1
KAJIA TITER ATIBODI TERHADAP RABIES PADA AJIG YAG DILALULITASKA MELALUI PELABUHA PEYEBERAGA MERAK
JULIA ROSMAYA RIASARI
SEKOLAH PASCASARJAA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2009
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
2
PERYATAA MEGEAI TESIS DA SUMBER IFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Julia Rosmaya Riasari NIM B251064034
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
3
ABSTRACT JULIA ROSMAYA RIASARI. Study of Rabies Antibody Titters on Dogs which are transported through Merak Port. Under direction of EKO SUGENG PRIBADI and R. ROSO SOEJOEDONO Amount of 184 serum samples were analyzed used SERELISATM Rabies Ab Mono Indirect/ASRAB3 (Synbiotics Europe) within January to July 2008. The aim of research is being observed protective antibody titer to rabies virus on dogs that transported at Merak Port. The result showed 76 serum samples (41.3 %) were protective level of antibody to virus rabies, respectively. A hundred and eight serum samples (58.7%) were not protective level of antibody to virus rabies. The interval between vaccination and sampling are influenced the observation result about protective level status of antibody. The opposite result will be shown for place of origin and the age of the dog. Key words: rabies, antibody titters, dogs, Merak Port Banten
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
4
RIGKASA JULIA ROSMAYA RIASARI. Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan R. ROSO SOEJOEDONO. Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten merupakan salah satu pelabuhan penyeberangan dengan frekuensi lalu lintas penyeberangan yang cukup tinggi di Indonesia. Pelabuhan ini memiliki nilai strategis karena menjadi pintu gerbang keluar masuk dari/ke Pulau Jawa. Berbagai jenis hewan dan produk hewan dengan jumlah yang beragam keluar masuk melalui Pelabuhan ini, termasuk anjing. Sejak tahun 2002, Pelabuhan Penyeberangan Merak merupakan salah satu wilayah kerja dari Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak yang sejak Juli 2008 berubah status menjadi Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon. Sejak tahun 2001 sampai 2007 terjadi peningkatan jumlah anjing yang diseberangkan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Anjing-anjing yang menjadi hewan pembawa rabies (HPR) sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di Propinsi Jawa Barat, misalnya Garut, Sumedang, Bandung, dan Indramayu. Sebagian lainnya berasal dari Propinsi DKI Jakarta dan Banten serta sebagian kecil dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah beberapa hasil pemeriksaan serologik pada anjing yang dilalulintaskan di pelabuhan Merak menunjukkan adanya titer antibodi yang tidak protektif terhadap rabies. Salah satu dampak dari adanya anjing yang tidak protektif tersebut adalah anjing tersebut akan rentan terhadap virus rabies. Dengan semakin banyaknya anjing rentan dikhawatirkan kasus rabies di Sumatra akan semakin meningkat sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon. Penelitian ini diharapkan dapat (1) Memberikan penjelasan tentang titer antibodi anjing terhadap rabies dan tingkat efektifitas vaksinasi rabies di daerah asal anjing; (2) Memberi masukan bagi pengambil kebijakan di Badan Karantina Pertanian khususnya dan Departemen Pertanian umumnya mengenai lalulintas anjing. Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas vaksinasi dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif yaitu (1) daerah asal anjing, (2) jarak vaksinasi dengan pengambilan serum contoh darah anjing dan (3) umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh. Sebanyak 188 contoh serum diperoleh selama bulan Januari-Juli 2008. Empat contoh serum mengalami lisis sehingga hanya 184 contoh yang dapat diuji. Dari data tersebut di atas terlihat bahwa lebih banyak contoh serum memiliki nilai titer yang tidak protektif yaitu 108 contoh dari 184 (58,7%) dibandingkan yang protektif yaitu 108 contoh dari 184 (41,3%).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
5
Untuk mengetahui adanya hubungan antara daerah asal anjing dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif, maka anjing dibagi atas kelompok anjing yang berasal dari daerah tanpa kasus rabies dalam dua tahun terakhir dan kelompok anjing yang berasal dari daerah dengan kasus rabies dalam dua tahun terakhir. Dari analisis statistika yang dilakukan memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara asal daerah pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif. Keterkaitan antara jarak vaksinasi dengan pengambilan contoh serum pada data memperlihatkan bahwa anjing yang melewati pelabuhan Merak sebagian besar (55,9 %) divaksinasi 1-7 hari sebelum keberangkatan yaitu sejumlah 103 ekor. Tujuh puluh dua ekor (39,1 %) divaksinasi 8-14 hari sebelum keberangkatan dan hanya 9 ekor (4,9 %) yang divaksinasi lebih dari 15 hari sebelum keberangkatan. Analisis statistika keterkaitan antara umur anjing dengan hasil pemeriksaan serologik memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif. Kesimpulan dari kajian ini adalah (1) dari 184 ekor anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak ke Sumatera yang diambil contoh serumnya memperlihatkan 58,7% memiliki titer antibodi tidak protektif terhadap rabies. (2) Adanya sejumlah besar anjing yang tidak protektif terhadap rabies menunjukkan bahwa program vaksinasi anjing di daerah asal kurang efektif. (3) Hasil pemeriksaan serologik yang tidak protektif tersebut juga kemungkinan mengakibatkan peningkatan kasus rabies di Sumatra. Untuk itu (1) diperlukan kerjasama lebih lanjut antara Badan Karantina Pertanian dengan dinas terkait mengenai perlunya pelaksanaan vaksinasi rabies bagi anjing yang akan dilalulintaskan. (2) Keharusan untuk melalulintaskan anjing 1-2 minggu setelah vaksinasi rabies sebaiknya diberlakukan dengan lebih ketat. (3) Diperlukan pemantauan di daerah tujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah anjing dari pulau Jawa yang tidak protektif terhadap rabies dengan kasus kejadian rabies di Sumatra.
