diri,” kata Channy. “Kalau Althea ke sini, aku akan memasukkannya ke dalam untukmu,” janji Otero. Yang dia maksud adalah Althea Ebbs, anak perempuan gemuk di kelas kami yang badannya bau dan selalu menangis. Thomas tak menjawab mereka. Aku mendengar pintu toilet tertutup. Mendengarnya mengunci pintu. Lima menit berlalu dan dia masih di sana. Lalu enam atau tujuh menit. Aku mendengarnya menyiram sejak tadi. Marie Sexton dan Bunny Borsa sudah berkalikali bangkit dari kursi untuk melihat apakah toilet kosong. “Siapa di dalam?” tanya Bunny pada kami. “Kakaknya,” kata Otero, menusukkan jempolnya padaku. “Dia buang air besar sebanyak dua ton.” “Itu atau dia lagi asyik yang lain,” kata Channy. Mereka tertawa ketika Bunny mengatai mereka babi jorok. Lalu pegangan toilet bergerak naik turun cepat sekali. “Dominick?” Itu Thomas. “Dominick?” Dia terkunci. Dia tak bisa keluar. Aku bisa mendengar kepanikan dalam suaranya, dalam gerakan pegangan pintu, dalam hantaman tinjunya berkali-kali ke pintu. Channy dan Otero tertawa tak terkendali. Marie Sexton, Susan, dan aku meneriakkan instruksi pada Thomas, tapi dia terlalu takut atau terlalu kejang untuk mengikutinya. “Aku akan muntah kalau aku tak bisa keluar dari sini!” teriaknya. Itu membuat Channy dan Otero tertawa makin keras. “Tenanglah,” kataku padanya. “Pelankan suaramu. Kau membuat keadaan lebih buruk.” “Pintu ini macet. Tak mau terbuka!” Lima atau enam anak lain kini berkerumun di belakang; semua orang meneriakkan perintah pada Thomas. Beberapa anak perempuan mengeluh sudah tak tahan lagi ingin buang air kecil. Mrs. Hanka berjalan ke belakang. Di kelas, dia lebih menyukai Thomas dibandingkan aku. Kau bisa melihatnya. Mr. Goody Twoshoes. Mr. Perfect. Tapi, sekarang dia marah pada Thomas. “Ke kiri! Dorong ke kiri!” dia berteriak kesal, dengan suara yang biasanya dia gunakan untuk Otero atau Althea Ebbs. Aku tahu situasi jadi serius ketika sopir bus menepi dan menghentikan bus. “Duduk! Duduk!” dia berteriak pada semua orang, berusaha jalan ke belakang. Aku tak percaya: kakakku yang bodoh dan idiot menghancurkan darmawisata kami ke New York City. “Bersamaan1. Gerakan pegangan pintu dan kuncinya bersama1.” teriak sopir bus pada pintu toilet yang terkunci. Dia melepas jaket seragamnya dan punggung kemejanya basah kuyup berkeringat. Wajahnya merah seperti daging panggang mentah. Kami sudah berhenti di pinggir jalan raya selama lima belas menit. “Keluarkan … aku … dari … sini!” Thomas terus berteriak. “Tolong! Tolong! KELUARKAN AKU!” Badannya terus menghantam pintu. Perutku terasa mual seperti aku berada di lift yang turun terlalu cepat. Kalau aku sampai menangis di depan Channy dan Otero, aku tak peduli apa kata orang, aku mau pindah sekolah. “Dua belas tahun aku menyopir bus,” kata sopir pada Mrs. Hanka. “Dan hanya beberapa kali aku lupa membawa peralatanku.” Dia bilang kami harus keluar dari jalan tol di pintu terdekat dan pergi ke pompa bensin. Mungkin dengan besi datar dia bisa membuka paksa pintunya. Atau mungkin pompa bensin punya bor untuk
membuka baut pegangan pintu. Kalau tidak, dia harus menelepon perusahaannya dan meminta seseorang datang dengan peralatan untuk membuka pintu bus. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan?” Tanya Mrs. Hanka. “Tiket Radio City kami adalah untuk pertunjukan pukul 14.30. Kami harus naik feri pukul 10.45 paling lambat atau kami tak bisa pergi ke Patung Liberty.” “Aku tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan, Nyonya,” kata sopir. “Aku tak bisa memberikan jaminan.” “Maafkan aku, Dominick!” teriak Thomas dari balik pintu. “Maafkan aku!” Bus keluar dari jalan tol di pintu berikutnya dan merayap di lalu lintas jalan utama yang padat. Eugene Savitsky datang ke belakang. Dia berdiri diam di sana, mencubit-cubit kursi, dan memandang pintu toilet seakan-akan itu adalah masalah ilmiah. “Suruh dia mendorong gerendel ke arah sebaliknya,” katanya padaku. “Suruh dia mendorongnya ke kanan bukan ke kiri.” “Arahnya bukan ke kanan,” kata seseorang. “Katakan saja. Mungkin dia bingung.” “Dorong ke kanan,” kataku pada Thomas. Gerendel bergeser. Pintu berderit membuka. Thomas muncul di antara suara tepuk tangan dan ejekan. Dia sangat pucat, kulitnya membiru. Awalnya dia tersenyum. Lalu wajahnya berkerut. Dan dia mulai menangis. Aku kasihan padanya. Dan marah. Dan malu. Anak-anak juga memandang padaku, bukan hanya Thomas. Si kembar Birdsey: kembar identik idiot. Aku ingin meninju senyum mengejek di wajah bodoh si kaya Channy Harrington. Menghantam hidung besar dan jelek Otero. Sopir bus berbalik di lahan parkir yang kosong dan kembali menuju jalan tol. Mrs. Hanka mengatur kembali tempat duduk kami. Sekarang Thomas dan aku duduk berdua di depan dan Otero harus duduk dengan Eugene Savitsky. Channy, Debbie Chase, dan Vvette Margritte tertawa cekikikan di belakang. Sepanjang sisa hari yang panjang itu, Thomas bertingkah keterlaluan. Di Patung Liberty, dia bilang pada Mrs. Hanka dia terlalu takut untuk masuk ke dalam. Dia memintaku menemaninya di bawah. Seorang pria berseragam meneriakiku karena melempar kerikil ke air. Setelah itu, kakakku dan aku duduk di pagar melihat pelabuhan. “Coba pikir,” kata Thomas akhirnya memecah kesunyian. “Ini persis apa yang dilihat kakek ketika dia pertama kali datang dari Italia.” “Maukah kau menolongku?” kataku padanya. “Maukah kau diam, Sialan?” Aku belum pernah bilang sialan keras-keras sebelumnya. Mengatakan itu keras-keras terasa enak. Aku merasa marah dan kejam, seperti Ray. Aku menghabiskan semua uangku. Di Radio City, aku membeli buku suvenir deluxe seharga tiga dolar yang sebenarnya tak begitu kuinginkan. Di toko suvenir di Times Square itu memang toko yang sama yang diceritakan Marie aku membeli penggaruk punggung, plakat Roger Maris dan Mickey Mantle, tarantula karet, dan muntahan palsu dari plastik. Di restoran dalam perjalanan pulang, aku memesan shrimp cocktail, T-bone steak, dan Dutch apple pie a la mode. Channy dan Otero makan hamburger mereka di pojok bersama Debbie dan Vvette. Aku terjebak di meja dengan si gemuk bodoh Eugene Savitsky dan kakakku yang bodoh dan jelek. Eugene memesan hati dan bawang bombai. Vang dimakan Thomas hanyalah sup mi ayam dan biskuit asin.
