KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL MIKOPROTEIN YANG BERASAL DARI MISELIUM DAN TUBUH BUAH JAMUR PANGAN SERTA APLIKASINYA UNTUK PEMBUATAN DAGING ANALOG
NADIA TANNIA HENDARTINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Sifat Fungsional Mikoprotein yang Berasal dari Miselium dan Tubuh Buah Jamur Pangan serta Aplikasinya untuk Pembuatan Daging Analog adalah benar karya saya bersama komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Nadia Tannia Hendartina NIM F251110371
RINGKASAN NADIA TANNIA HENDARTINA. Kajian Sifat Fungsional Mikoprotein yang Berasal dari Miselium dan Tubuh Buah Jamur Pangan serta Aplikasinya untuk Pembuatan Daging Analog. Dibimbing oleh SUKARNO dan NAMPIAH SUKARNO. Produk daging analog dapat menjadi salah satu alternatif pangan yang sesuai bagi pola konsumsi vegetarian dan bagi orang yang menghindari konsumsi daging karena kesehatan. Protein jamur yang disebut mikoprotein dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan daging analog karena jamur potensial dibudidayakan di Indonesia, mengandung asam amino esensial bagi manusia, sumber serat pangan, kandungan lemaknya rendah, dan mengandung antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fungsional mikoprotein yang dijadikan dasar pembuatan daging analog, serta menentukan formula pembuatan daging analog. Penelitian ini menggunakan bahan baku miselium dan tubuh buah jamur tiram merah muda (Pleurotus flabellatus), tubuh buah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), serta miselium jamur merang (Volvariella volvacea). Penelitian ini terdiri atas dua tahapan utama yaitu produksi mikoprotein yang terkarakterisasi dan aplikasi mikoprotein untuk pengembangan daging analog. Analisis kandungan protein pada beberapa umur panen miselium dan ukuran tubuh buah jamur dilakukan untuk memperoleh bahan baku dengan kandungan protein optimal dan meminimalkan variasi sampel. Berdasarkan analisis kandungan protein, diketahui bahwa sampel yang memiliki kandungan protein optimal dan menjadi bahan baku untuk analisis karakteristik fungsional protein ialah miselium dengan umur panen 8 hari, serta tubuh buah dengan ukuran diameter tudung 6-8 cm. Analisis karakteristik fungsional protein tersebut meliputi daya ikat air, daya ikat minyak, sifat emulsi, penentuan tetesan air, dan kekuatan gel. Berdasarkan hasil analisis tersebut, miselium P. flabellatus terpilih sebagai mikoprotein yang digunakan dalam formulasi daging analog. Penambahan bahan lain seperti bahan pengikat, bahan pengisi, minyak, dan air dilakukan pada formulasi. Bahan pengikat dan pengisi yang digunakan ialah albumen dan pati jagung. Penambahan bahan ini bertujuan untuk membantu pembentukan tekstur yang kompak dan tidak kasar. Jumlah air dan minyak yang ditambahkan sesuai dengan sifat fungsional proteinnya yaitu daya ikat air dan minyak. Penambahan air dan minyak dalam formula dengan bahan baku mikoprotein yang berasal dari miselium P. flabellatus yaitu sekitar 10.38 g air/100 g miselium dan 0.52 ml minyak/g miselium. Formula terpilih diperoleh berdasarkan analisis TPA (Texture Profile Analysis). Hasil analisis TPA menunjukkan bahwa formula yang terdiri atas 50% mikoprotein, 25% bahan pengikat, 25% bahan pengisi memberikan nilai elastisitas tertinggi dan menjadi formula terpilih. Berdasarkan analisis proksimat, antioksidan, dan komposisi asam lemak dapat diketahui bahwa formula terpilih memiliki kandungan 27.15% air, 4% protein, 15.73% lemak, 0.25% abu, 52.86% karbohidrat, 8.32% serat pangan, kapasitas antioksidan 15.71% DPPH, total fenolnya 19.41 mg AGE/g berdasarkan basis kering (bk), dan asam lemak dominannya ialah asam palmitat dan oleat. Kata kunci: Daging analog, jamur pangan, karakteristik fungsional, mikoprotein, miselium, tubuh buah
SUMMARY NADIA TANNIA HENDARTINA. Studies on Functional Properties of Mycoprotein from Mycelium and Fruit Body of Edible Mushrooms and Their Application for Meat Analog Development. Supervised by SUKARNO and NAMPIAH SUKARNO. Meat analog product can be used as one of alternative foods that suitable for vegetarians and people who avoid meat for health reason. Mushroom derived protein called mycoprotein can be used as a raw material for meat analog development because it contains essential amino acids for humans, dietary fiber, low fat, antioxidants, and it obtains from mushrooms that commonly cultivate in Indonesia. This study aimed to determine the mycoprotein functional properties for development of meat analog. This study used pink oyster mushroom (Pleurotus flabellatus) mycelium and fruit body, white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) fruit body, and paddy straw mushroom (Volvariella volvacea) mycelium. This study was divided into two main stages i.e. the production of mycoprotein and its utilization for the development of meat analog. Protein content analysis was done to obtain fruit body with optimal and consistency protein content. Based on the protein content and consistency, 8-day old mycelium and 6-8 cm diameter of fruit bodies were selected for further functional properties analysis of protein. The parameters measures were water holding capacity (WHC), oil absorption capacity (OAC), emulsion stability, gel strength, and water drip. Based on functional properties of protein analysis, mycoprotein derived from P. flabellatus mycelium was used as a raw material for meat analog formulation. Addition of other materials such as binders, filler, oil, and water were performed on formulation. Albumen and corn starch were used as a binder and filler, respectively. The additional ingredients were intended to help the formation of compact and smooth texture of the product. The number of water and oil were added according to functional properties of the protein such as water and oil holding capacity. The addition of water and oil in the formula with P. flabellatus mycelium as a raw material was 10.38 g water/100 g mycelium and 0.52 ml oil/g mycelium, respectively. The selected formula was obtained by texture profile analysis (TPA). Based on TPA, formula consisting of 50% mycoprotein, 25% binder, and 25% filler material resulted in highest elasticity value and it was, therefore, used as a selected formula. The result of proximate, antioxidant, and fatty acid composition analyses showed that the selected formula had characteristics of 27.15% moisture content, 4% protein, 15.73% fat, 12.25% ash, 52.86% carbohydrate, 8.32% dietary fiber, 15.71% DPPH antioxidant capacity, total phenols 19.41 mg GAE/g based on dry basis (db), and the selected formula had high composition of palmitic and oleic acid. Keywords: Meat analog, edible mushrooms, functional properties, mycoprotein, mycelium, fruit body
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL MIKOPROTEIN YANG BERASAL DARI MISELIUM DAN TUBUH BUAH JAMUR PANGAN SERTA APLIKASINYA UNTUK PEMBUATAN DAGING ANALOG
NADIA TANNIA HENDARTINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian : Dr Nancy Dewi Yuliana, STP MSc.
Judul Tesis : Kajian Sifat Fungsional Mikoprotein yang Berasal dari Miselium dan Tubuh Buah Jamur Pangan serta Aplikasinya untuk Pembuatan Daging Analog Nama : Nadia Tannia Hendartina NIM : F251110371 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sukarno, MSc Ketua
Dr Ir Nampiah Sukarno Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Haryadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 4 Februari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Kajian Sifat Fungsional Mikoprotein yang Berasal dari Miselium dan Tubuh Buah Jamur Pangan serta Aplikasinya untuk Pembuatan Daging Analog : Nadia Tannia Hendartina Nama : F251110371 NIM Disetujui oleh Komisi Pembimbing
,MSc
~
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi . IlmuPangan
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Haryadi, MSc
Tanggal Ujian : 4 Februari 2014
Tanggal Lulus:
0 I APR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah pemanfaatan jamur sebagai daging analog, dengan judul Kajian Sifat Fungsional Mikoprotein yang Berasal dari Miselium dan Tubuh Buah Jamur Pangan serta Aplikasinya untuk Pembuatan Daging Analog. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sukarno, MSc dan Ibu Dr Ir Nampiah Sukarno selaku pembimbing, serta Ibu Dr Nancy Dewi Yuliana, STP MSc dan Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi yang telah banyak memberi saran. Terima kasih kepada IPB yang memberikan pendanaan penelitian melalui program BOPTN 2013, serta kepada Tanoto Foundation yang telah membantu biaya pendidikan pascasarjana penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, Pak Kusnadi, Mba Ari, Pak Taufik, dan teknisi lainnya, serta kepada Rizky Mulya Sampurno, Lita Handayani, Arum, Fenny Imelda, serta rekan-rekan lainnya atas bantuan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014 Nadia Tannia Hendartina
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Hipotesis Manfaat
ix ix ix 1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Jamur Jamur Tiram (Pleurotus spp.) Jamur Merang (Volvariella volvacea) Mikoprotein Sifat Fungsional Protein Daging Analog
4 4 4 6 7 8 9
3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Prosedur Pelaksanaan Penelitian
10 10 10 10 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Mikoprotein Terpilih Penentuan Umur Panen Miselium dan Ukuran Tudung Tubuh Buah Berdasarkan Kandungan Protein Analisis Sifat Fungsional Protein Karakteristik Bahan Baku Mikoprotein Terpilih Penentuan Formula Terpilih Analisis Proksimat, Komposisi Asam Lemak, dan Kapasitas Antioksidan
21 21
31
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34 34
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
34 40
21 25 28 29
DAFTAR TABEL 1 Komposisi Pleurotus spp. 2 Kandungan asam amino esensial 3 Komposisi Volvariella volvacea 4 Kandungan asam amino esensial 5 Formula yang diujikan dengan komponen dalam bentuk % 6 Sifat fungsional protein miselium dan tubuh buah jamur 7 Kandungan gizi miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus 8 Kandungan asam amino miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus 9 Texture profile analysis dari keenam formula 10 Kandungan gizi formula terpilih 11 Komposisi asam lemak formula terpilih
5 6 7 7 13 26 28 29 30 31 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tubuh buah Pleurotus ostreatus dan Pleurotus flabellatus Tubuh buah Volvariella volvacea Daging analog bentuk Fibrous Soy Protein Daging analog bentuk High Moisture Meat Analog Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian Tahapan produksi tubuh buah jamur Alat untuk membentuk tubuh buah jamur menjadi balok Proses pembuatan daging analog Kandungan protein miselium Pleurotus flabellatus (A) Volvariella volvacea (B) pada umur pemanenan yang berbeda Biomassa yang diperoleh pada ketiga hari pemanenan miselium Pleurotus flabellatus (-) dan Volvariella volvacea (-) Tubuh buah Pleurotus ostreatus dan Pleurotus flabellatus yang tumbuh pada bag log Tubuh buah Pleurotus ostreatus (A) dan Pleurotus flabellatus (B) dengan ukuran (1) 4-5 cm, (2 ) 6-8 cm, dan (3) 8-10 cm Kandungan protein tubuh buah Pleurotus ostreatus (A) dan Pleurotus flabellatus (B) pada ukuran yang berbeda Keenam formula daging analog yang dihasilkan Kurva standar asam galat
5 6 9 9 11 12 13 13 21 22 23 23 24 30 33
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Data kadar air tubuh buah Pleurotus ostreatus dan Pleurotus. flabellatus pada ukuran yang berbeda Data kadar air miselium Pleurotus flabellatus dan Volvariella volvacea pada hari pemanenan yang berbeda
40 41
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Protein merupakan salah satu komponen zat gizi makro yang terkandung dalam pangan. Berdasarkan sumbernya, protein dibedakan menjadi protein hewani dan nabati. Salah satu contoh sumber protein hewani ialah daging. Daging terutama daging sapi merupakan pangan yang disukai dan merupakan komoditas peternakan strategis (Priyanto 2005). Daging sapi dapat dijadikan beberapa pangan olahan seperti rendang, abon, dan patty. Williams (2007) menyebutkan selain sebagai sumber protein, daging juga merupakan sumber mikronutrien. Usmiati (2010) menambahkan daging dikonsumsi dengan alasan antara lain tradisi, nilai gizi, kesehatan, variasi, bersifat mengenyangkan, dan prestise. Ratarata konsumsi daging sapi di Indonesia adalah 35.72 g/per kapita/hari (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Kebutuhan daging sapi nasional pada tahun 2010 sekitar 10% berasal dari kegiatan impor (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Impor daging sapi terutama berasal dari negara Australia, New Zealand, dan Amerika (Priyanto 2005). Dewasa ini, banyak masyarakat memilih untuk tidak mengonsumsi daging dan protein hewani lainnya. Komunitas ini disebut sebagai vegetarian. Craig (2010) menyebutkan terdapat beberapa tipe vegetarian seperti total vegetarian yang hanya mengonsumsi pangan nabati dan Lacto-ovo-vegetarian yang masih dapat mengonsumsi pangan hewani berupa telur, susu, dan produk turunannya. Alasan seseorang memutuskan menjadi seorang vegetarian beragam. Menurut Craig (2010) alasan seseorang menjadi vegetarian antara lain pertimbangan etika, kesehatan, faktor agama, dan lingkungan. Alasan kesehatan dan etika merupakan alasan yang mendominasi para vegetarian (Fox dan Ward 2008). Konsumsi daging dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner dan diabetes melitus (Micha et al. 2010). Kesadaran akan kesehatan dan kekhawatiran akan terkena beberapa penyakit seperti penyakit jantung koroner, kanker, tekanan darah tinggi, dan obesitas menyebabkan terdapatnya masyarakat yang bukan merupakan vegetarian memutuskan untuk mengonsumsi pangan kaya serat dan rendah lemak. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, serta mengurangi konsumsi pangan hewani di antaranya daging (PPLH 2007). Produk daging analog dapat menjadi salah satu alternatif pangan yang sesuai bagi pola konsumsi vegetarian dan bagi orang yang menghindari konsumsi daging karena kesehatan. Daging analog merupakan pangan bukan daging yang memiliki tekstur seperti daging. Daging analog dapat menjadi sumber pangan yang memiliki kandungan protein dan serat yang tinggi (Rareunrom 2008). Bahan baku produksi daging analog yang umum digunakan adalah protein nabati. Protein nabati yang banyak digunakan yaitu isolat protein kedelai (Lin 2000; Rareunrom 2008). Penggunaan kedelai sebagai bahan baku pembuatan daging analog di Indonesia mengalami beberapa hambatan, seperti produktivitas kedelai lokal yang rendah sehingga menyebabkan ketergantungan terhadap kedelai impor dan kedelai dapat menyebabkan alergi (NFSMI 2012). Sekitar 60-65% kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor (Erliana 2010). Oleh karena itu, dikembangkan daging
2
analog dengan bahan baku yang mudah tumbuh, mudah diperoleh, dan mudah dibudidayakan di Indonesia dengan kualitas yang baik. Jamur merupakan bahan pangan nabati yang cukup potensial dibudidayakan di Indonesia. Produksi jamur di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 45854 ton dan pada tahun 2013 mencapai 61589 ton (Ditjen Hortikultural 2013). Jenis jamur konsumsi yang telah dikenal dan dijual secara komersial di antaranya ialah jamur kuping (Herniola sp.), jamur tiram (Pleurotus ostreatus), jamur merang (Volvariella volvacea), dan jamur shiitake (Lentinula edodes) (Hung dan Nhi 2012). Chang dan Miles (2004) menyebutkan secara umum jamur mengandung sekitar 19-35% protein (bk). Protein yang berasal dari jamur yang telah terkarakterisasi sering disebut sebagai mikoprotein. Jamur juga mengandung semua asam amino esensial bagi manusia, termasuk asam amino yang mengandung gugus sulfur. Asam amino yang memiliki gugus sulfur ini dapat menjadi prekursor pada reaksi maillard untuk membentuk aroma daging selama pengolahan dengan pemanasan (Schieberle dan Hofmann 2002). Jamur juga dapat dijadikan sumber serat pangan dan memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh seperti asam linoleat. Dalam pertumbuhannya, jamur mengalami dua tahapan yaitu pertumbuhan struktur somatik berupa miselium dan struktur reproduktif yaitu spora. Spora seksual jamur dibentuk di dalam tubuh buah. Miselium merupakan kumpulan hifa yang saling berhubungan dan membentuk struktur seperti serabut. Struktur miselium dan tekstur tubuh buah yang unik dapat dimanfaatkan dalam pengembangan daging analog. Daging analog yang akan dikembangkan hanya menggunakan tiga spesies jamur yaitu jamur tiram putih (P. ostreatus), jamur tiram merah muda (P. flabellatus), dan jamur merang (V. volvacea) karena kandungan protein ketiga jamur ini cukup tinggi dan mudah dibudidayakan. Selain itu, pemilihan ketiga jamur ini dilatarbelakangi oleh perbedaan stadium tubuh buah yang dikonsumsi.
