Zulkifli B. Lubis Publik
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor
KANALISASI KETEGANGAN ETNIK DAN KOMPETISI BUDAYA DALAM SEKTOR PUBLIK Zulkifli B. Lubis Departemen Antropologi Fisip USU
Abstrak:
Konflik etnik potensial terjadi dalam masyarakat majemuk ketika ragam kelompok etnik yang ada terlibat dalam suatu kompetisi penguasaan sumberdaya, termasuk sumberdaya dalam sektor-sektor publik. Tulisan ini memberikan gagasan bagaimana ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik disalurkan untuk menghindari menguatnya potensi konflik. Kanalisasi dimaksud dilakukan melalui mekanisme kultural, mulai dengan reorientasi paham tentang identitas etnik, ekspresi budaya, dan reduksi hegemoni simbol-simbol etnik dalam ruang publik.
Kata kunci: identitas etnik, ketegangan etnik, streotip etnik, ruang publik, ekspresi budaya
Pendahuluan Belakangan ini masalah etnisitas ramai dibicarakan di forum ilmiah khususnya, setelah kasus kerusuhan etnik semakin banyak mewarnai perjalanan kehidupan bangsa kita. Setelah sekian lama di masa Orba, persoalan konflik etnik sengaja dipendam, bahkan tabu dibicarakan; sekonyong-konyong kini kita terus dihadapkan pada banyak peristiwa konflik etnik di berbagai tempat, dari skala kecil hingga besar, yang berlangsung sesaat dan cepat padam hingga yang berkelanjutan, semakin kompleks dan kronis. Kita menyaksikan betapa vulgar, primitif, dan biadabnya perlakuan antarmanusia yang terlibat kerusuhan itu; dan terlebih lagi betapa alot, sulit dan berlikunya jalan yang harus ditempuh untuk memperbaiki kembali hubungan-hubungan sosial yang terlanjur putus. Peristiwa-peristiwa konflik etnik menjelma menjadi teror baru yang menghantui kehidupan sosial dalam masyarakat majemuk, layaknya bom yang siap meledak sewaktu-waktu entah di mana dan oleh siapa, kita tak tahu. Mengapa kerusuhan-kerusuhan etnik terjadi di Indonesia? Jawabannya bisa beragam, tergantung perspektif yang digunakan melihat persoalan itu. Tapi setidaknya ada dua jawaban yang mengemuka berdasarkan kajian para antropolog terhadap peristiwa kerusuhan etnik di
Ambon, Sambas-Singkawang, Medan, dan Jakarta (lihat Pelly, 1999; Suparlan, 1999; Alqadrie, 1999). Usman Pelly (1999:34) menjelaskan bahwa kerusuhan etnik berakar dari kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberikan petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan majemuk telah dilanggar dan dihancurkan. Kesenjangan itu adalah usaha rekayasa class forming rezim pemerintah Orde Baru yang menempatkan kelompok etnik pendatang tertentu pada lapisan menengah dalam proses pembentukan piramida sosial masyarakat setempat. Di sisi lain Parsudi Suparlan (1999:19), dengan menggunakan analisis kebudayaan dominan dari Edward Bruner (1974), secara implisit mengatakan bahwa pola-pola penyesuaian diri kaum migran di Ambon (yaitu orang BBM) dan Sambas (orang Madura) telah melanggar aturan main atau konvensi sosial yang dibangun di atas landasan kebudayaan dominan komunitas setempat. Alqadrie (1999) melihat kedua faktor tersebut, struktural maupun kultural, sama-sama menentukan sebagai akar konflik. Kita patut bersyukur bahwa daerah Sumatera Utara belum menjadi arena konflik etnik, dan semua kita tentu berharap tidak akan pernah terjadi di sini. Namun kita perlu berkaca dari pengalaman buruk yang terjadi di daerah
61
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
lain sebagai upaya antisipasi untuk menghindari kejadian serupa di masa datang. Meskipun kota Medan, misalnya, sebagai sebuah kota berpenduduk plural yang terpenting di Sumatera Utara sejauh ini diyakini cukup kuat menahan ancaman konflik etnik—selain karena ketiadaan kebudayaan dominan, juga struktur sosialekonomi warganya tidak terlalu senjang, kita tetap patut waspada mencermati kecenderungankecenderungan yang berkembang, khususnya yang terlihat dari menguatnya sentimen etnik yang dikemas dalam istilah “putra daerah” sebagai sesuatu yang seakan niscaya dalam implementasi otonomi daerah. Saya menangkap tumbuhnya gejala miopisme di kalangan masyarakat yang cenderung melihat bahwa keberadaan aktor dari suatu kelompok etnik di dalam pengelolaan sumberdaya publik (terutama sektor politik/birokrasi) seakan identik dengan representasi dan hegemoni kelompok etnik itu di dalam penguasaan sumberdaya publik, yang kemudian disikapi sebagai sebuah ancaman kolektif. Saya menduga hal ini muncul karena sebagian besar kita secara sadar atau tidak sadar masih mengkonsepsikan identitas etnik, ekspresi kebudayaan dan penguasaan sumberdaya sebagai suatu hal yang menyatu-padu, homogen, dan statis seperti halnya dalam komunitas etnik “tempo dulu”. Konsepsi demikian mempengaruhi kerangka fikir kita dalam menyikapi persoalan-persoalan kontemporer dalam setting sosial yang sesungguhnya sudah berubah dan