KANDUNGAN ISI HUKUM WARIS ISLAM DALAM KITĀB AL-FARĀIḌ
Oleh: Arintha Ayu Widyaningrum C0209008 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS Abstrak Kitāb al-Farāiḍ merupakan salah satu naskah Melayu yang tersimpan di Houghton Library, Harvard University dalam bentuk digital. Kitāb al-Farāiḍ terdiri atas dua hukum waris, yaitu hukum waris Islam dan hukum waris yang berasal dari Betawi. Kitāb al-Farāiḍ merupakan naskah tulisan tangan/manuskrip yang berbahasa Melayu, tetapi terdapat beberapa istilah dalam bahasa Arab dan bahasa Betawi. Kitāb al-Farāiḍ ditulis pada tahun 1832. Salah satu hukum waris yang termuat di dalam Kitāb al-Farāiḍ, yaitu hukum waris Islam, dalam penelitian ini diuraikan menurut perspektif hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan Hadis. Hukum waris Islam dalam teks Kitāb al-Farāiḍ, memuat permasalahan sebagai berikut: (1) Pengertian harta warisan; (2) Ahli waris yang terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan; (3) Ahli waris dengan bagian tertentu yang diatur dalam Alquran; (4) Aṣobah; (5) Kerabat żawī ´l-arḥām; (6) Penghalang hak mewarisi; (7) Warisan untuk bapak dan ibu; (8) Warisan untuk kakek dan nenek; (9) Permasalahan sekutu; (10) Hak waris bagi orang yang memerdekakan budak; dan (11) Hak waris banci dan orang yang hilang atau tenggelam.
Kata Kunci: Kitāb al-Farāiḍ dan hukum waris Islam.
1
THE SUBSTANCE OF ISLAMIC INHERITANCE LAW IN KITĀB AL-FARĀIḌ By: Arintha Ayu Widyaningrum C0209008 Indonesian Letters Department UNS, Faculty of Cultural Sciences Abstract Kitāb al-Farāiḍ is one of the Malay manuscript stored in Houghton Library, Harvard University in digital form. Kitāb al-Farāiḍ contained two different inheritance laws: Islam-based inheritance law and Batavia-originating inheritance law. Kitāb al-Farāiḍ is a Malay manuscript, but there are some terms in Arabic and Batavia-originating language. Kitāb al-Farāiḍ written on 1823. One of the inheritance law in Kitāb al-Farāiḍ, the Islamic inheritance law described based on Islamic inheritance law according to Quran and Hadith. Islamic inheritance law viewed from Kitāb al-Farāiḍ text governed such problem as: (1) Definition of inheritance property; (2) Heir consisting of heir and heiress; (3) Heir with certain portion governed in Quran; (4) Aṣobah; (4) Żawī ‘l-arḥām; (6) Barrier of inheriting right; (7) Inheritance for father and mother; (8) Inheritance for grandfather and grandmother; (9) Alliance problem, (10) Inheritance right for those liberating slave; and (11) Inheritance right for transgender and those lost or sinking. Keyword: Kitāb al-Farāiḍ and Islamic inheritance law.
2
1. Pendahuluan Naskah Nusantara banyak yang mengandung teks keagamaan. Naskahnaskah Jawa kuno banyak dipengaruhi agama Hindu dan Budha, sedangkan naskah-naskah Melayu banyak dipengaruhi agama Islam (Siti ChamamahSoeratno, 1982:23). Naskah-naskah Melayu lama yang bercorak Islam, di antaranya adalah cerita para nabi, cerita berbingkai, dan yang berisi ajaranajaran Islam, atau disebut sebagai sastra kitab. Kelompok sastra kitab ialah kelompok karya sastra yang berisi ajaran agama; terutama ilmu tasawuf, ilmu fiqih, dan ilmu tauhid (Ahmad Taufiq 2007: 13). Ajaran ilmu fiqih salah satunya tertuang dalam naskah-naskah berisi hukum Islam, contohnya naskah hukum waris. Kitāb al-Farāiḍ merupakan salah satu naskah Melayu yang termasuk ke dalam sastra kitab, karena berisi ajaran fiqih, yaitu tentang hukum waris Islam. Naskah tersebut terdiri atas dua hukum waris yang berbeda, yaitu hukum waris Islam dan hukum waris yang berasal dari Betawi. Judul naskah ditulis pada lembar pelindung naskah dalam huruf Latin menggunakan pena hitam, akan tetapi masing-masing teks tersebut sebetulnya sudah berjudul. Teks pertama berjudul Kitāb al-Farāiḍ, sebelumnya didahului dengan bacaan basmalah (Kitāb al-Farāiḍ:1/2) dan berisi hukum waris Islam, tercantum pula hadis nabi yang berisi perintah untuk mempelajari hukum waris, dan istilahistilah dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum waris menurut Islam. Teks kedua adalah teks hukum waris yang berasal dari Betawi, ditandai dengan kalimat pembuka berbunyi: Ini naskahnya yang dari Betawi (Kitāb alFarāiḍ:22/7). Isi teks terdiri atas pasal-pasal dan banyak menggunakan istilah dalam bahasa Betawi, seperti: laki dan bini. Teks pertama yang mengandung hukum waris menurut Islam, berjudul Kitāb al-Farāiḍ dipilih untuk diuraikan isinya berdasarkan hukum waris Islam. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan informasi berkenaan dengan hukum waris yang berasal dari Betawi, kemungkinan merupakan hukum waris adat yang sudah terpengaruh Islam. Hal ini ditunjukkan pada: “Pasal yang pertama. Jikalau seorang laki-laki atau perempuan ada mati yaitu ada anaknya banyak-banyak tiada maka laki-laki atau bini yang hidup mengambil daripada harta ---- itu barang apa yang sudah dibawa
3
