KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX
DWI YOGA PRIMARTONO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK DWI YOGA PRIMARTONO. Kajian Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran Menggunakan Sistem Fire Weather Index. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan EDI SANTOSO . Sistem Fire Weather Index (Sistem FWI) merupakan salah satu sub sistem utama dari suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari Kanada. Sistem FWI tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan Asia Tenggara. Dalam penghitungannya beberapa komponen Sistem FWI mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan evapotranspirasi potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak lintang yang signifikan. Kondisi tersebut mengakibatkan Kanada dan Asia Tenggara memiliki nilai Le, dan Lf yang tidak sama. Perbedaan tersebut selama ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas bahaya kebakaran dari komponen Sistem FWI. Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan komponen kode kelembaban dari Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal. Komponen kode kelembaban tadi meliputi komponen kode kelembaban pada sarasah (FFMC), lapisan humus (DMC), dan lapisan organik padat (DC). Penggunaan nilai Le dan Lf lokal dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari penghitungan Sistem FWI akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari tingkatan potensi kebakaran relatif yang didasarkan pada data observasi cuaca harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Sistem FWI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan selang waktu periode kritis yaitu periode pada saat model bahan bakar di suatu daerah memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi apakah perbedaan faktor – faktor tadi juga akan mengakibatkan perbedaan label kelas bahaya kebakaran dari komponen FFMC, DMC, dan DC. Hasil penelitian dengan menggunakan kedua metode menunjukkan bahwa di daerah kajian, periode kritis pada FFMC terjadi di sepanjang tahun, sedangkan periode kritis pada komponen DMC terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September, kecuali di Tanjungselor dan Tanjungredep. Pada kedua stasiun tersebut periode kritis juga dijumpai pada pertengahan bulan Januari hingga awal bulan Maret. Periode kritis pada DC pada umumnya terjadi pada bulan September. Koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai kode kelembaban yang berbeda, kecuali pada komponen FFMC. Koreksi akan menghasilkan nilai kode kelembaban yang lebih tinggi, kecuali pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli, untuk komponen DMC. Komponen DC terkoreksi akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi hanya pada bulan September, kecuali di Tanjungredep dan Tanjungselor. Pada kedua daerah tersebut nilai DC yang lebih tinggi juga dijumpai pada bulan Maret dan April. Peningkatan nilai kode kelembaban Sistem FWI akan semakin terlihat ketika tidak terjadi hujan pada selang waktu yang telah disebutkan tadi. Pada periode itu tidak jarang peningkatan nilai tadi berhasil menaikkan label kelas bahaya dari komponen FWI. Koreksi yang dilakukan juga menginformsikan resiko kebakaran pada kelas yang lebih tinggi akan terjadi lebih awal.
KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN MENGGUNAKAN SISTEM FIRE WEATHER INDEX
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh:
DWI YOGA PRIMARTONO G02498008
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP Dwi Yoga Primartono dilahirkan di Purbalingga pada 4 Maret 1980. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Aspono dan Ibu Tati Surati. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purbalingga, dan berhasil mas uk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 melalui jalur USMI. Selama masa perkuliahan, penulis melaksanakan praktik lapang di PT. PAGILARAN pada bulan Juli-Agustus 2001. Selain itu penulis juga pernah bekerja di PT. WIFA EKATAMA sebagai wakil manager dan penanggung jawab bagian produksi pada tahun 2002–2003.
PRAKATA Bismillahir rahmanir rahim Segala Puji bagi Allah SWT, Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillah, setelah sekian lama, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi, sungguh hanya Alloh Maha Pengatur yang telah menata jalan hambaNya. Semua itu juga tidak lepas dari berbagai pihak yang telah membantu jalannya penelitian ini. Untuk it u penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey dan Dr. Edi Santoso, atas segala bimbingan dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini 2. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan motivasi, serta dorongan material dan spiritual 3. Bapak Kusnadi Prabakusuma yang telah berkenan menampung penulis 4. M. Taufik yang telah mengijinkan penulis mengakses data sekunder dari 5 buah stasiun AWS di Kaltim 5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai di Fakultas MIPA dan di Departemen Geofisika dan Meteorologi 6. Seluruh keluarga, dan teman-teman yang telah berkenan memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini Semoga segala bimbingan, motivasi, dan segala bantuan tadi diberikan balasan yang berlipatganda. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah terbebani oleh penulis selama penyusunan skripsi ini berlangsung. Kebenaran hanya datang dari Allah SWT semata, sedangkan kesalahan dan kekhilafan kembali kepada penulis. Semoga skripsi ini mampu member ikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak yang berkenan membacanya, dan menjadi motivator untuk membuat karya yang lebih berguna. Akhirul kalam, semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan hidayah serta limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.
Bogor, Januari 2006
Dwi Yoga Primartono
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... 1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 1 TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Dasar Kebakaran .............................................................. Bahan Bakar ............................................................................................ Lingkungan Kebakaran........................................................................... Kondisi Atmosfer dan Kebakaran .......................................................... Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran...................................................... Sistem FWI .............................................................................................
2 3 5 6 8 8
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ...................................................................................... Asumsi .................................................................................................... Pengisian Data Kosong .......................................................................... Penghitungan Sistem FWI dengan Formulasi Adopsi............................ Penghitungan Le dan Lf ......................................................................... Penghitungan Sistem FWI dengan Penyesuaian Faktor Le dan Lf ........
12 12 12 13 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Daerah Kajian......................................................................... FFMC ..................................................................................................... DMC ...................................................................................................... DC ..........................................................................................................
22 23 24 26
SIMPULAN .................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27 LAMPIRAN..................................................................................................... 29
DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengkelasan bahaya kebakaran ..........................................................
8
2 Tabulasi time-lag pada Sistem FWI ...................................................
9
3 Interpretasi nilai-nilai FFMC ..............................................................
10
4 Interpretasi nilai-nilai DMC................................................................
10
5 Interpretasi nilai-nilai DC....................................................................
11
6 Interpretasi nilai-nilai FWI..................................................................
11
7 Lokasi pengamatan AWS....................................................................
12
8 Daftar nilai Lf asli ...............................................................................
14
9 Daftar nilai Lf lokal.............................................................................
15
10 Selang kelas pada beberapa komponen FWI.......................................
23
11 Prosentase kelas FFMC di Tanjungredep............................................
23
12 Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep......................
25
13 Perubahan nilai Le pada DMC............................................................
25
14 Pebandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ............................
26
15 Perubahan nilai Lf pada DC ................................................................
27
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951) ..................................................
3
2 Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar (Pyne, 1996) ...........
5
3 Distribusi suhu sesuai ketinggian ......................................................
6
4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer ....................
6
5 Struktur Sistem FWI ..........................................................................
9
6 Skema penghitungan FFMC................................................................
16
7 Skema penghitungan DMC ...............................................................
18
8 Skema penghitungan DC ...................................................................
19
9 Skema penghitungan ISI, BUI, FWI ...................................................
21
10 Sebaran geografis daerah kajian .........................................................
22
11 Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem FWI......................................................................................................
22
12 Pengaruh Curah Hujan pada FFMC. ...................................................
23
13 Hasil penghitungan DMC dengan menggunakan dua metode berbeda. ...............................................................................................
24
14 Windowing anomali curah hujan tahun 2000 sampai dengan 2002. ...
25
15 Windowing DMC dan anomali curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002. .............................................................................
26
16 Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode berbeda. ...............................................................................................
26
17 Windowing anomali DC dan curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002. .............................................................................
27
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Contoh format data mentah dari Statiun AWS di Loajanan................
29
2 Contoh format masukan data pada Sistem FWI untuk Stasiun Loajanan..............................................................................................
30
3 Prosentase kelas FFMC di Loajanan...................................................
31
4 Prosentase kelas FFMC di Marangkayu..............................................
31
5 Prosentase kelas FFMC di Samuntai...................................................
31
6 Prosentase kela s FFMC di Tanjungredep............................................
31
7 Prosentase kelas FFMC di Tanjungselor .............................................
31
8 Perbandingan prosentase kelas DMC di Loajanan .............................
32
9 Perbandingan prosentase kelas DMC di Marangkayu ........................
32
10 Perbandingan prosentase kelas DMC di Samuntai .............................
32
11 Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep ......................
32
12 Perbandingan prosentase kelas DMC diTanjungselor ........................
33
13 Perbandingan prosentase kelas DC di Loajanan.................................
33
14 Perbandingan prosentase kelas DC di Marangkayu ............................
33
15 Perbandingan prosentase kelas DC di Samuntai.................................
33
16 Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungredep..........................
34
17 Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ...........................
34
18 Perbandingan DMC di Loajanan. ........................................................
35
19 Perbandingan DMC di Marangkayu ...................................................
35
20 Perbandingan DMC di Samuntai.........................................................
36
21 Perbandingan DMC di Tanjungredep.................................................
36
22 Perbandingan DMC di Tanjungselor ...................................................
37
23 Perbandingan DC di Loajanan ............................................................
37
24 Perbandingan DC d Marangkayu ........................................................
38
25 Perbandingan DC di Samuntai............................................................
38
26 Perbandingan DC di Tanjungredep.....................................................
39
27 Perbandingan DC di Tanjungselor ......................................................
39
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Indonesia seringkali terjadi, beberapa kejadian kebakaran besar diantaranya terjadi pada tahun 1982, 1983, 1991, 1994, 1997, 1998, 1999 sampai dengan awal tahun 2001 (Wardhani 2001). Kebakaran hutan tahun 1998 oleh Los Angeles Times edisi 23 Maret 1998 bahkan dinyatakan sebagai bencana yang telah merusak hutan hujan tropis terbesar di dunia. Bencana tersebut mengakibatkan sebagian kawasan Asia Tenggara diselimuti dengan asap, dan diperkirakan telah menyebabkan kerugian yang nilainya melampaui 9 milyar USD (www.encarta.msn.com). Selain Indonesia, beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura juga mengalami bencana asap dan kebakaran hutan. Mengingat besarnya kerugian dan dampak negatif yang telah ditimbulkan ole h bencana tersebut, ke empat negara di kawasan Asia Tenggara tadi kemudian bersama-sama menyetujui untuk melakukan tindak pengawasan terhadap bahaya asap dan kebakaran. Salah satu langkah yang ditempuh yaitu melalui penerapan Sistem Fire Weather Index. (Sistem FWI). Sistem FWI merupkan salah satu sub sistem utama dari Fire Danger Rating Sytem (FDRS). FDRS merupakan suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari Kanada, dalam hal ini sistem tersebut tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan Asia Tenggara. Sistem FWI memberikan informasi tingkatan dari potensi kebakaran relatif berdasarkan data observasi cuaca harian. Beberapa komponen Sistem FWI juga mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan rataan bulanan evapotranspirasi potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak lintang yang signifikan. Letak lintang merupakan salah satu faktor pengendali unsur–unsur cuaca dan iklim. Perbedaan letak lintang tentunya akan membuat perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari pada kedua kawasan. Kondisi tersebut diantaranya mengakibatkan Kanada dan kawasan Asia Tenggara memiliki perbedaan panjang hari yang cukup besar . Perbedaan tersebut selama ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas
bahaya kebakaran dari komponen Sistem FWI. Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga akan dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal menggantikan nilai Le dan Lf asalnya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari penghitungan Sistem FWI yang telah dimodifikasi tersebut akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari tingkatan potensi kebakaran relatif yang berdasarkan pada data observasi cuaca harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk turut mengembangkan Sistem FWI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan periode kritis yaitu selang waktu ketika model bahan bakar pada suatu daerah terindikasi memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah perbedaan faktor – faktor tadi, juga akan mengakibatkan perubahan pada penentuan label kelas bahaya kebaka ran dari Sistem FWI. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2002 sampai dengan September 2005, bertempat di Lab. TSI Gedung BPP Teknologi dan Asrama IPB Sukasari, Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan Dasar Keba karan Tanaman ataupun bagian-bagiannya merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak dilalap api. Komponen biomassa yang paling banyak terbakar tadi, pada umumnya berupa tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, air dan energi dari matahari, hingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya. Seluosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada set iap bagian tanaman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa komponen tanaman merupakan bagian dari manifestasi energi kimia yang dihasilkan dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis dan kebakaran memiliki hubungan yang unik. Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan dirubah menjadi energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik. Secara sepintas proses kebakaran dan fotosintesis, merupakan dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang berlangsung secara perlahan–lahan sedangkan dalam kejadian kebakaran, energi kerapkali dilepaskan secara spontan. Hubungan antara kedua proses tersebut dapat ditampilkan melalui formulasi berikut: Fotosintesis
CO2 + H 2O + energi matahari → (C 6 H 10O 6 )n + O
Kebakaran
(C H 6
10
O6 )n + O + suhu pemicu → CO2 + H 2O + bahang
Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya akan berlangsung pada kondisi tertentu. Kondisi tersebut akan tercapai ketika komposisi kadar air yang terdapat pada bahan bakar mencapai suatu nilai yang mendukung terbakarnya bahan bakar tersebut. Sagala (1988) menyatakan agar suatu bahan bakar terbakar maka suhu bahan bakar tersebut harus ditingkatkan hingga mencapai suhu pemicu kebakaran yang lazim dikenal sebagai titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar bervariasi, namun Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan nilai suhu tersebut berada pada kisaran nilai
350 °C. Pencapaian suhu kritis tadi et rjadi setelah bahan bakar terlebih dahulu mendapatkan bahang yang cukup dari suatu sumber pemanasan. Sumber pemanasan bahan bakar dapat berupa petir, bunga api, api unggun, ataupun dari puntung rokok. Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan meskipun banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri dari dua fase namun pada hakekatnya ia terdiri dari tiga fase atau lebih yang saling overlap. Ketiga fase tersebut adalah fase prapemanasan, fase destilasi, dan fase pembentukan arang. Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terbagi atas fase pemanasan, fase penguraian, dan fase pembakaran. Berbagai pendapat tadi sebenarnya menyatakan hal yang relatif sama Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang bersifat endotermal karena ia membutuhkan energi. Dalam hal ini dibutuhkan pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu pengapian tercapai. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada sebagian jenis bahan bakar hutan pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri. Zat astiri tadi memiliki titik didih disekitar suhu kamar. Pyne (1996) menyatakan hal tersebut merupakan salah satu sebab timbulnya bau yang khas pada ekosistem hutan. Selanjutnya peningkatan suhu yang terus terjadi seiring dengan berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air yang terjerap pada bahan bakar secara bertahap akan terevaporasikan, dengan kata lain kelembaban bahan bakar akan terus berkurang. Kelembaban bahan bakar sangat beragam, bahan bakar dari vegetasi yang telah mati memiliki kelembaban 1 hingga 300 % dari bobot keringnya, sedangkan bahan bakar dari vegetasi hidup pada umumnya memiliki kelembaban yang lebih besar dari 300 %. Peningkatan suhu selanjutnya akan mengakibatkan berlangsungnya pirolisis. Pyne (1996) mendefinisikan pirolisis sebagai penguraian molekul atau polimer zat karena panas. Proses pirolisis akan menghasilkan arang, karbonmonoksida, karbondioksida, uap air, tar dan sejumlah zat dari keluarga hidrokarbon yang mudah terbakar seperti methana, methanol dan propana. Ketika pemanasan bahan bakar telah mencapai suhu pengapian, zat-zat produk dari pirolisis akan beraksi dengan oksigen.
