KAJIAN EVALUASI PENCAPAIAN PROGRAM PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN (PUP) (ANALISIS DESKRIPTIF SURVEI DEMOGRAFI DAN KESEHATAN INDONESIA) DWI ARIKA WATI Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok - Indonesia E-mail :
[email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang pencapaian program Pendawaan Usia Perkawinan (PUP) yang dilaksanakan oleh BKKBN dengan menganalisis data SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Perkawinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi TFR. Dengan umur kawin yang lebih muda maka akan memperpanjang masa melahirkan pada perempuan. Angka perkawinan usia dini di Indonesia masih tinggi. Sehingga dengan angka perkawinan usia yang tinggi juga menyebabkan tingginya TFR di Indonesia.Tujuan studi ini adalah untuk mempelajari pola, perbedaan pada umur kawin pertama wanita di Indonesia berdasarkan hasil SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Metode yang digunakan adalah dengan analisis deskriptif dengan objek penelitian wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun di Indonesia.Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah lebih dari 50 % wanita pernah kawin di Indonesia menikah di bawah usia 20 tahun. wanita yang mempunyai median umur kawin pertama rendah adalah wanita yang bertempat tinggal di pedesaan, beragama Islam, tidak sekolah danbekerja di bidang pertanian dan mempunyai status ekonomi di kuintil terendah. Berdasarkan program PUP yang dilaksanakan oleh BKKBN, cakupan program melalui kegiatan BKR maupun PIK Remaja masih belum terjangkau di semua wilayah, hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa hanya 28% remaja yang mengetahui tentang program PIK-Remaja. Hal ini mengindikasikan bahwa program tersebut masih kurang disosialisakan kepada remaja Indonesia.
Abstract This study discusses the achievements of Maturation age of Marriage (PUP) held by BKKBN by analyzing the data IDHS, 1997, 2002-2003 and 2007. Marriage is one of the factors that may affect the TFR. With a younger age of marriage then it would prolong women give birth. Number of early marriages in Indonesia is still high. So with a high rate of child marriage also led to high TFR in Indonesia. The purpose of this study is to learn the pattern, the difference in age at first marriage of women in Indonesia based on Indonesia Demographic and Health Survey 1997, 2002-2003 and 2007.The method of research is descriptive analysis. Women which marriage between 15-49 years old in Indonesia are the object of this research. The findings generated from this study is more than 50% of women ever married in Indonesia were married under 20 years of age. women with a median age at first marriage are lowest residing women in rural areas, are Muslims, not school and work in agriculture and economic status are the lowest quintile or the poorest. Based on the PUP program implemented by the BKKBN, the program not cover all areas yet, there’s only 28% of adolescents who know about the PIK R program. This indicates that the program is still less in socialization to Indonesian youth. Keywords: Achievement, maturation age of marriage, age at first marriage
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
sensus tersebut diketahui bahwa terjadi pertumbuhan penduduk yang cepat dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun atau setiap tahunnya jumlah penduduk bertambah 3 sampai 3,5 juta jiwa (Badan Pusat Statistik (BPS), 2010).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 jumlah penduduk Indonesia 237 juta jiwa meningkat dari hasil SP 2000 yang berjumlah 206,3 juta jiwa. Dari hasil
Salah satu faktor yang memperngaruhi laju pertumbuh-
1
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
an penduduk adalah kelahiran (fertilitas). Umur kawin pertama memberikan pengaruh secara langsung terhadap tingkat fertilitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Asiimwe dalam penelitian yang dilakukan oleh Atuhaire dan Rutaremwa (2010), bahwa penundaan usia perkawinan secara langsung mempengaruhi fertilitas yaitu dengan mengurangi usia melahirkan.
dari 10 persen menjadi 9 persen namun masih terjadi disparitas atau kesenjangan yang tinggi antarprovinsi, antarwilayah, dan antarstatus sosial-ekonomi. Hasil SDKI 2007, menunjukkan bahwa ASFRusia 1519 tahun yang tertinggi dijumpai di Provinsi Kalimantan Tengah (92 kelahiran) dan terendah di Provinsi D.I. Yogyakarta (7 kelahiran) dan 16 tahun. Dari data tersebut menujukkan bahwa masih tingginya angka umur kawin pertama pada usia 15-19 tahun (BAPPENAS, 2010). Persentase kelahiran pada usia 15-19 tahun di perdesaan lebih tinggi yaitu 12,7% sedangkan di perkotaan sebesar 3,9%, pada perempuan yang tidak sekolah kelahiran yang persentasenya sebesar 18,7% sedangkan yang berpendidikan SMU ke atas sebesar 3,8%.
Perkawinan usia muda atau disebut dengan perkawinan dini adalah perkawinan yang dilakukan sebelum usia 18 tahun (United Nations Children’s Fund (UNICEF, 2005)). Di Indonesia sendiri definisi perkawinan dini berbeda-beda. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2010a), umur minimal bagi perempuan untuk menikah adalah 20 tahun dan 25 tahun bagi laki-laki.Sementara dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa umur minimal menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan. Sedangan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa sampai dengan usia 18 tahun seorang individu masih dikategorikan sebagai anak-anak. Sehingga, jika terjadi pernikahan yang dilakukan pada usia tidak lebih 18 tahun disebut sebagai pernikahan anak di bawah umur atau pernikahan dini.
Perkawinan di usia dini berdampak pada gangguan psikologi, kesehatan dan reproduksi remaja yang berkaitan dengan seks, kehamilan dan kelahiran, perawatan anak pada usia dini, kesehatan ibu dan anak di masa depan dan terputusnya kesempatan memperoleh pendidikan, rentan terhadap kekerasan dan penelantaran selain itu juga dapat berakibat pada dilahirkannya generasi yang kurang berkualitas.Sebagian besar penelitian juga membuktikan bahwa pada pria atau wanita yang menikah sebelum usia 20 mempunyai peluang kebahagiaan dalam perkawinan yang lebih rendah dan rentan terhadap perceraian dibandingkan setelah usia tersebut (Landis& Landis, 1970). UNICEF (2001) juga menjelaskan bahwa pernikahan dini akan berdampak pada fisik, intelektual, psikologis dan dampak emosional, memutus kesempatan memperoleh pendidikan dan pertumbuhan secara pribadi.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2010), menunjukkan bahwa jumlah kasus pernikahan di usia remaja (15-19 tahun) atau pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun.Sementara itu, untuk median umur kawin pertama perempuan umur 25-49 tahun mengalami peningkatan dari 19,2 tahun pada hasil SDKI 2002-2003 menjadi 19,8 tahun pada hasil SDKI 2007. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perkawinan akan berdampak pada kelahiran. Dengan perkawinan dini terjadinya kelahiran-kelahiran baru akan semakin cepat jika tidak dicegah sesuai dengan pernyataan Jazimah (2006) bahwa semakin banyakjumlah perkawinan usia muda, maka tingkat kesuburan juga akan semakin tinggi.
Sesuai dengan Undang Undang RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Untuk itu diperlukan suatu upaya atau kebijakanyang dapat mengendalikan tingkat kelahiran bahkan pertumbuhan penduduk. Salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengendalikan jumlah penduduk yaitu melalui ProgramPendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang termasuk dalam kerangka Program Keluarga Berencana (KB).