olehnya itu tiada sebab adatnya orang Islam campur hartanya laki bini adanya.” (Kitāb al-Farāiḍ:22/8) Penelitian difokuskan terhadap hukum waris Islam, setelah ditemukan perbedaan-perbedaan dari kedua teks hukum waris tersebut. Perbedaannya adalah: (1) bahasa dan istilah yang digunakan; (2) aturan hukum waris Islam dalam teks hukum waris Islam dituliskan secara jelas, sedangkan hukum waris Betawi dituliskan per-kasus (yakni terdapat 63 kasus) yang tertuang dalam pasal-pasal. Kelebihan teks hukum waris Islam dibandingkan dengan teks hukum waris dari Betawi adalah, karena dalam aturan hukum Islam bagianbagian harta warisan ditentukan dalam Alquran, artinya bagian yang ditentukan sudah pasti. Hukum waris Islam dalam Kitāb al-Farāiḍ menunjukkan tentang pemahaman manusia masa lampau terhadap hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma (1980:40) mengatakan, sistem hukum waris Islam adalah sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu dilakukan apabila pewaris wafat. Teks Kitāb al-Farāiḍ diketahui bersumber pada hukum waris Islam. Sumber utama dalam hukum waris Islam adalah Alquran surat An-Nisā' ayat 11-12. Hukum waris Islam atau ilmu faraid adalah ilmu yang di dalamnya ditentukan siapa yang berhak mendapat waris, siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris (http://wikipedia.com/hukum-waris/ diakses tanggal 9 Januari 2015 pukul 10.00). Penelitian ini menguraikan tata cara pembagian harta warisan secara Islam yang tertuang dalam teks Kitāb al-Farāiḍ. Penelitian ini diharapkan menambah wawasan pembaca tentang hukum waris Islam. 2. Metode Penelitian 2.1 Sumber Data dan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah yang tersimpan dalam bentuk digital di Houghton Library, Harvard University yang diunduh melalui laman http://ocp.hul.harvard.edu/ihp/.
4
Data yang digunakan adalah teks Kitāb al-Farāiḍ yang berisi dua hukum waris, yaitu hukum waris Islam dan hukum waris yang berasal dari Betawi. 2.2 Metode Penyuntingan Teks Metode penyuntingan terhadap naskah tunggal salah satunya dilakukan dengan edisi standar atau edisi kritik, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Diadakan pengelompokan kata, pembagian kalimat, digunakan huruf besar, pungtuasi, dan diberikan pula komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks (Siti Baroroh Baried, et. al, 1994:68). 2.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi katalog, yaitu dengan melakukan inventarisasi naskah. Bani Sudardi (2003:44-45) menjelaskan, ada dua cara yang dapat ditempuh dalam inventarisasi naskah yaitu melalui pencarian naskah di lapangan dan pencarian naskah melalui katalog. Pencarian naskah dilakukan melalui internet, dengan mengunduh naskah yang terdapat dalam bentuk digital di laman http://ocp.hul.harvard.edu/ihp/. Melalui studi katalog, peneliti mencari naskah-naskah sejenis yang mungkin terdapat pada direktori naskah guna memastikan apakah naskah tersebut merupakan naskah tunggal atau jamak. 2.4 Teknik Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap deskripsi naskah dan tahap analisis data. Naskah dideskripsikan dengan cara menjelaskan mengenai asal-usul naskah, nomor naskah, ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, dan ringkasan atau garis besar isi naskah. Analisis data diuraikan berdasarkan kandungan isi teks Kitāb al-Farāiḍ, yaitu uraian mengenai hukum waris Islam.
5
2.5 Teknik Penarikan Simpulan Penarikan simpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik induktif, yaitu penarikan simpulan yang didasarkan pada data-data khusus kemudian ditarik simpulan yang bersifat umum. 3. Pembahasan 3.1 Deskripsi Naskah Judul naskah, setelah dilakukan penyuntingan teks adalah Kitāb alFarāiḍ, ditunjukkan pada teks halaman pertama baris kedua (Kitāb alFarāiḍ:1/2). Naskah Kitāb al-Farāiḍ tersimpan di Houghton Library, Harvard University, dengan nomor naskah MS Indo 13. Naskah Kitāb alFarāiḍ berukuran panjang 19 cm. Jumlah halaman naskah, yaitu 63 halaman yang terdiri atas: 12 halaman pelindung depan, 44 halaman berisi teks, dan 7 halaman pelindung belakang. Bahasa naskah, secara keseluruhan menggunakan bahasa Melayu, tetapi terdapat istilah-istilah dalam bahasa Arab dan bahasa Betawi. Naskah Kitāb al-Farāiḍ dalam kondisi baik, lengkap, dan tidak ada halaman yang hilang atau robek. Tulisan naskah terbaca jelas, ditulis dengan tinta warna hitam dan tinta warna merah. Berdasarkan kolofon, naskah Kitāb al-Farāiḍ ditulis/disalin pada tahun 1247 Hijriah. Apabila dihitung dari tahun saat ini (2015), maka naskah Kitāb al-Farāiḍ berusia 184 tahun. Naskah tersebut tersimpan di Houghton Library, Harvard University, diprakarsai oleh American Board of Commissioners for Foreign Mission (Dewan Komisioner Amerika untuk Misi Luar Negeri) untuk Islamic Heritage Project. Naskah Kitāb al-Farāiḍ berisi teks hukum waris Islam dan hukum waris yang berasal dari Betawi. Teks pertama, berisi hukum waris Islam, menguraikan permasalahan pembagian warisan dari pewaris kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam. Teks kedua, berisi hukum waris yang berasal dari Betawi, memuat kasus-kasus pembagian harta dari pewaris kepada ahli waris yang disebutkan dalam pasal-pasal.