Oksidasi tar, dan zat-zat dari keluarga hid rokarbon akan memicu timbulnya nyala api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua proses tadi akan menyuplai bahang lebih banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya berasal dari sumber pemanasan awal saja. Keberadaan api tadi juga akan turut berperan dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang yang dihasilkan selanjutnya akan turut berperan sebagai sumber pemanasan bagi bahan bakar lainnya melalui mekanisme radiasi, konduksi ataupun konveksi. Ketika bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak sempurna, sebagian dari zat volatil yang dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu juga dihasilkan partikel hasil pembakaran tidak sempurna yang melayang di udara yang dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika bahan bakar tidak lagi tersedia ataupun ketika bahang yang tersedia tidak cukup lagi untuk mempertahankan kebakaran (Pyne, 1996). Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran digunakan konsep segitiga api. Konsep tersebut menyatakan terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan bakar yang sesuai, kadar oksigen yang memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi untuk memulai kebakaran (Sullivan, 1997). Konsep segitiga api itu sendiri dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951). Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami kebakaran, ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu syarat dari konsep
segitiga api tadi juga dapat digunakanan dalam tindak pencegahan kebakaran. Singkatnya, kejadian kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah terkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya adalah dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono, 1986). Bahan Bakar Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya berupa vegetasi yang masih hidup (living fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati (dead fuel). Dead fuels adalah tanaman yang telah mati ataupun bagian dari tanaman yang telah terpisah. Bagian tanaman yang telah terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting, daun, pucuk tanaman, ataupun buah yang telah berguguran, bisa pula berupa batang tanaman yang tumbang, juga potongan sulur, serta akar tanaman. Hal tersebut memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar yang tampak sangat beragam baik dari segi jenis, ukuran, ataupun distribusinya. Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-hal penting dari bahan bakar yang dapat mempengaruhi kebakaran meliputi ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, volume, jenis, kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar. Pyne (1996) juga menyebutkan hal yang hampir senada dengan apa yang dinyatakan oleh Clar dan Chatten (1954). Pyne (1996) menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan, susunan, bentuk dan ukuran bahan bakar sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang berpengaruh pada kebakaran selain sifat -sifat intrinsik seperti kadar zat kimia dan potensi bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan bakar. Bahan bakar dengan ukuran yang lebih kecil akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar yang memiliki ukuran yang lebih besar. Hal tersebut terjadi karena pengeringan bahan bakar yang berukuran kecil hingga mencapai suhu pengapian, akan membutuhkan jumlah bahang yang lebih sedikit daripada melakukan hal yang sama pada bahan bakar yang berukura n lebih besar. Bahan bakar yang berdiameter kurang dari 0.5 inchi dikenal sebagai bahan bakar halus (light fuels/fine fuels ), sedangkan bahan bakar yang memiliki ukuran diameter lebih dari 0.5 inchi dinamakan bahan bakar kasar (heavy fuels ). Pada umumnya heavy fuels kering akan menyediakan materi yang dapat terbakar dalam jumlah yang lebih banyak dari fine
fuels . Fine fuels memang lebih mudah mengering, selain itu dibandingkan heavy fuels ia juga lebih mudah menyerap air. Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar, api akan menyebar dengan cepat, akan tetapi kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif lebih cepat padam, karena materi yang dapat terbakar yang ada padanya relatif sedikit. Pada umumnya fine fuels memegang peranan yang dominan pada periode awal kebakaran. Adapun kadar air yang terdapat pada heavy fuels relatif stabil. Heavy fuels relatif lebih sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut api, heavy fuels mampu menimbulkan kebakaran dengan periode yang relatif lama. Kerapatan bahan bakar menyatakan jarak antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar dengan kerapatan yang rendah akan lebih cepat bereaksi terhadap perubahan kelembaban, selain itu angin dengan mudah melakukan penetrasi dan turut berperan dalam mengurangi kelembaban bahan baka r. Ia juga memiliki potensi pasokan oksigen yang lebih banyak, karena memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat menampung lebih banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki potensi jumlah oksigen yang lebih banyak pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran akan merambat lebih cepat jika terjadi pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah akan berperilaku seperti halnya pada fine fuels , sedangkan penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang tinggi/padat akan berperilaku seperti halnya heavy fuels. Susunan bahan bakar meliputi orientasi arah secara vertikal ataupun horisontal. Bahan bakar yang tersusun kontinyu akan semakin mempercepat perambatan api. Jika bahan bakar tersusun vertikal secara kontinyu kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih cepat, demikian pula bila terdapat kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah horisontal, dalam hal ini perambatan api secara horisontal lebih cepat terjadi. Berdasarkan distribusi vertikalnya, komponen bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu bahan bakar bawah (ground fuels ), bahan bakar permukaan (surface fuels), dan bahan bakar tajuk (aerial fuels ). Ground fuels meliputi semua bahan bakar yang terdapat di bawah lapisan sarasah. Ground fuels didominasi oleh akar tanaman, dan bongkahan kayu yang tengah ataupun telah membusuk dan terkubur di dalam permukaan tanah. Jenis bahan bakar ini
lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran yang berupa bara api daripada nyala api. Ground fuels pada umumnya memiliki kadar air yang lebih banyak daripada surface fuels ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum kadar air yang dikandung oleh ground fuels jumlahnya kurang dari 20% dari bobot keringnya, kebakaran akan susah timbul. Api pada umumnya berasal dari terbakarnya lapisan sarasah di atasnya, yang kemudian merambat membakar bahan-bahan organik yang berada pada lapisan di bawahnya. Begitu terjadi, kebakaran yang lazim disebut sebagai ground fire tersebut akan susah untuk dipadamkan. Surface fuels meliputi seluruh sarasah yang terdapat pada lantai hutan. Pada umumnya surface fuels terdiri atas pucuk daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu, buah, dan cabang kecil yang telah jatuh berguguran di permukaan tanah. Selain itu surface fuels juga meliputi rerumputan, semak belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan yang masih muda. Pada umumnya sarasah akan membentuk suatu lapisan bahan bakar yang sangat mudah dilalap api. Komponen bahan bakar ini pada umumnya memiliki diameter yang besarnya kurang dari 0.5 inchi, sehingga dapat dikategorikan sebagai fine fuels. Kebakaran yang terjadi di permukaan tanah yang mengkonsumsi surface fuels dengan ketinggian maksimum 1.2 meter dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena pohon-pohonnya jarang atau dari jenis yang sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun secara kontinyu dan terekspos secara langsung dengan udara, seperti rerumputan dan semak belukar, ketika mati kadar kelembabannya akan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca harian. Kadar kelembaban komponen bahan bakar tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai suhu, angin dan kelembaban udara disekitarnya. Aerial fuels meliputi semua zat yang dapat terbakar baik hidup ataupun mati yang terdapat pada kanopi hutan, serta terpisah dari permukaan tanah dengan jarak minimal sejauh 1,2 meter. Aerial fuels biasanya didominasi oleh cabang, daun, pucuk, buah tanaman, lumut kerak, lumut daun, serta tanaman epifit lainnya. Pada umumnya bahan bakar ini terbakar setelah sebelumnya mengalami penambahan bahang yang bersumber dari surface fire terutama melalui mekanisme konveksi. Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar dapat diilustrasikan dengan gambar berikut:
Gambar 2 Distribusi vertikal dari komponen. bahan bakar (Pyne, 1996). Lingkungan Kebakaran Kebakaran yang telah terbentuk akan saling berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan hubungan antara lingkungan dengan kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut menggambarkan kondisi lingkungan sekitar yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972) maupun De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen lingkungan sekitar akan mempengaruhi kebakaran. Komponen–komponen utama dari lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya merupakan tiga buah komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah. Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan
keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting pada proses penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup dengan kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi mendominasi penyebaran aerial fire. Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta tingkat kesulitan dalam pengendalian kebakaran, singkatnya cuaca menentukan level dari kebakaran yang terjadi. Ketika tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran memang tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di suatu daerah terdapat bahan bakar yang berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa hasil penebangan hutan, akan tetapi ketika pada periode tersebut daerah itu senantiasa diguyur hujan maka lazimya di daerah tadi kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi. Kontrol terhadap bahan bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian unsur-unsur cuaca. Tindak management hutan dapat dilakukan guna mengontrol ketersediaan bahan bakar. Tindak penjarangan tanaman, pembuatan sekat bakar, bahkan pengaturan pola tanam dapat dilakukan pada kawasan agroforestri ataupun hutan, terutama pada kawasan hutan tanaman industri. Selain itu secara alamiah, perubahan ketersediaan bahan bakar yang signifikan berlangsung dengan lambat, kejadiannya mengikuti siklus hidup tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim dan topografi setempat. Berbeda dengan hal tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat berubah secara drastis dalam hitungan hari, jam bahkan dalam hitungan menit. Perubahan unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi bahan bakar, ataupun kondisi kebakaran itu sendiri baik secara langsung atau tidak (Brown dan Davis, 1975). Chandler (1983) menyatakan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakara n melalui beberapa cara sebagai berikut: • Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia. • Iklim menentukan selang waktu dan level dari musim kebakaran.
• Cuaca menentukan kadar air/kelembaban bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar. • Cuaca mempengaruhi proses pengapian dan penyebaran bahan bakar. Kondisi Atmosfer dan Kebakaran Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan perubahannya di suatu tempat tertentu dalam selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran gas tersebut dinamakan udara. Di dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air, dan aerosol. Gas–gas lain yang membentuk udara kering di atmosfer kadarnya sangat kecil dalam hal ini campuran udara kering dan uap air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab. Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil, uap air memainkan peranan yang penting di dalam proses termodinamika. Dalam kisaran suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke atmosfer dari permukaan bumi melalui penguapan air di permukaan bumi, ataupun melalui transpirasi yang terjadi pada tanaman. Jika mengalami pendinginan, uap air berubah fasa menjadi padat (es), dan membentuk awan atau kabut yang kemudian turun ke permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang perubahan fasa uap air terjadi di permukaan bumi dan membentuk embun atupun embun beku. Atmosfer dapat dibagi men jadi lapisanlapisan yang berbeda berdasarkan perbedaan suhu pada berbagai ketinggian. Berdasarkan distribusi suhu dan ketinggiannya, atmosfer dapat dibagi menjadi 4 lapisan utama seperti dinyatakan dalam ilustrasi berikut:
Sumber: http://www.clas.ufl.e du
Gambar 3 Distribusi suhu sesuai ketinggian.
Dari ke empat lapisan tersebut lapisan troposfer merupakan satu-satunya lapisan tempat fenomena meteorologi terjadi. Hampir semua pemanasan pada permukaan bumi dan atmosfer berasal dari radiasi matahari, meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh matahari diterima bumi. Pendekatan distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer dapat dinyatakan sebagai berikut:
Sumber: http://www.clas.ufl.edu.
