KAJIAN BANDINGAN Keaslian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Kasus Situs Arkelologi Bawah Air Moko, Bau-Bau) Yadi Mulyadi, Dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin Abstrak
The problem of originality and unity in the contexts of cultural heritage preservation, principally in archaeological concept theory is very interesting to study, relation with cultural resource management. Cultural heritage preservation had to be accompl ised that still fo llow the public condition, so that it can be a winwin solution. The necessary of originally and unity in cultural heritage preservation context, focused under water cultural heritage, especially with case study of the cave at Moko, Bau-bau . Key words: Ca ve Moko , originality, under water cultural heritage preservation PENDAH ULUAt~
Ada satu pertanyaan yang sangat menarik berkaitan dengan pelestarian warisan budaya yang juga merupakan sumberdaya arkeologi, yaitu "untuk apa sebuah sumberdaya arkeologi harus dilestarikan?" Ada banyak pendapat dari para ahli berkaitan dengan pertanyaan tersebut, salah satunya Pearson (1995) menyatakan bahwa sumberdaya arkeologi harus dilestarikan karena merupakan buk.ii yang menarik rentang nilai dan kreativitas dari manusia pendukungnya dan juga merupakan bukti yang terdokumentasi tentang pemukiman suatu wilayah ataubagaimana hubungan tempat tersebut dengan dunia luar. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebuah swnberdaya arkeologi mempunyai sifat yang langka dan tidak dapat diperbaharui (Pearson and Sullivan, 1995:1 1-12). Ph. Subroto (2003) menyatakan bahwa sebuah benda eagar budaya merupakansalah satu aset budaya bangsa yang perlu dilindungi karena nilai-nilai penting yang terkandung didalanmya (Subroto, 2003:1). Hari Untoro Drajat menyatakan bahwa benda eagar budaya mempunyai nilai penting \valaupun setiap benda tersebut mempunyai nilai yang berbeda (Drajat, 1993:1 ). Scovill dkk (1977) berpendapat bahwa rekaman dari sebuah sumberdaya arkeolologis merupakan bahan studi untuk melihat dan menggambarkan serta untuk menjelaskan dan untuk mengerti prilaku dan interaksi manusia masa lampau sebagai bagian dari perubahan budaya dan sistem lingkungan (Scovill dkk, 1977 : 45) . Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi tersebut yang sarat dengan makna, maka tentu saja pelestarian sumberdaya arkeologi haruslah dilakukan dengan metode dan cara kerja yang sistematis dan ilmiah serta
Papua Vol. 1 N o. 1 I Juni 2009
77
Yadi Mulyadi, Keas/ian dan Keterpaduan -dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (St~di Arkeologi Bawah Air Moko, Bau-Bau
berpegang dengan ketat pada prinsip-prinsip yang berlaku. Tapi justru hal inilah yang luput dari perhatian para arkeolog sekarang. Kegiatan pelestarian, terrnasuk pemanfaatan warisan budaya selalu ditinjau dari sudut pandang kekinian, sudut pandang sistem budaya sekarang dan melupakan konteks sistem arkeologi, konteks sistem budaya masa lalu. Dalam konteks pengelolaan warisan budaya bawah air, fenomena seperti ini punterjadi. Perkembangan kajian arkeologi bawah air di Indonesia dipieu peristiwa The Nanking Cargo di era -SOan yang menyadarkan pemerintah akan besamya potensi yang terkandung dalam tinggalan arkeologi bawah air khususnya kapal karam. Dalam salah satu tulisatmya, Tanudirjo menyatakan bahwa kesadaran yang muneul pada saat itu lebih pada kesadaran akan nilai penting benda eagar budaya bawah air dari segi nilai jualnya (Tanudirjo, 2006). Pendapat yang serupa diungkapkan oleh Roehmani dalam tulisannya di bulletin Cagar Budaya, bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air begitu kental, sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun daripada benda eagar budaya (Roehmani, 2003). Padahal jika kita meruj uk pada pemahaman yang disepakati oleh