6
3.2 Isi Hukum Waris Islam dalam Kitāb al-Farāiḍ Hukum waris Islam ditinjau dari teks Kitāb al-Farāiḍ, berisi permasalahan sebagai berikut. 3.2.1
Definisi Warisan Pengertian harta warisan menurut hukum waris Islam, yaitu harta setelah dikurangi untuk kelengkapan jenazah, membayar hutang-hutang pewaris, dan melaksanakan wasiatnya setidaknya sepertiga dari harta peninggalan. Berikut kutipannya. “Dan adapun jikalau ada daripada harta peninggalan mayat itu lebih daripada melengkapi mayat, // dan lebih daripada membayar hutang, dan lebih daripada meluaskan wasiatnya daripada sepertigaan daripada hartanya, maka tinggalnya itu yang empunya atas segala (w)[h]artanya.” (Kitāb alFarāiḍ:1-2) Mempelajari masalah waris atau faraid diwajibkan bagi umat Islam, agar dalam mewariskan harta kepada keturunan dan kerabatnya sesuai dengan tuntunan agama Islam. Kewajiban mempelajari ilmu faraid seperti sabda Nabi yang artinya: “Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkan kepada umat manusia” (Kitāb al-Farāiḍ:1/5-7). Kewajiban mengenai pelaksanaan wasiat terdapat pada penggalan Q.S. Al-Baqarah ayat 180 berbunyi: In taraka khaira ´lwaṣiyyatu lil wālidaini wā ´l-aqrabīna bi ´l-ma’rūf, artinya: Tinggalkanlah olehmu wasiat kepada bapak ibumu dan karib kerabat dengan cara yang baik (Kitāb al-Farāiḍ:13/4-7).
3.2.2 Ahli Waris Muh. Bagir Al Habsyi dan Muh. Ali Ash-Shabuni menyebut golongan yang berhak menerima warisan yaitu 15 dari kaum laki-laki dan 10 kaum perempuan. Golongan laki-laki antara lain: (1) anak laki-laki; (2) cucu laki-laki dari anak laki-laki; (3) bapak; (4) kakek (dari pihak bapak); (5) saudara kandung laki-laki; (6) saudara laki-laki seayah; (7) saudara laki-laki seibu; (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki; (9) anak laki dari saudara laki-laki seibu; (10) paman (saudara kandung bapak); (11) paman 7
(saudara bapak seayah); (12) anak laki-laki dari paman; (13) anak laki-laki paman sebapak; (14) suami; dan (15) laki-laki yang memerdekakan budak. Golongan perempuan antara lain: (1) anak perempuan; (2) ibu; (3) anak perempuan dari anak laki-laki; (4) nenek (ibu dari bapak); (5) nenek (ibu dari ibu); (6) saudara kandung perempuan; (7) saudara perempuan sebapak; (8) saudara perempuan
seibu;
(9)
istri;
dan
(10)
perempuan
yang
memerdekakan budak. Teks Kitāb al-Farāiḍ menyebut saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, maupun saudara perempuan seibu sebagai „saudara perempuan‟ saja. Demikian pula dengan saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki sebapak, dan saudara laki-laki seibu disebut sebagai „saudara laki-laki‟ saja. Sama halnya dengan anak laki-laki paman dan anak laki-laki paman yang sebapak, dalam teks disebut „anak laki-laki paman‟. Berikut uraiannya. Golongan penerima warisan dari pihak laki-laki ada 10, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki (atau keturunannya kebawah), bapak, kakek (atau keturunannya keatas), saudara laki-laki, keponakan laki-laki, paman, anak laki-laki paman, suami, dan laki-laki yang memerdekakan. Berikut kutipannya. “Syahdan yang beroleh pusaka daripada segala laki-laki itu yaitu sepuluh perkara. Pertama anak laki-laki dan kedua cucu laki-laki daripada anak laki-laki jikalau terkebawah sekalipun, dan ketiga bapak, dan keempat nenek laki-laki dan juga terk[e]atas sekalipun, dan kelima saudara // laki-laki yang mutlak, dan keenam anak saudara laki-laki daripada saudara laki-laki, dan ketujuh bapak muda tua mamak, dan kedelapan anak bapak muda tua mamak, dan kesembilan suami, dan kesepuluh yang memerdekakan dia.” (Kitāb al-Farāiḍ:2-3) Golongan penerima warisan dari pihak perempuan ada tujuh, yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki (ke bawah dari garis laki-laki), ibu, nenek, saudara perempuan, istri, dan perempuan yang memerdekakan. Berikut kutipannya.