Gambar 4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer. Geiger (1959) menyatakan radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi, nilainya hanyalah setengah dari radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari radiasi matahari tersebut akan diserap, dan dipantulkan kembali ke angkasa luar oleh atmosfer bumi. Penerimaan radiasi matahari di permukaan bumi sangat bervariasi menurut ruang ataupun waktu. Keragaman radiasi menurut ruang disebabkan oleh perbedaan letak lintang dan kondisi atmosfer di suatu daerah. Keragaman penerimaan radiasi matahari menurut waktu terjadi karena adanya perbedaan sudut datang dari radiasi matahari, dan jarak antara bumi dengan matahari pada saat bumi berevolusi mengelilingi matahari pada orbitnya yang berbentuk elips. Perbedaan jarak tersebut membuat perbedaan kerapatan fluks radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi yang besarnya sebanding dengan perbandingan kuadrat jarak antara bumi dan matahari. Perbedaan sudut datang akan mengakibatkan perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari. Selang waktu penerimaan radiasi matahari juga dipengaruhi oleh tingkat penutupan awan di atmosfer, serta perbedaan tempat menurut letak lintang. Dalam skala mikro jumlah radiasi matahari yang diterima dipengaruhi oleh faktor topografi lahan seperti faktor arah
kelerengan/aspek, dan ketinggian lahan (Handoko, 1993). Perbedaan penerimaan radiasi matahari mengakibatkan perbedaan pemanasan permukaan bumi. Fuller (1991) menyatakan perbedaan pemanasan oleh matahari pada permukaan bumi berperan dalam pembentukan keragaman iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan karena bersama dengan angin penyinaran matahari memegang peranan yang penting pada perubahan suhu dan pengeringan bahan bakar. Jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu benda et rgantung dari kapasitas panas benda tersebut C . Semakin besar kapasitas panas C semakin besar energi panas yang dapat dimiliki benda tersebut. Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa m dan panas jenis suatu benda c . Udara memiliki panas jenis yang paling rendah bila dibandingkan dengan panas jenis tanah ataupun dengan panas jenis air, cTanah = 800 Jkg −1K −1 , cAir = 4200 Jkg −1 K −1 , c Udara = 717 Jkg − 1K −1 . Meskipun nilai panas jenis udara hampir sama dengan panas jenis tanah, massa tanah nilainya seribu kali massa udara karena kerapatan tanah nilainya hampir seribu kali kerapatan udara, ñ Tanah = 1200 kgm 3 sedangkan, Faktor ñ Udara = 1,275 kgm 3 . tersebut menjadikan udara sebagai penyimpan panas yang paling buruk ketika dibandingkan dengan ke dua zat tadi, oleh karena itu udara lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi dingin dibandingkan dengan daratan dan lautan. Rendahnya kapasitas panas udara menjadikan udara cukup peka terhadap perubahan energi di permukaan bumi. Permukaan bumi merupakan bidang aktif dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai pemasok panas pada udara, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah suhu nya (Prawirowardoyo, 1996). Karena sebab yang senada pula, maka suhu di permukaan bumi juga semakin rendah dengan bertambahnya letak lintang seperti halnya dengan penurunan suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran suhu menurut lintang sumber pemasok bahang terasa berasal dari daerah tropika (Handoko, 1996). Daerah dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar, ataupun mempermudah terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui
penyerapan radiasi matahari secara langsung ataupun melalui mekanisme konduksi, dan konveksi dari lingkungan termasuk dari udara di sekitar bahan bakar (Brown dan Davis, 1973). Suhu udara menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air. Semakin tinggi suhu udara maka kapasitas udara dalam menampung uap air akan semakin besar. Kapasitas udara untuk menampung uap air dinyatakan sebagai tekanan uap jenuh es , sedangkan kadar/kandungan uap air aktual di udara dinyatakan dengan tekanan aktual ea . Perbandingan antara tekanan uap aktual ea dengan tekanan uap jenuh es pada suhu yang sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif rh.
Kelembaban relatif menunjukan derajat kejenuhan udara, ia menunjukan jauh dekatnya kondisi udara dari keadaan jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai kelembaban relatif pada siang hari akan lebih kecil daripada kelembaban relatif pada malam hari. Hal tersebut diakibatkan karena kapasitas udara dalam menampung uap air akan membesar seiring dengan naiknya suhu udara, sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi suhu udara pada siang hari pada umumnya lebih panas daripada suhu udara pada malam hari. Selain kelembaban udara, kondisi kelembaban bahan bakar secara langsung dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan seketika itu juga membasahi permukaan bahan bakar, sehingga tidak memungkinkan timbulnya kebakaran. Semakin besar intensitas hujan semakin cepat kelengasan bahan bakar mencapai nilai maksimumnya. Pola hujan di suatu daerah akan menentukan selang waktu terjadinya kebakaran. Selama periode atau musim penghujan kebakaran akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan walaupun hujan turun dengan intensitas yang rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang waktu yang relatif panjang. Seiring dengan pergantian musim, hujanpun berkurang baik intensitas ataupun periodenya. Pada masa ini, pengeringan bahan bakar dimulai kembali. Pengeringan tersebut diakib atkan oleh penerimaan radiasi surya yang memicu peningkatan devisit tekanan uap yang terjadi seiring dengan meningkatnya suhu udara dan dipercepat oleh angin sebagai pembawa air yang sudah diuapkan oleh bahan bakar. Angin turut memicu terjadinya kebakaran dan juga memasok oksigen yang
merupakan salah satu komponen penyebab terjadinya kebakaran. Selain itu Affan (2002) menyatakan bahwa angin juga menentukan arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang mempengaruhi timbulnya api, perilaku kebakaran dan pengendalian terhadapnya dikenal dengan cuaca kebakaran (fire weather), sedangkan periode ketika seringkali dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar dengan cepat, serta mengakibatkan kerusakan yang cukup parah disebut sebagai musim kebakaran (fire season) (The Glossary Team, 2002). Brown dan Davis (1973) juga menyatakan bahwa pola, selang waktu, dan intensitas dari musim kebakaran merupakan fungsi dari iklim, yang juga dipengaruhi oleh karakteristik bahan bakar. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Bahaya kebakaran merupakan suatu istilah yang komprehensif. Ia digunakan untuk menyatakan penilaian dari berbagai peubahpeubah lingkungan yang menentukan kemudahan terpicunya api (ease of ignition), laju penyebaran kebakaran, kesulitan dalam pengendalian api dan dampak dari kebakaran itu sendiri (Merrill, 1987). Peubah–peubah lingkungan, baik peubah bebas maupun peubah tak bebas terdiri dari komponen– komponen dalam konsep segitiga lingkungan yang menentukan terjadinya berbagai hal tadi. Peringkat bahaya kebakaran merupakan sistem manajemen kebakaran yang mengintegrasikan dampak dari faktor–faktor lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu daftar nilai atau peringkat nilai kualitatif. Pada umumnya unsur-unsur cuaca cukup diperhitungkan pada berbagai sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne, 1996). Sistem klasifikasi bahaya kebakaran dinyatakan dalam kelas -kelas bahaya kebakaran dengan masing-masing kode warna yang khas. Contoh kelas -kelas bahaya kebakaran tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 1. Pengkelasan bahaya kebakaran Bahaya Kebakaran Kelas Karakteristik Kebakaran Rendah Api permukaan merambat
Kesulitan Pemadaman Kebakaran Tak ada masalah pengendalian kecuali kebakaran dalam tanah
Sedang
Api permukaan bisa menyebar pesat atau dengan intensitas sedang
Api dapat dikendalikan dengan menggunakan peralatan sederhana dan air
Tinggi
Menyebar cepat atau intensitas api
Pengendalian api dengan menggunakan
Ekstrim
sedang sampai tinggi
pompa air kuat dan/atau pembuatan sekat bakar menggunakan peralatan mekanis
Menyebar cepat atau intensitas api tinggi
Sangat sulit untuk dikendalikan. Pemadaman menggunakan drip torches dari garis pengendalian dapat digunakan
Sumber: http://www.bmg.go.id
Peringkat dari penaksiran bahaya kebakaran dapat digunakan sebagai saran prakiraan yang digunakan untuk menilai resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api serta kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sehingga dalam aplikasinya ia dapat dijadikan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini tentang adanya bahaya kebakaran. Salah satu sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada adalah sistem indeks cuaca kebakaran atau Sistem Fire Weather Index , yang disingkat dengan Sistem FWI (Beck, 2002 ). Sistem FWI Sistem FWI telah digunakan di Kanada sejak tahun 1960an, meskipun dikembangkan di Kanada Sistem FWI telah diaplikasikan di daerah yang lain (contoh, di New Zealand, Alaska, Swedia, Argentina). Sistem FWI terdiri atas enam komponen yang menggambarkan pengaruh dari cuaca pada kelembaban bahan bakar dan perilaku kebakaran. Tiga komponen Sistem FWI yang pertama, merupakan kode kelembaban pada tiga model bahan bakar. Dua komponen Sistem FWI selanjutnya berupa petunjuk kualitatif dari laju penyebaran api dan tingkat ketersediaan bahan bakar, sedangkan komponen terakhir dari Sistem FWI berupa indikator kualitatif untuk intensitas ke bakaran. Kode kelembaban merupakan suatu teknik perhitungan kadar kelambaban bahan bakar pada periode kering dan periode hujan. Adapun kadar kelembaban bahan bakar merupakan suatu perbandingan antara massa air yang terdapat pada bahan bakar dengan berat kering bahan bakar tersebut. Bahan bakar pada Sistem FWI dimodelkan terbagi atas tiga jenis model bahan bakar, yaitu fine fuel, lapisan humus/fermentasi tanah, dan lapisan organik padat. Ketiga kode kelembaban dalam Sistem FWI masing-masing berupa pering kat numerik kelembaban fine fuel, rataan kadar kelembaban dari bagian atas lapisan duff yang mewakili lapisan fermentasi tanah/humus, dan rataan kadar kelembaban pada lapisan organik
padat. Kode kelembaban dalam Sistem FWI berbanding terbalik dengan kadar kelembaban pada model bahan bakarnya . Peningkatan nilai pada ketiga kode kelembaban menyatakan terjadinya pengeringan pada ketiga model bahan bakar. Kode-kode kelembaban dalam Sistem FWI nilainya akan berubah mengikuti laju pengeringan dari masing-masing model bahan bakar. Kejadian hujan akan menambah kelembaban suatu model bahan bakar hanya ketika terjadi hujan yang lebih besar daripada ambang batas pembasahan model bahan bakar tersebut. Ambang batas pembasahan merupakan fungsi intersepsi dari lapisan yang ada di atas model bahan bakar. Kenaikan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan menurunnya kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan menurunnya bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut (Beck 2002). Laju pengurangan kelembaban pada suatu model bahan bakar berlangsung secara eksponensial. Penurunan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan bertambah besarnya nilai kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan terjadinya peningkatan peringkat bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut . Selang waktu terjadinya proses pengurangan kelembaban bahan bakar sebesar 2/3 bagian dari kadar kelembaban aktualnya pada kondisi standar (kisaran suhu 21 °C, kelembaban relatif 45%, kecepatan angin 13 km/jam) yang konstan dikenal sebagai time lag. Time lag menyatakan kecepatan suatu model bahan bakar mencapai tingkat kesetimbangan kelembabannya . Kesetimbangan kelembaban merupakan suatu kondisi ketika kadar kelembaban bahan bakar sama dengan kondisi kelembaban lingkungannya. Setiap model bahan bakar dalam Sistem FWI memiliki nilai time lag yang berbeda. Besarnya time lag dan ambang batas pembasahan (wetting threshold) dari ketiga model bahan bakar tadi adalah sebagai berikut: Tabel 2. Tabulasi time lag pada Sistem FWI Kode kelembaban FFMC DMC DC
Model bahan bakar Sarasah Humus Organik padat
Wetting threshold 0.5 mm 1.4 mm 2.8 mm
Time lag 18 jam 15 hari 53 hari
Sumber : Alexander, 1988
Komponen -komponen dari Sistem FWI, dan hubungan diantara komponen-komponen tersebut, ditunjukkan pada gambar berikut:
Sumber: http://www.cwfis.cfs.nrcan.gc.ca
Gambar 5. Struktur Sistem FWI. Penghitungan setiap komponen didasarkan dari pengamatan harian beberapa parameter cuaca pada tengah hari waktu setempat. Parameter cuaca tersebut meliputi kecepatan angin pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah, suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan yang terakumulasikan selama 24 jam. Selain itu juga diperlukan nilai dari komponen FWI hari sebelumnya, beserta informasi tanggal ketika pengukuran dilakukan. Gambaran umum dari setiap komponen FWI adalah sebagai berikut: Fine Fuel Moisture Code Fine Fuel Moisture Code (FFMC) merupakan peringkat numerik kadar kelembaban dari sarasah, lumut, rerumputan, paku-pakuan, dedaunan, cabang, batang, ranting dan bagian tanaman lainnya yang telah berguguran, yang lazim disebut sebagai bahan bakar halus (fine fuels ). Fine fuels dimodelkan sebagai bahan bakar yang memiliki berat kering pada kisaran 0.25 kg m −2 . FFMC dapat berperan sebagai indikator dari mudah tidaknya bahan bakar tersebut terbakar dan sebagai sumber penyalaan api, karena dari ketiga model bahan bakar yang ada, fine fuels merupakan bahan bakar yang paling mudah tersulut api. Seperti halnya sifat bahan bakar halus, FFMC dimodelkan sangat peka terhadap perubahan suhu harian, kelembaban relatif, dan curah hujan. Kode ini berkorelasi dengan kejadian-kejadian kebakaran yang disebabkan manusia. Seluruh kode kelembaban bahan bakar pada Sistem FWI nilainya akan berkurang ketika terjadi hujan. FFMC merupakan satu-satunya kode kelembaban yang nilainya juga akan berkurang ketika terjadi peningkatan nilai kelembaban relatif. Nilai-nilai suhu, dan kecepatan angin menentukan laju pemulihan nilai FFMC
setelah mengalami pengurangan nilai ketika terjadi hujan. Bahan bakar pada model FFMC akan mengering dengan cepat. Time lag FFMC adalah 2/3 hari (18 jam). Nilai FFMC berada pada kisaran 0 sampai dengan 101. Kondisi suhu dan kecepatan yang tinggi, serta kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat laju pengeringan model bahan bakar pada FFMC. Nilai-nilai FFMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
nilai DMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 4. Interpretasi nilai-nilai DMC Kelas
Karakteristik Api
Rendah
Kecil kemungkinan dimulainya api pada tanah organik
(0-19)
Sedang
Tabel 3. Interpretasi nilai-nilai FFMC Kesulitan Pemadaman Api Tidak ada masalah pengendalian Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air
(20-29)
Cepat menyebar atau intensitas api sedang sampai tinggi
Pengendalian api menggunakan pompa air dan/atau pembuatan sekat bakar
Ekstrim
Cepat menyebar atau intensitas api tinggi tergantung dari BUI
Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur kontrol bisa dilakukan
Kelas
Karakteristik Api
Rendah
Kecil kemungkinan dimulainya api
(0-36) Sedang
Api yang merambat di permukaan
(37-69)
Tinggi (70-83)
Ekstrim (>83)
Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988
Duff Moisture Code Duff Moisture Code DMC adalah peringkat numerik dari kelembaban rata-rata bagian atas lapisan duff dengan berat kering sekitar 5 kg m −2 (Beck, 2002 ). Kode kelembaban ini memberikan indikasi konsumsi bahan bakar pada bagian atas lapisan duff dan materi berkayu yang berukuran sedang. Duff adalah lapisan yang tedapat diantara sarasah dan mineral tanah yang terdiri atas zat yang sedang ataupun telah terdekomposisi, yang seringkali dihubungkan dengan lapisan fermentasi dan lapisan humus pada lantai hutan (Beck, 2002). Bahan bakar pada DMC dimodelkan memiliki time lag sekitar 15 hari. Pada sistem skala DMC, nilai terendah dibataskan pada 0, akan tetapi tidak dilakukan pembatasan pada skala nilai tertinggi dari sistem DMC. Nilai-
Tinggi (30-39)
≥ 40
Kesulitan Pemadaman Api Tidak ada masalah pengendalian
Bahan bakar kerkayu dan tanah organik dapat terakar
Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air
Intensitas api sedang sampai tinggi karena konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi
Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar
Ada kemungkinan perilaku api yang ekstrim dan akan dipengaruhi oleh FFMC
Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur pengendali bisa dilakukan
Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988
Drought Code Drought Code (DC) merupakan peringkat numerik dari rataan kadar kelembaban pada model lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar dengan berat kering 25 kg m −2 . Lapisan ini memiliki time lag sekitar 53 hari dan pada umumnya dijumpai sebagai lapisan terbawah dari ketiga model bahan bakar yang ada pada Sistem FWI. DC dapat digunakan sebagai parameter dari dampak kekeringan musiman pada bahan bakar hutan dan juga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat kebakaran yang tidak disertai dengan penampakan nyala api (Alexander, 1988). Dengan kata lain kode ini adalah indikator penting dari dampak kemarau musiman pada bahan bakar hutan, dan banyaknya bara api dalam lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar (http://www. bmg.go.id). Senada dengan DMC, skala nilai terendah dari DC dibataskan pada 0, sedangkan skala nilai tertinggi dari DC tidak dibatasi. Nilainilai DC dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Tabel 5. Interpretasi nilai-nilai DC Kelas Rendah (0-199)
Sedang (200-299) Tinggi
Karakteristik Api Kecil kemungkinan adanya api permukaan pada lahan gambut
Kesulitan Pemadaman Api Tidak ada masalah pembenahan
Kemungkinan adanya nyala bara api pada gambut
Api sulit dimatikan dan dibenahi
Bara api menyala terus
Sangat sulit dikendalikan
Kebakaran yang dalam dan lama
Api hanya dapat dimatikan dengan sendirinya atau dengan curah hujan tinggi
( ≥ 400)
Initial Spread Index, dan Buildup Index merupakan 2 buah komponen dari Sistem F W I yang dapat dikategorikan sebagai prasyarat yang diperlukan untuk menentukan nilai dari komponen terakhir dalam sistem tersebut. Initial Spread Index (ISI) merupakan peringkat numerik dari prakiraan laju penyebaran api. ISI memprediksi akibat dari angin dan FFMC pada laju penyebaran api, ia mengilustrasikan bagaimana kebakaran akan menjalar setelah api tersulut tanpa memperhitungkan pengaruh kuantitas dari variabel bahan bakar. Buildup Index (BUI) adalah peringkat numerik dari tingkat bahan bakar yang akan dikonsumsi dan merupakan kombinasi dari DMC dan DC. BUI disebut juga sebagai indeks penumpukan, yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat pertumbuhan api berdasarkan total bahan bakar yang tersedia. Fire Weather Index (FWI) secara umum dapat disebut sebagai final indeks dari peringkat kebakaran yang ditinjau dari segi cuaca. FWI dituangkan dalam beberapa kelas bahaya kebakaran. FWI merupakan kombinasi dari ISI dan BUI, yang dapat digunakan sebagai peringkat numerik dari intensitas api. Nilainilai FWI dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Tabel 6. Interpretasi nilai-nilai FWI
(0-1) Sedang (2-6)
Ekstrim
Intensitas api sangat tinggi, kebakaran yang timbul sangat sulit dikendalikan.
