1
KARAKTERISASI KIMIAWI, AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI SEL LESTARI TUMOR DAN AKTIVITAS FAGOSITOSIS SECARA IN-VITRO DARI FRAKSI BIOAKTIF RIMPANG TEMU PUTIH [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe]
ROS SUMARNY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Kimiawi, Aktivitas Antiproliferasi Sel Lestari Tumor dan Aktivitas Fagositosis secara Invitro dari Fraksi Bioaktif Rimpang Temu Putih [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe] adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2006
Ros Sumarny NIM. B046010051
3
ABSTRAK ROS SUMARNY. Karakterisasi Kimiawi, Aktivitas Antiproliferasi Sel Lestari Tumor dan Aktivitas Fagositosis secara In-Vitro dari Fraksi Bioaktif Rimpang Temu putih [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe]. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, LATIFAH K. DARUSMAN, CHAIRUL dan IETJE WIENTARSIH. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi aktivitas antiproliferasi sel lestari tumor dan fagositosis secara in-vitro dari fraksi bioaktif yang diisolasi dari rimpang temu putih (Curcuma zedoaria ). Serbuk rimpang temu putih diekstraksi dengan pelarut organik (n-heksana, metanol dan etil asetat). Lima fraksi (A-E) dari ekstrak etil asetat diperoleh dengan teknik kromatografi menggunakan SiO 2 gel 60 dan fase gerak nheksana/etil asetat (0-100%). Fraksi bioaktif (B dan C) dimurnikan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan diperoleh 1 fraksi (B-1) dari fraksi B dan 3 fraksi (C-1,C-2 dan C-3) dari fraksi C. Karakterisasi kimia dilakukan pada fraksi B-1 dan C-1 meliputi spektroskopi UV-Vis, infra merah dan massa. Pengujian bioaktivitas yang dilakukan adalah uji toksisitas terhadap la rva udang (Artemia salina), uji antiproliferasi terhadap sel lestari tumor (sel HeLa, K-562, WEHI 164), aktivitas fagositosis terhadap Staphyllococcus epidermidis, analisis jumlah kromosom sel tumor dan perubahan morfologi dari sel lestari tumor. Data spektrum ultraviolet-cahaya tampak dan infra merah dari fraksi B-1 mengindikasikan adanya gugus karbonil terkonyugasi dengan etilenik, lakton tak jenuh, poli-ene terkonyugasi sedangkan dari spektrum massa diperoleh berat molekul sebesar 228 (rumus molekul C15H16O2). Berdasarkan data spektroskopi dan hasil penelusuran pustaka maka diperoleh struktur dugaan (plausible structure) senyawa fraksi B-1 adalah 1(10),5,7,(11)8,Guaiantetraen-12,8-olide dengan sinonim gweikurkulakton. Pada fraksi C-1 masih terdapat 4 senyawa yang belum terpisah sempurna dan diidentifikasi sebagai analog senyawa seskuiterpen, diterpen dan triterpen. Fraksi B dan C (15 bpj) memberikan persentase penghambatan pertumbuhan (PP) paling tinggi terhadap sel HeLa (25 dan 32%), K 562 (53 dan 55%) dan WEHI 164 (43 dan 50%). Kadar hambat median atau IC50 (Inhibition Consentration 50) fraksi B-1 terhadap sel K 562 sebesar 1,64 bpj dan fraksi C-1 terhadap sel HeLa sebesar 1,55 bpj. Pemberian fraksi B-1 (1,5 bpj) memperbaiki abnormalitas jumlah kromosom sel lestari tumor dan memperlihatkan adanya aktivitas apoptotik dengan gambaran karakteristik berupa pengkerutan membran sel dan kondensasi kromatin sel lestari tumor. Dari hasil uji fagositosis diperoleh senyawa fraksi B-1 (100 bpj) mengaktivasi makrofag melalui stimulasi sel fagosit aktif (39%) dan indeks fagosit (20%). Kesimpulan penelitian ini adalah: 1). struktur dugaan senyawa fraksi B-1 adalah gweikurkulakton (seskuiterpen lakton), termasuk kelompok senyawa aktif sebagai antiproliferasi sel lestar i tumor 2). membunuh sel tumor diduga dengan melalui mekanisme apoptosis dan 3). meningkatkan aktivitas fagositosis. Kata kunci: Curcuma zedoaria , fraksi bioaktif, antiproliferasi, fagositosis, sel lestari tumor.
4
ABSTRACT ROS SUMARNY. Chemical Characterisation, Antiproliferation Activity Against Tumor Cell Lines and Phagocytosis Activity In-vitro of the Bioactive Fraction of Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe. Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, LATIFAH K. DARUSMAN, CHAIRUL and IETJE WIENTARSIH. The aim of this research was to evaluate the in vitro antiproliferation and phagocytic activities of the bioactive fractions isolated from Curcuma zedoaria (temu putih) rhizome. The powder of rhizome was extracted by using organic solvents (nhexane, MeOH and EtOAc). Five fractions (A-E) of EtOAc extract were obtained by chromatography technique on SiO 2 gel 60 and gradient mobile phase n-hexane/EtOAc (0-100%). The bioactive fractions (B and C) were purified using high performance liquid chromatography, one fraction (B-1) was obtained from fraction B and three fractions (C-1,C-2, C-3) from fraction C. Chemical characterization of fraction B-1 and C-1 were done by using spectrometry of ultraviolet, infra red and mass. Bioactivity tests consisted of cytotoxicity assay on Artemia salina, antiproliferation assay on HeLa, K 562 and WEHI 164 cell lines, phagocytosis assay on Staphylococcus epidermidis, chromosome number analysis and morphological observation of tumor cell lines Spectrum data UV-Vis and IR indicated the existences of conjugated carbonyl group with ethylenic, unsaturated lacton and conjugated poliene, while mass spectrum analysis indicated the mass of fraction B-1 was 228 (molecular formula C15H 16O2 ). Based on spectroscopy data and references, the structure of fraction B-1 was estimated as 1(10),5,7,(11)8,Guaiantetraen-12,8-olide or gweicurculactone. The C-1 fraction still contain four compounds which not yet separated absolutely and was estimated as analog of sesquiterpenoid, diterpenoid and triterpenoid. The results showed that fraction B and C (15 µg/mL) had the highest growth inhibition activity against HeLa cells (25 and 32 %), K 562 cells (53 and 55%) and WEHI 164 cells (43 and 50%). The IC 50 value of fraction B-1 on K-562 cells was 1.64 µg/mL and fraction C-1 on HeLa cells was 1.55 µg/mL. Administering fractions B-1 and C-1 (1.5 µg/mL) to tumor cell lines showed that there was a repairing activity on the abnormality of chromosome numbers as well as apoptotic activity characterize by cell shrinkage and chromatin condensation. B-1 fraction (100 µg/mL) increased the performance of phagocytic activity of the macrophage as for 39% and phagocytic index was 20%. Conclusions of the present research are: 1) the plausible structure of fraction B-1 was gweicurculactone (sesquiterpen lactone), includes the active compound groups as tumor cell antiproliferation, 2). the mechanisms of tumor cell killing effect was predicted through apoptotic mechanism and 3) increasing the phagocytic activity
Keywords: Curcuma zedoaria, bioactive fraction, antiproliferation, phagocytosis, tumor cell lines
5
KARAKTERISASI KIMIAWI, AKTIVITAS ANTIPROLIFERASI SEL LESTARI TUMOR DAN AKTIVITAS FAGOSITOSIS SECARA IN-VITRO DARI FRAKSI BIOAKTIF RIMPANG TEMU PUTIH [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe]
ROS SUMARNY
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
6 Judul Disertasi : Karak terisasi Kimiawi, Aktivitas Antiproliferasi Sel Lestari Tumor dan Aktivitas Fagositosis secara In-vitro dari Fraksi B ioaktif Rimpang Temu Putih [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe] Nama
: Ros Sumarny
NIM
: B046010051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Drh. Bambang P. Priosoeryanto,MS Ketua
Prof. Dr.Ir.Latifah K.Darusman, MS Anggota
Dr. Chairul,Apt,MSc, APU Anggota
Dr.Ietje Wientarsih,Apt,MSc Anggota Diketahui,
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Drh. Bambang P. Priosoeryanto,MS Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 15 Agustus 2006
Tanggal Lulus :
7
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Maha Kuasa, atas Rahmat dan KaruniaNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan program doktor di Program Studi Sains Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penelitian ini berjudul “ Karakterisasi Kimiawi, Aktivitas Antiproliferasi Sel Lestari Tumor dan Aktivitas Fagositosis secara In-vitro dari Fraksi Bioaktif Rimpang Temu Putih [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe]” . Penulis menyampaikan penghargaan dan hormat serta terima kasih yang tulus kepada komisi pembimbing, yaitu Bapak Dr. Drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ibu Prof. Dr.Ir.Latifah K.Darusman, MS, Bapak Dr. Chairul, Apt, MSc, APU dan Ibu Dr. Ietje Wientarsih, Apt, MSc yang telah membantu, membimbing, memberikan pengarahan dan semangat kepada penulis dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pimpinan Proyek BPPS DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI ya ng telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.Terima kasih kepada Rektor Universitas Pancasila Bapak Edie Toet Hendratno SH, MSi, Dr. S. Broto Sutaryo, Apt (mantan Dekan) dan Drs. I.Wayan Redja, M.Chem, Apt (Dekan FFUP) yang mengizinkan penulis untuk menempuh pendidikan program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc selaku Penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Prof. Dr. Drh. Dondin Sayuthi, MST dan Bapak Dr. Wahono Sumaryono, Apt, APU selaku Penguji luar komisi pada ujian terbuka atas kesediaan dan sarannya. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Dr. Drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS atas bantuan biaya penelitian dan sarana melalui HIBAH BERSAING PERGURUAN TINGGI XI Tahap I tahun 2003. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Praptiwi selaku Pimpinan Kelompok Fitokimia Bidang Botani Puslitbang Biologi LIPI Bogor, Bapak Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, Bapak Drh. Ketut Mudite,MSV, Ibu Dra. Diah Widowati, MS, Apt, Bapak Drs. Thamrin Wikanta,MS atas segala bantuan sarana dan kesempatan menggunakan fasilitas laboratorium. Demikian juga kepada teman-teman staf pengajar FFUP khususnya di laboratorium Farmakologi penulis menyampaikan terima kasih atas segala dukungan, perhatian dan pengertiannya selama penulis menjalani tugas belajar ini. Terima kasih pada Ayah Martinus Ali (alm) dan Ibu Maria Goretti Molek (alm) yang tercinta atas bimbingan dan kasih sayangnya yang merupakan inspirasi bagi penulis untuk selalu tekun dan semangat menyelesaikan tugas dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar Martinus Ali atas doa, bantuan moril maupun materil, semoga segala kebaikan hati dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani tugas belajar ini, semoga mendapat berkat dari Bapa yang Maha Baik. Akhir kata pada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas budi baik bapak dan ibu sekalian. Bogor, Agustus 2006
Ros Sumarny
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1951 di Padang-Sumatera Barat sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari pasangan Martinus Ali (alm) dan Maria Goretti Molek (alm). Pendidikan sarjana dan profesi farmasis ditempuh di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Alam Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1981. Pada tahun 1986, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program magister di Program Studi Farmas i pada Fakultas Pascasarjana ITB dan menyelesaikannya pada tahun 1988. Pada tahun 2001, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Sains Veteriner pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengik uti pendidikan program pascasarjana penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan bantuan biaya penelitian dari Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Sejak tahun 1982, penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah III DKI yang dipekerjakan pada Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta hingga sekarang. Pada bulan Mei-Juni dan Oktober -Nopember tahun 1990-1991, penulis mendapat kesempatan mengikuti “ Lectures and practical training of the Mid Career Training in Pharmacochemistry course” at the Faculty of Pharmacy, Gajah Mada University, in the M.C.T.P. project between the Faculty of Pharmacy, Gajah Mada University Yogyakarta, and the Departement of Pharmacochemistry, Free University, Amsterdam. Penulis adalah anggota Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (PERHIPBA) Komisariat Jakarta .
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................
iii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................... .................................................
1
B. Perumusan Masalah.....................................................................................
3
C. Maksud dan TujuanPenelitian.....................................................................
4
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................
4
E. Hipotesis .....................................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Temu Putih ..................................................................................................
5
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Sel .........................................................
9
C. Tumor (neoplasma) .................................................................................... 11 D. Imunomodulator ........................................................................................ . 15 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu ...................................................................................... 18 B. Bahan dan Alat Penelitian .......................................................................... 18 C. Metode Penelitian ...................................................................................... 19 1. Ekstraksi, Fraksinasi, Pemurnian dan Karakterisasi Kimia .................. 19 a.. Pembuatan Ekstrak.......................................................................... 19 b. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat ....................................................... 22 c. Pemurnian Fraksi Etil Asetat........................................................... 23 d. Karakterisasi Kimia ......................................................................... 23 2. Uji Aktivitas Biologik ........................................................................... 24 a. Uji Kematian Larva Udang (Brine Shrimp Lethality Test ) ............. 24 b. Uji Antiproliferasi Sel Lestari Tumor Secara In-vitro .................... 26 c. Uji Fagositosis Makrofag Secara In-vitro ....................................... 28 d. Analisis Jumlah Kromosom ............................................................ 30 e. Pewarnaan Sel Lestari Tumor dengan Pewarna Fluoresens. ........... 31 3. Analisis Data ........................................................................................ 32
10 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi, Fraksinasi, Pemurnian dan Karakterisasi Kimia .................. 33 1. Ekstrak Rimpang Temu putih ......................................................... 33 2. Hasil Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat................................................ 34 3. Hasil Pemurnian Fraksi Etil Asetat ................................................ 36 4. Karakterisasi Kimia ......................................................................... 38 B. Uji Aktivitas Biologik. .......................................................................... 45 1. Uji Kematian Larva Udang (Brine Shrimp Lethality Test ) ............. 45 2. Uji Aktivitas Antiproliferasi ........................................................... 45 3. Uji Fagositosis................................................................................. 54 4. Analisis Jumlah Kromosom Sel Lestari Tumor .............................. 58 5. Pewarnaan sel Lestari Tumor dengan Pereaksi Fluoresens ............ 61 V. SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................. 65 VI. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66 LAMPIRAN............................................................................................................ 72
11
DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil penapisan fitokimia .................................................................................
34
2. Hasil fraksinasi ekstrak EtOAc dengan kromatografi kolom ............................
35
3. Data spektroskopi UV fraksi B -1 dan C-1........................................................
38
4. Data spektroskopi IM fraksi B-1 dan C-1 .........................................................
38
5. Perbandingan data spektroskopi senyawa fraksi B-1, zedoalactone A dan kurzeon ......................................................................................................
42
6. Kadar hambat median (IC 50 ) fraksi bioaktif .....................................................
48
7. Perolehan hasil ekstraksi dan hasil uji anti-proliferasi ekstrak/fraksi uji..........
50
8. Jumlah kromosom sel tumor pasca perlakuan dengan fraksi B-1 dan C-1.......
59
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Siklus sel (Katzung 2001) ..............................................................................
2.
Kariotipe kromosom pasien CML (A) dan Kromosom Philadelphia (B)
10
(Tannock dan Hill 1998) ................................................................................
12
3.
Bagan alur ekstraksi dan uji bioaktivitas........................................................
20
4.
Bagan alur uji kematian larva udang (BSLT)................................................
25
5.
Bagan alur uji antiproliferasi .........................................................................
27
6.
Bagan alur uji fagositosis ..............................................................................
29
7.
Bagan alur analisis jumlah kromosom ..........................................................
31
8.
Bagan alur pewarnaan sel tumor dengan pereaksi fluoresens .......................
32
9.
Rimpang temu putih (A), Irisan rimpang (B) Serbuk (C) dan Ekstrak (D) ...
33
10.
Kolom cair preparatif (A), Fraksi efluen (B) dan Pola bercak KLT (C)........
35
11.
Kromatogram fraksi B (atas) dan C (bawah) dengan KCKT .......................
37
12A. Spektrum serapan UV-Vis fraksi B-1 dengan detektor Photo Diode Array ..
39
12B. Spektrum serapan UV-Vis fraksi B-1 (atas) dan C-1 (bawah) dengan detektor UV-Vis .............................................................................................
39
13.
Spektrum serapan inframerah fraksi B-1 (atas) dan C-1 (bawah) ..................
40
14.
Kromatogram fraksi B-1 dengan KCKT .......................................................
41
15.
Spektrum massa fraksi B-1 ............................................................................
41
16.
Struktur kimia gweikurkulakton (1), zedoalactone A (2) dan kurzeon (3) ...
42
17.
Kromatogram fraksi C-1 dengan KCKT .......................................................
44
18.
Spektrum massa fraksi C-1 ............................................................................
44
19.
Sel WEHI 164 dengan perwarnaan biru tripan pada kamar hitung ............... hemositometer. Sel mati (panah besar) dan sel hidup (panah kecil) .............
46
20.
Persentase penghambatan pertumbuhan sel tumor oleh fraksi EtOAc ..........
46
21.
Persentase penghambatan pertumbuhan sel tumor oleh fraksi bioaktif .........
49
22.
Reaksi adisi nukleofilik dengan elektrofilik karbonil α , β tidak jenuh.......... (McMurry 1984) .............................................................................................
52
23.
Dugaan mekanisme reaksi senyawa B-1 dengan gugus sulfhidril .................
52
24.
Makrofag aktif yang telah memfagosit bakteri (tanda panah) ....................... Pewarnaan Giemsa. Perbesaran 10 X 100......................................................
54
13 25.
Sel Fagosit Aktif (A) dan Ideks Fagosit (B) pasca perlakuan fraksi EtOAc..
55
26.
Sel Fagosit Aktif (A) dan Ideks Fagosit (B) pasca perlakuan fraksi bioaktif
56
27.
Kromosom sel HeLa. Pewarnaan Giemsa dengan perbesaran 10 X 100.......
59
28.
Pengaruh fraksi B-1 dan C-1 terhadap Indeks Ploidi kromosom sel tumor ...
60
29.
Pengaruh fraksi B-1 dan C-1 terhadap morfologi dan inti sel tumor .............
62
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 12. Hasil Determinasi Tumbuhan......................................................................
72
13. Rangkuman hasil eks traksi, fraksinasi dan pemurnian .............................. Rimpang temu putih (C. zedoaria ).............................................................
73
14. Warna dan harga Rf dari pemisahan secara KLT ......................................
74
15. Kromatogram dengan KLT dan KCKT fraksi B -1 dan C-1 .......................
75
16. Data uji kematian larva udang (BSLT) dan nilai LC50................................
77
17. Jumlah sel tumor pasca perlakuan fraksi EtOAc dan analisis statistik .......
79
18. Jumlah sel tumor pasca perlakuan fraksi bioaktif dan analisis statistik ......
81
19. Nilai kadar hambat median (IC50) fraksi bioaktif dan analisis statistik .....
86
20. Sel fagosit aktif dan indeks fagosit pasca perlakuan fraksi EtOAc.............
87
21. Sel fagosit aktif dan indeks fagosit pasca perlakuan fraksi bioaktif ...........
89
22. Data pengamatan jumlah kromosom sel tumor ..........................................
91
15
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tumor atau neoplasma adalah pertumbuhan sel yang berlebihan dan tidak terkontrol, dapat diikuti dengan metastasis pada satu atau lebih jaringan. Kanker adalah istilah umum untuk semua tumor ganas (malignant tumor) yaitu tumor yang menyebar dan ganas, sedangkan tumor yang tidak menyebar dan tidak ganas disebut tumor jinak (benign tumor). Tumor menempati peringkat ke lima penyebab utama kematian di Indonesia, disamping penyakit kardiovaskular, infeksi, pernapasan dan pencernaan (Tim Surkesnas 2002). Di negara berkembang, penyakit infeksi dan parasit masih merupakan masalah kesehatan terutama pada usia balita. Di negara maju, tumor adalah penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskular. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai faktor resiko penyakit jantung yang diikuti perubahan pola hidup dan perkembangan obat kardiovaskular berperanan mengurangi angka kematian akibat penyakit jantung (Gibbs 2000). Tumor adalah penyakit yang kompleks dengan berbagai akumulasi mutasi genetik, manifestasi penyakit memerlukan waktu lama, keterbatasan efektivitas kemoterapi tumor; fenomena ini akan menambah jumlah angka kematian akibat tumor. Usaha yang dilakukan untuk pencegahan penyakit kardiovaskular secara tidak langsung juga mencegah penyakit degeneratif lain seperti penyakit kanker, diabetes, glaukoma (Flora dan Ferguson 2005). Berbagai komponen bioaktif yang terdapat dalam bahan pangan seperti genistein, dialil sulfida, alisin, resveratrol, kapsaisin, kurkumin, gingerol, anetol mempunyai kemampuan menekan proses transformasi, hiperproliferasi dan inflamasi yang berperanan pada inisiasi karsinogenesis. Masyarakat Asia dengan pola konsumsi yang kaya dengan sayuran, buahan dan tumbuhan rempah mempunyai resiko lebih rendah menderita kanker kolon, gastrointestinal, payudara, prostat dibandingkan masyarakat Barat (Dorai dan Aggarwal 2004). Indonesia memiliki keanekaragaman hayati nomor dua di dunia setelah Brazilia dengan ribuan spesies tumbuhan yang tersebar di hutan tropika. Berbagai komponen bioaktif (alkaloid, terpenoid, flavonoid, steroid, tanin) yang terdapat di dalam tumbuhan bermanfaat bagi kesehatan manusia dan telah dikembangkan sebagai obat sintetis
16 seperti efedrin, atropin, kinin, vinkristin atau masih digunakan dalam bentuk ramuan beberapa simplisia tumbuhan yang dikenal dengan istilah jamu. Sampai saat ini pemakaian jamu masih populer di masyarakat sebagai pemelihara kesehatan dan menjaga kebugaran (promotif), pencegah penyakit (preventif), penyembuh penyakit (kuratif) atau pendamping penggunaan obat jadi, pengurang rasa sakit (simtomatis) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Pemakaian obat tradisional oleh masyarakat terutama dalam pengobatan tumor dilakukan dengan alasan yang bersifat sosial ekonomi. Pada kanker stadium lanjut, obat tradisional jelas tidak bermakna memperpanjang umur penderita tetapi ber manfaat meningkatkan kualitas hidup penderita. Pengobatan tumor dengan obat yang berasal dari tumbuhan dimaksudkan sebagai usaha pencegahan (kemopreventif) perkembangan tumor atau terapi tambahan. Tumbuhan obat yang populer digunakan untuk pengobatan tumor antara lain Cathranthus roseus / Vinca rosea, Sonchus arvensis, Dioscorea bulbifera , Gynura procumbens, Kaempferia rotunda , Curcuma zedoaria. Di antara tumbuhan tersebut ada yang berkhasiat sebagai sitostatika, imunomodulator, anti-inflamasi, hepatoprotektor dan analgesik (Saputra et al. 2000). Komponen bioaktif tumbuhan obat mempunyai banyak molekul target dan memberikan efek beragam terhadap fisiologi tubuh (Inalci et al. 2005), di antara komponen bioaktif tersebut mungkin saling memberikan efek yang bersifat sinergis, aditif atau saling meniadakan efek samping komponen bioaktif (Briskin 2000). Hasil penelitian Murakami et al. (1998) pada uji saring secara in vitro ekstrak etanol dari 107 jenis tanaman dari 48 famili tanaman terhadap sel Raji dan uji tumor promoter 12 -O-hexadecanoylphorbol-13-acetas (HPA) dengan Epstein -Barr (EB) virus activation, diperoleh hasil sebanyak 71% ekstrak etanol tumbuhan menghambat sekitar 30% aktivasi virus EB pada kadar 200 mg/mL. Diantara jenis tumbuhan tersebut yang terbanyak bersifat anti-tumor berasal dari suku Zingiberaceae dan Apiaceae. Sirait (2001) melaporkan sebanyak 80% tumbuhan obat di dalam jamu berasal dari famili Zingiberaceae, Piperaceae dan Apiaceae. Dalam dasawarsa belakangan ini C. zedoaria (Zingiberaceae) atau dikenal dengan nama daerahnya temu putih, kunyit putih, atau koneng bodas secara tradisional rimpangnya (rhizoma) digunakan untuk pengobatan kanker serviks dan meningkatkan efektivitas kemoterapi pada penderita kanker (Dalimartha 2003). Kandungan kimia rimpang temu putih adalah minyak atsiri, kurkuminoida (diarilheptanoid), polisakarida
17 dan golongan lain (Tang dan Eisenbrand 1992). Sebagai obat tradisional, rimpang temu putih digunakan sebagai stimulans, karminativum, diuretik, antiemetik, antipir etik, antidiare, memperbaiki gangguan pencernaan, mengobati ulser, luka dan penyakit kulit lainnya (De Padua et al. 1999). Penggunaan rimpang temu putih untuk mengobati tumor sering digabung dengan bahan lain seperti temu mangga atau kunir putih, temu lawak, benalu teh, delima putih, pulosari, sambung nyawa, beluntas dan lainnya sesuai dengan tujuan pengobatan (Syukur 2002, Suharmiati et al. 2002). Beberapa penelitian melaporkan sediaan rimpang temu putih mampu menghambat pertumbuhan sel mieloma, sel karsinoma (Priosoeryanto et al. 2001), menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit yang diinduksi dengan benzo(a)piren (Murwanti et al. 2004). Penelitian komponen bioaktif rimpang temu putih antara lain analisis komponen minyak atsiri (Sudibyo 2000), aktivitas anti bakteri minyak atisri (Sunardi et al. 2002, Wilson et al. 2005), aktivitas analgetik dan anti inflamasi kurkumenol (Navarro et al. 2005, Jang et al. 2004), aktivitas antiproliferasi sel OVCAR-3 dari komponen kurkuminoid (Syu et al. 1998).