8
“Dan adapun daripada sekalian perempuan yang beroleh pusaka itu yaitu tujuh orang. Pertama anak perempuan, dan kedua cucu perempuan daripada anak laki-laki jika terkebawah sekalipun, dan ketiga ibu, dan keempat nenek perempuan, dan kelima saudara perempuan, dan keenam istri, dan ketujuh perempuan yang memerdekakan dia.” (Kitāb alFarāiḍ:3) Di antara 17 orang yang disebutkan di atas, Muh. Bagir AlHabsyi menjelaskan bahwa beberapa orang yang lebih dekat kekerabatannya dapat menghalangi atau menutupi yang lainnya dari memperoleh harta peninggalan (2002:270). Kerabat paling dekat yang pasti menerima warisan, yaitu: (1) bapak, (2) ibu, (3) suami, (4) istri, dan (5) anak. Kutipannya sebagai berikut. “Bermula yang tiada gugur dengan hal itu lima orang, dan bapak dan ibu, dan kedua suami dan istri, dan ketiga anak darinya.” (Kitāb al-Farāiḍ:3) Di antara golongan ahli waris tersebut di atas, terdapat golongan yang tidak berhak menerima warisan, yaitu: a. Hamba sahaya yang belum merdeka b. Orang yang murtad c. Seorang pembunuh d. Orang yang beragama dua Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini. “Bermula yang tiada beroleh pusaka dengan hal itu empat orang, dan hamba dan barang daripada makna hamba, dan kedua orang yang murtad, dan ketiga orang yang membunuh dia, dan keempat orang yang mempunyai agama dua.” (Kitāb al-Farāiḍ:3) 3.2.3 Ahli Waris yang Memperoleh Bagian Tertentu dalam Alquran Ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam Alquran, yaitu mereka yang disebut Aṣhabul Furuḍ atau dalam teks Kitāb al-Farāiḍ disebut Żawī ´l-farḍ. Keterangan mengenai żawī ´lfarḍ terlihat pada: “Tatkala tiada daripada seorang juapun żawī ´l-farḍ dan segala aṣobah, maka diberikan sekalian masalah salah seorang mereka itu sekalian pada tempatnya yang bernama
9
yang tersebut itu menggantikan dia dengan dia kepada mayat.” (Kitāb al-Farāiḍ:12) Jumlah bagian masing-masing żawī ´l-farḍ ditentukan dalam Alquran, antara lain: (1) rub’ yaitu seperempat (1/4), (2) niṣf’ yaitu setengah (1/2), (3) ṡumun yaitu seperdelapan (1/8), (4) ṡuluṡan yaitu dua pertiga (2/3), (5) ṡuluṡ yaitu sepertiga (1/3), dan (6) sudus yaitu seperenam (1/6). a. Yang memperoleh 1/4 bagian, yaitu suami yang memiliki anak atau cucu dari istrinya yang meninggal; dan istri yang tidak mempunyai anak atau cucu dari suaminya yang meninggal. Kutipannya: “Syahdan adapun yang beroleh rub’ itu yaitu bagiannya suami serta ada anak atau serta cucu, dan bagi istri yang tia[da] empunya anak, dan cucu daripada suaminya yang mati itu.” (Kitāb al-Farāiḍ:4) b. Yang memperoleh 1/2 bagian, yaitu anak perempuan; cucu perempuan dari anak laki-laki; saudara perempuan yang seibu sebapak; dan suami yang tidak mempunyai anak atau cucu dari istrinya yang meninggal. Kutipannya: “Maka adapun yang beroleh niṣf itu yaitu lima orang yaitu anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan yang seibu sebapak, dan suami yang tiada empunya anak daripada istrinya yang mati itu, dan tiada empunya cucu dan anak dengan dia.” (Kitāb al-Farāiḍ:4) c. Yang memperoleh 1/8 bagian, yaitu istri yang ditinggalkan suami dalam keadaan mempunyai anak atau cucu. Kitāb alFarāiḍ menyebutkan bahwa suami atau istri yang ditinggalkan berhak menerima 1/8 bagian jika suami/istri tersebut memiliki anak/cucu. Kutipannya: “Bermula yang beroleh ṡumun itu yaitu ba(ha)ginya yang ada sertanya keduanya itu seperti suami dan istri ada keduanya itu anak dan cucu.” (Kitāb al-Farāiḍ:4)
10
