KAJIAN STILISTIKA NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU DAN PETIR KARYA DEWI LESTARI Sugiarti Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak Bahasa dan sastra memiliki keterkaitan yang cukup kuat. Tanda bahasa yang digunakan dalam karya sastra sebagai bentuk performansi komunikasi yang digunakan pengarang untuk menyampaikan pesan tertentu. Penyampaian pesan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan aspek stilistika sebagai wujud performansi kebahasaan. Dalam novel Nayla dan Petir pengarang berupaya memanfaatkan aspek stilistika agar karya yang dituliskannya menjadi indah dan menarik. Pergulatan bahasa serta pemikiran dituangkan dalam tanda atau simbol yang tersistem serta kaya akan makna dan mampu memberikan pengalaman bagi pembaca. Dalam hal ini pengarang memanfaatkan sarana kelinguistikan untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman estetis. Kemahiran sastrawan menggunakan stilistika, juga akan menentukan bobot karya sastra itu sendiri. Kata Kunci: Stilistika, Novel. A. PENDAHULUAN Stilistika menuntut bahwa pemahaman terhadap karya sastra berkelanjutan dengan pemahaman bahasanya, dan juga bahwa pendekatan bahkan teknik studi bahasa merupakan langkah pasti menuju pemahaman sastra. Kebanyakan kritikus cenderung mengambil jalan pintas dan memproses interpretasi karya sastra dalam konteks moral dan ideologi, tanpa mempertimbangkan tekstur linguistik apapun (Hough, 1972: 65). Stilistika sebagai bahasa khas sastra akan memiliki keunikan tersendiri apabila dibandingkan bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.
Bahasa sastra ”mendeformasi” bahasa biasa dengan pelbagai cara. Di bawah te-kanan alat sastra bahasa sastra diintesifikasi, dipadatkan, dijadikan teleskop, ditarik, dan dijungkirbalikan. Bahasa sastra adalah bahasa yang ’dibuat asing’, dan karena ’pengasingan’ itu, dunia sehari-hari juga tiba-tiba menjadi tidak familiar (Eagleton, 2006:4). Namun demikian kita sadari bahwa sastra merupakan karya ”kreatif” atau ”imajinatif”. Oleh karena itu untuk menjelajah ke medan makna Ricoeur menyebut ”dunia sebuah karya”, dunia yang menawarkan sesuatu yang baru. Maka untuk mendapatkan makna dari sebuah kata kita harus melakukan ”cara-cara baru” untuk memandang dan berhubungan dengan realitas, yang kita dapati dengan penggunaan kata yang Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|555
tidak biasa (Sugiharto, 1996: 108). Dari kedua pemikiran tersebut dapat dikatakan bahwa makna bahasa dalam sastra lebih cenderung performatif yang cenderung menuntut kita melakukan sesuatu yang berbeda. Pada perkembangan novel Indonesia modern pengarangpengarang baru memiliki kreativitas yang cukup andal dalam menggunakan tanda sebagai ’refleksi’, ’ekspresi’, ’representasi’ ide yang diungkapkan dalam karya. Tanda tidak dibiarkan konstan akan tetapi tanda mampu berbicara dengan pembaca sebagai bentuk performansi komunikasi yang menyenangkan. Kreativitas pembaca dirangsang untuk terus mengolah tanda-tanda yang ada dan akhirnya menemukan makna. Sebuah teks ’sarat secara semantik’, meringkas banyak ’informasi’ dibandingkan wacana lain karena teks memiliki organisasi internal yang unik. Pada dasarnya, pengungkapan dalam sastra tidak hanya sekedar persoalan ide atau cerita, tetapi juga persoalan pergulatan bahasa, serta pergulatan pemikiran. Pergulatan bahasa serta pemikiran dituangkan dalam tanda atau simbol yang tersistem serta kaya akan makna dan mampu memberikan pengalaman yang mendalam bagi pembaca. Pilihan kata yang tepat dapat menginspirasi ide/gagasan pembaca tertarik untuk menikmatinya. Mencermati berbagai kajian stilistika yang telah dilakukan maka
dalam tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana sebenarnya dalam penggunaan antara stilistika bahasa dan sastra dapat terpadu secara menarik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam teks (novel) yang dikaji banyak memanfaatkan sarana kelinguistikan yang mendukung pengarang dalam mengungkapkan pengalamanpengalaman estetis. Secara keseluruhan bahasan tersebut akan dipaparkan pada uraian berikut. B. PEMBAHASAN 1. STILISTIKA LINGUISTIK DAN STILITIKA SASTRA Stilistika (stylistic) menyaran pada studi tentang stile. (Lecch & Short, 1981:13) kajian terhadap performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak terbatas sastra saja (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2005: 279) namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan bahasa komunikasi sehari-hari . Stilistika adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan. Pendek kata, kita boleh setuju dengan pernyataan Wellek dan Warren (1990: 226) bahwa stilistika adalah bagian ilmu sastra, dan akan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|556