Menurut World Health Organization (WHO) (2012), bahwa pada tahun 2008 terdapat 11% kelahiran yang merupakan kelahiran dari perempuan berusia 15 – 19 tahun. Sedangkan di Indonesia berdasarkan SDKI 2007, Age Specific Fertility Rate (ASFR) usia 15-19 tahun sebesar 51 kelahiran, usia 20-24 tahun sebesar 135, usia 25-29 tahun sebesar 134, usia 30-34 tahun sebesar 108, usia 35-39 tahun sebesar 65, usia 40-44 sebesar 19 dan usia 45-49 sebesar 6 kelahiran. Penurunan proporsi kelahiran tersebut mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kesadaran pada risiko perkawinan dini. Meskipun terjadi penurunan proporsi kelahiran pada remaja yaitu
Pendewasaan Usia Perkawinan bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental dan sosial ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Melalui program PUP diharapkan dapat meningkatkan Umur Kawin Pertama (UKP) yang pada
2
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
akhirnya dapat turut menurunkan TotalFertility Rate (TFR) (BKKBN, 2010a). Program PUP melalui program PKBR (Penyiapan Kehidupan Bekeluarga bagi Remaja) dalam kegiatan PIK-Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) perlu ditingkatkan melalui sekolah-sekolah maupun melalui Karang Taruna, mengingat banyak remaja yang putus namun tidak paham tentang materi Kesehatan Reproduksi.
1.3. Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimana pencapaian serta implikasi Program PUP terhadap perkawinan selama periode SDKI 1997-2007 di Indonesia? Bagaimana pola antar karakteristik demografi, budaya, sosial dan ekonomi yang terjadi serta perbedaan selama periode SDKI 1997-2007 pada perkawinan di Indonesia? Apakah penyebab kesenjangan antar karakteristik demografi, budaya, sosial dan ekonomi yang terjadi serta perbedaan selama periode SDKI 1997-2007 pada perkawinan di Indonesia?
Program Pendewasaan Usia Perkawinan dilatarbelakangi karena semakin banyaknya kasus pernikahan usia dini yaitu 50 juta penduduk atau 8,5 dari persentase seluruh fertilitas remaja,banyaknya kasus kehamilan tidak diinginkan yaitu 0,4 dari 2,6 TFR,menyebabkan pertambahan penduduk makin cepat yang menyebabkan kualitasnya rendah, dan menikah di usia muda menyebabkan keluarga sering tidak harmonis, sering terjadi perselisihan, perselingkuhan, KDRT, dan rentan terhadap perceraian (BKKBN, 2010a).
1.4. Tujuan Penelitian : -
Dengan demikian, keberhasilan program PUP secara langsung akan berimplikasi pada menurunnya jumlah pernikahan dini dengan meningkatkan umur kawin pertama yang akan berdampak secara tidak langsung kepada menurunnya TFR serta laju pertumbuhan penduduk dan juga dapat meningkatkan angka harapan hidup bagi perempuan. Selain itu, PUP juga akan berdampak pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu berdasarkan uraian tersebut penulis termotivasi untuk melakukan kajianevaluasi terhadappencapaian Program PUP di Indonesia yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dikarenakan risiko yang ditimbulkan oleh perkawinan usia dini sangatlah besar. Risiko tersebut diantaranya kematian ibu akibat melahirkan sebelum usia 15 tahun adalah 5 kali lebih besar saat melahirkan dibandingkan dengan wanita yang melahirkan di usia 20 tahu ke atas (UNICEF, 2008). Risiko lainnya adalah rentan terhadap HIV maupun penyakit menular seksual lainnya, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan yang layak menyebabkan ketidakmampuan memperoleh pekerjaan maupun keterampilan yang layak pula. Meningkatkan risiko melahirkan bayi yang prematur serta berat bayi lahir rendahjuga merupakan risiko perkawinan usia dini (Soejoenos, 2001).
-
-
Mendeskripsikan pencapaian serta implikasi Program PUP terhadap perkawinan di Indonesia. Mengetahui pola antar karakteristik demografi, budaya, sosial dan ekonomi yang terjadi serta perbedaan selama periode SDKI 1997-2007 pada perkawinan di Indonesia Mengidentifikasipenyebab kesenjangan antar karakteristik demografi, budaya, sosial dan ekonomi yang terjadi serta perbedaan selama periode SDKI 1997-2007 pada perkawinan di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian -
-
Studi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi stakeholder terkait dalam upaya menentukan kebijakan, perencanaan program terkait program PUP. Sebagai masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan Program PUP
1.6. Ruang Lingkup Penelitian Untuk mengevaluasi pencapaian program PUP, dalam penelitian ini menggunakan data sekunder SDKI selama tiga periode terahir yaitu SDKI 1997, 20022003 dan 2007. Penelitian dibatasi pada variabel yang berhubungan dengan usia perkawinan yang tersedia dalam SDKI yang menggunakan kuesioner wanita pernah kawin (WPK) berusia 15 – 49 tahun untuk melihat variabel-variabel yang terkait dan kuesioner rumah tangga (RT) untuk melihat tingkat kesejahteraan keluarga yang terdapat dalam tiga masa SDKI tersebut. Kemudian dari hasil identifikasi dilakukan analisis secara deskriptif sehingga dapat diketahui pencapaian program untuk kemudian dilakukan evaluasi. Diharapkan dari penelitian ini dapat membantu
1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam perkawinan merupakan masalah yang tidak sederhana karena menyangkut banyak hal. Hasil publikasi SDKI 2007 menunjukkan bahwa jumlah kasus perkawinan dini dan kesenjangan yang masih tinggi. Maka berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengevaluasi pencapaian program PUP dengan menganalisis data sekunder SDKI. Sehingga dari analisis tersebut dapat dilakukan evaluasi yang pada akhirnya dapat membantu untuk pengambilan keputusan atau kebijakan publik.
3
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
2.4. Teknik Pengumpulan Data
mengevaluasi hasil dari pelaksanaan Program PUP yang di canangkan oleh pemerintah.
2.
Data sekunder yang diperoleh oleh peneliti yaitu data SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007 dikumpulkan dari Tim Pengarah SDKI yaitu Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD FEUI) dan telah mendapatkan izin sebelumnya dari pihak yang bersangkutan untuk menggunakan data SDKI tersebut sesuai dengan kebutuhan.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Desain Penelitian Penelitian ini dirancang untuk melakukan kajian deskriptif sesuai dengan tujuan analisis dengan menggunakan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan potong lintang (cross sectional), dimana data diambil pada waktu tertentu. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data SDKI dalam tiga periode yaitu SDKI 1997, 2002-2003 dan SDKI 2007 yang diselenggarakan atas kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan RI dan Macro Internasional Inc.
2.5 Instrumen Pengumpulan Data Intrumen pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur yang telah dirumuskan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan juga BKKBN. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner wanita pernah kawin (WPK) dan kuesioner daftar rumah tangga (RT).