Kakak Channy, Trent, memberi tumpangan kepada Thomas dan aku ke rumah. Itu sudah direncanakan sebelumnya idenya Channy. Channy dan Trent duduk di depan, Thomas dan aku duduk di belakang. Channy tak mengatakan apa pun pada kami berdua. Dia bicara pada kakaknya, menyalakan radio keras-keras, menyebut sesuatu tentang seseorang yang mereka kenal di California yang bodoh. Aku tahu, aku tak akan lagi pergi ke rumah Channy bahwa sandwich selai kacang dan marshmaiiow dengan pinggir dipotong adalah sandwich terakhir yang dibuatkan pembantu rumah Harrington untukku. Aku tak akan lagi mencoba memukul bola dari mesin pelontar bola bisbol itu. “Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Ma pada kami di rumah. “Lumayan bagus,” kata Thomas. “Aku benar-benar suka pertunjukan Paskahnya. Bagus sekali.” Dia tak bilang apa pun tentang kejadian dia terkunci di toilet bus. Aku juga diam saja. “Dan bagaimana denganmu, Dominick?” tanya Ma. “Apa kau juga bersenang-senang?” Suvenir buku program deiuxe-ku tertinggal di bus. Seseorang duduk di penggaruk punggungku dan mematahkannya. Dari tiga puluh tujuh dolar yang kubawa, hanya tinggal delapan puluh tiga sen. Untuk sedetik aku ingin menangis. Tapi kemudian aku berhasil menguasai diri. “Membosankan,” kata-ku pada Ma. “Menyebalkan, seperti semua yang memang selalu menyebalkan.” Malam itu, aku bermimpi terperangkap di gua kecil gelap di hutan yang tak kukenal. Gelap gulita. Aku meninju-ninju dinding dan berteriak-teriak minta tolong, dan ketika akhirnya aku menemukan jalan keluar, aku sadar kalau aku tidak terperangkap di gua, tapi di dalam Patung Liberty. Sebelas Di ruang tunggu klinik medis yang fuif-music itu aku, duduk sambil membaca Newsweeks edisi berbulan-bulan lalu. Saat menunggu, aku harus menahan lirikan dan pandangan mengintip semua orang yang ingin melihat duplikat si gila dari perpustakaan. Seorang gadis remaja terus-menerus memandangi kedua tanganku. Resepsionis yang memberikan formulir asuransi untuk kutandatangani langsung menarik tangannya menjauh ketika aku mengulurkan tangan untuk mengambil pulpen. Setelah namaku dipanggil, aku menunggu di ruang periksa selama lima belas atau dua puluh menit. Lalu aku menceritakan kisahku pada Dr. Judy Yup. Dr. Yup, dengan senyum yang tak pernah meninggalkan wajahnya selama sepuluh menit memeriksaku, mengatakan bahwa aku sudah menjadi korban tindak kekerasan dan menyatakan bersedia bersaksi atas fakta ini. Dia bilang dia pernah belajar setahun di Cina dan punya teman yang terlibat demonstrasi Lapangan Tiananmen. Sepupunya, katanya, bersembunyi di Provinsi Cina Selatan sejak peristiwa itu. “Yah,” kataku, “kau tak bisa membandingkan tindakan salah satu penjaga menyebalkan di rumah sakit jiwa dengan apa yang terjadi di sana.” “Mengapa tidak?” tanyanya, senyum menghilang dari wajahnya. “Penindasan tetap penindasan.” Dale, perawat pembantu yang memfoto lukaku, menceritakan kejadian saat dia dan sepupunya dihentikan dan dikasari oleh sekelompok polisi negara bagian ketika pulang dari menonton konser Aerosmith. “Coba kalau aku pintar dan melakukan apa yang kau lakukan sekarang, Man,” katanya. “Kami pasti bisa mendapat uang banyak.” Aku tak ingin dapat uang banyak. Tapi gambaran itu mulai muncul di kepalaku: kakakku keluar melewati pintu utama Hatch, berkedip silau terkena matahari. Petugas sosial itu benar kurasa; aku memang bertindak menyebalkan semalam. Apa pun hasil dari pemeriksaan medis, Sheffer telah mempertaruhkan lehernya sendiri dengan menyarankan padaku untuk melakukannya. Memikirkan dia ada di sana, mengawasi kakakku, membuatku sedikit lega. Membuatku santai. Membuatku
mengantuk. Ketika aku kembali ke truk, aku duduk diam, hampir tertidur sebelum akhirnya aku berhasil memasukkan kunci dan menderum pergi. Dari klinik, aku mampir ke rumah Henry Rood. Sebaiknya membereskan masalah ini sekalian, kataku pada diri sendiri. Aku akan membersihkan dinding rumah itu hingga tuntas akhir pekan nanti, mengikis dan menyiapkannya untuk dicat pada minggu berikutnya. Mungkin dengan bantuan Ray, aku bisa selesai mengecat rumah tingkat tiga yang membuat sakit kepala ini saat Halloween nanti. Aku tak ingin lebih lama lagi. Suhu bulan November musuh bagi cat dinding berbahan dasar minyak; matahari hanya muncul tiga atau empat jam sehari, itu pun kalau kau beruntung. Aku juga sekalian mau meminta Rood untuk memperhalus pesan-pesannya di telepon. Aku sudah muak dengan omelannya. Pagi tadi lumayan dingin, namun sekarang udara cerah dan hangat, suhu mencapai dua puluh lima derajat Celcius. Cuaca yang sempurna untuk mengecat. Ketika aku sampai di rumah di Gillette Street itu, istri Rood, Ruth sedang duduk-duduk berjemur di beranda depan. Dengan rambut hitamnya yang kaku dan lurus serta kulitnya yang warna pastel dia sedikit mengingatkanku pada Morticia Addams. Terutama saat dia duduk di depan rumah horor gaya Victoria miliknya. Ruth tersenyum saat aku mendekat. “Aku seharusnya di dalam menilai ujian,” katanya, “tapi aku malah di sini, merayakan musim panas India.” Di sebelahnya, radio saku menyiarkan pertandingan pembukaan World Series. Saat aku bilang mau bertemu dengan Henry, Ruth bilang dia tak ingin mengganggunya. Suaminya sedang mengetik di depan komputer atau tidur siang, katanya. Atau mabuk karena alkohol, pikirku. Ruth sendiri juga sedang minum siang. Gelas dingin berembun berisikan minuman alkohol entah jenis apa ada di lantai di dekatnya. “Katakan saja, aku minta maaf karena keterlambatanku,” kataku. “Tak bisa kuhindari. Selama beberapa hari ini banyak terjadi peristiwa yang tak bisa kukendalikan.” “Ya, kami juga membacanya,” katanya. Aku melengos. “Katakan … katakan padanya mungkin aku akan menyiapkan rumah ini Rabu atau Kamis depan bergantung berapa banyak cat yang harus kukelupas.” Kukatakan aku mungkin akan menyelesaikan semuanya dan menurunkan perancah sekitar dua minggu lagi maksimal, selama cuaca menguntungkan. “Minggu depan mungkin aku sudah bisa kerja penuh,” kataku. “Jadi, katakan dia tak perlu meneleponku terus.” Saat Ruth menanyakan bagaimana kabar Thomas, aku menjawabnya sambil memandang pagar beranda mereka, dan tidak melihat ke matanya. “Dia baik-baik saja,” kataku. “Sudah mulai sembuh.” Ruth bilang saat dia masih kecil, tetangganya di Ohio mencungkil matanya sendiri. Untuk alasan religius, katanya, sama seperti kakakku. Saat itu Ruth sedang duduk di sofa, membaca buku, ketika dia mendengar istri pria itu menjerit. Kemudian, dia melihat paramedis membimbing pria itu ke ambulans, sebuah handuk melingkar di kepalanya. Dia selalu teringat betapa pria itu terlihat tenang-betapa tenangnya dia, padahal telah mencungkil matanya sendiri. Mencekam sekali, katanya. Tetangganya itu pindah tak lama kemudian-pria itu, istrinya, dan dua anak perempuan mereka. Tapi Ruth bilang dia selalu teringat pria itu. “Padahal, dia cuma tetanggaku. Jadi, aku bahkan tak bisa membayangkan apa yang kau alami,” katanya. “Yah, aku bisa dan tak bisa. Yang ingin kukatakan adalah, aku turut prihatin.” Aku mengangguk. Memandang ke matanya yang gugup dan berkedip-kedip. Simpati adalah hal yang tak kuharapkan kudapat dari tempat ini.
Ruth bertanya apakah aku mau minum rye dan jahe bersamanya. Mereka juga punya bir, katanya. Pabst Blue Ribbon. Atau gin. Tubuhnya bergetar penuh antisipasi. Aku pamit mengarang beberapa hal yang harus kulakukan. Aku mengangguk ke arah radio pertandingannya. “Jadi, kau bertaruh untuk siapa?” tanyaku. “Oh, aku penggemar Cincinnati,” katanya. “Dari dulu sekali. Ayahku sering mengajak kakakku dan aku menonton pertandingan Red Legs saat ke-cil dulu. Bagaimana denganmu?” “Yeah, Cincinnati juga kurasa. Apalagi sekarang Boston payah lagi seperti biasa. Kalau saja Clemen tidak mengamuk saat play off dan dikeluarkan, mungkin Sox yang akan bermain di Series, bukannya A’s. Terus te-rang saja, aku benci Oakland.” “Aku juga,” katanya. “Jose Canseco? Yecch.” Aku mengangguk ke arah jendela kamar kerja Rood. “Ngomong-ngomong, apa yang dia tulis di sana?” kataku. “Novel Amerika Terhebat?” Ruth menggeleng. Nonfiksi, katanya. Sebuah pembeberan. “Yeah? Apa yang dia beberkan? Tukang cat rumah?” Ruth tersenyum, jarinya bermain-main dengan kancing blusnya. Jelas terlihat kalau dia depresi. Henry sudah menulis buku ini selama sebelas tahun, katanya padaku. Berat sekali baginya; dan dia mulai tertekan. Ruth bilang, dia tak bisa membicarakan topik ini. Henry akan marah kalau dia membicarakannya. Itu membuatku teringat cerita Ma tentang saat ayahnya menulis auto biografi: bagaimana selama musim panas saat Papa menulis kisahnya dan semua orang harus diam. Bagaimana Papa menyewa seorang stenografer, menyewa dictaphone, dan akhirnya menyepi di halaman belakang dan menyelesaikannya sendiri. Aku bilang pada Ruth Rood bahwa aku akan datang dua hari lagi-dan bahwa saat aku sudah menyelesaikan rumahnya, dia dan suaminya akan bosan melihatku. “Oh, sepertinya itu tak mungkin,” katanya. Di radio, penonton bersorak. Suara penyiar menjadi bersemangat. Eric Davis baru saja mengalahkan dua home run Dave Stewart. “Yippeef” teriak Mrs. Rood, menghabiskan segelas rye dan jahenya. Dengan dua urusan selesai, dan tinggal satu lagi, aku menuju ke Hollyhock Avenue untuk menemui Ray. Di perjalanan aku teringat pada Nedra Frank sialan itu. Dia mencuri manuskrip kisah kakekku. Menguangkan cekku dan menghilang. Saat ini, mungkin dia telah membuang kisah itu ke tempat sampah. Kisah kakekku mungkin sudah tak ada lagi sekarang. Aku pelan-pelan menyusuri Hollyhock Avenue, berhenti di depan rumah dan mematikan mesin. Aku tak segera turun, duduk di mobil dan memandang “rumah” yang dibangun Papapohon-pohonnya terlihat rimbun dan perlu dipotong; pagar tanamannya butuh dipangkas. Tak biasanya Ray membiarkan halaman berantakan seperti itu. Thomas dulu sering bilang bahwa Ray tak bisa tidur sebelum pagar tanaman berbaris rapi dan tegak rumput halaman terpotong pendek seperti potongan crew cut-nya. Tong-tong sampah juga masih di luar-sudah dikosongkan truk sampah kemarin dan masih belum dibawa kembali ke belakang. Padahal, itu dulu selalu mengesalkan Ray; orang-orang yang malas menyimpan tong sampahnya. Kami sering mendengar kuliahnya tentang itu. Aku keluar dari truk. Melewati tong-tong sampah itu dan menaiki tangga teras ke rumah kopel keluarga kami. Home Sweet Home, alias Rumah Horor. Keterbatasan kami menghadapi semua kekerasan Ray sudah berhenti sejak kami dewasa, tetapi kembali ke Hollyhock Avenue nomor 68 selalu membuatku merasa marah dan kerdil. Kembali menjadi anak umur sepuluh tahun lagi dan tak berdaya. Kalau dipikir lucu juga semua hal yang telah terjadi. Ma meninggal, aku punya