menjadi bagian penting , karena melalui metode ini akan terjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Stilistika merupakan pemanfaatan bahasa untuk mencapai efek estetis dalam berkomunikasi . Biasanya stilistika digunakan oleh kreator untuk memenuhi hak istimewa dalam menggunakan bahasa yang disebut kebebasan penyair (licentia poetica). Stilistika merupakan wujud performansi kebahasaan , khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesusasteraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech dan Short, 1981, dan Wellek Warren, 1956 dalam Nurgiyantoro, 2005: 279). Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa dalam suatu karya sastra . Studi ini memang berbau linguistik karena hubungan antara sastra dan linguistik memang sulit dipisahkan Stilistika akan membangun aspek keindahan karya sastra. Semakin pandai memanfaatkan stilistika , karya sastra yang dihasilkan akan semakin menarik. Kemahiran sastrawan menggunakan stilistika, juga akan menentukan bobot karya sastra itu sendiri. Lebih lanjut stilistika merupakan penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa tersebut mungkin
disengaja dan mungkin pula timbul serta merta ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang sastrawan akan menuangkan ekspresinya. Betapaun rasa jengkel dan senangnya , jika dibungkus dengan gaya bahasa akan semakin indah (Endraswara, 2003: 73) Berarti gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. Secara akademis, linguistik memahami bahasa, sastra memahaminya lewat bahasa. Baik pemahaman melalui linguistis maupun literer dapat dimediasi oleh stilistika. Stilistika merupakan objek baik bagi ilmu bahasa maupun ilmu sastra . Perbedaanya stilistika linguistik terbatas pada penelitian gejala bahasa secara deskriptif, yang dalam perkembangan kemudian disebut sebagai majas, sedangkan stilistika literer melangkah lebih jauh pada aspek-aspek yang melatarbelakangi sekaligus tujuan yang hendak dicapai , sebagai penelitian evaluatif. Analisis stilistika literer dilakukan sesudah dilakukan analisis stilistika linguistik, tetapi belum tentu sebaliknya. Menurut Wellek dan Warren ( 1990: 227) untuk meneliti aspek-aspek stilistika karya seorang pengarang di samping memahami kaidah –kaidah linguistiknya perlu juga menelusuri penggunaan bahasa pada zamannya, sebab pada dasarnya stilistika adalah
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|557
perbedaan penggunaan karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zaman tersebut. Karya seni bersifat imajinasi , personal dan khas. Tetapi, genesis karya seni yang sesungguhnya, khususnya apabila dikaitkan dengan peranan subjek, maka karya seni pada dasarnya adalah bagian dari struktur sosial. Karya seni lahir melalui interaksi kelompok tertentu dengan memanfaatkan peranan medium bahasa. Pada tahap yang kedua ini karya seni dengan berbagai dimensinya termasuk stilistika , dianggap sebagai manifestasi masyarakat, sebagai kualitas transindividu Tujuan akhir karya seni jelas kualitas estetis. Interpretasi diperlukan oleh karena kata, kalimat, dan wacana tidak mampu untuk menterjemahkan semua maksud penulis. Dikaitkan dengan struktur interaksi, baik interaksi antarindividu maupun antara individu dan masyarakat secara keseluruhan, khususnya sebagaimana diisyaratkan melalui f.ilsafat fenomenologi maka karya seni pada dasarnya melukiskan sikap dan gaya. Manusia dengan dunianya berada dalam konstruksi dialektik. Oleh karena itu, sikap dan gaya merupakan representasi peranan-peranan sosial, baik sebagai manifestasi perilaku individual maupun komunitas tertentu (Ratna, 2007: 251). Perubahan kultural direflek-sikan melalui gaya bahasa,
sedangkan gaya bahasa itu sendiri dipengaruhi oleh masyarakat. Seluruh aspek kehidupan merupakan tanda, yang digunakan sebagai sistem komunikasi. Tanda bermakna hanya dalam proses interaksi dan komunikasi. Bahasa merupakan salah satu sistem komunikasi terpenting sekaligus rumit dan kompleks. Karya seni, melalui mekanisme struktur sosial, mengubah struktur sosiokultural yang statis , stagnasi, dan beku, menjadi dinamis, bergerak, dan cair, yaitu melalui mode, cara, gaya, dan gaya bahasa (Ratna, 2007: 252) Karya seni mampu untuk menghapuskan sekat pemisah antarindividu, antarkelompok, antaretnis, dan antarbangsa, melalui proses komunikasi. Wellek dan Warren (1990: 228) menegaskan bahwa stilistika sastra memiliki wilayah yang lebih kaya, baik dibandingkan dengan stilistika linguistik maupun retorika. 2. KAJIAN STILISTIKA PADA KARYA PEREMPUAN PENGARANG INDONESIA Kajian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan penulis memainkan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|558
bahasa. Kelenturan penulis berolah bahasa akan menciptakan keindahan khas karya sastra. Dengan kata lain bahasa adalah wahana khusus ekspresi sastra (Endraswara, 2003: 72). Berdasarkan pengertian tersebut bahwa apapun bahasa yang dipilih oleh pengarang untuk mengekplorasi ide atau gagasannya semata-mata untuk mencapai aspek estetis pada karya yang dihasilkannya. Pembahasan ini akan difokuskan pada karya dua perempuan pengarang Indonesia yaitu Nayla karya Djenar Maesa Ayu, Supernova (Petir) karya Dewi Lestari, Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa (1) kedua novel tersebut lebih banyak menggunakan stilistika linguistik dan stilistika sastra, (2) kedua novel tersebut sebagai bahan dalam penyusunan rencana disertasi. Pada kenyataannya kedua perempuan pengarang memiliki keunikan dalam penggunaan bahasa untuk mengekspresikan peristiwa demi peristiwa pada teks sastra yang dihasilkannya. a. PENERAPAN KAJIAN STILISTIKA PADA NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU Pengungkapan dalam bentuk suasana peristiwa maka digunakanlah pilihan kata yang mampu mewakilinya, misalnya kata kegaduhan dikontraskan dengan kata
