KAJIAN PENGGUNAAN KITOSAN SEBAGAI EDIBLE COATING UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN SOMAY IKAN PADA SUHU RUANG (Skripsi)
Oleh DIAN ANDARINI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRACT
THE STUDY OF USING CHITOSAN AS EDIBLE COATING FOR EXTENDING STORAGE TIME OF FISH SOMAY By DIAN ANDARINI
The purpose of this study was to find out the best concentration of chitosan for developing edible coating which was used to extend somay self life stored at room temperature. Chitosan used in this study was produced from chitine that was deacetylated with NaOH 50% at 90-100 °C for 60 minute. The chitosan (2.5, 5.0, 7.5, and 10.0 grams) was dissolved in 500 ml of 1% acetic acid, and mixed at 40°C in order to obtain chitosan solution at concentrations of 0.5%, 1.0%, 1.5% and 2%, respectively. Into the chitosan solution, cooked somay was dipped for 3 minutes, cooled, packed with plastics, and then stored at room temperature for 4 days. After 1, 2, 3, and 4 days, the somay was observed its total microba, flavour, texture, and appearance. Data were collected, and analyzed descriptively to find out the best chitosan concentration which was able to extend somay self life. The result showed that the best concentration was 1% chitosan. This treatment was able to improve somay self life up to 300% (from 1 day to 3 days) based on somay’s flavour and appearance. The characteristics of somay treated with 1%
chitosan solution and stored for 3 days at room temperature were flavor scores of 7.0, appearance score of 7.1, texture score 6.9, and total microba of 5.8 x 104. Keywords:
Chitosan, antimicrobial, edible coating, somay, total microbial, sensory
ABSTRAK
KAJIAN PENGGUNAAN KITOSAN SEBAGAI EDIBLE COATING UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN SOMAY IKAN PADA SUHU RUANG Oleh DIAN ANDARINI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi kitosan terbaik sebagai edible coating untuk memperpanjang masa simpan somay pada suhu ruang. Kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dihasilkan dari kitin melalui proses deasetilasi dengan NaOH 50% pada suhu 90-100 ° C selama 60 menit. Kitosan (2,5 g, 5,0 g, 7,5 g, dan 10,0 g) dilarutkan dalam 500 ml asam asetat 1% dan diaduk pada suhu 40 ° C untuk mendapatkan masing-masing konsentrasi kitosan 0,5%, 1,0%, 1,5% dan 2%. Somay yang baru dimasak dicelupkan ke dalam larutan kitosan selama 3 menit, didinginkan, dikemas dengan plastik, dan kemudian disimpan pada suhu ruang selama 4 hari. Setelah 1, 2, 3, dan 4 hari, diamati total mikroba, aroma, tekstur, dan penampakan pada somay. Data yang diperoleh, dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui konsentrasi kitosan terbaik yang dapat memperpanjang masa simpan somay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi terbaik adalah kitosan 1%. Perlakuan ini dapat memperpanjang masa simpan somay hingga 300% (dari 1 hari sampai 3 hari)
berdasarkan aroma dan penampakan somay. Karakteristik somay dengan perlakuan larutan kitosan 1% dan disimpan selama 3 hari pada suhu ruang memperoleh skor aroma 7,0, skor penampakan 7.1, skor tekstur 6,9, dan total mikroba 5,8 x 104.
Kata Kunci:
Kitosan, antimikroba, edible coating, somay, total mikroba, sensori
KAJIAN PENGGUNAAN KITOSAN SEBAGAI EDIBLE COATING UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN SOMAY IKAN PADA SUHU RUANG
Oleh DIAN ANDARINI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 22 Agustus 1994. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara buah hati pasangan Bapak Darlis Henardi dan Ibu Anis Dariah.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Al-Azhar 1, Bandar Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di SMP N 19, Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas di SMA N 15, Bandar Lampung pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur undangan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian Universitas Lampung sebagai ketua komisi Keuangan periode 2014/2015. Penulis pernah manjadi asisten dosen Mata Kuliah Teknologi Hasil Hortikultura serta Mikrobiologi Hasil Pertanian tahun ajaran 2015/2016.
Penulis melaksanakan praktik umum pada tahun 2015 di PT.
Garudafood Putra Putri Jaya Lampung, Bandar Lampung. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Batang Hari, Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang pada Januari 2015.
SANWACANA
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat, petunjuk serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Kajian Penggunaan Kitosan Sebagai Edible Coating untuk Memperpanjang Masa Simpan Somay Ikan Pada Suhu Ruang”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Ir. Susilawati, M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas izin penelitian yang diberikan. 2. Ibu Ir. Otik Nawansih, M.P. selaku pembimbing satu skripsi serta pembimbing akademik atas arahan, saran, masukan dan, motivasi yang telah diberikan dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi penulis serta selama menjalani perkuliahan. 3. Bapak Dr. Ir. Sutikno, M.Sc. selaku pembimbing dua atas saran, bimbingan dan motivasi dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi penulis. 4. Ibu Ir. Zulferiyenni, M.T.A selaku pembahas atas saran, bimbingan dan evaluasinya terhadap karya skripsi penulis. 5. Seluruh dosen pengajar atas ilmu yang diberikan selama diperkuliahan serta teknisi Laboratorium THP atas bantuannya selama melakukan penelitian.
6. Kedua orang tua dan kakak-kakakku tercinta yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan yang selalu menyertai penulis dalam doanya untuk melaksanakan dan menyelesaikan skripsi. 7. Sahabat THP penulis (Hasnaniyah, Laila, Citra Prima, Citra Ratri, Riska, Devi, Meilan, Bimbi dan Widia) dan sahabat-sahabat yang selalu mendoakan dan mendukung penulis (Ica, Ana dan Apri), serta teman-teman “Keluarga besar Angkatan 2012”, Kakak-kakak dan Mba-mba 2011 dan 2010 serta adikadik 2013 atas segala bantuan, dukungan, kerjasama dan kebersamaanya selama ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala amal dan kebaikan semua pihak di atas dan skripsi ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Bandar Lampung, Oktober 2016 Penulis,
Dian Andarini
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... .. vi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ..
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................
3
1.3 Kerangka Pemikiran ...........................................................................
3
1.4 Hipotesis .............................................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Udang.........................................................................................
7
2.2 Kitosan ................................................................................................
8
2.3 Edible Coating .................................................................................... 13 2.4 Somay Ikan ......................................................................................... 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 22 3.2 Alat dan Bahan.................................................................................... 22 3.3 Metode Penelitian
........................................................................... 23
3.4 Pelaksanaan Penelitian ....................................................................... 23 3.4.1 Pembuatan Kitosan ................................................................... 23 3.4.1.1 Proses Pembuatan Kitin ................................................ 23 3.4.1.2 Proses Deasetilasi Kitin ................................................ 24 3.4.2 Pembuatan Edible Coating ....................................................... 24
v 3.4.3 Aplikasi Edible Coating pada Somay ....................................... 25 3.4.4 Pengamatan pada Somay .......................................................... 27 3.4.4.1 Total Mikroba (Total Plate Count) ............................... 27 3.4.4.2 Sifat Sensori .................................................................. 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Total Mikroba ..................................................................................... 29 4.2 Sifat Sensori ........................................................................................ 34 4.2.1 Aroma ....................................................................................... 34 4.2.2 Tekstur ...................................................................................... 36 4.2.3 Penampakan .............................................................................. 38 4.3 Tabel Keputusan ................................................................................. 41 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 43 5.2 Saran .................................................................................................. 43 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 44 LAMPIRAN .................................................................................................. 49
vi
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Variasi deasetilasi kitin..................................................................
