KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA – AIR
MOCHAMMAD NURUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Performansi Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Menggunakan Fluida Kerja Ammonia – Air adalah karya saya dengan arahan Prof. Dr. Ir Armansyah H. Tambunan dan Dr. Leopold O. Nelwan, STP. Msi. sebagai komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2008
Mochammad Nuruddin NIM. F151050071
ABSTRACT
NURUDDIN. Study on Performance of Intermittent Absorption Refrigerator Using Ammonia – Water Mixture. Under direction of ARMANSYAH H. TAMBUNAN and LEOPOLD O. NELWAN
Absorption refrigeration is one of the alternative refrigeration systems that use natural refrigerant and renewable energy such as solar, biomass, and waste heat to complete the cycle. Intermittent absorption refrigeration system consists of two cycles, namely regeneration cycle and refrigeration cycle. Icyball refrigeration using ammonia – water mixture as its working fluid is one of the intermittent absorption used in this study. Experimental work on the icyball absorption refrigeration was carried out to study and analyze the effect of temperature, pressure and initial concentration of ammonia – water mixture on the performance of the refrigeration system. The results showed that the minimum evaporator temperature of icyball refrigerator depends on the maximum pressure obtained by condenser – evaporator vessel and the minimum pressure obtained by generator – absorber vessel at the beginning of the refrigeration cycle. The initial concentration of ammonia-water mixture and the condensing temperature affects the performance of intermittent absorption refrigeration. The optimum COP of the cycle from the experiment was 0,1613 with minimum evaporator temperature 21,6 oC, regeneration pressure 6 bar and condensing temperature 28 – 35 oC. Keywords : coefficient of performance, icyball, intermittent refrigeration, regeneration cycle, refrigeration cycle.
absorption
RINGKASAN
NURUDDIN. Kajian Performansi Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Menggunakan Fluida Kerja Ammonia – Air. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN dan LEOPOLD O. NELWAN Penanganan komoditi pertanian seperti buah-buahan maupun sayuran pasca panen yang cepat dan tepat mutlak diperlukan karena produk tersebut mudah rusak dan tidak tahan lama (perishable) pada suhu tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyimpanan dalam suhu rendah melalui proses pendinginan (refrigerasi). Metode pendinginan alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh sistem pendingin kompresi uap adalah menggunakan sistem pendinginan absorpsi. Sistem pendinginan absorpsi dalam pengoperasiannya menggunakan energi panas yang dapat diperoleh dari sumber energi terbarukan dan menggunakan refrigeran alami. Konstruksi yang sederhana dan mudah untuk dibawa (portabel) serta mudah pengoperasiannya membuat mesin pendingin absorpsi intermitten sesuai digunakan untuk pendinginan buah-buahan dan sayuran dalam skala kecil. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja dan menganalisa parameterparameter yang mempengaruhi performa dari mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball menggunakan fluida kerja ammonia – air. Icyball merupakan tipe mesin pendingin absorpsi intermitten yang terdiri dari dua buah tabung yaitu tabung generator – absorber (tabung G-A) dan tabung kondensor – evaporator (tabung K-E) yang dihubungkan dengan pipa penghubung dan dilengkapi dengan katup penghubung. Sistem pendingin ini mempunyai dua buah siklus yang bekerja secara bergantian yaitu siklus regenerasi dan siklus refrigerasi, serta beroperasi berdasarkan beda tekanan yang dihasilkan oleh kedua tabung. Proses regenerasi berlangsung secara bersamaan dengan proses kondensasi yang bertujuan untuk melepaskan uap ammonia dari larutannya sehingga terbentuk refrigeran ammonia murni di dalam tabung K-E dan larutan ammonia konsentrasi rendah sebagai absorber di dalam tabung G-A. Penurunan tekanan tabung G-A dilakukan setelah proses regenerasi untuk menciptakan beda tekanan antara kedua tabung supaya dapat dilakukan siklus refrigerasi. Proses refrigerasi merupakan proses pengambilan panas dari luar tabung K-E dimana refrigeran ammonia di dalamnya terevaporasi dan uapnya diserap oleh larutan ammonia konsentrasi rendah yang ada di dalam tabung G-A. Hasil pengujian menggunakan larutan ammonia dengan konsentrasi awal 26,76 %, tekanan regenerasi 6,5 bar dan suhu kondensasi 27 – 33 oC menghasilkan suhu minimum tabung K-E terendah yaitu 16,3 oC. Suhu minimum tabung K-E yang dihasilkan tergantung dari beda tekanan yang mampu dihasilkan pada akhir proses regenerasi, yaitu tekanan maksimum tabung K-E dan tekanan minimum tabung G-A. Hasil analisis menunjukkan bahwa performansi mesin pendingin absorpsi intermitten, yang ditunjukkan oleh nilai COP, dipengaruhi oleh konsentrasi awal larutan ammonia yang digunakan serta suhu kondensasi tabung K–E. Nilai COP mesin pendingin tertinggi hasil pengujian adalah 0,1613 menggunakan konsentrasi awal larutan ammonia adalah 28,2 %, tekanan regenerasi 6 bar dan suhu kondensasi 28 – 35 oC.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KAJIAN PERFORMANSI MESIN PENDINGIN ABSORPSI INTERMITTEN MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA AMMONIA – AIR
MOCHAMMAD NURUDDIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Judul Tesis : Nama NIM
: :
Kajian Performansi Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Menggunakan Fluida Kerja Ammonia – Air Mochammad Nuruddin F151050071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Armansyah H.Tambunan Ketua
Dr. Leopold O. Nelwan, STP.MSi. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Prof. Dr.Ir. Armansyah H.Tambunan
Tanggal Ujian : 7 Mei 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia – Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari Tesis ini adalah Kajian performansi mesin pendingin absorpsi intermitten menggunakan fluida kerja ammonia – air dan merupakan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2007. Atas selesainya tesis ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan atas segala bimbingan dan arahannya bagi terselesaikannya tesis ini serta atas semua nasihat dan dorongannya kepada penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 2. Dr. Leopold O. Nelwan, STP. MSi atas segala bimbingan dan masukannya yang amat berharga bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. 3. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi selaku dosen penguji atas segala saran dan masukannya terhadap penulisan Tesis ini. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) selama studi S2 di Institut Pertanian Bogor. 5. Segenap pimpinan Politeknik Negeri Jember yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan studi pascasarjana di IPB. 6. Kedua Orangtua, Bapak Nafik Mustofa dan Ibu Ari Sayekti serta kedua adik Yusuf dan Oni atas kasih sayang dan support yang diberikan. 7. Istri tersayang Fika Kumala serta putri tercinta Hawwa Dzarifatus sholiha atas perhatian dan kesabaran serta support yang diberikan selama studi. 8. Kawan-kawan seperjuangan mahasiswa TEP pascasarjana 2005, Bayu, Hendri, Omil, Lukman, Harsman, Hilda, Mbak Maria, Oli, Nunik, dan Eni atas segala suka dukanya selama ini, serta Khafid yang menjadi partner yang baik selama penelitian ini. 9. Rekan-rekan bimbingan hari jum’at, mas Totok, pak Rizal, pak Soni, pak Togi, pak Yogi, Mr. Yaoi, dan Riswanti atas semua diskusi yang telah banyak dilakukan.
10. Teman-teman di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, pak Harto, mas Firman, mas Darma serta pak Parma dan mas Mul atas semua bantuannya selama penulis studi di IPB. 11. Teman-teman rekan mahasiswa, Diswandi, Safrizal, mas Lilik, mas Deni, dan semua pihak yang tidak dapat disebut satu per satu. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional melalui Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) No. 317/SP3/PP/DP2M/II/2006 yang banyak memberi bantuan dana penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Mei 2008
Mochammad Nuruddin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 11 November 1976 dari ayah Nafik Mustofa dan ibu Ari Sayekti merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis mendapat gelar sarjana dari Fakultas teknik jurusan mesin Universitas Brawijaya pada tahun 2000. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Jember pada tahun 2001 dan ditempatkan di Progran Studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) atas bantuan beasiswa program pascasarjana (BPPS) pada tahun 2005.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR TABEL ........................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v DAFTAR SIMBOL ......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1 Proses Pendinginan ............................................................................ 2.2 Metode Pendinginan .......................................................................... 2.3 Sistem Pendinginan Absorpsi ............................................................ 2.4 Sistem Pendinginan Absorpsi Kontinyu ............................................ 2.5 Sistem Pendinginan Absorpsi Intermitten .......................................... 2.6 Siklus Teoritis Sistem Pendinginan Absorpsi Intermitten ................. 2.7 Fluida Kerja Mesin Pendingin Absorpsi ............................................
4 4 5 6 9 10 12 13
III. LANDASAN TEORI ................................................................................ 3.1 Diagram Suhu dan Konsentrasi .......................................................... 3.2 Diagram Entalpi – Konsentrasi .......................................................... 3.3 Sifat Termodinamika Larutan Ammonia – Air .................................. 3.4 Analisis Termodinamika sistem Pendingin Absorpsi Intermitten .....
15 15 17 18 22
IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 4.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 4.2 Bahan dan Alat ................................................................................... 4.3 Prosedur Percobaan ............................................................................ 4.4 Tahapan-tahapan Percobaan ...............................................................
24 24 24 25 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 5.1 Perbaikan dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin ................................ 5.2 Analisis Kinerja Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten .................... 5.3 Perbandingan Kinerja Tiap Pengujian ............................................... 5.4 Verifikasi Hasil Pengujian .................................................................. 5.5 Analisis Performansi Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten .............
33 33 34 42 49 53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 64 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 64 6.2 Saran ................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 65 LAMPIRAN .................................................................................................... 68
DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter untuk menentukan suhu campuran dalam fase cair ................... 18 2. Parameter untuk menentukan suhu campuran dalam fase gas ..................... 19 3. Parameter untuk menentukan konsentrasi campuran dalam fase gas ......... 20 4. Parameter untuk menentukan entalpi campuran dalam fase cair ................. 21 5. Parameter untuk menentukan entalpi campuran dalam fase gas.................. 21 6. Perbandingan hasil uji kinerja mesin pendingin absorpsi intermitten ........ 43
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Mesin pendingin absorpsi kontinyu buatan Ferdinand Carre ..................... 7 2. Perbandingan sistem kompresi uap dan sistem absorpsi ............................ 8 3. Sistem pendinginan absorpsi kontinyu ....................................................... 9 4. Skema kerja sistem pendinginan absorpsi intermitten ................................ 11 5. Siklus teoritis sistem pendinginan absorpsi ................................................ 12 6. Diagram t-x siklus pendinginan absorpsi menggunakan ammonia – air .... 15 7. Diagram h-x siklus pendinginan absorpsi menggunakan ammonia – air ... 17 8. Mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball ...................................... 25 9. Diagram alir penelitian................................................................................. 26 10. Uji kebocoran mesin pendingin menggunakan udara bertekanan.............. 28 11. Proses pengisian aqua ammonia ke dalam tabung G-A ............................ 28 12. Proses regenerasi – kondensasi .................................................................. 29 13. Proses penurunan tekanan tabung G-A ...................................................... 30 14. Proses evaporasi – absorpsi........................................................................ 30 15. Proses refrigerasi di dalam gerobak ........................................................... 31 16. Titik-titik pengukuran dalam pengujian ..................................................... 32 17. Perbaikan mesin pendingin icyball ............................................................ 33 18. Grafik hubungan tekanan dan suhu pada uji I ............................................ 36 19. Grafik suhu – konsentrasi pada uji I .......................................................... 37 20. Grafik entalpi – konsentrasi pada uji I ....................................................... 40 21. Distribusi suhu yang terjadi pada uji I ...................................................... 42 22. Tekanan regenerasi pada masing-masing pengujian .................................. 44 23. Suhu kondensasi selama proses regenerasi - kondensasi .......................... 45 24. Beda tekanan di akhir proses pendinginan tabung G-A ............................. 46 25. Suhu minimum evaporator yang dicapai masing-masing pengujian ......... 47 26. Perbandingan nilai COP masing-masing pengujian................................... 49 27. Pengaruh suhu regenerasi terhadap massa uap proses regenerasi .............. 50 28. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi untuk tiap pengujian ................... 51 29. Jumlah uap ammonia yang terkondensasi di dalam tabung K-E ............... 52
30. Kapasitas pendinginan yang dihasilkan masing-masing pengujian ........... 52 31. Koefisien performansi masing-masing pengujian ...................................... 53 32. Pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia terhadap suhu jenuh untuk menghasilkan larutan ammonia dengan konsentrasi berbeda .................... 55 33. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia ..................................................................................................... 56 34. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia ..................................................................................................... 56 35. COP hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia ............. 57 36. Pengaruh suhu kondensasi terhadap suhu jenuh larutan ammonia pada proses regenerasi ....................................................................................... 58 37. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi .......... 59 38. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi ............ 60 39. COP hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi ......................................... 61 40. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi ........ 62 41. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi ........... 63 42. COP hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi ........................................ 63
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Gambar Kerja Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Tipe Icyball ........... 68 2. Perbaikan dan Hasil Uji Kebocoran Mesin Pendingin ................................ 70 3. Grafik Hubungan Tekanan dan Suhu Terhadap Waktu Uji II ..................... 71 4. Grafik Hubungan Tekanan dan Suhu Terhadap Waktu Uji III .................... 72 5. Grafik Hubungan Suhu – Konsentrasi Pada Uji II ...................................... 73 6. Grafik Hubungan Suhu – Konsentrasi Pada Uji III .................................... 74 7. Diagram entalpi –konsentrasi pada uji II .................................................... 75 8. Diagram entalpi –konsentrasi pada uji III ................................................... 76 9. Distribusi suhu pada uji II dan III ............................................................... 77 10. Perhitungan Beban Pendinginan Pada Uji I .............................................. 78 11. Perbandingan massa uap regenerasi (mvg) dan jumlah panas regenerasi (Qg) hasil pengukuran dan perhitungan ..................................................... 79 12. Besaran mvg, mvc, mfl, dan mev hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia .............................................................................. 80 13. Besaran mvg, mvc, mfl, mev hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi. 82 14. Besaran mvg, mvc, mfl, mev hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi ....84 15. Diagram ptx larutan aqua ammonia .......................................................... 86 16. Properti kriogenik ammonia ...................................................................... 87
DAFTAR SIMBOL
COP
: coefficient of performance
h
: entalpi larutan ammonia – air (kJ/kg)
h0
: entalpi referensi (kJ/kg)
h”
: entalpi uap ammonia – air (kJ/kg)
hfg
: panas laten penguapan larutan ammonia – air (kJ/kg)
m
: massa larutan ammonia – air (kg)
mvg
: massa uap hasil proses regenerasi(kg)
mvc
: massa uap larutan ammonia hasil kondensasi (kg)
mfl
: massa ammonia yang pindah pada proses evaporasi (kg)
mev
: massa ammonia yang terevaporasi di tabung K-E (kg)
p
: tekanan (Mpa)
p0
: tekanan referensi (MPa)
Qe
: kapasitas pendinginan (kJ)
Qg
: jumlah panas yang dibutuhkan proses regenerasi (kJ)
t
: suhu (oC)
T
: suhu mutlak (K)
T0
: suhu referensi (K)
x’
: konsentrasi larutan ammonia
x”
: konsentrasi uap ammonia
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penanganan komoditi pertanian seperti buah-buahan maupun sayuran pasca
panen yang cepat dan tepat sangat diperlukan karena produk tersebut mudah rusak dan tidak tahan lama (perishable) pada suhu tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyimpanan dalam suhu rendah melalui proses pendinginan (refrigerasi), karena suhu yang rendah dapat menurunkan reaksi dan penguraian kimiawi oleh mikroba yang menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Pendinginan merupakan suatu proses pemindahan panas untuk menurunkan dan menjaga suhu produk atau ruangan dibawah suhu lingkungan sekitarnya. Pendinginan dengan menggunakan mesin pendingin kompresi uap merupakan sistem pendinginan yang paling populer saat ini. Hal ini disebabkan karena sistem pendinginan ini memiliki performa yang paling baik, ditunjukkan oleh nilai COP yang tinggi, dibandingkan dengan sistem pendinginan lainnya. Disamping itu mesin pendingin kompresi uap menggunakan refrigeran dari golongan halokarbon yang bersifat tidak beracun dan tidak mudah meledak sehingga tidak membahayakan dalam penggunaannya. Permasalahan yang dihadapi oleh mesin pendingin kompersi uap ini antara lain adalah karena penggunaan energi listrik sebagai tenaga penggeraknya menyebabkan mesin pendingin ini hanya dapat diaplikasikan pada wilayahwilayah tertentu yang telah dialiri listrik, sedangkan untuk wilayah-wilayah terpencil sulit diaplikasikan. Biaya listrik yang relatif mahal juga menyebabkan mesin pendingin ini jarang dipakai untuk industri-industri berskala rumah tangga karena mesin ini membutuhkan beban listrik yang relatif besar untuk menggerakkan kompresornya. Disamping itu, refrigeran yang digunakan pada mesin kompresi uap belakangan juga diketahui berperan besar dalam penipisan lapisan ozon di atmosfir. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pendinginan alternatif yang dapat diaplikasikan pada wilayah terpencil dan untuk industri
rumah tangga serta menggunakan refrigeran alami yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satu metode pendinginan alternatif yang telah dikenal sejak lama adalah sistem pendingin absorpsi, bahkan kemunculannya mendahului sistem pendinginan kompresi uap yaitu tahun 1850-an yang dikembangkan oleh Ferdinand Carre dan menjadi sistem pendinginan utama saat itu sebelum dikembangkannya mesin pendingin kompresi uap tahun 1880-an yang berkembang
hingga
sekarang.
