulai terlihat lagi pertumbuhan mikroalga. Dari kurva ini terlihat fase lag pada H-16 sampai H-18. 18,000,000 16,000,000
kerapatan sel (ind/ml)
14,000,000 12,000,000 10,000,000
25 L
8,000,000 6,000,000
75 L
4,000,000 2,000,000 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Hari ke-
Keterangan
= pemanenan mikroalga dan penambahan nutrien
Gambar 4.15. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dalam Media Limbah Cair Peternakan
46
Adaptasi mikroalga di dalam media terlihat lebih cepat pada percobaan ke-2 dibandingkan dengan percobaan pertama, hal ini dapat disebabkan karena mikroalga yang terdapat dalam media sudah beradaptasi dengan limbah cair peternakan. Fase eksponensial terjadi pada H-18 sampi H-20, dimana pada fase ini terlihat pertumbuhan mikroalga terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan mikroalga yang mati.
Mulai H-20 sudah memasuki fase kematian, yaitu fase
dimana jumlah mikroalga yang mati lebih banyak dibandingkan yang tumbuh. Jumlah kerapatan sel paling tinggi dari keseluruhan kurva pertumbuhan mikroalga ini adalah pada H-12 yaitu sebanyak 4.972.222 individu/ml, dan pada H-20 sebanyak 16.944.444 individu/ml (data hasil pengujian TSS dan kerapatan sel tersaji pada Lampiran 10). Terdapat perbedaan nilai kelimpahan konsorsium mikroalga yang terdapat dalam media kultivasi limbah dengan metode TSS millipore dan dengan metode hemasitometer.
Pada metode TSS dengan menggunakan kertas millipore
kelimpahan paling banyak terdapat pada H-12 yaitu 2135 mg/l sementara pada H-20 1500 mg/l. Dari cara ini kita dapat mengetahui biomassa sel mikroalga. Dengan menggunakan
metode hemasitometer jumlah sel paling banyak
terdapat pada H-20 yaitu 16.944.444 individu/ml, sementara pada H-12 sebanyak 4.972.222 individu/ml. Perbedaan ini dapat disebabkan karena ukuran sel mikroalga pada sampel hasil kultivasi pada H-12 lebih besar dari pada ukuran mikroalga pada sampel H-20, sehingga dengan ukuran sel yang lebih besar, maka massa mikroalga akan lebih besar juga.
Sementara ukuran
mikroalga pada H-20 terlihat lebih halus (sangat kecil), jadi walaupun jumlahnya banyak (secara individu) beratnya akan lebih kecil dibandingkan ukuran mikroalga yang lebih besar. Perubahan warna media dan pertumbuhan mikroalga dapat dilihat pada Gambar 4.16. Dari Gambar 4.16 terlihat perubahan warna media kultivasi mikroalga pada H-0, media terlihat berwarna coklat, pada H-4 sudah mulai terlihat pertumbuhan mikroalga pada permukaan media sampai H-6 mikroalga sudah mulai menutupi permukaan media. Pada H-8 selain pada permukaan mikroalga sudah mulai tumbuh pada seluruh bagian media, terlihat dari warna media limbah yang sudah mulai hijau
47
H-0
H-2
H-4
H-10
H-12
Setelah di+nutrien 25%
Setelah di+nutrien 75%
H-18
H-20
H-6
H-8
H-14
H-16
H-22
H-24
Gambar 4.16. Perubahan Warna Media Kultivasi Mikroalga Mikroalga dapat mulai tumbuh pada seluruh bagian media karena cahaya sudah mulai dapat menembuh media sapai batas yang lebih dalam, hal ini dapat disebabkan karena permukaan media sudah mulai jernih. Pada H-10 hampir seluruh permukaan media ditumbuhi mikroalga dan pada H-12, mikroalga pada permukaan media mulai berkurang namun larutan media mulai terlihat lebih hijau dibandingkan hari sebelumnya.
Berkurangnya jumlah mikroalga pada
permukaan media menunjukkan bahwa mikroalga pada permukaan ini sudah mulai mati.
Pada H-12 pemanenan secara semi kontinu dilakukan sebanyak
25% (bagian atas media).
Setelah dilakukan penambahan limbah cair
peternakan sebanyak 25% media terlihat agak kecoklatan lagi, pada H-14 mulai terlihat pertumbuhan lagi.
Pada H-16 terlihat pertumbuhan mikroalga yang
melimpah pada permukaan media dan juga warna media secara keseluruhan semakin hijau dibanding H-14, namun tidak lebih hijau dari warna media pada
48
H-12. Hal ini dapat disebabkan karena ketersediaan nutrien dalam media tidak mencukupi untuk perumbuhan mikroalga yang optimum. Pemanenan tahap II dilakukan pada H-16 secara semikontinu sebanyak 75%, setelah dilakukan penambahan limbah cair peternakan sebanyak 75% ke dalam media sisa hasil pemanenan terlihat media kultivasi menjadi coklat kehijauan lagi. Dalam dua hari setelah penambahan nutrien (H-18) sudah mulai terlihat pertumbuhan mikroalga pada permukaan dan juga pada seluruh badan media kultivasi. Saat H-20 pertumbuhan mikroalga mulai terlihat lagi lebih banyak terlihat dari warna media yang lebih hijau, mikroalga lebih banyak tumbuh pada badan media dari pada di permukaan media seperti hari-hari sebelumnya. Pertumbuhan yang cepat ini dapat disebabkan karena mikroalga yang terdapat dalam media kultivasi sudah beradaptasi dengan lingkungannya yaitu limbah cair peternakan yang sudah ditreatment, dan juga jumlah nutrien yang terdapat dalam media mencukupi kebutuhan mikroalga untuk pertumbuhan yang baik dengan penambahan limbah cair yang banyak yaitu 75% sebanding jumlah yang dipanen.