cenderung semakin heterogen di era kesejagadan sekarang ini. Tulisan ini pada intinya mengulas gagasan ke arah kanalisasi ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik, khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat beragam etnik di Sumatera Utara. Terlebih dulu tentu harus dikenali sumber-sumber munculnya ketegangan etnik dan kompetisi budaya itu sendiri baru dicarikan penyalurannya (kanalisasi). Pertama akan diuraikan persoalan hubungan konsepsional antara identitas etnik, ekspresi kebudayaan dan penguasaan sumberdaya; kemudian akan dirangkai dengan gambaran tentang sumber dan potensi ketegangan etnik yang muncul di sektor-sektor publik; dan terakhir akan disajikan gagasan mengenai kanalisasi ketegangan etnik, baik yang berlangsung secara alamiah, maupun yang sifatnya memerlukan suatu rekayasa sosial. Perlu dikemukakan di sini bahwa bahan baku untuk
62
tulisan ini bukan suatu hasil penelitian yang telah dilakukan secara khusus untuk topik ini, melainkan lebih banyak didasarkan pada hasil pengamatan, pengalaman, interpretasi terhadap pengalaman kolektif yang ditemukan dalam kancah interaksi sosial, juga rujukan teoritik dari sumber pustaka. Oleh karena itu, tulisan ini lebih tepat diposisikan sebagai wacana pengantar diskusi ketimbang suatu paparan yang sudah final. Identitas Etnik, Ekspresi Budaya, dan Penguasaan Sumberdaya Dalam pengertian yang klasik, kelompok etnik (ethnic group) dipandang sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well-defined boundaries) memisahkan satu kelompok etnik dengan lainnya. Kemudian secara de facto masing-masing kelompok itu memiliki budaya yang padu (cultural homogeneity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum), maupun pola-pola hubungan antarkelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan (lihat Malinowski 1922, dalam Pelly 1998:26). Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara mereka mengekspresikan atau mengartikulasikan kebudayaannya, termasuk dalam hal bagaimana mereka mengkonsepsikan dan menata pengelolaan dan penguasaan terhadap sumberdaya (alam, ekonomi, dan politik). Kelompok-kelompok etnik pribumi yang ada di Sumatera Utara seperti Angkola, Karo, Mandailing, Melayu, Nias, Pakpak, Simalungun, Toba dan lain-lain, yang pada masa lalu menempati suatu wilayah teritorial tertentu yang relatif jelas batas-batasnya dengan segala kelengkapan dan ekspresi kebudayaannya, bisa digolongkan sebagai contoh kelompok etnik berdasarkan definisi klasik tadi. Bagaimana kelompok etnik yang berbudaya homogen tersebut menyikapi kehadiran orang luar etniknya yang berkepentingan masuk ke wilayah teritorial mereka?. Setiap kelompok etnik telah mengembangkan suatu mekanisme budaya untuk mengakomodasi hal itu, dan sesungguhnya
Zulkifli B. Lubis Publik
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor
hampir semua kelompok etnik dalam pengertian klasik tadi membuka diri untuk masuknya orang luar. Syaratnya orang luar tersebut bersedia mengikuti aturan main yang berlaku dalam komunitas setempat. Karena di sini ada kebudayaan dominan (dominant culture), maka seperti dikemukakan oleh Suparlan (1999) “para pelaku dari kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan, dan tunduk pada, aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang dominan”. Ungkapan-ungkapan seperti di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung; lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang, dan ungkapan sejenis yang diproduksi oleh setiap kelompok etnik adalah bentuk kearifan untuk mengakomodasi perbedaan atau keragaman budaya. Sepanjang pemahaman dan aturan main yang berlaku setempat dipatuhi oleh warga etnik lain, tidak akan ada ketegangan apalagi konflik etnik. Persoalan muncul ketika sejumlah kelompok etnik bertemu di dalam suatu wilayah teritorial yang tidak bisa lagi didefinisikan secara tradisional sebagai wilayah teritorial suatu kelompok etnik, misalnya di wilayah perkotaan. Kaum migran warga dari beragam kelompok etnik yang berbeda-beda itu hidup bersama di lingkungan sosial baru, berinteraksi satu sama lain, dan harus bersinggungan kepentingan dalam konteks pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya yang terbatas dan berbeda jenisnya dari sumberdaya yang mereka miliki sebelumnya di wilayah teritorial asal. Kalau di daerah asal misalnya sumberdaya utama yang menjadi rebutan adalah tanah, maka di lingkungan perkotaan bergeser menjadi sumberdayasumberdaya immaterial seperti informasi, kedudukan atau jabatan di birokrasi, jasa, dan lain sebagainya. Kalau penguasaan terhadap tanah milik suatu kelompok etnik diklaim berdasarkan alasan-alasan ideologis, mitologis dan historis; maka klaim penguasaan terhadap sumberdaya politik dan ekonomi di perkotaan (berupa jabatan, kedudukan, dsb.) bukan diperoleh dari “nenek moyang” melainkan didapatkan dari negara; dan sejatinya sumberdaya itu terkategorikan sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources), bukan communally owned resources (untuk konsep ini lihat Acheson, 1989). Sekali lagi, jika arena sosial baru di lingkungan perkotaan itu dikuasai oleh suatu