Sistem
pendinginan
absorpsi
ini
dalam
pengoperasiannya menggunakan energi berupa panas yang dapat diperoleh dari matahari, biomassa, ataupun dari panas yang terbuang percuma pada prosesproses termal (waste heat). Ammonia yang dipakai sebagai refrigeran juga tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan telah banyak digunakan untuk proses pendinginan. Sistem pendinginan absorpsi ini dapat bekerja secara kontinyu maupun intermitten dan terdiri dari dua siklus utama yaitu siklus regenerasi dan siklus refrigerasi. Pada sistem kontinyu, siklus regenerasi dan refrigerasi terjadi secara bersamaan, sedangkan pada sistem intermitten, kedua siklus terjadi secara bergantian dimana siklus regenerasi berlangsung lebih dahulu sampai selesai lalu diikuti dengan siklus refrigerasi. Komponen utama mesin pendingin absorpsi adalah generator, kondensor, evaporator, dan absorber. Selama siklus regenerasi, panas diberikan kepada generator untuk memisahkan uap ammonia dari larutan kemudian masuk ke dalam kondensor untuk berkondensasi menjadi refrigeran cair. Sedangkan pada siklus refrigerasi, refrigeran amonia di dalam evaporator mengalami proses evaporasi dengan mengambil panas dari lingkungan sehingga menghasilkan efek pendinginan dan uap ammonia yang dihasilkan kemudian diabsorbsi oleh larutan ammonia konsentrasi rendah yang berada dalam absorber. Icyball merupakan tipe mesin pendingin absorpsi intermitten, konstruksinya sederhana dimana generator – absorber digabung menjadi satu unit tabung dan kondensor – evaporator digabung menjadi satu unit tabung yang lain. Keduanya dihubungkan dengan pipa penghubung yang dilengkapi dengan katup untuk pemisahan antara siklus regenerasi dan siklus refrigerasi. Kombinasi fluida kerja yang dipakai adalah ammonia – air, dimana ammonia sebagai refrigeran dan air
sebagai absorbennya. Konstruksi yang sederhana dan mudah untuk dibawa (portabel) serta mudah dalam pengoperasiannya membuat mesin ini sesuai digunakan untuk pendinginan buah-buahan dan sayuran dalam skala kecil. Sebelum nantinya dipakai untuk pendinginan buah-buahan dan sayuran, perlu dilakukan kajian terlebih dahulu terutama mengenai performa mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball ini
1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja dan menganalisa parameter-
parameter yang mempengaruhi performa dari mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball dengan kombinasi fluida kerja ammonia – air.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Pendinginan Pendinginan merupakan proses pengeluaran panas untuk menurunkan serta
menjaga suhu dari suatu benda atau ruangan dibawah suhu sekelilingnya. Panas diambil dari bahan atau ruangan yang akan didinginkan dan dipindahkan ke suatu zat yang suhunya lebih rendah daripada bahan atau ruangan yang akan didinginkan sehingga terjadi peningkatan suhu dan perubahan fase dari zat yang digunakan tersebut. Zat yang berfungsi sebagai penyerap panas dalam proses pendinginan ini disebut refrigeran (Dossat, 1961). Kegunaan umum pendinginan adalah untuk pengawetan, penyimpanan, dan distribusi bahan pangan yang rentan rusak (perishable) pada suhu rendah. Kelayakan bahan pangan untuk dikonsumsi dapat diperpanjang dengan penurunan suhu karena dapat menurunkan reaksi dan penguraian kimiawi oleh mikroba. Pendinginan maupun pembekuan tidak dapat meningkatkan mutu bahan pangan dan hasil terbaik yang dapat diharapkan hanyalah mempertahankan mutu tersebut pada kondisi terdekat dengan saat akan memulai proses pendinginan. Hal ini berarti mutu hasil pendinginan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan pada saat awal proses pendinginan (Tambunan, 2001). Produk-produk yang biasanya disimpan sesudah proses pendinginan adalah buah-buahan, sayuran, susu, dan telur. Penyimpanan dibawah titik beku adalah untuk mempertahankan nilai bahan pangan dan juga untuk melindungi produk dari kerusakan dalam jangka waktu yang lama (Syarief dan Kumendong, 1992). Penyimpanan dengan suhu rendah ini terbagi atas tiga kategori, yaitu (1) penyimpanan jangka pendek atau sementara, (2) penyimpanan jangka panjang, dan (3) penyimpanan beku. Pada penyimpanan jangka pendek dan panjang, produk didinginkan dan disimpan diatas titik bekunya, sedangkan pada penyimpanan beku, produk dibekukan dan disimpan pada suhu hingga -12 oC. Penyimpanan jangka pendek biasanya digunakan pada selang waktu sehari atau dua hari untuk penyimpanan buah-buahan dan sayuran di supermarket maupun pedagang keliling, sedangkan penyimpanan jangka panjang digunakan pada
gudang-gudang penyimpanan skala besar serta untuk proses distribusi bahan pangan dengan selang waktu seminggu sampai 10 hari. Penyimpanan beku digunakan untuk penyimpanan dengan jangka waktu yang lama, sekitar sebulan atau lebih (Dossat, 1961). 2.2
Metode Pendinginan Secara umum, pendinginan dibagi menjadi 2 macam, yaitu pendinginan
alami (natural refrigeration) dan pendinginan buatan (artificial refrigeration). Pendinginan alami merupakan jenis pendinginan yang menggunakan es yang terbentuk secara alamiah, jenis pendinginan ini dapat terjadi di negara yang memiliki 4 musim atau di daerah kutub. Di negara tropis seperti Indonesia, pendinginan dilakukan menggunakan pendinginan buatan, yaitu dengan menggunakan mesin pendingin (Henderson dan Perry, 1976). Threlkeld (1970), dan Gosney (1982) menjelaskan berbagai metode pendinginan untuk berbagai keperluan industri baik industri domestik maupun industri besar. Beberapa metode pendinginan secara mekanis ini antara lain sistem kompresi mekanis, absorbsi, siklus udara, jet uap, dan termoelektrik. Sistem pendinginan menggunakan siklus udara, dimana suhu udara diturunkan melalui proses ekspansi udara, merupakan prinsip pendinginan di laut lepas karena pertimbangan faktor keamanan. Sistem pendinginan ini sekarang banyak digunakan untuk pendinginan kabin di pesawat terbang. Sistem jet uap merupakan sistem pendingin yang beroperasi menggunakan uap pada tekanan sedang, tetapi sekarang sudah jarang penggunaannya. Pendinginan dengan menggunakan sistem termoelektrik berdasarkan pada prinsip efek peltier, dimana efek pendinginan tercipta saat arus listrik dialirkan melalui sambungan dua buah logam yang berbeda. Efisiensi dari sistem ini amatlah rendah sehingga penggunaannya pun terbatas yaitu pada pendinginan untuk spesimen dengan ukuran kecil, sebagai alat untuk mengukur titik cair bahan, dan lainnya. Sparks (1959) menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk mendapatkan efek pendinginan : ¾ Secara kimiawi, dimana terjadi reaksi kimia yang membutuhkan panas dan diambil dari bahan atau ruangan yang akan didinginkan sehingga menimbulkan efek pendinginan.
¾ Kontak secara langsung maupun tidak antara bahan yang akan didinginkan dengan media pendingin seperti es atau air dingin. ¾ Secara mekanis, yaitu dengan cara mensuplai energi dalam bentuk kerja atau panas dalam sistem yang menghasilkan proses refrigerasi dimana panas diambil dari bahan/ruangan menghasilkan suhu yang rendah. Sistem pendinginan kompresi uap merupakan metode pendinginan yang paling banyak digunakan saat ini karena performanya yang paling baik diantara sistem pendinginan yang lain. Prinsip kerjanya adalah uap refrigeran diberi tekanan tinggi oleh kompresor dan kemudian dikondensasikan di dalam kondensor sehingga berubah bentuk menjadi cair. Refrigeran cair ini diturunkan tekanannya oleh katup ekspansi sehingga saat masuk evaporator, refrigeran terevaporasi pada tekanan rendah. Metode pendinginan lain yang juga banyak digunakan adalah sistem pendinginan absorpsi. Sistem pendinginan absorpsi banyak digunakan pada instalasi-instalasi kimia, untuk penyegaran udara, serta pada beberapa mesin pendingin domestik. Sistem pendinginan absorpsi ini membutuhkan asupan berupa panas dalam pengoperasiannya, sehingga dapat diaplikasikan pada pada tempat-tempat yang mempunyai sumber energi panas yang melimpah atau pada tempat yang tidak tersedia energi listrik (Gosney, 1982). 2.3
Sistem Pendinginan Absorpsi Sistem pendinginan absorpsi diperkenalkan secara luas oleh Ferdinand Carre
pada tahun 1859 dengan menggunakan larutan ammonia – air dengan ammonia sebagai refrigeran dan air sebagai absorben. Gambar 1 memperlihatkan mesin pendingin absorpsi kontinyu yang dibuat oleh Carre.
Gambar 1.
Mesin pendingin absorpsi kontinyu buatan Ferdinand Carre (Gosney, 1982)
Bagian-bagian mesin pendingin absorpsi buatan Carre ini terdiri dari A : Boiler atau generator dengan katup pengaman B : Kondensor C : Evaporator yang terdiri dari pipa-pipa D : Absorber E : Heat exchanger F : Pompa Awalnya pemanasan sistem pendingin absorpsi ini menggunakan energi yang berasal dari batu bara, lalu diperkenalkan penggunaan uap panas untuk pemanasan generator. Setelah itu dipakai pemanasan langsung dengan minyak atau gas alam. Sistem yang ditemukan oleh Carre ini digunakan selama beberapa waktu dan dipakai untuk berbagai proses pendinginan saat itu. Pada saat sistem kompresi uap menggunakan ammonia sukses diperkenalkan, maka sistem kompresi uap menjadi dominan dan sistem absorpsi mulai ditinggalkan kecuali untuk pendinginan domestik. Pada tahun 1922, Carl Munters dan Baltzar von Platen memperkenalkan lemari es yang menggunakan sistem pendinginan absorpsi yang dikenal dengan sistem Munters Platen (Gosney, 1982). Perbedaan utama antara sistem pendinginan absorpsi dan sistem kompresi uap terletak pada energi yang menyebabkan kenaikan tekanan refrigeran, dimana pada sistem kompresi uap menggunakan kompresor sedangkan pada sistem
absorpsi menggunakan generator – absorber (Gambar 2). Siklus kompresi uap dikenal dengan work-operated cycle karena untuk menaikkan tekanan refrigeran dibutuhkan kerja dari kompresor sedangkan siklus absorpsi dikenal dengan heatoperated cycle karena sebagian besar prosesnya membutuhkan panas untuk melepas uap tekanan tinggi (Stoecker, 1987). Uap tekanan tinggi Kompresi Uap : ¾ Kompresor Absorpsi ¾ Generator ¾ Absorber
Gambar 2.
Kondensor
Katup Ekspansi Uap tekanan rendah
Evaporator
Perbandingan sistem kompresi uap dan sistem absorpsi (Stoecker, 1987)
Panas yang dibutuhkan dalam sistem absorpsi dapat berasal dari energi surya, biomassa, maupun panas buang hasil dari proses termal (waste heat). Sumber energi panas yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang sistem pendinginan absorpsi ini adalah energi surya. Penggunaan energi surya dalam proses pendinginan ini memiliki keuntungan berupa ketersediaannya yang melimpah dan secara ekonomis menguntungkan karena dapat diperoleh secara cuma-cuma dari alam (McVeigh, 1984). Tangka (2006) menyatakan bahwa energi surya merupakan sumber energi yang sesuai untuk sistem pendinginan di daerah dengan kondisi sosial ekonomi seperti di pedesaan. Brinkworth (1977) dan Duffie (1980) menjelaskan bahwa dalam pengoperasian mesin pendingin absorpsi tenaga surya digunakan kolektor surya plat datar dan panas disimpan dalam sebuah tangki penyimpanan. Apabila panas yang dibutuhkan untuk proses regenerasi besar, maka dapat digunakan konsentrator surya. Rasul dan Murphy (2006) membuat prototipe mesin pendingin absorpsi intermitten dengan generator berupa kolektor surya berbentuk parabolik menggunakan anhydrous ammonia dan garam klorida sebagai pasangan fluida
kerjanya. Otiti (1986) serta Chaouachi (2007) melakukan penelitian megenai mesin pendingin absorpsi sistem Platern – Munters menggunakan energi surya. Samaritaan (1983) memanfaatkan energi surya untuk pendinginan hasil-hasil pertanian dengan mesin pendingin type absorpsi serta melakukan perhitungan kesetimbangan energi dan massa untuk masing-masing komponen mesin pendingin. Sistem pendinginan absorpsi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu tipe kontinyu dan intermitten yang terdiri dari 2 buah siklus utama yaitu siklus regenerasi dan siklus refrigerasi. Pada tipe kontinyu, siklus regenerasi dan refrigerasi berlangsung pada saat yang bersamaan, sedangkan pada tipe intermitten, siklus regenerasi dan siklus refrigerasi terjadi secara bergantian, dimana siklus regenerasi berlangsung terlebih dahulu sampai selesai dan diikuti oleh siklus refrigerasi. (El-Mahi, 2005). 2.4
Sistem Pendinginan Absorpsi Kontinyu Sistem pendinginan absorpsi kontinyu mempunyai 4 buah komponen utama
yaitu generator, kondensor, evaporator, dan absorber serta terdapat peralatan tambahan yaitu katup ekspansi dan pompa. Sistem pendinginan absorpsi ini beroperasi pada siklus tertutup yang kontinyu, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3 : Qc Kondensor
Qg 7
Generator
3
4
8 katup ekspansi
heat exchanger
katup ekspansi 6
5
2 pompa
Evaporator 9
Absorber 10
Qe
1 Qa
Gambar 3. Sistem pendinginan absorpsi kontinyu (Threlkeld, 1970)
Pada sistem ini, larutan absorben didalam absorber dipompa melewati heat exchanger masuk ke dalam generator. Di dalam generator, larutan ammonia mengalami proses regenerasi dimana uap ammonia yang mempunyai suhu dan tekanan tinggi masuk ke dalam kondensor, akibatnya larutan ammonia di dalam generator berkurang konsentrasinya (konsentrasi rendah). Larutan ammonia konsentrasi rendah ini dikembalikan menuju absorber melalui heat exchanger dan katup ekspansi sehingga suhu dan tekanannya turun. Uap ammonia yang dihasilkan generator dikondensasikan oleh kondensor menghasilkan refrigeran ammonia cair. Tekanan refrigeran diturunkan lebih dahulu oleh katup ekspansi untuk kemudian dialirkan menuju evaporator. Di dalam evaporator, refrigeran mengalami evaporasi pada tekanan rendah dengan mengambil panas dari lingkungan sehingga menghasilkan efek pendinginan dan uap refrigeran yang dihasilkan diserap oleh larutan absorben di dalam absorber (Threlkeld, 1970). Analyser dan rectifier ditambahkan dalam sistem pendingin absorpsi untuk menghilangkan air yang ikut ke dalam uap ammonia, sehingga uap ammonia yang masuk ke dalam kondensor merupakan uap ammonia murni (Ballaney, 1980). Sistem pendinginan absorpsi tipe kontinyu telah banyak dipakai untuk keperluan industri. Hudson (2002) menyatakan bahwa penggunaan sistem pendinginan absorpsi pada suatu industri dimana terdapat ketersediaan panas buang atau uap panas dapat mengurangi ongkos produksi. Mesin pendingin absorpsi komersial telah dipasang dan beroperasi di rumah sakit Sao Paolo State Unuversity at Campinas (UNICAMP) untuk memproduksi es (Cortez, et.al). Sistem pendingin absorpsi juga sesuai diaplikasikan menggunakan sumbersumber panas bumi (geothermal) (Rafferty, 2003). 2.5
Sistem Pendinginan Absorpsi Intermitten Sistem absorpsi intermitten lebih sederhana bentuknya daripada sistem
kontinyu karena generator dan absorber dapat dibuat menjadi satu unit, sedangkan kondensor dan evaporator menjadi satu unit yang lain, keduanya dipisahkan dengan katup penghubung. Hal ini dapat mengurangi biaya pembuatan serta pengoperasian mesin pendingin, karena panas untuk proses regenerasi dapat berasal dari energi terbarukan seperti energi surya (El-Shaarawi, 1987). Kelebihan sistem intermitten dibanding dengan sistem kontinyu adalah tidak adanya
peralatan tambahan seperti pompa dan katup ekspansi didalamnya (Venkatesh dan Gupta, 1978). Disamping itu, sistem pendinginan absorpsi intermitten ini memungkinkan untuk pemakaian energi terbarukan sebagai sumber energi panas untuk proses regenerasinya. Wahyu (1983) dan Panggabean (1992) melakukan pengembangan mesin pendingin absorpsi intermitten ini dengan memakai bahan bakar limbah pertanian berupa sekam, arang, dan tempurung kelapa. Pada sistem ini, terjadi pelepasan uap ammonia dari larutan ammonia selama proses regenerasi dan kemudian uap ammonia ini terkondensasi di dalam kondensor. Cairan yang ada di dalam kondensor merupakan refrigeran yang telah dipisahkan dari absorben yang tertinggal di dalam generator. Selama proses refrigerasi, refrigeran terevaporasi dan diabsorbsi oleh larutan ammonia konsentrasi rendah di dalam generator yang telah berubah fungsi menjadi absorber. Skema kerja dari sistem absorpsi intermitten ini ditunjukkan oleh Gambar 4.