Setelah
H-20
mikroalga memasuki fase kematian dimana
jumlah mikroalga yang mati lebih banyak dibandingkan mikroalga yang tumbuh. Hal ini terlihat dari perubahan warna media yang semakin bening. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa nutrien yang terdapat dalam media sudah mulai habis (tidak mencukupi lagi untuk kelangsungan hidup mikroalga). Metode pemanenan mikroalga untuk mendapatkan biomassanya dapat dilakukan dengan empat cara yaitu: filtrasi, sentrifugasi, flokulasi, dan suara ultrasonik. Filtrasi adalah pemisihan mikroalga dari kultur media cair dengan menggunakan alat berpori. Teknik penyaringan ini didasarkan pada perbedaan ukuran partikel. Sentrifugasi adalah teknik pemisahan yang digunakan untuk memisahkan suspensi yang jumlahnya sedikit. Kultur mikroalga dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse kemudian diputar dengan kecepatan tinggi. Sentrifugasi yang cepat menghasilkan gaya sentrifugal yang besar sehinggapartikel tersuspensi mengendap di dasar tabung kemudian cairan di bagian atas dipipet. Flokulasi adalah proses pembentukan flok.
Pemisahan menggunakan suara
ultrasonik dengan gelombang pada frekuensi tertentu untuk mengakumulasikan mikroalga, dengan pemisahan dari media kultur.
49
Dari keempat metode pemisahan ini, teknik pemisahan yang dipilih pada penelitian ini adalah teknik sentrifugasi. Sampel mikroalga disentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Endapan hasil sentrifugasi dikeringkan untuk
mendapatkan
biomassa mikroalga
untuk
pengujian selanjutnya.
Mikroalga hasil sentrifugasi yang sudah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 4.17.
Gambar 4.17. Mikroalga yang Sudah dikeringkan
3.
Proksimat Mikroalga Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang terdapat dalam mikroalga hasil kultivasi dari limbah cair peternakan. Mikroalga yang dipanen disentrifuse untuk memperoleh endapan mikrolaga, dan mikroalga hasil sentrifuse dikeringkan di oven pada suhu 650C sampai terlihat tidak ada lagi air. Bahan yang sudah kering ini digunakan sebagai sampel untuk analisis proksimat. Hasil analisis proksimat mikroalga sebagai hasil pemanenan dari kultivasi mikroalga pada limbah cair peternakan disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Hasil Analisis Proksimat Mikroalga Parameter
Nilai (% b/b)
Kadar air
7,31
Kadar abu
40,11
Kadar protein
18,27
Kadar lemak
2,09
Kadar serat kasar
6,34
Kadar karbohidrat
25,88
50
Dari hasil analisis proksimat di atas terlihat kadar abu dari konsorsium mikroalga yg dikultivasi pada limbah cair peternakan merupakan persentase yang paling tinggi (40,11% b/b), kadar protein sebesar 18,27% b/b dan kadar minyak sebesar 2,09 % b/b. Abu merupakan zat-zat organik yang berupa logam ataupun mineral-mineral yang terikat di dalam mikroalga yang tidak diharapkan ada didalam mikroalga.
Zat-zat anorganik dan mineral-mineral tersebut
dianggap sebagai pengotor yang bergabung dengan mikroalga pada saat pemanenan. Untuk memperkecil kadar abu, sebaiknya sampel mikroalga yang akan dianalisis dicuci terlebih dahulu supaya garam-garam mineral terlepas dari mikroalga. Besarnya kandungan unsur N pada media pemeliharaan mikroalga mengakibatkan rendahnya kandungan lemak dan sebaliknya apabila ada pembatas unsur N pada media pemeliharaan dalam kondisi terkontrol dapat meningkatkan kandungan lemak (Qin, 2005). Menurut Bezerra et. al (2007) kandungan lipid akan menurun bila intensitas cahaya tinggi. Ketersediaan unsur nutrien yang lengkap pada media pemeliharaan mikroalga khususnya unsur N dan P akan meningkatkan pembentukan protein dalam sel mikroalga (Widianingsih, dkk. 2008). Kadar minyak dari mikroalga hasil pemanenan pada saat TSS media 105 mg/L dan kadar air 98,8% sebesar 0,149 mg/l (12% b/b). Pengujian dilakukan di CDSAP Teknologi Industri Pertanian IPB dengan menggunakan SNI 01,2891.1992.
Kadar minyak ini masihlebih rendah
dibandingkan kadar minyak mikroalga dari kelas Euglenophyceae ( 14-20% b/b) dan Bacillariophyceae (14-38% b/b) (Becker, 1994).
F. KAJIAN UMUM Berdasarkan hasil penelitian ini mikroalga merupakan fitoplankton yang baik digunakan untuk penanganan limbah cair peternakan. Perbandingan jumlah volume limbah cair peternakan yang lebih tinggi dari jumlah volume kultur mikroalga, karena hal ini akan meningkatkan kemampuan mikroalga untuk mendegradasi nutrien yang terdapat dalam limbah cair. Euglena sp dan Flagiraria sp adalah dua jenis mikroalga yang ditemukan dalam sampel mikroalga hasil kultivasi, diduga
51
kedua jenis mikroalga ini sebagai mikroalga yang berperan dalam proses stabilisasi limbah cair peternakan. Karakteristik pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini dipengaruhi oleh suhu, pH, dan kandungan nutrien yang terdapat pada limbah cair. Ketersediaan nutrien dalam limbah cair peternakan khusunya kadar nitrat dan kadar ortofosfat yang tinggi mendukung pertumbuhan mikroalga dalam media ini. Pada percobaan I fase adaptasi (fase lag) pertumbuhan mikroalga terjadi dari H-0 sampai H-8, fase eksponensial mulai dari H-8 sampai H-12, setelah H-12 terjadi penurunan laju pertumbuhan. Hal ini diakibatkan berkurangnya ketersediaan nutrien dalam media (data pengujian tersaji pada Lampiran 10) dan dapat juga karena kekurangan cahaya. Kultur yang sangat padat menyebabkan media bagian bawah menjadi gelap, sehingga fotosintesis hanya terjadi pada bagian permukaan atas. Dengan sistem semi kontinu fase pertumbuhan akan semakin singkat karena fase lag (adaptasi akan menjadi lebih singkat).