sepi, lampu berpencar silih berganti, hanya ada tawa yang mabuk, hanya ada mabuk yang limbung, hanya ada limbung yang lupa, hanya ada lupa yang sejenak mendapat bahagia. Tapi bagi saya lupa tetaplah nestapa. Penggunaan repetisi pada kata hanya ada merupakan sebuah penekanan yang cukup penting untuk melihat kesemrawutan suasana yang ada. Namun kenyataan itulah estetika sastra melalui bahasa yang dibangun dalam karya sastra (novel) untuk mengungkapkan suasana tertentu.. ”kegaduhan ini tetap saja terasa sepi. Lampu warna-warni berpencar silih berganti seiring dengan suara musik yang menghentak seantero diskotik hingga lorong yang menuju kamar mandi... Apalagi jika waktu sudah hampir sudah hampir menginjak dini hari. Hanya ada tawa yang mabuk. Hanya ada mabuk yang limbung. Hanya ada limbung yang lupa. Hanya ada lupa yang sejenak mendapat bahagia. Tak bagi saya lupa tetaplah nestapa. Bahkan ketika pengaruh alkohol sudah sampai melewati kapasitas otak juga tubuh saya dan mengocok perut.... (Nayla, 2005: 3) Penggambaran bagian-bagian aktivitas yang seakan telah menjadi kebutuhan hidup, gaya hidup dan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|559
tempat mencari hidup bagi sebagian ”orang modern” yaitu: minum minuman keras, seks bebas, tempat ramai (diskotik) dan kebiasaan menghabiskan malam di luar rumah. Dalam hal ini semua tokoh cerita termasuk Nayla terlihat larut dan menikmati aktivitas itu, tanpa ada penolakan atau keragu- raguan. Keadaan dan perilaku seperti itu secara otomatis akan membawa imaji kita ke alam ”dunia barat” yang sangat mengagungkan eksistensialisme atau kebebasan diri tanpa harus mempertimbangkan norma sosial , agama beserta aturan-aturannya yang dianggap sangat kaku dan mengikat walaupun pada hakikatnya mereka tidak mendapatkan apa-apa selain dari kebahagiaan sesaat yang justru terlahir dari penyiksaan diri terlebih dahulu. Dalam novel Nayla gaya postmodern dalam narasi besarnya membangun atas keraguan dan ketidakpercayaan itu bermuara pada keterbukaan terhadap kesediaan menerima inkonsistensi, ketidaksejajaran antar unsur pembangun dunia dan keanekaragaman. Dalam Nayla wacana yang dihadirkan cenderung berkorelasi dengan refleksi postmodern. Kulit telanjang mereka merapat. Mereka bergulat. Saling menyentuh dan meraba. Saling mengecup dan menjilat. Saling
memberi dan menerima” (Nayla, 2005: 81-82). Gaya personifikasi nampak kental pada kutipan di atas ”kulit telanjang” menggambarkan manusia yang saling bertemu dan beradu kasih, serta penggunaan repetisi pada kata saling yang memberikan penguatan bahwa peristiwa itu berulang kali dilakukan dan memberikan kesan kenikmatan pada keduanya. Pemanfaatan kata itu merupakan bukti penguasaan pengarang akan potensi dan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa yang digunakannya. Dalam hal ini Nayla mengemban dua misi yaitu kebebasan berpikir tokoh cerita dan kebebasan berpikir pengarangnya itu sendiri. Kebebasan bergerak atau berpikir tokoh cerita secara tegas diwakilkan oleh Nayla atau ibu yang begitu progresif, tegar, individualis dan cenderung liberal. Sedangkan secara implisit Nayla menyuarakan pergulatan pemikiran dan keinginbebasan si pengarang dari kungkungan tradisi budaya yang lebih mengekang pribadi kaum wanita, seperti terungkap pada kutipan berikut. “Semua berjalan cepat. Kami bercinta dalam waktu singkat. Maka dalam waktu sesingkat itu tak ada satu orang pun yang bisa memuaskan saya seperti Juli, tetapi memang bukan sekedar kepuasan kelamin yang saya cari.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|560
Saya butuh kepuasaan rohani. Mendengar suara mereka mengerang. Merasakan tubuh mereka menggelinjang. Menyaksikan mereka tak lebih dari seekor binatang sangatlah menyenangkan. ….” (Nayla, 2005: 101). Kemahiran pengarang dalam menghadirkan nilai estetik dengan penggunaan bahasa yang tepat akan mampu membawa pikiran pembaca pada suasana tertentu. Misalnya: Kami bercinta dalam waktu singkat... memuaskan batin maupun rohani, tubuh mereka menggelinjang dan sebagainya. Pengarang bebas berpikir dan ia juga bebas bergerak mengabaikan segala aturan hidup ini. Dia menyamakan laki-laki seperti binatang tanpa memikirkan nama orang yang bercinta dengan binatang. Kebencian terhadap laki-laki juga terlihat pada pilihan kata menjijikkan, sebongkol biji dan sekerat daging, binatang. Pemaknaan pada pilihan kata tersebut menyiratkan tentang pemberian nilai negatif bagi laki-laki. “… Tidak! Tubuh yang dimilikinya sekarang ini tak sepatutnya berganti dengan tubuh laki-laki yang menjijikkan! Tubuh dengan sebongkol biji dan sekerat daging lebih bukan sesuatu yang layak untuk diidamkan. Tanpa tubuh itu, Juli akan membuktikan. Bahwa ia
