KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK (CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS) PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA
BUDI YUWONO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam laporan akhir saya yang berjudul: “Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi Yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa” merupakan gagasan atau hasil penelitian laporan akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Laporan akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2011
Budi Yuwono F352074115
KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENERAPAN CARA PRODUKSI YANG BAIK (CPB) DAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SANITASI (SPOS) PENGOLAHAN FILLET IKAN DI JAWA
BUDI YUWONO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT Budi Yuwono. Study of the Factors that Influence the Continuity of Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) Application in Processing of Fish Fillet in Java. Supervised by FRANSISKA R. ZAKARIA as a chief and NURMALA K. PANDJAITAN as a member. In order to increase quality and safety of fish fillet products, Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, introduced Good Manufacturing Practices (GMP) and Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) of fish fillet to the industry in Indonesia, including in Java. Recently, some processor who already applied GMP and SSOP do not continue the application of GMP and SSOP. Due this situation, this report is to find all factors that influence continuity application of GMP and SSOP processes of fish fillet and to see the recent condition of application of GMP and SSOP in fillet processing plants which do not continue (BM). Processing and analyzing the data using description method and pre-requisite analysis. The respondents of this research are 26 fish fillet processing plants in Java which are divided into 15 fish fillet processing plants that do not continue the application of GMP and SSOP (BM) and 11 fish fillet processing plants that are still continuing the application (LM). The factors that influence continuity application of GMP and SSOP in fish fillet processing plants that do not continue the application (BM) can be divided into internal factors which are lack of education (73%), and lack of experience (100%), external factors which are lack of government policies in socialization (66,66%), lack of portable water (87%) and ice supply (67%), lack of cold chain system facility (74%), lack of government policies in training (60%), monitoring (80%), lack of low enforcement (86%), no market requirement (100%), and characteristic of innovation factors which are no relative advantages in implementing GMP and SSOP (86,67%), no compatibility (80%), and the complexity of GMP and SSOP (73,33%). Base on pre requisite analysis, the status of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue (BM) the application is very bad as shown in high minor and mayor failure, and also serious and critical failure more than tolerance level. In order to support the application of GMP and SSOP in 15 fish fillet processing plants that do not continue the application (BM), it is suggested to increase the frequency of socialization, training, monitoring and technical counseling in special locus, facilitating water and ice supply, enforce the GMP and SSOP label in fisheries products in domestic market, and increasing education regarding the importance of GMP and SSOP application in fish fillet industry to the public. Key word : characteristic of innovation factors, external factors, fish fillet, internal factors, GMP and SSOP.
RINGKASAN BUDI YUWONO. Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa. Di bawah Bimbingan Fransiska R. Zakaria sebagai ketua dan Nurmala K. Pandjaitan sebagai anggota. Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada di Jawa. Saat ini, beberapa pengolah yang sebelumnya menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan berhenti menerapkannya. Tugas akhir ini memiliki tujuan: (1) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet di unit pengolahan fillet yang berhenti menerapkannya, (2) mengetahui kondisi terakhir penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan yang saat ini berhenti menerapkannya. Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 26 unit pengolahan fillet ikan yang terdiri atas 15 unit pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS (Kelompok BM) dan 11 unit pengolahan fillet ikan yang melanjutkan penerapan CPB dan SPOS (Kelompok LM). Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara dan observasi yang mendalam tentang penerapan CPB dan SPOS. Proses pengolahan dan analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan analisis kelayakan pengolahan fillet ikan untuk melihat penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hasil penelitian menunjukan faktor-faktor yang mempengaruhi responden kelompok BM dalam melanjutkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terdiri atas faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan (73%) dan minimnya pengalaman (100%). Faktor eksternal yaitu kurangnya sosialisasi (66,66%), kurangnya sumber air bersih (87%), kurangnya es (67%) dan sarana rantai dingin (74%), kurangnya pembinaan (60%), lemahnya pengawasan (80%) dan penegakan hukum (86%), serta tidak adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif (86,67%), tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (80%) dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (73,33%). Pada responden kelompok LM, faktor-faktor yang mempengaruhi kelanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terdiri atas faktor internal, yaitu tingginya tingkat pengetahuan (100%) dan lamanya pengalaman (90,91%). Faktor eksternal, yaitu seringnya sosialisasi (81,8%), baiknya pembinaan (54,55%),
tingginya pengawasan (100%) dan penegakan hukum (81,82%) dan adanya permintaan pasar (100%). Faktor karateristik inovasi, yaitu dirasakannya keuntungan relatif (90,91%), sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut (72,73%) dan tidak rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (100%). Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan tersebut, yaitu 10,28 penyimpangan minor, 27,00 penyimpangan mayor, 28,33 penyimpangan serius dan 3,06 penyimpangan kritis. Sedangkan 11 responden pengolah fillet ikan kelompok LM memiliki penerapan CPB dan SPOS yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet kelompok LM, yaitu 1,27 penyimpangan minor, 3,45 penyimpangan mayor, 0,63 penyimpangan serius dan tidak ada penyimpangan kritis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM adalah faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pengalaman. Faktor eksternal, yaitu kurangnya sosialisasi, kurangnya fasilitas sumber air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak adanya permintaan pasar, dan faktor karateristik inovasi, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Saat ini, 15 responden kelompok BM, memiliki penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penyimpangan minor dan mayor yang terjadi serta masih adanya penyimpangan serius dan kritis melebihi dari batas yang ditentukan. Dalam upaya mendorong penerapan CPB dan SPOS oleh responden kelompok BM, penulis menyarankan untuk meningkatkan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara berkelanjutan dalam bentuk lokus binaan khusus, meningkatkan pengawasan terhadap industri pengolahan ikan lanjutan, seperti otak-otak, baso ikan, nugget yang selama ini menjadi pasar kelompok BM agar menerapkan CPB dan SPOS, membuat regulasi tentang pencantuman label yang berisi keterangan penerapan CPB dan SPOS pada produk fillet di pasar dalam negeri, meningkatkan upaya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya aspek penerapan CPB dan SPOS pada proses pengolahan fillet ikan dan melengkapi fasilitas fisik terutama sumber air bersih dan es yang sangat diperlukan dalam mengolah ikan.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Penelitian
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standar Prosedur Operasi Sanitai (SPOS) Pengolahan Fillet Ikan di Jawa Budi Yuwono F352074115 Industri Kecil Menengah
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Ketua
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing
Prof.Dr.Ir.H. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1978 di Jakarta sebagai anak pertama dari pasangan Drs. H.S. Haryono dan Hj. Sriyati, S.Pd. Saat ini, penulis bertempat tinggal di Griya Cempaka No 18 Poris Plawad Tangerang. Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak Mardi Siswi, Jelambar Jakarta Barat, Sekolah Dasar Negeri 09 Petang Jelambar Jakarta Barat, Sekolah Menengah Pertama Negeri 82 Jakarta Barat, Sekolah Menengah Atas 65 Jakarta Barat dan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Pengalaman kerja penulis dimulai sejak tahun 2000 dengan menjadi staf Bagian Value Added Product PT. Bonecom Jakarta, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan ekspor hasil perikanan. Pada tahun 2001 hingga 2002, penulis berkesempatan menjadi Staf Bagian Trucking PT. Bonecom Servistama Compindo (BOSCO), sebuah perusahaan pergudangan dan distribusi hasil perikanan. Sejak tahun 2003 hingga 2005, penulis berkerja di Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tahun 2005 hingga saat ini penulis berkerja di Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini dapat tersusun atas bantuan moril dan materil, baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M.Sc dan Dr. Nurmala K. Pandjaitan, DEA, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan, saran, bimbingan dan arahan yang berguna dalam penyusunan Tugas Akhir ini.
2.
Ir. Darwin Kadarisman, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.
3.
Seluruh dosen pada Program Megister Profesional Industri Kecil Menengah, atas seluruh ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.
4.
Staf sekretariat MPI dan rekan-rekan MPI angkatan X atas dukungannya selama penulis menempuh pendidikan hingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
5.
Ibu dan bapak tercinta, Hj. Sriyati, S.Pd dan Drs.H.S Haryono serta istri dan putriku tercinta, Nur Hidayati, SKM dan Rania Nur Faizah atas doa dan dukungannya. Penulis menyadari Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna akibat
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, namun penulis berharap agar tugas akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ...............................................................................................................
ii
RINGKASAN ..........................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. ..
xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... .... xiii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2 Tujuan ..............................................................................................................
3
1.3 Kegunaan Penelitian........................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Fillet Ikan .......................................................................................
4
2.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ........................................................................
4
2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan ................................
7
2.4 Good Manufacturing Practice (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB)
9
2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) .................................................................................
16
2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan ...................................
17
2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan .................................
18
2.8 Teori Komunikasi Inovasi ...............................................................................
19
III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................................
24
3.2 Teknik Pengumpulan Data .............................................................................
24
3.3 Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................................
25
3.4 Jenis dan Sumber Data ...................................................................................
29
3.5 Teknik Pegolahan dan Analisis Data...............................................................
30
3.6 Analisis Kelayakan Pengolahan Fillet Ikan ...................................................
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan .............................................
32
4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet ..............................................................
32
4.1.2 Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi .............................................
33
4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan ...................................................
34
4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan ...........................................................................
35
4.2 Proses Pengolahan Fillet Ikan ........................................................................
37
4.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan ..................................................................................
42
4.3.1 Faktor Internal ......................................................................................
43
4.3.1.1 Tingkat Pengetahuan ................................................................
43
4.3.1.2 Pengalaman ..............................................................................
44
4.3.2 Faktor Eksternal ...................................................................................
46
4.3.2.1 Kebijakan Pemerintah di Bidang Sosial ..................................
46
4.3.2.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Fisik ....................................
49
4.3.2.3 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah .................................
51
4.3.2.4 Permintaan Pasar.......................................................................
54
4.3.3 Faktor Karateristik Inovasi ...................................................................
57
4.4 Kondisi Penerapan CPB dan SPOS ...............................................................
60
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................
67
5.2 Saran ...............................................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
69
LAMPIRAN ..............................................................................................................
72
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Alur proses pengolahan fillet ikan beku ...........................................................
5
2.
Tahapan proses adopsi inovasi .........................................................................
22
3.
Kerangka pemikiran penelitian .........................................................................
26
4.
Pola 1 pemasaran fillet ikan .............................................................................
35
5.
Pola 2 pemasaran fillet ikan .............................................................................
36
6.
Pola 3 pemasaran fillet ikan .............................................................................
36
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Kriteria tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan ........................................................................
28
Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan .........................................................................................
28
3.
Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan ...........................................
31
4.
Sebaran lokasi unit pengolahan fillet berdasarkan provinsi dan status penerapan CPB dan SPOS ..................................................................................
32
Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan pengolahan fillet sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS ...............
37
6.
Perbandingan tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM .............
43
7.
Perbandingan lama pengalaman penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara responden kelompok BM dan LM ..........................................
44
2.
5.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial .................................................................................................
72
Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial ..................................................................................................
73
Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik .....................................................................................................
74
Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik ....................................................................................................
75
Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah .....................................................................................
76
Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor pembinaan dan pengawasan pemerintah ......................................................................................
77
7.
Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor karateristik inovasi ...........
78
8.
Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor karateristik inovasi ...........
79
9.
Tingkat Utilitas Unit Pengolahan Fillet .............................................................
80
10. Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan .................................................................
81
11. Tingkat Pengetahuan Responden ........................................................................
82
12. Status Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan .................................
83
2.
3.
4.
5.
6.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah mutu dan keamanan pangan tidak dapat dipisahkan ketika berbicara tentang produk perikanan.
Hal ini didasari oleh fakta bahwa ikan
termasuk produk pangan yang sangat mudah rusak (perishable food), sehingga upaya-upaya untuk mempertahankan mutu dan keamanannya menjadi hal yang harus diperhatikan. Poernomo (2007) menyatakan, seperti bahan pangan lainnya, ikan dan produknya disyaratkan untuk memenuhi berbagai ketentuan-ketentuan sebelum dikonsumsi. Persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi itu dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu kualitas dan keamanan konsumen. Selain karena sifat teknis ikan yang mudah rusak (perishable food), perlunya perhatian yang serius terhadap masalah mutu dan keamanan pangan produk perikanan disebabkan oleh adanya tuntutan konsumen di dalam maupun luar negeri yang semakin meningkat.
Rokhman (2008) menyatakan justifikasi
mengenai jaminan mutu dan keamanan produk perikanan adalah dalam rangka merespon tuntutan konsumen yang semakin meningkat dewasa ini sebagai konsekuensi meningkatnya peradaban masyarakat dunia. Dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, terwujudnya jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan akan meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global. Rokhman (2008) menyatakan daya saing produk
perikanan
yang
tinggi
diperlukan
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan akses pasar domestik dan internasional yang semakin kompetitif sehubungan dengan munculnya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan seperti Vietnam dan RRC serta terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas, seperti AFTA, NAFTA, Uni Eropa dan adanya beberapa perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Dari berbagai macam produk perikanan, fillet ikan merupakan salah satu yang populer. Tidak hanya dikonsumsi langsung, fillet ikan juga banyak digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan produk perikanan, seperti
1
baso ikan, otak-otak ikan, kerupuk ikan, tempura ikan, keong mas ikan, kaki naga ikan, nuget ikan dan lain sebagainya. Dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan produk fillet ikan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperkenalkan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) pengolahan fillet ikan kepada para pengolah, termasuk yang ada di Jawa. Upaya memperkenalkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di Jawa dilakukan antara lain melalui pengembangan sistem sentra pengolahan fillet, pembangunan Unit Pengolahan Ikan (UPI) sesuai dengan persyaratan CPB, melakukan bimbingan teknis pengolahan fillet ikan dengan materi tentang CPB dan SPOS, Sistem Manajemen Mutu Berdasarkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Sanitasi dan Higiene, teknik pengolahan fillet ikan serta uji coba dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada awal diperkenalkan,
para pengolah
fillet ikan di Jawa sudah
menerapkan CPB dan SPOS saat melakukan proses pengolahan, seperti menggunakan es selama proses penanganan dan pengolahan, mengolah fillet secara saniter dan higienis, memisahkan fillet dengan isi perut sesegara mungkin, melakukan proses pembersihan dan sanitasi alat dan ruangan, menggunakan air dan es yang sesuai standar, melakukan pencegahan kontaminasi, mencegah masuknya binatang penggangu, melakukan penyimpanan secara terpisah bahan yang dinilai membahayakan kesehatan, menggunakan perlengkapan kerja sesuai ketentuan, melaksanakan pengawasan kesehatan para pengolah fillet, membuat pencacatan penerapan prinsip-prinsip sanitasi dan lain-lain. Namun saat ini, beberapa pengolah fillet ikan yang telah menerapkan CPB dan SPOS tersebut tidak melanjutkan atau berhenti menerapkan CPB dan SPOS dalam proses pengolahan fillet ikan. Masengi dan Damayanti (2008) menyatakan penyebab tidak dilanjutkannya penerapan CPB dan SPOS oleh para pengolah fillet yaitu karena kurangnya sumber air bersih dan kesadaran pengolah yang rendah untuk menerapkan sanitasi dan higiene.
2
Berdasarkan hal di atas, maka pada penulisan tugas akhir, akan mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di Jawa.
1.2 Tujuan Tujuan kajian ini adalah : 1.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan fillet yang saat ini berhenti menerapkannya.
2.
Mengetahui kondisi terkini penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolah fillet yang berhenti menerapkannya.
1.3 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi berbagai pihak, antara lain : 1.
Para pengolah fillet ikan dalam meningkatkan jaminan
mutu dan
kemanan pangan produk perikanan. 2.
Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam mengembangkan program peningkatan mutu dan kemanan hasil perikanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi Fillet Ikan Ditjen P2HP (2006) meyatakan, fillet ikan sebagai suatu produk olahan
hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau beku. Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less). Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut (belly-off). Berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi seperti fillet kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), fillet kerapu (Serranidae), fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) dan fillet ikan patin (Pangasius pangasius) serta fillet yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi seperti fillet ikan kurisi (Nemiptterus nemathoporus), fillet ikan swangi (Priyacanthus tayenus), fillet ikan kuniran (Upenus sulphereus), fillet ikan paperek (Leiognathus sp) dan fillet ikan gerot-gerot (Pomadasys sp) (Ditjen P2HP 2007).
2.2
Proses Pengolahan Fillet Ikan Dalam proses pengolahan ikan, kesegaran adalah mutlak. Jika ikan
sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, maka sebaik apapun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik. Bahan mentah yang tidak segar memberikan pengaruh negatif terhadap rendemen, kualitas produk, produktivitas tenaga kerja dan biaya pengolahannya. menyatakan,
bahwa
kesegaran
ikan
berpengaruh
Poernomo (2009) terhadap
keamanan
konsumsinya.
4
Badan Standardisasi Nasional (2006) menyatakan proses pengolahan fillet beku dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1, pemfilletan, perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam pan, pembekuan, penggelasan dan pengepakan.
Secara detail, alur proses
pengolahan fillet ikan beku baik tanpa kulit maupun dengan kulit dapat dilihat pada Gambar 1.
Penerimaan Sortasi 1 Penyiangan
Pencucian 1 Pemfiletan Perapihan Pencucian 2 Sortasi Penimbangan Penyusunan dalam pan Pembekuan Penggelasan Pengepakan
Gambar 1. Alur proses pengolahan fillet ikan beku
5
Lebih lanjut, Badan Standardisasi Nasional (2006) menjelaskan masingmasing tahapan proses pengolahan fillet ikan beku sebagai berikut: 1.
Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan fillet ikan diuji secara
organoleptik dan harus ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C dan selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat totalnya. 2.
Sortasi 1 Ikan dipisahkan berdasarkan jenis, mutu dan ukuran.
Sortasi harus
dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C. 3.
Penyiangan Ikan disiangi untuk dibuang sisik dan isi perut.
Penyiangan harus
dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5°C.
Blow (2001) menyatakan pembuangan sisik sangat penting untuk
minimalkan bakteri dan mengurangi resiko terdapatnya sisik pada fillet yang telah dipaking. 4.
Pencucian 1 Ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 5.
Pemfilletan Ikan difillet secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu
pusat produk maksimal 5°C. 6.
Perapihan Fillet ikan dirapihkan dengan memotong daging perut dan membuang
tulang yang masih tersisa secara cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 7.
Pencucian 2 Fillet ikan dicuci dengan air yang bersih dan dingin. Pencucian harus
dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat
produk maksimal 5°C.
6
8.
Sortasi 2 Fillet ikan dipisahkan berdasarkan ukuran.
Sortasi harus
dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 9.
Penimbangan Fillet ikan ditimbang satu per satu untuk mengetahui beratnya dengan
menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi.
Penimbangan harus dilakukan
dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 10. Penyusunan dalam Pan Fillet ikan disusun dalam pan yang telah dilapisi plastik satu per satu. Proses penyusunan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter dengan tetap menjaga suhu pusat produk maksimal 5°C. 11. Pembekuan Fillet ikan dibekukan dengan metode pembekuan cepat hingga suhu pusat ikan maksimal -18°C. 12. Penggelasan Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin pada suhu 0-1°C. Proses penggelasan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter. 13. Pengepakan Fillet ikan beku dibungkus plastik secara individual dan dimasukan dalam master karton sesuai dengan label.
Pengepakan harus dilakukan dengan cepat,
cermat dan saniter.
2.3 Jaminan Mutu dan Kemanan Pangan Produk Perikanan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pangan menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa
7
proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan dan sistem jaminan mutu hasil perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Kemanan Produk Perikanan menyatakan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) dianggap sesuai untuk ditetapkan
sebagai sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan. Dalam implementasinya, agar sistem manajemen mutu terpadu hasil perikanan dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan kelayakan pengolahan yang terdiri atas Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) dan Cara Produksi yang Baik (CPB). Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan menyatakan bahwa setiap unit usaha yang berdasarkan hasil pengendalian dinyatakan telah memenuhi sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dapat diberikan sertifikat, antara lain Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Kemanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJP2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan
8
Keamanan Hasil Perikanan menyatakan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI yang telah memiliki dan menerapkan program persyaratan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) atau Prosedur Standar Operasi Sanitasi (SPOS) dan atau sistem HACCP secara konsisten.
2.4 Good Manufaturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) Pada awalnya, Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Produksi yang Baik (CPB) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan kriteria yang mampu memenuhi the Code of Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu. Dalam industri pangan, CPB berperan dalam menentukan apakah fasilitas, metode, pelaksanaan dan pengontrolan yang diterapkan pada proses pengolahan pangan adalah aman, dan apakah pangan diolah dalam kondisi sanitasi yang memadai. Berdasarkan definisinya,
CPB adalah minimum standar sanitasi dan
proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al 2002). Lebih lanjut Luning et al (2002) menjelaskan tentang unsur-unsur CPB yang terkandung antara lain dokumentasi dan pencatatan (recordkeeping), kualifikasi personal/SDM (personnel qualification), sanitasi dan higiene (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment verification), validasi proses (process validation) dan penanganan bahan (complaint handling). Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
23/MEN.KES/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Pengolahan Makanan menyatakan 13 aspek terkait dengan cara produksi makanan yang benar sebagai berikut:
9
1.
Lokasi Bangunan harus berada ditempat yang
bebas dari pencemaran seperti
daerah persawahan atau rawa, daerah pembuangan kotoran dan sampah, daerah kering dan berdebu, daerah kotor, daerah berpenduduk padat, daerah penumpukan barang bekas, dan daerah lain yang diduga dapat mengakibatkan pencemaran. 2.
Bangunan Secara umum bangunan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi
persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis makanan yang diproduksi sehingga mudah dibersihkan, mudah dilaksanakan tindakan sanitasi dan mudah dipelihara. Bangunan unit produksi harus terdiri atas ruangan pokok dan ruangan pelengkap yang harus terpisah sehingga tidak menyebabkan pencemaran terhadap makanan yang diproduksi. Ruang pokok yang digunakan untuk memproduksi makanan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan kapasitas produksi, ukuran alat produksi serta jumlah karyawan yang berkerja. Susunan ruangan diatur berdasarkan urutan proses produksi sehingga tidak menimbulkan lalu lintas pekerja yang simpang siur dan tidak mengakibatkan pencemaran makanan yang diproduksi. Ruang pelengkap harus memenuhi syarat luasnya sesuai dengan jumlah karyawan yang berkerja dan susunannya diatur berdasarkan urutan kegiatan yang dilakukan. Lantai ruangan pokok harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, garam, basa, asam dan atau bahan kimia lainnya, permukaannya rata, tidak licin dan mudah dibersihkan, memiliki kelandaian cukup ke arah saluran pembuangan air dan mempunyai saluran tempat air mengalir atau lubang pengeluaran serta pertemuan antara lantai dan dinding tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air. Lantai ruang pelengkap harus memenuhi syarat rapat air, tahan terhadap air, permukaanya datar, rata serta halus, tidak licin dan mudah dibersihkan.
Ruang untuk mandi, cuci dan sarana toilet harus mempunyai
kelandaian secukupnya ke arah saluran pembuangan. Dinding ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan sekurang-kuranya 20 cm di bawah dan 20 cm di atas
permukaan lantai harus
rapat air. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, mudah dibersihkan dan sekurang-kurangnya
10
setinggi 2 meter dari lantai harus rapat air, tahan terhadap air, basa asam dan bahan kimia lainnya. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati, harus melengkung dan rapat air. Atap ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan terbuat dari bahan tahan lama, tahan terhadap air dan tidak bocor. Langit-langit ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi persyaratan dibuat dari bahan yang tidak mudah melepaskan bagiannya, tidak terdapat lubang dan tidak retak, tahan lama dan mudah dibersihkan, tinggi dari lantai sekurang-kuranya 3 meter, permukaan rata, berwarna terang. Khusus ruangan pokok ditambahkan syarat tidak mudah mengelupas, rapat air bagi tempat pengolahan yang menimbulkan atau menggunakan uap air. Pintu ruangan pokok dan pelengkap harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan, dapat ditutup dengan baik dan membuka ke luar. Jendela harus memenuhi syarat dibuat dari bahan yang tahan lama, permukaannya rata, halus, mudah dibersihkan dan berwarna terang, sekurangkurangnya setinggi 1 meter dari lantai, luasnya sesuai dengan besarnya bangunan. Penerangan di ruangan pokok dan pelengkap harus terang sesuai dengan keperluan dan persyaratan kesehatan. Ventilasi dan pengatur suhu pada ruang pokok maupun pelengkap baik secara alami maupun buatan harus memenuhi persyaratan cukup menjamin peredaran udara dengan baik dan dapat menghilangkan uap, gas, debu, asap dan panas yang dapat merugikan kesehatan, dapat mengatur suhu yang diperlukan, tidak boleh mencemari hasil produksi melalui udara yang dialirkan serta lubang ventilasi harus dilengkapi dengan alat yang dapat mencegah masuknya serangga dan mengurangi masuknya kotoran ke dalam ruangan serta mudah dibersihkan. 3.
Fasilitas Sanitasi Bangunan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat
berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana penyediaan air yang pada pokoknya terbagi atas sumber air, perpipaan pembawa, tempat persediaan air dan perpipaan pembagi. Sarana penyediaan air harus dapat menyediakan air yang cukup bersih
11
sesuai dengan kebutuhan produksi pada khususnya dan kebutuhan perusahaan pada umumnya. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana pembuangan yang pada pokoknya terdiri atas saluran dan tempat pembuangan buangan akhir, tempat buangan padat, sarana pengolahan buangan dan saluran pembuangan buangan terolah. Sarana pembuangan harus dapat mengolah dan membuang buangan padat, cair dan atau gas yang dapat mencemari lingkungan. Sarana toilet letaknya tidak langsung ke ruang proses pengolahan, dilengkapi dengan bak cuci tangan, diberi tanda pemberitahuan bahwa setiap karyawan harus mencuci tangan dengan sabun dan atau ditergen sesudah menggunakan toilet dan disediakan dalam jumlah cukup sesuai dengan jumlah karyawan. Sarana cuci tangan harus diletakan di tempat yang diperlukan, dilengkapi dengan air mengalir yang tidak boleh dipakai berulang kali, dilengkapi dengan sabun atau ditergen, handuk atau alat lain untuk mengeringkan tangan dan tempat sampah berpenutup serta disediakan dengan jumlah yang sesuai dengan jumlah karyawan. 4.
Alat Produksi Alat dan perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi makanan
harus dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene.
Alat dan perlengkapan harus memenuhi syarat sesuai dengan jenis
produksi, permukaan yang berhubungan dengan makanan harus halus, tidak berlubang atau bercelah, tidak mengelupas dan tidak berkarat, tidak mencemari hasil produksi dengan jasad renik, unsur atau fragmen logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar dan lain-lain serta mudah dibersihkan. 5.
Bahan Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan untuk
memproduksi makanan tidak boleh merugikan atau membahayakan kesehatan manusia dan harus memenuhi standar mutu atau persyaratan yang ditetapkan. Terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong sebelum digunakan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi.
12
6.
Proses Pengolahan Untuk setiap jenis produk harus ada formula dasar yang menyebutkan
jenis bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta persyaratan mutunya, jumlah bahan untuk satu kali pengolahan, tahap-tahap proses pengolahan, langkah yang diperlukan dalam proses pengolahan dengan mengingat faktor waktu, suhu, kelembaban, tekanan dan sebagainya sehingga tidak menyebabkan peruraian, pembusukan, kerusakan dan pencemaran produk akhir, jumlah hasil yang diperoleh untuk satu kali pengolahan, uraian mengenai wadah, label, serta cara perwadahan dan pembungkusan, cara pemeriksaan bahan, produk antara dan produk akhir. Untuk setiap satuan pengolahan harus ada instruksi tertulis dalam bentuk protokol pembuatan yang menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan dan nomor kode, tahapan pengolahan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengolahan, jumlah hasil pengolahan dan hal lain yang dianggap perlu. 7.
Produk Akhir Produk akhir harus memenui standar mutu atau persyaratan yang
ditetapkan dan tidak boleh merugikan dan membahayakan kesehatan.
Sebelum
produk akhir diedarkan harus dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, fisika, kimia, biologi dan atau mikrobiologi. 8.
Laboratorium Perusahaan yang memproduksi jenis makanan tertentu yang ditetapkan
menteri harus mempunyai laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan serta produk akhir.
Untuk setiap pemeriksaan harus ada protokol perusahaan yang
menyebutkan nama makanan, tanggal pembuatan, tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi, jenis pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan pemeriksaan, nama pemeriksa dan hal lain yang diperlukan. 9.
Karyawan Karyawan yang berhubungan dengan produksi makanan harus dalam
keadaan sehat, bebas dari luka, penyakit kulit, dan atau hal lain yang diduga dapat mencemari hasil produksi, diteliti dan diawasi kesehatannya secara berkala, mengenakan pakaian kerja, termasuk sarung tangan, tutup kepala dan sepatu yang
13
sesuai, mencuci tangan dibak cuci sebelum melakukan pekerjaan, menahan diri untuk tidak makan, minum, merokok, meludah atau melakukan tidakan lain selama pekerjaan yang dapat mengakibatkan pencemaran terhadap produk makanan dan tidak merugikan karyawan lain. Perusahaan yang memproduksi makanan harus menunjuk dan menetapkan penanggung jawab untuk bidang produksi dan pengawasan mutu yang memiliki kualifikasi sesuai tugas dan tanggung jawabnya. 10. Wadah dan Pembungkus Wadah dan pembungkus makanan harus memenuhi syarat dapat melindungi dan mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh luar,
tidak
berpengaruh terhadap isi, dibuat dari bahan yang tidak melepaskan bagian atau unsur yang dapat menggangu kesehatan atau mempengaruhi mutu makanan, menjamin keutuhan dan keaslian isinya, tahan terhadap perlakuan selama pengolahan, pengangkutan dan peredaran dan tidak boleh merugikan atau membahayakan konsumen.
Sebelum digunakan wadah harus dibersihkan
dikenakan tindakan sanitasi, steril bagi jenis produk yang akan diisi secara aseptik. 11. Label Label makanan harus memenuhi ketentuan, dibuat dengan ukuran, kombinasi warna dan atau bentuk yang berbeda untuk tiap jenis makanan agar mudah dibedakan. 12. Penyimpanan Bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta produk akhir harus disimpan terpisah dalam masing-masing ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat dan atau binatang lain, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan baku, bahan pembantu, bahan penolong serta produk akhir harus ditandai dan ditempatkan sedemikian rupa hingga jelas dapat dibedakan antara yang belum dan sudah diperiksa, memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, bahan yang terdahulu diterima diproses lebih dahulu dan produk akhir yang terdahulu dibuat diedarkan lebih dahulu. Bahan berbahaya seperti insektisida, rodentisida, desinfektan dan lain-lain harus disimpan dalam ruangan tersendiri dan diawasi sedemikian rupa hingga
14
tidak membahayakan atau mencemari bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan produk akhir. Wadah dan pembungkus harus disimpan secara rapi ditempat bersih dan terlindung dari pencemaran.
Label harus disimpan secara baik dan diatur
sedemikian rupa hingga tidak terjadi kesalahan penggunaan.
Alat dan
perlengkapan produksi yang telah dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi yang belum digunakan harus disimpan sedemikian rupa hingga terlindung dari debu dan pencemaran lain. 13. Pemeliharaan Bangunan dan bagian-bagiannya harus dipelihara dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur dan berkala, hingga selalu dalam keadaan bersih dan berfungsi baik. Harus dilakukan usaha pencegahan masuknya serangga, binatang pengerat, unggas dan binatang lain ke dalam bangunan. Pembasmian jasad renik, serangga dan binatang pengerat dengan menggunakan desinfektan, insektisida, atau rodentisida harus dilakukan dengan hati-hati dan harus dijaga serta dibatasi sedemikian rupa hingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan tidak menimbulkan pencemaran terhadap bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong serta produk akhir. Buangan padat harus dikumpulkan untuk dikubur, dibakar atau diolah sehingga aman. Buangan air harus diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke luar.
