Lampiran 1 Kajian Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi* Suprihati1, Yuliawati2, dan H. Soetjipto3 1 Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana, 2 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana, 3 Program Studi Kimia Fakultas Sains Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-58 Salatiga 50711 *Disampaikan pada forum Konser Karya Ilmiah FP, 16 April 2013 di UKSW ABSTRAK Daerah lereng gunung berapi memiliki karakteristik ekosistem yang khas rentan terhadap bahaya erupsi maupun erosi. Masyarakatnya memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam menyikapinya. Tulisan ini bertujuan untuk mendokumentasikan, mengkaji pengetahuan dan kearifan lokal sebagai dasar penyusunan sistem budidaya pertanian di daerah lereng gunung berapi yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) pengetahuan dan kearifan lokal merupakan sumber inovasi teknologi yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan, (2) kesatuan ekosistem lereng gunung berapi menyuburkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai komunikasi manusia dengan alam, (3) pemahaman masyarakat atas karakter lereng gunung diwujudkan melalui sistem budidaya pertanian di lereng gunung, dan (4) budidaya pertanian berbasis pengetahuan dan kearifan lokal di daerah lereng gunung berapi didukung oleh budaya spesifik lokasi, teknologi budidaya pertanian yang adaptif serta pencitraan oleh panutan. Kata kunci: budidaya pertanian, ekosistem gunung berapi, pengetahuan lokal, kearifan lokal
PENDAHULUAN Daerah lereng gunung berapi merupakan areal potensial budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi. Di sisi lain areal ini juga rentan terhadap ancaman aneka bahaya meliputi muntahan lava hasil erupsi, erosi bahkan ancaman global perubahan iklim.
69
Interaksi yang kuat antara manusia dengan lingkungannya menghasilkan pengetahuan dan kearifan lokal yang berakar dan mampu menunjang keberlanjutan sistem budidaya pertanian yang bertumpu pada pilar ekonomi, ekologi dan sosial budaya setempat. Sistem budidaya yang kuat selain berakar pada budaya lokal juga perlu memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan baik lokal maupun global. Makalah ini bertujuan untuk mendokumentasikan, mengkaji pengetahuan dan kearifan lokal sebagai dasar penyusunan sistem budidaya pertanian di daerah lereng gunung berapi yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan.
METODE PENELITIAN Makalah ini merupakan bagian dari Riset Unggulan Perguruan Tinggi 2013. Model Budidaya Pertanian Desa Berbasis Local Wisdom & Local Knowledge di Jawa Tengah: Upaya Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Makalah disusun berdasarkan hasil kajian pustaka yang disistematisasikan sebagai berikut: Pengetahuan dan Kearifan Lokal; Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi; Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi; Implementasi Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi.
HASIL KAJIAN Pengetahuan dan Kearifan Lokal Pengetahuan lokal merupakan tradisi maupun praktik-praktik yang berlangsung secara turun temurun di suatu wilayah. Pengetahuan tersebut merupakan hasil belajar masyarakat yang berkembang seiring dengan waktu, didasarkan pada pengamatan dan pengalaman (ilmu titen) yang kemudian berkembang menjadi persepsi masyarakat lokal atas suatu keadaan. Menurut Yuwono (2012) untuk mempelajari permasalahan dapat dipergunakan pendekatan kawruh dan ngelmu 70
yang saling melengkapi. Pengetahuan lokal tidak selalu harus dikaitkan dengan predikat tidak ilmiah (Anshoriy dan Sudarsono, 2008; Indiyanto, 2012). Kearifan lokal meliputi semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Mengacu pemahaman tersebut kearifan memiliki ciri milik komunitas, pengetahuan ‘bagaimana’, bersifat holistik, mencakup aktivitas moral serta bersifat spesifik lokasi (akomodasi keragaman budaya). Sebagai contoh penggunaan bahasa alam yang didasari oleh pengamatan dengan cermat menghasilkan ilmu titen, menandai musim tonggeret/garengpung sebagai tengara
peralihan
musim
dasar
penyusunan
pranata
mangsa.
Hanya
pribadi/masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kearifan luar biasa yang mampu membaca penanda alam sebagai pembawa pesan dari alam. Kearifan lokal berharga untuk hidup bermasyarakat yang tidak lekang oleh waktu (Suprihati, 2013).