2.5. Pengolahan Data
2.2. Waktu dan Penelitian
Analisis data dilakukan berdasarkan data sekunder SDKI. Sebelum dilakukan analisis data, data yang terkumpul dilakukan subset data berdasarkan variabel yang dipilih yang digabungkan dalam satu file kerja. Variabel-variabel yang terpilih disimpan dalam database untuk proses analisis selanjutnya. Selanjutnya dilakukan pengkodean ulang sesuai dengan definisi operasional (transformasi data) menggunakan software SPSS versi 13.0 for windows dan data siap untuk dianalisis.
Penelitian ini diambil dari data sekunder SDKI 1997, 2002-2003 dan SDKI 2007. Penelitian dilakukan terhadap data tersebut dilakukan pada Januari-Juli 2013.
2.3. Populasi dan Sampel Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data SDKI yang merupakan data survei yang berskala nasional. Populasi penelitian adalah semua wanita pernah kawin di Indonesia.
2.6. Analisis Data Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah menggunakan analisis deskriptif terhadap data sekunder yang telah diolah kemudian menyajikannya dalam bentuk tabel atau diagram untuk mengetahui tren serta distribusi frekuensi untuk mengetahui sebaran data dan tabulasi silang sesuai dengan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah disusun.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semua wanita pernah kawin umur 15-49 tahun yang tercakup dalam data SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Sampel diambil secara total sampling dari semua sampel yang ada dalam data survei yang sesuai dengan kriteria penelitian, dengan pertimbangan menggunakan data sekunder dengan sampel yang sudah tersedia, dan hasilnya lebih menggambarkan populasi yaitu semua wanita pernah kawin umur 15-49 tahun yang dapat diwawancarai pada saat survei berlangsung. Data yang tercakup yaitu sebanyak 28.810 pada SDKI 1997, 29.483 pada SDKI 2002-2003 dan sebanyak 32.895 wanita pada SDKI 2007. Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah wanita dikarenakan wanita mempunyai risiko dalam kesehatan reproduksi. Dengan adanya perbedaan dalam cakupan SDKI 2007 dengan SDKI 2002-2003 maupun SDKI 1997, maka di dalam membandingkan data antar SDKI harus selalu diingat perbedaan cakupan ini.
Selanjutnya analisis data dibagi dalam tiga tahap yaitu: (Sugiyono, 2009). Reduksi Data Reduksi data merupakan kegiaan merangkum, memfokuskan pada hal-hal yang penting dari data yang terkumpul. Penyajian Data Penyajian data merupakan kegiatan mengorganisasikan informasi dalam sebuah pola hubungan sehingga mudah dipahami. Penyajian data dalam penelitian ini adalah data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam bentuk tabel kemudian diperjelas dengan teks narasi. Penarikan Kesimpulan
4
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
Kesimpulan merupakan temuan baru yang dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya belum pernah ada. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan setelah dilakukan pembahasan dan analisis.
Semakin menurunnya kejadian perkawinan dini tersebut dapat mengindikasikan bahwa kesadaran wanita di Indonesia akan dampak atau risiko menikah di usia muda. Meningkatnya kesadaran tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan norma sosial yang ada di Indonesia. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono dalam Sa’diyah (2008) bahwa norma sosial yang menuntut persyaratan yang semakin tinggi menyebabkan seorang individu akan meningkatkan taraf hidupnya melalui pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain yang menyebabkan tertundanya usia perkawinan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 3.1 Perkawinan di Indonesia Berdasarkan perkawinan yang terjadi di Indonesia maka dalam penelitian ini perkawinan dikelompokkan menjadi dua yaitu perkawinan usia muda dan perkawinan usia ideal. Perkawinan usia muda atau pernikahan dini dalam penelitian ini di ukur pada wanita pernah kawin (WPK) berumur 15-49 tahun yang terdapat pada data SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007 yang melakukan perkawinan sebelum memasuki usia 20 tahun, dan perkawinan usia ideal jika telah mencapai usia 20 tahun.
Umur kawin pertama berkaitan dengan pertama kali wanita “kumpul” yang berisiko untuk menjadi hamil. Jadi, dapat disimpulkan bahwa umur kawin pertama berkaitan dengan fertilitas. Pada gambar 1. menggambarkan bahwa median UKP wanita pernah kawin umur 15-49 tahun di Indonesia berdasarkan pengolahan hasil SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007 mengalami peningkatan UKP, yaitu dari umur 18,2 tahun pada tahun 1997, 18,9 tahun pada tahun 20022003 dan menjadi 19,4 tahun pada 2007. Peningkatan median UKP ini mengindikasikan bahwa semakin membaiknya dukungan lingkungan masyarakat Indonesia. BKKBN (2007) menyebutkan bahwa peningkatan umur kawin pertama menunjukkan meningkatnya tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan penduduk.
Hasil pengolahan data SDKI pada tabel 1. tersebut, menunjukkan bahwa secara umum wanita di Indonesia sebagian besar menikah pada usia muda yaitu terlihat pada SDKI 1997 sebanyak 65,4 % wanita melakukan perkawinan usia dini, sedangkan pada hasil SDKI 2002-2003 sebanyak 60,9 % dan pada SDKI 2007 menurun menjadi 55,4 % wanita pernah kawin yang melakukan perkawinan usia dini. Tabel 1. Distribusi Perkawinan di Indonesia Perkawinan Dini
1997 (n) (%)
2002-2003 (n) (%)
18845
65,4
17958
60,9
18211
55,4
Tidak
9965
34,6
11525
39,1
14684
44,6
18.9
19
2007 (n) (%)
Ya
19.4
19.5
18.5
18.2
18 17.5
Masih tingginya jumlah wanita yang menikah dini tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah tentang penundaan usia perkawinan masih harus ditingkatkan lagi mengingat perkawinan yang erat kaitannya dengan masalah kependudukan terutama fertilitas, yaitu dengan usia menikah yang lebih muda maka jangka waktu reproduksi juga semakin panjang dan pada akhirnya berisiko semakin tinggi pula angka kelahiran (BPS dan Macro International, 2007). Pada dasarnya remaja Indonesia sudah memiliki pandangan yang baik tentang usia menikah yang ideal. Hal ini terbukti dari hasil peningkatan usia ideal menikah yang menurut remaja pada SKRRI 2002-2003 adalah 20,9 tahun bagi perempuan dan 22,8 tahun bagi laki-laki meningkat pada SKRRI 2007 menjadi 23,1 tahun bagi perempuan dan 25,6 tahun bagi laki-laki.
1997 2002-‐2003 2007
Gambar 1. Median Umur Kawin Pertama Wanita Pernah Kawin Umur 15-49 Tahun di Indonesia Secara lebih rinci pada tabel 2. menyajikan median UKP wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun di Indonesia berdasarkan hasil SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007. Dari tabel 2. terlihat bahwa pada tahun 1997 median UKP tertinggi adalah provinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur yang saat ini telah melepaskan diri dari Indonesia dengan median UKP 20 tahun yang kemudian disusul oleh provinsi Maluku 19,8 tahun dan Sulawesi Utara serta DI Yogyakarta 19,6 tahun. Sedangkan median terendah berada di provinsi Kalimantan Selatan yaitu 17 tahun, kemudian Jawa Timur dan Lampung dengan median 17.1 tahun.
