KAJIAN PERTUMBUHAN EKSPLAN PUCUK GAHARU (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) MELALUI TEKNIK EX VITRO
CITRA BETRIANINGRUM
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Halaman Persembahan
Tulisan ini Ku dedikasikan untuk kedua orang tua dan kakak ku. Atas Segala Kasih Sayang yang selalu menjadi sumber semangat dan kebanggaan.
RINGKASAN CITRA BETRIANINGRUM. E34104031. Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Melalui Teknik Ex Vitro. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan WA ODE HAMSINAH BOLU. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan komposisi media yang sesuai untuk pertumbuhan eksplan dan untuk mendapatkan konsentrasi hormon tumbuh IBA (Indole Butyric Acid) yang optimal bagi pertumbuhan perakaran eksplan pucuk G.versteegii melalui teknik ex vitro. Diharapkan dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang media tumbuh yang sesuai dan konsentrasi hormon yang terbaik untuk pertumbuhan eksplan pucuk G.versteegii (Gilg) Domke, sehingga dapat diterapkan guna mendukung pelestarian plasma nutfah. Dalam pelaksanaan penelitian, alat yang digunakan box mika, aqua gelas 240 ml, cutter, gunting tanaman, sungkup, paranet, papan iris, steples, speryer, dan kertas label. Bahan yang digunakan antara lain eksplan pucuk G.versteegii, hormon IBA (400, 450, 500, 550, 600 ppm), Vitamin B1, bakterisida, fungisida, media (tanah, pasir, dan kompos), Antracol, zat perekat, CaCo3. Semua eksplan yang sudah direndam pada larutan (vitamin B1, sterilisasi, dan hormon dengan berbagai konsentrasi), serta dioles dengan pasta pada bagian pangkal eksplan, langsung ditanam pada masing-masing media (tanah tunggal, pasir tunggal, dan campuran tanah-pasir-kompos) yang sudah dimasukkan pada box mika. Selanjutnya box ditutup rapat dan disteples, kemudian simpan dalam sungkup. Hasil penelitian yang diperoleh adalah presentase hidup pada perlakuan sebesar 66,67%, sedangkan pada kontrol sebesar 83,33%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan hormon berpengaruh pada presentase hidup eksplan. Pertumbuhan tinggi pada eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media. Sedangkan hormon sangat berpengaruh terhadap perakaran. Persentase berakar pada perlakuan hormon sebesar 61,78% dan pada kontrol sebsesar 53,33%. Dilihat dari persentase berakar berdasarkan konsentrasi hormon, yang paling tinggi pada konsentrasi 550 ppm yaitu 14,22%. Namun, tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 450 ppm dengan persentase berakarnya sebesar 13,11%. Dari hasil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komposisi media yang baik untuk pertumbuhan eksplan gaharu adalah media tanah dengan persentase hidup 89,33%. Sedangkan hormon yang optimal untuk perakaran eksplan pucuk gaharu adalah dengan konsentrasi 550 ppm. Namun konsentrasi 450 ppm juga baik untuk perakaran, walaupun tidak seoptimal konsentrasi 550 ppm. Tetapi konsentarsi hormon 450 ppm ini dapat mengefisienkan biaya. Key words: Gyrinops versteegii (Gilg) Domke, Material, Hormone
SUMMARY CITRA BETRIANINGRUM. E34104031. Study of Explan Growth Gaharu Sprout (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Trhoug a Technique of Ex Vitro. Under Supervision EDHI SANDRA and WA ODE HAMSINAH BOLU. In the year 1985, amount export of the gaharu Indonesia reach about 1487 ton, but exploit the tropical experienced forest and gaharu hunt which do not in control have resulted the species-species of gaharu become the rareness. As for this research target is to get the appropriate material composition for the growth of explan and to get the hormone concentration grow the IBA (Indole Butyric Acid) optimal for growth of root the eksplan sprout G. versteegii of through technique of ex vitro. Assorted of material grow and various concentration of IBA hormone can yield the growth which different each other, knowable so that composition of material and best hormone concentration for the growth of explan of gaharu sprout by ex vitro. Expected from this research result is obtained by information of about material grow appropriate and best hormone concentration for the growth of explan of sprout G.Versteegii (Gilg) Domke, applicable to so that utilize to support the continuation of plasma nutfah. In research implementation, appliance used : box mica, glass aqua 240 ml, cutter, cut the crop, mulch, paranet, board slice, steples, speryer, and lable paper. Substance used by for example explan of sprout Gyrinops versteegii, IBA hormone ( 400, 450, 500, 550, 600 ppm), growquick, benstar 50 WP, agrept 20 WP, material (land, sand, and compost), antracol, agristik, calcium carbonate. All eksplan is soaked at condensation (vitamin B1, sterilization, and hormone by various concentration), and also pasta oles of shares of jetty explan, direct planted each material (single land, single sand, and mixture land-sand-compost) is entered at box mica. Call a meeting to order and disteples and keep in mulch. Result of research the obtained percentage live equal treatment to 66,67%, while at control equal to 83,33%. This matter indicate that living of hormone not have an in with percentage live explan. High growth explan is also influenced by media type. While hormone very having an effect on to root. Seen from percentage take root pursuant to hormone concentration, concentration highest 550 ppm that is 95,52%. But, not far different from concentration 450 ppm with percentage take root to equal 95,16%. If evaluated from level of fifth concentration hormone, all concentration represent optimal concentration for the root of gaharu explan From previous result can be concluded that media composition which good to growth of gaharu explan is ground land single media with percentage live 89,33%. While hormone which optimal for the root of gaharu explan with concentration 550 ppm. But concentration 450 ppm also good to root, although not as optimal as concentration 550 ppm. But 450 ppm hormone concentration this can be efficient expense. Key words: Gyrinops versteegii (Gilg) Domke, Material, Hormone
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) melalui Teknik Ex vitro adalah benar-benar hasil dari karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Citra Betrianingrum NRP E34104031
Judul Penelitian : Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Melalui Teknik Ex Vitro Nama : Citra Betrianingrum NIM : E34104031
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. Edhi Sandra, M.Si NIP. 132 055 229
Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc NIP. 680 003 228
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat
dan
hidayat-Nya,
sehingga
penulisan
skripsi
dapat
terselesaikan. Penelitian dilaksankan pada bulan Agustus-Oktober 2008, yang berjudul ”Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) melalui Teknik Ex vitro. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, ibu dan kakak tercinta yang telah memberi doa, dorongan, dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi dan Ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, MSc, yang telah membimbing dan memberi masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, ungkapan penghargaan ditujukan kepada Bapak Drs. Minaldi yang telah membimbing penulis dalam berbagai kegiatan teknis lapang selama penulis melaksanakan penelitian, ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Harun dari Kebun Raya Bogor yang telah membantu dalam penyediaan eksplan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Bogor, Januari 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Muara Bungo pada tanggal 28 Desember 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Rum Herayitno (ayah) dan Hj.Elizabet (ibu). Penulis telah lulus dari SMU N 3 Solok, pada tahun 2004. Dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di dalam organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Himakova tahun kepengurusan 2005-2006, dan penulis bergabung dalam Kelompok Pemerhati Flora (KPF). Penulis menajabat sebaga sekretaris dalam kegiatan EXPO Himakova yang dilaksanakan pada bulan Mei 2007. Pada bulan Juli-Agustus 2007 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Hutan di Baturraden dan Cilacap, serta Praktek Pengelolaan Hutan yang dilaksanakan di Getas, Jawa Timur. Bulan Februari tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Pertumbuhan Eksplan Gyrinops versteegii (Gilg) Domke Melalui Teknik Ex vitro yang dibimbing oleh Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, M.Sc.
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakhmat dan hidayah-Nya, sehingga karya tulis berupa Skripsi yang berjudul “Kajian Pertumbuhan Eksplan Pucuk Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) melalui Teknik Ex vitro “ ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta (Rum Herayitno dan Hj. Elizabet) dan kakak tersayang (Suci Betrianingrum dan Yusra) atas doa, dukungan dan motivasi dalam penyusunan skripsi. Selain itu, kepada Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi dan Ibu Ir. Wa Ode Hamsinah Bolu, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian Skripsi ini melibatkan banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan ungkapan rasa hormat kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor atas segala fasilitas dan kesempatan belajar bagi penulis selama menempuh studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni MSc.F. selaku ketua Departemen Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dorongan dan semangat. 3. Ibu Dr. Lina Karlina, S.Hut, M.ScF dari Departemen Hasil Hutan dan Ibu Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda , M.Sc dari Departemen Silvikultur sebagai dosen penguji dan telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi penulis. 4. Keluarga Bapak Komarruddin dan Alm Hj. Unay (Teh Opi, Om Muhlis, Kakak Dikcoy, Teh Dewi) dan khususnya Dede yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi.
5. Sahabat yang selalu bersama penulis (Rofa, Denny, Heru K,) dan teman-teman PKLP Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Okta, Ari, Dwi, Aan, Rofa, dan Nira). 6. Seluruh staf KPAP Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata khususnya ibu Evan dan ibu Titin. 7. Kepada pihak Biotek, khususnya: Drs. Minaldi, Pak Pramono, Pak Wahyu, Bu Karianti, Mas Yusuf, Mas Alkindi, Mas Dwi H, Pak Parjo, Mas Firman, Mas Hilman dan Mas Hendrik. 8. Semua teman-teman KSH 41 atas segala kebersamaan mengejar studi, khususnya: Hermi, Yandi, Oki, Tice, Ivan, Zulfan, Ucenk, Tikul, Toa. Semoga kita dapat meraih segala cita-cita dan dapat bertemu lagi disuatu waktu. 9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi dan penyajian. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2009 Citra Betrianingrum
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Tujuan .................................................................................................. 3 1.3 Hipotesis ................................................................................................ 3 1.4 Manfaat .................................................................................................. 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaharu ..................................................................................................... 4 2.1.1 Taksonomi ................................................................................... 4 2.1.2 Morfologi ...................................................................................... 4 2.1.3 Penyebaran dan Habitat Gaharu ..................................................... 5 2.1.4 Pemanfaatan ................................................................................... 5 2.1.5 Status Tumbuhan............................................................................ 6 2.2 Perbanyakan secara Vegetatif ................................................................. 7 2.2.1 Definisi Stek ................................................................................... 8 2.2.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Pertumbuhan Stek ...................... 9 2.3 Zat Pengatur Tumbuh.............................................................................. 13 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 14 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 14 3.3 Prosedur Penelitian.................................................................................. 14 3.3.1
Persiapan ..................................................................................... 14
3.3.1.1 Pengambilan Eksplan ........................................................... 14 3.3.1.2 Pembuatan Media ................................................................. 15 3.3.1.3 Pembuatan ZPT .................................................................... 15 3.3.2
Penanaman .................................................................................. 15
3.3.2.1 Media.................................................................................... 15 3.3.2.2 Sterilisasi Eksplan ................................................................ 15 3.3.2.3 Penanaman Eksplan.............................................................. 16 3.3.3
Pemeliharaan ............................................................................... 16
3.3.4
Pengamatan dan pengambilan data ............................................. 16
3.3.4.1 Tinggi ................................................................................... 16 3.3.4.2 Persentase hidup eksplan Gyrinops versteegii ..................... 16 3.3.4.3 Jumlah dan panjang akar ...................................................... 17 3.3.4.4 Persentase yang berakar ....................................................... 17 3.3.5
Analisis Data ............................................................................... 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Media Perakaran ............................................................................ 20 4.1.1 Pengaruh Jenis Media Terhadap Persen Esplan Hidup .................. 21 4.1.2 Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Pucuk Eksplan ...... 29 4.2 Konsentrasi Hormon IBA terhadap Perakaran ....................................... 34 4.2.1 Persentase eksplan yang berakar .................................................... 35 4.2.2 Jumlah akar eksplan Gyrinops versteegii (Gilg) Domke ............... 41 4.2.2.1. Jumlah Akar Primer (JAP) ................................................ 41 4.2.2.2 Panjang Akar Primer (PAP) ............................................. 44 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 48 5.2 Saran ......................................................................................................... 48 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49 LAMPIRAN ...................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL
No. 1.
Halaman Persentase jumlah eksplan yang hidup pada perlakuan dengan hormon dan tanpa hormon (kontrol) ....................................................... 21
2.
Rekapitulasi kemampuan hidup eksplan G. versteegii selama 10 minggu ................................................................................................... 22
3.
Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase hidup eksplan pucuk G.versteegii ......................................................................... 26
4.
Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase hidup stek Estimasi kepadatan populasi orangutan .................................... 26
5.
Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap persentase hidup stek yang memberikan pengaruh terbesar ........ 27
6. Jenis dan kandungan unsur hara dalam kompos ........................................... 31 7.
Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap pertambahan tinggi eksplan pucuk G.versteegii .......................................................................... 33
8.
Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap pertambahan tinggi Eksplan ................................................................................................... 34
9. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase berakar eksplan pucuk Gyrinops versteegii ............................................................... 39 10. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) hormon terhadap persentase berakar eksplan ........................................................................... 39 11. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap persentase berakar stek yang memberikan pengaruh terbesar ...... 40 12. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap jumlah akar primer stek pucuk Gyrinops versteegii .................................................................... 42
13. Uji Duncan hormon terhadap jumlah akar primer (JAP) eksplan pucuk G. versteegii .................................................................................................... 43 14. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap JAP eksplan yang memberikan pengaruh terbesar ........................ 44 15. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap PAP ........................... 45 16. Uji Duncan jenis media terhadap persentase hidup eksplan ................................ 46 17. Rekapitulasi pengaruh media dan hormon untuk berbagai parameter ......... 47 18. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan hormon untuk setiap parameter yang diamati ................................................................................ 47
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Gyrinops versteegii (dok. Citra, 2008) . ....................................................... 4 2. Eksplan yang terserang jamur ...................................................................... 22 3. Jumlah eksplan hidup per media tanam ........................................................ 23 4. Kondisi eksplan yang masih segar pada media tanah (a) A1B5 (b) A1B2 .. 24 5. Pucuk yang tumbuh pada media campuran ................................................. 30 6.
Rata-rata tinggi eksplan berdasarkan ulangan waktu pengamatan (a) perlakuan tanah, (b) perlakuan pasir, (c) perlakuan media campuran ....32
7. Persentase berakar ekspal berdasarkan konsentrasi hormon .......................36 8.
Persentase eksplan berakar berdasarkan jenis media ...................................37
9. Persentase berakar pada kontrol ..................................................................37 10. Diagram pengaruh jenis media dan hormon terhadap persen eksplan berakar Gyrinops versteegii .........................................................................38 11. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap JAP eksplan pucuk Gyrinops versteegii .......................................................................................42 12. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap PAP eksplan pucuk Gyrinops versteegii .....................................................................................45
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Jumlah eksplan hidup pada perlakuan ........................................................ 52
2.