Ini terjadi karena mikroalga yang digunakan untuk percobaan II dan
percobaan III sudah beradaptasi dengan limbah cair peternakan (media pertumbuhannya). Biomassa mikroalga dapat ditingkatkan dengan memodifikasi kultur yaitu penambahan nutrien pada media kultivasi sebanyak 75% dari volume total setelah dilakukan pemanenan mikroalga yang keberadaannya sudah terlihat padat pada media sebanyak 75%. Pemanenan ini juga bertujuan untuk membantu penetrasi cahaya pada media kultivasi. Dari penelitian ini dapat dihitung nilai konversi mg biomassa mikroalga/ mg nutrien yaitu dengan menghitung selisih pertambahan biomassa mikroalga dari nilai TSS dengan menggunakan kertas millipore dan dibagi dengan selisih penurunan kandungan nutrien dalam limbah.
Tabel 4.8. Hasil Analisis Eliminasi Nutrien dan Pertumbuhan Mikroalga Nutrien (mg/L)
Hari
K
N
Biomassa sel (mg/L)
P
0
698
11,4
10,42
100
4
676
5,98
10,37
192
8
602
5,56
10,24
532
12
446
5,61
10,28
2135
52
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/kalium mg TSS millipore TSS (H12 − H0) 2135 − 100 mg mikroalga = = = 8,1 mg total kalium K (H0 − H12) 698 − 446 mg kalium 2500
800 700 600 Kalium (mg/L)
TSS (mg/L)
2000
500
1500
400 1000
300 200
500
TSS (mg/L)
100 0
Kalium (mg/L)
0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Gambar 4.18. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Kalium Percobaan I
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/nitrogen mg TSS millipore TSS (H12 − H0) 2135 − 100 mg mikroalga = = = 351 11,4 − 5,6 mg total nitrogen N (H0 − H12) mg nitrogen 2500
12
TSS (mg/L)
8 1500 6 1000 4 500
TSS (mg/L) Nitrogen (mg/L)
2
0 0
Nitrogen (mg/L)
10
2000
0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Gambar 4.19. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Nitrogen Percobaan I
53
Perhitungan konversi biomassa mikroalga/ortofosfat mg TSS millipore TSS (H12 − H0) 2135 − 100 = = mg ortofosfat ortofosfat (H0 − H12) 10,42 − 10,08 = 5985
mg mikroalga mg ortofosfat
2500
10.5 10.4 10.3 10.2
1500
10.1 10
1000
9.9 9.8
500
9.7 0
Ortofosfat (mg/L)
TSS (mg/L)
2000
TSS (mg/L) Ortofosfat (mg/L)
9.6 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Gambar 4.20. Kurva Pertumbuhan Mikroalga dan Eliminasi Ortofosfat Percobaan I
Berdasarkan
penelitian
ini
kebutuhan nutrien unsur kalium
untuk
pertumbuhan mikroalga mulai dari H-0 sampai H-12 adalah 8,1mg mikroalga/mg kalium. Jadi dari hasil penelitian ini dalam kultivasi dengan media limbah cair peternakan dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 8,1 mg mampu mengeliminasi kalium terlarut dalam limbah sebanyak 1 mg. Pada penelitian ini kebutuhan nutrien unsur nitrogen untuk pertumbuhan mikroalga mulai dari H-0 sampai H-12 adalah 351mg mikroalga/mg nitrogen dan kebutuhan nutrien ortofosfat 5985 mg mikroalga/ mg ortofosfat. Jadi dari hasil penelitian ini dalam kultivasi dengan media limbah cair peternakan dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 351 mg mampu mengeliminasi kandungan nitrogen terlarut dalam limbah sebanyak 1 mg. Untuk pertumbuhan 5985 mg mikroalga dapat mengeliminasi kandungan ortofosfat sebanyak 1 mg, atau senilai dengan pertumbuhan mikroalga sebanyak 351 mg mampu mengeliminasi kandungan ortofosfat yang terdapat dalam limbah cair peternakan sebanyak 0,06 mg. Eliminasi nutrien dari limbah cair peternakan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan mikroalga.
Semakin cepat dan semakin banyak pertumbuhan
54
mikroalga maka jumlah nutrien yang dapat dieliminasi akan semakin banyak. Waktu detensi yang terlalu singkat juga akan menghasilkan eliminasi nutrien yang sedikit seperti hasil pada percobaan II (Data tersaji pada Lampiran 10). Dari kurva gambar diatas terlihat perbandingan antara peningkatan pertumbuhan mikroalga dan penurunan nutrien pada media kultivasi limbah cair peternakan berbanding terbalik. Pada H-8 sampai H-12 terlihat pertumbuhan mikroalga paling tinggi (berada pada fase eksponensial. Dalam pemilihan jenis mikroalga yang akan dikultivasi karakteristik yang perlu diperhatikan adalah mikroalga memiliki komponen dasar minyak/protein/karbohidrat yang tinggi (sesuai dengan tujuan pengembangan mikroalga), mampu bertahan dengan baik terhadap perubahan lingkungan, dan tingkat pertumbuhan yang tinggi.