B. Perumusan Masalah Tumor adalah penyakit yang kompleks, tindakan terapi konvensional seperti pembedahan dan radiasi hanya efektif untuk tumor lokal stadium dini. Pada umumnya kasus tumor baru diketahui pada saat tumor sudah dalam tahap lanjut disertai adanya penyebaran/metastasis pada organ tubuh lain dan pemberian kemoterapi pada kasus ini hanya bersifat sebagai terapi penunjang untuk mengurangi penderitaan pasien. Obat anti tumor bekerja pada sel yang sedang aktif sehingga efek samping ditemui pada jaringan dengan proliferasi tinggi seperti sistim hemopoetik dan gastrointestinal. Sel sistim imun yang rusak akibat obat anti tumor atau radiasi, merupakan peluang terjadinya infeksi dan pertumbuhan tumor. Pemberian komponen bioaktif tumbuhan yang dapat meningkatkan fungsi sistim imun penderita akan bermanfaat bagi penderita untuk mengatasi efek samping kemoterapi atau radiasi maupun menghadapi invasi bakteri. Rimpang temu putih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi keluhan penderita kanker serviks, tetapi belum ada laporan ilmiah tentang aktivitas biologis komponen bioaktif atau metabolit sekunder terhadap sistim imun non spesifik maupun sifat sitotoksik terhadap sel kanker epitel, kanker darah (leukemia) dan kanker jaringan ikat
18 (fibroblas). Penelitian ini ditujukan untuk menggali potensi aktivitas biologik komponen bioaktif rimpang temu putih sebagai antiproliferasi maupun sebagai imunomodulator. Untuk memperoleh senyawa bioaktif tersebut maka dilakukan fraksinasi yang berpedoman hasil uji bioaktivitas (bioassay-guided fractionation ).
C. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengekstraksi, fraksinasi dan memurnikan fraksi bioaktif rimpang temu putih 2. Melakukan karakterisasi kimia fraksi bioaktif terpilih 3. Menguji secara in vitro aktivitas antiproliferasi pada sel lestari tumor (HeLa, K-562 dan WEHI-164) serta aktivitas fagositosis dari fraksi bioaktif 4. Menelaah pengaruh fraksi bioaktif terpilih terhadap jumlah kromosom dan perubahan morfologi sel lestari tumor (HeLa, K-562 da n WEHI-164) 5. Menjelaskan kemungkinan mekanisme kerja komponen bioaktif sebagai substansi antiproliferasi
D. Manfaat Penelitian ini diharapkan menambah informasi ilmiah mengenai komponen bioaktif
rimpang
temu
putih
yang
berpotensi
sebagai
antiproliferasi
dan
imunomodulator (peningkatan fagositosis), kajian hubungan struktur dengan aktivitas (Structure Activity Relationship/SAR) dan bahan pertimbangan untuk pengembangan pengujian pada tingkat molekuler.
E. Hipotesis Fraksi bioaktif rimpang temu putih mengandung senyawa bioaktif yang mempunyai aktivitas antiproliferasi pada sel tumor, mempengaruhi abnormalitas jumlah kromosom, memicu apoptosis dan meningkatkan kemampuan fagositosis.
19
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Temu putih [Curcuma zedoaria (Christm) Roscoe] Tumbuhan Curcuma zedoaria (Zingiberaceae) dikenal dengan nama daerah: temu putih, koneng bodas (Sunda) dan kunir putih (Jawa). Nama lain (sinonim) adalah: Curcuma pallida, Curcuma zerumbet, Amomum zedoaria, Costus luteus dan Roscua lutea (De Padua et al. 1999; Dalimarta 2003). Di Indonesia, temu putih banyak ditemukan sebagai tumbuhan liar di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Barat pada ketinggian 1000 m dpl. Tumbuhan berupa semak, batang semu dengan 6-8 helai pelepah daun yang berpadu, tumbuh tegak lurus, tinggi mencapai 2 m. Daun berbentuk lanset memanjang berwarna merah lembayung di sepanjang tulang tengahnya. Bunga majemuk, tipe bulir, keluar langsung dari umbi berbentuk bulat panjang dengan mahkota bunga berwarna ungu atau merah dan bagian bawah be rwarna hijau muda atau keputihan. Rimpang bercabang-cabang dengan warna putih atau kuning muda; daging rimpang berwarna kuning muda, sedikit beraroma kunyit dan rasanya pahit. Rimpang dipanen pada saat tumbuhan berumur 9-12 bulan (Syukur dan Hernani 1999). Sebagai obat tradisional, rimpang temu putih digunakan sebagai stimulans, karminativum, diuretik, antiemetik, antipiretik, antidiare, memperbaiki gangguan pencernaan, mengobati ulser, luka dan penyakit kulit lainnya (De Padua et al.1999). Pada pengobatan tradisional di Cina, temu putih (C. zedoaria ) telah digunakan di klinik untuk pengobatan kanker serviks (Syu et al. 1998). Menurut laporan Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Obat Tradisional (LP4OT) Surabaya penggunaan selama 14 hari, ramuan utama kunir putih (Curcuma mangga) dan benalu teh sebagai bahan utama, mengurangi keluhan penderita pada kasus tumor payudara dan tumor kandungan (Suharmiati et al. 2002). Kandungan kimia rimpang temu putih adalah minyak atsiri, kurkuminoida (diarilheptanoid), polisakarida dan golongan lain. Minyak atsiri rimpang temu putih berupa cairan kental kuning emas mengandung:1) monoterpen hidrokarbon (a-pinen, D kamfen), monoterpen alkohol (D-borneol), monoterpen keton (D-kamfor), monoterpen oksida dan sineol, dan 2) seskuiterpen golongan: bisabolan, eleman, germakran, eudesman, guaian dan spirolakton (Tang dan Eisenbrand 1992). Besarnya kadar kurkuminoid bervariasi di antara jenis Curcuma tergantung dari tempat tumbuh dan
20 periode panen, kadar kurkuminoida tertinggi terdapat pada jenis C. longa (kunyit) sebesar 3,97% (Lin et al. 2001). Aktivitas biologis temu putih (C. zedoaria) secara in-vitro dan in-vivo 1. Aktivitas anti bakteri Sunardi et al. (2002) melaporkan minyak atsiri rimpang temu putih (10 µL/kertas cakram) menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, B. subtilis, E coli, P.aeruginosa S. typhi, S. typhymurium, S. paratyphi B dan C, tetapi tidak memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan fungi (Trichophyton sp, Microsporum gypsum dan Aspergillus niger). Penelitian uji anti mikroba yang dilakukan oleh Wilson et al. (2005) terhadap 6 jenis ekstrak (polar, semi polar dan nonpolar) dari C. zedoaria dan C. malabrarica terhadap bakteri Gram positif (B. subtilis, S. aureus, M.luteus), Gram negatif (E.coli, P.mirabilis, K.pneumonia ) dan fungi (A.niger dan C.albicans) memberikan hasil yang mendukung pemakaian ekstrak non polar C. zedoaria sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur. 2. Aktivitas anti inflamasi Inflamasi atau radang adalah reaksi jaringan (selular dan vaskular) terhadap cedera, dengan melepaskan mediator kimia seperti faktor kemotaksis, bradikinin, histamin, leukotrien prostaglandin, sitokin (IL-1; interleukin-1, TNF; tumor necrosis factor), faktor pengaktif trombosit (PAF; platelet activating factor). Tanda - tanda utama inflamasi adalah rubor (redness), tumor (swelling), calor (heat), dolor (pain) dan kehilangan fungsi (functio laesa) (Cotran dan Collins 1999). Mekanisme aksi metabolit sekunder tumbuhan sebagai anti inflamasi adalah dengan interaksi langsung atau tidak langsung dengan berbagai: 1) mediator inflamasi (metabolit asam arakidonat, peptida, sitokin), 2) produksi atau fungsi second messenger (cGMP, cAMP, berbagai protein kinase), 3) ekspresi faktor transkripsi (Ap-1; activator protein-1, NF-κB; nuclear factor kappa B) dan 4) proto onkogen ( c-jun, c-fos dan c-myc) dan 5) ekspresi molekul proinflamasi seperti inducible NO synthase (iNOS),Cycylooxygenase (COX-2), sitokin (IL1ß), TNF-a , neuropetida dan protease (Calixto et al. 2003). Kurkumin adalah zat warna kuning, terdapat pada berbagai jenis rimpang Curcuma dengan kadar yang bervariasi yaitu sebesar 0,51% (C. xanthorrhiza ), 0,19% (C. mangga ) dan 0,10% (C. zedoaria ) (Sumarny et al. 2006). Sebagai anti inflamasi kurkumin mempunyai efek menghambat enzim siklo -oksigenase-2 (COX-2; enzim
21 katalase sintesis prostanoid) dan enzim 5-lipoksigenase (enzim katalase sintesis leuokotrien) (Surh et al. 2001). Prostaglandin dan leukotrie n, sekarang dikenal dengan eikosanoid adalah mediator inflamasi. Pada uji efek anti inflamasi dengan metode induksi udem (karagen) pada tikus, dilaporkan kombinasi minyak atsiri C. domestica, C. xanthorrhiza dan kurkuminoid memberikan efek anti inflamasi yang setara dengan piroksikam (Liang 1992). Nitrit oksida (NO) adalah mediator intraselular endotel vaskular dan memegang peranan penting pada proses inflamasi dengan mengurangi agregasi platelet, adesi dan mediator sel mast (Cotran dan Collins 1999). Senyawa kurkuminoid (diaril heptanoid) dan seskuiterpenoid (prokurkumenol dan epikurkumenol) yang diisolasi dari C. zedoaria memperlihatkan efek inhibitor iNOS (inducible nitric oxide synthase) sel makrofag yang diaktivasi dengan LPS (lipopolisakarida) (Jang et al. 2004). 3. Aktivitas analgetik Keadaaan panas, merah dan bengkak pada inflamasi akut disebabkan oleh peningkatan dilatasi dan permeabilitas pembuluh darah. Penyebab rasa nyeri adalah tekanan pada ujung saraf sensorik oleh cairan eksudat dan pe nurunan nilai ambang rasa nyeri oleh prostaglandin (Coltran dan Collins 1999). Senyawa kurkumenol (seskuiterpen), diperoleh dari rimpang C. zedoaria (dosis 29 µmol/kg bb, intra-peritoneal) memberikan efek analgesik yang setara dengan diklofenak (dosis 34,5 µmol/kg bb; ip) yang diuji dengan metode udem (formalin) pada mencit. Potensi efek penghambatan respons writhing (geliat) mencit yang diinduksi dengan asam asetat diperoleh 2 sampai 7 kali lebih kuat dibandingkan senyawa pembanding yaitu diklofenak dan dipiron (Navarro et al. 2002). 4. Aktivitas hepatoprotektor Hati adalah organ metabolisme utama yang bertugas mengubah senyawa asal menjadi metabolit dan berkonyugasi dengan asam glukoronat, sulfat, glutation sehingga lebih mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. Parasetamol adalah obat analgesik yang yang mengalami detoksifikasi di hati melalui reaksi konyugasi dengan glutation. Pada dosis tinggi akan terbentuk metabolit reaktif parasetamol yang berikatan secara kovalen dengan makromolekul dan menyebabkan nekrosis sel hati (Cotran dan Collins 1999). Nurrochmad dan Murwanti 2000, melaporkan ekstrak alkohol C. zedoaria (dosis 5 dan 10 mg/kg bb) menurunkan kadar aktivitas serum GPT tikus jantan sebesar 46,5 % dan 61 % serta perbaikan Gambaran histologi sel hati dibandingkan kelompok
22 kontrol negatif dengan model hepatoksin parasetamol (dosis 2,5 g/kg bb). Senyawa polifenol turunan kurkumin mempunyai sifat anti oksidan sebagai penangkap radikal bebas N-asetil benzokuinonimin (metabolit aktif parasetamol). 5. Aktivitas antioksidan Oksigen reaktif merupakan radikal yang dihasilkan dalam sistim biologi melalui proses fisiologi, patologi dan sumber eksogen dari komponen makanan, radiasi ultraviolet maupun polusi. Contoh oksigen reaktif (bentuk radikal) ialah •
hidroksil (OH ) dan superoksid
(O 2• );
radikal
oksigen reaktif non radikal ialah oksigen tunggal
1
( O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Radikal bebas adalah molekul yang relatif tidak stabil dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang rusak karena radikal bebas akan menghasilkan radikal bebas dan selanjutnya akan mengoksidasi lipid maupun protein yang letaknya berdekatan sehingga terbentuk lebih banyak lagi radikal bebas. Di samping mempunyai sifat merusak sel; oksigen reaktif memberikan efek perlindungan terhadap tubuh yaitu memerangi peradangan, membunuh bakteri dan mengembalikan tonus otot polos pembuluh darah (Coltran dan Collins 1999). Antioksidan membantu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Dalam tubuh terdapat antioksidan endogen (enzim katalase, glutation dan SOD;sulfodismutase) yang menjaga keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan. Akumulasi radikal bebas dalam tubuh dapat menimbulkan stres oksidatif yang diimplikasikan berperan dalam penuaan dini dan penyakit degeneratif (Cotran dan Collins 1999). Komponen tumbuhan yang bersifat sebagai antioksidan adalah flavonoid, polifenol, tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan senyawa yang mengandung sulfur. Serbuk rimpang C. domestica (tumerik) digunakan secara luas untuk bumbu masak, pewarna dan obat tradisional; senyawa kurkumin dan turunannya yaitu kurkumin demetoksilat mempunyai aktivitas antioksidan. Salah satu metode untuk menilai aktivitas antioksidan adalah metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) dengan menghitung nilai IC 50 yaitu kadar yang dibutuhkan untuk menangkap (scavenger) 50 % radikal bebas (DPPH•) pada periode waktu tertentu. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin besar potensi antioksidan contoh (sampel) Potensi antioksidan ekstrak EtOAc C. zedoaria (IC50:12,4 bpj) lebih besar dibandingkan C. mangga (IC50=97,8 bpj) (Alisyahbana et al. 2002), hasil yang mirip
23 juga diperoleh potensi antioksidan ekstrak EtOH C. zedoaria (IC50=99,19 bpj) lebih besar dibandingkan C. mangga (IC50=233,39 bpj) (Sumarny et al. 2006). 6. Aktivitas anti tumor Tirosin kinase adalah enzim yang mengkatalisis pemindahan gugus fosfat dari ATP ke asam amino tirosin dalam suatu protein substrat (Cotran dan Collins 1999). Reseptor tirosin kinase merupakan target aksi obat yang banyak dikembangkan dalam penemuan obat baru. Ekstrak kloroform C. zedoaria dan ekstrak metanol C.mangga (300 bpj) menghambat pertumbuhan pertumbuhan S cerevisae (penghasil tirosin kinase) pada hari ke 3 yang merupaka n pertumbuhan optimum S cerevisae (Iswantini et al. 2002). Pemberian fraksi polisakarida dari rimpang C. zedoaria (CZ-I-III) pada takaran 6,25 mg/kg/hari telah dilaporkan menghambat pertumbuhan tumor padat pada mencit yang ditransplantasi dengan sel sarkoma 180 sebesar 50% dan mencegah mutasi kromosom (Kim et al. 2000). Hasil penelitian Murwanti et al. (2004) melaporkan pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih (750 mg/kg BB; selama 12 minggu) mampu menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit betina yang diinduksi dengan senyawa benzo(a)piren) sebesar 78 %. Pengujian antiproliferasi terhadap sel OVCAR-3 (sel kanker ovarium manusia). dari kurkuminoid yang diisolasi dari ekstrak etanol rimpang temu putih C. zedoaria. dilaporkan oleh Syu et al. (1998).
B. Pertumbuhan dan perkembangan sel Sel merupakan unit dasar struktural dan fungsional dari semua makhluk hidup, dengan kemampuan mendasar adalah proliferasi yaitu pertumbuhan dan pembelahan sel sehingga dihasilkan dua sel anak. Pembelahan sel sangat penting untuk pertumbuhan makhluk hidup dari muda sampai dewasa atau mengganti sel yang rusak seperti sel hati. Beberapa sel yang terspesialisasi seperti sel saraf dan sel otot tidak membelah sama sekali pada manusia dewasa sedangkan sel kulit sering membelah sepanjang hidup. Siklus sel (Gambar 1) terdiri dari periode pertumbuhan sel (interfase) dan pembelahan sel (mitosis) berkisar antara 18-24 jam tergantung dari sumber dan tipe sel. Periode interfase dibagi menjadi subfase: G1 (gap pertama ), S (sintesis DNA) dan G2 (gap kedua). Pembelahan sel secara mitosis ditujukan untuk memperbanyak jumlah sel dalam tubuh agar makhluk hidup dapat bertambah besar/tumbuh; terdiri atas
24 pembelahan inti sel (kariokinesis) dan diikuti oleh pembelahan sitoplasma (sitokinesis). Fase mitosis (M phase) terdiri dari 5 subfase yaitu profase, prometafase, metafase, anafase dan telofase (Campbell et al. 2000).
Gambar 1. Siklus sel (Katzung 2001)
Siklus sel diatur oleh 3 titik pengontrolan (checkpoint) pada fase G1, G2 dan M. Pada suatu saat sel harus meninggalkan siklus proliferatif karena diferensiasi terminal, kematian atau memasuki fase istirahat (G0) berdasarkan sinyal checkpoint (titik pengontrolan) pada fase G1. Sel yang berada pada fase Go (fase istirahat) dapat memasuki kembali fase G1 oleh rangsangan lingkungan tertentu seperti faktor pertumbuhan derivat- platelet (PDGF; platelet-derived growth factor) yang dilepas pada waktu mengalami luka (Campbell et al. 2000). Protein pengatur checkpoint G1 dan G2 adalah protein kinase yang tergantung siklin (cyclin dependent kinase atau cdk) sedangkan checkpoint G2 ke fase M adalah faktor pemacu fase M atau MPF (M-phase promoting factor) yang akan menginisiasi mitosis. Penjaga gerbang fase G2M melalui jalur
sinyal
kompleks
pemacu-anafase
(APC;
anaphase-promoting
complex)
memastikan bahwa sel anak tidak terbentuk dengan kromosom yang hilang atau kromosom tambahan pada saat pemisahan kromatid saudara (Campbell et al. 2000).
25 C. Tumor (neoplasma) Secara umum istilah tumor berarti pembengkakan yang disebabkan oleh inflamasi (radang) sedangkan neoplasma juga menimbulkan pembengkakan. Menurut onkologis Willis di dalam Cotran dan Collins 1999), pengertian neoplasma adalah pertumbuhan sel yang berlebihan dan tidak terkontrol yang dapat diikuti dengan penyebaran (metastasis) pada satu/lebih jaringan. Kanker adalah istilah umum untuk semua tumor ganas (malignant tumor) yaitu tumor yang menyebar dan ganas sedangkan tumor yang tidak menyebar dan tidak ganas disebut tumor jinak (benign tumor). Walaupun penyebab pasti belum diketahui, tetapi telah teridentifikasi faktor resiko berbagai jenis tumor meliputi; 1) faktor endogen: turunan (genetik), imunitas (kekebalan), hormonal, jenis kelamin dan umur
dan 2) faktor eksogen: bahan
karsinogenik (pengawet, pewarna, asap rokok), fisika (sinar matahari, radiasi radioaktif) dan biologik (virus, bakteri, parasit, jamur aflatoksin). Beberapa gaya hidup (life style ) berkaitan erat dengan prevalensi tumor tertentu seperti: kebiasaan minum alkohol (tumor hati), pola makan (tumor pencernaan), kebiasaan merokok (tumor paru), perilaku seks bebas (tumor leher rahim) (Tannock dan Hill 1998). Tumor adalah penyakit genetik, hal ini berkaitan dengan fenomena bahwa proses terjadinya tumor didahului oleh perubahan genetik (mutasi berulang) secara bertahap sampai suatu saat perubahan tersebut mampu menyebabkan proliferasi yang tidak terkendali (fenotip keganasan). Perubahan genetik yang mengarah pada proses keganasan dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada 4 golongan gen pengatur pertumbuhan normal, yaitu: 1). proto-onkogen atau gen pencetus pertumbuhan, 2). tumor supresor gen atau gen penghambat pertumbuhan (anti-onkogen), 3).gen pengatur kematian sel terpogram (apoptosis) dan 4). gen pengendali perbaikan DNA. Pada mama lia pertumbuhan dan pembelahan (proliferasi) sel diatur oleh serangkaian protein yang diproduksi oleh onkogen ras (gen susceptible tumor) sebagai pemacu perkembangan sel dan tumor supresor gen p53 (anti-onkogen) berfungsi sebagai penghambat perkembangan sel tidak terkontrol; keduanya bekerja harmonis untuk mengatur perkembangan sel dalam rangka menjaga integritas tubuh secara keseluruhan. Gen yang paling umum berubah (mutasi) pada tumor manusia adalah gen supresor tumor p53 (singkatan dari protein dengan berat molekul 53 kilodalton) yang terjadi kira-kira 50 % dari semua tumor, sedangkan mutasi pada onkogen ras (singkatan dari rat sarcoma ) terjadi pada sekitar 30 % kasus (Campbell et al. 2000).
26 1. Abnormalitas kromosom sel tumor Kromosom adalah struktur pembawa gen yang mirip benang terdapat di dalam nukleus. Sel somatik manusia mengandung 46 kromosom (2n=46) terdiri atas 44 kromosom somatik (autosom) dan 2 kromosom seks (X dan Y). Sifat sel lestari tumor (continous cell lines) adalah aneuploidi (jumlah kromosom bukan perkalian pasti dari perangkat haploid/n) bervariasi antara diploid (2n) dan tetraploid (4n), memiliki heterogenisitas fenotipe dan instabilitas genetik, kehilangan sebagian sifat diferensiasi dan bersifat tumorigenik in-vivo (MacDonad 1998). Abnormalitas kromosom meliputi abnormalitas jumlah kromosom (aneuploidi atau poliploidi) dan abnormalitas struktur kromosom meliputi perpindahan (translokasi), kehilangan (delesi), penyisipan (insersi), penambahan (adisi) (Tannock dan Hill 1998).
Gambar 2. Kariotipe kromosom pasien CML (A) dan Kromosom Philadelphia (B) (Tannock dan Hill 1998).
