II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Deskripsi BurungPuyuh Puyuh merupakan jenis unggas yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh
relatifkecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Jenis puyuh yang biasa diternakkan adalahberasal dari jenis Coturnix-coturnix japonica. Adapun klasifikasi zoologi puyuh menurut Radiopoetro (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Aves
Family
: Phasianidae
Sub family
: Phasianidae
Genus
:Coturnix
Species
:Coturnix coturnix japonica
Coturnix coturnix japonica mempunyai beberapa manfaat yaitu (1) dari segi ekonomi puyuh, sebagai penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik. Di Jepang dan Asia Tenggara Coturnix coturnix
japonica digunakan
sebagai penghasil telur, sedangkan di Eropa digunakan sebagai penghasil daging, (2) biaya pemeliharaan rendah, akibat ukuran tubuh yang kecil sehingga efisien dalam penggunaan lahan kandang (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun), (4) resisten terhadap penyakit, (5) memiliki produksi telur yang tinggi, (5) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (6) merupakan
9
unggas dengan ukuran terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging (Vali, 2008). Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis unggas penghasil protein dan sangat prolifik serta mudah beradaptasi dengan iklim di lingkungan tropis (Tuleun dan Dashe,2010).
2.2
Karagenan Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau
larutan alkali dari kelas Rhodophyceae (alga merah), biasanya dari spesies tertentu seperti Chondrus crispus, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma spinosum. Jenis algae yang mengandung karagenan adalah dari famili Eucheuma karagenan diperoleh dari tumbuhan laut Chondrus cripus yang diekstraksi menggunakan alkali panas dan diikuti dengan proses dekolorisasi dan pengeringan (Towle, 1973). Karagenan merupakan polisakarida linier, khususnya galaktan dengan residu galaktosa yang terikat dengan alternatif ikatan α-(1,3) dan β-(1,4). Pada umumnya ikatan galaktosa β-(1,4) muncul sebagai 3.6 –anhidro -D-galaktosa dan mungkin terdapat grup ester sulfat pada beberapa atau seluruh uni tgalaktosa (Fardiaz, 1996). Karagenan beserta garam-garamnya diklasifikasikan dalam kategori GRAS (Generally Recognized as Safe) yang digunakan pada taraf GMP (Good Manufacturing Practices) yaitu suatu jumlah bahan yang ditambahkan kedalam makanan tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengaruh yang diinginkan. Karagenan dalam jumlah secukupnya dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel, penstabil, pengental, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi terutama pada produk-produk jelly, permen, sirup, dodol, nugget, produk susu, bahkan untuk industri komestik, tekstil, cat, obat-
10
obatan dan pakan ternak (Suptijah, 2002). Karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moirano, 1977). Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi menjadi stabil (Frashier dan Parker, 1985).
2.3
Deskripsi Naget Secara umum naget adalah suatu bentuk olahan daging giling yang diberi
bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu. Selanjutnya dilumuri dengan tepung roti yang akhirnya digoreng setengah matang (Mesra, 1994). Lebih lanjut dikemukakan oleh Kramlich (1971) naget merupakan bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi panjang dan dilapisi dengan bahan pelapis, digoreng setengah matang, kemudian dibekukan. Naget umumnya dibuat dari daging, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pelapis dan bahan tambahan lainnya seperti garam, STPP (sodium tripoliphosphat), bumbu, dan penyedap. Dalam proses pengolahan naget diperlukan penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi. Bahan pengikatdan bahan pengisi, merupakan fraksi bukan daging yang biasanya ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi seperti naget, bakso, dan sosis. Tujuan penambahan bahan-bahan ini adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan citarasa, dan terutama mengurangi biaya
11
produksi. Bentuk nugget padaumumnya persegi panjang, dan ketika digoreng nugget menjadi kekuning-kuningan dan kering. Adonan naget merupakan suatu bentuk sistem emulsi minyak dalam air (Winarno, 1997). Bahan baku utama yang digunakan pada proses pengolahan naget adalah daging, juga digunakan bahan tambahan berupa bahan pengisi yaitu tepung, pelapis, bumbu, air dan fosfor, serta bahan pembantu berupa es, karbondioksida cair dan minyak goreng.
Fellow (2000) menyatakan bahwa
perekat tepung digunakan untuk melapisi produk makanan. Proses pelapisan ini, untuk melindungi produk dari dehidrasi selama pemasakan dan penyimpanan.
2.4 Bahan Pembuat Naget 2.4.1 Bahan Utama Daging merupakan bahan utama dalam pembuatan naget, karena pengaruhnya yang sangat besar terhadap sifat fisik dan organoleptik naget yang dihasilkan (Lawrie, 2003).Kandungan gizi daging mentah burung puyuh, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrien dalam Daging Mentah Puyuh (per 100 gram) Zat Makanan Air (g) Lemak (g) Protein (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (g) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin A (RE) Sumber : Listiyowati dan Roospitasari(2000)
Kandungan 70,50 7,70 21,10 1,00 129,00 189,00 1,50 0,05 0,27 5,20 327,20
12
Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (2010) daging ayam memiliki kandungan protein sebesar 18,20 gram, lemak sebesar 25 gram, serta memiliki kalori sebesar 404 Kkal per 100 gram daging ayam. Kandungan gizi burung puyuh, bila dibandingkan dengan daging ayam, maka kandungan protein daging puyuh akan lebih tinggi. Dengan demikian, daging mentah burung puyuh baik digunakan sebagai sumber protein.