Perumusan Masalah Daging analog dapat menjadi salah satu alternatif pangan yang sesuai bagi pola konsumsi vegetarian dan bagi orang yang menghindari konsumsi daging karena kesehatan. Bahan baku produksi daging analog yang umum digunakan ialah protein nabati seperti isolat protein kedelai (Lin 2000; Rareunrom 2008). Penggunaan isolat protein kedelai mengalami hambatan karena sekitar 60-65% kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor (Erliana 2010). Pemanfaatan protein jamur (mikoprotein) sebagai bahan baku daging analog dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan produk daging analog karena jamur mudah dibudidayakan dengan baik di Indonesia dan mengandung asam amino esensial, lemak yang rendah, serat pangan, serta antioksidan. Selain itu, mikoprotein yang berasal dari miselium jamur dapat meniru sistem jaringan otot apabila dalam formulasi ditambahkan bahan lainnya sebagai pengikat dan pengisi sehingga memungkinkan untuk dibuat daging analog. Berdasarkan uraian di atas, maka dengan penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan/permasalahan yang terkait dengan hal-hal berikut: karakteristik fungsional maupun karakteristik dasar dari mikoprotein jamur baik
3
dalam bentuk miselium maupun tubuh buah dan formulasi yang tepat untuk pengembangan daging analog.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui karakteristik fungsional mikoprotein dari miselium dan tubuh buah beberapa jamur pangan, Menentukan mikoprotein dari miselium dan tubuh buah beberapa jamur pangan yang digunakan dalam formulasi daging analog berdasarkan kesesuaian karakteristik fungsional protein tersebut, Menentukan persentase mikoprotein, bahan pengikat, dan bahan pengisi yang dibutuhkan dalam formulasi daging analog.
Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: Miselium dan tubuh buah jamur pangan merupakan mikoprotein yang mengandung protein tinggi dengan karakteristik tertentu, sehingga dapat digunakan untuk memproduksi daging analog. Selain itu, struktur yang terdiri dari filamen-filamen pada miselium menyerupai struktur fibrous pada daging. Pengecilan ukuran pada tubuh buah juga dilakukan untuk membentuk struktur menyerupai sistem fibrous daging. Pembentukan sistem seperti jaringan otot pada daging yang terdiri dari serabut protein dan terikat dengan jaringan konektif dapat ditiru dengan menambahkan bahan pengikat berupa albumen dengan persentase tertentu kepada kumpulan hifa (miselium) atau tubuh buah (yang telah mengalami pengecilan ukuran) yang membentuk struktur berfilamen. Mikoprotein mengandung antioksidan sehingga daging analog yang dihasilkan berpotensi menjadi pangan fungsional yang memiliki kapasitas antioksidan.
Manfaat Keluaran dari penelitian ini adalah dihasilkannya produk daging analog yang dapat dikonsumsi langsung maupun dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan lainnya, yang memberikan kepuasaan kepada konsumen. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik sifat fungsional mikoprotein yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam menghasilkan produk maupun informasi bagi penelitian berikutnya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Jamur Jamur ialah cendawan berukuran makroskopis sehingga dapat langsung terlihat kasat mata. Cendawan ialah organisme eukariotik dengan komposisi dinding sel terdiri dari polisakarida kitin, β-glukan, lipid, dan protein (Chang dan Miles 2004). Jamur dapat bereproduksi secara seksual membentuk tubuh buah berukuran makroskopis yang menghasilkan basidiospora. Jamur tidak memiliki klorofil sehingga tidak dapat melakukan fotosintesis. Cara memperoleh kebutuhan zat gizinya dilakukan dengan cara menyerap langsung dari media tumbuhnya. Jamur mengalami dua fase dalam pergiliran keturunan dan pertumbuhannya, yaitu fase somatik dan reproduktif. Fase somatik ditunjukkan dengan terbentuknya miselium, sedangkan fase reproduktif merupakan fase terbentuknya tubuh buah. Tubuh buah beberapa jamur telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Hung dan Nhi (2012) menyebutkan saat ini jamur telah popular sebagai bahan pangan karena memiliki kandungan nilai gizi yang baik sehingga berpotensi dijadikan sebagai pangan fungsional. Chang dan Miles (2004) menyebutkan jamur pangan umumnya memiliki kandungan protein sekitar 19-35% (bk). Kandungan protein jamur masih berada di bawah kandungan protein daging. Namun, secara umum jamur mengandung sembilan jenis asam amino esensial dengan kandungan asam amino lisin yang tertinggi. Kandungan lemak pada jamur beragam dan berada pada rentang 1.18.3% (bk). Sekitar 72% dari total asam lemak yang ditemukan pada jamur merupakan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang paling banyak terkandung di dalam jamur ialah asam linoleat. Jenis karbohidrat yang terkandung di dalam jamur ialah pentosa, metilpentosa, heksosa, disakarida, gula amino, dan gula alkohol. Jamur juga merupakan sumber beberapa vitamin yang baik, di antaranya ialah tiamin (Vitamin B1), riboflavin (Vitamin B2), niasin, biotin, dan asam askorbat (Vitamin C). Selain itu, jamur juga merupakan sumber mineral yang baik. Mineral yang berada di dalam substrat akan diserap oleh miselium dan ditransportasikan ke struktur lainnya seperti tubuh buah dan spora. Mineral yang terkandung di dalam jamur sekitar 56-70% yang di antaranya terdiri dari K, P, Ca, Na, dan Mg. Jamur juga memiliki kandungan asam nukleat yang lebih rendah daripada bakteri (Chang dan Miles 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Richi (2011) menyebutkan bahwa jamur pangan ektomikoriza bolet yang tumbuh di Indonesia dan dikonsumsi di daerah Bangka Belitung memiliki kandungan protein sekitar 15.47%, karbohidrat 75.81%, serta merupakan sumber serat yang baik karena mengandung serat pangan sekitar 11.71%. Jamur ini mengandung komponen total fenolik 4.77 mg AGE/g, beta karoten, dan likopen sehingga potensial dijadikan sumber antioksidan. Beberapa jamur pangan lainnya yang telah dikenal dan dikonsumsi masyarakat di Indonesia ialah jamur tiram (Pleurotus spp.) dan jamur merang (V. volvacea). Jamur Tiram (Pleurotus spp.) Pleurotus spp. dikenal juga dengan oyster mushroom. Menurut sistematika secara taksonomi jamur ini dibagi dalam:
5
Kelas : Basidiomycetes Ordo : Agaricales Famili : Agaricaceae Genus : Pleurotus Spesies dan genus Pleurotus yang umum dikenal dan dikonsumsi di Indonesia adalah jamur tiram putih (P. ostreatus). Spesies lainnya yang telah dibudidayakan antara lain P. umbellatus, P. flabellatus, P. dryngeus, P. sajor-caju, P. iringii, dan P. abalonus (Suprihana 2010). Penampakan P. ostreatus (jamur tiram putih) dan P. flabellatus (jamur tiram merah muda) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tubuh buah Pleurotus ostreatus (Reis et al. 2012) dan Pleurotus flabellatus (Fuente 2009) Kondisi lingkungan pertumbuhan miselium dan tubuh buah jamur berbeda. Suhu optimal untuk pertumbuhan miselium ialah 20-25oC, tetapi terdapat pula strain yang suhu optimal pertumbuhannya mencapai 25-35oC. Kondisi lainnya yang berbeda dari kedua tahapan tersebut ialah kandungan CO2 di ruangan tempat pertumbuhannya. Kandungan CO2 pada ruangan pertumbuhan tahapan somatik lebih tinggi daripada tahapan reproduktif (Kang 2004). Kandungan Pleurotus spp. sama seperti jamur pada umumnya yaitu kaya akan nilai gizi. Kandungan Pleurotus spp. dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi Pleurotus spp. Komponen Kandungan (%) Air 73.7-90.8 Protein Kasar (N x 4.38) (%bk) 10.5-30.4 Lemak (%bk) 1.6-2.2 Karbohidrat (%bk) 57.6-81.8 Serat Kasar (%bk) 7.5-8.7 Abu (%bk) 6.1-9.8 Sumber : Chang dan Miles (2004). Asam amino esensial yang terkandung dalam Pleurotus spp. secara umum dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu, kandungan beberapa vitamin pada spesies jamur ini per 100 g berat kering jamur adalah tiamin 1.16-4.80 mg dan niasin 46.0-108.7 mg. Penelitian yang dilakukan oleh Hung dan Nhi (2012) memperlihatkan bahwa Pleurotus spp. mengandung total fenolik bebas 2603.3 µg AGE/g (bk) dan total fenolik terikat 70.1 µg AGE/g (bk). Komponen fenolik ini memiliki aktivitas antioksidan.
6
Tabel 2 Kandungan asam amino esensial Asam amino Kandungan (g AA/100 g protein) Leusin 6.8 Isoleusin 4.2 Valin 5.1 Triptofan 1.3 Lisin 4.5 Treonin 4.6 Fenilalanin 3.7 Metionin 1.5 Histidin 1.7 Total AA esensial 33.4 Sumber : Chang dan Miles (2004). Jamur Merang (Volvariella volvacea) V. volvacea dapat tumbuh pada limbah padi. Sistematika taksonomi jamur ini dibagi dalam: Kelas : Basidiomycetes Ordo : Agaricales Famili : Pluteaceae Genus : Volvariella V. volvacea dapat cepat dipanen. Ahlawat dan Tewari (2007) menyebutkan terdapat beberapa stadium atau bentuk V. volvacea selama masa pembentukan tubuh buah, yaitu pinhead, tiny button, button, egg, elongation, dan mature. V. volvacea yang dikonsumsi umumnya jamur muda yang tudungnya belum berkembang yaitu pada stadium kancing (button) dan telur (egg). Penampakan V. volvacea dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Tubuh buah Volvariella volvacea (Ahlawat dan Tewari 2007) V. volvacea merupakan sumber protein dan mineral yang baik dengan kandungan kalium dan fosfor yang cukup tinggi. Komposisi zat gizi dan asam amino V. volvacea dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
7
Tabel 3 Komposisi Volvariella volvacea Komponen Kandungan (%) Protein (%bk) 36.5± 0.2 Lemak (%bk) 2.2 ± 0.1 Karbohidrat (%bk) 52.3 ± 0.2 Serat (%bb) 13.40 Abu (%bk) 9.0 ± 0.1 Sumber : Hung dan Nhi (2012). Kandungan beberapa vitamin pada spesies jamur ini per 100 g berat kering jamur adalah tiamin 0.35 mg, niasin 64.88 mg, riboflavin 1.63-2.98 mg, dan vitamin C 1.4 mg. Hung dan Nhi (2012) menyebutkan V. volvacea mengandung total fenolik bebas 4122.7 µg AGE/g (bk) dan total fenolik terikat 190.6 µg AGE/g (bk). Tabel 4 Kandungan asam amino esensial Asam amino Kandungan (g AA/100 g protein) Leusin 4.5 Isoleusin 3.4 Valin 5.4 Triptofan 1.5 Lisin 6.1 Treonin 6.0 Fenilalanin 7.0 Metionin 1.2 Histidin 4.2 Total AA esensial 48.5 Sumber : Chang dan Miles (2004).