Kromosom Philadelphia [t(9;22)(q34;q11)] adalah contoh kelainan kromosom pada leukemia kronik mieloid (CML;Chronic myelogenous leukemia ), di mana terdapat translokasi bolak balik antara kromosom 9 dan 22 dengan break points pada q 34 kromosom 9 dan q11 pada kromosom 22 (Gambar 2 B). Gen abnormal dianggap bertanggung jawab atas terjadinya transformasi keganasan seperti kromosom Philadelpia (Ph) dijumpai pada 90 % leukemia meilositik
27 kronik dan 17-25 % leukemia limfositik akut (Kresno 2001). Kajian abnormalitas jumlah kromosom dilakukan dengan pembuatan karyotyping yaitu pemetaaan foto kromosom menurut panjang kromosom dan letak sentromer yang disusun berdasarkan sistim Denver-London. Analisis kromosom bermanfaat untuk mengetahui jenis kelamin dan asal usul sel spesies (Campbell et al. 2000) maupun kelainan dalam jumlah atau struktur kromosom (MacDonald 1998). Stabilitas genetik adalah prasyarat untuk pertum buhan sel normal, sebaliknya instabilitas genetik adalah salah satu sifat sel tumor. Penyebab instabilitas genetik antara lain: mismatch repair, segregasi kromosom yang tidak tepat, rearrangement kromosom dan aktivasi abnormal telomerase. Telomer adalah suatu kompleks DNA dengan protein yang menutup dan melindungi ujung kromosom, sedangkan telomerase adalah enzim protein–RNA yang memperpanjang telomer setiap kali pembelahan sel. Pada sel eukariota, telomer akan memendek (kehilangan 50-100 pasangan basa) setiap terjadi replikasi, kecuali apabila sel mengandung telomerase yang dapat mempertahankan panjang telomer (Kresno 2001). Enzim telomerase pada mamalia (termasuk manusia) hanya aktif pada sel embrio dini atau pada sel yang akan menghasilkan sel benih (germ cells) (Cotran dan Collins 1999). Telomerase dianggap penanda ganas baru yang merupakan indikator prognosis dan sasaran terapi pada tumor (McKenzie et al. 1999). 2. Apoptosis (Programmed cell death =PCD) Adalah bentuk kematian sel yang terencana pada kondisi fisiologis atau patologis, terjadi pada sel-sel tua atau tidak diperlukan lagi, sel yang rusak oleh toksin atau bahan infeksius (Cotran dan Collins 1999). Apoptosis yang berlebihan adalah penyebab penyakit degeneratif saraf seperti Alzheimer (Vinc ent et al. 2003), autoimun dan AIDS (Aquired Imunne Deficiency Syndrome) (Kresno 2001). Sel tumor mempunyai kemampuan menghindar dari proses apoptosis (Tannock dan Hill 1998), kondisi ini sering berkorelasi dengan agresivitas maupun resistensi sel tumor te rhadap terapi konvensional (Denicourt dan Dowdy 2004). Apotosis dikendalikan oleh perangkat gen dengan fungsi antagonistik, yaitu fungsi memacu dan menghambat apoptosis. Gen p53 disebut regulator negatif pertumbuhan dan bekerja pada check point fase G1 dan G2M siklus sel seperti pada Gambar 1. Kerusakan DNA akan memicu aktivitas p53 untuk menghentikan siklus sel pada G1 dengan memberi kesempatan pada gen DNA repair untuk memperbaiki DNA yang rusak sebelum siklus berlanjut ke fase sintesis dan replikasi DNA. Apabila
28 kerusakan tersebut tidak dapat diperbaiki, maka p53 akan memicu apoptosis (back -up mechanism). Ekspresi berlebihan gen Bcl- 2 pada limfoma limfosit akan menghalangi proses apoptosis dan meningkatkan sifat tumorigenesis (Campbell et al 2000). Apoptosis adalah endpoint kaskade molekul tergantung energi yang diawali dengan a) berbagai stimulus apoptosis seperti interaksi ligan-reseptor, gangguan faktor pertumbuhan/hormon, cedera akibat radiasi atau stimulus oleh sel T sitotoksik, b) pengontrolan da n pengaturan kelompok protein BCl-2 (penghambat atau penginduksi kaspase) atau melibatkan mitokondria (sitokrom c), c) aktivasi kaspase eksekusi (endonuklease dan protease) yang akan mendegradasi sitoskeletal dan protein nukleus, d) pembentukan badan apopt otik yang mengandung berbagai organel intrasel dan komponen sitosol (Cotran dan Collins 1999). Tipe kematian sel (nekrosis atau apoptosis) tergantung pada intensitas dan lama stimulus, perkembangan proses kematian, dan keparahan pengosongan ATP yang dialami oleh sel. Perubahan morfologi pada sel apoptosis adalah dinding sel mengkerut (shrinkage), kondensasi dan fragmentasi kromatin diikuti pembentukan tunas sitoplasma (sitoplasma budding) dan fagositosis badan apoptotik oleh sel fagositik. Morfologi sel nekrosis koagulasi adalah kromatin menggumpal (chromatin clumping ), pembengkakan organel, kerusakan membran sel dan keluarnya isi sel yang akan mengundang reaksi inflamasi (Cotran dan Collins 1999). Perbedaan yang jelas antara kedua bentuk kematian sel di atas yaitu sel apoptosis tidak kehilangan kandungan internal sel dan tidak menyebabkan respon inflamasi (Tannock dan Hill 1998). 3. Obat Anti tumor Tujuan pemberian obat anti tumor adalah untuk merusak secara selektif sel tumor yang berbahaya tanpa mengganggu sel normal. Tujuan ini sering mengalami kegagalan dan sampai saat ini masih sedikit obat anti tumor yang bekerja secara selektif untuk tumor tertentu. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: 1) tidak ada obat yang bekerja selektif karena perbedaan morfologi dan biokimia sel normal dengan sel tumor kecil sekali, 2) sel tumor bukan sesuatu yang asing bagi tuan rumah (host) sehingga tidak menimbulkan respons imunologis, 3) banyak obat anti tumor yang sangat toksik dan menekan respon kekebalan, bersifat karsinogenik, teratogenik dan mutagenik, 4) sel tumor cepat menjadi resisten terhadap obat anti tumor dan 5) belum ada cara ideal untuk memperkirakan kegunaan terapetik obat anti tumor (Siswandono dan Sukardjo 2000). Ditinjau dari siklus sel, obat anti tumor dibagi atas: 1) zat yang memperlihatkan
29 toksisitas selektif terhadap fase tertentu dari siklus sel disebut cell cycle specific (CSS), misalnya
vinblastin,
vinkristin,
merkaptopurin,
hidroksiurea,
metotreksat
dan
asparginase. Zat CSS terbukti efektif untuk tumor yang berproliferasi tinggi seperti tumor darah, 2) Cell cycle–nonspesific, misalnya zat alkilator, antibiotika-antikanker (daktinomisin,daunorobisin,doksorubisin, plikamisin, mitomisin), sisplatin, prokarbazin dan nitrosourea (Nafrialdi dan Ganiswara 1995). Pada umumnya zat pengalkil (siklofosfamid, prokarbazin, mitomisin C) efektif pada fase G1 lambat atau fase S, sehingga menghalangi sel memasuki fase G2 dan menyebabkan kegagalan pembelahan sel. Jika sel tumor dapat memperbaiki kerusakan DNA sebelum pembelahan sel, maka sel tumor tersebut relatif resisten terhadap zat pengalkil (Katzung 2001). 4. Sel lestari tumor (cell lines ) Sel lestari (cell lines) adalah sel yang berasal dari tumor (kultur primer) yang telah dibiakkan (pasase) secara berkala, ditumbuhkembangkan, dipelihara dan disimpan dalam nitrogen cair. Salah satu keistimewaan dari sel lestari adalah bersifat im-mortal, sel ini masih dapat hidup dalam kondisi media seminimal mungkin (Freshney 1992). Kultur yang berasal dari sel tumor akan menghasilkan continous cell lines (CCL) yang dapat bertahan tanpa batas, tumbuh lebih cepat serta mudah dilakukan clone, tetapi secara genetik tidak stabil. Penggunaan sel lestari yang dimaksudkan dalam penelitian ini untuk memperoleh sel dalam jumlah besar dan homogen. Sel akan tumbuh dan berkembang (proliferasi) dengan cepat dalam media yang spesifik dan akan mencapai konfluen dalam waktu 3-4 hari tergantung pada jenis sel. Sel lestari tumor yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: a). Sel HeLa, diisolasi dari epitel karsinoma serviks seorang wanita negro (31 tahun) pada tahun 1951. Merupakan sel monolayer, aneuploidi dan sudah dipasase lebih kurang 76-88 kali. b). Sel K-562, merupakan sel meiloid leukemia kronik seorang wanita (53 tahun). Populasi sel dikarakterisasikan sebagai highly undifferentiated dan dari seri granulosit. c). Sel WEHI-164, adalah sel fibrosarkoma mencit Balb/c, tumor diinduksi dengan injeksi subkutan senyawa 3-metilkolantren pada mencit Balb/c. D. Imunomodulator Obat yang dapat mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun disebut imunomodulator yang bekerja melalui: 1)mengembalikan fungsi sistem imun yang
30 terganggu (imunorestorasi), 2)memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan 3)menekan respons imun (imunosupresi). Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut juga down regulation. Tumor terjadi lebih sering pada orang dengan supresi sistem imun, prevalensi tumor pada orang yang mendapat radiasi 100 kali lebih besar dibanding orang normal (Baratawidjaja, 2001). Faktor dari tubuh pejamu (host) yang berperanan menekan pertumbuhan tumor diantaranya adalah: faktor genetik, respon imun non spesifik dan spesifik. Perondaan imunologik atau immune surveillance adalah peran fungsi protektif sistem imun dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya kalau tumor itu sudah tumbuh. Alternatif lain untuk pengobatan tumor yaitu memperbaiki sistem imun melalui pemberian bahan biologi (limfokin, interferon, antibodi monoklonal, bahan asal bakteri atau jamur) dan senyawa sintetik (levamisol, isoprinosil, muramil dipeptida) (Baratawidjaja
2001).
Bahan
alam
yang
mempunyai
sifat
imunomodulator
dikelompokkan berdasarkan berat molekul rendah dan besar atau golongan senyawa seperti: karbohidrat, terpen, steroid, polifenol, kumarin, asam amino, peptida, protein, glikoprotein, alkaloida dan senyawa nitrogen organik lain (Colegate dan Molyneux 1993). Polisakarida glukan me mpunyai efek anti tumor, menghambat karsinogenesis, meningkatkan respons host terhadap serangan bakteri, virus, jamur, dan parasit serta meningkatkan fungsi fagosit dan aktivitas proliferasi sistem retikuloendotel (Wong 1997). Fujiwa berhasil mengisolasi peptida FK -156 dari metabolit Streptomyces sp yang dilaporkan mempunyai aktivitas anti tumor terhadap sel leukemia murin (P 388), sedangkan senyawa analog FK-156 yaitu tripeptida sintetis (FK-565) mengaktivasi fungsi fagosit makrofag dengan menginduksi pelepasan IL-6 dan GM-CSF (granulocyte macrophage colony-stimulating factor) dari makrofag peritoneal yang distimulasi dengan lipopolisakarida (LPS) (Shu 1998). 1. Fagositosis Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan non spesifik yang sangat penting, diperantarai oleh sel scavenger yang memakan organisme penyerang (imunogen) dan melakukan penghancuran secara intraseluler melalui aksi enzim lisozim. Fagositosis dapat dilakukan oleh sel leukosit polimorfonuklear (PMN) disebut mikrofag dan sel fagosit mononuklear yaitu makrofag. Mikrofag dihasilkan oleh sum-sum tulang setelah matur akan masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah selama 6 -7 jam. Sel ini akan tiba
31 secara cepat pada lokasi infeksi karena ditarik oleh bahan kemotaktik yang meningkat selama proses inflamasi. Sel fagositik mampu melakukan kemotaksi ke tempat mikro-organisme sebagai respon terhadap berbagai produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen, sehingga terjadi perlekatan bakteri yang telah diopsonisasi pada membran fagosit. Sel fagositik membentuk pseudopodia untuk membungkus bakteri, fusi ini membentuk kawah atau fagosom. Lisosom yang mengandung enzim hidrolitik dan substansi bakterisidal lain bermigrasi ke arah fagosom dan berfusi dengan membrannya
untuk
membentuk
suatu
fagolisosom
sehingga
terjadi
ingesti.
Pembunuhan intraseluler terhadap bakteri yang diingesti dapat terjadi beberapa menit walaupun degradasi sel bakteri dapat menghabiskan waktu dalam beberapa jam (Kresno 2001, Baratawidjaja 2001). 2. Makrofag Makrofag adalah sel fagositik yang berperanan pada sistim imun non spesifik untuk memproses antigen, memakan organisme penyerang, melakukan penghancuran bakteri, virus atau sel tumor secara intraseluler melalui aksi enzim lisozim. Makrofag berasal dari promonosit sumsum tulang dan dibawa sebagai monosit di dalam pembuluh darah, yang berperan sebagai “makrofag bebas” (di dalam alveoli paru, peritoneum dan granuloma radang) atau sebagai “makrofag terikat” (dalam limfa node, limfa, hati disebut sel Kupfer, CNS disebut mikroglia dan jaringan ikat disebut histiosit) (Baratawidjaja 2001). Makrofag mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc IgG1, IgG3, IgE, menghasilkan beberapa sitokin yang penting antara lain interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) yang dapat berperan sebagai mediator radang dan menyebabkan demam. Makrofag memproses antigen bakteri dan membawanya ke limfosit (antigen presenting cells, APC) untuk merangsang respon imun spesifik dan juga memainkan peranan penting pada imunitas berperantara sel (Kresno 2001) Beberapa kekambuhan penyakit infeksi atau penyakit keganasan disebabkan oleh pengurangan jumlah maupun fungsi sistim imun kompeten yang terlibat dalam sistim imun non spesifik. Berdasarkan hal tersebut maka target uji pada penapisa n efek imunostimulator adalah penilaian terhadap stimulasi fungsi dan efesiensi granulosit, makrofag, sel Kupfer, monosit, sel Natural Killer (NK), faktor komplemen dan mediator (sitokin, limfokin) (Wagner dan Jurcic 1991)
32
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fitokimia Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, Laboratorium Kultur Jaringan, Laboratorium Histologi dan Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB serta Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Pancasila; mulai bulan Mei 2003 sampai Juli 2005.
B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian adalah rimpang temu putih diperoleh dari BALITTRO Bogor, dikumpulkan dari tumbuhan yang berumur 10 bulan dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense LIPI Bogor. Bahan kimiawi yang digunakan pada pembuatan ekstrak, fraksinasi, pemurnian dan karakterisasi kimia adalah pelarut teknik dan pro analisis antara lain n-heksana, etil asetat (EtOAc), metanol (MeOH), kloroform, amonia, asam klorida, silika gel kiesel 60 (Merck), celite , pereaksi Dragendorf, Meyer, LiebermanBouchard, Stiasny, FeCl3 , penampak bercak anisaldehid-H2SO4-metanol (5:2:93). Adapun alat yang digunakan antara lain perangkat alat ekstraksi, penangas air, neraca analitik, sonikator, lempeng KLT silika gel 60 GF 254 (Merck), lampu UV (Camag), kromatografi kolom dari kaca (75 cm x 4,5 cm), penguap putar (vacum rotavapor) Buchi, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV 1601), spektrofotometer FT-IR (Shimadzu FTIR -8400S), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Shimadzu LC 6 AD dan 10 AT VP), kolom silika (SHIM Pack CLC Sil; 4,6 mm x15cm), LCMS Shimadzu LCMS 2010 A, kolom C18 (Princeton Omni; 2,0 mm x15 cm). Pada uji bioaktivitas digunakan telur Artemia salina (larva uda ng) diperoleh di toko ikan, sel lestari tumor berasal dari NAMRU-2 dan telah ditumbuh-kembangkan di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB terdiri dari sel epitel karsinoma serviks manusia (HeLa), sel meiloid leukemia kronik manusia (K-562) dan sel fibrosarkoma mencit Balb/c (WEHI 164). Untuk uji fagositosis digunakan makrofag yang diambil dari cairan peritoneum mencit (Mus musculus) galur Balb/c (25 ekor; umur 1-2 bulan) dan bakteri Staphyllococcus epidermidis diperoleh dari Depertemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB.
33 Bahan kimia untuk uji bioaktivitas adalah air laut sintetis, media pertumbuhan sel Dubelcco’s Modified Essential Medium (DMEM) (Gibco-BRL,USA), Fetal Bovine Serum (FBS), Phosphate Buffer Saline (PBS), 2mM EDTA, dimethylsulphoxide (DMSO), tripsin (0,2%), penisilin, streptomisin, fungizon, kolkisin, larutan KCl (0,075M), metanol-asam asetat, pewarna biru tripan, Giemsa, pewarna fluorosens; fluorochrome bis-benzimide trihydrochloride (Hoechst 33342), media perbenihan bakteri Todd-Hewitt Broth (THB) (Gibco) dan larutan Mc Farland. Alat yang digunakan pada uji bioaktivitas antara lain: alat alat gelas, tabung reaksi, vial, mikropipet, stirer, vortex, membran filter (0,22 µm), lampu, micro-plate dengan 24 sumur, cawan petri, ultra sentrifus, timbangan mikrobalans, sterilisator, tangki nitrogen cair, laminar air flow, refrigerator, inkubator CO2 , hemositometer (Neubauer). mikroskop fase kontras, mikroskop cahaya, mikroskop fluoresens.
C. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas 1) Ekstraksi, fraksinasi, pemurnian dan karakterisasi kimia dan 2) Pengujian bioaktivitas sebagai antiproliferasi sel lestari tumor dan uji fagositosis. Kegiatan penelitian dilakukan dalam 4 tahap dan dilaksanakan secara berkelanjutan sesuai bagan alur pada Gambar 3.
1. Ekstraksi, Fraksinasi, Pemurnian dan Karakterisasi Kimia a. Pembuatan Ekstrak Rimpang temu putih dibersihkan, dicuci, diris tipis, dikeringkan di dalam oven (40 0C) dan dibuat serbuk dengan blender. Sebanyak 1 kg serbuk rimpang temu putih diekstraksi secara maserasi dengan pelarut n-heksana dan dilanjutkan dengan pelarut MeOH, ekstrak yang diperoleh dikeringkan dengan penguap putar pada suhu 50-60 0 C sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak MeOH yang telah kering dilarutkan kembali dalam metanol 50 % sampai terlarut sempurna. Ekstrak MeOH terlarut dimasukkan ke dalam corong pemisah dan tambahkan larutan EtOAc dengan perbandingan 1:1. Pengocokan dilakukan berkali-kali sampai diperoleh larutan EtOAc bewarna bening. Masing-masing bagian hasil pemisahan dikumpulkan dan selanjutnya dikeringkan dengan penguap putar.
34 Tahap I
Serbuk simplisia Maserasi/n-heksana
Ekstrak n-heksana (1)
Ampas Maserasi /MeOH
Ampas
Ekstrak MeOH Partisi/MeOH 50 %:EtOAc(1:1)
Ekstrak EtOAc
Tahap II Fraksi EtOAc
(1,2,3)
Ekstrak MeOH (1)
KK A (2,3,4)
B (2,3,4)
C (2,3,4)
KCKT
Tahap III Fraksi bioaktif
B-1 (3,4)
D (2,3,4)
E (2,3)
KCKT
C -1, C-2, C-3 (3,4)
Tahap IV Fraksi bioaktif terpilih
B-1 (5,6,7)
Keterangan angka superskrif: Angka Keterangan 1 Penapisan fitokimia 2 Uji kematian larva udang (BSLT) 3 Uji Antiproliferasi 4 Uji Fagositosis
C-1 (5, 6,7)
Angka 5 6 7
Keterangan Karakterisasi kimia Analisis jumlah kromosom Pewarnaan sel tumor
Gambar 3. Bagan alur ekstraksi dan uji bioaktivitas
35 Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia dilakukan terhadap serbuk rimpang temu putih dan ketiga jenis ekstrak (selanjutnya disebut contoh) untuk memeriksa golongan senyawa kimia alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid -terpenoid dan minyak atsiri menurut prosedur pemeriksaan yang diuraikan oleh Fransworth 1986. 1). Identifikasi Golongan Alkaloid Sebanyak 5 g contoh ditambah 5 mL amoniak 25%, 20 mL kloroform dilakukan penggerusan dalam mortir dan disaring. Filtrat berupa larutan organik untuk percobaan berikutnya. Sebagian larutan diteteskan pada kertas saring yang telah ditetesi Dragendorf LP, bila terbentuk warna merah atau jingga menunjukkan adanya alkaloid. Sisa larutan diekstrasi 2 kali dengan HCl (1:5 v/v) dan dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi. Pada masing-masing tabung ditambahkan beberapa tetes larutan pereaksi Dragendorf dan Mayer. Bila terbentuk endapan merah dengan pereaks i Dragendorf atau endapan putih dengan pereaksi Mayer membuktikan adanya alkaloid. 2). Identifikasi Golongan Flavonoid Sebanyak 10 g contoh dididihkan dengan 100 mL air panas selama 5 menit dan disaring. Ke dalam 5 mL filtrat ditambahkan serbuk magnesium, 1 mL HCl p dan 2 mL amil alkohol, dilakukan pengocokan dan biarkan memisah. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol membuktikan adanya golongan flavonoid. 3). Identifikasi Golongan Saponin Sebanyak 10 mL larutan percobaan pada identifikasi flavonoid dinasukkan dalam tabung reaksi kemudian tabung dikocok kuat secara vertikal selama 10 detik. Bila terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil dalam waktu 10 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin. 4). Identifikasi Golongan Tanin Sebanyak 10 g contoh ditambahkan 100 mL air kemudian dipanaskan selama 15 menit, didinginkan, disaring dan filtrat dibagi 2 bagian. Ke dalam filtrat pertama ditambahkan 1-2 tetes larutan FeCl3 1%, bila terbentuk warna hijau biru/biru kehitam-hitaman menunjukkan adanya senyawa golongan tanin katekuat. Ke dalam filtrat kedua ditambahkan 15 mL pereaksi Stiasny (formaldehid 30 % : HCl p = 2:1) dipanaskan di atas pengangas air. Bila terbentuk endapan merah muda menunjukkan
36 adanya tanin katekuat. Selanjutnya endapan disaring dan filtrat dijernihkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3 1%, bila terbentuk warna biru menunjukkan adanya tanin galat. 5). Identifikasi Golongan Steroid dan Terpenoid Sebanyak 5 g contoh dimaserasi dalam wadah tertutup rapat dengan 20 mL eter selama 2 jam kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Ke dalam residu ditambahkan 2 tetes larutan asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna hijau menunjukkan adanya steroid dan warna ungu menunjukkan adanya terpenoid. 6). Identifikasi Golongan Minyak Atsiri Sebanyak 3 g contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 mL eter minyak tanah lalu ditutup dengan corong berisi kapas basah. Dipanaskan selama 10-15 menit di atas penangas air, kemudian didinginkan dan disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap selanjutnya residu dilarutkan dengan 5 mL etanol 95% dan disaring. Filtrat diuapkan perlahan-lahan dalam cawan penguap. Bila residu berbau aromatik menunjukkan adanya minyak atsiri.
b. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat Fraksinasi ekstrak EtOAc dilakukan dengan kromatografi kolom (75 x 4,5 cm) dengan fase diam; silika gel G-60 da n fase gerak pelarut landaian n-heksana-EtOAc Pembuatan fase diam (penjerap) kolom kromatografi Kolom kaca yang sudah dibersihkan dan dikeringkan, dipasang tegak lurus pada statif. Glasswol atau kapas dimampatkan pada dasar kolom kemudian kolom diisi dengan pelarut n-heksana lebih kurang sepertiga tinggi kolom. Silika gel G-60 diaktifkan dengan pemanasan oven pada 150-1600 C selama 3-4 jam. Sebanyak 1200 g silika gel G-60 disuspensikan dengan n-heksana dan dimasukkan ke dalam kolom melalui corong. Selama proses pengendapan, dinding kolom diketuk-ketuk pada semua sisi secara perlahan-lahan dengan sumbat karet agar diperoleh lapisan yang seragam. Keran dapat dibuka atau ditutup selama penambahan pelarut dan diperhatikan permukaan pelarut tetap berada diatas permukaan silika. Sebanyak 60,0 gram ekstrak EtOAc dilarutkan dalam metanol kemudian ditambahkan celite (kieselguhr) secukupnya dan dikeringkan. Permukaan atas pelarut diatur sekitar 1 cm di atas permukaan silika selanjutnya campuran ekstrak-celite dimasukkan ke dalam kolom dengan corong. Bila
37 perlu, tambahkan lagi pelarut hingga batas permukaan atas ekstrak-celite; dinding kolom diketuk perlahan-lahan dengan sumbat karet sampai permukaan ekstrak-celite merata. Tambahkan pelarut dengan pipet melalui dinding tabung sampai permukaan pelarut berada sekitar 5 cm di atas permukaan ekstrak-celite. Sistim pelarut yang digunakan
adalah fase gerak landaian dimulai dengan n-heksana 2,5 L n-
heksana:EtOAc dengan perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4 dan 5:5 masing-masing 1 L dan EtOAc 2,5 L. Tetesan eluat diatur 5 mL/menit dan eluat ditampung dalam wadah botol atau tabung. Eluat dikelompokkan berdasarkan pola bercak kromatografi lapis tipis (KLT), dikeringkan dengan penguap putar. Selanjutnya dilakukan uji bioaktivitas yaitu uji kematian larva udang (BSLT), uji antiproliferasi sel lestari tumor dan uji fagositosis dengan fraksi EtOAc
c. Pemurnian Fraksi Etil Asetat Fraksi EtOAc yang dimurnikan adalah fraksi EtOAc yang memberikan nilai penghambatan pertumbuhan (PP) yang tertinggi terhadap sel HeLa, K-562 dan WEHI 164. Pemurnian fraksi EtOAc dilakukan dengan KCKT fase normal menggunakan instrumen Shimadzu LC 6 AD dan 10 AT VP dengan kolom SHIM Pack CLC Sil (4,6 mm x 15 cm), fase gerak n-heksana/EtOAc, detektor UV (λ 254 nm) dan laju alir 1 mL/menit. Sejumlah tertentu dari fraksi fraksi B dan C hasil fraksinasi kolom ekstrak EtOAc
dilarutkan dalam 10 mL EtOAc dan
sebanyak 20 µL larutan contoh
disuntikkan pada setiap periode pemisahan KCKT. Penampungan eluat dilakukan secara manual berdasarkan pemunculan puncak yang diperhatikan (interes) pada layar monitor. Eluat yang diperoleh kemudian dikeringkan selanjutnya dilakukan uji bioaktivitas sebagai antiproliferasi dan fagositosis untuk memperoleh fraksi bioaktif.
d. Karakterisasi Kimia Karakterisasi kimia ditentukan berdasarkan data spektroskopi UV, IM dan massa sebagai bahan kajian untuk mengungkapkan struktur kimia fraksi bioaktif terpilih. Karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi: 1). Spektrometri UV Data spektrum serapan pada daerah panjang gelombang ultraviolet bermanfaat untuk mengetahui gugus kromofor (gugus kovalen tidak jenuh yang bertanggung jawab
38 terhadap serapan elektronik seperti C=C, C=O, NO2
yang terdapat dalam suatu
senyawa (Silverstein dan Wester 1995). Serbuk fraksi B-1 dan C-1 dilarutkan dalam metanol, selanjutnya diukur spektrum serapan maksimum pada panjang gelombang 200 sampai 500 nm. 2). Spektrometri Infra merah (Fourier Transform Infra Red ) Data spektrum infra merah bemanfaat untuk mengetahui jenis gugus fungsi yang ada dalam molekul senyawa (Williams dan Fleming 1985). Sebanyak 1 mg serbuk fraksi B-1 dan C-1 digerus dengan 200 mg kalium bromida sampai homogen. Selanjutnya serbuk yang telah homogen dimasukkan ke dalam sample pan untuk dibuat reka man spektrum infra merah pada bilangan gelombang 4000 - 500 cm-1. 3). Spektrum Massa Di dalam spektrometer massa, molekul senyawa ditembak dengan berkas elektron (electron impact) sebesar 70 ev. Senyawa akan menghasilkan ion molekul dan fragmentasinya yang dipilah berdasarkan nisbah massa terhadap muatan (m/z). Dari data spektrum massa suatu senyawa dapat diketahui bobot molekul suatu senyawa (Silverstein dan Wester 1995). Pengukuran massa senyawa fraksi bioaktif dilakukan dengan instrumen Shimadzu LCMS 2010A yaitu instrumen tandem (pasangan) Liquid Chromatography (LC) dan Mass Spectrometer (MS). Pada sistem diterapkan sistim kromatografi fase terbalik dengan fase diam yaitu
instrumen ini kolom C18
(Princeton Omni; 2,0 mm x 15 cm) bersifat non polar dibandingkan fase gerak yaitu metanol/asam formiat (1:1). Kromatograf ini dilengkapi dengan detektor Photo Diode Array (PDA) yang dapat memonitor pada panjang gelombang 100-800 nm dan oven. Volume penyuntikkan larutan contoh adalah 5 µL dan laju alir fase gerak sebesar 0,2 ml/menit.
2. Uji Aktivitas Biologik a. Uji Kematian Larva Udang (Brine Shrimp Lethality Test, BSLT) Larva udang (Artemia salina) adalah jenis udang-udangan primitif dari suku Artemidae. Larva A. salina tidak mempunyai alat pertahanan diri dari serangan musuh kecuali ketahanan hidup diperairan dengan kadar garam tinggi. Uji kematian larva udang ini merupakan metode uji yang cukup sederhana, bahannya mudah di dapat dan diperlukan waktu singkat. Uji ini dilakukan sesuai dengan metode yang diuraikan oleh
39 McLaughlin dan Rogers (1998) untuk menilai ketoksikan bahan uji terhadap larva udang A. salina dengan bagan alur pada Gambar 4. Telur A.salina ditaburkan dalam bejana penetas yang berisi air laut sintetis dilengkapi aerator dan ditaruh di bawah lampu baca. Setelah 24 jam, telur yang sudah menetas menjadi naupli dipindahkan ke tempat lain dan 24 jam kemudian naupli tersebut siap digunakan untuk pengujian. Pengujian ekstrak EtOAc dan fraksi A,B,C,D dan E dilakukan pada 4 tingkat kadar yaitu: 1,10,100,1000 bpj dengan 3 kali pengulangan untuk setiap kadar uji. Pada setiap vial dimasukkan masing-masing larutan uji dengan kadar tertentu dan air laut sintetik yang berisi 10 ekor larva udang, kemudian vial diletakkan di bawah sinar lampu. Setelah 24 jam, dihitung jumlah naupli yang hidup dan mati. Data yang diperoleh yaitu mortalitas naupli (%) dan kadar larutan uji diolah dengan analisis probit atau metode Finney untuk menghitung nilai Lethal Cconcentration 50 (LC50) (McLaughlin dan Rogers 1998). LC50 adalah kosentrasi yang menyebabkan kematian 50 % dari larva udang yang diuji.