Menyikapi perubahan musim yang mendatangkan mangsa paceklik
dengan optimalisasi sumber daya lokal yang ada semisal melalui laku ngrowot (Suprihati dkk, 2013). Hibridisasi antara sains dengan pengetahuan lokal pada suatu ekosistem menunjukkan bahwa kedua entitas pengetahuan tersebut dapat saling mengisi dan melengkapi (Hidayat dkk., 2010). Pengembangan teknologi berdasarkan kajian pengetahuan dan kearifan lokal mencakup bidang yang cukup luas semisal inovasi ekologi
konservasi
pertanian
berbasis
kopi
(Mulyoutami
dkk.,
2004),
pemberdayaan masyarakat (Saharuddin, 2009), ketahanan pangan berbasis pisang (Budiyanto, 2010), mitigasi risiko bencana (Indiyanto, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pada ekosistem yang rapuh, kearifan lokal merupakan sumber inovasi yang sangat penting dalam mewarnai teknologi untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan.
71
Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi Dalam pewayangan, ‘gunungan’ menduduki peran sentral sebagai penanda pembuka dan mengakhiri pagelaran. Gunungan berhiaskan simbol flora dan fauna, kiasan kesatuan ekosistem penunjang kehidupan. Rusaknya ekosistem menjadi penanda rusaknya kehidupan. Bagi masyarakat gunung, kata gunung selalu memiliki daya pesona (Suprihati, 2012b). Secara fisik kegagahan gunung menimbulkan rasa aman, ‘berlari ke gunung’ sering diungkapkan sebagai penanda gunung sebagai benteng perlindungan. Nyanyian Daud yang menyeru “Allahku, gunung batuku” (Maz 18:3) bermakna alegoris (kias) yang berarti, Allah tempat perlindunganku. Gunung dipergunakan dalam kiasan tempat berlindung, meski terkadang gunung juga menakutkan saat yang mbahureksa gunung memuntahkan lahar dengan kedahsyatannya dan dalam jangka panjang muntahan lahar itupun merupakan wujud dari penumpahan berkat batu pasir, batu gunung dan kesuburan tanah pegunungan. Dalam keseharian beberapa istilah juga mengait pada kosakata gunung, diantaranya nyabuk gunung, njanur gunung serta sri gunung. Sosok gunung dari jauh tampak indah setelah didekati by detail ada lembah, lurah, tonjolan, jurang yang bagi kebanyakan orang jangankan indah malahan menyeramkan, ada aura bahaya. Istilah srigunung biasanya digunakan sebagai penyandra perwajahan yang keindahannya menonjol bila dilihat dari jauh. Sri gunung dalam realita keseharian dekat dengan kesukaan mengagumi dan menikmati keindahan yang sebanding dengan keberanian menghadapi potensi bahaya dengan menyikapinya secara bijak. Berbagai bahaya diantaranya erosi, muntahan lava, serta dampak global perubahan iklim terintegrasi di daerah lereng gunung berapi. Namun masyarakat di sekitar puncak gunung Merapi (dusun Turgo, Purwobinangun, Sleman; dusun Cemer, Argomulyo, Magelang; dusun Plalangan, Lencoh, Boyolali) tetap merasa ‘hidup nyaman bersama ancaman’ (Humaidi dkk., 2012). Bagi masyarakat
72
sekitarnya, Merapi yang berasal dari kata ‘meru’ (gunung) dan api, diyakini sebagai bagian dari kehidupan kulturalnya. Gunung dan manusia sebagai suatu kesatuan, sehingga aktivitas gunung berapi diyakini tidak akan menegakan masyarakatnya. Penguasa gunung akan mengirim utusan dan masyarakat penghuni gunung diberi kemampuan membaca sasmita tanda-tanda alam berupa asap, migrasi fauna dari atas ke bawah sebagai penanda peningkatan aktivitasnya. Aktivitas gunung berapi juga menghidupkan rasa empati merasa senasib yang menjadi embrio kelahiran organisasi komunitas semisal Paguyupan Sabuk Gunung (PASAG) Merapi. Integrasi organisasi komunitas dalam kebijakan dan langkah penanggulangan bencana sangat diperlukan untuk mengefektifan mitigasi dan langkah penyelamatan (Pramono, 2012). Manusia adalah makluk pembelajar. Mitos tenggelamnya Maselihe dipergunakan oleh masyarakat Kendahe sebagai dasar adaptasi kultural penduduk. Konsep keseimbangan alam yang diterjemahkan ke dalam sistem sosial yang membatasi kerusakan alam di wilayah lereng Gunung Awu di wilayah Sangir Besar, Sangihe (Widiyanto, 2012). Secara umum dari kajian ini menunjukkan bahwa kesatuan ekosistem lereng gunung berapi menyuburkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai wujud komunikasi manusia dengan alam dan dinamikanya. Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi Daerah lereng gunung berapi menjadi sentra produksi hortikutura khususnya tanaman sayuran dan tanaman hias yang bernilai ekonomi tinggi. Tanah subur yang secara berkala mendapat tambahan material baru hasil erupsi, ada hembusan material SO2, tekstur berdebu di lereng Merbabu dan berpasir di lereng Merapi serta struktur tanah gembur hingga lepas menjadi media tumbuh yang ideal bagi tanaman. Bagi masyarakat agraris, bertani adalah bagian dari ibadah. Bertani merupakan seni membangun relasi yaitu relasi manusia dengan Sang Pencipta, relasi dengan alam dan relasi sesama makluk hidup antara manusia-tanaman-hewan sesama titah