Mikoprotein Istilah mikoprotein secara umum merujuk kepada protein yang diproduksi oleh cendawan berfilamen. Mikoprotein ialah bahan pangan yang umumnya mengandung protein sekitar 12% (bb) dan asam amino essensial (Thrane 2007). Menurut Sadler (2004) mikoprotein di antaranya dapat diproduksi oleh cendawan mikro, organisme aerobik yang dapat hidup di tanah, serta dapat mengkonversi karbohidrat menjadi protein. Peregrin (2002) menyebutkan mikoprotein merupakan bahan meat substitute yang berasal dari cendawan. Mikoprotein yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan, serta dijual ke pasaran dengan merek Quorn adalah miselium dari Fusarium (Moore dan Chiu 2001). Menurut Williamson et al. (2006) mikoprotein Quorn mengandung serat sekitar 6/100 g dan dianggap sebagai sumber protein yang baru. Komposisi kimia dari sel mikoprotein memberikan keuntungan dari segi zat gizi. Dinding sel dari hifa merupakan sumber serat pangan, membran sel merupakan sumber PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid), dan sitoplasma merupakan sumber protein berkualitas tinggi. Ahangi et al. (2008) menyebutkan mikoprotein yang berasal dari spesies Fusarium oxysporum mengandung asam amino esensial dengan
8
kandungan asam amino treonin dan valin lebih tinggi dari standar FAO dan soybean meal. Konsumsi dari mikoprotein dapat secara signifikan mengurangi level LDL (Low Density Lipoprotein) dan meningkatkan level HDL (High Density Lipoprotein) dalam serum darah (Tumbull et al. 1992). Hosseini dan Darani (2011) menyebutkan media yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah produksi mikoprotein dan kandungannya. Produksi protein umumnya dapat meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi sumber karbon dan nitrogen. Keberadaan nitrogen adalah faktor penting dalam pembentukan protein dan asam nukleat. Namun, peningkatan konsentrasi nitrogen dapat menurunkan jumlah produksi mikoprotein. Karbon merupakan komponen utama dari struktur seluler dan penyimpanan energi. Produksi mikoprotein dilakukan pada media cair dengan kondisi suhu dan agitasi dengan kecepatan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Ahangi et al. (2008) menyebutkan kondisi suhu dan kecepatan agitasi optimum untuk menghasilkan mikoprotein dari spesies Fusarium oxysporum adalah 25oC dan 150 rpm.
Sifat Fungsional Protein Protein memberikan pengaruh yang signifikan terhadap atribut sensori pangan. Tekstur dan karakter kesegaran produk daging tergantung dari protein otot aktin, miosin, aktomiosin, dan beberapa protein larut air (Darmadoran 1996). Sifat fungsional protein dapat didefinisikan sebagai sifat fisik dan kimia yang terjadi di dalam sistem pangan akibat pengaruh dari karakteristik protein selama proses, penyimpanan, dan konsumsi (Adebowale dan Lawal 2004). Wu et al. (2009) menyebutkan sifat fungsional protein penting dalam formulasi produk pangan. Sifat ini dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti struktur dan ukuran molekul protein, faktor lingkungan seperti metode, pH, kekuatan ion, dan keberadaan komponen lain dalam sistem pangan. Asgar et al. (2010) menyebutkan sifat fungsional yang penting pada produk daging dan olahannya adalah gelasi, emulsifikasi, dan daya ikat air. Pembentukan gel melibatkan perubahan struktur protein dari bentuk sol menjadi bentuk seperti gel. Adanya panas, enzim, dan kation divalent pada kondisi tertentu dapat memfasilitasi perubahan struktur protein tersebut (Darmadoran 1996). Proses terbukanya lipatan dalam struktur protein, kemudian terjadinya pengikatan kembali merupakan prinsip dalam mekanisme pembentukan gel. Sifat fungsional ini dapat mempengaruhi struktur dan tekstur produk pangan (Totosaus et al. 2002). Protein dapat memiliki sifat emulsi karena secara umum protein memiliki bagian hidrofobik dan hidrofilik bergantung pada susunan asam aminonya (Saetae dan Suntornsuk 2011). Kemampuan emulsifikasi protein dapat terlihat pada produk susu. Protein dalam susu secara alami berbentuk lipoprotein yang dapat berperan sebagai emulsifier karena dapat menstabilkan keberadaan globula lemak. Perlakuan homogenisasi pada susu dapat meningkatkan kemampuan emulsifikasi protein karena terbentuknya film protein dalam bentuk misel dan whey protein (Darmadoran 1996). Daya ikat air merupakan sifat fungsional yang penting karena interaksi antara makromolekul seperti protein dan air akan menentukan reologi dan tekstur produk. Air dapat terikat pada grup yang bersifat hidrofilik dalam rantai protein (Darmadoran 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Mao dan
9
Hua (2012) menyebutkan tidak terdapat pengaruh secara langsung antara tingginya konsentrasi protein dengan daya ikat air.
Daging Analog .
Kumar et al. (2010) menyebutkan daging analog ialah produk pangan yang memiliki karakteristik fisik dan kimia mendekati daging. Proses produksi daging analog harus menghasilkan produk yang memiliki tekstur, penampakan, dan flavor seperti daging apabila ingin memuaskan konsumen. Daging analog yang telah banyak diproduksi berasal dari bahan baku protein nabati, terutama protein kedelai baik dalam bentuk tepung, konsentrat, atau isolat protein kedelai (Lin et al. 2000). Sadler (2004) menyebutkan selain kedelai, terdapat bahan baku lainnya yang telah dikembangkan sebagai ingridien pembuatan daging analog, seperti protein serealia dan cendawan. Protein serealia yang sering digunakan adalah protein gandum. Protein gandum mengandung gluten yang dapat diproses dengan metode ekstruksi untuk menghasilkan tekstur seperti daging. Mikoprotein dari cendawan dapat dijadikan bahan daging analog. Daging analog yang berasal dari mikoprotein harus memperhatikan kandungan asam nukleat yang dapat dimetabolisme menjadi asam urat (Ahangi et al. 2008). Proses pemanasan pada saat pemanenan biomassa dapat menurunkan kandungan asam nukleat menjadi 2% sesuai dengan maksimum intake yang direkomendasikan. Welsh (1979) menyebutkan daging analog memiliki beberapa keistimewaan antara lain dapat diformulasi sehingga memiliki nilai gizi lebih tinggi dibandingkan daging, umumnya tidak mengandung lemak hewani dan kolesterol, baik untuk kesehatan karena umumnya mengandung asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi daripada asam lemak jenuh, kandungan proteinnya juga dapat ditingkatkan, dan kekerasan atau keempukannya dapat diatur dengan mengatur perubahan air, dan dapat diolah menjadi produk olahan daging lainnya. Beberapa bentuk daging analog yang telah diproduksi dengan bahan baku protein kedelai adalah FSP (Fibrous Soy Protein) (Gambar 3) dan seperti bentuk High Moisture Meat Analog (Gambar 4).
Gambar 3 Daging analog bentuk Fibrous Soy Protein (Riaz 2006)
Gambar 4 Daging analog bentuk High Moisture Meat Analog (Riaz 2006)
10
3 METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Februari-November 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Mikologi Departemen Biologi, dan Laboratorium Seafast Center, IPB.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan ialah miselium dan tubuh buah jamur. Biakan murni jamur yang digunakan diperoleh dari IPB culture collection. Tubuh buah yang digunakan adalah tubuh buah jamur tiram putih (P. ostreatus) dan tiram merah muda (P. flabellatus). Miselium yang digunakan adalah miselium jamur tiram merah muda (P. flabellatus) dan jamur merang (V. volvacea). Media yang digunakan untuk menumbuhkan biakan murni dan miselium jamur ialah PDA (Potato Dextrose Agar, Oxoid, England) dan PDB (Potato Dextrose Broth, DifcoTM, USA). Bahan yang digunakan dalam produksi tubuh buah jamur ialah biji jagung dan campuran media di dalam bag log. Bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan daging analog ialah pati jagung, albumen, minyak kelapa sawit, dan air. Bahan lainnya yang digunakan ialah bahan kimia untuk analisis kimia dan analisis karakterisitk fungsional protein. Alat utama yang digunakan adalah autoklaft, shaker (innovaTM 2300, platform shaker), HPLC, texture analyzer (TA-XT2i Stable Microsystems), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu, Kyoto Japan), dan alat untuk analisis.
Tahapan Penelitian Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Pada dasarnya penelitian yang dilakukan terbagi atas dua tahapan utama yaitu: produksi mikoprotein yang terkarakterisasi dan aplikasi mikoprotein untuk pengembangan daging analog. Tahap pertama meliputi produksi miselium dan tubuh buah jamur uji, analisis kandungan protein, dan analisis sifat fungsional protein. Miselium diproduksi dengan menggunakan media cair (PDB). Tubuh buah diproduksi dalam bag log. Penanaman tubuh buah jamur dilakukan di rumah jamur, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Institut Pertanian Bogor. Analisis protein dengan metode Kjehdahl dilakukan untuk menentukan waktu pemanenan miselium dan ukuran tudung tubuh buah yang digunakan dalam analisis sifat fungsional protein selanjutnya. Analisis kandungan protein dilakukan pada miselium yang diperoleh pada hari ke-7, 8, dan 9 setelah inokulasi pada media. Pengukuran kadar protein dilakukan pada tubuh buah dengan ukuran tudung dengan diameter kecil (4-5 cm), sedang (6-8 cm), dan besar (8-10 cm). Berdasarkan hasil terbaik dari analisis kandungan protein, miselium dengan waktu pemanenan dan tubuh buah dengan ukuran yang
11
terpilih dianalisis sifat fungsional proteinnya, yaitu daya ikat air (WHC), daya serap minyak (OAC), stabilitas emulsi, tetesan air, dan kekuatan gel. Mikoprotein yang digunakan dalam tahapan kedua diperoleh berdasarkan hasil analisis sifat fungsional tersebut. Biakan murni jamur
Produksi biomassa miselium dengan metode fermentasi cair dalam fermentor
Produksi tubuh buah jamur
Mikoprotein (miselium jamur)
Mikoprotein (tubuh buah jamur)
Tahap I
Analisis sifat fungsional protein
Mikoprotein terpilih
Tahap II
Analisis proksimat, analisis asam nukleat, analisis komposisi asam amino
Formulasi daging analog
Analisis fisik meliputi analisis profil tekstur
Formula terpilih daging analog
Analisis proksimat dan analisis kapasitas antioksidan, serta total fenol
Gambar 5 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian Tahap kedua meliputi formulasi daging analog. Bahan pengikat berupa albumen, bahan pengisi berupa pati jagung, air, dan minyak ditambahkan dalam
12
proses produksi daging analog. Jumlah air dan minyak yang ditambahkan sesuai dengan hasil analisis sifat fungsional protein yaitu daya ikat air dan daya serap minyak dari mikoprotein terpilih. Metode untuk menghasilkan daging analog yang digunakan bukan metode ekstruksi yang umum digunakan dalam pembuatan daging analog dengan bahan baku protein nabati seperti kedelai, tetapi dengan cara pengukusan untuk pembentukan jaringan ikat dari binder dan terjadinya gelatinasi pati sebagai pengisi sehingga nilai WHC dapat meningkat, serta terjadi pembentukan sistem seperti daging. Formula terpilih ditentukan berdasarkan analisis profil tekstur (TPA) dengan menggunakan alat texture analyzer.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian Produksi miselium dan tubuh buah jamur: Produksi biomassa miselium hanya dilakukan pada V. volvacea dan P. flabellatus. Biomassa miselium dari kedua jamur diperoleh dengan menggunakan media cair PDB (Potato Dextrose Broth) yang ditempatkan dalam erlenmeyer dan diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 100-150 rpm dan suhu sekitar 28-30oC (suhu ruang) (Aminuddin et al. 2007; Mshandete dan Mgonja 2009). Sebelum pemanenan biomassa, suhu inkubasi dinaikkan hingga 68oC selama 30 menit untuk menurunkan kadar asam nukleat yang terkandung dalam miselium. Pemanenan miselium untuk analisis kandungan protein dilakukan sebanyak tiga kali yaitu hari ke-7, 8, dan 9 setelah inokulasi. Produksi P. ostreatus dan P. flabellatus dilakukan pada bag log yang terdiri dari serbuk kayu sebagai komponen utama dan campuran dedak, kapur, gips (15:1:1 b/b), serta air (Kang 2004). Penambahan air dilakukan hingga adonan mencapai kadar air 65% (Kwon dan Kim 2004). Tubuh buah jamur diperoleh dari rumah jamur Bagian Mikologi, Departemen Biologi, IPB. Tubuh buah yang dipanen berukuran 4-5 cm, 6-8 cm, dan 8-10 cm. Tahapan produksi tubuh buah jamur dapat dilihat pada Gambar 6. Biakan murni
Ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 8 hari
Biakan induk
Diinokulasi pada media dalam wadah botol dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10-18 hari
Tubuh buah jamur
Diinokulasi pada bag log, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 2-6 minggu
Bibit produksi
Gambar 6 Tahapan produksi tubuh buah jamur
13
Produksi daging analog Bahan baku utama pembuatan daging analog dalam penelitian ini ialah miselium atau tubuh buah jamur, bahan pengisi, dan bahan pengikat. Apabila tubuh buah yang menjadi mikoprotein terpilih dalam tahapan formulasi, maka tubuh buah jamur dilakukan pengecilan ukuran menjadi berbentuk balok dengan ukuran tinggi dan lebar sekitar 2 mm x 2 mm. Proses pembentukan balok dari tubuh buah jamur dilakukan dengan menggunakan alat sheeting dan cetakannya seperti lidi, seperti yang terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Alat untuk membentuk tubuh buah jamur menjadi balok (Harmiawan 2011) Formula yang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan diagram alir proses pembuatan daging analog dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 5 Formula yang diujikan dengan komponen dalam bentuk % dengan total ketiga bahan utama 100% Komponen Mikoprotein Bahan Pengisi Bahan Pengikat Minyak Air
A 40 30 30
B 50 25 25
C 60 20 20
D 40 40 20
E 50 33.33 16.67
F 60 26.67 13.33
Sesuai karakteristik fungsional protein
Miselium atau tubuh buah jamur yang telah dikecilkan ukurannya
Bahan pengisi Pencampuran
Pengukusan selama 45 menit
Daging analog
Gambar 8 Proses pembuatan daging analog
Bahan pengikat albumen
14
Analisis yang dilakukan terhadap miselium dan tubuh buah dengan kandungan protein optimal: Analisis Sifat Fungsional Protein 1) Water Holding Capacity (WHC) (Wroldstad et al. 2005) Sampel ditimbang dengan berat tertentu dan ditempatkan dalam kertas saring Whatman No. 1 sebanyak 3 lembar. Kemudian, sampel disentrifugasi pada kecepatan 1118 xg pada suhu ruang selama 15 menit. Kemudian sampel dipisahkan dari kertas saring dan ditimbang. Nilai WHC dihitung dengan perumusan: berat sampel setelah disentrifus %WHC = X 100 berat sampel (g) sebelum disentifus 2) Oil Absorption Capacity (OAC) (Lin et al. 1974) Campuran 0.5 g sampel dengan 3 ml minyak jagung dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan divortex selama 2 menit. Tabung sentifus dimasukkan dalam penangas bersuhu 25oC selama 30 menit, dilanjutkan dengan sentrifugasi pada 402 xg selama 10 menit. Volume minyak terikat diperoleh dengan cara mengurangi volume awal minyak yang ditambahkan dengan volume minyak bebas. ml minyak terikat OAC (ml minyak/g) = berat sampel(g) 3) Sifat Emulsi (Xie and Hettiarachchy 1997) Campuran 2 ml minyak jagung murni dan 6 ml 0.1 % (b/v) larutan sampel dihomogenizer pada skala 6 selama 1 menit. Sebanyak 50 µl emulsi yang terbentuk diambil dari dasar wadah pada 0 dan 10 menit dan dicampur dengan 5 ml 0.1% SDS. Absorbansi dari emulsi diukur pada 500 nm. Turbidity (absorbansi) pada waktu 0 menit diberi lambang To dan 10 menit diberi lambang T. Absorbansi yang diukur segera setelah terbentuk emulsi dinyatakan sebagai aktivitas emulsi (EA). Stabilitas emulsi ditentukan dengan perumusan dan dinyatakan sebagai (%). T Stabilitas emulsi (ES) = To 4) Penentuan Tetesan air (Suzuki 1981) Prinsip pengukuran adalah air bebas lebih sulit dikeluarkan (melalui penekanan) dari produk berkekuatan gel yang baik. Dengan mengetahui jumlah air yang keluar melalui penekanan dengan beban tertentu, maka dapat diketahui mutu dari gel tersebut. Prosedur pengukuran meliputi sampel yang memiliki tebal 0.3 cm dan berdiameter 2 cm dengan berat sekitar 1 g (A) ditempatkan di antara dua kertas saring dan diberi tekanan 10 kg/cm2 selama 20 detik. Kemudian sampel ditimbang kembali (B). Jumlah tetesan air dapat dihitung dengan rumus: (A-B) % tetesan air = x 100% A 5) Penentuan Kekuatan Gel dengan Folding Test (Suzuki 1981) Sebanyak 300 g sampel ditambahkan 3% NaCl, kemudian diaduk, lalu dicetak membentuk irisan 4-5 mm. Setelah itu, sampel dipanaskan pada suhu 40oC selama 30 menit, dilanjutkan pada suhu 90oC selama 30 menit. Sampel lalu ditekan antara ibu jari dan telunjuk. Kekuatan gel diukur secara kualitatif.