d. Yang memperoleh 2/3 bagian, yaitu anak-anak perempuan; cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki; dan saudara-saudara perempuan yang seibu sebapak. Kutipannya: “Bermula yang beroleh daripada ṡuluṡan itu ba(ha)giannya yang lebih ia atas seorang daripada sekalian anak perempuan dan sekalian cucu perempuan daripada anak laki-laki dan sekalian saudara perempuan seibu sebapak anak yang sebapak.” (Kitāb al-Farāiḍ:4) e. Yang memperoleh 1/3 bagian, yaitu yang bersama-sama dengan anak dan cucu; dua orang saudara atau lebih baik lakilaki atau perempuan; ibu; dan kakek. Berikut kutipannya. “Bermula yang beroleh ṡuluṡ itu ba(ha)ginya tiga orang jua: Pertama itu yang bersama-sama daripada anak dan cucu, dan daripada dua orang pada sekalian saudara lakilaki atau daripada sekalian saudara perempuan, dan yaitu ba(ha)giannya orang dua atau lebih daripada anak, ibu dan ba(ha)giannya nenek laki-laki, serta sekalian saudara laki-laki itu ada ia terlebih daripada sekalian ba(ha)giannya.” (Kitāb al-Farāiḍ:5) Berbeda dengan Kitāb al-Farāiḍ, Muh. Ali Ash-Shabuni (2013:52-54) menjelaskan bahwa aṣhabul furuḍ yang berhak menerima 1/3 bagian adalah ibu dan dua saudara (baik lakilaki atau perempuan) yang seibu. Ibu berhak mendapatkan 1/3 bagian jika tidak mempunyai keturunan dari anak laki-laki; dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih. Saudara lakilaki dan saudara perempuan berhak mendapat 1/3 bagian, jika pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai ayah atau kakek; jika jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih. f. Yang memperoleh 1/6 bagian, yaitu bapak; ibu; saudara lakilaki atau saudara perempuan; cucu perempuan dari anak perempuan maupun anak laki-laki; anak perempuan dan saudara perempuan sebapak; saudara perempuan seibu sebapak; nenek. Berikut kutipannya. “Bermula yang beroleh sudus itu yaitu tujuh orang yaitu: Bapak dan lain serta ada anak atau cucu, dan ibu serta 11
yang demikian itu dan daripada dua orang yang dua daripada sekalian saudara laki-laki, dan sekalian saudara perempuan. Dan jikalau tiada beroleh pusaka mereka itu sekalipun, dan cucu perempuan daripada perempuan atau sekalian daripada cucu perempuan daripada anak lakilaki serta anak perempuan, dan saudara perempuan sebapak serta saudara perempuan seibu sebapak, serta yang demikian itu yang seorang daripada anak ibu dan nenek.” (Kitāb al-Farāiḍ:5) 3.2.4
Aṣobah Aṣobah adalah ahli waris yang merupakan kerabat terdekat dari pihak ayah atau pihak laki-laki yang bagiannya tidak ditentukan. Aṣobah biasanya menghabiskan sisa harta warisan setelah diberikan kepada żawī ´l-farḍ. Berikut kutipannya: “Syahdan adapun artinya aṣobahnya itu pada langit, sekalian laki-laki yang tiada daripada antaranya dan mayat itu perempuan dan artinya aṣobah pada syara’ itu yaitu, orang yang tiada mempunyai bagian yang tertentu daripada harta pusaka daripada ahli waris.” (Kitāb al-Farāiḍ:10) a. Jenis-jenis aṣobah: Aṣobah terbagi menjadi dua yaitu: aṣobah nasabiyah dan aṣobah sababiyah (Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:63). Aṣobah nasabiyah (karena nasab) terdiri atas: aṣobah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur perempuan); aṣobah bil ghair (menjadi aṣobah karena yang lain); dan aṣobah ma’al ghair (menjadi aṣobah bersama-sama dengan yang lain). Aṣobah sababiyah (karena sebab), menjadi aṣobah karena memerdekakan budak. Teks Kitāb al-Farāiḍ menguraikan jenis-jenis aṣobah sebagai berikut: 1) Aṣobah dengan dirinya sendiri yaitu anak perempuan/lakilaki; dan cucu perempuan dari anak laki-laki. 2) Aṣobah melalui laki-laki yaitu saudara perempuan yang mempunyai anak laki-laki atau bapak; serta saudara yang seibu sebapak. 3) Aṣobah bersama orang lain yaitu saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja yang bersama dengan anak
12
perempuan; cucu perempuan dari anak laki-laki; istri; saudara; suami; dan anak perempuan dan saudara. Berikut kutipannya: “Ketahui olehmu bahwasanya aṣobah itu yaitu tiga bagi[an]: Pertama aṣobah daripada diri mereka itu, kedua aṣobah sekalian mereka itu laki-laki, ketiga aṣobah bagi yang lain daripada mereka itu. Maka yang pertama itu, yaitu anak perempuan serta adalah anak laki-laki, dan cucu perempuan daripada anak laki-laki. Maka yang kedua itu saudara perempuan dan ada anaknya laki-laki atau ada bagi bapak serta saudara bagi seibu sebapak jua. Maka yang ketiga itu, yaitu segala saudara perempuan bagi seibu sebapak atau saudara perempuan yang sebapak jua, serta ada baginya beberapa anak perempuan, dan cucu perempuan daripada anak laki-laki, dan istri, dan // saudara, dan suami, dan anak perempuan dan saudara.” (Kitāb al-Farāiḍ:10-11) b. Sisa harta jika tidak ada ahli waris. Jika tidak ada ahli waris, maka harta diberikan kepada baitulmal. Jika baitulmal tidak memiliki imam yang adil, maka hartanya diberikan kepada kerabat selain suami maupun istri, atau dikelompokkan ke dalam kerabat żawī ´l-arḥām. c. Aṣobah sababiyah Aṣobah