55
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Mikroalga merupakan jenis mikroorganisme yang tepat untuk menangani limbah cair peternakan, karena fitoplankton ini lebih toleran terhadap perubahan lingkungan dan pertumbuhannya yang cepat kira-kira 4-14 hari. Untuk kultivasi mikroalga dalam media limbah cair peternakan digunakan secara bertahap, supaya mikroalga yang digunakan sudah beradaptasi dengan lingkungannya yaitu limbah cair peternakan. Sebelum digunakan sebagai media pertumbuhan mikroalga. Limbah cair peternakan harus di-pretreatmen dulu untuk mengurangi kadar COD dan menghilangkan bau yang ditimbulkan limbah cair dengan cara aerasi. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain: cahaya, suhu, pH, dan ketersediaan unsur hara dalam media kultivasi. Unsur hara tersebut meliputi: karbon, nitrogen, fosfor, makronutrien lain (Mg, K, Cl, Ca, S) dan mikronutrien (Fe,B, Mn, Cu, V, Co). Kultivasi dalam skala lapangan sangat dipengaruhi oleh cuaca (cahaya dan suhu). Ketersediaan cahaya yang cukup akan mempercepat pertumbuhan mikroalga, karena proses fotosintesis semakin baik dan suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia yang terjadi dalam air dan organisme yang hidup di dalamnya. Untuk meningkatkan kemampuan mikroalga mengeliminasi nutrien yang terdapat dalam limbah cair peternakan jumlah limbah dalam media harus lebih banyak dari pada jumlah mikroalga (75% limbah : 25% mikroalga). Dengan perlakuan ini mikroalga akan meningkatkan kemampuannya untuk menyerap nutrien lebih banyak dari lingkungan yang tersedia. Teknik kultivasi mikroalga digunakan dengan sistem bertahap yaitu dimulai dari skala kultur yang kecil, kemudian ditingkatkan volume kultur media kultivasi secara bertahap.
Hal ini bertujuan supaya mikroalga yang digunakan untuk
menangani limbah sudah berdaptasi terlebih dahulu dengan lingkungannya (limbah cair peternakan) dan juga supaya perubahan lingkungan media pertumbuhannya tidak terlalu drastis perubahannya. Dengan kultivasi sistem semi kontinu, pada percobaan II dan III pertumbuhan mikroalga lebih cepat daripada percobaan I, hal ini terjadi
karena mikroalga yang digunakan untuk kultur II dan III sudah beradaptasi dengan limbah cair peternakan.
B. SARAN Penghitungan jumlah sel untuk mengetahui pola pertumbuhan mikroalga sebaiknya menggunakan metode turbidimetri dengan spektrofotometer karena hasilnya lebih baik dibandingkan dengan metode haemasitometer, karena mikroalga uniseluler kadang-kadang terikat dalam suatu lendir sehingga penyebarannya tidak merata. Untuk mendapatkan jenis mikroalga yang tepat untuk menangani limbah cair peternakan dan mikroalga yang memiliki kadar minyak yang tinggi, sebaiknya jenis mikroalga yang digunakan diisolasi terlebih dahulu sesuai yang diinginkan. Kultivasi sebaiknya dilakukan mulai dari skala laboratorium-skala pilot plan-skala lapangan.
57
LAMPIRAN
.
Lampiran 1. Prosedur Analisis Nitrogen Organik, N-NH3, N-NO3, Ortofosfat, TSS , Kerapatan Sel, COD.
a.
Analisis Nitrogen Organik (APHA ed. 20th 4500-Norg C, 1998) 1. Pembuatan larutan Digestion Reagent: sebanyak 134 gram K2SO4 dan 11.41 gram CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 800 ml aquades. Tambahkan 134 ml H2SO4 pekat, kemudian dilarutkan kembali dengan aquadea hingga volume 1 liter. 2. Pembuatan larutan NaOH 6N: sebanyak 240 gram NaOH dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter. 3. Pembuatan larutan H2SO4 0.02N: sebanyak 0.56 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter. 4. Pembuatan larutan H3BO3 2%: sebanyak 20 gram H3BO3 dilarutkan dalam 1 liter aquades. 5. Sebanyak 1 - 4 sampel diambil kemudian ditambahkan 10 ml Digestion Reagent lalu dididihkan dengan labu Kjeldahl hingga warna bening kehijauan. Cairan tersebut kemudian dilarutkan dengan aquades kira-kira <25 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung beserta erlenmeyer 250 ml untuk penampung kemudian dipasang pada alat auto destillation. Waktu destilasi normal diatur selama 4 menit dengan mode AUTO (untuk awal running diatur selama 6 – 7 menit). NaOH 6 N kemudian disalurkan ke dalam tabung berisi sampel yang telah diencerkan dengan cara menekan tombol NaOH pada alat. Secara otomatis H3BO3 2% dengan indikator mengsel (berwarna ungu) kemudian akan mengalir ke dalam erlenmeyer penampung. Destilasi dibiarkan hingga set waktu habis dengan petunjuk warna asam borat berubah dari ungu menjadi hijau. Selanjutnya larutan kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,02 N terstandar hingga berwarna ungu. Prosedur tersebut dilakukan juga pada blanko. Kadar nitrogen organik dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
62
b.