LC50 Air laut sintetis 38 % + Larva udang
Larva udang (A salina) à Nauplii 10 ekor / vial
24 jam
Analisis Probit Hitung jumlah larva (hidup & mati)
Ekstrak EtOAc, Fraksi A,B,C,D,E masing-masing
0 bpj / (kontrol)
1 bpj
10 bpj
100 bpj
1000 bpj
24 jam
Gambar 4. Bagan alur uji kematian larva udang (BSLT)
40 b. Uji Antiproliferasi Sel Lestari Tumor Secara In-vitro Uji antiproliferasi sel tumor lestari (HeLa, K -562 dan WEHI 164) secara in-vitro dilakukan menurut metode yang diuraikan oleh Priosoeryanto et al. 1995 seperti yang tertera pada bagan alur Gambar 5. 1). Persiapan media dan kultur sel tumor Media yang digunakan untuk pertumbuhan kultur sel tumor adalah media DMEM (Dubelcco’s Minimal Essential Media ). Bubuk media dilarutkan dalam 50 mL akuabides steril dengan bantuan stirer sampai semua media terlarut. Selanjutnya ditambahkan 2,438 g NaHCO 3 sambil terus diaduk dengan stirer. Volume media ditepatkan sampai 1000 mL dan disterilkan dengan menggunakan filter membran 0,2 µm. Media ini digunakan untuk membuat larutan stok contoh maupun media pencuci sedangkan media lengkap untuk pertumbuhan kultur sel ditambahkan dengan 10% FBS (Fetal Bovine Serum), 100 IU/mL antibiotika penisilin -streptomisin dan 0,01 % anti jamur fungison. Pada penyimpanan jangka panjang sel lestari tumor disimpan dalam tabung nitrogen cair pada suhu minus 1900C. Untuk mengkultur kembali sel beku dari tabung nitogen cair, vial yang berisi sel lestari tumor ditiriskan (thawing) terlebih dahulu pada suhu 370C sampai sebagian media sel meleleh. Bagian luar vial dibersihkan dengan alkohol 70% untuk menghindari kontaminasi kemudian pindahkan isi vial ke dalam tabung sentrifus 15 mL secara aseptik di dalam laminar air flow. Tambahkan media pencuci ke dalam vial untuk membilas sel yang masih tertinggal dan volume suspensi sel ditepatkan sampai 10 mL. Sentrifus suspensi sel dengan kecepatan 1000 rpm pada suhu 40C selama 5-10 menit. Supernatan dibuang kemudian pada pelet sel ditambah media pencuci sampai 10 mL dan ulangi sentrifus dengan kecepatan dan waktu yang sama. Supernatan kembali dibuang dan pelet sel dilarutkan dalam 5 mL media lengkap dan diaduk perlahan agar suspensi sel homogen. Untuk menghitung jumlah sel awal (viabilitas sel), maka sebanyak 10 µL suspensi sel dicampur secara merata dengan 10 µL biru tripan, sebanyak 10 µL campuran ini ditetesi pada celah hemositometer kemudian ditutup dengan gelas penutup dan hitung jumlah sel dengan mikroskop cahaya perbesaran 100 kali dalam 25 kotak pada bagian tengah kamar hitung. Sel mati akan menyerap warna biru tripan sedangkan sel hidup tidak menyerap warna dan kelihatan bening. Jumlah sel /mL = rata -rata jumlah sel x faktor pengenceran x faktor konversi.
41 Faktor pengenceran = 2; diperoleh dari 10 µL suspensi sel + 10 µL biru tripan . Faktor konversi untuk hemositometer Neubauer (tinggi celah 0,1 mm) = 10
4
Pemeliharaan sel dilakukan dalam media lengkap yaitu dengan mengganti dan mencuci kultur sel setiap 3 hari atau bila warna media telah berubah dari merah menjadi oranye/kuning yang menandakan terjadinya penurunan pH; beberapa sel akan mati bila terjadi penurunan pH sampai 6,0 (Freshney 1992).
HeLa
K-562
K-
A
B
C
D
E
K-
A
B
C
D
E
K-
A
B
C
D
E
EtA C
Et OA
Et OA
K-
0,5
1,0
2,0
4,0
8,0
K-
0,5
1,0
2,0
4,0
8,0
K-
0,5
1,0
2,0
4,0
8,0
Et
A
B
C
D
E
B-1 C-1 C-2 C-3
WeHi
Satuan kadar: bpj Inkubasi (72 jam, 37 0C , 5% CO 2
Pewarnaan Biru tripan
Gambar 5. Bagan alur uji antiproliferasi
2). Pengujian antiproliferasi Kadar uji untuk Ekstrak EtOAc dan fraksi A,B,C,D,E disesuaikan dengan hasil uji kematian larva udang (BSLT), sedangkan kadar uji masing-masing fraksi B-1, C1,C-2 dan C-3 adalah 0,5, 1,0, 2,0, 4,0 dan 8,0 bpj. Masukkan ke dalam masing-masing sumur microplate (24 lubang) 20 µL suspensi sel lestari tumor (2-5 x 10 4/mL), 20 µL larutan contoh dengan kadar tertentu dan 960 µL medium lengkap; masing-masing perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Kultur sel diinkubasi dalam inkubator 37 0C, 5% CO2, RH 90% selama 72-96 jam (tergantung pada jenis sel) atau sampai pertumbuhan sel confluence.
42 3). Perhitungan sel lestari tumor pasca perlakuan. Pada kultur sel monolayer (sel HeLa dan WEHI 164) dilakukan tripisinasi untuk melepaskan sel yang menempel pada dasar sumur. Medium penumbuh pada masingmasing sumur dibuang terlebih dahulu kemudian ditambahkan 40 µL tripsin 0,2 % dan diinkubasi selama 8 menit. Pada masing-masing sumur dimasukkan 960 µL mediu m penumbuh dan dikocok perlahan dengan mikropipet hingga homogen. Sebanyak 90 µL kultur sel dan 10 µL biru tripan dikocok hingga homogen di dalam sumur microplate (96 lubang) selanjutnya 10 µL campuran tadi, diteteskan pada celah hemositometer Neubauer untuk menghitung jumlah sel (hidup dan mati) yang ada dalam 25 kotak pada bagian tengah kamar hitung. Pada setiap ulangan dibuat 2 preparat untuk dilakukan pembacaan sebanyak 3 kali. Kultur sel K-562 bersifat suspensi sehingga tidak perlu dilakukan tripisinisasi, kultur sel dikocok homogen dengan mikropipet selanjutnya dibuat pewarnaan dengan prosedur yang sama seperti pada sel HeLa. Parameter yang dihitung
adalah
persentase
penghambatan
pertumbuhan
(%PP)
berdasarkan
perbandingan jumlah total sel dalam sumur microplate kontrol dan perlakuan serta kadar hambat median (IC50) dari masing-masing fraksi uji. Penghambatan pertumbuhan (PP) sel tumor dihitung dengan rumus : Rataan jumlah sel (K) – Rataan jumlah sel (P) % PP = ---------------------------------------------------------- X 100 % Rataan jumlah sel (K) Keterangan: K = kelompok kontrol ; P = kelompok perlakuan c. Uji Fagositosis Makrofag Secara In-vitro Dilakukan sesuai dengan metode Wagner dan Jurcic (1991) yang telah dimodifikasi bertujuan untuk menilai pengaruh pemberian larutan contoh pada beberapa tingkat kadar terhadap kemampuan fagositosis sel makrofag; sesuai bagan alur kerja pada Gambar 6. 1). Preparasi makrofag peritoneal mencit Mencit dianastesi dengan kapas yang ditetesi eter, setelah mencit benar-benar mati, kulit bagian abdomen hingga bagian belakang perut digunting. Membran peritoneum dibersihkan dengan alkohol 70% dan sebanyak 3 mL larutan PBS
43 disuntikkan ke dalam rongga peritoneal. Usap perlahan-lahan abdomen dengan tangan selama 2-3 menit selanjutnya sedot kembali cairan peritoneal dan masukkan ke dalam tabung steril. Hitung jumlah makrofag yang diperoleh dari cairan peritoneal tersebut dengan menggunakan hemositometer dan disetarakan sampai diperoleh 105 sel makrofag/mL.
S. epidermidis ~ 10 7 CFU /mL
Hitung jumlah makrofag aktif per-100 makrofag Dan jumlah bakteri yang difagosit oleh 50 makrofag
Staphylococcus epidermidis
A
B
C
D
B-1 C-1 C-2 C-3
0,00
0
10
100
1000
6,25
12,5
25,0
50,0
100
Satuan kadar : bpj Makrofag ~ 10 5 CFU /mL
Pewarna Giemsa
Inkubasi (37 0 C / 60 menit) Tambah 50 µL EDTA 0,02 M
Makrofag peritoneum mencit
Gambar 6. Bagan alur uji fagositosis 2). Pembuatan suspensi bakteri Staphyloccocus epidermidis. Bakteri ditumbuhkan dalam 10 mL THB selama semalam pada suhu 37 0C kemudian disentrifus 3000 rpm selama 30 menit. Pelet yang diperoleh disuspensikan dalam 10 mL PBS dan kekeruhannya disetarakan dengan larutan Mc Farland no.2 yaitu 109 colony forming unit (CFU)/mL. Suspensi ini kemudian diencerkan secara bertingkat sebanyak 2 kali hingga setara dengan 107 CFU/mL.
3). Pengujian fagositosis Ke dalam tabung reaksi masukkan sebanyak 200 µL PBS (kontrol) atau 200 µL larutan contoh dengan kadar tertentu, 200 µL suspensi makrofag (105 /mL) dan 200 µl
44 suspensi bakteri S. epidermidis (107 CFU/mL), campuran tersebut diaduk homogen dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 370C. Untuk mengakhiri fagositosis ditambahkan larutan 50 µL EDTA 0,02 M. Sebanyak 100 µL campuran inkubasi diteteskan pada kaca preparat untuk dibuat preparat ulas. Preparat difiksasi dengan metanol selama 15 menit kemudian diwarnai dengan pewarna Giemsa dan dikeringkan selama 30 menit, pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya (10x100). Parameter yang diamati adalah sel fagosit aktif
(SFA) yaitu jumlah sel makrofag yang aktif melakukan
fagositosis per-100 makrofag dan indeks fagosit (IF) yaitu jumlah rata-rata bakteri yang ditelan oleh satu makrofag aktif; dihitung dari jumlah total bakteri yang ditelan oleh 50 sel makrofag aktif (Wagner dan Jurcic 1991; Ichinose et al. 1998).
SFA kelompok Perlakuan – SFA kelompok Kontrol Stimulasi SFA (%) = ------------------------------------------------------------------ X 100 % SFA kelompok Kontrol
IF kelompok Perlakuan – IF kelompok Kontrol Stimulasi IF (%) = ----------------------------------------------------------------IF kelompok Kontrol
X 100 %
d. Analisis Jumlah Kromosom Analisis jumlah kromosom sel lestari tumor dilakukan mengikuti metode MacDonald (1998) dengan bagan alur kerja tertera pada Gambar 7. Ke dalam biakan sel yang ditumbuhkan dalam cawan petri ditambahkan larutan fraksi B-1 dan C-1, masing-masing dengan kadar 1,5 bpj dan diinkubasi (37 0C, 5% CO2) selama 72 jam. Pada akhir masa inkubasi, ditambahkan 100 µL larutan kolkisin (10 bpj) dan diinkubasi kembali selama 2-4 jam. Larutan disentrifuse 500 rpm selama 10 menit untuk memisahkan pelet sel. Kemudian ditambahkan 4 mL KCl 0,075 M dan inkubasi kembali selama 10-20 menit. Pelet sel difiksasi dengan MeOH-asam asetat (3:1) dingin, kemudian preparat diwarnai dengan pewarna Giemsa. Jumlah kromosom dari 50 sel metafase dihitung dan dibuat grafik histogram berdasarkan indeks ploidi (IP) yaitu perbandingan jumlah kromosom kelompok perlakuan dibandingkan dengan jumlah kromosom normal dari spesies asal sel lestari tumor (Fabrius et al. 2003).
45
Medium
B-1
C-1 HeLa
KK562 KK-
Wehi
Pewarnaan Giemsa
Inkubasi 0 (72 jam, 37 C , 5 %CO 2)
0,1 mL Kolkisin (10bpj) (2-4 jam/370C)
4 mL KCl 0,075 M (10-30 menit/37 0C)
Fiksasi Metanol-asetat 3:1
Gambar 7. Bagan alur analisis jumlah kromosom
e. Pewarnaan Sel lestari tumor dengan Pewarna Fluoresens. Pewarnaan sel lestari tumor dilakukan mengikuti metode Baehrecke dan Mehmet (2003) dengan bagan alur kerja tertera pada Gambar 8. yang Ke dalam biakan sel yang ditumbuhkan dalam cawan petri ditambahkan larutan fraksi B-1 dan C-1, masing-masing dengan kadar 1,5 bpj dan diinkubasi (37 0C, 5% CO2) selama 48 jam. Pada akhir masa inkubasi (48 jam), media diambil dan pe let sel difiksasi dengan formalin 3,7% /PBS dalam suasana dingin. Kemudian ditambahkan pewarna fluoresens Hoechst 33342 (fluorochrome bis-benzimide trihydrochloride) di ruangan gelap. Setelah 15 menit, pengamatan perubahan morfologi dinding dan inti sel dilakukan dengan menggunakan mikroksop fluoresens.
46
Medium
B-1
C-1 HeLa
KK562 K-
Mikroskop Fluoresens K-
WEHI
Inkubasi 0 (24-36 jam, 37 C , 5 %CO 2)
Cuci dengan PBS
Pewarnaan Hoeschst 33342
Fiksasi Formalin 3,7 %/PBS
Cuci dengan PBS Simpan dalam es
Gambar 8. Bagan alur pewarnaan sel tumor dengan pewarna fluoresens
3. Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan uji sidik ragam, apabila terdapat perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Analisis ragam dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS for Windows release 11.5. Jumlah kromosom dan perubahan morfologi sel lestari tumor dianalisis secara deskriptif.
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi, Fraksinasi, Pemurnian dan Karakerisasi Kimia 1. Ekstrak Rimpang Te mu Putih Rimpang temu putih (Gambar 9 A) diperoleh dari BALITTRO Bogor dibersihkan, dicuci, diiris tipis (Gambar 9 B) dikeringkan di dalam oven (40 0C) dan dibuat serbuk (Gambar 9 C). Dari 1 kg serbuk simplisia rimpang temu putih yang diekstraksi; diperoleh rendemen ekstrak n-heksana; 10,4 %, ekstrak EtOAc; 7,2 % dan ekstrak MeOH; 5,5 % (Gambar 9 D). Rendemen ekstrak n-heksana lebih besar dibandingkan yang lain, kenyataan ini sesuai dengan besarnya komponen utama familia Zingiberaceae yaitu minyak atsiri; pada C. longa sebesar sebesar 8-10%
3-4 %, C. xanthorrhiza
(Liang 1992), sedangkan C. zedoaria sebesar 1-2,5% (Dalimartha
2003).
A
C
B
D
Gambar 9. Rimpang temu putih (A), Irisan rimpang (B), Serbuk (C) dan Ekstrak (D)
Komponen kimia penyusun minyak atsiri C. zedoaria adalah monoterpen (a pinen, D-kamfen, D-borneol, D-kamfor, sineol) dan seskuiterpen (bisabolan, eleman,
48 germakran, eudesman, guaian, spirolakton) (Windono dan Parfati 2002); merupakan kelompok senyawa nonpolar, sehingga mudah larut dalam pelarut nonpolar (n-heksana) (Harbone 1987), hal ini didukung oleh hasil penapisan fitokimia (Tabel 1). Penapisan fitokimia bermanfaat mengetahui kelompok senyawa yang terdapat pada serbuk atau ekstrak kasar. Dari hasil penapisan fitokimia diperoleh serbuk rimpang temu putih mengandung kelompok senyawa: minyak atsiri, steroid, terpenoid, flavonoid, tanin dan saponin. Sedangkan dari ketiga ekstrak yang diuji terlihat penyebaran kelompok senyawa pada masing-masing ekstrak sesuai dengan tingkat kepolaran dari ekstrak tersebut seperti pada ekstrak: n-heksana (minyak atsiri, steroid, terpenoid), EtOAc (steroid, terpenoid dan flavonoid) dan MeOH 50% (tanin, saponin). Tabel 1. Hasil penapisan fitokimia No 1 2 3 4 5 6
Golongan Kimia Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin Steroid /terpenoid Minyak atsiri
Serbuk C. zedoaria (-) (++) (+) (+) (++) (++++)
n-heksana (-) (-) (-) (-) (+) (++++)
Ekstrak EtOAc (-) (++) (-) (-) (++) (-)
MeOH 50% (-) (-) (+) (+) (-) (-)
Keterangan : (-) = tidak terdeteksi (+), (++), (++++) = menunjukkan intensitas
2. Hasil Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat Fraksinasi ekstrak EtOAc dilakukan dengan kromatogrrafi kolom menggunakan cairan pelarut n-heksana:EtOAc dengan susunan fase gerak diubah perlahan-lahan atau disebut landaian. Cuplikan ekstrak EtOAc di dalam kemasan kolom membentuk 5 pita warna senyawa terlarut (Gambar 10 A) dengan urutan dari bawah ke atas adalah pita berwarna putih (S1), ungu (S2), ungu pucat (S3), kuning terang (S4) dan coklat tua (S5). Pita senyawa terlarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan keluar dari kolom kemudian dikumpulkan berupa fraksi. Pada Gambar 10 B dapat dilihat warna dari beberapa tampungan eluat yaitu warna kuning muda, kuning tua dan coklat. Sebanyak 172 botol tampungan eluat @ 100 mL diidentifikasi dengan KLT. Fraksi dengan kemiripan bercak KLT digabung sehingga diperoleh 9 fraksi gabungan dengan pola bercak kromatogram terdapat pada Gambar 10 C. Berdasarkan bercak KLT dan nilai Rf maka dilakukan penggabungan lagi sesuai Tabel 2.
49
S5
S4 S3
B
S2 S1
A C Gambar 10. Kolom cair preparatif (A), Fraksi eluat (B) dan Pola bercak KLT (C) Tabel 2. Hasil fraksinasi ekstrak EtOAc (60 g) dengan kromatografi kolom Fraksi EtOAc Eluat A 1 B 2-3 C 4-5 D 6-7 E 8-9 3. Hasil Pemurnian Fraksi Etil Asetat
Berat (gram) 9,30 0,87 0,99 13,77 33,90
Nilai Rf 0,80 0,55 0,35 0,20 --
Fraksi EtOAc yang dimurnikan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah fraksi B dan C dengan pertimbangan kedua fraksi ini memberikan persentase
50 penghambatan pertumbuhan (PP) yang tertinggi di antara fraksi EtOAc yang diuji. Pemisahan dan pemurnian komponen cuplikan yang terdapat dalam fraksi B (500 mg) dan C (700 mg) dilakukan dengan KCKT Shimadzu LC 6 AD; menggunakan fase diam kolom silika yang bersifat polar dibandingkan terhadap fase gerak n-heksana:EtOAc yang bersifat kurang polar. Penelusuran perbandingan sistim pelarut yaitu campuran nheksana:EtOAc untuk KCKT dilakukan dengan uji coba terlebih dahulu terhadap sederetan perbandingan pelarut n-heksana:EtOAc pada sistim KLT hingga diperoleh nilai Rf sekitar 0,3. Dengan demikian diasumsikan waktu tambat pemisahan cuplikan masih dalam batas normal sistim operasional KCKT. Waktu tambat (Rt) adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. Pada penelitian ini diperoleh perbandingan fase gerak dari n-heksana:EtOAc sebesar 9:1 (fraksi B) dan 8,5:1,5 (fraksi C). Pada kromatogram fraksi B (Gambar 11) diperoleh 1 puncak yang diperhatikan (interes) dengan kode B-1 (Rt=36,083 menit). Setelah pengeringan eluat B-1
diperoleh serbuk amorph berwarna kuning jingga
dengan berat 26 mg. Eluat puncak yang diperhatikan (interes) fraksi C diberi kode C-1 (Rt=22,017 menit), C-2 (Rt=41,842 menit) dan C-3 (Rt=51,133 menit). Masing-masing eluat setelah dikeringkan menghasilkan serbuk berwarna kuning muda dengan berat 53 mg (C-1), 44 mg (C-2) dan 35 mg (C-3). Selanjutnya dilakukan uji antiproliferasi dan fagositosis pada fraksi B -1, C -1, C -2 dan C-3. Pemeriksaan kemurnian fraksi bioaktif terpilih yaitu fraksi B-1 dan C-1 dilakukan dengan menyuntikkan kemba li fraksi B-1 dan C-1 ke alat kromatografi dengan kondisi yang sama seperti pada pemurnian fraksi B dan C. Identifikasi dengan KLT dilakukan dengan lempeng silika gel GF 254 dan fase gerak n-heksana:EtOAc. Pola kromatogram dengan KLT dan KCKT hasil pemerik saan kemurnian ditampilkan pada lampiran 4.
51
Gambar 11. Kromatogram fraksi B (atas) dan C (bawah) dengan KCKT
4. Karakterisasi kimia
52 Dilakukan terhadap fraksi bioaktif terpilih yaitu fraksi B-1 dan C-1, meliputi data spektroskopi ultra violet (UV), infra merah (IM) dan Massa. a. Spektroskopi ultra violet Spektrum UV fraksi B-1 dan C-1 masing-masing dengan kadar 10 bpj memberikan pita serapan pada panjang gelombang (λ) yang hampir sama yaitu pada 264, 385 dan 402 nm dengan nilai absorba nsi fraksi B-1 sekitar 2-2,5 lebih besar dari absorbansi fraksi C-1 (Gambar 12). Penelusuran pustaka gugus kromofor spektrum UV fraksi B- dan C-1 dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 3. Data spektroskopi UV fraksi B-1 dan C-1 λ pengamatan ( nm) Fraksi B-1 Fraksi C-1 220,5 204,5 264,5 263,5 385,0 384,5 402,5 402,0
λ (pustaka #) ( nm) 200-240 253-274 340-440*
Gugus Keterangan kromofor =C-O-C=O enon/lakton tak jenuh =C-C=C-C= Poliene terkonyugasi –C=C-C=O Pita R dari keton tidak jenuh (warna kuning) *
Sumber : # Silverstein dan Wester 1995 dan * Williams dan Fleming 1985
d. Spektroskopi inframerah Pola spektrum inframerah dari fraksi B-1 dan C-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur dan tekuk yang mirip pada bilangan gelombang 3415 – 1027 cm-1 (Gambar 13).
Tabel 4. Data spektroskopi IM fraksi B-1 dan C-1 Bilangan gelombang (cm-1) Fraksi B-1 Fraksi C-1 Pustaka * ----3415 3550-3200 2943 2933 2960-2850 1730 1733 1730-1715 1610 1608 1640-1590 1514 ; 1446 1521 ; 1446 1470-1430 1267 ; 1041 1272 ; 1027 1300-1050
Gugus fungsi
Keterangan
O-H C-H/CH2 C=O -O-C=C-C=O CH3 / =C-C=C C-C (=O)-O
Getaran ulur OH Metilen/ metil Lakton;a β tak jenuh # Karbonil,terkonyugasi Ikatan jenuh/olifenik Getaran tak simetrik
Sumber: * Williams dan Fleming 1985; # Takano et al. 1995
53
Gambar 12A. Spektrum serapan UV-Vis fraksi B-1 dengan detektor Photo Diode Array
Gambar 12B. Spektrum serapan UV-Vis fraksi B-1 (atas) dan C-1 (bawah) dan C-1 (bawah) dengan detektor UV-Vis
54
Gambar 13. Spektrum serapan infra merah fraksi B -1 (atas) dan C -1 (bawah) c. Spektroskopi massa
55 Pengukuran massa senyawa fraksi bioaktif terpilih dilakukan dengan instrumen Shimadzu LCMS 2010A dengan sistim kromatografi fase terbalik. Hasil pe nyuntikkan fraksi B-1 memberikan 1 puncak dengan waktu retensi 46,08 menit (Gambar 14). Waktu retensi ini lebih panjang sekitar 10 menit dibandingkan waktu retensi 36,083 menit yang diperoleh dengan sistim kromatografi fase normal pada point A3 dan Gambar 11. Perpanjangan waktu retensi ini sesuai kaidah senyawa non polar yaitu senyawa fraksi B-1 akan lebih lama tertahan dalam fase diam non polar (Gritter et al. 1991). Rekaman spektrum UV-Vis fraksi B-1 dengan detektor Photo Diode Array (PDA) disajikan pada Gambar 12 A dan memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 264 dan 402 nm; hasil ini tidak berbeda dengan rekaman spektrum UV-vis pada Gambar 12 B (fraksi B-1). Dapat disimpulkan bahwa senyawa fraksi B-1 yang dikromatografi dengan sistim fase terbalik tersebut adalah benar senyawa fraksi B-1 yang berasal dari sistim kromatografi fase normal.
