Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
KAMI MASIH DI SINI PERJALANAN STATUS YANG BELUM USAI UNTUK PEGUNUNGAN MERATUS1 (Kajian terhadap : SK Menhutbun No. 741 /kptsII/1999 Tentang Perubahan Status Kawasan Sebagian Hutan Lindung Meratus Menjadi Hutan Produksi Terbatas )
Rahmina2 BAGIAN I. PENDAHULUAN Tulisan ini dirangkaikan dengan niat untuk mengangkat perjalanan konflik3 kawasan yang disebut Meratus. Kasus ini terjadi pada tahun 1999, tahun dimana berlaku Undang-Undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebuah babak yang dimulai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 741/kpts-II/1999 Tentang Perubahan Fungsi sebagian Kawasan Hutan Lindung Pegunungan Meratus – Sungai Hulu seluas 46. 270 hektar yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (Kalsel) Surat ini keluar sebagai respon dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan terhadap Dinas Kehutanan Propinsi yang mengirim surat No. 522.1/35/ Prog/Dinhut mengusulkan kepada Gubernur Kalsel untuk mengubah
46. 270 ha
Peta. Dok. LPMA Borneo
Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
1
2
Staff, LPMA Borneo Selatan
Chris Mitchell dalam bukunya The Sructure of International Conflict. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok ) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran yang tidak sejalan, Konflik sosial sebagai pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh dan sumber daya (saifuddin, 1986: 7). Mengacu pada pendapat Nader dan Todd secara eksplisit membedakan menjadi: pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas, dan konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.3 Pengertian tersebut menunjukan bahwa konflik adalah sesuatu yang disadari dan mengetahui karena diwujudkan dalam bentuk pelawanan dari salah satu pihak atau para pihak. Sedangkan konflik tenurial berwujud saling klaim atas lokasi yang sama, dengan alas hak yang berbeda, oleh institusi yang berbeda. Di satu pihak, masyarakat mengklaim atas dasar aturan dan/ atau hukum adat setempat yang bertumbuh kembang sejak dahulu. Dipihak lain, pemegang konsesi mengklaim atas dasar hak yang diberikan oleh negara beralaskan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal yang berlaku. (Noer Fauzi dalam Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara 1999 “Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara)
3
http://www.huma.or.id
1
Rahmina
cacthment area -DAS Batulicin menjadi kawasan hutan lindung dan disetujui oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan No. 1117/Menhutbun-VIII/1999: a. Perubahan fungsi sebagian areal hutan lindung pegunungan Meratus Sungai Amandit Hulu seluas 46.270 Ha menjadi Hak Pengusahaan Terbatas dan selanjutnya dicadangkan sebagai areal kerja HPH PT. Kodeco Timber; b. Perubahan fungsi sebagian areal HPH PT. Kodeco Timber dan HPH PT. Inhutani II seluas 66.000 Ha menjadi kawasan Hutan Lindung untuk catchment area DAS Batu Licin. Kebijakan Pemerintah –Menteri Kehutanan melalui surat keputusan tersebut, PT. Kodeco mendapat ijin seluas 46.270 Ha untuk mengusahakan hutan di kawasan Hulu Amandit dan akan melakukan pembukaan hutan dengan membangun jalan dan menentukan blok-blok tebangan melalui Rencana Karya Tahunan (RKT). Konflik muncul karena daerah/ wilayah yang dialihfungsikan itu bukannya 'daerah tak bertuan'. Wilayah yang dialihfungsikan adalah tempat berdiam masyarakat Meratus, sehingga implikasi bagi mereka adalah kehilangan hak atas hak tanah4, hal ini terjadi pada masyarakat Meratus di bagian Kotabaru yang saat ini mereka dianggap sebagai perambah sehingga terjadi penangkapan terhadap mereka5,yang paling penting adalah kehilangan bahan pokok berbagai jenis beras yang mereka sebut: banih buyung, banih sari barito, dan banih sungkai6. Kebijakan tersebut bertentangan dengan kondisi Meratus sebagai kawasan yang sejak Jaman Belanda ditetapkan sebagai cahtment area bagi KalSel dan keadaan masyarakat yang berdiam di sekitar dan dalam kawasan ini. Kebijakan tersebut berbentuk peraturan tertulis berupa perundangan yang mengatur tentang hubungan negara dengan rakyatnya serta wilayahnya (Myrna A. Safitri dalam Perspektif Antropologi Hukum dalam Kajian Kebijakan). Dalam pelaksanaannya terdapat komunitas pembuat dan pelaksana kebijakan yang disebut dengan regulatory communities oleh Miedinger (1987), kelompok ini tidak hanya organisasi birokrasi dalam hal ini institusi pemerintah tapi juga kelompok lain atau aktor aktor lain yang ikut terlibat. Istilah ini mempunyai kesamaan dengan policy communities atau istilah komunitas kebijakan dari Bennet dam Howleet (dalam Verbeeten, 1996), komunitas inilah yang berpengaruh besar dalam proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan. Kondisi demikian menimbulkan penolakan oleh masyarakat Dayak Meratus7 karena mereka telah tinggal dan hidup di kawasan tersebut dan mengelola secara turun
4
Kehilangan kewenangan pengelolaan kayuan larangan
Catatan –informasi Pak Adung, kepala Balai Limbur –Kotabaru. Penangkapan terjadi bulan April 2004, dengan tuduhan masuk dan menebang kayu di wilayah konsesi KODECO.