15
Pengelompokan mutu untuk pengukuran gel adalah: 1 : patah saat ditekan dengan jari (D) 2 : retak merata saat pelipatan pertama (C) 3 : retak tidak merata saat pelipatan pertama (B) 4 : tidak retak setelah 1 x pelipatan (A) 5 : tidak retak setelah 2 x pelipatan (AA) Analisis yang dilakukan terhadap mikoprotein terpilih: Analisis Proksimat Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (by difference), dan kadar serat kasar (untuk kadar serat pangan hanya dilakukan untuk produk daging analog). Berikut adalah deskripsi beberapa uji yang dilakukan. 1) Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 15 menit dengan suhu 103o±2oC dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 1-2 g sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 103o±2oC selama 3 jam. Cawan yang telah berisi sampel tersebut selanjutnya dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan dan ditimbang kembali. Ulangi pengeringan hingga perbedaan hasil antara 2 penimbangan tidak melebihi 0.005 g. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat, yaitu selisih antara berat awal dan berat akhir sampel, dengan menggunakan rumus: Kadar air (%b/b) = x- (y-a) x 100% x Kadar air (%bk) = x – (y-a) x 100% y-a Keterangan: a = Berat cawan kosong kering (g) x = Berat sampel awal (g) y = Berat cawan + sampel kering (g) 2) Kadar Abu (SNI 01-2891-1992) Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan. Sampel kemudian diarangkan di atas nyala pembakar, lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan selesai dengan sesekali pintu tanur dibuka sedikit agar oksigen dapat memasuki tanur. Cawan porselen yang berisi abu sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang hingga bobot tetap. Perumusan yang digunakan: Kadar abu (%) = x – a x 100% w Keterangan: a = Berat cawan kosong kering (g) w = Berat sample awal (g) x = Berat abu + berat cawan (g) 3) Analisis Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992) Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit. Sampel sebanyak 1-2 g yang telah dirajang kecil-kecil dimasukkan ke dalam
16
selongsong kertas saring, kemudian selongsong tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan di atasnya diletakkan alat kondensor sedangkan labu lemak diletakkan di bawahnya. Labu lemak diisi dengan pelarut heksan secukupnya. Selanjutnya, dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut yang turun ke dalam labu lemak berwarna jernih kembali. Setelah itu, pelarut yang ada pada labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan kembali dalam oven pada suhu 105oC hingga mencapai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Prosedur terakhir labu beserta lemak ditimbang untuk mengetahui berat lemak. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Lemak(%) = berat lemak (g) x 100% berat sampel (g) 4) Kadar Protein (SNI 01-2891-1992) Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Selanjutnya, larutan didihkan 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2:1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 4.38 untuk sampel jamur (Kalac 2012; Reis et al. 2012). Penetapan kadar protein sampel dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar protein kasar (%) = (Y-Z) x (Nx 0.014 x 4.38) x100% W Keterangan: Y = ml NaOH yang digunakan untuk mentitrasi blanko Z = ml NaOH yang digunakan untuk mentitrasi sampel W = Bobot sampel (g) N = Normalitas NaOH (N) 5) Karbohidrat by difference Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu (%bb) + kadar protein (%bb) + kadar lemak (%bb)). 6) Kadar Serat Kasar (Hartati dan Prana 2003) Sebanyak 1 g sampel bebas lemak ditambahkan 100 ml H2SO4 0.255 N. Kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin balik. Setelah itu, ditambahkan 100 ml NaOH 0.313 N dan didihkan kembali selama 30 menit dengan pendingin balik. Tahap selanjutnya adalah penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Kertas saring dicuci dengan K2SO4 10%, air mendidih, dan 15 ml etanol 95%.Pencucian ini ditujukan untuk pemisahan abu dan silikat. Kertas saring dikeringkan pada suhu 1050C selama 2 jam, didinginkan dan ditimbang. Penetapan kadar serat kasar dilakukan dengan perhitungan:
17
Kadar serat (%) = a – b x 100% W Keterangan: a = Bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) b = Bobot kertas saring kosong (g) W = Bobot sampel (g) 7) Kadar Serat Pangan (Asp et al. 1983 yang dikutip oleh Muchtadi et al. 1992) Sebanyak 1 g sampel yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6.0 dan disuspensikan.Termamyl sebanyak 100µl ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada penangas air mendidih selama 15 menit dan sekali-kali diaduk. Setelah itu, diangkat dan didinginkan. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pHnya diatur dengan HCl sampai pH 1.5. Kemudian, sebanyak 100 mg pepsin ditambahkan. Erlenmeyer diinkubasikan kembali pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan kembali dan pHnya diatur menjadi pH 6.8 dengan NaOH. Sebanyak 100 mg pankreatin lalu ditambahkan. Kemudian erlenmeyer diinkubasi pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, pHnya diatur kembali menjadi 4.5 dengan penambahan HCl. Saring melalui kertas saring kering (berat tepat diketahui). Lalu, cuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (serat pangan tidak larut/Insoluble dietary fiber (IDF)) Setelah kertas saring dicuci dengan air destilata, dilanjutkan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150oC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (serat pangan larut/Soluble dietary fiber (SDF)) Filtrat yang diperoleh pada penyaringan pertama dan setelah dicuci air destilata, diatur volumenya hingga 100 ml. Kemudian etanol 95% hangat (60oC) sebanyak 400 ml ditambahkan. Setelah itu, disaring dengan menggunakan kertas saring kering yang telah diketahui beratnya. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 150oC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Blanko Blanko untuk serat pangan tidak larut dan larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Perhitungan: %IDF = D1-I1-B1 x 100 W %SDF = D2-I2-B2 x 100 W W : Bobot sampel (g) Total dietary fiber (%) = %IDF + %SDF
18
Analisis Asam Nukleat Analisis asam nukleat dilakukan dengan menggunakan Nanodrop spektrofotometer 2000 dan panjang gelombang 260 dan 280 nm. Sebanyak 0.5 g sampel yang telah dihaluskan, ditambahkan 600 µl CTAB yang sebelumnya telah diinkubasi pada suhu 65oC. Campuran ditambahkan N2 cair dan dihaluskan, kemudian ditempatkan ke dalam eppendorf yang di dalamnya terdapat CTAB. Setelah itu, tabung eppendorf dibolak-balikkan untuk mencampurkan, lalu diinkubasi pada suhu 65oC selama 30 menit, dilanjutkan inkubasi pada suhu rendah selama 5 menit. Kemudian, ditambah CI (24:1) dan dilakukan pencampuran. Setelah itu, campuran disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm suhu 4oC selama 10 menit. Sebanyak 600 µl supernatan diambil dan ditambahkan 600 µl PCI (25:24:1). Kemudian dilakukan pencampuran dan disentrifus kembali dengan kecepatan 10000 rpm suhu 4oC selama 5 menit. Apabila supernatan masih keruh, campuran ditambahkan PCI dan disentrifus kembali. Apabila supernatan sudah jernih, supernatan tersebut ditempatkan pada eppendorf steril. Setelah itu, ditambahkan 0.1 x vol. supernatan larutan NaOAC 2 M pH 5.2 dan 2 x vol supernatan EtOH 100%. Campuran ditempatkan dalam freezer selama lebih kurang 30 menit. Kemudian, dilakukan dua kali sentrifus dengan kecepatan 10000 rpm suhu 4oC selama 15 menit. Pelet yang terbentuk ditambah EtOH 70%, lalu disentrifus kembali dengan kecepatan 10000 rpm suhu 4oC selama 10 menit. Pelet divakum lalu dikeringkan 30oC. Kemudian ditambahkan DNase, RNase, dan 50 µl ddH2O. Campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit dilanjutkan 70oC selama 10 menit. Setelah itu, sebanyak 1 µl sampel diukur total asam nukleatnya dengan nanodrop spektrofotometer. Analisis Asam Amino Prosedur analisis (AOAC 1995) yang dilakukan adalah sebagai berikut: sebanyak 0.15 g sampel dimasukkan ke dalam tabung 25 ml dan ditambahkan 10 ml HCl 6 N. Sampel dipanaskan selama 24 jam pada suhu 110°C dan disaring. Hasil saringan diambil sebanyak 30 ml dan ditambahkan dengan larutan pengering metanol, pikolotiosianat, dan trietilamin dengan perbandingan 2:2:1 dan dilakukan penambahan gas N2. Kemudian sampel ditambahkan dengan larutan derivatisasi dari campuran metanol, natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Selanjutnya, sampel yang sudah kering dilarutkan dengan 10 ml buffer natrium asetat 1 M, lalu dibiarkan selama 20 menit. Kolom HPLC yang digunakan ialah kolom pico tag 3.9 x 150 mm dengan fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M. Detektor yang digunakan ialah UV dengan panjang gelombang 254 nm. Penentuan kadar asam amino ditentukan dengan rumus berikut: A C Kadar asam amino = x x BM x FP x 100 B D Keterangan: A = Luas area sampel B = Luas area standar C = Konsentrasi standar D = Bobot sampel awal µg BM = Bobot molekul masing-masing asam amino FP = Faktor pengenceran
19
Analisis yang dilakukan terhadap formula daging analog yang dihasilkan: Analisis Karakteristik Fisik Analisis karakteristik fisik terhadap produk daging analog yang dilakukan adalah analisis profil teksturnya (TPA) dengan menggunakan textur analyzer. Pengujian yang dilakukan meliputi tiga parameter yakni kekerasan (hardness), elastisitas (springiness), dan daya kunyah (chewiness). Kondisi analisis (Min dan Lee 2004 yang dimodifikasi) yang digunakan adalah: Probe : silinder 3.5 cm (SMS P/35) Mode : texture Profile Analysis Option : return to start Pretest speed : 5 mm/s Test speed : 0.5 mm/s Posttest speed : 5 mm/s Distance : 30% Trigger type : auto Trigger force :5g Penentuan ketiga parameter dilakukan dengan cara: Kekerasan : maksimal gaya (nilai puncak) pada tekanan pertama. elastisitas : jarak yang ditempuh oleh sampel pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimal (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh sampel pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimalnya (L1) dan dirumuskan L2/L1. Daya kunyah : hasil perkalian elastisitas dengan perbandingan antara luasan area di bawah kurva hasil pengukuran pada tekanan kedua (A2) dan tekanan pertama (A1). Analisis yang dilakukan terhadap formula daging analog terpilih: Analisis Proksimat Rincian dan metode analisis telah dijelaskan sebelumnya. Analisis Asam Amino Rincian dan metode analisis telah dijelaskan sebelumnya. Analisis Komposisi Asam Lemak Komposisi asam lemak (AOAC 991.39) dilakukan dengan memasukkan sebanyak 100 mg sampel. Kemudian, sampel ditambahkan 1 ml larutan standar internal (SI) (asam lemak margarat/C17:0) dan 1.5 ml NaOH metanolik 0.5 N. Tabung diisi dengan N2 lalu ditutup rapat dan divortex. Tabung dipanaskan dalam penangas bersuhu 80-100oC selama 5 menit. Setelah itu, didinginkan. Kemudian, sebanyak 2 ml BF3 metanol (14% b/v) ditambahkan ke dalam tabung, lalu tabung diisi dengan N2 dan ditutup rapat. Tabung dipanaskan kembali dalam penangas bersuhu 80-100oC selama 30 menit selanjutnya didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Sebanyak 1 ml heksana ditambahkan ke dalam tabung dan divortex, kemudian ke dalam tabung juga ditambahkan 3 ml larutan NaCl jenuh dengan segera lalu dikocok. Lapisan heksana dipisahkan dan ditambah Na2SO4 anhidrous. Kemudian, dilakukan penyuntikkan ke dalam alat GLC (Gas Liquid Chromatography) dengan suhu injektor 250oC dan suhu detektor 260oC. Suhu kolom diatur secara gradien dengan suhu awal 120oC dipertahankan selama 6
20