Namun berdasarkan pola perubahan yang terjadi terlihat bahwa proporsi wanita pernah kawin yang menikah di usia dini secara umum semakin menurun.
Namun jika dilihat berdasarkan tren pencapaian yang terjadi pada tahun 1997 – 2007, maka Provinsi yang
5
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
mengalami peningkatan atau mencapai target nasional median UKP yang ideal adalah Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Maluku. Sedangkan provinsi lain belum mencapai median UKP yang ideal.Jika di liat menurut provinsi pola atau tren yang terjadi dari beberapa provinsi tersebut adalah pada Provinsi Sumatera Utara dari hasil SDKI 1997 memiliki median UKP 19,1 tahun kemudian menurun pada SDKI 2002-2003 menjadi 18,9 tahun dan meningkat lagi menjadi 21 tahun. Pola yang sama juga terjadi pada beberapa provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur yang dari hasil SDKI 2007 dapat mencapai usia ideal perkawinan. Provinsi Riau mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun 1997 yaitu 18,1 tahun kemudian menjadi 18,3 tahun dan di 2007 mengalami peningkatan median UKP yang cukup tajam yaitu 20,1 tahun. Namun provinsi Jawa Barat yang merupakan median UKP terendah dari hasil SDKI 1997 mengalami peningkatan yang cukup berarti yaitu menjadi 18,8 tahun di 2002-2003 dan menurun kembali akan tetapi hanya sebesar 0,1 tahun di 2007 yaitu menjadi 18,7 tahun.
Jawa Timur sebesar 66,1 % dan Banten 65,9 %. Untuk yang terendah berada di Provinsi Sumatera Utara (39,5%) kemudian DI Yogyakarta yaitu 39,7 % dan Kep. Bangka Belitung (40,6) dan DKI Jakarta (40,7%). Salah satu provinsi yang mempunyai median UKP tertinggi adalah Sumatera Utara, hal tersebut disebabkan oleh budaya yang ada pada masyarakat Sumatera Utara yaitu untuk menunda perkawinan (Jones & Gubhaju, 2008). Selain itu jika dilihat berdasarkan pencapaian dari program PUP, menunjukkan bahwa keberhasilan upaya yang dilakukan oleh BKKBN diantaranya melalui program pembinaan keluarga (BKR), yaitu diperoleh informasi bahwa pada tahun 2012 di Sumatera Utara terdapat 2.385 kelompok BKR dengan jumlah anggota sebesar 78.223 keluarga. Dari hasil tersebut juga diketahui bahwa sebagian besar keluarga di Sumatera Utara berada pada tingkat kesejahteraan keluarga yang tinggi yaitu dari 53.407 anggota BKR, yang merupakan anggota dari pra keluarga sejahtera (Pra KS) maupun keluarga sejahtera I (KS I) berjumlah 19.893 anggota. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga di Sumatera Utara dapat memenuhi kebutuhan pokok serta akses terhadap fasilitas yang diperlukan oleh keluarganya.
Selanjutnya dari tabel 3. proporsi wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun yang melakukan perkawinan di usia dini juga menunjukkan pola yang sama dengan pola yang terjadi pada median UKP wanita pernah kawin umur 15-49 tahun di Indonesia. Namun jika dilihat menurut provinsi dengan proporsi tertinggi perkawinan usia dini, maka pada hasil SDKI 1997 provinsi dengan kejadian perkawinan usia dini tertinggi adalah provinsi Jawa Barat dengan 80 % namun dari hasil SDKI 2002-2003 dan 2007 terus mengalami penurunan, walaupun setelah menurun di tahun 20022003 (58,9%) kemudian mengalami kenaikan lagi di 2007 (63,9%) namun persentasenya tidak sebesar di tahun 1997. Provinsi yang juga tertinggi dengan proporsi perkawinan usia dini adalah Kalimantan Selatan (79,9%) kemudian Lampung (79%). Sedangkan untuk provinsi dengan kejadian perkawinan usia dini terendah adalah Nusa Tenggara Timur dengan 47,1 % kemudian disusul Maluku 51,7 % dan DI Yogyakarta sebesar 53,1 %.
Sedangkan pencapaian median UKP yang tinggi di Nusa Tenggara Timur merupakan keberhasilan program PUP melalui PIK Remaja dengan melaksanakan kegiatan kemitraan dengan organisasi keagamaan, pendidikan maupun organisasi pemuda, walaupun jika dilihat berdasarkan kelompok PIK R hanya terdapat 24 kelompok PIK R yang aktif dari 227 kecamatan yang ada atau hanya terdapat 10% (BKKBN Nusa Tenggara Timur, 2008). Namun kegiatan tersebut tidak memberikan dampak positif jika dilihat dari aspek kesehatan reproduksi, yaitu fertilitas remaja di Nusa Tenggara Timur berumur 15-19 tahun yang pernah hamil dan melahirkan mencapai 10,6%. Berdasarkan hal tersebut BKKBN Nusa Tenggara Timur harus lebih menggalakkan kegiatan PIK R yang dibentuk pada 119 kecamatan yang belum terdapat wadah tersebut untuk meningkatkan pengetahuan tentang KRR kepada remaja. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan menurut BKKBN (2013), perkawinan usia muda yang terjadi dikarenakan budaya dan stigma yang ada, yaitu stigma “balu anum daripada bujang tuha” yang artinya lebih baik janda muda daripada perawan tua yang hal ini menyebabkan perempuan yang sampai usia 20 tahun belum menikah dicap sebagai perawan tua. Di sisi lain, tingginya jumlah perkawinan usia dini di Kalimantan Selatan juga ditemukan di hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, yaitu perkawinan usia dini di Kalimantan Selatan yang menduduki peringkat pertama dengan jumlah terbanyak yaitu sebesar 9% pada usia 10-14 tahun dan 48,8% pada usia 15-19 tahun.
Pada hasil SDKI 2002-2003 kejadian perkawinan usia dini tertinggi adalah di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 67 %, kemudian Riau 66,6 % dan terakhir Nusa Tenggara Timur sebesar 66,2 % yang dari hasil sebelumnya di tahun 1997 masuk pada kelompok dengan perkawinan usia dini terendah. Sedangkan provinsi terendah adalah Bangka Belitung dengan 53,4 %, disusul oleh Jambi sebesar 55,4 % dan Sulawesi Tenggara adalah 57,1 %. Kemudian dari hasil SDKI 2007, tertinggi adalah di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 68,2%, kemudian Sulawesi Barat dan
6
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
Menurut BKKBN Kalimantan Selatan (2008), rendahnya pencapaian median UKP di Kalimantan Selatan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Dari 147 kecamatan yang ada, baru terdapat 95 kelompok PIK R yang artinya belum semua kecamatan mempunyai PIK R aktif, dan hanya 60% remaja yang mengetahui informasi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yaitu di bawah persentase nasinal yang mencapai 70%, karena kurang sosialisasi yang intensif. (2) Kegiatan BKR kurang berjalan dengan baik kurangnya pemahanan dan kesadaran orang tua tentang kegiatan bina keluarga sebagai tempat menperoleh informasi, peran serta masyarakat dan institusi masyarakat menurun, kurangnya keterampilan PLKB dan kader karena kurang pembinaan, materi penyuluhan dan bahan pendukung terbatas. (3) Tingginya jumlah keluarga pra KS dan KS I yaitu golongan yang susah untuk memenuhi kebutuhan dasar atau ekonomi keluarga, tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap, tingkat keterampilan dan pendidikan yang rendah serta mempunyai anak lebih dari dua.