Kata kunci : rabies, titer antibodi, Pelabuhan Penyeberangan Merak
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
6
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
7
KAJIA TITER ATIBODI TERHADAP RABIES PADA AJIG YAG DILALULITASKA MELALUI PELABUHA PEYEBERAGA MERAK
JULIA ROSMAYA RIASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJAA ISTITUT PERTAIA BOGOR BOGOR 2009
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
9
Judul Tesis Nama NIM
: Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak : Julia Rosmaya Riasari : B251064034
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS Ketua
Drh. R. R. Soejoedono, MPH, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 15 Januari 2009
Tanggal Lulus :
Januari 2009
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
10
HALAMA PERSEMBAHA Tesis ini dipersembahkan untuk suamiku tercinta Sugiharto, SH, MM dan anak-anakku Reihan dan 'adia yang telah merelakan sebagian waktunya bersamaku terambil selama masa pembuatan tesis ini.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah mengenai rabies. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS dan Drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA selaku pembimbing tesis yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS atas kesempatan yang diberikan untuk menguji penulis. Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA Kepala Badan Karantina Pertanian periode 2005 2008 dan Ir. Hari Priyono, M.Si Kepala Badan Karantina Pertanian periode 2008sekarang yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program beasiswa karantina ini. Di samping itu penulis juga ingin memberikan penghargaan kepada drh. Bambang Haryanto, MM yang telah memberikan ijin, dorongan dan bimbingannya dari awal masa perkuliahan hingga akhir. Kepada drh. Arum Kusnila Dewi dan drh. Melani Wahyu Adiningsih yang telah bahu-membahu bersama penulis dalam suka duka antara tugas dan kuliah, drh. Agus Sunanto, MP, drh. Krisna Wibawa, beserta seluruh pegawai khususnya Narko, Tuti, Okie, Jahoras, Mesra, Pak Anjar, Andre, Syamsul, Lina, Wina, Irbi dan Rafi di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon yang telah memberikan dukungan penuh selama masa-masa akhir penulisan tesis ini. Bapak Zainal yang telah membantu dalam melakukan analisa statistik dan Syelin atas bantuanya . Juga kepada kepala dan seluruh pegawai Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian yang telah memfasilitasi penelitian ini. Sobat tercinta yang terus memberi semangat Drh. Sophia Setyawati, MP. Kepada seluruh teman seperjuangan, Muji, Nunung, Tatit, Era, Rita, Risma, Iswan, Endah, Mas Edi, Arief, Duma, Yoyok, atas kekompakannya. Terakhir terima kasih kepada papa almarhum, mama, adik-adikku Indra, Upik, Aan serta my dear Blues Sugiharto, Reihan dan Nadia.. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi Badan Karantina Pertanian. Jakarta, Januari 2009 Julia Rosmaya Riasari
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1972 dari ayah (almarhum) Drh. H. Rustam Ali Syawiyah dan ibu Dra. Hj. Soem Amariyah, MM dan merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Masa SD hingga SMA penulis habiskan di Jakarta, pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1996 serta gelar dokter hewan pada tahun 1998. Kesempatan untuk meraih gelar magister di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh dengan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian . Penulis bekerja sebagai dokter hewan karantina di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak sejak tahun 2004 hingga tahun 2008. Dilanjutkan bekerja pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon sejak tahun 2008 hingga sekarang. Penulis menikah pada tahun 1999 dengan Sugiharto, SH, MM dan merupakan ibu dari 2 orang putri bernama Tamara Nur Al Fathi Reihan dan Amerya Al Fitra Nadia.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
13
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
iv
PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 1 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Etiologi .................................................................................................... Penyebaran Rabies .................................................................................. Cara Penularan ........................................................................................ Hewan Rentan ......................................................................................... Patogenesis .............................................................................................. Gejala Klinis ........................................................................................... Diagnosis Rabies Pada Manusia ............................................................. Diagnosis Rabies Pada Hewan ............................................................... Vaksinasi Rabies Pada Hewan.................................................................
7 10 11 12 14 14 15 16 17 18
BAHAN DAN METODE ................................................................................ Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. Materi Penelitian ..................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................... Rancangan Penelitian ..............................................................................
22 22 22 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Hasil Pemeriksaan ELISA ...................................................................... Daerah Asal Anjing................................................................................. Jarak Vaksinasi Dengan Pengambilan Serum Contoh Darah Anjing .... Umur Anjing ...........................................................................................
26 26 29 32 33
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
36
LAMPIRAN .....................................................................................................
39
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
14
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera (domestik keluar) melalui Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak tahun 2001-2007 ............................................................................
1
Jumlah Anjing yang Dilalulintaskan dari Jawa ke Sumatera (Domestik Keluar) melalui Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Bulan Januari-Juli 2008 .......................................................................................
1
Laporan kasus positif rabies pada hewan pembawa rabies di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007)...................................................................
4
4
Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000.....
8
5
Pengenceran serum baku OIE ...................................................................
24
6
Pengenceran akhir serum baku OIE .........................................................
24
7
Hasil uji ELISA bulan Januari – Juli 2008 ...............................................
27
8
Hasil pemeriksaan serologik contoh serum anjing berdasarkan data daerah asal anjing selama periode Januari-Juli 2008 ................................
30
Perbandingan hasil pemeriksaan serologik contoh serum dari daerah asal anjing yang tidak mempunyai dan mempunyai kasus rabies dalam 2 tahun terakhir dan hasil pemeriksaan serologik ........................................
31
10 Jarak pengambilan serum contoh pasca vaksinasi dengan hasil pemeriksaan serologik ..............................................................................
32
11 Kelompok umur anjing dengan hasil pemeriksaan serologik ...................
33
2
3
9
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
15
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta penyebaran rabies di Indonesia tahun 2003 .......................................
2
2 Peta kasus rabies pada manusia di Indonesia tahun 2000 ..........................
8
3 Virus rabies ................................................................................................
11
4 Diagram melintang virus rabies .................................................................
11
5 Grafik hasil uji ELISA terhadap titer antibodi rabies bulan Januari - Juli 2008 ............................................................................................................
28
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
16
DAFTAR LAMPIRA Halaman 1
Data berdasarkan variabel .......................................................................... 40
2
Hasil pengolahan data ................................................................................ 45
3
Hasil pemeriksaan serologik serum contoh anjing bulan Januari-Juli 2008 ........................................................................................................... 50
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
17
PEDAHULUA Latar Belakang Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten merupakan salah satu pelabuhan penyeberangan dengan frekuensi lalu lintas penyeberangan yang cukup tinggi di Indonesia. Pelabuhan ini memiliki nilai strategis karena menjadi pintu gerbang keluar masuk dari/ke Pulau Jawa.
Berbagai jenis hewan dan produk hewan
dengan jumlah yang beragam keluar masuk melalui pelabuhan ini, termasuk anjing. Sejak tahun 2002, Pelabuhan Penyeberangan Merak merupakan salah satu wilayah kerja dari Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak yang sejak Juli 2008 berubah status menjadi Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon. Sejak tahun 2001 sampai 2007 terjadi peningkatan jumlah anjing yang diseberangkan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak, seperti yang terlihat pada Tabel di bawah ini (Anonim 2007).
Tabel 1 Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera (domestik keluar) melalui Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak Tahun 2001-2007 (Anonim 2007) Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah (Ekor)
2871
2726
1212
1930
3388
4606
12.925
Dari bulan Januari hingga Juli 2008 jumlah anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak adalah 11.431 ekor seperti yang terlihat pada Tabel 2 di bawah ini (Anonim 2008).