5
6
Catatan diskusi dengan Fauziah –guru SD di Juhu asal Balai Batu Kambar , Juli 2004
Kelompok masyarakat yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang diidentifikasikan sebagai Dayak, Mereka adalaah penduduk asli Kalimantan yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan. MP. Lambut mengemukakan bahwa istilah “Dayak”7 secara etnografi, ada 3 (tiga) tipe yang terlihat pada entitas Dayak di Pulau Borneo ini yaitu : 7
(1) Kelompok yang mongoloid yaitu kelompok yang matanya sipit, kulitnya agak cerah, hidung kecil dan rendah, berambut hitam dan lurus;
http://www.huma.or.id
2
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
temurun. Seperti yang dinyatakan Prof Dr Y. C Thambun Anyang : “Tanah menjadi tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi manusia, tempat kuburan bahkan menurut kepercayaan yang hidup dalam masyarakat adat yang mewarisi turun menurun dianggap sebagai tempat tinggal roh-roh yang dianggap sebagai penguasa tanah. Tanah yang diwarisi turun temurun pada dan bagi warga masyarakat dinilai sebagai pusaka, dipandang sebagai milik yang utama dan satu-satunya benda paling berharga, merupakan warisan atau peninggalan orang tua atau nenek moyang. Oleh karena itu mereka begitu menghormati keberadaan tanah yang mereka peroleh melalui pewarisan. Tanah bagi mereka tidak saja bernilai sejarah dan budaya juga mempunyai nilai ekonomi sebab dari tanah itu mereka menghidupi keluarga (sandang, pangan, papan) dan membiayai berbagai kegiatan sosial dan kepercayaan (ritual). Berbagai reaksi Masyarakat, dari para tokoh balai/ adat, dan pemuda melalui pertemuan di Desa Pantai Binuang – Kec. Hantakan Kab. HST pada tanggal 3-4 Desember 1999, menyepakati untuk menolak tegas segala bentuk eksploitasi sumber daya alam di hutan Meratus dan mendesak semua pihak untuk mengakui keberadaan mereka dan hukum adatnya8 dinyatakan kembali melalui musyarawarah dayak Meratus di Barabai – Kab. HST tanggal 3 maret 2000, dengan tuntutan agar hak-hak dan kedaulatan masyarakat Dayak Meratus dikembalikan, menolak PT. Kodeco untuk menjadikan kawasan hutan lindung menjadi Hutan Produksi, menolak segala bentuk eksploitasi di Meratus dan menuntut diberikan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Tidak hanya oleh masyarakat, organisasi non pemerintah atau LSM, dilakukan melalui aliansi ornop, KPA, mapala dan perorangan untuk advokasi yang berasal dari Kalsel, Kalteng dan Kaltim, solidaritas di propinsi lain ini karena pengunungan Meratus tidak hanya berada di Kalsel tapi juga Kaltim9.
PERMASALAHAN Konflik pengelolaan kawasan antara pemerintah dan masyarakat akibat keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan 741/kpts-II/1999 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas mendorong perlawanan masyarakat Dalam penelitian ini akan mencoba mencari jawaban dengan menjawab pertanyaanpertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana proses pembentukan keputusan perubahan fungsi hutan ? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan keputusan tersebut? 3. Bagaimana wilayah dan sistem penguasaan bubuhan balai yang berdiam di Pegunungan Meratus (2) Kelompok melayunoid yaitu kelompok yang berkulit sawo-mateng, bermata warna coklat, bibir agak tebal, hidung agak lebar dan rendah, rambut lurus;
(3) Melano-Austroloid yaitu yang warna kulitnya hitam legam, rambut keriting, postur tubuh agak pendek. (Kampffmeyer, 1992 : 21). Dan masyarakat yang tinggal di Kawasan Meratus termasuk Dayak dengan tipe yang kedua (2) yakni kelompok melayunoid. Pertemuan wakil masyarakat 93 balai di Meratus, Tempat Balai Pantai Binuang -Kliping Bpost Sabtu- 4 Desember 1999 dan surat Terbuka Pak Jonson Tanggal 4 Desember 1999
8
Desakan Aliansi 33 LSM, KalSelTengTim –Tuntut Pencabutan Keputusan Perubahan Meratus –Kliping Koran Dinamika Berita, Senin, 29 Nopember 1999
9
http://www.huma.or.id
3
Rahmina
4. Apa yang terjadi setelah keputusan tersebut dikeluarkan, Mengapa muncul penolakan-penolakan dan pihak mana saja yang merespon . Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan dalam 3 bulan ini tesis yang bisa dihasilkan: 1. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Meratus yang tidak mempertimbangkan sistem pengelolaan huma -gilir balik bubuhan balai telah mendorong upaya perlawanan terhadap Keputusan Menteri tersebut. 2. Status “Hutan Lindung” bagi Meratus digunakan sebagai wacana untuk menolak perubahan fungsi karena lebih memberikan akses kepada Bubuhan balai untuk menggunakan sistem gilir balik dalam pengelolaan wilayah balai dan katuannya.
LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di balai Kiyu yang berada di Desa Hinas Kiri Kec. Batang Alai Timur dan Balai Datar Ajab - Desa Hinas Kanan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
PELAKSANAAN PENELITIAN Dalam melakukan Penelitian ini, didahului dengan Lokakarya penulisan bersama untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti. Proses pendokumentasian saya lakukan dengan menginventarisir, mengumpulkan data yang telah ada kemudian mengklasifikasikan menjadi tema-tema kecil yang akan ditulis. Untuk menganalisa data yang didalamnya termasuk berbagai rangkaian peraturan, Saya berusaha tidak menulis hal-hal yang normatif, tapi mengambarkankan permasalahan dan berupaya menginterpretasikan sesuai dengan data yang ada, guna menyimpulkan hasil penelitian secara logis.
http://www.huma.or.id
4
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
BAGIAN II. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN UNTUK PENETAPAN KAWASAN 1.
Proses Pembentukan Keputusan Menteri dalam Penetapan Kawasan.