73
ngaurip. Pada saat wiji nyuwita siti/bantala (benih menyatu dengan tanah) segera berinteraksi dengan tirta (H2O), bayu/maruta (CO2 dan O2) serta surya (sinar matahari) menjadikan benih hidup (Suprihati, 2012a). Bukankah itu prinsip dasar imbibisi dan fotosintesis? Sebagai dasar perekat relasi adalah harmoni atau keselarasan ‘untuk segala sesuatu ada waktunya’. Dasar tersebut terwujud dalam sistem pranata mangsa (bahasa Jawa pranåtåmångså, berarti ‘ketentuan musim') diantaranya versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Salah satu praktik bercocok tanam di lereng gunung adalah nyabuk gunung. Sabuk merupakan pengikat pinggang agar pakaian yang dikenakan kencang dan tidak lepas, kadang penegas bentuk badan, ataupun asesori pelengkap keindahan busana. Nyabuk gunung berarti memasang sabuk pada gunung, agar pakaian (dalam hal ini tanah) tidak melorot. Vandana Shiva dalam Keraf (2002) menuliskan bahwa ‘tanah bukan sekedar rahim bagi reproduksi kehidupan biologis, melainkan juga reproduksi kehidupan budaya dan spiritual’. Konsep ini senada dengan konsep ibu pertiwi. Istilah nyabuk gunung merupakan adopsi budaya lokal di bidang lingkungan hidup. Merupakan salah satu tindakan konservasi tanah yaitu bercocok tanam dengan cara memotong lereng mengikuti kontur (contour cropping), searah dengan kontur atau garis ketinggian sehingga dari jauh nampak melingkari gunung seperti sabuk. Dengan teknik budidaya tersebut kecepatan air aliran permukaan tanah (run off) dapat dikurangi, laju erosi berkurang, memperbesar kesempatan infiltrasi sehingga memperbesar sediaan air bumi dan dihambatnya merosotnya lapisan permukaan tanah dari lereng bagian atas ke bawah. Berbagai variasi dari nyabuk gunung diantaranya strip cropping, alley cropping (budidaya lorong) yang mengkombinasikan antara pengembalian hijauan hasil pangkasan tanaman pagar dengan contour cropping. Sistem berundak atau sengkedan merupakan sistem bercocok tanam yang diberlakukan di lereng gunung. Pembuatan teras bangku atar teras tangga menyediakan bidang yang relatif datar untuk bercocok tanam. Terras ini dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah di bagian bawah sehingga 74
membentuk deretan tangga. Dinding terras diperkuat dengan materi setempat semisal rerumputan ataupun bebatuan. Pembuatan sengkedan ini dibarengi dengan pengolahan tanah yang terbatas, pembuatan teras bangku menghasilkan bidang datar dengan lebar terbatas tergantung kemiringan lereng. Pengolahan tanah dengan mekanisasi penuh sulit diterapkan pada lahan berlereng ini sehingga alat olah tanah cangkul/pacul sederhana menjadi andalan petani. Pengolahan tanah non intensif ini sangat membantu konservasi tanah. Terkandung kearifan lokal dari pacul berkenaan dengan papat kang ucul (keutamaan perilaku). Kemuliaan seseorang akan sangat tergantung cara menggunakan mata (melihat kesulitan sesama), hidung (mencium kebaikan), telinga (mendengar nasihat) dan mulutnya (berkata-kata dengan adil). Bagian utama dari cangkul adalah doran, tandhing, bawak dan landhep, terangkum didalamnya hidup adalah pertandingan yang harus diisi dengan kerja keras, kecerdasan dan mengucap syukur dalam segala hal. Integrasi tanaman semusim dan tahunan pada daerah berlereng sangatlah penting. Mengacu contoh di Kabupaten Temanggung, tembakau merupakan komoditas penting penopang ekonomi, areal penanamannya semakin mengarah ke puncak Sindoro dan berpotensi memperbesar erosi di daerah tersebut. Integrasi tembakau dan kopi yang juga merupakan komoditas unggulan dirakit. Pola Tlahap adalah budidaya tanaman tembakau di Desa Tlahap di lereng Gunung Sindoro dengan sistem terasering dan tumpangsari bersama tanaman kopi arabika dan rumput untuk pakan ternak. Membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mensosialisasikan program ini, kesiapan rakitan teknologi dengan pemilihan kopi arabika kate luas tajuk terbatas dan tidak terlalu tinggi (Kartika 1, Kartika 2), negosiasi panjang dengan Asosiasi Petani Tembakau sebelum pola Tlahap dapat diterima oleh masyarakat lereng Gunung Sindoro dan siap direplikasi oleh wilayah yang setipe. Hasil kajian menunjukkan pola Tlahap, menuju Good Agriculture Practices pada budidaya tembakau di Kabupaten Temanggung (Suprihati, 2010). Komponen utamanya adalah integrasi tembakau – kopi, terasering, penguat teras rumput pakan.