menit, peningkatan suhu kolom 3oC/menit hingga mencapai suhu 230oC dan dipertahankan selama 25 menit. Tekanan gas helium diatur pada 1 kg/cm2, tekanan gas hidrogen dan udara masing - masing 0.5 kg/cm2. Asam lemak standar digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi asam lemak sampel. Perhitungan jumlah asam lemak (%bb) dilakukan dengan menggunakan perumusan: A mg SI Kadar asam lemak = x RF x x 100 B berat sampel awal (mg) Keterangan: A = Area asam lemak A B = Area standar internal (SI) Nilai RF (Respond Factor) setiap asam lemak dihitung dari kromatogram standar eksternal FAME dengan menggunakan perumusan: RFA =
[asam lemak A dari standar] area SI x area asam lemak A dari standar [SI]
Analisis Total Fenol dan Kapasitas Antioksidan Persiapan Sampel Analisis Kapasitas Antioksidan Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut dan metode yang digunakan Chirinang dan Intarapichet (2009). Sebanyak 10 g sampel dalam bentuk kering diekstrak dengan menggunakan 100 ml etanol 95% atau air. Campuran tersebut dishaker dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam, kemudian disaring dengan kertas Whatman No. 4. Residu dicuci dengan pelarut sebanyak 2 kali, kemudian filtrat digabungkan dengan hasil saringan sebelumnya. Filtrat ini diuapkan dengan menggunakan rotavapor pada suhu 40oC hingga hampir kering. Ekstrak dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer. Kemudian, hasil freeze dryer dilarutkan dengan pelarut hingga diperoleh konsentrasi larutan 20 mg/ml. Larutan stok ini disimpan pada suhu 4oC untuk analisis kapasitas antioksidan. Analisis Kapasitas Antioksidan Metode analisis kapasitas antioksidan yang digunakan adalah DPPH seperi yang digunakan oleh Hung dan NHI (2012). Sebanyak 0.1 ml larutan ekstrak dicampurkan dengan 3.9 ml larutan DPPH 0.075 mM. Campuran ditempatkan dalam ruangan gelap selama 30 menit. Kemudian, diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer UV 525 nm. Sebanyak 0.1 ml metanol digunakan sebagai pengganti sampel untuk blanko. Blanko diukur pada t=0. % DPPH dihitung dengan menggunakan perumusan: − % = Analisis Total Fenol Analisis ini dilakukan karena jamur yang digunakan mengandung komponen fenolik yang berpotensi memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Prosedur analisis (Chirinang dan Intarapichet 2009) adalah sebagai berikut: sebanyak 100 µl larutan sampel ditambahkan 2 ml natrium karbonat 2%, dicampurkan selama 2 menit. Kemudian sebanyak 100 µl reagen Folin-Ciocalteu ditambahkan ke dalam campuran, dan didiamkan dalam ruang gelap selama 30 menit. Absorbansi diukur pada 750 nm. Penetapan konsentrasi dilakukan dengan menggunakan asam galat,
21
sehingga konsentrasi senyawa fenol yang dihasilkan memiliki satuan mg AGE (Asam Galat Ekuivalen)/g. Analisis Statistika Data dianalisis dengan menggunakan uji ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut Duncan. Analisis dilakukan dengan taraf signifikansi 0.05. Pengolahan data dilakukan menggunakan aplikasi SPSS ver. 16 (Chicago, USA).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Mikoprotein Terpilih
Kandungan protein (%bk)
Penentuan Umur Panen Miselium dan Ukuran Tudung Tubuh Buah Berdasarkan Kandungan Proteinnya Komposisi zat gizi pada miselium dan tubuh buah jamur dengan spesies yang sama dapat berbeda pada setiap tahapan pertumbuhannya. Penelitian penentuan umur panen miselium dan ukuran tudung tubuh buah dilakukan untuk mendapatkan sampel dengan kandungan protein yang optimal dan keseragaman sampel. Data hasil analisis protein (bk) miselium pada umur panen yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9. 33 32 31 30 29 28 27
31.7217b 29.5424c
29.1568a
hari ke-7
hari ke-8
hari ke-9
Kandungan protein (%bk)
Umur miselium A 21 20 19 18 17 16 15
19.9820b 18.5185a 17.1321c
hari ke-7
hari ke-8
hari ke-9
Umur miselium B
Gambar 9 Kandungan protein miselium Pleurotus flabellatus (A) dan Volvariella volvacea (B) pada umur pemanenan yang berbeda. Data dengan huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05
22
Biomassa miselium (g)
Berdasarkan data hasil analisis kandungan proteinnya (Gambar 9), ditentukan umur panen kedua miselium pada hari ke-8 digunakan untuk analisis sifat fungsional selanjutnya karena memiliki kandungan protein tertinggi. Nilai kandungan protein miselium P. flabellatus dan V. volvacea pada umur 8 hari secara berurutan adalah 31.72% dan 19.98%. Data hasil analisis miselium P. flabellatus menunjukkan terjadinya peningkatan nilai protein sampai hari ke-8, kemudian menurun pada hari ke-9. Namun demikian, nilai protein miselium P. flabellatus pada hari ke-9 masih lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-7 (Gambar 9A). Pola yang hampir sama terjadi pada miselium V. volvacea. Namun, nilai kandungan protein miselium V. volvacea pada hari ke-9 lebih rendah daripada hari ke-7 (Gambar 9B). Kandungan protein miselium P. flabellatus pada ketiga hari pemanenan cenderung lebih tinggi daripada miselium V. volvacea. Chang dan Miles (2004) menyebutkan peningkatan biomassa dapat menjadi salah satu kriteria terjadinya pertumbuhan. Pertumbuhan kedua miselium memperlihatkan pola yang sama sampai hari ke-8. Namun, pola menuju panen hari ke-9 berbeda (Gambar 10). Miselium P. flabellatus pada hari ke-9 mengalami peningkatkan biomassa dengan laju pertumbuhan lebih lambat daripada laju pertumbuhan sampai hari ke-8, sedangkan miselium V. volvacea mengalami penurunan biomassa pada hari ke-9. Berdasarkan data hasil pengukuran biomassa pada Gambar 10, terlihat bahwa kedua miselium pada hari ke-8 terdapat dalam fase logaritmik pertumbuhan. Chang dan Miles (2004) menyebutkan dalam fase logaritmik dihasilkan metabolit primer yang dibutuhkan untuk pertumbuhan lebih banyak. Miselium kedua jenis jamur pada hari ke-8 memiliki kandungan protein yang optimal karena terjadinya sintesis protein sebagai metabolit primer. Hasil ini didukung oleh Srivastava dan Bano (1970) yang menyebutkan bahwa secara umum miselium P. flabellatus mengalami pertumbuhan maksimum pada umur 8 hari setelah inokulasi karena miselium tersebut telah memanfaatkan substratnya secara maksimal. Perbedaan pola kandungan protein pada hari ke-9 di antara kedua jenis miselium dapat disebabkan perbedaan pola pertumbuhan pada hari ke9. Pada hari ke-9 miselium V. volvacea telah memasuki fase penurunan pertumbuhan. Penurunan pertumbuhan dapat terjadi akibat adanya autolisis karena toksin hasil metabolit meningkat atau kandungan zat gizi dalam media yang berkurang (Chang dan Miles 2004). 20 16.5022
17.28755
15 10 5
7.93155
7.49385
6.8882
6.43915
0 7
8
9
Hari pemanenan
Gambar 10 Biomassa yang diperoleh pada ketiga hari pemanenan miselium Pleurotus flabellatus (-) dan Volvariella volvacea (-)
23
Tubuh buah jamur yang dihasilkan setelah inokulasi pada bag log dapat dilihat pada Gambar 11. Tubuh buah P. ostreatus yang dihasilkan berwarna putih susu, sedangkan P. flabellatus berwarna merah muda. Pemanenan tubuh buah kedua spesies jamur tersebut dikelompokkan menjadi tiga ukuran yaitu ukuran 4-5 cm, 6-8 cm, dan 8-10 cm. Penampakan ketiga kelompok tubuh buah dari masingmasing jamur dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 11 Tubuh buah Pleurotus ostreatus dan Pleurotus flabellatus yang tumbuh pada bag log
Gambar 12 Tubuh buah Pleurotus ostreatus (A) dan Pleurotus flabellatus (B) dengan ukuran (1) 4-5 cm, (2) 6-8 cm, dan (3) 8-10 cm
24
Kandungan protein (%bk)
Hasil analisis kandungan protein terhadap tiga kelompok tubuh buah P. ostreatus dan P. flabellatus dapat dilihat pada Gambar 13. 30 25 20 15 10 5 0
26.7268a
25.5282a 20.0276b
4-5 cm
6-8 cm
8-10 cm
Kandungan protein (%bk)
Ukuran tudung A 30 25 20 15 10 5 0
21.2356a
25.5285a
4-5 cm
6-8 cm
21.9992a
8 -10 cm
Ukuran tudung B
Gambar 13 Kandungan protein tubuh buah Pleurotus ostreatus (A) dan Pleurotus flabellatus (B) pada ukuran yang berbeda. Data dengan huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05 Berdasarkan Gambar 13 (A), dapat diketahui bahwa kandungan protein P. ostreatus cenderung menurun seiring bertambahnya ukuran. Namun, penurunan yang signifikan terjadi pada ukuran 8-10 cm. Kandungan protein P. ostreatus (bk) dengan diameter tudung 4-5 cm dan 6-8 cm sekitar 25-26%, sedangkan pada diameter 8-10 cm sekitar 20%. Pola perubahan kandungan protein pada tubuh buah P. ostreatus dan P. flabellatus berbeda. Gambar 13 (B) memperlihatkan terdapat kecenderungan kandungan protein P. flabellatus meningkat seiring bertambahnya ukuran diameter tudung dari 4-5 cm menjadi 6-8 cm. Namun, pertambahan ukuran selanjutnya menyebabkan terjadinya penurunan kandungan proteinnya. Berdasarkan data kandungan protein yang diperoleh, menunjukkan bahwa kedua tubuh buah jamur tersebut memiliki kandungan tertinggi pada ukuran diameter tudung 6-8 cm. Peningkatan nilai protein pada tubuh buah sampel dapat terjadi akibat adanya sintesis spora dan protein selama masa pertumbuhan (Barros et al. 2007). Spora mengandung protein di antaranya dalam membran sel, sitoplasma, dan dalam bentuk material genetik seperti DNA (Kullman dan Greve 2007). Pola
25
penurunan kandungan protein pada ukuran diameter tudung tubuh buah jamur tiram lebih dari 8 cm dapat disebabkan oleh kehilangan spora pada jamur yang telah matang. Berdasarkan hasil analisis kandungan protein pada Gambar 10, tubuh buah ukuran diameter tudung 6-8 cm digunakan sebagai bahan baku analisis sifat fungsional protein selanjutnya karena kandungan proteinnya optimal dan tubuh buahnya tidak mudah rusak daripada ukuran yang lebih besar dalam proses penyimpanan dan pengemasan. Pola peningkatan dan penurunan kandungan protein pada tubuh buah jamur juga telah dilaporkan terjadi pada beberapa jamur. V. volvacea memiliki kandungan protein maksimal pada saat tahapan berbentuk telur, apabila V. volvacea mencapai tahap dewasa dengan bentuk memanjang seperti payung memiliki kandungan lemak lebih tinggi dan kandungan proteinnya menurun (Ahlawat dan Tewari 2007). Penelitian Soeharto (2003) menggunakan P. ostreatus menunjukkan terjadinya penurunan kandungan protein pada jamur tersebut seiring semakin lama hari pemanenan dan besar ukurannya. Barros et al. (2007) menyebutkan selama pematangan spora pada jamur shiitake dengan ukuran diameter lebih dari 7 cm dapat terjadi peningkatan nilai protein. Selain protein, kematangan jamur juga mempengaruhi kandungan nilai gizi lainnya seperti pati. Hasil penelitian Barros et al. (2007) memperlihatkan bahwa kandungan polisakarida pada jamur shiitake juga dapat dipengaruhi oleh tahapan kematangan jamur. Kandungan polisakarida tertinggi terjadi pada tahapan Budveil break (tahapan pergantian antara fase telur dan pembentukan tudung). Setelah tudung terbuka, maka terjadi penurunan kadar polisakarida. Analisis Sifat Fungsional Protein Karakteristik fungsional protein sangat penting dalam proses dan formulasi produk pangan. Beberapa karakteristik fungsional protein yang penting yaitu daya ikat air dan minyak, emulsifikasi, kapasitas pembentukan buih, dan kemampuan pembentukan gel (Wu et al. 2009). Informasi mengenai sifat fungsional protein diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan bahan baku dalam produk pangan. Kemampuan mengikat air dan minyak dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur dan mengurangi kehilangan rendemen pada produk daging. Kemampuan pembentukan emulsi dan stabilitas emulsi diperlukan pada produk salad, sosis, es krim, daging, dan mayones (Ahmedna et al. 1999). Kapasitas pembentukan buih diperlukan dalam menjaga tekstur dan struktur produk es krim dan roti selama dan setelah proses (Adebayo et al. 2013). Kemampuan pembentukan gel diperlukan dalam produk pangan seperti produk confectionary (Fekria et al. 2012). Analisis sifat fungsional protein yang dilakukan terdiri dari analisis daya ikat air, daya serap minyak, stabilitas emulsi, tetesan air, dan kekuatan gel. Hasil analisis daya ikat air dan daya serap minyak dijadikan dasar dalam penambahan air dan minyak ke dalam formula daging analog. Daya ikat air dan daya serap minyak menunjukkan jumlah optimum air yang dapat diikat dan minyak yang dapat terserap. Tetesan air menunjukkan karakteristik gel untuk mempertahankan dari kehilangan air. Semakin kecil nilai tetesan air maka ketahanan gel lebih baik. Nilai stabilitas emulsi menunjukkan kemampuan protein bertindak sebagai emulsifier. Nilai kekuatan gel diukur berdasarkan uji kualitatif. Semakin tinggi nilai kualitas gel, menunjukkan semakin kuatnya gel yang terbentuk. Hasil