golongan yang dominan kebudayaannya, misalnya kasus kota Bandung dalam kajian Edward Bruner (1974) dan Suparlan (1972) maka biasanya para pelaku dari kelompokkelompok suku bangsa yang tidak dominan menyesuaikan diri dengan, dan tunduk pada aturan-aturan main yang ditetapkan oleh masyarakat setempat yang dominan (dalam konteks Bandung adalah budaya Sunda). Orang Batak berdasarkan kajian Bruner, dan orang Jawa dalam kajian Suparlan di Bandung menjadi cenderung seperti orang Sunda dalam upaya mereka untuk menaati aturan yang berlaku di tempat-tempat umum. Sebaliknya, jika tidak ada golongan yang memiliki kebudayaan dominan seperti kasus kota Medan, maka menurut Suparlan (1999:15) aturan-aturan main terwujud melalui tawar-menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari proses-proses interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi. Aturan-aturan yang telah mantap—yang menjadi acuan bagi kelakuan yang layak dan harus ditunjukkan di tempattempat umum—dikontrol dan diwasiti oleh masyarakat setempat sebagai benar atau salah dari waktu ke waktu. Fenomena yang terjadi di Medan dengan ketiadaan suatu kebudayaan dominan menurut temuan Edward Bruner (1974) adalah kecenderungan kaum migran untuk mengelompok bersama dengan sesama warga suku bangsanya, dan memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Masing-masing kelompok suku bangsa menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempat umum mereka saling berkompetisi dengan mengaktifkan kesuku-bangsaannya. Asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di perkotaan, yang menghimpun kelompok etnik dan agama, menurut hasil penelitian Usman Pelly (1994:285) merupakan mekanisme-mekanisme adaptif untuk menjaga identitas. Tetapi dalam konteks perjuangan politis, menurut Usman Pelly, identitas etnik harus disamarkan karena tidak menguntungkan dan tidak pantas mengekspresikan kepentingankepentingan etnik sempit, terutama dalam perjuangan-perjuangan ekonomik dan sosiopolitis di tengah masyarakat kota yang majemuk.
63
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
Namun terlepas dari identitas etnik itu disamarkan atau tidak, kecenderungan yang terlihat beberapa tahun terakhir ini (pasca Orba) di Sumatera Utara ialah adanya suatu anggapan bahwa keberadaan seseorang atau aktor anggota dari suatu kelompok etnik dalam jabatan-jabatan publik disikapi seakan-akan identik dengan representasi kelompok etnik itu di dalam kancah perebutan dan penguasaan sumberdaya di daerah. Bahkan ketika terjadi proses suksesi untuk jabatan-jabatan penting di pemerintahan daerah (gubernur, walikota, atau bupati), labellabel identitas etnik maupun organisasiorganisasi sosial atau asosiasi-asosiasi sukarela yang berbasis kebudayaan etnik, secara sadar dan formal turut didayagunakan sebagai salah satu alat untuk menegaskan dan membuktikan kuatnya arus dukungan publik atas pencalonan seseorang. Contoh lain, stigmatisasi terhadap Mudiyono yang orang Jawa sebagai “putra Jawa keluyuran di Sumatera” (plesetan dari Pujakesuma) ketika menjadi rival Raja Inal Siregar dalam pemilihan gubernur beberapa tahun lalu, menunjukkan bahwa identitas etnik itu tidak lagi sesuatu yang harus disamarkan dalam perjuangan politik daerah. Demikian pula dengan wacana publik yang berkembang agar gubernur pasca Raja Inal Siregar sebaiknya diberikan kepada orang Melayu menunjukkan bahwa kehadiran aktor dari suatu kelompok etnik disikapi sebagai representasi simbolik dari kelompok etnik itu secara keseluruhan. Bahkan yang paling fenomenal adalah perebutan jabatan bupati di sejumlah kabupaten yang sepertinya tertutup untuk orang yang bukan “putra daerah”. Di sini seakan muncul gejala retribalisasi, tapi bukan untuk mengangkat harkat dan kesejahteraan komunitas lokal yang termarginalisasi selama ini, melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat segelintir elit melalui pemanfaatan idiom etnik dan sentimen daerah 10 . Ketika pemahaman yang demikian sudah diterima sebagai kebenaran oleh sebagian besar warga masyarakat di Sumatera Utara, 10
Sebuah contoh lain, dalam diskusi bertajuk “Menyoal kembali keseimbangan tradisional” dua tahun lalu di Medan, seorang pengusaha etnik Karo dengan antusias menyoal mengapa orang Karo tidak diberi kesempatan untuk duduk di jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan propinsi; karena menurut dia hal itu penting untuk meningkatkan martabat etnik Karo dalam percaturan politik daerah.