Bermula dari Dinas Kehutanan Propinsi yang mengirim surat No. 522.1/35/ Prog/ Dinhut, mengusulkan kepada Gubernur Kalsel untuk mengubah cacthment area -DAS Batulicin menjadi kawasan hutan lindung. Ditindak lanjuti dengan rekomendasi Gubernur Kalsel No. 525/0224/Eko dengan usulan yang sama, meminta agar tetap kontinuitas produksi HPH, dan saran alternatif untuk kompensasi areal pengganti HPH perusahaan tersebut. Melalui surat KDT-99/V/048 Tanggal 10 Mei 1999, PT. Kodeco mengusulkan sehubungan dengan surat Gubernur KDH Tk I KalSel No. 525/01939/Eko tanggal 27 April 1999 dan surat Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I KalSel No. 522.1/ 35/ Prog/ Dinhut tanggal 8 April 1999 tentang usulan penetapan catchment area (DAS Batulicin sebagai kawasan lindung untuk pengadaan air di KAPET Batulicin, mengusulkan kawasan seluas 54.000 Ha. (Peta Pencadangan Kompensasi areal Pengganti kawasan lindung PT.Kodeco Timber Kapet Batulicin). Diteruskan oleh Dinas Kehutanan kepada Gubernur KDH Tk I KalSel melalui surat No. 522.1/ 231/ Prog/ Dinhut dengan perihal yang sama. Oleh Gubernur melalui surat tertanggal 31 Mei 1999, No. 525/ 02240/ EKO. kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan, diantaranya menyampaikan : Ketersediaan air baku di wilayah KAPET Batulicin sangat tergantung pada kelestarian hutan yang ada pada Daerah aliran Sungai (DAS) di wilayah KAPET yaitu S. Batulicin, S.Kusan dan S. Cantung. Berdasarkan hasil penelitian oleh konsultan KAPET Batulicin, diketahui bahwa debit air sungai Batulicin yang bermuara ke kawasan industri Batuicin hanya sebesar 55,2 m3 perdetik. kondisi ini dirasakan sangat kecil dan tidak cukup untuk memenuhi keperluan air baku di wilayah KAPET. Kecilnya debit air sungai diduga akibat terganggunya fungsi hutan sebagai pengatur tata air pada cacthment area DAS Batulicin seluas ± 66.000 ha, yang saat ini dibebani areal kerja HPH PT. Kodeco Timber seluas ± 57.000 Ha dan HPH Pt. Inhutani II Sub Unit Pagatan seluas ± 9.000 Ha. Mendukung program pembangunan ruas jalan tembus Kandangan-Batu Licin yang mempunyai nilai strategis bagi pengembangan wilayah/ pembangunan KAPET Batulicin. Saat ini pembangunan ruas jalan tembus Kandangan-Batulicin tersebut belum dapat sepenuhnya dilaksanakan karena sebagian ruas jalan masih digunakan sebagian jalan angkutan kayu PT. Kodeco Timber, seperti yang disampaikan melalui surat No. 620/1429/B.PR-II/1998 Tanggal 30 September 1998. Agar kontinuitas dan pengadaan bahan baku bagi industri HPH PT. Kodeco Timber tidak terganggu, maka perlu adanya areal pengganti untuk menutupi kekurangan areal HPH PT. Kodeco Timber seluas ±57. 000 Ha yang diusulkan oleh PT. Kodeco Timber seluas ± 54.000 Ha yang sebagian merupakan kawasan hutan eks HPH PT. Fass Forest DEV dan kawasan Hutan Lindung.
http://www.huma.or.id
5
Rahmina
Terhadap areal pengganti seluas ± 54.000 Ha yang diusulkan oleh PT. Kodeco Timber tersebut, menurut hemat kami dapat dipertimbangkan untuk menjadi areal kerja HPH PT. Kodeco Timber sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Luas kawasan yang menjadi konpensasi untuk areal PT. Kodeco atau dirubah fungsinya menjadi Hutan produksi adalah ± 46.270 di Hulu Amandit, dalam Peta RTRWP No. 3 Tahun 1993 terdiri dari : a. Kawasan Lindung : ± 49.440 Ha b. Kawasan Hutan Produksi Terbatas : ± 4.560 Ha Disetujui dan ditetapkan seluas ± 46.270 ha, menurut peta pencadangan meliputi Sub Das: Amandit, Batang Alai, Sampanahan Tengah, Panghutan, Maluhu, Bantai Berangkak, dan Balangan, dalam SK disebut Amandit Hulu.
2.
Status-surat Keputusan Menteri Kehutanan dalam Sistem Hukum di Indonesia
Inti dari keputusan ini adalah “perubahan fungsi” kawasan, dimana yang sebelumnya hutan lindung menjadi hutan produksi, dan Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung. Ketentuan umum Undang-Undang 41 tahun 1997 menyatakan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 164/Kpts-II/94 Jo Nomor 419/KPts-II/94 tentang Pedoman Tukar Menukar Kawasan Hutan, yang dimaksud dengan tukar menukar kawasan hutan adalah kegiatan melepaskan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukan tanah pengganti menjadi kawasan hutan dan kegiatan melepaskan kawasan hutan tetap tersebut tidak dilakukan dengan cara realokasi fungsi hutan produksi konversi menjadi hutan lindung atau sebaliknya. Ketentuan umum UU no. 41 tahun 1997 pasal 1 ayat 3 kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk tetap dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan demikian istilah “alih fungsi “ ini sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum kehutanan sendiri, yang ada adalah “tukar menukar” dan objeknya pun jelas, bukan “kawasan hutan lindung” tapi “hutan tetap”. Dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa kawasan hutan lindung ditetapkan berdasarkan karakter hutan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dengan demikian perubahan hutan lindung pada prinsipnya tidak boleh untuk kepentingan ekonomis.10” Konsep hukum yang dikenal asas "Lex superiori derogat legi inferiori11” berlaku pada SK ini. Keluar disaat masih berlaku TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia maka kalau dilihat secara yuridis melanggar 10 Tim Aliansi Advokasi Meratus, Evaluasi Yuridis Status Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pegunungan Meratus Menjadi Hutan Produksi Terbatas, Tahun 2000 11 artinya apabila ada dua (lebih) aturan hukum yang berbeda dan mengatur hal yang sama secara bertentangan atau berbeda, maka yang berlaku adalah sumber hukum yang lebih tinggi kedudukannya
http://www.huma.or.id
6
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
Perda No. 3 tahun 1993, karena kedudukan Perda ini dalam masa berlakunya UndangUndang No. 22 Tahun 1999 lebih tinggi daripada surat keputusan Menteri. Tap MPRS 1966 diganti dengan TAP MPR Republik Indonesia No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 mengatakan: "Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Dalam tata urutan ini Perda berada di bawah keputusan presiden dan menteri adalah pembantu presiden yang mendapat wewenang dalam Undang –Undang Pokok Kehutanan untuk menetap dan membatalkan peruntukan suatu kawasan hutan. Keputusan menteri tidak bisa bertentangan dengan Perda RTRWP, dalam kasus Meratus, RTRWP tidak bisa dibatalkan dengan Peraturan/ Keputusan Menteri. Tahun 2001, Menteri Kehakiman dan HAM mengeluarkan surat No. M.UM.01.0627 tanggal 23 Februari perihal kedudukan keputusan menteri dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 disebutkan bahwa keputusan Menteri (Kepmen) yang bersifat “mengatur”tetap merupakan salah satu jenis/ bentuk peraturan perundang-undangan, dan kedudukannya berada diantara Keputusan Presiden (Keppres) dan Perda, dengan alasan Kepmen dibuat oleh Menteri sebagai pembantu Presiden dan substansi yang diatur dalam Kepmen bersifat nasional, sedangkan Perda –merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah dan mengaturnya bersama dengan Kepala Daerah dan DPRD. Surat Menteri Kehakiman tersebut masih bisa dipertanyakan statusnya karena merupakan pendapat menteri, sedangkan menteri bukan legislator. 3.
Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Keputusan Alih Fungsi Kawasan Pegunungan Meratus.
Wilayah Kalimantan Selatan adalah Propinsi terkecil di Pulau Kalimantan. Luas KalSel 3.752. 05212 Ha, luas hutan berdasarkan tata guna hutan menurut Kabupaten/ Kotamadya terdiri dari : Kabupaten/ Kotamadya
Hutan Lindung (ha)
Suaka Alam (ha)
Hutan Produksi Terbatas (ha)
Tanah Laut 13 601 48 979 6 371 Kotabaru 172 253 67 525 41 625 Banjar 93 129 22 506 11 562 Barito Kuala 10 222 60 Tapin 14 207 10 265 H.S Selatan 17 745 1 787 H.S Tengah 16 825 245 3 575 H.S Utara 49 721 14 497 Tabalong 45 033 43 293 Banjarmasin Sumber. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan
12
Hutan Produksi Tetap (ha)
Hutan Produksi yang bisa di konversi (ha)
114 759 651 166 98 530 116 562 73 136 21 350 96 677 152 844 -
47 575 461 826 10 869 3 000 -
Data BPKH Wilayah 5 KalselTeng tahun 2000
http://www.huma.or.id
7
Rahmina
Nilai realisasi ekspor Kalimantan Selatan per kelompok komoditi tahun 1998 – 2002 sebagai berikut: Produk
1998
1999
2000
2001
2002
21.025.779,14
15.238.712,65
(3,30%)
(1.82%)
12.892.056,00 (1,30)
13.175.144,67 (1,32%)
19.663.308,47 (1,82%)
Kayu
369.921.984,64 (58,10%)
357.458.554,35
475.970.216,79
(0,63%)
(48,01%)
346.241,27 (43,59%)
355.120.949,50 (32.84%)
Rotan
5.848.550,17 (0,92%)
5.245.792,83 (0,63%)
5.888.545,54 (0,59%)
7.673.696,67 (0,77%)
9.144.526,19 (0,85%)
Batubara
191.879.802,46 (30,14%)
444.135.186,23
463.207.083,29 (46,72%)
597.539.959,38 (59,68%)
673.316.812,20
(53.03%)
Perikanan
11.585.850,45 (1,82%)
14.991.5999,93 (0,05%)
21.414.707,35 (1,22%)
16.377.827,01 (1,64%)
11.251.322
Lainnya
36.449.078,33 (5,72%)
431.482,70 (0.05%)
12.065.572,57 (1,22%)
20.089.833,06 (2,01%)
12.780.500,15 (1,18)
Karet Alam
(62,27%) (0,7%)
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin
Kalsel memiliki potensi pendapatan daerah yang cukup besar dengan pertambahan nilai ekpor yang meningkat dalam kurun waktu 5 tahun meningkat 40 % dengan nilai tahun 1998; Rp. 636.711.045,19 menjadi Rp. 1.081.277.418,58 pada tahun 200213. 3.1. Pengembangan Kawasan Andalan: KAPET –Batulicin di Kalimantan Selatan Garis –garis Besar Haluan Negara tahun 1993 mengamanatkan pengembangan kawasan Barat dan Timur Indonesia secara seimbang dengan mengembangkan kawasan Timur Indonesia. Dewan Kawasan Timur Indonesia (KTI) diketuai oleh Presiden telah menetapkan 13 kawasan yang dikenal dengan Kawasan Andalan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Dengan memiliki ciri-ciri: potensi untuk cepat tumbuh, sektor unggulan yang dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya dan memerlukan dana yang besar bagi pengembangan, sehingga pengusaha diberikan kemudahan-kemudahan untuk berusaha untuk berusaha dengan perlakuan khusus dalam insentif dan kemudahan lainnya14. Batu Licin merupakan salah satu KAPET yang terpilih oleh KTI berdasarkan Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1993 Tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Keppres No. 89 Tahun 1996 Tentang Kawasan Ekonomi Terpadu dan Keppres No. 11 Tahun 1998 Tentang Penetapan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batulicin. 13 kawasan andalan di KTI yang diamanatkan untuk segera dikembangkan, agar dapat mendorong mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan regional Kalsel dan mengurangi beban pembangunan di Pulau Jawa. KAPET merupakan Dihitung berdasarkan Perhitungan Realisasi Nilai Ekspor Kalimantan Selatan Tahun 1997 – 2002, hal 1 Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Propinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin 13
14
Booklet KAPET Batulicin, hal 1
http://www.huma.or.id
8
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
proyek jangka panjang dan menjadi bagian dari segitiga pertumbuhan BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina – East Asian Growth Area). Kriteria sebagai Kawasan Andalan dimiliki oleh Batu licin dengan uraian sebagai berikut: 1. Produk Domestik Regional Bruto sebesar Rp. 980.189.192.000,-, 2. Laju pertumbuhan 6,1%/ tahun 3. PDRB berdasarkan harga yang berlaku tahun 1994 Rp. 1.040.703.276.000,-. 15 4. 12 Perkebunan besar dan kecil, 5 Pertambangan besar batubara, 7 HTI murni, 2 HTI Transmigrasi, 7 HPH dan 3 IPK didukung 11 Pelabuhan laut dan 2 Bandara Mekar Putih (runway: 1.850m, kapasitas CN-235)16. Surat Keputusan Gubernur No. 83 Tahun 1996 areal proyek KAPET disebut “SAKUPANG BALAUT”, singkatan dari 10 Kecamatan utama; Satui, Kusan Hulu, Kusan Hilir, Kelumpang Selatan, Kelumpang Tengah, Kelumpang Hulu, Batulicin, Pulau Laut Utara, Pulau Laut Barat, dan Kotabaru. Lokasi KAPET Batulicin secara astronomis terletak pada posisi 1°21’49” - 1°10’14” Lintang Selatan dan 114°19’13” - 116°33’28” Bujur Timur. Kawasan yang termasuk ke dalamnya adalah 19 kecamatan dengan luas 13.044.50 km2, yang secara geografis terbagi dua bagian besar, yaitu wilayah barat yang berupa daratan Kalimantan, serta wilayah timur yang merupakan rangkaian kepulauan.17