Tabel 2 Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera (domestik keluar) melalui Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Bulan Januari-Juli 2008 (Anonim 2008) Bulan
Jan
Feb
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Jumlah
1579
1690
1789
1884
1872
1441
1176
(ekor) Total jumlah : 11.431 ekor
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
18
Anjing-anjing yang menjadi hewan pembawa rabies (HPR) sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di Propinsi Jawa Barat, misalnya Garut, Sumedang, Bandung, dan Indramayu. Sebagian lainnya berasal dari Propinsi DKI Jakarta dan Banten serta sebagian kecil dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Anjing tersebut umumnya ras lokal berusia 1-2 tahun yang akan dilatih berburu babi hutan. Anjing-anjing tersebut dikirim untuk berburu babi hutan di beberapa daerah di Pulau Sumatra, seperti di Sumatera Barat (Padang, Solok, Bukittinggi), Jambi dan Bengkulu. Di Indonesia, rabies sudah lama berjangkit di beberapa daerah. Sejak pendokumentasian penyakit ini di Indonesia, daerah yang secara historis bebas adalah Nusa Tenggara Barat, Bali, Kepulauan Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Namun pada akhir tahun 1997, pulau Flores telah dinyatakan tertular dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/TN 510/98 tanggal 8 September 1998. Demikian pula dengan pulau Bali yang dinyatakan tertular pada akhir tahun 2008.
Gambar 1 Peta penyebaran rabies di Indonesia tahun 2003. (Ditjen Peternakan 2006)
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
19
Pulau Jawa dibebaskan secara bertahap dari penyakit rabies. Untuk Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dinyatakan bebas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 892/Kpts/TN/560/9/97. Sedangkan Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dinyatakan bebas dari rabies berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
566/Kpts/PD/PD640/10/2004. Situasi terakhir saat ini hanya 9 provinsi merupakan daerah bebas rabies yaitu NTB, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Sedangkan 24 provinsi lainnya termasuk Jawa Barat dan Banten merupakan daerah tertular rabies dengan masih ditemukannya penderita rabies pada manusia dan adanya spesimen positif pada hewan. Baru-baru ini pulau Bali dinyatakan tertular rabies dengan adanya korban kematian pada manusia. Pernyataan mengenai berjangkitnya wabah penyakit anjing gila (rabies) di kabupaten Badung provinsi Bali tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian no 1637.1/Kpts/PD.610/12/2008 tanggal 1 Desember 2008. Kasus rabies pada hewan di Indonesia cukup tinggi, demikian pula pada manusia. Departemen Kesehatan pada tahun 2000 menyatakan terjadi 16.000 kasus gigitan hewan pada manusia per tahun. Pada tahun 1997-1999 terjadi 88 kasus positif rabies pada manusia dan 2002 spesimen hewan yang diperiksa pada periode tersebut memperlihatkan 55,5 % di antaranya positif rabies (Ditjen PPM dan PLP 2000). Data kasus rabies pada hewan di Indonesia selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2008) menyatakan bahwa di pulau Sumatera selama Januari hingga November 2008 terjadi 1029 kasus gigitan dengan 314 kasus diantaranya dinyatakan positif rabies. Walau kasus gigitan 5 tahun terakhir ini mengalami penurunan 9,9 % dan kasus rabies positif turun 25,07 %, jumlah kasus rabies yang besar di Sumatera tetap harus diwaspadai.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
20
Tabel 3 Laporan kasus positif rabies pada hewan pembawa rabies di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007)
PROVI
o
SI
1. 2.
TAHU 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
NAD
15
5
5
3
9
11
3
5
TAD
4
5
Sumut
110
107
91
13
94
150
89
110
60
83
101
3.
Sumbar
352
368
385
233
198
178
34
114
TAD
125
4.
Riau
206
187
190
164
177
190
148
16
46
TAD
140
5.
Jambi
161
120
80
37
86
124
85
14
37
69
88
6.
Sumsel
16
16
20
6
15
8
10
45
2
TAD
3
7.
Bengkulu
69
37
50
29
56
28
12
12
6
TAD
31
8.
Lampung
30
27
21
14
28
12
12
11
3
50
543 6
19
Sumatera
959
867
842
609
689
737
545
295
276
159
9.
20
1
1
0
2
0
0
0
1
1
Jabar
20
1
1
0
2
0
0
0
1
1
10.
Kalteng
12
11
16
24
10
7
18
9
46
46
11.
Kalsel
11
25
30
3
13
9
9
17
30
7
6 18 16
12.
Kaltim
4
0
4
3
0
2
2
4
1
9
13.
Kalbar
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
Jawa
-
Kalimantan
27
36
50
30
23
18
29
26
81
69
43
14.
Sulut
190
203
177
203
324
394
573
627
7
32
509
15.
Sulteng
32
54
42
37
66
135
61
71
2
3
96
16.
Sulsel
83
90
52
42
145
142
175
63
102
263
14
17.
Sultra
6
9
3
0
18.
Gorontalo
19.
Sul. Barat
Sulawesi 20.
NTT
21
Maluku
22
Mal. Utara
311
ASIOAL 1317 Sumber : Ditkeswan (2008)
42
29
19
33
10
32
2
4
2
4
6
-
-
2
1
3
TAD
356
274
282
581
702
832
800
122
333
623
20
50
23
31
10
10
16
17
42
TAD
12
2
18
12
TAD
8
5
TAD
523
621
1215
1280
1217
944
1326
1467
1428
1139
Menurut Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya), uji serum netralisasi (Serum 'eutralization Test/SN Test) diterapkan bagi hewan yang berasal dari wilayah asal bebas rabies dan tidak ada
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
21
kegiatan vaksinasi. Titer antibodi terhadap rabies yang didapatkan harus kurang dari 0,1 IU/ml. Bila hewan berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml.