Generator 150 oC
Kondensor 30 oC
(a)
Absorber 30 oC
Evaporator 5 oC
(b)
Gambar 4. Skema kerja sistem pendinginan absorpsi intermitten, (a) siklus regenerasi (b) siklus refrigerasi (Duffie dan Beckman, 1980). Icyball merupakan tipe mesin pendingin absorpsi intermitten yang sesuai dipakai sebagai penyimpanan bahan pangan untuk skala rumah tangga dan industri kecil dengan menggunakan larutan ammonia-air sebagai fluida kerjanya. Mesin pendingin ini terdiri dari dua unit tabung, yaitu tabung generator – absorber dan tabung kondensor – evaporator.. Mesin pendingin ini telah diproduksi sejak tahun 1920-an, David Forbes Keith mematenkannya pada tahun 1921 dan pada tahun 1930-an sudah diproduksi secara massal. (Anonim, 2008). Hall (1999) merancang mesin pendingin icyball dengan ukuran yang lebih kecil sehingga
mudah untuk dibawa kemana-mana (portabel) serta dilengkapi dengan katup yang menghubungkan kedua tabung sehingga proses refrigerasi dapat dilakukan pada waktu yang diinginkan. 2.6
Siklus Teoritis Sistem Pendingin Absorpsi Intermitten Siklus teoritis yang digunakan untuk menganalisa sistem pendingin absorpsi
intermitten ada dua macam, yaitu siklus absorpsi tekanan konstan dan siklus absorpsi suhu konstan (Chinnappa, 1962), seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5: suhu, t
3
2 2*3*
4
5
1
1*4* 5*
0 1,2,3,4,5
konsentrasi, X NH3
1
: Larutan ammonia di dalam generator – absorber
1*,2*,3*,4*,5* : Refrigeran ammonia murni di dalam kondensor – evaporator Gambar 5.
Siklus teoritis sistem pendinginan absorpsi intermitten (Chinnappa, 1962)
1. Siklus absorpsi pada tekanan konstan, ditunjukkan oleh garis 1-2-3-4-1 Pada siklus ini, proses regenerasi terdiri dari dua proses, yaitu 1-2 dan 2-3, proses 3-4 merupakan proses pendinginan larutan ammonia secara adiabatik dimana terdapat panas yang dilepas, dan proses absorpsi 4-1 berlangsung pada tekanan konstan bersamaan dengan proses pendinginan efektif (refrigerasi) pada kondensor – evaporator.
2. Siklus absorpsi pada suhu konstan, ditunjukkan oleh titik 1-2-3-5-1 Pada siklus ini, regenerasi berlangsung dalam dua proses yaitu 1-2 dan 2-3 dan proses 3-5 merupakan proses pendinginan larutan ammonia dengan menggunakan air/udara hingga suhu t5 yang sama dengan suhu awal t1. Proses absorpsi 5-1 berlangsung pada suhu konstan bersamaan dengan pendinginan efektif (refrigerasi) pada kondensor – evaporator. Dari kedua siklus tersebut, siklus absorpsi tekanan konstan lebih efisien, karena suhu media pendingin yang digunakan pada saat proses pendinginan 3 – 4 lebih tinggi daripada proses 3 – 5, akan tetapi pada siklus absorpsi tekanan konstan mempunyai kesulitan yaitu untuk menjaga tekanan konstan selama proses absorpsi sehingga perlu dilakukan pengaturan laju pendinginan selama proses absorpsi 4 – 1. Di antara kedua siklus teoritis, siklus absorpsi dengan suhu konstan lebih menyerupai dengan siklus aktual, karena suhu pada proses absorpsi 5 – 1 relatif lebih konstan. 2.7
Fluida Kerja Mesin Pendingin Absorpsi Menurut Tambunan (2003), kriteria yang harus dipenuhi oleh kombinasi
refrigeran – absorben pada mesin pendingin absorpsi adalah : 1. Absorben harus mempunyai nilai afinitas (pertalian) yang kuat dengan uap refrigeran dan keduanya harus mempunyai daya larut yang baik pada kisaran suhu kerja yang diinginkan. 2. Kedua cairan tersebut, baik masing-masing maupun hasil campurannya harus aman, stabil dan tidak korosif. 3. Secara ideal, kemampuan penguapan absorben harus lebih rendah dari refrigeran
sehingga
refrigeran
yang
meninggalkan
generator
tidak
mengandung absorben. 4. Refrigeran harus mempunyai panas laten penguapan yang cukup tinggi sehingga laju aliran refrigeran yang harus dicapai tidak terlalu tinggi. 5. Tekanan kerja kedua zat harus cukup rendah (mendekati tekanan atmosfir) untuk mengurangi berat alat dan menghindari kebocoran ke lingkungan.
Kombinasi refrigeran – absorben yang sering digunakan adalah Litium bromida – air (LiBr – H2O) serta kombinasi ammonia – air (NH3 – H2O) Kombinasi LiBr – H2O digunakan untuk pengkondisian udara dimana suhu evaporasi di atas 0 oC dan air bertindak sebagai refrigeran sedangkan LiBr sebagai absorben. Litium bromida merupakan suatu kristal garam padat yang dapat menyerap uap air. Larutan cair yang terjadi memberi tekanan uap yang merupakan fungsi suhu dan konsentrasi larutan. Hayadin (1999) dan Uyun (2001) melakukan uji kinerja terhadap mesin pendingin absorpsi intermitten menggunakan fluida kerja LiBr – H2O, mesin pendingin absorpsi yang digunakan terdiri dari tiga komponen, yaitu generator – absorber, kondensor, dan evaporator. Pada kombinasi ammonia – air, yang bertindak sebagai refrigeran adalah ammonia dan air sebagai absorben. Sistem ammonia – air digunakan secara luas untuk mesin pendingin berskala kecil (perumahan) maupun industri dimana suhu evaporasi yang dihasilkan mendekati atau di bawah 0 oC. Kelemahan sistem ammonia – air ini adalah sifat air yang juga mudah menguap sehingga ammonia yang berfungsi sebagai refrigeran masih mengandung uap air pada saat keluar dari generator dan masuk ke evaporator melalui kondensor. Keadaan ini dapat menyebabkan uap air meninggalkan panas di evaporator dan meningkatkan suhunya sehingga menurunkan efek pendinginan. (Tambunan, 2003).
III.
3.1
LANDASAN TEORI
Diagram suhu dan konsentrasi Hubungan antara suhu dan konsentrasi pada sistem pendinginan absorpsi
dengan fluida kerja ammonia – air ditunjukkan oleh Gambar 6 : t
garis uap jenuh P = Pc = P3 = P2 = Pg
3
t3,t3”
3” 2
t2,t2”
5
t2*3* = t1 = t4 = t5 = tc
2”
1 garis cair jenuh
2*, 3*
4 P5
P1
P4
0
x3’,x4’ x5’
x1’=x2’
1* 5* 4* x3”
x2”
1
x
1,2,3,4,5
: Larutan ammonia – air di dalam tabung G-A
2”,3”
: Uap ammonia yang dihasilkan selama proses regenerasi
1*,2*,3*,4*,5* : Ammonia murni di dalam tabung K-E Gambar 6. Diagram suhu – konsentrasi siklus pendinginan absorpsi intermitten menggunakan ammonia – air Kondisi awal larutan ammonia – air dalam tabung G-A ditunjukkan oleh titik 1 dan ketika panas diberikan ke tabung G-A, suhu serta tekanan larutan naik, ditunjukkan oleh garis 1-2. Pada titik 2, larutan menjadi jenuh dan tekanan sistem sama dengan tekanan jenuh larutan ammonia – air yang dipengaruhi oleh suhu kondensasi, penambahan panas pada tabung G-A mengakibatkan meningkatnya suhu larutan dengan tekanan konstan dan uap yang terbentuk ditunjukkan oleh
garis 2” – 3”. Uap ammonia hasil distilasi mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi daripada larutan ammonia. Apabila tekanan sistem pada proses regenerasi tetap konstan, kondisi uap distilasi akan mengikuti garis uap jenuh sementara kondisi larutan ammonia – air di tabung G-A mengikuti garis cair jenuh. Uap hasil regenerasi masuk tabung K-E melalui rektifier yang berfungsi untuk memisahkan uap ammonia dari larutan ammonia – air. Tabung K-E didinginkan dengan air dan laju pendinginannya diatur untuk memastikan kondensasi sempurna dari uap refrigeran yang masuk, serta untuk menjaga tekanan sistem sama dengan tekanan jenuh refrigeran yang dipengaruhi oleh suhu kondensasi. Pada proses rektifikasi yang ideal (uap yang meninggalkan rektifier adalah refrigeran murni), refrigeran yang dihasilkan adalah refrigeran ammonia murni yang jenuh pada titik 2*3*. Secara teoritis, suhu kondensasi jenuh t2* sama dengan suhu air pendingin. Titik 3 menggambarkan akhir dari proses regenerasi dan tergantung pada suhu maksimum yang dapat dicapai oleh tabung G-A. Tabung G-A kemudian didinginkan dengan air sehingga suhu larutan lemah di dalamnya berubah pada konsentrasi konstan dari t3 menjadi t4 dan tekanannya berubah dari P3 menjadi P4. Apabila selama proses pendinginan ini, suhu pendinginan sama dengan suhu lingkungan maka suhu refrigeran dalam tabung K-E sama dengan suhu larutan lemah di tabung G-A (t2* = t4). Sebagai akibat proses pendinginan dengan air ini, tekanan tabung G-A menjadi lebih rendah dari tekanan di tabung K-E. Suhu dan konsentrasi larutan dalam tabung G-A juga menjadi rendah sehingga tabung G-A bekerja sebagai absorber. Saat katup penghubung dibuka, beberapa refrigeran ammonia dalam tabung K-E pada titik 2*3* berpindah secara adiabatik (akibat beda tekanan) ke dalam tabung G-A sehingga meningkatkan konsentrasi larutan dalam tabung G-A dari X4’ menjadi X5’ dan mengakibatkan penurunan suhu refrigeran ammonia dari t2* menjadi t5*. Pada akhir proses perpindahan refrigeran ammonia secara adiabatik ini, tekanan tabung G-A sama dengan tekanan tabung K-E (P5 = P5*) dan tabung K-E bekerja sebagai evaporator. Refrigeran ammonia dalam tabung K-E terevaporasi dengan mengambil panas dari lingkungan sehingga menciptakan efek pendinginan. Uap ammonia yang dihasilkan diserap oleh larutan ammonia di
dalam tabung G-A serta terjadi pelepasan panas ke lingkungan secara isothermal (t1 = t5). Suhu refrigeran ammonia dalam tabung K-E berubah dari t5* menjadi t1*, dan konsentrasi larutan ammonia dalam tabung G-A meningkat dari x5’ menjadi konsentrasi awal x1’. 3.2
Diagram entalpi – konsentrasi Hubungan antara entalpi dan konsentrasi pada sistem pendinginan absorpsi
dengan fluida kerja ammonia – air ditunjukkan oleh Gambar 7 : h garis uap jenuh
hfg untuk H2O pada p = pc t3
3”
P = P2 = P3 = Pc = Pg
t2 2”
garis cair jenuh
3
t3 P5
hfg2* = hfg untuk NH3 pada p = pc
2 t2
2* t2* 1
5 t1 = t4 = t5 = t2*
P1
4 P4
0
x’3
x’2 x”3
x”2
1
x
Gambar 7. Diagram entalpi – konsentrasi untuk siklus pendinginan absorpsi intermitten menggunakan larutan ammonia – air Diagram entalpi – konsentrasi (diagram h – x) terdiri atas garis tekanan konstan (isobar) dan garis suhu konstan (isotermis), dimana perpotongan antara kedua garis tersebut menunjukkan keadaan larutan atau besarnya konsentrasi baik dalam bentuk cair maupun uap. Disamping itu pada diagram h – x ini ditunjukkan garis pada kondisi cair jenuh dan garis pada kondisi uap jenuh, dimana keadaan
larutan dibawah garis cair jenuh merupakan keadaan cairan subcooled, sedangkan keadaan uap di atas garis uap jenuh merupakan keadaan uap superheated. Entalpi penguapan untuk air terletak pada garis sebelah kiri yaitu pada x = 0 atau tidak ada ammonia dalam larutan, sedangkan entalpi penguapan untuk ammonia terletak di sebelah kanan yaitu pada x = 1 atau tidak ada air dalam larutan. Entalpi penguapan (hfg) merupakan pengurangan antara entalpi dalam keadaan uap (hg) dengan entalpi dalam keadaan cair (hf). 3.3
Sifat termodinamika larutan ammonia – air Sifat-sifat termodinamika dari larutan ammonia – air
dapat ditentukan
menggunakan tabel p-t-x atau memakai persamaan dan tabel parameter yang dikembangkan oleh Patek & Klomfar (Conde-Petit, 2006) untuk menentukan sifat termodinamik baik dalam fase gas maupun fase cair. Beberapa persamaan dan tabel parameter tersebut antara lain: a. Persamaan dan tabel parameter untuk menentukan suhu larutan sebagai fungsi tekanan dan konsentrasi dalam fase cair (Conde-Petit, 2006) Persamaan : ⎡ ⎛ p ⎞⎤ T ( p, x' ) = T0 ∑ ai (1 − x' ) mi ⎢ln⎜⎜ 0 ⎟⎟⎥ ⎣ ⎝ p ⎠⎦ i
ni
................................................... (1)
Tabel 1. Parameter untuk menentukan suhu larutan dalam fase cair i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 To =
mi 0 0 0 0 0 1 1 1 2 4 5 5 6 13 100 K
ni 0 1 2 3 4 0 1 2 3 0 0 1 0 1 Po =
ai 3.22302E+00 -3.84206E-01 4.60965E-02 -3.78945E-03 1.35610E-04 4.87755E-01 -1.20108E-01 1.06154E-02 -5.33589E-04 7.85041E+00 -1.15941E+01 -5.23150E-02 4.89596E+00 4.21059E-02 2 MPa
Persamaan ini digunakan untuk menghitung suhu campuran dalam fase cair dari data suhu dan tekanan yang diketahui. Selain itu juga dengan metoda interpolasi dapat diketahui nilai konsentrasi dari data tekanan dan suhu yang diketahui. Dalam pengujian ini data yang diukur adalah suhu dan tekanan campuran. Oleh karena itu untuk memperoleh nilai konsentrasi campuran digunakan metode interpolasi. b. Persamaan dan tabel parameter untuk menentukan suhu campuran sebagai fungsi dari tekanan dan konsentrasi dalam fase gas Persamaan : ⎡ ⎛ p ⎞⎤ T ( p, x" ) = T0 ∑ ai (1 − x" ) mi / 4 ⎢ln⎜⎜ 0 ⎟⎟⎥ ⎣ ⎝ p ⎠⎦ i
ni
............................................ (2)
Tabel 2. Parameter untuk menentukan suhu campuran dalam fase gas i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 To =
mi 0 0 0 0 1 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6 7 100 K
ni 0 1 2 3 0 1 2 0 1 0 1 0 2 0 2 0 2 Po =
ai 3.24004E+00 -3.95920E-01 4.35624E-02 -2.18943E-03 -1.43526E+00 1.05256E+00 -7.19281E-02 1.22362E+01 -2.24368E+00 -2.01780E+01 1.10834E+00 1.45399E+01 6.44312E-01 -2.21246E+00 -7.56266E-01 -1.35529E+00 1.83541E-01 2 MPa
Seperti pada persamaan 1, persamaan 2 digunakan untuk menghitung suhu campuran dalam fase gas dari data tekanan dan konsentrasi. Tetapi dalam pengukuran, data yang diukur adalah data suhu dan tekanan maka nilai konsentrasi campuran dihitung menggunakan metode interpolasi.