Gambar 14. Kromatogram fraksi B-1 dengan KCKT
Gambar 15. Spektrum massa fraksi B-1
56 Hasil pemisahan dan pemurnian fraksi B-1 menghasilkan 1 senyawa murni atau senyawa tunggal dengan puncak ion molekul pada m/z 229 (M+H +) pada spektrum massa (Gambar 15). Menurut aturan nitrogen (nitrogen rule) bahwa molekul dengan BM ganjil mengandung sejumlah atom nitrogen ganjil dan berlaku bagi senyawa yang menga ndung atom C, H, dan O, N, S dan halogen (Silverstein dan Wester 1995). Dari spektrum IM dapat diketahui bahwa senyawa fraksi B-1 tidak mengandung gugus fungsi yang mengandung atom nitrogen karena tidak terdapat pita serapan di daerah 3500-3400 cm -1 (NH3) dan 3350-3310 cm-1 (NH2). Berdasarkan data ini disimpulkan bahwa senyawa fraksi B-1 adalah senyawa yang terdiri dari atom C, H dan O. Dari hasil penelusuran data pustaka Dictionary of Natural Products (Chapman & Hall 1994) dan Chemical Abstract 1989, dip eroleh informasi senyawa dengan BM 228 dan RM C 15H16O2 yang terdapat pada jenis Curcuma adalah 1(10),5,7,(11),8Guaiatetraen-12,8-olide (gweikurkulakton) merupakan komponen kimia yang terdapat pada Curcuma kwangsiensis (Jiang et al. 1989) dan kurzeon (furanokadinan) terdapat pada Curcuma zedoaria (Shiobara et al. 1985). Takano et al. (1995) melaporkan zedoalactone A (BM 248) dan zedoalactone B (BM 264) adalah kelompok senyawa seskuiterpen lakton (guaiazulena) terdapat pada C. aeruginosa (=C. zedoaria ) seperti disajikan pada Gambar 16. OH H H O
OH
1
O
H
2
3
Gambar 16. Struktur kimia gweikurkulakton (1), zedoalactone A (2) dan kurzeon (3) Tabel 5. Perbandingan data spektroskopi senyawa fraksi B-1,zedoala ctone A, kurzeon Data spektroskopi UV (nm) IM (cm-1 ) Massa (m/z)
Senyawa fraksi B-1 (hasil pemurnian ) 221, 265, 385 1730, 1610, 1514 228,181,119,60
Zedoalactone A Kurzeon (Takano et al.1995) (Shiobara et al. 1985) 223 290, 323 3390,2970,1730,1680 1690 248[MH 2O]+,230,226 228,213,199,186, ,215,201,187 158, 129,105
57 Terdapat perbedaan data spektroskopi UV, IM dan fragmentasi massa dari senyawa B1 dan kurzeon (Tabel 5). Shiobara et al. (1985) melaporkan adanya struktur benzonfuran dengan gugus karbonil (UV; 290, 323 nm dan IM; 1690 cm-1) pada senyawa kurzeon, sedangkan pada senyawa fraksi B-1 diperoleh struktur ?-lakton dengan poliene terkonyugasi (UV; 221, 265 nm dan IM; 1730,1610 cm -1) dengan kerangka inti guaian. Berdasarkan data spektroskopi UV, IM dan Massa senyawa fraksi B-1, maka diduga struktur kimia (plaucible structure) senyawa fraksi B-1 adalah 1(10),5,7,(11),8-Guaiatetraen-12,8-olide (gweikurkulakton). Dari penelusuran data pustaka belum ditemukan laporan senyawa gweikurkulakton terdapat pada C. zedoaria . Kelompok senyawa seskuiterpen dalam C. zedoaria adalah golongan bisabolan (arturmeron, ß- turmeron, zingiberen), eleman (ß-elemen, kurzerenon), germakran (germakron, kurdion, furanodien,kurzeon), eudesman (kurkolonol), guaian (guaidiol, kurkumenol, kurkumenon, zedoarol, kurkumol) dan spirolakton (kurkumanolid A danB) (Windono dan Parfati 2002; Tang dan Eisenbrand 1991). Seskuiterpen (C15) dengan gugus lakton (seskuiterpen lakton) adalah komponen tumbuhan yang memberikan rasa pahit umumnya terdapat pada suku Asteraceae (Compositae), Apiaceae (Umbelliferae) (Robinson 1995) dan subdivisi Angiospermae lainnya (Marles et al. 1995). Dari suku Asteraceae dikenal parthenolide yang diperoleh dari Tanaecetum parthenium digunakan sebagai anti migraine, artemisin diperoleh dari Artemisia annua oleh masyarakat Cina digunakan untuk obat malaria sedangkan elephantopin dari Elephantopus elatus menimbulkan alergi pada kulit (Dewick 2003). Telah diketahui lebih dari 4.000 struktur seskuiterpen lakton dan mekanisme kerjanya telah diteliti dengan intensif pada molekul target antara lain: asam fosfatase, aril sulfatase, siklooksigenase, DNA, DNA polimerase,
glikogen
sintetase,
lipooksigenase,
fosfofruktokinase.
Bioaktivitas
seskuiterpen lakton yang telah dilaporkan dan direview oleh Pickman’s antara lain sebagai: analgesik, antelmintik, antikolinergik, sitotoksik, antibakteri, anti-inflamasi, antitumor, sedatif (Marles et al. 1995). Pada kromatogram fraksi C-1 (Gambar 17) dengan Shimadzu LCMS 2010A diperoleh 4 puncak; masing-masing puncak mempunyai waktu retensi 4,01 menit, 9,96 menit, 10,61 menit dan 21,92 menit. Dari data kromatogram tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen cuplikan dalam fraksi C-1 belum terpisah dengan sempurna. Data spektroskopi UV dan IM (Tabel 3 dan 4) fraksi C -1 dan B-1 mempunyai kemiripan; hal ini mengindikasikan adanya kemiripan struktur kimia komponen cuplikan kedua fraksi.
58 Diperkirakan komponen cuplikan: puncak 1 (m/z 447); analog senyawa triterpen (C30), puncak 2 (m/z 248) dan puncak 3 (m/z 264); analog senyawa seskuiterpen (C15), sedangkan puncak 4 (m/z 330); analog senyawa diter pen (C20).
Gambar 17. Kromatogram fraksi C-1 dengan KCKT
Gambar 18. Spektrum massa fraksi C-1
59 B. Uji Aktivitas Biologik 1 Uji Kematian Larva Udang (BSLT) Pada uji ini diamati tingkat kematian (mortalitas) larva udang A. salina yang disebabkan oleh ekstrak uji dan dihitung nilai LC50 (lethal concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari jumlah larva udang dengan menggunakan analisis probit atau metode Finney (McLaughlin dan Rogers 1998). Kematian organisme tingkat rendah seperti A. salina dapat digunakan sebagai alat pemandu penapisan dan pencarian bahan bioaktif baru. McLaughlin dan Rogers (1998) mengemukakan bahwa ada hubungan yang positif antara uji toksisitas larva udang dan uji sitotoksistas sel 9KB (human nasopharyngeal carcinoma) dan uji ini telah digunakan sebagai uji awal (prescreen) pada Laboratory of the Purdue Cancer Center. Pada penelitian ini diperoleh nilai LC 50 sebesar: 99,33 bpj (ekstrak EtOAc), 27,73 bpj (fraksi A), 17,68 bpj (fraksi B), 13,94 bpj (fraksi C), 31,89 bpj (fraksi D) dan 73,15 bpj (fraksi E). Sesuai dengan kriteria Meyer et al. (1982), semua ekstrak/ fraksi yang diuji ini, termasuk kelompok ekstrak/fraksi yang aktif dengan nilai LC50 <1000 bpj sedangkan nilai LC50 yang bervariasi, menggambarkan distribusi kandungan kimia dalam masing-masing fraksi uji.
2. Uji Aktivitas Antiproliferasi a. Ekstrak dan Fraksi EtOAc Pada uji antiproliferasi ini dilakukan penghitungan jumlah sel tumor secara langsung dengan metode pewarnaan biru tripan menggunakan kamar hitung hemositometer. Pada Gambar 19 terlihat sel mati (panah besar) menyerap warna biru tripan dan sel hidup (panah kecil) berwarna bening. Sel mati akan kehilangan integritas membran sehingga mudah menyerap zat warna biru tripan dan menghasilkan warna biru. Metode lain untuk menghitung jumlah sel secara tidak langsung adalah metode pewarnaan
dengan
MTT
[3-(4,5,-dimethylthiazol-2-yl)-2,5
diphenyl-tetrazolium
bromide]. Ensim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup akan mereduksi garam tetrazolium dan membentuk kristal formazan berwarna biru yang dapat diukur intensitas warnanya dengan spektrofotometer (Zachary 2003).
60
Gambar 19. Sel WEHI 164 dengan pewarnaan biru tripan pada kamar hitung hemositometer. Sel mati (panah besar) dan sel hidup (panah kecil).
70 60
PP (%)
50
K-562
WeHi
49 43
40 30
HeLa
55
53
41 33
32 21
20
30 30
29
27
25
18
25 20
19 6
10 0 B(15)
C(15)
A(30)
D(30)
E(75)
EtOAC (100)
Gambar 20. Persentase penghambatan pertumbuhan sel tumor oleh fraksi EtOAc Pada penelitian ini diperoleh persentase penghambatan pertumbuhan (PP) sel HeLa, K-562 dan WEHI 164 dengan perlakuan ekstrak EtOAc dan fraksi EtOAc (fraksi A,B,C,D,E) bervariasi 5,8 - 54,9% (Gambar 20). Ekstrak EtOAc (100 bpj) menghambat pertumbuhan sel HeLa (25,0%), sel K-562 (41,3%) dan sel WEHI 164 (19,2%). Potensi penghambatan ekstrak EtOAC terhadap ketiga jenis sel lestari tumor ini lebih rendah bila dibandingkan potensi penghambatan ekstrak hasil penyarian rimpang temu putih dengan pelarut yang berbeda (EtOH dan CHCl3) yang diujikan pada sel mieloma dan karsinoma (Priosoeryanto et al. 2001) diperoleh potensi penghambatan pertumbuhan
61 dari ekstrak CHCl3 (30 bpj) sebesar 86,6% (sel mieloma) dan 78,4% (sel karsinoma); ekstrak EtOH (90 bpj) sebesar 83,7% (sel mieloma) dan 80,8% (sel karsinoma). Etanol adalah pelarut yang serba guna dan melarutkan senyawa yang bersifat polar seperti glikosida, flavonoid, steroid, kurkumin, kumarin, damar, klorofil (Harbone 1987). Pada umumnya kepolaran senyawa organik meningkat dengan bertambahnya gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al. 1991). Salah satu faktor yang menentukan besarnya jumlah komponen aktif yang tersari dalam cairan pelarut adalah sifat kelarutan komponen tersebut dalam pelarut yang digunakan. Rusmarilin (2004) melaporkan bahwa kadar 1-asetoxy chavicol acetate (ACA) yang diperoleh dari hasil ekstraksi rimpang lengkuas merah (Alpinia galanga, suku Zingiberaceae) dengan pelarut EtOAc memberikan kadar ACA dan potensi penghambatan pertumbuhan sel tumor (A549, K-562, A 375 dan HeLa) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut kloroform, etanol dan air. Komponen kimia fraksi EtOAc adalah golongan terpenoid dan flavonoid yang terdistribusi di dalam fraksi A,B,C,D,E dengan kadar yang bervariasi. Di dalam tumbuhan, kelompok senyawa terpenoid dan flavonoid terdapat dalam bentuk glikosida sehingga lebih mudah larut air. Sebagian besar bentuk aglikon terpenoid adalah non polar, karena itu dapat dipisahkan dengan pelarut non polar. Pada penelitian ini diperoleh data PP kultur sel HeLa sebesar 5,8% (fraksi E) sedangkan ekstrak EtOAC dan fraksi A,B,C,D memberikan nilai PP sebesar 25,0 - 32,0% yang tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kelompok perlakuan bila dianalisis dengan uji jarak berganda Duncan (Lampiran 6). Semakin kecil kadar yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon PP, maka semakin potensial fraksi uji tersebut. Potensi PP kultur sel HeLa oleh fraksi B dan C (15 bpj ) adalah 2 kali lebih besar dari fraksi A dan D (30 bpj) dan 6,6 kali lebih besar dibandingkan ekstrak EtOAC (100 bpj). Potensi PP sel HeLa oleh ekstrak EtOAc (200 bpj) rimpang lengkuas merah (84,4%) (Rusmarilin 2004) lebih besar bila dibandingkan dengan ekstrak EtOAc (100 bpj) rimpang temu putih (25 %). Penghambatan pertumbuhan sel K-562 dan sel WEHI 164 paling tinggi diperoleh pada kelompok perlakuan dengan fraksi B dan C sebesar
42,5 – 54,9% (Gambar 20).
Menurut Suffness dan Pezzuto (1991); fraksi B dan C (15 bpj) termasuk ke dalam kelompok fraksi aktif dengan nilai PP sel tumor sekitar 50 % pada kadar < 20 bpj. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fraksi B dan C yang diperoleh
62 dari fraksinasi ekstrak EtOAc mempunyai aktivitas yang baik terhadap PP ketiga sel tumor, sehingga pada kedua fraksi ini dilakukan pemurnian dengan KCKT. b. Fraksi Bioaktif Fraksi bioaktif adalah fraksi yang diperoleh dari hasil pemurnian fraksi B dan C dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT); diperoleh fraksi B-1, C-1, C-2 dan C3 dan dilakukan pengujian antiproliferasi terhadap sel HeLa, K-562 dan WEHI 164 dengan 5 tingkat kadar (0,5; 1,0; 2,0; 4,0 dan 8,0 bpj). Hasil PP (%) semua fraksi uji terhadap ketiga jenis sel tumor sebesar 22,3 – 67,3% (Gambar 21) memperlihatkan adanya peningkatan PP (%) seiring dengan meningkatnya kadar uji. Hasil analisis statistik jarak berganda Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa fraksi B-1 memberikan PP yang paling tinggi terhadap sel K-562 dan fraksi C-1 terhadap sel HeLa. Penghambatan pertumbuhan fraksi C-2 dan C-3 hampir tidak berbeda nyata terhadap ketiga jenis sel tumor. Dari data PP (%) dengan kadar uji, dihitung nilai Kadar Hambat Media n atau IC 50 dari masing-masing fraksi. Inhibition Concentration-50 (IC50) adalah konsentrasi (kadar) yang menghambat pertumbuhan 50 % sel tumor. Menurut kriteria the National Cancer Institute (NCI), senyawa murni tergolong aktif bila nilai IC50 < 4 bpj (Suffness dan Pezzuto 1991). Pada penelitian ini diperoleh nilai IC50 fraksi uji sebesar 1,55–3,50 bpj (Tabel 6). Tabel 6. Kadar hambat median (IC50) fraksi bioaktif Fraksi Bioaktif B-1 C-1 C-2 C-3
HeLa 3,34 ± 0,666 B b 1,55 ± 0,362 A a 2,26 ± 0,425 A a 3,20 ± 0,340 A b
Rataan Nilai IC50 (bpj) K-562 1,64 ± 0,236 A a 3,03 ± 0,600 B c 1,89 ± 0,327 A ab 2,51 ± 0,121 B bc
WEHI 164 3,50 ± 0,900 B b 3,31 ± 0,069 B b 1,98 ± 0,279 A a 2,63 ± 0,049 B ab
Keterangan : 1. Nilai rataan diperoleh dari 3 kali ulangan 2. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata,p<0,05 3. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata, p<0,05
63
PP (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sel HeLa
56 50 38
32 31 23
48
48 41
40
65 63 66 62
60 58 57 40
31 21
0,5 bpj
1,0 bpj B-1
2,0 bpj C-1
4,0 bpj C-2
8,0 bpj
C-3
80 70
66
Sel K 562
PP (%)
60 50
46 40
40
54 47
65 64
54 55 55 55
51
38
36
33 28
26
30
51
48
61
20 10 0 0,5 bpj
1,0 bpj
2,0 bpj
PP (%)
B-1
80 70 60 50 40 30 20 10 0
C-1
4,0 bpj C-2
C-3
67
Sel WEHI
62 56
52 51
30
36 34
30
8,0 bpj
58
62 61
62
50
42 43
40
36
24 18
0,5 bpj
1,0 bpj B-1
2,0 bpj C-1
4,0 bpj C-2
8,0 bpj
C-3
Gambar 21. Persentase penghambatan pertumbuhan sel tumor oleh fraksi bioaktif
64 Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi kimia terhadap fraksi bioaktif terpilih yaitu fraksi B-1 dan C-1. Pada kromatogram fraksi B-1 dengan KCKT (Gambar 14) diperoleh satu puncak dengan waktu retensi 46,08 menit yang menunjukkan di dalam fraksi B-1 terdapat satu senyawa yaitu gweikurkulakton (struktur 1; Gambar 16), sedangkan kromatogram fraksi C-1 dengan KCKT (Gambar 17) menunjukkan senyawa di dalam fraksi C-1 belum terpisah sempurna; terdapat 4 senyawa analog kelompok terpenoid (seskuiterpen, diterpen dan triterpen). Sesuai dengan kriteria NCI, hanya senyawa B-1 yang dapat dikatakan aktif karena merupakan senyawa murni dengan nilai IC 50 sebesar 1,64 bpj (K-562), 3,34 bpj (HeLa) dan 3,50 bpj (WEHI). Hasil penelitian terhadap penghambatan pertumbuhan sel tumor antara lain dilaporkan oleh Syu et al. (1998) tentang komponen bioaktif kurkuminoid C. zedoaria yaitu bisdemetoksikurkumin (IC 50 3,1 bpj), demetoksikurkumin (IC 50 3,8 bpj) dan kurkumin (IC50 4,4 bpj) menghambat pertumbuhan sel OVCAR-3 (sel kanker ovarium manusia). Kim et al. (2000) meneliti pemberian fraksi CZ-I-III polisakarida C. zedoaria, pada takaran 6,25 mg/kg/hari menunjukkan penghambatan sebesar 50 % pertumbuhan tumor pada mencit yang ditransplantasi dengan sel sarkoma 180. Ekstrak EtOAc rimpang lengkuas merah (Alpinia galanga, Zingiberaceae) menghambat proliferasi sel HeLa (IC50 96,5 bpj) dan sel K -562 (IC50 75 bpj) (Rusmarilin 2004).
c. Rangkuman data ekstraksi, fraksinasi, pemurnian dengan uji antiproliferasi Rangkuman perolehan hasil ekstraksi, fraksinasi dan pemurnian ekstrak EtOAc disertai aktivitas antiproliferasi disajikan pada Tabel 7. Hasil rangkaian proses pemurnian fraksi B-1 dan C-1 memberikan jumlah yang semakin kecil, sebaliknya aktivitas antiproliferasi semakin besar. Tabel 7. Perolehan hasil ekstraksi dan hasil uji antiproliferasi dari ekstrak / fraksi uji Perolehan ekstrak/fraksi Proses % ~ 1 kg simplisia Ekstraksi 7,200 Fraksinasi 0,100 Pemurnian 0,005 Fraksinasi 0,120 Pemurnian 0,009
Ekstrak Fraksi EtOAc B B-1 C C-1
Kadar bpj 100 15 8 15 8
HeLa 25,00 25,20 65,30 32,03 62,90
% PP sel K-562 41,33 52,73 66,20 54,93 61,10
WEHI 19,20 42,46 61,60 49,77 60,70
65 Aktivitas antiproliferasi fraksi B-1 dan C-1 (8 bpj) sekitar 2 kali lebih besar terhadap sel HeLa dan 1,2 kali lebih besar terhadap sel K 562 dan WEHI dibandingkan dengan fraksi B dan C (15 bpj). Di dalam ekstrak kasar (EtOAc) dan hasil fraksinasi (fraksi B dan C) terdapat kelompok senyawa flavonoid dan terpenoid; masing masing mempunyai aktivitas biologis berbeda sesuai dengan kadar dan sifatnya. Beberapa komponen bioaktif mempunyai efek pleitropik (mempunyai beragam efek fisiologis); kombinasi dengan berbagai komponen bioaktif lain akan memberikan efek sinergis (Inalci et al. 2005). Pada penelitian ini efek sinergis tersebut ditunjukkan oleh PP dari fraksi B dan C terhadap sel HeLa dan WEHI. Flavonoid dan kurkumin adalah senyawa polifenol bersifat sebagai anti oksidan atau penangkap radikal bebas; sifat ini bermanfaat sebagai pencegah kerusakan jaringan (inflamasi)
maupun
kerusakan
DNA
yang
merupakan
inisiasi
pada
proses
karsinogenesis (Heim et al. 2002). Sugiyanto et al. (2003) melaporkan flavonoid golongan flavon dan flavonol yang diperoleh dari fraksi polar ekstrak etanol daun ngokilo (Gynura procumbens) memberikan aktivitas penghambatan pertumbuhan terhadap sel mieloma dan Vero. Komponen bioaktif bahan pangan seperti kurkumin, kuersetin,
resveratrol,
silimarin,
diallil
sulfida,
likopen
bermanfaat
sebagai
kemopreventif primer karsinogenesis (Dorai dan Aggrawal 2004). Kurkumin adalah zat warna kuning, terdapat pada berbagai jenis rimpang Curcuma dengan kadar yang bervariasi yaitu sebesar 0,51% (C. xanthorrhiza ), 0,19% (C. mangga ) dan 0,10% (C. zedoaria) (Sumarny et al. 2006). Senyawa terpenoid menghambat pada tahap post inisiasi karsinogenesis; molekul target senyawa terpenoid antara lain enzim DNA polimerase, COX 2 (Cyclo -oxygenase) dan protein kinase (Marles et al. 1995). Senyawa bioaktif tunggal (murni) memberikan beberapa keuntungan pada pengembangan obat baru antara lain dapat dilakukan pengulangan percobaan dengan dosis tepat, menelusuri mekanisme kerja dengan molekul target kerja spesifik (Inalci et. al. 2005), meneliti hubungan struktur dan aktivitas (SAR) serta melakukan sintesis atau semi sintesis untuk mengurangi ketergantungan dengan bahan alam (Colegate dan Molyneux 1993).
d. Kajian mekanisme kerja sitotoksik seskuiterpen lakton Seskuiterpen lakton banyak dijumpai pada famili Compositae/Asteraceae seperti parthenin (Parthenium hysterophorus), elephantopin (Elephantopus elatus); mempunyai banyak aktivitas biologis dan farmakologis sebagai antimikroba, anti tumor dan anti
66 inflamasi (Dewick 2003). Prediksi senyawa fraksi B-1 pada penelitian ini adalah gweikurkulakton termasuk kelompok seskuiterpen lakton. Menurut Marles et al. (1995), mekanisme sitotoksik seskuiterpen lakton melibatkan gugus fungsi fungsional O=CC=CH2 seperti struktur a metilen–? lakton atau keton a, β tidak jenuh. Struktur senyawa dengan gugus fungsional ini menghasilkan reaksi adisi tipe Michael dengan molekul nukleofilik biologik (gugus donor elektron) seperti fosfat, amin, sulfhidril, tiol yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein dalam molekul biologis. Reaksi ini membentuk hubungan melintang (cross-linking) dengan rangkaian DNA sehingga terjadi kerusakan pada fungsi DNA dan mencegah mitosis (Siswandono dan Soekardjo 2000). Reaksi adisi Michael terjadi antara nukleofilik (Nu) dengan elektrofilik keton a , β tidak jenuh akan menghasilkan produk adisi konyugat seperti pada Gambar 22 (McMurry 1984).
elektrofilik
nukleofilik
Ion karbonium
Produk adisi konyugat
Gambar 22. Reaksi adisi nukelofilik dengan elektrofilik karbonil a,β tidak jenuh (McMurry 1984)
Berdasarkan mekanisme reaksi adisi Michael, senyawa fraksi B-1 (seskuiterpen lakton) dengan struktur ?-lakton a , β tidak jenuh diduga akan membentuk ion karbonium reaktif dan bila bereaksi dengan nukleofilik seperti gugus sulfhidril (SH) dari asam amino, asam nukleat dan protein akan menghasilkan produk konyugat seperti reaksi pada Gambar 23.
Struktur dengan karbonil a, β tidak jenuh
ion karbonium gugus sulfhidril (molekul biologis)
produk
konyugat
Gambar 23. Dugaan mekanisme reaksi senyawa B-1 dengan gugus sulfhidril Pembuktian terjadinya reaksi adisi nukleofilik harus didukung dengan data spektroskopi senyawa produk konyugat. Kinetika reaksi seskuiterpen lakton dengan
67 gugus sulfhidril tergantung pada jumlah dan tipe gugus karbonil, pH medium, kadar sulfhidril dan karakter molekul sulfhidril target (Heilman et al. 2001). Rungeler et al. (1999) melakukan kajian hubungan struktur dan aktivitas dari 28 senyawa seskuiterpen lakton yaitu akivitas penghambatan NF-κB (Nuclear Factor–Kappa B; mediator sentral respon imun) dikaitkan dengan sifat lipofilisitas, molekular geometris dengan sinar X dan jumlah struktur elemen fungsional atau pengalkil dari senyawa seskuiterpen lakton. Senyawa pengalkilasi seperti siklofosfamid, mekloretamin, klorambusil bekerja tidak spesifik pada siklus sel; kebanyakan efektif bekerja pada fase G1 lambat atau fase S sehingga menghalangi sel memasuki fase G2 atau fase pre-mitotik dengan akibat kegagalan pembelahan sel tumor. Jika sel tumor dapat memperbaiki kerusakan DNA sebelum pembelahan berikutnya maka efek alkilasi tidak mematikan, maka sel tumor relatif tahan /resisten terhadap zat pengalkil. Senyawa pengalkil tidak responsif dengan baik pada tumor yang tumbuh lambat atau padat karena sejumlah besar sel tumor berada dalam fase istirahat (Remers 1991), tetapi efektif bila digunakan untuk mengobati tumor yang mempunyai sifat proliferatif cepat seperti tumor jaringan limfoid (limfosarkoma, penyakit Hodgkin) dan sistim retikuloendotel (leukemia limfositik dan mieloma) (Siswandono dan Soekardjo 2000). Hasil uji antiproliferasi senyawa fraksi B-1 (seskuiterpen lakton) sesuai sifat senyawa pengalkil yang responsif terhadap sel tumor dengan sifat proliferasi cepat seperti sel K 562 (sel leukemia meiloid kronik). Pada penelitian ini diperoleh potensi antiproliferasi sel K-562 dari senyawa B-1 (IC50 1,64 bpj) adalah 2 kali lebih besar dibandingkan pada sel HeLa (IC 50 3,34 bpj) dan sel WEHI 164 (IC50 3,50 bpj). Alkilator dapat menyebabkan depresi hemopoetik yang irreversibel, terutama bila diberikan setelah pengobatan anti tumor lain atau setelah radioterapi. Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan cara pengobatan dengan memberikan bahan yang dapat memperbaiki fungsi sistim imun tubuh yang dikelompokkan sebagai Biological Response Modifiers (BRMs). Contoh bahan biologik yang diberikan antara lain faktor perangsang koloni makrofag (macrophage-colony stimulating factor, M-CSF), faktor perangsang koloni-granulosit (granulocyt-colony stimulating factor, G-CSF), tu mor necrosis factor (TNF), interferon (IFN), antibodi monoklonal atau bahan yang berasal bakteri atau jamur. Tujuan pemberian BRMs adalah menurunkan insidens infeksi akibat depresi
sumsum
tulang
atau
kemoterapi
(Baratawidjaja 2001; Nafrialdi dan Gan 1995).
serta
mengurangi
lama
perawatan
68 3. Uji Fagositosis a. Fraksi EtOAc Fraksi EtOAc adalah fraksi yang diperoleh dari fraksinasi ekstrak EtOAc dengan kromatografi kolom, terdiri atas fraksi A,B,C,D dan E. Pada uji fagositosis fraksi EtOAc yaitu fraksi A,B ,C,D (kadar 10,100 bbpj); diamati kemampuan fagositosis sel makrofag dengan parameter sel fagosit aktif (SFA) yaitu jumlah sel makrofag yang aktif melakukan fagositosis per-100 makrofag dan indeks fagosit (IF) yaitu jumlah rata rata bakteri yang ditelan oleh satu makrofag aktif; dihitung dari jumlah total bakteri yang ditelan oleh 50 sel makrofag aktif (Wagner dan Jurcic 1991; Ichinose et al. 1998). Sel fagositik yang dapat digunakan antara lain granulosit, monosit sel darah perifer, makrofag peritoneal, sel Kupffer, sel NK (natural killer) dengan bakteri uji seperti Staphylococcus epidermidis, S. aureus, Candida albicans, Eschericia coli, sel ragi (baker’s yearst) (Wagner dan Jurcic 1991). Penghitungan jumlah bakteri yang difagositosis dapat dilakukan secara manual dengan mikroskop cahaya yaitu dengan menghitung langsung jumlah bakteri yang difagosit (Gambar 24) atau bakteri uji dilabel dengan fluorescein -5-isothiocyanate (FITC) dan diukur intensitas fluoresensi sebagai Relative Fluorescence Unit (RFU) pada panjang gelombang eksitasi (485 ± 10 nm) dan emisi (530 ± 12,5 nm) pada instrumen fluoresence microplate reader (Wagner dan Jurcic 1991; Kim et al. 2001).