adalah \juga seorang manusia yang tak layak diperlakukan bak binatang” (Nayla, 2005: 103). Hal yang paling mengecewakan dan menyakitkan bagi seseorang bukanlah ketika ia dipukul atau dikhianati, melainkan ketika ia dikatakan “menjijikkan”, karena dalam kata tersimpan atau tersusun beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu konsep buruk, busuk, tidak berguna dan hal lain yang membuat psikis dan fisik manusia alergi atau bahkan menyebabkan kematian dalam ketidaksenangan. Kata menjijikkan itulah yang dilekatkan tokoh cerita Juli kepada laki-laki pada kutipan di atas. Bentuk sanjungan Nayla terhadap kaum perempuan terlihat pada pilihan kata kuat yang memberikan kesan pada ketegaran dalam menerima kenyataan hidup. “Ibu memang orang yang kuat. Tak akan pernah saya sekuat Ibu. Saya tak pernah melihat ibu begitu mencintai laki-laki seperti ia mencinta Om Indra. Tapi ketika hubungan mereka berakhirpun, ibu terlihat biasabiasa saja. Tak pernah saya saksikan air mata meleleh di pipinya suaminya seperti teman-teman arisan Ibu yang berkumpul di rumah ketika sedang membicarakan perselingkuhan ….” (Nayla, hal. 111).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|561
Ketegaran dan kekuatan Ibu menerima perpisahan yang paling derita dalam hidupnya pada kutipan di atas merupakan perwujudan pembelajaran kepada kaum perempuan bahwa perpisahan itu hal wajar yang tak perlu ditangisi apalagi sampai terpuruk dalam kesedihan dan penyesalan yang berlarut-larut. Kedinamisan dan progresifitas yang tinggi dalam kehidupan itulah yang menjadi point terpenting dan hal yang paling dibanggakan dalam novel Nayla. Demi efek estetis yang ingin dicapainya, bahkan ia berwenang. Demikian pula pada pilihan kata saya kutipan berikut memberikan penanda bahwa individu (pengarang) memiliki hak untuk menonjolkan (foregrounding) bagian cerita tertentu untuk menggugah simpati atau empati pembaca. “Saya manusia biasa yang kebetulan bisa menulis dan karyanya sudah dipublikasikan. Saya juga manusia biasa yang suka difoto. Jadi kenapa saya tidak boleh difoto? Biasa ajalah. Sebagai penulis yang dibaca kan karyanya. Bukan penampilan atau gaya hidup saya” (Nayla, 2005: 121). Nuansa kebebasan yang tersirat dalam kutipan di atas mengindikasikan kebebasan berpikir si pengarang sendiri. Hal itu terlihat dari pernyataan “Saya manusia biasa …. Saya juga
manusia biasa….” Pengakuan ini begitu polos dan terkesan keluar dari hati pribadi penulis dan sangat menyentuh. Pengakuan itu diperkuat lagi oleh keresahan atau kekhawatiran pengarang terhadap apa yang ia tulis seperti terlihat pada kutipan di bawah ini. “Seharusnya saya tidak takut. Setelah segala sesuatu yang terjadi pada saya, tidak ada alasan apapun untuk merasa takut, apalagi merasa tidak berhak. Saya tidak berhak menyakiti hati siapa pun, tapi bukankah saya berhak untuk pengalaman itu sendiri?” (Nayla, 2005: 175). Begitu sangat hati-hati pernyataan dan pengakuan ini, namun begitu sangat berkuasa terhadap apa yang dinyatakannya. Pengarang membangun konsep setiap orang berhak untuk pengalamannya sendiri dengan mengabaikan konsep yang konkrit eksis di dalam masyarakat “Setiap orang berhak merasa kecewa dan terluka dengan pernyataan pengalaman orang lain”. b. KAJIAN STILISTIKA PADA NOVEL PETIR KARYA DEWI LESTARI Dalam novel Supernova (Petir) karya Dewi Lestari terjadi dialog antara pengarang dan pembaca. Pengarang dalam menghadirkan pola pikir dan pola perilaku tokoh
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|562
cenderung pada persoalan pencarian jati diri dalam bentuk keyakinan dan berbagai hal yang berkaitan dengan kepribadian individu. Hal ini dapat diperhatikan melalui tokoh Elektra digambarkan sebagai seorang gadis yang memiliki keanehan, yaitu energi listrik yang terdapat dalam tubuhnya. Keanehan itu membuat Elektra penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Ungkapan itu ditunjukkan dengan pilihan bahasa yang cermat, pertanyaan retoris yang menyelimuti tokoh serta pemenggalan suku kata menggambarkan kondisi riel yang dihadapi tokoh. Hal ini dapat diperhatikan melalui kutipan berikut. ”Sekian lama berdiam tepi jendela, memori masa kecilku merasuk masuk. Aku teringat betapa senangnya dulu memandangi kilatan petir. Aku tidak ingat kenapa. Justru itulah yang ingin kucari tahu. Kalau dulu otakku belum terlalu kritis untuk bertanya, nah sekarang, dengan tumpukan protein telur ayam ini masa sih otak Elektra nggak bisa berkembang sedikit dan mulai penasaran mencari jawaban? Ke-na-pa a-ku su-ka pe-tir?” (Supernova (Petir), 2005:45). Selanjutnya Elektra mulai bertanya-tanya sesungguhnya apa yang terjadi pada dirinya, kekuatan aneh
yang menyerupai listrik yang keluar dari tubuhnya. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa tokoh Elektra sedang melakukan pencarian jati dirinya. Lompatan pemikiran yang dirasakan tokoh menjadi sesuatu yang menarik serta pertanyaan balik yang dilontarkan pada dirinya ketika ia mengalami sesuatu yang menumpangi dirinya dapat membuat orang lain dilemahkan. Pilihan kata yang digunakan mampu mewakili perasaan tokoh ketika ia merenungi tentang dirinya. Di samping itu digunakan pula sarana linguistik (metonimia) untuk memperjelas imaji karena metonimia menyampaikan halhal yang konkrit dari hal yang disampaikan. “Setiap aku berpikir, apa itu? Apa ‘itu’? Yang keluar dari tubuhku, atau menumpangi tubuhku, sehingga bisa mengKO nenek malang itu. Kalau memang bukan listrik, apakah itu penyakit? Apakah aku telah menularkan epilepsi padanya? Bisakah epilepsi menular lewat sentuhan?” (Supernova (Petir), 2005: 59). “Kamu ternyata lebih maju dari yang Ibu duga. Hebat sekali, decaknya kagum. Kamu makin dekat dengan pintu pencarianmu….” (Supernova (Petir), 2005: 131).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|563