Analisis N-NH3 (APHA ed. 20th 4500-Norg C, 1998) 1. Pembuatan larutan NaOH 6N: sebanyak 240 gram NaOH dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter. 2. Pembuatan larutan H2SO4 0.02N: sebanyak 0.56 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter. 3. Pembuatan larutan H3BO3 2%: sebanyak 20 gram H3BO3 dilarutkan dalam 1 liter aquades. 4. 25 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung beserta erlenmeyer 250 ml untuk penampung kemudian dipasang pada alat auto destillation. Waktu destilasi normal diatur selama 4 menit dengan mode AUTO (untuk awal running diatur selama 6 – 7 menit). NaOH 6 N kemudian disalurkan ke dalam tabung berisi sampel yang telah diencerkan dengan cara menekan tombol NaOH pada alat. Secara otomatis H3BO3 2% dengan indikator mengsel (berwarna ungu) kemudian akan mengalir ke dalam erlenmeyer penampung. Destilasi dibiarkan hingga set waktu habis dengan petunjuk warna asam borat berubah dari ungu menjadi hijau. Selanjutnya larutan kemudian dititrasi dengan H2SO4 0,02 N terstandar hingga berwarna ungu. Prosedur tersebut dilakukan juga pada blanko. Kadar nitrogen organik dihitung dengan persamaan sebagai berikut. N − NH₃ =
c.
(ml titrasi sampel −ml titrasi blanko volume sampel
𝑥280
Analisis NO3-N (APHA, 1992) 1. Pembuatan larutan standar nitrat 100 mg/L: 721,8 mg KNO3 dalam 100 ml aquades dan diencerkan sampai volume 1.000 ml. konsentrasi nitrat untuk pembuatan kurva kalibrasi adalah 0,0-1,0 mg/L. 2. Pembuatan reangen brusin-asam sulfanilat: sebanyak 1 gram brusin sulfat dan 0,1 gram asam sulfanilat dilarutkan dalam 70 ml aquades panas mendidih. Tambahkan 3 ml HCl pekat kemudian larutkan kembali dengan aquades hingga volume 100 ml. 3. Sebelum melakukan analisis kadar NO3 terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi dengan cara sebagai berikut. Larutan standar NO3 diencerkan hingga 0.0, 0.2, 0.4, 0.8, dan 1.0 mg/L. Dari masing-masing konsentrasi tersebut dipipet
63
sebanyak 10 ml. Kemudian ditambahkan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4, diaduk kemudian dibiarkan hingga dingin. Sebanyak 0.5 ml reagen brusinasam sulfanilat ditambahkan, kemudian dipanaskan pada penangas air pada suhu 95oC selama 20 menit, lalu didinginkan. Ukur intensitas warna yang timbul dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm. Setelah itu dibuat kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar, kemudian ditentukan persamaan regresi liniernya. 0.16 y = 0.115x + 0.033 R² = 0.992
0.14 0.12 Abs
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
0.5
1
1.5
ppm
Gambar : Kurva Standar Nitrat 4. Untuk mengetahui kadar NO3 pada sampel, sebanyak 10 ml sampel ditambahkan dengan 2 ml NaCl 30% dan 10 ml H2SO4, diaduk kemudian dibiarkan hingga dingin. Sebanyak 0.5 ml reagen brusin-asam sulfanilat ditambahkan, kemudian dipanaskan pada penangas air pada suhu 95oC selama 20 menit, lalu didinginkan. Ukur intensitas warna yang timbul dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm. Kadar NO3 pada sampel ditentukan dengan memasukkan nilai absorbansi sampel ke dalam persamaan regresi linier kurva kalibrasi.
d.
Analisis Ortofpsfat (APHA ed. 20th 4500-P D, 1998) 1. Pembuatan
larutan
amonium
molibdat:
sebanyak
2.5
gram
(NH4)6MO7O24.4H2O dilarutkan dalam 17.5 ml aquades. Sementara itu sebanyak 28 ml H2SO4 diencerkan dalam 40 ml aquades. Kedua larutan dicampurkan dan dilartkan dengan aquades hingga volume 100 ml. 64
2. Pembuatan Larutan SnCl2: sebanyak 2.5 gram SnCl2.2H2O dilarutkan dalam 100 ml gliserol/gliserin. 3. Sebelum melakukan analisis ortofosfat terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasi dengan cara sebagai berikut. Larutan standar fosfat diencerkan hingga konsentrasi bervariasi dari 0.0 – 2.0 mg/L PO4. Dari masing-masing standar dipipet sebanyak 25 ml dan diukur intensitas warna biru yang terbentuk akibat pencampurannya dengan larutan amonium molibdat dan SnCl2 pada panjang gelombang yang sama (660 – 690 nm). Dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi dan absorbansi. Kemudian dapatkan persamaan regresi linier dari kurva tersebut.
Kuva Standar Ortofosfat Absorbansi (Abs)
0.14
y = 0.022x + 0.069 R² = 0.991
0.12 0.1 0.08 0.06
Series1
0.04 0.02 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Konsentrasi (ppm)
4. Untuk mengetahui kadar ortofosfat pada sampel, sebanyak 25 ml sampel diambil kemudian ditambahkan 1 ml amonium molibdat serta 0.125 (± 3 tetes) SnCl2. Larutan kemudian dikocok hingga merata, kemudian didiamkan selama 10 menit. Warna biru yang terjadi diukur intensitasnya pada panjang gelombang 660–690 nm. Kadar ortofosfat ditentukan dengan memasukkan nilai absorbansi hasil pengukuran sampel ke dalam persamaan linier kurva kalibrasi.
e.