Jumlah eksplan hidup pada kontrol.............................................................. 52
3.
Tinggi eksplan dengan perlakuan hormon ................................................... 53
4.
Tinggi eksplan tanpa perlakuan hormon (kontrol) ....................................... 54
5.
Jumlah eksplan yang berakar pada perlakuan .............................................. 54
6.
Jumlah eksplan yang berakar pada kontrol .................................................. 55
7.
Rekapitulasi jumlah akar dan rata-rata panjang akar pada perlakuan hormon ......................................................................................................... 56
8.
Rata-rata jumlah akar pada perlakuan .......................................................... 64
9.
Rata-rata jumlah akar pada kontrol .............................................................. 64
10. Rekapitulasi jumleh eksplan yang mengalami rontok daun pada perlakuan ..................................................................................................... 65 11. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami rontok daun pada kontrol ... 65
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh
endemik beberapa species gaharu komersial (Situmorang dan Yupi, 2006). Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun. Namun sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp., penghasil utama gaharu) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Gaharu mambutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan regenerasi. Dilihat perbandingannnya lebih besar permintaan dibandingkan pertumbuhan gaharu itu sendiri. Karena kekhawatiran akan punahnya species gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun. Gaharu merupakan salah satu jenis flora yang memiliki berbagai manfaat dan komoditas elit hasil hutan bukan non kayu (HHBK) karena bernilai tinggi dan banyak diminati oleh masyarakat. Menurut Sumarna (2007), jenis ini banyak diminati karena mengandung damar wangi berupa oleoresin yang akan mengeluarkan aroma khas bila dibakar. Dalam pemenuhan permintaan pasar, semua produksi gaharu masih mengandalkan dari hutan alam. Jika tidak diatasi pengadaan plasma nutfahnya, maka akan mengancam kelestarian jenis gaharu itu sendiri. Menurut kebijakan pemerintah masa lalu, masyarakat diberi kesempatan seluasnya untuk memproduksi gaharu dengan pengawasan relatif rendah dan nilai jual relatif tinggi. Kegiatan ini dapat menimbulkan intensitas perburuan gaharu di hutan alam semakin tidak terkendali.
Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan tidak berisi gubal gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon secara spekulatif. Pohon gaharu yang telah ditebang ternyata tidak mengandung gaharu setelah dikupas dan dicacah, kemudian akan diterlantarkan begitu saja. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus dan tidak adanya upaya pelestarian ataupun kebijakan tentang pemanenan gaharu, maka populasi gaharu akan semakin terancam punah. Untuk mengatasi kelangkaan, dibutuhkan upaya konservasi melalui kegiatan pemanfaatan secara lestari dan pelestarian jenis beserta ekosistemnya. Alasan lain untuk dilakukannya upaya konservasi gaharu adalah substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena. Substansi ini memiliki struktur kimia yang sangat spesifik, sehingga sampai saat ini belum dapat dibuat secara sintetis. Dalam upaya pelestarian plasma nutfah jenis gaharu dilakukan dengan perbanyakan vegetatif. Perbanyakan gaharu dengan menggunakan cara generatif masih belum optimal, karena di Indonesia belum tersedia kebun induk pohon penghasil biji gaharu yang terpelihara dengan baik yang disiapkan oleh pemerintah, pengusaha, maupun oleh masyarakat. Upaya pelestarian gaharu dapat dilakukan dengan kegiatan in vitro dan ex vitro. Selain untuk mempertahankan kelestarian gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik secara in vitro maupun ex vitro juga akan memberikan peluang dihasilkannya bibit unggul. Ex vitro merupakan salah satu kegiatan dalam pelestarian jenis dengan cara perbanyakkan bibit, melalui kegiatan ini dapat dilakukan upaya peminimalisiran biaya pembibitan, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pembibitan lebih ringan dibandingkan dengan kegiatan pembibitan secara in vitro. Namun, dasar dari kegiatan ini tetap merujuk pada kegiatan in vitro. Regenerasi secara ex-vitro merupakan kegiatan perbanyakkan secara vegetatif, di mana tunas-tunas yang dihasilkan dari pohon induk dapat langsung ditanam dalam media tanah dengan aplikasi zat perangsang tunas dan akar. Dengan metode perbanyakan tunas gaharu secara ex vitro,
bahan tanam dapat disediakan dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat, sehingga dapat mendukung pelestarian plasma nutfah gaharu. Kegiatan ex vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Dalam kajian ini akan dititik beratkan pada faktor eksternal yaitu konsentrasi zat pengatur tumbuh dan media yang digunakan.
1.2
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendapatkan komposisi media yang sesuai untuk pertumbuhan eksplan pucuk Gyrinops versteegii melalui teknik ex vitro. 2. Mendapatkan konsentrasi hormon tumbuh IBA (Indole Butyric Acid) yang optimal bagi pertumbuhan perakaran eksplan pucuk Gyrinops versteegii melalui teknik ex vitro.
1.3
Hipotesis Kajian pertumbuhan eksplan pucuk dari jenis Gyrinops versteegii pada berbagai
macam media tumbuh dan berbagai konsentrasi hormon IBA dapat menghasilkan pertumbuhan yang berbeda-beda.
1.4
Manfaat Dapat memberikan informasi tentang media tumbuh yang sesuai dan
informasi konsentrasi hormon yang terbaik untuk pertumbuhan eksplan pucuk Gyrinops versteegii, sehingga dapat diterapkan guna mendukung pelestarian plasma nutfah.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gaharu
2.1.1 Taksonomi Menurut Gilg (1932), taksonomi dari jenis gaharu ini adalah: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub-Divisi
: Angiospermae
Class
: Dicotyledone
Sub-Class
: Magnoliopsida
Famili
: Thymelaeaceae
Genus
: Gyrinops
Species
:Gyrinops
versteegii
(Gilg)
Domke Gambar 1. Gyrinops versteegii (dok. Citra, 2008)
2.1.2
Morfologi Jenis tumbuhan penghasil gaharu dari famili Thymelaeaceae memiliki ciri dan
sifat morfologis yang relatif sama. Tumbuhan ini biasanya berupa semak belukar atau pohon kecil, selalu hijau atau berganti daun setiap tahun. Pertulangan daun berbentuk alternate, oposite dengan ujung daun berbentuk runcing. Tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan biseksual dan kadang-kadang dioecious. Susunan bunga di tangkai atau subterminal lebih sering berupa susunan axillary dan kadang-kadang berupa susunan brachyblasts, sessile atau pedunculate, yang pada dasarnya racemose. Susunan bunga berupa capitate, spicate, umbelliform, atau fascicled. Bunga pada umumnya actinomorphic, biseksual atau uniseksual dan kebanyakan dioecious, bracteate (daun kecil pada bunga yang membentuk suatu involucre atau ebracteate, sessile atau pedicellate). Kelopak bunga berbentuk pipa, campanulate, atau infundibuliform. Pada umumnya mahkota bunga tersusun 4, 5 atau 6, kebanyakkan
berbentuk caducous, namun kadang-kadang circumscissile atau gigih, atau juga berbentuk seperti cuping yang menutupi. Benang sari berjumlah 2 atau lebih dan pada umumnya sebanding dengan jumlah kelopak. Kepingan hypognous pada umumnya mengarah ke dasar indung telur, seperti mengelupas, cup-shaped atau berbentuk gelang. Indung telur superior terdiri dari 1 atau 2 lokus, sessile atau ovules solitary pada setiap lokus. Buah kebanyakan berbentuk indehiscent atau gemuk, sedangkan pada Aquilaria berbentuk suatu loculicidal kapsule. Benih dengan atau tanpa endosperm, embrio lurus atau langsung. Phloem berisi serat yang sangat kuat, menjadikan jenis ini sangat baik sebagai pelapis kertas untuk menghasilkan kertas dengan kualitas terbaik. Kebanyakkan jenis adalah beracun dan beberapa bersifat medicinally yang dapat digunakan sebagai obat.
2.1.3 Penyebaran dan Habitat Penyebaran gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 – 2400 mdpl. Umumnya gaharu yang memiliki kualitas sangat baik, tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 28o – 34o C, kelembaban 60% - 80%, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna, 2007). Gaharu dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang beragam. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Tumbuhan ini pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah, atau hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir.
2.1.4 Pemanfaatan Berdasarkan hasil analisis kimia, gaharu memiliki enam komponen utama berupa furanoid sesquiterpene, di antaranya adalah a-agarofuran, b-agarofuran, dan agarospirol.
Komponen
minyak
atsiri
sequiterpenoida, eudesmana, dan velancana.
yang
dikeluarkan
gaharu
berupa
Gaharu mengeluarkan aroma keharuman yang khas, dimanfaatkan untuk bahan baku industri parfum, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris. Pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bahan kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya bermanfaat sebagai bahan industri pengharum, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker (Anonim, 2003). Beberapa negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu tersebut sebagai bahan obatobatan, seperti penghilang stres, gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker, malairia, serta radang lambung. Di Papua gaharu sudah digunakan secara tradisional oleh masyarakatnya untuk pengobatan. Daun, kulit batang, dan akar digunakan sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan (limbah dari proses destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) sangat bermanfaat untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Sumarna, 2007).
2.1.5
Status Tumbuhan Aquilaria dan Gyrinops adalah dua genus dari famili Thymelaeceae yang
dikenal sebagai penghasil gaharu yang tumbuh dan tersebar di Indonesia. Eksploitasi yang tak terkendali telah mengancam kelestarian kedua kelompok tumbuhan tersebut. Oleh karena itu, upaya perlindungan telah dilakukan dengan memasukkan A. malaccensis, jenis penghasil gaharu utama di Indonesia, kedalam daftar Appendix II CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) pada bulan November 1994. Selanjutnya, pada Oktober 2004 menyusul Gyrinops spp, dimasukkan dalam daftar tersebut. Dalam mengusahakan jenis tumbuhan ini sebagai hasil hutan non-kayu, Indonesia mempunyai suatu kuota yang diijinkan untuk di ekspor. Pembatasan ini
sebagai respon terhadap ancaman penebangan secara berlebihan terhadap berbagai jenis pohon penghasil gaharu. Namun dewasa ini, kemampuan untuk menjangkau jumlah kuota yang diijinkan semakin menurun akibat kelangkaan gaharu akibat pemanenan yang berlebihan.
2.2
Perbanyakan secara Vegetatif Menurut Darmawan dan Baharsjah (1983), pembiakan vegetatif merupakan
perbanyakkan
tanaman
tanpa
melibatkan
proses
perkawinan
dan
dapat
mempertahankan sifat-sifat asli induknya. Selanjutnya menurut Sumarna (2007), perbanyakkan vegetatif merupakan cara perbanyakkan dengan memanfaatkan bagian dari tanaman induk seperti tunas, cangkok dan stek pucuk. Harahap (1972) menyatakan bahwa secara garis besar, pembiakan vegetatif dibagi dua, antara lain: 3. Allelovegetative propagation, merupakan pembiakan vegetatif dari dua jenis genotif yang berbeda seperti pada sambungan dan okulasi. 4. Autovegetative propagation, merupakan pembiakan genotif yang sama seperti kegiatan cangkok dan stek. Kegiatan perbanyakkan secara vegetatif dapat mengantisipasi kendala yang timbul dari perbanyakkan yang dilakukan secara generatif. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), banyak tumbuhan tidak memiliki sifat yang sama ataupun menyerupai sifat induknya apabila dibiakkan dengan biji. Selain itu, alasan lain dilakukannya perbanyakkan secara vegetatif adalah: 1. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang memiliki biji namun sulit untuk berkecambah. 2. Tumbuhan yang menghasilkan biji dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak menghasilkan biji. 3. Tumbuhan yang tumbuh dari akar-akar pohon induk, akan lebih rentan terhadap hama dan penyakit. 4. Beberapa jenis tumbuhan akan tahan terhadap suhu dingin (hard) bila disambungkan pada batang lain jenis.
5. Tumbuhan akan memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap hama dan penyakit bila disambungkan. 6. Pembiakan secara vegetatif untuk jenis-jenis tertentu akan lebih ekonomis. Perbanyakkan secara vegetatif (asexual propagation) merupakan perbanyakkan dari bagian-bagian vegetatif tumbuhan. Setiap sel tumbuhan mempunyai informasi genetik yang berguna untuk membentuk individu tumbuhan yang lengkap. Perbanyakkan ini dapat terjadi melalui bakal akar dan tunas atau melalui bakal akar, batang, daun dan tunas atau melalui penyatuan bagian vegetatif seperti pada grafting dan okulasi (Hartman dan Kester, 1983). Supriyanto (1997), menyatakan bahwa perbanyakkan vegetatif memiliki keuntungan-keuntungan, antara lain: 1. Secara genetik, bibit yang dihasilkan memiliki sifat keturunan yang sama dengan sifat induknya. 2. Tumbuhan yang diperbanyak secara vegetatif lebih cepat berbuah. 3. Tidak tergantung terhadap musim. 4. Dapat diperbanyak dalam jumlah besar. 5. Dapat dikombinasikan dengan jenis tumbuhan yang lain.
2.2.1 Definisi Stek Perbanyakkan secara vegetatif dapat dilakukan berbagai kegiatan yaitu stek (cutting), cangkok (layering), penempelan (budding), dan sambungan (grafting) (Soerianegara dan Djamhuri, 1979). Stek merupakan bagian dari tumbuhan dengan adanya titik tumbuh, yang dipotong atau pisahkan dari induknya dan kemudian dapat tumbuh menjadi tanaman baru (Tjitrosoepomo, 2001). Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), penyetekan merupakan suatu perlakukan pemisahan atau pemotongan beberapa bagian tumbuhan seperti batang, akar, daun dan tunas dengan tujuan agar bagian-bagian tersebut membentuk akar. Bahan stek yang digunakan dari bagian pohon yang belum berkayu terlampau keras. Panjang stek antara 5-10 cm. Bahan stek tersebut sebaiknya diambil dari pohon induk yang subur, mempunyai pertumbuhan bunga yang baik, dan berdaun lebat.
Bahan stek dipotong pada bagian dekat daun, karena di lokasi tersebut berkumpul banyak cadangan makanan. Hal ini memudahkan terbentuknya akar pada bagian tersebut. Pemotongan bahan stek sebaiknya menggunakan pisau yang tajam (Atjung, 1975). Berdasarkan bagian tumbuhan yang diambil untuk bahan stek, stek dapat dibedakan menjadi stek akar, stek batang, stek daun atau stek tunas daun, dan stek tunas atau stek mata tunas. Stek yang menggunakan batang sebagai bahan stek sangat menguntungkan karena mempunyai persediaan makanan yang memadai (Wattimena, 1988). Stek yang dilakukan pada bagian atas tumbuhan seperti stek pucuk, stek batang dan lain-lain, bertujuan untuk mengoptimalkan pembentukan sistem bagian atas tumbuhan (Rochiman dan Harjadi, 1973; Hartmann dan Kester, 1983). Adapun keuntungan perbanyakkan vegetatif melalui stek dapat menghasilkan tumbuhan yang sempurna dengan akar, daun dan batang dalam waktu relatif singkat serta bersifat serupa dengan induknya (Rochmin dan Harjadi, 1973). Namun permasalahan yang dihadapi dalam perbanyakan tumbuhan dengan cara stek meliputi berbagai macam aspek, diantaranya adalah pemilihan bahan stek, pemilihan bibit, jenis dan konsentrasi hormon yang digunakan untuk memperoleh hasil yang optimal, serta aplikasinya dalam penanaman di lapangan (Subiakto, 1988).