Apa yang menjadi keraguan Elektra mulai mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaanya selama ini setelah bertemu dengan Ibu Sati yang membimbingnya. Penemuan bahwa dalam tubuh Elektra terdapat kekuatan listrik yang harus dikendalikan secara baik. Di samping itu, juga diberikan pemahaman bahwa kekuatan yang dimiliki Elektra dapat diasah dan dikendalikan. Elektra menemukan jawabannya setelah ia bertemu dengan Ibu Sati yang memberikan pengajaran tentang bagaimana menggunakan kekuatan listrik yang ada pada tubuh Elektra. “Ternyata memang tak ada jawaban yang lebih baik. Jauh di lubuk hati, aku tahu ini bukan karena epilepsy. Aku tahu ini bukan gara-gara tarian memanggil petir. Aku tahu ini tak ada hubunganya dengan kutukan turun-temurun Ni Asih. Sesuatu yang tak beres bersemayam di dalam diriku, entah sejak kapan? Semua itu telah memilih tubuhku. Tapi, siapa itu? Kalau ‘itu’ bukan Elektra Wijaya, berati siapa? Siapa sesungguhnya ‘aku’? Aduh, kenapa jadi sampai disitu masalahnya…? (Supernova (Petir), 2005: 133). “Mendengar kalimat beliau barusan, napasku spontan menghela panjang. Kelegaan
luar biasa mengisi seluruh rongga. Akhinya seorang manusia di luar sana dapat menjelaskan keanehanku tanpa buntut aneh-aneh. Aku tahu masih banyak yang perlu ditelusuri, tapi sebuah titik terang terbit dengan indahnya sore itu.” (Supernova (Petir), 2005: 139). “Jangan salah, bantahnya, itu sangat sebanding dengan usaha kamu, Elektra, kamu justru baru melewati pelajaran terberat, yaitu memberi kendali pada kemampuan kamu. Kalau tadinya ruangan tanpa pintu, sekarang kamu sudah menambahkan pintu dan mengendalikan siapa yang keluar dan masuk.” (Supernova (Petir), 2005: 146). Kepribadian para tokohnya digambarkan dengan jelas dalam monolog atau dialog antar tokohnya. Kepribadian adalah perwujudan lahiriah seseorang (walaupun belum tentu menggambarkan keadaan yang sebenarnya), yang berupa watak atau peranan serta sifat-sifat khusus yang dinilai oleh seseorang (Pattyna, 1982: 147). Pengarang menggambarkan perasaan yang dirasakan para tokoh dalam novel Supernova (Petir) ini, baik perasaan sedih, bahagia, takut, ragu, bersalah, dan sebagainya. Pada diri tokoh Elektra spiritualitas cenderung kepada
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|564
pencarian jati diri, dimana tokoh Elektra berusaha mengenali diri dan mencari tahu kekuatan aneh apa yang ada dalam dirinya. Saat itulah tokoh Elektra semakin yakin dengan spiritualitas yang dia kembangkan akan mampu mengendalikan apa yang terjadi pada dirinya. “Ia lalu bertutur sambil menggunakan sendok sebagai alat peraga: petir itu terjadi kalau atmosfer tidak stabil. Panas bumi membuat udara di permukaan jadi panas, dan udara panas ini menjadi naik…teruus, teruuus, mereka berkelompok di sekitar udara yang lebih dingin sampai terbentuklah awan kumulonimbus, yang di dalamya ion positif-negatif bergumul, bergumul, jadi kekuatan listrik yang besar, kemudian-BUM! Ibu Sati menjatuhkan sendoknya, lalu menatapku yang menatapnya bingung. Jadi lanjutnya lembut, petir terjadi ketika bumi dan langit menyamakan persepsi. kalau kami mendengar bunyi guntur di luar sana, artinya ada konflik sedang berusaha diselesaikan. 70 sampai 100 kilatan setiap detiknya di seluruh Bumi, bayangkan. Alam tidak pernah berhenti membersihkan dirinya. Dan
kalau kamu sadar bahwa kita sepenuhnya bercermin dari alam, kamu bisa lebih mengenali diri kamu sendiri. Setiap orang mempunyai potensi pada dirinya, Elektra. Setiap orang sudah memilih peran uniknya masingmasing sebelum mereka terlahirkan ke dunia. Tapi, setiap orang juga dibuat lupa terlebih dulu. Itulah rahasia hidup. Nah, alangkah indahnya, kalau kita bisa mengingat pilihan kita secepat mungkin, lalu hidup bagai hujan. Turun, menguap, ada. Tanpa beban apa-apa. Ia sudah tahu, batinku dalam hati. Ia tahu! Bu saya ingin cerita, ujarku lirih. Selama ini saya punya penyakit yang – aneh. Tadinya saya pikir itu epilepsi… Kamu kira itu epilepsi, Ibu Sati memotong lalu menggenggam tangan kiriku. Matanya kemudian memejam sejenak. Kamu bukan epilepsi, tapi setiap kali itu terjadi di tubuh kamu kadang-kadang bereaksi persis seperti orang epilepsi, sambungnya. ‘itu’-apa, Bu? Tanyaku tegang.” (Supernova (Petir), 2005: 99-100).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|565
Kekuatan alam, kekuatan supranatural manusia serta peristiwaperistiwa yang dialami tokoh merupakan sesuatu pengalaman yang unik dan menarik. Perpaduan antara batiniah tokoh dengan penyatuan dirinya terhadap alam menjadikan keyakinan tersendiri bagi tokoh. Hal ini sejalan dengan pemikiran tentang spiritualitas dalam psikologi menurut Jacques Derrida (dalam Dekontruksi Spiritual, 2002: 5) adalah spiritualita s atau metafisik dalam agama mengacu pada penjelmaa n roh. Suatu pandangan bahwa realitas terakhir adalah roh/jiwa dunia yang meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatanya adalah sebab