Konsentrasi Sel Metode Total Soluble Solid (TSS) Milipore dengan ukuran pori-pori 0.45 µm terlebih dahulu dikeringkan pada oven 100 - 105°C selama ± 30 menit. Kemudian ditimbang dan dicatat berat awal milipore (a). Pompa vakum dan wadah penyaring TSS kemudian dipasang
65
ke erlenmeyer penampung. Sisipkan milipore ke wadah penyaring TSS, kemudian pompa vakum dinyalakan. Sebanyak 25 ml sampel dimasukkan perlahan ke dalam wadah penyaring kemudian ditunggu hingga cairan tersaring seluruhnya. Milipore dengan endapan hasil saringan kemudian dikeringkan pada suhu 100-105oC selama ± 1 jam atau hingga berat konstan. Kemudian ditimbang dan dicatat berat akhir milipore (b). Konsentrasi sel kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut.
f.
Analisis TSS Metode Spektrofotometer Analisis TSS ini dilakukan dengan spektrofotometer HACH model DR 2000. Setelah power DR 2000 dihidupkan, kemudian dimasukkan nomor program (tertera pada cover DR 2000) untuk parameter Suspended Solid (mg/L). Panjang gelombang (λ) disesuaikan pada 810 nm. Aquades sebanyak ± 10 ml dimasukkan pada kuvet, kemudian dimasukkan ke dalam alat lalu ditutup dan ditekan tombol ZERO. Setelah itu aquades pada kuvet diganti dengan sampel yang akan diperiksa TSS nya, tekan READ/ENTER, lalu baca nilai TSS dalam mg/L pada layar.
g.
Kerapatan Sel (Metode Haemacytometer) Sebanyak 1 ml dari 10 ml kultur yang telah dicampur dengan 2 ml larutan preservatif Lugol, diambil menggunakan pipet Pasteur kemudian diletakkan ke dalam kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer. Sel dihitung dengan bantuan mikroskop pada perbesaran 100 x dengan alur hitung silang pada 9 buah kotak hitung 1/10.000 ml. Sel yang dihitung adalah seluruh sel yang hidup, berwarna kehitaman, baik dalam bentuk uniseluler atau koloni. Data jumlah sel yang diperoleh dari hasil penghitungan jumlah sel menggunakan kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer, selanjutnya digunakan untuk menghitung kerapatan sel.
66
h.
Analisis COD (Metode Titrasi FAS) 1. Pembuatan larutan K2Cr2O7 0.0167 M: timbang 0.4913 gram K2Cr2O7, kemudian dikeringkan pada suhu 1030C selama 2 jam, setelah itu larutkan dengan aquades hingga volume 50 ml. tambhakan 16.7 ml H2SO4 pekat dan 0.33 gram HgSO4, lalu dilarutkan dengan aquades hingga volume total 100 ml. 2. Pembuatan reagen H2SO4: sebanyak 1.012 gram Ag2SO4 dilarutkan dalam 100 ml H2SO4 pekat. 3. Indikator Ferroin: tersedia dalam bentuk yang sudah jadi 4. Larutan FAS 0.1 M: sebanyak 39.2 gram Fe(NH3)2SO4.7H2O dilarutkan dalam aquades, kemudian ditambahkan dengan 20 ml H2SO4 pekat. Dinginkan dan larutkan dengan aquades kembali hingga volume 1 liter. 5. Sebanyak 2.5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung COD mikro, kemudian ditambahkan 1.5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3.5 ml pereaksi H2SO4 (asam COD). Setelah itu dipanaskan selama 2 jam pada suhu 148oC. Setelah dingin, larutan dituang ke erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator ferroin 1 – 2 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Ferro Aluminium Sulfat (FAS) 0.1 M hingga warna kecoklatan. Proses diulangi pada blanko akuades. Perhitungan kadar COD dilakukan dengan rumus berikut.
Dimana A adalah ml FAS untuk titrasi blanko, B adalah ml FAS untuk titrasi sampel, dan M adalah molaritas FAS. Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan FAS perlu distandarisasi. Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-langkah penentuan COD, namun sampelnya adalah akuades, serta tanpa adanya pemanasan.
67
Lampiran 2. Analisis Mikroalga
1. Kelimpahan Mikroalga Kelimpahan
mikroalga
diuji
ole
laboratorium
produksi
lingkungan
departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
2. Indeks Keragaman Indeks Shannom-Wiener digunakan untuk menentukan keanekaragaman fitoplankton dalam suatu komunitas. Persamaan indeks Shannom-Wiener (Odum, 1971). H’= -∑Pi ln Pi H’ = indeks keragaman Pi = ni /N Ni = jumlah individu ke-i N
= jumlah individu
Kisaran nilai indeks keragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut: H’ < 2,3026
= rendah
2,3026 ≤ H’ ≤ 6,9078
= sedang
H’ > 6,9078
= tinggi
3. Indeks Keseragaman Digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu pada tingkat komunitas. Formulasi indeks keseragaman adalah sebagai berikut (Odnum, 1971). E=
H′ Hmax
E
= indeks keseragaman
Hmax
= nilai keragaman max (ln S)
S
= ∑ jumlah spesies
Nilai indeks ini berkisar antara 0-1. Bila indeks keseragaman mendekati nol, maka ada beberapa jenis biota yang memiliki jumlah individu yang banyak,
68
sementara beberapa jenis biota lainnya sedikit. Jika mendekati satu, maka jumlah setiap spesies sama atau hampir sama. 4. Indeks Dominansi Indeks ini diperoleh dengan menggunakan formulasi Simpson (Odum, 1971). C = ∑ (Pi)2 C
= indeks dominansi
Pi
= ni /N
Nilai C berkisar 0-1, jika mendekati nol (C<0,5) maka tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi perairan dan jika mendekati satu atau (C>0,5) berarti ada jenis fitoplankton yang mendominasi perairan.