karena
sebab,
disebabkan
karena
memerdekakan budak. Seorang tuan dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan (Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:63). Hubungan antara mantan majikan dan mantan budak termasuk ke dalam hubungan kekerabatan yang disebut wala’, yaitu hubungan kekerabatan secara hukum antara yang membebaskan dan yang dibebaskan, maupun antara dua orang yang melakukan akad atau sumpah (Muh. Thaha Abul Ela Khalifah, 2007:437). Berikut kutipannya. “Adapun tertibnya aṣobah dengan segala walinya yaitu seperti nasab melainkan bahwasanya anaknya laki-laki yang memerdekakan dia diberikan bapaknya dan saudaranya. Dan bahwasanya saudaranya laki-laki dan saudaranya perempuan yang memerdekakan dia itu 13
diberikan ia keduanya bagiannya tuannya yang memerdekakan dia. Tatkala sudah memberi kepada Żawī l-Farḍ itu sekalian, maka setinggalnya itu aṣobah daripada bangsa maka jikalau tiada ia nasabnya maka bagi yang empunya wala’ artinya yang beroleh waris daripada mayat itu.” (Kitāb al-Farāiḍ:21) 3.2.5
Hak Waris Kerabat a. Hak Waris Kerabat (Żawī ´l-arḥām) Żawī ´l-arḥām adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris namun tidak mewarisi secara żawī ´l-farḍ dan tidak pula secara aṣobah (Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:148). Żawī ´l-arḥām menerima harta warisan apabila tidak ada ahli waris lain baik dari aṣobah, żawī ´l-farḍ dan tidak ada baitulmal yang dipercaya. Keterangan mengenai żawī ´l-arḥām terlihat dalam kutipan teks berikut. ”Syahdan jikalau tiada ada daripada matinya itu yang ahli waris daripada sekalian Islam, tatkala itu diberikan kepada baitulmal harta peninggalan mayat itu. Dan jika tiada baitulmal sebab karena imamnya tiada adil, maka bahwasanya harta itu diberikan kepada yang empunya waris yang tertentu yang lain daripada suaminya, atau lain daripada istrinya, bukan kerabat daripada keduanya itu, kerabat żawī ´l-arḥām.” (Kitāb al-Farāiḍ:11) b. Żawī ´l-arḥām terdiri atas: 1) Ayah dari ibu (kakek) 2) Ibu dari ibu (nenek) 3) Suami serta anak-anaknya 4) Adik (paman/bibi) dari ibu dan anak-anak mereka 5) Adik (paman/bibi) dari bapak dan anak-anak mereka 6) Paman atau bibi yang sebapak serta anak-anak mereka 7) Cucu dari anak perempuan serta anak-anak mereka 8) Cucu perempuan dari anak laki-laki 9) Keponakan dari saudara seibu 10) Keponakan perempuan dari anak laki-laki 11) Keponakan perempuannya paman atau bibi dari bapak 12) Keponakan dari saudara perempuan 14
3.2.6
Penghalang Hak Mewarisi Ahli waris yang terhalang dari menerima warisan, uraiannya dijelaskan dalam Bābu´l-ḥijāb (Kitāb al-Farāiḍ:14). Para ahli waris yang terhalang dari menerima warisan, diantaranya: a. Kakek atau nenek terhalang oleh bapak dan ibu. b. Cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki, terhalang oleh anak laki-laki. c. Keturunan perempuan dari anak laki-laki terhalang karena ada dua atau lebih saudara perempuan, kecuali keturunan tersebut laki-laki maka dianggap sebagai aṣobah. d. Saudara perempuan yang sebapak, terhalang oleh dua saudara perempuan yang sebapak seibu. Kecuali saudara perempuan yang sebapak memiliki saudara laki-laki. e. Saudara laki-laki yang seibu menghalangi bapak, nenek, anak, dan cucu dari anak laki-laki. f. Saudara laki-laki seibu sebapak menghalangi bapak. g. Anak laki-laki, anaknya anak laki-laki (cucu laki-laki) menghalangi yang dibelakangnya yang termasuk aṣobah, diantaranya: 1) saudara laki-laki seibu sebapak, 2) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, 3) paman/bibi yang seibu sebapak dengan bapak, 4) paman/bibi yang sebapak dengan bapak; serta anak-anak dan cucu mereka h. Aṣobah terhalang oleh żawī ´l- farḍ yang menghabiskan. i. Orang yang memerdekakan terhalang oleh aṣobah dan żawī ´lfarḍ.