Buangan gas harus diatur atau diolah sedemikian rupa hingga tidak
mengganggu
kesehatan
karyawan
dan
tidak
menimbulkan
pencemaran
lingkungan. Alat dan perlengkapan yang digunakan untuk memproduksi makanan harus dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi secara teratur sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap produk akhir. Alat dan perlengkapan yang tidak berhubungan dengan makanan harus selalu dalam keadaan bersih. Alat pengangkutan dan alat pemindahan barang dalam bangunan unit pengolahan harus bersih dan tidak boleh merusak barang yang diangkut atau dipindahkan, baik bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong maupun produk
15
akhir. Alat pengangkutan untuk mengedarkan produk akhir harus bersih, dapat melindungi produk baik fisik maupun mutunya sampai ke tempat tujuan. Dalam implementasinya, CPB dapat berperan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bermutu dan aman bagi kesehatan. Sebelumnya, baikburuknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Cara Produksi yang Baik). Dengan menerapkan CPB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997). Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan penerapan CPB dimaksudkan untuk lebih meningkatkan jaminan dan konsistensi mutu dari produk yang dihasilkan.
Oleh karena itu dalam menyusun CPB maka perlu
dirinci hal-hal yang menyangkut fungsi atau tujuan dari suatu tahapan proses pengolahan dan perlakuan/kondisi yang dipersyaratkan dalam proses pengolahan ikan, yang pada umumnya terkait dengan waktu dan temperatur, pemakaian klor atau bahan untuk mencapai tujuan dari proses pengolahan yang dilakukan.
2.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) Direktorat Jenderal Perikanan (2000) menyatakan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Standar Prosedur Operasi Sanitasi (SPOS) merupakan salah satu persyaratan kelayakan yang dimaksudkan untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi lingkungan agar tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk yang dihasilkan. Lingkungan yang dimaksud meliputi ruangan, peralatan, pekerja, air dan sebagainya. Surono (2007), menyatakan bahwa SPOS adalah prosedur untuk memelihara kondisi sanitasi yang biasanya berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi/bisnis pangan atau area dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau Critical Control Point (CCP).
Departemen Kelautan dan Perikanan (2008)
16
menyatakan SPOS menjelaskan setiap prosedur atau cara pembersihan dan sanitasi yang digunakan di unit pengolahan ikan secara lengkap. SPOS diperlukan untuk menjelaskan prosedur sanitasi di unit pengolahan ikan, memberikan jadwal sanitasi, memberikan landasan monitoring secara rutin, mendorong perencanaan untuk menjamin pelaksanaan tindakan koreksi, mengidentifikasi trend dan mencegah terulang kembali, menjamin setiap orang dari level manajemen hingga pekerja memahami sanitasi, memberikan materi yang konsisten untuk pelatihan karyawan, menunjukan komitmen kepada pembeli dan inspektor dan membawa perbaikan berkelanjutan pada industri. Lebih lanjut Surono (2007) menyatakan 8 kunci persyaratan sanitasi yaitu keamanan air, kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang, menjaga fasilitas pencucian tangan, sanitasi
dan
toilet,
proteksi
dari
bahan-bahan
kontaminan,
pelabelan,
penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, pengawasan kondisi kesehatan personil dan menghilangkan pest dari unit pengolahan. Swarasangi (2000) menyatakan SPOS dilaksanakan untuk mengawasi tahapan
kritis dalam proses sanitasi unit pengolahan ikan yang meliputi
perawatan konstruksi, peralatan dan fasilitas higiene, kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan produk, pengawasan kontaminasi terhadap makanan, permukaan yang kontak dengan makanan dan pengemas, kualitas air dan es, pencegahan kontaminasi silang kepada produk, bahan pengemas produk, dan permukaan yang kontak dengan makanan, pengawasan bahan kimia, bahan tambahan makanan, pembersih dan bahan beracun, pengawasan terhadap pest dan pengawasan terhadap tindakan dan kondisi kesehatan karyawan.
2.6 Pembinaan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan Undang-undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan bahwa pembinaan
17
penerapan sistem manajemen mutu hasil perikanan dimaksudkan untuk menjamin mutu dan keamanan hasil perikanan, mendorong pengembangan usaha di bidang perikanan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hasil perikanan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan hasil perikanan, mewujudkan kepatuhan setiap orang yang memproduksi, mengedarkan dan atau memperdagangkan hasil perikanan, meningkatkan pemahaman dan kesadaran konsumen terhadap pentingnya mutu dan keamanan hasil perikanan. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan sistem manajemen mutu hasil perikanan meliputi kegiatan pengembangan sumber daya manusia dan kegiatan yang menangani usaha perikanan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, peningkatan peran serta masyarakat dan kegiatan penyuluhan tentang mutu hasil perikanan, peningkatan peran serta asosiasi dan organisasi profesi dalam peningkatan mutu hasil perikanan, peningkatan penganekaragaman hasil perikanan, peningkatan kegiatan penelitian dan atau pengembangan ilmu dan teknologi dalam peningkatan mutu hasil perikanan, penyebarluasan peraturan perundang-undangan dan pengetahuan tentang mutu hasil perikanan dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan di bidang mutu hasil perikanan.
2.7 Pengawasan Sistem Manajemen Mutu Hasil Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan menyatakan bahwa pengawasan sistem manajemen mutu hasil perikanan dilakukan oleh pengawas mutu hasil perikanan.
Pengawas mutu hasil perikanan dalam melakukan
pengawasan berwenang untuk: a.
Memasuki setiap tempat yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan untuk memeriksa, meneliti dan mengambil contoh dan segala sesuatu yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau perdagangan hasil perikanan.
18
b.
Meminta informasi dalam bentuk apapun yang diperlukan baik berbentuk tulisan, gambar, foto, film, video, rekaman suara atau bentuk lainnya yang berkaitan dengan pemeriksaan.
c.
Menghentikan, memeriksa dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan hasil perikanan serta memeriksa contoh hasil perikanan.
d.
Membuka dan meneliti setiap kemasan hasil perikanan.
e.
Memeriksa setiap buku, dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat keterangan mengenai kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan
dan
atau
perdagangan
hasil
perikanan,
termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut. f.
Menahan segala sesuatu, termasuk buku, dokumen, catatan, bahan pengemas, label atau bahan pembuat label, bahan untuk iklan, yang diduga atau patut diduga berkaitan dengan pelanggaran.
g.
Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan atau dokumen lain yang dipandang perlu.
h.
Menandai, mengamankan, menimbang, menghitung atau mengukur hasil perikanan atau peralatan yang digunakan untuk kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan hasil perikanan yang tidak memenuhi atau diduga tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
i.
Mengirim contoh yang diambil pada waktu pemeriksaan untuk dilakukan pengujian di laboratorium.
j.
Melakukan pengujian contoh dan monitoring sanitasi unit pengolahan.
2.8 Teori Komunikasi Inovasi Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan sebuah inovasi cara pengolahan fillet ikan yang baru bagi para pengolah. Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkenalkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk fillet yang dihasilkan oleh para pengolah.
19
Adams (1988) mendefinisikan inovasi sebagai ide atau objek yang dipersepsikan baru oleh individu.
Simamora (2003) menyatakan,
inovasi
sebagai ide, praktek atau produk yang dianggap baru oleh individu atau group yang relevan. Van Den Ban dan Hawkins (1996) menyatakan, inovasi adalah ide, metode, atau objek yang dianggap baru oleh sesorang tetapi tidak selalu hasil riset terbaru. Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Rogers (1983) menyatakan, bahwa difusi inovasi adalah proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu diantara anggota kelompok sosial. Lebih lanjut Rogers (1983) menyatakan, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: a.
Inovasi; gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka itu adalah inovasi untuk orang itu. Konsep “baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
b.
Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
c.
Jangka waktu; proses keputusan inovasi dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
20
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. d.
Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama Rogers
(1983)
mengemukakan
lima
karakteristik
inovasi
yang
mempengaruhi kecepatan adopsi yaitu: 1) keunggulan relatif (relative advantage), 2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability). Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi seperti segi ekonomi, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible). Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji coba dalam batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam kondisi sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan keunggulannya. Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut
21
mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi Selain hal di atas, Subagyo (2005) menyatakan, adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yang
mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media masa.
Faktor eksternal yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi adalah
kebijakan pemerintah, peran tokoh, sistem sosial dan nilai-nilai atau normanorma. Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi ada kemungkinan untuk meneruskan ataupun untuk menghentikan penggunaannya. Menghentikan penggunaan diartikan sebagai tidak meneruskan untuk menerima atau mengadopsi, hal ini dapat terjadi karena seseorang telah menemukan ide-ide lain ataupun kecewa terhadap hasil yang diperolehnya. Rogers (1983) menyatakan tahapan proses adopsi suatu inovasi seperti Gambar 2.
Inovasi
Kesadaran (awareness)
Perhatian (Interest)
Penaksiran (Evaluation)
Percobaan (Trial)
Adopsi (Adoption)
Konfirmasi (Confirmation)
Penolakan (Rejection)
Gambar 2. Tahapan proses adopsi inovasi
22
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa setelah dilakukan percobaan terhadap sebuah inovasi (trial) terdapat tiga kemungkinan yang akan dilakukan yaitu memutuskan untuk mengadopsi inovasi (adoption), menolak inovasi (rejection) atau mengadopsi inovasi kemudian menolaknya karena telah menemukan ide-ide baru atau inovasi tersebut dinilai mengecewakan.
Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan terjadi proses adopsi inovasi kembali setelah terjadi penolakan.
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa pada 15 unit pengolahan fillet ikan
yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS dan 11 unit pengolahan fillet ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS. Penelitian dilakukan mulai Bulan Desember 2009 sampai dengan Maret 2010.
Alasan dipilihnya 15 unit
pengolahan fillet ikan yang saat ini berhenti menerapkan serta 11 unit pengolahan fillet ikan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah karena penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terkait dengan mutu dan keamanan pangan yang perlu mendapatkan perhatian serius mengingat fillet ikan tersebut akan dikonsumsi oleh manusia. Perhatian yang serius terhadap masalah mutu dan keamanan pangan akan meminimalkan terjadinya keracunan pangan pada manusia.
3.2
Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini, data yang diperlukan diperoleh melalui pengisian
kuesioner dan wawancara dengan responden serta pengamatan terhadap kondisi unit pengolahan fillet ikan. Data dikumpulkan melalui: 1.
Survey dengan menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
2.
Wawancara dengan responden
3.
Observasi dengan cara mengamati langsung proses pengolahan fillet ikan dan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Paket kuesioner yang dibagikan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
dari kuesioner berkaitan dengan data umum responden.
Bagian kedua paket
kuesioner berisi daftar pertanyaan yang terkait dengan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Bagian ketiga kuesioner terkait dengan status penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
24
Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha fillet yang saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan jumlah total 26 responden. Jenis pertanyaan yang dibuat dalam kuesioner adalah pertanyaan tertutup berupa pertanyaan yang alternatif jawabannya sudah tersedia, sehingga responden hanya memilih satu dari alternatif jawaban yang sudah ada.
Pada faktor
eksternal, jawaban terdiri atas Sangat Baik (SB), Baik (B), Kurang (K) dan Sangat Kurang (SK) dan pada faktor karateristik inovasi, jawaban terdiri atas Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).
3.3
Kerangka Pemikiran Operasional CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan merupakan inovasi yang
diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada para pengolah fillet ikan dalam rangka meningkatkan kualitas produk fillet.
Melalui pengenalan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan
diharapkan produk fillet yang dihasilkan mampu memenuhi harapan konsumen sekaligus meningkat daya saingnya. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor internal, eksternal dan karateristik inovasi. Dalam penelitian ini, faktor internal yaitu tingkat pengetahuan dan pengalaman pengolah dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Faktor eksternal yaitu
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, kebijakan pemerintah dalam bidang fisik, pembinaan dan pengawasan pemerintah, serta permintaan pasar. Faktor karateristik inovasi yaitu keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability) dan kemampuan diamati (observability). Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan ditandai dengan pemenuhan persyaratan 30 aspek CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, yaitu lingkungan/konstruksi dan layout, ventilasi, fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia, lantai, dinding, langitlangit, jendela, pintu masuk, permukaan yang kontak dengan produk, pembersihan 25
peralatan kerja, fasilitas pencucian produk, konstruksi dan pemeliharaan peralatan, proses penerimaan, bahan pembungkus atau pengemas, air, es, penanganan limbah, penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi, pengendalian binatang pengganggu, kebersihan karyawan, kesehatan karyawan, sanitasi, pemeliharaan suhu dan rantai dingin, prosedur penarikan kembali, prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses hingga distribusi, penanganan bahan baku dan produk segar, serta proses pengolahan fillet. Untuk memperjelas kerangka pemikiran penelitian, dapat dilihat pada Gambar 3. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet
Faktor Internal 1. 2.
Tingkat Pengetahuan Pengalaman
Faktor Eksternal 1. 2. 3. 4.
Kebijakan pemerintah dalam bidang sosial Kebijakan pemerintah dalam bidang fisik Pembinaan pemerintah Permintaan pasar
Karateristik Inovasi 1. 2. 3. 4. 5.
Keuntungan relatif Kompatabilitas Kerumitan Kemampuan untuk diujicobakan Kemampuan untuk diamati
pemenuhan persyaratan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
lingkungan/konstruksi dan layout ventilasi fasilitas karyawan, penerangan saluran pembuangan tempat penyimpanan bahan kimia lantai dinding langit-langit jendela pintu masuk permukaan yang kontak dengan produk pembersihan peralatan kerja fasilitas pencucian produk konstruksi dan pemeliharaan peralatan proses penerimaan bahan pembungkus/pengemas air es penanganan limbah penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi pengendalian binatang pengganggu kebersihan karyawan kesehatan karyawan sanitasi pemeliharaan suhu dan rantai dingin selama penyimpanan prosedur penarikan kembali prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses dan distribusi penanganan produk segar atau bahan baku proses pengolahan fillet
Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian
26
Berdasarkan Gambar 3, maka definisi operasional penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah implementasi atas keseluruhan prinsip-prinsip CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan fillet yang diukur dengan menggunakan kuisioner penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan.
2.
Kuisioner penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan adalah alat yang digunakan untuk menilai penerapan keseluruhan prinsip-prinsip CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang terdiri atas 30 aspek, yaitu persyaratan lingkungan/konstruksi dan layout, ventilasi, fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia, lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu masuk, permukaan yang kontak dengan produk, pembersihan peralatan kerja, fasilitas pencucian produk, konstruksi dan pemeliharaan peralatan, proses penerimaan, bahan pembungkus/pengemas, air, es, penanganan limbah, penyimpanan bahan kimia berbahaya serta tidak untuk dikonsumsi, pengendalian binatang pengganggu, kebersihan karyawan, kesehatan karyawan, sanitasi, pemeliharaan suhu dan rantai dingin, prosedur penarikan kembali, prosedur untuk melindungi produk pada setiap tahan proses, penanganan bahan baku dan produk, serta proses pengolahan fillet. Operasionalisasi kuisioner untuk menilai kelayakan pengolahan fillet ikan adalah sebagai berikut: a.
Lihat kondisi yang ada di lapangan. Apabila sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan sehingga menjawab penjelasan pada kolom “aspek yang dinilai” maka beri tanda (v) pada kolom OK.
b.
Apabila kenyataan yang ada dilapangan tidak sesuai dengan persyaratan sehinga tidak menjawab penjelasan pada kolom “aspek yang dinilai”, maka beri tanda (v) pada kolom Mn (minor), My (mayor), Sr (serius) atau Kr (Kritis).
c.