75
Menurut formula Wischemeir dan Smith (1978 dalam Arsyad, 1989 besarnya erosi tanah dirumuskan: A= K R LS CP. Simbol A adalah banyaknya tanah yang tererosi, K adalah faktor erodibilitas tanah, R adalah erosivitas hujan, L adalah panjang lereng, S merupakan kemiringan lereng, C adalah faktor pengelolaan tanaman dan P adalah faktor-faktor tindakan khusus konserasi tanah. Praktik nyabuk gunung, sengkedan merupakan bentuk pengelolaan lahan yang menghasilkan faktor L S dan P yang nilainya lebih kecil sehingga menekan erosi tanah. Implementasi pola TLAHAP merupakan upaya menekan erosi melalui pengelolaan faktor CP. Kegiatan bertani bukan hanya masalah teknis untuk peningkatan hasil panen (ekonomis) namun juga mencakup kegiatan sosial budaya. Pranata sosial aneka ritual sangat lekat dengan dunia pertanian. Salah satu ritual yang terkenal adalah acara ruwat bumi. Pada hakekatnya ruwat bumi adalah pengucapan syukur atas berkat Tuhan berupa hasil panen yang melimpah serta permohonan dijauhkan dari bencana. Berbagai kegiatan selama ruwat bumi diantaranya sesaji hasil panen (persembahan dan pelayanan kepada sesama), pengembalian sisa tanaman ke tanah (dasar dari neraca hara) dan hiburan pagelaran wayang. Lakon yang digelarpun aneka disesuaikan dengan kondisi setempat semisal lakon Makukuhan yang dikembangkan menjadi dasar Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang mencakup PHT. Merespon erupsi Merapi, acara ruwat bumi tahun 2011 di Joglo Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali menggelar lakon ‘Ismaya Maneges’. Tokoh Semar yang merupakan pewujudan Bathara Ismaya yang merakyat mendatangi Kahyangan, maneges menanyakan sikap para dewa atas kondisi rakyat yang menderita akibat bencana (Yulianto, 2011). Implementasi Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi Identifikasi pengetahuan dan kearifan lokal yang berakar kuat di daerah setempat merupakan modal utama sistem budidaya pertanian berkelanjutan. Pemilahan beberapa nilai budaya yang masih tetap relevan diberlakukan dan beberapa perlu sentuhan kekinian dalam penerapannya. Pengkayaan nilai dari daerah yang setipe
76
dibarengi adaptasi kultural disesuaikan dengan potensi lokal meningkatkan nilai gunanya. Hal ini senada dengan warisan ilmu dari Ki Hadjar Dewantara ‘Tiga N’ yaitu: niteni, nirokake dan nambahi (mencermati, menirukan dan menambah), sistem peringatan dini dan antisipasi merupakan produk dari pendekatan ini. Gerakan budidaya pertanian berbasis pengetahuan dan kearifan lokal pendukung keberlanjutan tidak bisa digulirkan begitu saja, diperlukan lokomotif penarik dan pendorongnya. Perlu pemimpin kharismatik masyarakat lokal yang didukung oleh birokrasi struktural. Penciptaan peran model yang mampu menjembatani dan fasih berbicara dengan dua bahasa yaitu bahasa sains dan bahasa pengetahuan kearifan lokal sebagai agen pembaharu menjadi sangat penting (Indiyanto, 2012). Melalui sosok model panutan inilah pencitraan dibangun. Sebagai rangkuman, model Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi disajikan pada Gambar 1.