11
2.
Standar mutu kitosan .....................................................................
12
3.
Aplikasi kitosan sebagai edible coating pada beberapa produk ....
13
4.
Persyaratan mutu dan keamanan somay........................................
20
5.
Kriteria uji sensori .........................................................................
28
6.
Tabel keputusan hasil penelitian....................................................
42
7.
Data rata-rata total mikroba somay ikan selama 4 hari penyimpanan..................................................................................
53
Data antimikroba kitosan terhadap bakteri Sthapylococcus aureus ............................................................................................
53
9.
Data rata-rata aroma somay ikan selama 4 hari penyimpanan ......
53
10.
Data rata-rata tekstur somay ikan selama 4 hari penyimpanan .....
53
11.
Data rata-rata penampakan somay ikan selama 4 hari penyimpanan..................................................................................
54
8.
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.
Struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b) ...........................................
9
2.
Bagan alir pembuatan kitin.............................................................. 25
3.
Bagan alir pembuatan kitosan .............................................................
4.
Bagan alir pembuatan edible coating .............................................. 27
5.
Grafik log total mikroba somay ikan yang dicoating dengan berbagai konsentrasi larutan kitosan dan disimpan pada suhu ruang selama 4 hari.......................................................................... 30
6.
Grafik antimikroba kitosan terhadap bakteri Staphylococcus aureus .............................................................................................. 33
7.
Grafik aroma somay ikan yang dicoating dengan berbagai konsentrasi larutan kitosan dan disimpan pada suhu ruang selama 4 hari ................................................................................................ 35
8.
Grafik tekstur somay ikan yang dicoating dengan berbagai konsentrasi larutan kitosan dan disimpan pada suhu ruang selama 4 hari ................................................................................................ 37
9.
Grafik penampakan somay ikan yang dicoating dengan berbagai konsentrasi larutan kitosan dan disimpan pada suhu ruang selama 4 hari ................................................................................................ 40
10.
Proses deasetilasi kitin..................................................................... 55
11.
Penyaringan hasil deasetilasi ........................................................... 55
12.
Pencucian kitosan ............................................................................ 55
13.
Pengeringan kitosan......................................................................... 55
14.
Larutan kitosan 0,5%....................................................................... 55
26
viii 15.
Larutan kitosan 1%.......................................................................... 55
16.
Larutan kitosan 1,5%....................................................................... 56
17.
Larutan kitosan 2%.......................................................................... 56
18.
Antimikroba S. aureus ..................................................................... 56
19.
Antimikroba E.coli .......................................................................... 56
20.
Penyimpanan hari ke-0 .................................................................... 56
21.
Penampakkan somay yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 0% selama 1-4 hari penyimpanan (urut ke kanan) .......................... 57
22.
Penampakkan somay yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 0,5% selama 1-4 hari penyimpanan (urut ke kanan) ....................... 57
23.
Penampakkan somay yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 1% selama 1-4 hari penyimpanan (urut ke kanan) .......................... 57
24.
Penampakkan somay yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 1,5% selama 1-4 hari penyimpanan (urut ke kanan) ....................... 57
25.
Penampakkan somay yang dicoating dengan konsentrasi kitosan 2% selama 1-4 hari penyimpanan (urut ke kanan) .......................... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1.
Produksi udang tahun 2004 - 2013 .............................................................. 50
2.
Resep dan cara pembuatan somay ikan........................................................ 51
3.
Lembar kuesioner......................................................................................... 52
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan salah satu produsen udang terbesar di dunia. Indonesia menempati urutan nomor empat di dunia pada tahun 2012 sampai 2014 dengan total produksi berturut-turut sebesar 373.430 ton, 627.643 ton dan 623 ribu ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015). Sedangkan pada tahun 2015 ini Kementerian Kelautan dan Perikanan mentargetkan produksi udang sebesar 785.900 ton (Trobos, 2015).
Udang yang di ekspor pada umumnya adalah dalam bentuk udang beku yang telah dibersihkan. Udang dihilangkan bagian kepala, kulit dan ekor. Bagian-bagian ini kurang dimanfaatkan oleh produsen dan dianggap sebagai limbah. Menurut Suparno dan Nurcahaya (1984), limbah udang mencapai 30-40% dari produksi udang beku. Limbah tersebut terdiri atas 36-49% bagian kepala dan 17-23% kulit ekor. Berdasarkan persentase tersebut dapat diketahui bahwa potensi limbah udang di Indonesia cukup tinggi yakni berkisar 186.900 ton - 249.200 ton per tahun.
Tingginya persentase limbah udang ini memiliki potensi yang cukup besar jika dimanfaatkan. Limbah udang seperti jengger udang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat terasi, keripik udang, petis, pasta udang, dan hidrolisat protein.
2 Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimanfaatkan, yaitu dibuat tepung kepala udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982). Menurut Moelyanto (1979), limbah udang selain dimafaatkan sebagai bahan pangan, dapat juga dipergunakan untuk keperluan industri seperti dimanfaatkan untuk pembuatan kitosan.
Kitosan adalah polisakarida alami hasil dari proses deasetilasi (penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin merupakan penyusun utama eksoskeleton dari hewan air golongan crustacean seperti kepiting dan udang. Kandungan kitin yang terdapat pada kulit udang berkisar antara 15%-20%. Kandungan kitin yang cukup tinggi pada kulit udang berpotensi jika diolah menjadi kitosan.
Kitosan selain dapat dipakai sebagai bahan kimia untuk berbagai industri juga memiliki kandungan antibakteri. Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membrane sel. Kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membran, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga
meningkatkan
permeabilitas
inner
membran
(IM).
Naiknya
permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel bakteri yang nantinya menyebabkan kematian sel (Sitorus dkk, 2014). Oleh karena itu, kitosan dapat dijadikan sebagai bahan baku edible coating untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada produk pangan seperti somay sehingga dapat memperpanjang masa simpan.
3 Menurut Alamsyah (2007), somay ikan dapat bertahan lebih dari 6 bulan jika disimpan dalam kondisi beku dan dapat bertahan selama 2-3 hari jika diletakkan dalam kulkas dengan kemasan tertutup. Akan tetapi, somay ikan yang disimpan pada suhu ruang hanya dapat bertahan satu hari dalam kemasan tertutup (jika kebersihan dan bahan yang digunakan bermutu). Somay yang disimpan pada suhu ruang diharapkan memiliki masa simpan yang lebih lama dengan cara pengemasan primer menggunakan edible coating kitosan. Namun, belum diketahui konsentrasi kitosan yang tepat dalam edible coating somay yang dapat memperpanjang masa simpan somay pada suhu ruang.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi kitosan terbaik sebagai edible coating untuk memperpanjang masa simpan somay pada suhu ruang.