Apabila terdapat tanda ( ) lebih dari 1 (satu), beri tanda yang lebih dominan.
3.
Tingkat pengetahuan adalah derajat pengetahuan responden akan aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Tingkat pengetahuan diukur
27
dengan kemampuan menjawab pertanyaan atas aspek-aspek CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang ada dikuisioner. Tingkat pengetahuan diukur dengan cara menentukan range, jumlah kelas dan interval.
Tingkat pengetahuan
responden atas aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria tingkat pengetahuan responden atas aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan
4.
Kriteria
Nilai
Tinggi
80 – 99
Sedang
60 – 79
Rendah
40 – 59
Pengalaman adalah kurun waktu yang ditempuh oleh responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dikelompokkan sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria pengalaman responden dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan
5.
Kriteria
Waktu (bulan)
Singkat
1-12
Sedang
13-24
Lama
>24
Kebijakan pemerintah dalam bidang sosial adalah upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan melalui kegiatan sosialisasi, fasilitasi informasi pasar dan permodalan.
6.
Kebijakan pemerintah dalam bidang fisik adalah upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan melalui fasilitasi sarana dan prasarana fisik yang terdiri atas suplai air 28
bersih, es, sarana parasarana rantai dingin (cold chain system) dan sarana prasarana penanganan dan pengolahan fillet ikan. 7.
Pembinaan dan pengawasan pemerintah adalah upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan yang terdiri atas pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum atas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
8.
Permintaan pasar adalah persyaratan pembeli dalam hal penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
9.
Keunggulan realatif adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya.
10. Kompatabilitas adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. 11. Kerumitan adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dianggap sebagai sesuatu yang sulit dipahami atau digunakan. 12. Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat diujicoba sampai batas tertentu. 13. Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat terlihat oleh orang lain.
3.4
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan beberapa jenis data yang berasal dari berbagai
sumber mencakup data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari
pengamatan langsung di lapang dan kuesioner. Kuesioner dibuat dengan acuan berdasarkan studi kepustakaan dan peraturan perundangan tentang mutu hasil perikanan khususnya yang terkait dengan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, seperti laporan penelitian terdahulu, buku-buku, majalah, jurnal, internet, dan sebagainya.
29
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh di lapangan diolah dan dianalisis secara
deskriptif berdasarkan distribusi frekuensi dari setiap jawaban.
3.6
Analisis Kelayakan Pengolahan Fillet Ikan Analisis kelayakan pengolahan fillet ikan digunakan untuk menilai
penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan. Analisis kelayakan pengolahan fillet ikan dilakukan menggunakan alat bantu kuisioner. Analisis kelayakan pengolahan ikan dilakukan dengan cara menghitung jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan atas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan membandingkan dengan tabel kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan. Ditjen P2HP (2010) membagi kategori penyimpangan yang terdapat di dalam kuisioner penilaian kelayakan pengolahan menjadi 4 jenis, yaitu: -
Penyimpangan Minor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan
koreksi
atau
dibiarkan
terus
menerus
akan
berpotensi
mempengaruhi mutu pangan. -
Penyimpangan Mayor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi mempunyai potensi dapat mempengaruhi keamanan pangan.
-
Penyimpangan Serius adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi dapat mempengaruhi keamanan pangan.
-
Penyimpangan Kritis adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi segera mempengaruhi keamanan pangan. Penilaian penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dilakukan
dengan cara membandingkan jumlah penyimpangan-penyimpangan
yang
ditemukan di unit pengolahan fillet ikan dengan kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan yang terdapat pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Kriteria penilaian kelayakan pengolahan fillet ikan Tingkat (Rating)
Jumlah Penyimpangan Minor
Mayor
Serius
Kritis
0–6
0–5
0
0
B (Baik)
≥7
6 – 10
1–2
0
C (Cukup)
NA
≥11
3–4
0
D (Tidak Lulus)
NA
NA
≥5
1
A (Baik Sekali)
Catatan : jumlah penyimpangan Mayor dan Serius tidak lebih dari 10 NA : Not Aplicable Untuk mempermudah penyajian hasil penelitian, maka pada penulisan hasil dan pembahasan penelitian ini, unit pengolahan yang berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan akan diberi kode BM, dan unit pengolah yang lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan diberi kode LM.
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan
4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet Pada penelitian ini, lokasi unit pengolahan fillet ikan yang dijadikan tempat penelitian tersebar di Pulau Jawa.
Apabila dirinci berdasarkan provinsi dan
status penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, maka sebaran lokasi unit pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran lokasi unit pengolahan ikan (UPI) berbentuk fillet berdasarkan provinsi dan status penerapan CPB dan SPOS Status UPI No
Provinsi
1
Total UPI
BM
LM
Banten
0
1
1
2
DKI Jakarta
0
3
3
3
Jawa Barat
0
1
1
4
Jawa Tengah
15
2
17
5
Jawa Timur
0
4
4
Total
15
11
26
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa provinsi Jawa Tengah memiliki unit pengolahan fillet ikan terbesar dengan jumlah tujuh belas, diikuti provinsi Jawa Timur empat unit dan provinsi DKI Jakarta tiga unit. Banyaknya unit pengolahan fillet ikan di tiga provinsi tersebut dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan sumber bahan baku ikan seperti Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Nizam Zachman Muara Baru, Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, PPI Tegal Sari, PPS Cilacap, PPN Brondong, PPN Prigi dan lain sebagainya.
32
Khusus di provinsi Jawa Tengah, dari tujuh belas unit pengolahan fillet ikan yang ada, lima belas diantaranya saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sedangkan dua unit pengolahan lainnya lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kelima belas unit pengolahan tersebut terletak di Kawasan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah.
4.1.2
Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi Total kapasitas produksi terpasang seluruh unit pengolahan fillet ikan yang
dijadikan lokus penelitian adalah 176,2 ton/hari sebesar 103,5 ton/hari (Lampiran 9).
dengan realisasi produksi
Artinya, dari total kapasitas produksi
terpasang, tingkat utilisasinya baru mencapai 58,74% sehingga terdapat kapasitas menganggur atau idle capacity sebesar 41,26%. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok BM, total kapasitas produksi terpasang mencapai 83,2 ton/hari dengan realisasi produksi sebesar 53,2 ton/hari.
Artinya, unit pengolahan fillet ikan tersebut memiliki
tingkat utilitas sebesar 63,9% sehingga terdapat idle capacity sebesar 36,1%. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok LM, total kapasitas produksi terpasang mencapai 93,0 ton/hari dengan realisasi produksi sebesar 50,3 ton/hari. Artinya, pada unit pengolahan fillet ikan tersebut, memiliki tingkat utilitas sebesar 54,1% sehingga terdapat kapasitas menganggur atau idle capacity sebesar 45,9% (Lampiran 9). Kondisi idle capacity di unit pengolahan fillet milik responden kelompok BM dan LM mengakibatkan sarana pengolahan fillet tidak dapat dioperasikan secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya.
Tingkat idle capacity yang tinggi
ini dikhawatirkan menyebabkan biaya produksi fillet menjadi tidak ekonomis karena seluruh total biaya produksi hanya dapat ditanggung oleh produk fillet yang jumlahnya kurang dari yang seharusnya. Secara umum, rendahnya tingkat utilitas pada unit pengolahan fillet ikan disebabkan oleh kurangnya bahan baku. meningkatkan
utilitas
unit
pengolahan
Oleh karena itu, fillet,
perlu
dalam upaya
dilakukan
upaya
pengembangan kemitraan antara unit pengolahan fillet ikan dengan perusahaan penangkap ikan, peningkatan mutu bahan baku
serta mengembangkan 33
diversifikasi produk fillet dari yang berbasis pada bahan baku hasil tangkapan menjadi hasil budidaya seperti patin, lele dan nila. Departemen Kelautan dan Perikanan (2009) menyatakan, pada tahun 2006, produksi lele baru mencapai 77.542 ton meningkat pada tahun 2007 menjadi 112.571 ton. Adapun patin, pada tahun 2006, produksinya hanya sebesar 31.490 ton meningkat pada tahun 2007 menjadi 79.051 ton dan nila sebesar 169.390 ton pada tahun 2006 meningkat menjadi 214.401 ton pada tahun 2007. Nurdjana (2009) menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mendorong peningkatan budidaya ikan patin hingga 70%, yaitu dari 132.600 ton di tahun 2009 menjadi 1.883.000 pada tahun 2014. Lebih lanjut Nurdjana (2009) menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014, produksi ikan lele akan ditingkatkan sebesar 35%, yaitu dari 200.000 ton di tahun 2009 menjadi 900.000 ton pada tahun 2014 dan nila sebesar 27%, yaitu dari 378.300 ton di tahun 2009 menjadi 1.242.900 ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi tersebut menggambarkan bahwa pada periode ke depan, ketersediaan bahan baku ikan patin, lele dan nila akan berlimpah. Apabila unit pengolahan fillet mendiversifikasi produk dengan bahan baku yang berasal tiga komoditas tersebut akan mendapatkan jaminan ketersediaan bahan baku, sehingga utilitas unit pengolahan fillet akan lebih besar lagi.
4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan Jumlah tenaga kerja yang terdapat di unit pengolahan fillet ikan kelompok BM dan LM sebanyak 2.432 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak 690 orang (28,37%) dan perempuan sebanyak 1.742 orang (71,63%) (Lampiran 10). Apabila dilihat dari penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok BM menyerap tenaga kerja dengan jumlah 892 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak 181 orang (20,29%) dan tenaga kerja perempuan 711 orang (79,71%). Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok LM, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 1.540 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak
34
509 orang (33,05%) dan tenaga kerja perempuan dengan jumlah 1031 orang atau (66,95%) (Lampiran 10). Mayoritas tenaga kerja laki-laki yang berkerja di unit pengolahan fillet ikan melaksanakan proses sanitasi dan pembersihan ruangan, penerimaan ikan, distribusi ikan maupun fillet dari satu tahapan proses ke tahapan yang lain serta menimbang dan mengemas produk akhir.
Sedangkan mayoritas tenaga kerja
wanita melaksanakan aktivitas memfillet ikan. Banyaknya tenaga kerja wanita yang memfillet ikan disebabkan tenaga kerja wanita memiliki tingkat ketelitian yang tinggi dalam mengolah fillet. Tingkat ketelitian pekerja wanita dapat dilihat dari rendemen fillet hasil produksi yang rata-rata mencapai 35 – 40%.
4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan Pada unit pengolahan fillet yang menjadi lokasi penelitian, pola pemasaran yang dilakukan dapat dikelompokan menjadi 3 jenis sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4, 5, dan 6.
Produsen
Konsumen
Gambar 4. Pola 1 pemasaran fillet ikan
Gambar 4 memperlihatkan pola pemasaran fillet dari produsen langsung kepada konsumen. Pola ini dilakukan oleh unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM dan LM. Pada kelompok BM, 15 responden melalukuan pemasaran fillet secara langsung kepada konsumen industri olahan ikan lanjutan di dalam negeri, seperti industri pengolahan kerupuk, baso, otak-otak, nugget dan lain-lain. Pada kelompok LM, 11 responden memasarkan langsung produk fillet kepada konsumen industri seperti jaringan katering dan supermarket serta importir luar negeri.
35
Konsumen I Produsen
Supplier Konsumen II
Gambar 5. Pola 2 pemasaran fillet ikan Gambar 5 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang dilakukan melalui perantara (supplier).
Pola pemasaran fillet seperti ini dilakukan oleh satu
responden kelompok BM.
Responden memasarkan produk filletnya tidak
langsung ke konsumen rumah tangga maupun industri melainkan melalui perantara pemasok/supplier. Pemasok yang berhubungan secara langsung kepada konsumen yang terdiri atas industri maupun pengecer di pasar.
Produsen
Agen
Konsumen
Gambar 6. Pola 3 pemasaran fillet
Gambar 6 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang menggunakan agen penjualan atau melalui sistem keagenan.
Model pemasaran melalui sistem
keagenan tersebut dilakukan satu responden kelompok LM.
Responden
memasarkan fillet ikan melalui agen-agen perusahaan yang ada di beberapa kota seperti Jakarta dan Bandung. Agen-agen perusahaan kelompok LM tersebut yang kemudian akan meneruskan produk fillet ikan kepada konsumen rumah tangga maupun hotel, restoran dan rumah makan. Berdasarkan diskusi dengan responden, harga jual fillet yang berasal dari ikan kuniran, swangi dan coklatan di dalam negeri antara Rp. 7.000 – 8.000/kg, sedangkan yang berasal dari ikan mata goyang antara Rp. 17.000 – 18.000/kg. Fillet tersebut di jual sebagai bahan baku industri makanan berbahan baku ikan di dalam negeri seperti otak-otak, baso ikan, kaki naga, siomay dan kerupuk. Harga jual fillet ikan kakap dengan kulit di pasar dalam negeri berkisar Rp. 30.000/kg dan tanpa kulit Rp. 32.000/kg. Untuk pasar ekspor, harga fillet kakap merah antara US $ 7,8 – 8/kg.
36
Seluruh unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM memasarkan produknya di pasar dalam negeri pada konsumen industri. Hanya satu responden kelompok BM yang memasarkan fillet ke konsumen industri dan pasar retail melalui perantara. Sedangkan responden kelompok LM memasarkan produknya di pasar dalam negeri dan mayoritas di pasar luar negeri (ekspor).
4.2
Proses Pengolahan Fillet Ikan Responden kelompok BM mengolah fillet tanpa memperhatikan persyaratan
dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Indonesia SNI 012696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Secara rinci, perbandingan proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan di unit pengolahan fillet kelompok BM dengan LM dalam kaitannya dengan pemenuhan persyaratan dan ketentuan pengolahan fillet seperti diatur dalam SNI 01-2696.32006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan proses pengolahan sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS. Urutan Proses
BM
LM
Unit
%
Unit
%
Penerimaan
0
0%
11
100%
Sortasi I
0
0%
11
100%
Penyiangan
0
0%
11
100%
Pencucian I
0
0%
11
100%
Pemfilletan
0
0%
11
100%
Perapihan
0
0%
11
100%
Pencucian II
0
0%
11
100%
Sortasi II
0
0%
11
100%
Penimbangan
0
0%
11
100%
Pengepakan
8
53,33%
11
100%
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
37
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pada umumnya unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam Kelompok BM melaksanakan proses pengolahan fillet tidak sesuai dengan yang diatur dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Sedangkan pada unit pengolahan fillet ikan kelompok LM, proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang ditetapkan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Bentuk tidak dipenuhinya persyaratan pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Penerimaan Pada proses penerimaan, tidak dilaksanakan dalam kondisi saniter, tidak
dilaksanakan pengujian bahan baku secara organoleptik ataupun melihat riwayat perlakuan bahan baku yang diterima apakah ditangani dengan sistem rantai dingin sejak dari atas kapal hingga ke tangan supplier/pemasok.
Apabila terjadi
penundaan proses, bahan baku ikan tidak diberikan es sehingga suhunya tidak dipertahankan agar tetap dingin. 2.
Sortasi I Proses sortasi tidak dilaksanakan. Seluruh bahan baku fillet yang ada
dikeranjang selalu diproses lebih lanjut tanpa memperhatikan ukuran dan mutunya. 3.
Penyiangan Proses penyiangan tidak dilakukan dalam kondisi yang saniter dan bersih.
Ikan yang menunggu untuk disiangi tidak diberikan es dengan jumlah yang cukup untuk menjaga suhunya tetap dingin agar tidak mendorong berkembangnya bakteri. 4.
Pencucian I Pencucian dilakukan dengan air yang tidak dingin. Air untuk mencuci
seringkali tidak diganti apabila sudah menjadi keruh dan terkadang dicampur dengan air yang baru. Hal ini rentan mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada ikan. Selain itu, Ikan yang telah dicuci diletakan pada keranjang berlubang yang bersentuhan langsung dengan lantai.