2.2.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Pertumbuhan Stek Faktor-faktor yang mempengaruhi penyetekan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor dalam dan faktor luar (lingkungan) tanaman (Hartmann dan Kester, 1983). Faktor Dalam a. Jenis tanaman Beberapa jenis pohon kehutanan dapat dibiakkan dengan metode stek, baik itu dengan stek akar, stek batang, stek pucuk ataupun stek daun. Namun ada beberapa pohon tidak bisa dibiakkan dengan metode stek.
b. Bahan stek Faktor dari bahan stek meliputi nutrisi yang terkandung didalamnya, ketersediaan air, kandungan hormon endogen dalam jaringan stek, tipe bahan stek, bebas dari hama dan penyakit, serta umur pohon induk. Selain itu, kondisi bagian bahan stek yang akan digunakan untuk penanaman. Faktor Luar a. Suhu Kisaran suhu yang baik untuk pembentukan perakaran adalah 21-270C. Setiap jenis akan mempunyai suhu yang berbeda-beda dalam kisaran 21-270C untuk merangsang pembentukan primordia masing-masing jenis. Temperatur media juga mempunyai pengaruh dalam pembentukan akar. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), temperatur udara yang optimum untuk pembentukan akar berbeda-beda menurut jenis tanaman. Tetapi pada kebanyakan tanaman, temperatur udara optimum adalah 290 C, sedangkan temperatur media perakaran sebaiknya berada pada suhu 240 C, karena pada temperatur ini pembelahan sel pada akar akan distimulir. Sedangkan menurut Smith dan Yasman (1987), suhu dan kelembaban yang baik untuk mendukung pertumbuhan eksplan dengan baik adalah 25oC – 28oC dengan kelembaban diusahakan stabil di atas 90%. b. Media perakaran Jenis media yang digunakan untuk media perakaran akan sangat mempengaruhi kemampuan stek untuk membentuk akar. Media perakaran memiliki fungsi yaitu untuk menahan bahan stek agar tetap berada pada tempatnya, menyediakan dan menjaga kelembaban yang dibutuhkan oleh stek dan untuk membiarkan penetrasi udara ke bagian dasar dari stek (Mahlstede dan Haber, 1957). Menurut Hartmann dan Kester (1978), kriteria media yang baik adalah sebagai berikut : 1.
Harus cukup kuat dan kompak sebagai pemegang stek atau benih selama perkecambahan atau pertumbuhan
2.
Harus mampu mempertahankan kelembaban
3.
Memiliki aerasi dan drainase yang baik
4.
Bebas dari benih tumbuhan liar, nematoda dan berbagai organisme penyebab penyakit
5.
Tidak memiliki salinitas yang tinggi
6.
Dapat disterilkan dengan menggunakan panas tanpa menimbulkan efek terhadap unsur-unsur penting bagi pertumbuhan stek Media yang sering digunakan untuk stek antara lain dapat terdiri dari campuran
dari tanah, pasir, gambut, sphagnum, vermiculite dan perlite. Perbedaan macam media terhadap pembentukan akar tidak nyata selama media dapat memenuhi syaratsyarat pembentukan akar (Rochiman dan Harjadi, 1973). Menurut Purwowidodo (1998), tanah merupakan tempat tumbuh tanaman dan penyedia unsur hara. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan oleh sifat-sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar tanaman. Tanah lapisan atas banyak mengandung bahan organik yang mempunyai kemampuan menghisap dan memegang air yang tinggi. Tanah yang beraerasi baik, presentase pembentukan akar pada stek lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik (Hartmann dan Kester, 1983). Pasir telah digunakan secara luas sebagai media perakaran stek karena media ini relatif murah dan mudah tersedia, bersih serta memiliki daya rekat tinggi. Pasir tidak menyimpan kelembaban sehingga membutuhkan frekuensi penyiraman yang lebih sering. Penggunaan tunggal tanpa campuran dengan media lain membuatnya sangat kasar sehingga tidak akan memberikan hasil yang baik. Kekasaran dan sistem aerasi pasir harus diperhatikan, supaya dapat memberikan hasil yang baik (Yasman dan Smith, 1988). c. Kelembaban udara Kelembaban udara pada bahan stek sebaiknya di atas 90 % terutama sebelum bahan stek mampu membentuk akar karena kelembaban yang tinggi akan mencegah stek dari kekeringan dan kematian. Tetapi kelembaban stek dan lingkungan sebaiknya juga jangan terlalu tinggi, karena apabila media yang digunakan kurang steril, kelembaban yang terlalu tinggi
justru akan memacu perkembangan mikroba
pengganggu yang dapat menyebabkan kegagalan stek.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), kelembaban udara termasuk salah satu faktor penting yang mempengaruhi stek sebelum berakar. Bila kelembaban rendah, stek akan cepat mati karena kandungan air dalam stek pada umumnya sangat rendah sehingga stek menjadi kering sebelum membentuk akar. d. Intensitas Cahaya Cahaya dibutuhkan tanaman sebagai salah satu komponen dalam proses fotosintesis, untuk itu intensitas cahaya yang sesuai untuk tanaman akan menentukan keberhasilan stek. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pengaturan intensitas naungan. e. Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), selain faktor dalam dan faktor luar (lingkungan), faktor yang mempengaruhi keberhasilan adalah faktor pelaksanaan. Stek pada umumnya akan berakar bila ditanam pada musim dimana kelembaban udara cukup tinggi dan pada saat tak terjadi pertumbuhan karena pada masa ini tanaman banyak mengandung karbohidrat (Djamhuri et al, 1986). Pelaksanaan penyetekan, mulai dari pemotongan bahan stek, penanaman sampai pemeliharaan akan mempengaruhi keberhasilan stek. Selain itu dalam penyetekan dibutuhkan peralatan yang bersih dan steril sehingga memperkecil kemungkinan stek terserang oleh hama dan penyakit. Menurut Wudianto (1993), saat pemotongan stek yang baik yaitu pada saat kelembaban udara tinggi dan tanaman sedang tidak mengalami pertumbuhan. Saat itu biasanya terjadi pada awal musim hujan. Sedangkan pemotongan stek sebaiknya dilakukan di dalam air, tujuannya agar jaringan pembuluh pada stek yang baru dipotong terisi oleh air, dengan demikian akan memudahkan penyerapan zat makanan. Bila stek dipotong di tempat terbuka, udara tentu saja akan masuk ke dalam jaringan pembuluh, sehingga penyerapan air dan zat-zat makanan akan dipersulit atau dihalangi oleh adanya rongga udara tersebut. Menurut Kramer dan Kozlowsky (1960), ketersediaan air, kandungan bahan makanan, umur pohon induk, jenis kelamin tanaman, jenis tanaman, bagian tanaman, musim, dan adanya perlakuan ZPT juga mempengaruhi pertumbuhan stek.
2.3. Zat Pengatur Tumbuh Menurut Sinaga (1987), zat pengatur tumbuh tanaman adalah senyawa-senyawa organik selain nutrisi tumbuhan, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, serta dapat mempengaruhi setiap proses fisiologis tumbuhan. Hormon tumbuhan (plant hormone) merupakan zat organik yang dihasilkan oleh tumbuhan atau buatan (hormon sintetis), yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologis. Hormon biasanya bergerak dari bagian tanaman yang menghasilkan menuju kebagian tanaman lainnya (Abidin, 1983). Pemberian zat pengatur tumbuh ini dimaksudkan untuk merangsang pembentukan dan pertumbuhan akar dalam stek batang dan stek pucuk. Salah satu zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang pembentukan dan pertumbuhan akar adalah jenis auksin. Jenis auksin yang sering digunakan untuk keperluan tersebut adalah IAA (Indole Asetat Acid), IBA (Indole Butyric Acid), dan NAA (Naftelenasetat). Jenis auksin yang dipergunakan secara luas dan merupakan bahan terbaik dibandingkan dengan jenis auksin lainnya adalah IBA (Hartmann dan Ketser, 1983). IAA memiliki kelebihan karena dapat tersebar ke tunas-tunas dan menghalangi perkembangan serta pertumbuhan tunas-tunas tersebut. Di dalam praktek pemakaian, IBA dan NAA lebih stabil sifat kimianya dan mobilitasnya di dalam tanaman rendah. Kelemahan NAA yaitu kisaran konsentrasi yang sempit, sehingga penggunaanya harus hati-hati agar konsentrasi optimum tidak terlampaui. IBA bersifat lebih baik dari pada IAA dan NAA, karena kandungan kimianya lebih stabil, daya kerjanya lebih lama dan relatif lebih lambat ditranslokasikan di dalam tanaman, sehingga memungkinkan memperoleh respon yang lebih baik terhadap perakaran stek (Kusumo, 1984). Penggunaan zat pengatur tumbuh ini efektif pada jumlah tertentu, konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak eksplan, dimana pembelahan sel dan kalus akan berlebihan dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan pada konsentrasi dibawah optimum tidak efektif (Rochiman dan Harjadi, 1973).
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi), berlokasi di Kawasan PUSPIPTEK (Pusat Pengkajian Ilmu Penegtahuan dan Teknologi), Serpong, Tangerang, Provinsi Banten. Penelitian ini berlangsung pada bulan Agustus sampai Oktober 2008.
3.2
Alat dan Bahan Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah: a. Timbangan j. Gunting tanaman b. Aluminium foil k. Sungkup c. Sendok l. Paranet d. Pipet m. Papan iris e. Botol berukuran 1 L n. Bak plastik f. Magnetic Stirrer o. Sprayer g. Box mika p. Steples h. Aqua gelas bekas 240 ml q. Kertas label i. Cutter Untuk bahan, yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Eksplan Gyrinops versteegii f. Fungisida b. Media (tanah, pasir, dan kompos) g. Antracol c. IBA (indole butyric acid) sintetic h. Vitamin B1 d. Aquadest i. Zat perekat e. Bakterisida j. Kalsium karbonat
3.3
Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan 3.3.1.1 Pengambilan eksplan Eksplan yang akan diambil berasal dari pohon induk koleksi dari Kebun Raya Bogor. Pucuk yang diambil merupakan dari pucuk stak (pucuk dorman) dengan ciri batang putih kemerahan sepanjang 15 - 20 cm. Pengambilan eksplan dalam kondisi
sehat dan berasal dari pohon gaharu yang sehat serta belum diinjeksi patogen untuk pembentukan gubal dari pohon gaharu tersebut. 3.3.1.2 Pembuatan Media Media merupakan salah satu faktor eksternal yang mendukung pertumbuhan eksplan. Pada kajian ini, campuran media yang akan digunakan adalah tanah, pasir dan kompos. A1 : Tanah A2 : Pasir A3 : Campuran tanah, pasir, dan kompos (1:1:1) 3.3.1.3 Pembuatan ZPT Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan adalah IBA (Indole Butyric Acid) dengan konsentrasi 400 ppm, 450 ppm, 500 ppm, 550 ppm, dan 600 ppm yang berupa cairan/larutan. Larutan yang telah dibuat, disimpan di dalam botol dan dibungkus dengan aluminium foil, simpan di dalam lemari pendingin.
3.3.2 Penanaman 3.3.2.1 Media Media yang digunakan dalam penanaman eksplan adalah tanah, pasir, dan kompos. Untuk media pertama menggunakan media tunggal yaitu media tanah. Wadah yang digunakan untuk penanaman adalah box mika, tanah diisi ke dalam box mika sebanyak setengah box atau enam kali aqua gelas yang berukuran 240 ml. Setelah itu, media baik tanah, pasir, dan campuran (tanah + pasir + kompos) disemprot dengan menggunakan antracol (bakterisida) hingga rata, tidak hanya dipermukaannya saja, melainkan sampai bagian bawah media. Selanjutnya mnenyiapkan lubang tanam sebanyak sepuluh lubang tiap boxnya. 3.3.2.2 Sterilisasi Eksplan Pemotongan eksplan dilakukan sampai 3-4 buku, kemudian daun dipotong dan disisakan sepanjang ± 1 cm. Bagian pangkal eksplan disayat dengan kedalaman ± 2 mm. Eksplan yang sudah dipotong, kemudian direndam dalam larutan vitamin B1 (Growquick). Setelah itu, eksplan disterilisasi dengan menggunakan bahan sterilan
anti jamur dan bakteri. Larutan tersebut merupakan campuran dari Benstar, Agristik, dan Agrept, perendaman eksplan di dalam larutan sterilan dilakukan selama 15 menit. 3.3.2.3 Penanaman Eksplan yang telah direndam di dalam larutan sterilan ditiriskan/dikering anginkan. Pilih eksplan dengan kondisi batang eksplan yang baik, direndam dalam larutan hormon 400 ppm, 450 ppm, 500 ppm, 550 ppm, dan 600 ppm, masing-masing 30 eksplan untuk tiga box mika, dimana masing-masing box ditanam sepuluh eksplan. Eksplan direndam selama 15 menit. Selama perendaman, siapkan pasta kalsium karbonat (CaCO3), dan dalam pembuatan pasta tersebut pelarut yang digunakan masing-masing konsentrasi hormon. Setelah 15 menit, eksplan ditanam pada media. Sebelum ditanam, bagian pangkal eksplan diolesi pasta hingga sayatan pada bagian pangkal eksplan tertutup. Kemudian eksplan ditanam pada lubang tanam yang telah tersedia. Setelah itu eksplan dan media yang telah ditanam, disiram/disemprot dengan air hingga basah secara merata. Selanjutnya box mika ditutup dan disteples secara rapat, box tersebut disimpan di dalam sungkup plastik.
3.3.3 Pemeliharaan Pemeliharaan yang dilakukan adalah dengan penyiraman pada lantai sungkup agar tetap lembab. Selain itu, dilakukan penyiangan untuk mengatasi gulma yang terdapat di dalam sungkup.
3.3.4 Pengamatan dan Pengambilan Data 3.3.4.1 Tinggi Panjang eksplan awal diukur terlebih dahulu setelah dilakukan penanaman. Hal ini untuk pengamatan tinggi eksplan setelah ditanam, dan pengukuran dilakukan dua minggu sekali. Tinggi bahan stek tersebut diukur secara konsisten dari pangkal hingga ujung batang (pucuk).