3.2. Kewenangan Pengelolaan Kawasan Hutan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Pelaksanaan otonomi daerah berimplikasi pada perluasan kewenangan yang kepada daerah, sehingga setiap daerah terutama daerah kabupaten mengusahakan kewenangannya untuk mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya. Seperti yang ditunjukan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 ayat (1) menyatakan “Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dengan penjelasan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya nasional adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang tersedia di daerah. Penegasan berikutnya tentang hal ini muncul kembali dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 –2004 dengan “Mendelegasikan secara bertahap wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan Undang-undang.
15
Booklet KAPET Batulicin, hal 6
Penyusunan rencana pengembangan kawasan andalan Batulicin. Proyek Pengembangan Kawasan KhususTahun anggran 1996/1997, hal 15
16
17
Selayang pandang KAPET Batulicin, 1998. Hal 6.
http://www.huma.or.id
9
Rahmina
BAGIAN III. KEBERADAAN BUBUHAN BALAI YANG BERDIAM DI PEGUNUNGAN MERATUS Satu hal yang tidak disentuh oleh SK Menhutbun No. 741/KPts-II/1999 adalah keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan yang dialih fungsikan, di kawasan ini berdiam masyarakat dayak Meratus yang selanjutnya saya sebut bubuhan balai yang hidup berkelompok menjadi balai dan telah hidup seketurunan mengelola wilayah kayuannya. Seperti dalam berbagai kesempatan dialog, Pak Jonson –sebagai Ketua Organisasi Pemuda Dayak Meratus18 menyatakan bahwa banyak pengalaman buruk masyarakat Meratus diakibatkan oleh perusahaan seperti hilangnya lahan untuk puja kayu dan huma serta menimbulkan banjir untuk wilayah sekitar bawah Meratus karena merupakan wilayah penyangga19. Sebagian kawasan Meratus bagian Hulu Amandit-Hulu Sungai Tengah pernah menjadi areal beroperasinya HPH PT. Fass Forest Indonesia dengan SK No. 174/Kpts/Um/1980 tanggal 14 Maret 1980, tahun 1986 – 1987 terjadi Banjir besar di kawasan Barabai dan sekitarnya akibat beroperasinya HPH di kawasan tersebut. Perda Propinsi No. 3 Tahun 1983 menetapkan wilayahnya ini sebagai kawasan lindung dan berlangsung hingga 1999. Selama menjadi kawasan hutan lindung, Pemerintah Kabupaten sejak Nopember 1997 hingga Maret 2001 mengeluarkan 6 surat resmi yang menyatakan bahwa hutan yang berada di kab. HST adalah Hutan Lindung, kebijakan tersebut direalisasikan dengan mengakomodir model pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Masyarakat yang berdiam di Meratus dipersilahkan mengusahakan hutan sesuai dengan kebiasaan.20 Berdasarkan hal tersebut masyarakat Meratus atau bubuhan balai memiliki akses terhadap pengelolaan kayuannya, terutama dalam mengelola huma. Menurut Maribut21, kayuan bisa dihumai kapan saja, kayuan larangan bisa dimasuki setelah perusahaan (PT. Fass Forest) tidak ada lagi sehingga mereka dapat melakukan gilir balik. 1. Sistem Pengelolaan Huma-gilir balik oleh bubuhan balai sebagai Bentuk Penguasaan Terhadap Wilayah. Pengelolaan balai dapat diketahui melalui pola kepemilikan tanah/ lahan di wilayah bubuhan balai ditentukan berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun tanah adanya bukti secara tertulis. Pola kepemilikan yang sangat beragam tergantung kepada fungsi guna lahan tersebut: 1) Tanah –di wilayah Katuan biasa: daerah atau lahan yang secara turun temurun atas kesepakatan bersama untuk dijadikan lahan bersama atau disana akan ditanami bermacam macam keperluan hidup masyarakat setempat, dapat memanfaatkanya tetapi tidak untuk dimiliki sendiri . 18
Kumpulan Kliping LPMA Borneo Selatan Tahun 1999 - 2001
19
Kliping Koran B Post sabtu, 4 Desember 1999
20
Notulensi Pelatihan Pembentukan Peraturan Desa –narasumber; bidang hukum Kab. HST, Maret 2004
21
Mantan Kepala Desa Kiyu tahun –80an, catatan lapangan tahun 2001
http://www.huma.or.id
10
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
2) Tanah Keramat: adalah daerah yang sakral/ keramat tidak boleh diganggu ataupun dirusak, tidak sembarangan orang dapat memasuki daerah ini hanya oleh tokoh tokoh balai untuk tempat upacara “Puja Kayu”, Daerah ini jauh dari pemukiman penduduk dan jenis hutannya heterogen. 3) Tanah Huma/ Tugalan dapat dimiliki oleh bubuhan balai dengan membuka lahan tersebut dari katuan menjadi ladang, ukuran luasnya adalah tak terbatas tergantung kemampuan dan memperhatikan kebutuhan anggota masyarakat lainya melalui kesepakatan balai atau antar umbun. 4) Tanah Kebun: lahan perkebunan yang memiliki usia puluhan tahun atau jenis tanaman keras seperti karet, kemiri dan jenis lainnya, lahan ini khusus untuk perkebunan. Dimiliki oleh anggota masyarakat yang telah membuka dan menanami serta memelihara. 5) Tanah Pemukiman: ditentukan bersama biasanya di suatu daerah yang landai dan terdapat aliran sungai tetapi ada juga pemukiman musiman biasanya berbentuk pondok tempat mereka berladang22 Sistem yang dikembangkan adalah tadah hujan, dilakukan secara gilir balik artinya berputar pada setiap musim tanam, satu Umbun (keluarga) setidaknya memiliki 6 lembar/ bidang untuk bertani, luasnya rata-rata 2 hingga 3 ha tiap umbun untuk tiap lemba . Perputaranya itu seperti digambarkan berikut :