Perumusan Masalah Permasalahan yang terjadi saat ini adalah beberapa hasil pemeriksaan serologik pada anjing yang dilalulintaskan di pelabuhan Merak menunjukkan adanya titer antibodi yang tidak protektif terhadap rabies. Salah satu dampak dari adanya anjing yang tidak protektif tersebut adalah anjing tersebut akan rentan terhadap virus rabies. Dengan semakin banyaknya anjing rentan dikhawatirkan kasus rabies di Sumatra akan semakin meningkat sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu pada tahun 2007 dan 2008 terjadi beberapa kasus rabies di Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan data yang ada di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak, sebagian besar anjing tersebut berasal dari provinsi Jawa Barat, sehingga dikhawatirkan anjing-anjing tersebut membawa penyakit rabies ke pulau Sumatera. Kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit rabies tetap terus dilakukan untuk mempertahankan status bebas dari suatu daerah melalui, salah satu diantaranya, dengan pengawasan lalu lintas yang ketat terhadap anjing dan Hewan Penular Rabies (HPR) lainnya.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
22
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat (1) Memberikan penjelasan tentang titer antibodi anjing terhadap rabies dan tingkat efektifitas vaksinasi rabies di daerah asal anjing; (2) Memberi masukan bagi pengambil kebijakan di Badan Karantina Pertanian dan Departemen Pertanian mengenai lalulintas anjing.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
23
TIJAUA PUSTAKA
Rabies atau penyakit anjing gila, dikenal juga dengan nama Lyssa (Inggris), Rage (Perancis), dan Tolwut (Jerman), adalah infeksi viral akut pada susunan syaraf yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini adalah zoonosis yang menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Secara umum, anjing merupakan hewan penular terpenting di kasus rabies pada manusia. Manusia biasanya tertular melalui gigitan hewan terinfeksi (WHO 2006). Kasus rabies pada manusia di Asia adalah yang tertinggi di dunia. Di Banglades, India dan Pakistan lebih dari 40.000 orang meninggal akibat rabies setiap tahun dan pada umumnya 94-98 % kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah sesungguhnya dari manusia yang meninggal akibat rabies ditaksir lebih tinggi di negara berkembang karena diduga lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan ke aparat yang berwenang. Di Cina, kasus kematian akibat rabies adalah kasus tertinggi nomor 2 di dunia (Tang et al. 2005). Laporan World Health Organization tahun 1998 menyatakan bahwa di Indonesia hingga tahun 1989 terdapat kurang lebih 250 kasus rabies pada manusia dan 1500 kasus rabies pada hewan setiap tahun dengan kasus gigitan anjing yang tercatat sejumlah 22.000-24.000. Anjing merupakan hewan penular pada 98 % kasus rabies di manusia. Pengendalian rabies dilakukan dengan membunuh anjing dan vaksinasi massal pada anjing
walaupun hasilnya tidak terlihat secara
maksimal hingga pada tahun 1989 dilakukan kerjasama antara Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri. Sejak saat itu lebih dari dua juta vaksin telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah kasus kematian rabies pada manusia menurun dari 62 menjadi 43 kasus dengan kasus rabies pada hewan yang telah diteguhkan di laboratorium menurun dari 1570 menjadi 859 kasus. Kasus gigitan hewan yang pada tahun 1990 terjadi lebih dari 17.000 kasus menurun menjadi di bawah 15.000 kasus di tahun 1997. Selain itu perlakuan pasca gigitan menurun dari sekitar 11.000 menjadi kurang dari 7000 kasus pada tahun 1997 (WHO 1998).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
24
Laporan WHO tahun 2005 menyatakan bahwa terjadi peningkatan kasus dari tahun 1998 hingga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasus. Seperti yang terpapar pada Tabel dan penyebaran kasus di Indonesia terlihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Tabel 4 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000. Tahun Jumlah kasus
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
62
93
58
93
115
75
65
50
83
144
110
Sumber : WHO/CDS-Zoonosis 2005
Gambar 2 Kasus rabies pada manusia tahun 2000 (WHO 2005a) Menurut WHO (2005a), beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian rabies yang tinggi di Indonesia antara lain jumlah anjing yang cukup besar, baik anjing peliharaan maupun anjing liar, dan kurangnya fasilitas untuk penanganan kasus gigitan anjing. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penanganan kasus gigitan serta terbatasnya jumlah vaksin pasca gigitan dan obatobat lainnya (seperti immunoglobulin) membuat tingkat kematian manusia semakin tinggi.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
25
Rabies di sebagian besar negara di Asia, terutama Bhutan, India, Indonesia, Nepal dan Myammar, bukan merupakan penyakit prioritas dengan penanganan utama. Hal ini ditenggarai dengan kurangnya strategi penanganan dari pemerintah, tidak memadainya pengobatan, lemahnya koordinasi antar departemen, kurangnya kerjasama masyarakat, ditambah dengan mitos serta faktor budaya dan agama yang menghambat program vaksinasi. Di Indonesia ini terlihat dengan munculnya rabies di beberapa daerah yang semula bebas dari penyakit ini, serta meningkatnya kasus rabies secara nasional (WHO 2005b). WHO (2005b) menyarankan strategi pemberantasan rabies harus dilakukan secara nasional di seluruh negeri, terutama di daerah tertular. Strategi yang dilakukan antara lain menghindari kontak dengan hewan terduga rabies atau HPR liar, mencegah kasus rabies pada hewan dengan program vaksinasi menyeluruh, mempermudah akses untuk mendapatkan post exposure prophylaxis (PEP) pada kasus gigitan, meningkatkan komunikasi antar departemen terkait dan memperkuat survei dan pemantauan untuk mencegah terjadinya wabah. Rabies di Indonesia, menurut Office International des Epizooties (OIE) atau World Organization for Animal Health, merupakan penyakit golongan B yang termasuk diantaranya antara lain haemorrhagis
septicaemia,
infectious bursal disease (IBD), anthrax,
bruselosis,
pullorum
dan
infectious
bovine
rhinotracheitis (OIE 2004). Menurut OIE (2004) kasus rabies pada hewan di Indonesia pada tahun 2002 adalah 500 kasus, tahun 2003 adalah 893 kasus dan tahun 2004 adalah 473 kasus. Pada tahun 2003 terjadi wabah di Ambon Maluku yang mulanya merupakan daerah yang secara historis bebas dari rabies. Wabah ini menyebabkan 4 orang meninggal dan 408 kasus gigitan pada manusia. Pemberantasan rabies dilakukan dengan menutup area dari lalulintas HPR dan vaksinasi massal untuk anjing, kucing dan kera. Tidak ada kasus rabies yang dilaporkan dari Ambon sejak tahun 2004. Pada bulan Febuari 2008 dilaporkan adanya 40 kasus gigitan dengan 2 kasus kematian pada manusia di daerah Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semua kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah yang besar dari anjing yang tidak divaksinasi (diduga berjumlah 50.000 ekor di Flores dan Lembata) dan tidak
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
26
berhasilnya eradikasi anjing geladak merupakan faktor utama terjadinya wabah ini (ISR 2008). Rabies di Flores bermula dari didatangkannya 3 ekor anjing dari Sulawesi yang merupakan daerah tertular rabies ke Flores. Sebelum tahun 1997, Flores merupakan daerah bebas rabies. Masuknya anjing-anjing tersebut yang kemudian mati menyebabkan kasus kematian akibat rabies pada anjing-anjing di sekitar wilayah tempat tinggal anjing dari Sulawesi tersebut. Kemudian muncullah kasus rabies pada manusia di Flores Timur yaitu 10 kasus pada tahun 1998, 13 kasus di tahun 1999, 1 kasus di tahun 2000 dan 2 kasus di tahun 2001. Pemusnahan anjing secara massal tidak berjalan dengan sukses dikarenakan beberapa pemilik menjual anjingnya ke daerah lain dan mengakibatkan rabies mewabah di daerah tersebut. Pada tahun 2000 seluruh Flores telah tertular rabies walaupun lebih dari 40 % populasi anjing telah dibunuh. Program vaksinasi massal tidak dilakukan karena situasi politik dan ekonomi Indonesia saat itu yang mengakibatkan kurangnya vaksin rabies, kurangnya vaksinator yang terampil serta tidak adanya fasilitas pendukung, seperti alat angkutan dan kotak pendingin untuk menyimpan vaksin. Dapat disimpulkan
bahwa pemusnahan anjing yang tidak disertai dengan
vaksinasi massal pada wabah rabies tidak membantu menurunkan jumlah kasus rabies baik pada hewan maupun manusia (Windiyaningsih et al. 2004). Vaksinasi massal dan pemusnahan anjing liar tanpa pemilik dilakukan pada semua daerah yang terinfeksi dimulai pada tahun 1989 di pulau Jawa dan Kalimantan dilanjutkan ke pulau Sumatra dan Sulawesi pada tahun 1994. Jumlah kasus rabies pada hewan diharapkan semakin menurun pada seluruh area di Indonesia (OIE 2004).
