1
Kajian Kitab Riyadush Sholihin
(Taman bagi Orang-Orang Yang Sholih) Pertemuan VI dan VII : Pembahasan Hadits ke-1
Segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kita dan keburukan amalan-amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan hidayah padanya. Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata dan tiada sekutu apapun bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad shollallohu 'alaihi wasallam adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Amma ba'd, kemudian setelah itu... Melanjutkan pembahasan kitab Riyadush Sholihin karya Al Imam An Nawawi rohimahulloh, maka pada kesempatan kali ini akan memasuki pembahasan hadits ke-1 dari kitab tersebut. -
capture scan kitab dari Syarh Riyadish Sholihin karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh -
2 Hadits ke-1 : Dari Amiril Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khoththob bin ‘Abdil ‘Uzza bin Royyah bin ‘Abdillah bin Qurth bin Rozah bin ‘Adiy bin Ka’b bin Lu’ay bin Gholib Al Qurosyi Al ‘Adawiy -rodhiAllohu ‘anhu- ia berkata : Aku telah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrohnya untuk Allah dan Rosul-Nya maka hijrohnya tersebut untuk Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrohnya karena dunia yang hendak ia raih atau karena wanita yang hendak ia nikahi maka hijrohnya kepada apa yang dia hijroh kepadanya.” Disepakati akan keshohihannya; diriwayatkan oleh 2 orang imam ahli hadits : Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh bin Al Bardizbah Al Ju’fiy Al Bukhori, dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi Al Naisaburi -rodhiAllohu ‘anhuma- di dalam kitab Ash Shohih karya keduanya yang merupakan kitab paling shohih yang disusun oleh manusia. Catatan kaki no.1 : hadits ini dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhori (dalam Shohih nya) pada Kitab “Permulaan Turunnya Wahyu”, pada Bab “Bagaimana permulaan turunnya wahyu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam”, hadits nomor 1. Dan dikeluarkan oleh Al Imam Muslim (dalam Shohih nya) pada Kitab “Jihad”, pada Bab “Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam : innamaa al a’maalu bi anniyyati”, hadits nomor 1907.
Pembahasan Matan Hadits : -
Hadits riwayat ‘Umar rodhiAllahu ‘anhu ini lebih dikenal dengan sebutan ( حديث النيةhadiitsun niyyah / hadits tentang niat).
-
Berkata Al Imam Asy Syafi’i rohimahulloh secara makna sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rojab Al Hanbali rohimahulloh dalam kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam bahwasanya hadits ini mencakup 1/3 ilmu dan masuk dalam pembahasan 70 bab fiqih. Dikatakan hadits ini mencakup 1/3 ilmu agama dikarenakan pembahasan ilmu agama itu membahas 3 jenis amalan yakni amalan hati, amalan lisan, dan amalan anggota badan. Dan hadits niat ini mencakup pembahasan amalan hati sehingga telah mencakup 1/3 ilmu agama. Dikatakan hadits ini mencakup 70 bab fiqih dikarenakan hampir pada setiap pembahasan fiqih pasti di sana akan ada pembahasan mengenai niat yang merupakan salah satu syarat sah nya suatu ibadah. Dan adapun angka 70 bukanlah merupakan pembatasan dan merupakan penggambaran betapa banyaknya pembahasan fiqih yang tercakup dalam hadits ini.
-
Berkata Al Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh secara makna dari sumber yang sama bahwasanya prinsip Islam itu tercakup pada 3 buah hadits, yakni : 1. Hadits riwayat ‘Umar rodhiAllohu ‘anhu ini. 2. Hadits riwayat ‘Aisyah rodhiAllohu ‘anha :
َ َمنْ أَحْ د ْس فِي ِه َفه َُو َرد َ َث فِي أَ ْم ِر َنا َه َذا َما لَي ْس َعلَ ْي ِه أَمْ ُر َنا َفه َُو َرد َ َمنْ َع ِم َل َع َم اًل لَي: َوفِي ِر َوا َي ٍة “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan agama kami ini dari apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
3 Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”. 3. Hadits riwayat An Nu’man bin Basyir rodhiAllohu ‘anhu :
ٌ إِنَّ ْال َحًلَ َل َبيِّنٌ َوإِنَّ ْال َح َرا َم َبيِّنٌ َو َب ْي َن ُه َما أُم ُْو ٌر ُم ْش َت ِب َه ات “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang harom itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat (samar)” Hal ini dikarenakan prinsip Islam itu mencakup perintah-perintah, larangan-larangan, dan menjaga diri dari hal-hal yang samar atau tidak jelas. -
Berkata Sufyan Ats Tsauri rohimahulloh secara makna dari sumber yang sama : “tidaklah aku memperbaiki sesuatu hal yang lebih sulit daripada memperbaiki niatku”.