1.3. Kerangka Pemikiran
Somay ikan adalah produk hasil perikanan dan merupakan makanan tradisional Indonesia. Somay ikan dapat bertahan lebih dari 6 bulan jika disimpan dalam kondisi beku dan dikemas dalam wadah yang rapat, dan dapat bertahan selama 2-3 hari dalam suhu dingin (refrigerator). Akan tetapi, somay ikan yang disimpan pada suhu ruang hanya dapat bertahan satu hari dalam kemasan tertutup (jika kebersihan dan bahan yang digunakan bermutu) (Alamsyah, 2007).
Salah satu bahan pengawet yang dapat digunakan untuk memperpanjang masa simpan somay adalah kitosan. Kitosan dibuat dari kulit udang melalui beberapa
4 tahapan yakni deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1M pada suhu 65°C selama 2 jam, demineralisasi menggunakan larutan HCl 1M pada suhu 25-30°C selama 3 jam dan deasetilasi menggunakan NaOH 50% pada suhu 90-100°C selama 60 menit. Efektivitas kitosan sebagai pengawet berbeda-beda pada setiap produk. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi bahan tersebut, komposisi bahan pangan dan tipe organisme yang dihambat.
Berdasarkan hasil penelitian Wardaniati (2009), bakso yang direndam dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 1,5% dapat mempertahankan masa simpan bakso selama 3 hari pada suhu ruang. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis total mikroba, dimana jumlah rata-rata koloni mikroba/g bakso pada konsentrasi 1,5%, paling sedikit yakni sebanyak 2,8x106 koloni mikroba/g. Akan tetapi, berdasarkan SNI bakso angka lempeng total maksimal yang diperbolehkan adalah 1x105 koloni/gam, sehingga dapat dikatakan hasil yang diperoleh belum dapat dikatakan aman (SNI, 1995). Semakin lama waktu perendaman bakso dalam kitosan, bakso semakin awet. Perendaman bakso selama 60 menit menunjukkan jumlah rata-rata koloni mikroba/g bakso paling sedikit.
Harjanti (2014) menggunakan kitosan dari limbah udang sebagai bahan pengawet ayam goreng. Hasil terbaik diperoleh pada perendaman ayam selama 45 menit pada larutan kitosan 2%. Ayam goreng yang diberi perlakuan tersebut dapat bertahan pada ambang kewajaran selama 7 hari pada suhu ruang baik dari segi warna, kekenyalan, bau, rasa dan lendir. Berdasarkan penelitian Suptijah, dkk (2008) fillet ikan patin direndam dalam larutan kitosan dengan konsentrasi 1,5% dan 3 % dapat mempertahankan masa
5 simpan fillet sampai jam ke-18 pada suhu ruang. Penggunaan larutan kitosan 1,5 % memberikan hasil yang terbaik berdasarkan parameter penampakan daging, tekstur, bau, nilai pH dan nilai Total Volatil Base (10,36 mg N/100 g sampel) fillet. Penggunaan larutan kitosan 3% memberikan hasil terbaik untuk parameter lendir dan nilai TPC (1,27x104 koloni/g) fillet. Penggunaan larutan kitosan mampu mempertahankan kesegaran fillet ikan patin 2 jam lebih lama.
Penelitian Swastawati, dkk (2008), edible coating pada ikan pindang menunjukkan nilai rata-rata organoleptik dengan dan tanpa kitosan adalah : 7,93 3
3
dan 7,98 dan nilai TPC masing-masing 2,4 x 10 dan 4,5 x 10 . Berdasarkan nilai TPC yang diperoleh diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada taraf uji 1%. Hasil penelitian TPC pada ikan pindang menunjukkan bahwa kitosan dari kulit udang bisa menjadi edible coating untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan menambah daya awet produk perikanan pada suhu ruang.
Kitosan dapat memperpanjang masa simpan produk makanan karena mengandung anti bakteri. Mekanisme penghambatannya adalah kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membrane sel. Selain berikatan dengan protein membran, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga meningkatkan permeabilitas
inner
membran
(IM).
Naiknya
permeabilitas
IM
akan
mempermudah keluarnya cairan sel bakteri yang nantinya menyebabkan kematian sel (Sitorus dkk, 2014).
Konsentrasi kitosan dalam edible coating akan mempengaruhi masa simpan somay. Konsentrasi yang terlalu rendah seharusnya tidak dapat menghambat
6 pertumbuhan bakteri sehingga bakteri tertentu akan terus tumbuh. Hal ini mempengaruhi fungsi kitosan dalam memperpanjang masa simpan. Saat ini konsentrasi kitosan dalam edible coating yang efektif dalam memperpanjang masa simpan somay belum diketahui.
1.4. Hipotesis
Terdapat konsentrasi kitosan terbaik sebagai edible coating yang dapat memperpanjang masa simpan somay pada suhu ruang.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit Udang
Indonesia merupakan negara dengan produksi udang yang cukup tinggi. Produksi udang di Indonesia berada pada posisi keempat dunia dengan produksi sebesar 373.430 ton pada tahun 2012 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015). Pada tahun 2013 terjadi peningkatan produksi udang sebesar 68,08% atau sebesar 627.643 ton. Kenaikan rata-rata produksi udang dunia selama 10 tahun (20042013) adalah sebesar 8,02% (Lampiran 1). Pada tahun 2014 produksi udang Indonesia mencapai 623 ribu ton dan pada tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan mentargetkan produksi udang sebesar 785.900 ton (Trobos, 2015). Peningkatan jumlah produksi udang Indonesia dikarenakan ekspor udang yang terus meningkat. Udang yang di ekspor pada umumnya adalah dalam bentuk udang beku yang telah dihilangkan bagian kepala, kulit dan ekor dimana bagianbagian ini kurang dimanfaatkan oleh produsen dan dianggap sebagai limbah.
Limbah udang di Indonesia sangat berlimpah. Menurut Suparno dan Nurcahaya (1984), limbah udang mencapai 30-40% dari produksi udang beku. Limbah tersebut terdiri atas 36-49% bagian kepala dan 17-23% kulit ekor. Berdasarkan persentase tersebut dapat diketahui bahwa potensi limbah udang di Indonesia cukup tinggi yakni berkisar 186.900 ton - 249.200 ton, sedangkan di Lampung
8 potensi limbah udang berkisar 461,1 ton - 614,8 ton untuk udang windu dan 23.695,5 ton - 31.594 ton untuk udang vaname. Jumlah limbah udang yang cukup tinggi ini dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan dengan baik.
Limbah udang seperti jengger udang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat terasi, keripik udang, petis, pasta udang, dan hidrolisat protein. Akan tetapi menurut Suparno dan Nurcahaya (1984), pemanfaatan limbah ini hanya 3% dari skala limbah udang. Kepala udang yang menyatu dengan jengger udang sebagai limbah industri udang beku baru sebagian kecil yang dimafaatkan, yaitu dibuat tepung kepala udang yang dibuat sebagai pencampur bahan dalam pembuatan pellet untuk pakan ternak (Mudjiman, 1982). Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). kandungan kitin yang cukup tinggi sangat berpotensi untuk diolah menjadi kitosan. Oleh karena itu, perlu adanya pemanfaatan lain dari limbah udang menjadi sebuah produk yang dapat bernilai ekonomis tinggi seperti kitosan yang dapat dibuat dari kepala, kulit, dan ekor udang.