Etiologi Rabies disebabkan
oleh virus golongan Mononegavirales, famili
Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm. Genom virus ini mempunyai lima jenis protein, yaitu nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein (G) dan polimerase (L). Semua rhabdovirus mempunyai komponen struktur helical ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di sekelilingnya. Pada
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
27
RNP, RNA dilekatkan oleh nukleoprotein.
Protein virus lainnya yaitu
phosphoprotein dan protein besar (L-protein atau polimerase) berhubungan dengan RNP. Bentuk glikoprotein rata-rata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau protein pusat rhabdovirus. Gambar 3 menggambarkan virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh glikoprotein. Ribonukleoproteinnya tersusun dari RNA yang terdiri dari nukleoprotein, phosphoprotein dan polimerase.
Sedangkan, Gambar 4 memperlihatkan diagram melintang virus
rabies yang menunjukkan lapisan konsentrik yaitu
amplop dengan membran
ganda dan protein M yang digulung ke dalam RNA (Ruprecht 2007).
Amplop
Matriks Protein matriks Protein
Glikoprotein
RNA Amplop
Ribonukleoprotein
Gambar 3 Virus rabies (Ruprecht 2007).
Ribonukleo -protein
Protein Matriks
Gambar 4 Diagram melintang virus rabies (Ruprecht 2007).
Virus rabies dapat bertahan pada karkas selama 24 jam pada suhu 20 °C, dan bertahan lebih lama pada karkas beku. Virus rabies dapat bertahan lebih lama pada jaringan yang disimpan dalam 50% gliserol pada suhu 25-27 °C atau pada gliserol murni pada suhu 4 °C (Kaplan et al. 1986). Amplop virus rabies dapat dengan mudah diinaktivasi dengan deterjen atau fenol. Virus rabies juga sangat labil ketika terpapar sinar ultraviolet dan panas (Kaplan et al. 1986; Greene dan Dreesen 1990).
Penyebaran Rabies Rabies tersebar di seluruh dunia dengan hanya beberapa negara yang dinyatakan bebas rabies, antara lain Barbados, Jamaika, beberapa pulau di
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
28
kepulauan Karibia, Uruguay, Jepang, Bulgaria, Irlandia, Belanda, Portugal, Spanyol, Inggris dan beberapa negara Skandinavia di Eropa. Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah tertular rabies dengan hanya sembilan provinsi yang masih merupakan daerah bebas rabies, yaitu NTB, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Definisi daerah bebas rabies adalah daerah yang belum pernah tertular rabies; daerah yang tertular rabies dan dalam satu bulan terakhir tidak ada kasus rabies dan tidak melakukan vaksinasi; atau daerah yang tertular rabies tetapi melaksanakan vaksinasi dan dalam 12 bulan berikutnya tanpa vaksinasi tidak terjadi kasus rabies. Daerah tertular rabies (endemic/enzootic) adalah daerah yang masih terjadi kasus rabies dan dalam 30 hari terakhir sejak kasus rabies terakhir tidak ada lagi kasus serta belum dinyatakan bebas rabies. Daerah yang dinyatakan wabah rabies adalah daerah yang semula berstatus bebas rabies kemudian terjadi kasus rabies; atau daerah yang semula berstatus tertular rabies kemudian terjadi letupan (wabah) rabies yang meluas secara cepat (Barantan 2006)
Cara Penularan Virus ditularkan ke hewan lain dan manusia melalui kontak langsung dengan saliva dari hewan terinfeksi yaitu melalui gigitan, goresan, jilatan pada kulit yang terluka dan membrana mukosa. Bila hewan dan manusia terkena rabies, akibatnya akan fatal karena dapat menyebabkan kematian. Pengeluaran virus rabies sangat penting dalam penularan rabies. Virus rabies dapat dikeluarkan melalui air liur hewan yang terinfeksi untuk beberapa hari setelah gejala klinis terlihat. Virus rabies juga pernah ditemukan pada air liur anjing selama tujuh hari sebelum terlihat gejala klinis yang diamati. Bahkan, virus rabies masih bisa diisolasi dari palatine tonsil anjing yang diinfeksi buatan dengan virus rabies sampai dengan 305 hari setelah masa penyembuhan (Ruprecht 2007). Virus rabies dapat juga dikeluarkan dari air liur kucing selama tiga hari dan sapi selama dua hari sebelum onset gejala klinis. Virus lebih cepat terlacak pada hewan liar dibandingkan anjing, yaitu empat hari pada skunk, 1-2 hari pada serigala dan 12 hari pada kelelawar sebelum gejala klinis nampak. Virus dapat
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
29
juga dikeluarkan melalui urin dan hal ini menyebabkan penularan rabies dari serigala dan kelelawar melalui udara. Susu juga dapat
mengeluarkan virus
rabies, tetapi tidak menjadi bahaya yang besar karena partikel virus akan dihancurkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam susu susu (Kaplan et al. 1986; Beran dan Steele 1994). Terdapat 3 katagori kasus rabies pada manusia berdasarkan tipe kontak dengan hewan pembawa rabies, yaitu katagori I, II dan III. Suatu kasus dianggap sebagai katagori I bila kontak yang terjadi terbatas pada memegang atau terjilat oleh hewan tersangka rabies. Penanganan yang dilakukan hanya terbatas membasuh kulit yang kontak dengan hewan (WHO 2005a). Katagori II atau katagori ringan terjadi bila hewan tersangka mencakar tanpa adanya luka terbuka atau perdarahan. Penanganan dilakukan dengan segera membersihkan bekas cakaran dan memberikan vaksin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari kemudian hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a). Katagori III atau katagori berat terjadi bila hewan tersangka mencakar pada kulit yang luka atau cakaran tersebut menyebabkan luka berdarah atau adanya gigitan yang cukup dalam atau adanya kontak membrana mukosa oleh saliva dan kasus gigitan oleh kelelawar. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan segera memberikan vaksin dan immunoglobulin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari pasca gigitan hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a). Tidak ada penanganan yang efektif untuk rabies bila gejala klinis telah terjadi. Penanganan yang terlambat terhadap rabies akan memberikan akibat yang fatal. Cara paling efektif untuk menangani rabies pasca gigitan pada manusia adalah dengan segera mencuci luka gigitan dengan air kemudian bubuhkan alkohol atau yodium. Vaksin anti rabies diberikan untuk kasus katagori II dan III dan immunoglobulin anti rabies hanya diberikan untuk katagori III. Sebaiknya menghindari untuk menjahit luka. Selain itu disarankan untuk memberi suntikan anti tetanus, anti mikroba dan antibiotika untuk mencegah infeksi lain selain rabies yang akan memperparah kondisi penderita (WHO 2005a).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