para ahli, jelas tinggalan arkeologi bawah air adalah benda eagar budaya. Bahkan O'Keefe dan Prott (1984), seperti yang dikutip Tanudirjo (2006) memasukan tinggalan arkeologi bawah air sebagai warisan budaya. Sedangkan dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan bawah air lainnya dianggap sebagai benda eagar budaya, dan untuk itu maka UNESCO melarang eksploitasi komersial terhadap benda eagar budaya bawah air (Tanudirjo, 2006). Lebih jauh, jika kita eerrnati perkembangan arkeologi bawah air di Indonesia sampai saat ini, terlihat jelas adanya dominasi kapal karam minded. Baik penelitian maupun yang berkaitan dengan pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air selalu difokuskan pada kapal karam yang tenggelam di !aut yang ujung-ujungnya adalah nilai ekonomis dari muatan kapal karam tersebut. Tinggalan arkeologi bawah air, yang ditemukan di perairan nusantara eenderung dipandang sebagai harta karun, sehingga dikatagorikan barang muatan kapal tenggelam yang dapat diekploitasi untuk kepentingan ekonomi semata. Padahal tidak dapat kita pungkiri dalam kajian keilmuan, tinggalan arkeologi bawah air itu bukan hanya kapal karam saja tetapi semua tinggalan budaya yang terdapat di bawah air, baik itu di sungai, sumur, danau maupun dalam sungai bawah tanah di sebuah gua. Ketika objek kajian arkeologi bawah air berupa kapal karam, tentu saja kita akan berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang aktifitas kemaritiman yang terjadi, tapi ketika yang kita temukan adalah sisa reruntuhan istana atau bekas pemukiman maka yang akan kita dapatkan mungkin saja tidak ada kaitatmya dengan aktifitas maritim seeara langsung. Jadi pada hakekatnya inti dari ruang lingkup kajian arkeologi bawah air bukan hanya aktifitas kemaritiman semata, tetapi keseluruhan aktifitas manusia
78
Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009
Yadi Mulyadi, Keaslian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeologi Bawah Air Moko, Bau-Bau
yang terdepositkan dalam benda sisa aktifitas manusia yang 'kebetulan' berada di bawah air. Karena keberadaanya yang tidak di daratan, kajian arkeologi bawah air pun meliputi hal-hal yang berkaitan dengan dunia penyelaman untuk memudahkan kita dalam melaksanakan penelitian arkeologi bawah air. Kapal karam minded ini pun terlihat jelas pada buku Pedoman Pengelolaan Peninggalan Bawah Air yang disusun oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air, dimana yang menjadi fokus kajian adalah objek arkeologi ·bawah air berupa kapal karam dan objek lainnya yang berada di dasar laut. Demikian pula panduan teknis untuk penelitian arkeologi bawah aimya, rnisalnya untuk metode survei bawah air baru sebatas metode survei yang hanya dapat diterapkan di laut saja, sedangkan metode survei bawah air untuk tinggalan lain yang terdapat di sebuah sumur atau sungai di dalam sebuah gua tidak ada penjelasannya. Hal ini tentu saja cukup menyulitkan saat tinggal an arkeologi bawah air yang ditemukan bukan di dasar laut. Hal ini pula yang penulis alarni saat melakukan penelitian arkeologi bawah air di Situs Moko Kota Bau-Bau yang merupakan sebuah gua, dimana di dalam gua tersebut terdapat sungai bawah tanah dan pada kedalaman vertikal 28 meter di dasar sungai tersebut terdapat tinggalan arkeologi berupa kerarnik-keramik kuno. Praktis, metode survey yang ada pada buku pedoman tersebut tidak dapat diterapkan. Pada akhimya, pemahaman kita tentang tinggalan arkeologi bawah air harus lebih luas, tidak hanya fokus pada kapal karam semata, dan tidak hanya di laut saja karena fakta di lapangan jelas memperlihatkan pada kita akan keragaman bentuk tinggalan maupun lokasi dari tinggalan arkeo logi bawah air yang semuanya merupakan wansan budaya yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kerangka pelestarian.