2007, yang menunjukkan bahwa remaja berumur 15-24 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah adalah 1% pada wanita dan 6% pada pria. Karakteristik Wanita Pernah Kawin Umur 15-49 Tahun di Indonesia
Dari uraian yang telah dijelaskan tersebut, mengindikasikan bahwa program PUP saat ini masih belum mencapai kualitas tahapan PIK R maupun BKR yang sesuai dengan tujuan program PUP yaitu terbentuknya tegar remajayaitu remaja yang menunda usia pernikahan, remaja yang berperilaku sehat, terhindar dari risiko Triad KRR (Seksualitas, Napza, HIV dan AIDS), bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera serta menjadi contoh, model, idola dan sumber informasi bagi teman sebayanya. Hal tersebut juga dikuatkan oleh dengan hasil SP 2010, yang menunjukkan bahwa secara umum bahwa 55% remaja kelompok umur 10-14 tahun ternyata sudah ada yang menikah, dan 1% pernah melahirkan hidup antara 1-2 anak.
Tabel 4. menjelaskan tentang sebaran pada kelompok UKP. Pada tabel tersebut menggambarkan bahwa wanita di Indonesia sebagian besar melakukan perkawinan pada kelompok usia 16 sampai 19 tahun. Persentase UKP pada kelompok usia 16 – 19 tahun pada hasil ketiga data SDKI menunjukkan angka persentase yang hampir sama yaitu 41,4 % pada tahun 1997, sebesar 40,8 % pada tahun 2002-2003 dan sebesar 37,5 % pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan penurunan jumlah wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun. Sedangkan kenaikan proporsi wanita kawin adalah pada usia 20 – 25 tahun yaitu berturut turut dari 27,2 % menjadi 29,7 % dan selanjutnya menurun lagi menjadi 32,4 %. Persentase wanita pernah kawin terendah adalah pada kelompok UKP lebih dari 25 tahun baik pada tahun 1997, 2002-2003 dan 2007 yaitu masing-masing sebesar 7,4 persen, 9,3 persen dan 12,2 persen. Namun pernikahan di bawah umur 16 tahun juga masih banyak terjadi, yaitu sampai tahun 2007 terjadi sebanyak 17% yang artinya sebanyak 17% lebih wanita yang menikah di usia kurang dari 16 tahun melakukan pernikahan tanpa perlindungan undangundang. Dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 telah disebutkan bahwa umur wanita untuk menikah adalah 16 tahun dan jika belum mencapai umur 21 tahun izin yang berupa surat izin orang tua bahkan jika belum mencapai usia 16 tahun harus memperoleh dispensasi dari pengadilan. Sehingga, berdasarkan hal tersebut menggambarkan bahwa peran keluarga sangat mempengaruhi keputusan untuk menikah di usia dini.
Di Indonesia, pengaruh sosial budaya, agama yang kuat, tekanan orang tua, pengaruh teman merupakan faktor pendorong terjadinya perkawinan (Utomo, 2003). Namun saat ini Utomo (2003), juga mengemukakan bahwa perubahan norma sosial yang terjadi saat ini antara lain informasi gaya hidup barat, sementara informasi tentang kesehatan reproduksi yang kurang, komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak terjalin dengan baik dikarenakan budaya atau permasalahan dalam berkomunikasi menyebabkan banyaknya kejadian seks pra nikah yang juga mendorong terjadinya perkawinan di usia dini. Seperti hasil penelitian Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2010 di Jakarta, Tangerang dan Bekasi pada 3.006 responden yang berusia kurang dari 17 – 24 tahun, menunjukkan bahwa 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah dan 38.7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Begitupula hasil SKRRI
Tabel 4. menyajikan data tentang median UKP berdasarkan karakteristik wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun. Dari hasil pengolahan data SDKI wanita yang tinggal di daerah perkotaan cenderung mempunyai median UKP lebih tinggi dibanding wanita yang tinggal di daerah pedesaan. Dari hasil SDKI 1997 wanita yang tinggal di pedesaan mempunyai median UKP lebih rendah dibanding wanita pedesaan yaitu 18 tahun sedangkan wanita yang tinggal di perkotaan 19,4 tahun. Sedangkan pada SDKI 2002-2003 median UKP wanita yang tinggal di daerah perkotaan mempunyai median UKP yang sedikit lebih tinggi yaitu 18,9 tahun sementara wanita yang tinggal di daerah pedesaan adalah 18,7 tahun. Selanjutnya pada tahun 2007 median UKP wanita yang tinggal di pedesaan lebih rendah dibandingkan wanita yang tinggal di daerah perkotaan, yaitu 18,6 tahun dan pada wanita yang tinggal di daerah perkotaan adalah 20,7 tahun. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa dari tahun ke tahun median UKP wanita yang tinggal di daerah
7
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
pedesaan mengalami peningkatan walaupun belum mencapai usia ideal perkawinan. Namun wanita yang tinggal di perkotaan di 2002-2003 median UKP yang semula di tahun 1997 19,5 tahun menurun di 20022003 menjadi 18,7 tahun dan kemudian di 2007 meningkat kembali dan mencapai usia ideal untuk menikah yaitu 20,7 tahun.