. Gambar 24. Makrofag aktif yang telah memfagosit bakteri (tanda panah). Perwarnaan Giemsa. Perbesaran 10 X 100
69 90.0
SelFagositAktif(%)
80.0 70.0 60.0
A
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
0 bpj
10 bpj A
100 bpj B
C
1000 pj D
25.0
Indeks Fagosit
20.0
B 15.0 10.0 5.0 0.0
0 bpj
10 bpj A
100 bpj B
C
1000 pj
D
Gambar 25. Sel fagosit aktif (A) dan Indek fagosit (B) pasca perlakuan fraksi EtOAc
Hasil pengamatan SFA dan IF dari fraksi EtOAc menunjukkan kecenderungan peningkatan SFA dan IF dengan meningkatnya kadar fraksi EtOAc dari 10 - 1000 bpj (Gambar 25). Pada kelompok kontrol diperoleh SFA sebesar 56,4% dan IF sebesar 10,07 Di antara perlakuan kelompok uji, fraksi B (1000 bpj) menunjukkan SFA yang paling tinggi yaitu 77% sedangkan IF tertinggi diperoleh pada perlakuan fraksi C (1000 bpj) sebesar 19,08. Menurut Wagner dan Jurcic (1991) bila nilai SFA dan IF kelompok perlakuan lebih besar dari kelompok kontrol, mengindikasikan adanya efek stimulasi atau peningkatan aktivitas fagositosis oleh bahan uji. Berdasarkan rumus Wagner da n Jurcic (1991), diperoleh stimulasi SFA (%) tertinggi sebesar 35,5% pada perlakuan fraksi B (1000 bpj) sedangkan peningkatan IF sebesar 89,6 % pada perlakuan fraksi C (1000 bpj). Pada uji antiproliferasi sel tumor (Gambar 20); fraksi B dan C (15 bpj) memberikan penghambatan pertumbuhan sebesar 25 - 32% (sel HeLa) dan 43 - 55% (sel K-562 dan WEHI 164), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen bioaktif di dalam fraksi B dan C mempunyai potensi sebagai antiproliferasi dan stimulasi fagositosis
70 Peningkatan kemampuan fagositosis (SFA dan IF) sel makrofag pasca perlakuan fraksi EtOAc disebabkan adanya komponen bioaktif yaitu kelompok flavonoid dan terpenoid yang terdistribusi dalam fraksi tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa metabolit sekunder dari tumbuhan yang berpotensi sebagai imunomodulator antara lain kuinon, polifenol, polisakarida, protein, peptida, dan saponin (Wong 1997). Fraksi polisakarida C. zedoaria yaitu fraksi CZ-I-III (1000 bpj) dilaporkan oleh Kim et al. 2001 mempunyai efek stimulasi IF sebesar 30% terhadap bakteri E. coli dan S. aureus.
b. Fraksi Bioaktif Fraksi bioaktif (B-1, C-1, C-2 dan C-3) diperoleh dari hasil pemisahan dan pemurnian fraksi B dan C dengan KCKT kemudian dilakukan pengujian aktivitas fagositosis dengan kadar 6,25; 12,5; 25; 50 dan 100 bpj.
Sel Fagosit (%)
100 80
A
60 40 20 0 0,0 bpj
6,25 bpj B-1
12,5 bpj C-1
25 bpj C-2
50 bpj
100 bpj
C-3
12.0
IndeksFagosit
11.5
B
11.0 10.5 10.0 9.5 9.0 8.5 0,0 bpj
6,25 bpj B-1
12,5 bpj C-1
25 bpj C-2
50 bpj
100 bpj
C-3
Gambar 26. Sel fagosit aktif (A) dan Indeks fagosit (B) pasca perlakuan fraksi bioaktif
71 Kelompok kontrol memberikan nilai SFA sebesar 53,3% dan IF sebesar 494,1; fraksi B-1 (100 bpj) menunjukkan SFA paling tinggi sebesar 77,3% dan IF sebesar 11,8 dan diikuti oleh fraksi C-1 (Gambar 26). Fraksi C -2 dan C-3 memberikan nilai SFA dan IF yang tidak berbeda (p>0,05) pada uji Duncan (Lampiran 10). Fraksi bioaktif menstimulasi SFA da n IF pada semua kelompok perlakuan; perlakuan menggunakan fraksi B (100 bpj) memberikan stimulasi paling tinggi yaitu peningkatan IF sebesar 38,5 % dan SFA sebesar 19,8%. Makrofag merupakan fagosit profesional untuk menghancurkan dan menyajikan antigen kepada limfosit. Monosit dalam sirkulasi dan makrofag dalam jaringan berada dalam status istirahat dan akan menjadi aktif setelah ada stimulasi dari mikroba, sitokin atau stimulus lain. Aktivasi makrofag merupakan peristiwa yang kompleks. Makrofag yang teraktivasi akan melaksanakan fungsi efektornya sebagai aktivator limfosit, mikrobisidal, tumorisidal, kerusakan jaringan, inflamasi serta demam. Perubahan morfologis maupun fungsional dari makrofag teraktivasi adalah makrofag menjadi lebih besar dengan sitoplasma melebar, kecepatan pinositosis serta memakan (fagositosis) meningkat dan kadar enzim intraselular bertambah (Kresno 2001). Peningkatan kemampuan fagositosis sel makrofag (SFA dan IF) menunjukkan adanya aktivasi makrofag oleh komponen seskuiterpen bentuk tunggal (fraksi B-1) atau kombinasi (fraksi C -1) yang terdapat dalam C. zedoaria. Mekanisme aktivasi makrofag tersebut diduga melalui stimulasi IL -1 yaitu sitokin yang disintesis dan disekresi oleh makrofag. Pelepasan sitokin oleh makrofag distimulasi oleh faktor lain seperti hormon, metabolit sekunder tumbuhan (Wong 1997) dan polisakarida (Kim et al. 2001). Fungsi IL-1 antara lain merangsang produksi faktor kemotaktik, mengaktifkan sel endotel dan makrofag. Kemoktakis adalah gerakan fagosit ke tempat infeksi sebagai respons terhadap berbagai faktor seperti produk bakteri dan faktor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen (Baratawidjaja 2001). Bergman et al. (2002) melaporkan peningkatan sekresi IL-1β akibat perangsangan oleh lateks sebesar 73% (in -vitro) dan 102% (in -vivo ). IL-1 α dan IL-1 β adalah bentuk fungsional IL -1 yang dihasilkan oleh produk gen yang berbeda. Kemungkinan terjadinya peningkatan IL -1 oleh komponen seskuiterpen masih perlu dibuktikan dengan pengukuran kadar IL-1 secara bioassay atau imunohistokimia.Pengukuran kemampuan fagositosis pada penelitian ini dilakukan secara langsung dengan menghitung jumlah partikel (bakteri) yang difagositosis oleh sel fagosit setelah inkubasi selama satu jam. Kemampuan membunuh mikroba yang
72 difagosit dapat diukur secara tidak langsung dari produk biokimia yang dihasilkan seperti hidrogen peroksida dan spesies oksigen reaktif dengan menggunakan spektrofotometer atau fluorometer. Stimulasi sel fagosit aktif (SFA) pada fraksi yang telah dimurnikan dengan kadar uji 100 bpj yaitu fraksi B1 (38,5%) dan C-1 (36,6%) lebih besar dibandingkan fraksi B (23,2%) dan C (9,3%); diduga fraksi B-1 dan C-1 meningkatkan produksi dan sekresi faktor kemotaktik. Stimulasi IF (fungsi menelan) paling besar diperole h pada kelompok pasca perlakuan fraksi B (50,9%) dan fraksi C (59,5%) dibandingkan fraksi B-1 (19,8%) dan C-1 (16,7%). Hal ini mungkin disebabkan adanya efek aditif atau sinergis dari multikomponen bioaktif dalam fraksi B dan C melalui aktivasi berbagai faktor endogen (interleukin, faktor kemotaktik, sel NK, sel sitotoksik, TNFa ) yang terlibat dalam stimulasi sistim secara keseluruhan ( Baratawidjaja 2001). Makrofag mempunyai peranan penting dalam sistim imun non spesifik sebagai pertahanan awal terhadap invasi mikroorganisme maupun imunitas anti-tumor dengan fungsinya sebagai fagosit profesional untuk menghancurkan dan menyajikan antigen kepada limfosit. Makrofag yang teraktivasi akan melaksanakan fungsi efektornya sebagai aktivator limfosit, mikrobisidal, tumorisidal, kerusakan jaringan, inflamasi serta demam. Komponen bioaktif yang mempunyai sifat mengaktivasi makrofag atau bekerja sebagai imunomodulator bermanfaat sebagai terapi tambahan (ajuvan) bagi penderita kanker dalam kaitan meningkatkan sistim imun non spesifik penderita melawan infeksi, meningkatkan efektivitas terapi melalui sistim efektor tumorisidal, mengurangi dampak efek samping kemoterapi maupun radioterapi yang bersifat menekan sistim imun penderita.
4. Analisis Jumlah Kromosom Sel lestari tumor Pada penelitian ini diamati jumlah kromosom sel tumor pasca perlakuan fraksi B-1 dan C-1 (1,5 bpj) dengan pewarnaan Giemsa (Gambar 27). Pada umumnya jumlah kromosom sel tumor adalah aneuploidi yaitu jumlah kromosom bukan perkalian pasti dari perangkat haploid (n) dengan variasi antara diploidi (2n) sampai tetraploidi (4n) (MacDonald 1998).
73
Gambar 27. Kromosom sel HeLa. Pewarnaan Giemsa dengan perbesaran 10 X.100 Indeks ploidi (IP) yaitu perbandingan jumlah kromosom pengamatan dengan jumlah kromosom normal dari sel spesies (Fabarius et al. 2003). Kriteria diploidi, bila nilai IP= 0,95 -1,05 dan aneuploidi jika IP <0,95 atau >1,05 (Kresno 2001). Pada penelitian ini diperoleh rataan jumlah kromosom dan IP sel HeLa sebesar: 51,4 (1,10), sel K -562 sebesar 49,5 (1,08) dan sel WEHI 164 sebesar 47,6 (1,19) sehingga ketiga sel tumor tersebut dimasukkan ke dalam kelompok hiperdiploidi. Frekuensi hiperdiploid kromosom sel WEHI 164 sebesar 100 %, sel HeLa sebesar 58 % dan sel sel K-562 sebesar 56 % (Tabel 8). Perlakuan fraksi B-1 (1,5 bpj) mengurangi IP sampai tingkat ploidi (IP< 1,05) pada kultur sel Hela, K-562 dan WEHI 164 sedangkan fraksi fraksi C1 (1,5 bpj) pada kultur sel HeLa (Gambar 28) Tabel 8. Jumlah kromosom sel tumor pasca perlakuan dengan fraksi B -1 dan C-1 Parameter Rataan SD F (2 n±) F (2 n+) IP
K(-) 50,48 2,32 21 29 1,10
Sel HeLa B-1 C-1 47,36 47,42 0,90 1,16 49 49 1 1 1,03 1,03
K(-) 49,52 1,62 22 28 1,08
Sel K562 B-1 C-1 47,74 49,5 1,45 2,34 42 28 8 22 1,04 1,08
Sel WEHI 164 K(-) B-1 C-1 47,58 41,06 42,84 2,03 3,05 3,28 0 39 30 50 11 20 1,19 1,03 1,07
Keterangan: 1. Rataan : 50 sel, F: frekuensi 2. IP: Indeks ploidi= (Jumlah kromosom pengamatan : Jumlah kromosom normal) 3. Jumlah kromosom normal: sel manusia (2n=46), sel mencit (2n=40) 4. Sel manusia (HeLa dan K-562):~diploidi(2n±):< 46-49; hiper-diploidi (2n+);50-59 5. Sel mencit (sel WEHI 164) ; ~ diploidi (2n±), < 40-43 ; hiperdiploidi (2n+), 44-53
74
1.25
Indeks Ploidi
1.20 1.15 1.10 1.05 1.00 0.95 K(-)
B-1(1,5 bpj) HeLa
K-562
C-1 (1,5 bpj) WEHI
Gambar 28. Pengaruh fraksi B-1 dan C-1 terhadap indeks ploidi kromosom sel Pada fase G1 terjadi sintesis protein dan RNA sedangkan pada fase S terjadi sintesis DNA dan duplikasi kromosom. Kelainan pada sistim kinase tergantung siklin (cdk) pada fase S menyebabkan replikasi berulang DNA lebih dari satu kali pada satu fase S tunggal sebelum siklus sel memasuki fase berikutnya. Kejadian ini menyebabkan kandungan DNA dengan jumlah kromosom yang tidak normal dan disebut aneuploidi (Kresno 2001). Senyawa dari fraksi B-1 yaitu seskuiterpen lakton termasuk kelompok alkilator dan bekerja menghambat proliferasi pada fase G1 lambat dan fase S sehingga menghalangi sel memasuki fase G2 maupun fase mitotik. Pengurangan indeks ploidi kromosom sel Hela, K -562 dan WEHI pasca perlakuan dengan fraksi B -1 diduga akibat penghambatan senyawa fraksi B-1 pada fase S yaitu fase pada saat terjadi duplikasi kromosom. Kemungkinan senyawa fraksi B-1 bekerja pada fase S, masih perlu didukung dengan pengukuran kadar DNA pada fase G1 dan fase S. Perlakuan fraksi C-1 hanya menurunkan tingkat ploidi sel HeLa sesuai dengan kadar hambat median (IC50 1,55 bpj) sel HeLa dan tidak dapat mengurangi tingkat ploidi sel K -562 dan WEHI 164. Kemungkinan ini disebabkan kadar perlakuan fraksi C-1 seharusnya 3 bpj sesuai dengan IC50
(3,03 dan 3,31bpj) atau senyawa fraksi C-1
(komponen terpenoid)
mempunyai target pada siklus sel yang berbeda dengan fraksi B-1. Pada umumnya jenis tumor dengan kromosom aneuploidi mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan tumor dengan kromosom diploidi. Seperti yang
75 dilaporkan oleh Li Zhang et al. 2002; insiden pembentukan tumor sebesar 65/65 pada inokulasi sel HeLa hiperdiploidi (jumlah kromosom 59-65) dan sel BHK-21, hipotetraploid (jumlah kromosom 70-76) sebesar 40/40. Semakin besar variasi jumlah kromosom maka semakin besar pula kemampuan pembentukkan kloning, kekuatan aglutinasi dan sifat tumorigenis itas sel tumor.
5. Pewarnaan Sel Lestari Tumor dengan Pewarna Fluoresens Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data kualitatif perubahan morfologi sel sebagai data pendukung uji antiproliferasi. Pewarnaan ini dilakukan berdasarkan sifat fluorochrome bis-benzimide trihydrochloride yang dapat melewati (permeable) membran sel dan berinterkalasi dengan DNA, sehingga dapat diamati perubahan morfologi sel apoptotik (Hughes dan Mehmet 2003). Perubahan morfologis sel apoptosis adalah hilangnya integritas mem bran sel, fragmentasi inti dan kondensasi kromosom, mengkerutnya sel dan kehilangan kontak dengan sel tetangga (Tannock dan Hill 1998). Fragmentasi DNA terjadi akibat aktivitas enzim endonuklease dan protease yang terdapat dalam sel sasaran dan dipicu oleh sel itu sendiri. Badan apoptotik yang terbentuk akan di ”bersihkan” oleh sel sekitarnya misalnya makrofag tanpa merangsang respons inflamasi (Kresno 2001). Apoptosis merupakan proses penting pada perkembangan jaringan normal maupun homeostatis jaringan pa da orang dewasa dan mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA. Data pengamatan perubahan morfologi maupun inti sel tumor dengan perlakuan fraksi B-1 dan C-1 (1,5 bpj) disajikan pada Gambar 29. Pada kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan fraksi uji) pada Gambar 29 A, D, G; permukaan membran dan inti sel HeLa, K-562 dan WEHI 164 kelihatan utuh dan tidak terdapat fragmentasi inti. Pemberian fraksi B-1 dan C-1 pada kultur sel HeLa, menyebabkan membran sel tidak utuh dengan beberapa fragmentasi inti yang lebih besar pada perlakuan fraksi B-1, sedangkan fragmentasi inti lebih banyak dan kecil-kecil pada perlakuan fraksi C-1 (Gambar 29 B dan C). Pada analisis jumlah kromosom diperoleh data fraksi B-1 dan C1 (Tabel 8) memperbaiki abnormalitas jumlah kromosom sel Hela sampai pada tingkat diploidi.
76
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Gambar 29. Pengaruh fraksi B -1 dan C-1 terhadap morfologi dan inti sel tumor Pemberian fraksi B-1 pada kultur sel K-562 tidak menyebabkan kerusakan membran sel yang jelas tetapi terdapat fragmentasi inti yang besar (Gambar 29 E), sedangkan perlakuan fraksi C -1 menyebabkan membran sel tidak utuh dengan beberapa fragmentasi inti yang besar dan jelas (Gambar 29 F). Data analisis jumlah kromosom, tampak bahwa pemberian fraksi C-1 belum dapat memperbaiki tingkat abnormalitas ploidi
sel
K-562
(IP
1,08).
Telomerase
adalah
ensim
transkriptase
yang
mempertahankan panjang telomer sedangkan peningkatan telomerase adalah gambaran karakteritik dari sel kanker. Chakraborty et al. (2006) melaporkan adanya korelasi positif antara penghambatan telomerase dan induksi apoptosis oleh kurkumin terhadap
77 sel kanker leukemia K-562. Perlakuan fraksi B-1 pada kultur sel WEHI 164 menyebabkan sel mengkerut, membran sel rusak (tidak utuh) dan banyak ditemui fragmentasi inti yang besar (Gambar 29 H), sedangkan perlakuan dengan fraksi C-1 tidak menimbulkan perbedaan kerusakan yang berarti (Gambar 29 I). Dari data analisis jumlah kromosom diperoleh gambaran bahwa fraksi C-1 belum dapat memperbaiki tingkat abnormalitas ploidi sel WEHI (IP 1,07). Pewarnaan sel tumor dengan pewarna fluoresens memperlihatkan adanya karakteristik apoptotik sel tumor pasca perlakuan dengan fraksi B-1 dan C-1. Dugaan mekanisme senyawa fraksi B-1 (seskuiterpen lakton) membunuh melalui apoptosis berdasarkan sifat senyawa B-1 adalah alkilator dan aktivasi makrofag yang diamati melalui peningkatan kemampuan fagositosis akan mensekresi sitokin TNFα. Kemungkinan peningkatan sekresi TNFα oleh komponen seskuiterpen yang terdapat dalam fraksi B-1 maupun C-1 masih perlu dibuktikan dengan pengukuran kadar TNFα secara bioassay atau imunohistokimia. Aktivasi makrofag secara in-vitro akan memproduksi sitokin TNFα yang bermanfaat melisiskan sel tumor (Kreno 2001). Kim et al. (2000) melaporkan fraksi CZ-I-III polisakarida C. zedoaria meningkatkan produksi sitokin TNFα pada kultur sel makrofag murine RAW 264,7 dan kemampuan fagositosis makrofag terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Apoptosis atau kematian sel terprogram adalah endpoint kaskade molekul tergantung energi yang diawali oleh berbagai stimulus (Cotran et al. 1999). Salah satu stimulus apoptosis adalah interaksi TNFα dengan TNFα receptor type 1 (TNRF1) yang terdapat pada permukaan sel target yang selanjutnya menghantarkan sinyal tranduksi melalui Fas associated death domain (FADD) dan rangkaian kaskade caspase 8 untuk memicu apoptosis (Kutuk dan Basaga 2004). Senyawa fraksi B-1 termasuk kelompok alkilator yang bekerja menghambat pertumbuhan sel tumor pada fase G1 atau fase S. Respon sel sangat tergantung pada kemampuan sel untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi seperti kerusakan DNA akibat senyawa alkilator atau radiasi ionisasi. Bila mekanisme perbaikan tidak berhasil memperbaiki kerusakan sel maka sel tumor akan memicu proses apoptosis. Masyarakat menggunakan rimpang C. zedoaria untuk pengobatan dalam bentuk ekstrak kasar yang mengandung multi komponen bahan bioaktif dengan demikian diperoleh berbagai aktivitas biologis sesuai target kerja masing-masing komponen bioaktif dengan efek yang sinergis atau aditif serta efek samping lebih kecil bila
78 dibandingkan efek samping komponen bioaktif tunggal. Pada penelitian ini diperoleh aktivitas biologis yaitu stimulasi fungsi menelan (indeks fagosit) sel makrofag lebih besar (2,5-3 kali lebih besar) pasca perlakuan fraksi B (50,9%) dan C (59,5%) (multikomponen bioaktif) dibandingkan fraksi B-1 (19,8%) dan C-1 (16,7%). Data penelitian ini membuka peluang penelitian lanjutan fraksi B dan C pada sistim imun non-spesifik antara lain; penelusuran produksi metabolit reaktif yang berperanan membunuh mikroba, produksi ion nitrit, IL -1 dan TNF a sebagai molekul kunci interaksi dengan sistim imun spesifik dan aktivitas proliferasi limfosit. Data penelitian aktivitas biologis ini akan menunjang pemakaia n sediaan rimpang temu putih sebagai pendamping
kemoterapi
yang
bekerja
secara
tidak
langsung
menghambat
perkembangan sel tumor. Stimulasi fungsi efektor sistim imun non spesifik berperanan menghambat pertumbuhan tumor melalui peningkatan apoptosis sel tumor, mencegah penurunan imunitas akibat kemoterapi/radiasi sehingga penderita mampu bertahan (survive) menghadapi serangan infeksi bakteri patogen. Komponen bioaktif tunggal di dalam fraksi B-1 (seskuiterpen lakton) masih membutuhkan pemantapan struktur kimia melalui data spektroskopi lain seperti Resonansi Magnetik Inti (RMI) dua dimensi sebagai bahan kajian aktivitas sitostatika di dalam ruang lingkup terapetik dengan berbagai molekul target (hubungan struktur dan aktivitas biologis), simulasi sintesis senyawa analog atau semi sintetis untuk mengurangi ketergantungan dengan bahan alam.
79
V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan: 1. Fraksi B dan C yang diperoleh dari fraksinasi ekstrak etil asetat rimpang temu putih memiliki aktivitas yang tinggi sebagai anti-proliferasi terhadap sel HeLa, K-562 dan WEHI serta meningkatkan kemampuan fagositosis. 2. Fraksi B-1 yang diperoleh dari pemurnian fraksi B adalah senyawa tunggal dengan prediksi molekul formula C15H16O2 dan struktur dugaan adalah senyawa 1(10),5,7,(11)8,Guaiantetraen-12,8-olide (gweikurkulakton). 3. Senyawa fraksi B-1 (nilai IC50 < 4 bpj) termasuk kelompok senyawa aktif sebagai anti proliferasi terhadap sel HeLa, K-562 dan WEHI 164. 4. Diduga mekanisme membunuh dari fraksi B-1 terhadap sel tumor melalui proses apoptosis. 5. Senyawa fraksi B-1 (100 bpj) mengaktivasi sistim imun non spesifik dengan meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag sebesar 39% dan kapasitas fagositosis makrofag sebesar 20%.
Saran. 1. Perlu dilakukan pemantapan struktur senyawa bioaktif fraksi B-1 dengan data spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (RMI). 2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai aktivitas anti-proliferasi terhadap sel lestari tumor yang lain. 3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai aktivitas antiproliferasi dan fagositosis pada tingkat biokimia selular.
80
Daftar Pustaka Alisyahbana M, Ervina M, Monica WS, Liliek SH. 2002. Uji antioksidan dan antiradikal bebas ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val. et Zyp.), rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan daun kemuning (Murraya paniculata (L.)Jack). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya: 27-28 Maret 2002 Anonim. 1994. Dictionary of natural products. Chapman & Hall. Volume ke-3:2638 Baratawidjaja K. 2001. Imunologi dasar. Ed ke-4. Penerbit FKUI. Bergman M, Salman H, Bessler H, Omanski M, Punsky I, Djaldetti M. 2002. Interaction between phagocytosis and IL-1ß production by rat peritoneal macrophages. Biomed Pharmacother 56:159-162. Briskin DP. 2000. Medicinal plants and phytomedicines. Linking plant biochemistry and physiology to human health. Plant Physiol 124:507-514. Chakraborty S, Ghosh U, Bhattacharyya NP. Bhattacharya RK, Roy N. 2006. Inhibition of telomerase activity and induction of apoptosis by curcumin in K-562 cells. Mutation Research -10191:1-10 (In Press) Calixto JB, Otuki MF, Santos ARS. 2003. Anti-inflammatory compounds of plant origin. Part 1. Action on arachidonic acid pathway, nitric oxide and nuclear factor κB (NF-κB). Planta Medica 69:973-983. Campbell NA, Reece JB, Mitchell. 2000. Biologi. Jilid I Ed ke -5. Rahayu L.[et.al], penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Colegate SM, Molyneux RJ. 1993. Bioactive natural products. CRC Pr. Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Pathology basis of disease. Ed ke-6. WB Saunders. Dalimartha S. 2003. Atlas tumbuhan obat Indonesia . Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara. Denicourt C, Dowdy SF. 2004. Targeting apoptotic pathways in cancel cells. Science 305 (5689):1411-1413. De Padua LS, Bunyapraphatsara N and Lemmens RHMJ (editors).1999. Plant resources of South-East Asia, Medicinal and poisonous plants. Prosea Publ 12(1):216-219. Dewick PM. 2003. Medicinal natural products: a biosyn thetic approach. Ed ke-2. J Wiley. Dorai T, Aggarwal BB. 2004. Role of chemopreevtive agents in cancer theraphy. Cancer Letters 215:129-140.