2. Situs Bawah Air .l1oko, suatu warisan budaya bawah air Keberadaan situs bawah air Moko mulai muncul di ranah publik saat pemerintah Kota Bau-Bau melakukan penyelaman di Situs Moko pada pertengahan April 2008. Penyelaman tersebut dilakukan menindaklanjuti informasi dari penyelam Australia dan lnggris yang secara kebetulan menemukan tumpukan kerarnik kuno saat mereka menyelami sungai bawah tanah yang terdapat di gua Moko (www.baubaudive.com, www.baubau.go.id)
Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009
79
Yadi Mulyadi, Keas/ian dw; K~t;i;-:p;;Ji;-;;;;{;;iam Penge/Qi;""an Warisan Bud~a Baw;h Air (Studi Arkeologi Bawah
Air Moko, Bau-Bau
Foto 1. Temuan Keramik Kuno Situs Moko
Dalam penyelaman tersebut, pemerintah kota Bau-Bau mengangkat temuan keramik kuno tersebut sebanyak 35 buah, dimana 6 buah diantaranya merupakan keramik utuh sedangkan yang lainnya berupa pecahan. Hanya saja yang disayangkan dalam penyelaman ini adalah tidak dilibatkannya instansi arkeologi terkait maupun arkeolog, sehingga mengakibatkan pengangkatan keramik kuno tersebut tidak dilakukan secara arkeologis. Berdasarkan informasi dari penyelam yang ikut serta dalam pengangkatan temuan keramik kuno di Situs Moko, bahwa masih banyak keramik kuno di Situs Moko, sehingga tindakan pengamanan dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Bau-Bau dalam bentuk penempatan aparat keamanan dan pemasangan garis pembatas guna menghindari pencurian keramik kuno di Situs Moko . Temyata tindakan pengamanan yang dilakukan tidak efektif dalam menghindari pencurian keramik kuno di Situs Moko. Hal ini terbukti saat penulis melakukan penyelaman di Situs Moko dalam rangka survei arkeologi bawah air yang dipandu oleh Ramadhan penyelam dari Bau-Bau Dive Club yang ikut dalam penyelaman oleh pemerintah Kota Bau-Bau, penulis tidak menemukan tumpukan keramik kuno di lokasi tersebut yang tersisa hanya tinggal 5 keping pecahan keramik, serta benda yang diduga merupakan fragmen tengkorak dan tulang manusia serta tumpukan batuan yang tidak beraturan. Jika data ini dikaitkan dengan informasi awal bahwa masih banyak keramik kuno yang tersisa dari penyelaman sebelurnnya, berarii telah ada tindakan pencurian keramik kuno yang merupakan warisan budaya bawah air Situs Moko.
80
Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009
Yadi Mulyadi , Keas/ian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeologi Bawah Air Moko, Bau-Bau
Hal tersebut tentu saja cukup menyulitkan kita dalam melakukan penelitian arkeologi yang lebih mendalam, terutama dalam kajian keilmuan atau pure archaeology karena kondisi situs yang telah "rusak". Selain itu, kondisi Situs Moko yang merupakan situs bawah air berupa gua yang terendam air memerlukan metodologi tersendiri dan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam pelaksanaan penyelaman arkeologinya.
Foto 2. Temuan hasil survey di kedalaman 18 --20 meter searahjarum jam; pecahan keramik, fragmen tulang, tumpukan batu dan bekas bungkus sabun cuci yang menjadi bukti ketidakinsitu-an dan pecahan keramik.