3.3.4.2 Jumlah eksplan yang hidup dan laju kematian Keberhasilan tumbuh eksplan yang hidup diamati tiap dua minggu. Selain eksplan yang hidup, jumlah eksplan yang mati ataupun yang mengalami daun rontok juga diamati. Sehingga hasil akhir akan diperoleh data persentase hidup eksplan.
Setiap minggu terdapat eksplan yang mati, maka dapat dihitung laju kematian eksplan tiap minggunya dengan rumus:
3.3.4.3 Jumlah dan panjang akar Parameter lain untuk mengkaji pertumbuhan eksplan adalah jumlah akar yang keluar dan pengukuran akar dari tiap eksplan. Pengukuran ini dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada pengamatan ke-5 (minggu ke-10). 3.3.4.4 Persentase eksplan yang berakar Pengamatan persentase berakar dilakukan pada minggu ke-10 (pengamatan ke-5). Dari jumlah eksplan yang hidup dapat, namun belum tentu memiliki akar. Maka, dapat dipersentasekan jumlah eksplan yang berakar dengan rumus:
3.3.5 Analisis Data Penelitian dengan menggunakan rancangan Percobaan Faktorial 3 x 5 dalam Rancangan Acak Kelompok. Untuk masing-masing faktor dirinci sebagai berikut : Faktor A
: Jenis media, terdiri dari : A1: Media berupa tanah A2: Media berupa pasir A3: Media berupa campuran tanah, pasir, dan kompos
Faktor B
: Konsentrasi hormon IBA, terdiri dari : B1 : IBA dengan konsentrasi 400 ppm B2 : IBA dengan konsentrasi 450 ppm B3 : IBA dengan konsentrasi 500 ppm B4 : IBA dengan konsentrasi 550 ppm B5 : IBA dengan konsentrasi 600 ppm
Jumlah yang digunakan sebanyak 3 kelompok, dengan tiap kelompok terdiri dari 150 eksplan, serta masing-masing perlakuan terdiri dari 10 eskplan. Dengan demikian jumlah eksplan yang digunakan sebanyak 450 eksplan. Pembagian kelompok ini berdasarkan atas jenis media perlakuan. Menurut Yitnosumarto 1993, kondisi tempat/lokasi dapat dikatakan relatif sama, namun secara statistik homogenitas sulit dicapai karena tidak ada dua tempat yang berdekatan sekalipun memiliki persamaan seratus persen untuk berbagai keadaan baik fisik, kimia maupun kondisi lingkungannya. Model statistik yang digunakan adalah : Yij = µ + Rk + Ai + Bj + (AB)ij +Eijk Keterangan : i j Yij µ Rk Ai Bj (AB)ij Eijk
= 1, 2, 3, 4.......... = 1, 2, 3, 4.......... = Nilai pengamatan perlakuan dari faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke- j = Nilai rata-rata umum = Pengaruh perbedaan kelompok = Pengaruh faktor A taraf ke-i = Pengaruh faktor B taraf ke-j = Interaksi antar faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j = Pengaruh acak (galat percobaan)
Hipotesa dalam uji F adalah sebagai berikut : Ho
: Perbedaan jenis media, dan konsentrasi hormon serta kombinasinya tidak akan berpengaruh terhadap jumlah eksplan hidup, tinggi, jumlah eksplan berakar, jumlah dan panjang akar primer
H1
: Perbedaan jenis media, dan konsentrasi hormon serta kombinasinya akan berpengaruh terhadap jumlah eksplan hidup, tinggi, jumlah eksplan berakar, jumlah dan panjang akar primer
Pengambilan keputusan dengan uji F adalah : F hitung > F tabel : Terima H1 F hitung < F tabel : Terima Ho Uji selanjutnya setelah H1 diterima yaitu dilakukan uji wilayah berganda Duncan (Gaspersz, 1994). Dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menyusun nilai tengah perlakuan dalam urutan menaik 2. Menghitung galat baku dari nilai tengah perlakuan percobaan dengan perlakuanperlakuan untuk percobaan dengan perlakuan yang mempunayai ulangan yang sama : sỸ = (s2/r)1/2 =(KTG/r)1/2, dimana s2 = nilai kuadrat tengah galat dan r adalah jumlah ulangan 3. Menghitung wilayah nyata terpendek untuk berbagai wilayah/ranges dari nilai tengah sebagai berikut : Rp = rp sỸ 4. Mengelompokkan nilai tengah perlakuan menurut nyata secara statistik dengan menggunakan nilai tengah terbesar terhadap wilayah nyata terpendek Rp dari p terbesar kemudian membandingkan hasil semua nilai tengah perlakuan dengan nilai tengah perlakuan terbesar.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan perakaran eksplan gaharu (G.versteegii) didukung oleh faktor internal dan faktor eksternal dari bahan tanaman. Faktor internal dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, sedang faktor eksternal adalah pengaruh lingkungan tumbuh. Bahasan ini menitikberatkan pada faktor eksternal, dalam hal ini komposisi media dalam pembentukan perakaran pada eksplan pucuk dan hormon IBA (Indole Butyric Acid) sebagai perangsang akar dengan beragam konsentrasi. Faktor eksternal lainnya, yakni suhu dan kelembaban, juga berpengaruh dalam pembentukan perakaran. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menstimulasi berkembangnya bagian pucuk dorman, agar tumbuh dan dapat mendukung pertambahan tinggi eksplan.
4.1 Jenis Media Perakaran Media tanam merupakan suatu media yang digunakan untuk menumbuhkan eksplan, serta sebagai tempat tumbuh atau berkembanganya akar atau bakal akar. Media tanam adalah faktor eksternal penting dalam pembentukan perakaran dan stimulasi berkembangnya pucuk. Akar-akar eksplan yang berkembang akan mengikat media, sehingga eksplan dapat berdiri kokoh di atas media. Media juga menyediakan bahan makanan atau unsur hara bagi eksplan tanaman yang akan diserap oleh akar dan didistribusikan ke seluruh bagian eksplan. Dari bahan makanan tersebut, eksplan akan tumbuh dan hidup dengan memproduksi bahan makanan sendiri melalui proses fotosintesis. Fungsi lain dari media adalah sebagai tempat hidupnya eksplan yang ditanam. Dalam teknik ex vitro, eksplan pucuk yang digunakan harus dalam keadaan segar/hidup. Jika eksplan mati, maka perakaran tidak akan tumbuh. Dengan demikian, eksplan sehat merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan untuk mendukung perakaran. Selain itu, pertumbuhan pucuk eksplan yang awalnya dalam kondisi dormansi juga dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan, yang mana akan berpengaruh secara langsung terhadap tinggi eksplan. Media yang
digunakan untuk tempat tumbuh dan berkembangnya akar eksplan adalah masingmasing media tanah, media pasir, dan media yang terdiri atas campuran tanah, pasir dan kompos.
4.1.1 Pengaruh jenis media terhadap persentase eksplan yang hidup Jenis media mempengaruhi persentase jumlah eksplan yang hidup. Pengaruh ini berbeda antara eksplan yang tanpa diberi hormon dan dengan perlakuan hormon. Tanpa perlakuan hormon, persentase eksplan hidup pada media tanah dan media pasir masing-masing sebesar 100%, sedang pada media campuran tanah, pasir dan kompos sebesar 50% (Tabel 1). Dengan pelakuan hormon, persentase eksplan hidup pada media tanah dan media pasir menjadi lebih rendah, berturut-turut sebesar 89,33% dan 33,33%. Hanya pada media campuran tanah, pasir dan kompos perlakuan hormon menunjukkan perbaikan persentase eksplan hidup lebih baik, yakni 77,33%. Tabel 1. Persentase jumlah eksplan yang hidup tanpa hormon (kontrol) dan dengan perlakuan hormon berdasarkan jenis media Media Tanah Pasir Tanah+pasir+kompos
% hidup Tanpa hormon Dengan Hormon 100 89,33 100 33,33 50 77,33
Dari data pada Tabel 1 dapat disimpulkan, bahwa pada media tanah dan media pasir, perlakuan pemberian hormon pada eksplan tidak berpengaruh terhadap jumlah eksplan hidup. Hanya pada media campuran tanah, pasir dan kompos pemberian hormon menunjukkan perbaikan tingkat persentase hidup eksplan.
Tabel 2. Rekapitulasi jumlah eksplan hidup selama 10 minggu Minggu keSetelah Tanam 2 4 6 8 10
Jumlah Eksplan Hidup
Jumlah Eksplan Mati (Kumulatif)
442 367 349 305 300
8 83 101 145 150
Persentase Eksplan Hidup (%) 98,22 81,56 77,56 67,77 66,67
Keterangan: laju kematian eksplan adalah 15 eksplan per minggu dari 450 eksplan atau sekitar 3,33%
Jumlah kematian eksplan sampai akhir pengamatan adalah 150 eksplan dari 450 eksplan dengan laju kematian sebesar 15 eksplan/minggu atau sekitar 3,33% per minggu (Tabel 2). Kematian lebih banyak terjadi pada media pasir dan terjadi juga hampir disetiap perlakuan (Lampiran 1). Kematian diawali dengan membusuknya bagian tanaman yang terluka oleh pemotongan pada tangkai daun dan kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Selain itu juga diawali dari pangkal eksplan yang bersentuhan langsung dengan media lalu menyebar ke seluruh bagian tanaman. Beberapa tanaman yang mati berwarna hitam seperti terbakar dan batang eksplan bagian luar ditumbuhi jamur.
Gambar 2. Eksplan yang terserang jamur
Pada penjelasan sebelumnya, persentase hidup pada kontrol eksplan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan. Persentase hidup eksplan sangat dipengaruhi oleh perbedaan jenis media. Dari penelitian ini diketahui bahwa media tanah adalah media tumbuh yang memberikan hasil persentase hidup eksplan yang terbaik, baik tanpa
perlakuan hormon (100%) maupun dengan perlakuan hormon (89,33%). Pada Gambar 3 dapat dilihat jumlah eksplan hidup diberbagai media tanam secara keseluruhan pada perlakuan hormon. Jumlah eksplan hidup pada media tanah paling tinggi yaitu 134 eksplan.
Jumlah Hidup 116
134
Tanah Pasir
50
Campuran
Gambar 3. Jumlah eksplan hidup dalam berbagai media tanam perlakuan
Tanah merupakan media yang paling banyak digunakan sebagai media perakaran karena sudah mengandung butiran-butiran mineral, air, udara serta bahan organik. Menurut Purwowidodo (1998), tanah merupakan tempat tumbuh tanaman dan penyedia unsur hara. Berhasil tidaknya pertumbuhan tanaman banyak ditentukan oleh sifat-sifat tanah, karena sifat-sifat tanah menentukan kesesuaian lingkungan akar tanaman. Tanah yang digunakan berjenis latosol merah yang kompak, memiliki tekstur halus dan pH 4,5 (bersifat asam). Tanah latosol memiliki kandungan besi (Fe) yang sangat tinggi, sehingga tanah ini berwarna merah. Selain itu, tanah latosol ini masuk ke dalam golongan tanah oxisol yang memiliki penampang tanah berwarna merah yang sangat dalam. Tanah latosol merah ini memiliki drainase sedang dan bentuk wilayah yang berombak dengan punggung-punggung yang cembung dan berbahan induk Tuf andest. Jenis tanah yang memiliki aerasi dan drainase baik dapat mengatur kelembaban maupun suhu di dalam box mika pada tahap aklimatisasi/hardening-off. Selama 77 hari, eksplan yang ditanam dalam media tanah masih segar (Gambar 4).
(a)
(b)
Gambar 4. Kondisi eksplan yang masih segar pada media tanah (a) A1B5 (b) A1B2
Salah satu syarat media tanam yang baik adalah bersifat remah. Media yang remah memiliki pori-pori dan tidak padat secara keseluruhan. Hal lain yang dimiliki oleh sifat remah ini adalah dapat membuang air yang berlebihan. Hal ini dibuktikan pada media ini memiliki jumlah eksplan hidup yang paling banyak (Gambar 3). Dalam tahap awal, eksplan yang ditanam pada media ini akan mengalami tahap adaptasi, yaitu dengan menggugurkan daun pada MST 2. Pada umumnya tanah mempunyai kandungan bahan organik yang rendah, sehingga disebut juga dengan tanah mineral atau tanah inorganik (mengandung 1-6 % bahan organik). Tanah mineral terdiri dari empat penyusun utama yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan udara. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan erat. Jika eksplan yang ditanam pada tanah yang memiliki komposisi unsur-unsur diatas secara tepat, maka tanaman akan tumbuh dengan baik. Jumlah eksplan yang paling kecil persentase hidupnya adalah pada jenis media pasir dengan perlakuan hormon, yakni 33,33%. Kebanyakan eksplan yang mati karena terjadi pembusukan. Pasir yang digunakan merupakan pasir berlempung, sehingga air tidak cepat menyebar/mengalir dan terjadi pengendapan pada dasar wadah penanaman. Hal ini menimbulkan perendaman pada bagian pangkal eksplan sampai akhirnya membusuk ke seluruh bagian eksplan. Perlu diketahui bahwa penyiraman dilakukan setiap dua minggu. Ukuran pasir yang terlalu kecil dan bertekstur halus memungkinkan untuk memperlambat aliran air sehingga terjadi pengendapan. Selain itu, perlakuan hormon yang menggunakan metode perendaman dan pengolesan zat pengatur tumbuh pada pangkal eksplan turut pula mempengaruhi.