64
maka kita tengah memasuki gejala miopisme yang secara teoritik dan konseptual cenderung keliru. Lebih dari itu, kita sedang mempertajam ketegangan hubungan antar-etnik, karena kompetisi untuk menduduki suatu jabatan publik seakan disikapi sebagai kompetisi antar-etnik. Seperti akan diterangkan di bawah ini, memahami hubungan antara identitas etnik, ekspresi budaya, dan penguasaan sumberdaya dengan pola pikir “etnografi” lama, apalagi dalam setting sosial yang heterogen dan wilayah-wilayah publik yang bukan berkategori tradisional lagi, sebenarnya tidak sejalan dengan pengertian mutakhir tentang etnisitas dan hubungannya dengan ekspresi kebudayaan dan penguasaan sumberdaya. Sekelompok orang yang menggunakan suatu atribut etnik yang sama tidak dengan serta merta akan mengekspresikan kebudayaan yang sama, dan juga belum tentu mengkonsepsikan penguasaan sumberdaya untuk kepentingan kolektif kelompok pemilik atribut etnik itu. Oleh karena itu, presensi seseorang dalam suatu jabatan publik tidak selalu relevan untuk dikaitkan dengan representasi kelompok etnik tertentu. Identitas Etnik sebagai Jati Diri Konsep kelompok etnik “tempo dulu” yang dikemukakan di atas sebenarnya telah lama digugat oleh Fredrik Barth. Menurut Barth (1969) kelompok etnik tidak selalu merupakan suatu tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi serta wilayah teritorial yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain. Batas kelompok etnik yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial, bukan teritorial. Kelompok etnik lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya. Seseorang diidentifikasi sebagai warga suatu kelompok etnik apabila dia memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan mengenai batas-batas sosial tadi. Garis pembatas itu antara lain adalah ideologi etnik, seperti nama kelompok, kepercayaan (mitologi) terhadap keturunan dan asal-usul. Selain itu ada juga karakteristik untuk memudahkan pembedaan seperti dialek bahasa, ekologi kehidupan ekonomi, budaya material, organisasi sosial, agama, dan gaya hidup. Pengertian tentang etnisitas (kesukubangsaan) karenanya tidak lagi ditekankan pada isi kebudayaan yang dimiliki
Zulkifli B. Lubis Publik
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor
oleh kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul dalam interaksi sosial. Kajian mengenai kelompok etnik menurut Barth juga bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi kebudayaannya, tapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkenaan dengan asal muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dalam istilah lain, jatidiri itu dinamakan primordialitas, yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan atau pribadi yang secara kolektif diratifikasi dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia (lihat Geertz, dalam Suparlan 1998). Dengan pengertian yang demikian maka satu hal pasti yang tersisa dan nyaris tidak bisa dihilangkan dari identitas suatu kelompok etnik adalah jatidiri yang bersifat primordial tadi, yang ia akui dan nyatakan dalam interaksi publik. Bahwa ekspresi budaya yang ia tampilkan tidak lagi “genuine” seperti yang diasumsikan melekat sebagai ciri penanda suatu kelompok etnik asal (dalam pengertian klasik) tidak sekaligus menegasikan keanggotaannya dalam suatu kelompok etnik. Seseorang bisa saja menggunakan beragam rujukan untuk ekspresi budayanya, misalnya dari sumber agama, pendidikan, atau dari budaya etnik lain, tanpa harus kehilangan identitas dirinya. Demikianlah misalnya Nadya Hutagalung masih berhak mengaku dan diakui sebagai orang Batak Toba, meskipun ekspresi budaya yang ia tampilkan sehari-hari sudah pasti tidak lagi merujuk kepada budaya Batak Toba. Fenomena seperti ini lazim ditemukan di dalam lingkungan sosial yang heterogen, di mana terjadi pinjam meminjam atribut kebudayaan, tetapi tidak berarti mempertukarkan identitas etnik. Kalau pemahaman seperti ini yang dianut, maka tidak harus muncul ketegangan etnik dalam lingkup interaksi sosial. Sumber-Sumber Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya Dengan uraian di atas, Saya ingin mengatakan bahwa pemahaman yang kurang pas tentang hubungan konsepsional antara identitas etnik, ekspresi kebudayaan, dan penguasaan sumberdaya, khususnya dalam konteks lingkungan sosial yang heterogen sangat potensial menjadi sumber munculnya ketegangan etnik. Kerangka pikir yang masih