kondominium di Hillyndale. Selama beberapa tahun terakhir, Thomas tinggal di rumah sakit atau di asrama, tidak di rumah ini. Satu-satunya orang yang tertinggal di rumah yang dibangun oleh Domenico Tempesta tua adalah Ray Birdsey, seorang WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dari Youngstown, Ohio. Tak ada keturunan Tem pesta lagi yang tinggal di rumah ini. Bahkan Ray tak punya darah Italia. Ray tak ingin menyewakan sisi rumah kopel satunya setelah Little Sal, yang terakhir dari keluarga Tusia, pindah ke Arizona ke tempat anaknya. “Kenapa kalian nggak pindah ke sini lagi saja?” tanyanya padaku, setelah aku dan Dessa bercerai. “Jadi, kau tak usah mengangsur hipotek. Lagi pula, kau dan kakakmu berbagi kepemilikan atas rumah ini. Setelah aku mati, semua akan jadi milik kalian.” Secara finansial itu tindakan yang bagus, tapi secara emosional juga bisa dibilang tindakan bunuh diri. Jadi, aku membeli kondominium dan kopel sebelah tetap kosong. Ketika suatu kali aku memintanya untuk menyewakan rumah itu, Ray bilang dia tak butuh pendapatan tambahan. “Yeah, mungkin kau tak butuh,” kataku padanya, “tapi, aku tak bisa berpaling dari kesempatan mendapatkan 700 dolar sebulan dari biaya sewanya.” Bukannya menyewakan tempat itu, Ray malah pergi ke Liberty Bank dan membuka tabungan dengan Thomas dan aku sebagai ahli waris. Setiap bulan, dia memasukkan 350 dolar ke tabungan itu. Itu seimbang dan pantas, kata Ray padaku. Kau tak tahu kau bisa terjebak dengan siapa saja. Temannya Nickerson di Boat menyewakan lantai atas rumahnya pada segerombolan babi bodoh yang tak bisa dia usir, walaupun dia sudah melakukan berbagai usaha. Ray tak butuh masalah seperti itu. Jadi, dia membayar ke tabungan itu tiap bulan dan tinggal sendirian di rumah kopel dua keluarga yang dibangun Domenico Tempesta dengan enam belas kamar. Aku tidak mengetuk, tapi masuk sendiri dengan kunciku. La chiave, pikirku. Aku berjalan menyusuri rumah, dari depan ke belakang. Lumayan lama aku tak ke sini. Kamar-kamar terlihat penuh, semua barang ditumpuk rapi, tapi tak disimpan. Peralatan, tumpukan surat kabar lama, dan teka-teki jigsaw yang baru selesai setengahnya terhampar di meja makan. Karpetnya terasa kotor dan risi di bawah botku. Di dapur, bau makanan gorengan berlemak menguar. Piring, panci, dan cangkir semua bersih dan tertata di meja, tapi Ray tak memasukkannya ke lemari. Juga berderet di meja, obat tekanan darah tinggi dan diabetesnya, setumpuk Reader’s Digests dan dua tumpukan surat yang diikat karet. Daily Record hari ini terlipat empat, terbuka tepat di bagian berita masuknya Thomas ke Hatch. Jadi Ray sudah tahu. Setidaknya aku tak perlu memberitahunya. Aku menemukan Ray di kamar belakang, di bawah selimut, mendengkur di kamar yang gelap. Dia mulai tidur di bawah sejak Ma meninggal. Alasan resminya adalah ada pencuri di daerah ini-beberapa waktu lalu seseorang telah membuka paksa pintu ruang bawah tanah rumah keluarga Anthony di seberang jalan. Tapi aku yakin, alasan sebenarnya bukan itu. Setelah Dessa meninggalkanku, salah satu hal paling sulit kuatasi adalah sisi kosong di ranjangku. Aku biasanya tertidur di sofa di depan TV sehingga aku tak perlu naik ke atas dan melihat sisi kosong itu. Bukan berarti masalah itu adalah masalah yang bisa kaubicarakan dengan Ray. Dia harus tidur di bawah dengan linggis di bawah tempat tidur untuk berjaga-jaga kalau ada pencuri. Menjadi pria sok kuat daripada menghadapi apa pun perasaan yang dirasakannya setelah kematian istrinya. Kalau Ray tidur pada siang hari, dia pasti baru mendapat shift kerja malam di galangan kapal. Kau harus kagum padanya. Enam puluh tujuh tahun dan pria itu masih bekerja seperti kuda bajak. Aku berdiri di sana, memandanginya tidur. Cahaya matahari siang hari memberkas dari sela-sela gorden, wajahnya terlihat bergaris. Dengan mulut terbuka menampakkan giginya, Ray terlihat lebih tua. Rambutnya berwarna putih, tak lagi abu-abu. Kapan semua ini terjadi? Selama aku tumbuh, aku sering berharap ayah tiriku mati, dan bah-kan itu telah
menjadi hobiku. Aku membunuhnya lagi dan lagi dalam angan-angan mendorongnya ke jurang, menyetrumnya saat dia berendam di bak mandi, menembak mati dia, seolaholah kecelakaan saat berburu. Dia telah mengatakan dan melakukan hal-hal yang masih belum bisa kulupakan. Dia telah membuat tempat ini menjadi rumah penuh ketakutan. Namun, melihatnya seperti ini rambut beruban dan rapuh, bagai mayat yang mendengkur hatiku penuh dengan simpati tak terduga untuknya. Simpati yang tak ingin kurasakan. Simpati yang segera ingin kuhilangkan. Aku kembali ke dapur. Menemukan selembar kertas dan menuliskan pesan tentang Thomas di kertas itu. Aku menjelaskan apa yang telah dikatakan Sheffer tentang pengamatan lima belas hari, pengecekan keamanan yang harus dilakukan untuk pengunjung, sidang di depan De-wan Kajian. “Telepon kalau kau ada pertanyaan,” tulisku di paling bawah. Tapi kukira Ray tak akan menelepon. Kukira Ray sudah mulai melupakan masalah ini. Saat kembali ke truk, aku melewati tong-tong sampah itu lagi. Lalu aku berhenti. Mengangkat pegangannyasatu di tiap tangannaik ke teras terus ke halaman belakang dan meletakkannya di situ. Jadi, Ray tak perlu melakukannya. Halaman belakang kami …. Aku meletakkan tong-tong itu dan melewati dua pot semen besar tempat Ma menanam parsley dan basil. Basil segar. Ya ampun, aku suka baunyabagaimana bau itu menempel di jarimu sepanjang hari … Dominick? Tolong aku ya, Sayang? Pergi ke belakang dan petik beberapa helai daun basilico untukku. Sekitar setengah lusin saja. Aku mau mencampurkannya ke saus …. Aku menaiki enam anak tangga semen menuju “sekeping kenangan Papa dari Old Country”. Itulah julukan Ma untuk tempat ini. Menurut Ma, Papa suka duduk di sini di antara pohon-pohon anggurnya, kandang ayam, tanaman tomat, dan mericaduduk di bawah sinar matahari dan minum anggur buatan sendiri, mengingat Sisilia …. Mungkin itu sebabnya mengapa Ma mendengarnya menangis pada hari terakhir dia duduk di sana, menyelesaikan kisahnya. Mungkin di akhir hidupnya, “Pria Besar yang Mulai dari Nol” itu menangisi Sisilia. Aku ingat bagaimana Thomas dan aku sering bermain di sini saat masih kecil. Kami main egrang keliling halaman, main Indian dan koboi dari boneka plastik, mengejar ular sayur hingga ke pagar dinding. Setiap Juni, saat semak honeysuckle mekar, kami biasa mengisap madu dari bunganya. Setetes madu di lidahmu dari setiap bungaitu saja yang kau dapat. Aku berjalan ke meja piknik yang dibuat Ray dengan mengajakku di suatu musim panas. Tempat duduknya sudah lapuk di salah satu ujungnya. Aku harusnya mampir kapan-kapan dan membuang meja ini ke tempat sampah untuk membantu Ray. Mungkin musim semi depan aku akan ke sini dan menanami kebunmencangkul tanah, menghidupkan kembali halaman ini dari kematian. Ray juga membiarkan halaman ini tak terurus; aku belum pernah melihat halaman belakang berantakan seperti ini. Pohon anggurnya mati terkena benalu. Rumputnya setinggi lutut. Mungkin belum pernah dipotong sekalipun sepanjang musim panas. Mungkin penuh serangga. Ada apa sih, dengan Ray? Aku berpikir akan apa yang dikatakan Ma waktu itu hari ketika dia pergi ke lantai atas dan mengambil brankas. Brankas yang berisi kisah Papa. Dia keluar ke sini dengan membawa makan siang Papa, kata Ma padaku. Dan menemukan ayahnya duduk merosot di kursi …. Dan ketika Ma menunggu bantuan-menunggu ambulans datang dia berjalan keliling halaman memunguti kertas-kertas yang bertuliskan kisah hidup kakekku …. Suatu hari nanti, aku akan mencari manuskrip itu: mencari Nedra si wanita jalang itu. Mengambil kembali kisah kakekku kalau dia belum merusaknya. Dia bilang mantan suaminya adalah salah satu bos di rumah sakit jiwa. Mungkin aku bisa mencari
Nedra lewat dia. Siapa tahu mantan suaminya masih mengirimkan tunjangan untuk dia, kan? Dan kalau itu nggak berhasil, aku akan pergi menemui Jerry Martineau di kantor polisi. Karena yang dilakukan Nedra adalah pencurian, belum lagi dia melanggar kontrak …. Musim panas saat kakekku meninggal di halaman belakang sini adalah musim panas yang sama ketika Ma mengandung aku dan Thomas. Dihamili laki-laki yang namanya mungkin tak akan kuketahui. Dan bagaimana dengan laki-laki itu? Apakah dia tahu tentang kami? Mengapa Ma merahasiakannya? Anak siapa aku ini? Dan siapa sebenarnya Papa? Dalam pikiranku, aku kembali melihat dan merasakan helaian-helaian kertas yang kuambil dari brankas pagi itu: lima belas atau dua puluh halaman pertama ditik dan disalin dengan karbon, sisanya ditulis tangan dengan bolpoin tinta. Dia menyimpan sejarah ayahnya untukku, kata Ma. Thomas juga boleh membacanya, tapi kisah Papa itu milikku …. Dan aku juga melihat mobil Yugo Nedra Frank meluncur miring di jalan di tengah-tengah hujan salju. Melihatnya pergi untuk selamanya. Sungguh sial, berhubungan dengan orang itu. Benar-benar sial. Setelah masalah Hatch ini selesai, aku akan melacak wanita itu, bahkan jika Martineau tak bisa membantuku. Bahkan jika aku harus menyewa detektif swasta. Karena kalau dipikir-pikir, dia telah mencuri kakek dariku. Itu pencurian yang tak sebanding dengan empat ratus dolar yang telah kubayarkan padanya …. Dan mungkin aku juga akan mencari tahu tentang stenografer itu. Si Angelo yang disewa Papa selama musim panas itu. Ma bilang, dia sepupuan dengan keluarga Mastronunzio. Aku kenal Dave Mastronunzio dari Perserikatan Tukang Pipa. Mungkin aku akan mulai darinya. Mulai di suatu tempat. Mungkin. Mungkin juga tidak. -V*Dua Belas Orang “Oke, Tapi, belok
waras mana saja pasti akan berhenti di titik itu. Mereka akan bilang, aku sudah cukup omong kosong selama sehari ini,” dan pulang untuk tidur. siapa bilang kewarasan adalah ciri keluarga kami? Lelah dan kesemutan, aku kiri dan pergi ke diler mobil untuk bertemu dengan Leo.