Bagian pangkal yang terendam larutan hormon menjadi pemicu terjadinya pembusukan eksplan. Pada eksplan tanpa perendaman hormon, persentase eksplan yang hidup mencapai 100%. Dibandingkan dengan jenis media tanah, pasir memiliki pori-pori yang lebih sempit. Jika dibasahi, pasir akan memadat sehingga mempersempit ruang mengalir air. Selain memiliki kekurangan pada drainase, aerasi media pasir pun kurang baik. Hal ini juga dikemukakan oleh Sumantri (1995) dalam penelitiannya, bahwa campuran tanah latosol dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 belum mampu menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi eksplan. Diduga karena terjadinya pemadatan media setelah penyiraman. Menurut Sumantri (1995) pemadatan akan mengurangi jumlah pori-pori sebagai tempat oksigen dalam media. Kurangnya kandungan udara di dalam media akan menghambat pergerakan dan penyerapan air serta unsur hara. Selain itu dapat menahan aktifitas mikroba tanah sehingga prosesproses biologis yang berhubungan dengan kesuburan tanah akan terhambat. Dilihat dari hasil penelitian pada minggu ke-2, eksplan pada media pasir sudah banyak yang mati dan masih mengalami kerontokan daun (Lampiran 10). Media campuran tanah, pasir dan kompos dengan perlakuan hormon memiliki persentase hidup 77,33%. Media campuran ini memiliki semua yang dibutuhkan eksplan untuk melakukan pertumbuhan, baik untuk pertumbuhan akar maupun pertumbuhan pucuk. Unsur kompos meningkatkan hara mineral di dalam media untuk pertumbuhan eksplan. Unsur pasir dapat menjamin drainase dan aerasi yang baik, sedangkan pada unsur tanah memiliki sifat remah, sehingga memiliki pori-pori yang dapat mengatur air dan udara dalam media. Tabel 3. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase hidup eksplan pucuk Gyrinops versteegii Sumber Kelompok Media Hormon Media+Hormon Sisa Total
Db 2 2 4 7 29 44
JK 344,40 1134,09 131,33 3810,75 2205,16 7625,73
KT 172,2 567,0 32,8 544,4 76,0
F-Hit 2,3 7,5 0,4 7,2
F-Tab 3,33 3,33 2,70 2,35
Hasil sidik ragam pada Table 3 menunjukan bahwa jenis media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhada persentase hidup eksplan. Interaksi diantara jenis media dengan pemberian hormon memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup eksplan, sedang pemberian hormon semata tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor jenis media dan interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masingmasing tanaman, menunjukkan bahwa untuk faktor jenis media berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 4. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase hidup eksplan JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 2, 29) x (KTG/3)0,5 = 16,77 A1
A2
A3
26,8 P rp RP
10
23,2 2 2,897 14,581
Keterangan :
A1 A2 A3
3 3,044 15,321
4 3,139 15,799
5 3,207 16,142
= Media Tanah = Media Pasir = Media Campuran (Tanah-Pasir-Kompos)
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa : A2
A3
A1
10
23,2
26,8
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 16,80 sehingga jika diurutkan persentase hidup eksplan dari yang terkecil sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 16,77, yaitu perlakuan dengan jenis media berupa pasir 33,33%, campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan persentase hidup eksplan sebesar 77,33%, dan media berupa tanah dengan persentase hidup eksplan mencapai 89,33%. Jenis media berupa tanah dan campuran antara tanah-pasir-
kompos (TPK) berdasarkan nilai sidik ragam dan uji Duncan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan persentase hidup eksplan yang cukup besar. Sedangkan untuk media berupa pasir menghasilkan persentase hidup yang lebih rendah serta berbeda nyata terhadap jenis media berupa tanah maupun media campuran (TPK). Untuk faktor interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 5. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap persentase hidup eksplan yang memberikan pengaruh terbesar JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5 = 7,24 A1B 4
A2B4
A3B 4
20,20
27,80
28,40 P rp RP
2 2,897 8,929
Keterangan :
A1B4 A2B4 A3B4
3 3,044 9,382
4 3,139 9,675
5 3,207 9,885
= Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa : A1B 4
A2B 4
A3B 4
28,40
20,20
27,80
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 11,40 sehingga jika diurutkan persentase hidup eksplan terbaik dari yang terkecil sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 7,24 yaitu perlakuan jenis media pasir dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar 67,33%, perlakuan jenis media yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar 92,67% perlakuan jenis media tanah dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar 94,67%. Antara A1B4 dan A3B4 tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan A2B4 memberikan pengaruh terhadap besarnya persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A3B4.
Pada umumnya eksplan yang mati mengalami pembusukan pada pangkal batang, diawali dengan mengeringnya batang. Beberapa eksplan terserang jamur berwarna putih dan hitam. Jamur yang menyerang batang terdapat pada tumpuan daun dari daun yang rontok, meski tidak menyerang media. Pada umumnya, media yang selalu lembab akan memicu tumbuhnya jamur dan bakteri, sehingga dapat menyerang eksplan sampai menimbulkan kematian pada eksplan. Hal ini dikemukakan oleh Juhardi (1995) kelembaban yang terlalu tinggi di dalam bak penanaman yang menyebabkan banyak eksplan yang busuk. Eksplan ditanam pada boks mika yang tertutup rapat. Sebelum ditutup media dan eksplan disiram dengan air secara merata. Di dalam boks yang ditutup akan terlihat titik-titik air yang menandakan masih adanya persediaan air di dalam boks. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban di dalam boks mika. Media harus selalu dijaga kelembabannya. Eksplan yang ditanam dalam wadah, tingkat kelembaban medianya bisa dilihat dari titik-titik air yang menempel pada plastik atau kaca penutupnya. Tidak adanya air pada tempat itu menandakan bahwa media telah kering. Cara mengatasinya dengan menyirami media (Wudianto 1993). Dalam pelaksanaan penelitian, suhu yang diukur adalah suhu luar dan suhu dalam sungkup. Pengukurun ini dihasilkan bahwa suhu dalam sungkup lebih tinggi dibandingkan suhu luar. Dari hasil pengukuran suhu yang diukur mulai pukul 08.00-15.00, kisaran suhu adalah 27,3 – 37,3oC untuk suhu di dalam sungkup dan 26,4 – 36,9oC suhu lingkungan. Suhu tertinggi terjadi pada pukul 14.00 WIB. Kemudian suhu mulai turun pada pukul 15.00 WIB. Menurut Sumantri (1995), jika kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban baik, maka eksplan akan tumbuh dengan baik pada berbagai jenis media. Pengukuran kelembaban di dalam sungkup berkisar antara 68-90%. Menurut Smith dan Yasman (1987), kisaran suhu untuk pertumbuhan eksplan adalah 25-27oC dengan kelembaban di atas 90%. Namun dengan kisaran suhu 27,3 – 37,3oC ini eksplan masih segar dan dapat tumbuh dengan baik. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terjadinya pembusukan pada eksplan di media pasir disebabkan oleh drainase yang kurang baik. Dengan kelembaban yang berkisar antara 68-90% dan suhu yang cukup tinggi untuk eksplan yang belum berakar, tidak dijumpai adanya jamur ataupun bakteri pada media yang digunakan. Hal ini disebabkan oleh media yang digunakan telah disterilisasi. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoclave dengan tekanan mencapai 15 psi (pound square inchi). Kegiatan ini dinamakan juga dengan teknik steaming yang merupakan memasukkan uap air yang panas ke dalam pori-pori di dalam media, sehingga uap tersebut memanaskan media beberapa waktu yang lamanya diperhitungkan dapat mematikan bibit-bibit hama atau penyakit yang ada di dalam media. Metode ini merupakan yang paling baik dan paling efektif untuk membunuh patogen-patogen (organisme penyebab penyakit) dalam tanah.
4.1.2 Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Pucuk Eksplan Pertumbuhan pucuk merupakan salah satu parameter yang diamati. Media campuran (tanah, pasir, dan kompos) memberi hasil terbaik, dimana sebagian besar pucuk eksplan yang sedang dormansi mengalami pertambahan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,9-1,5 cm dan dapat mendukung pertambahan tinggi eksplan. Media pasir juga pada awalnya menunjukkan pertumbuhan pucuk yang baik, namun akhirnya mengalami pembusukan dan mati. Jenis media tanah tunggal tidak menimbulkan pertumbuhan pada pucuk yang dorman. Sedangkan pada media pasir tunggal, pucuk tumbuh pada MST 4. Namun, pada MST selanjutnya banyak yang mengalami busuk dan lama kelamaan mati. Faktor lain yakni bahan eksplan yang digunakan pada media pasir juga sudah tua, serta berasal dari pohon yang berbeda Media tanah memiliki kandungan besi yang sangat tinggi sedangkan kandungan fosfat rendah, dan diikat oleh besi. Unsur fosfat dalam tanah merupakan unsur yang dapat memacu pertumbuhan pucuk pada eksplan yang sedang dorman. ATP (Adenin Tripospat) dalam tanaman merupakan energi untuk melakukan pertumbuhan baik pertumbuhan pucuk maupun akar eksplan. Unsur fosfat merupakan unsur yang
mendukung ATP dalam eksplan untuk pertumbuhan pucuk. Unsur fosfat yang diikat oleh besi tanpa ada campuran yang dapat memisahkan fosfat dari unsur besi maka tidak dapat menstimulasi pertumbuhan pucuk. Media campuran memiliki kandungan fosfat yang cukup besar, yang disuplai oleh kompos. Dengan adanya kompos, maka pucuk eksplan yang pada awalnya dorman tumbuh dengan baik (Gambar 5) dan mendukung pertumbuhan ke atas pada eksplan. Selain itu kompos pada media campuran mensuplai kalium yang cukup tinggi. Menurut Hakim (1986), kalium memiliki peran dalam proses metabolisme dan memiliki pengaruh khusus dalam absorbsi hara, transpirasi, pengaturan hara, kerja enzim dan berfungsi sebagai translokasi karbohidrat.
Gambar 5. Pucuk yang tumbuh pada media campuran
Menurut Juhardi (1995), proses pertumbuhan tunas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur bahan eksplan, ukuran eksplan serta jenis tanaman. Ukuran eksplan yang ditanam menggunkan rataan jumlah buku daun, yaitu 3-4 buku daun. Antar buku jaraknya berbeda-beda, sehingga ukuran tinggi eksplan tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan pucuk untuk bahan eksplan di Kebun Raya Bogor, sehingga mengambil eksplan yang berumur lebih tua. Eksplan yang berumur lebih tua ditanam pada media pasir tunggal. Media campuran yang terdiri dari tanah, pasir dan kompos dapat memperbaiki struktur, tekstur maupun kandungan hara yang dibutuhkan oleh eksplan untuk tumbuh. Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik segar dari tanaman atau daun-daunan, baik yang sengaja dibuat atau dari timbunan sampah organik di tempat sampah yang sudah berwarna hitam serta tidak dapat dilihat lagi serat aslinya.
Kompos yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos buatan dan berbahan dasar daun pisang, kotoran sapi, dengan menggunakan larutan tertentu. Kompos memiliki kandungan unsur hara yang bervariasi (Tabel 6). Hal ini tergantung dari jenis-jenis sampah daun-daun yang dikomposkan dan cara penyimpanannya. Adapun komposisi hara kompos menurut hasil penelitian kebun percobaan muara, Bogor disajikan pada tabel dibawah ini: Tabel 6. Jenis dan kandungan unsur hara dalam kompos Kandungan Kompos Cairan Bahan kering Karbon (C) Hara: Nitrogen (N) Fosfor (P2O5) Kalium (K2O) C/N
Komposisi (%) 41,00 59,00 8,20 0,009 0,36 0,81 23,00
Pertukaran kation pada tanah merupakan proses yang sangat penting untuk mendukung tumbuhnya eksplan. Besarnya nilai KTK tanah beragam untuk setiap jenis tanah tergantung pada tekstur tanah, pH tanah, dan macam koloid tanah (liat atau humus). Menurut Miller dan Donahue 1990 dari total KTK adanya bahan organik akan menyumbang sekitar 30-70% dari total KTK tanah. Maka, penurunan KTK sejalan dengan penurunan bahan organik tanah. Dalam penelitian ini media campuran menggunakan kompos sebagai bahan organik, sehingga KTK media meningkat dan dapat membantu menjaga kondisi eksplan serta agar eksplan tetap segar. Pucuk yang tumbuh pada eksplan juga tumbuh pada buku daun yang disebut juga dengan pucuk lateral. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena terjadi penumpukan makanan pada buku daun tersebut. Selain itu, pada buku daun juga terdapat mata tunas. Jika didukung dengan pemenuhan bahan makanan (karbohidrat) dan terdapat mata tunas sehingga timbul pucuk baru yang tumbuh pada ketiak daun tersebut. Namun, tidak semua eksplan yang tumbuh pucuk di ketiak daun. Selain itu,
juga pada ketiga jenis media terdapat beberapa eksplan yang tumbuh pucuk di ketiak daun. Dalam pengamatan tiap dua minggu, tinggi eksplan tidak terlalu nyata pertumbuhannya, karena tinggi pada bagian pucuk pertumbuhannya tidak merata. Pada media campuran ini tinggi eksplan terlihat jelas meningkat tiap minggunya. Hal ini disebabkan oleh adanya campuran kompos sebagai subsidi untuk pertumbuhan ke atas pada eksplan. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa kompos mengandung fosfat dan kalium untuk membantu pertumbuhan. Adapun ratarata pertumbuhan tinggi eksplan disajikan pada grafik dibawah ini (Gambar 6).
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Rata-rata tinggi eksplan berdasarkan ulangan waktu pengamatan (a) perlakuan tanah, (b) perlakuan pasir, (c) perlakuan media campuran
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa pada perlakuan tanah tidak nyata pertambahan tingginya. Sedangkan pada perlakuan pasir, tinggi eksplan mulai meningkat pada pengamatan kedua. Namun pada pengamatan berikutnya eksplan tidak terlalu signifikan pertumbuhan pucuknya, serta pada pengamatan terakhir pucuk eksplan banyak yang mengalami pembusukan dan akhirnya mati. Berbeda dengan
kondisi tinggi eksplan pada perlakuan media campuran. Petumbuhan tingginya terus meningkat, namun pada pengamatan keempat terjadi penurunan pada A3B4, karena terdapat beberapa eksplan yang mengalami pucuk yang kering dan rontok, yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi serta penyiraman yang terlalu banyak. Pada pengamatan kelima pucuk tersebut mulai tumbuh kembali. Melalui analisis menggunakan sidik ragam (Tabel 7) pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi eksplan dari mulai penanaman hingga akhir pengamatan menunjukan bahwa jenis media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan eksplan dalam hal ini penambahan tinggi eksplan. Sedangkan hormon maupun interaksi antara jenis media dan hormon yang diberikan pada konsentrasi tertentu pada tanaman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi eksplan. Tabel 7. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap pertambahan tinggi eksplan pucuk Gyrinops versteegii Sumber Kelompok Media Hormon Media+Hormon Sisa Total
Db 2 2 4 7 29 44
JK 14,11 33,95 7,14 11,35 56,44 122,99
KT 7,06 16,975 1,785 1,621 1,95
F-Hit 3,63 8,72 0,92 0,83
F-Tab 3,33 3,33 2,70 2,35
Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap faktor yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi eksplan, yaitu faktor jenis media digunakan pada masing-masing eksplan, menunjukkan bahwa untuk perlakuan berupa penggunaan jenis-jenis media yang berbeda berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap pertambahan tinggi eksplan JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 2, 29) x (KTG/3)0,5 = 2,68 A3 A1 A2 0,20 0,23 0,30 P 2 3 rp 2,897 3,044 RP 2,336 2,454 Keterangan :
A1 A2 A3
4 3,139 2,531
5 3,207 2,586
= Media Tanah = Media Pasir = Media Campuran (Tanah-Pasir-Kompos)
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
B3
B5
B2
B4
B1
10,83
11,37
11,49
11,97
12,84
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 0,10 sehingga jika diurutkan pertambahan tinggi pada eksplan dari yang terkecil sampai terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 2,68. Dengan demikian beda nyata yang diuji pada F-Tabel tidak kuat atau lemah beda nyatanya, dengan jenis media terbaik untuk pertambahan tinggi tiap minggunya. 4.2
Pengaruh Konsentrasi Hormon IBA terhadap Perakaran G.versteegii (Gilg) Domke Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hormon IBA sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan akar pada eksplan gaharu (G.versteegii). Jika dibandingkan dengan kontrol, eksplan yang diberi hormon lebih banyak akar yang tumbuh. Akar eksplan yang tidak diberi hormon tetap tumbuh, namun dari segi kuantitas lebih rendah dibandingkan dengan eksplan yang diberi perangsang akar. Konsentrasi hormon IBA berpengaruh nyata terhadap presentase berakar, jumlah akar dan panjang akar. Dalam penelitian ini digunakan lima macam konsentrasi hormon IBA. Hal ini dilakukan untuk melihat kisaran konsentrasi yang optimal untuk merangsang akar.