menggunakan pemahaman batas-batas kesukubangsaan sebagai satu kesatuan yang padu antara wilayah teritorial, identitas etnik, ekspresi budaya, dan wilayah klaim penguasaan sumberdaya, yang tentu saja masih tersisa dalam alam pikir para migran dan kemudian ia bawa dari “tanah leluhurnya” ke lingkungan kota yang heterogen, akan potensial menimbulkan benturan dan ketegangan dengan warga dari etnik lain yang tidak bisa menerima hal itu. Menggunakan konsepsi ruang “publik” dalam konteks keruangan suatu kelompok etnik ke ruang “publik” di lingkungan sosial yang heterogen merupakan gejala yang disadari atau tidak sering ditemukan di perkotaan. Misalnya, tradisi orang Batak Toba yang jika telah berkumpul dua orang akan main catur, dan jika ketemu tiga orang akan bernyanyi di pakter tuak, seringkali dipindahkan ke lingkungan kota tanpa mempertimbangkan batas-batas audio yang bisa ditoleransi oleh publik yang heterogen. Hal itu terjadi karena tradisi bernyanyi sambil minum tuak di lingkungan budaya Batak Toba di “tanah leluhur” dapat berlaku untuk semua ruang publik yang mereka konsepsikan sesuai dengan budaya setempat. Contoh lain adalah ekspresi keberagamaan suatu komunitas, katakanlah Muslim, di suatu lingkungan pemukiman yang berpenduduk heterogen. Menghidupkan pengeras suara di masjid atau langgar, bukan hanya untuk kepentingan adzan penanda tibanya waktu sholat, tetapi untuk menguatkan kaset ceramah seorang da’i kondang, juga potensial untuk melahirkan ketegangan, karena dianggap sudah melampaui ruang-ruang publik yang dapat ditoleransi. Demikian pula ketika sebuah kantor pemerintah dihiasi dengan ornamen khas suatu kelompok etnik bisa disikapi oleh kelompok etnik lain sebagai wujud hegemoni kelompok etnik yang “berkuasa” di kantor itu dalam menguasai sumberdaya politik dan ekonomi yang terkait dengan fungsi kantor tersebut. Pemahaman demikian juga bisa timbul jika orang dari kelompok etnik lain menggunakan kerangka pikir klasik (yang memadukan identitas etnik, ekspresi budaya dan penguasaan sumberdaya). Padahal sesungguhnya bisa saja pilihan untuk penggunaan atribut etnik tersebut didasarkan pada apresiasi seni dari pejabat yang membuatnya, dan sama sekali tidak ada kaitan dengan hegemoni kelompok etniknya.
65
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
Hal yang juga potensial untuk menimbulkan ketegangan etnik di Sumatera Utara adalah adanya hegemoni dalam menentukan batas-batas kelompok etnik. Bahkan masalah penentuan jatidiri atau identitas etnik itu sudah pernah memunculkan konflik pada awal tahun 1920-an antara orang Mandailing dengan orang Angkola yang pada mulanya berafiliasi dan mengidentifikasi diri sebagai orang Mandailing tapi kemudian berubah ketika orang Angkola mengaku diri sebagai orang Batak. Konflik itu terjadi dalam konteks pemanfaatan tanah wakaf (pekuburan) di Sungai Mati Medan, yang sesuai aktenya diperuntukkan bagi sekalian bangsa Mandailing 11 . Hegemoni makna yang diciptakan oleh akademisi dan peja bat kolonial Belanda tentang Batak yang terdiri dari beberapa subsuku seperti yang sudah lazim dikenal, yang sesungguhnya dimaksudkan untuk suatu tujuan tertentu bagi kepentingan kolonial, ternyata juga tidak selalu divalidasi dan dikukuhkan oleh pengakuan emik dari kelompok-kelompok etnik yang digolongkan sebagai subsuku Batak itu. Pemaksaan pemberian label etnik Batak kepada orang Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing, Angkola, atau yang lain, adalah pengingkaran terhadap fakta keanekaragaman untuk sekedar mengakomodasi sedikit keseragaman dari ekspresi identitas etnik dan budaya dari semua kelompok etnik itu. Sumber lain yang bisa memicu ketegangan etnik di Sumatera Utara, khususnya di Medan, adalah keengganan dari setiap kelompok etnik untuk saling belajar dan mengenali betul jatidiri kelompok etnik lain. Fakta ketiadaan kebudayaan dominan di kota ini mungkin menjadi faktor penting untuk menghalangi kemauan itu, karena setiap etnik merasa bebas mengartikulasikan ekspresi budaya etniknya, tanpa suatu kebutuhan untuk mengenali yang lain untuk keperluan adaptasi kultural. Akibatnya berkembanglah streotipstreotip etnik dan prasangka yang cenderung memandang rendah etnik lain. Streotip etnik bisa menjadi katalisator ketegangan antaretnik jika pengelolaan dan situasinya tepat, tetapi bisa juga mengeras menjadi prasangka jika diperkuat 11 Lebih jauh mengenai konflik ini dan bagaimana penyelesaiannya yang cukup elegan melalui jalur hukum (pengadilan) waktu itu dapat dibaca dalam Mangaradja Ihoetan “Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati Medan” , terbit tahun 1926.