c. Persamaan dan tabel parameter untuk menentukan konsentrasi uap dari campuran sebagai fungsi tekanan dan konsentrasi dalam fase cair Persamaan : mi ⎡ ⎤ ⎛ p ⎞ ⎟⎟ x ni / 3 ⎥ ..................................... (3) x" ( p, x' ) = 1 − exp ⎢ln(1 − x' )∑ ai ⎜⎜ ⎢ ⎥ ⎝ p0 ⎠ i ⎣ ⎦
Tabel 3. Parameter untuk menentukan konsentrasi campuran dalam fase gas i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 po =
mi 0 0 0 0 1 2 2 3 4 5 6 7 7 8 2 MPa
ni 0 1 6 7 0 1 2 2 3 4 5 6 7 7
ai +1,980220 x 101 -1,180926 x 101 +2,774799 x 101 -2,886342 x 101 -5,916166 x 101 +5,780913 x 102 -6,217367 x 100 -3,421984 x 103 +1,194031 x 104 -2,454137 x 104 +2,915918 x 104 -1,847822 x 104 +2,348194 x 101 +4,803106 x 103
d. Persamaan dan tabel parameter untuk menentukan entalpi dari campuran sebagai fungsi suhu dan konsentrasi dalam fase cair Persamaan :
⎛T ⎞ h(T , x' ) = h0 ∑ ai ⎜ 0 − 1⎟ ⎝T ⎠ i
mi
x' ni .............................................................. (4)
Tabel 4. Parameter untuk menentukan entalpi campuran dalam fase cair i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 ho =
mi 0 0 0 0 0 0 1 1 2 3 5 5 5 6 6 8 100 kJ/kg
ni 1 4 8 9 12 14 0 1 1 3 3 4 5 2 4 0 To =
ai -7.61E+00 2.57E+01 -2.47E+02 3.26E+02 -1.59E+02 6.19E+01 1.14E+01 1.18E+00 2.84E+00 7.42E-01 8.92E+02 -1.61E+03 6.22E+02 -2.08E+02 -6.87E+00 3.51E+00 273.16 K
e. Persamaan dan tabel parameter untuk menentukan entalpi dari campuran sebagai fungsi suhu dan konsentrasi dalam fase gas ⎛T ⎞ h(T , x" ) = h0 ∑ ai ⎜⎜ − 1⎟⎟ ⎝ T0 ⎠ i
mi
x ni ........................................................ (5)
Tabel 5. Parameter untuk menentukan entalpi campuran dalam fase gas i 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 ho =
mi 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 0 1 0 4 2 1 100 kJ/kg
ni 0 0 0 0 2 2 2 2 3 3 3 4 4 5 6 7 10 To =
ai 1.28827 0.125247 -0.208748 2.17696 2.35687 -8.86987 10.2635 -2.3744 -6.70155 16.4508 -9.36849 8.42254 -8.58807 -2.77049 -0.961248 0.988009 0.308482 273.16 K
3.4
Analisis Termodinamika Sistem Pendingin Absorpsi Intermitten
Analisis termodinamika pada sistem pendinginan absorpsi intermitten ini menggunakan persamaan-persamaan yang dikemukakan oleh Venkatesh dan Gupta (1978). Proses 2 – 3 merupakan proses regenerasi pada tekanan konstan, diawali dari titik 2 dengan massa m2 kg dan konsentrasi x2’ pada suhu t2, dimana massa m2 ≈ m1 dan x2’ = x1’. Pada keadaan ini terjadi proses pelepasan uap ammonia dari larutan ammonia. Massa uap yang digenerasikan sama dengan massa larutan yang hilang. Kesetimbangan massa yang terjadi adalah : m1 ⋅ x1’ = m3* ⋅ x3* + m4 ⋅ x4’ .................................................................. (6) Jumlah uap yang digenerasikan selama proses 2 – 3 merupakan beda massa larutan antara proses 2 dan 3 : mvg = m2 – m3 x3 ' ⎛ ⎞ dx' ⎟ ⎜ = m2 ⎜1 − exp ∫ .................................................... (7) x"− x' ⎟⎟ ⎜ x ' 2 ⎝ ⎠
Panas yang dibutuhkan tabung G-A selama proses regenerasi 1 – 2 – 3 diberikan oleh persamaan : 1
Qg = m3h3 '−m1h1 '+ ∫ h" dmvg ................................................... (8) 3
Uap yang digenerasikan oleh tabung G-A melalui proses rektifikasi sebelum masuk ke dalam tabung K-E. Proses rektifikasi menyebabkan massa larutan ammonia di dalam tabung K-E lebih kecil dari massa uap hasil regenerasi (mvg). Kesetimbangan massa ammonia selama proses rektifikasi diberikan dengan rumus mvg
mvc =
∫ [(x"− x') / (1 − x')]⋅ dmvg
............................................... (9)
0
Pada permulaan proses refrigerasi, sejumlah larutan ammonia di dalam tabung K-E pada titik 2*3* berpindah ke tabung G-A yang berisi larutan ammonia encer sehingga konsentrasinya meningkat dari x4’ menjadi x5’ dan larutan ammonia yang berada di dalam tabung K-E berubah dari titik 2*3* menjadi titik 5*, suhunya berubah dari t2*3* menjadi t5* serta tekanannya juga berubah dari pc
menjadi p5*. Jumlah larutan ammonia di dalam tabung K-E ditentukan dengan persamaan: ⎛ h − h2* ⎞ ⎟ .................................................................... (10) m5* = m2* exp⎜ 5* ⎜ h fg .av ⎟ ⎝ ⎠ Jumlah ammonia yang berpindah, mfl sama dengan m2* - m5*, dan m2* = mvc, dimana : ⎡ ⎛ h − h2* ⎞⎤ ⎟⎥ ............................................................. (11) m fl = mvc ⎢1 − exp⎜ 5* ⎜ h fg .av ⎟⎥ ⎢⎣ ⎠⎦ ⎝
Suhu minimum evaporator t5* adalah suhu larutan ammonia yang berada di dalam tabung K-E pada akhir proses berpindahnya uap ammonia ke absorber. Jumlah ammonia yang berpindah, mfl menyebabkan berubahnya keadaan larutan ammonia di tabung K-E dari 2*3* menjadi 5* dan berubahnya larutan dalam tabung G-A dari 4 menjadi 5, sehingga persamaan 11 dapat ditulis : m4 ⋅ ( x5 '− x 4 ' ) ............................................................................ (12) 1 − x5 '
m fl =
Jumlah larutan ammonia yang tertinggal (mvc – mfl) terevaporasi dengan mengabsorbsi panas laten evaporasi dari media yang didinginkan. Panas laten evaporasi larutan ammonia dalam tabung K-E berubah dari hfg5* menjadi hfg1* dan massanya turun dari (mvc – mfl) menjadi nol. Jumlah panas yang diabsorbsi qc disebut dengan kapasitas pendinginan. Kapasitas pendinginan dapat diketahui dari rumus : 0 h dmev ....................................................................... (13) ( m vc − m fl ) fg
Qe = ∫
Koefisien prestasi pendingin absorpsi dinyatakan dengan besaran coefficient
of performance (COP) yang merupakan perbandingan antara jumlah panas selama proses regenerasi dengan kapasitas pendinginan yang terjadi di tabung K-E dan dinyatakan dengan :
COP =
Qe Qg
........................................................................................... (14)
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Waktu dan Tempat Pengujian dilakukan pada bulan Desember 2007 – Februari 2008
bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berada di daerah Leuwikopo, Bogor.
4.2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan aqua-amonia,
sedangkan peralatan yang dipakai antara lain : 1. Mesin pendingin absorpsi tipe icyball Mesin pendingin ini terdiri dari dua buah unit tabung dengan diameter 200 mm dan tinggi 240 mm. Tabung pertama merupakan unit generator – absorber disebut dengan tabung G – A, sedangkan tabung kedua merupakan unit kondensor – evaporator disebut dengan tabung K – E. Kedua tabung dihubungkan dengan pipa penghubung yang dilengkapi dengan katup yang berfungsi untuk memisahkan antara siklus regenerasi dan siklus refrigerasi. Pressure gauge khusus ammonia yang terbuat dari bahan stainless steel dipasang pada kedua tabung untuk mengukur tekanan dan pada tabung G – A dilengkapi dengan level
gauge untuk mengetahui volume dari larutan aqua-ammonia yang berada di dalam tabung G – A. Berikut adalah gambar dari mesin pendingin absorpsi tipe icyball :
Katup penghubung
Pressure Gauge
Katup Termokopel Kran
Level gauge
Tabung G - A Tabung K - E
Gambar 8. Mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball 2. Hybrid recorder Yokogawa tipe 308123 3. Termokopel tipe C-C sebanyak 2 buah 4. Termokopel tipe K sebanyak 2 buah. 5. Gerobak dengan dimensi 121 cm X 52 cm X 112 cm 6. Pompa vakum 7. Mistar 8. Selang penghubung
4.3
Prosedur Pengujian Pengujian dilakukan dalam beberapa tahap, meliputi (1) perbaikan dan
modifikasi mesin pendingin, (2) Uji tekanan dan vakum dari mesin pendingin (3) Uji kinerja mesin pendingin, (4) Analisa performansi mesin pendingin
Diagram Alir Penelitian : Perbaikan dan modifikasi Mesin Pendingin Icyball
Bocor
Uji Tekanan/ kevakuman
Tidak Running Mesin Pendingin Icyball
Melakukan uji kinerja mesin pendingin absorpsi
Mendapatkan COP mesin pendingin
Menganalisis kinerja mesin pendingin absorpsi intermitten
Menganalisis parameter yang mempengaruhi performa mesin pendingin absorpsi Gambar 9. Diagram alir penelitian
4.4
Tahapan-tahapan pengujian
a. Perbaikan dan modifikasi mesin pendingin Perbaikan dan modifikasi dilakukan untuk mendapatkan kinerja mesin pendingin yang optimal serta untuk mendapatkan parameter-parameter yang digunakan untuk analisis performansi mesin pendingin. Mesin pendingin icyball beroperasi pada tekanan tinggi dan rawan korosi karena menggunakan ammonia sebagai fluida kerja. Perbaikan dilakukan pada bagian pressure gauge dan level
gauge. Pressure gauge yang digunakan merupakan pressure gauge khusus untuk ammonia, terbuat dari bahan stainless steel. Level gauge merupakan bagian yang rawan terjadi kebocoran yaitu pada sambungan antara pipa acrylic dan knee yang dilem menggunakan lem epoxy. Kebocoran ini terjadi pada tekanan yang tinggi sehingga diperlukan mekanisme level gauge yang tahan tekanan tinggi dan terbuat dari stainless steel. Bagian lain yang masih terjadi kebocoran adalah pada tutup tabung G-A, sehingga perlu dikencangkan lagi dengan memasang packing yang baru dan dipasang dengan baut yang dikencangkan.
b. Uji tekanan dan vakum Masalah utama yang perlu diperhatikan dalam mesin pendingin absorpsi tipe Icyball ini adalah masalah kebocoran. Prinsip kerja dari mesin pendingin
Icyball adalah berdasarkan adanya beda tekanan dari kedua tabung untuk dapat mengalirkan fluida kerja, sehingga apabila terjadi kebocoran pada salah satu tabung dapat mengakibatkan menurunnya performa mesin pendingin atau bahkan tidak dapat bekerja sama sekali. Sumber kebocoran pada mesin pendingin ini terdapat pada sambungan-sambungan pipa yang kurang rapat. Perbaikan dan modifikasi pada mesin pendingin yang telah dilakukan berarti membuka sambungan-sambungan pipa yang ada. Oleh karenanya perlu dilakukan penyambungan kembali pipa-pipa dengan kuat agar tidak terjadi kebocoran. Uji kebocoran
dilakukan
dengan
memberikan
tekanan pada kedua tabung
menggunakan udara bertekanan dari mesin kompresor.
Gambar 10. Uji kebocoran mesin pendingin menggunakan udara bertekanan
c. Prosedur Pengoperasian Mesin Pendingin Icyball 1. Proses pengisian larutan ammonia – air a. Tabung G-A dan tabung K-E divakum menggunakan pompa vakum dan katup penghubung dalam keadaan terbuka. b. Setelah kondisi vakum, katup penghubung ditutup. c. Tabung G-A diisi dengan larutan ammonia – air dengan menghubungkan selang antara katup masuk tabung G-A dengan jirigen yang berisi larutan ammonia – air. Katup penghubung tertutup
`
Vakum
Larutan ammonia – air
Tabung K – E
Tabung G – A
Gambar 11. Proses pengisian larutan ammonia – air ke dalam tabung G – A
2. Proses regenerasi – kondensasi Tabung G-A dipanasi menggunakan air panas sehingga suhu dan tekanan dlarutan ammonia dalam tabung naik dan menghasilkan uap ammonia, sedangkan tabung K-E didinginkan dengan air. Katup penghubung dibuka sehingga uap ammonia mengalir menuju tabung K-E. Uap ammonia akan mengalami proses kondensasi sehingga menghasilkan ammonia cair. Kedua tabung akan mempunyai tekanan yang sama-sama tinggi. Setelah beberapa saat katup penghubung ditutup. Katup penghubung terbuka
Larutan ammonia
Uap ammonia Tekanan tinggi
Refrigeran ammonia
Air dingin
Tabung K-E
Tabung G-A
Air panas
Gambar 12. Proses regenerasi – kondensasi
3. Penurunan tekanan tabung G – A Tabung G-A direndam dengan air dingin dengan tujuan untuk menurunkan suhu dan tekanannya, sehingga ketika suhu dan tekanannya turun maka tabung G-A sekarang berfungsi sebagai absorber. Sedangkan tekanan dalam tabung K-E tetap tinggi dan suhunya sama dengan suhu lingkungan.