Constantine Chrysler Plymouth Isuzu. “Beri tawaran jujur pada anak-anak Gene, dan mereka akan memberimu perjanjian yang jujur.” Yeah, tentu saja. Jika perjanjian yang jujur adalah cara Diogenes “Gene” Constantine, mantan mertuaku, dalam mencari uang, maka aku pasti Luke Skywalker. Leo sedang ada di luar, di halaman parkir, memegang sekuntum bunga carnation merah dan membantu wanita paruh baya berambut merah masuk ke mobil Grand Prix putih. “Yah, semoga beruntung dengan mobil ini, Jeanette,” katanya. “Terima kasih sekali lagi untuk bunganya.” “Oh, itu bukan apa-apa, Leo. Kau sangat baik. Aku berharap bisa membeli dua mobil baru dan bukan satu.” “Kau telepon saja aku kalau ada yang bisa kulakukan untukmu, oke?” Jeanette menderumkan mesinnya seperti salah satu keluarga Andretti. “Oops, sorry,” dia terkikik. “Aku masih belum terbiasa.” “Tak apa-apa, Jeanette. Kau nanti juga terbiasa. Hati-hati.” Wanita itu memundurkan mobilnya, berputar dan menjauh. “Pergi sana, Jeanette,” kata Leo, mulutnya membeku seperti boneka ventriloquist. “Kau wanita bodoh. Kuharap mesin Grand Prixmu ambrol.” “Biar kutebak,” kataku. “Tak berhasil menjual?”
“Perempuan sialan itu tinggal sedikit saja mau menandatangani transaksi penjualan sebuah Le Baron. Mobil itu benar-benar hampir terjual, Birdsey. Lalu aku izin sehari untuk pergi ke kota dan dia membeli sampah jelek itu dari Andy Butrymovic di diler Pontiac. Kau tahu Butrymovic? Musang sialan. Orang Polandia sialan.” Masuk ke showroon, kami melewati seorang pembuat tanda yang bersiul-siul dan menulisi jendela kaca untuk membuat promosi baru. “Jadi, untuk apa bunga itu?” tanyaku. “Kau mendapatkan gelar Miss Congeniality atau apa?” Leo mendengus. “Semacam itulah.” Mematahkan tangkai bunga itu dan membuangnya ke tempat sampah Omar. Omar adalah salesman paling baru di Constantine Motors. Kulit hitam, spanyol, atau semacamnya. Itu adalah sesuatu yang tak mungkin kau lihat sepuluh tahun lalu, atau lima tahun lalu: mantan ayah mertuaku mempekerjakan salesman dari kalangan minoritas. Kau waktu itu juga tak mungkin melihatnya mempekerjakan wanita. Sekarang mereka punya dua sales wanita. “Bagaimana kakakmu?” tanya Leo. “Angie bilang mereka memasukkannya ke Hatch? Apa maksudnya itu?” Aku menceritakan masuknya Thomas ke Hatch malam kemarin. Tentang tendangan ke selangkangan dan nasihat yang kudapatkan dari Lisa Sheffer. “Dia boleh mendaftar lima orang yang bisa mengunjunginya,” kataku. “Mereka mengecek setiap orang yang telah dia tulis. Lalu mereka menggeledahmu dan menyuruhmu melewati detektor metal” “Lisa Sheffer, Lisa Sheffer,” kata Leo. “Aku kenal nama itu. Duduklah.” Aku duduk di kursi depan mejanya. Beginilah kondisi Leo: fakta bahwa dia sudah bekerja di diler ini selama bertahun-tahun dan Pak Tua itu masih menempatkannya di lantai showroom. Peter, sepupu Dessa dan Angie, yang bergabung ke diler ini empat atau lima tahun setelah Leo bahkan sudah mendapatkan salah satu kantor pribadi di lantai atas. Peter diangkat menjadi Manajer Leasing dan leasing kini adalah trend baru. Pernis di pinggiran meja Leo sudah mulai bengkok dan di pojok sudah mulai lepas. Begitulah kalau pernis murahan. Berbeda dengan meja di kantor suite Pak Tua. Meja itu bahkan cukup besar untuk didarati pesawat. Leo mencaricari di Rolodex di atas mejanya. “Lisa Sheffer, Lisa sheffer …. Ini dia. Lisa Sheffer. Dia pernah test drive mobil Charger denganku sekitar enam bulan lalu. Perawat bukan?” “Petugas sosial psikiatrik.” “Cewek kecil kurus? Rambut pendek, nggak punya dada?” Aku teringat teguran Sheffer padaku; bahwa dia adalah seorang wanita, bukan “cewek”. Dia pasti sangat cocok dengan Leo. “Kau tahu apa yang akan kulakukan?” kata Leo. “Tentang kakakmu? Aku akan menyewa pengacara dan melaporkan kebrutalan mereka pada polisi. Tunjukkan catatan medis dan foto-foto medisnya, semuanya. Mungkin kau bisa tawar-menawar dengan merekaberjanji tak akan membawa masalah ini ke pengadilan asal kakakmu dipindah lagi ke Settle. Lalu, kau tahu apa yang akan kulakukan seterusnya? Setelah kau berhasil mengeluarkan kakakmu? Aku akan berbalik dan tetap menuntut pemerintah sialan itu.” “Kau pasti akan melakukan itu. Benar kan, Leo?” “Berani bertaruh aku akan melakukannya. Apa yang akan mereka lakukan? Mengeluh kalau kau menyalahi perjanjian di bawah meja? Lebih baik menjadi penipu daripada yang ditipu.” Dia berdiri. “Tunggu sebentar ya, Birdseed! Aku akan segera kembali. Aku harus mengecek sesuatu di bagian layanan.”
Bisa dibilang, menjual mobil adalah pekerjaan ideal buat Leo. Dia pembual profesional. Dia telah menggombaliku sejak musim panas 1966, saat aku duduk di sebelahnya di kelas perbaikan aljabar dan dia membuatku percaya kalau dia adalah sepupu kedua Sam the Sham dari Sam The Sham dan The Pharaohs. Lagu hit mereka, “Woolly Bully”, sangat populer tahun itusaat aku masih lima belas tahun. Lagu itu terus terdengar dari radio transistor merahku sepanjang musim panas saat aku memotong rumput halaman, mencari nilai x, dan angkat bebanmeregang dan mengangkat dalam usaha mengubah diriku menjadi Hercules, bebas lepas. Leo bilang padaku bahwa dia pernah datang ke apartemen Sam The Sham di Greenwich Village dalam sebuah pesta dan seorang cewek playboy duduk di pangkuannya. Bahwa pamannya adalah pencari bakat di Hollywood, dan ibunya akan membelikannya Corvette kalau dia berhasil lulus aljabar dan mendapatkan SIM. Saat itu dia gemuk dan gingsul, remaja umur enam belas tahun yang terlihat seperti pria paruh baya yang bisa membuat kami sesama siswa yang gagal aljabar terpesona hanya melihatnya masuk ruangan. Kadang, aku dengan terpesona sekaligus agak jijik melihatnya mengupil, mengamati upilnya, lalu mengusapkan upil itu ke bawah meja. Dia menyusahkan hidup guru kami, Mrs. Paladino tua yang selalu gemetaran, yang sebenarnya sudah semipensiun. Leo akan mengacungkan tangan meminta penjelasan untuk soal yang bahkan tak dia kerjakan dan Paladino akan terhuyung-huyung mendekatinya sambil terpincang-pincang. Lalu tepat saat Mrs. Paladino menjelaskan soal itu yang bahkan tak didengarkan oleh Leo, Leo akan kentutkentut tak bersuara namun mematikan yang baunya sangat busuk sehingga semua orang dalam radius dua puluh kaki akan mengerang dan mengipas-ngipaskan buku di depan hidung mereka. Paladino yang malang akan berdiri saja di sana, berusaha bersikap tenang dan kurasa berusaha agar tak pingsan membaui kentut Leo. Leo beruntung musim panas itu, dia berhasil lulus aljabar dengan mengambil stensil jawaban ujian dari tempat sampah ruang guru. Namun pada musim gugur, keberuntungannya berakhir. Neck Veins (nadi leher, penerj.), wakil kepala sekolah di SMU JFK, menangkap basah Leo sedang memakaikan kondom Trojan di kepala boneka-boneka kecil di lemari piala di koridor utama. Neck Veins: aku lupa namanya yang sebenarnya, tapi saat dia berteriak marah, nadi di lehernya akan bertonjolan seperti kabel listrik. Neck Veins benar-benar menangkap Leo. Dia menyuruhnya meminta maaf kepada semua alumni dan siswa yang menjadi atlet berprestasi yang pialanya telah dia jahili lewat speaker sekolah saat jam pengumuman pagi. Lalu dia menyuruh Leo berlari mengelilingi lapangan setiap pulang sekolah selama dua bulan. Ibu Leo, yang baru saja menjadi wanita anggota dewan kota pertama di Three Rivers, menyeret Leo seminggu sekali menemui “spesialis”. Setelah lari dan konseling, berat badan Leo turun lima belas kilogram dan dia memanjangkan rambutnya. Pada musim semi, dia menjadi vokalis utama band garasi yang bernama The Throbbers. Sekarang, anak-anak perempuan