Sumber: Alexander, 1988
Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988
Kelas Rendah
(7-13)
Intensitas api tinggi. Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar
(> 13)
(300-399) Ekstrim
Tinggi
Karakteristik Api Intensitas api rendah. Api akan menyebar dengan perlahan, bahkan akan padam dengan sendirinya. Intensitas api sedang. Akan tetapi Api masih dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian ini mengguna kan data sekunder, yang berupa catatan data cuaca di beberapa titik kajian di Kalimantan Timur yang meliputi: • data harian dari suhu maksimum, • data harian dari kelembaban relatif minimum • data rataan harian dari kecepatan angin pada ketinggian standar (10 m), • data harian akumulasi curah hujan 24 jam sebelumnya, Data harian yang akan digunakan sebagai masukan pada sistem FWI tersebut, berasal dari pengamatan pada periode 1 Desember 2000 sampai dengan 15 September 2002. Titik–titik pengamatan dari data harian di daerah Kalimantan Timur berada di daerah: Loajanan, Marangkayu, Samuntai, Tanjungselor, dan Tanjungredep. Posisi daerah kajian dari data harian di daerah Kalimantan Timur tersebut yaitu: Tabel 7. Lokasi pengamatan AWS Nama Stasiun Loa Janan Marang Kayu Samuntai Tanjungselor Tanjungredeb
Lintang (° ') 0°48'LS 0°24'LS 1°42'LS 0°54'LU 2°28'LU
Bujur Ketinggian (°BT) (m dpl) 117.2 102 117.6 68 116.2 53 117.5 38 117.5 37
Selain itu juga digunakan 2 jenis data sekunder rataan bulanan seperti: • data rataan bulanan dari suhu maksimum, • dan data rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial. Data rataan bulanan tersebut berasal dari daerah pengamatan Balikpapan, dan Temindung/Samarinda. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat komputer dengan program paket aplikasi Microsoft Office, Matlab, SPSS, dan Microsoft Visual Basic. Asumsi Data sekunder dari stasiun pengamatan cuaca otomatis, AWS, yang ada berisikan nilai maksimum, minimum serta akumulasi dan rataan dari unsur-unsur cuaca harian adapun contoh data sekunder dari AWS dapat dilihat pada lampiran 1. Pada sistem FWI, masukan unsur cuaca hariannya berasal dari pengamatan pada tengah hari waktu setempat. Perbedaan data tadi diasumsikan dapat diatasi
dengan melakukan substitusi unsur cuaca sejenis berdasarkan pola fluktuasi diurnal dari unsur–unsur cuaca tersebut. Selain itu digunakan awal waktu pengitungan yang bersamaan dengan menggunakan nilai awal standar (85 untuk FFMC, 6 untuk DMC, dan 15 untuk DC). Awal waktu penghitungan dipilih pada awal bulan Desember 2001 karena pada saat itu pada umumnya curah hujan dasarian sebelumnya di Kalimantan Timur telah melampaui 200 mm selain itu pada Wilayah Kalimantan Timur salju bukanlah suatu fenomena yang signifikan (bahkan tidak pernah dijumpai adanya salju), ditambah lagi dengan suhu rataan harian di daerah tersebut yang selalu lebih besar dari 12 °C. Berdasarkan fenomena tersebut asumsi asumsi yang digunakan diharapkan cukup falid dan mampu memenuhi semua syarat penentuan awal penghitungan. Nilai panjang hari di suatu daerah, Daylength, dianggap sebagai fungsi dari letak lintang dalam radian, RadforLat, dan sudut deklinasi surya, Solardecl,. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan persamaan: Daylength = (24 / 3.1415926) * Acos(Tan(RadforLat) * Tan(Solardecl)). Selain itu juga diasumsikan kecilnya keragaman nilai rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial dan suhu udara maksimum sehingga nilai adjusted day length atau panjang hari terkoreksi, Lf, untuk daerah Kalimantan Timur dapat diperoleh dari rerata nilai Lf dari daerah pengamatan Balikpapan, Temindung. Pengisian Data Kosong Sistem FWI membutuhkan data cuaca harian yang kontinyu. Ketika ditemukan kekosongan data pada suatu waktu/pe riode pengamatan, maka hal tersebut tidak dapat diabaikan. Kekosongan data tadi harus diisi dengan data yang representatif. Beberapa teknik pengisian data kosong yang terdapat pada Refference Information on The Canadian Forest Fire Danger Rating System edisi November 2001 yaitu: 1. dengan menggunakan nilai data/rataan data pada stasiun/beberapa stasiun pengamatan pada periode yang sama, 2. dengan menggunakan nilai rataan data dari hari sebelum ataupun sesudah pengamatan dari stasiun yang sama, 3. dengan mengisinya dengan nilai estimasi berdasarkan pola cuaca pada stasiun yang bersangkutan.
Pada data harian sekunder yang ada, juga ditemui beberapa waktu/periode kekosongan data. Data yang kosong tersebut dijumpai hamya pada stasiun Samuntai dari tanggal 6 Mei 2002 sampai dengan 4 Juni 2002, dan 27 Oktober 2002 sampai dengan 3 November 2002. Karena data harian yang ada relatif pendek, maka cukup riskan untuk meggunakan pengisian data menggunakan teknik yang ketiga, sedangkan teknik yang kedua akan lebih tepat digunakan ketika dijumpai kekosongan data yang hanya berdurasi satu hari, adapun kekosongan data pada kasus tersebut diharapkan dapat didekati dengan penggunaan teknik pengisian data yang pertama. Penghitungan Sistem FWI dengan Formulasi Adopsi Penghitungan komponen Sistem FWI harian dilakukan dengan berdasarkan pada persamaan yang bersumber pada Refference Information on The Canadian Forest Fire Danger Rating System, edisi November 2001. Metode asal/original dari penghitungan Sistem FWI tersebut adalah sebagai berikut: Fine Fuel Moisture Code Proses penghitungan FFMC mengikuti kaidah berikut: 1. Nilai FFMC hari sebelumnya merupakan nilai FFMC Pr ev yang akan digunakan sebagai input penghitungan FFMC hari ini. 2. Hitung M0 berdasarkan nilai FFMC Pr ev dengan mempergunakan persamaan 1 3. Jika r0 > 0 .5 hitung r f berdasarkan persamaan 2 Setelah itu hitung M r berdasarkan nilai dari rf , M 0 dengan aturan sebagai berikut: Jika M 0 ≤ 150 , gunakan persamaan 3a Jika M 0 > 150 , gunakan persamaan 3b Nilai M r yang didapat tadi menjadi 4. 5.
nilai M 0 yang baru Hitung E d dengan mempergunakan persamaan 4 Jika M 0 > Ed hitung k d dengan mempergunakan persamaan 6a dan 6b, kemudian hitung M dengan menggunakan persamaan 8
6. 7.
Jika M 0 < Ed , hitung Ew dengan mempergunakan persamaan 5 Jika M 0 < E w (dan M 0 < Ed ) hitung
dengan mempergunakan kw persamaan 7a dan 7b, kemudian hitung m dengan mempergunakan persamaan 9 8. Jika ternyata E d ≥ M 0 ≥ E w maka tetapkan nilai M sama dengan nilai M0 9. Hitung nilai F dengan mempergunakan persamaan 10, nilai tersebut merupakan nilai FFMC hari ini Ada dua batasan yang digunakan dalam penghitungan FFMC: 1) Persamaan 3(a atau b) tidak digunakan ketika nilai r0 > 0.5 mm, 2) M memiliki nilai batas atas 250, sehingga ketika persamaan 3(a atau b) menghasilkan nilai M r yang lebih besar dari 250, maka tetapkan
harga
Mr
tersebut pada batas
atasnya ( M r = 250 ). Duff Moisture Code Proses penghitungan D M C mengikuti kaidah berikut: 1. Nilai DMC hari sebelumnya merupakan nilai DMC Pr ev yang akan digunakan sebagai input penghitungan DMC hari ini. 2. Jika r0 > 1.5 hitung re berdasarkan persamaan 11 3. Hitung M o berdasarkan nilai dari DMC Pr ev dengan menggunakan persamaan 12 4. Hitung b dengan mempergunakan salah satu persamaan yang sesuai dari persamaan 13a, 13b, atau 13c 5. Hitung M r dengan mempergunakan persamaan 14 6. Rubahlah M r menjadi Pr dengan
7.
8. 9.
persamaan 15, nilai Pr tersebut merupakan nilai DMC Pr ev yang akan digunakan pada penghitungan selanjutnya Tetapkan harga Le berdasarkan panjang hari pada periode pengukuran, dari tempat pengukuran dilakukan Hitung k dengan menggunakan persamaan 16 DMC Tentukan nilai dengan menggunakan persamaan 17
Ada tiga batasan yang digunakan dalam penghitungan DMC : 1) Persamaan 11 sampai dengan 15 tidak digunakan kecuali jika nilai r0 > 1.5 . 2) Pr tidak boleh kurang dari nol, jika persamaan 15 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka nilai tersebut kita rubah menjadi nol, karena secara teori nilai Pr tidak boleh berharga negatif. 3) Harga T yang digunakan sebagai inputan dalam persamaan 16 tidak boleh kurang dari -1.1, harga T yang lebih kecil dari batas tersebut akan dianggap bernilai -1.1. Drought Code Proses penghitungan DC mengikuti kaidah berikut: 1. Nilai DC hari sebelumnya merupakan nilai DC Pr ev yang selanjutnya akan digunakan sebagai input penghitungan DC hari ini. 2. Jika r0 > 2 .8 hitung rd berdasarkan persamaan 18 3. Hitung Qo berdasarkan nilai dari DC Pr ev dengan menggunakan persamaan 19 4. Hitung Qr dengan mempergunakan persamaan 20 5. Rubahlah Qr menjadi Dr dengan persamaan 21, nilai Dr tersebut merupakan nilai DC P r ev yang akan digunakan pada penghitungan selanjutnya 5. Tetapkan harga L f berdasarkan tabel berikut: Tabel 8. Daftar nilai Lf asli Bulan
LfS
LfN
Januari
6.4
-1.6
Februari
5.8
-1.6
Maret
0.2
-1.6
April
0.4
0.9
Mei Juni
-1.6 -1.6
3.8 5.8
Juli
-1.6
6.4
Agustus
-1.6
5.8
September
-1.6
0.2
Oktober
0.9
0.4
November
3.8
-1.6
Desember
5.8
-1.6
LfN menyatakan nilai Lf di BBU LfS menyatakan nilai Lf di BBS Sumber: Van Nest 1999
Hitung V dengan menggunakan persamaan 22 DC 7. Tentukan nilai dengan menggunakan persamaan 23 Ada empat batasan yang digunakan dalam penghitungan DC : 1) Persamaan 18 sampai dengan 21 tidak digunakan kecuali jika nilai r0 > 2 .8 . 2) Dr tidak boleh kurang dari nol, jika persamaan 21 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka nilai tersbut dirubah menjadi nol, karena secara teori nilai Dr tidak boleh berharga negatif. 3) Harga T tidak boleh kurang dari -2.8, jika ditemukan T yang nilainya kurang dari -2.8 maka tetapkan nilai T sebagai -2.8. 4) Jika persamaan 22 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka tetapkan nilai V sama dengan nol, karena harga V tidak boleh negatif. 6.