-
Berkata Ibnul Mubarok rohimahulloh secara makna dari sumber yang sama : “bisa jadi suatu amalan yang kecil menjadi bernilai pahala yang besar, dan bisa jadi pula suatu amalan yang besar menjadi bernilai pahala yang kecil disebabkan oleh niat”.
-
Berkata Ibnu Rojab Al Hanbali rohimahulloh secara makna dari sumber yang sama bahwasanya ajaran Islam hanya bisa sempurna dengan 2 hal : 1. Amalan batiniah yang dimaksudkan untuk mencari ridho Allah sebagaimana tercantum dalam hadits ini. 2. Amalan lahiriah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana tercantum dalam hadits ‘Asiyah rodhiAllohu ‘anha. Dan hal inilah yang menjadi makna yang dimaksud dalam surat ke-67 Al Mulk ayat 2 :
ٱلَّذِى َخلَقَ ٱل َموتَ َوٱل َح َيو َة لِ َيبل ُ َو ُكم أَ ُّي ُكم أَح َسنُ َع َم اًلا Artinya : “(Dia lah Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya. Sehingga Al Fudhoil bin Iyadh rohimahulloh menafsirkan kata “ahsanu ‘amala” (yang paling baik amalannya) yakni yang paling ikhlash dan yang paling benar (sesuai dengan tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam). -
Para ‘ulama banyak yang memulai penulisan kitab-kitab mereka dengan hadits ini sebagaimana misalnya Al Imam Al Bukhori rohimahulloh dalam kitab Shohih nya, ‘Abdul Ghoni Al Maqdisi rohimahulloh dalam kitabnya ‘Umdatul Ahkam, Al Imam An Nawawi rohimahulloh dalam kitabnya Riyadush Sholihin dan Arba’un Nawawi, dan lainnya. Hal ini dimaksudkan adalah sebagai peringatan bagi para pembacanya agar senantiasa memperbaiki niat-niat mereka di dalam setiap amalan.
-
Dari lafazh hadits ( انما االعمال بالنيات و انما لكل امرى ما نوىsesungguhnya setiap amalan itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan) terdapat makna : 1. Bahwa setiap amalan itu pasti disertai dengan niat 2. Bahwa setiap orang itu akan mendapatkan balasan amalannya sesuai dengan apa yang ia niatkan Sehingga, jika seseorang meniatkan amalannya untuk Allah dan Rosul-Nya maka pasti ia akan mendapatkan balasannya. Adapun jika niatnya untuk selain Allah dan Rosul-Nya, maka bisa jadi ia dapatkan apa yang ia niatkan dan bisa jadi pula tidak ia dapatkan. Hal ini karena Allah Ta’ala pun telah berfirman dalam surat ke-17 ayat 18 :
4
ان ي ُِري ُد ٱل َعا ِجلَ َة َعجَّ ل َنا لَ ُه ۥ فِي َها َما َن َشا ُء لِ َمن ُّن ِري ُد َ مَّن َك Barangsiapa yang menghendaki kehidupan sekarang [duniawi], maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki Dari hal ini bisa dikatakan bahwa betapa meruginya seseorang yang meniatkan amalannya untuk selain Allah. Sebagai contoh : seseorang yang beramal karena ingin dipuji orang lain. Maka bisa jadi ia peroleh pujian tersebut dan bisa jadi pula tidak ia peroleh. Adapun jika ia beramal dengan niat karena Allah, maka pasti dia akan dapatkan balasan pahala dari Allah. -
Adapun makna hijroh adalah : a. Secara bahasa : pindah atau meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain b. Secara syari’at memiliki 2 pengertian, yaitu :
maknawi : meninggalkan suatu perbuatan yang jelek menuju keta’atan kepada Allah Ta’ala
hissiyah (yang nampak) : -
pindah dari suatu tempat yang menakutkan menuju tempat lain yang lebih aman contoh: hijroh para shohabat dari Makkah ke Habasyah yang merupakan negeri Nashroni
-
pindah dari suatu negeri kufur menuju negeri Islam contoh: hijrohnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan para shohabat dari Makkah ke Madinah
Terkhusus untuk hijroh dari negeri kufur menuju negeri Islam, amak hal ini wajib bagi setiap Muslim yang mampu. Misalkan bagi seorang Muslim yang tinggal di negeri-negeri kafir seperti di Eropa atau lainnya. Maka wajib bagi mereka untuk pindah ke negeri Muslim jika mampu demi menjaga agama mereka. -
Sehingga, dari hal ini para ‘ulama menghukumi haromnya bagi seorang Muslim untuk bepergian ke negeri-negeri kafir kecuali terpenuhi baginya 3 syarat : a. memiliki ilmu yang dapat melindungi dirinya dari perkara-perkara syubhat yang ada di negeri kafir tersebut b. memiliki agama yang kokoh yang dpat melindungi dirinya dari godaan hawa nafsu syahwat yang ada di negeri kafir tersebut c. adanya mashlahat atau keperluan mendesak yang tidak bisa diperoleh kecuali di negeri kafir tersebut seperti bagi seseorang yang ingin berobat karena sakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali di negeri kafir.