aktivitas tata arah alam semesta dan berguna sebagai satusatunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam semesta. Elektra sedang dalam pencarian Tuhan, dia ingin mengetahui keanehannya. Pada Bu Sati ia mencari dengan jalan meditasi. Elektra ingin mencari Tuhan dan ingin bertanya pada-Nya langsung. Stilistika linguistik dan stilistika sastra dipadu dengan pilihan kata yang tepat menjadikan sesuatu yang disampaikan pengarang menjadi lebih konkrit. Di samping itu kepribadian dan perasaan tokoh dalam cerita terungkap secara lengkap sehingga menjadikan cerita tersebut menjadi hidup. Perasaan atau seringkali disebut dengan istilah renjana merupakan gejala phsikis yang dihayati secara subyektif dan pada umumnya berkaitan dengan gejala pengenalan yang dialami oleh individu dengan rasa suka atau tidak, duka atau gembira dalam macam-macaam gradasi, derajat, serta macam-macam
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|566
tingkatan (Kartono, 1990: 87). Pergolakan pikiran tokoh mengenai keberadaan Tuhan yang tidak hanya ada di gereja, di langit, namun di manapun kita berada, dan lebih dekat lagi yaitu Tuhan ada di hati. Pengolahan stilistika linguistik dan stilistika sastra menjadikan cerita menarik. “ Stop, Etra. Berhenti cari alasan. Akui kamu mentok. Mungkin sudah saatnya kamu seratus persen jujur. Oke. Sembilan lima. Hmm. Delapan tujuh, deh. Aku pun menjawab terbata; karena…karena saya mencari Tuhan. Wuaduh! Gobloknya kamu Etraaa…belajar matematik nggak, sih?! 87% =0%=0% ngibul total! Ibu Sati tersenyum kecil, kenapa Tuhan harus dicari? tanyanya.” (Supernova (Petir), 2005: 77). “Matius 6 ayat 33, cari dahulu kerajaan Allah dan kebenaranya, ujarnya mantap. Nyindir, nih. Mentangmentang udah lama aku gak ke gereja… Ibu Sati terpingkal. Jadi kamu masih mengira kerajaan Allah Cuma ada di gereja? Atau di langit? Ha
ha! saya pikir kita sudah lebih maju daripada itu. Kerajaan Allah ada di sini…ibu Sati menunjuk tanah.” (Supernova (Petir), 2005: 144) Di samping itu bagaimana Wati kakak Elektra begitu percaya akan kuasa Tuhan, dia percaya bahwa Tuhan akan menolong umat-Nya dengan ayat-ayat dan kuasa-Nya. Akhirnya Elektra percaya bahwa ayatayat Tuhan dapat menghapus kesialan atau kutukan. Watti menjelaskan kepada Elektra bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan untuk membantu hamba-Nya yang sedang ketakutan lewat ayat-ayat-Nya. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipankutipan berikut. “ Waktu itu umurku sembilan tahun lebih seminggu. Jangan salahkan aku tidak mampu membela diri. Jadi harus diapain, dong? Dedi bertanya lagi pada Watti yang senyum-senyum kecil tanda puas, kalau sudah bicara kuasa iblis, mau tidak mau kita harus bicara tentang kuasa Tuhan, sebuah topik yang membuat Dedi kehilangan rasa percaya dirinya. Sudah bertahuntahun, tepatnya setelah mami meninggal, Dedi berhenti ke gereja. Cuma dua kali setahun: Paskah dan Natal.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|567
Lain dengan watti yang aktif mengikuti persekutuan do’a, bahkan sudah bisa menginjili dan mempromosikan kuasa Yesus ke orang-orang tak dikenal.” (Supernova (Petir), 2005: 14). “Dengan patriotik Wati menjelaskan misi mulianya: Selasa besok. Wati mau membawa Etra ke persekutuan, nanti dia dibantu sama kakak-kakak di sana. Cuma dengan bantuan Tuhan, Ded, Etra bisa sembuh.” (Supernova (Petir), 2005: 14). Dalam Supernova ”Petir” tidak dapat dilepaskan dengan spiritualitas para tokoh yang hadir dalam cerita. Agama merupakan salah satu keyakinan hidup para tokoh. Seperti halnya yang dialami Watti, Elektra, Bu Sati dan Atam. Berbagai upaya untuk memberikan pemahaman terhadap agama masing-masing menjadi sesuatu yang menarik diamati. Seperti halnya yang terjadi pada diri Watti untuk menyatukan dia dengan calon suaminya. Sampai dia rela pindah agama demi menikah dengan Atam. Novel ini sebenarnya tidak lepas dari relegiusitas tokoh-tokoh di dalamnya. Kita dapat mengamati relegiusitas pada tokoh Bu Sati yang tidak digambarkan begitu jelas oleh pengarang. Kita dapat melihat agak jelas mengenai agama tersebut dari
peristiwa berikutnya yang menjelaskan kalau Elektra dan Bu Sati adalah penganut agama Kristen Katholik, ini sekaligus menunjukkan bahwa Elektra dan Bu Sati memiliki keyakinan akan adanya Tuhan. Hal ini dipertegas dengan pendapat keyakinan adalah pengharapan-pengharapan di mana orang yang relegius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui keberadaan doktrin-doktrin tertentu. Keyakinan ini tidak hanya pada agama saja namun juga pada tradisi-tradisi baik pada masyarakat atau agama yang sama (Robertsoon, 1988: 296). Beberapa kutipan yang menunjukkan tentang keyakinan akan adanya Tuhan atau agama dapat diperhatikan pada bagian berikut. “Atam sudah serius sama Watti, Ded. Tapi syarat dari keluarganya, Watti harus masuk Islam. Boleh ya, Ded? Watti juga pingin serius sama kang Atam.” (Supernova (Petir), 2005: 28).