untuk menikah di usia muda. Jones dalam Blackburn & Bessell (1997), juga menyebutkan bahwa perkawinan usia dini di Indonesia banyak terjadi pada masyarakat muslim. Menurut Departemen Kesehatan (Depkes), 2007), faktor pencetus (predisposing) keputusan seseorang untuk berperilaku sehat salah satunya yaitu dipengaruhi oleh pendidikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa pendidikan akan meningkatkan pemahaman seseorang tentang permasalahan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi sehingga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pemilihan waktu untuk menikah. Pada tabel 4. terlihat bahwa anita yang tidak sekolah mempunyai median UKP paling rendah dibandingkan wanita sekolah di semua tingkat pendidikan baik SD, SMP, SMA ataupun lebih. Median UKP wanita yang tidak sekolah berdasarkan hasil ketiga data SDKI tidak mengalami peningkatan ataupun penurunan yaitu SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007 adalah tetap 17 Tahun. Sedangkan untuk wanita yang berpendidikan baik di tingkat SD, SMP dan SMA atau PT terus mengalami peningkatan UKP. Pada tingkat SD di tahun 1997 adalah 17,4 tahun menjadi 17,6 tahun dan terakhir menjadi 17,9 tahun kemudian untuk SMP berturut turut adalah 17,4 tahun, 17,6 tahun dan 17,9 tahun. Sedangkan untuk SMP masing-masing adalah 18,4 tahun, 18,8 tahun dan 20,5 tahun. Dan median UKP tertinggi adalah wanita yang berpendidikan di tingkat SMA atau PT yaitu 21,6 tahun pada 1997 kemudian 22,2 tahun pada SDKI 2002-2003 dan 24,6 tahun pada SDKI 2007. Dari hasil analisis data SDKI tersebutmenggambarkan bahwa wanita yang mempunyai pendidikan tinggi juga mempunyai UKP yang tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vu, dimana wanita yang tinggal di pedesaan mempunyai kemungkinan untuk menikah 1 sampai 2 tahun lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang tinggal di daerah perkotaan. Pola yang sama juga ditemukan pada penelitian Atuhaire & Rutaremwa (2010), dalam penelitian tersebut 92,8 persen responden yang tinggal di daerah pedesaan melakukan perkawinan di usia muda dan dibuktikan secara statistik bahwa tempat tinggal berpengaruh signifikan terhadap usia perkawinan. Kemajuan di daerah perkotaan yang lebih pesat serta kemudahan akses pelayanan memungkinkan wanita yang hidup diperkotaan mempunyai pertimbangan yang lebih matang dalam memilih waktu untuk menikah dibandingkan pada wanita yang tinggal di pedesaan. Triyoga (1987), mengemukakan terjadinya perkawinan usia dini di pedesaan dikarenakan masih ketatnya adat istiadat di daerah pedesaan merupakan ciri khas terjadinya perkawinan usia muda. Secara garis besar wanita beragama Islam mempunyai median UKP lebih rendah dibandingkan wanita yang beragama selain Islam. Hal ini terbukti dari hasil SDKI baik 1997, 2002-2003 maupun 2007. Di tahun 1997 wanita yang beragama Islam mempunyai median UKP 18 tahun sementara wanita yang beragama non Islam 19,8 tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil SDKI 20022003 median UKP wanita yang beragama Islam adalah 18,4 tahun dan 20,8 tahun pada wanita non Islam. Sedangkan pada SDKI 2007 wanita yang beragama Islam mempunyai median UKP 19,1 tahun sementara pada wanita non Islam adalah 20,6 tahun. Hasil tersebut menggambarkan bahwa pola perkawinan pada wanita yang beragama Islam terus menerus mengalami peningkatan namun peningkatan tersebut masih lamban dan belum mencapai usia ideal. Sedangkan untuk wanita non Islam di tahun 2007 mengalami penurunan median UKP namun sudah mencapai umur ideal sejak tahun 2002-2003.
Bayisenge (2010) menyebutkan bahwa terdapat banyak dampak positif dari pendidikan, diantaranya fertilitas yang rendah, penundaan perkawinan, kesehatan serta meningkatkan ekonomi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Franciska (2006), bahwa wanita cenderung untuk menunda perkawinannya untuk melanjutkan atau menempuh pendidikannya. Bahkan dalam UNICEF (2005) menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci untuk mencegah perkawinan dini. Dalam kaitannya dengan Pendidikan BKKBN melakukan upaya konseling yang dilaksanakan di sekolah-sekolah sebagai upaya meningkatkan pengetahuan KRR remaja yang pada tahun 2012 melalui kegiatan PIK-R mencapai 64,4% dari seluruh jumlah PIK-R yang ada.
Kemungkinan perbedaan tersebut dikarenakan dalam agama Islam sendiri tidak terdapat batasan umur menikah dan menyegerakan untuk menikah dianjurkan bagi seseorang agar terhindar dari perzinahan (Sabiq, 1980). Sebagaimana Atuhaire & Rutaremwa mengemukakan dalam penelitiannya bahwa agama mempunyai hubungan yang signifikan dalam perkawinan usia muda. Hal serupa juga dikemukakan oleh Bayisenge (2010), yaitu doktrin agama yang kuat dapat mempengaruhi seseorang dalam memutuskan
Jika dilihat dari status bekerja, wanita pernah kawin mempunyai median UKP yang hampir sama yaitu pada hasil SDKI 1997 median UKP wanita yg bekerja adalah 18,1 tahun sedangkan wanita yang tidak bekerja mempunyai median UKP 18,3 tahun. Sedangkan pada hasil SDKI 2002-2003 baik wanita yang bekerja maupun wanita yang tidak bekerja mempunyai median
8
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
UKP 18,8 tahun. Sementara pada SDKI 2007 wanita yang bekerja mempunyai median UKP 19,3 tahun dan 19,6 tahun pada wanita yang tidak bekerja. Jadi, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa wanita yang tidak bekerja mempunyai UKP yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang bekerja.
adalah pada wanita dengan indeks kekayaan teratas yaitu 21,6 tahun, kemudian 20,1 tahun pada wanita dengan indeks kekayaan menengah atas, 19,3 tahun pada wanita dengan indeks kekayaan menengah, dan pada wanita dengan indeks kekayaan menengah bawah mempunyai median UKP 18,5 sementara wanita dengan indeks kekayaan terbawah adalah 18,2 tahun.
Dengan menggali informasi lebih dalam dari jenis pekerjaan wanita, maka dapat diperoleh informasi bahwa wanita yang bekerja di bidang pertanian cenderung lebih cepat menikah dibandingkan wanita yang bekerja di bidang lainnya. Hal ini terbukti dari hasil SDKI 1997 median UKP wanita yang bekerja sebagai petani menikah di usia 17,5 tahun, di 20022003 pada 18,7 tahun dan 18 tahun pada hasil SDKI 2007. Kemudian disusul oleh wanita yang tidak bekerja dan yang bekerja pada sektor industri. Sedangkan median UKP tertinggi adalah pada wanita yang bekerja sebagai tenaga profesional, yaitu masing-masing pada hasil SDKI adalah 23,1 tahun, 19,1 tahun dan 24 tahun.
Penelitian Vu dan Roy yang menunjukkan wanita dengan ekonomi kurang mempunyai kecenderungan untuk menikah pada saat remaja sebaliknya wanita yang kesejahteraan dalam keluarganya dapat dipenuhi mempunyai usia kawin lebih dari 18 tahun. Sesuai dengan pernyataan UNICEF (2005), bahwa perkawinan usia dini banyak terjadi pada populasi dengan indeks kekayaan terendah. Menurut Bayisenge (2010), orang tua dengan indeks kekayaan yang rendah cenderung untuk lebih cepat menikahkan anaknya agar dapat meningkatkan status sosial ekonomi keluarga mereka. BKKBN (2012), juga mengemukakan bahwa faktor ekonomi paling dominan terhadap median UKP yaitu karena orang tua yang tidak mampu membiayai anaknya untuk bersekolah sehingga ingin segera menikahkan anaknya agar terlepas dari tanggung jawab dan mendapat bantuan ekonomi setelahnya.