Fire Weather Index Proses penghitungan ISI , BUI , FWI mengikuti kaidah berikut: 1. Hitung fW dan fF berdasarkan persamaan 24 dan 25 2. Hitung R berdasarkan persamaan 26, hasil yang didapat merupakan nilai ISI hari ini 3. Hitung U dengan mempergunakan persamaan 27a jika DMC ≤ 0 .4DC , atau dengan mempergunakan persamaan 27b jika DMC > 0.4 DC, nilai tersebut merupakan harga BUI hari ini 4. Hitung fD dengan menggunakan persamaan 28a untuk nilai U ≤ 80 , jika U > 80 gunakan persamaan 28b 5. Hitung B menggunakan persamaan 29 6. Jika B > 1, hitung S dengan menggunakan persamaan 30a, ketika dijumpai nilai B ≤ 1, tetapkan harga S = B sesuai dengan persamaan 30b, nilai yang didapat menyatakan nilai dari FWI hari ini Penghitungan Le dan Lf Sebelum dilakukan penghitungan FWI terkoreksi, terlebih dahulu dilakukan pencarian nilai Le dan Lf. Dalam tahap ini untuk memperhitungkan faktor waktu panjang hari, Le, dipergunakan formulasi penghitungan julian date, deklinasi surya, dan panjang hari yang diadopsi dari FAO 56 (1998). Selanjutnya dilakukan penghitungan Lf. Lf pada dasarnya merupakan suatu konstanta panjang hari terkoreksi, dengan
memperhitungkan nilai rataan bulanan evapotranspirasi V , dan nilai rataan bulanan dari suhu udara maksimum, T. Nilai ini didapat dengan menerapkan dasar persamaan 22, V = 0.36 × (T + 2. 8) + Lf . Data yang digunakan pada persamaan tersebut berupa data rataan bulanan dari suhu maksimum, dan data rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial yang diperoleh dari daerah pengamatan Balikpapan, dan Temindung. Karena tidak seragamnya periode pengamatan pada data yang dimiliki, maka dipilih teknik rataan terboboti (weighted average) dalam penentuan nilai Lf tadi. Nilai Lf yang dipergunakan dalam formulasi asli dari bulan Januari sampai Desember pada belahan bumi utara berturut turut adalah: -1.6, -1.6, -1.6, 0.9, 3.8, 5.8, 6.4, 5, 2.4, 0.4, -1.6, 1.6, untuk belahan bumi selatan adalah 6.4, 5, 2.4, 0.4, -1.6, -1.6, -1.6, -1.6, -1.6, 0.9, 3.8, 5.8, adapun nilai Lf dari masing-masing daerah adalah sebagai berikut: Tabel 9. Daftar nilai Lf lokal BULAN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
Lf Balikpapan Lf Temindung 1.57 2.61 1.76 3.24 2.52 4.09 2.43 4.53 2.59 2.52 1.78 1.47 2.32 0.54 3.49 1.63 3.16 2.04 2.30 0.86 1.42 0.71 1.05 2.45
Penghitungan Sistem FWI dengan Penyesuaian Faktor Le dan Lf Tahap ini hampir sama dengan tahap sebelumnya, hanya saja dalam hal ini telah dilakukan penyesuaian nilai Le, dan nilai Lf. Setelah diketahui nilai hasil penghitungan dari ke dua metode tadi, selanjutnya akan dilihat apakah terjadi perubahan nilai yang meruba h selang kelas dari komponen FWI, yang dalam hal ini di fokuskan pada FFMC, DMC, DC. Ketiga komponen tersebut dipilih karena ketiganya merupakan indikator terjadinya kebakaran pada ketiga model bahan bakar yang ada pada sistem FWI. Adapun gambaran alur dan formulasi FWI kurang lebih dapat dililustrasikan melalui skema berikut:
Fine Fuel Moisture Code Proses penghitungan FFMC dapat pada suatu hari diilustrasikan melalui gambar 6 berikut ini:
Gambar 6. Skema penghitungan FFMC.
Data masukan pada proses penghitungan FFMC terdiri dari data FFMC hari sebelumnya, Fo/FFMCPrev/FFMCn-1, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara,T, kelembaban relatif, H, dan kecapatan angin, W, yang semuanya itu merupakan data pengukuran pada tengah ha ri saat penghitungan dilakukan. Formulasi yang digunakan dalam penghitungan FFMC adalah: Mo = 147 .2
(101 − Fo ) (59.5 + Fo )
(1)
rf = ro − 0.5
(2)
− 100 − 6.93 Mr = Mo + 42 .5rf exp 1 − exp ( 251 − mo) rf
( 3a )
− 100 − 6. 93 2 Mr = Mo + 42 .5rf exp 1 − exp + 0.0015 (Mo − 150 ) rf 0. 5 ( 251 − mo ) rf
( 3b )
(H − 100 ) Ed = 0.942 H 0.679 + 11 exp + 0.18 (21 .1 − T )(1 − exp(− 0 .115 H ) 10
(H − 100 ) Ew = 0.618 H 0. 753 + 10 exp + 0 .18( 21.1 − T )(1 − exp(−0.115 H ) 10 1. 7 H H 8 0.5 ko = 0 .424 1 − + 0.0694W 1 − 100 100 kd = ko × 0.581 exp (0. 0365T ) 100 − H 100 − H 0.5 kf = 0.424 1 − + 0 .0694W 1 − 100 100 kw = kf × 0. 581 exp (0.0365T ) 1. 7
(4) (5) ( 6a ) ( 6b )
8
( 7a ) ( 7b )
m = Ed + ( Mo − Ed ) × 10
− kd
(8)
m = Ew − ( Ew − Mo) × 10
− kw
(9)
(250 − m ) FFMCn = 59 .5 (147 .2 + m )
( 10 )
Duff Moisture Code Proses penghitungan DMC pada suatu hari d apat digambarkan melalui alur pada gambar 7 berikut ini: Yes RAIN>1.5
re (11)
DMCPrev <= 33
Mo (12)
No
Yes
B (13a)
No
DMCPrev <= 65
Yes
B (13b)
Mr (14)
Pr (15)
Pr > 0
Yes
DMCPrev=Pr
No
No
B (13c)
DMCPrev=0
DMCPrev=DMCPrevData
DATA
TEMP > -1. 1
Yes
No
k (16) DMC (17)
k=0
Gambar 7. Skema penghitungan DMC. Data masukan pada proses penghitungan DMC terdiri dari data DMC hari sebelumnya, DMCPrev/DMCn-1/Po, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara, T, dan kelembaban relatif, H, yang semuanya itu merupakan data pengukuran pada tengah hari saat penghitungan dilakukan, selain itu juga digunakan data panjang hari Le pada daerah pengamatan. Formulasi yang dipergunakan dalam penghitungan DMC adalah:
re = 0.92 ro − 1.27
( 11 )
Po Mo = 20 + exp 5. 6348 − 43.43
( 12 )
B=
100
( 13a )
(0.5 + 0. 3Po )
B = 14 − 1 .3 ln Po B = 6.2 ln Po − 17. 2
( 13b ) ( 13c )
1000 re Mr = Mo + ( 48 . 77 + B . re )
( 14 )
Pr = 244 .72 − 43.43 ln( Mr − 20) k = 1.894 (T + 1.1)(100 − H ) Le ×10
( 15 ) −6
( 16 )
DMC = Po(or Pr) + 100k
( 17 )
Drought Code Proses penghitungan DC pada suatu hari dapat ditunjukkan pada gambar 8 berikut ini: Yes RAIN >2.8
Rd (18)
Qo (19)
Qr (20)
Dr (21 )
DATA
DCPrev=0
DCPrev=DCPrevData
Yes
DCPrev=Dr
No
No
LAT>0
Yes Dr>0
Lf Lf=f(LfN,Month)
No
Lf Lf=f(LfS,Month
DRYINGFACTOR =Lf
TEMP>-2. 8
No
V= DRYINGFACTOR
Gambar 8. Skema penghitungan DC.
Yes
V (22) DC (23)
Data masukan pada proses penghitungan DC terdiri dari data DC hari sebelumnya/DCPrev/DCn-1/ Do, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara tengah hari saat penghitungan dilakukan, T, selain itu juga digunakan data panjang hari terkoreksi Le pada daerah pengamatan. Formulasi yang dipergunakan dalam penghitungan DC adalah: Rd = 0.83 ro − 1.27
( 18 )
− Do Qo = 800 exp 400 Qr = Qo + 3.937 Rd
( 19 ) ( 20 )
800 Dr = 400 ln Qr
( 21 )
V = 0.36 (T + 2 .8) + Lf
( 22 )
DC = Do(or Dr) + 0.5V
( 23 )
Fire Weather Index Data masukan pada ISI berupa nilai FFMC, dan data kecepatan angin saat penghitungan, W, masukan pada BUI berupa hasil penghitungan DMC dan DC saat penghitungan dilakukan, sedangkan masukan pada FWI berupa hasil penghitungan dari ISI dan BUI tadi. Formulasi yang digunakan dalam ketiga komponen tersebut adalah: fWIND = exp(0.05039 W ) ( 24 )
Mo5. 31 fF = 91 .9 exp − 0 .1386 Mo1 + −7 4.93 × 10
( 25 )
ISI = 0 .208 fWIND . fF
( 26 )
DMC.DC U = 0.8 (DMC + 0.4DC )
( 27a )
[
DMC .DC 1. 7 U = DMC − 1 − 0.8 0 .92 + (0.0114 DMC ) ( DMC + 0 . 4 DC )
fd = 0. 626U 0. 809 + 2 1000 fd = (25 + 108.64 exp(−0.023U ))
]
( 27b ) ( 28a ) ( 28b)
B = 0 .1 × ISI × fd
[
S = exp 2.72 (0. 434 ln B ) S=B
0. 647
( 29)
]
( 30a ) ( 30b ) Proses penghitungan ISI, BUI dan FWI dapat direpresentasikan melalui diagram alir pada gambar 9 berikut ini:
fWIND (24)
ISI DATA
FWI DATA
BUI<=80
Mo (1)
ISI (26)
fF (25)
fd (27a) B (29)
B>1
S (30a)
FWI=S fd (27b) S=B
Gambar 9. Skema penghitungan ISI, BUI dan FWI.
Deskripsi Daerah Kajian Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 211.440 km² atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura. Secara geografis Kalimantan Timur terletak antara 113º44’ dan 119º00’ Bujur Timur serta diantara 4º24’ Lintang Utara dan 2º25’ Lintang Selatan. Propinsi terluas kedua setelah Irian Jaya ini dibagi menjadi 8 kabupaten, 4 kota, 87 kecamatan dan 1.258 desa/kelurahan. Adapun sebaran geografis daerah kajian dapat diilustrasikan melalui gambar 10 berikut:
penghitungan yang mempergunakan formulasi aslinya. Perbedaan hasil tersebut dapat dilihat dari contoh hasil berikut: Perbandingan FFMC di Tanjung Redep 1000 900 800 700 600 FFMC
HASIL DAN PEMBAHASAN
500 400 300 200 100 0 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian FFMC_TanjungRedep_Mod
FFMC_TanjungRedep_Ori
Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep 1000 900 800 700
DMC
600 500 400 300 200 100 0 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian
Sumber: http://www.encarta.msn.com
Gambar 10. Sebaran geografis daerah kajian.