Katup penghubung tertutup
Larutan ammonia konsentrasi rendah
Refrigeran ammonia
Tabung K-E
Air dingin
Tabung G-A
Gambar 13. Proses penurunan tekanan tabung G-A
4. Proses evaporasi – absorpsi Proses ini berlangsung di dalam gerobak dimana mesin pendingin diletakkan pada bagian bawah gerobak dan antara tabung G-A dan tabung K-E diberi sekat yang diberi celah untuk masuknya pipa penghubung. Proses refrigerasi berawal ketika katup penghubung dibuka dan akibat perbedaan tekanan, sejumlah uap ammonia berpindah ke dalam tabung G-A. Pada saat terjadi kesetimbangan tekanan maka refrigeran ammonia menguap dan menyerap panas dari lingkungan. Katup penghubung terbuka Uap ammonia yang berpindah
Larutan ammonia
Refrigeran ammonia
Tabung K-E
Tabung G-A
Gambar 14. Proses evaporasi – absorbsi
Gambar 15. Proses refrigerasi di dalam gerobak Untuk mendapatkan kinerja mesin pendingin icyball ini dilakukan tiga kali pengujian. Proses regenerasi berlangsung selama 3 jam menggunakan air panas sementara proses kondensasi pada tabung K-E menggunakan air. Penurunan tekanan tabung G-A dilakukan dengan cara merendam tabung G-A ke dalam bak berisi air sumur dengan suhu antara 27 – 35 oC selama 3 jam. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu minimum evaporator yang dapat dicapai serta nilai koefisien performa mesin pendingin (COP) untuk masing-masing tekanan. Dalam pengujian digunakan beberapa titik pengukuran pengambilan data. Data-data yang diambil berupa data suhu dan tekanan. Untuk penempatan titik pengkuran suhu dapat dilihat pada Gambar 8.
•
Titik 1 adalah titik pengukuran suhu larutan dalam tabung G-A. Alat ukur yang digunakan adalah termokopel batang tipe K.
•
Titik 2 adalah titik pengukuran suhu larutan dalam tabung K-E. Alat ukur yang digunakan adalah termokopel batang tipe K.
•
Titik 3 adalah titik pengukuran tekanan dalam tabung G-A. Alat ukur yang digunakan adalah ammonia pressure gauge.
•
Titik 4 adalah titik pengukuran tekanan dalam tabung K-E. Alat ukur yang digunakan adalah ammonia pressure gauge.
3
4
1 2 Gambar 16. Titik-titik pengukuran dalam pengujian Selain titik pengukuran tersebut masih terdapat tiga titik pengukuran suhu. Titik pertama menempel pada dinding luar tabung K-E digunakan untuk mengukur efek pendinginan, titik kedua terdapat pada air pemanas pada tabung G-A, dan titik ketiga mengukur suhu lingkungan di sekitar mesin pendingin.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi Mesin pendingin icyball beroperasi pada tekanan tinggi dan rawan korosi karena menggunakan ammonia sebagai fluida kerja. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sudrajat (2007), menggunakan tekanan sebesar 3 bar dengan suhu regenerasi 70
o
C dan suhu minimum evaporasi yang dihasilkan 26,8
o
C.
Perbaikan dilakukan pada bagian pressure gauge dan level gauge (Lampiran 2).
Pressure gauge yang digunakan merupakan pressure gauge khusus untuk ammonia, terbuat dari bahan stainless steel. Level gauge merupakan bagian yang rawan terjadi kebocoran yaitu pada sambungan antara pipa acrylic dan knee yang dilem menggunakan lem epoxy. Kebocoran ini terjadi pada tekanan yang tinggi sehingga diperlukan mekanisme level gauge yang tahan tekanan tinggi dan terbuat dari stainless steel. Bagian lain yang masih terjadi kebocoran adalah pada tutup tabung G-A, sehingga perlu dikencangkan lagi dengan memasang packing yang baru dan dipasang dengan baut yang dikencangkan.
Gambar 17. Perbaikan mesin pendingin icyball
Uji tekanan dilakukan dengan cara memasukkan udara bertekanan dari kompresor melalui saluran masuk, kemudian untuk mengecek adanya kebocoran atau tidak, dilakukan tes menggunakan air sabun yang dioleskan pada seluruh bagian mesin. Apabila ada kebocoran pada salah satu bagian mesin, maka akan timbul gelembung sabun pada bagian yang bocor tersebut. Hasil uji tekanan yang telah dilakukan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa mesin pendingin ini mampu menahan tekanan sebesar 8 kg/cm2 selama 5 jam. Turunnya tekanan pada pengujian ini disebabkan karena adanya goncangan yang diakibatkan karena pemindahan mesin dari satu tempat ke tempat lain saat pengujian.
Analisis Kinerja Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Tekanan dan Suhu Proses Pengujian pada mesin pendingin ini dilakukan sebanyak tiga kali, dan proses kerja yang terjadi pada mesin pendingin absorpsi intermitten untuk uji I dapat dilihat pada Gambar 18, yang memperlihatkan hubungan tekanan dan suhu selama proses berlangsung terhadap waktu, sedangkan proses kerja untuk uji II dan uji III dapat dilihat di Lampiran 3 dan 4. 1. Proses regenerasi – kondensasi Tekanan dan suhu pada tabung G-A dan tabung K-E meningkat saat panas diberikan hingga mencapai tekanan regenerasi maksimum yang dapat diberikan yaitu 5,5 bar. Tekanan tabung G-A meningkat seiring dengan peningkatan suhu dari sumber panasnya, sedangkan tekanan tabung K-E meningkat akibat prinsip kesetimbangan tekanan pada bejana berhubungan. Pada proses ini tekanan regenerasi sama dengan tekanan kondensasi, dan terjadi perbedaan suhu antara kedua tabung. Suhu larutan ammonia di dalam tabung G-A meningkat akibat proses regenerasi, sedangkan suhu larutan ammonia di dalam tabung K-E hampir sama dengan suhu air yang digunakan untuk proses kondensasi. Suhu maksimum larutan ammonia di dalam tabung G-A adalah 97,4 oC, sedangkan suhu larutan ammonia di tabung K-E pada akhir proses adalah 34,6 oC.
2. Proses penurunan tekanan tabung G-A Tekanan tabung G-A menurun secara drastis ketika didinginkan menggunakan air hingga mencapai tekanan vakum (± 0,6 bar). Penurunan tekanan ini sebanding dengan penurunan suhu larutan ammonia, dimana tekanan pada tabung G-A turun sampai mencapai tekanan minimumnya sementara suhu larutan ammonia sama dengan suhu air yang dipakai untuk mendinginkan tabung (± 36 oC). Tekanan pada tabung K-E juga turun tetapi tidak terlalu signifikan (± 3,9 bar) akibat kondisi larutan ammonia di dalamnya yang belum stabil dan suhunya relatif konstan (± 33 oC). Perbedaan tekanan yang ditimbulkan ini diperlukan untuk proses refrigerasi, yaitu tekanan maksimum pada tabung K-E yang berisi larutan ammonia konsentrasi tinggi dan tekanan minimum pada tabung G-A yang berisi larutan ammonia konsentrasi rendah. 3. Proses evaporasi – absorbsi Tekanan awal tabung G-A adalah 0,5 bar sedangkan tekanan awal tabung K-E adalah 3,9 bar. Tekanan tabung K-E turun secara drastis akibat dibukanya katup penghubung hingga tekanannya setimbang dengan tekanan tabung G-A yaitu 0,7 bar. Akibatnya larutan ammonia konsentrasi tinggi yang terdapat di dalam tabung K-E terevaporasi pada tekanan rendah menghasilkan efek pendinginan dengan mengambil panas dari suhu sekeliling. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan suhu yang cukup drastis di dalam tabung K-E dari semula 28 oC turun menjadi 19,4 oC. Uap refrigeran ammonia ini diabsorbsi oleh larutan ammonia encer yang tertinggal dalam tabung G-A yang mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu larutan yang relatif kecil, dan terdapat sejumlah panas yang dikeluarkan ke lingkungan.
P G-A
P K-E
T G-A
T K-E
6
120
Penurunan tekanan tabung G-A
Evaporasi – Absorpsi
5
100
4
80
3
60
2
40
1
20
0
0 0
30
60
90
120
150 180
0
30
60
90
120 150
180
0
5
10
15
20
25
35
45
55
waktu (menit)
Gambar 18. Grafik hubungan tekanan dan suhu selama proses terhadap waktu untuk uji I
65
75
85
95
suhu (oC)
tekanan (b ar)
Regenerasi Kondensasi
Konsentrasi Larutan Ammonia Grafik suhu – konsentrasi yang menggambarkan kondisi larutan ammonia selama proses berlangsung pada uji I ditunjukkan oleh Gambar 19, sedangkan grafik suhu – konsentrasi untuk uji II dan III dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. 170 160
garis uap jenuh
150 140
p = 5,5 bar
130
garis cair jenuh
120 110
3
100
p = 3,9 bar
90
3” 2”
2
80
p = 5,5 bar
suhu (oC)
70 60 50 40
2*3* 1; 5
30
4
20
1*
4*
5*
10 0 -10
p = 0,8 bar
-20
p = 0,5 bar
-30 -40
p = 0,7 bar
-50 -60 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
konsentrasi
1,2,3,4,5
: Larutan ammonia di dalam tabung G-A
2”,3”
: Uap ammonia hasil proses regenerasi
1*,2*,3*,4*,5* : Larutan ammonia di dalam tabung K-E
Gambar 19. Grafik suhu – konsentrasi pada uji I
0.9
1
Proses regenerasi pada tabung G-A disamping menaikkan tekanan dan suhu juga terjadi proses pelepasan uap ammonia dari larutan ammonia. Terlepasnya uap ammonia pada proses 2-3 Gambar 19 mengakibatkan turunnya konsentrasi larutan ammonia dalam tabung G-A dari 25,2 % menjadi 22,38 % di akhir proses regenerasi. Pada saat yang bersamaan uap ammonia tekanan tinggi keluar dari tabung G-A setelah melalui proses rektifikasi. Proses rektifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan uap ammonia konsentrasi tinggi yang mengalir menuju tabung K-E yang didinginkan dengan air supaya terjadi proses kondensasi uap ammonia dengan harapan untuk mendapatkan refrigeran ammonia dengan konsentrasi tinggi. Konsentrasi refrigeran ammonia yang terbentuk pada akhir proses regenerasi (titik 2*3*) pada tekanan 5.5 bar dan suhu kondensasi 34 oC adalah 56,87 %. Pada saat penurunan tekanan tabung G-A (proses 3-4), turunnya tekanan dan suhu tabung G-A mengakibatkan konsentrasi larutan ammonia juga sedikit turun menjadi 21,95%. Sedangkan refrigeran ammonia yang terbentuk di tabung K-E pada titik 4* mempunyai konsentrasi 53,7 %. Konsentrasi refrigeran yang dihasilkan ini berbeda dengan konsentrasi pada akhir proses kondensasi, penurunan konsentrasi ini disebabkan karena kondisi refrigeran pada akhir proses kondensasi masih belum stabil dimana masih belum terjadi kesetimbangan antara uap dan cairannya. Kesetimbangan massa setelah proses regenerasi – kondensasi merupakan perbandingan massa awal larutan ammonia dengan massa larutan ammonia setelah proses regenerasi dan massa refrigeran yang terbentuk di dalam kondensor, dimana Larutan awal, m1 = 2,996 kg dan X1’ = 25,2 % Larutan setelah proses regenerasi : m4 = 2,87 kg dan X4 = 21,9 % Larutan ammonia yang terbentuk di kondensor : m3* = 0,108 kg dan X3* = 53,7 % Dari perhitungan persamaan 6, terdapat selisih sekitar 0,0672 kg antara jumlah massa larutan awal di dalam tabung G-A dengan jumlah larutan ammonia yang terbentuk di tabung K-E dan jumlah massa larutan dalam tabung G-A setelah proses regenerasi. Hal ini disebabkan karena pada saat rektifikasi terdapat uap ammonia yang terkondensasi di pipa penghubung.
Pada awal proses evaporasi – absorbsi, sejumlah uap refrigeran ammonia dalam tabung K-E berpindah ke tabung G-A sehingga konsentrasi refrigeran di dalam tabung K-E turun menjadi 32,94 % yaitu pada titik 5*, sedangkan larutan ammonia di dalam tabung G-A menigkat konsentrasinya menjadi 23,87 % pada titk 5. Refrigeran ammonia yang tertinggal di dalam tabung K-E mengalami proses evaporasi dan uapnya diabsorbsi oleh larutan absorber konsentrasi lemah yang ada dalam tabung G-A, akibatnya konsentrasi larutan dalam tabung K-E turun menjadi 26,76 % sedangkan larutan absorber bertambah konsentrasinya menjadi 25,44 %.
Entalpi Campuran Gambar 20 memperlihatkan entalpi larutan ammonia yang terjadi selama proses untuk uji I, sedangkan grafik entalpi – konsentrasi untuk uji II dan III dapat dilihat pada lampiran 7 dan 8. Entalpi dari suatu campuran dipengaruhi oleh suhu yang diberikan, dimana semakin besar suhu maka semakin besar pula entalpinya. Proses 1 – 2 – 3 merupakan proses regenerasi untuk memisahkan uap ammonia dari larutannya sehingga konsentrasi larutan ammonia di dalam tabung K-E berkurang. Proses regenerasi yang dilakukan pada uji I menaikkan suhu larutan ammonia maksimum dalam tabung G-A sebesar 97,4 oC. Larutan ammonia pada suhu ini mempunyai entalpi dalam fase cairnya sebesar 262,36 kJ/kg dan entalpi dalam fase uap sebesar 1646,667 kJ/kg. Nilai entalpi ini dimasukkan dalam persamaan 8 untuk menghitung jumlah panas regenerasi. Pada siklus refrigerasi, refrigeran ammonia di dalam tabung K-E (titik 5*) mengalami proses evaporasi yang menyebabkan penurunan suhu tabung K-E dan menghasilkan efek pendinginan. Besarnya entalpi penguapan refrigeran ammonia ini merupakan selisih antara entalpi refrigeran pada fase cair sebesar -138,681 kJ/kg dan entalpi refrigeran pada fase uap yaitu sebesar 1352,384 kJ/kg, dan didapat nilai entalpi penguapan refrigeran hfg sebesar 1491,065 kJ/kg. Nilai ini kemudian dimasukkan ke dalam persamaan 13 untuk mendapatkan besarnya kapasitas pendinginan.
2700
2500
2300
p = 5,5 bar
2100
1900
p = 0,8 bar 1700
3” 2”
entalpi (kJ/kg)
1500
1300
1100
900
700
p = 5,5 bar p = 3,9 bar
500
3
300
97,4 oC 2 34,6 oC 93,1 oC
100
1; 5 -100
o
29,7 C
4
2*3*
1*
4*
5*
p = 0,8 bar
o
-300
19,4 C p = 0,5 bar
p = 0,7 bar
-500 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
konsentrasi
1,2,3,4,5
: Larutan ammonia di dalam tabung G-A
2”,3”
: Uap ammonia hasil proses regenerasi
1*,2*,3*,4*,5* : Larutan ammonia di dalam tabung K-E Gambar 20. Grafik entalpi – konsentrasi pada uji I
0.9
1
Performa Mesin Pendingin Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai COP untuk mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball pada uji I adalah 0,1487. Nilai COP yang rendah ini menunjukkan efek pendinginan yang dihasilkan jauh lebih kecil daripada jumlah panas yang diberikan pada proses regenerasi. Kebutuhan panas untuk proses regenerasi dalam siklus pendinginan absorpsi intermitten ini adalah sekitar 1080,08 kJ dan waktu yang diperlukan untuk proses regenerasi adalah 3 jam. Selama proses regenerasi suhu maksimum yang dicapai adalah 97,4 o
C menghasilkan tekanan 5,5 bar dengan suhu kondensasi antara 29 - 34 oC. Kapasitas pendinginan yang dihasilkan oleh mesin pendingin absorpsi ini
kecil yaitu sekitar 160,574 kJ. Kecilnya kapasitas pendinginan ini ada hubungannya dengan sedikitnya jumlah larutan ammonia yang terevaporasi di tabung K-E, dimana pada saat katup penghubung dibuka, sejumlah uap ammonia di dalam tabung K-E berpindah ke tabung G-A, larutan ammonia konsentrasi tinggi yang tertinggal di tabung K-E terevaporasi dan uapnya diabsorbsi oleh larutan ammonia encer di tabung G-A. Suhu terendah yang dapat dicapai oleh tabung dalam K-E sekitar 19,4 oC dan suhu luar tabung 24,3 oC. Penurunan suhu yang drastis ini hanya berlangsung sekitar 30 menit, selanjutnya akibat beban pendinginan maka suhu tabung K-E baik di dalam maupun di luar hampir sama dengan suhu lingkungan, Beban pendinginan yang diterima oleh mesin pendingin ini berupa panas ruangan yang ada di dalam gerobak serta panas yang ditimbulkan oleh fan. Gambar 21 menunjukkan distribusi suhu yang terjadi pada uji I, sedangkan distribusi suhu untuk uji II dan III dapat dilihat pada lampiran 9.