-
Adapun makna negeri Islam adalah : a. pemimpinnya seorang Muslim b. mayoritas penduduknya Muslimin c. syiar-syiar Islam yang zhohir (sholat jama’ah, adzan, haji, dll) dilakukan dengan aman Sehingga dari hal ini telah kelirulah sebagian kaum Muslimin yang menganggap bahwa Indonesia adalah negeri kufur dengan alasan syari’at Islam tidak ditegakkan di negeri ini.
-
Adapun pembahasan mengenai hukum bagi seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka sebagai berikut :
5 Al-'Allamah Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin rohimahullah berkata: "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya." Kemudian beliau berkata: "Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–. Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin." (Lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103) Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Mereka ditanya: "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia Muslim atau kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?' Mereka menjawab: Allah berfirman:
ك ُه ُم ْال َكا ِفر ُْو َن َ َو َمن لَّ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هللا ُ َفأُولَ ِئ "Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Surat ke-5 Al Ma’idah ayat 44)
6
ك ُه ُم ْال َظالِم ُْو َن َ َو َمن لَّ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هللا ُ َفأُولَ ِئ "Barangsiapa tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang zholim." (Surat ke-5 Al Ma’idah ayat 45)
ك ُه ُم ْال َفاسِ قُ ْو َن َ َو َمن لَّ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هللا ُ َفأُولَ ِئ "Barangsiapa tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq." (Surat ke-5 Al Ma’idah ayat 47) Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama. Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya. Ketua: ‘Abdul 'Aziz bin Baz Wakil ketua: ‘Abdurrazzaq 'Afifi Anggota: ‘Abdullah Ghudayyan (Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105) Wallahul Muwaffiq. http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=169 -
Pada lafazh hadits disebutkan 2 contoh alasan hijroh yakni dunia dan wanita. Hal ini dikarenakan perkara dunia dan wanita merupakan 2 hal yang paling banyak menggelincirkan manusia dari jalan kebenaran.
-
Pada lafazh hadits : ْ َو َمنْ َكا َن،ِت هِجْ رَ ُت ُه إِلَى هللاِ َورَ س ُْولِ ِه َف ِهجْ رَ ُت ُه إِلَى هللاِ َورَ س ُْولِه ْ َف َمنْ َكا َن ت هِجْ رَ ُت ُه لِ ُد ْنيَا يُصِ ْي ُب َها أَ ْو ا ْمرَ أَ ٍة َي ْن ِك ُحهَا َف ِهجْ رَ ُت ُه إِلَى مَا هَاجَ رَ إِلَ ْي ِه Maka barangsiapa yang hijrohnya untuk Allah dan Rosul-Nya maka hijrohnya tersebut untuk Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrohnya karena dunia yang hendak ia raih atau karena wanita yang hendak ia nikahi maka hijrohnya kepada apa yang dia hijroh kepadanya. Pada konteks kalimat kedua tidak disebutkan lagi tujuan yang akan dia dapatkan sebagaimana pada konteks kalimat yang pertama. Seharusnya, jika mengikuti konteks kalimat yang pertama, maka kalimat kedua akan berbunyi: “maka hijrohnya tersebut untuk dunia yang hendak ia cari dan wanita yang hendak ia nikahi”. Tapi pada kalimat ini, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyebutkan “maka hijrohnya kepada apa yang dia hijroh kepadanya”. Sehingga pada konteks kalimat tersebut terkandung makna penghinaan terhadap niatan-niatan yang bukan didasari untuk Allah dan Rosul-Nya, dan juga dikarenakan demikian banyaknya jenis-jenis niatan yang didasari atas perkara dunia dan wanita.