2.2. Kitosan
Kitosan adalah polisakarida alami yang memiliki 3 gugus reaktif yaitu gugus -OH pada atom C3 dan C6 serta gugus –NH2 pada atom C2 (Gambar 1). Kitosan disusun oleh dua jenis gula amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-Dglukosa, 70-80 %) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2- deoksi-D-glukosa, 2030%). Kitosan memiliki muatan positif yang kuat yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degrasasi secara biologis dan tidak beracun. (Goosen, 1997). Kitosan dihasilkan dari proses deasetilasi
9 (penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetil-Dglukosamin (2-acetamido-2- deoxy-D-glucopyranose) yang dihubungkan secara linier melalui ikatan β-(1→ 4). Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, merupakan polisakarida yang mengandung banyak nitrogen, sumber polusi utama di daerah pantai. Kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit hewan golongan crustacean seperti udang.
Bahan baku kitosan berupa kulit udang cukup melimpah. Menurut Suparno dan Nurcahaya (1984), limbah kulit udang mencapai 30-40% dari produksi udang beku. Limbah tersebut terdiri atas 36-49% bagian kepala dan 17-23% kulit ekor. Berdasarkan persentase tersebut dapat diketahui bahwa potensi limbah kulit udang di Indonesia cukup tinggi yakni berkisar 186.900 ton - 249.200 ton. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%50%) (Mudjiman, 1982).
Gambar 1. Struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b)
10 Kulit udang dapat dijadikan kitosan melalui beberapa proses yaitu deproteinasi (pemisahan protein), demineralisasi (pemisahan mineral), dan proses deasetilasi. Deproteinisasi dilakukan dengan menggunakan larutan natrium atau kalium hidroksida dengan konsentrasi yang berkisar antara (1% - 10%) dan suhu dinaikan sampai 65 ke 100°C. Efektivitas deproteinisasi tergantung pada suhu selama proses, konsentrasi basa dan rasio larutan dengan cangkang. Limbah kulit krustacean diproses dengan natrium hidroksida (Roberts, 1992). Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan HCl 1 - 8% selama 1 - 3 jam pada suhu kamar. Demineralisasi sempurna dapat dicapai dengan memakai asam yang secara stokiometrik melebihi kandungan mineral (Synoweiecky dan Al-Khateeb, 2003).
Proses selanjutnya adalah deasetilasi yang bertujuan untuk memudahkan kelarutan kitosan. Proses deasetilasi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya adsorbsi kitin meningkat dengan bertambahnya gugus amina. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Hwang dan Shin, 2000). Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan, makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan untuk proses ini. Beberapa variasi deasetilasi kitin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Variasi deasetilasi kitin NaOH (%) 5 40 50 Sumber: Roberts (1992).
Suhu (°C) 150 100 100
Lama Pemanasan (Jam) 24 18 1
11 Produksi kitosan telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hargono, dkk (2008), melakukan proses deproteinasi pada suhu 60-70°C dengan menggunakan larutan NaOH 1M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:10 (g serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 60 menit. Hasil deproteinasi dimasukkan ke dalam larutan HCl 1 M secara perlahan pada suhu 25-30°C dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:10 (g serbuk/mL HCl) selama 120 menit sambil diaduk. Hasil dari proses ini disebut kitin. Kitin kemudian dimasukkan ke dalam larutan NaOH 50% (b/v) selama 60 menit pada suhu 90-100°C dengan perbandingan sampel dengan NaOH 1:10 (b/v) sambil diaduk. Tahapan proses ini menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 82,98%.
Hasil penelitian Agustina, dkk (2015) menunjukkan bahwa pada proses demineralisasi terjadi pengurangan massa serbuk kulit udang sebesar 105 g dari 200 g serbuk kulit udang menjadi 95 g kulit udang tanpa mineral. Pada proses deproteinasi terjadi pengurangan massa sebesar 21,479 g dari 95 g kulit udang bebas mineral (kitin kasar) menjadi 73,521 g kulit udang tanpa protein yang digunakan setelah proses ini diperoleh kitin sebanyak 73,521 g. Jadi pada penelitian ini diperoleh rendemen kitin sebesar 36,76% Kitosan yang dihasilkan sebanyak 47,305 g dari serbuk kitin awal yang digunakan pada proses deasetilasi 70,521 g, terjadi pengurangan massa akibat mengalami proses deasetilasi sehingga diperoleh presentase transformasi kitin menjadi kitosan sebesar 67,08% dengan penampilan serbuk yang bewarna putih krem. Kualitas kitosan tergantung pada beberapa parameter, misalnya untuk kitosan kualitas komersil disajikan pada Tabel 2.
12 Tabel 2. Standar mutu kitosan Parameter Ukuran partikel Kadar air kadar abu Warna larutan Derajat deasetilasi Viskositas Rendah Medium Tinggi Ekstra tinggi
Nilai Dari bubuk sampai serpihan < 10% < 2% Jernih > 70% < 200 (cps) 200 s/d 799 (cps) 800 s/d 2000 (cps) > 2000 (cps)
Sumber: Prayudi dan Susanto (2000).
Kitosan sebagai antibakteri memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel bakteri yang nantinya menyebabkan kematian sel (Sitorus dkk, 2014). Oleh karena itu, kitosan dapat dijadikan bahan baku edible coating untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada bahan pangan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk hasil pertanian.
Kitosan memiliki banyak gugus amina di sepanjang rantainya (bersifat kationik) sehingga mampu membentuk kompleks atau berinteraksi dengan komponen lain dan memperoleh karakter spesifik dari interaksi tersebut (Nieto, 2009). Gugus – NH2 pada kitosan ketika direaksikan dengan asam berubah menjadi –NH3+ (Suprioto, 2010). Muatan positif dari gugus NH3+ pada kitosan dapat berinteraksi
13 dengan muatan negatif pada permukaan sel bakteri, yaitu asam tekoat pada bakteri gram positif dan lipopolisakarida pada bakteri gram negatif. Interaksi ini diperkirakan akan mengganggu pembentukan peptidoglikan sehingga sel tidak mempunyai selubung yang kokoh dan mudah mengalami lisis sehingga aktivitas metabolisme akan terhambat dan pada akhirnya mengalami kematian (Sarjono, dkk 2008).
Tabel 3. Aplikasi kitosan sebagai edible coating pada beberapa produk No.
Bahan
1.
Ayam goreng
2.
Fillet ikan patin
3.
Jambu biji merah
4.
melon
5.
Bakso ikan tuna
6.
Tomat (tingkat kematangan 30-60%) Duku
7.