30
Hewan Rentan Rabies menyerang hewan berdarah panas seperti anjing, kucing, kera, sapi, kuda, babi, dan domba. Hewan liar seperti serigala, skunk, racoon dan kelelawar juga dapat tertular rabies. Menurut laporan dari Krebs et al. (2003), penularan rabies di Amerika bagian Utara umumnya disebabkan oleh hewan karnivora liar, seperti serigala, racoon dan kelelawar. Hanya 7 % kasus rabies pada manusia disebabkan oleh hewan domestik, seperti anjing, sedang kasus yang diakibatkan hewan liar mencapai 91 %. Hal ini disebabkan salah satu program vaksinasi bagi hewan peliharaan atau domestik telah berjalan dengan baik. Penelitian Sudarjat (1990) menyatakan bahwa di Indonesia pada umumnya kasus rabies terjadi pada anjing (97 %), terutama anjing liar, dan sisanya terjadi pada kucing, kera dan hewan lainnya. Kasus gigitan umumnya disebabkan oleh anjing geladak. Sudarjat mendefisinikan anjing geladak sebagai anjing liar, setengah liar atau berkeliaran. Dengan demikian, anjing geladak merupakan hewan yang berperan sebagai penular rabies yang potensial, baik ke hewan lain maupun ke manusia. Tipe ekologi rabies di Indonesia adalah tipe rural, yaitu rabies yang menyangkut anjing geladak di pedesaan. Sudarjat (1990) juga menyatakan bahwa sera yang berasal dari anjing geladak yang tidak divaksinasi dari berbagai daerah tertular rabies di Indonesia sebagian mengandung antibodi terhadap rabies. Terdapatnya antibodi terhadap rabies pada anjing geladak selain akibat penularan di alam juga kemungkinan besar akibat gigitan hewan penderita rabies atau oleh hewan yang mengandung virus rabies.
Patogenesis Virus rabies mempunyai tempat predileksi di jaringan syaraf yang dari sini virus tersebut dapat bergerak ke sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala klinis yang sangat parah. Diawali dengan luka gigitan, virus kemudian memperbanyak diri di jaringan syaraf lokal yang ada di sekitar gigitan. Virus kemudian menyebar melalui neuromuscular junction dan neurotendinal spindle pada periode waktu tertentu (tergantung lokasi gigitan). Kemudian dengan
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
31
gerakan sentripetal atau aksoplasmik virus melalui syaraf perifer dan dalam waktu 21 hari virus mencapai sistem syaraf pusat (SSP) (Greene dan Dreesen 1990). Setelah mencapai SSP, virus kemudian berpindah dengan cepat ke otak. Virus masuk ke spinal cord atau pada batang otak ipsilateral. Infeksi menyebar pada neuron contralateral dan ascend bilateral spinal cord atau batang otak pada otak bagian depan. Infeksi virus menyebabkan peradangan dan degenerasi pada jaringan syaraf.
Virus kemudian menyebar secara sentrifugal dari SSP ke
berbagai organ tubuh, seperti jantung, kornea, kelanjar adrenal, dan lain-lain melalui syaraf sensorik dan motorik di periferal. Kondisi viremia tidak dapat terlacak. Efek virus pada sistem syaraf menghasilkan perubahan mental dan kegagalan pernafasan yang sangat fatal (Greene dan Dreesen 1990).
Gejala Klinis Gejala klinis rabies diklasifikasikan menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi dan paralisis. Gejala klinis yang ditimbulkan berbeda-beda, baik pada manusia, anjing, sapi bahkan pada hewan liar lainnya. Pada stadium prodormal, saat virus mencapai sistem syaraf pusat, gejala klinis pertama yang dijumpai pada manusia yaitu perasaan secara umum tidak baik, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, demam, mudah marah, gelisah, dan cemas.
Kemudian sakit pada seluruh otot, salivasi, muntah dan kemudian
berlanjut pada stadium selanjutnya. Beberapa hari atau beberapa minggu setelah gejala klinis awal, pasien terlihat eksitasi dengan rasa sakit yang berlebihan pada otot. Terjadi hidrophobia, aerophobia dan periode eksitasi yang sangat parah. Bentuk ini terjadi satu dari 5 kasus pada manusia, tetapi lebih umum terjadi pada hewan. Pasien terlihat menjadi bodoh, terdapat paralisa dari otot laryngeal dan terjadi perubahan patologik pada bagian medulla oblongata. Gejala klinis pada hewan terutama anjing dan kucing sama seperti manusia. Yang terlihat pertama biasanya gerakan refleks yang abnormal, seperti menjilat, mencakar, menggosok, menggigit-gigit bagian luka bahkan jika luka tersebut hampir sembuh. Gejala klinik prodomal adalah kesakitan pada syaraf, diam, demam dan perubahan tingkah laku. Tampak juga dilatasi pupil dengan atau tanpa terjadi refleks kornea. Hewan yang semula baik menjadi mudah marah dan dapat
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
32
menggigit. Sebaliknya, hewan-hewan yang semula galak menjadi lebih jinak. Hewan kemudian menjadi kurang rileks, terjadi hipersensitivitas pada pendengaran dan penglihatan, fotopobia, menggonggong, berimajinasi menggigit suatu obyek. Anjing biasanya berjalan tanpa tujuan dan menggigit sesuatu yang tidak umum, menghindari kontak dengan orang dan lebih senang bersembunyi ditempat yang gelap dan tenang. Anjing dapat mencoba menggigit, menyerang ketika dikandangkan, terjadi inkoordinasi otot, disorientasi dan penyerangan. Kemudian terjadi paralisis dan bahkan kematian. Periode dari tahap prodomal sampai kematian jarang mencapai sepuluh hari. Kucing yang terserang rabies lebih ganas dan berbahaya dari anjing (Kaplan et. al. 1986). Fase ganas pada kucing memperlihatkan gerakan yang aneh dan tingkah laku yang tidak biasanya.