66
adanya tekanan dari faktor-faktor lain yang bersifat struktural. Penggunaan simbol-simbol etnik dalam ruang-ruang publik khususnya berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan tempat-tempat umum yang dikonsepsikan sebagai “milik bersama” juga potensial untuk menimbulkan ketegangan etnik. Tapi harus digarisbawahi bahwa ketegangan muncul apabila kelompok etnik lain menyikapi penggunaan simbol atau atribut etnik itu sebagai wujud representasi dan hegemoni dari kelompok etnik yang memilikinya terhadap sumberdaya yang terkait dengan fungsi fasilitas publik tersebut. Pada tahun 1980-an kita menyaksikan banyak kantor-kantor pemerintah di Medan dihiasi bagian depannya dengan ornamen-ornamen khas dari kelompok etnik tertentu, yang biasanya mencerminkan golongan “penguasa” yang bermarkas di kantor itu. Pada era 1990-an kantor-kantor kelurahan dibangun pula dengan corak arsitektur khas Melayu. Kehadiran ornamen etnik dalam ruang demikian bisa berdampak positif, bisa juga negatif bagi hubungan antar-etnik. Kanalisasi Ketegangan Etnik Untuk menyalurkan suatu ketegangan etnik tentu harus disesuaikan dengan sumber atau asal muasal dari ketegangan itu. Jika problemnya adalah sesuatu yang bersifat kultural, maka mekanisme penyalurannya juga adalah mekanisme kultural. Tetapi kalau problem ketegangan itu bersumber dari hal-hal yang bersifat struktural, maka penyelesaiannya juga harus dimulai dari pembenahan struktural. Ketika Usman Pelly (1999) menyimpulkan bahwa akar dari terjadinya kerusuhan etnik di Indonesia adalah kesenjangan sosial ekonomi yang dengan sengaja direkayasa oleh pemerintah, maka penyelesaiannya tentulah menghilangkan kesenjangan itu dan meniadakan rekayasa pemerintah. Dengan demikian, proses kanalisasi konflik harus berpangkal dari kemauan pemerintah, sementara peran dari masyarakat adalah memberikan tekanan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan. Begitu pula jika akar persoalan konflik atau ketegangan bersumber dari masalahmasalah konsepsional atau kultural, maka mekanisme penyelesaiannya juga berpangkal dari pembenahan masalah-masalah kultural. Untuk konteks Sumatera Utara saya melihat
Zulkifli B. Lubis Publik
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor
bahwa sumber ketegangan etnik yang potensial mengganggu hubungan-hubungan antar-etnik lebih banyak berpangkal dari masalah-masalah kultural sebagaimana dikemukakan dengan beberapa contoh di atas. Oleh karena itu, kanalisasi ketegangan itu juga bisa dicarikan melalui saluran-saluran kultural. Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa faktorfaktor struktural juga selalu berperan meskipun dalam penampakannya yang mengemuka atau kelihatan hanya problem kultural. Beberapa hal di bawah ini dimaksudkan sebagai contoh kanalisasi ketegangan etnik dan kompetisi budaya dalam sektor publik: (a) Masalah identitas/jatidiri Kecenderungan yang berkembang abad ini berkenaan dengan masalah etnisitas adalah menguatnya sentimen-sentimen etnik, sehingga pendefinisian tentang batas-batas etnik secara konvensional tidak valid lagi. Untuk konteks Sumatera Utara hal ini juga terlihat menjelang dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, di mana masalah etnisitas menjadi bagian yang semakin penting dalam pembuatan kategori sosial untuk menentukan batas-batas golongan yang boleh ikut dan sebaiknya tidak usah ikut dalam mengelola suatu kepentingan daerah. Menurut pendapat saya, biarkan saja hal itu berkembang sampai setiap orang atau kelompok kemudian akan sadar bahwa menyatukan batas-batas etnik dengan penguasaan sumberdaya tidak selalu produktif untuk kemajuan daerah. Ketika saatnya tiba, orang akan menghargai keberadaan kelompok etnik lain, dan akan membiarkan sentimen etnik sebatas jatidiri, sementara ekspresi budaya dan penguasaan sumberdaya harus berkolaborasi dengan kelompok lain 12 . 12 Pernyataan Mangaradja Ihoetan dalam bukunya “Riwayat Tanah Wakaf bangsa Mandailing di Soengai Mati Medan” (terbit thn 1926) yang merupakan rekaman atas peristiwa konflik etnik antara orang Mandailing dengan Batak pada awal tahun 1920-an mungkin menarik untuk dikutip di sini untuk memperlihatkan betapa esensialnya masalah jatidiri bagi suatu kelompok etnik, dan bagaimana konflik yang berkenaan dengannya diselesaikan secara beradab melalui saluran hukum: ….meskipoen diatas saja seboet riwajat ini djadi peringatan kepada bangsa Mandailing, boekanlah dimaksoed soepaja pertikaian antara bangsa Mandailing dengan Batak tinggal tetap selama-lamanja beroerat berakar dalam toeboeh masing-masing pihak, hanjalah kadar djadi peringatan di belakang hari kepada toeroenantoeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnja mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing
(b). Streotip dan prasangka antar-etnik Kehidupan majemuk kota Medan telah melahirkan banyak streotip etnik. Pandanganpandangan streotifik terhadap etnik lain biasanya timbul dan kemudian menjadi pengetahuan dan pemahaman seseorang melalui proses sosialisasi di lingkungan sosial yang berkategori “kami” (in-group). Pewarisan pandangan demikian kepada anggota kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan tindak atau respon yang dianggap tepat ketika seseorang berhadapan dengan orangorang lain yang beda kategori. Julukan-julukan streotip itu hampir mengenai semua kelompok etnik yang ada di Medan. Sebagai contoh, misalnya julukan manipol untuk orang Mandailing, aceh pungo (Aceh); padang pancilok, cirik barandang, kecek Padang (Minang); batak berekor, batak makan orang, batak tembak langsung (Batak Toba); lagak Deli (Melayu); putar keling, keling mabuk (Tamil); jakon/jawa kontrak, jadel/jawa deli” (Jawa), dan lain-lain. Cukup menarik bahwa penduduk Medan memiliki saluran kanalisasi untuk mengurai potensi kebencian etnik yang ditimbulkan oleh prasangka dan streotip etnik. Meskipun sebenarnya streotip itu muncul sebagai imbas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh warga suatu kelompok etnik dalam berinteraksi dengan kelompok lain di berbagai lapangan kehidupan (sosial, ekonomi, politik) yang saling kompetitif, itoe. Dengan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaannja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja. Tentang perselisihan bangsa Mandailing dengan bangsa Batak, saja maksoedi soepaya habislah ia sampai di sini sahadja, karena punt (pokok) perselisihan jang terpenting, soedahlah tertentoe ia pada jang hak. Maka dalam oeroesan lain yang menoedjoe kepentingan bersama, diharap tetaplah bangsa Mandailing itoe soeka bersatoe hati dan tenaga dengan segenap golongan bangsa apa djoeapoen di Indonesia, dengan harapan tidak timboel lagi oesik mengoesik antara satoe sama lain jang beroedjoet pada bersakitan hati, tapi biarlah masing-masing golongan bangsa itoe mengoeroes kepentingan roemah tangga kebangsaannja, sedang dalam mentjari kepentingan bersama, ia selamanja soeka poela kerdja bersama-sama (samenwerken), karena mengingatkan itoelah sahadja yang dapat mengangkat deradjatnja Boemipoetra dalam pergaulan hidoep di doenia dan himpoenan orang-orang jang bersopan” (Ihoetan 1926:4).
67
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
warga Medan punya cara untuk mensublimasi potensi kebencian etnik tersebut melalui ceritacerita streotip etnik yang tidak lagi vulgar, melainkan kocak dan menimbulkan tawa sehingga ketegangan syaraf kendur kembali 13 . (c ) Mitos representasi kelompok etnik dalam jabatan publik Pandangan bahwa kehadiran aktor dari suatu kelompok etnik di dalam jabatan-jabatan publik sebagai representasi dari kelompok etniknya secara keseluruhan harus didorong untuk disikapi hanya sebagai mitos. Kalau secara de facto ada yang terjadi demikian, maka hal itu sesungguhnya harus dipahami sebagai wujud dari KKN, karena penyatuan identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya milik publik cenderung menimbulkan tindak manipulasi. Jika sebagian besar warga masyarakat dari berbagai kelompok etnik membenarkan dan membiarkan penyatuan identitas etnik dengan penguasaan sumberdaya tersebut, maka hal itu berarti kita sebagai kolektif bersetuju dengan praktik KKN. (d) Mengalihkan pusat kebanggan kelompok etnik dari jabatan-jabatan politis Kepentingan sebagian orang atau kelompok etnik untuk menghimpitkan identitas etnik, penguasaaan sumberdaya milik publik (khususnya bidang politik/birokrasi) dan menyikapinya sebagai wujud representasi kelompok etnik di dalam sektor-sektor publik tadi tumbuh karena kultur masyarakat kita secara umum yang memberikan penilaian tinggi pada pencapaian karir di bidang politik. Bukti yang sangat kasat mata mengenai hal ini adalah menjamurnya jumlah partai politik yang tumbuh di era reformasi. Jalur politik masih dipandang sebagai “jalan tol” untuk mobilitas vertikal. Bagaimanapun, kemunculan T. Rizal Nurdin menduduki posisi gubernur, misalnya, disikapi oleh orang Melayu sebagai peluang untuk “membangkitkan batang terendam” agar “tak hilang di bumi”; dan ini menggambarkan bahwa representasi aktor dari suatu etnik dalam jabatan publik (politik) diapresiasi sebagai hal yang sangat penting untuk pengukuhan eksistensi kelompok etnik itu dalam percaturan politik dan 13
Lebih jauh mengenai kearifan penduduk Medan dalam mengurai potensi kebencian etnik dalam konteks lingkungan sosial yang majemuk lihat tulisan Zulkifli Lubis (2000) “Cerita Etnik sebagai Katalisator Konflik Masyarakat Majemuk”, dalam Majalah BASIS Nomor 0810, Tahun ke-49, September-Oktober 2000.