Tabel. Hasil Perhitungan Analisis Mikroalga Organisme CYANOPHYCEAE Microcystis sp. EUGLENOPHYCEAE Euglena sp. Trachelomonas sp. CHOLOPHYCEAE Ankistrodesmus Dictyosphaerium sp. Gloeocystis Westella sp. Gloeotilla sp. Kirchneriella sp. Selenastrum sp. XANTHOHYCEAE Centritractus sp. CRYPTOPHYCEAE Cryptomonas sp. DINOPHYCEAE Glenodinium sp. Jumlah
Kelimpahan
Ni /N
ln (ni/N)
-Pi ln Pi
E
Pi2
4444 0,08944 -2,4142
0,21592
0,007999
356 0,00716 -4,9386 178 0,00358 -5,6317
0,03538 0,02017
0,000051 0,000013
-1,731 -2,183 -5,23 -2,3749 -2,5886 -3,0681 -0,9934
0,30657 0,24603 0,028 0,22092 0,19447 0,1427 0,36787
0,031366 0,012702 0,000029 0,008653 0,005644 0,002163 0,137130
89 0,00179 -6,3249
0,01133
0,000003
711 0,01431 -4,2468
0,06077
0,000205
178 0,00358 -5,6317 49688
0,02017 1,87
0,000013 0,206
8800 5600 266 4622 3733 2311 18400
0,17711 0,1127 0,00535 0,09302 0,07513 0,04651 0,37031
0,73
69
Lampiran 3. Data Hasil Pengamatan Kultivasi Mikroalga Skala Kecil Limbah peternakan 75% : Air Danau LSI IPB25% Hari
Suhu ºC
pH
Nutrien (mg/L)
COD (mg/L)
0
26,5
7,2
989
6
26,8
7,8
-
8
27,6
8
-
11
28,6
8,4
330
13
29,8
8,9
15
33,2
17
N-NH₃
N-N0₃ N-Organik
2,73
Total N
Fosfor
TSS (mg/L)
Kerapatan
Millipore Spektrofotometer
Sel (ind/ml)
4,88
15,01
22,62
11,0
620
590
111.111
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2,73
4,74
15,01
22,5
11,0
284
86
250.000
329
0
4,34
9,56
13,9
10,79
468
355
416.666
9,5
659
0
3,86
4,09
8,0
10,69
872
496
944.444
31,5
9,1
494
1,37
2,39
4,09
7,9
10,35
500
309
777.777
19
28,8
9,1
330
1,37
5,03
1,37
7,8
10,26
404
157
472.222
22
30
9,3
330
1,37
3,33
1,37
6,1
10,3
1940
910
1.777.777
24
30
9,5
165
0
3,57
1,37
4,9
10,23
925
623
1.277.777
26
30,2
9,3
165
0
3,49
1,37
4,9
10,17
250
130
472.222
70
Limbah peternakan 50% : Air Danau LSI IPB 50% hari
suhu ºC
Nutrien (mg/L)
COD
pH
(mg/L)
NH₃ N-N0₃
0
26,5
7,6
989 5,46
4,34
6
26,6
8,1
-
-
8
27,6
9
11
28,4
13
-
N-Organik 6,83 -
Total N 16,63 -
Fosfor
TSS (mg/L)
Kerapatan
Millipore Spektrofotometer
Sel (ind/ml)
10,6 -
412 -
360 -
138.888 -
659 5,46
4,14
6,83
16,43
10,57
220
27
250.000
8,7
659
0
4,13
9,56
13,69
10,44
328
91
305.555
29,7
8,5
989
0
3,58
6,83
10,41
10,4
692
265
583.333
15
33,4
9,3
659 2,73
3,73
4,09
10,55
10,24
400
212
416.666
17
31,3
9,4
494 1,37
5,03
2,73
9,13
10,23
332
131
333.333
19
28,8
9,6
330 1,37
4,15
1,37
6,89
10,2
300
71
277.777
22
29,5
9,5
330 1,37
3,39
1,37
6,13
10,19
175
100
305.555
24
30
9,5
330
0
3,36
1,37
4,73
10,16
435
246
527.777
26
30,4
9,4
165
0
4,10
1,37
5,47
10,11
105
85
277.777
71
Lampiran 4. Data Kerapatan Sel Pada Media Sakla Kecil
Tabel. Hasil Analisis Kerapatan Sel Pada Media Skala Kecil Kerapatan sel (Ind/ ml) Hari
75% Limbah
50% Limbah
(Bak I)
(Bak II)
0
111111
138888
11
250000
305555
13
416666
583333
15
944444
416666
17
777777
333333
19
472222
277777
22
1777777
305555
24
1277777
527777
26
472222
277777
72
Lampiran 5. Data TSS Pada Media Skala Kecil
Tabel 4.5. Hasil Pengukuran TSS Pada Media Skala Kecil 75% Limbah (Bak I)
50% Limbah (Bak II)
TSS (mg/L)
TSS (mg/L)
Hari
Millipore Spektrofotometer Millipore Spektrofotometer 0
620
590
412
360
11
284
86
328
91
13
468
355
692
265
15
872
496
400
212
17
500
309
332
131
19
404
157
300
71
22
1940
910
175
100
24
925
623
435
246
26
250
130
105
85
73
Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran Suhu dan pH Media Kultivasi
Tabel. Hasil Pengukuran Suhu dan pH media kultivasi Tanggal
Hari Suhu (°C)
pH
14 Juni 2010
0
29,5
7,8
16 Juni 2010
2
24,6
8,3
18 Juni 2010
4
27,0
8,5
20 Juni 2010
6
28,0
8,6
22 Juni 2010