38
5.
Pemfilletan Proses pemfilletan dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan bersih.
Kondisi yang tidak saniter dan bersih ini berasal dari sarana pengolahan yang digunakan maupun lingkungan tempat mengolah fillet. Sarana pemfilletan terbuat dari kayu. Adapun pisau yang digunakan untuk memfillet ikan tidak rutin dicuci dengan air bersih. Hal tersebut menyebabkan resiko fillet terkontaminasi oleh bakteri dan serpihan kayu menjadi lebih besar.
Fillet yang dihasilkan tidak
diberikan es agar suhunya tetap dingin. 6.
Perapihan Proses perapihan fillet dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan
higienis. Sarana yang digunakan untuk proses perapihan fillet seperti meja terbuat dari bahan kayu. Hal tersebut memungkinkan ikan terkontaminasi oleh bakteri, serpihan kayu, sisa sisik yang menempel dan sumber kontaminan lainnya. Fillet ikan yang sudah dirapihkan bentuknya tidak segera dipertahankan suhunya agar tetap dingin. 7.
Pencucian II Pencucian dilakukan dengan air tanah atau PDAM yang tidak dingin dan
belum terukur kualitasnya. Air untuk mencuci sering tidak diganti apabila sudah keruh atau air yang sudah keruh tersebut hanya ditambahkan dengan air yang baru. Fillet ikan yang telah dicuci diletakan dalam keranjang berlubang yang bersentukan langsung dengan lantai.
Perlakuan tersebut memungkinkan fillet
terkontaminasi oleh bakteri dan kontaminan lainnya. 8.
Sortasi II Proses sortasi pada umumnya tidak dilakukan dalam proses pengolahan
fillet. Apabila dilakukan, ikan yang telah disortir tidak dipertahankan suhunya agar tetap dingin. 9.
Penimbangan Penimbangan tidak dilakukan secara cepat, saniter dan dalam kondisi
dingin. Hal ini ditunjukan dari seringnya fillet ikan yang akan ditimbang atau menunggu untuk ditimbang diletakan di atas meja yang terbuat dari kayu dan tidak diberi es.
39
10. Pengepakan Hanya delapan responden kelompok BM yang melakukan proses pengepakan sebagaimana yang disyaratkan, yaitu ikan yang telah ditimbang di dalam plastik seberat 1 kg secepat mungkin diletakan dalam blong/tong plastik besar yang bersisi air dingin. Proses pengepakan yang dilakukan di unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM mengindikasikan bahwa dalam menjaga mutu fillet ikan, para pengolah fillet masih berorientasi pada produk akhir (end product orientation). Hal ini dapat dilihat dari pemberian es yang hanya dilakukan pada tahapan pengepakan dan menyampingkan kemungkinan berkembangnya bakteri selama proses pengolahan sebagai akibat tidak diterapkannya rantai dingin secara berkesinambungan selama proses pengolahan fillet. Hal tersebut mencerminkan rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan pengamatan di unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM, tidak dipenuhinya ketentuan dalam mengolah fillet sebagaimana diatur dalam SNI menyebabkan fillet ikan rentan terkontaminasi selama proses pengolahan.
Kontaminasi dapat berasal dari lingkungan unit
pengolahan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam mengolah, dan ketidakdisiplinan karyawan dalam menerapkan prinsip-prinsip higiene selama melakukan proses pengolahan. Beberapa hal yang memungkinkan fillet rentan terkontaminasi antara lain masih digunakannya sarana pengolahan yang terbuat dari bahan kayu, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dan rantai dingin (cold chain) selama proses pengolahan fillet ikan, banyaknya karyawan yang tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan serta masih adanya karyawan yang merokok, makan dan minum selama proses pengolahan fillet ikan berlangsung. Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa seluruh responden kelompok LM melakukan proses pengolahan fillet sesuai dengan ketentuan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Hal tersebut ditunjukan dengan dipenuhinya persyaratan CPB dan SPOS pengolahan
40
fillet ikan seperti menerapkan rantai dingin selama proses pengolahan, mencegah terjadinya kontaminasi silang, menjaga kebiasaan karyawan agar tidak mengontaminasi produk, menjaga kebersihan peralatan dan ruangan proses, menggunakan air dan es yang memenuhi persyaratan dalam melaksanakan proses pengolahan, memenuhi persyaratan lokasi dan konstruksi bangunan sebagaimana yang dipersyaratkan, membuat prosedur pencatatan dan pemantauan, dan lain sebagainya . Berdasarkan uraian di atas, penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat perlu dilakukan oleh responden kelompok BM untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan. Hal ini mengingat CPB dan SPOS merupakan persyaratan kelayakan dasar (pre requisite) yang apabila dilaksanakan secara konsisten oleh responden maka akan dapat menjamin mutu dan kemanan produk fillet yang diproduksi. CPB dan SPOS berbeda dengan sistem manajemen mutu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) maupun ISO. CPB bersisi minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin proses pengolahan pangan secara utuh (Luning et al 2002). Adapun SPOS adalah prosedur memelihara kondisi sanitasi yang berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau critical control point (Surono 2007). Artinya melalui penerapan CPB, diharapkan responden kelompok BM akan memenuhi standar minimum sanitasi dan proses pengolahan fillet ikan. Pada saat yang bersamaan, dengan penerapan SPOS, para pengolah fillet kelompok BM akan dapat mengendalikan penerapan CPB pengolahan fillet ikan melalui prosedur pemantauan yang teratur. Implementasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara konsisten akan menjamin mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan oleh responden pengolah fillet ikan kelompok BM. HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan yang didasarkan pada kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik pada proses produksi, namun dapat dikendalikan dengan tindakan pencegahan dan pengendalian bahaya tersebut pada titik kritis (Ditjen P2HP 2008).
Hal itu berarti sebagai sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP menekankan tindakan pencegahan dan pengendalian pada titik kritis tertentu dan tidak terhadap keseluruhan hal-hal
41
yang diatur dalam CPB dan SPOS. Oleh karena itu, agar implementasi HACCP dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan persyaratan CPB dan SPOS secara konsisten terlebih dahulu. ISO adalah sistem manajemen mutu yang pada awalnya diterapkan di pabrik-pabrik. Namun saat ini, ISO telah diterapkan di organisasi, perusahaan bahkan perguruan tinggi serta universitas. ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap negara. ISO 9000 adalah kumpulan standar untuk sistem manajemen mutu. Penerapan ISO di suatu perusahaan berguna untuk meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan, meningkatkan efisiensi kegiatan, memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan (plan, do, check, action), meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan lingkungan, mengurangi risiko usaha, meningkatkan daya saing, meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang
berkepentingan
dan
mendapat
kepercayaan
dari
konsumen/mitra
kerja/pemodal. Hal tersebut menunjukan bahwa sertifikasi atas penerapan salah satu ISO 9000 tidak sepenuhnya menjamin kualitas dan kemanan dari barang yang dihasilkan melainkan hanya menerangkan bahwa suatu perusahaan atau organisasi telah melaksanakan bisnis proses yang berkualitas secara konsisten (http://id.wikipedia.org/wiki/ISO 9000. 2010).
4.3
Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor-faktor yang berpengaruh
pada penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan pada responden pengolah fillet kelompok BM maupun LM dijabarkan berikut ini.
42
4.3.1 Faktor Internal 4.3.1.1 Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM BM
LM
Kriteria Pengetahuan Responden
Jumlah % Responden Tinggi 0 0 Sedang 4 27 Rendah 11 73 15 100 Jumlah Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
Jumlah Responden 11 0 0 11
% 100 0 0 100
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa pada unit pengolahan ikan yang termasuk dalam kelompok BM, 11 responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hanya empat responden pengolah fillet kelompok BM yang memiliki tingkat pengetahuan dengan kategori sedang akan aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan rekapitulasi hasil kuisioner, responden kelompok BM, umumnya melakukan kesalahan dalam menjawab soal yang terkait dengan hal-hal teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, seperti aspek konstruksi bangunan, pelaksanaan
karyawan/pekerja, CPB
dan
proses
SPOS
pengolahan,
pengolahan
fillet
pemantauan ikan
serta
terhadap aspek
penandaan/pelabelan produk. Pada unit pengolahan fillet kelompok LM, seluruh responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang diperoleh sebagian besar responden kelompok LM yang pada umumnya lebih dari 80.
43
Tingginya tingkat pengetahuan responden kelompok LM akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan disebabkan oleh lamanya pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta dianut dan dijalankannya nilai-nilai bisnis yang menekankan pentingnya mutu dan keamanan produk fillet. Selain itu, dorongan permintaan pasar dan penerapan nilai-nilai bisnis yang menekankan pentingnya aspek mutu dan keamanan mendorong responden kelompok LM menerapakan CPB dan SPOS dalam proses pengolahan fillet ikan secara konsisten.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan responden
kelompok LM memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM dibandingkan dengan kelompok LM disebabkan oleh kurangnya sosialisasi, pembinaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah secara berkelanjutan dan singkatnya pengalaman dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Hal
tersebut menyebabkan hingga saat ini, para pengolah fillet ikan kelompok BM memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.1.2 Pengalaman Terdapat perbedaan tingkat pengalaman responden kelompok LM dan BM dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Secara rinci perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan lama pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara kelompok BM dan LM. BM
Waktu Penerapan (Bulan)
LM
Jumlah Unit
%
Jumlah Unit
%
1 – 12
15
100
0
0
13 – 24
0
0
1
9,09
>24
0
0
10
90,91
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
44
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa unit pengolahan yang termasuk dalam kelompok BM memiliki pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan kurang dari 12 bulan, sedangkan pada unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok LM, 10 responden memiliki pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan lebih dari 24 bulan. Singkatnya waktu penerapan oleh responden kelompok BM disebabkan inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memenuhi unsur karateristik inovasi yang ditandai dengan tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS dengan nilai yang dianut serta rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Meskipun para
responden kelompok BM menganggap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memenuhi 2 unsur karateristik inovasi, yaitu penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat (observability) dan dapat dicoba (triability), kondisi tersebut tidak mendorong mereka untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal itu karena dalam masa percobaan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, pemerintah memberikan bantuan dan pendampingan kepada responden kelompok BM. Hal sebaliknya terjadi pada unit pengolahan fillet yang termasuk kelompok LM. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok LM berlangsung sangat lama karena responden menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memenuhi unsur karateristik inovasi, seperti responden kelompok LM merasa memperoleh keuntungan relatif, sesuai dengan nilai-nilai
yang
dianut
khususnya
nilai-nilai
bisnis
perikananan,
tidak
dirasakannya kerumitan serta dapat dilihat dan dicobanya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan uraian di atas diperoleh hasil bahwa pada faktor internal, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan lamanya waktu penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara responden pengolah fillet kelompok BM dengan LM.
Responden pengolah fillet kelompok BM memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih rendah serta memiliki pengalaman penerapan CPB dan SPOS yang lebih singkat dibandingkan dengan responden pengolah fillet ikan kelompok LM.
45
4.3.2 Faktor Eksternal 4.3.2.1 Kebijakan Pemerintah di Bidang Sosial Pendapat responden kelompok BM dan LM terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang sosial yang mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat bervariasi. Adapun pendapat responden kelompok BM terkait dengan kebijakan dalam bidang sosial yang dilakukan pemerintah dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Lampiran 1 terlihat, bahwa mayoritas responden kelompok BM berpendapat pemerintah kurang berperan dalam aspek sosial untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal itu ditunjukan oleh jawaban mayoritas responden yang berpendapat bahwa pemerintah kurang dalam melakukan sosialisasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (66,66%), menyediakan sumber permodalan usaha (66,66%), menyediakan sumber informasi pasar (66,66%) dan menyediakan informasi regulasi tentang mutu dan kemanan pangan (66,66%). Kurangnya pemerintah dalam melakukan sosialisasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan termasuk juga informasi regulasi tentang mutu dan keamanan pangan kepada responden kelompok BM ditunjukan oleh minimnya frekuensi serta keberlanjutan sosialisasi yang dilakukan pemerintah kepada pengolah fillet kelompok BM.
Direktorat Pengolahan Hasil (Dit PH) (2008)
menyatakan, telah dilakukan 2 kali sosialisasi CPB dan SPOS pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengolahan Fillet di Tegal Sari, Jawa Tengah pada tanggal 1-3 Februari 2007 dan 15-17 Februari 2007. Kegiatan tersebut diikuti oleh 20 orang pengolah fillet ikan. Materi-materi yang disosialisasikan terdiri atas CPB, SPOS, Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi HACCP, Sanitasi dan Higiene serta Teknik Pengolahan Fillet Ikan. Lebih lanjut Dit PH (2008) menyatakan, Pada tanggal 17-19 Desember 2007 dilakukan bimbingan teknis secara langsung di unit pengolahan fillet di TPI Tegal Sari. Kegiatan pendampingan bertujuan untuk mendorong penyempurnaan penyediaan sarana dan prasara pengolahan fillet ikan serta pemanfaatannya.
46
Dit PH (2006) menyatakan, dalam hal penyedian sumber permodalan bagi 15 pengolah fillet kelompok BM, telah dilakukan satu kali fasilitasi permodalan ke Bank Danamon Jakarta. Sumber permodalan yang dapat difasilitasi oleh Bank Danamon antara lain melalui Program Danamon Simpan Pinjam (DSP) yang besarnya mencapai Rp 500 juta. Bentuk permodalan berupa kredit yang tidak mensyaratkan usaha yang berbadan hukum. Sebagai tindak lanjut, Ditjen P2HP telah mengirimkan surat ke Direksi Bank Danamon dengan alamat Menara Bank Danamon, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta dengan Nomor surat B. 3182/P2HP.1.3/PM.410/XI/06. Dalam hal penyediaan informasi pasar bagi 15 responden kelompok BM, pemerintah telah melakukan fasilitasi pemasaran fillet dengan mengikutsertakan para pengusaha perikanan yang tergabung dalam Asosiasi Suplier Produk Perikanan Indonesia (ASPPI).
Ditjen P2HP (2007) menyatakan hal-hal yang
disepakati dalam fasilitasi pemasaran antara pengolah fillet dengan ASPPI sebagai berikut: a.
ASPPI siap bekerjasama untuk membantu mencari para pembeli baru hasil olahan fillet dengan syarat: - Mutu produk fillet baik - Kontinuitas produk fillet terjamin - Adanya kestabilan harga pada periode tertentu (berdasarkan perjanjian kerjasama)
b.
ASSPI akan menjamin pembelian produk fillet yang selanjutnya ASPPI akan berhubungan dengan buyer. ASPPI akan memperoleh komisi dari transaksi tersebut sebesar 2 %. Produk fillet akan dibayarkan dalam jangka waktu 1-2 bulan. Kurangnya penyediaan sumber permodalan menyebabkan responden
kelompok BM tidak memiliki tambahan modal untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini karena penerapan CPB dan SPOS membutuhkan pemenuhan berbagai persyaratan dan perlengkapan yang memerlukan dukungan permodalan. Selain itu, tidak adanya alternatif pasar lain menyebabkan responden kelompok BM tidak memiliki pilihan selain pasar yang tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kondisi
47
tersebut mengakibatkan responden kelompok BM tidak terdorong untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan karena alasan tidak diminta oleh pasar. Apabila pemerintah dapat menyediakan informasi pasar lain yang menginginkan produk fillet diproduksi menggunakan CPB dan SPOS dengan harga pembelian yang lebih tinggi dan memungkinkan responden kelompok BM mengakses informasi tersebut, diharapkan akan mendorong responden kelompok BM menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok LM, pendapat responden tentang peran pemerintah dalam bidang sosial untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ditunjukan pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 terlihat, dari 11 responden kelompok LM, 81,8% menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan frekuensi sosialisasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan 100% responden menyatakan pemerintah telah berperan baik dalam menyampaikan regulasi tentang mutu dan keamanan pangan. Peran pemerintah yang baik dalam melakukan sosialisasi CPB dan SPOS penerapan fillet ikan dan penyediaan informasi tentang mutu dan keamanan pangan kepada responden kelompok LM disebabkan
responden dinilai siap
melaksanakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan adanya permintaan dari negara importir untuk menerapkan persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan yang salah satunya ditandai dengan penerapan kelayakan pengolahan ikan, yaitu CPB dan SPOS.