T ruangan
T K-E in
T K-E out
100 120 menit ke-
140
31
29
suhu (o C)
27
25
23
21
19
17 0
20
40
60
80
160
180
200
Gambar 21. Distribusi suhu yang terjadi pada uji I
Perbandingan Kinerja Tiap Pengujian Hasil uji kinerja mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball untuk masing-masing pengujian ditunjukkan oleh Tabel 6. Ada dua hal yang menunjukkan performa dari suatu mesin pendingin ini, yaitu suhu minimum tabung K-E saat proses refrigerasi dan koefisien performansi (COP) mesin pendingin.
Tabel 6. Perbandingan hasil uji kinerja mesin pendingin absorpsi intermitten Proses Awal Regenerasi Kondensasi
Penurunan tekanan tabung G-A
Evaporasi Absorpsi
Analisa data
•
Parameter Massa larutan NH3 awal (kg) Konsentrasi larutan NH3 awal (%) Tabung G-A Tekanan (bar) Suhu regenerasi (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) Tabung K-E Tekanan (bar) Suhu kondensasi (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) Tabung G-A Tekanan (bar) Suhu larutan NH3 (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) Tabung K-E Tekanan (bar) Suhu larutan NH3 (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) Tabung G-A Tekanan (bar) Suhu larutan NH3 (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) Tabung K-E Tekanan (bar) Suhu minimum larutan NH3 (oC) Konsentrasi larutan NH3 (%) mvg (kg) mvc (kg) mfl (kg) mev (kg) Qg (kJ) hfg (kJ/kg) Qe (kJ) COP
Uji I 2.996 25,2 5.5 97,4 22,38 5.5 29 – 34 56,87 0,5 28,1 21,95 3.9 28 53,7 0,7 29,7 25,44 0,7
Uji II 2,969 28,2 6 95 24,95 6 28 – 35 58,73 0,6 28,2 24,25 3.6 28,8 51,46 1 32,9 28,48 1
Uji III 3.013 26,76 6.5 99,8 24,15 6.5 27 – 33 62,58 0,6 31,3 23,59 5.5 31 59,75 0,8 30,5 26,77 0,8
19,4
21,6
16,3
26,76 0.1279
27,24 0.1382 0.1207 0.1084 0.00076 0.00072 0.10767 0.1199 1080.08 1107.6 1491,06 1489,53 160.574 178,664 0.1487 0.1613
27,86 0.1199 0.1026 0.00513 0.0974 1178.10 1507,23 146.880 0.1246
Suhu minimum tabung K-E pada proses refrigerasi Suhu minimum tabung K-E pada proses refrigerasi dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya konsentrasi larutan ammonia yang dihasilkan melalui proses regenerasi – kondensasi. Semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia yang dihasilkan, maka suhu minimum tabung K-E juga semakin rendah. Indikator yang menunjukkan konsentrasi larutan yang tinggi adalah tekanan tabung K-E tetap tinggi pada suhu lingkungan. Tekanan maksimum yang dihasilkan proses regenerasi – kondensasi untuk masing-masing pengujian uji I, II, dan III secara berturut-turut yaitu 5.5 bar, 6 bar, dan 6.5 bar (Gambar 22). Tekanan ini sama dengan tekanan jenuh larutan
ammonia di dalam tabung G-A dan berlangsung konstan sampai suhu regenerasi maksimum yang dapat dicapai. Pada tabung K-E, uap ammonia tekanan tinggi dari tabung G-A berkondensasi membentuk larutan ammonia konsentrasi tinggi yang dipengaruhi oleh suhu kondensasi tabung K-E. Tekanan yang dihasilkan pada uji III cenderung lebih konstan dibanding dengan kedua uji yang lain, hal ini disebabkan suhu kondensasi pada uji III lebih konstan dibanding dengan kedua pengujian lainnya. uji I
uji II
uji III
7
6
te k a n a n (b a r )
5
4
3
2 1
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
menit ke-
Gambar 22. Tekanan regenerasi pada masing-masing pengujian Tekanan tabung K-E pada masing-masing pengujian mengalami penurunan pada proses selanjutnya. Turunnya tekanan pada tabung K-E ini diakibatkan belum stabilnya larutan ammonia yang terbentuk pada suhu lingkungan. Tinggi rendahnya konsentrasi larutan ammonia yang terbentuk, salah satunya dipengaruhi oleh suhu kondensasi tabung K-E. Gambar 23 menunjukkan suhu kondensasi selama proses regenerasi – kondensasi untuk masing-masing pengujian.
uji I
uji II
uji III
40
o
suhu kondensasi ( C)
35
30
25
20
15
10 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
waktu (menit)
Gambar 23. Suhu kondensasi selama proses regenerasi – kondensasi pada masing-masing pengujian. Dari ketiga pengujian, suhu kondensasi pada uji III menunjukkan suhu yang paling rendah, diikuti oleh uji I dan uji II. Setelah proses regenerasi – kondensasi, tekanan tabung K-E untuk uji I, II, dan III berturut-turut adalah 3,9 bar; 3,6 bar; dan 5,5 bar. Berdasarkan suhu dan tekanannya, konsentrasi larutan ammonia di tabung K-E yang terbentuk pada uji III adalah yang paling tinggi, yaitu sekitar 59,75 %; berturut-turut kemudian adalah uji I sebesar 53,7 % dan uji II sebesar 51,46 %. Proses penurunan tekanan tabung G-A bertujuan untuk menciptakan beda tekanan yang optimal antara tabung G-A dan tabung K-E, yaitu tekanan minimum pada tabung G-A dan tekanan maksimum pada tabung K-E. Beda tekanan yang optimal ini dapat tercapai apabila terdapat beda konsentrasi antara larutan ammonia di dalam tabung K-E dan larutan ammonia yang ada di dalam tabung GA, dimana yang diharapkan adalah konsentrasi larutan ammonia yang tinggi di tabung K-E dan konsentrasi larutan ammonia yang rendah di tabung G-A. Beda
tekanan yang dihasilkan pada proses penurunan tekanan untuk masing-masing pengujian dapat dilihat pada gambar 24. uji I
uji II
uji III
5.5 5.0
beda tekanan (bar)
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
waktu (menit)
Gambar 24.
Beda tekanan antara tabung K-E dan G-A pada akhir proses penurunan tekanan tabung G-A
Tekanan awal saat siklus refrigerasi untuk masing-masing pengujian adalah 3.9 bar untuk uji I, 3.6 bar untuk uji II, dan 5.5 bar untuk uji III. Pada saat katup dibuka, suhu dan tekanan tabung K-E turun secara drastis bersamaan dengan berpindahnya sejumlah ammonia dari tabung K-E ke tabung G-A sehingga menurunkan konsentrasi larutan ammonia di tabung K-E dan menambah konsentrasi larutan ammonia di tabung G-A. Konsentrasi larutan ammonia yang tertinggal di tabung K-E untuk masing-masing pengujian, berturut-turut untuk uji I, uji II, dan uji III adalah 32,94 %, 31,7 %, dan 46,83 %. Larutan ammonia yang tertinggal ini kemudian terevaporasi pada tekanan rendah sehingga tercipta efek pendinginan dan uapnya diabsorpsi oleh larutan ammonia di tabung G-A. Suhu minimum yang mampu dihasilkan oleh tabung K-E untuk masing-masing pengujian adalah 19,4 oC untuk uji I, 21,6 oC untuk uji II, dan 16.3 oC untuk uji III. Gambar 25 memperlihatkan suhu minimum tabung K-E yang dicapai pada siklus refrigerasi untuk masing-masing pengujian.
uji I
uji II
uji III
35
o
suhu minimum tabung K-E ( C)
30
25
20
15
10
5
0 0
20
40
60
80
100
120
140
menit ke-
Gambar 25. Suhu minimum tabung K-E yang dicapai masing-masing pengujian Pada proses evaporasi – absorpsi ini, waktu yang efektif digunakan untuk pendinginan hanya sebentar yaitu sekitar 30 menit, hal ini ditunjukkan oleh kenaikan suhu yang relatif cepat, dimana setelah ± 30 menit suhu evaporator hampir sama dengan suhu ruangan. Hal ini dikarenakan massa larutan ammonia yang terkumpul di tabung K-E sedikit yaitu 0,1084 kg pada uji I, 0.1207 kg pada uji II, dan 0.1026 kg pada uji III sehingga waktu evaporasi atau pengambilan panas dari lingkungan juga sebentar. Massa refrigeran yang kecil ini erat kaitannya dengan banyaknya uap ammonia yang dapat dihasilkan oleh proses proses rektifikasi yaitu proses pemurnian uap ammonia yang kurang baik. Dari level gauge dapat dilihat bahwa setelah proses regenerasi penurunan ketinggian ammonia relatif kecil yaitu sekitar ± 0.1 liter.
•
Koefisien performansi mesin pendingin Koefisien prestasi (COP) dari mesin pendingin absorpsi dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu jumlah panas yang diberikan pada proses regenerasi dan kapasitas pendinginan yang dihasilkan. Jumlah panas regenerasi tergantung dari suhu tabung G-A maksimum yang diberikan dan jumlah massa uap yang dihasilkan oleh proses regenerasi. Dari ketiga pengujian, jumlah panas regenerasi paling
besar adalah pada uji III yaitu sebesar 1178,1 kJ dengan suhu maksimum generator 99,8 oC dan , lalu uji II diikuti uji I dengan jumlah panas regenerasi berturut-turut adalah 1107,6 kJ dan 1080,08 kJ dengan suhu maksimum generator 95 oC dan 97,4 oC. Jumlah massa uap hasil proses regenerasi untuk uji I, II, dan III berturutturut adalah 0,1279 kg, 0,1382 kg, dan 0,1199 kg. Besarnya nilai mvg ini berkaitan dengan suhu jenuh larutan ammonia yang digunakan dan semakin bertambah sampai suhu maksimum yang diberikan pada tabung G-A, dimana pada uji I, suhu jenuh larutan ammonia adalah sebesar 88,6 oC, uji II adalah 91,3 oC, dan uji III sebesar 94,2 oC. Efek pendinginan yang dihasilkan masing-masing pengujian adalah 160,574 kJ untuk uji I, 178,664 kJ untuk uji II, dan 146,88 KJ untuk uji III. Besarnya efek pendinginan ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu banyaknya larutan ammonia yang terevaporasi di tabung K-E (mev) serta suhu minimum tabung K-E yang dihasilkan. Uji II mempunyai suhu minimum tabung K-E paling tinggi yaitu 21,6 o
C, sehingga entalpi penguapannya juga paling kecil 1489,53 kJ/kg, tetapi massa
larutan ammonia yang terevaporasi
paling besar, yaitu 0,1199 kg sehingga
kapasitas pendinginannya paling besar. Koefisien performansi (COP) mesin pendingin untuk masing-masing pengujian adalah 0.1487 untuk uji I, 0.1613 untuk uji II, dan 0,1246 untuk uji III, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 28. Nilai COP pada uji II paling besar, karena kapasitas pendinginannya juga besar yaitu 178,664 KJ dan jumlah panas regenerasi yang digunakan juga tidak terlalu besar, yaitu sekitar 1107,6 kJ. Uji III meskipun menghasilkan suhu minimum tabung K-E yang paling kecil dibandingkan pengujian yang lain, tetapi jumlah panas regenerasi yang dibutuhkan adalah yang paling besar yaitu 1178,1 kJ dan massa refrigeran yang terevaporasi juga paling sedikit dibanding pengujian yang lain. Nilai COP untuk masing-masing pengujian dapat dilihat pada gambar 26.
uji I
uji II
uji III
0.18
0.16
0.14
COP
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0 0
5
10
15
20
25
30
35
o
Suhu minimum tabung K-E ( C)
Gambar 26. Perbandingan nilai COP untuk masing-masing pengujian
Verifikasi Hasil Pengujian Pengujian terhadap performa mesin pendingin absorpsi intermitten telah dilakukan sebanyak 3 kali dan untuk membandingkan performa dari ketiganya dilakukan simulasi terhadap performa mesin pendingin hasil pengujian berdasarkan data-data yang diperoleh. Simulasi dilakukan menggunakan persamaan (1) sampai (14) dengan program MS-Excel. Asumsi yang diambil dalam simulasi ini antara lain : -
Suhu kondensasi konstan selama proses regenerasi – kondensasi.
-
Penurunan tekanan tabung G-A berlangsung pada konsentrasi konstan. Data-data yang digunakan dalam simulasi ini adalah :
Data
Uji I
Uji II
Uji III
25,2
28
26,76
Suhu regenerasi maksimum ( C)
97,4
95
99,8
Tekanan regenerasi (bar)
5,5
6
6,5
34,6
35,1
33,3
Konsentrasi awal larutan ammonia (%) o
o
Suhu kondensasi ( C)
Proses regenerasi menyebabkan terlepasnya uap dari larutan ammonia. Uap ammonia mulai terbentuk setelah larutan ammonia mencapai tekanan jenuh pada suhu tertentu, dan suhu dimana larutan mencapai tekanan jenuh disebut dengan suhu jenuh larutan. Suhu jenuh larutan ammonia pada masing-masing pengujian berturut-turut untuk uji I, II, dan III adalah 91,7 oC, 88,6 oC, dan 95,8 oC. Gambar 27 menunjukkan banyaknya uap yang dapat dihasilkan oleh masing-masing pengujian. Massa uap yang terbentuk pada proses regenerasi hasil perhitungan ini tidak berbeda jauh dari massa uap hasil pengukuran dan menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana uji II menghasilkan massa uap yang paling banyak, diikuti uji I dan uji III. (Lampiran 11). Hasil pengukuran dengan level gauge dipengaruhi oleh ketelitian dalam melihat penurunan larutan ammonia di dalam tabung G-A, sehingga terjadi perbedaan dengan hasil perhitungan. Uji I hitung
Uji II hitung
Uji III hitung
Uji I ukur
Uji II ukur
Uji III ukur
Massa uap yang dihasilkan proses regenerasi, mvg (kg)
0.2 0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100 101
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 27. Pengaruh suhu regenerasi terhadap massa uap yang dihasilkan proses regenerasi
Besarnya jumlah panas regenerasi dipengaruhi oleh banyaknya jumlah uap yang dihasilkan proses regenerasi serta suhu maksimum yang diberikan pada tabung G-A. Gambar 28 menunjukkan uji III memiliki jumlah panas regenerasi yang paling besar (1178,1 kJ) dibanding pengujian yang lain, dan berdasarkan perhitungan pindah panas, didapat bahwa jumlah panas regenerasi untuk uji III memiliki nilai yang paling besar dibanding uji yang lain (Lampiran 11), hal ini dikarenakan suhu regenerasi maksimum pada uji III adalah yang paling besar yaitu 99,8 oC Uji I hitung
Uji II hitung
Uji III hitung
Uji I ukur
Uji II ukur
Uji III ukur
1300
Jumlah panas regenerasi, Qg (kJ)
1200
1100
1000
900
800
700
600 87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100 101
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 28. Jumlah panas regenerasi pada tiap-tiap pengujian Kapasitas pendinginan yang dihasilkan oleh mesin pendingin absorpsi intermitten dipengaruhi oleh banyaknya uap ammonia yang terkondensasi di dalam tabung K-E. Gambar 28 menunjukkan jumlah uap ammonia yang terkondensasi di dalam tabung K-E, dimana uji II menghasilkan larutan ammonia hasil kondensasi yang paling banyak, yaitu 0,1207 kg diikuti uji I sebesar 0,1084 kg dan uji III sebesar 0,1026 kg.