DMC_Tanjung Redep_Ori
Perbandingan Nilai DC Tanjungredep 1000 900 800 700 600 DC Value
Daerah kajian disimbolkan dengan angka 1 sampai dengan 5, angka 1 untuk menandakan daerah Loajanan, 2 untuk Marangkayu, 3 untuk Samuntai, 4 untuk Tanjungredep, dan 5 untuk Tanjungselor. Secara umum propinsi Kalimantan Timur beriklim tropik basah dengan curah hujan berkisar antara 1500 – 4500 mm pertahun , dengan suhu rata-rata 26° C dengan perbedaan suhu siang dan malam antara 5 - 7° C. Suhu minimum umumnya dideteksi terjadi pada Oktober sampai dengan Januari dan suhu maksimum antara Juli sampai Agustus (http://www.dipertakaltim.go.id). Setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan ke dua metode tadi, selanjutnya akan dilihat apakah terjadi perubahan nilai yang merubah label kelas dari komponen FWI, yang dalam hal ini di fokuskan pada FFMC, DMC, DC. Ketiga komponen tersebut dipilih karena ketiganya merupakan indikator terjadinya kebakaran pada ketiga model bahan bakar yang ada pada sistem FWI. Hasil penghitungan dari semua komponen Sistem FWI yang telah mempergunakan faktor Le dan Lf, pada umumnya menghasilkan komponen-komponen Sistem FWI yang nilainya berbeda daripada komponen – komponen Sistem FWI yang dihasilkan dari
DMC_Tanjung Redep_Mod
500 400 300 200 100 0 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian DC TanjungredepMod
DC tanjungredepOri
Gambar 11. Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem FWI. Komponen hasil penghitungan formulasi FWI yang tidak dimodifikasi ditandai dengan adanya akhiran _Ori pada nama komponen tersebut, sedangkan komponen – komponen Sistem FWI yang dihasilkan dari penghitungan yang telah mempergunakan konstanta Le, ataupun Lf, ditandai dengan adanya akhiran _Mod pada nama komponennya. Dalam hal ini juga digunakan warna yang berbeda pada tampilan grafik keduanya, biru kehitaman digunakan sebagai warna untuk komponen yang berakhiran _Mod dan merah muda untuk komponen yang
berakhiran _Ori. Pengkelasan dari kode-kode kelembaban Sistem FWI dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel
10. Selang kelas pada beberapa ........komponen Sistem FWI
Kelas Bahaya Kebakaran Setiap Komponen Sistem FWI Rendah Sedang
Komponen Sistem FWI
0-36 37-69
0-19 20-29
0-199 200 -299
Tinggi
70-83
30-39
300 -399
40
400
FFMC
Ekstrim >83 Sumber: Van Nest 1999
DMC
DC
kemungkinan terjadinya kebakaran pada bahan bakar bertipe fine fuels yang tergolong tinggi di sepanjang periode pengamatan. Fenomena yang sama juga berlangsung pada keempat daerah lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran 3 sampai dengan 7. Pengolahan data menunjukkan hasil penghitungan FFMC dengan kelas potensi bahaya yang rendah sangat jarang dijumpai. Setelah merajah nilai unsur-unsur cuaca masukan komponen FFMC dengan nilai keluarannya, diketahui nilai keluaran FFMC yang rendah tadi terjadi pada saat tidak ada hujan. Fenomena tadi dapat dilihat pada gambar berikut: Hubungan FFMC dan Curah Hujan (Contoh Kasus di Tanjung Redep)
FFMC Kedua metode penghitungan yang dilakukan tidak selalu menghasilkan komponen–komponen Sistem FWI dengan perbedaan yang signifikan, terutama pada FFMC. Pada kasus FFMC, koreksi yang dilakukan memang tidak menyebabkan perubahan pada proses penghitungannya, akan tetapi selain FFMC koreksi yang dilakukan telah mengubah proses penghitungan komponen–komponen FWI lainnya. Distribusi bulanan dari indikasi kemudahan tersedianya sumber penyalaan api yang didapat dari interpretasi hasil penghitungan FFMC dapat dilihat dari contoh tabel berikut: Tabel 11 Prosentase kelas ..................... Tanjungredep Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 0 2 0 3 0 0 2 0 0 0 0 2 1
FFMC Tanjungredeb 2 3 15 19 14 11 29 19 30 17 29 32 20 27 5 23 2 15 20 17 19 26 27 47 31 23 20 22
FFMC 4 66 73 52 50 39 53 71 84 63 55 27 45 58
di
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan contoh interpretasi dari pengkelasan FFMC tersebut, terlihat daerah pengamatan tersebut didominasi oleh
5
140 120
4 100 3
80 60
2
Tinggi Hujan
Peringkat FFMC
Kelas bahaya yang rendah mengindikasikan kondisi model bahan bakar yang cukup lembab sehingga model bahan bakar pada kelas tersebut akan sulit terbakar. Indikasi kemudahan terbakarnya ketiga model bahan bakar pada sistem FW I yang ditentukan oleh komponen FFMC, DMC, dan DC adalah sebagai berikut:
40 1 20 0
0 FFMC
Curah Hujan
Gambar 12. Pengaruh Curah Hujan pada FFMC. Gambar tadi juga memperlihatkan fluktuasi nilai FFMC yang cukup besar setiap harinya. Fenomena perbedaan nilai FFMC yang cukup besar setiap harinya dimungkinkan karena model bahan bakar pada FFMC merupakan gambaran dari fine fuel, dengan time lag yang hanya 2/3 hari sehingga ia akan sangat peka terhadap perubahan suhu harian, kelembaban relatif, dan curah hujan. Berdasarkan keumuman pola cuaca di Indonesia curah hujan di kawasan Kalimantan Timur seperti halnya di daerah lain di Indonesia, merupakan unsur cuaca yang mengalami fluktuasi harian terbesar, dari gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa curah hujan hujan di Kalimantan Timur berpengaruh cukup besar pada hasil penghitungan FFMC, maka dapat dikatakan bahwa di Kalimantan Timur fluktuasi harian FFMC didominasi oleh fluktuasi curah hujan. Besarnya indikasi tersulutnya api pada model bahan bakar fine fuel tadi sebenarnya dapat juga dideteksi dengan melihat jumlah titik-titk api di daerah yang bersangkutan, akan tetapi karena
DMC DMC merupakan salah satu komponen FWI yang mengalami perubahan output akibat koreksi yang dilakukan. Hal tersebut terjadi karena dalam proses penghitungannya, DMC mengikutsertakan data panjang hari di daerah pengamatan. Perubahan proses penghitungan pada DMC terjadi pada formulasi 16 dan 17. Formulasi detail penghitungan perbedaan DMC_Ori dengan DMC_Mod akan sulit ditentukan karena DMCPrev pada kedua metode merupakan fungsi hasil penghitungan DMC hari sebelumnya, dimana penghitungan DMC setiap harinya menggunakan data c uaca harian yang nilainya selalu berubah, akan tetapi kita dapat menentukan selisih ke dua metode dengan mengurangkan hasil dari formulasi 17 pada ke dua metode setiap waktu penghitungannya. Jadi nilai dari besarnya perubahan yang terjadi tetap dapat diket ahui, yaitu dengan mengurangkan hasil akhir penghitungan DMC kedua metode tadi setiap harinya. Hasil penghitungan menunjukkan DMC dengan label kelas bahaya yang tinggi untuk daerah Tanjungredep dijumpai pada bulan Januari, Februari, Maret, Juli, Agustus dan September. Hal yang sama juga terjadi di Tanjungselor kecuali pada bulan September. Sedangkan pada ketiga daerah kajian lainnya dominasi DMC pada label kelas yang tinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September. Selain itu juga terlihat adanya perbedaan hasil pada kedua proses penghitungan. Gambaran mengenai perubahan
yang terjadi dapat dilihat dari lampiran 18 sampai dengan 22, sedangkan contoh grafik DMC di tanjungredep adalah sebagai berikut : Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep 240 220 200 180 160
DMC
140 120 100 80 60 40 20 0
336 354 6 24 42 60 78 96 114 132 150 168 186 204 222 240 258 276 294 312 330 348 1 19 37 55 73 91 109 127 145 163 181 199 217 235 253
keterbatasan data hal tersebut tidak dapat dilakukan. Prosedur tersebut hanya berlaku bagi FFMC tetapi tidak berlaku bagi kedua model kelembaban lainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam Sistem FWI, komponen FFMC merupakan satu-satunya kode kelembaban yang berfungsi sebagai indikator potensi terjadinya kebakaran pada fine fuel yang pada umumnya akan mengawali dan mendominasi terjadinya kebakaran permukaan (surface fire). Indikasi resiko tersulutnya api yang tinggi di tempat – tempat tersebut sebaiknya ditindak lanjuti dengan ketatnya pengawasan terhadap tindak pembalakan hutan, meskipun kawasan HTI di Kalimantan Timur tidak seluas di provinsi tetangganya. Hal tersebut dikarenakan lapisan pada tanah di Kalimantan Timur, seperti dikawasan Kalimantan pada umumnya, termasuk dalam kategori lahan gambut, sehingga ketika sudah terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan.
Julian DMC_Tanjung Redep_Mod
DMC_Tanjung Redep_Ori
Gambar 13. Hasil penghitungan DMC dengan menggunakan dua metode berbeda. Dari gambar tersebut tampak bahwa kadang kala terjadi perbedaan nilai yang cukup besar sehingga dimungkinkan telah terjadi perubahan label kelas bahaya DMC yang salah satunya disebabkan oleh penggunaan Le setempat. Perubahan label kelas bahaya DMC tadi dapat dilihat dari distribusi prosentase kelas bahaya DMC bulanan. Distribusi prosentase kelas DMC bulanan memperlihatkan penambahan jumlah prosentase DMC pada label kelas bahaya yang lebih tinggi pada setiap bulan pengamatan kecuali pada sekitar bulan April, Mei, Juni sampai dengan Juli (pada kisaran nilai julian 90 sampai dengan 210). Fenomena tersebut akan lebih mudah terlihat pada lampiran 8 sampai dengan 12, adapun contoh tabel perbandingan prosentase kelas bahaya adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Perbandingan prosentase kelas ................DMC di Tanjungredep Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DMC TanjungredepOri 1 2 3 44 31 11 30 20 0 40 26 0 23 57 12 23 73 5 5 62 13 3 40 21 0 31 31 13 54 17 42 58 0 77 23 0 87 13 0 27 42 10 DMC TanjungredepMod 1 2 3 10 45 5 11 34 5 23 37 6 25 53 17 35 65 0 13 60 18 3 45 19 0 26 24 2 54 17 16 74 6 20 77 0 42 58 0 16 50 11
Total 4 15 50 34 8 0 20 35 39 15 0 0 0 21
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Total
4 40 50 34 5 0 8 32 50 26 3 3 0 24
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Penghitungan dengan kedua metode juga memperlihatkan bahwa perbedaan nilai DMC akan semakin tampak pada bulan dengan perbedaan nilai Le yang cukup besar saat tidak terjadi hujan. Hal tersebut dimungkinkan karena curah hujan merupakan unsur cuaca masukan komponen DMC yang mengalami fluktuasi nilai harian yang paling besar dan dalam proses penghitungannya ia mendapatkan skoring yang cukup besar untuk mengubah nilai DMC. Pada periode pengamatan ditemui adanya kondisi kering yang cukup lama pada daerah Tanjungredep dan Tanjungselor, tepatnya pada bulan Januari hingga awal Maret tahun 2002. Rendahnya curah hujan harian pada bulan Januari dan Februari pada periode pengamatan tadi dapat dilihat pada grafik berikut: AkumulasiHujanHarian 160
140
120
100
80
60
40
20
0 12 12 12 12 12 1
1
1 1
2
2 2
2
3
3
3
3
3 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 1
1
1
1
1 1
1
2
2
2
2 3
2 2
2
2
3
3 3
3
Bulan
Dari contoh grafik dan tabel tadi tampak bahwa DMC dengan label kelas yang lebih tinggi, terjadi lebih awal ketika menggunakan formulasi penghitungan terkoreksi. Fenomena itu seharusnya mendapatkan tindak lanjut yang tepat mengingat bagian atas dari lapisan duff di Kalimantan Timur tidak jarang sudah mengandung batubara. Dijumpainya label kelas DMC yang lebih tinggi secara lebih awal diantaranya dimungkinkan karena adanya kombinasi dari kondisi cuaca setempat dengan perbedaan nilai panjang hari pada kedua metode penghitungan. Perubahan panjang hari yang terjadi kurang lebih adalah sebagai berikut:
RRR_Tanjung Redep
AkumulasiHujanHarian 160
140
120
100
80
60
40
20
0 12 12 12 12 12 1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3 10 10 10 1011 11 1111 12 1212 12 12 1
Bulan Januari Februari
Nilai Asli 6.5 jam 7.5 jam
Maret
9 jam
April
12.8 jam
Mei
13.9 jam
Juni
13.9 jam
Juli
12.4 jam
Agustus
10.9 jam
September
9.4 jam
Oktober
8 jam
November
7 jam
Desember
6 jam
Nilai Setempat
± 12 jam
±12 jam ±12 jam ±12 jam ±12 jam ±12 jam ± 12 jam ± 12 jam
±12 jam ±12 jam ±12 jam ±12 jam
3
3
3
3
3
Bulan RRR_Marangkayu
RRR_Loajanan
AkumulasiHujanHarian 160
140
120
100
80
60
40
20
0 12 12 12 12 12 1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3 10 10 1010 11 1111 1112 12 1212 12 1
1
1 1
2
2 2
2
3
3
3
3
3
Bulan RRR_Muarawahau
Tabel 13. Perubahan nilai Le pada DMC
RRR_Tanjung Selor
RRR_Samuntai
Gambar 14. Windowing anomali curah huja n tahun 2000 sampai dengan 2002. Dari studi kasus pada periode kering di daerah Tanjungselor diketahui bahwa selama periode tidak hujan di bulan Januari hingga Maret 2002 dibutuhkan waktu sekitar 6 hari untuk menaikkan label kelas bahaya DMC dari label sedang ke label tinggi. Adapun untuk menaikkan dari label tinggi ke ekstrim hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 hari. Fenomena tadi dapat diilustrasikan melalui grafik berikut:
Estimasi DMC pada Periode Kering 250
60
240 230 220 210 200
50
190 180 170 160
40
140 130 30
120 110
Rainfall
DMC Value
150
100 90 80
20
70 60 50 10
40 30 20 10 0
0 1
16
31
46
61
76
Julian Rainfall
DMCMod Value
Gambar 15. Windowing DMC dan anomali curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002.
Hasil perhitungan tadi memperlihatkan koreksi yang dilakukan hampir tidak pernah merubah label kelas dari DC kecuali pada bulan dengan kondisi suhu yang tinggi dan curah hujan yang rendah seperti halnya terjadi pada periode ditemukannya DC dengan lab el kelas yang yang tinggi di kelima daerah tersebut. Perubahan distribusi prosentase bulanan dari DC dapat dilihat pada lampiran 13 hingga 17. Contoh dari kumpulan tabel tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Perbandingan prosentase kelas DC ................di Tanjungselor Bulan
DC Komponen FWI lainnya yang mengalami perubahan pada proses penghitungan nya adalah DC. Sebagai indikator dampak kemarau musiman dari kebakaran hutan pada lapisan organik padat, DC menginformasikan peluang terjadinya kebakaran bawah (ground fire) yang dalam hal ini identik dengan kebakaran yang tidak disertai dengan nyala api (glowing combustion), dan bahaya asap yang mungkin timbul. Pada penelitian ini komponen DC yang berubah pada proses penghitungannya adalah adjusted day length , Lf. Hasil penghitungan DC dengan menggunakan kedua metode tersebut memperlihatkan adanya periode dengan kelas bahaya DC yang tinggi terjadi hanya pada bulan September untuk daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai, adapun untuk daerah Tanjungselor dan Tanjungredep dapat dijumpai pada bulan Maret hingga Mei. Adapun hasil penghitungan DC dapat dengan kedua metode dapat dilihat pada lampiran 28 sampai dengan 32. Contoh grafik hasil penghitungan DC adalah sebagai berikut: Perbandingan Nilai DC Tanjungredep 1000 900
800 700
DC Value
600 500 400
300 200 100
0 336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256 Julian DC TanjungredepMod
Gambar
16.