8
32,1
9,5
24 Juni 2010
10
28,9 10,2
26 Juni 2010
12
27,0
9,6
28 Juni 2010
14
27,1
9,8
30 Juni 2010
16
28,1
9,5
02 Juli 2010
18
29,5
9,2
04 Juli 2010
20
28,5
9,8
6 Juli 2010
22
28,4
9,7
8 Juli 2010
24
28,3
9,4
Keterangan: : Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah cair peternakan)
74
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Kadar Nitrogen
Tabel. Hasil Analisis Kadar Nitrogen dalam Media Limbah Cair Peternakan Nitrogen (mg/L) Tanggal
Hari
Total
N-
N-
N-
N
organik
NH₃
NO₃
(mg/L)
14 Juni 2010
0
5,46
1,40
4,54
11,4
16 Juni 2010
2
2,73
1,12
4,35
8,20
18 Juni 2010
4
1,37
0,56
4,05
5,98
20 Juni 2010
6
1,37
0,56
3,86
5,79
22 Juni 2010
8
1,37
0,56
3,71
5,64
24 Juni 2010
10
1,37
0,56
3,69
5,62
26 Juni 2010
12
1,37
0,56
3,68
5,61
28 Juni 2010
14
1,37
0,56
3,74
5,67
30 Juni 2010
16
0,69
0,56
3,79
5,04
02 Juli 2010
18
1,73
2,24
4,02
7,99
04 Juli 2010
20
1,73
1,40
3,88
7,01
6 Juli 2010
22
1,73
1,12
3,38
6,23
8 Juli 2010
24
0,68
0,84
3,33
4,85
Keterangan: : Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah cair peternakan)
75
Lampiran 8. Data Hasil Analisis Kadar Ortofosfat
Tabel : Hasil Pengujian Ortofosfat dalam Media Kultivasi Tanggal
Ulangan
Hari
Kadar
P1
P2
Ortofosfat
14 Juni 2010
0
10,36
10,47
10,42
16 Juni 2010
2
10,34
10,45
10,40
18 Juni 2010
4
10,30
10,43
10,37
20 Juni 2010
6
10,25
10,34
10,30
22 Juni 2010
8
10,22
10,26
10,24
24 Juni 2010
10
10,22
10,34
10,28
26 Juni 2010
12
10,14
10,02
10,08
28 Juni 2010
14
10,14
10,01
10,08
30 Juni 2010
16
9,93
9,93
9,93
02 Juli 2010
18
10,59
10,55
10,57
04 Juli 2010
20
10,35
10,43
10,39
6 Juli 2010
22
10,18
10,19
10,19
8 Juli 2010
24
10,13
10,16
10,15
Keterangan: : Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah cair peternakan)
76
Lampiran 9. Data Hasil Analisis COD
Tabel: Hasil Pengujian Kadar Ortofosfat dalm Media Kultivasi Tanggal
Ulangan
Hari
PI
Kadar COD
P II
(mg/L)
14 Juni 2010
0
659
659
659
16 Juni 2010
2
330
330
330
18 Juni 2010
4
165
321
243
20 Juni 2010
6
330
330
330
22 Juni 2010
8
330
165
248
24 Juni 2010
10
330
165
248
26 Juni 2010
12
165
165
165
28 Juni 2010
14
165
330
248
30 Juni 2010
16
165
165
165
02 Juli 2010
18
824
660
742
04 Juli 2010
20
660
660
660
6 Juli 2010
22
330
330
330
8 Juli 2010
24
165
165
165
Keterangan: : Pemanenan Mikroalga dan Penambahan Nutrien (Limbah cair peternakan)
77
Lampiran 10. Data Hasil Analisis Penelitian Utama Tanggal 14 Juni 2010 16 Juni 2010 18 Juni 2010 20 Juni 2010 22 Juni 2010 24 Juni 2010 26 Juni 2010 28 Juni 2010 30 Juni 2010 02 Juli 2010 04 Juli 2010 6 Juli 2010 8 Juli 2010
Suhu Hari (°C)
pH
COD (mg/L)
Nitrogen (mg/L) NNNorganik NH₃ NO₃
0
29,5
7,8
659
5,46
1,40
2
24,6
8,3
330
2,73
1,12
4
27,0
8,5
243
1,37
0,56
6
28,0
8,6
330
1,37
0,56
8
32,1
9,5
248
1,37
0,56
10
28,9
10,2
248
1,37
0,56
12
27,0
9,6
165
1,37
0,56
14
27,1
9,8
248
1,37
0,56
16 18 20 22 24
28,1 29,5 28,5 28,4 28,3
9,5 9,2 9,8 9,7 9,4
165 742 660 330 165
0,69 1,73 1,73 1,73 0,68
0,56 2,24 1,40 1,12 0,84
Total N (mg/L)
4,54
11,4
4,35
8,20
4,05
5,98
3,86
5,79
3,71
5,64
3,69
5,62
3,68
5,61
3,74
5,67
3,79
5,04
4,02 3,88 3,38 3,33
7,99 7,01 6,23 4,85
Ortofosfat (mg/L)
Kalium (mg/L)
10,42
698
10,40 10,37
676
10,31 10,24
602
10,28 10,08
446
10,08 9,93 10,57 10,39 10,19 10,15
506 520
TSS (mg/L) Hemasitometer SpektrofoMillipore tometer (ind/ml) 100
32
361.111
92
31
388.888
192
36
472.222
416
192
694.444
532
268
930.555
616
346
1.986.111
2135
1350
4.972.222
1200
870
3.625.000
380 210 1500 205 115
850 162 1450 138 63
1.611.111 1.722.222 16.944.444 1.916.666 1.305.555
78