menyukainya. Awalnya cewek-cewek biasa yang suka, lalu cewek-cewek yang populer juga menyukainya, termasuk Natalie Santerre, yang menurut semua orang mirip Senta Berger dan yang menurut Leo pernah bercumbu dengannya pada akhir pekan sebelum keluarganya pindah ke North Carolina. The Throbbers memainkan lagu-lagu populer saat itu: “Wild Thing”, “Good Lovin”, “Nineteenth Nervous Break-down”. Leo be-nar-benar bergaya; setiap kali mereka menyanyikan lagu “Ninety-six Tears” dari Question Mark dan the Mysterians, dia akan berlutut dan berakting seakan-akan benar-benar sedih karena gadis dalam lagu itu meninggalkannya. Band itu bubar setelah beberapa lama, namun saat itu Leo sudah kecanduan menjadi pusat perhatianberdiri di atas panggung. Dia masuk jurusan akting di UConn, sekaligus bekerja sampingan jadi penyalur ganja, dan pada tahun pertamanya sudah meniduri ketiga anggota Chekhov Three Sisters selama dua bulan latihan bersama. Tentu itu cerita Leo, yang tak pernah bisa dibilang sumber yang meyakinkanterutama tentang topik kehidupan seksnya. Pada tahun pertamanya, Leo memerankan anjing Snoopy dalam You’re a Good Man, Charlie Brown. Itu adalah
puncak karier dramatik Leo: Snoopy. Saat itu, aku dan Dessa sudah berpacaran sekitar enam atau tujuh bulan. (Dessa tak terlalu suka Leo; tapi dia menoleransinya.) Ketika Dessa dan aku pergi untuk melihat You’re A Good Man, Charlie Brown, kami mengajak adik Dessa, Angie. Sebelumnya, Angie pernah dua bulan berkencan dengan Thomas sebuah bencana yang aku bahkan tak mau mengingatnya lagi. Tapi pokoknya, malam itu Angie duduk di antara kursi penonton dan langsung jatuh cinta. Sepanjang perjalanan pulang, Dessa dan aku harus mendengarkan betapa menggemaskannya Leo, betapa lucu dia, bagaimana Angie tertawa begitu keras di satu adegan sehingga celananya basah. Setelah Leo menemukan ada fans klubnya yang hanya punya satu anggota, dia mengajak Angie kencan. Mereka sangat panas dan rapat sepanjang musim panas itumusim panas 1971lalu sepertinya hubungan mereka mendingin. Tapi, Natal sesudahnya, ketika aku dan Dessa mengatakan pada mereka kalau kami berencana bertunangan setelah lulus, mereka bilang pada kami bahwa Angie hamil. Sialan, kalau Angie tak keguguran, anak itu sekarang usianya sudah berapa, ya? Delapan belas? Tukang cat yang bersiul-siul itu telah menyelesaikan huruf pertama di kaca jendela: huruf “G” biru setinggi Joy. Leo berjalan kembali menyeberangi showroom. “Hei, aku lupa bilang padamu,” kataku. “Tebak siapa yang kulihat di Hatch di tengah-tengah kekacauan tadi malam? Ralph Drinkwater.” “Drinkwater? Yang benar. Ya Tuhan, aku tak pernah melihat Ralph lagi sejak … kapan kita punya pekerjaan bersama musim panas itu?” “Sembilan belas enam puluh sembilan,” kataku. “Musim panas saat kita mendarat di bulan.” “Jadi, bagaimana tampangnya? Ralph?” “Tidak terlalu berbeda sebenarnya. Aku langsung mengenalinya.” “Yesus, kau ingat tidak, jebakan yang kita pasang untuknya? Dengan polisi?” “Jebakan yang kau pasang untuknya?” kataku. “Kau yang duduk di kantor polisi itu dan mengatakan pada mereka” “Oh, yeah, Birdsey, malam itu kau memang Tak Bersalah, bukan? Hei, bukan maksudku mengganti topik. Bagaimana setelan ini menurutmu?” Leo berdiri dari mejanya, berjalan ke samping dan mendekat ke model LeBaron putih. Virgins itulah sebutan Leo untuk model di showroom. Setelan itu berwarna cokelat kulit, berkancing ganda. Menurutku terlihat terlalu besar untuknya. “Aku beli ini di New York kemarin ketika aku audisi,” katanya. “Armanipaling baru. Aku ingin merayakan karena audisinya berjalan sangat lancar.” Leo dan audisinya. Dari semua audisi dan percobaan yang dia lakukan di New York selama bertahun-tahun, hanya dua kali aku melihatnya di TViklan Lobster Landlubbers yang ditayangkan sekitar pertengahan delapan puluhan dan iklan layanan publik untuk pencegahan AIDS. Di iklan restoran itu, Leo menjadi ayah ideal yang membawa keluarga bahagianya makan seafood. Iklan itu dimulai dengan wajah ciose-up Leo dengan mata membelalak dan terlihat seakan-akan mengalami orgasme. Lalu, kamera mundur dan kau melihat seorang pelayan menalikan celemek plastik di lehernya. Dan di depannya ada sebuah lobster monster yang luar biasa besar. Anggota keluarga yang lain memandang lobster itu, tersenyum seakan-akan mereka habis mengisap ganja atau apa bahkan sang nenek juga. Iklan satunyaiklan layanan masyarakatmasih ditayangkan sekali atau dua kali pada pukul 2.00 atau 3.00 pagi, biasanya ketika aku tak bisa tidur. Leo juga menjadi ayah di iklan inimain basket dengan anak remajanya dan berbicara antar pria tentang tanggung jawab. Di akhir, Leo berkata, “Dan ingat, Nak, yang paling aman dari semuanya
adalah menunggu hingga kamu siap.” Leo dan anaknya saling tersenyum, dan Leo melempar bola ke keranjang. Lemparan itu disyuting chse-up, hanya bola masuk net. Lalu Leo dan anaknya tos. Pertama kali aku melihatnya, aku tertawa terbahak-bahak. Pertama, Leo sama sekali tak pernah bisa melempar bola ke keranjang basket. Di SMU dulu, dia mengarang cerita tentang bilik kiri jantungnya yang bocor dan berhasil tak ikut kelas olahraga selama dua tahun berturut-turut. Dan kedua, melihat Leo berbicara tentang menahan nafsu sama seperti melihat Donald Trump bicara tentang berkorban untuk orang lain. “Jadi begini, Birdsey,” lanjut Leo. “Aku beli setelan ini, meminta mereka mengubahnya biar cocok dengan ukuranku, dan aku sampai rumah sekitar tengah malam. Rumah sudah gelap, Angie dan anak-anak sudah tidur. Jadi aku makan makanan sisa makan malam, menyalakan TV, dan di TV terlihat Arsenio mengenakan setelan yang sama persis dengan yang baru kubeli. Arsenio, Bung! Yang baru terpilih menjadi salah seorang dari sepuluh orang berbusana terbaik di Amerika. Ini adalah pertanda baik.” “Pertanda?” “Kalau aku akan dapat peran itu. Lagi pula, memang kau pikir berapa harga setelan ini?” Dia mengelus salah satu lengannya. “Sutra Italia,” katanya. “Ayo, coba tebak.” “Hei, Leo,” kataku. “Aku sudah punya banyak urusan untuk kupikirkan sekarang. Aku tak ingin bermain Tebak Harga denganmu dan setelan barumu.” “Ayo, dong. Tebak!” “Aku tak tahu. Dua ratus? Dua ratus lima puluh?” Leo mendengus. Mengacungkan jari tengahnya. “Tiga ratus lima puluh?” “Coba seribu empat ratus lima puluh, Sobatku.” “Seribu empat ratus lima puluh? Untuk satu setelan?” “Bukan sembarang setelan. Setelan ini. Rasakan!” Aku mengusap bagian lengan bawahnya dengan jempol dan jari telunjukku. “Ya?” kataku. “Terus kenapa? Tetap saja rasanya seperti setelan.” Leo membersihkan jaket itu dari kotoran yang sebenarnya tak ada. “Ah, kau tahu apa, Birdsey?” katanya. “Kau kan bekerja pakai celana monyet. Ngomong-ngomong, apa aku sudah bilang kalau ini audisi untuk film, bukan iklan?” Dia duduk lagi dan bersandar, berusaha menyeimbangkan kursinya yang kini hanya bertumpu pada dua kaki belakang. “Bukan film besar, tapi ini penting, tahu? Sebuah batu pijakan. Film tentang psikopatmungkin akan dipasarkan di sini dalam format video dan peredaran terbatas di pasar asing. Korea, Hong Kongseperti itulah. Mereka suka film horor keras di sana.” “Kau sudah cerita itu untuk film,” kataku. “Aku belum bilang padamu. Kapan aku bilang?” “Aku tak ingat. Waktu main racquetball?” “Aku baru saja ke New York kemarin. Kita main racquetball, kemarin lusa.” Aku mulai merasa sedikit pusing. “O, yeah. Itu benar. Angie yang bilang kurasa. Hei, kau punya kopi?” “Kau tahu kami punya kopi. Tanpa krim, kan? Kapan kau bertemu dengan Angie?” “Aku nggak bertemu dia. Aku bicara padanya semalam saat aku telepon mencarimu.”