-
Sebagian ‘ulama ada yang membawakan riwayat seseorang yang hijroh dikarenakan ingin menikahi seorang wanita bernama Ummu Qoys (sehingga orang tersebut dinamakan muhajir Ummu Qoys) sebagai asbabul wurud hadits ini (sebab turunnya hadits ini). Akan tetapi Ibnu Rojab Al Hanbali rohimahulloh di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menyebutkan secara makna bahwasanya kisah Ummu Qoys adalah benar adanya. Akan tetapi jika kisah
7 tersebut dikaitakan sebagai sebab turunnya hadits, maka hal ini tidaklah benar. Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Atsqolani rohimahulloh. -
Dari pembahasan niat ini, muncul beberapa persoalan yakni bagaimana hukumnya suatu amalan yang diiringi dengan niat ikhlash kemudian muncul riya’ atau semisalnya? Maka dari sini muncul beberapa keadaan : a. Jika riya’ tersebut muncul sejak awal, maka amalannya batal dikarenakan syarat diterimanya amalan adalah niat ikhlash dan sesuai tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam. b. Jika awalnya ikhlash kemudian muncul riya’ dan ia segera menghilangkan riya’ tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh terhadap amalannya dan amalannya tetap diterima. c. Jika awalnya ikhlash kemudian muncul riya’ secara terus menerus, maka di sini terdapat 2 keadaan : 1. Jika amalan tersebut memiliki keterkaitan antara awal dan akhir seperti sholat yang diawali dengan takbirotul ihrom dan diakhiri salam, maka amalan tersebut tidak diterima. 2. Jika amalan tersebut tidak memiliki keterkaitan antara awal dan akhir seperti membaca Al Qur’an, berdzikir, dan semisalnya, maka amalan yang tidak diterima hanyalah pada saat muncul riya’ tersebut pada dirinya. Adapun tatkala dia beramal dalam keadaan ikhlash, maka tetap diterima amalannya. Contohnya jika ada seseorang membaca Al Qur’an. Tatkala 10 ayat pertama yang ia baca ia niatkan ikhlash, kemudian di bacaan ayat ke-11 sampai ayat ke-20 yang ia baca, muncul riya’ pada dirinya. Maka dalam kondisi seperti ini, amalan bacaannya di 10 ayat pertama tetap diterima dan amalan bacaan di ayat ke-11 sampai ke-20 tidak diterima.
-
Persoalan selanjutnya adalah jika seseorang meniatkan dalam amalannya dengan sesuatu hal yang mubah, bagaimana hukumnya ? Misalkan ada seseorang yang berniat haji ikhlash tapi diiringi pula dengan niatan berdagang. Maka pada kondisi seperti ini, perlu dilihat kadar niatannya masing-masing. Amalan haji nya tetap diterima sesuai dengan kadar seberapa besar niatannya yang ikhlash dibandingkan dengan niatannya berdagang. Sehingga, niatan yang mubah seperti ini tidaklah menghapuskan amalan secara total.
-
Hadits tentang niat ini juga memiliki faedah bantahan bagi sebagian orang yang was-was tentang niat tatkala memulai suatu ibadah. Seringkali kita lihat di sekitar kita, ada orang yang tatkala hendak sholat ia mengulang-ulangi takbirotul ihromnya dikarenakan was-was terhadap niatnya. Bahkan sebagiannya ada yang sampai membaca ta’awwudz dan surat Al Falaq dan surat An Nas dahulu sebelum memulai takbirotul ihrom, dengan alasan agar niatannya mantap dan terlindungi dari godaan syaithon. Maka hal yang seperti ini adalah suatu kekeliruan dan merupakan was-was dari syaithon. Sebagaimana telah dibahas dalam pertemuan sebelumnya bahwa niat itu adalah amalan hati yang merupakan maksud seseorang melakukan suatu amalan, maka barang siapa saat hendak melakukan sholat (misalkan maghrib) maka pasti di dalam hatinya telah muncul niatan bahwa ia hendak sholat maghrib yang pasti pula ia telah sadar bahwa jumlah roka’atnya adalah 3 dan pasti telah muncul pula niatan untuk apa ia sholat maghrib (ikhlash untuk Allah atau untuk selainnya).
-
Di dalam hadits ini juga terdapat faedah bahwa salah satu metode di dalam pengajaran adalah dengan metode memberikan contoh kepada orang yang ia ajari. Hal ini dapat kita lihat tatkala Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengajari para shohabatnya tentang niat, maka Beliau memberikan contoh dengan perbuatan hijroh agar penjelasannya lebih mudah dipahami oleh orang yang akan diajarinya.
Demikianlah beberapa pembahasan tentang hadits riwayat ‘Umar ibnul Khoththob rodhiAllohu ‘anhu ini. Semoga hal tersebut bermanfaat bagi kita bersama. Jika terdapat kebenaran maka itu datangnya dari Allah Ta’ala dan kita puji Dia dengan pujian yang baik. Dan jika terdapat kekeliruan maka itu datangnya dari diri saya pribadi dan dari syaithon dan saya memohon ampunana kepada Allah atas hal tersebut. Allahu A’lam. Walhamdulillah.