“Udah, deh, Tra. Cari pacar aja yang oke, yang baik, yang bisa menghidupi kamu. Beres. Dengan ringan Watti berkata. Dengan dingin aku menimpali: Dan harus seiman. Biar gak jadi roh penasaran. (Supernova (Petir), 2005: 42). “Ternyata banyak hal yang menarik. Tadinya kupikir si Ibu beragama Islam karena ada
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|568
kaligrafi huruf arab bertulis ‘Allah’ dipajang dalam pigura. Tapi aku baru sadar, disebelahnya, tahu-tahu ada patung Dewa Shiwa dari kayu hitam. Aneh betul. Tinggal Yesus yang absen, aku terkekeh dalam hati. Dan bertepatan dengan itu, mataku tertunbuk pada pigura berisi poster lain. Pemuda bersorban putih yang sedang tertawa lepas. Siapa lagi ini…” (Supernova (Petir), 2005: 68) “Gereja mana? GKI, jawabku pendek. Agak tidak enak menyebut karena sudah satu tahun lebih tidak kuinjak tempat itu. Kalau saya sukanya ke Katedral. Tiap malam natal saya misa ke sana. Oh, ibu Katolik? (S (P), 2005: 70) Nilai-nilai yang menjadi ”way of life” dalam novel Petir cukup menarik. Pengarang menawarkan berbagai keyakinan yang ada kepada diri tokoh untuk menentukan sendiri tentang berbagai keyakinan, kehidupan, termasuk kepercayaan terhadap hal-hal ghaib. Simile yang digunakan dapat dicermati dari beberapa kutipan berikut: “Andai Watti benar, kalau betulbetul ada setan tinggal dalam aku…gawat. Gawat. Dan ketidaknyamanan ini sudah dimulai. Rupanya Watti sudah
menyiarkan berita tentang aku dari jauh-jauh hari. Mereka menyambut kami seperti bintang tamu istimewa, atas pesakitan kronis. Tatapan iba dan simpatik kudapati setiap beradu mata dengan para anggota persekutuan. Bukanya lega, batin ini malah tambah tegang. Bayangan Ateng dan Iskak dalam baju ketat warna putih hitam terus menyerang.” (Supernova (Petir), 2005: 15). “ Lalu, Dedi akan bertemu Mami. Karena itu juga aku menangis. Aku iri. Bagi anak yang hanya mampu mengingat wajah ibunya samarsamar, bercampur-campur dengan hidung, mata, dan rambut orang lain, tersimpanlah rasa penasaran besar di dalam hati. Bisa jadi aku bukanya kangen karena jejak kehadiranya belum sempat melekat dalam ingatan, melainkan penasaran tok. Aku kepingin melihat Mami. Live.” (Supernova (Petir), 2005: 26). “Dibalik nisan Kambing, aku salipkan surat lamaranku. Sebagian kututupi tanah agar tak terlalau kentara. Aku melengak menatap angkasa. Ayo; kurir-kurir gaib, di mana pun kalian berada, kalau pada akhirnya aku tidak diterima sekalipun, mohon jangan bikin malu dengan tidak menjemput surat ini hingga akhirnya pamanku dan tukang kebunlah yang membaca. Dan jangan bilang
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|569
kalian mendiskriminasikan kuburan binatang. Mereka juga makhluk Tuhan.” (Petir, 2005:75) Stilistika yang dibangun pada kutipan di atas menunjukkan bahwa secara psikologis tokoh mengalami pergolakan batin antara keyakinan terhadap Tuhan dan kenyataan peristiwa yang dihadapi. Dalam keyakinan Watti bahwa di dalam diri Elektra adiknya ada kekuatan setan atau iblis yang harus disembuhkan. Di samping itu Elektra memiliki kepercayaan tentang alam ghaib yang akan mempertemukan ayah dan ibunya. Elektra juga mempercayai adanya hantu atau setan yang akan memberikan pekerjaan padanya, dia mengirim surat lamaran kerja melalui kuburan, dan surat tersebut dipercaya akan di ambil oleh utusan gaib. Selanjutnya diapun mempercayai bentuk lain selain manusia yang berupa roh, setan atau iblis. Dia yakin bahwa setan, sihir tersebut dapat masuk pada tubuh seseorang seperti yang di alami Ni Asih: “Untuk kedua kalinya aku percaya bahwa manusia dapat bertransformasi total, menuju satu bentuk yang tak terduga. Siapa sangka tubuh imut itu ternyata muat untuk dua orang, 2 in 1. Nenek manis bernama Ni Asih dan preman gunung bernama Aki Jembros.” (Supernova (Petir), 2005: 54).