“Kau mau apa?” “Hmm? Nggak. Aku cuma mau bilang padamu tentang kakakku. Tanpa krim, gulanya dua.” “Hei, apa aku sudah bilang kalau aku nggak minum kopi lagi? Aku membaca buku berjudul Fit For Life. Angie yang membelikannya untukku. Kami juga membeli pembuat jus. Buku itu bilang, kafein sama saja dengan racun bagi tubuhmu. Juga pemanis buatan: tak boleh. Tapi, ngomong-ngomong, aku ceritakan tentang film ini ya? Ceritanya tentang cewek aneh. Dia seorang seniman sekaligus pembunuh wanita berantai. Awalnya, dia ditiduri banyak pria, oke? Mengalami peristiwa-peristiwa yang traumatis. Lalu dia tak tahan dan meledak. Mulai membunuh semua pria yang menidurinya dan melukis lukisan-lukisan aneh dengan darah mereka. Dan tiba-tiba, kritikus seni menemukannya. Dia menjadi terkenal di dunia seni, hanya tak ada orang yang tahu apa yang dia gunakan untuk melukis. Bahwa dia melukis pada siang hari dan membunuh pria pada malam hari. Aku audisi untuk peran salah seorang korbannyaseorang profesor seni yang mau memberinya nilai A asal cewek itu mau tidur dengannya. Kurasa aku bagussetidaknya pasti dipanggil lagi untuk tes selanjutnya. ‘Very nice,1 kata casting directornya setelah aku berakting di depannya. ‘Very nice.’” “Dan kau juga tak harus berusaha keras, bukan,” kataku. “Main film porno seperti itu.” “Hei, sialan kau, Birdsey. Tapi beneran kok, aku punya firasat baik tentang yang ini, oke?” Leo memandang sekitarnya, lalu mencondongkan tubuhnya padaku. Berbisik. “Dan dengar ini. Kalau aku dapat peran itu, ada adegan di mana cewek psikopat itu bercinta denganku. Sebelum dia membunuhku. Jangan bilang-bilang pada Angie, oke? Dia akan mengamuk. Aku mulai sit-up tiap pagi karena aku sembilan puluh sembilan koma sembilan persen yakin akan mendapatkan peran ini.” “Kopi hitam. Gula dua,” kataku. Kaki depan kursinya turun ke lantai dan Leo berdiri. “Racun, Birdseed. Aku bilang padamu, ya. Hiduplah dengan bersih atau mati.” Sembari menunggu Leo kembali dengan kopiku, aku berjalan-jalan di showroom. Melihat-lihat truk Isuzu yang diparkir di dekat jendela. Membuka-buka brosur. Tukang cat itu sekarang sedang mengecat huruf kedua: G-O. Aku senang ayah mertuaku tidak ada. Mantan ayah mertuaku. Kami dulu sangat akrab, Gene dan aku. Dia lebih menyukaiku daripada Leo. Kadang itu sangat jelas, sehingga memalukan. Saat hari libur atau apa, kami biasanya berkumpul di rumahnya, dan Gene akan mengajak dua lelaki keluarga Peter dan Costas dan aku ke ruang kerjanya untuk minum-minum, atau berjalan-jalan di kebun, dan Leo akan ditinggal di ruang lain bersama anak-anak dan para wanita. Itu juga agak menyedihkan, karena itu menunjukkan bahwa betapa Pak Tua lebih menyayangi Dessa daripada Angie. Itu sangat jelas sehingga menyakitkan. Tapi semua itu sudah berubah. Sejak perceraian kami, jika aku mampir ke showroom untuk bertemu dengan Leo dan Gene ada di kantor, dia bersikap seakan-akan aku ini Pria Tak Terlihat atau semacamnya. Seakan-akan aku tak pernah menjadi menantunya selama hampir enam belas tahun. Seakan-akan, akulah yang meninggalkan Dessa bukan sebaliknya. Aku bisa mendengar Leo di area servis, mengobrol dengan seseorang bukannya mengambilkan kopiku. Meja Leo adalah salah satu dari empat meja yang ada di lantai showroom. Jangan tanya kenapa aku ingat ini, ta-pi memang begitulah kenyataannya: Leo mulai bekerja di Constantine Motors pada hari Reagan dilantik dan Iran membebaskan sandera. Sembilan tahun dan masih belum punya kantor sendiri. Suatu kali, saat Leo mengeluh tentang ini, dia berkata, “Kalau kamu yang bekerja di
sana, Dominick, dan bukan aku, mungkin saat ini kau sudah jadi wakil direktur, mendapatkan tak hanya sekadar kantor kecil dengan pintu kecil.” Dan dia benar. Kalau aku, mungkin sudah begitu. Kantor Pak Tua itu memang luar biasa. Dia bahkan punya kamar mandi sendiri di sanalumayan luas juga. Mungkin sekitar tiga setengah kali tiga setengah meter. Dengan bak mandi berwarna merah dengan keran emas dan mural lukisan tangan tentang Perang Trojan. Coba dengar ini, benar-benar dewasa sekali. Leo selalu buang hajat di kamar mandi pribadi Gene setiap kali Pak Tua itu pergi ke luar atau ke tempat lain untuk mengecek tambang emasnya yang lain. (Selain diler mobil, Gene dan Thula punya dua malsatu di sini, di Three Rivers dan satunya di jalan raya menuju Willimantic.) Pasangan Constantine juga sangat tergila-gila dengan mural: mereka juga punya di rumah. Satu di ruang makan dan satunya di kamar Gene dan Thula. Laut Aegean. Di dinding, di depan ranjang mereka. Leo dan aku bertunangan dengan Constantine bersaudara pada minggu yang sama. Dessa dan aku sudah merencanakannya sejak lama, tapi Leo dan Angie tidak. Pertunangan mereka dikarenakan alasan klasik, hamil sebelum menikah. Pak Tua mengirim pesan pada kedua putrinya kalau dia ingin bertemu dengan Leo dan aku di kantornya. Memberikan pidato pada “para calon menantunya”. Ini terjadi sebelum dia tahu kalau Angie sudah hamilsebelum Angie menjatuhkan bom kecil itu pada ayahnya, yang dilakukannya dalam limusin saat perjalanan ke gereja untuk upacara pernikahan. Gene bilang, Leo dan aku boleh datang bersamaan untuk berbincang dengannya: apa yang akan dia katakan bisa dia katakan pada kami berdua. Aku ingat semuanya, pertemuan tingkat tinggi yang diadakan di kantor pribadi Gene. “Masuk, gentlemen, masuk,” katanya pada kami setelah kami duduk menunggu beberapa saat di ruangan luar kantornya. Leo menganggap semua ini adalah lelucon, tapi bagiku rasanya seperti menunggu dokter memanggil untuk menyuntikmu. “Di sini,” kata Gene, dan yang kutahu, selanjutnya kami berada di dalam kamar mandinya. Dia mandi berendam di bath tub merahnya. Aku berdiri di sana, tak ingin memandang tubuh gorilanya yang berbulu atau memandang matanya. Dessa tidak hamil, dan itu atas jasa pil antihamil, bukan kemampuan kami menahan godaan. Alih-alih aku memandang lukisan mural Perang Trojan di belakang bahu Pak Tua itutentara di dalam gerbang, melompat keluar dari perut patung kuda raksasa. “Gentlemen,” Diogenes memulai pidatonya. “Dua anak perempuanku sejauh ini menikmati hidup yang enak. Ibu mereka dan aku telah berusaha yang terbaik untuk memberikan semua kebutuhan hidup mereka dan beberapa kemewahan. Dan sekarang, mereka memilih untuk pindah dari rumah kami ke rumah kalian.” Meskipun gugup, aku sempat tersenyum mendengarnya. Keluarga Constantine tinggal di “gubuk” empat belas kamar di Bayview Terrace dengan kebun apel dan anggur serta kolam renang pribadi. Saat pertemuan di kamar mandi itu, aku tinggal di apartemen bekas garasi yang penuh tikus di Careen Avenue dengan pintu lemari es yang harus kuisolasi agar bisa tertutup rapat. “Sekarang, aku tidak menuntut suami anakku seorang jutawan atau pahlawan,” lanjut Gene. “Satu-satunya hal yang kuharapkan dari kalian berdua adalah cucucucu yang sehat dan bahagia juga pengetahuan bahwa setiap malam anak perempuanku tidur di samping pria jujur yang takut pada Tuhan. Jika kalian bisa memenuhi persyaratan itu, aku mengucapkan selamat datang ke keluarga kami dengan restuku. Kalau tidak, kalian bisa bilang sekarang dan kita berpisah sebagai teman.” Leo yang lebih banyak menanggapi untuk kami berduamemberikan gaya Eddie Haskell terbaiknya pada Pak Tua itu dengan gaya menjilat “ya Pak” dan “tidak, Pak” hingga Diogenes menyelesaikan pidato dan mandinya. Dia berdiri, memegang tangan Leo yang terulur menolongnya keluar dari bath tub, dan menyalakan cerutu Panatela Extra untuk kami bertiga. Masih bertelanjang bulat. Dia tak berpikiran untuk memakai jubah mandi hingga setelah kami bertiga mengisap cerutu.
Leo maupun aku tak berkata sepatah pun saat kami kembali berjalan melintasi showroom dan menuju pintu keluar, mengembuskan asap cerutu dalam tatapan semua karyawan di diler itu. Saat kami kembali ke mobil Kharmann Ghia Leo, aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi dan mengerang. “Yah,” kataku, “aku tak tahu tentang jujur dan takut pada Tuhan, tapi setidaknya kau sudah hampir memberi dia cucu.” “Apa kau lihat, betapa mengerutnya “punya” dia?” kata Leo. “Bah, aku pernah melihat yang lebih besar di botol mentimun bayi Heinz.” Keluar dari lapangan parkir, kami berdua meledak tertawa hingga tersedak. Air mata keluar karena kami tertawa begitu keras. “Kalau aku sampai punya susu melorot seperti dia, tolong aku ya, Birdseed?” kata Leo. “Bawa aku ke tempat terpencil dan tembak aku.” Sambil mengebut, tertawa terbahak-bahak, kami menurunkan kaca jendela dan melemparkan cerutu bau itu. Kalau dipikir-pikir, aku masih merasa aneh: bagaimana Dessa dan aku akhirnya berpisah sementara Leo dan Angie tidak. Yah, mereka sempat berpisah sementaraketika klub dansa yang diurus Leo bangkrut. Le Club, namanya. Pemiliknya adalah anak kaya pecandu heroin dari Fairfield yang membuat Leo ikut kecanduan menghirup heroin. Namanya Rikdia akan terkena serangan jantung jika seseorang tidak sengaja menambahkan “c” di nama depannya. Saat itulah, persahabatanku dengan Leo merenggang. Aku tidak tahan melihat efek heroin padanyatingkah lakunya yang berbahaya, cara dia memperlakukan Angie. Lalu, akuntan ayah Rik suatu siang datang ke klub dan memeriksa pembukuan anaknya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah Leo ditendang dari sana. Saat Leo sedang menjalani rehabilitasi obat atas pembiayaan keluarga Constantinedia ketahuan pernah meniduri salah satu hostes di Le Club. Bahkan, aku pun tak tahu peristiwa itu; seperti kubilang, aku dan Leo memang jarang bersama seperti dulu. Nama hostes itu adalah Tina dan sudah menjalani aborsi, tapi dia memutuskan untuk memberi tahu Angie. Angie minta pisah dan dia serta Shannon kembali ke rumah orangtuanya. Lalu, tiga bulan setelah Leo keluar dari rehabilitasi, Angie hamil lagi karena dia. Pak Tua mengamuk; dia sudah berusaha keras agar mereka berdua bercerai. Tetapi akhirnya, dia malah memperkerjakan Leo sebagai salesman di diler mobilnya. Itu adalah salah satu saat aku melihat Pak Tua Diogenes menyerah pada sesuatu. Angie terpaksa harus memohon pada ayahnya agar Leo mendapatkan pekerjaan itu. Dia beralasan bahwa orang bisa berubah menjadi lebih baikbahwa Leo telah berubah. Bahwa Leo telah menjadi ayah yang baik untuk satu-satunya cucu Gene dan Thula. Dan kalau Angie sendiri bisa memaafkan dan melupakan, mengapa ayahnya tak bisa? Gene bilang padanya kalau memaafkan dan melupakan itu satu hal dan memperkerjakan si penyebab sembelit itu adalah hal lain. Lalu, Angie mengeluarkan kartu asnya: kalau Dessa yang meminta, ayahnya pasti mengiyakan tanpa syarat. Dessa tak harus berdiri di sini dan menghinakan dirinya sendiri seperti yang dia lakukan sekarang. Dan itu mungkin benar. “Bagaimana pendapatmu tentang permintaan adikmu?” tanya Pak Tua di sofa kami suatu malam pada Dessa. Thula duduk di sebelahnya, diam dan murung, lengannya terlipat di atas perutnya yang gendut. Mereka datang dengan mobil New Yorker besarnya ke rumah kami setelah berdebat selama seminggu. Selama enam belas tahun menikah, itulah satu-satunya saat orangtua Dessa mengunjungi kami. “Kurasa aku akan memilih apa pun yang menyembuhkan, Daddy,” kata Dessa. “Tapi terserah. Apakah kau bisa tahan melihat Leo bekerja di sana?” “Apakah aku bisa tahan? Ya. Apakah aku mau datang ke tempat bisnisku tiap pagi dan melihat si idiot yang dinikahi adikmu yang bodoh itu? Tidak, aku tak mau.”