26
analisis sifat fungsional protein terhadap miselium dan tubuh buah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sifat fungsional protein miselium dan tubuh buah jamur Parameter
Miselium Volvariella Pleurotus volvacea flabellatus
Tubuh buah Pleurotus Pleurotus ostreatus flabellatus
Daya ikat air 15.8924 ± 0.8384c 10.3844 ± 0.2049d 30.4864 ± 0.3704b 31.5085 ± 0.7718 a (%) Daya serap minyak 0.8009 ± 0.0674a 0.5214 ± 0.0216c 0.6393 ± 0.0125b 0.6303 ± 0.0124b (ml/g) Stabilitas emulsi 48.6944 ± 0.5986b 57.1426 ± 1.8391a 40.5741 ± 1.1072c 39.4701 ± 5.0457c (%) Tetesan air 84.6552 ± 1.0558a 83.3567 ± 3.2256a 65.3956 ± 4.0461b 64.9409 ± 2.0551b (%) Kekuatan gel 2 1 1 (nilai) Huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05
Daya Ikat Air (Water Holding Capacity) Chirinang dan Intarapichet (2009) menyebutkan Pleurotus spp. memiliki kandungan asam amino polar seperti arginin, asam aspartat, dan asam glutamat yang tinggi. Begitu pula dengan V. volvacea yang memiliki kandungan asam amino polar di antaranya treonin, metionin, lisin, dan histidin (Chang dan Miles 2004). Adanya komposisi asam amino yang bersifat polar pada Pleurotus spp. dan V. volvacea segar memungkinkan kedua tubuh buah jamur dan miseliumnya memiliki kemampuan mengikat air. Asam amino polar memiliki grup yang dapat berikatan hidrogen dengan air, seperti hidroksil dan karboksil (Damodaran 1996). Tabel 6 memperlihatkan nilai WHC miselium V. volvacea sekitar 15.89%, miselium P. flabellatus sekitar 10.38%, tubuh buah P. ostreatus sekitar 30.49%, dan tubuh buah P. flabellatus sekitar 31.51%. Nilai WHC miselium lebih rendah dibandingkan nilai WHC tubuh buah jamur. Nilai WHC keempat sampel lebih rendah daripada pangan nabati sumber protein lain dalam bentuk tepungnya seperti kacang hijau dengan nilai WHC 2.10 g/g atau sekitar 210% (Dzudie dan Hardy 1996), kacang merah (Phaseolus lunatus) 2.65 g/g, dan kacang parang (Canavalia ensiformis) 3.80 g/g (Chel-Guerrero et al. 2002). Bentuk tepung dapat menghasilkan nilai WHC lebih tinggi karena nilai WHC dipengaruhi oleh struktur protein dan keberadaan gugus hidrofilik pada karbohidrat tepung (Adebowale dan Lawal 2004). Oleh karena itu, nilai WHC tepung dari keempat sampel jamur dan miselium yang diuji diduga dapat lebih tinggi. Selain itu, nilai WHC juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat diubah pada saat pengukuran berlangsung seperti pengadukan, kecepatan, pH, dan konsentrasi protein (ChelGuerrero et al. 2002). Daya Serap Minyak (Oil Absorption Capacity) Daya serap minyak atau Oil Absorption Capacity (OAC) merupakan karakteristik fungsional yang diperlukan dalam industri pangan seperti industri daging (Souissi et al. 2007). Keberadaan gugus nonpolar pada rantai protein
27
mempengaruhi nilai OAC (Adebowale dan Lawal 2004). Pleurotus spp. dan V. volvacea mengandung asam amino nonpolar seperti valin, isoleusin, dan leusin (Chang dan Miles 2004; Chirinang dan Intarapichet 2009). Adanya asam amino nonpolar tersebut memungkinkan tubuh buah dan miselium ketiga spesies jamur yang diuji memiliki kemampuan untuk menyerap minyak. Kehadiran beberapa rantai samping yang bersifat nonpolar dapat berikatan secara hidrofobik (interaksi hidrofobik) dengan rantai hidrokarbon minyak, sehingga semakin banyak komposisi asam amino nonpolar maka daya ikat minyak yang dihasilkan semakin tinggi (Sathe et al. 1982). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai OAC miselium V. volvacea sekitar 0.80 ml/g dan miselium P. flabellatus sekitar 0.52 ml/g. Tubuh buah P. ostreatus dan P. flabellatus memiliki nilai OAC yang sama yaitu sekitar 0.63 ml/g. Miselium V. volvacea memiliki OAC tertinggi dibandingkan ketiga sampel uji lainnya. Namun, hasil ini masih lebih rendah daripada nilai OAC pangan nabati sumber protein lain dalam bentuk tepung seperti kacang tanah (1.37 ml/g) (Adebowale dan Lawal 2004), kacang kedelai (1.94 ml/g) (Chau dan Cheung 1998), dan kacang hijau 2.20 g minyak/g (Dzudie dan Hardy 1996). Stabilitas Emulsi (Emulsion Stability) Protein dapat membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem (Suzuki 1981). Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active yang dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak dan air. Pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas emulsi (Yulianti 2003). Tabel 6 memperlihatkan nilai stabilitas emulsi dari sampel yaitu sekitar 48.69% untuk miselium V. volvacea dan 57.14% untuk miselium P. flabellatus. Nilai stabilitas emulsi kedua tubuh buah jamur tiram tidak berbeda signifikan yaitu sekitar 39-40%. Nilai stabilitas miselium lebih tinggi daripada tubuh buah. Stabilitas emulsi protein sampel uji tergolong rendah apabila dibandingkan dengan nilai stabilitas emulsi konsentrat pangan nabati lainnya dalam bentuk tepung dan berasal dari polong-polongan (buncis dan kacang panjang), serta kacang (kacang bali dan kacang komak). Nilai stabilitas emulsi konsentrat tersebut pada pH 6.0 secara berurutan adalah 87.50%, 85.71%, 85.71%, dan 85.71% (Ahmed et al. 2011). Nilai stabilitas yang rendah pada keempat sampel uji dapat disebabkan di antaranya oleh tingginya kadar air sampel. Tingginya kadar air pada sampel uji dapat menurunkan kelarutan sampel pada minyak sehingga menghambat aktivitas emulsi dari protein yang terkandung pada sampel uji. Damodaran (1996) menyebutkan kelarutan protein merupakan faktor penting dalam sifat pembentukan emulsi. Selain itu, stabilitas emulsi juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein. Konsentrasi protein mempengaruhi kemudahan dalam adsorpsi larutan ke dalam molekul protein (Adebowale dan Lawal 2004). Kekuatan Gel (Gelling Properties) Gel adalah bentuk fase antara padat dan cair (Alleoni 2006). Konsentrasi protein merupakan faktor utama dalam pembentukan gel yang diinduksi dengan proses pemanasan (Dong Sun dan Holley 2011). Semakin tinggi konsentrasi protein maka semakin kuat dan kaku gel yang terbentuk. Folding test dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan gel secara kualitatif. Folding test
28
umumnya dilakukan pada surimi. Surimi memiliki nilai folding test yang tergolong tinggi karena kandungan miofibrilarnya (Hasanpour et al. 2012). Tabel 6 menunjukkan bahwa miselium V. volvacea tidak mampu membentuk gel, sedangkan miselium P. flabellatus memiliki kualitas gel bernilai 2. Tabel 6 juga memperlihatkan nilai kualitas gel kedua tubuh buah bernilai 1. Nilai 1 menunjukkan kualitas gel yang rendah dan patah saat ditekan dengan jari sebelum dilipat. Miselium P. flabellatus memiliki nilai kualitas gel tertinggi di antara sampel uji. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein dalam miselium P. flabellatus tertinggi dibandingkan ketiga sampel lainnya (Gambar 9 dan 11). Damodaran (1996) menyebutkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor yang sangat penting dalam sifat kemampuan pembentukan gel. Berdasarkan hasil analisis sifat fungsional pada Tabel 6, ditentukan bahan baku yang digunakan dalam formulasi daging analog ialah miselium P. flabellatus. Miselium P. flabellatus dipilih sebagai bahan baku yang digunakan dalam formulasi karena: (1) kandungan protein miselium P. flabellatus lebih tinggi dibandingkan sampel uji lainnya, (2) karakteristik fungsional protein dalam hal pembentukan gel dan stabilitas emulsi pada miselium P. flabellatus lebih baik daripada sampel uji lainnya yang merupakan karakteristik penting untuk membentuk tekstur daging analog, dan (3) waktu yang diperlukan untuk memproduksi miselium lebih singkat daripada tubuh buah jamur. Karakterisitik Bahan Baku Mikoprotein Terpilih Kandungan gizi bahan baku daging analog yang digunakan yaitu miselium P. flabellatus dan kandungan gizi tubuh buahnya (sebagai perbandingan) dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis proksimat (Tabel 7), dapat diketahui bahwa komponen terbesar pada miselium dan tubuh buah jamur ialah air, karbohidrat, dan protein. Air merupakan komponen utama pada jamur. Kandungan air dan aktivitas air yang tinggi menyebabkan jamur mudah mengalami kerusakan. Kalac (2012) menyebutkan bagian bahan kering jamur umumnya hanya sekitar 10%. Tabel 7 Kandungan gizi miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus Parameter Miselium Tubuh buah Kadar air (%) 96.6662 ± 0.0862 90.6662 ± 0.9731 Kadar protein (%bk) 31.7217 ± 0.1138 25.5285 ± 0.2952 Kadar lemak (%bk) 9.0736 ± 0.4484 2.4602 ± 0.3383 Kadar abu (%bk) 4.5658 ± 0.1747 9.6548 ± 0.5380 Kadar karbohidrat (by 54.5389 ± 0.3876 62.3564 ± 0.5811 difference) (%bk) Kadar serat kasar (%bk) 51.6722 ± 3.4271 40.8528 ± 5.4886 Miselium dan tubuh buah yang mengandung protein lebih dari 20% berpotensi sebagai bahan pangan sumber protein nabati. Kandungan protein dan lemak miselium lebih tinggi daripada tubuh buah jamur. Peregrin (2002) menyebutkan bagian miselium seperti dinding sel dari hifanya merupakan sumber serat pangan, membran sel merupakan sumber PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid), dan sitoplasma merupakan sumber protein berkualitas tinggi. Hasil analisis pada Tabel 7, memperlihatkan bahwa dari kandungan karbohidrat sebagian besar
29
terdiri dari serat kasar. Serat kasar (crude fiber) adalah residu dari proses hidrolisis asam dan basa suatu bahan atau produk pangan yang berkarbohidrat tinggi. Kandungan asam amino dari miselium P. flabellatus sebagai mikoprotein terpilih dan tubuh buahnya sebagai perbandingan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kandungan asam amino miselium dan tubuh buah Pleurotus flabellatus Asam Amino (%bk) Miselium Tubuh buah Asam aspartat 3.00 2.57 Asam glutamat 5.70 4.71 Serin 1.50 1.39 Histidin 1.20 0.86 Glisin 1.50 1.29 Treonin 1.50 1.29 Arginin 2.70 1.61 Alanin 1.80 2.14 Tirosin 0.90 0.86 Metionin 0.30 0.43 Valin 1.80 1.50 Fenilalanin 1.80 1.50 Isoleusin 1.80 1.39 Leusin 2.70 1.93 Lisin 3.00 1.82 Total 31.20 25.28 Hasil analisis pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa asam glutamat merupakan komponen terbesar dari asam amino yang terkandung di dalam miselium maupun tubuh buah P. flabellatus. Asam glutamat yang ada dalam jamur dapat memberikan pengaruh rasa gurih pada jamur. Chirinang dan Intarapichet (2009) memperlihatkan asam glutamat merupakan komponen terbesar dari hasil analisis asam amino dua spesies Pleurotus. Hasil analisis asam amino memperlihatkan komposisi lima asam amino tertinggi di dalam miselium P. flabellatus ialah asam glutamat sekitar 5.70%, lisin 3.00%, asam aspartat 3.00%, arginin 2.70%, dan leusin 2.70%. Hasil analisis total asam nukleat memperlihatkan bahwa miselium P. flabellatus yang digunakan dalam pembuatan daging analog memiliki kandungan total asam nukleat sekitar 0.12%. Nilai ini telah memenuhi standar maksimal asam nukleat yang diizinkan terdapat pada produk pangan yaitu 2% (USDA 1998).
Penentuan Formula Terpilih Formulasi dilakukan terhadap mikoprotein yang berasal dari miselium P. flabellatus. Formulasi dilakukan berdasarkan formula yang disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan formulasi dengan formula Tabel 5, diperoleh 6 formula. Formula
30
A dan D (FA dan FD) menggunakan persentase miselium sebanyak 40%, formula B dan E (FB dan FE) menggunakan miselium 50%, serta formula C dan F (FC dan FF) menggunakan persentase miselium 60%. Keenam formula yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.