Dosis Metode Kitosan 2% Pencelupan selama 45 menit 1,5% Pencelupan dan 3% selama 3 menit 3% Pencelupan selama 1 menit 1% Pencelupan selama 15 menit 20% Perendaman selama 1 jam 1% Pencelupan selama 10 menit 2,5%
Pencelupan selama 1 jam
Kondisi Penyimpanan Suhu ruang
Masa Referensi Simpan 7 hari Harjanti, 2014
Suhu ruang
18 jam
Suptijah, dkk., 2008
Suhu ruang
8 hari
Sitorus, dkk., 2014
Suhu dingin (refrigerator)
4 hari
Nurhayati, dkk., 2014
Suhu ruang
2 hari
Wulandari, dkk., 2015
Suhu ruang
20 hari
Novita, dkk., 2012
Suhu 25°C
7 hari
Trisnawati, dkk., 2013
2.3. Edible Coating
Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara
14 komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Harris, 2001). Edible coating merupakan alternatif untuk mengganti plastik kemasan karena bersifat biodegadable sekaligus sebagai barrier untuk mengendalikan transfer uap air, pengambilan oksigen, dan transfer lipid. Edible coating juga dapat digunakan untuk melapisi produk yang berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan secara mekanis dan aman dikonsumsi. Edible coating yang ramah lingkungan berasal dari bahan yang dapat terurai di lingkungan dan tersedia di alam dalam jumlah besar (Darni et al, 2009).
Bahan-bahan untuk pembuatan edible coating dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit (Julianti dan Nurminah, 2006). Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film berupa protein atau polisakarida. Bahan dasar protein dapat berasal dari jagung, kedele, wheat gluten, kasein, kolagen , gelatin, corn zein, protein susu dan protein ikan. Polisakarida yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah selulosa dan turunannya, pati dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab dan gun karaya), xanthan, kitosan dan lain-lain. Lemak yang umum digunakan dalam pembuatan edible film adalah lilin alami (beeswax, carnauba wax, parrafin wax), asil gliserol, asam lemak (asam oleat dan asam laurat) serta emulsifier. Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida. Bahan coating yang dipilih harus memenuhi beberapa kriteria sebagai edible coating yaitu mampu menahan permeasi oksigen uap air, tidak berwarna, tidak berasa, tidak menimbulkan perubahan pada sifat makanan, dan harus aman dikonsumsi (Krochta, 1994). Untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
15 dapat menggunakan polisakarida dan protein, untuk mencegah susut bobot dapat menggunakan polisakarida, dan untuk memperbaiki struktur permukaan serta penampilan produk dapat menggunakan lipida.
Edible coating dapat diapikasikan sebagai kemasan primer, barrier, pengikat dan pelapis. Penggunaan edible coating sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut. Penggunaan edible coating sebagai barrier contohnya adalah edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung) digunakan untuk produk-produk konfeksionari seperti permen dan coklat . Edible coating juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu-bumbu. Edible coating dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible coating, adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti dan Nurminah, 2006).
Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penuangan. Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating. Metode penyemprotan dilakukan dengan cara menyemprokan edible coating pada bahan pangan pada satu sisinya, sehingga hasilnya lebih seragam dan praktis dibandingkan cara pencelupan. Metode penuangan dilakukan dengan cara menuang edible coating ke bahan yang akan dilapis. Teknik ini menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar,
16 tetapi ketebalannya harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap permukaan bahan (Julianti dan Nurminah, 2006).
Ada beberapa keuntungan yang didapat apabila produk dikemas dengan edible coating yaitu: 1. Dapat menurunkan Aw permukaan bahan sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari. 2. Dapat memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat dan dapat memperbaiki penampilan produk. 3. Dapat mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah. 4. Dapat mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari dengan demikian ketengikan dapat dihambat. 5. Sifat asli seperti flavor tidak mengalami perubahan (Santoso dkk, 2004). Edible coating kitosan dapat dibuat dengan cara melarutkan 1 gram kitosan dalam total volume 100 ml asam asetat 1%, diaduk pada suhu 40°C sampai larut. Perlakuan ini dilakukan untuk memperoleh larutan edible coating dengan konsentrasi kitosan 1% (Nurhayati, dkk, 2014). Edible coating kitosan diharapkan dapat mempertahankan kualitas dari produk makanan dan merupakan barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2 (Bourtoom, 2008). Sifatnya yang cukup kuat, elastis, dan fleksibel adalah keunggulan dari pelapis kitosan (Butler dkk., 1996). Sifatnya yang edible (dapat dimakan) membuat kitosan digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan (Ghaouth dkk., 1991).
Edible coating sudah banyak diaplikasikan sebagai pengemas primer pada berbagai produk. Wardaniati (2009) menggunakan edible coating kitosan untuk pengawetan bakso. Hasil terbaik yang diperoleh adalah perendaman bakso pada
17 larutan kitosan dengan konsentrasi 1,5% dimana bakso dapat bertahan selama 3 hari pada suhu ruang. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis total mikroba, dimana jumlah rata-rata koloni mikroba/g bakso pada konsentrasi 1,5%, paling sedikit yakni sebanyak 2,8x106 koloni mikroba/g. Ditinjau dari lamanya waktu perendaman, semakin lama waktu perendaman bakso dalam kitosan, bakso semakin awet. Dimana jumlah rata-rata koloni mikroba/g bakso pada perendaman 60 menit, paling sedikit.
Sitorus, dkk (2014) menyatakan buah jambu biji merah yang dicelupkan pada larutan edible coating dengan konsentrasi kitosan 3% selama 1 menit dapat mempertahankan mutu buah jambu biji merah selama 8 hari penyimpanan pada suhu ruang. Pelapisan buah jambu biji dengan kitosan pada konsentrasi 1-2% tidak mampu mempertahankan mutu buah selama 4 hari penyimpanan, disebabkan ketebalan lapisan yang terbentuk tidak dapat efektif untuk menurunkan laju respirasi buah. Pada konsentrasi kitosan 4% lapisan kitosan pada buah menjadi lebih tebal yang menyebabkan terjadinya respirasi anaerob, sehingga dihasilkan buah dengan aroma dan rasa yang kurang disukai.
Hasil penelitian Rokhima (2014) menunjukkan bahwa aplikasi kitosan dari limbah cangkang udang pada ikan segar efektif dalam mempertahankan sifat fisik aspek kenampakan pada penyimpanan suhu ruang setelah jam ke 6 p value 0,036 (<0,05), aspek tekstur pada penyimpanan setelah jam ke 6 p value 0,000 (<0,05), aspek bau pada penyimpanan setelah jam ke 24 p value 0,000 (<0,05). Kitosan dari limbah cangkang udang tidak efektif dalam mempertahankan sifat fisik aspek lendir selama 24 jam penyimpanan p value 0,194 (>0,05). Konsentrasi kitosan yang mempunyai nilai rata-rata tertinggi aspek kenampakan, tekstur, dan bau
18 adalah larutan kitosan dengan konsentrasi 1,5 %, sedangkan aspek lendir nilai rata-rata tertinggi adalah larutan kitosan dengan konsentrasi 3%.