4.2.1 Persentase eksplan yang berakar Dari hasil penelitian, jumlah eksplan yang hidup sebanyak 300 eksplan. Dari jumlah tersebut, eksplan yang berakar sebanyak 278 eksplan. Dari total eksplan yang ditanam, memiliki persentase berakar sebesar 61,78% pada perlakuan dengan hormon. Sedangkan pada perlakuan tanpa hormon sebesar 53,33%, dari 25 eksplan yang hidup hanya 16 eksplan yang berakar. Dari segi pertumbuhan akar secara sepintas memang tidak berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan. Hormon yang digunakan merupakan hormon sintetis (hormon buatan). Menurut Rohmin dan Harjadi (1973), pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari karbohidrat, auksin dan rooting cofactor (zat yang berinteraksi dengan auksin). Hormon IBA merupakan salah satu hormon pertumbuhan ke bawah yang akan berinteraksi dengan zat auksin yang sudah terdapat dalam eksplan tersebut. Dalam penelitian ini metode penggunaan hormon adalah dengan perendaman dan pengolesan menggunakan pasta. Pasta untuk pengolesan hormon menggunakan bahan talk kalsium karbonat yang dicampur dengan larutan hormon berdasarkan konsentrasi masing-masing. Dilihat dari presentase berakar berdasarkan konsentrasi hormon, yang paling tinggi pada konsentrasi 550 ppm yaitu 14,22%. Namun, tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 450 ppm dengan presentase berakarnya sebesar 13,11%. Jika ditinjau dari besarnya konsentrasi kelima hormon, semua konsentrasi merupakan konsentrasi yang optimal untuk perakaran eksplan gaharu (Gambar 7). Semua konsentrasi hormon yang digunakan memiliki kemampuan untuk menstimulir akar eksplan. Hal ini menunjukkan bahwa hormon IBA yang memiliki konsentrasi di atas 400 ppm sudah merupakan konsentrasi yang baik untuk merangsang perakaran.
Persentase (%)
15 10 5 0 400
450
500
550
600
Konsentrasi Hormon (ppm)
Gambar 7. Presentase berakar eksplan berdasarkan konsentrasi hormon
Jenis media yang digunakan untuk media perakaran akan sangat mempengaruhi kemampuan eksplan untuk membentuk akar. Berdasarkan dari jenis media perakaran, persentase berakar yang paling besar adalah pada jenis media tanah tunggal, yakni sebesar 28,44%. Hal ini disebabkan oleh sifat tanah yang remah serta drainase dan aerasi yang baik yang mampu menjaga kelembaban. Namun, pada media campuran persentase berakar lebih rendah karena jumlah eksplan yang hidup juga lebih kecil dibandingkan dengan media tanah (Gambar 8). Eksplan yang hidup tetapi tidak berakar masih dalam keadaan segar dan daun masih berwarna hijau, serta batang yang tidak layu. Seharusnya pada eksplan timbul kalus untuk munculnya calon akar. Menurut Hartman dan Kester (1990), proses pembentukan akar dimulai dari pelukaan pada bagian pangkal dan mengakibatkan sel-sel yang rusak mengalami fungsi dediferensiasi dengan menggandakan mitosis (perbanyakan sel). Kemudian akan membentuk sel-sel yang bersifat parenkimatis yang disebut kalus. Kalus yang terbentuk berinisiasi membentuk primordia akar yang akhirnya membentuk akar baru. Secara umum, pangkal eksplan yang tidak berakar, tidak satupun yang membentuk kalus. Hal ini dikarenakan bagian pangkal yang disayat kemudian ditutup dengan pasta dan pasta tersebut pada media pasir tercuci akibat drainase yang kurang baik sehingga air menggenang disekitar pangkal eksplan dan menghilangkan pasta untuk penghilangan bekas luka dan meninggalkan kalus pada eksplan tersebut. Pada umumnya akar keluar langsung dari bekas sayatan.
Presentase (%)
30 25 20 15 10 5 0 Tanah
Pasir
Campuran
Jenis Media
Gambar 8. Presentase eksplan berakar berdasarkan jenis media
Pada kontrol persentase berakar sebesar 53,33%, dengan persentase berakar paling tinggi adalah pada media tanah yakni sebesar 26,67%. Media pasir tetap memiliki persentase berakar paling kecil yakni 10 % (Gambar 10). Dilihat dari Gambar 8 dan Gambar 9, antara jenis media tanah dengan media campuran memang tidak berbeda nyata dalam hal presentase jumlah akar. Hal ini membuktikan bahwa media tanah latosol merah yang kompak merupakan media yang terbaik untuk
Persentasae (%)
pertumbuhan akar eksplan.
30 20 10 0 Tanah
Pasir
Campuran
Jenis Media
Gambar 9. Presentase berakar pada kontrol
Pada media pasir, terdapat eksplan yang sudah berakar, namun mengalami pembusukan dan mati. Hal ini disebabkan sifat pasir yang memiliki drainase yang kurang baik. Pasir yang digunakan sebagai media merupakan pasir berlempung. Jika disiram dengan air, maka media akan memadat dan mempersempit pori-pori pasir tersebut, sehingga akan menghambat pergerakan air. Dapat dilihat pada media pasir,
memiliki presentase jumlah eksplan yang berakar paling kecil diantara jenis media lain. Eksplan yang tidak berakar bagian pangkalnya mengalami pembusukan. Namun eksplan masih dalam kondisi segar. Setelah beberapa hari dipindahkan ke polybag, daun menjadi berwarna kuning dan akhirnya rontok. Hal lain yang menyebabkan presentase berakar pada media pasir kecil juga disebabkan oleh media yang memadat akan menghambat pertumbuhan akar eksplan yang akan tumbuh. Media perakaran memiliki fungsi yaitu untuk menahan bahan eksplan agar tetap berada dalam tempatnya, menyediakan dan menjaga kelembaban yang dibutuhkan oleh eksplan dan untuk membiarkan penetrasi udara ke bagian dasar dari eksplan (Mahlstede dan Haber, 1957). Menurut Mahlstede dan Haber (1962) untuk eksplan eksplan yang mengalami perakaran dibutuhkan kelembaban sebesar 75%. Untuk perbedaan pengaruh perlakuan terhadap parameter persentase eksplan berakar G.versteegii berdasarkan jenis media, hormon, serta interaksi diantara keduanya dapat dilihat pada (Gambar 10).
Gambar 10. Diagram pengaruh jenis media dan hormon terhadap persen eksplan berakar G.versteegii
Tabel 9. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap persentase berakar eksplan pucuk G.versteegii Sumber Kelompok Media Hormon Media+Hormon Sisa Total
Db 2 2 4 7 29 44
JK 13,01 14,4 283,92 242,24 421,43 975
KT 6,51 7,20 70,98 34,61 14,53
F-Hit 0,45 0,50 4,88 2,38
F-Tab 3,33 3,33 2,70 2,35
Hasil sidik ragam yang diperlihatkan pada Table 9, menunjukan bahwa zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata dan interaksi diantara jenis media tanam dengan pemberian hormon terntentu memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hidup eksplan. Sedangkan media tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup eksplan jika tidak dikombinasikan dengan penambahan zat pengatur tumbuh pada tanaman tersebut. Hal tersebut memberikan sebuah kesimpulan bahwa hormon dan Interaksi antara jenis media serta hormon memberikan pengaruh yang positif terhadap persentase hidup dan persentase berakar eksplan terutama pada konsentrasi dan jenis media berupa tanah dengan konsentrasi hormon sebanyak 450 ppm dan 550 ppm (Gambar 10). Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor zat pengatur tumbuh (zpt) dan interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-masing eksplan, menunjukkan bahwa untuk faktor hormon berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 10 Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) hormon terhadap persentase berakar eksplan JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5 = 4,60 B1
17 P rp RP
B2
20
B3
17
B4
B5
21 2 2,897 4,939
17 3 3,044 5,189
4 3,139 5,351
5 3,207 5,467
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa: B1
B3
B5
B2
B4
17
17
17
20
21
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 4,00 sehingga jika diurutkan presentase berakar eksplan dari yang terkecil sampai terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 4,60. Dengan demikian beda nyata yang diuji pada FTabel tidak kuat atau lemah bedanyatanya, namun jika dilihat dari presentase berakar terbesar hormon dengan konsentrasi 550 yang memberikan presentase berakar terbesar, yaitu 71,11% sedangkan untuk konsentrasi hormon yang lain yaitu perlakuan dengan pemberian hormon dengan konsentrasi 400 ppm sebanyak 56,67%, 500 ppm dan 600 ppm sebanyak 57,78% untuk masing-masing konsentrasi, serta berbeda nyata dengan hormon pada konsentrasi 450 ppm dan 550 ppm. Untuk konsentrasi 450 ppm persentase berakar eksplan adalah 65,56% serta tidak berbeda nyata dengan pemberian hormon sebanyak 550 ppm yang memberikan persentase hidup eksplan terbesar. Untuk faktor Interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 11. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap persentase berakar eksplan yang memberikan pengaruh terbesar JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5 = 3,17 A1B 4
A2B4
A3B 4
28 P rp RP
10
27
Keterangan :
2 2,950 3,904 A1B4 A2B4 A3B4
3 3,097 4,102
4 3,190 4,230
5 3,255 4,322
= Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa: A2B4 10
A3B 4 27
A1B 4 28
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 23,00 sehingga jika diurutkan presentase hidup eksplan terbaik dari yang terkecil sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 3,17 yaitu perlakuan jenis media pasir dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase berakar eksplan sebesar 33,33%, perlakuan jenis media yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan pemberian hormon 550 ppm dengan persentase hidup eksplan sebesar 90%
perlakuan jenis media tanah dengan pemberian hormon 550 ppm dengan
persentase hidup eksplan sebesar 93,33%. Antara A1B4 dan A3B4 tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan A2B4 memberikan pengaruh terhadap besarnya persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A3B4.
4.2.2 Jumlah akar eksplan G. versteegii (Gilg) Domke Jumlah akar merupakan salah satu parameter kualitas eksplan yang ditanam itu baik. Akar yang diamati adalah akar yang langsung keluar dari sayatan eksplan, disebut juga dengan akar primer. Kualitas akar yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari Jumlah Akar Primer (JAP) dan Panjang Akar Primer (PAP). Akar memiliki fungsi untuk dapat memanfaatkan air, udara dan unsur-unsur hara yang ada di dalam media tersebut supaya pertumbuhan dan produksi tanaman dapat mencapai tingkat yang optimum. Dalam penelitian ini rata-rata akar eksplan tumbuh setelah 6 minggu setelah tanam 4.2.2.1. Jumlah Akar Primer (JAP) Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan yang paling banyak menghasilkan akar adalah perlakuan eksplan dengan media campuran antara tanah, pasir dan kompos yang memiliki rata-rata jumlah akar rata-rata sebanyak 6,5 buah. Berdasarkan konsentrasi hormon yang digunakan, dosis 400 dan 450 ppm menghasilkan rata-rata jumlah akar terbanyak, berturut-turut sebanyak 5,1 dan 5,2 buah.
Gambar 11. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap JAP eksplan pucuk G.versteegii
Gambar 12 memperlihatkan pengaruh perbedaan media dan perbedaan konsentrasi hormon IBA terhadap parameter jumlah akar primer eksplan pucuk G.versteegii. Media campuran antara tanah, pasir, dan kompos memberikan JAP terbanyak dengan rata-rata jumlah akar primer sebanyak 6,7 buah dan media berupa tanah menghasilkan rata-rata jumlah akar primer terendah sebanyak 4,8 buah. Perbedaan media dengan campuran hormon tertentu bagi pertumbuhan eksplan ini memberikan pengaruh sangat nyata untuk parameter JAP (Tabel 8). Pemberian konsentrasi hormon dan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar primer Tabel 12. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap jumlah akar primer eksplan pucuk G.versteegii Sumber Kelompok Media Hormon Media+Hormon Sisa Total
Db 2 2 4 7 29 44
JK 38,80 7,50 29,75 135,20 101,63 312,88
KT 19,40 3,25 7,44 19,31 3,50
F-Hit 5,54 0,93 2.13 5,52
F-Tab 3,33 3,33 2,70 2,35
Berdasarkan informasi pada Tabel 12 kita dapat melihat bahwa media campuran berupa tanah, pasir dan kompos serta pemberian hormon dengan
konsenterasi 400 dan 450 ppm memberikan JAP tertinggi, dengan masing-masing JAP yaitu 7,2 dan 6,7 buah. Namun tidak berbeda nyata dengan media tanah dan campuran hormon 400 dan 550 ppm. Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap kedua faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persentase hidup eksplan, yaitu faktor Zat Pengatur tumbuh (zpt) dan interaksi diantara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-masing tanaman, menunjukkan bahwa untuk faktor hormon berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 13. Uji Duncan hormon terhadap jumlah akar primer (JAP) eksplan pucuk G.versteegii JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5 = 2,26 B1
B2
B3
B4
B5
5,1 P rp RP
5,2
4,7
4,9
5,0
2 2,897 2,424
3 3,044 2,547
4 3,139 2,626
5 3,207 2,683
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa: B3
4,7
B4
4,9
B5
B1
B2
5,0
5,1
5,2
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 0,5 sehingga jika diurutkan jumlah akar primer pada eksplan dari yang terkecil sampai terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 2,26. Dengan demikian beda nyata yang diuji pada F-Tabel tidak kuat atau lemah beda nyatanya, namun jika dilihat dari jumlah akar primer terbanyak hormon dengan konsentrasi 450 yang memberikan JAP terbesar, yaitu 5,2 buah sedangkan untuk konsentrasi hormon yang lain yaitu perlakuan dengan pemberian hormon dengan konsentrasi 500 ppm sebanyak 4,7 buah, 550 ppm sebanyak 4,9 buah, 600 ppm sebanyak 5 buah, serta tidak berbeda nyata dengan hormon pada konsentrasi 400 ppm dan 450 ppm.