“ Kini bukan hanya perasaan diawasi saja, tapi aku curiga semua khasiat dan kesembuhan yang telah dilakukan Aki Jembros terdiskualifikasi karena setruman itu, yang berarti aku masih diincar siluman maniak perawan, dan sifat-sifat burukku tak jadi dicabut. Ditambah lagi kekhawatiran kalau-kalau beliau atau pengikut fanatiknya menyimpan dendam, lalu pada suatu malam tiba-tiba aku terbangun dengan mulut penuh…lupakan." (Supernova (Petir), 2005: 59). “Sejak dulu, ada suatu rumah di daerah Batu yang kucurigai sebagai rumah nenek sihir. Bentuknya sempit seperti piviliun, terbuat dari kayu. Gerbangnya jauh lebih depan dari garis sepandan rumah-rumah tetangga, membuat ia tambah mencolok seolah menentang publik. Tembok dalamnya ditutupi potongan bamboo yang dicat hitam campur cat merah meluntur yang mengingatkan kita pada darah kering. Aneka kendi di tumpuk mengelinglingi bangunan layaknya kerikil hiasan. Tak Cuma di situ, pada akar-akar pohon beringin yang tumbuh persis di samping rumah, kendi-kendi ikut di gantung.” (Supernova (Petir), 2005: 66).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|570
Novel Petir merupakan sebuah representasi tentang kondisi riel yang terjadi dalam masyarakat. Keyakinankeyakinan yang dibangun oleh masyarakat secara kental direpresentasikan pada novel tersebut. Keraguan, keyakinan, sikap, kepribadian manusia secara lengkap tergambarkan dalam novel tersebut. Hal ini sesuai dengan pemikiran Eric Aurbech (Hough, 1972: 69) dalam sebuah artikelnya ”The Presentation of Reality in Western Literature” melihat cakupannya sangat luas terdiri dari berbagai macam cara yang mencakup pengalaman aktual manusia, historis, sosial, moral, dan religius yang dihadirkan dalam pola sastra dalam berbagai macam fase budaya barat. Dari sini nampak bahwa pada tradisi sastra secara global tidak dapat dihindari adanya tantangan-tantangan kehidupan yang lebih komplek dihadirkan pengarang melalui narasi cerita sehingga menjadikan kejelasan masalah yang dialami oleh tokoh. Simbol-simbol stilistika yang digunakan terkait dengan alam, keyakinan, alam ghaib, sihir, kekuatan supranatural dipadu sedemikian rupa. Pembaca diajak menggembara ke dunia religius dan mistis dalam memahami teks (novel). Karya sastra berada di sebuah ranah estetika di mana ia adalah simbolisasi keindahan. Ia menjelaskan tentang objek estetik, kualitas serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia, yaitu perasaan, imajinasi, alam pikiran dan institusi
(Hadi W.M, 2004). Kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa sastra selalu bergerak mengikuti gerak zaman kapan sastra diciptakan serta memberikan pengalaman yang unik bagi manusia, karena sastra mampu menelusup ke dalam kehidupan dasar manusia C. PENUTUP Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi –dengan arti memanfaatkan-- unsur yang terdapat bahasa dan efek apa yang ditimbulkannya oleh penggunaan itu. Di samping itu stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Penggunaan pilihan kata, majas menjadikan karya tersebut menarik pembaca untuk menikmatinya. Dengan cara-cara yang dipilihnya tersebut pengarang ingin mengajak pembaca untuk melihat dan merasakan sesuatu sebagaimana ia melihat dan merasakannya, menafsirkan sesuatu sebagaimana ia menafsirkannya, dan menyikapi sesuatu sebagaimana dia menyikapinya. Dalam penggunaan bahasa gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya membangkitkan dimensi yang stagnasi. Di samping itu gaya merupakan tindakan untuk melahirkan sesuatu yang baru untuk mencapai suatu kepuasan yang melibatkan orang lain atau komunitas lain. Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|571
dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang pengarang akan menuangkan ekspresinya . Betapapun rasa sedih, jengkel, bahagia atau senang, jika dibungkus dengan gaya bahasa akan semakin indah. Oleh karena itu bahasa yang digunakan memiliki keunikan tersendiri. Mencermati penggunaan stilistika pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan Supernova (Petir) karya Dewi Lestari nampak adanya kekhasan dalam pilihan bahasa yang digunakan . Stilistika sastra yang digunakan adalah ragam khusus yang digunakan untuk memperindah teks. Adapun stilistika genetis merupakan gaya bahasa individual yang memandang gaya bahasa sebagai ungkapan yang khas pribadi. Namun
demikian tetap menggunakan sarana kelinguistikan untuk pilihan kata, kalimat dan sebagainya. Dari paparan yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan Supernova (Petir) karya Dewi Lestari lebih banyak menggunakan stilistika linguistik dan stilistika sastra dalam mengekplor gagasan yang tertuang dalam teks sastra. Kekhasan pilihan kata serta efek estetik yang ingin dicapai dioptimalkan penggunaannya sedemikian rupa sehingga menimbulkan daya tarik tersendiri bagi pembaca.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|572
DAFTAR PUSTAKA Ayu, Djenar Maesa . 2005. Nayla. Jakarta : Gramedia. Derrida, Jaques. 2002. Dekontruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual. Jakarta: Jalasutra. Eagleaton, Terry. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologis Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hadi W.M, Abdul. 2004. Hermenutika, Estetika, dan Religiusitas (Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari. Hough, Graham. 1972. Concept of Literature Style and Stylistic. London : Routledge dan Kegan Paul. Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Komposisi Lanjutan I. Jakarta: Gramedia. Lecch, Geoffrey N. Dan Michael H. Short. 1981. Style in Fiction, A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Lestari, Dewi. 2005. Supernova (Petir). Jakarta: Akoer. Pattyna, F. 1982. Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional. Pradopo, Rachmad Djoko. 1991. Penelitian Gaya Bahasa Sastra . Purwokerto. PIBSI , di IKIP Muhammadiyah Purwokerto, 8-9 Oktober Sukade, Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayumas danYayasan Ilmu dan Seni Lesiba Ratna. I Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wellek Rene dan Austin Warren. 1985. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan Oleh Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010|573