Adapun dalam kerangka cultural resource management Situs Moko, tentu saja membutuhkan model pengelolaan khusus yang berbeda dengan pengelolaan warisan budaya bawah air selama ini. Terlepas dari tinggalan arkeologinya yang sudah tidak in situ, tidak dapat dipungkiri keramik-keramik kuno dari situs Moko tetap merupakan warisan budaya yang bemilai penting. Situs Moko, sebagai sebuah gua dengan sungai bawah tanah di dalarnnya tempat ditemukatmya keramik kuno tentu saja berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka pengelolaan warisan budaya yang berwawasan pelestarian. Lokasi situs Moko yang termasuk dalam kawasan wisata pantai Nirwana, menjadi nilai tambah tersendiri. Selain tinggalan arkeologisnya, nilai penting lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan baik biologi, geologi dan lainnya turut menjadi nilai tambah yang jika dikemas dengan baik dapat menjadi daya tarik tersendiri. Pemerintah kota Bau-Bau sendiri memang memiliki rencana untuk menjadikan situs Moko sebagai objek wisata yang terintegrasi dengan pantai Nirwana.
Papua Vol . 1 No.1 / Juni 2009
81
Yadi Mulyadi, Keas/ian dan Keterpaduan da/am Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeo/ogi Bawah Air Moko, Bau-Bau
3. Cultural Resource Management Scovill menyatakan bahwa secara umum sumberdaya arkeologi didorninasi oleh tinggalan yang berupa fisik ataupun reruntuhan "budaya" yang terbentang pada landscape masyarakat masa lampau (Scovill dkk, 1977; 45). Begitupun nilai-ni lai yang terkandung dalam setiap sumberdaya arkeologis sangat variatif. Sebuah benda yang sangat bemilai pada masyarakat atau tempat tertentu, bisa jadi tidak punya nilai apaapa pada masyarakat lain di tempat lain (Pearson & SulliYan. 1995: 1r ). Seiring perkembangan jaman, keterancaman terhadap s berda,·a ar.·eo:ogi semakin besar. Beberapa tinggalan arkeologis mulai hilang ata bahka~ ban ur oleh pembangunan. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah kajian · a.- · am arkeologi yakni Cultural resource Management (CRM) . Jika tolak uku.: . ·a adalah perangkat hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya ar 'eologi. a enerapan CRM pertama kali di Swedia pada tahun 1666 kemudian di. o.e_ e erapa negara Eropa (Tanudirjo, 1998; Cleere, 1990). Amerika serika - a."'a -ormal melaksanakan CRM pada tahun 1906 dengan adanya antiquity ace . ·an"' n:e pakan respon atas keterancaman sumberdaya arkeologi (Schiffer & G e:ma.; 19 - - ). e' elum membahas tentang Cultural Resource management, maka ada be e:a. a elemen yang perlu dipaharni. Pertama bahwa membicarakan tentang cui ural resource akan terkait dengan natural resource. Natural resource adalah ari ingkungan alam dimana masyarakat menggunakan, memodifikasi, e erne d: e'ola baik untuk dilestarikan maupun untuk dieksploitasi. Cultural resource sen ; · adalah basil interaksi dan atau intervensi manusia terhadap lingkungan alam fnawral resouce) . Pengertian cultural resource mencakup semua manifestasi dari rna.;1 ·a baik yang berupa bangunan, landscape, artefak, literatur, seni, maupun lembaga budaya. Kedua adalah pengertian tentang managemen kaitannya dengan ar eologi. .\tfanagemen dalam konteks ini diartikan sebagai cara atau respon terhadap pemilihan lahan dimana yang akan digunakan, dieksploitasi atau yang akan d . onservasi (Pearson & Sullivan, 1995). Pendapat lain yang dikemukakan oled Daud Aris T anudirjo (1998) yakni
Cultural Resource Mangement itu adalah bagaimana mengelola sebuah situs atau kawasan sumb erdaya arkeologi untuk mengakomodir beberapa kepentingan dalam artian bahwa kaj ian Cultural Resource Management harus dilihat sebagai managemen konflik (Tanudirjo, 1998). Secara garis besar, cultural resource management menekankan pada lima aspek. Pertama adalah sifat dari sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui, terbatas, tidak bisa diganti dan kontekstual. Kedua ada kesadaran
82
Papua Vol . 1 No. 1 I Juni 2009