Uji I
Uji II
Uji III
Massa larutan ammonia yang terkondensasi di tabung K-E, mvc (kg)
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0 86
88
90
92
94
96
98
100
102
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 29. Jumlah uap ammonia yang terkondensasi di dalam tabung K-E Kapasitas pendinginan merupakan besarnya panas yang diserap larutan ammonia di tabung K-E untuk menghasilkan efek pendinginan dan besarnya dipengaruhi oleh banyaknya uap ammonia yang terkondensasi di tabung K-E.. Kapasitas pendinginan yang dapat dihasilkan berturut-turut untuk uji I, II, dan III adalah 160,574 kJ, 178,664 kJ, dan 146,88 kJ. Uji I
Uji II
Uji III
200
Kapasitas pendinginan, Qe (kJ)
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
o
Suhu regenerasi ( C)
Gambar 30. Kapasitas pendinginan yang dihasilkan masing-masing pengujian
Koefisien performansi mesin pendingin absorpsi intermitten merupakan perbandingan antara kapasitas pendinginan dan jumlah panas regenerasi, dan dari hasil simulasi yang dilakukan didapat nilai COP untuk masing-masing pengujian berturut-turut adalah untuk uji I, II, dan III adalah 0,1487; 0,1613; dan 0,1246. Uji I
Uji II
Uji III
0.18 0.16 0.14
COP
0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
o
Suhu regenerasi ( C)
Gambar 31. Koefisien performansi masing-masing pengujian
Analisis Performansi Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Pengujian terhadap mesin pendingin absorpsi intermitten telah dilakukan dan ada beberapa permasalahan yang timbul saat pengujian yang mengakibatkan performansi mesin pendingin tidak optimal. Permasalahan tersebut antara lain adalah konsentrasi awal larutan ammonia yang rendah, suhu kondensasi yang masih tinggi (± 30 oC), serta kebocoran alat yang timbul pada saat tekanan tinggi. Simulasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia ,suhu kondensasi tabung K-E, dan proses rektifikasi terhadap performansi mesin pendingin absorpsi intermitten. Performansi mesin pendingin yang akan dianalisa adalah nilai COP yang ditentukan oleh jumlah panas untuk proses regenerasi (Qg) dan efek pendinginan (Qe).
Asumsi yang digunakan dalam simulasi ini antara lain :
•
Kondensasi berlangsung pada suhu konstan selama proses
•
Proses rektifikasi berlangsung sempurna sehingga didapat konsentrasi larutan ammonia murni 100 %.
a. Konsentrasi awal larutan ammonia Konsentrasi awal ammonia merupakan faktor yang mempengaruhi performansi mesin pendingin absorpsi intermitten. Hal ini berkaitan dengan jumlah massa larutan ammonia yang didapat pada tabung K-E. Simulasi dilakukan untuk mengetahui performa mesin pendingin dengan menggunakan konsentrasi awal larutan ammonia yang bervariasi, yaitu 25 %, 30 %, dan 35 % dengan suhu kondensasi yang sama yaitu 30 oC. Gambar 30 menunjukkan pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia di tabung G-A terhadap suhu jenuh larutan ammonia untuk menghasilkan larutan ammonia konsentrasi tinggi di tabung K-E yang bervariasi pada suhu kondensasi 30 oC. Semakin tinggi konsentrasi awal larutan ammonia, maka semakin rendah suhu jenuhnya, sehingga akan semakin banyak uap yang dihasilkan pada suhu regenerasi maksimum. Disamping itu, semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia yang dihasilkan pada tabung K-E (XK-E), semakin tinggi pula suhu jenuh larutan ammonia di tabung G-A pada konsentrasi awal yang sama sehingga membutuhkan suhu regenerasi maksimum yang tinggi pula.
X K-E = 60%
X K-E = 70%
X K-E = 80%
X K-E = 90%
X K-E = 100%
130 120
100
o
suhu jenuh larutan ammonia ( C)
110
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 20
25
30
35
40
45
50
55
Konsentrasi larutan NH3 awal (%)
Gambar 32. Pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia terhadap suhu jenuhnya untuk menghasilkan larutan ammonia yang bervariasi Dari Gambar 32 dapat dilihat bahwa dengan massa larutan awal 3 kg, konsentrasi awal larutan ammonia sebesar 25%, 30 %, dan 35% serta suhu kondensasi 30 oC, untuk menghasilkan larutan ammonia murni 100%, tekanan jenuh larutannya tercapai pada 11,74 bar dengan suhu jenuh larutan masingmasing sebesar 121,9 oC, 110,7 oC, dan 100 oC. Gambar 33 menunjukkan, pada suhu regenerasi maksimum yang sama, semakin tinggi konsentrasi awal larutan ammonia, maka semakin besar pula jumlah panas regenerasi yang dibutuhkan, karena uap ammonia yang dihasilkan juga semakin banyak (Lampiran 12)
X awal = 0.25 5000
X awal = 0.3
X awal = 0.35
Suhu kondensasi 30 oC
Jumlah panas regenerasi, Qg (kJ)
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 80
90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 33. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia Kapasitas pendinginan yang dihasilkan mesin pendingin juga semakin besar dengan menggunakan larutan ammonia dengan konsentrasi tinggi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34 berikut: X awal = 25 % 1000
X awal = 30 %
X awal = 35 %
Suhu kondensasi 30 oC
900
Kapasitas pendinginan, Qe (kJ)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 34. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia
Semakin besar suhu regenerasi yang digunakan akan meningkatkan kapasitas pendinginan, akan tetapi semakin tinggi suhu yang digunakan peningkatan kapasitas pendinginan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan massa larutan ammonia yang terbentuk di dalam tabung K-E lebih sedikit pada suhu tinggi dibanding pada suhu yang rendah dimana uap ammonia yang dihasilkan pada suhu tinggi mengandung lebih banyak uap air sehingga uap ammonia yang dikondensasi menjadi lebih sedikit. COP mesin pendingin absorpsi merupakan perbandingan antara jumlah panas regenerasi dengan efek pendinginan yang terjadi. Gambar 35 menunjukkan hubungan antara suhu regenerasi terhadap COP, dimana pada mulanya COP meningkat hingga mencapai nilai maksimum dan kemudian secara perlahan turun. Kecenderungan ini dikarenakan suhu regenerasi akan meningkatkan jumlah panas regenerasi (Qg) seperti ditunjukkan oleh Gambar 33, sedangkan Gambar 34 menunjukkan menunjukkan bahwa efek pendinginan yang dihasilkan (Qe) pada awalnya naik secara drastis tetapi kemudian konstan, sehingga pada saat Qe konstan dan Qg semakin tinggi maka COP dari mesin akan turun secara perlahan X awal = 25% 0.25
X awal = 30%
X awal = 35%
Suhu kondensasi 30 oC
0.2
COP
0.15
0.1
0.05
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu re ge nerasi, tg ( C)
Gambar 35. COP hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia
b. Pengaruh suhu kondensasi Larutan ammonia dengan konsentrasi tinggi pada kenyataannya sulit untuk didapat, dan yang ada di pasaran mempunyai konsentrasi sekitar 25 – 30 %. Untuk menciptakan larutan ammonia dengan konsentrasi tinggi di tabung K-E menggunakan larutan ammonia konsentrasi rendah, salah satu caranya adalah dengan menggunakan suhu kondensasi yang rendah. Simulasi dilakukan untuk mengetahui performa mesin pendingin dengan menggunakan suhu kondensasi yang bervariasi, yaitu 20 oC, 25 oC, dan 30 oC dengan massa larutan awal 3 kg dan konsentrasi awal larutan ammonia 30 %. Gambar 36 menunjukkan pengaruh suhu kondensasi terhadap suhu regenerasi maksimum dari larutan ammonia dengan konsentrasi awal 30%. Semakin besar suhu kondensasi yang digunakan, maka suhu regenerasi yang digunakan juga semakin besar dan semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia yang ingin diperoleh (XK-E), semakin besar pula suhu regenerasi yang dibutuhkan. X K-E = 60%
X k-E = 70%
X K-E = 80%
X K-E = 90%
X K-E = 100%
130 120
100
o
Suhu jenuh larutan ammonia ( C)
110
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
o
.
Suhu kondensasi ( C)
Gambar 36. Pengaruh suhu kondensasi terhadap suhu regenerasi maksimum yang dibutuhkan proses regenerasi.
Dari Gambar 36 dapat dilihat bahwa untuk menghasilkan larutan ammonia murni 100% di tabung K-E dengan konsentrasi awal larutan ammonia 30% menggunakan suhu kondensasi 20 oC, 25 oC, dan 30 oC, maka suhu jenuh larutan akan tercapai pada suhu 98,2 oC, 104,5 oC, dan 110,7 oC. Hasil simulasi menunjukkan bahwa proses regenerasi larutan ammonia konsentrasi 30% dengan suhu kondensasi 20 oC membutuhkan panas regenerasi yang paling besar. Hal ini dikarenakan pada suhu kondensasi 20 oC, suhu jenuh larutannya lebih rendah, sehingga dengan suhu regenerasi maksimum yang sama mampu menghasilkan massa uap yang lebih banyak (Lampiran 13). Akibatnya semakin besar pula panas regenerasi yang dibutuhkan, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 37. tc = 20 oC
tc = 25 oC
tc = 30 oC
6000
Jumlah panas regenerasi, Qg (kJ)
Konsentrasi awal larutan ammonia 30% 5000
4000
3000
2000
1000
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 37. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi Kapasitas pendinginan dihasilkan pada suhu kondensasi 20 oC juga lebih besar, seperti yang ditunjukkan Gambar 38. Jumlah massa refrigeran yang diperoleh di tabung K-E pada suhu kondensasi 20 oC lebih banyak daripada suhu kondensasi yang lebih tinggi, hal ini sebagai akibat dari banyaknya massa uap yang dihasilkan selama proses regenerasi.
tc = 20 oC
tc = 25 oC
tc = 30 oC
1000
Konsentrasi awal larutan ammonia 30%
Kapasitas pendinginan, Qe (kJ)
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 38. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi Gambar 38 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu regenerasi, pertambahan kapasitas pendinginan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan pada suhu tinggi, konsentrasi uap yang dihasilkan mengandung lebih banyak uap air sehingga uap ammonia yang terkondensasi juga semakin sedikit. Hasil simulasi suhu regenerasi terhadap koefisien performansi mesin pendingin absorpsi intermitten dengan suhu kondensasi yang bervariasi ditunjukkan oleh Gambar 39. tc = 20 oC
tc = 25 oC
tc = 30 oC
0.25
Konsentrasi awal larutan ammonia 30% 0.2
COP
0.15
0.1
0.05
0 80
100
120
140
160
180
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 39. COP hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi
200
Coefficient of Performance (COP) mesin pendingin pada Gambar 37 menunjukkan bahwa dengan suhu kondensasi yang rendah akan meningkatkan nilai COP. Nilai COP ini meningkat seiring dengan meningkatnya suhu regenerasi, tetapi kemudian turun secara perlahan-lahan setelah mencapai nilai yang maksimum. Hal ini dikarenakan pada suhu regenerasi yang tinggi, jumlah panas yang dibutuhkan untuk proses refrigerasi semakin meningkat, sementara kapasitas pendinginan yang tercipta semakin kecil sehingga perbandingan antara kapasitas pendinginan dan jumlah panas regenerasi semakin kecil yang menyebabkan nilai COP-nya turun.
c. Pengaruh proses rektifikasi Proses regenerasi menyebabkan terlepasnya uap dari larutan ammonia, uap yang dihasilkan ini terdiri dari uap air dan uap ammonia. Proses rektifikasi merupakan proses pemurnian ammonia sehingga diharapkan uap yang akan dikondensasikan menghasilkan larutan ammonia konsentrasi tinggi di tabung K-E. Semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia di tabung K-E maka akan semakin rendah suhu minimum evaporasi yang dihasilkan. Simulasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses rektifikasi terhadap performansi mesin pendingin absorpsi intermitten dengan asumsi massa larutan awal 3 kg, konsentrasi awal larutan ammonia 30% dan suhu kondensasi 30 oC. Dari Gambar 32 dan 36 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia yang dihasilkan di tabung K-E, maka semakin tinggi pula suhu dan tekanan yang harus diberikan pada tabung G-A, sehingga untuk menghasilkan larutan ammonia murni diperlukan suhu dan tekanan yang tinggi, yaitu 110 oC dan 11,74 bar. Larutan ammonia dengan konsentrasi yang lebih rendah dihasilkan pada suhu dan tekanan yang rendah pula, hal ini tergantung dari proses rektifikasi yang digunakan. Gambar 40 menunjukkan jumlah panas regenerasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan larutan ammonia dengan konsentrasi yang berbeda di tabung K-E.
X K-E = 1
X K-E = 0.9
X K-E = 0.8
X K-E = 0.7
X K-E = 0.6
JUmlah panas regenerasi, Qg (kJ)
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 40. Jumlah panas regenerasi hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi Gambar 40 menunjukkan bahwa pada suhu regenerasi maksimum yang sama, semakin rendah konsentrasi larutan ammonia di tabung K-E akan semakin besar jumlah panas regenerasi yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan suhu yang tinggi antara suhu jenuh larutan dan suhu regenerasi maksimum sehingga massa uap yang dihasilkan (mvg) juga semakin banyak (Lampiran 14). Kapasitas pendinginan yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyaknya massa larutan ammonia yang terevaporasi di tabung K-E serta suhu minimum tabung KE yang dapat dihasilkan. Larutan ammonia dengan konsentrasi 60% lebih banyak terbentuk dibandingkan dengan larutan ammonia konsentrasi 100 % pada suhu regenerasi yang sama (± 140 oC) sehingga kapasitas pendinginannya pun lebih besar (Gambar 41), meskipun pada tekanan yang sama suhu minimum evaporator yang mampu dihasilkan lebih rendah daripada larutan ammonia konsentrasi 100% (Lampiran 15).
X K-E = 1
X K-E = 0.9
X K-E = 0.8
X K-E = 0.7
X K-E = 0.6
K a p a s ita s p e n d in g in a n , Q e (k J )
1200
1000
800
600
400
200
0 60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 41. Kapasitas pendinginan hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi Gambar 42 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan ammonia di tabung K-E maka akan semakin rendah nilai COP-nya. Hal ini berkaitan dengan jumlah larutan ammonia yang dihasilkan di tabung K-E semakin banyak pada suhu regenerasi yang sama sehingga kapasitas pendinginan yang dihasilkan juga semakin besar. X K-E = 1
X K-E = 0.9
X K-E = 0.8
X K-E = 0.7
X K-E = 0.6
0.35
0.3
0.25
COP
0.2
0.15
0.1
0.05
0 60
70
80
90
100
110
120
130
140
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Gambar 42. COP hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi
150
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :
1. Suhu minimum tabung K-E yang dihasilkan dipengaruhi oleh beda tekanan antara tabung K-E dan tekanan G-A, yaitu tekanan maksimum tabung K-E dan tekanan minimum tabung G-A. Uji III mampu menghasilkan suhu minimum evaporasi paling rendah yaitu 16,3 oC. 2. Performansi mesin pendingin absorpsi ditentukan oleh nilai COP yang merupakan perbandingan antara jumlah panas regenerasi dan kapasitas pendinginan yang dihasilkan. Uji II mempunyai nilai COP yang paling tinggi yaitu 0,1613 dibandingkan dengan uji yang lain. 3. Nilai COP dari mesin pendingin absorpsi ini dipengaruhi oleh jumlah larutan ammonia yang dihasilkan pada tabung K-E. Uji II meskipun mempunyai suhu minimum evaporasi yang besar, tetapi menghasilkan larutan ammonia yang paling banyak, yaitu 0,1382 kg. 4. Hasil simulasi menunjukkan, konsentrasi awal larutan ammonia dan suhu kondensasi tabung K-E berpengaruh terhadap performansi mesin pendingin absorpsi intermitten. Semakin tinggi konsentrasi awal larutan ammonia dan semakin rendah suhu kondensasi yang digunakan akan meningkatkan nilai COP dari mesin pendingin.