2.4. Somay Ikan
Somay ikan merupakan makanan tradisional Indonesia, yang dibuat dari daging ikan giling, tepung tapioka atau tepung sagu, air, garam, dan bumbu-bumbu sebagai penambah cita rasa. Tahapan pengolahan somay ikan terdiri atas penggilingan daging ikan, pencampuran bahan, pembentukan somay ikan, dan pemasakan. Daging ikan yang biasa digunakan dalam pembuatan siomay adalah ikan tenggiri karena memiliki rasa yang gurih, tekstur rapat, dan sedikit kenyal, serta mampu menimbulkan aroma yang tajam. Hasil analisa proksimat daging ikan tenggiri menunjukkan bahwa kadar lemak ikan tenggiri cukup rendah (3,28%) dan proteinnya cukup tinggi (21,40%). Ikan yang tidak berlemak dapat membentuk gel yang baik dengan kekuatan gel yang tinggi dan ikan yang berlemak kemampuan gelnya rendah (Nessianti, 2015). Bahan pembuatan somay terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku dalam pembuatan somay adalah daging ikan, puree labu siam, putih telur, dan tepung tapioka. Daging ikan berfungsi untuk menghasilkan somay dengan rasa yang gurih, kenyal, dan menghasilkan aroma yang tajam. Puree labu siam berfungsi untuk menambah kekenyalan pada somay. Putih telur dan tapioka berfungsi sebagai bahan pengikat somay. Bahan tambahan dalam pembuatan somay antara lain garam, gula, lada, MSG, bawang merah, dan bawang putih (Nessianti, 2015). Bahan-bahan ini berfungsi untuk menambah cita rasa somay.
19 Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan somay antara lain mesin giling, pisau, pengaduk, penghalus bumbu, pengukus, wadah, talenan dan timbangan. Proses pembuatan somay teridiri atas beberapa tahap yang dimulai dengan menyeleksi bahan baku, yaitu daging ikan tenggiri yang masih segar (Nessianti, 2015). Daging yang digunakan adalah daging yang berkualitas baik. Ikan dihilangkan bagian tulang, ekor serta kepala. Kemudian daging ikan dicuci bersih. Ikan disayat memanjang pada bagian punggung lalu ambil daging dengan cara memfillet daging ikan menggunakan pisau. Tahap selanjutnya ikan direndaman dengan air perasan jeruk nipis dilakukan selama 10 menit sambil diaduk-aduk. Daging ikan kemudian dihaluskan menggunakan blender dengan diberi sedikit air es/es batu secukupnya. Tahap terakhir adalah pembuatan adonan somay. Daging ikan yang telah dihaluskan dicampur bumbu yang juga telah dihaluskan, kemudian ditambahkan puree labu siam. Adonan siap dibentuk setelah selesai ditimbang. Kemudian somay dapat disimpan di dalam freezer atau langsung dikukus untuk pematangannnya.
Mutu somay ikan sangat tergantung dari formulasi bahan yang digunakan dan difusivitas panas waktu pemasakan. Hal tersebut dapat mempengaruhi masa simpan somay ikan. Formulasi somay ikan yang terdiri atas perbandingan ikan dan tepung sangat mempengaruhi mutu somay ikan yang dihasilkan terutama warna, rasa, aroma, dan kekenyalannya. Mutu somay yang baik yakni memiliki kenampakan yang cerah, tanpa lendir, aroma dan rasa khas ikan, serta tekstur padat dan kompak (SNI, 01-7756-2013). Kerusakan yang terjadi pada somay dapat terlihat dari kenampakan, bau, rasa dan tekstur. Somay yang telah mengalami kerusakan akan memiliki kenampakan kusam, berlendir, bau busuk,
20 rasa masam dan tekstur yang lembek. Berdasarkan SNI 01-7756-2013, persyaratan mutu somay ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persyaratan mutu dan keamanan somay
a. b.
c.
d.
e.
Parameter Uji Sensori Kimia Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Cemaran mikroba Angka Lempeng Total Escheririchia coli Salmonella Vibrio cholera Staphylococcus aureus Cemaran logam Kadmium (Cd) Merkuri (Hg) Timbal (Pb) Arsen (As) Timah (Sn) Cemaran fisik Filth
Satuan
Persyaratan Min 7 (skor 3-9)
% % % %
Maks 60,0 Maks 2,5 Min 5,0 Maks 20,0
Koloni/g APM/g Koloni/g
Maks 5x104 <3 Negative/25 g Negative/25g Maks 1x102
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg -
Maks 0,1 Maks 0,5 Maks 0,3 Maks 1,0 Maks 40,0 0
Sumber: SNI (2013)
Masa simpan somay dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Somay ikan yang disimpan dalam kondisi beku dan dikemas dalam wadah yang rapat dapat bertahan lebih dari 6 bulan. Selain disimpan dalam freezer, dapat juga diletakkan dalam kulkas dengan masa simpan 2-3 hari dalam kemasan tertutup. Akan tetapi, somay ikan yang disimpan pada suhu ruang hanya dapat bertahan satu hari dalam kemasan tertutup (jika kebersihan dan bahan yang digunakan bermutu). Oleh karena itu, dibutuhkan pengemas yang dapat mempertahankan mutu dan
21 memperpanjang masa simpan somay ikan pada suhu ruang. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pedagang kaki lima yang menjajakan somay pada suhu ruang tanpa dikemas (Alamsyah, 2007).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, serta Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai dengan Maret 2016.
3.2. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitin dari kulit udang yang diperoleh dari hasil penelitian Adina (2011), kitosan yang diperoleh dari PT. Surindo dengan derajat deasetilasi >70%, somay ikan yang dipesan dari salah satu pedagang di lingkungan Universitas Lampung dengan komposisi 500g ikan, 500g tepung terigu, 500g sagu, dan bahan pelengkap lainnya (resep dan cara pembuatan somay ikan dapat dilihat pada Lampiran 2), NaOH, asam asetat, aquades, NaCl, media PCA dan alkohol 70% yang diperoleh dari Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Alat-alat yang digunakan adalah oven, blender, ayakan, hot plate, batang pengaduk, erlenmeyer, autoklaf STS-1968C, timbangan digital KERN EG 4200-
23 2NM, cawan petri, pipet volume 5 ml, rubber bulb, kapas, gelas ukur, inkubator 3EG, bunsen, mikropipet, pipet tip, tabung reaksi, dan rak tabung reaksi.
3.3
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan perlakuan konsentrasi kitosan sebagai edible coating somay ikan yang terdiri atas 5 taraf yaitu: 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali dan dilakukan pengamatan setiap hari terhadap total mikroba, aroma, tekstur dan penampakan selama 4 hari. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yaitu pembuatan kitosan, pembuatan edible coating, aplikasi edible coating pada somay, pengamatan somay selama penyimpanan.
3.4.1. Pembuatan Kitosan
3.4.1.1 Proses Pembuatan Kitin (Adina, 2011)
Pembuatan kitin dimulai dari pembersihan kulit udang kemudian dikeringkan, diblender dan diayak sehingga diperoleh serbuk kulit udang (Gambar 2). Setelah diperoleh serbuk kulit udang, dilakukan proses deproteinasi. Proses deproteinasi dilakukan pada suhu 65°C dengan menggunakan larutan NaOH 1M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:10 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 2 jam. Selanjutnya campuran ini didinginkan dan disaring dengan
24 penyaring kain/kertas. Residu yang telah disaring, dicuci dengan menggunakan aquades sampai pH netral dan dikeringkan.