Yadi Mulyadi, Keaslian dan Keterpaduan da/am Pengelo/aan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeo/ogi Bawah Air Moko, Bau-Bau
bahwa tidak semua sumberdaya arkeologis dapat diselamatkan dari ancaman kerusakan ataupun musnah baik karena proses alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia. Sekali sumberdaya arkeologi tersebut hilang maka tidak mungkin akan dimunculkan kembali. Begitupun dengan konteksnya, jika sebuah benda arkeo logis kehilangan konteks maka tidak dapat memberikan informasi apa-apa. Ketiga adanya berbagai kepentingan di luar dari kepentingan arkeologi itu sendiri. Kepentingan di luar arkeologi yaitu masyarakat luas (publik), antara lain : ekonomi, pariwisata, masyarakat, generasi mendatang (Tanudi1jo, 2005). Aspek keempat yang menjadi penekanan cultural resource management adalah pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat, tetapi lebih pada bagaimana pengelolaan tersebut dapat beijalan secara terus menerus. Kelima adalah aspek hukum dan politis. Bahwa antara akademisi dan pemerintah harus ada keterkaitan dari aspek hukum dan politis. Cultural resource management, dalam penerapannya mencakup lima langkah utama yakni: 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) Assessmem mlue (penilaian nilai penting) terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan kepu usan berdasarkan dari nilai penting, peluang dan desakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi, 4) implementasi dari perencanaan dan keb ijakan, dan -) e\'aluasi (Pearson and Sullivan, 1995). Tujuan dari culwral resource management secara gans besar dapat disimpulkan sebagai berikut : -Menjelaskan a a . enguraikan semua nilai (value) yang ada pada kawasan sumber daya arkeologi . -Mendesain stra egi per indungan dalam jangka panjang minimal mencakup aspek hukum, per lind ga fi- ik dan konservasi . -Implementasi culwral resource management dapat mencegah dan mengurangi teijadinya kerusakan yang lebi h parah, baik secara fisik maupun nilai yang dikandung oleh s rnberda) a arkeologi tersebut. Disamping itu, pengelolaan terhadap kawasan s berdaya arkeologi juga dapat mengoptimalkan peluang penanganan efek-efek erusakan baik yang menyangkut obyek arkeologi itu sendiri maupun komponenkomponen yang lain. -Untuk perluasan ang sesuai, presentasi nilai kawasan untuk membuka akses masyarakat (public) untuk memaknai sumberdaya arkeologi. Adapun penerapan cultural resource management dalam pengelolaan warisan budaya bawah air, tetap mengacu pada konsep yang dipaparkan di atas. Adapun secara khusus Jeremy Green memaparkan bah\\·a dalam pengelolaan warisan budaya bawah air menyatakan bahwa untuk mengelola sumberdaya arkeologi bawah air ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu:
Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009
83
.,
Yadi Mulyadi, Keaslia~-d~n K-;i~rpaduan da/am Pengelo/aan 1¥-;;;:j-;;;~B~d"aya-Ba;;Qh Air (Sfudi Arkeo/ogi Bawah Air Moko, Bau-Bau
1. Identification of th e issues, dalam hal ini kita harus mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggal an arkeologi bawah air, termasuk dampak yang akan muncul saat penerapan dari CRM . 2. Identification of tlze resource, dalam hal ini sumberdaya budaya dari tinggalan arkeologi bawah air termasuk pelestarian dan pemanfaatan situsnya. 3. Identification of the imeresc gro ups, dalam hal ini identifikasi stakeholder yang merniliki kepen ingan dengan su mberdaya arkeologi bawah air baik itu pemerintah, masyaraka . rna _ _a:-.r;:eolog dan ilmuan (Green, 2004 :374-375). g.l.cc >o ep tersebut, selama ini baru diterapkan pada situs bawah air berc_ a ', _~ > -am. misalnya situs kapal karam Libetty di Tulamben Bali. Sebagai pan ua;::. .e ·asar. 'onsep ini tetap bisa diterapkan di situs bawah air lainnya terma 1' .. ·i. - :\1oko. Hal yang menarik adalah, konsep keaslian dan keterpaduan dalac e::::e:cpan CRM di Situs Moko. Konsep keaslian dan keterpaduan yang bagai.ma:la _·ang epat untuk pengelolaan Situs Moko yang berdasarkan hasil survey telah n . ga ami kerusakan.