Untuk faktor Interaksi antara jenis media dan konsentrasi hormon yang diberikan pada masing-masing tanaman berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 14. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) interaksi jenis media dan hormon terhadap jumlah akar primer (JAP) pada eksplan yang memberikan pengaruh terbesar JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 7, 29) x (KTG/8)0,5 = 1,55 A1B 4
5,2 P rp RP
A2B 3
A3B1
5,2
7,6 2 2,950 1.916
Keterangan :
A1B4 A2B3 A3B1
3 3,097 2.013
4 3,190 2.076
5 3,255 2.121
= Tanah dan hormon dengan konsentrasi 550 ppm = Pasir dan hormon dengan konsentrasi 500 ppm = Tanah-Pasir-Kompos dan hormon dengan konsentrasi 400 ppm
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa: A1B 4
5,2
A2B 3
5,2
A3B1
7,6
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 2,4 sehingga jika diurutkan jumlah akar primer terbaik pada eksplan dari yang terkecil sampai terbesar terlihat perbedaan jarak 1,55 yaitu perlakuan jenis media pasir dengan pemberian hormon 500 ppm dan perlakuan jenis media tanah dengan pemberian hormon 550 ppm dengan JAP sebanyak 5,2 buah, perlakuan jenis media yang merupakan campuran antara tanah-pasir-kompos (TPK) dengan pemberian hormon 400 ppm dengan JAP sebanyak 5,7 buah. Antara A1B4 dan A2B3 tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan A3B1 memberikan pengaruh terhadap besarnya persentase hidup eksplan yang berbeda nyata dengan A1B4 dan A2B3.
4.2.2.2 Panjang Akar Primer (PAP) Berdasarkan
perhitungan terhadap besarnya panjang akar primer (PAP),
diperoleh bahwa media berupa tanah dengan pemberian hormon IBA sebanyak 550 ppm memilki nilai tertinggi untuk panjang akar primer, yaitu dengan PAP 17,06 cm.
Gambar 12. Diagram pengaruh media dan hormon terhadap PAP eksplan pucuk G. versteegii.
Gambar 12 memperlihatkan perbedaan pengaruh perlakuan (jenis media dan konsentrasi hormon) terhadap parameter panjang akar primer dapat dilihat bahwa media tanah dan pemberian hormon pada konsentrasi 550 ppm merupakan perlakuan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan panjang akar primer. Tabel 15. menunjukkan bahwa perlakuan pemberian hormon memberikan pengaruh sangat nyata bagi parameter panjang akar primer. Sedangkan jenis media dan interaksi antara media dan hormon tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata. Tabel 15. Sidik Ragam pengaruh media dan hormon terhadap panjang akar primer (PAP) eksplan pucuk G. versteegii Sumber Kelompok Media Hormon Media+Hormon Sisa Total
Db 2 2 4 7 29 44
JK 235,04 15,81 423,18 101,24 455,03 1230,31
KT 117,52 7,91 105,80 14,46 15,69
F-Hit 7,49 0,50 6,74 0,92
F-Tab 3,33 3,33 2,70 2,35
Hasil sidik ragam yang diperlihatkan pada Tabel 15, menunjukan bahwa perlakuan pemberian hormon memberikan pengaruh yang sangat nyata. Sedangkan jenis media dan interaksi diantara jenis media dengan perlakuan pemberian hormon
tertentu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar primer (PAP) pada eksplan tanaman. Hasil uji lanjutan melalui Uji Duncan terhadap faktor yang berpengaruh nyata terhadap ukuran/panjang akar primer, yaitu faktor hormon yang diberikan pada masing-masing tanaman, menunjukkan bahwa untuk perlakuan berupa pemberian hormon yang berbeda berdasarkan uji beda nyata Duncan adalah sebagai berikut : Tabel 16. Uji Duncan (Uji Jarak Nyata Terkecil) jenis media terhadap persentase hidup eksplan JNT (α, d, v) = JNT (0.05, 4, 29) x (KTG/5)0,5 = 4,16 B3 B5 B2 B4 B1 12,84 11,49 10,83 11,97 11,37 P 2 3 rp 2,897 3,044 RP 5.132 5.392
4 3,139 5.561
5 3,207 5.681
Dengan membandingkan wilayah-wilayah nyata terkecil itu dengan selisihselisih rata-rata contoh yang telah diurutkan, kita sampai pada kesimpulan bahwa:
B3
B5
B2
B4
B1
10,83
11,37
11,49
11,97
12,84
Dari uji Duncan menunjukan bahwa jarak terkecil untuk beda nyata adalah 2,01 sehingga jika diurutkan panjang akar primer (PAP) pada eksplan dari yang terkecil sampai terbesar tidak terlihat perbedaan jarak 4,16. Dengan demikian beda nyata yang diuji pada F-Tabel tidak kuat atau lemah bedanyatanya, dengan tingkat pemberian hormon terbaik yaitu pada konsentrasi 400 dan 550 ppm.
Tabel 17. Rekapitulasi pengaruh media dan hormon untuk berbagai parameter yang diukur Perlakuan
% Hidup
% Berakar
90,00 83,33 86,67 93,33 93,33 26,67 36,67 36,67 40,00 26,67 73,33 86,67 66,67 90,00 70,00 66,67
83,33 80,00 80,00 93,33 90,00 16,67 30,00 33,33 33,33 20,00 66,67 86,67 60,00 90,00 63,33 61,78
A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5 Rata-rata Keterangan:
JAP PAP
Δ Tinggi (cm) 1,6 0,6 0,6 0,8 0.9 1.6 2,0 1,7 2,3 1,5 2,4 2,9 2,6 2,6 0,9 1,67
JAP
PAP (cm)
40 37 41 52 49 9 14 13 8 8 48 59 34 58 46 34,40
16,29 12,98 14,05 17,06 14,94 5,47 4,82 7,19 4,02 5,34 16,75 16,67 11,25 14,83 13,82 11,70
= Jumlah akar primer = Panjang akar primer
Hasil analisis sidik ragam yang diperlihatkan Tabel 18. menunjukkan bahwa perbedaan media memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persentase hidup dan pertambahan tinggi pada eksplan. Penggunaan hormon dengan konsentrasi tertentu memberikan pengaruh terhadap perakaran pada eksplan, baik pada persentase berakar, jumlah akar primer (JAP), maupun panjang akar primer dari eksplan yang diberikan perlakuan dengan penambahan hormon pada konsentrasi tertentu. Hormon IBA pada konsentrasi 450 ppm dan 550 ppm secara umum memberikan pertumbuhan yang optimal pada perakaran eksplan. Interaksi kedua perlakuan menunjukan pengaruh namun tidak berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi dan besarnya ukuran panjang akar primer (PAP). Tabel 18. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan hormon untuk setiap parameter yang diamati Perlakuan Kelompok Media Hormon Media + Hormon Keterangan:
* ** tn
% Hidup tn ** tn **
% Berakar tn tn ** *
Δ Tinggi * ** tn tn
JAP ** tn * **
= Nyata pada selang kepercayaan 95% = Sangat nyata pada selang kepercayaan 99% = Tidak nyata
PAP ** tn ** tn
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian ini, komposisi media yang baik untuk pertumbuhan gaharu (G.versteegii (Gilg) Domke) yaitu media tanah. Jenis tanah yang digunakan adalah latosol merah yang kompak. Hal ini dapat dilihat dari persentase hidup masing-masing media, yakni media tanah tunggal sebesar 89,33%, kemudian jenis media campuran sebesar 77,33%, dan yang terkecil persentase hidup eksplan adalah pada jenis media pasir tunggal (33,33%). Selain itu, media tanah tunggal dan media campuran (tanah-pasir-kompos) memiliki persentase berakar yang baik. 2. Konsentrasi hormon yang efisien dan optimum untuk pertumbuhan akar adalah pada konsentrasi 550 ppm, tetapi hormon dengan konsentrasi 450 ppm juga baik walaupun tidak seoptimal 550 ppm. Namun hormon 450 ppm dapat mengefisienkan biaya. 3. Penggunaan eksplan pucuk yang bersifat dorman lebih baik dibandingkan dengan pucuk muda, karena pucuk muda lebih cepat layu.
5.2 Saran 1. Perlu penelitian lanjutan untuk aplikasi hasil ex vitro ke lapangan. 2. Sebaiknya dalam penelitian ex vitro juga mengkaji jenis bahan stek pada G.versteegii (pucuk, batang tengah dan batang bawah). Berdasarkan hasil dari penelitian prndahuluan, jika eksplan pucuk yang didapatkan tidak dalam keadaan dorman (pucuk muda), yang sangat rentan terhadap kelayuan dapat diganti pada batang tengah dan batang bawah. 3. Menggunakan gabungan beberapa jenis hormon auksin untuk merangsang perakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z, 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa. Anonim. 2003. Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit. http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0703/16/ipt04.html. [17 Mei 2008]. Atjung. 1975. Tumbuh-tumbuhan Perhiasan di Pekarangan. Jakarta: N. V. Masa Baru. Darmawan J, J Baharsjah. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. Semarang: PT.Suryandaru Utama. Djamhuri E, W Soekotjo, D Nandika dan Y Santosa. 1986. Usaha Penyediaan Bahan Tanaman Jenis-jenis Dipterocarpaceae Secara Massal dengan Pembiakan Vegetatif. Proyek Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Gilg.
1932. Gyrinops versteegii. versteegii.asp. [17 Juni 2008].
http://zipcodezoo.com/Plants/Gyrinops
Hakim N, MY Nyakpa, AM Lubis, SG Nugroho, MA Diha, GB. Hong, HH Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hal. 7879. Harahap, RMS. 1972. Percobaan Orientasi Vegetatif Beberapa Jenis Pohon. Laporan LPH No. 155. Bogor : Lembaga Penlitian Hutan. Hartmann HT and DE Kester. 1978. Plant Propagation Principle and Practice. Fourth edition. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Englewood. ________________________. 1983. Plant Propagation Principle and Practice. Fourth edition. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Englewood. Juhardi D. 1995. Studi Pembiakan Vegetatif Stek Pucuk Shore selenica BI dengan Menggunkan Zat Pengatur Tumbuh IBA pada Media Campuran Tanah dan Pasir. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan. Jumin BH. 1992. Ekologi Tanaman. Jakarta: Rajawali Press Jakarta. Kremer PJ and TT Kozlowski. 1960. Physiologi of Trees. McGraw. London: Hill Book Company. Kusumo S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Jakarta: CV. Jayaguna. Lingga P dan Marsono. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mahlstede JP and ES Haber. 1957. Plant Propagation. New York : John Wiley and Sons, Inc. ______________________. 1962. Plant Propagation. John Wiley & Sons, Inc. New York. Miller RH and RL Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth. Sixt Edition. Printice Hall Inc. Englewood Cliffs. NJ. Situmorang J dan I Yopi. 2006. Pelatihan Nasional Budidaya dan Pengolahan Gaharu. http://www.bticnet.com/gaharu.htm. [17 Mei 2008]. Purwowidodo. 1998. Metode Selidik Tanah. Surabaya : Usaha Nasional. Rochiman, K dan SS Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Bogor: Bahan Bacaan Pengantar Agronomi. Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, IPB. Sinaga VM. 1987. Pedoman Penggunaan Hormon Tumbuh Akar pada Pembibitan Beberapa Tanaman Kehutanan. Jakarta: Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Soeharto B, Suseno Budidarsono dan Meine van Noordwijk. Ex Ante Impacts Of Aquilaria spp (Thymelaeacea) Biotechnology. World Agroforestry Centre. http://worldagroforestry.org/downloads/publications/PDFs/PO07115.PDF. [17 Mei 2008].OF Aquilaria spp (THYMELAEACEAE) BIOTECHNOLOGY Soerianegara I dan E Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Subiakto A. 1988. Teknik Propagasi Vegetatif Diklat Pengatur Persemaian. Jakarta: Kerjasama Puslitbang Hutan dan Proyek Diklat dalam rangka PengIndonesia-an Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan. Sumantri IGAK. 1995. Pengaruh Media dan Cara Pemberian Zat Pengatur Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Stek Batang Acacia mangium Willd. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan. Sumarna Y. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Supriyanto. 1997. Teknik Tanaman Stek Pucuk : Aspek Fisiologis. Serang: Materi Pelatihan Stek Pucuk di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. KPH Banten.. Tjitrosoepomo G. 2001. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-13. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh. Bogor : Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Wudianto, R. 1993. Membuat Stek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Yasman I, and WTM Smith. 1987. Pengadaan Bibit Dipterocarpaceae dengan Sistem Cabutan dan Stek. Simposium Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor.
_____________________. 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Samarinda: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia Utama.