Dalam penelitian Roy (2008) wanita yang tidak bekerja dan menikah di usia muda mempunyai presentase yang lebih besar dibandingkan wanita bekerja, namun secara statistik hanya mempunyai pengaruh yang kecil. Begitu juga dengan penelitian Atuhaire dan Rutaremwa (2010), bahwa pekerjaan wanita tidak mempunyai pengaruh pada UKP. Namun penelitian Vu yang dilakukan di Vietnam menemukan hal lain, yaitu wanita yang mempunyai pekerjaaan cenderung untuk menikah lebih lambat dibandingkan wanita yang tidak mempunyai pekerjaan.Pengaruh jenis pekerjaan lebih terlihat mempengaruhi umur kawin pertama terutama pada wanita yang bekerja di sektor pertanian yang mempunyai median UKP lebih rendah dibandingkan wanita yang bekerja disektor lainnya.Sementara wanita yang bekerja sebagai tenaga profesional mempunyai media UKP yang paling tinggi dibandingkan jenis pekerjaan lainnya. Pengaruh yang berbeda beda dalam memutuskan waktu untuk menikah ini sesuai dengan pernyataan Malhotra dalam Saptono (2010). Munandar (2001), mengemukakan bahwa wanita yang memilih untuk tidak menikah pada usia 20-an dan awal 30-an dikarenakan merasa bahwa pekerjaan tersebut sesuai dengan pribadi mereka sehingga memilih untuk mengembangkan kariernya.
Banyaknya kejadian perkawinan usia dini di Indonesia mengindikasikan bahwa kurangnya keluarga atau orang tua dalam melibatkan anaknya untuk memutuskan perkawinannya. Sebagaimana survei RPJMN 2011 dalam BKKBN (2012), menyebutkan bahwa hanya sebesar 15% orang tua yang melibatkan anaknya untuk memecahkan masalah padahal 79% orang tua mampu menanamkan nilai-nilai moral dan agama kepada anaknya. Indeks kekayaan keluarga berhubungan dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta kemampuan mengakses fasilitas di masyarakat. Apabila status ekonomi suatu keluarga rendah maka kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi kebutuhan dikeluarganya juga rendah. BPS dalam Bappenas (2010), menyebutkan bahwa siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah masih banyak yang belum terjangkau pada akses pendidikan atau angka putus sekolah akhir kelas 6 yang mencapai 12% pada siswa yang mempunyai kesempatan memasuki jenjang SD. Kesenjangan juga terjadi pada tingkat SMP yaitu kelompok terkaya 37 % lebih tinggi dibandingkan kelompok termiskin, begitu juga dengan tingkat pendidikan tinggi atau PT yang hanya dapat diakses kurang dari 5 % oleh kelompok termiskin.
Jika diliat berdasarkan hasil SDKI 2002-2003 median UKP wanita tidak dipengaruhi olehindeks kekayaan keluarga, wanita yang berada pada indeks kekayaan terbawah dan menengah mempunyai median UKP yang lebih tinggi dibandingkan indeks kekayaan yang lain yaitu 18,9 tahun, kemudian wanita yang mempunyai keluarga dengan indeks kekayaan teratas mempunyai median UKP 18,8 tahun sedangkan wanita menengah bawah dan menengah atas adalah 18,7 tahun. Sedangkan pada hasil SDKI 2007 terlihat bahwa semakin rendah indeks kekayaan keluarga semakin rendah pula median UKP. Median UKP paling tinggi
9
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Wanita yang melakukan perkawinan usia dini baik pada hasil SDKI 1997, 2002-2003 dan 2007 di Indonesia lebih dari 50 persen. b. Median umur kawin pertama wanita di Indonesia secara garis besar mengalami peningkatan meskipun perkawinan dini masih banyak terjadi di semua provinsi. c. Dari segi budaya, agama memberikan pengaruh pada seorang individu dalam memutuskan waktu untuk menikah. Di Indonesia masyarakat muslim cenderung untuk menikah lebih muda dibandingkan wanita non muslim. d. Dari sisi pendidikan terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang maka semakin tinggi pula umur kawin pertama seseorang. e. Pekerjaan seorang wanita tidak memberikan pengaruh terhadap keputusan untuk memilih waktu menikah. f. Wanita yang tinggal di daerah pedesaan cenderung untuk menikah lebih muda dari pada wanita yang tinggal di perkotaan yang kemungkinan disebabkan oleh lebih majunya wilayah perkotaan serta tuntutan hidup yang lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. g. Indeks kekayaan memberikan pengaruh yang positif terhadap pemilihan waktu perkawinan. Wanita yang mempunyai keluarga dengan indeks kekayaan rendah cenderung berisiko untuk menikah di umur yang lebih muda. h. Keberhasilan Program PUP di berbagai wilayah belum merata dikarenakan belum terjangkaunya semua lapisan untuk mengakses kegiatan ini, serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya informasi yang dapat diperoleh dari wadah yang disediakan oleh BKKBN melalui program ini.
c.
d.
e.
f.
g.
Daftar Pustaka Atuhaire, L.K., & Rutaremwa, G. (2010). Determinants of Age at First Marriage Among Women in Western Uganda. Uganda: Department of Population Studies, Institute of Statistics and AppliedEconomics, Makerere University. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nusa Tenggara Timur. (2008). Analisis Hasil SDKI 2007 di Provinsi NTT. 18 Juli, 2013. http://www.kalsel.bkkbn.go.id. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalimantan Selatan. (2008). Pencapaian Program KB Nasional Semester 1 2008 Provinsi Kalimantan Selatan. 18 Juli, 2013. http://www.kalsel.bkkbn.go.id/data/default.asp x. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2010). Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi bagi
5. SARAN a.
b.
pendidikan, hal ini terutama untuk yang berada di pedesaan dengan status ekonomi yang rendah. Serta adanya kesempatan bagi wanita yang terlanjur menikah di usia dini untuk tetap dapat melanjutkan sekolahnya agar dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan yang lebih layak. Faktor budaya yang mempengaruhi waktu perkawinan adalah agama, oleh karena itu diperlukan pendekatan kepada tokoh agama maupun tokoh masyarakat memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi baik dari sisi agama maupun kesehatan tentang umur yang ideal untuk menikah serta persiapan baik fisik, mental maupun ekonomi. Pemerataan pembangunan di wilayah pedesaan sehingga akses terhadap pelayanan masyarakat dapat terpenuhi dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Meningkatkan cakupan kegiatan PIK R/M maupun BKR di semua wilayah kecamatan, dan lebih mensosialisasikan kegiatan ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang belum terpapar oleh keberadaan kegiatan ini. Menjalin kemitraan antar lembaga atau organisasi untuk lebih menggalakkan program PUP, antara lain dengan Kementian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan juga Kementerian Pendidikan Nasional. Bagi wanita yang terlanjur menikah di usia dini diharapkan untuk menunda kehamilan dan kelahiran anak pertama sampai mencapai umur yang dianjurkan atau mencapai usia ideal untuk terjadinya kehamilan dan melahirkan.