FA
FB
FC
FD
FE
FF
Gambar 14 Keenam formula daging analog yang dihasilkan Profil tekstur keenam formula yang meliputi kekerasan, elastisitas, dan daya kunyah dianalisis dan hasilnya analisis dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Texture profile analysis dari keenam formula Formula Kekerasan (kg) Elastisitas (mm/mm) Daya kunyah (kg) FA FB FC FD FE FF
1.7095 ± 0.2664c 1.2627 ± 0.0368b 0.7137 ± 0.0483a 3.3794 ± 0.1343d 1.8216 ± 0.1337c 1.2833 ± 0.1834b
0.9275 ± 0.0150a 0.9584 ± 0.0179a 0.9443 ± 0.0143a 0.8905 ± 0.0412a 0.8896 ± 0.0449a 0.9149 ± 0.0104a
1.2065 ± 0.1925c 0.8810 ± 0.0169b 0.4844 ± 0.0237a 2.3377 ± 0.0010d 1.2666 ± 0.0554c 0.9109 ± 0.1293b
Huruf yang berbeda menandakan terjadi perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 0.05
Tabel 9 menunjukkan terjadinya penurunan kekerasan dengan semakin bertambahnya persentase miselium yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Rosli et al. (2011) yang menyebutkan bahwa nilai kekerasan dan kekenyalan menurun pada substitusi tubuh buah jamur tiram giling hingga 50% dalam chicken patty. Penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dilakukan pada formulasi daging analog. Bahan pengikat berupa bahan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan mampu memperbaiki sistem emulsifikasi, sedangkan bahan pengisi adalah bahan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi sehingga dapat meningkatkan WHC, tetapi berpengaruh kecil terhadap sifat emulsi. Bahan pengikat yang telah digunakan secara umum ialah albumen. Bahan pengisi yang umumnya telah digunakan secara luas pada produk olahan daging seperti patty ialah campuran tepung terigu, tapioka, dan tepung sagu dengan perbandingan 1:2:4 atau pati jagung. Bahan pengisi mempengaruhi tekstur seperti keempukan dan kekerasan produk. Tabel 9 menunjukkan nilai kekerasan formula FD lebih tinggi dibandingkan nilai kekerasan formula FA, formula FE lebih tinggi daripada formula FB, formula FF lebih tinggi daripada formula FC, walaupun persentase
31
miselium yang digunakan untuk masing-masing formula sama. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah bahan pengisi pada formula FD-FF lebih besar daripada pada formula FA-FC. Formula A-C (FA-FC) menggunakan perbandingan bahan pengisi dan pengikat 1:1, sedangkan formula D-F (FD-FF) menggunakan perbandingan 2:1. Penentuan perbandingan bahan pengisi dan pengikat pada penelitian ini berdasarkan pada penelitian Rosli et al. (2011) yang menggunakan perbandingan 2:1 antara bahan pengisi (pati) dan sumber protein lain dan penelitian Kim et al. (2009) yang melaporkan perbandingan 1:1 untuk menghasilkan daging analog dengan metode ekstruksi dari jamur kancing. Nilai kekerasan terendah dimiliki FC karena komposisi bahan pengisinya paling rendah, sedangkan FD memiliki komposisi bahan pengisi tertinggi sehingga FD memiliki nilai kekerasan tertinggi dibandingkan keenam formula lainnya. Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan terlihat bahwa formula FA dan FE, serta formula FB dan FF memiliki nilai kekerasan yang tidak berbeda secara signifikan. Bahan pengikat menentukan stabilitas emulsi dan kekompakan produk. Stabilitas dan kekompakan produk dapat mempengaruhi nilai elastisitas produk seperti yang terlihat pada Tabel 9. Nilai elastisitas formula FD lebih rendah dibandingkan formula FA, formula FE lebih rendah daripada formula FB, formula FF lebih rendah daripada formula FC. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan pengikat pada formula FA-FC lebih tinggi daripada formula FD-FF (Tabel 5). Namun, perbedaan nilai elastisitas antara semua formula uji tidak signifikan. Nilai elastisitas tertinggi belum tentu memiliki nilai daya kunyah tertinggi seperti halnya yang terjadi pada produk sosis. Gadiyaram dan Kannan (2004) melakukan pengukuran terhadap profil tekstur beberapa produk sosis yang berbeda bahan baku dagingnya dengan parameter penekanan hingga 75% memperlihatkan bahwa sosis daging kambing rendah lemak memiliki nilai elastisitas tertinggi mencapai nilai 0.74, tetapi nilai daya kunyah tertinggi dimiliki sosis sapi yang bernilai 0.4184 kg. Hal tersebut dapat terjadi karena perhitungan daya kunyah suatu produk dipengaruhi juga oleh nilai kekerasan selain nilai elastisitasnya. Berdasarkan hasil analisis dalam Tabel 9, dapat diketahui bahwa formula B (FB) memiliki nilai elastisitas tertinggi dengan daya kunyah yang sedang. Karakteristik dari daging analog yang diharapkan adalah dapat dikunyah dengan nilai elastisitas yang baik. Oleh karena itu, FB menjadi formula yang dikembangkan dalam penelitian ini. Analisis Proksimat, Komposisi Asam Lemak, dan Kapasitas Antioksidan Analisis proksimat dari FB dilakukan untuk mengetahui nilai kandungan gizinya. Nilai kandungan gizi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kandungan gizi formula terpilih Parameter Nilai Kadar air (%) 61.4562 ± 1.9639 Kadar protein (%bk) 6.6851 ± 0.3324 Kadar lemak (%bk) 29.7557 ± 0.0269 Kadar abu (%bk) 0.4696 ± 0.0022 Kadar karbohidrat (by difference) (%bk) 63.0897 ± 0.3571 Kadar serat pangan (%bk) 8.3217 ± 1.2934
32
Data hasil analisis pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa komponen dominan dalam formula ialah karbohidrat yang mencapai 63%. Formula yang terpilih mengandung serat pangan sekitar 8.32%. Formula terpilih memiliki nilai protein yang lebih rendah dan nilai kadar lemak yang lebih tinggi daripada nilai protein dan lemak yang terkandung dalam daging sapi. Daging sapi umumnya memiliki kadar protein 18-20% dan kadar lemak 13-16% (Prasetyo et al. 2013). Perbandingan kandungan formula dengan mikoprotein terpilih menunjukkan pada formula terpilih terjadi penurunan kadar protein dan air, serta peningkatan kadar lemak. Penurunan kadar protein dapat terjadi karena adanya proses pemanasan. Penurunan kadar air terjadi akibat ditambahkannya bahan pengikat berupa pati jagung yang dapat menyerap air. Peningkatan kadar lemak terjadi akibat pada formulasi ditambahkan sejumlah minyak untuk meningkatkan kekompakan. Analisis komposisi asam lemak pada formula terpilih memperlihatkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh cenderung lebih tinggi daripada asam lemak jenuh (Tabel 11). Asam lemak yang mendominasi pada formula terpilih sama dengan asam lemak dominan yang terkandung di dalam minyak sawit yakni asam lemak oleat dan palmitat (Alizera et al. 2010; Haryadi 2010). Komposisi asam lemak lainnya yang terkandung dalam formula terpilih mirip dengan asam lemak dalam minyak sawit yakni asam laurat, miristat, stearat, arakhidat, palmitoleat, linoleat, dan linolenat (Alizera et al. 2010; Haryadi 2010). Hasil ini mendukung pernyataan sebelumnya yang menyebutkan bahwa nilai kadar lemak produk yang mencapai 29% (bk) merupakan akibat dari penambahan minyak. Tabel 11 Komposisi asam lemak formula terpilih Nilai Asam lemak (%bk) Asam laurat (C12:0) 0.06 Asam miristat (C14:0) 0.30 Asam palmitat (C16:0) 11.90 Asam stearat (C18:0) 1.12 Asam arakhidat (C20:0) 0.12 Asam dodekanoat (C22:0) 0.01 Total asam lemak jenuh 13.50 Asam palmitoleat (C16:1, n-7) 0.08 Asam oleat (C18:1, n-9) 13.85 Asam linoleat (C18:2, n-6) 5.14 Asam α-linolenat (C18:3, n-3) 0.14 Asam 11-eicosanoat (C20:1, n-9) 0.05 Total asam lemak tidak jenuh 19.26 Analisis kapasitas antioksidan memperlihatkan bahwa kapasitas antioksidan formula terpilih dalam satuan % DPPH ialah 15.71. Nilai ini lebih rendah daripada hasil penelitian Hung dan Nhi (2012) yang melaporkan bahwa P. ostreatus segar memiliki kapasitas antioksidan sebanyak 45.5%. Nilai kapasitas antioksidan yang rendah dapat disebabkan oleh adanya proses pemanasan pada saat pemanenan dan proses pembuatan produk. Salah satu senyawa yang berperan sebagai antioksidan dalam pangan terutama pangan nabati ialah senyawa fenolik.
33
Absorbansi
Penelitian yang dilakukan oleh Habila et al. (2010) menunjukkan bahwa komponen fenolik memiliki aktivitas antioksidan. Lebih lanjut Tang (1991) menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat mencegah terjadinya autooksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Analisis total fenol pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol. Komponen fenolik mudah larut pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton et al. 1998). Selain itu, Hung dan Nhi (2012) menyebutkan komponen fenolik pada jamur umumnya terdapat dalam bentuk senyawa fenol yang bebas sehingga dapat diekstrak dengan senyawa organik. Komponen fenolik yang dominan terdapat dalam tumbuhan ialah flavonoid, asam fenolat, dan tanin. Analisis total fenol yang dilakukan menggunakan standar asam galat. Kurva standar asam galat dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 15. Menurut Waterhouse (2006) asam galat sering digunakan sebagai standar pada analisis total fenol berdasarkan ketersediaan senyawa tersebut dalam keadaan murni dan stabil, harga asam galat yang tidak terlalu mahal apabila dibandingkan standar lainnya, serta kestabilan larutan asam galat yang hanya kehilangan 5% dari nilainya semula selama dua minggu. 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000
y = 0.001x - 0.012 R² = 0.998
0
50
100
150
200
250
Konsentrasi asam galat (mg/l)
Gambar 15 Kurva standar asam galat Analisis yang telah dilakukan memperlihatkan formula terpilih mengandung komponen fenolik dengan nilai total fenol sebesar 19.41 mg AGE (Asam Galat Ekuivalen)/g ekstrak dari produk. Bila konversi kandungan total fenol menjadi berdasarkan pada bobot miselium P. flabellatus sebagai bahan baku produk yang memiliki kandungan fenol, maka nilai total fenol yang terkandung menjadi hampir 2.5 kali lebih tinggi yakni 46.96 mg AGE/g miselium. Penelitian Chirinang dan Intarapichet (2009) menunjukkan bahwa hasil kandungan total fenol pada tubuh buah Pleurotus spp. adalah 30.93 mg AGE/g. Nilai total fenol formula terpilih per bobot miselium lebih tinggi daripada tubuh buah Pleurotus spp. segar. Apabila dibandingkan dengan jenis jamur pangan lain seperti jamur pangan ektomikoriza, nilai total fenol formula terpilih juga lebih tinggi daripada jamur pangan ektomikoriza bolet yang memiliki kandungan komponen total fenolnya sekitar 4.77 mg AGE/g (Richi 2011). Nilai total fenol yang tinggi dari miselium menunjukkan bahwa miselium berpotensi sebagai pangan fungsional sumber antioksidan.
34
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Hasil analisis karakteristik fungsional mikoprotein memperlihatkan bahwa miselium P. flabellatus memiliki stabilitas emulsi sekitar 57% dan kekuatan gel bernilai 2. Berdasarkan karakteristik fungsional protein stabilitas emulsi dan kekuatan gel, mikoprotein yang berasal dari miselium P. flabellatus menjadi mikoprotein terpilih dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan daging analog dengan penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi. Berdasarkan Texture Profile Analysis (TPA), diketahui formula yang terdiri atas 50% mikoprotein, 25% bahan pengikat, dan 25% bahan pengisi memberikan nilai elastisitas tertinggi dan menjadi formula terpilih.
Saran Formula terpilih pada penelitian ini yang terdiri dari 50% mikoprotein, 25% bahan pengikat, dan 25% bahan pengisi dapat dioptimasi lebih lanjut untuk menghasilkan produk daging analog dengan tekstur dan kandungan gizi yang lebih baik. Ketiga sampel lainnya yaitu miselium V. volvacea, tubuh buah P. flabellatus, dan P. ostreatus yang telah diketahui karakteristik fungsionalnya dapat digunakan dalam olahan pangan lainnya. Perlakuan proses lebih lanjut kepada keempat sampel yang digunakan dalam penelitian seperti dijadikan tepung, konsentrat, atau isolat protein untuk meningkatkan karakteristik fungsional proteinnya dan memperluas pemanfaatannya dalam produk pangan. Produksi biomassa mikoprotein terutama mikoprotein yang berasal dari P. flabellatus baik dalam bentuk miselium dan tubuh buah perlu dioptimasi sehingga hasilnya lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Adebayo OR, Abidemi OO, Abdulsalam SS. 2013. Functional properties and antinutritional factors of some selected Nigerian cereals. Compr Res J Agric Sci. 1(1):1-5. Adebowale KO, Lawal OS. 2004. Comparative study of the functional properties of bambara groundnut, jackbean, and mucuna beans flours. Food Res Int. 37:355-364. Ahangi Z, Shojaosadati SA, Nikoopour H. 2008. Study of mycoprotein production using Fusarium oxysporum PTCC 5115 and reduction of its RNA content. Pakistan J Nutr. 7(2):240-243. Ahlawat OP, Tewari RP. 2007. Cultivation Technology of Paddy Straw Mushroom (Volvariella volvacea). India: National Research Center for Mushrooms, Chambaghat, Solan.
35
Ahmed SH, Ahmed IAM, Eltayeb MM, Ahmed SO, Babiker EE. 2011. Functional properties of selected legumes flours as influenced by pH. J Agric Technol. 7(5):1291-1302. Ahmedna M, Prinyawiwatkul W, Rao RM. 1999. Solubilized wheat protein isolate : functional properties and potential food application. J Agric Food Chem. 47(4):1340-1345. Alizera S, Tan CP, Hamed M, Che Man YB. 2010. Effect of frying process on fatty acid composition and iodine value of selected vegetable oils and their blends. Int Food Res J. 17:295-302. Alleoni ACC. 2006. Albumen protein and functional properties of gelation and foaming. Sci Agric. 63(3):291-298. Aminuddin H, Khan AM, Abidin H, Madzlan K, Suri R, Kamal MK. 2007. Optimization of submerged culture for the production of Lentinula edodes mycelia biomass and amino acid composition by different temperature. J Trop Agric Food Sci. 35(1):131-138. Asgar MA, Fazilah A, Huda N, Bhat R, Karim AA. 2010. Nonmeat protein alternatives as meat extenders and meat analogs. Compr Rev Food Sci Food Saf. 9:513-529. Asp NG, Johansson CG, Holmer H, Siljestrom M. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chem. 31:476-482. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemist. Washington: AOAC, Inc. Barros L, Baptista P, Estevinho LM, Ferreira ICFR. 2007. Effect of fruiting body maturity stage on chemical composition and antimicrobial activity of Lactarius sp. mushrooms. J Agric Food Chem. 55:8766-8771. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Chang ST, Miles PG. 2004. Mushrooms: Cultivation, Nutritional Value, Medicinal Effect, and Environmental Impact. Boca Raton: CRC Press. Chau CF, Cheung PCK.1998. Functional properties of flours prepared from three Chinese indigenous legume seeds. Food Chem. 61(4):429-433. Chel-Guerrero L, Perez-Flores V, Bentacur-Ancona D, Davila-Ortiz G. 2002. Functional properties of flours and protein isolates from Phaseolus lunatus and Canavalia ensiformis seeds. J Agric Food Chem. 50:584-591. Chirinang P, Intarapichet KO. 2009. Amino acids and antioxidant properties of the oyster mushrooms, Pleurotus ostreatus and Pleurotus sajor-caju. Sci Asia. 35:326-331. Craig WJ. 2010. Nutrition concerns and health effect on vegetarian diets. Nutr Clin Pract. 25:613-620. Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides, and proteins. In: Fennema OR. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker, Inc. Direktur Jenderal Hortikultural. 2013. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia periode 2011-2013. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. Dong Sun X, Holley RA. 2011. Factors influencing gel formation by myofibrillar protein in muscle foods. Compr Rev Food Sci Food Saf. 10:33-51.