6.2
Saran Untuk meningkatkan performa dari mesin pendingin intermitten tipe icyball
ini diperlukan tekanan yang cukup tinggi, maka konstruksi dari mesin pendingin ini perlu diperbaiki agar dapat beroperasi pada tekanan tinggi serta tidak terjadi kebocoran yang dapat menurunkan performa dari mesin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Icyball. http://en.wikipedia.org/wiki/icyball [29 Januari 2008] Ballaney, P.L. 1980. Refrigeration and Air Conditioning. Khanna Publisher. Delhi Brinkworth, B.J. 1977. Refrigeration and Air Conditioning. Di dalam A.A.M. Sayigh. Solar Energy Engineering. Academic Press. New York. Chaouachi, B. dan Gabsi S. 2007. Design and Simulation of an Absorption Diffusion Solar Refrigeration Unit. American Journal of Applied Sciences 4 (2): 85-88. Chinnapa. 1962. Experimental study of intermittent vapour absorption refrigeration cycle employing the refrigerant-absorbent systems of ammonia-water and ammonia-lithium nitrate. Solar Energy, Vol. 5, pp. 1 – 18 Conde-Petit, M. 2006. Thermophysical Properties of NH3-H20 Mixtures for Industrial Design of Absorption Refrigeration Equipment. Tech ETH Zurich Cortez, L.A.B., Larson, D.L., dan da Silva, A. 1997. Energy and Exergy Evaluation of Ice Production by Absorption Refrigeration. Food & Process Engineering Inst. of ASAE. Dossat, R.J. 1981. Principles of Refrigeration. Second Edition. John Wileys & Sons, Inc., New York Duffie, J. A. dan Beckman, W. A. 1980. Solar Engineering of Thermal Processes. John Wileys & Sons, Inc. Canada. El-Mahi, F.E.A and Abdalla, K.N.E. 2005. Design and Testing of Absorption Refrigeration System. Sudan Engineering Society Journal vol.51 no.44 El-Shaarawi, M.A.I and Ramadan, R.A. 1988. Variation of the performance of intermittent solar refrigerators with initial temperature. Solar and Wind Technology vol.5 no.3. Pergamon Press plc. Gosney, W.B. 1982. Principles of Refrigeration. Cambridge Univesity Press. Cambridge Hall, L. 1999. Building Your Own Larry Hall Icyball. http://crosleyautoclub.com/ Icyball/Homebuilt/HallPlans/IB_Direction.html [29 Januari 2008]
Hayadin. 1999. Rancangan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi Intermitten dengan Kombinasi Larutan LiBr – H2O [skripsi]. Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fateta, IPB, Bogor Henderson, S.M. and R.L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. Avi Publishing Co., Connecticut Hudson, D.W. 2002. Ammonia Absorption Refrigeration Plant. The Official Journal of AIRAH. McVeigh. JC. 1984. Solar Cooling and Refrigeration: A report sponsored by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization . Paris, France: Ambient Press Limited Otiti, T. 1986. Solar Absorption Refrigeration [disertasi]. Reading: Departement of Engineering University of Reading. Panggabean RSU. 1992. Pemanfaatan Biomassa Limbah Pertanian untuk Sistem Pendinginan Tipe Absorpsi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Rafferty, K.D. 2003. Absorption Refrigeration. Geo-Heat Center, Bulletin Vol.19 No.1 Chapter 13. Klamath Falls, OR 97601 Rasul, M.G. dan Murphy, A. 2006. Solar Powered Intermittent Absorption Refrigeration Unit. Australasian Power Engineering Conference (AUPEC), Melbourne. Samaritan, Gogor. 1983. Pemanfaatan Surya Sebagai Sumber Energi Pendinginan Hasil-Hasil Pertanian Dengan Mesin Pendingin Type Absorpsi [Skripsi]. Jurusan Keteknikan Pertanian, fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Sparks, N. R. dan DiILLIO, C. C. 1959. Mechanical Refrigeration, second edition. McGraw-Hill Book Company. Tokyo. Stoecker, W.F. dan Jones, J.W. 1987. Refrigeration and Air Conditioning, second edition. McGraw-Hill Book Company. Singapore. Sudrajat, K. 2007. Rancang bangun dan uji kinerja mesin pendingin absorpsi intermitten tipe icyball dengan fluida kerja NH3 – H20 [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Syarief, A.M. dan Kumendong, J. 1992. Penyimpanan Dingin. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Tambunan, A.H. 2003. Alternatif Pengganti Bahan Perusak Ozon Pada Sistem Pendinginan. Bahan Seminar dan Lokakarya Sosialisasi Program Perlindungan Lapisan Ozon dan Penghapusan Bahan Perusak Lapisan Ozon. Departemen GEOMET FMIPA-IPB, Kementrian LH RI, dan United Development Programme, Bogor Tambunan, A.H. 2001. Teknik Pendinginan [Diktat kuliah]. Bogor, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknolgi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Tangka, J.K. dan Kamnang, N.E. 2006. Development of Simple Intermittent Absorption Solar Refrigeration System. International Journal of Low Carbon Technologies vol.I/2 127-138. Manchester University Press Threlkeld, J. L. 1970. Thermal Environmental Engineering, second edition. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Uyun AS. 2001. Sistem Pendingin Absorbsi Intermitten dengan Fluida Kerja LiBr – H2O [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Venkatesh, A. dan Gupta, M.C. 1978. Analysis Of Ammonia-Water Intermittent Solar Refrigerator Operating With A Flat Plate Collector. Di dalam: Verizoglu, T. N. Solar Energy, International Progress. Proceeding Of The International Symposium – Workshop On Solar Energy; Cairo, 16 – 22 June 1978. Pergamon Press, New York. Wahyu, M. Safrudin. 1983. Pengembangan Mesin Pendingin Tipe Absorpsi dengan Bahan Bakar Limbah Pertanian [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Kerja Mesin Pendingin Absorpsi Intermitten Tipe Icyball (Sudrajat, 2007)
Lampiran 1 (Lanjutan)
Lampiran 2. Perbaikan dan Hasil Uji Kebocoran Mesin Pendingin
Ammonia pressure gauge dan Level gauge 9
8
7
tekanan (kg/cm2)
6
5
4
3
2
P G-A P K-E
1
0 0
60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840
900
menit ke-
Hasil uji kebocoran pada mesin pendingin absorpsi tipe icyball
960
1020
Tekanan (bar)
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
0
30
60
90
120 150 180
0
30
60
90
P G-A
Menit ke-
120 150 180
P K-E
0
5
T G-A in
10
15
20
T K-E in
25
35
45
55
65
75
85
95
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Lampiran 3 Grafik hubungan tekanan dan suhu terhadap waktu untuk uji II S uhu (oC)
tekan an (b ar)
0
1
2
3
4
5
6
7
0
30
60
90
120
150 180
0
30
60
90
P G-A
120
menit ke -
150 180
P K-E
0
5
T G-A
10
15
T K-E
20
25
35
45
55
65
75
85
95
0
20
40
60
80
100
120
Lampiran 4 Grafik hubungan tekanan dan suhu terhadap waktu untuk uji III su h u (o C )
Lampiran 5. Grafik Hubungan Suhu – Konsentrasi Pada Uji II
170 160
garis uap jenuh
150 140
p = 6 bar
130 120
garis cair jenuh
110 100
3
3” 2
90
2”
p = 3.6 bar
70
o
suhu ( C)
80 p = 6 bar
60 50 40
2*3* 5
30
4
1
20
4* 5*
10 0 p = 1 bar
-10 -20
p = 0.6 bar
-30 -40
p = 0.8 bar
-50 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
konsentrasi
0.7
0.8
0.9
1
Lampiran 6. Grafik Hubungan Suhu – Konsentrasi Pada Uji III 180
160 garis uap jenuh
140 garis cair jenuh
120
4
100
3” 2”
3
suhu (oC)
80 p = 6.5 bar
60
40
2*3*
5 2
20
2*3*
1 4*
p = 5.5 bar
0
p = 0.8 bar
-20 p = 0.7 bar
-40
-60 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
konsentrasi
0.7
0.8
0.9
1
Lampiran 7. Diagram entalpi – konsentrasi pada uji II 3000
2500
2000
entalpi (kJ/kg)
3”
1500
1000
500 3
0
2
5 4 1
3* 5*
4*
-500 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
konsentrasi
0.7
0.8
0.9
1
Lampiran 8. Diagram entalpi – konsentrasi pada uji III 3500
3000
2500
2000
en talp i (kJ/kg )
3”
1500
1000
500 3
2
0
5 4
3*
1 5*
4*
-500
-1000 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
konsentrasi
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Lampiran 9. Distribusi suhu pada uji II dan uji III T ruangan
T K-E in
T K-E out
33
suhu (o C)
30
27
24
21
18 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
menit ke-
Distribusi suhu pada uji II T ruangan
T K-E in
T K-E out
32 30 28
o
suhu ( C)
26 24 22 20 18 16 14 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
menit ke-
Distribusi suhu pada uji III
100
110
120
130
Lampiran 10. Perhitungan beban pendinginan pada uji I Perhitungan pindah panas pada tabung K-E melibatkan 3 jenis tahanan termal : 1 Tahanan termal konveksi bagian dalam tabung (R1) 2 Tahanan termal konduksi antara bagian dalam dan luar tabung (R2) 3 Tahanan termal konveksi luar tabung (R3)
A Tahanan termal konveksi dalam tabung (R1) koefisien volume ekspansi, β : viskositas dinamik, μ : densitas, ρ : viskositas kinematik, ν : bilangan Prandtl, Pr : konduktivitas termal, k : bilangan Grashof, Gr : : bilangan Rayleigh, Ra Faktor geometrik untuk silinder, Fcyl : bilangan Nuselt, Nu : koefisien pindah panas konveksi, hi : luas permukaan, As : tahanan termal, R1 :
0.003343 1.421E-04 601.1 2.36E-07 1.423 0.4785 1.98E+03 2.82E+03 0.00378 0.6194 197.599 0.122 0.042
1/K kg/m.s kg/m3 m2/s W/m.K
W/m2.K m2 o C/W
B Tahanan termal konduksi antara bagian dalam dan luar tabung ln(Do/Di) 0.0151 : 2πLk 82.896 : o R2 1.823E-04 C/W : C Tahanan termal konveksi luar tabung koefisien volume ekspansi, β viskositas kinematik, ν bilangan Prandtl, Pr konduktivitas termal, k bilangan Reynold, Re bilangan Nuselt, Nu koefisien pindah panas konveksi, ho luas permukaan, As tahanan termal, R3
: : : : : : : : :
0.003331113 1.6071E-05 0.7282 0.02587 9.2590E+04 196.0120 25.3567 0.1256 0.3140
D Tahanan termal total Rtot
:
3.557E-01
E Beda suhu antara bagian dalam dan luar tabung Qe 0.0145 : Δt 5.1457 :
1/K m2/s W/m.C W/m2.K m2 o C/W o
C/W
kW o C
Lampiran 11. Perbandingan massa uap regenerasi (mvg) dan jumlah panas regenerasi (Qg) hasil pengukuran dan perhitungan Pengukuran
Perhitungan
0.2000 0.1800 0.1600
mvg (kg)
0.1400 0.1200 0.1000 0.0800 0.0600 0.0400 0.0200 0.0000
1
2
3
Uji
Perbandingan massa uap regenerasi hasil pengukuran dan perhitungan Pengukuran
Perhitungan
Jumlah panas regenerasi, Qg (kJ)
1400
1200
1000
800
600
400
200
0 1
2
Uji
Perbandingan jumlah panas regenerasi
3
Lampiran 12. Besaran mvg, mvc, mfl, dan mev hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia. X awal = 25%
X awal = 30%
X awal = 35%
0.6
Suhu kondensasi 30 oC
mvg/m2 (kg/kg)
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa uap yang dihasilkan proses regenerasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia X awal = 0.25
Jumlah massa kondensat ammonia, mvc (kg)
1
X awal = 0.3
X awal = 0.35
Suhu kondensasi 30 oC
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 80
90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
Suhu regenerasi, tg (o C)
Massa larutan ammonia yang dihasilkan proses kondensasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia
Lampiran 12. (Lanjutan) X awal = 25%
X awal = 30%
X awal = 35%
Massa uap ammonia yang berpindah ke tabung KE pada proses evaporasi, mfl (kg)
0.3
Suhu kondensasi 30 oC 0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0 80
100
120
140
160
180
200
Suhu rege nerasi, tg (oC)
Massa uap ammonia yang pindah ke tabung G-A pada proses evaporasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia X awal = 25%
M assa larutan ammonia yang terevaporasi di tabung K-E, mev (kg)
0.8
X awal = 30%
X awal = 35%
Suhu kondensasi 30 oC
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa larutan ammonia yang terevaporasi hasil simulasi pengaruh konsentrasi awal larutan ammonia
Lampiran 13. Besaran mvg, mvc, mfl, dan mev hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi. tc = 20 oC
tc = 25 oC
tc = 30 oC
0.7
konsentrasi awal larutan 30% 0.6
mvg/m2 (kg/kg)
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi ( C)
Massa uap yang dihasilkan proses regenerasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi tc = 20 C
tc = 25 oC
tc = 30 oC
Massa larutan ammonia hasil kondensasi pada tabung K-E, mvc (kg)
0.9 konsentrasi awal larutan 30%
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa larutan ammonia yang dihasilkan proses kondensasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi
Lampiran 13. (Lanjutan)
Massa uap ammonia yang balik ke tabung G-A pada proses evaporasi, mfl (kg)
tc = 20 oC
0.25
tc = 25 oC
tc = 30 oC
konsentrasi awal larutan 30%
0.2
0.15
0.1
0.05
0 80
100
120
140
160
180
200
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa uap ammonia yang pindah ke tabung G-A pada proses evaporasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi tc = 20 C
M assa larutan am m onia yang terevaporasi di tabung K-E , m ev (kg)
0.7
tc = 25 oC
tc = 30 oC
konsentrasi awal larutan 30%
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 80
100
120
140
160
180
200
Suhu regenerasi (oC)
Massa larutan ammonia yang terevaporasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi.
Lampiran 14. Besaran mvg, mvc, mfl, dan mev hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi
Massa uap hasil proses regenerasi, mvg (kg)
X= 1
X = 0.9
X = 0.8
X = 0.7
X = 0.6
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 60
80
100
120
140
160
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa uap yang dihasilkan proses regenerasi hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi X= 1
X = 0.9
X = 0.8
X = 0.7
X = 0.6
Massa larutan ammonia yang terkondensasi di tabung K-E, mvc (kg)
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 60
70
80
90
100
110
120
130
140
150
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa larutan ammonia yang dihasilkan proses kondensasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi
Lampiran 14. (Lanjutan) X= 1
X = 0.9
X = 0.8
X = 0.7
X = 0.6
Massa uap ammonia yang pindah ke tabung K-E pada proses evaporasi, mfl (kg)
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 60
80
100
120
140
160
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa uap ammonia yang pindah ke tabung G-A pada proses evaporasi hasil simulasi pengaruh proses rektifikasi
Massa larutan ammonia yang terevaporasi di tabung K-E, mev (kg)
X= 1
X = 0.9
X = 0.8
X = 0.7
X = 0.6
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 60
80
100
120
140
160
o
Suhu regenerasi, tg ( C)
Massa larutan ammonia yang terevaporasi hasil simulasi pengaruh suhu kondensasi
1
0.1
Tekanan (bar)
10
-50
-40
-30
-20
-10
X = 0,6
0
10
y = 0,995
y = 0,999
X = 0,7
X = 0,9
X = 1
20
30
y = 0,99
50
o
60
70
y = 0,85
Temperatur ( C)
40
y = 0,95
X = 0,4
PTX Diagram NH3 - H2O
80
90
y = 0,6
y = 0,8
y = 0,9
100
y = 0,5
y = 0,7
110
120
130
140
150
Lampiran 15. Diagram ptx larutan aqua – ammonia
Lampiran 16. Properti Kriogenik Ammonia