Aku duduk diam, tapi itu tak mudah. Memang Leo punya kelemahan. Memang, dia sudah membuat kekacauan besar. Tapi, aku kesal ketika Gene menyebutnya idiot. Kami punya sejarah panjang, Leo dan aku. Lelaki itu punya kebaikan juga. “Kau tidak melakukan ini untuknya,” kata Thula. “Kau melakukannya untuk putrimu. Darah dagingmu.” “Siapa bilang aku akan melakukannya? Titik.” Tukas Pak Tua. “Tapi, Angie benar saat bilang kalau Leo ayah yang baik,” Dessa mengingatkan ayahnya. “Dia dan Shannon sangat saling menyayangi.” Dessa dan aku juga sangat menyayangi keponakan kami itu, meski berada di dekatnya adalah campuran dari kesenangan sekaligus kepedihan. Saat itu, Dessa sudah dua kali keguguran. Mempunyai anak adalah salah satu hal yang bisa dilakukan lebih baik oleh Angie ketimbang Dessa. Sekarang, setelah dia dan Leo bersama lagi, Angie bilang pada kakaknya kalau dia ingin punya anak lagi setelah yang kedua ini lahir. Mungkin lebih. “Aku ingin tahu, di mana kau sekarang kalau saja ayahku dulu tak memberimu kesempatan?” tanya Thula pada suaminya. Aku tak begitu paham waktu itu, namun dengan caranya yang kalem, Thula mengeluarkan persenjataan beratnya di depan Dessa dan aku. Meskipun seorang pengusaha yang pintar, Diogenes Constantine mendapatkan modal awal usahanya dari keluarga sang istrisebuah fakta yang tak pernah dia lupakan dan selalu, pada akhirnya, dia hargai. Jadi, begitulah. Pada akhir bulan, Leo menjadi salah satu “anak-anak Gene” di iklan koran satu halaman penuh di Three Rivers Daily Record wajahnya yang lebar dan bulat memandangmu dari lembaran koran, gelembung kartun di atas kepalanya bertuliskan moto Constantine Motors: “Berikan aku tawaran yang jujur, aku akan memberimu perjanjian yang jujur!” Leo kembali membawa dua cangkir kopi, satu untukku, sementara satunya dia minum sendiri. Tipikal dari setiap rencana kebugaran dirinya yang selalu gagal. “Sialan kau, Birdsey,” katanya. “Kalau saja aku tak ha-rus bikin kopi baru dan berdiri di sana mencium baunya, aku pasti tak ingin.” Si pengecat tanda itu sudah sampai ke huruf ketiga sekarang: G-O-D. “God?” kataku mengangguk ke arah tulisan di jendela. “Kalian di sini sudah mulai pakai agama atau apa?” “Nggak. Kalau sudah selesai, tulisannya jadi, ‘Goddam It, Masuk Sini dan Beli Mobil sebelum Kami Bangkrut!1” “Seburuk itukah?” “Selamat datang di tahun sembilan puluhan.” Leo membungkuk ke arahku, menurunkan suaranya. “Pak Tua mengalami kerugian di tiga kali catur wulan. Setengah harian kemarin dia menelepon manajer regional. Dengan bangkrutnya United Nuclear dan PHK Electric Boat, tak seorang pun membeli. Setiap orang menyimpan baik-baik apa yang mereka punya. Hei, ngomong-ngomong berapa umur trukmu itu?” “Delapan puluh satu ribu mil,” kataku. “Dan masih bagus.” “Kami bisa saja memberikan penawaran Dodge atau Isuzu baru untukmu seharga” “Nggak,” kataku. “Lupakan saja.” “Tidak, dengar. Isuzu lima gigi adalah truk kecil yang bagus.” “Aku tak peduli kalaupun itu kereta para dewa,
Leo. Kompresorku bocor seperti menderita emphysema dan peralatan pencuci dindingku harus diganti dua tahun mendatang. Belum lagi seorang kakak yang terkurung bersama segerombolan” “Hei, aku dengar, Dominick. Tapi Pop dan aku bisa memberimu” “Nggak. Tidak.” “Oke,oke,” kata Leo mengangkat tangannya. “Yang aku katakan hanyalah kalau kau berubah pikiran, aku dan Pop akan mengurusnya.” Aku menguap. Menghirup kopiku lagi. Menguap lagi. “Kau terlihat berantakan sekali, Birdsey,” kata Leo. “Kau sudah tidur?” “Belum.” “Kupikir juga begitu. Jangan tersinggung, Bung, tapi kau mulai kelihatan seperti anjing basset hound. Jangan khawatir. Kau pasti bisa mengeluarkannya dari sana. Kubilang padamu, temui pengacara.” Leo berdiri lagi, menarik-narik kerah setelannya dan mengamati bayangan dirinya di jendela. “Kau tahu, yang tak kau pahami tentang baju, Dominick, adalah hukum rimba. Bisa dibilang seribu empat ratus dolar memang mahal untuk sebuah setelan. Tapi kalau kau ingin kualitas, kau harus berani membayarnya.” Aku memandangnya. “Itu bukan hukum rimba. Hukum rimba adalah: Hanya yang kuat yang bertahan. Makan atau dimakan.” “Tepat sekali!” tukas Leo. “Di audisi berikutnya, casting director keluar ke ruang tunggu. Siapa yang kau kira akan dia lihat pertama kalisemua orang tak bernama yang memakai Levi’s dan sweter atau orang yang memakai Armani?’ Omar lewat sambil minum Diet Coke. Mengenakan setelan hijau jeruk limau. “Yo, Omar, ke sinilah,” kata Leo. “Pria yang duduk di sini ini bilang kalau hukum rimba adalah: Makan atau dimakan. Bagaimana menurutmu?” Omar meminum sodanya. “Yang mana saja cocok untukku,” katanya. “Jadi, kapan cewek itu datang?” “Sobatku!” teriak Leo. Dia melompat dari kursinya dan tos dengan Omar. Empat atau lima tahun lalu, Omar adalah pahlawan di halaman olahraga koran dan majalah: Omar Rodriguez dan lompatannya yang terkenal telah memenangi tiga kali kejuaraan SMU Three Rivers. Dia kuliah di UConn; saat itu pertengahan delapan puluhan. Bermain untuk tim UConn selama dua tahun. Sebelum Calhoun jadi pelatih dan UConn kalah di NCAA. Kalau tak salah, Omar main satu musim di Eropa sebelum berhenti. Posisinya point guard. “Kau dengar itu, Lorna?” kata Leo. Sales wanita di seberang ruangan mengangkat kepala dari laporan yang ditulisnya. “Omar bilang makan atau dimakan. Terserah sang wanita.” Dia kembali menunduk, menggeleng. “Dasar pria,” katanya. “Diam, Leo,” gumamku. “Kau membuatnya malu.” “Apa aku membuatmu malu, Lorna?” tanya Leo. “Menyakiti telingamu yang masih perawan?” Tanpa mengangkat kepala, wanita itu mengacungkan jari tengahnya ke arah Leo. Leo berpaling padaku. “Lihat kan, ini sama dengan menjual mobil, Dominick.
Karena itulah mengapa setelan ini adalah investasi yang bagus. Misalnya, si Pria Besar datang ke sini dengan istrinya yang berpantat besar dan topi Patriotnya, kau setidaknya sudah menang satu ronde dengannya, tahu? Jadi, kau berdiri, biarkan dia tahu kalau dia berurusan dengan orang berkelassedikit mengintimidasinya dengan penampilanmu. Gunakan kemenangan ini untuk keuntunganmu. Bergayalah sehingga menarik perhatian sang istri, sehingga dia akan mendukungmu saat pengambilan keputusan nanti. Memberikan keuntungan tersembunyi sebelum kau membuka mulut. Kau mengerti kan, apa yang aku bilang? Hukum rimba.” “Jadi, kau jadi apa?” tanyaku. “Cheetah?” Leo memperbaiki dasinya, menarik lengan kemejanya. “Memangnya apa yang kau tahu, Birdseed? Seperti yang kubilang tadi, kau kerja pakai celana monyet.” “Dan itu membuatmu jadi lebih baik dibanding dengan aku kan, Leo?” tukasku pedas. “Bahwa kau saat pergi kerja berdandan seperti gigolo kelas tinggi?” Lorna mengangkat kepalanya memandangku. Aku berdeham, melengos. “Tidak, Birdsey, itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Atau lebih buruk. Karena kita semua adalah pelacur. Bahkan juga para tokoh agama. Bahkan juga para tukang cat.” Aku mendengus. “Bagaimana mungkin seorang tukang cat itu pelacur?” “Apa kau mau naik tangga dua lantai dan membersihkan cat di depan hidungmu secara gratis? Hanya untuk seni? Kau menjual tubuhmu juga seperti kami semua, Tolol. Jangan tipu dirimu sendiri.” “Baiklah. Kalau begitu, bagaimana tokoh agama bisa dibilang pelacur?” “Aku tak bisa bilang bagaimana,” katanya. “Aku tak kenal wanita itu secara personal. Aku cuma tahu kalau teori ini benar. Bahwa kita semua bermain untuk mendapatkan uang. Menjajakan semua yang kita punya di pasar terbuka. Aku cuma bicara jujur tentang ini.” Saat bermain racquetball beberapa waktu lalu, Leo sendiri mengatakan kalau pekerjaan menjual mobil adalah “permainan pelacur”. Mengoceh tentang buku rahasia di bidang psikologi penjualan mobil yang tak boleh dibicarakan pada siapa pun. Musim dingin lalu, Gene, Costas, dan Peter Jr. pergi ke konvensi “Hadapi Tantangan pada Era Sembilan Puluhan” di MiamiLeo sangat tersinggung karena tak diajakdan saat kembali ketiganya, dengan kulit cokelat karena matahari Mediterania, mulai melakukan perubahan. Mendorong sistem leasing, mempekerjakan wanita dan kalangan minoritas untuk tenaga penjualan. Pak Tua membayar mahal untuk mendatangkan sejumlah “konsultan” yang bekerja dengan tim penjualan baru ini. Konsultan itu mengajari mereka untuk mengategorisasi setiap korban potensial yang datang melihat-lihat mobil. Mereka punya sistem di mana mereka tahu sebelum pembeli masuk pintu, sales mana yang akan berdiri menyambutnya dan pendekatan apa yang akan digunakan. Pelanggan minoritas adalah tugas Omar: kulit hitam dan hispanik, kata Leo. Omar juga ditugasi menghadapi pembeli yang suka olahraga, wanita usia dua puluhan, dandengar inihomo. Yaitu, mereka yang memandangi pantat dan badan Omar saat dia bolak-balik ke kantor Costa untuk melakukan strategi “polisi baik, polisi jahat”permainan yang mereka mainkan, yakni sales yang baik harus terus-menerus mengecek harga jualnya dengan manajer jahat dan pelanggan dibiarkan duduk menunggu dengan secangkir kopi di gelas styrofoam dan merasa kasihan pada sales yang harus bolak-balik membantunya. Sungguh menyedihkan, bukan? Para konsultan itu bahkan juga bekerja sama dengan Leo dan sales berbagai barang yang harus diletakkan di meja dan lemari kabinet “Proyeksi Citra Diri”. Omar meletakkan dua atau tiga pialanya di di belakang mejanya dan foto-foto dengan tanda tangansatu foto