36
Dzudie T, Hardy J. 1996. Physicochemical and functional properties of flours prepared from common beans and Green Mung beans. J Agric Food Chem. 44:3029-3032. Erliana G. 2010. Mutu kedelai nasional lebih baik dari kedelai impor. Berita Pusat Penelitan dan Pengembangan Pertanian. 45:7. Fekria AM, Isam AMA, Suha OA, Elfadil EB. 2012. Nutritional and functional characterization of defatted seed cake flour of two Sudanese groundnut (Arachis hypogaea) cultivars. Int Food Res J. 19(2):629-637. Fox N, Ward K. 2008. Health, ethics, and environment: A qualitative study of vegeratian motivations. Appetite. 50:422-429. Fuente MDL. 2009. Cultivating mushrooms on small farms. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 18]. Tersedia pada: http://sfp.ucdavis.edu/files /144812.pdf. Gadiyaram KM, Kannan G.2004. Comparison of textural properties of low-fat chevon, beef, pork, and mixed-meat sausages. S Afr J Anim Sci. 34:212214. Habila JD, Bello IA, Dzikwi AA, Musa H, Abubakar N. 2010. Total penolic and antioxidant activity of Tridax procumbens Linn. Afr J Pharm Pharmacol. 4(3):123-126. Harmiawan D. 2011. Peluang sukses usaha kuliner mie ayam. [Internet]. [diunduh 2013 Nov 29]. Tersedia pada: http://carixs.mywapblog.com/files/mieayam.pdf. Hartati SN, Prana TK. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa kultivar talas (Colocasia esculenta L. Schott). J Natur Indonesia. 6(1):2933. Haryadi P. 2010. Sepuluh karakter unggul minyak sawit. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 14]. Tersedia pada: http://seafast.ipb.ac.id/article/sepuluh _karakter_minyak_sawit.pdf. Hasanpour F, Hoseini E, Motalebi AA, Darvish F. 2012. Effects of soy protein concentrate and xanthan gum on physical properties of Silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) surimi. Iran J Fish Sci. 11(3):518-530. Hung PV, Nhi NNY. 2012. Nutritional composition and antioxidant capacity of several edible mushrooms grown in the Southern Vietnam. Int Food Res J. 19(2):611-615. Hosseini SM, Khosravi-Darani K. 2010. Response surface methodology for mycoprotein production by Fusarium venenatum ATCC 20334. J Bioprocess Biotechniq. 1(1):1-5. Hounghton T, Kagawa H, Yasuhaga T, Okuda I. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extract. London: Champan and Hall. Kalac P. 2012. Chemical composition and nutritional value of European species of wild growing mushrooms. In: Andres S, Baumann N. (eds). Mushrooms: Types, Properties, and Nutrition. 130-152. Hauppauge, New York: Nova Science Publishers, Inc. Kang SW. 2004. What is oyster mushrooms. In: MushWorld. Oyster Mushroom Cultivation. Mushroom Growers’ Handbook 1. Seoul: MushWorldHeineart, Inc. Kim YD, Kim YH. 2009. Method of producing mushroom mycelia based meat analog, meat analog produced thereby, low calorie synthetic meat, meat
37
flavor and meat flavor enhancer comprising the meat analog. United States Patent Apllication Publication No.US 2009/0148558 A1. Kullman B, Greve B. 2007. Diversity of dna and protein content of spores of the closely related oyster fungi Pleurotus pulmonarius and P. ostreatus as studied by flow cytometry. Folia Cryptog Estonica, Fasc. 43: 17-21. Kumar P, Sharma BD, Kumar RR. 2010. Storage stability of analogue meat nuggets under refrigeration (4±1oC). J Vet Pub Hlth. 8(2):117-120. Kwon H, Kim BS. 2004. Bag cultivation. In: MushWorld. Oyster Mushroom Cultivation. Mushroom Growers’ Handbook 1. Seoul: MushWorldHeineart, Inc. Lin MY, Humbert GS, Sosulski FW. 1974. Certain functional properties of sunflower meal products. J Food Sci. 39(2):368-370. Lin S, Huff HE, Hsieh F. 2000. Texture and chemical characteristics of soy protein meat analog extruded at high moisture. J Food Sci. 65(2):264-269. Mao X, Hua Y. 2012. Composition, structure and functional properties of protein concentrates and isolates produced from walnut (Juglans regia L.). Int. J Mol Sci. 13:1561-1581. Micha R, Wallace SK, Mozaffarian D. 2010. Red and processed meat consumption and risk of incident coronary heart disease, stroke, and diabetes mellitus : a systematic review and meta-analysis. Circulation. 121:2271-2283. Min JB, Lee SK. 2004. Surimi quality from mechanically deboned chicken meat as affected by washing cycle, salt concentration, heating temperature, and rate. Asian-Aust J Anim Sci. 17(1):131-136. Moore D, Chiu SW. 2001. Fungal products as food. In: Pointing SB, Hyde KD (eds.). Bio-exploitation of Filamentous Fungi. Hongkong: Fungal Diversity Press. Mshandete AM, Mgonja J. 2009. Submerged liquid fermentation of some Tanzanian basidiomycetes for the production of mycelia biomass, exopolysaccharides and mycelium protein using wastes peels media. ARPN J Agric Bio Sci. 4(6):1-13. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor: Pusat Antar Universitas, IPB. [NFSMI] National Food Service Management Institute. 2012. Soy allergies. Food allergy fact sheet, The University of Mississippi, USA. Peregrin T. 2002. Mycoprotein: Is America ready for a meat substitute derived from a fungus? J Am Diet Assoc. 102(5):628. [PPLH] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. 2007. Vegetarian Hidup Ekologis. Mojokerto: PPLH. Prasetyo H, Padaga MC, Sawitri ME. 2013. Kajian kualitas fisiko kimia daging sapi di pasar Kota Malang. J Ilmu Teknol Hasil Ternak. 8(2):1-8. Priyanto D. 2005. Evaluasi kebijakan impor daging sapi melalui analisis penawaran dan permintaan. Prosiding seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner:275-284. Rareunrom K, Tongta S, Yongsawatdigul J. 2008. Effects of soy protein isolate on chemical and physical characteristics of meat analog. Asian J Food Agro. 1(2):97-104.
38
Riaz MN. 2006. Different types of TVP, their selection and economics. [Internet]. [diunduh 2012 Jul 29]. Tersedia pada: http:/wishh.org/workshops /intl/southafrica/sept06/riaz3-sept06.pdf. Richi R. 2011. Kajian Terhadap Jamur Pangan Pelawan (Boletus sp.) Khas Indonesia Sebagai Sumber Potensial Pangan Fungsional. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reis FS, Barros L, Martins A, Ferreira ICFR. 2012. Chemical composition and nutritional value of the most widely appreciated cultivated mushrooms: an inter-species comparative study. Food Chem. Toxicol. 50: 191-197. Rosli W, Solihah MA, Aishah M, Nik Fakurudin NA, Mohsin SSJ. 2011. Colour, textural properties, cooking characteristics and fibre content of chicken patty added with oyster mushroom (Pleurotus sajor-caju). Int Food Res J. 18:621-627. Sadler MJ. 2004. Meat alternatives-market developments and health benefit. Trends in Food Sci Technol. 15:250-260. Saetae D, Suntornsuk W. 2011. Toxic compound, antinutritional factors and functional properties of protein isolated from detoxified Jatropha curcas seed cake. Int J Mol Sci. 12:66-77. Sathe SK, Deshpande SS, Salunkhe DK. 1982. Functional properties of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus L. DC) proteins. J Food Sci. 47: 503509. Schieberle P, Hofmann T. 2002. New result on the formation of important maillard aroma compound. In: Swift KAD. (ed.). Advances in Flavours and Fragrances from the Sensation to the Synthesis. UK: The Royal Society of Chemistry. Soeharto IM. 2003. Prospek Pengolahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dalam Peningkatan Pendapatan Petani [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Souissi N, Bougatef A, Triki-Ellouz Y, Nasri M. 2007. Biochemical and functional properties of Sardinella (Sardinella aurita) by-product hydrolysates. Food Technol Biotechnol. 45(2):187-194. Srivastava HC, Bano Z. 1970. Nutrition requirement of Pleurotus flabellatus. Appl. Microbiol. 19(1):166-169. Suprihana, Sumaryati E, Ekayanti RH. 2010. Subtitusi jamur tiram putih untuk peningkatan sifat fisik dan kimia flake dari maizena. Agrika. 4(1):1-24. Suzuki T. 1981. Fish and krill protein processing technology. Tokyo, Japan: Applied Science Publisher Ltd. Tang C. 1991. Phenolic Compound in Food. Washington D. C: American Chemical Society. Thrane U. 2007. Fungal protein for food. In: Dijksterhuis J, Samson RA. Food Mycology A Multifaceted Approach to Fungi and Food. Boca Raton: Taylor & Francis Group, LLC. Totosaus A, Montejano JG, Salazar JA, Guerrero I. 2002. A review of physical and chemical protein-gel induction. Int J Food Sci Technol. 37:589-601. Tumbull WH, Leeds AR, Edwards DG. 1992. Mycoprotein reduced blood lipids in free-living subjects. Am J Clin Nutr. 55:415-419. [USDA] United State Food and Drugs Administration. 1998. Nutrient Data Base for Standard Reference. Quorn Food Inc., USA.
39
Usmiati S. 2010. Keempukan daging : apa dan bagaimana mendapatkan daging yang empuk? Buletin Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 32(4):14-16. Waterhouse A. 2006. Folin-Ciocalteau micro method for total phenol in wine. [internet]. [diunduh 2013 Nov 2013]. Tersedia pada: http://waterhouse .ucdavis.edu/phenol/folinmicro. Welsh TL. 1979. Meat and dairy analogs from vegetable protein. J Am Oil Chemists Soc. 56(3):404-406. Widowati, Susi Wijaya SSK, Yulianti R. 1998. Fraksi globulin dan sifat fungsional isolat protein dari sepuluh varietas kedelai Indonesia. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 17:52-58. Williams PG. 2007. Nutritional composition of red meat. Nutr Diet. 64:113-119. Williamson DA, Geiselman PJ, Lovejoy J, Greenway F, Volaufova J, Martin CK, Arnett C, Ortego L. 2006. Effects of consuming mycoprotein, tofu or chicken upon subsequent eating behavior, hunger, and safety. Appetite. 46:41-48. Wroldstad RE, Decker EA, Schwartz SJ, Sporns P. 2005. Handbook of Food Analitycal Chemistry. New Jersey: John Willey and Sons Inc. Wu H, Wang Q, Ma T, Ren J. 2009. Comparative studies on the functional properties of various protein concentrate preparations of peanut protein. Food Res Int. 42:343-348. Xie YR, Hettiarachchy NS. 1997. Xanthan gum effects on solubility and emulsification properties of soy protein isolate. J Food Sci. 62(6): 10011003. Yulianti T. 2003. Mempelajari Pengaruh Karakteristik Isolat Protein Kedelai Terhadap Mutu Sosis. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
40
Lampiran 1
Data kadar air tubuh buah Pleurotus ostreatus dan Pleurotus flabellatus pada ukuran yang berbeda
Ukuran diameter tudung jamur (cm) 4-5 6-8 8-10
Kadar air (%) Pleurotus ostreatus Pleurotus flabellatus 91.2913 ± 1.0040a 90.1287 ± 1.6798a a 92.2331 ± 0.0429 90.6662 ± 0.9731a 92.0471 ± 0.0620 a 91.5051 ± 0.4321a
41
Lampiran 2 Data kadar air miselium Pleurotus flabellatus dan Volvariella volvacea pada hari pemanenan yang berbeda Hari pemanenan miselium hari ke-7 hari ke-8 hari ke-9
Kadar air (%) Pleurotus flabellatus Volvariella volvacea 96.6010 ± 0.1822a 94.6509 ± 0.2542a a 96.6662 ± 0.0862 94.7442 ± 0.8287a 96.3773 ± 0.1388 a 94.8687 ± 0.2449a
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Juli 1988, dari pasangan Bapak Beny Hendarto dan Ibu Tina Suhartini. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis mengenyam Pendidikan formal Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA) 1 Bogor hingga tahun 2006. Di tahun yang sama penulis diterima pada jenjang pendidikan sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui USMI. Tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana dengan predikat cum laude dan sebagai lulusan terbaik dari Fakultas Teknologi Pertanian IPB, kemudian pada tahun 2011 penulis melanjutkan kuliah program pascasarjana. Penulis mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana dari Tanoto Foundation selama 1 tahun. Selain melakukan kegiatan akademik, penulis pun aktif dalam kegiatan nonakademik dan kepanitiaan. Penulis sempat menjadi panitia pelatihan dan seminar HACCP tahun 2008. Penulis aktif sebagai tenaga pengajar pada salah satu bimbingan belajar di daerah Taman Pagelaran, Bogor. Selama berkuliah pada jenjang sarjana, penulis aktif dalam berbagai lomba karya tulis ilmiah terutama dalam program kreativitas mahasiswa yang diadakan oleh DIKTI, beberapa di antaranya berhasil juga didanai oleh DIKTI, namun belum berhasil untuk tahapan selanjutnya.