3.2.7
Hak Waris Bapak dan Ibu Bab yang menjelaskan bagian warisan bagi bapak dan ibu terdapat dalam Bābu ´l-mīrāṡi ´l-abwaini (Kitāb al-Farāiḍ:15-16). Bapak dan ibu memperoleh harta yang ditinggalkan anaknya,
15
apabila anaknya mempunyai anak atau cucu laki-laki maupun perempuan. a. Bapak berhak menerima 1/6 harta warisan jika anaknya yang meninggal mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan. Muh. Bagir Al-Habsyi menjelaskan, seandainya anaknya yang meninggal itu tidak memiliki anak, maka bapak menjadi aṣobah: yakni menerima sisa warisan setelah pembagian untuk żawī ´l-farḍ; atau menerima seluruh warisan jika tidak ada żawī ´l-farḍ. b. Ibu dapat menerima harta warisan sebanyak 1/3 atau 1/6 bagian, apabila: (1) anaknya yang meninggal itu mempunyai anak, atau cucu dari anak laki-laki, atau dua saudara kandung, maka ibu mendapat 1/6 bagian; (2) ahli waris yang ada hanya ibu, ayah, dan suami, maka ibu hanya mendapat 1/3 bagian. 3.2.8
Hak Waris Kakek Bab yang menjelasan tentang bagian warisan bagi kakek terdapat dalam Bābu ´l-mīrāṡu ´l-jad (Kitāb al-Farāiḍ:16-17). Kakek berhak menerima warisan apabila bersama-sama dengan saudara laki-laki maupun saudara perempuan, karena dalam menerima hak waris sama kedudukannya seperti saudara atau anak laki-laki yaitu dua kali lipat bagian seorang saudara atau anak perempuan. Pada masalah akdariyat, yang pembagiannya menurut kesepakatan para fukaha adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan (Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:99). Kasus akdariyat, misalnya: Suami mendapat 1/2 bagian, ibu mendapat 1/3 bagian, dan kakek mendapat 1/6 bagian. Selanjutnya, agar saudara kandung perempuan memperoleh bagian, hak saudara kandung perempuan disatukan dengan saham kakek, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Setelah disahkan, masalahnya menjadi 27 dengan rincian: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu mendapat enam (6) bagian, kakek
16
mendapat delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian. Pernyataan tersebut senada dengan kutipan berikut. “Dan tiada diberikan fariḍah itu pada saudara perempuan itu serta nenek melainkan pada masalah a[k]dariyat dan yaitu suami, dan ibu, dan saudara perempuan karena seibu sebapak atau yang sebapak jua maka suami itu beroleh niṣf dan ibu itu beroleh ṡuluṡ, maka nenek itu beroleh sudus, dan bagiannya saudara perempuan itu niṣf maka diuraikan masa’ilah itu kepada sembilan bagian. Dan himpunkan saudara perempuan itu dan bagiannya nenek itu empat bagi[-an] maka // dijadikan akan dia pada antara keduanya itu atas tiga bagian dan ṣaḥlah pada masalah itu daripada duapuluh tujuh bagi[an].” (Kitāb al-Farāiḍ:17-18) 3.2.9
Hak Waris Nenek Bab yang menjelaskan harta warisan bagi nenek terdapat dalam Bābu ´l-mīrāṡu ´l-jadāt (Kitāb al-Farāiḍ:18). Nenek berhak menerima 1/6 dari harta jika cucunya yang meninggal tersebut tidak mempunyai ibu; dan jika nenek itu berada di antara dua orang perempuan
dalam
pertalian
kekeluargannya
dengan
yang
meninggal dunia, maka nenek tidak berhak mendapat warisan. Berikut kutipannya. “Bābu ´l-mīrāṡu ´l-(ḥ)[j]adāt. Bab ini pada menyatakan pusaka nenek perempuan. Bermula adapun nenek perempuan itu beroleh bagian daripada sudus yaitu sebagi[-an] daripada sudus. Jikalau nenek itu ada ia daripada harta dan ibu itu terlebih hampir maka adalah yang beroleh sudus itu yaitu bagi nenek perempuan, dan jika ada harta itu daripada bapak dahulu dan daripada ibu terlebih hampir daripada derajat seorang atau ada keduanya itu pada derajat seorang maka tiada beroleh pusaka nenek itu serta ada anaknya perempuan si mayat itu karena itu akan gantinya dan lagi tiada ia beroleh bagian serta ada anaknya laki-laki yang akan menggantikan dia.” (Kitāb al-Farāiḍ:18) 3.2.10 Permasalahan kolektif Permasalahan
kolektif
dijelaskan
dalam
Bābu
´l-
musyarakat. Masalah kolektif ini disebut juga masalah sekutu yaitu persekutuan dalam menerima harta warisan. Sekutu itu misalnya suami dan ibu, dua orang saudara laki-laki seibu saja, dan dua 17
orang saudara kandung laki-laki. Suami mendapat 1/2 bagian, ibu mendapat 1/6 bagian, dan dua saudara kandung laki-laki mendapat 1/3 bagian. Berikut kutipannya. “Bābu ´l-musyarakat. Bab ini pada menyatakan masalah sekutu. Bermula yang sekutu itu seperti suami dan ibu, dan saudara laki-laki dua orang yang seibu, dan sekalian saudara laki-laki yang seibu sebapak. Maka suami itu // beroleh niṣf, dan ibu itu beroleh sudus, dan saudara laki-laki yang seibu sebapak itu beroleh ṡuluṡ.” (Kitāb al-Farāiḍ:18-19) 1/6 bagian yang diperoleh ibu disebabkan pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih; dan dua orang saudara seibu mendapat 1/3 bagian. Saudara kandung laki-laki tidak mendapat bagian karena ia sebagai aṣobah, sementara harta yang dibagikan telah habis. Menurut Zaid bin Tsabit, Utsman, dan Ibnu Mas‟ud, hak waris saudara kandung digabungkan dengan hak waris saudara laki-laki seibu (Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:83-84). 