3 tahun
3 tahun
3 tahun
3 tahun
3 tahun I
Sistem bahuma disebut babulik ka jurungan atau gilir balik menepis anggapan selama ini melekat pada mereka sebagai ”ladang berpindah” lebih berkonotasi negatif. Pembagian penggunaan lahan diatur seperti dibawah ini: 1) Katuan Larangan,23 adalah hutan paling dikeramatkan sebagai tempat semayam roh leluhur dan tempat samadi/ bertapa, di dalamnya terdapat pohon kayu besar dan keanekaragaman hayati lainnya terutama tanaman obat-obatan, sebagai tempat mencari binatang buruan dengan menggunakan bilah (bambu tajam yang diberi racun).
22
Laporan Hasil Studi Potensi –Aliansi Meratus Tahun 2001
23
Nama lain Kayuan Larangan: Paambungan pamujaan, katuan larangan, katuan adat
http://www.huma.or.id
11
Rahmina
Sketsa Wilayah Katuan yang biasa ditemui di Pegunungan Meratus, diambil dari contoh balai Kiyu (Dok. Pipiey –LPMA)
2) Katuan, adalah kawasan hutan sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama dengan tetap mengindahkan ketentuan hak waris dan keputusan balai. Sebagai tempat semadi/ bertapa, tanaman obat, memungut damar, pohon madu, serta kayu untuk kebutuhan rumah tangga dan penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat Kiyu (mendirikan rumah dan balai). 3) Katuan –Jurungan, terbentuk dari bekas jurungan atau lahan bekas huma/ ladang yang nantinya bisa dihumai kembali setelah jurungan berusia 9-12 tahun, dimiliki oleh perorangan. Suatu jurungan ditanami kayu manis, sungkai/ lurusan, dan karet. 4) Pehumaan; lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk menanami banih (padi) dalam jangka setahun sampai 3 tahun. bisa ditanami palawija (kacang tanah,sayuran,lombok dan pisang) atau dijadikan kebun getah, keminting, kayu manis dan buah-buahan. 5)
Kuburan keramat; tempat dikuburkannya teturunan/ pedatuan –samma, bagi siapapun yang menghumai akan mendapat malapetaka bagi keluarganya, bisa sakit atau mati, Tanaman ciri khas yang ditanam dalam kuburan keramat tersebut adalah tanaman kebun tujuh dan kayu tolak bala.
6) Pemukiman masyarakat, seperti di balai Kiyu secara berkelompok/berkumpul/ batunggal, tanah di perkampungan tersebut dibagi untuk semua umbun yang tinggal di Kiyu, seterusnya bisa menjadi hak milik dan bisa diwariskan. Tabel Kepemilikan Katuan di Kiyu dan Datar Ajab Wilayah
Jual beli
Pinjam
Disewa
Diwaris
Katuan Larangan
X
X
X
Untuk keturunan baik yang seibu ataupun sebapak
Katuan
X
√
Tidak Pernah
√
Kabun Gatah
√
√
Tidak Pernah
√
Ladang/ Kabun, Huma
√
√
Tidak Pernah
√
Balai
X
√
X
√
http://www.huma.or.id
12
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
2. Kelembagaan Balai dalam Pengelolaan Kayuan Semua kegiatan bubuhan balai dalam pengelolaan katuan diatur melalui musyawarah di balai dengan dipimpin oleh kepala padang sebagai orang yang bertanggung jawab dalam tugas-tugas mengenai kewilayahan, seperti mengetahui batasbatas wilayah kampung/ balai, mengetahui dan mengatur batas-batas huma, sawah, hutan, wilayah bagarit (berburu), kebun dan sungai, juga berwenang mengambil tindakan bila terjadi pelanggaran terhadap masalah hutan, huma dan kebun serta sungai yang terjadi dalam wilayah, mengetahui segala pemanfataan lahan dan segala hasil hutan wilayah. Selain kepala padang, bubuhan balai dipimpin oleh kepala balai, dibeberapa balai menyebutnya “damang”, berwenang dan mengatur masalah-masalah yang berkenaan dengan adat –hadat, menjalin hubungan dengan pihak luar, memimpin upacara ritual untuk segala bentuk kegiatan termasuk berhutan, berhuma, dan ladang. Pengaruh status Hutan Lindung bagi kawasan Meratus sangat besar karena status ini memberikan akses yang lebih luas bagi bubuhan balai untuk huma gilir balik.
http://www.huma.or.id
13
Rahmina
BAGIAN IV. RESPON TERHADAP KEPUTUSAN PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN Bersamaan waktu dikeluarkannya SK 741 ini pada Bulan September merupakan bulan yang menjadi waktu untuk “aruh bawanang” yakni upacara menyukuri panen yang diadakan oleh setiap balai dengan umbun-umbun yang melakukan huma. Upacara ini salah satu upacara yang paling besar, dilaksanakan antara 3 - 6 hari berturut turut dengan biaya yang cukup besar. Aruh Bawanang ini dilakukan dalam rangka menyambut panen banih ringan dan baru bisa dilaksanakan setelah seluruh tandun telah selesai mengatam24. Yakni menyelesaikan seluruh kegiatan dalam berhuma. 1.