Teknologi Budidaya Pertanian
Spesifik lokasi budaya
Pencitraan oleh panutan
Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi
77
Gambar 1. Model Budidaya Pertanian Berbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung Berapi
78
KESIMPULAN Hasil kajian menunjukkan bahwa: (1) Pengetahuan dan kearifan lokal merupakan sumber inovasi teknologi yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan (2) Kesatuan ekosistem lereng gunung berapi menyuburkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai komunikasi manusia dengan alam (3) Pemahaman masyarakat atas karakter lereng gunung diwujudkan melalui sistem budidaya pertanian di lereng gunung. (4) Budidaya pertanian berbasis pengetahuan dan kearifan lokal di daerah lereng gunung berapi didukung oleh budaya spesifik lokasi, teknologi budidaya pertanian yang adaptif dan pencitraan oleh panutan.
UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Dikti atas pendanaan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi TA 2013.
DAFTAR PUSTAKA Anshoriy, N. dan Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Pp 321. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Pp 290. Budiyanto, M.A.K. 2010. Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2010: 170–177. Hidayat,T., N.K. Panjaitan, A.H. Dharmawan, M.T. Wahyu dan F. Sitorus. 2010. Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. April, Vol 4 No 1:1-16.
79
Humaidi, Z., N. Widiyanto, Y. F. Wismayanti dan K.A.R. Gumilang. 2012. Kehidupan Ekologis Masyarakat di Lereng Merapi. Indiyanto, A. dan A. Kuswanjono. Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana (pp.127-157). Bandung: Mizan Pustaka - Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Indiyanto, A. 2012. Risiko Bencana, Mempertemukan Sains dan Pengetahuan Lokal. Indiyanto, A. dan A. Kuswanjono. Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana (pp.25-43). Bandung: Mizan Pustaka - Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Keraf, A.S, 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Kompas, Jakarta. Pp 322. Mulyoutami E, Stefanus E, Schalenbourg W, Rahayu S and Joshi L. 2004. Pengetahuan lokal petani dan inovasi ekologi dalam pengelolaan sumberdaya alam pada pertanian berbasis kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. AGRIVITA. 26. (1): 98-106. Pramono, S.A. 2012. PASAG Merapi dan (Kemungkinan) Bencana Erupsi Gunung Merapi. Indiyanto, A. dan A. Kuswanjono. Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana (pp.159-185). Bandung: Mizan Pustaka - Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Saharuddin. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berbasis Kearifan Lokal. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. April, Vol 4 No 1:17-44. Suprihati. 2010. Pola Tlahap, Menuju Good Agriculture Practices pada Budidaya Tembakau di Kabupaten Temanggung. Makalah Seminar disampaikan pada Seminar: Kajian Aplikasi Teknologi Konservasi dalam Rangka Mengatasi Degradasi Lahan pada Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau. BALITBANGDA JATENG, Nopember 2010. Suprihati. 2012a. Kearifan Lokal dalam Bertani. Presentasi disampaikan pada Pelatihan:”Peningkatan Kualitas Usaha Sayuran Organik”. Salatiga, 3 Nopember 2012. Suprihati. 2012b. Pesona Gunung. http://rynari.wordpress.com/2012/07/17/pesona-gunung/ Diakses 5 April 2013. Suprihati. 2013. Antara gareng dan garengpung (belajar dari pengetahuan dan kearifan lokal). http://suprihati.wordpress.com/2013/03/21/antara-garengdan-garengpung-belajar-dari-pengetahuan-dan-kearifan-lokal/ Diakses 5 April 2013. Suprihati, Yuliawati, H. Soetjipta. 2013. Ngrowot dalam Perspektif Kemandirian Pangan dan Energi Berbasis Pertanian (Sumbangan dari Pengetahuan dan Kearifan Lokal). Makalah yang akan dipresentasikan pada Seminar
80
Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi di FP UNS, 17 April 2013. Widiyanto, N. 2012. Bertahan di Antara Letusan Gunung Awu. Mitos tenggelamnya Maselihe dan adaptasi kultural penduduk kampung Kendahe. Indiyanto, A. dan A. Kuswanjono. Respons Masyarakat Lokal Atas Bencana (pp.95-126). Bandung: Mizan Pustaka - Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Yulianto. 2011. Selo gelar ritual Ruwatan Bumi. http://solorayaonline.com2011/05/13/selo-gelar-ritual/ruwatan/bumi/ Diakses 9 April 2013. Yuwono, P. 2012. Sang Pamomong. Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Manusia Jawa. Adiwacana, Yogyakarta. Pp 185.
81