Hal ini dilakukan agar responden
kelompok LM dapat segera menyesuaikan dengan persyaratan negara importir. Selain hal di atas, 63,6% responden pengolahan fillet kelompok LM menyatakan pemerintah telah berperan baik dalam menyediakan sumber permodalan dan 72,7% menyatakan pemerintah berperan baik dalam menyediakan informasi pasar. Fasilitasi pasar yang dilakukan pemerintah dilakukan dengan menyelenggarakan temu bisnis, penyediaan informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
online pada website
maupun dalam bentuk cetak seperti
majalah atau tabloid, statistik kelautan dan perikanan, statistik ekspor dan impor hasil perikanan, dan lain sebagainya. Ketersediaan informasi pasar yang baik, khususnya informasi pasar yang menginginkan produk fillet mendorong
48
responden kelompok LM meneruskan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan hingga saat ini. Dalam hal sumber permodalan, mayoritas para pengolah yang termasuk dalam kelompok LM berpendapat bahwa pemerintah sudah berperan baik dalam melakukan hal tersebut. Hal ini didasari oleh mudahnya para pengolah yang termasuk kelompok LM dalam memperoleh kredit invetasi maupun modal usaha dari perbankan. Perbedaan kebijakan yang diberikan kepada responden kelompok BM dan LM dikarenakan pemerintah menilai bahwa responden kelompok LM sudah siap untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Selain itu, hal tersebut dilakukan untuk merespon tuntutan pasar khususnya di luar negeri yang mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.2.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Fisik Pendapat responden pada unit pengolahan yang termasuk dalam kelompok BM dan LM terkait dengan kebijakan dalam bidang fisik yang dilakukan pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang secara umum menyatakan pemerintah kurang berperan dengan baik dalam menyediakan fasilitas fisik. Adapun pendapat pengolah fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM terkait dengan kebijakan dalam bidang fisik yang dilakukan pemerintah dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Lampiran 3 terlihat bahwa dari seluruh responden kelompok BM, 87%
responden menyatakan bahwa pemerintah kurang berperan dalam
penyediaan sumber air bersih, 67% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan es, 74% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan sarana rantai dingin serta 67% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan sarana penanganan dan pengolahan fillet ikan.
49
Kurang berperannya pemerintah dalam menyediakan sarana air bersih dapat dilihat dari belum tersedianya sumber air bersih secara baik di unit pengolahan fillet ikan. Saat ini, dalam memenuhi kebutuhan air bersih, para pengolah fillet membeli air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum serta menggunakan air tanah. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat air bersih merupakan komponen utama yang sangat dibutuhkan dalam proses pengolahan fillet ikan. Dalam hal penyediaan air bersih,
pemerintah Kota Tegal telah
mengupayakan PDAM untuk mengalirkan air bersih ke unit pengolahan fillet. Namun demikian, hingga saat ini PDAM belum dapat menyediakan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan para pengolahan fillet. Dalam hal penyediaan sarana rantai dingin dan penanganan serta pengolahan fillet ikan, pemerintah telah melakukan beberapa upaya antara lain menyediakan 4 unit bangunan pengolahan fillet ikan, 52 unit meja proses fillet, 300 unit pisau fillet, 300 unit talenan fillet, 800 unit keranjang besar, 140 unit keranjang kecil, 60 unit blong, 300 pasang sepatu boot, 300 stel baju kerja, 300 apron plastik, 300 topi, 400 pasang sarung tangan, 4 unit freezer, 4 unit timbangan besar, 4 unit timbangan kecil, 4 unit pompa semprot lantai, 4 unit kereta dorong, 4 unit penghancur es, 16 lusin kantong sampah, 12 unit jebakan serangga, 400 unit masker, 28 unit pallet, 80 unit box berinsulasi ukuran besar dan 100 unit box berinsulasi ukuran sedang untuk menyimpan ikan (Dit PH 2006). Meskipun berbagai jenis sarana rantai dingin dan penanganan serta pengolahan fillet disediakan pemerintah, namun saat ini sebagian besar sarana tersebut tidak digunakan oleh para pengolah. Pada umumnya, para pengolah berpendapat bahwa sarana tersebut mempersulit dan memperlambat pengolahan fillet sehingga menurunkan hasil produksi.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penyediaan sarana rantai dingin dan pengolahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak memenuhi unsur karateristik inovasi karena menyulitkan proses pengolahan yang pada akhirnya menurunkan produktivitas pengolah. Dalam upaya mendorong para pengolah kembali menggunakan peralatan kerja sesuai dengan ketentuan, hal yang penting untuk dilakukan adalah meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada pengolah fillet kelompok BM.
50
Melalui pembinaan yang menyeluruh dan berkelanjutan serta pengawasan yang baik diharapkan pengolah fillet kelompok BM kembali menggunakan peralatan yang sesuai ketentuan tersebut. Pendapat responden kelompok LM terkait peran pemerintah di bidang fisik dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4 terlihat bahwa dari seluruh responden kelompok LM, 90,91% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sumber air bersih, 81,82% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan es, 81,82% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sarana rantai dingin dan 72,73% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sarana penanganan dan pengolahan ikan.
Kurangnya
pemerintah dalam menyediakan dukungan kebijakan fisik dikarenakan hingga saat ini, seluruh sarana dan prasarana yang ada di unit pengolahan responden LM merupakan asset perusahaan dan bukan hasil bantuan pemerintah. Meskipun pemerintah dinilai kurang memberikan dukungan penyediaan sarana dan prasarana fisik, responden kelompok LM tetap melanjutkan penerapan CPB dan SPOS karena didorong oleh permintaan pasar serta berbagai keuntungan yang masih dirasakan seperti kesempatan memperluas akases pasar ke manca negara.
4.3.2.3 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Secara umum, pendapat responden kelompok BM dan LM terkait dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat bervariasi. Pendapat responden pengolah yang termasuk dalam kelompok BM terkait dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Lampiran 5 terlihat dari seluruh responden kelompok BM, 60% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan pembinaan, 80% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan pengawasan dan 86% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan penegakan hukum. 51
Hal tersebut di atas dapat dilihat dari tidak berlanjutnya pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap responden kelompok BM.
Dit PH (2009)
menyatakan bahwa pada tahun 2008 telah dilakukan 3 kali pembinaan teknis dan mutu kepada pengolah fillet yang ada di sentra pengolahan fillet ikan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah dengan tujuan sebagai berikut: 1. mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi proses produksi pengolahan di unit pengolahan 2. melakukan pendampingan teknis dalam proses pengolahan/produksi di unit pengolahan (yang sesuai dengan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan) 3. pembinaan terhadap mutu proses pengolahan di unit pengolahan. Lebih lanjut Dit PH (2010) menyatakan bahwa pada tahun 2009 dilaksanakan 1 kali pembinaan teknis dan mutu kepada pengolah fillet yang ada di Sentra Fillet Ikan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah untuk mendorong penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Adapun pendapat para pengolah fillet yang termasuk dalam kelompok LM terkait dengan pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Berdasakan
Lampiran 6, dari 11 responden kelompok LM, 45,45% menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan pembinaan dan 100% responden menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan pengawasan.
Hal tersebut
dilaksanakan dengan memberikan pelatihan-pelatihan tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Baiknya pemerintah dalam melakukan pembinaan,
pengawasan dan penegakan hukum kepada pengolah kelompok LM disebabkan pemerintah melaksanakan prioritas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini karena pengolah kelompok LM dinilai sudah siap menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta mayoritas melakukan ekspor sehingga diperlukan langkah cepat untuk menyesuaikan dengan aturan negara importir yang semakin ketat dalam mempersyaratkan mutu dan keamanan produk perikanan, termasuk fillet. Keterlambatan pemenuhan terhadap persyaratan impor dari luar negeri akan mengakibatkan terganggunya ekspor produk perikanan Indonesia sehingga dikhawatirkan akan menggangu devisa negara dan mengurangi peran sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian nasional.
52
Selain hal di atas, 81,82% responden pengolah fillet kelompok LM menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan penegakan hukum. Hal tersebut dilaksanakan melalui penahanan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dan pencabutan SKP apabila dalam waktu yang ditentukan tidak dilakukan perbaikan terhadap temuan pengawas mutu atas ketidaksesuaian penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan. Peraturan Direktur Jenderal P2HP selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Keamanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJP2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan menyatakan untuk menjamin dan memelihara kesesuaian unit pengolahan ikan terhadap persyaratan kelayakan unit pengolahan, Direktorat Jenderal P2HP melakukan verifikasi satu tahun sekali dan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) melakukan survailen sesuai dengan tingkat kelayakan penerapan CPB dan SPOS. Unit pengolahan ikan dengan SKP rating A dan B disurveilen setiap 2 minggu sekali, dan unit pengolahan ikan dengan rating C disurveilen 1 bulan sekali. Berdasarkan pendapat responden pengolah fillet kelompok BM, hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam mendorong penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah melalui pengembangan berbagai program atau kegiatan pembinaan kepada pengolah hasil perikanan termasuk juga fillet ikan yang saat ini belum menerapkan CPB dan SPOS. Dalam konteks regulasi, hal tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Selain hal di atas, pengawasan yang baik dan penegakan hukum secara tegas kepada pengolah fillet yang tidak menerapkan CPB dan SPOS juga memainkan peran yang amat penting. Penegakan hukum berperan penting untuk memberikan efek jera bagi setiap produsen fillet ikan yang memproduksi fillet tanpa memperhatikan mutu dan keamanannya sehingga membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen.
53
4.3.2.4 Permintaan Pasar Secara umum terdapat tujuan pemasaran yang berbeda antara responen kelompok BM dan LM.
Responden kelompok BM memasarkan seluruh
produknya ke industri pengolahan ikan lanjutan di dalam negeri sedangkan responden kelompok LM memasarkan sebagian besar produknya ke luar negeri selain sebagian kecil di dalam negeri. Di dalam negeri, pasar responden kelompok BM yang sebagian besar di dominasi oleh industri pengolahan produk perikanan lanjutan tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu responden kelompok BM, yaitu “konsumen kita tidak minta yang begitu-gitu, orangnya gak kasih syarat apa-apa, gak pernah protes. Yang penting bersih aja diterima”. Responden kelompok BM
lainnya menyatakan, “konsumen kita tidak
minta, tapi saya berani tanggung jawab, produk fillet yang kita kirim bagus mutunya dan gak pakai formalin”. Terdapat juga responden pada kelompok BM yang menyatakan, “pembeli kita nggak mempersyaratkan itu mas, yang penting ikan yang dikirim bagus. Kalau seumpama jelek ya dipulangin. Kalau dibuat kerupuk terus kerupuknya patah ya dikomplain”. Responen kelompok BM lainnya menyatakan, “yang penting sempelnya bagus mas, buat produksi baso, otak-otak hasilnya bagus, pasti langsung dibeli. Kita kan udah lama dagang ke mereka. Udah ada kepercayaan gitu”. Hal yang berbeda terjadi di kelompok pengolah LM. Konsumen produk fillet yang dilayani baik di dalam maupun luar negeri mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal tersebut di katakan oleh salah satu responden, yaitu “Kalo kita kirim pasti dengan kualitas bagus. Konsumen minta seperti itu pak. Di dalam negeri, agen-agen kita meminta fillet dengan kualitas baik. Apalagi di pasar luar negeri. Kalau kita kirim ke Eropa saja SKP kita harus A. Jadi memang diminta mereka pak.” Responden kelompok LM lainnya menyatakan, “kita ini posisinya ngirim bahan baku pak.
Pembeli kita adalah pabrik pusat di karawang yang
memproduksi baso, otak-otak dan nugget. Kebijakan perusahaan kita memang
54
menerapkan GMP dan SSOP agar kualitas produknya baik, disamping disyaratkan oleh pemerintah”. Pengolah kelompok LM lainnya menyatakan, “penerapan GMP dan SSOP sudah keharusan pak. Pasar mintanya kayak gitu. Jadi kita cuma nurutin apa yang diminta aja.
Selain itu, penerapan CPB dan SPOS penting untuk
memenangkan persaingan yang saat ini semakin ketat, terutama dari produk asal Vietnam”. Responden kelompok LM lainnya menyatakan, “pasar kita meminta CPB dan SPOS pak. Apalagi untuk yang pasar ekspor khususnya Eropa, Amerika dan Jepang. Mereka secara tegas mempersyaratkan hal itu. Kalau tidak memenuhi, sudah pasti produksi fillet kita gak bias masuk ke sana pak. Konsumen di sana juga pasti komplain kalau produk fillet yang kita kirim rendah kualitasnya”. Berdasarkan pernyataan responden kelompok BM dan LM tentang permintaan pasar di atas terlihat, bahwa pasar dalam negeri yang selama ini dilayani oleh para pengolah kelompok BM tidak menuntut penerapan CPB dan SPOS, sedangkan pasar luar negeri dan dalam negeri yang dilayani pengolah kelompok LM meminta penerapan CPB dan SPOS.
Kondisi tersebut pada
akhirnya mendorong pengolah kelompok BM tidak menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Sedangkan bagi responden kelompok LM, kondisi tersebut pada akhirnya mendorong mereka menerapkan CPB dan SPOS untuk memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang akan digunakan sebagai dokumen persyaratan ekspor dan memenangkan persaingan dengan produk impor sejenis. Dalam upaya mendorong penerapan CPB dan SPOS oleh responden kelompok BM, hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah mewajibkan industri pengolahan ikan
lanjutan, seperti baso, otak-otak, kerupuk yang selama ini
menjadi tujuan pasar responden kelompok BM menerapkan CPB dan SPOS. Hal ini dapat dilakukan mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi pangan menyatakan bahwa pemerintah dapat mewajibkan penerapan standar termasuk juga CPB dan SPOS dengan mempertimbangkan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis.
55
Selain hal di atas, Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.
Lebih lanjut disebutkan, bahwa badan usaha yang memproduksi
pangan olahan untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Apabila terbukti badan usaha mengedarkan pangan yang mengandung bahan yang dilarang, merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia, maka badan usaha tersebut wajib mengganti segala segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan setinggi-tingginya Rp. 500.000.000,-. Apabila terbukti badan usaha menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan tambahan yang dilarang, menggunakan bahan yang dilarang sebagai kemasan, memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, mengganti label, melabel kembali, mengganti tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa dapat dipidana dengan penjaran paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,-. Saat ini di Indonesia, banyak terdapat produk fillet ikan impor, seperti fillet ikan dory dari Vietnam dan fillet ikan Tsuchi dari China.
Hal ini
mengindikasikan bahwa pasar fillet di dalam negeri sedang tumbuh. Melihat hal itu, maka ke depan para responden baik kelompok BM maupun LM perlu didorong untuk menerapkan CPB dan SPOS agar dapat memenangkan persaingan yang semakin meningkat. Berdasarkan uraian di atas, maka pada faktor eksternal terlihat adanya perbedaan dukungan pemerintah dalam bidang sosial, pengawasan dan penegakan hukum antara responden kelompok BM dan LM dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Selain itu, terdapat juga perbedaan permintaan pasar
produk fillet ikan milik responden kelompok BM dan LM. Perbedaan perlakuan pemerintah terhadap responden kelompok BM dan LM dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan disebabkan responden kelompok LM dipandang sudah siap untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta untuk merespon tuntutan pasar. Dalam hal permintaan pasar, ternyata
56
pasar fillet ikan responden kelompok BM yang mayoritas berada di dalam negeri tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, sedangkan pasar fillet ikan responden kelompok LM yang berlokasi di dalam maupun luar negeri mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.3 Faktor Karateristik Inovasi Terdapat perbedaan persepsi yang sangat besar antara responden kelompok BM dengan LM dalam menilai pengaruh faktor karateristik inovasi terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Secara umum,
responden kelompok BM memiliki persepsi bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memenuhi faktor karateristik inovasi.