Kucing menggigit atau mencakar obyek yang
berpindah-pindah. Tremor otot dan kelemahan atau terjadi inkoordinasi, berlari terus menerus sampai akhirnya mati dalam keletihan (Greene dan Dreesen 1990). Periode inkubasi pada rabies adalah 6 bulan dan periode infeksi pada hewan karnivora domestik dimulai 15 hari sebelum munculnya gejala klinis dan berakhir saat hewan mati (OIE 2008). Periode inkubasi 8,5 hingga 12 bulan pasca gigitan dilaporkan terjadi pada beberapa anjing. Sehingga disarankan untuk memperlama masa karantina pada hewan tersangka hingga sembilan bulan (Aubert 2008). OIE (2008) mensyaratkan adanya vaksinasi rabies minimum 6 bulan sebelumnya dan tidak lebih dari satu tahun bila memasukkan anjing dan kucing dari negara/daerah tertular rabies. Pemeriksaan antibodi terhadap rabies dilakukan tidak kurang dari tiga bulan dan tidak lebih dari 24 bulan sebelum keberangkatan dengan hasil uji positif tidak kurang dari 0,5 IU/ml.
Diagnosis Rabies Pada Manusia Menurut WHO (2006), Diagnosis rabies pada hewan dan manusia di beberapa bagian di dunia masih didasarkan pada gejala klinis. Secara umum Diagnosis laboratorium seharusnya digunakan untuk menguji, sehingga hasil Diagnosis positif rabies dapat diinformasikan secara cepat kepada petugas yang bertanggungjawab memberikan pengobatan. Hasil negatif pada pengujian rabies berguna dalam menekan biaya pengobatan dan menghilangkan cekaman fisiologik
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
33
terhadap kemungkinan terinfeksi rabies. Identifikasi laboratorium juga sangat penting dalam upaya surveilan penyakit untuk menentukan pola epidemiologik rabies dan program pengendalian rabies di suatu negara. Deteksi virus rabies pada manusia dilakukan dengan cara isolasi virus, ulasan kornea dan biopsi kulit, direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), histopatologik, metode immunohistokimiawi dan
metode amplifikasi (WHO
2006). Deteksi antibodi rabies (serologik) digunakan untuk menegaskan virus yang telah diisolasi dan menilai tanggap kebal hasil vaksinasi pada manusia, atau infeksi yang tidak fatal dan pada percobaan yang melibatkan gambaran patogenesa penyakit.
Pengujian serologik tersebut antara lain uji netralisasi
serum. Metode ini merupakan metode serologik yang pertama kali dikembangkan dan sebagai metode baku untuk membandingkan metode serologik lainnya. Pengujian ini mengukur antibodi IgG dengan pengenceran serial dari serum yang diinaktivasi dengan pemanasan. Selanjutnya, serum dicampur dengan jumlah virus yang sama. Campuran tersebut diinokulasikan secara intraserebral pada tikus atau pada kultur jaringan. Titer antibodi dihitung dengan sejumlah tikus yang masih hidup atau adanya bentuk plak pada jaringan kultur (WHO 2006). Enzymelinked immunosorbent essay (ELISA) mempunyai kepekaan (sensitivitas) yang tinggi dengan kekhasan (spesifisitas) yang baik untuk melacak antibodi IgM dan IgG.
Diagnosis Rabies Pada Hewan Teknik klasik mendiagnosa keberadaan virus rabies adalah pemeriksaan histopatologik terhadap otak (bagian hypocampus) menggunakan pewarnaan Seller. Pewarnaan otak dengan pewarna Seller, yang tersusun atas 1% larutan basic fuchsin dan biru methilen (methylene blue) dalam methanol absolut, dapat memperlihatkan adanya badan negri. Badan negri berbentuk oval spesifik seperti sitoplasmik, berukuran sekitar 0,25-27 µm dan berwarna ungu dengan pewarnaan Seller’s. Metode ini sangat cepat (± 2 jam), tidak mahal dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Peneguhan dengan dFA akan memberikan hasil yang lebih baik (Greene dan Dreesen 1990).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
34
Teknik lain yang digunakan untuk mendiagnosa rabies adalah direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), mouse inoculation test (MIT) yang merupakan teknik “gold standard”, dan rapid rabies enzyme immunodiagnostic (RREID). Pada uji RREID, jaringan tersangka dihomogenisasi dan diuji dengan rabies antigen nucleucapsid menggunakan purified hyperimmune globulin dan diikuti oleh peroxidase conjugated immune globulin dan
chromagen substrate.
Perubahan warna kuning digunakan untuk melacak contoh positif. Metode ini merupakan metode cepat walaupun mempunyai kepekaan yang rendah dibandingkan dangan dFA (Greene dan Dreesen 1990). Pelacakan antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi, atau adanya infeksi pada hewan liar.
Metode yang banyak digunakan yaitu fluorescent antibody virus
neutralisation (FAVN) test, rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT), enzim linked immunosorbant assay (ELISA), mouse neutralization test (MNT) (Greene dan Dreesen 1990). Virus rabies baku galur challenge virus standar (CVS) untuk penelitian dan diagnosis rabies terdapat di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Dengan tersedianya virus positif baku galur CVS, pemeriksaan dengan metoda FAT di Balitvet dapat terus dilakukan (Kurniadhi 2005).