Lampiran 1. Jumlah eksplan hidup pada perlakuan Perlakuan
A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5 Keterangan:
Total Eksplan 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Jumlah eksplan Minggu Minggu Minggu ke-2 ke-4 ke-6 30 27 27 30 28 27 30 26 26 30 28 28 29 28 28 30 22 18 30 21 19 30 21 19 29 25 23 28 20 18 30 22 22 29 26 26 27 22 20 30 28 27 30 23 21
Minggu ke-8 27 25 26 28 28 9 11 12 12 11 22 26 20 27 21
Minggu ke-10 27 25 26 28 28 8 11 11 12 8 22 26 20 27 21
A1B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm A1B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm A1B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm A1B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm A1B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm A2B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm A2B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm A2B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm A2B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm A2B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm A3B1 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 400 ppm A3B2 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 450 ppm A3B3 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 500 ppm A3B4 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 550 ppm A3B5 = Media tanah dengan konsentrasi hormon 600 ppm
Lampiran 2. Jumlah eksplan hidup pada kontrol Perlakuan
Tanah Pasir Campuran
Total eksplan 10 10 10
Minggu ke-2 10 10 9
Jumlah eksplan Minggu Minggu ke-4 ke-6 10 10 10 10 6 5
Minggu ke-8 10 10 5
Minggu ke-10 10 10 5
Lampiran3. Tinggi eksplan dengan perlakuan hormon Perlakuan Awal A1B1 A1B1 A1B1 µ A1B2 A1B2 A1B2 µ A1B3 A1B3 A1B3 µ A1B4 A1B4 A1B4 µ A1B5 A1B5 A1B5 µ A2B1 A2B1 A2B1 µ A2B2 A2B2 A2B2 µ A2B3 A2B3 A2B3 µ A2B4 A2B4 A2B4 µ A2B5 A2B5 A2B5 µ A3B1 A3B1 A3B1 µ
6.7 4.6 7.4 6.2 6.4 6.7 5.6 6.2 6.8 6.3 5.9 6.3 5.7 6.0 5.6 5.8 5.2 6.3 5.1 5.5 6.2 4.8 5.3 5.4 5.8 4.9 4.6 5.1 4.4 5.1 5.6 5.0 5.0 6.5 4.7 5.4 6.4 4.7 6.0 5.7 6.0 7.1 7.1 6.7
Minggu ke-2 6.8 4.6 7.6 6.3 6.5 6.9 5.7 6.3 7.1 6.4 6.0 6.5 5.8 6.1 5.7 5.9 5.3 6.4 5.1 5.6 6.3 4.9 5.4 5.5 6.0 5.0 4.7 5.2 4.5 5.2 5.6 5.1 5.0 6.6 4.7 5.4 4.8 6.1 6.6 5.8 7.3 6.1 7.3 6.9
Tinggi eksplan (cm) Minggu Minggu Minggu keke-4 ke-6 8 7.5 8.2 8.8 5.2 5.5 5.7 8.6 9.4 10.2 7.1 7.7 8.2 5.9 7.0 6.9 6.9 7.6 7.9 7.4 6.0 6.0 6.7 6.8 6.9 7.2 7.3 7.4 6.9 7.0 6.9 6.4 6.6 6.0 6.8 7.0 7.0 6.1 6.4 6.4 7.1 7.0 7.0 5.8 5.8 6.7 6.4 6.4 6.6 6.1 6.5 6.8 7.1 7.2 8.1 5.8 6.0 6.3 6.4 6.5 7.0 8.5 8.8 9.0 7.1 7.0 6.9 6.7 7.4 6.1 7.5 7.7 8.0 7.9 8.2 8.4 6.9 7.2 7.5 5.9 5.5 8.0 6.9 7.0 7.4 5.1 5.3 5.5 7.2 7.5 7.8 6.7 7.1 7.4 6.4 6.6 6.9 7.0 7.4 7.9 9.3 9.4 9.4 6.5 6.9 7.4 7.6 7.9 8.2 8.7 8.8 8.9 7.4 7.5 7.7 5.6 5.8 5.9 7.3 7.4 7.5 6.2 6.5 6.8 7.5 8.6 9.4 7.8 8.4 9.2 7.2 7.8 8.5
Minggu ke10 8.7 5.7 8.9 7.8 7.1 7.1 6.0 6.8 7.3 6.9 7.1 7.1 6.5 7.2 6.5 6.7 6.5 8.6 7.0 7.4 7.7 6.2 7.1 7.0 7.5 7.4 6.5 7.1 5.7 7.3 7.0 6.7 7.8 8.2 7.1 7.7 8.2 7.1 6.4 7.2 7.1 10.4 9.9 9.1
Lanjutan Lampiran 3. Perlakuan Awal A3B2 A3B2 A3B2 µ A3B3 A3B3 A3B3 µ A3B4 A3B4 A3B4 µ A3B5 A3B5 A3B5 µ
6.9 6.3 6.3 6.5 6.5 5.3 6.0 5.9 7.4 5.9 5.9 6.4 5.7 5.6 6.1 5.8
Minggu ke-2 7.1 6.5 6.4 6.6 6.6 5.4 6.1 6.0 7.7 5.9 6.0 6.5 5.9 5.7 6.3 5.9
Tinggi eksplan (cm) Minggu Minggu ke-4 ke-6 7.5 8.3 7.1 8.0 6.9 7.6 7.2 8.0 6.7 7.3 6.1 6.5 6.3 7.6 6.4 7.1 8.3 9.2 6.3 7.2 6.2 7.0 6.9 7.8 6.2 9.2 6.0 7.2 6.6 7.0 6.3 7.8
Minggu ke-8 9.1 8.9 8.2 8.7 7.8 6.9 8.9 7.9 10.1 8.2 7.8 8.7 7.1 6.6 7.2 7.0
Minggu ke10 9.7 9.6 9.0 9.4 8.0 7.8 9.6 8.5 10.2 8.1 8.8 9.0 7.9 7.3 7.9 7.7
Lampiran 4. Tinggi eksplan tanpa perlakuan hormon (kontrol) Perlakuan Awal Tanah Pasir T+P+K
5.2 6.4 5.9
Minggu ke-2 5.2 6.6 6.0
Tinggi eksplan (cm) Minggu Minggu ke-4 ke-6 7.1 6.0 5.8 7.0 6.3 6.6
Minggu ke-8 6.1 7.6 6.9
Lampiran 5. Jumlah eksplan yang berakar pada perlakuan Perlakuan A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5
Jumlah yang berakar 25 24 24 28 27 5 9 10 10 6 20 26 18 27 19
Minggu ke-10 6.4 7.8 7.7
Lampiran 6. Jumlah eksplan yang berakar pada kontrol Perlakuan Tanah Pasir Campuran
Jumlah yang berakar 8 3 5
Lampiran 7. Rekapitulasi jumlah akar dan rata-rata panjang akar pada perlakuan hormon Perlakuan A1B1
Perlakuan A1B2
Jumlah Akar 5 0 3 6 6 6 5 7 7
Rata-rata panjang akar (cm) 3,20 0 6,10 1,00 1,35 0,97 0,70 3,69 2,28
Jumlah Akar 2 4 2 7 2 0 3 4
Rata-rata panjang akar (cm) 3,90 2,55 2,15 1,60 1,00 0 2,03 4,58
Perlakuan A1B1
Perlakuan A1B2
Jumlah Akar 6 5 3 5 5 5 4 5 7
Rata-rata panjang akar (cm) 3,88 4,00 2,67 1,72 1,80 2,86 2,90 2,86 3,11
Jumlah Akar 3 9 7 2 4 6 6
Rata-rata panjang akar (cm) 1.00 3.22 4.49 1.85 3.28 3.72 1.03
Perlakuan A1B1
Perlakuan A1B2
Jumlah Akar 6 8 6 7 7 9 6 0 2 Jumlah Akar 3 5 3 5 7 4 7 6 6 3
Rata-rata panjang akar (cm) 5,92 5,54 3,77 2,16 1,59 2,82 3,08 0 0,15 Rata-rata panjang akar (cm) 3.47 3.68 3.97 3.00 2.37 3.28 1.86 3.13 3.52 3.43
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A1B3
Perlakuan A1B4
Jumlah Akar 6 7 7 3 0 5 4 3 3 6 Jumlah akar 6 4 4 8 4 9 5 6 5 5
Rata-rata panjang akar (cm) 0.78 2.10 3.30 2.97 0 3.78 2.00 1.13 4.73 2.90 Rata-rata panjang akar (cm) 2.98 3.33 4.03 1.75 3.25 1.32 6.36 4.47 3.38 3.84
Perlakuan A1B3
Perlakuan A1B4
Jumlah Akar 4 5 4 5 3 0 Jumlah akar 5 6 9 5 5 8 5 5 5 1
Rata-rata panjang akar (cm) 0.50 2.84 4.15 1.54 3.03 0 Rata-rata panjang akar (cm) 4.02 5.05 3.12 2.58 2.56 2.39 2.64 2.42 1.40 1.30
Perlakuan A1B3
Perlakuan A1B4
Jumlah Akar 6 5 5 7 7 5 5 5 9 4
Rata-rata panjang akar (cm) 4.17 2.66 2.28 3.21 4.24 4.22 2.06 3.14 3.64 2.58
Jumlah akar 8 6 1 7 6 4 9 6
Rata-rata panjang akar (cm) 2.89 5.42 1.40 1.01 4.17 3.43 2.68 2.52
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A1B5
Perlakuan A2B1
Jumlah Akar 4 8 4 0 4 6 3 4 1
Rata-rata panjang akar (cm) 3.38 2.93 4.78 0 2.33 1.85 4.33 2.48 1.40
Jumlah Akar 0 3 -
Rata-rata panjang akar (cm) 0 0.97 -
Perlakuan A1B5
Perlakuan A2B1
Jumlah Akar 7 4 4 10 8 6 10 6 4 9
Rata-rata panjang akar (cm) 3.00 3.58 2.03 1.76 2.64 2.25 3.20 3.97 1.33 2.63
Jumlah Akar 0 5 5 -
Rata-rata panjang akar (cm) 0 2.68 1.70 -
Perlakuan A1B5
Perlakuan A2B1
Jumlah Akar 4 4 7 6 2 6 4 7 5
Rata-rata panjang akar (cm) 4.48 2.23 2.34 1.62 0.85 2.85 2.95 3.99 2.78
Jumlah Akar 3 4 -
Rata-rata panjang akar (cm) 0.47 0.93 -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A2B2
Perlakuan A2B3
Jumlah Akar 7 5 7 Jumlah Akar 6 0 5 2
Rata-rata panjang akar (cm) 0.46 0.78 1.46 Rata-rata panjang akar (cm) 1.38 0 1.28 0.25
Perlakuan A2B2
Perlakuan A2B3
Jumlah Akar 7 3 4 Jumlah Akar 2 3 4 2 5 -
Rata-rata panjang akar (cm) 1.01 1.20 0.78 Rata-rata panjang akar (cm) 1.45 2.67 1.13 2.55 1.30 -
Perlakuan A2B2
Perlakuan A2B3
Jumlah Akar 3 3 2 Jumlah Akar 6 4 -
Rata-rata panjang akar (cm) 1.83 1.23 1.55 Rata-rata panjang akar (cm) 2.08 2.43 -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A2B4
Perlakuan A2B5
Jumlah Akar 2 1 5 -
Rata-rata panjang akar (cm) 0.55 3.50 1.03 -
Jumlah Akar 1
Rata-rata panjang akar (cm) 0.40
Perlakuan A2B4
Perlakuan A2B5
Jumlah Akar 3 4 -
Rata-rata panjang akar (cm) 0.70 2.25 -
Jumlah Akar 4 -
Rata-rata panjang akar (cm) 1.75 -
Perlakuan A2B4
Perlakuan A2B5
Jumlah Akar 1 1 3 3 2
Rata-rata panjang akar (cm) 1.90 6.90 0.87 0.70 2.25
Jumlah Akar 5 4 6 5 -
Rata-rata panjang akar (cm) 2.12 1.90 2.05 0.80 -
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A3B1
Perlakuan A3B2
Jumlah Akar 9 8 7 3 8
Rata-rata panjang akar (cm) 2.22 2.63 2.27 3.97 2.01
Jumlah Akar 10 2 8 6 7 5 8 5
Rata-rata panjang akar (cm) 2.39 0.65 5.28 2.60 2.30 2.92 3.54 2.86
Perlakuan A3B1
Perlakuan A3B2
Jumlah Akar 5 7 7 12 8 4 5 11
Rata-rata panjang akar (cm) 3.96 3.07 1.76 1.64 1.61 3.83 3.14 1.39
Jumlah Akar 7 8 7 6 5 8 2 7
Rata-rata panjang akar (cm) 2.23 1.59 2.84 2.70 1.66 2.83 0.60 2.64
Perlakuan A3B1
Perlakuan A3B2
Jumlah Akar 10 10 2 8 9 6 5 -
Rata-rata panjang akar (cm) 2.41 2.30 0.40 3.16 2.69 1.82 1.45 -
Jumlah Akar 7 12 8 6 6 10 8 2 8 8
Rata-rata panjang akar (cm) 2.57 2.83 2.38 2.62 0.63 1.69 1.65 1.50 2.49 2.18
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan Jumlah Akar A3B3 9 8 3 3 2 6 Perlakuan A3B4
Jumlah Akar 2 9 6 7 7 6 7 9 10 7
Rata-rata panjang akar (cm) 1.33 1.73 1.67 0.23 2.90 1.97 Rata-rata panjang akar (cm) 3.65 1.33 2.18 2.33 2.39 0.40 3.16 2.73 2.38 2.70
Perlakuan A3B3
Perlakuan A3B4
Jumlah Akar 8 5 4 7 Jumlah Akar 9 7 6 5 8 8 5
Rata-rata panjang akar (cm) 2.31 1.98 1.33 1.41 Rata-rata panjang akar (cm) 3.30 2.67 1.87 2.90 0.58 1.79 1.32
Perlakuan Jumlah Akar A3B3 7 7 8 5 5 7 5 4 Perlakuan A3B4
Jumlah Akar 6 6 6 3 10 5 1 6 8 5
Rata-rata panjang akar (cm) 3.26 2.27 2.32 2.38 1.50 1.54 4.54 1.20 Rata-rata panjang akar (cm) 2.90 2.32 2.80 2.63 2.25 2.08 2.70 2.28 2.80 3.56
Lanjutan Lampiran 7 Perlakuan A3B5
Perlakuan Kontrol Tanah
Jumlah Akar 4 6 7 11 7 5 11 9
Rata-rata panjang akar (cm) 3.13 2.58 1.09 1.29 2.63 2.14 1.55 1.57
Jumlah Akar 2 1 0 1 2 3 1 4 0 2
Rata-rata panjang akar (cm) 5.1 4.5 4.5 6.2 4.2 1.4 2.6 3.7
Perlakuan A3B5
Perlakuan Kontrol Pasir
Jumlah Akar 6 6 9 8 6 10 6 -
Rata-rata panjang akar (cm) 2.53 1.55 1.86 2.35 2.1 2.18 1.22 -
Jumlah Akar 0
Rata-rata panjang akar (cm) 2.2 5.3 7.5
0 4 2 0 1
Perlakuan A3B5
Perlakuan Kontrol T+P+K
Jumlah Akar 0 0 10 4 10 2
Rata-rata panjang akar (cm) 0 0 1.7 3.6 1.9 1.15
Jumlah Akar 1 1 2 1 3
Rata-rata panjang akar (cm) 2.2 3.3 2 2.3 1.0
Lampiran 8. Rata-rata jumlah akar pada perlakuan Perlakuan Rata-rata A1B1 4.03 A1B2 3.67 A1B3 4.1 A1B4 5.23 A1B5 4.9 A2B1 0.87 A2B2 1.37 A2B3 1.3 A2B4 0.83 A2B5 0.83 A3B1 4.80 A3B2 5.87 A3B3 3.43 A3B4 5.80 A3B5 4.57 Lampiran 9. Rata-rata jumlah akar pada kontrol Perlakuan Tanah Pasir Campuran
Rata-rata 1.6 0.7 0.8
Lampiran 10. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami daun rontok pada perlakuan Perlakuan
A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5
Jumlah eksplan mengalami daun rontok Total Minggu Minggu Minggu Minggu Eksplan ke-2 ke-4 ke-6 ke-8 30 14 1 30 10 2 30 16 5 30 6 3 1 30 10 1 30 22 5 14 9 30 19 8 2 10 30 19 5 1 4 30 14 5 18 11 30 17 7 8 7 30 12 4 30 10 3 30 10 4 3 30 9 1 1 30 8 7 3 -
Minggu ke-10 1 2 1 2 1 3 1
Lampiran 11. Rekapitulasi jumlah eksplan yang mengalami daun rontok pada kontrol Perlakuan Jumlah eksplan mengalami daun rontok Total Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu eksplan ke-2 ke-4 ke-6 ke-8 ke-10 Tanah 10 4 Pasir 10 3 T+P+k 10 5 -