Endapan hasil deproteinasi dimasukkan ke dalam larutan HCl 1 M secara perlahan pada suhu 25-30°C dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:10 (gr serbuk/mL HCl) selama 3 jam sambil diaduk. Hasil reaksi disaring dengan menggunakan penyaring kain/kertas. Residu yang telah disaring, dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral dan dikeringkan. Hasil dari proses ini disebut kitin.
3.4.1.2 Proses Deasetilasi Kitin
Kitin dimasukkan ke dalam larutan NaOH 50% (b/v) selama 60 menit pada suhu 90-100°C dengan perbandingan sampel dengan NaOH 1:10 (b/v) sambil diaduk (Gambar 3). Hasilnya disaring menggunakan penyaring kain/kertas. Residu hasil penyaringan dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Hasil dari proses ini disebut kitosan (Hargono dkk, 2008).
3.4.2. Pembuatan Edible coating
Edible coating dengan konsentrasi kitosan 1 % (b/v) dibuat dengan cara melarutkan 5 gram kitosan dalam total volume 500 ml asam asetat 1%, diaduk pada suhu 40°C sampai larut (Gambar 4). Perlakuan ini dilakukan juga pada pembuatan konsentrasi kitosan 0,5%, 1,5 % dan 2% dengan melarutkan kitosan masing-masing sebanyak 2,5 gram, 7,5 gram, dan 10 gram pada 500 ml asam asetat 1% (Nurhayati dkk, 2014).
25 Limbah cangkang udang
dikeringkan
dikeringkan
diblender
Demineralisasi menggunakan larutan HCl 1M (1gr sampel/10ml HCl) pada suhu 25-30°C selama 3 jam
diayak disaring serbuk cangkang udang Dicuci dengan aquades
Deproteinasi menggunakan laruran NaOH 1M (1gr serbuk/10ml NaOH) pada suhu 65°C selama 2 jam
dikeringkan
Kitin disaring
Dicuci dengan aquades Gambar 2. Bagan alir pembuatan kitin (Adina, 2011)
3.4.3. Aplikasi Edible Coating pada Somay
Edible coating dengan konsentrasi kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% (b/v) ditempatkan dalam beaker glass. Somay sebanyak 20 butir dicelup kedalam 500 ml larutan kitosan (0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%) selama 3 menit. Somay yang telah
26 dilapisi kitosan kemudian ditiriskan dan dikeringkan selama ±15 menit. Setelah itu disimpan dalam plastik cliplock pada suhu ruang sesuai dengan perlakuan lama simpan. Kemudian dilakukan pengamatan dari masing-masing perlakuan tersebut pada masa simpan hari ke 0, hari ke 1, hari ke 2, hari ke 3 dan hari ke 4.
Kitin
Deasetilasi menggunakan NaOH 50% (1gr sampel/10ml NaOH) pada suhu 90-100°C selama 60 menit
disaring
Dicuci dengan aquades
dikeringkan
kitosan
Gambar 3. Bagan alir pembuatan kitosan (Hargono dkk., 2008)
27 5 gram kitosan
Dilarutkan dalam 500 ml asam asetat 1%
Diaduk pada suhu 40°C sampai larut
Bahan edible coating kitosan 1% Gambar 4. Bagan alir pembuatan edible coating (Nurhayati dkk., 2014)
3.4.4 Pengamatan pada Somay
3.4.4.1 Total Mikroba (Total Plate Count)
Analisis total mikroba dilakukan dengan merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2332.3-2006). Sampel secara aseptik ditimbang 5 gram dalam Erlenmeyer steril, kemudian ditambahkan 45 ml larutan NaCl sebagai pengencer sampel, dihomogenkan sehingga diperoleh suspensi pengenceran 10‾¹, kemudian dibuat pengenceran 10‾², pengenceran 10‾³, sampai pengenceran yang diperlukan. Untuk uji Angka Lempeng Total Bakteri, dari setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri dan dibuat duplo. Ke dalam setiap cawan petri dituangkan 1215 ml media PCA yang masih cair dengan suhu 45 ± 1°C. Media PCA dan contoh diputar kebelakang, ke depan, ke kanan dan ke kiri agar tercampur merata dan memadat. Setelah media memadat cawan petri dibalik dan diinkubasi pada suhu 35°C selama 48 ± 2 jam. Pertumbuhan koloni pada setiap cawan petri yang mengandung 25-250 koloni dicatat setelah 48 jam.
28 Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh pada cawan dihitung dengan rumus:
Jumlah koloni = jumlah koloni pada cawan
1/faktor pengenceran
3.4.4.2 Sifat Sensori
Uji Sensori dilakukan terhadap aroma, tekstur dan penampakan dengan metode skoring. Sampel yang disajikan kepada panelis adalah somay ikan yang telah dilapisi dengan larutan kitosan sesuai perlakuan. Uji sensori ini dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih dengan skor penilaian sensori 3-9 (SNI 01-7756-2013). Kuesioner uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 5. Kriteria uji sensori Skor
Aroma
Tekstur
Penampakan
9
Khas somay
Padat dan kompak
Cerah khas somay, tanpa lendir
7
Agak khas somay
Cukup padat dan kompak
Agak cerah, tanpa lendir
5
Netral (tidak khas somay, tidak busuk)
Agak lembek
Agak kusam, sedikit lendir
3
Busuk
Lembek
Kusam, berlendir
43
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi terbaik adalah kitosan 1%. Perlakuan ini dapat memperpanjang masa simpan somay hingga 300% (dari 1 hari sampai 3 hari) berdasarkan aroma dan penampakan somay. Karakteristik somay dengan perlakuan larutan kitosan 1% dan disimpan selama 3 hari pada suhu ruang memperoleh skor aroma 7,0, skor penampakan 7.1, skor tekstur 6,9, dan total mikroba 5,8 x 104.
5.2
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu somay perlu dibuat oleh peneliti secara higienis untuk menjamin sanitasi somay agar jumlah mikroba dapat ditekan, meneliti mutu kitosan yang akan digunakan, serta metode aplikasi kitosan pada somay ikan dan suhu penyimpanan .