B. Kea li an yang " dipalsukan" atau kepalsuan yang " asli" r ondisi Situs Moko yang telah mengalami kerusakan berupa, hilangnya data arkeologi sehingga situs pun kehilangan konteks menjadi permasalahan ersendiri dalam menentukan keaslian dan keterpaduan Situs Moko. Apakah keas lian dalam konteks ini sebatas pada faktor keinsituan artefak dan situs, atau o ep keaslian dan keterpaduan yang dimodifikasi dan diberikan pemaknaan baru yang sesuai dengan perkembangan jaman. Apabila kajian yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dan paradigm arkeologi, besar kemungkinan kondisi situs :\tfoko mengakibatkan pem1asalahan metodologis yang rumit karena hilangnya komeks . Seperti kita ketahui bersama kontek dalam penelitian arkeologi sangat pentirtg, dalam kerangka ini konteks dapat dipandang sebagai keaslian. Ketika keasliannya terganggu maka basil penelitian pun akan menjadi bias bahkan bisa mengarah pada kebohongan publik. Walaupun dalam ranah arkeologi interpretatif kesimpulan yang sifatnya psedo archaeology dianggap syah-syah saja.
Dalam kaitmmya dengan pemanfaatan sumberdaya arekologi, seringkali kita susah untuk membedakan antara arkeologi (tinggalan arkeo logi) yang asli, yang dibuat ulang dan yang fantastis. Hal tersebut bem1anfaat jika bertanya pada seseorang, apakah dia dapat mengenalinya dengan hanya melihat dari dekat. Namun, bahkan mampu untuk mengidentifikasi satu artefak yang bukan asli (palsu), tidak berarti anda mengetahui proses yang begitu rumit yang dengan itu menjadi nyata. Hanya melabel sesuatu yang palsu serupa dengan satu artefak yang asli yang anda tidak ketahui konteksnya baik dari manufaktur, penggunaan, barang buangan atau penemuan. Kondisi seperti itulah, yang diterapkan di situs pemukiman tebing Manitou Springs di Colorado . Situs ini merupakan obj ek wisata terkenal yang
84
Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009
Yad i Mu lyadi , Keaslian dan Keterpaduan dalam P~-;;ge/;/~~;; Wa-;.Ts~--;;jj;;daya Bawah Air (Studi Arkeologi Bawah
Air Moko, Bau-Bau
mencerminkan budaya Indian Anasazi di masa lalu. Hal yang membedakan dengan situs-situs Indian lainnya adalah, karena situs ini menampilkan kepalsuan. Manitou Springs terletak jauh di luar lingkaran yang termasuk pemukiman Anasazi, yang terpu a di sekitar lembah sungai San Juan di empat sudut daerah Colorado 3. Pemukiman ebing itu sendiri dibangun kira-kira ratusan tahun lalu antara 18961906 SM. Pemukiman tebing Manitou 3 Untuk lebih jelas mengenai situs ini lihat uraian Linda Cordel dalam Fake ojAnasad /n Mamtou Spnngs ini dibangun kirakira ratusan tahun lalu antara 1896-1906 SM. Sebagian besar arkeolog mengidentifikasikan proses pembangunan pemukiman tebing ini merupakan transisi dari masa Anasazi ke orang Puebloan modem. Para tukang bangunan batu digunakan untuk membangun pemukiman seperti aslinya. Hampir semua bagian situs dibuat dari batuan yang diambil dari reruntuhan puing Anasazi di sebelah barat daya bagian sudut Colorado. Sehingga batuannya boleh dikatakan otentik atau masih asli. Masih, sebelurnnya memasuki akhir abad, peinukiman tebing belum pernah ada di tebing hantu. Sehingga hal itu mungkin tidak pemah tepat menamakan keistimewaan geografis itu dipersamakan sebagai situs. Bukan hanya pemukiman tebing saj a yang merupakan atraksi budaya palsu di daerah ini, tetapi juga th e Christmas-Theme Santa's Workshop yang sebagian orang dewasa yang berkunj ung ke tempat ini percaya