Adapun
persepsi responden kelompok BM terkait dengan faktor karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan Lampiran 7 terlihat dari 15 responden kelompok BM, 86,67% menyatakan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif.
Keuntungan relatif yang tidak dirasakan oleh
reponden kelompok BM saat melaksanakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terkait dengan aspek ekonomi dan kenyamanan kerja, seperti menurunkan produktifitas karyawan dan mengurangi kenyamanan dalam berkerja.
Ketidakuntungan dalam aspek ekonomi adalah
menurunnya
produktivitas karyawan yang pada akhirnya berakibat pada penurunan produksi fillet dan pendapatan.
Dalam hal kenyamanan kerja, penerapan CPB dan SPOS
pengolahan fillet ikan yang mensyaratkan penggunaan apron, masker, dan topi membuat para pekerja menjadi risih dan merasa tidak nyaman saat mengolah fillet. Kondisi ini mengakibatkan tidak nyaman yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produktivitas unit pengolahan fillet milik responden kelompok BM. Selain hal di atas, 80% responden pengolah fillet kelompok BM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Hal ini disebabkan para pembeli yang sebagain besar adalah industri olahan ikan lanjutan seperti kerupuk, baso, dan otak-otak di dalam negeri tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolah fillet ikan. 57
Pembeli hanya meminta fillet ikan yang dibeli harus dalam kondisi baik yang ditandai dengan tidak bau busuk, tidak lembek, tidak kotor dan harus dalam kondisi dingin. Selain hal itu, responden kelompok BM juga menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak sejalan dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan saat mengolah fillet ikan. Dalam hal tingkat kerumitan, 73,33% responden pengolah fillet kelompok BM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan rumit. Hal ini disebabkan ketatnya persyaratan yang terdapat dalam ketentuan CPB dan SPOS pengolahan fillet.
Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara lain
mensyaratkan kondisi ruang proses yang bersih, peralatan kerja yang saniter, karyawan yang higienis dan tertib dalam melakukan pengolahan fillet, air dan es yang mutunya baik, penerapan rantai dingin yang tidak boleh putus sejak penerimaan bahan baku hingga pengemasan dan pendistribusian, penerapan prosedur pencatatan dan pemantauan terhadap aktifitas pengolahan dan lain sebagainya yang kesemuanya dianggap rumit oleh responden kelompok BM selain ketersediannya yang kurang. Meskipun demikian, 66,67% responden menyatakan CPB dan SPOS pengolahan fillet dapat diuji coba sampai batas tertentu dan diamati.
Hal ini
karena Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan fasilitas pendukung dan melakukan pendampingan pada saat proses uji coba penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Adapun persepsi para responden kelompok LM terkait dengan faktor karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan Lampiran 8 diketahui bahwa dari 11 responden kelompok LM, 90,91% menyatakan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memberikan keuntungan relatif. Bentuk keuntungan relatif yang dirasakan oleh responden kelompok LM dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah kesempatan untuk memperluas pasar hingga ke luar negeri, kemudahan dalam memperoleh sertifikat kesehatan sebagai dokumen pelengkap ekspor, memiliki kesempatan untuk terdaftar di negara importir sebagai unit pengolahan ikan dengan nilai kelayakan tertentu dan memiliki kesempatan untuk mencantumkan nomor registrasi dari
58
negara importir pada karton pengemas yang salah satunya berisi informasi tingkat penerapan CPB dan SPOS. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan juga meminimalkan resiko ditolaknya produk fillet di pasar. Sebagai salah satu contoh, responden kelompok LM menyatakan sebelum menerapkan CPB dan SPOS, tujuan pasar hanya meliputi wilayah China dan Jepang. Setelah menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, responden kelompok LM tersebut mampu menembus pasar Eropa dan Amerika yang terkenal sangat ketat peraturannya. Selain hal di atas,
72,73% responden pengolah fillet kelompok LM
menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet sesuai dengan nilai-nilai bisnis perikanan yang dianut terutama oleh pembeli mereka di dalam maupun luar negeri.
Dalam mengekspor produk perikanan ke luar negeri, pembeli dan
pemerintah negara importir menerapkan ketentuan impor produk yang ketat dan harus diikuti oleh para produsen. Dalam hal tingkat kerumitan, 100% responden kelompok LM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak rumit. Hal ini karena pemerintah memberikan pelatihan, pembinaan dan penyediaan panduan agar para responden kelompok LM tersebut mampu menyesuaikan dengan peraturan negara importir. Sampai dengan saat ini, responden pengolah fillet kelompok LM tetap menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Selain hal itu, 90,91%
responden kelompok LM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat diuji coba dan diamati sampai batas tertentu. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan antara responden pengolah fillet kelompok BM dan LM dalam mempersepsikan pengaruh faktor karateristik inovasi terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Responden kelompok BM mempersepsikan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif, rumit dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh responden kelompok BM. Hal sebaliknya terjadi pada responden kelompok LM yang mempersepsikan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara positif karena memberikan keuntungan relatif, tidak rumit dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
59
Kenyataan yang terjadi pada responden pengolah fillet ikan kelompok BM dan LM di atas telah sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Rogers bahwa semakin pengguna (user) merasakan suatu adopsi memiliki keuntungan relatif, sesuai dengan nilai yang dianut, tidak rumit, dapat diamati dan diuji coba sampai batas tertentu, maka proses adopsi inovasi tersebut akan semakin mudah dan cepat. Hal sebaliknya adalah apabila pengguna (user) tidak merasakan suatu adopsi memiliki keuntungan relatif, sesuai dengan nilai yang dianut, mudah, dapat diamati dan diuji coba sampai batas tertentu, maka proses adopsi inovasi tersebut akan semakin lambat dan kemungkinan besar akan ditolak.
4.4
Kondisi Penerapan CPB dan SPOS Kondisi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sesungguhnya
menggambarkan kelayakan unit pengolahan dalam melaksanakan proses pengolahan fillet ikan.
Kondisi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan
dapat dilihat dengan menghitung jumlah penyimpangan yang ada di unit pengolahan fillet ikan. Secara rinci, jumlah penyimpangan dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan pada unit pengolahan kelompok BM dan LM dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan rata-rata jumlah penyimpangan di unit pengolahan fillet antara kelompok BM dan LM Rata-rata penyimpangan di Unit Pengolahan Fillet
Jenis Peyimpangan BM
LM
Minor
10,28
1,27
Mayor
27,00
3,45
Serius
28,33
0,63
Kritis
3,06
0
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS Berdasarkan Tabel 16 diketahui, bahwa pada unit pengolahan fillet kelompok BM, seluruhnya dikatakan memiliki penerapan CPB dan SPOS
60
pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini disebabkan tingginya tingkat penyimpangan yang terjadi di unit-unit pengolahan fillet ikan tersebut. Berdasarkan Tabel 16, rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan kelompok BM adalah 10,28 penyimpangan minor, 27,00 penyimpangan mayor, 28,33 penyimpangan serius dan 3,06 penyimpangan kritis. Pada unit pengolahan fillet ikan kelompok LM, nilai kelayakan pengolahan fillet ikan bervariasi antara A, B hingga C. Dari 11 unit pengolahan fillet kelompok LM, satu unit pengolahan fillet atau 9,09% diantaranya layak dengan kriteria C, tiga unit pengolahan fillet atau 27,27% layak dengan kriteria B dan 6 unit pengolahan fillet atau 63,63% lulus dengan nilai A. Pada unit pengolahan fillet ikan kelompok BM, penyimpangan yang terjadi pada umumnya meliputi aspek lingkungan, konstruksi bangunan dan lay out, ventilasi dan fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, persyaratan konstruksi ruang penanganan dan pengolahan fillet, bahan baku, penanganan limbah, pencegahan hewan penggangu, kebersihan dan kesehatan karyawan, proses sanitasi, perlindungan produk dari kontaminasi dan penanganan produk produk yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan. Secara rinci, deskripsi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan kelompok BM dijabarkan sebagai berkut: 1. Penyimpangan Minor - Kondisi kebersihan lingkungan tidak dijaga - Tempat cuci tangan tidak digunakan hanya untuk mencuci tangan dan bahkan tidak tersedia - Tidak tersedia loker untuk menyimpan barang karyawan - Lantai sebagian retak sehingga air sisa pengolahan fillet tidak lancar terbuang ke saluran pembuangan - Pertemuan antar dinding sulit untuk dibersihkan - Peralatan kebesihan tidak cukup - Pasokan air panas dan dingin tidak cukup - Frekuensi pembersihan dan desinfeksi tidak cukup mencegah kontaminasi - Tidak tersedia peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi kode tertentu
61
- Tidak tersedia prosedur pengendalian serangga dan binatang penggangu lainnya - Tidak tersedia posedur pembuangan binatang yang mati - Karyawan banyak yang tidak memelihara tingkat kebersihan - Proses sanitasi tidak direncanakan dan dimonitor - Tidak tersedia prosedur penarikan barang yang sudah beredar 2. Penyimpangan Mayor - Area unit pengolahan fillet tidak memadai untuk pekerjaan dan kondisinya tidak saniter dan higienis - Kondisi lingkungan
tidak dipelihara untuk mencegah kontaminasi dari
serangga dan binatang penggangu lainnya - Konstruksi unit pengolahan fillet tidak dirawat sehingga tidak dapat mencegah masuknya serangga dan binatang penggangu lainnya - Aliran udara tidak mengalir dengan baik - Pintu masuk tidak dilengkapi dengan bak cuci kaki dan tangan yang cukup - Bak cuci kaki tidak dilengkapi dengan air bersih dan disinfeksi - Fasilitas cuci tangan tidak tersedia dalam jumlah cukup dan dilengkapi dengan sabun dan pembersih - Keran air dioperasikan dengan tangan - Ruang ganti tidak tersedia dalam jumlah cukup - Toilet tidak dilengkapi dengan sistem siram - Toilet tidak dilengkapi dengan ventilasi yang memadai - Saluran pembuangan tidak bersih - Dinding tidak kedap air - Dinding yang memiliki tonjolan dan kabel tidak ditutup dengan baik - Jendela tidak dilengkapi dengan kasa yang mudah dibersihkan - Permukaan yang kontak dengan produk seperti meja tidak memiliki saluran pembuangan yang baik - Peralatan tidak dijaga selalu dalam keadaan bersih dan saniter - Pembersihan peralatan kerja tidak dilengkapi dengan air yang memenuhi persyaratan air minum - Bahan pembungkus disimpan dengan cara yang tidak mencegah kontaminasi
62
- Es digunakan secara berulang dalam setiap tahapan proses pengolahan - Tempat penampungan limbah kurang tersedia dan tidak dirawat kondisi kebersihannya - Penanganan limbah dilakukan secara tidak higienis - Tidak tersedia peta penempatan perangkap tikus - Karyawan tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan 3. Penyimpangan Serius - Konstruksi unit pengolahan fillet tidak dapat mencegah kontaminasi dari kotoran, kondensasi, jamur dan lainnya - Kondisi tempat penanganan dan pengolahan fillet tidak dalam keadaan saniter dan higienis - Kondisi tidak memadai untuk mengolah dalam temperatur yang dipersyaratkan - Ketersediaan ventilasi kurang memadai - Fasilitas cuci tangan tidak tersedia dipintu masuk dalam jumlah memadai, tidak dilengkapi sabun dan lap - Tempat cuci tangan tidak tersedia dalam jumlah cukup di ruang pengolahan - Toilet tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan memadai - Saluran pembuangan tidak dikonstruksi untuk mencegah kontaminasi dan mengalir dari tempat yang bersih ke kotor - Permukaan dinding banyak yang retak - Konstruksi jendela tidak dapat mencegah kontaminasi serta akumulasi kotoran dan debu - Pintu masuk tidak mudah dibersihkan dan didisinfeksi - Peralatan kerja tidak dijaga kebersihannya - Rancang bangun dan penempatan peralatan tidak menjamin sanitasi dilakukan secara efektif - Limbah tidak ditempatkan pada wadah yang tertutup - Prosedur pengawasan dan pencegahan pest tidak efektif - Produk fillet tidak dipertahankan pada suhu yang mendekati suhu es mencair - Produk tidak terlindung dari kontaminasi yang menyebabkan tidak layak dikonsumsi atau membahayakan kesehatan
63
- Bahan setengah jadi tidak disimpan dalam suhu yang mendekati titik leleh es melalui rantai dingin - Air lelehan dari bahan baku tidak mengalir dengan baik - Bahan baku tidak disimpan dalam suhu dingin pada saat penerimaan - Pembuangan isi perut dan kepala (sebelum proses) dilakukan secara tidak higienis - Setelah dibuang isi perut dan kepala, produk fillet tidak segera dicuci dengan air yang sesuai persyaratan - Peralatan penampungan digunakan tidak dalam kondisi bersih - Produk yang tidak segera diproses, disimpan dalam kondisi yang tidak dingin dan tidak diberi es - Tidak dilakukan pengesan produk setelah di es secara teratur - Pemfilletan dan pemotongan dilakukan ditempat yang sama dengan pembuangan sisi perut dan kepala - Proses pemotongan dan pemfilletan dilakukan secara tidak higienis - Terjadi proses penundaan dalam pembuatan fillet atau pemotongan ikan - Fillet tidak segera didinginkan 4. Penyimpangan Kritis - Penerangan ruang pengolahan tidak dilengkapi dengan pelindung yang aman - Ketersediaan air yang memiliki kualitas sesuai air minum tidak cukup - Produk yang tidak segera diproses tidak diberikan es dan tidak berada dalam sistem rantai dingin - Konstruksi jendela di ruang pengolahan dan pengepakan tidak mencegah kontaminasi Pada unit pengolahan fillet yang termasuk kelompok LM, penyimpangan yang terjadi dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Penyimpangan Minor - Pasokan air panas dan dingin tidak cukup - Tidak adanya loker untuk menyimpan barang karyawan - Tidak tersedianya peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi kode tertentu
64
2. Penyimpangan Mayor - Keran air dioperasikan dengan tangan - Ruang ganti tidak tersedia dalam jumlah cukup - Toilet tidak dilengkapi dengan ventilasi yang memadai 3. Penyimpangan Serius - Permukaan dinding banyak yang retak - Ventilasi tidak cukup memadai Banyaknya penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan kelompok BM menggambarkan bahwa unit pengolahan tersebut tidak layak untuk melaksanakan proses pengolahan fillet ikan.
Akibat yang ditimbulkan dari penyimpangan-
penyimpangan tersebut adalah rentannya fillet terkontaminasi oleh mikroba, bahan kimia dan partikel fisik yang bersumber dari lingkungan pengolahan, sarana pengolahan, teknis pengolahan yang salah dan karyawan yang tidak menjaga kebersihannya.
Penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet
milik responden kelompok BM menggambarkan tidak adanya jaminan mutu dan kemanan pangan produk fillet serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh instansi berwenang.
Hal tersebut tidak perlu terjadi mengingat dalam
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa pemerintah berhak melakukan pengawasan dan melakukan tindakan administratif maupun penyidikan apabila patut diduga terdapat pelanggaran pidana di bidang pangan. Berdasarkan uraian di atas, ternyata responden kelompok BM dan LM memiliki pendapat berbeda dalam menilai faktor internal, eksternal dan karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada faktor internal, tingkat pengetahuan responden kelompok BM akan aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan lebih rendah jika dibandingkan dengan responden kelompok LM.