DC tanjungredepOri
Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode berb eda.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DC TanjungselorOri 2 3 3 0 32 18 0 13 0 28 0 0 0 18 0 32 29 15 17 0 0 0 0 0 0 0 8 13 DC TanjungselorMod 1 2 3 68 32 0 50 7 23 50 0 0 50 0 0 50 0 0 50 0 18 50 23 15 68 32 0 91 9 0 100 0 0 100 0 0 100 0 0 64 9 6 1 97 50 50 50 50 50 50 56 83 100 100 100 63
Total 4 0 0 37 22 50 32 18 0 0 0 0 0 16 4 0 20 50 50 50 32 13 0 0 0 0 0 22
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil penghitungan tadi juga mengindikasikan keadaan yang tidak memungkinkan ground fire, dan bahaya asap untuk terjadi, kecuali pada beberapa hari di bulan Agustus sampai dengan awal September untuk daerah Loajanan, Marangkayu, dan Samuntai, ataupun bulan Maret hingga Mei untuk Tanjungredep dan Tanjungselor. Senada dengan DMC, perbedaan nilai pada DC juga dimungkinkan terjadi karena adanya kombinasi dari selisih faktor yang mengalami penyesuaian, dengan kondisi cuaca hariannya. Perbedaan nilai Lf asli dengan Lf insitu adalah sebagai berikut:
Tabel 15. Perubahan nilai Lf pada DC Bulan
Nilai LfS Asli 6.40 5.00 2.40 0.40 -1.60 -1.60 -1.60 -1.60 -1.60 0.90 3.80 5.80
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Nilai LfU Asli -1.60 -1.60 -1.60 0.90 3.80 5.80 6.40 5.00 2.40 0.40 -1.60 -1.60
Nilai Lf Lokal 2.05 2.45 3.25 3.41 2.56 1.49 2.63 2.64 1.63 1.09 1.70 4.02
Studi kasus pada periode kering di daerah Tanjungselor diketahui bahwa selama periode tidak hujan di bulan Januari hingga Maret 2002 dibutuhkan waktu sekitar 14 hari untuk menaikkan label kelas bahaya DMC dari label sedang ke label tinggi. Adapun untuk menaikkan dari label tinggi ke ekstrim hanya dibutuhkan waktu sekitar 11 hari. Fenomena tadi dapat diilustrasikan melalui grafik berikut:
Estimasi DC pada Periode Kering 1000
60
900 50 800
700 40
500
30
Rainfall
DMC Value
600
400 20 300
200 10 100
0
0 1
16
31
46
61
76
Julian Rainfall
DMCMod Value
Gambar 17. Windowing anomali DC dan curah hujan bulan Januari sampai dengan Maret 2002.
SIMPULAN Secara keseluruhan terlihat bahwa koreksi yang dilakukan menghasilkan komponen kode kelembaban Sistem FWI yang nilainya berbeda kecuali pada komponen FFMC. Dalam penelitian ini di seluruh daerah kajian, dijumpai nilai FFMC yang tinggi di sepanjang tahun. DMC dengan label kelas bahaya yang tinggi untuk daerah Tanjungredep dijumpai pada bulan Januari, Februari, Maret, Juli, Agustus dan September. Hal yang sama juga terjadi di Tanjungselor kecuali pada bulan September. Sedangkan pada daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai dominasi DMC pada label kelas yang tinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September. DC dengan kelas bahaya DC yang tinggi terjadi hanya
pada bulan September untuk daerah Loajanan, Marangkayu dan Samuntai, sedangkan pada daerah Tanjungselor dan Tanjungredep hal tersebut juga dapat dijumpai pada bulan Maret hingga Mei. Pada umumnya koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai komponen yang lebih tinggi di sepanjang tahun kecuali pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli, untuk komponen DMC, adapun untuk komponen DC koreksi akan menghasilkan nilai yang lebih tinggi hanya pada bulan Maret dan April untuk daerah di Tanjungredep dan Tanjungselor. Pada ketiga daerah lainnya nilai DC yang lebih tinggi hanya dijumpai pada bulan September. Peningkatan nilai pada ketiga kode kelembaban Sistem FWI akan semakin terlihat pada periode kering ataupun hujan dengan intensitas yang lebih kecil dari ambang batas pembasahan setiap model bahan bakar. Peningkatan nilai tadi tidak selalu berhasil meningkatkan label kelas bahaya dari ketiga kode kelembaban tadi. Peningkatan label kelas bahaya dari komponen Sistem FWI pada umumnya hanya tejadi pada periode kering di bulan yang memiliki nilai Le, ataupun Lf terkoreksi yang lebih besar dari nilai asalnya. Fenomena tersebut dapat dilihat pada kasus di Tanjungredep, dan Tanjungselor. Koreksi yang dilakukan juga menginformsikan resiko kebakaran pada kelas yang lebih tinggi akan terjadi lebih awal. Diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan tingkat kesiap-siagaan dalam tindak manajemen bahaya asap dan kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA Alexander ME, De Groot WJ. 1988. Fire behavior in Jack Pine Stands as related to The Canadian Forest Fire Weather Index (FWI) System. Canadian Forestry Service, Northern Forestry Centre, Edmonton, Alberta. Allen RG, Pereira LS, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration. FAO(56). Rome. Italy. Beck JA, Alexande ME, Harvey SD. 2002. Forcasting diurnal variations in fire intensity to enhance wildland fire fighter safety. Hal: 173 -182 pada Flannigan. (Compiler and Editor). Proceedings of the fourth Fire and forest meteorology conference. 13-15 November 2001. http://www.ciffc.ca/whatsup/Becketal.(200 2).pdf[23 Juli 2004].
Brown AA, Davis KP. 1973. Forest fire: Control and use. Second edition. McGrawHill. New York. Chandler C, Cheney P, Thomas P, Trabaud L and Williams D. 1983. Fire in forestry, Vol. 1. Forest fire behaviour and effects. John Wiley and Sons Inc. Canada. Clar CR, Chatten LR. 1954. Princilpe of forest fire mangement. Department of Natural Resources Division of Forestry. California. De Ba no LF, Neary DG, Foiliot PF. 1998. Fire effect on ecosystems. John Wiley and Sons, Inc. New York. De Groot WJ. 1990. Development of saskatchewan’s fire preparedness system. Hal: 23-50 pada Hirsch KG. (Compiler and Editor). Proceedings of the sixth central region fire weather committee scientific and technical seminar. 4 April 1989. Winnipeg, Manitoba. Forestry Canada. Study NOR-36-03-1 File Report No. 5. Northern Forestry Centre. Edmonton, Alberta. Fuller M. 1991. Forest fire: An introduction to wildland fire behavior, management, fire fighting and prevention. John Wiley & Sons, Inc. New York. Geiger R. 1959. The climate near the ground. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. USA. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. PT Dunia Pustaka. Jaya. Jakarta. Http://www.bmg.go.id [12 Maret 2005]. Http://www.clas.ufl.edu[2 Januari 2000]. Http://www.diperta-kaltim.go.id [2 Desember 2000]. Http://www.encarta.msn.com/encyclopedia_7 61563809/Fire.html[12 Maret 2005]. Http://www.nrfa.fire.org.nz/fire_weather/fwi_ help/firedangerstandardcomponent.htm[23 Juli 2004]. Karnowo A. 1998. Penyusunan peringkat penyebab kebakaran hutan dan lahan (Studi kasus di HPH PT. Sri Buana Dumei Kecamatan Bukit Sari Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau). [Skripsi] Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pyne S.J. 1996. Introduction to wildland fire: fire management in the United Sates. John Wiley and Sons. New York Sormin BH, Hartono. 1986. Metode dan teknik penaggulangan kebakaran hutan. Kerjasama proyek diklat dalam rangka pengin donesiaan tenaga kerja. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan Bogor.
The Glossary Team. 2002. The 2002 glossary of forest fire management terms. Canadian Interagency Forest Fire Centre. http://www. 3.gov.ab.ca/srd/wildfires/fpd/p df/Draft2002GlossaryEng.pdf[23 Juli 2004] . Van Nest TA, Alexander ME. 1999. System for rating fire danger and predicting fire behavior used in canada. Di dalam National interagency fire behavior workshop. Phoenix, Arizona, 1-5 Maret 1999. W ardhani Y. 2001. Pengaruh bahan bakar terhadap laju penjalaran api pada kebakaran terkendali. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
dialat 31-Oct-00 1-Nov-00 2-Nov-00 3-Nov-00 4-Nov-00 5-Nov-00 6-Nov-00 7-Nov-00 8-Nov-00 9-Nov-00 10-Nov-00 11-Nov-00 12-Nov-00 13-Nov-00 14-Nov-00 15-Nov-00 16-Nov-00 17-Nov-00 18-Nov-00 19-Nov-00 20-Nov-00 21-Nov-00 22-Nov-00 23-Nov-00 24-Nov-00 25-Nov-00 26-Nov-00 27-Nov-00 28-Nov-00 29-Nov-00 30-Nov-00 1-Dec-00 2-Dec-00 3-Dec-00 4-Dec-00 5-Dec-00
Contoh format data mentah dari Statiun AWS di Loajanan
tn 22.4 23.3 21.9 22.9 22.5 21.9 22.6 22.1 22.0 22.2 22.4 22.2 22.9 22.7 22.1 23.3 23.4 22.8 21.7 22.4 22.9 22.8 22.5 23.2 22.6 21.9 21.7 22.0 21.5 21.8 22.3 23.1 22.7 24.0 23.3 23.1
tx 32.6 30.3 33.0 29.6 31.4 34.0 32.4 28.7 33.6 33.5 32.7 31.2 32.0 30.4 34.1 33.8 32.2 32.8 32.9 32.8 32.1 32.6 32.8 28.6 33.3 25.1 34.8 30.1 34.2 32.5 30.9 33.9 34.3 32.4 34.4 33.3
tm 27.5 26.8 27.5 26.3 27.0 28.0 27.5 25.4 27.8 27.9 27.6 26.7 27.5 26.6 28.1 28.6 27.8 27.8 27.3 27.6 27.5 27.7 27.7 25.9 28.0 23.5 28.3 26.1 27.9 27.2 26.6 28.5 28.5 28.2 28.9 28.2
Un 58.5 67.5 58.0 73.0 63.5 54.0 62.5 70.0 49.0 56.5 58.5 64.5 65.5 69.0 53.0 53.0 63.0 64.0 59.0 64.0 62.5 64.0 58.5 79.0 57.5 86.5 54.0 71.5 55.0 59.5 63.5 53.0 54.0 55.0 48.0 54.5
Ux 93.5 92.5 93.0 93.0 93.5 93.5 93.0 94.0 94.0 92.0 93.5 94.0 94.0 93.5 94.0 93.0 93.5 94.0 94.0 94.5 93.0 93.5 94.0 93.5 93.5 95.0 94.5 94.5 94.5 94.5 93.0 93.0 93.5 89.5 89.5 90.5
Um 85.5 85.0 84.5 87.0 85.5 79.5 87.0 90.0 79.0 83.5 83.5 86.0 86.0 85.5 82.5 81.5 86.5 88.5 89.0 86.0 84.0 88.5 82.0 90.0 80.5 93.0 82.5 88.0 86.0 83.5 80.5 77.5 77.0 74.5 70.5 75.0
RR VTm RGm 39.2 0.65 16.58 1.2 0.6 10.63 9.2 0.9 18.03 0.8 0.7 12.35 4.4 0.6 13.02 0.2 0.8 22.83 4.6 0.8 10.93 24.4 0.7 8.29 0.0 0.9 21.36 0.0 0.7 14.95 0.2 0.8 16.62 0.4 0.5 12.10 11.0 0.7 14.04 0.0 0.6 12.17 7.0 0.7 19.12 0.0 0.9 19.00 0.0 0.7 12.11 21.4 0.6 10.84 18.8 0.7 13.34 27.0 0.7 15.78 6.2 0.8 15.14 16.0 0.7 12.85 0.0 0.7 18.96 18.4 0.7 8.32 1.4 0.5 18.99 52.0 0.4 1.52 99.4 0.7 20.60 63.8 0.8 12.28 44.4 0.8 20.09 0.0 0.7 20.99 0.0 0.6 16.43 1.6 0.8 19.67 0.2 0.9 21.62 0.0 0.8 17.59 0.0 0.8 22.50 0.0 0.6 16.01
Dialat menyatakan tanggal pengamatan tn menyatakan suhu udara minimum dalam °C tx menyatakan suhu udara maksimum dalam °C tm menyatakan rataan harian suhu udara dalam ° C Un menyatakan kelembaban relatif minimum dalam % Ux menyatakan kelembaban relatif maksimum dalam % Um menyatakan rataan harian kelembaban relatifdalam % RR menyatakn jumlah curah hujan harian dalam mm VTm menyatakan rataan kecepatan angin harian pada ketinggian standar yang dinyatakan dalam ms-1 Etp menyatakan jumlah evapotranspirasi harian dalam mm
Etp 3.9 2.8 4.3 3.0 3.2 5.3 2.9 2.1 5.0 3.7 4.0 3.0 3.4 3.0 4.5 4.6 3.1 2.8 3.2 3.7 3.7 3.1 4.4 2.2 4.4 0.4 4.8 3.0 4.6 4.7 3.9 4.8 5.2 4.5 5.5 4.1
Lampiran 2.