Dengan besarnya presentase wanita yang menikah di usia muda sebaiknya pemerintah meninjau ulang kembali Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 74 pasal 7 ayat (1) tentang batas minimal umur perkawinan dengan menaikkan batas umur minimal untuk wanita setidaknya sampai berumur 18 tahun dan menyelesaikan pendidikannya. Pendidikan yang menjadi salah satu faktor penentu untuk menunda usia kawin seharusnya menjadikan pemerintah agar lebih menggalakkan lagi program wajib belajar dan memastikan bahwa seluruh anak usia sekolah memperoleh
10
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
Remaja Indonesia. Jakarta: BKKBN, Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi. Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2012). Komunikasi Efektif Orang Tua dengan Remaja. Jakarta: BKKBN, Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta: BAPPENAS. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International. Badan Pusat Statistik (BPS). (2010).Jumlah dan Distribusi Penduduk. 12 Juni, 2012. http://sp2010.bps.go.id/index.php. Bayisenge, J. (2010). Early Marriage As A Barrier to Girl's Education: A Development Challenge in Africa. Department of Social Science National University of Rwanda. Blackburn, S. & Bessell, S. (1997). Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia. Indonesia No. 63 (Apr., 1997), pp. 107-141. 18 Januari, 2013. http://www.jstor.org/stable/3351513. Franciska. (2006) Pendidikan Tinggi Dan Tingkat Kesuksesan Sebagai Penyebab Penundaan Perkawinan Pada Wanita Jepang. Skripsi. Jakarta: Jurusan Bahasa Jepang. Universitas Bina Nusantara. Jazimah. (2006). Perkawinan Usia Muda. Jakarta: Mutu Media Jaya. Jones, G.W., & Gubhaju, B. (2008). Trends in Age at Marriage in the Provinces of Indonesia. Asia Research Institute Working Paper Series No. 105. Singapore: Asia Research Institute, National University of Singapore. Landis, J.T & Landis, M.G. (1970). Personal Adjustmen, Marriage, and Family Living :Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall. Munandar, S.C, dkk. (2001). Wanita dalam Masyarakat Indonesia : Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Utomo, I.D. (2003). Adolescent and Youth Reproductive Health in Indonesia : Status, Issues, Policies, and Programs. Policy Project. USAID. Sa’diyah, E.H. (2008). Hubungan Sikap terhadap Penundaan Usia Perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan. Jurnal PsikoIslamika VII. 29 November, 2012. http://www.averroes.or.id/research/hubungansikap-terhadap-penundaan-usiaperkawinandengan-intensi-penundaan-usiaperkawinan.html.
Roy, T. K.(2008). Determinants of Early Marriage in Rajshahi, Bangladesh. Pakistan Journal of Social Sciences, 5: 606-611. Januari 14, 2013. http://medwelljournals.com/abstract/?doi=pjss ci.2008.606.611. Sabiq, S. (1980). Fiqih Sunnah, Jilid 6. Bandung: Al Ma’arif. Saptono, K. (2009). Pola, Perbedaan dan Determinan Umur Perkawinan Pertama Pada Perempuan di Jawa Barat (Analisis Data SDKI 2007). Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia. (1974). Undangundang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia. (2002). Undangundang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia. (2009). Undang Undang RI No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Republik Indonesia. United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2001). Early Marriage Child Spouses. Florence: Innocenti Research Centre. United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2005). Early Marriage: A Harmful Traditional Practice: A Statistical Exploration. New York: UNICEF. Vu, L. (____). Age at First Marriage in Vietnam: Trends and Determinants. Department of International Health and Development, Tulane University School of Public Health & Tropical Medicine.
11
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
LAMPIRAN Tabel 2. Median Umur Kawin Pertama di Indonesia
Provinsi
1997 18,0 19,1 19,2 18,1 17,8 18,0 17,6 17,1 19,2 16,9 17,8 19,6 17,1 19,3 17,7 20,0 18,0 18,0 17,0 17,9 19,6 18,8 18,2 18,0 19,8 17,9 20,0
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Timor Timur
2002-2003 18,9 18,9 18,3 19,4 18,5 19,0 18,9 19,3 19,4 18,8 18,8 18,9 18,8 19,0 19,0 19,0 18,5 18,4 18,5 18,6 19,0 19,0 18,4 18,5 19,1 19,0 19,0 -
12
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
2007 19,2 21,0 20,1 20,1 18,5 18,7 18,9 18,7 19,2 20,9 20,9 18,7 19,1 21,1 18,4 18,4 20,4 19,2 20,7 18,9 18,7 18,4 19,4 20,5 19,0 19,1 18,7 19,7 18,4 20,7 19,4 19,8 18,5 -
Tabel 3. Distribusi Perkawinan Usia Dini Menurut Provinsi di Indonesia 1997
Provinsi
2002-2003
2007
N
%
N
%
N
%
DI Aceh
796
69,4
-
-
525
56,5
Sumatera Utara
813
57,8
737
60,1
445
39,5
Sumatera Barat
509
56,2
619
60,9
461
50,9
Riau
672
66,9
581
66,6
484
48,8
Jambi
609
70,3
430
55,4
563
64,4
Sumatera Selatan
736
66,8
610
64,9
657
62,2
Bengkulu
562
73,7
465
58,3
483
64,1
Lampung
792
79,0
574
62,1
585
63,6
DKI Jakarta
1028
57,6
863
57,3
701
40,7
Jawa Barat
1272
80,0
827
58,9
1083
63,9
Jawa Tengah
1055
71,2
1801
62,0
822
56,7
DI Yogyakarta
564
53,1
753
61,3
441
39,7
Jawa Timur
1152
75,3
2228
61,9
982
66,1
Bali
682
53,0
678
57,3
552
42,4
Nusa Tenggara Barat
826
74,8
603
60,5
591
61,3
Nusa Tenggara Timur
392
47,1
471
66,2
339
41,3
Timor Timur
450
48,9
-
-
Kalimantan Barat
690
68,9
Kalimantan Tengah
553
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
541
62,9
560
60,0
72,3
478
64,8
493
62,2
802
75,9
520
63,3
650
68,2
595
69,5
452
57,9
466
55,7
Sulawesi Utara
463
53,8
525
59,6
395
44,2
Sulawesi Tengah
553
62,8
516
67,0
483
57,0
Sulawesi Selatan
821
64,7
662
63,8
694
59,0
Sulawesi Tenggara
498
68,1
430
57,1
486
63,4
Maluku
418
51,7
-
-
337
41,9
Maluku Utara
542
68,3
-
-
438
58,1
Bangka Belitung
-
-
401
53,4
466
57,2
Kep. Bangka Belitung
-
-
-
-
297
40,6
Banten
-
-
714
59,3
931
65,9
Gorontalo
-
-
436
59,7
482
54,5
Papua
-
-
43
57,3
461
63,8
Papua Barat
-
-
-
-
358
51,0
Sulawesi Barat
-
-
-
-
500
66,1
13
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013
Tabel 4. Median Umur Kawin Pertama Berdasarkan Karakteristik Wanita Pernah Kawin Umur 15-49 Tahun di Indonesia Karakteristik Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan Agama Islam Non islam Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA atau PT Status Bekerja Bekerja Tidak Bekerja Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Profesional Pedagang Petani Industri Lainnya Indeks Kekayaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Median Umur Kawin Pertama 1997 2002 2007 19,5 18,0
18,9 18,7
20,7 18,6
18,0 19,9
18,4 20,8
19,1 20,6
17,0 17,4 18,4 21,6
17,0 17,6 18,8 22,2
17,0 17,9 20,5 24,6
18,2 18,3
18,8 18,9
19,3 19,6
18,3 23,1 18,0 17,5 18,2 18,9
18,9 19,1 18,9 18,7 19,2 19,2
19,6 24,0 19,5 18,0 19,7 19,8
18,9 18,7 18,9 18,7 18,8
18,2 18,5 19,3 20,1 21,6
14
Kajian Evaluasi..., Dwi Arika Wati, FKM UI, 2013