lainnya tentang mereka. Namanya lemari kabinet Omar dengan
Larry Bird dan satu lagi fotonya dengan Presiden Bush. Leo meletakkan foto berpigura Angie dan anak-anak di mejanya, menghadap ke arah pelanggan, bukan ke arah Leo. Lorna meletakkan \r\aja\a\~-G/amour, Cosmo, People. Dia juga menempelkan gambar Michael Bolton di lemari kabinetnya. “Jadi, siapa yang dia dapat?” tanyaku. “Semua wanita yang cinta pada Michael Bolton?” “Nggak,” katanya. “Mereka bagianku. Lorna mendapat pria kulit putih profesional yang berpikir mereka bisa menipu cewek bodoh. Bukannya aku boleh mengatakan semuanya ini padamu, Birdseed. Aku akan dapat masalah besar kalau ketahuan. Tapi kau seharusnya melihat pria-pria yang membeli mobil dari Lornamereka keluar dari sini dengan sombong menggenggam kuitansi penjualan, sok banget, seakan-akan mereka baru menidurinya atau semacamnya. Mereka sama sekali tak tahu kalau dua jam sebelum mereka tanda tangan, kami menjual model yang sama persis dengan dua atau tiga pilihan tambahan dengan harga lima ratus dolar lebih murah.” Saat aku berdiri untuk pergi, Leo menemaniku sampai ke trukku. “Body-nya sudah mulai karatan, ya?” katanya mencungkil-cungkil pinggiran pintu di bagian penumpang. “Ya jangan dicungkil-cungkil, dong,” kataku Aku masuk. Menyalakan mesin dan mundur. Mengangkat tangan dengan isyarat peace ke Leo dan mulai keluar dari tempat parkir. “Hei, Dominick!” teriaknya. “Tunggu!” Leo berlari ke arahku, setelan bagusnya tertiup angin. Dia melongokkan kepala di jendela trukku. “Hei, aku baru saja berpikir,” katanya. “Kau ingat tentang daftar pengunjung yang kau bilang padaku tadi? Berapa banyak pengunjung yang boleh menengok kakakmu?” “Lima.” “Kalau begitu, bilang padanya kalau dia boleh memasukkan namaku. Kalau dia ingin. Aku mau pergi ke sana melihat keadaannya. Bilang apa kabar. Apa salahnya? 1969, kau bilang? Aku punya sejarah dengan Thomas juga.” Aku menganggukberterima kasih atas hadiah yang baru saja dia berikan. “Aku akan bilang padanya,” kataku. “Terima kasih.” “Nggak masalah, Bung. Sampai jumpa.” Lihat kan, itulah Leo: dia licik sekaligus baik. Dia mengejutkanmu. Mobilku bergerak menjauh, satu tanganku di kemudi, satunya lagi mengusap air mata yang menggenang di mataku. Leo, man. Pria itu penuh kejutan. Tiga Belas Kuburan Indian yang berbatasan dengan halaman rumah sakit jiwa Three Rivers adalah tempat yang sederhana: beberapa acre lahan dipenuhi jejak kaki tak bernama, dan sekitar seratusan nisan. Piramida dari tumpukan batu bulat segenggaman tangan setinggi sepuluh kaki berdiri di tengah-tengah. Monumen itu dibangun untuk memperingati Samuel, Kepala Suku Bangsa Wequonnoc yang pada abad ketujuh belas berperang melawan suku Nipmucks dan Pequots dan Narragansetts dan memilih bergabung dengan pemukim kulit putih. Kesalahan besar. Kota Three Rivers didirikan tahun 1653 dan berkembang semakin besar dan kuat secara hukum, karena yang berlaku adalah hukum kulit putih. Sementara itu, lahan konservasi Indian semakin menyempit dan jumlah anggota suku Wequonnoc semakin menurun. Nisan tertua di pemakaman itu tertanggal abad kedelapan belas dan sekarang sudah sangat lapuk dan dipenuhi parasit sehingga mencoba membacanya sama saja dengan
berusaha melihat sekaligus meraba seperti orang buta. Di bawah tanah pemakaman ini terdapat tulang belulang keluarga Fletchers dan Crowells, Johnsons dan Grays -Indian campuran, campuran artinya, saat meniduri orang kulit putih tak pilihpilih. Batu nisan yang agak baru merupakan korban perang dari suku Wequonnoc: veteran Perang Saudara dan Perang Amerika Spanyol, Perang Dunia, Perang Korea. Pada akhir 1960-an, saat Amerika kembali memakan korban pada generasi mudanya, nisan terakhir di pemakaman Indian itu ditanamuntuk menghormati Lonnie Peck, sepupu Ralph Drinkwater, yang terbunuh oleh tembakan sniper di hutan dekat Vinh Long tahun 1969. Saat itu adalah musim panas ketika manusia mendarat di bulan dan Mary Jo Kopechne terjun dari jembatan di Chappaquiddick dan juga festival Woodstock. Musim panas saat aku melihat Dessa Constantine menjadi bartender di DialTone Lounge dan jatuh cinta selamanya. Pulang dari universitas setelah melewati tahun pertama menjadi mahasiswa yang penuh gejolak, kakakku dan aku mendapatkan kerja musiman di Three Rivers Public Works Department. Ralph Drinkwater, Leo, Thomas, dan aku: benar-benar empat sekawan yang hebat. Tugas kami mencakup membersihkan lumut di reservoir, memompa air di lapangan pameran kota, dan memotong rumput di pemakaman kota, termasuk pemakaman Indian kecil itu. Thomas saat itu sudah mulai mendengar suara-suara, kurasa, tapi belum begitu buruk sehingga kau tak bisa bilang dia gila atau moody, dan aku terlena dalam urusanku sendiri yang lebih penting. Kami berusia sembilan belas tahun. Sekitar sepuluh tahun kemudian-setelah dokter mengganti label Thomas dari “manic-depressive” menjadi paranoid skizofrenik-pengobatan terbaru yang dijalani kakakku mulai membuatnya stabil. Pengobatan itu, sepertinya sebuah keajaiban. Ditenangkan dengan dua ratus miligram Thorazine per hari, Thomas mendapatkan “kartu jalan” dari rumah sakit jiwa. Dia senang dan bangga atas pencapaiannya ini; kartu itu memungkinkannya berjalan-jalan keluar ditemani staf atau keluarga. Dessa dan aku biasanya akan menjemputnya pada Minggu sore di pintu masuk Settle dan berjalan-jalan dengannya melewati bangunan-bangunan bata rumah sakit dan Ribicoff Research Center, lalu melewati halaman belakang ke Sungai Sachem. Aku ingat, Thomas suka melihat airnya melihat alirannya dan mendengarkannya. Kadang, dia suka melepas sepatu dan kaus kakinya dan mencemplungkan diri ke air sungai yang kecokelatan. Lebih sering, kami bertiga berjalan menyusuri tepi sungai hingga seperempat mil ke hilir, ke pemakaman Indian itu. Dessa dan aku akan mengamati nisan-nisannya sisa-sisa kehidupan yang tua dan terkubur sementara Thomas duduk di rumput, merokok, dan membaca Injil. Saat itu, dia sudah menganggap dirinya sebagai tangan kanan Tuhan dan target KGB. Cepat atau lambat, dia akan berdiri dan mengikuti aku dan Dessa, memberikan interpretasinya tentang ayat-ayat Injil atau lainnya ramalan akan terjadinya kiamat berdasarkan apa yang dia baca di koran, di berita malam, atau dalam mimpinya. Aku biasanya jadi gusar dan bilang padanya bahwa sekarang sudah waktunya pergi berjalan mendahului Thomas dan Dessa dan kembali ke Settle, di mana aku bisa meninggalkan Thomas dan pulang. Menunda kewajibanku lagi selama seminggu dan keluar dari sana. “Bersabarlah terhadapnya, Dominick,” kata Dessa menasihatiku dalam perjalanan pulang setelah kunjungan itu. “Kalau dia ingin bicara, biarkan dia bicara. Dia kan, tidak menyakiti siapa-siapa.” Jawabanku bahwa aku\ Dia menyakiti aku\ Melukai aku\ tetap tak terucapkan. Kalau kau adalah yang waras dari saudara kembar identikmu yang gila jika seleksi alam membuatmu terhindar dari kegilaan itu maka hal yang paling tidak kau inginkan adalah diingatkan akan kegilaan saudara kembarmu. Di ujung selatan pemakaman Indian itu, ada jalan setapak menjauh dari sungai, naik melewati rimbunan pinus, oak, dan cedar, lalu melewati gerumbulan semak bunga gunung yang mekar dengan indahnya setiap bulan Juni. Terus memanjat semakin tinggi, ikuti jalan setapak dan suara air, lalu melompati batu-batu besar, dan tiba-tiba kau akan sampai ke tempat yang akan membuatmu terpana.
Sungai Sachem, tiba-tiba terlihat lagi, mengalir deras di antara dua lereng batu dan tumpah ke bawah dari ngarai yang terjal. Setiap orang menamai tempat ini cukup dengan The Falls. Menurut sejarah atau legenda atau gabungan keduanya, Kepala Suku Samuel pernah mengejar musuhnya hingga ke pinggir salah satu lereng dan memberinya pilihan yang tak enak: menyerah dan dipenggal atau melakukan lompatan bunuh diri ke lereng seberang. Musuh itu melompat, bisa sampai seberang, namun kakinya patah. Samuel melompat di belakangnya dan berhasil dengan sempurna. Dengan api balas dendam yang membara, dia menghancurkan tengkorak musuhnya dengan batu, lalu mengiris dan memakan seiris daging bahu musuhnya untuk menunjukkan pada dunia