Aksi dan Pernyataan Sikap
Berbagai reaksi muncul dari masyarakat/ bubuhan balai Meratus yang Kelompok bubuhan balai Meratus ada yang terdiri dari para tokoh adat, pemuda dan mendukung dan menyetujui keputusan alih masyarakat dayak Meratus melalui fungsi ini, “asal tidak merusak lingkungan dan hasilnya dirasakan warga setempat, kesepakatan di Desa Pantai Binuang – Kec. seandainya pegunungan Meratus terbuka Hantakan Kab. HST tanggal 3-4 Desember maka tingkat kehidupan masyarakat dan tidak seperti 1999, menyepakati untuk menolak tegas menjadi lebih baik segala bentuk eksploitasi sumber daya sekarang”. Hal ini dinyatakan seorang tokoh perempuan Dayak Meratus yang berasal dari alam di Kawasan Meratus, mendesak Desa Mangkiling yakni Ibu Sumiati beliau semua pihak untuk mengakui keberadaan adalah mantan Kepala Desa Mangkiling Kab. mereka dan hukum adatnya, sikap ini juga HST tinggal di Hantakan. Ibu Sumiati kembali dinyatakan melalui Mendukung Alih Fungsi dengan keinginan agar perusahaan bisa membuka jalan di musyarawarah dayak Meratus di Barabai – Mangkiling. Beliau menjelaskan pula bahwa Kab. HST tanggal 3 maret 2000, menolak masyarakat yang tinggal di sisi Pegunungan PT. Kodeco untuk menjadikan Kawasan Meratus tidak pernah apriori terhadap hutan lindung menjadi Hutan Produksi, adanya pemanfaatan. menolak segala bentuk eksploitasi di Catatan : diskusi di LBP Barabai tahun 2000 Meratus, tuntutan serupa juga muncul pertemuan kampung tanggal 5-12 Febuari 2000 di Balai Mangkiling, Datar Ajab dan Batu Kambar yang dihadiri oleh 15 balai. Selain mengeluarkan pernyataan sikap, masyarakat Meratus dan Aliansi juga melakukan serangkaian aksi dari tahun 1999 - 2001 seperti , dialog, demo di DPRD Kab. HST dan DPRD Propinsi25 Para pihak yang juga berkepentingan terhadap keselamatan Meratus muncul dari DPRD Kalsel, Anggota DPR dan Asosiasi Perusahaan Perjalana Indonesia (APPI/ ASITA Daerah Kalimantan Selatan). ASITA, dalam suratnya tanggal 26 Nopember 1999 di Banjarmasin menyampaikan kepada Gubernur Kalsel untuk membatalkan keputusan alih fungsi dengan beberapa pertimbangan diantaranya adalah: Pariwisata yang banyak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara menempati posisi strategis, sehingga aspek penunjangnya mutlak harus dijaga kelestarian dan bahkan dikembangkan; Dan pariwisata Kalsel identik dengan HUTAN YCHI, Laporan Penelitian Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam—Masyarakat MalarisLoksado, Hal. 11 tahun 2001. 24
25
Catatan kliping berbagai media tahun 1999-2001 dan catatan pengorganisasian Rahmina tahun 2000
http://www.huma.or.id
14
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
dan ALAM yang hijau lestari, flora dan fauna beragam yang dikesankan sebagai ekosistem yang utuh dan sempurna. Exploitasi hutan Kalsel telah melampaui titik jenuh yang memprihatinkan dan sangat mengkhawatirkan kelestarian alam. Terlebih lagi apabila kita mau jujur menengok kegiatan penambangan Batubara yang cenderung lepas kontrol akan memperparah rasa pesimis kita atas kelestarian alam ini. Apabila tukar guling dan alih fungsi yang mengeksploitasi hutan di kawasan pegunungan Meratus tetap dilanjutkan, maka dapat dipastikan kerusakan kawasan dan lingkungan di sepanjang Das Amandit, Sungai Batang Alai dan Barabai akan semakin parah dengan resiko banjir dimusim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Banjar, menyatakan bahwa hutan lindung di Barabai berfungsi sebagai daerah resapan air, jika berubah fungsi menjadi HPT akan mengakibatkan penurunan debit air di danau Riam Kanan26, sebagai wilayah pendukung pembangkit listrik tenaga air yang menyuplai Kalsel (sebelum beroperasinya Pembangkit listrik tenaga uap Asam-Asam). Reaksi lain keluar dari Kepala BKPMD Kalsel –Drs H. Syachriel Darham (Sekarang Gubernur Kalsel) dalam Rapat Koordinasi tentang Hutan Lindung di Aula Bappeda, menyatakan bahwa rencana Pemda untuk mengubah fungsi kawasan Meratus tersebut harus dibatalkan, meskipun alih fungsi ini dikaitkan dengan masalah investasi namun pihaknya sejak awal proses alih fungsi di Pegunungan Meratus tidak pernah dilibatkan dan baru kali ini diundang, serta SK ini melanggar Perda No. 3 Tahun 1993 tentang RTRWP27.