pada Santa Claus. Pemukiman tebing Manitou memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah penelitian profesional, presentasi akademik dan pemahaman publik tentang masa lalu saling mempengaruhi (Lovata, 2007). Menjadikan Situs Moko sebagai objek wisata harus melalui perencanaan yang matang. Sebagai situs bawah air, maka dalam rencana pengelolaannya dapat kita lakukan melalui tahapan sebagaimana yang diuraikan oleh Jeremy Green. Khusus untuk Situs Moko, tahapan yang dilakukan sebagai berikut : 1. Identifikasi isu-isu atau permasalahan yang berkaitan dengan tinggalan arkeologi bawah air, tern1asuk dampak yang akan muncul saat penerapan dari CRM . Dalam hal ini, isu mengenai status kepemilikan lahan perlu diperj elas, terlebih lokasi Situs Moko berada pada lahan rnilik pribadi, sehingga apabila pemerintah bemiat untuk mengelola Situs Moko tentu saja pemilik lahan harus mendapatkan ganti rugi yang memadai. 2. Identifikasi sumberdaya budaya dari tinggalan arkeologi bawah air, termasuk pelestarian dan pemanfaatan situsnya. Dalam hal ini keterlibatan para ahli sangat diperlukan untuk penentuan nilai penting yang dapat menambah daya tarik tersendiri dari Situs Moko.
Papua Vol. 1 N o. 1/ Juni 2009
85
Yadi Mulyadi, Keas/ian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeo/ogi Bawah Air Moko, Bau-Bau
3. Identifikasi stakeholder yang memiliki kepentingan dengan swnberdaya arkeologi bawah air baik itu pemerintah, masyarakat, maupun arkeolog dan ilmuan. Hal ini dilakukan untuk membuat bentuk pengelolaan yang sifatnya berkelanjutan sehingga Situs Moko sebagai warisan budaya bawah air tetap dapat lestari. Dalam rencana pengembangan model pengelolaan Situs Moko, setelah melalui tahapantahapan tersebut perlu disepakati model pengelolaan yang berwawasan pelestarian. Adapun kondisi tinggalan arkeologisnya yang tersisa, tetap dapat dikelola sebagai bagian tak terpisahkan dari Situs Moko. Keramik-keramik kuno yang telah diangkat oleh pihak pemerintah Kota Bau-Bau, setelah dianalisi kandungan nilai pentingnya dapat dijadikan benda yang bercerita tentang Situs Moko dan sejarah Kerajaan Buton. Pemanfaatannya dapat saja dijadikan sebagai koleksi museum maupun ditampilkan di Situs Moko itu sendiri, apakah dikembalikan di bawah air dimana keramik tersebut ditemukan atau dijadikan koleksi di bangunan pem1anen yang dibangun di sekitar Situs Moko . Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan tetap memberikan informasi yang benar mengenai status tinggalan arkeologinya.Hal ini berkaitan kembali dengan keaslian dan keterpaduan dalam konsep pelestarian warisan budaya. Dalam hal ini keramik-keramik kuno tentu saja tetap merupakan artefak asli dari Situs Moko, dan keaslian bentuknya tetap kita pertahankan baik keramik yang utuh maupun yang berupa pecahan tetap dipertahankan bentuk aslinya. Adapun apabila ada pecahan keramik yang untuk tujuan penyampain infonnasi kemudian direkontruksi menjadi bentu yang utuh, tetap dapat dilakukan dengan catatan bahwa itu adalah basil rekonstruksi. Tennasuk dalam hal ini adalah rekonstruksi setting bentang alam Situs Moko, bisa dilakukan untuk memberikan daya tarik yang fantantis sehingga menarik wisatawan datang. Sehingga bentuk pengelolaan Situs Moko menampilkan hasil rekonstruksi sejarah masa lalu yang berpijak pada argumentasi dan penelitian yang dilakukan secara ilmiah sehingga nilai keaslian dan keterpaduan tetap dapat terlihat dengan j elas.