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi, N. A., Z. Iqbal, M. Maqbool and I. A. Hafiz. 2009. Postharvest quality of manggo (Mangifera Indica L.) fruit as affected by chitosan coating. Pak. Journal Bot., 41(1): 343-357 Adina, K.F. 2011. Aktivitas Transesterase Enzim Lipase Termobilisasi pada Kitin dalam Reaksi Transesterifikasi Minyak Kelapa. Universitas Gadjah Mada. (Skripsi). Yogyakarta. 72 hlm. Agustina, S., I. M. D. Swantara, dan I. N. Suartha. 2015. Isolasi Kitin, Karakterisasi dan Sintesis Kitosan dari Kulit Udang. Jurnal Kimia. 9(2):271-278 Alamsyah, Y. 2007. Bisnis Siomay Dan Pangsit (membuat, mengemas, & memasarkan). AgroMedia Pustaka. Jakarta. hal.9 Asdiansyah, J. 2015. Lampung Sumbang 45% Produksi udang Nasional. http://www.duajurai.com/2015/06/lampung-sumbang-45-produksiudang-nasional/ (6 November 2015) BAM (Bacteriological Analytical Manual). 2001. Aerobic Plate Count. http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-3.html (4 November 2015) Bourtoom, A, 2008, Chitosan film mechanical and permeation properties as affected by acid, plasticizers, and storage, Journal of Food Science, Vol 63, Hal. 1049–1052 Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta. 365 hlm Butler, B. L., P. J. Vergano, R. F. Testin, J. M. Bunn dan J. L. Wiles. 1996. Mechanical and Barrier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage, J. Food, Vol 61, Hal 953-955 Darni, Yuli, Utami dan Asriah. 2009. Peningkatan Hidrofibisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka Dengan Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut (Euchema spinossum). Jurnal Fakultas Teknik, Universitas Lampung. ml.scribd.com/doc/72766632/17 Yuli-Darni-FT
45 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2014. Udang Vaname dan Udang Windu Masih Andalan Ekspor Indonesia. http://www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/246/Udang-Vaname-danUdang-Windu-Masih-Andalan-Ekspor-Indonesia/?category_id=13 (6 November 2015) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2015. Komoditas Andalan Indonesia Masuki Jajaran Produsen Ikan Terbesar Dunia. http://www.djpb.kkp.go.id/index.php/arsip/c/258/KOMODITASANDALAN-INDONESIA-MASUKI-JAJARAN-PRODUSEN-IKANTERBESAR-DUNIA/?category_id=13 (5 November 2015) Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Institut Pertanian Bogor. Bogor Frazier, W.C. 1997. Food Microbiology 2nd. Tata Mc Graw Hill Publishing Company LTD. New Delhi Ghaout, A.E., Aul, J., dan R. Ponampalan. 1991. Chitosan Coating Effect on Storability and Quality of Fresh Strawberries. Journal of Food Science. vol 56, no 6. Goosen, M.F.A. 1997. Application of Chitin and Chitosan. Technomic Pub.Co,.Inc., Lancaster Hargono, Abdullah, dan I. Sumantri. 2008. Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Jurnal Reaktor, Vol.12(1):hlm 53-57 Harjanti, R.S. 2014. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam Goreng. Jurnal Rekayasa Proses, Vol.8(1):hlm 12-19 Harris, H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 3(2):hlm 99-106 Julianti, E dan M. Nurminah. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Hal. 100-111 Jusnita, N. 2007. Kajian Penggunaan Kitosan terhadap Mutu Produk Olahan Ikan Selama Penyimpanan pada Suhu Kamar. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. 96 hlm. Karnila, R dan B. Dewita. 2006. Buku Ajar Teknik Pengemasan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Pokok Kelautan dan Perikanan Periode s.d Oktober 2011. Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal. Jakarta.
46 Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M.O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film to improve Food Quality. Technomic publishing Company, New York, NY Meidina, Sugiyono, Jenie BSL, Suhartono MT. 2004. Aktivitas antibakteri oligomer kitosan yang diproduksi menggunakan kitonase dari isolat B. licheniformis MB-2. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Institut pertanian Bogor. Bogor Moelyanto, R. 1979. Udang Sebagai Bahan Makanan. LPTP. Departemen Pertanian. Jakarta Mudjiman, A. 1982. Budidaya Udang Windu. Penerbit Swadaya. Jakarta Nessianti, A. 2015. Pengaruh Penambahan Puree Labu Siam (Sechium Edule) terhadap Sifat Organoleptik Siomay Ikan Tenggiri (Scomberomorus Commersoni). Jurnal Boga. 4(3):79-84 Nieto, M.C. 2009. Structure and Function of Polysaccharide Gum Based edible film and Coating. In Embuscado.M and K.C.Humber. Edible Film and Coating For Food Application. Springer Link. New York Novita, M., Satriana, Martunis, S. Rohaya dan E. Hasmarita. 2012. Pengaruh Pelapisan Kitosan terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tomat Segar (Lycopersicum pyriforme) pada Berbagai Tingkat Kematangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 4(3):1-8 Nurhayati, T. Hanum, A. Rangga dan Husniati. 2014. Optimasi Pelapisan Kitosan untuk Meningkatkan Masa Simpan Produk Buah-Buahan Segar Potong. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian.19(2):161-178 Nurmaini. 2001. Pencemaran Makanan secara Kimia dan Biologis. Artikel Publikasi. http://www.google.com. Dikunjungi 25 Mei 2016 Po, H. C., Ya, H. H., Ting, Y. K., Fang, H. L., Juin, Y. L., Hsyue, J. H. 2007. Improvement in the properties of chitosan membranes using natural organic acid solutions as solvents for chitosan dissolution. J. of Medical and Biological Engineering, 27(1): 23 – 28 Roberts, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd. London Rokhima, I. 2014. Efektivitas Perendaman Ikan Segar Dalam Larutan Chitosan Dari Limbah Cangkang Udang Terhadap Sifat Fisik Ikan Segar. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 3(3):1-8 Rubino, J.T dan Obeng, E.K. 1991. Influence of Solute Structure on Deviation from the Log-Linear Solubility Equation in Propilene Glycol: Water Mixtures, J. Pharm. Sci., 80, pp.479-482
47 Sarjono PR, Mulyani NA, dan Wulandari N. Uji Antibakteri Kitosan Dari Kulit Udang Windu (penaeus monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas. 2008. Proceeding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia.(UNS-UNDIP-UNNES). Sitorus, R.F., Karo-Karo, T., Lubis, Z. 2014. Pengaruh Konsentrasi Kitosan Sebagai Edible Coating Dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Jambu Biji Merah. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian. Vol.2(1): hal. 37-46 SNI. 1995. Bakso Daging. SNI 01-3818-1995 SNI. 2006. Cara Uji Mikrobiologi-Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI 01-2332.3-2006 SNI. 2013. Siomay ikan. SNI 7756:2013 Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suparno dan Nurcahaya, 1984. Pemanfaatan Limbah Udang. Balai Penelitian Limbah Perikanan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Suprioto, F. 2010. Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan Dengan Polietilen Glikol (Peg) Sebagai Plasticizer. Skripsi Teknologi Pertanian. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan , Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor Swastawati, F., I. Wijayanti, dan E. Susanto. 2008. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Menjadi Edible Coating untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol.4(4): hal 101-106 Suptijah, P., Y. Gushagia, dan D.R. Sukarsa. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Kitosan terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada Penyimpanan Suhu Ruang. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, Vol.11(2): hal 89-101 Trisnawati, E., D. Andesti dan A. Saleh. 2013. Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Kepiting sebagai Bahan Pengawet Buah Duku dengan Variasi Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia. 2(19):17-26 Trobos. 2015. Perkuat Dominasi Udang Indonesia. http://www.trobos.com/detail_berita.php?sir=12&sid=5856 (5 November 2015) Wahyudi, D. 2007. Pengaruh Konsentrasi Chitosan sebagai Bahan Pengawet terhadap Masa Simpan Mie Basah. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. 86 hlm.
48 Wardaniati, R.A. dan S. Setyaningsih. 2009. Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang. hlm.1-5. Winarno. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wulandari, K., R. Sulistijowati dan L. Mile. 2015. Kitosan Kulit Udang Vaname sebagai Edible Coating pada Bakso Ikan Tuna. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3(3): hal 118-121