2.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perlawanan Masyarakat Meratus
Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah secara tegas bersikap untuk menetapkan bahwa pegunungan Meratus yang berada di wilayahnya dipertahankan sebagai hutan lindung melalui beberapa surat resmi oleh Bupati Kepala Daerah Hulu Sungai Tengah mengeluarkan 6 surat sejak Nopember 1997 hingga Maret 2001, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun 2000. Kebijakan tersebut juga direalisasikan dengan memfasilitasi dan mengakomodir model-model pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat dan kebiasaannya. 2. 1. Pembentukan Organisasi Pemuda Dayak Meratus. Tahun 1999, Jonson Maseri bersama beberapa pemuda Meratus membentuk Organisasi Pemuda Dayak Meratus di Haruyan Dayak. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk menjaga Meratus dari segala bentuk eksploitasi Meratus dan masyarakatnya28. 2.2. Gerakan Masyarakat Adat Nusantara melalui AMAN. Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia ini didukung dengan Indigenous decade di tingkat internasional, untuk mengukuhkan gerakan ini agar memiliki perluasan pengaruh 26
Catatan Kliping Metro Banjar, 18 Nopember 1999
27
Kliping Kaltim Post, Kamis 2 Desember 1999
28
hasil wawancara dengan Pak Jonson Maseri (mantan ketua Organisasi Pemuda Dayak Meratus) Mei 2004
http://www.huma.or.id
15
Rahmina
maka dilaksanakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama kali berlangsung pada tanggal 15 Maret 1999, merumuskan “ diakuinya dengan jelas adanya keanekaragaman budaya masyarakat adat seantero nusantara, sebagaimana dirumuskan dengan istilah Bhineka Tunggal Ika, Tapi, kenyataan, kami tidak memperoleh pengakuan atas kedaulatan. Kehidupan masyarakat adat dalam Republik Indonesia mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan pada dasarnya bersumber tidak diakuinya kedaulatan masyarakat adat oleh kedaulatan Negara republik Indonesia dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraannya.” Kehadiran dan peran serta wakil mereka dalam Kongres masyarakat adat se Nusantara tahun 1999 lalu, yakni para tokoh Balai: Mido Basmi, Galimun, Sumiati, membawa semangat untuk memperjuangkan keberadaan Masyarakat Dayak Meratus sebagai komunitas yang harus diakui, dilindungi dan dijamin hak-haknya seperti warga negara lain. September 1999 diadakan sosialisasi hasil Kongres Masyarakat Adat Di Banjamasin, yang dihadiri oleh perwakilan balai-balai yang ada di Kawasan Meratus sekitar 155 balai. 2.3. Pembentukan Aliansi Advokasi Meratus Aliansi Meratus adalah sebuah forum ORNOP/ Mapala/ Kelompok Pencinta Alam (KPA) yang peduli terhadap permasalahan Kawasan Pegunungan Meratus yang dibentuk dari hasil perencanaan strategis pada tanggal 25 – 28 Nopember 1999 di Banjarmasin, yang awalnya beranggotakan 32 Ornop dan 1 individu. Dibentuk untuk menggalang dukungan dalam kasus Alih Fungsi ini sekaligus juga sebagai wadah bagi Pemerhati lingkungan, ORNOP dan Masyarakat untuk mencapai Pengelolaan Sumber daya Meratus yang berbasis masyarakat. Peran yang dilakukan AM dalam tahun 1999 – 2000, membangun gerakan untuk menolak eksploitasi SDA Meratus dan mendukung masyarakat untuk merebut hak-hak dalam pengelolaan sumber daya alam. Melakukan aksi demo, debat publik dan dialog kebjakan dengan para pihak seperti Pemerintah – Dinas Kehutanan, Gubernur dan DPRD Propinsi serta kabupaten. Bentuk dukungan ini juga tidak hanya di dapat dari Prop. KalSel tapi dari 200 Ornop, Individu dan Pemerhati lingkungan yang tersebat di seluruh Indonesia serta dukungan dari berbagai media daerah dan nasional.
KESIMPULAN Seperti telah saya uraikan tentang sebagian kawasan Meratus di Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, berubah statusnya sebagai hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas melalui sebuah Surat Keputusan Menteri Kehutanan, tanpa melihat kondisi masyarakat Meratus yang berdiam di kawasan tersebut secara turun temurun dan memiliki pola pengelolaan sumber daya alam sendiri. Inti dari Surat Keputusan ini adalah “perubahan fungsi”, dalam beberapa peraturan Kehutanan menunjukan bahwa kegiatan tukar menukar adalah kegiatan melepaskan kawasan untuk kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukan tanah pengganti menjadi kawasan hutan. dan kegiatan melepaskan kawasan tidak dilakukan dengan cara realokasi fungsi kawasan hutan. Dengan demikian istilah “alih fungsi” atau “perubahan fungsi” ini sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Kehutanan sendiri, hanya istilah : ”tukar menukar” dan objeknya bukan Hutan Lindung. Pembentukan keputusan ini dipengaruhi oleh pengembangan kawasan Timur http://www.huma.or.id
16
Kami Masih Di Sini Perjalanan Status Yang Belum Usai Untuk Pegunungan Meratus
Indonesia melalui KAPET berlakunya Otonomi Daerah. Tanpa ada keputusan yang jelas tentang nasib Meratus dan Masyarakatnya telah membuat masyarakat Meratus menggunakan wacana mempertahankan status Hutan Lindung sebagai dasar klaim dalam melawan perubahan fungsi kawasan. Pengelolaan mereka dikenal sebagai babulik ka jurungan atau gilir balik, merupakan bentuk dari bubuhan balai untuk menunjukan bahwa mereka adalah pemilik wilayah kayuan Berbagai faktor yang mendorong perlawanan masyarakat untuk tetap mempertahankan status kawasan Meratus di Hulu Sungai Tengah seperti yang telah diuraikan dalam Bagian IV disebabkan karena status Hutan Lindung bagi Meratus lebih memberikan akses kepada bubuhan balai untuk mengelola wilayah katuannya dengan menggunakan sistem gilir balik. Bagi pihak lain memberikan peluang besar untuk pengembangan pariwisata petualangan di Kalimantan Selatan, mengurangi bahaya banjir, sebagai wilayah penyangga bagi masyarakat di dalam dan sekitar pegunungan Meratus
http://www.huma.or.id
17