2.4.2 Bahan Tambahan Bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan naget antara lain es batu, bumbu-bumbu seperti garam, merica, dan bawang putih. 1. Es batu Tujuan dari penambahan es batu adalah untuk mencegah kenaikan suhu selama proses emulsifikasi padapembuatan naget. Jika terjadi panas pada saat emulsifikasi bahan secara berlebihan, maka emulsi akan pecah dan produk tidak akan bersatu selama pemasakan, karena suhu yang relatif tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan protein dengan demikian emulsi akan rusak. 2. Bumbu-bumbu Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan naget adalah garam, bawang putih, dan merica; untuk meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan dan sebagai pengawet alami. Penambahan garam bertujuan untuk menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang masa simpan produk (Aberle dkk., 2001). Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan adonan dan rasa produk terlalu asin. Biasanya garam ditambahkan pada produk berkisar antara 2-3% dari berat daging yang digunakan. Penambahan bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan
13
cita rasa produk yang dihasilkan. Merica digunakan sebagai penyedap rasa, karena merica memiliki sifat rasa yang pedas dan aroma yang khas (Soeparno, 2005).
2.5
Emulsi Menurut Charley (1982), emulsi terdiri atas tiga fase atau bagian yaitu,
fase pertama berupa fase terdispersi yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat larut dalam air. Fase kedua adalah fase kontinu merupakan cairan yang mendispersikannya. Jika air dan minyak dicampur, keduanya akan langsung memisah dan terlihat garis pemisah yang jelas; sehingga untuk menjaga agar partikel-partikel salah satu cairan tersuspensi dalam cairan lainnya, dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul-molekul yang mempunyai afinitas untuk kedua cairan tersebut, dan zat ini dinamakan pengemulsi. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak; pH, jumlah dan tipe protein yang larut serta viskositas emulsi. Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan pembentukan emulsi, dan ini ada hubungannya dengan denaturasi protein yang larut, penurunan viskositas emulsi dan melelehnya partikel lemak (Soeparno, 2005). Emulsifikasi bahan dengan kadar lemak yang lebih tinggi; bisa diemulsi dengan protein yang lebih sedikit sehingga meningkatkan efisiensi biaya dalam pengolahan produk. Kapasitas emulsi dari protein yang larut dalam air, akan lebih rendah dibandingkan dcngan kapasitas emulsi protein larut dalam garam (Wilson dkk., 1981).
14
2.6 2.6.1
Kualitas Sifat Fisik Daya Ikat Air Daya ikat air oleh protein daging (water holding capacity/ WHC) atau
water binding capacity/ WBC adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada di dalam daging tersebut,selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan atau air yang ditambahkanselama proses pengolahan (Soeparno, 2005).Daya ikat air sangat penting dalam pembuatan emulsi daging seprti naget, bakso, dan sosis. Penurunan daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang terakumulasi akibat banyaknya protein miofibril yang rusak dan kehilangan kemampuan mengikat air (Lawrie, 2003).Daya ikat air menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Perubahan yang terjadi pada daya ikat air selama konversi otot menjadi daging tergantung pada penurunan pH dan jumlah protein yang terdenaturasi (Forrest, dkk., 1975).
2.6.2 Susut Masak Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama proses pemasakan atau pemanasan pada daging. Umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar kadar cairan daging yang hilang, hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar cairan daging (meat juiciness) yang hilang yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot (Soeparno, 2005). Cairan daging merupakan komponen dari daging yang ikut menentukan keempukan daging.Pemanasan akan mendegradasi jaringan ikat daging; yang
15
meliputi aktomiosin, elastin dan kolagen; karena proses pemanasan membuat tenunan pengikat lebih empuk dengan mengubah kolagen menjadi gelatin. (Lawrie, 2003).
2.6.3 Keempukan Keempukan daging adalah kualitas daging berdasarkan kemudahan untuk dikunyah. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara obyektif dan subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia, sedangkan secara subyektif menggunakan metode panel test. Tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut otot sehingga menjadi lebih empuk (Soeparno, 2005). Menyatakan bahwa kandungan air dalam daging akan mempengaruhi kesan cairan daging. Keempukan akan semakin rendah dengan meningkatnya umur ternak. Hal ini disebabkan kadar kolagen dalam jaringan ikat yang mengalami perubahan-perubahan molekuler menjadi lebih tebal atau lebih besar, sehingga akan mempengaruhi keempukan daging terutama terjadi bila semakin bertambahnya umur ternak. Oleh karena itu ternak yang tua akan cenderung menghasilkan daging yang relatif alot daripada ternak yang muda (Lawrie, 2003).
2.7
Sifat Organoleptik Uji organoleptik adalah cara mengukur, menilai atau menguji mutu
komoditas dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia, yaitu mata, hidung, mulut, dan ujung jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran subjektif
16
karena didasarkan pada respon subjektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1985).Ada 6 (enam) macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptikyaitu : panel pencicip perseorangan, panel pencicip terbatas, Panel terlatih, panel agak terlatih, panel tak terlatih, dan panel konsumen. Penilaian organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan memeliki ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang paling sensitif. Penerapan penilaian organoleptik pada prakteknya disebut uji organoleptik yang dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji ini akan menghasikan data yang penganalisisan selanjunya menggunakan metode statistika. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji kesukaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan
atau
sebaliknya
ketidaksukaan,
disamping
itu
mereka
juga
mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut orang skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka (Kartika, 1992).