Contoh format masukan data pada Sistem FWI untuk Stasiun Loajanan
dialat tn tx tm Un Ux Um RR Etp 36861 23.1 33.9 28.5 53 93 77.5 1.6 36862 22.7 34.3 28.5 54 93.5 77 0.2 36863 24 32.4 28.2 55 89.5 74.5 0 36864 23.3 34.4 28.9 48 89.5 70.5 0 36865 23.1 33.3 28.2 54.5 90.5 75 0 36866 23.2 34.8 29 47.5 90.5 73 0 36867 23.9 34.2 29.1 55 93.5 83 4.2 36868 23.5 34 28.8 58.5 94 84.5 0 36869 23.5 31.6 27.6 68.5 96 88.5 0 36870 22.7 34.2 28.5 56 94.5 85 0.2 36871 23.2 32.2 27.7 66.5 94 87 4.2 36872 23.4 28.9 26.2 76.5 94.5 91 0 36873 22.9 33.8 28.4 55.5 94.5 83 0.4 36874 23.4 28.1 25.8 76.5 93.5 89.5 15.8 36875 22.5 31.8 27.2 63.5 94 84.5 0 36876 21.7 32.7 27.2 58.5 94 85 0.4 36877 23 31.6 27.3 67 94 85.5 1.8 36878 22.8 33.4 28.1 57.5 94.5 83.5 0.2 36879 22.8 30.2 26.5 68.5 94 86 0 36880 23.3 33.8 28.6 52.5 94 83 7.4 36881 22.8 29.5 26.2 71 100 88.5 7.6 36882 22.1 32.5 27.3 63 95 88.5 40 36883 22.7 31.9 27.3 68 94.5 90.5 0.8 36884 22.2 32.9 27.6 59 94.5 87.5 15.8 36885 22.2 31.8 27 63.5 94.5 83 0.4 36886 22.6 32.2 27.4 62 94 84.5 37.6 36887 21.8 32.1 27 61.5 95 85.5 0 36888 23.5 33.4 28.5 53.5 93.5 77 0 36889 23 32.8 27.9 60 94 85 0.2 36890 23.4 31.3 27.4 68 94 87.5 7
4.8 5.2 4.5 5.5 4.1 5.1 3.7 4 2 3.9 2.8 1.5 4.5 1.7 3.7 3.8 3.5 4.4 2.7 3.9 2.4 3.4 2.5 3.8 3.7 3.7 4.2 4.8 3.4 2.5
VTm 3 3.2 2.9 3 2.1 2.7 2.3 2.5 1.8 2.3 2.1 1.8 2.4 2.2 2.4 2.3 2.1 2.7 2.2 2.4 1.9 2.6 2.1 2.6 2.3 2.6 2.4 2.5 1.9 2.2
Dialat menyatakan fungsi tanggal pengamatan tn menyatakan suhu udara minimum dalam °C tx menyatakan suhu udara m aksimum dalam °C tm menyatakan rataan harian suhu udara dalam °C Un menyatakan kelembaban relatifminimum dalam % Ux menyatakan kelembaban relatif maksimum dalam % Um menyatakan rataan harian kelembaban relatifdalam % RR menyatakn jumlah curah hujan harian dalam mm VTm menyatakan rataan kecepatan angin harian pada ketinggian standar yang dinyatakan dalam kmjam -1 Etp menyatakan jumlah evapotranspirasi harian dalam mm
Nama Stasiun Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan Loa Janan
Lintang Bujur Ketinggian Jenis Data Suber Data -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim -0.8 117.2 102 Iklim BPTP Kaltim
Lampiran 3. Prosentase kelas FFMC di Loajanan Lampiran 4. Prosentase kelas FFMC di ............................................................................................................Marangkayu Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 3 2 2 0 2 2 0 0 2 0 0 0 1
FFMC Loajanan 2 3 40 24 38 29 55 31 33 32 42 34 32 27 16 13 5 5 22 20 39 23 53 17 34 26 33 24
4 32 32 13 35 23 40 71 90 57 39 30 40 42
Total
Bulan
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 0 4 0 0 3 5 2 0 2 0 0 0 1
FFMC Marangkayu 2 3 44 27 50 18 39 31 27 32 34 31 37 25 11 15 8 8 17 20 13 19 23 37 27 29 28 24
4 29 29 31 42 32 33 73 84 61 68 40 44 46
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 5. Prosentase kelas FFMC di Samuntai Lampiran 6. Prosentase kelas FFMC di ......................................................................................................Tanjungredep Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 2 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0
FFMC Samuntai 2 3 52 31 41 38 44 29 30 37 34 24 23 23 15 18 2 6 7 15 19 29 23 27 44 27 29 25
4 16 21 26 33 42 52 68 92 78 52 50 29 46
Total
Bulan
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 0 2 0 3 0 0 2 0 0 0 0 2 1
FFMC Tanjungredeb 2 3 15 19 14 11 29 19 30 17 29 32 20 27 5 23 2 15 20 17 19 26 27 47 31 23 20 22
Lampiran 7. Prosentase kelas FFMC di Tanjungselor Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 3 4 2 2 0 0 0 2 2 3 7 2 2
FFMC Tanjungselor 2 3 15 21 18 20 26 19 25 27 13 15 28 23 19 27 16 16 22 24 39 29 27 23 24 21 22 22
4 61 59 53 47 73 48 53 66 52 29 43 53 55
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4 66 73 52 50 39 53 71 84 63 55 27 45 58
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 8. Perbandingan prosentase kelas DM C di Loajanan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 90 77 95 27 27 33 5 6 20 90 87 97 50
DMC LoajananOri 2 3 10 0 23 0 5 0 73 0 73 0 48 18 18 18 26 10 24 2 10 0 13 0 3 0 30 5
Total 4 0 0 0 0 0 0 60 58 54 0 0 0 16
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DMC LoajananMod 2 3 44 2 54 5 29 0 72 0 61 0 55 5 23 21 23 10 26 2 74 0 40 0 52 0 45 4
4 0 0 0 0 0 0 52 61 57 0 0 0 15
1 53 50 53 38 48 50 2 6 4 6 20 39 33
DMC MarangkayuMod 2 3 44 3 38 7 47 0 47 8 47 5 40 5 56 23 19 10 33 9 26 16 77 3 52 10 43 8
4 0 5 0 7 0 5 19 65 54 52 0 0 17
1 77 54 55 32 31 25 11 5 0 6 17 61 32
DMC SamuntaiMod 2 3 19 3 38 7 44 2 65 3 66 3 57 8 35 15 13 11 7 2 90 3 80 3 39 0 43 6
4 0 2 0 0 0 10 39 71 91 0 0 0 19
1 55 41 71 28 39 40 5 6 15 26 60 48 35
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 9. Perbandingan prosentase kelas DMC di Marangkayu Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 90 73 74 35 32 33 0 6 7 13 70 74 42
DMC MarangkayuOri 2 3 10 0 27 0 26 0 48 8 61 5 53 5 53 26 21 10 39 2 42 23 30 0 26 0 37 7
Total 4 0 0 0 8 2 8 21 63 52 23 0 0 15
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 10. Perbandingan prosentase kelas DMC di Samuntai Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 94 88 77 30 23 15 11 5 0 35 60 100 43
DMC SamuntaiOri 2 3 6 0 13 0 23 0 63 7 63 15 60 10 32 15 15 10 7 4 65 0 40 0 0 0 32 6
Total 4 0 0 0 0 0 15 42 71 89 0 0 0 19
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 11. Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 44 30 40 23 23 5 3 0 13 42 77 87 27
DMC TanjungredepOri 2 3 31 11 20 0 26 0 57 12 73 5 62 13 40 21 31 31 54 17 58 0 23 0 13 0 42 10
Total 4 15 50 34 8 0 20 35 39 15 0 0 0 21
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DMC TanjungredepMod 1 2 3 10 45 5 11 34 5 23 37 6 25 53 17 35 65 0 13 60 18 3 45 19 0 26 24 2 54 17 16 74 6 20 77 0 42 58 0 16 50 11
Total 4 40 50 34 5 0 8 32 50 26 3 3 0 24
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 12. Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungrselor Bulan 1 47 46 42 18 10 5 5 16 26 68 70 81 31
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DMC TanjungselorOri 2 3 34 11 4 0 11 0 60 13 37 3 68 10 69 10 60 15 65 4 32 0 30 0 19 0 42 6
Total 4 8 50 47 8 50 17 16 10 4 0 0 0 20
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DMC TanjungselorMod 1 2 3 23 35 10 25 25 0 29 24 0 17 65 13 13 35 2 10 68 7 5 73 8 15 55 16 9 76 9 45 55 0 37 63 0 45 48 6 20 51 6
Total 4 32 50 47 5 50 15 15 15 7 0 0 0 23
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 13. Perbandingan prosentase kelas DC di Loajanan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DC LoajananOri 1 2 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 80 20 100 0 100 0 100 0 98 2
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan
DC LoajananMod 1 2 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 89 11 74 26 30 46 100 0 100 0 100 0 91 7
3 0 0 0 0 0 0 0 0 24 0 0 0 2
DC MarangkayuMod 1 2 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 69 31 11 52 100 0 100 0 100 0 90 7
3 0 0 0 0 0 0 0 0 37 0 0 0 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 14. Perbandingan prosentase kelas DC di Marangkayu Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DC MarangkayuOri 1 2 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 98 2 100 0 100 0 100 0 100 0
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 15. Perbandingan prosentase kelas DC di Samuntai Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
DC SamuntaiOri 1 2 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 100 0 26 70 100 0 100 0 100 0 94 5
Total 3 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 100 100 100 100 100 100 97 69 7 100 100 100 89
DC SamuntaiMod 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 29 2 15 57 0 0 0 0 0 0 5 5
Total 4 0 0 0 0 0 0 0 0 22 0 0 0 2
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 16. Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungredep Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 100 50 61 95 100 100 94 61 80 100 100 100 84
DC TanjungredepOri 2 3 0 0 32 18 5 18 5 0 0 0 0 0 6 0 39 0 20 0 0 0 0 0 0 0 10 4
Total 4 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 68 50 50 95 100 100 100 95 96 100 100 100 87
DC TanjungredepMod 2 3 32 0 7 23 13 3 0 5 0 0 0 0 0 0 5 0 4 0 0 0 0 0 0 0 5 3
4 0 20 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5
Total
DC TanjungselorMod 2 3 32 0 7 23 0 0 0 0 0 0 0 18 23 15 32 0 9 0 0 0 0 0 0 0 9 6
4 0 20 50 50 50 32 13 0 0 0 0 0 22
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 17. Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 97 50 50 50 50 50 50 56 83 100 100 100 63
DC TanjungselorOri 2 3 3 0 32 18 0 13 0 28 0 0 0 18 0 32 29 15 17 0 0 0 0 0 0 0 8 13
Total 4 0 0 37 22 50 32 18 0 0 0 0 0 16
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 68 50 50 50 50 50 50 68 91 100 100 100 64
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 18. Perbandingan DM C di Loajanan Perbandingan Nilai DMC di Loajanan 240 220 200 180 160
DMC
140 120 100 80 60 40 20 0 336 357 12
33 54 75
96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46
67 88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DMC_Loajanan_Mod
DMC_Loajanan_Ori
Lampiran 19. Perbandingan DMC di Marangkayu Perbandingan Nilai DMC di Marangkayu 240 220 200 180 160
DMC
140 120 100 80 60 40 20 0 336 357 12
33 54 75
96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46
67 88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DMC_Marangkayu_Mod
DMC_Marangkayu_Ori
Lampiran 20. Perbandingan DMC di Samuntai Perbandingan Nilai DMC di Samuntai 240 220 200 180 160
DMC
140 120 100 80 60 40 20 0 336 357 12
33 54 75
96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46
67 88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DMC_Samuntai_Mod
DMC_Samuntai_Ori
Lampiran 21. Perbandingan DMC di Tanjungredep Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep 240 220 200 180 160
120 100 80 60 40 20
Julian DMC_Tanjung Redep_Mod
DMC_Tanjung Redep_Ori
253
235
217
199
181
163
145
127
91
109
73
55
37
1
19
348
330
312
294
276
258
240
222
204
186
168
150
132
96
114
78
60
42
6
24
354
0 336
DMC
140
Lampiran 22. Perbandingan DMC di Tanjungselor Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Selor 240 220 200 180 160
DMC
140 120 100 80 60 40 20 0 336 357 12 33
54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348
4
25 46 67 88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DMC_Tanjung Selor_Mod
DMC_Tanjung Selor_Ori
Lampiran 23. Perbandingan DC di Loajanan Perbandingan DC di Loajanan 1000
900
800
700
DC Value
600
500
400
300
200
100
0 336 357 12 33
54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46 67
Julian DC LoajananMod
DC LoajananOri
88 109 130 151 172 193 214 235 256
Lampiran 24. Perbandingan DC di Marangkayu Perbandingan DC di Marangkayu 1000
900
800
700
DC Value
600
500
400
300
200
100
0 336 357 12 33
54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46 67
88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DC MarangkayuMod
DC MarangkayuOri
Lampiran 25. Perbandingan DC di Samuntai Perbandingan DC di Samuntai 1000
900
800
700
DC Value
600
500
400
300
200
100
0 336 357 12 33
54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46 67
Julian DC SamuntaiMod
DC SamuntaiOri
88 109 130 151 172 193 214 235 256
Lampiran 26. Perbandingan DC di Tanjungredep Perbandingan Nilai DC Tanjungredep 1000
900
800
700
DC Value
600
500
400
300
200
100
0 336 357 12 33
54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46 67
88 109 130 151 172 193 214 235 256
Julian DC TanjungredepMod
DC tanjungredepOri
Lampiran 27. Perbandingan DC di Tanjungselor Perbandingan DC di Tanjungselor 1000
900
800
700
Value
600
500
400
300
200
100
0 336 357 12 33 54 75 96 117 138 159 180 201 222 243 264 285 306 327 348 4
25 46 67 88 109 130 151 172 193 214 235 256
Month DCMod Value
DCOri Value