3.2.11 Hak Waris Bagi Orang yang Memerdekakan Budak Bab yang menjelaskan bagian harta warisan bagi orang yang memerdekakan budak terdapat dalam Bābu ´l-mu’tīq (Kitāb al-Farāiḍ:20). Mu’tīq secara bahasa berarti membebaskan. Bagi seorang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak, juga memperoleh harta peninggalan dari budak yang dibebaskannya seandainya mantan budaknya tersebut meninggal dunia. Hak waris yang ditinggalkan diberikan kepada orang yang memerdekakannya dan aṣobahnya, demikian pula anak, suami/istri. Orang yang memerdekakan budak, memiliki hubungan kekerabatan dengan budak yang dimerdekakannya. Hubungan kekerabatan tersebut dinamakan wala’ atau hubungan kekerabatan karena sebab, misalnya karena adanya perjanjian. 3.2.12 Hak Waris Banci dan Orang yang Hilang atau Tenggelam. a. Hak waris banci Khunṡa (banci) atau seorang yang tidak jelas jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan tidak dapat
18
memperoleh harta warisan. Hal ini karena, bagian harta warisan yang ditentukan adalah bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, sedangkan banci tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu diantaranya. Kecuali apabila telah jelas, bahwa meskipun ia laki-laki yang berperilaku seperti perempuan (atau sebaliknya) namun masih bisa dipastikan ia laki-laki (atau perempuan) berdasarkan dari arah keluarnya air seni, maka ia dapat beroleh waris. Berikut kutipannya. “Dan jangan diberi pusaka itu akan orang khunṡa melainkan dengan yakin. Dan demikian lagi barangsiapa ada sertanya khunṡa daripada segala waris yang beroleh waris. Dan demikian lagi tiada beroleh pusaka anak yang laki ditetapkan ibunya akan dia melainkan keluar ---tetapi // beroleh pusaka ia jika ada bagiannya itu nyata atas sekalian takdirnya.” (Kitāb al-Farāiḍ:21-22) b. Hak waris orang yang hilang atau tenggelam Seorang ahli waris adalah orang yang ditinggalkan oleh pewaris, yang masih dalam keadaan hidup. Seorang yang sudah meninggal tidak dapat menjadi ahli waris, tetapi merupakan pewaris. Orang yang keberadaannya tidak diketahui atau diduga meninggal atau karena tenggelam, tidak mendapat harta warisan sampai diketahui keberadaannya atau ditemukan dalam keadaan hidup. Berikut kutipannya. “Adapun diperhentikan bagiannya orang yang gaib, hingga ia datang atau nyata halnya, atau mayatnya, atau harap akan hidupnya, atau tenggelam kedalam air. Dan barangsiapa syubḥat atau musyki[l] akan matinya mereka itu tiada beroleh waris setengah mereka itu daripada setengahnya.” (Kitāb al-Farāiḍ:22) 4. Penutup Keseluruhan aturan hukum kewarisan Islam dalam Kitāb al-Farāiḍ bersumber pada Alquran dan Hadis, serta pendapat Nabi dan para sahabat Nabi yang mengerti permasalahan hukum waris. Hukum waris Islam mengenal istilah al-ʹaul, yang menurut para ahli hukum Islam (fukaha) berarti, bertambahnya jumlah bagian farḍ dan berkurangnya bagian para ahli waris
19
(Muh. Ali Ash-Shabuni, 2013:100). Selanjutnya Muh. Ali Ash-Shabuni juga mengatakan apabila jumlah bagian bertambah, maka harta yang diwariskan habis sebelum semua ahli waris mendapat bagiannya. Istilah lain yaitu ar-radd, yang berarti pengembalian. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-ʹaul, yakni masih ada sisa harta sehingga dikembalikan lagi kepada żawī ´l-farḍ dengan menambah bagiannya kecuali kepada suami dan istri (2013:109). Hukum waris Islam dalam Kitāb al-Farāiḍ menjelaskan bahwa para ahli waris berhak menerima bagian harta yang ditinggalkan pewaris; mengatur siapa saja ahli waris yang berhak atau tidak berhak menerima harta peninggalan; dan jumlah bagian masing-masing ahli waris yang berhak. Ketentuan mengenai al-ʹaul dan ar-radd tersebut, tidak tercantum dalam teks Kitāb al-Farāiḍ. 5. Daftar Pustaka Ahmad Taufiq. 2007. Sastra Kitab. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Bani Sudardi. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia. Hilman Hadikusuma. 1980. Hukum Waris Adat. Bandung: Penerbit Alumni. Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah. 2007. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai. Muhammad Ali Ash-Shabuni. 2013. Hukum Waris Dalam Islam. Depok: PT. Fathan Prima Media. Muhammad Bagir Al-Habsyi. 2002. Fiqih Praktis: Menurut Alquran, As-sunnah, dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Penerbit Mizan. Siti Baroroh Baried. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Siti Chamamah-Soeratno. 1982. Memahami Karya-karya Nuruddin Arraniri. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumber Internet Hukum Waris.
(diakses tanggal 9 Januari 2015 pukul 10.00).
20