Demikian juga dalam hal
pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, dimana reponden kelompok BM ternyata kurang berpengalaman apabila dibandingkan dengan kelompok LM. Pada faktor eksternal, dukungan pemerintah yang diberikan dalam bidang sosial, pengawasan serta penegakan hukum dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan berbeda antara responden kelompok BM dan LM
65
tergantung pada kesiapan responden untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta respon atas tuntutan pasar. Pada aspek permintaan pasar, pembeli fillet responden kelompok BM tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, sedangkan pembeli fillet responden kelompok LM mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada faktor karateristik inovasi, responden kelompok BM lebih mempersepsikan negatif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Mereka menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif, rumit dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Sedangkan responden kelompok LM lebih mempersepsikan positif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Mereka menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memberikan keuntungan relatif, tidak rumit, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, dapat dilihat dan diuji coba keunggulannya.
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM adalah faktor internal, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pengalaman. Selain itu, faktor eksternal nampaknya juga tidak mendukung. Hal ini antara lain dapat dilihat dari kurangnya sosialisasi, kurangnya fasilitas sumber air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta tidak adanya permintaan pasar. Selain itu, pada faktor karateristik inovasi, responden kelompok BM mempersepsikan secara negatif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dengan nilai-nilai yang dianut dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
2.
Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan kelompok BM sangat buruk kondisinya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penyimpangan minor dan mayor yang terjadi serta masih adanya penyimpangan serius dan kritis melebihi batas yang ditentukan.
5.2 Saran Berkenaan dengan kesimpulan di atas, untuk mendorong dilanjutkannya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh pengolahan fillet kelompok BM, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Meningkatkan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan pendampingan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara berkelanjutan dalam bentuk lokus binaan khusus.
2.
Meningkatkan pengawasan terhadap industri pengolahan ikan lanjutan, seperti otak-otak, baso ikan, nugget yang selama ini menjadi pasar kelompok BM agar menerapkan CPB dan SPOS.
67
3.
Membuat regulasi tentang pencantuman label yang berisi keterangan penerapan CPB dan SPOS pada produk fillet di pasar dalam negeri.
4.
Meningkatkan upaya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya aspek penerapan CPB dan SPOS pada proses pengolahan fillet ikan.
5.
Melengkapi fasilitas fisik terutama sumber air bersih dan es yang sangat diperlukan dalam mengolah ikan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Adams ME. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries. First Edition. Singapore: Longman Singapore Publisher Pte Ltd. Andyana et al. 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian, dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2006. SNI 01-2696.3-2006 Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Jakarta Blow P. 2001. Handling and Processing for Export. Subashinghe S, Singh T, editor. Proceedings of The Tilapia 2001, International Technical and Trade Conference on Tilapia. Kuala Lumpur. 28-30 Mei 2001. Malaysia. Infofish. Halaman 123 – 127. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2009. a. Undang-undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta. b. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia. Jakarta Departemen Kesehatan (Depkes). 1978. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 23/MEN.KES/SK/I/1978 tentang Pedoman Cara Produksi yang Baik untuk Makanan. Jakarta Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Jakarta Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peikanan (Ditjen P2HP). 2008. Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Selaku Otoritas Kompeten Nomor : PER.130/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peikanan (Ditjen P2HP). 2010. Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Selaku Otoritas Kompeten Nomor : PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Selaku Otoritas Kompeten Nomor : PER.067/DJ-P2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta.
69
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peikanan (Ditjen P2HP). 2006. Teknologi Pengolahan Fillet Ikan. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). 2005. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Tahun 2005 – 2009. Jakarta. Satker Sekretariat Direktorat Jenderal P2HP. Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Pedoman Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) Berdasarkan Konsepsi HACCP. Jakarta. Direktorat Usaha dan Pengolahan Hasil Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). 2007. Pola Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Fillet Ikan. Jakarta. Satker Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). 2008. Peningkatan Nilai Tambah Ikan dan Olahannya Melalui Teknologi Penanganan dan Pengolahan. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil Direktorat Pengolahan Hasil (Dit PH). 2008. Laporan Akhir Tahun Direktorat Pengolahan Hasil 2007. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil. Direktorat Pengolahan Hasil (Dit PH). 2009. Laporan Akhir Tahun Direktorat Pengolahan Hasil 2008. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil. Direktorat Pengolahan Hasil (Dit PH). 2010. Laporan Akhir Tahun Direktorat Pengolahan Hasil 2009. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil. Fardiaz, S. 1997. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti. Bogor, 21 Juli – 2 Agustus 1997. http:// id.wikipedia.org/wiki/ISO 9000. 2010. ISO 9000. 10 Januari 2011. Luning, P.A, W.J. Marcelis, W.M.F. Jongen. 2002. Food Quality Manajemen. Wegeningen Pers, Wageningen Masengi S, Damayanti P. 2008. Laporan Pendampingan Fasilitasi Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Lanjutan. Jakarta. Satker Direktorat Pengolahan Hasil. Musyafak A, Ibrahim TM. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Pontianak: Badan Pengkajian Teknologi Pertanian.
70
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia Nurdjana M L. 2009. Program dan Kebijakan Perikanan Budidaya. Bahan Seminar Revitalisasi Nasional Industri Perikanan. Jakarta: Ditjen Perikanan Budidaya. Poernomo A. 2008. Menuju Produk Perikanan yang Berdaya Saing. Jakarta: Pemata Wacana Lestari. Poernomo. 2007. Urgensi Penerapan Sistem Rantai Dingin Untuk Mempertahankan Kesegaran Ikan. Di dalam : Nikijuluw V, penyunting. Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Jakarta: Satker Ditjen P2HP, DKP. Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovations. London: The Free Press. Rokhman A. 2008. Peran Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima (disertasi). Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Simamora B. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia. Subagyo, Rusidi, Sekarningsih R. 2005. Kajian Faktor-Faktor Sosial yang Berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul Daeah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Jurnal Pengkajian dan Pengembagan Teknologi Pertanian Volume 8 No 2. Surono. 2007. Sanitation Standard Operating Procedures. Jakarta. Bahan Pelatihan Fasilitator Sistem HACCP. PT. Competency Based Training (CBT) Indonesia. Swarasangi S. 2000. Quality Management in the Thai Tuna Industry. Subashinghe S, Pawiro S, editor. Papers of the 6th World Tuna Trade Conference. 25-27 Mei 2000. Bangkok, Thailand. Infofish. Halaman 143-149. Van den Ban, A.W, Hawkins, HS 1996. Agricultural Extension. Second Edition. New York: Wley and Son, Inc.
71
Lampiran 1. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK BM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG SOSIAL YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN SB Aspek Sosial
Jumlah Responden
Frekuensi sosialisasi CPB dan SPOS Penyediaan sumber permodalan Penyediaan informasi pasar Penyediaan informasi regulasi tentang mutu dan keamanan pangan
B %
Jumlah Responden
K %
Jumlah Responden
SK %
Jumlah Responden
%
1
6,67
1
6,67
10
66,66
3
20
0 0
0 0
2 2
13,34 13,34
10 10
66,66 66,66
3 3
20 20
0
0
1
6,67
10
66,66
4
26,67
72
Lampiran 2. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang sosial
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK LM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG SOSIAL YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN SB Aspek Sosial
Jumlah responden
B %
Jumlah responden
K %
Jumlah responden
SK %
Jumlah responden
%
Frekuensi sosialisasi CPB dan SPOS
2
18,2
9
81,8
0
0
0
0
Penyediaan sumber permodalan
2
18,2
7
63,6
2
18,2
0
0
Penyediaan informasi pasar Penyediaan informasi regulasi tentang mutu dan keamanan pangan
0
0
8
72,7
3
27,3
0
0
0
0
11
100
0
0
0
0
73
Lampiran 3. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK BM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG FISIK YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN
SB Aspek Fisik
Jumlah responden
Penyediaan sumber air bersih Penyediaan es Penyediaan sarana rantai dingin Sarana dan prasaran penanganan dan pengolahan ikan
B %
Jumlah responden
K %
Jumlah responden
SK %
Jumlah responden
%
0 0 0
0 0 0
0 3 2
0 20 13
13 10 11
87 67 74
2 2 2
13 13 13
2
13
3
20
10
67
0
0
74
Lampiran 4. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang fisik
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK LM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG FISIK YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN
SB Aspek Fisik
Jumlah responden
Penyediaan sumber air bersih Penyediaan es Penyediaan sarana rantai dingin Sarana dan prasaran penanganan dan pengolahan ikan
B %
Jumlah responden
K %
Jumlah responden
SK %
Jumlah responden
%
0 0 0
0 0 0
0 1 2
0 9,09 18,18
10 9 9
90,91 81,82 81,82
1 1 0
9,09 9,09 0
0
0
2
18,18
8
72,73
1
9,09
75
Lampiran 5. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang pembinaan dan pengawasan
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK BM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN SB Pembinaan dan Pengawasan
Jumlah responden
Pembinaan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS Pengawasan penerapan CPB dan SPOS Penegakan hukum oleh pemerintah
B %
Jumlah responden
K %
Jumlah responden
SK %
Jumlah responden
%
0
0
2
13
9
60
4
27
0 0
0 0
1 1
7 7
12 13
80 86
2 1
13 7
76
Lampiran 6. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor kebijakan pemerintah di bidang pembinaan dan pengawasan
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK LM TERHADAP FAKTOR KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBINAAN DAN PENGAWASAN YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN SB Pembinaan dan Pengawasan
Jumlah Responden
Pembinaan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS Pengawasan penerapan CPB dan SPOS Penegakan hukum oleh pemerintah
B %
Jumlah Responden
K %
Jumlah Responden
SK %
Jumlah Responden
%
6
54,55
5
45,45
0
0
0
0
0
0
11
100
0
0
0
0
9
81,82
2
18,18
0
0
0
0
77
Lampiran 7. Penilaian responden kelompok BM terhadap faktor karateristik inovasi
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK BM TERHADAP FAKTOR KARATERISTIK INOVASI YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN
SS Karateristik Inovasi
Jumlah responden
S %
Jumlah responden
TS %
Jumlah responden
STS %
Jumlah responden
%
Keuntungan relatif Kompitabilitas Kerumitan
0 0
0 0
2 3
13,33 20,00
13 12
86,67 80,00
0 0
0 0
1
6,67
11
73,33
3
30,00
0
0
Kemampuan untuk diujicobakan Kemampuan untuk diamati
0 0
0 0
10 10
66,67 66,67
5 5
33,33 33,33
0 0
0 0
78
Lampiran 8. Penilaian responden kelompok LM terhadap faktor karateristik inovasi
PENILAIAN RESPONDEN KELOMPOK LM TERHADAP FAKTOR KARATERISTIK INOVASI YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN CPB DAN SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN
SS Karateristik Inovasi
Jumlah responden
Keuntungan relatif Kompitabilitas Kerumitan Kemampuan untuk diujicobakan Kemampuan untuk diamati
1 4 0 1 1
S % 9,09 27,27 0 9,09 9,09
Jumlah responden 10 8 0 10 10
TS % 90,91 72,73 0 90,91 90,91
Jumlah responden 0 0 11 0 0
STS % 0 0 100 0 0
Jumlah responden 0 0 0 0 0
% 0 0 0 0 0
79
Lampiran 9. Tingkat Utilitas Unit Pengolahan Fillet
TINGKAT UTILITAS UNIT PENGOLAHAN FILLET Nama Unit Pengolahan Fillet Ikan UPI 1 UPI 2 UPI 3 UPI 4 UPI 5 UPI 6 UPI7 UPI 8 UPI 9 UPI 10 UPI 11 UPI 12 UPI 13 UPI 14 UPI 15 UPI Kelompok BM UPI 16 UPI 17 UPI 18 UPI 19 UPI 20 UPI 21 UPI 22 UPI 23 UPI 24 UPI 25 UPI 26 UPI Kelompok LM GRAND TOTAL
KAPASITAS PRODUKSI (ton) TERPASANG REALISASI 15 7 4,5 4,5 2,5 7 2 8 3 3 4,7 2 4 4 12 83,2 7 10 5 10 6 15 20 7 4 7 2 93,0 176,2
6 3,5 3,5 3,5 1,7 2 1,8 6 1,5 1,5 3,5 1,2 3,5 2 12 53,2 3,5 8 2 6 6 6 2 6 4 5 1,8 50,3 103,5
TINGKAT UTILITAS (%) 40 50 77,8 77,8 68 28,6 90 75 50 50 74,5 60 88 50 100 63,9 50 80 40 60 100 40 10 85,7 100 71,4 90 54,1 58,7
80
Lampiran 10. Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan
TENAGA KERJA PENGOLAHAN FILLET IKAN Nama Unit Pengolahan Fillet Ikan UPI 1 UPI 2 UPI 3 UPI 4 UPI 5 UPI 6 UPI7 UPI 8 UPI 9 UPI 10 UPI 11 UPI 12 UPI 13 UPI 14 UPI 15 UPI Kelompok BM UPI 16 UPI 17 UPI 18 UPI 19 UPI 20 UPI 21 UPI 22 UPI 23 UPI 24 UPI25 UPI26 UPI Kelompok LM GRAND TOTAL
TENAGA KERJA LAKI-LAKI PEREMPUAN 10 5 5 6 5 5 5 8 4 10 9 3 90 8 8 181 5 15 10 10 85 100 85 45 39 74 41 509 690
60 40 50 45 35 35 35 40 56 40 40 35 10 40 150 711 30 70 30 65 88 205 125 74 45 62 237 1031 1742
TOTAL TENAGA KERJA 70 45 55 51 40 40 40 48 60 50 49 38 100 48 158 892 35 85 40 75 173 305 210 119 84 136 278 1540 2432
81
Lampiran 11. Tingkat Pengetahuan Responden TINGKAT PENGETAHUAN RESPONDEN TERHADAP CPB dan SPOS Nama Unit Pengolahan Fillet Ikan UPI 1 UPI 2 UPI 3 UPI 4 UPI 5 UPI 6 UPI7 UPI 8 UPI 9 UPI 10 UPI 11 UPI 12 UPI 13 UPI 14 UPI 15 UPI 16 UPI 17 UPI 18 UPI 19 UPI 20 UPI 21 UPI 22 UPI 23 UPI 24 UPI25 UPI26
Jumlah Soal
Benar
Salah
Nilai
Keterangan
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
17 17 17 16 22 19 16 14 20 19 19 17 18 22 12 27 27 28 27 28 27 27 26 28 28 27
13 13 13 14 8 11 14 16 10 11 11 13 12 8 18 3 3 2 3 2 3 3 4 2 2 3
56,67 56,67 56,67 53,33 73,33 53,33 53,33 46,67 56,67 53,33 63,33 56,67 60,00 73,33 40,00 90,00 90,00 93,33 90,00 93.33 90,00 90,00 86,00 93,33 93,33 90,00
R R R R SD R R R R R SD R SD SD R T T T T T T T T T T T 82
Lampiran 12. Status Penerapan CPB dan SPOS STATUS PENERAPAN CPB dan SPOS PENGOLAHAN FILLET IKAN Nama Unit Pengolahan Fillet Ikan UPI 1 UPI 2 UPI 3 UPI 4 UPI 5 UPI 6 UPI7 UPI 8 UPI 9 UPI 10 UPI 11 UPI 12 UPI 13 UPI 14 UPI 15 UPI 16 UPI 17 UPI 18 UPI 19 UPI 20 UPI 21 UPI 22 UPI 23 UPI 24 UPI25 UPI26
JUMLAH PENYIMPANGAN MINOR MAYOR SERIUS KRITIS 8 12 12 8 12 13 11 10 11 13 11 13 7 9 12 0 6 0 0 0 0 3 2 0 3 0
23 34 31 18 30 34 33 21 28 24 33 35 14 17 30 0 14 0 0 0 0 8 7 0 9 0
31 33 33 27 40 28 27 29 32 29 28 28 14 16 30 0 4 0 0 0 0 1 1 0 1 0
3 6 5 4 5 3 4 2 4 1 1 4 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
STATUS Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Lulus (A) Lulus (C) Lulus (A) Lulus (A) Lulus (A) Lulus (A) Lulus (B) Lulus (B) Lulus (A) Lulus (B) Lulus (A)
83