86
Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009
·· ..
Yadi Mulyadi, Keaslian dan Keterpaduan dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeo/ogi Bawah Air Moko, Bau-Bau
Daftar Pustaka Drajat, Hari Untoro dan Ismijono. 1993. Tinjauan Penanganan Situs Ratu Boko dalam Pertemuan Teknis dalam Rangka Evaluasi Program Pemugaran Situs Ratu Boko, Y ogyakarta Drajat, Hari Untoro. Tanpa tahun. Benda Cagar Budaya Peringkat Lokal, Regional, asional dan Global. Green, Jeremy. 2004 . Maritime Archaeology a Technical Handbook 2nd edition. San Diego: Elsevier Academic Press. Lovata, Troy. 2007. In Authentic Archaeology "Public uses and abuse of the past" Left Coast Press. Pearson, Michael and Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basic of Heritage Planning, for managers, Landowners and Administrators. Melbourne: Melbourne University Press. Rochmani , Koos Siti. 2003 . "Perlindungan Benda Cagar Budaya Bawah Air di Indonesia" dalam Buletin Cagar Budaya, No. 3 Januari 2003. Scovill, Douglas H, Garland J. Gordon and Keith M. Anderson. 1977. "Guidelines for the Preparation of Statements of Enviromental Impact on Archaeological Resources " dalam Schiffer, Michael B and George J. Gumerman. 1977 (ed). Conservation Archaeology : A Guide for Cultural Resource Management Studies. New York: Academic Press. Subroto, Ph. 2003 . "Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugaruh ntuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Makalah pada Rapat Penyusunan Kebijakan pemanfaatan BCB di Cisarua, Mei 2003. Bogor. Tanuditjo, Daud Aris. 1998. " Cultural Resource Management sebagai Manajemen Konflik " dalam Majalah Artefak No. 19/Febnwri 1998. Jogjakarta. _ _ _ _ __ __ . 2000. "Reposisi Arkeologi dalam Era Global", dalam Buletin Cagar Budaya, No 2 Juli 2000.
Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009
87
!Yadi Mulyadi, Keaslian dan Keterpad7;;,:;dalam Pengelolaan Warisan Budaya Bawah Air (Studi Arkeologi Bawah
I
Air Moko, Bau-Bau
Tanudirjo, Daud Aris 2003 . "Benda Cagar Budaya, Milik Siapa ?", dalam Kata Pengantar Buku Balung Buto: Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif Masyarakat Sangiran Karangan Bambang Sulistyanto. Yogyakarta: Kunci Ilmu. _ _ _ _ _ _ _ _ . 2006. "Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bawah Air untuk Kepentingan Masyarakat", Makalah dalam Rapat Penyusunan Silabus Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Yogyakarta, 30-31 Agustus 2006 .
88
Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009