81
Fabarius A, Hehlmann R, Duesberg PH. 2003. Instability of chromosome structure in cancer cells increases exponentially with degrees of aneuploidy. Cancer Genetics and Cytogenetics 143:59-72. Flora SD, Ferguson LR. 2005. Overview of mechanisms of cancer chemopreventive agents. Mutation research 591:8-15. Fransworth NR. 1986. Biological and phytochemical screening of plant. J.Pharm Sci 55(3):225-265 Freshney RI. 1992. Introduction to basic principles. Di dalam: Freshney RI, editor. Animal cell culture.A practical approach . Ed ke-2. Oxford Univ Pr. Gibbs JB. 2000. Mechanism-based target identification and drug discovery in cancer research. Science 287:1969-1973. Gritter RJ, Bobbitt JM, Scwarting AE. 1991. Pengantar kromatografi. Padmawinata K penerjemah: Niksolihin S, editor. Ed ke-2. Penerbit ITB. Terjemahan dari: Introduction to chromatography. Harbone JB.1987. Metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terbitan ke-2. Padmawinata K, I. Soediro penerjemah; Niksolihin S., editor. Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical methods. Heilmann J, Wasescha MR, Schmidt TJ. 2001. The influence of glutathione and cysteine levels on the cytotoxicity of helenanolide type sesquiterpene lactones against KB cells. Bioorganic & Medicinal Chemistry 9:2189-2194. Heim KE, Tagliaferro AR, Bobilya DJ. 2002. Flavonoid antioxidants:chemistry, metabolism and structure-activity relationships. J Nutritional Biochemistry 13:572-584. Ichinose M, Sawada M, Sasaki K, Oomura Y. 1998. Enhancement of phagocytosis in mouse peritoneal macrophages by fragments of acidic fibroblast growth factor (aFGF). International J. Immunopharmacology 20:193-204. Incalci M, Steward WP, Gescher AJ. 2005. Use of cancer chemopreventive phytochemicals as antineoplastic agents. Lancet Oncol 6:899-904. Iswantini D, Purwantingsih S, Darusman LK, Esvandiari. 2002. Studi pendahuluan ekstrak temu putih dan kunir putih sebagai antikanker. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya: 27-28 Maret 2002. Jang MK, Lee JH, Kim JS, Ryu J-H. 2004. A curcuminoid and two sesquiterpenoids from Curcuma zedoaria as inhibitors of nitric oxide synthesis in activated macrophages. Arch Pharm Res 27(12):1220-1225.
82 Jiang DQ, Pu QL, Huang P, Huang XM, He YZ, He CH .1989. Studies on the chemical constituens of Curcuma kwangsiensis. Chem Abstr (25) (Desember 18,1989):436 (228992 w). Katzung BG. 2001. Basic and clinical pharmacology. Ed ke -8. Appl Lange. Kim KY , Kim JW, Hong BS, Shin DH, Kim HY, Yang HC. 2000. Genotoxicity and anticlastogenic activities of polysacharide from Curcuma zedoaria . Mol Cell 10:392-398. Kim KI, Shin KS, Jun WJ, Hong BS, Shin DH, Cho HY. 2001. Effect of polysacharides from rhizomes Curcuma zedoaria on macrophages function. Biosci Biotech Biochem 65(11):2369-2377. Kresno SB. 2001. Imunologi:diagnosis dan prosedur laboratorium. Ed ke-4. Penerbit FKUI. Kutuk O dan Basaga H. 2004. Aspirin inhibits TNFα and IL-1 induced NF-?B activation and sensitizes Hela cells to apoptosis. Cytokine 25:229-237. Lin JK, Shoei-Yn, Lin-Shiau 2001. Mechanisms of cancer chemoprevention by curcumin. Proc Natl Sci Counc 25(20):59-66 Liang Oei-Ban, penemu; PT Darya -Varia Laboratoria Jakarta.9 Juni 1992. Combinations of compounds isolated from Curcuma spp as anti-inflmmatory agents. ID 5 120 538. Li-Zhang D, Li LJ, Huang GS, Liu SG, Yen LF, Fang FD. 2002. The genetics characteristics of chromosomes of cell lines determines their tumorigenicity in nude mice. (HGM2002) http://hgm2002.hgu.mrc.ac.uk/Abstracts/Publish/WorkshopPosters/WorkshopPost er07/hgm0386.htm [29 Oktober 2005] MacDonald C. 1998. Primary culture and the establishment of cell lines. Di dalam: Davis JM, editor. Basic cell culture:a practicalapproach. Oxford Univ Pr. Marles RJ. Pazos -Sonou L, Compadre CM, Pezzuto JM, Bloszyk E, Armason JT. 1995. Sesquiterpene lactones revisited . Amason JT, Mata R, Romeo JT, editor. Di dalam: Phytochemistry of medicinal plants. Plenum Pr. Mattjik AA, Sumertajaya. 2002. Perancangan percobaan. Ed ke-2. IPB Press. McKenzie KE, Umbricht CB, Sukumar S. 1999. Application of telomerase research in the fight against cancer. Mol Med Today March:114-122. McLaughlin JL, Rogers LL. 1998. The use of biologycal assays to evaluate botanicals. Drug Inform J 32:513-524. McMurry J. 1984. Organic chemistry. Brooks/Cole Publishing Company
83
Meyer BN, Ferrigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nichols DE, McLaugghlin JL. 1982. Brine shrimp: a convinient general bioassay for active plant constituens. Hippokrates (45)31-34. Murakami A et al. 1998. Screening for in vitro anti-tumor promoting activities of edible plants from Indonesia. Cancer Detect Prev 22 (6):516-525 Murwanti R, Meiyanto E, Nurrochmad A, Kristina SA. 2004. Efek ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) terhadap pertumbuhan tumor paru fase inisiasi pada mencit betina diinduksi benzo(a)piren. Majalah Farmasi Indonesia 15(1): 7-12. Navarro DF et al. 2002. Phytochemical analysis and analgetic properties of Curcuma zedoaria grown in Brazil. Phytomedicine 9:427-432. Nafrialdi, Ganiswara S. 1995. Antikanker dan imunosupresan. Didalam: Ganiswara S, editor. Farmakologi dan Terapi. Ed.ke- 4. Bagian Farmakologi FKUI. Nurrochmad A dan Murwanti R. 2002. Efek hepatoprotektif ekstrak alkhohol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rose) pada tikus jantan. Pharmacon 1(1):31-36. Priosoeryanto BP, S Tateyama ,R.Yamaguchi and K. Uchida.1995. Antiproliferation and colony-forming inhibition activities of recombinant feline interferon (rFeIFN) on various cells in vitro.Can J Vet Res 59:67-69 Priosoeryanto BP, Sumarny R, Rahmadini Y, nainggolan CRM, Miswidia, Andani S. 2001. Growth inhibition effect of plants extract (Mussaendah pubescens and Curcuma zedoaria) on tumo r cell lines in vitro. Di dalam: International Symposium-cum Workshop.Phillippines, August 27-31, 2001. Remers WA. 1991. Antineoplastic . Di dalam: Wilson and Gisvold’s text book of organic medicinal and pharmaceutical chemistry. Ed ke-9. JB Lippincott. Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Ed ke-6. Padmawinata K,penerjemah; Sutomo, editor. Penerbit ITB. Terjemahan dari:The organic constituents of higher plants. Rungeler P, Castro V, Mora G, Goren N, Vichnewski W, Phal Hl. 1999. Inhibitio n of transcription factor NF-κB by sesquiterpene lactones: a Proposed molecular mechanism of action. Biorganic & Medicinal Chemistry 7:2343-2352. Rusmarilin H. 2003. Aktivitas anti-kanker ekstrak rimpang lengkuas lokal [Alpinia galanga (L) SW] pada galur sel kanker manusia serta mencit yang ditransplantasai dengan sel tumor primer. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saputra K, Maat S, Soedoko R. 2000. Terapi biologi untuk kanker. Airlangga University Press.
84
Shiobara Y, Asakawa Y, Kodama M, Takemoto T. 1986. Zedoarol, 13hydroxygermacrone and curzeone, three sesquiterpenoids from Curcuma zedoaria. Phytochemistry 25(6):1351-1353. Shu Yue-Zhon. 1998. Recent natural products based drug development:a pharmaceutical industry prespective. J Nat Prod 61(8):1053-1071. Silverstein RM, Wester FX. 1995 Spectrometric identification of organic compounds. Ed ke-6. J Wiley. Sirait M. 2001. Pengembangan obat bahan alam. Seminar Sehari Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami IV. Jakarta: 7 Maret 2001. Siswandono dan Soekardjo B. 2000. Kimia medisinal. Ed ke-2 Airlangga University Press. Sudibyo RS. 2000. Gas chromatographic-mass spectrometric analysys of the main component of volatile oil isolated from Curcuma zedoaria Rosc. Majalah Farmasi Indonesia 11(1): 39-44. Suffness M, Pezzuto JM. 1991. Assays related to cancer drug discovery. Di dalam: Hostettmann K, editor. Assays for bioactivity. Academic Pr. Sugiyanto, Sudarto B, Meiyanto E, Nugroho AE. 2003. Aktivitas antikarsinogenik senyawa yang berasal dari tumbuhan. Majalah Farmasi Indonesia 14(3):132-141. Suharmiati, Handayani L, Roosihermiatie B. 2002. Pengobatan kanker dan tumor dengan menggunakan ramuan trasisional yang mengandung kunir putih (Curcuma mangga Val. Et Zyp) (Stu di kasus di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Obat Tradisional tahun 2000 sampai dengan 2001 . Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya:2728 Maret 2002 Sumarny R, Safitri AI, Djamil R. 2006. Kadar kurkumin dan potensi anti oksidan ekstrak etanol Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe., Curcuma mangga Val et Zyp. dan Curcuma xanthorrhiza Roxb. Journal Ilmu Kefarmasian Indonesia (In press) Sunardi C, Dewi PNL, Sutedja L, Kardono LBS. 2002. Studi aktivitas antimikroba minyak atsiri dari rimpang Kaemperia rotunda L., Curcuma zedoaria Rosc. Dan Curcuma mangga Val.Et ZIJP. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Surabaya: 27-28 Maret 2002 Surh YJ et al. 2001. Molecular mechanism underlying chemopreventive activities of anti-inflammatory phytochemicals: down regulations of COX-2 and iNOS through suppession of NF-kappa B activation. Mutation Research 480:43-68.
85 Syu WJ, Shen CC, Don MJ, OU JC, Lee GH and Sun CM. 1998. Cytotoxicity of curcuminoids and Syukur C. 2002. Temu putih tanaman obat antikanker. Penebar Swadaya Syukur C dan Hernani. 1999. Budidaya tanaman obat komersial. Penebar Swadaya some novel compounds from Curcuma zedoaria, J Nat Prod 61(12):1531-1534. Takano I, Yasuda I, Takeya K, Itokawa H. 1995. Guaiane sesquiterpene lactones from Curcuma aeruginosa . Phytochemistry 40(4):1197-2000Tang W and Eisenbrand G.1992. Chinese drugs of plant origin . Springer Publishing. Tannock IF, Hill RP. 1998. The basic science of oncology. Ed ke-8. McGraw-Hill. Tim Surkenas. 2002. Survei kesehatan nasional 2001. Badan Libangkes Depkes RI. Vincent I, Pae CI, Hallows JL. 2003. The cell cycle and human neurodegenerative disease. Meijer L, Jézéquel A, Robe rge M, editor. Di dalam: Progress in cell cycle research. Volume ke-5. Life in Progress Editions. Wagner H and Jurcic K. 1991. Assays for immunomodulation and effects on mediators of inflammation . Di dalam: Dey PM, Harbone JB, editor. Methods in plants biochemistry:assays for bioactivity. Volume ke-6. Academic Pr. Wilson B, Abraham G, Manju VS, Mathew M, Vimala B, Sundaresan S. 2005. Antimicrobial activity of Curcuma zedoaria and Curcuma malabarica tubers. J Ethnopharmacology 99:147-151. Williams HD, Fleming I. 1985. Spectroscopic methods in organic chemistry. Ed ke-3. McGraw-Hill. Windono T, Parfati N. 2002. Curcuma zedoaria (Bergius) Roscoe: kajian pustaka dan aktivitas farmakologik. Artocarpus 2(1):1-10. Wong S. 1997. Agents affecting the immune response. Di dalam: Burger’s medicinal chemistry and drug discovery:therapeutic agents. Ed ke-5. Volume ke-4. J Wiley. Zachary I. 2003. Determination of cell number. Di dalam: Di dalam:Hughes D, Mehmet, editor. Cell proliferation & apoptosis. Bios Scientific.
86 Lampiran 1
Hasil Determinasi Tumbuhan
87 Lampiran 2. Rangkuman hasil ekstraksi, fraksinasi dan pemurnian Rimpang temu putih (C. zedoaria ) I. Sebanyak 1.000 gram serbuk rimpang temu putih (TP) diekstraksi dengan cairan penyari n-heksana, methanol (MeOH) dan etil asetat (EtOAc) dan diperoleh : 1. Ekstrak n-heksana
= 104 gram
= 10,4%
2. Ekstrak MeOH
=
55 gram
=
5,5%
3. Ekstrak EtOAc
=
72 gram =
7,2%
II. Sebanyak 60 gram ekstrak EtOAc difraksinasi dengan kolom kromatografi; sebagian digunakan untuk penapisan fitokimia dan pengujian bioaktivitas. Hasil fraksinasi 60 gram ekstrak EtOAc
% perolehan fraksi ~ 1.000 gram TP
Kode Fraksi
gram
%
(Perhitungan perolehan)
1. Fraksi A
9,3
15,5
15,5/100 x 7,2% = 1,1160%
2. Fraksi B
0,87
1,45
1,45/100 x 7,2% = 0,1044%
3. Fraksi C
0,99
1,65
1,65/100 x 7,2% = 0,1188%
4. Fraksi D
13,77
22,95
22,95/100 x 7,2% = 1,6524%
5. Fraksi E
33,9
56,5
56,5/100 x 7,2% = 4,0680%
III. Sebanyak 500 mg fraksi B dan 700 mg fraksi C dimurnikan dengan KCKT; sebagian digunakan untuk karakterisasi kimia dan pengujian bioaktivitas. Hasil fraksinasi dari 500 mg fraksi B
% perolehan fraksi ~ 1.000 gram TP
Kode Fraksi
mg
%
(Perhitungan perolehan)
1. Fraksi B-1
26
5,2
5,2/100 x 0,1044% = 0,005%
Hasil fraksinasi dari 700 mg fraksi C
% perolehan fraksi ~ 1.000 gram TP
Kode Fraksi
mg
%
(Perhitungan perolehan)
1. Fraksi C-1
53
7,6
7.6/100 x 0,1188% = 0,009%
2. Fraksi C-2
44
6,3
6,3/100 x 0,1188% = 0,008%
3. Fraksi C-3
35
5,0
5,0/100 x 0,1188% = 0,006%
88 Lampiran 3. Warna dan harga Rf dari pemisahan secara KLT
Fase diam
:
lempeng silika GF 254
Fase gerak
:
n-heksana:EtOAc
Jarak rambat
:
8 cm
Pengamatan
:
sinar UV 366 nm
Warna bercak dan harga Rf dari fraksi A,B,C dan D
Fraksi
Perbandingan
EtOAc
Fase gerak
A
15 : 1
B
C
D
6,5 : 3,5
6,5 : 3,5
6,5 : 3,5
AlCl3 5 % dalam etanol Warna
Rf
Lieberman Bouchard Warna
Rf
Hijau kuning
0,88
Hijau kuning
0,88
Biru
0,69
Biru
0,69
Oranye
0,43
Hijau kuning
0,43
kuning
0,25
kuning
0,24
Kuning
0,85
Biru
0,84
Coklat
0,74
Coklat
0,75
Kuning hijau
0,60
Coklat muda
0,68
Coklat gelap
0,74
Coklat gelap
0,75
Hijau kuning
0,60
Coklat muda
0,63
Hijau kuning
0,39
Hijau kuning
0,40
Biru
0,24
Kuning
0,25
Coklat gelap
0,74
Coklat gelap
0,75
Biru
0,25
Hijau kuning
0,40
Kuning hijau
0,18
Kuning
0,19
89 Lampiran 4. Kromatogram dengan KLT dan KCKT fraksi B-1 dan C-1
A. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Fase diam
: lempeng silika gel GF 254
Fase gerak
: n-heksana: EtOAc (8,5:1,5)
Jarak rambat
: 8 cm
Penampak bercak : -----------
Rf 0,33
Rf 0,35
UV 254 nm
UV 254 nm
B. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Instrumen
: Shimadzu LC 10 AT VP
Kolom
: Shim Pack CLC Sil (4,6 mm x 15 cm)
Fase gerak : n-heksan:EtOAc = 9:1 (fraksi B-1) n-heksan:EtOAc = 8,5:1,5 (fraksi C-1) Laju alir
: 0,5 mL/menit
Vol. Injeksi : 20 µL Detektor
: UV, λ 254 nm
90 1. Kromatogram fraksi B-1 dengan KCKT Detector A (254nm) B B-1 (5000 ppm)
Name Retention Time Area
B-1 35.092 54660452
3
Volts
2
1
0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Minutes
2. Kromatogram fraksi C-1 dengan KCKT
22.408 C-1 44598756
Detector A (254nm) C C-1 (5000 ppm)'
Retention Time Name Area 24170125
1.5
6.983
Volts
1.0
0.5
0.0 0
5
10
15
20 Minutes
25
30
35
91 Lampiran 5. Data uji kematian larva udang dan nilai LC50
Ekstrak /Fraksi Ekstrak EtOAC
Ekstrak EtOAC
Ekstrak EtOAC
Fraksi A
Fraksi A
N 1
2
3
1
2
Fraksi A
3
Fraksi B
1
Fraksi B
Fraksi B
2
3
Kadar bpj 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000 1 10 100 1000
Log C (X) 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
Mortalitas S % 2 7 10 33 16 53 21 70 2 7 7 23 17 57 22 73 5 17 8 27 9 30 25 83 4 13 9 30 19 63 26 87 7 23 9 30 16 53 27 90 4 13 8 27 18 60 30 100 2 7 6 20 25 83 30 100 3 10 7 23 22 73 30 100 3 10 7 23 23 77 30 100
Probit (Y) 3,52 4,56 5,08 5,52 3,52 4,26 5,18 5,61 4,05 4,39 4,48 5,95 3,87 4,48 5,33 6,13 4,26 4,48 5,08 6,28 3,87 4,39 5,25 7,75 3,52 4,16 5,95 7,75 3,72 4,26 5,61 7,75 3,72 4,26 5,74 7,75
LC 50 (bpj)
Rataan LC 50 (bpj)
101,41
99,35
97,25
99,33
36,50
29,00
17,70
27,73
18,27
17,81
16,95
17,68
92 Lampiran 5. Data uji kematian larva udang dan nilai LC50 (lanjutan)
Ekstraki /fraksi Fraksi C
N 1
Fraksi C
2
Fraksi C
Fraksi D
Fraksi D
3
1
2
Fraksi D
3
Fraksi E
1
Fraksi E
Fraksi E
2
3
Kadar Log C bpj (X) 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3 1 0 10 1 100 2 1000 3
Mortalitas S % 6 20 8 27 18 60 30 100 6 20 7 30 15 50 30 100 7 23 9 30 21 70 30 100 3 10 4 13 12 40 30 100 2 7 6 20 11 37 30 100 1 3 5 17 13 43 30 100 6 20 7 23 8 27 26 87 6 20 9 30 16 53 24 80 7 23 8 27 16 53 21 70
Probit (Y) 4,16 4,39 5,25 7,75 4,16 4,48 5 7,75 4,26 4,48 5,52 7,75 3,72 3,87 4,75 7,75 3,52 4,16 4,67 7,75 3,12 4,05 4,82 7,75 4,16 4,26 4,39 6,13 4,16 4,48 5,08 5,84 4,26 4,39 5,08 5,52
LC 50 (bpj)
Rataan LC 50 (bpj)
14,68
15,57
11,57
13,94
30,38
30,27
35,02
31,89
86,84
49,55
83,07
73,15
93 Lampiran 6. Jumlah sel tumor pasca perlakuan fraksi EtOAc dan analisis statistik A. Data jumlah sel tumor sel (x104/mL) dan penghambatan pertumbuhan sel tumor Perlakuan fraksi
K (-)
Rataan SD EtOAC 100 bpj Rataan SD A 30 bpj Rataan SD B 15 bpj Rataan SD C 15 bpj Rataan SD D 30 bpj Rataan SD E 75 bpj Rataan SD
N 1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 3
1 2 3
Sel HeLa S Sel x104 % PP 221,33 228,67 232,00 227,33 5,46 161,00 27,3 165,33 27,7 185,67 20,0 170,67 24,98 13,17 4,34 170,33 23,0 162,00 29,2 167,00 28,0 166,44 26,74 4,19 3,25 164,67 25,6 180,33 21,1 165,00 28,9 170,00 25,21 8,95 3,89 165,00 25,5 152,00 33,5 146,00 37,1 154,33 32,02 9,71 5,95 162,67 26,5 166,33 27,3 157,33 32,2 162,11 28,65 4,53 3,08 190,00 14,2 221,00 3,4 232,33 -0,1 214,44 5,79 21,91 7,45
Sel K-562 S Sel x104 % PP 265,33 267,33 267,67 266,78 1,26 155,67 41,3 160,33 40,0 153,33 42,7 156,44 41,36 3,56 1,35 210,33 20,7 202,67 24,2 217,67 18,7 210,22 21,20 7,50 2,78 128,00 51,8 127,00 52,5 123,33 53,9 126,11 52,72 2,46 1,10 124,67 53,0 116,00 56,6 120,00 55,2 120,22 54,93 4,34 1,81 179,33 32,4 175,00 34,5 178,33 33,4 177,56 33,44 2,27 1,06 187,67 29,3 186,33 30,3 188,00 29,8 187,33 29,78 0,88 0,51
Sel WeHi S Sel x 104 % PP 267,00 292,33 271,00 276,78 13,62 220,67 17,4 232,67 20,4 217,33 19,8 223,56 19,19 8,06 1,62 230,67 13,6 234,00 20,0 212,67 21,5 225,78 18,36 11,48 4,19 159,67 40,2 156,00 46,6 161,00 40,6 158,89 42,48 2,59 3,61 137,33 48,6 139,00 52,5 140,33 48,2 138,89 49,74 1,50 2,35 220,67 17,4 218,33 25,3 224,67 17,1 221,22 19,92 3,20 4,67 209,67 21,5 182,67 37,5 191,00 29,5 194,44 29,50 13,83 8,02
Keterangan: jumlah sel (x1 04/mL) pada setiap ulangan adalah rataan dari 3 kali pembacaan hasil
94
B. Analisis statistik dan uji jarak berganda Duncan dari fraksi EtOAc
Perlakuan Fraksi B Fraksi C Fraksi A Fraksi D Fraksi E Ekstrak EtOAc
Kadar bpj 15 15 30 30 75 100
HeLa 25,20 ± 3,89 Ab 32,03 ± 5,95 Ab 26,73 ± 3,25 Bb 28,66 ± 3,08 Bb 5,83 ± 7,45 Aa 25,00 ± 4,34Bb
Rataan PP (%) Sel K562 52,73 ± 1,10C e 54,93 ± 1,81 B e 21,20 ± 2,78 ABa 33,43 ± 1,06 B c 29,80 ± 0,51 Bb 41,33 ± 1,35Cd