68
bidang-bidang kehidupan lain. Semua kelompok etnik menurut hemat saya masih punya gambaran yang sama mengenai hal ini. Jika hal ini dilestarikan sudah barang tentu proses suksesi kepemimpinan daerah akan selalu diwarnai pergesekan-pergesekan kepentingan antarkelompok, yang di masa datang bukan hanya menimbulkan ketegangan tetapi bisa lebih parah menjadi konflik terbuka. Sebaiknya kita tak membiarkan masyarakat mengidap penyakit mental kaum petani (peasant) yang oleh George M. Foster (1955) disebut “the image of limited good”: bahwa barang-barang yang berharga itu terbatas adanya dan oleh karena itu untuk mendapatkannya seseorang atau suatu kelompok tak bisa tidak harus bertarung mengenyahkan orang atau kelompok lain. Daripada memusatkan orientasi kebanggaan etnik hanya sebatas posisi-posisi politik tadi, yang jumlahnya amat terbatas, mencapainya memerlukan gesekan-gesekan kepentingan dengan kelompok lain, dan jika kalah akan menjadi tumbal; menurut hemat saya lebih baik jika setiap kelompok etnik berupaya mengembangkan dan membangun pusat kebanggaannya sendiri, yang merefleksikan puncak-puncak pencapaian prestasi di beragam bidang di luar politik dan birokrasi. Warga suatu kelompok yang sudah mencapai suatu prestasi luar biasa atau tingkatan kemajuan tertentu diberikan penghargaan dalam berbagai wujud yang sesuai dengan ekspresi kebudayaan mereka. Alangkah indahnya kalau seorang warga Karo, sekedar sebuah contoh, yang berhasil menemukan suatu teknologi penting bagi kemajuan di bidang pertanian hortikultura diberikan penghargaan, minimal oleh komunitas Karo sendiri, sehingga mereka bangga atas karyanya. Bukankah sesungguhnya petani Karo sangat berjasa untuk menjamin penduduk Singapura, misalnya, dan penduduk negerinegeri lainnya tetap bisa makan sayur? Ketika suatu komunitas mendapatkan rasa bangganya dari prestasi-prestasi kemanusiaan yang diukir warganya, dan mendapat pengakuan dan penghargaan yang sepadan dari komunitas lain dan negara, mereka tentu tidak perlu memelototkan mata dan membuang energi untuk terus bergesekan dengan kelompok etnik lain yang berjubel menanti kesempatan meraih jabatan-jabatan politik yang memang terbatas itu. Jika masing-
Zulkifli B. Lubis Publik
Kanalisasi Ketegangan Etnik dan Kompetisi Budaya dalam Sektor
masing kelompok etnik membangun suatu orientasi baru bagi perwujudan simbol kebanggaan etniknya, potensi ketegangan etnik karena kompetisi penguasaan sumberdaya publik diasumsikan akan dapat direduksi. (e) Menumbuhkan asosiasi-asosiasi lintas batas Dengan memahami konsep kelompok etnik sebagai identitas/jati diri, mestinya orang akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda kebudayaan. Berikutnya akan lebih mudah pula mengembangkan paham multikulturalisme, sebagai kondisi prasyarat yang sangat penting untuk menumbuhkan apa yang dicita-citakan sebagai masyarakat madani (civil society). Dengan paham dan penghargaan akan keberagaman maka setiap orang akan lebih
mudah untuk memasuki banyak asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan masyarakat majemuk, sehingga akan tumbuh apa yang oleh Usman Pelly (2000) disebut sebagai akumulasi aliansi, atau oleh Sibarani (2000) dinamakan keanggotaan saling menyilang (cross-cutting affilitiation) yang akan membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-cutting loyalties). Jaring-jaring sosial yang mengikat sebanyak mungkin anggota-anggota yang beragam sudah barang tentu lebih kuat menapis ancaman terjadinya ketegangan etnik. Robert D. Putnam (1993) memperlihatkan efektivitas dari jejaring sosial yang mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat di Italia sebagai modal sosial yang secara sadar didayagunakan untuk mendorong bekerjanya demokrasi.
Daftar Pustaka Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1999.” Konflik Etnik di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 58 Thn 1999. Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press. Bruner, Edward M. 1974. “The Expression of Ethnicity in Indonesia.” Dalam Abner Cohen (ed) Urban Ethnicity. London. Foster, George M. 1955. “ Peasant Society and the Image of the Limited Good”. American Anthropologist 67. Ihoetan, Mangaradja. 1926. Riwajat Tanah Wakaf bangsa Mandailing di Soengai Mati Medan. Tanpa penerbit. Lubis, Zulkifli B. 2000. “Cerita Etnik Sebagai Katalisator Konflik Masyarakat Majemuk.” Dalam Majalah BASIS Nomor 09- 10, Thn ke- 49, September-Oktober 2000. ----- . 2000. “Mengembangkan Modal Sosial Dalam Penataan dan Penggunaan Ruang Publik”. Makalah disampaikan pada penyuluhan bertema: Kebudayaan Sebagai Perekat Bangsa, diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas Sumut. Pelly, Usman. 2000. Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota Medan. Makalah disampaikan pada seminar “Menyoal Ulang Keseimbangan Tradisional Masyarakat,” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan. ----- . 1999. “Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia: Suatu kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 58 Thn 1999. ----- . 1998. “Masalah Batas-batas Bangsa.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 54 Thn 1998. ----- . 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: Penerbit LP3ES.
69
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005
Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton:Princeton University Press. Sibarani, Robert. 1999. “Menyikapi Pluralisme.” makalah disampaikan pada seminar “Menyoal Ulang Keseimbangan Tradisional Masyarakat,” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan. Suparlan, Parsudi. 1998. “Kesukubangsaan dan Primordialitas: Program Ayam di Desa Mwapi, Timika, Irian Jaya.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 54 Thn 1998. ----- . 1999. “Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 58 Thn 1999.
70