WEHI 164 42,46 ± 3,61B c 49,77 ± 2,35 B c 18,37 ± 4,19A a 19,33 ± 4,67 Aa 29,50 ± 8,02 B b 19,20 ± 1,62 Aa
Keterangan : 1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata, p<0,05 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata, p<0,05
95
Lampiran 7. Jumlah sel tumor pasca perlakuan fraksi bioaktif dan analisis statistik A. Data pengamatan jumlah sel dan PP Jumlah sel tumor (x 10 4/mL) dan PP (%) pasca perlakuan dengan fraksi B-1 Fraksi B-1 K (-) 0,0 bpj
N 1 2 3
Rataan SD 0,5 bpj
1 2 3
Rataan SD 1,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 2,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 4,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 8,0 bpj Rataan SD
1 2 3
Sel HeLa S Sel PP (%) 280,00 266,00 281,00 275,67 8,39 227,00 18,93 213,00 19,92 194,33 30,84 211,44 23,23 16,39 6,61 171,00 38,93 172,67 35,09 168,67 39,98 170,78 38,00 2,01 2,57 165,00 41,07 169,67 36,22 150,33 46,50 161,67 41,26 10,09 5,15 148,33 47,02 141,33 46,87 139,67 50,30 99,92 33,01 77,87 24,13 103,33 63,10 92,00 65,41 92,00 67,26 95,78 65,26 6,54 2,09
Sel K-562 S Sel PP (%) 213,33 224,00 206,33 214,56 8,90 125,00 41,41 133,33 40,48 127,67 38,13 128,67 40,00 4,26 1,69 115,00 46,09 117,33 47,62 115,00 44,26 115,78 45,99 1,35 1,68 106,67 50,00 105,67 52,83 103,67 49,76 105,33 50,86 1,53 1,71 97,67 54,22 99,33 55,65 97,67 52,67 66,18 37,19 55,99 30,74 70,33 67,03 82,67 63,10 65,00 68,50 72,67 66,21 9,06 2,79
Sel WEHI 164 S Sel PP (%) 285,33 276,67 252,00 271,33 17,29 186,67 34,58 203,00 26,63 176,67 29,89 188,78 30,37 13,29 4,00 172,00 39,72 185,00 33,13 165,00 34,52 174,00 35,79 10,15 3,47 159,00 44,28 174,67 36,87 141,33 43,92 158,33 41,69 16,68 4,18 130,33 54,32 163,00 41,09 115,33 54,23 103,34 33,19 76,81 25,99 107,33 62,38 100,00 63,86 104,33 58,60 103,89 61,61 3,69 2,71
Keterangan: jumlah sel pada setiap ulangan adalah rataan dari 3 kali pembacaan hasil
96
Jumlah sel tumor (x 10 4/mL) dan PP (%) pasca perlakuan dengan fraksi C-1
Fraksi C-1 K (-) 0,0 bpj
N 1 2 3
Rataan SD 0,5 bpj
1 2 3
Rataan SD 1,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 2,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 4,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 8,0 bpj Rataan SD
1 2 3
Sel HeLa S Sel PP (%) 277,67 285,67 279,67 281,00 4,16 201,67 27,37 191,33 33,02 176,00 37,07 189,67 32,49 12,91 4,87 149,00 46,34 127,33 55,43 148,33 46,96 141,56 49,58 12,32 5,08 124,67 55,10 120,00 57,99 123,67 55,78 122,78 56,29 2,46 1,51 111,67 59,78 106,33 62,78 115,00 58,88 111,00 60,48 4,37 2,04 100,67 63,75 103,67 63,71 108,33 61,26 104,22 62,91 3,86 1,42
Sel K-562 S Sel PP (%) 260,00 264,00 263,00 262,33 2,08 206,67 20,51 188,33 28,66 184,33 29,91 193,11 26,36 11,91 5,10 165,33 36,41 173,67 34,22 168,00 36,12 169,00 35,58 4,26 1,19 138,67 46,67 145,33 44,95 133,67 49,18 139,22 46,93 5,85 2,13 120,33 53,72 124,33 52,91 109,33 58,43 118,00 55,02 7,77 2,98 116,00 55,38 95,33 63,89 94,33 64,13 101,89 61,14 12,23 4,98
Sel WEHI 164 S Sel PP (%) 282,33 264,67 267,00 271,33 9,60 238,33 15,58 220,33 16,75 207,67 22,22 222,11 18,19 15,41 3,54 182,00 35,54 178,00 32,75 174,67 34,58 178,22 34,29 3,67 1,42 169,67 39,90 145,67 44,96 151,00 43,45 155,44 42,77 12,60 2,60 128,00 54,66 114,67 56,68 118,67 55,56 120,44 55,63 6,84 1,01 103,00 63,52 107,00 59,57 109,67 58,93 106,56 60,67 3,36 2,49
Keterangan: jumlah sel pada setiap ulangan adalah rataan dari 3 kali pembacaan hasil
97
Jumlah sel tumor (x 10 4/mL) dan PP (%) pasca perlakuan dengan fraksi C-2
Fraksi C--2 K (-) 0,0 bpj
N 1 2 3
Rataan SD 0,5 bpj
1 2 3
Rataan SD 1,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 2,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 4,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 8,0 bpj Rataan SD
1 2 3
Sel HeLa S Sel PP (%) 280,00 266,00 281,00 275,67 8,39 180,67 35,48 189,00 28,95 197,00 29,89 188,89 31,44 8,17 3,53 159,00 43,21 164,33 38,22 171,00 39,15 164,78 40,19 6,01 2,66 130,33 53,45 149,33 43,86 152,00 45,91 143,89 47,74 11,81 5,05 115,67 58,69 111,33 58,15 122,33 56,47 116,44 57,77 5,54 1,16 91,33 67,38 93,33 64,91 94,67 66,31 93,11 66,20 1,68 1,24
Sel K-562 S Sel PP (%) 260,00 264,00 263,00 262,33 2,08 169,67 34,74 176,33 33,21 183,67 30,16 176,56 32,71 7,00 2,33 158,67 38,97 137,00 48,11 113,33 56,91 136,33 48,00 22,67 8,97 113,33 56,41 125,67 52,40 123,33 53,11 120,78 53,97 6,55 2,14 118,67 54,36 130,00 50,76 106,67 59,44 118,44 54,85 11,67 4,36 97,33 62,56 90,33 65,78 90,33 65,65 92,67 64,67 4,04 1,82
Sel WEHI 164 S Sel PP (%) 285,33 276,67 252,00 271,33 17,29 211,00 26,05 186,00 32,77 173,33 31,22 190,11 30,01 19,17 3,52 173,00 39,37 164,33 40,60 153,67 39,02 163,67 39,66 9,68 0,83 158,67 44,39 114,00 58,80 116,33 53,84 129,67 52,34 25,14 7,32 103,67 63,67 105,33 61,93 101,00 59,92 103,33 61,84 2,19 1,88 81,33 71,49 90,33 67,35 93,00 63,10 88,22 67,31 6,11 4,20
Keterangan: jumlah sel pada setiap ulangan adalah rataan dari 3 kali pembacaan hasil
98
Jumlah sel tumor (x 10 4/mL) dan PP (%) pasca perlakuan dengan fraksi C-3
Fraksi C--3 K (-) 0,0 bpj
N 1 2 3
Rataan SD 0,5 bpj
1 2 3
Rataan SD 1,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 2,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 4,0 bpj
1 2 3
Rataan SD 8,0 bpj Rataan SD
1 2 3
Sel HeLa S Sel PP (%) 296,33 294,33 303,33 298,00 4,73 240,67 18,78 224,33 23,78 229,33 24,39 231,45 22,32 8,37 3,08 192,33 35,10 209,67 28,76 208,00 31,43 203,33 31,76 9,56 3,18 162,67 45,11 170,00 42,24 172,00 43,30 168,22 43,55 4,91 1,45 124,33 58,04 125,67 57,30 136,67 54,94 128,89 56,76 6,77 1,62 103,67 65,02 107,67 63,42 120,00 60,44 110,45 62,96 8,51 2,32
Sel K-562 S Sel PP (%) 272,67 284,00 252,33 269,67 16,05 206,67 24,21 202,00 28,87 176,67 29,99 195,11 27,69 16,14 3,07 171,00 37,29 174,67 38,50 152,33 39,63 166,00 38,47 11,98 1,17 126,33 53,67 136,33 52,00 132,33 47,56 131,67 51,07 5,03 3,16 117,00 57,09 128,33 54,81 120,00 52,44 121,78 54,78 5,87 2,32 100,33 63,20 106,33 62,56 88,33 64,99 98,33 63,59 9,17 1,26
Sel WEHI 164 S Sel PP (%) 261,33 253,33 257,00 257,22 4,00 201,67 22,83 193,00 23,81 188,33 26,72 194,33 24,45 6,77 2,02 167,33 35,97 158,00 37,63 168,00 34,63 164,44 36,08 5,59 1,50 127,33 51,27 120,67 52,37 126,67 50,71 124,89 51,45 3,67 0,84 111,33 57,40 102,67 59,47 111,33 56,68 108,44 57,85 5,00 1,45 96,00 63,26 97,67 61,45 97,00 62,26 96,89 62,32 0,84 0,91
Keterangan: jumlah sel pada setiap ulangan adalah rataan dari 3 kali pembacaan hasil
99
B. Analisis statistik dan uji jarak berganda Duncan dari fraksi bioaktif A. Fraksi B-1 Kadar µg/mL HeLa 0,5 23,2 ± 6,60 1,0 38,0 ± 2,57 2,0 41,3 ± 5,14 4,0 48,1 ± 1,94 8,0 65,3 ± 2,08 Rataan marginal 43,2 ±1 4,61 A B. Fraksi C -1 Kadar µg/mL HeLa 0,5 32,5 ± 4,87 1,0 49,6 ± 5,08 2,0 56,3 ± 1,51 4,0 60,5 ± 2,04 8,0 62,9 ± 1,43 Rataan marginal 52,3 ± 11,66 A C. Fraksi C -2 Kadar µg/mL HeLa 0,5 31,4 ± 3,53 1,0 40,2 ± 2,65 2,0 47,7 ± 5,05 4,0 57,8 ± 1,16 8,0 66,2 ± 1,24 Rataan marginal 48,67±13,02 A D. Fraksi C-3 Kadar µg/mL HeLa 0,5 22,3 ± 3,08 1,0 31,8 ± 3,18 2,0 43,6 ± 1,45 4,0 56,8 ± 1,61 8,0 63,0 ± 2,32 Rataan marginal 43,5 ± 15,8 A
Rataan % PP Sel K562 WEHI 164 40,0 ± 1,69 30,4 ± 3,99 45,9 ± 1,68 35,8 ± 3,47 50,9 ± 1,70 41,7 ± 4,18 54,2 ± 1,49 49,9 ± 7,61 66,2 ± 2,79 61,6 ± 2,71 51,5 ± 9,24 B 43,8 ± 12,05 A
Rataan Marginal 31,2 ± 8,29 a 39,9 ± 5,19 b 44,6 ± 5,81 c 50,7 ± 4,83 d 64,4 ± 3,05 e
Rataan % PP Sel K562 26,4 ± 5,10 35,6 ± 1,19 46,9 ± 2,13 55,0 ± 2,98 61,1 ± 4,98 45,00 ± 13,45 B
Rataan Marginal 25,7 ± 7,36 a 39,8 ± 7,82 b 48,7 ± 6,27 c 57,0 ± 3,20 d 61,6 ± 3,05 e
Rataan % PP Sel K562 32,7 ± 2,33 48,0 ± 8,97 54,0 ± 2,14 54,9 ± 4,36 64,7 ± 1,82 50,84 ±11,61 A Rataan % PP Sel K562 27,7 ± 3,07 38,5 ± 1,17 51,1 ± 3,16 54,8 ± 2,33 63,6 ± 1,26 47,1 ± 13,22B
WEHI 164 18,2 ± 3,54 34,3 ± 1,42 42,8 ± 2,59 55,6 ± 1,01 60,7 ± 2,48 42,3 ± 15,9 C
WEHI 164 30,0 ± 3,52 39,7 ± 0,83 52,3 ± 7,32 61,8 ± 1,88 67,3 ± 4,20 50,2 ± 14,71 A
WEHI 164 24,5 ± 2,02 36,08 ± 1,50 51,5 ± 0,84 57,9 ± 1,45 62,3 ± 0,91 46,4 ± 14,67 B
Rataan Marginal 31,4 ± 2,99 a 42,6 ± 6,19 b 51,4 ± 5,36 c 58,2 ± 3,90 d 66,0 ± 2,64 e
Rataan Marginal 24,8 ± 3,35 a 35,4 ± 3,48 b 48,7 ± 4,25 c 56,5 ± 2,08 d 63,0 ± 1,50 e
Keterangan : 1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
100 Lampiran 8. Nilai kadar hambat median (IC 50) fraksi bioaktif dan analisis statistik
A. Nilai IC50 Fraksi B-1
Rataan ± SD C-1
Rataan ± SD C-2
Rataan ± SD C-3
Rataan ± SD
Nilai IC-50 fraksi KCKT terhadap sel tumor HeLa K-562 WEHI-164 3,6559 1,6553 2,7027 3,7948 1,3950 4,4781 2,5781 1,8655 3,3258 3,34 ± 0,666 1,64 ± 0,236 3,50 ± 0,900 1,9642 3,6601 3,2396 1,2794 2,9546 3,2983 1,4206 2,4654 3,3775 1,55 ± 0,362 3,03 ± 0,600 3,31 ± 0,069 1,7729 2,1419 2,1522 2,5515 1,9998 1,6592 2,4569 1,5180 2,1305 2,26 ± 0,425 1,89 ± 0,327 1,98 ± 0,279 2,8628 2,5176 2,6712 3,1959 2,4934 2,5757 3,5432 2,5066 2,6363 3,20 ± 0,340 2,51 ± 0,121 2,63 ± 0,049
B. Analisis statistik dan uji jarak berganda Duncan dari nilai IC50 fraksi bioaktif
Kadar hambat median (IC50) fraksi bioaktif Fraksi Bioaktif B-1 C-1 C-2 C-3 Keterangan :
HeLa 3,34 ± 0,666 B b 1,55 ± 0,362 A a 2,26 ± 0,425 A a 3,20 ± 0,340 A b
Rataan Nilai IC50 (bpj) K-562 1,64 ± 0 ,236 A a 3,03 ± 0,600 B c 1,89 ± 0,327 A ab 2,51 ± 0,121 B bc
WEHI 164 3,50 ± 0,900 B b 3,31 ± 0,069 B b 1,98 ± 0,279 A a 2,63 ± 0,049 B ab
1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
101 Lampiran 9. Sel fagosit aktif dan indeks fagosit pasca perlakuan fraksi EtOAc
A. Data sel fagosit aktif dan indeks fagosit
Kadar bpj 0 0 0 Rataan SD 10 10 10 Rataan SD 100 100 100 Rataan SD 1000 1000 1000 Rataan SD
Sel Fagosit (%) B C 58.0 56.0 57.0 55.5
D 53.5 50.0
A 10.08 10.02
Indeks Fagosit B C 10.05 9.95 10.23 10.1
55.0 55.5 0.5 57.0 57.5 57.5
52.0 51.8 1.8 60.0 61.0 60.0
10.01 10.04 0.04 11.47 11.45 11.41
10.12 10.13 0.09 13.4 13.47 13.59
10.14 10.06 0.10 13.08 13.01 13.19
10.03 10.04 0.11 11.6 11.69 11.6
64.0 1.3 69.0 70.0 71.0
57.3 0.3 61.0 61.0 60.0
60.3 0.6 70.0 70.5 70.0
11.44 0.03 12.89 13 12.87
13.49 0.10 15.3 15.23 15.33
13.09 0.09 16.1 16.07 15.99
11.63 0.05 13.77 13.79 13.76
65.8 1.5 71.0 71.5
70.0 1.0 77.0 79.0
60.7 0.6 66.0 67.5
70.2 0.3 77.0 76.5
12.92 0.07 14.26 14.2
15.29 0.05 16.35 16.66
16.05 0.06 18.99 19.15
13.77 0.02 15.61 15.59
69.0 70.5 1.3
75.0 77.0 2.0
64.0 65.8 1.8
76.0 76.5 0.5
14.24 14.23 0.03
16.5 16.50 0.16
19.11 19.08 0.08
15.65 15.62 0.03
N 1 2
A 59.0 55.5
3
1 2 3
55.0 56.5 2.2 59.0 60.5 60.5
55.5 56.8 1.3 63.5 63.0 65.5
1 2 3
60.0 0.9 64.5 67.5 65.5
1 2 3
Keterangan: Data setiap ulangan adalah rataan dari 2 kali pembacaan hasil
D 10.16 9.94
102 B. Analisis statistik dan uji jarak berganda Duncan Rekapitulasi sel fagosit aktif (SFA) pasca perlakuan fraksi EtOAc Kadar bpj 0 10 100 1000 Rataan Marginal
A 56,5 ± 2,17 60,0 ± 0,86 65,8 ± 1,53 70,5 ± 1,32 63,2 ±5,76 B
Sel fagosit aktif (%) B C 56,8 ± 1,26 55,0 ± 0,50 64,0 ± 1,32 57,3 ± 0,28 70,0 ± 1,00 60,7 ± 0,58 77,0 ± 2,00 65,8 ± 1,76 66,9±7,86 59,8± 4,18 D
D 56,8 ± 1,25 60,3 ± 0,58 70,2 ± 0,28 76,5 ± 0,50 65,9 ± 8,17
A
Rataan marginal 56,4 ± 1,35a 60,4 ± 2,58b 66,7 ± 4,13c 72,4 ± 4,97d
B
Keterangan : 1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata,p<0,05 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata, p<0,05
Stimulasi sel fagosit aktif (SFA) pasca perlakuan fraksi EtOAc Kadar bpj 10 100 1000
A 6,2 16,5 24,8
Stimulasi sel fagosit aktif (%) B C 12,6 3,3 23,2 9,3 35,5 18,6
D 6,2 23,5 34,6
Rekapitulasi indeks fagosit pasca perlakuan fraksi EtOAc Kadar bpj 0 10 100 1000 RM Keterangan :
A 10,04±0,04 11,44±0,03 12,92±0,07 14,23±0,03 12,2±1,82 A
Indeks fagosit B C 10,13±0,09 10,06±0,10 13,49±0,10 13,09±0,09 15,29±0,05 16,05±0,06 16,50±0,16 19,08±0,08 13,9±2,77C 14,6±3,88 D
D 10,04±0,11 11,63±0,05 13,77±0,02 15,62±0,03 12,8±2,44B
Rataan marginal 10,07±0,03a 12,41±0,03b 14,51±0,02c 16,36±0,06d
1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata,p<0,05 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata,p<0,05
Stimulasi indeks fagosit pasca perlakuan fraksi EtOAc Kadar bpj 10 100 1000
A 14,0 28,7 41,8
Stimulasi indeks fagosit (%) B C 33,1 30,1 50,9 59,5 62,9 89,6
D 15,8 37,1 55,5
103 Lampiran 10. Sel fagosit aktif dan Indeks fagosit pasca perlakuan fraksi bioaktif
A. Data sel fagosit aktif dan indeks fagosit pasca perlakuan fraksi bioaktif Kadar bpj 0
Sel fagosit aktif
N 1 2 3
Rataan SD 6.25
1 2 3
Rataan SD 12.5 Rataan SD 25
1 2 3
1 2 3
Rataan SD 50
1 2 3
Rataan SD 100 Rataan SD
1 2 3
B-1 56.5 55.0 56.0 55.8 0.8 62.0 64.0 62.0 62.7 1.2 64.5 66.5 66.0 65.7 1.0 69.0 70.0 69.0 69.3 0.6 72.0 73.0 73.5 72.8 0.8 78.5 77.5 76.0 77.3 1.3
C-1 55.0 56.5 56.5 56.0 0.9 60.0 59.5 59.0 59.5 0.5 64.0 62.0 64.5 63.5 1.3 65.0 68.5 66.5 66.7 1.8 71.5 70.5 70.5 70.8 0.6 76.5 77.0 76.0 76.5 0.5
C-2 53.5 53.0 54.0 53.5 0.5 57.5 58.0 58.0 57.8 0.3 60.0 60.5 61.5 60.7 0.8 63.5 63.5 63.0 63.3 0.3 66.0 65.0 66.5 65.8 0.8 72.0 69.5 71.0 70.8 1.3
Indeks fagosit
C-3 56.0 54.5 55.5 55.3 0.8 59.0 58.0 59.5 58.8 0.8 62.0 63.0 63.0 62.7 0.6 67.0 67.5 67.5 67.3 0.3 70.5 70.5 71.0 70.7 0.3 74.0 73.0 74.5 73.8 0.8
B-1 9.9 9.9 9.9 9.89 0.04 10.6 10.6 10.6 10.59 0.03 10.8 10.7 10.8 10.77 0.03 11.1 11.1 11.1 11.1 0.0 11.5 11.4 11.5 11.5 0.0 11.8 11.8 11.9 11.8 0.0
C-1 9.8 10.0 9.9 9.87 0.08 10.2 10.3 10.3 10.27 0.05 10.5 10.4 10.5 10.49 0.06 10.8 10.7 10.6 10.7 0.1 10.9 10.9 11.0 10.9 0.1 11.6 11.4 11.5 11.5 0.1
C-2 9.9 9.9 9.8 9.88 0.04 10.1 10.0 10.1 10.06 0.04 10.3 10.2 10.2 10.22 0.04 10.5 10.4 10.5 10.5 0.1 10.6 10.6 10.8 10.7 0.1 10.9 11.0 11.0 11.0 0.1
Keterangan: Data setiap ulangan adalah rataan dari 2 kali pembacaan hasil
C-3 9.9 9.9 9.9 9.89 0.03 10.1 10.1 10.1 10.09 0.03 10.2 10.3 10.2 10.23 0.02 10.4 10.5 10.5 10.5 0.0 10.7 10.6 10.7 10.7 0.0 11.0 10.9 11.0 10.9 0.0
104 C. Analisis statistik dan uji jarak berganda Duncan sel fagosit aktif dan indeks fagosit dari fraksi bioaktif Rekapitulasi sel fagosit aktif pasca perlakuan fraksi bioaktif Kadar bpj 0,0 6,25 12,5 25,0 50,0 100,0 RM
B-1 55,8±0,8 62,7±1,2 65,7±1,0 69,3±0,6 72,8±0,8 77,3±1,3 67,28±0,22B
Sel fagosit aktif (%) C-1 C-2 56,0±0,9 53,5±0,5 59,5±0,5 57,8±0,3 63,5±1, 3 60,7±0,8 66,7±1,8 63,3±0,3 70,8±0,6 65,8±0,8 76,5±0,5 70,8±1,3 65,19±0,22C 62,00±0,22A
C-3 55,3±0,8 58,8±0,8 62,7±0,6 67,3±0,3 70,7±0,3 73,8±0,8 64,77±0,22B
Rataan marginal 55,27±0,27a 59,25±0,27b 63,13±0,27c 66,67±0,27d 70,04±0,27e 74,63±0,27f
Keterangan : 1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Stimulasi sel fagosit aktif pasca perlakuan fraksi bioaktif Kadar bpj 6,25 12,5 25,0 50,0 100,0
B-1 12,2 17,6 24,2 30,4 38,5
Stimulasi sel fagosit aktif (%) C-1 C-2 3,0 8,1 13,4 13,4 19,0 18,4 26,5 23,1 36,6 32,4
C-3 6,3 13,3 21,7 27,7 33,4
Rekapitulasi indeks fagosit pasca perlakuan fraksi bioaktif Kadar Indeks fagosit Rataan bpj B-1 C-1 C-2 C-3 marginal 0,0 9,89±0,04 9,87±0,08 9,88±0,04 9,89±0,03 9,88±0,02 a 6,25 10,59±0,03 10,27±0,05 10,06±0,04 10,09±0,03 10,25±0,01b 12,5 10,77±0,03 10,49±0,06 10,22±0,04 10,23±0,02 10,42±0,02c 25,0 11,1±0,00 10,7±0,10 10,5±0,10 10,5±0,00 10,67±0,03d 50,0 11,5±0,00 10,9±0,10 10,7±0,10 10,7±0,00 10,93±0,02e 100,0 11,8±0,00 11,5±0,10 11,0±0,10 10,9±0,00 11,31±0,03f C B A A RM 10,9±0,69 10,6±0,57 10,4±0,40 10,04±0,39 Keterangan : 1. Huruf kecil superskrip yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 2. Huruf besar superskrip yang berbeda ke arah baris menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Peningkatan indeks fagosit (%) pasca perlakuan fraksi bioaktif Kadar bpj 6,25 12,5 25,0 50,0 100,0
B-1 7,1 8,9 12,0 15,8 19,8
Stimulasi indeks fagosit (%) C-1 C-2 4,1 1,8 6,2 3,4 8,2 6,1 10,9 7,8 16,7 10,9
C-3 2,0 3,4 5,7 7,9 10,6
105 Lampiran 11. Data pengamatan jumlah kromosom sel tumor
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
K(-) 49 53 53 48 47 54 50 50 53 49 50 53 49 48 49 53 48 53 50 48 49 53 51 53 47 54 48 47 48 53 49 53 54 47 51 47 50 48
Sel HeLa B-1 48 47 47 48 48 49 47 49 48 46 47 48 47 47 47 46 48 47 47 46 46 47 47 47 48 46 47 46 48 47 47 48 48 46 48 48 47 47
C-1 47 49 48 48 48 47 48 50 47 45 48 49 49 47 47 46 46 48 48 46 45 48 49 48 47 46 46 48 48 46 48 48 47 46 49 47 49 48
K(-) 48 48 50 51 48 51 51 49 49 49 51 51 48 51 50 50 52 49 48 51 49 51 47 48 51 46 50 51 51 50 48 51 51 51 46 48 48 51
Sel K562 B-1 48 49 49 50 46 47 47 48 50 46 46 48 48 49 48 50 48 48 49 50 46 45 47 48 48 47 47 46 46 46 49 50 51 50 46 46 48 47
C-1 48 50 49 49 44 49 48 46 51 46 50 49 48 48 49 53 48 53 50 48 49 53 51 53 47 48 54 47 53 48 49 51 47 51 46 47 50 53
Sel WEHI K(-) B-1 46 37 44 40 49 38 49 42 44 41 46 41 48 40 46 40 49 37 46 38 48 38 49 38 44 40 49 41 49 45 51 38 48 40 51 39 46 43 48 40 48 39 46 41 51 44 46 39 47 40 48 47 50 45 47 45 51 43 48 48 46 40 51 42 47 48 47 40 46 37 44 37 46 45 51 43
C-1 45 39 40 44 42 41 46 43 41 42 39 39 40 42 43 48 43 40 40 42 41 44 46 40 41 42 40 38 41 49 45 46 47 47 40 48 48 45
106 Data pengamatan jumlah kromosom sel tumor (sambungan)
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 Jml Rataan SD Modus 2 n± 2 n+
Sel HeLa K(-) B-1 C-1 53 48 48 50 48 48 51 46 46 49 47 48 49 48 48 53 48 46 53 47 49 50 47 47 49 49 47 54 47 48 51 48 46 53 50 46 2524 2368 2371 50,48 47,36 47,42 2,32 0,90 1,16 53 47 48 21 49 49 29 1 1
Sel K562 K(-) B-1 C-1 51 48 48 50 48 50 49 49 53 51 47 51 51 47 47 47 48 49 48 46 53 51 47 50 51 46 49 48 47 51 46 50 48 50 47 53 2476 2387 2475 49,52 47,74 49,5 1,62 1,45 2,34 51 48 48 22 42 28 28 8 22
K(-) 48 48 47 51 46 48 48 48 49 44 46 46 2379 47,58 2,03 46 0 50
IP
1,10
1,08
1,19
No
1,03
1,03
1,04
1,08
Sel WEHI B-1 C-1 39 48 39 44 45 47 43 49 44 44 36 37 46 37 38 46 43 42 41 40 39 40 41 41 2053 2142 41,06 42,84 3,05 3,28 40 40 39 30 11 20
1,03
Keterangan : 1. 2. 3. 4.
Kromosom sel manusia (2n=46); sel mencit (2n=40) Sel manusia (HeLa dan K-562):~diploidi(2n±):< 46-49; hiper-diploidi (2n+);50-59 Sel mencit (sel WEHI) ; ~ diploidi (2n±), < 40-43 ; hiperdiploidi (2n+), 44-53 Angka dicetak tebal menunjukkan tingkat hiper-diploidi (2n+)
1,07