Vaksinasi Rabies Pada Hewan Langkah pertama untuk mencegah penyakit rabies adalah tindakan vaksinasi pada hewan. Vaksinasi rabies sangat efektif, harganya tidak terlalu mahal dan biasanya diberikan setahun sekali. Vaksin yang diberikan adalah vaksin inaktif (killed virus) secara intramuskular atau intradermal dan vaksin aktif (live virus) secara injeksi atau peroral. Hewan yang divaksinasi dan kebal dengan titer antibodi > 0,5 IU/ml tidak mengandung virus rabies walaupun berasal dari daerah endemik (Barantan 2006). Vaksin rabies menimbulkan kekebalan aktif berupa tanggap kebal selular dan humoral. Peredaran antibodi virus rabies atau rabies virus neutralizing antibodies (RVNA) akan terlacak pada 7-10 hari setelah penyuntikan vaksin dan
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
35
akan bertahan 2 tahun atau lebih. Selain itu, saat vaksin diberikan pada hewan yang sudah pernah divaksinasi sebelumnya akan menginduksi tanggap anamnestik yang diakibatkan produksi besar dari RVNA sehubungan dengan kehadiran sel kebal (CDC 2007). Menurut lampiran Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya), uji netralisasi serum (Serum 'eutralizing Test/SN Test) pada hewan yang berasal dari wilayah asal bebas rabies dan tidak ada kegiatan vaksinasi memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU/ml. Bila berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml. Reaksi imunologik yang mengikuti proses vaksinasi dapat dikatagorikan dalam empat tipe reaksi hipersensitivitas. Tipe I muncul karena terjadi interaksi antara sitopilik IgE dan antigen yang menyebabkan degranulasi basofil yang beredar dan dan sel jaringan. Tipe II muncul karena akibat dari kerusakan sel yang menghasilkan reaksi autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dan autoimmune nonregenerative anemias. Tipe III muncul karena adanya pembentukan kompleks dan deposisi sistem kebal. Tipe IV muncul dan menyebabkan granuloma pada tempat suntikan dan polyradiculneuritis (Greene 2003). Reaksi lokal yang terjadi pada anjing setelah menerima vaksinasi biasanya eritrema, rasa sakit pada daerah suntikan, iritasi dan terbentuknya abses. Reaksi biasanya terjadi beberapa menit hingga beberapa hari pasca suntikan. Selain itu, biasanya terjadi demam akibat perbanyakan virus vaksin dalam jaringan limphoid. Umumnya demam hanya terjadi tidak lebih dari 1-2 hari setelah suntikan. Gejala lain adalah anoreksia dan depresi pada sebagian hewan (Greene 2003). Hanlon et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian vaksin saja pada anjing yang terpapar berat virus rabies (gigitan dengan adanya luka terbuka) tidak dapat melindungi hewan dari infeksi rabies lebih lanjut. Sedangkan vaksin yang digabung dengan antibodi monoklonal (mAb) dapat melindungi hewan dari infeksi lebih lanjut.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
36
Program vaksinasi pada anjing di Sumatra Barat dan Kalimantan, terutama pemberian secara parenteral, agak terhambat dengan adanya anggapan yang salah tentang efek samping dari vaksinasi. Mereka menganggap anjing yang menerima vaksinasi akan menjadi lemah dan tidak dapat digunakan untuk berburu. Untuk itu, vaksinasi secara peroral disarankan di daerah-daerah tersebut untuk memperkecil efek dari suntikan (WHO 1998). Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi, antara lain rute vaksinasi, umur hewan saat divaksinasi, tipe vaksin, jadwal vaksinasi; daerah asal dan status kesehatan hewan (Wunderli et al. 2003; Mansfiled et al. 2004; Pavlinic et al. 2006; Aubert 2008). Vaksin yang diberikan secara intramuskular terbukti memberikan tanggap titer antibodi yang lebih baik dari pada secara subkutan (Aubert 2008). Sedang pada manusia, tipe vaksin dan jadwal vaksinasi berpengaruh terhadap tanggap antibodi yang dihasilkan (Pavlinic et al. 2006). Anjing yang menerima vaksin pada umur kurang dari tiga bulan akan mengakibatkan antibodi pasif dari induk dan antibodi aktif dari hasil vaksinasi saling berinteraksi sehingga memberikan hasil yang kurang efektif. Pada umur 10-12 minggu, tidak lagi ditemukan antibodi maternal sehingga hasilnya akan lebih efektif (Aubert 2008). Mansfield (2004) menyatakan bahwa umur paling efektif untuk memvaksinasi rabies adalah antara tiga bulan sampai dengan satu tahun. Bila anjing menerima vaksinasi pada umur kurang dari 10 minggu tidak akan memberikan hasil yang optimal karena adanya antibodi maternal dari induk. Selain itu kemampuan anjing untuk mengembangkan titer antibodi yang memadai setelah menerima vaksinasi akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mungkin disebabkan karena sistem kekebalan tubuh semakin kurang efisien. Anjing yang sedang mengalami anemia berat atau adanya parasit akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan sehingga titer antibodi yang diperoleh kemungkinan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Adanya antibodi netralisasi terhadap rabies pada anjing setelah vaksinasi tidak berarti hewan terlindungi sepenuhnya dari rabies. Sedang tidak adanya antibodi netralisasi juga tidak berarti bahwa hewan tidak terlindungi terhadap rabies. Tetapi dapat dikatakan bahwa hewan yang mempunyai antibodi netralisasi
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
37
terlindungi lebih baik dibandingkan hewan tanpa antibodi netralisasi (Aubert 2008). Seperti yang terlihat di Thailand bahwa sembilan persen anjing yang positif terkena rabies telah divaksinasi 1-2 tahun sebelumnya. Survei terhadap 2500 ekor anjing yang telah divaksinasi di Nigeria menunjukkan adanya empat kasus rabies walaupun anjing tersebut telah divaksinasi 3-6 bulan sebelumnya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keadaan ini antara lain beratnya tipe gigitan, status kesehatan dan kekebalan dari anjing, serta adaptasi virus pada inangnya (Aubert 2008). Tanggap antibodi yang diuji tiga bulan pasca vaksinasi pada vaksinasi ulangan (booster vaccination) lebih tinggi dibandingkan tanggap yang diberikan pada vaksinasi pertama (primary vaccination). Anjing yang telah divaksinasi sebelumnya memiliki tanggap anamnestik terhadap vaksinasi ulangan, walaupun antibodi dari vaksinasi pertama tidak terlacak dalam tubuhnya sebelum vaksinasi diberikan (Derbyshire dan Mathews 1984).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
38
BAHA DA METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil contoh darah anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak-Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon. Serum contoh akan diperiksa menggunakan teknik uji ELISA Rabies di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jakarta. Penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Juli 2008.
Materi Penelitian Sebanyak 1-2 ml serum darah anjing diambil dari vena femoralis atau vena saphena menggunakan syringe sucihama berukuran tiga mililiter. Syringe yang telah berisi darah dibiarkan pada suhu ruang yaitu pada suhu 25-27° C sampai terjadi pemisahan antara serum dan bekuan sel darah. Cairan serum dipindahkan ke tabung gelas/tabung plastik sucihama. Tabung berisi serum disimpan di dalam kotak yang berisi es batu dengan suhu -4 °C atau langsung dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu –20 ˚C sampai serum tersebut akan diperiksa. Cairan serum
diinaktivasi
terlebih
dahulu
sebelum
pemeriksaan
dengan
cara
menempatkannya pada penangas air (waterbath) bersuhu 56 ˚C selama 30 menit.
Metode Penelitian Contoh serum darah anjing diperiksa menggunakan
kit ELISA
SERELISATM Rabies Ab Mono Indirect/ASRAB3 (Synbiotics Europe) dengan kepekaan sebesar 76,2 % dan spesifisitas 97,2 %.
Prinsip kerja dari ELISA
adalah berdasarkan atas ikatan antigen (Ag) yang melapisi bagian dasar sumur cawan mikro (microplate) dengan antibodi (Ab) dari serum dan konjugat yang ditandai dengan adanya perubahan warna karena adanya penambahan substrat. Titer serum ditentukan berdasarkan optical density (OD) dalam bentuk equivalen unit terhadap serum baku OIE. Hasil titer protektif harus menunjukkan nilai ≥ 0,6 EU/ml yang nilainya equivalen dengan ≥ 0,5 IU/ml sebagai baku
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
39
protektif titer antibodi menurut OIE. Sedangkan nilai kurang dari nilai baku akan dianggap tidak protektif.
Alat dan Bahan Biosafety cabinet kelas II, ELISA reader, ELISA washer, mikroplat dasar V, mikropipet multi 20 -200 µI, mikropipet tunggal 5-50 µI, mikroplat dasar V (kit berjumlah 6 @ 16 sumur), Konjugat 2,5ml (tutup oranye) yang berisi Protein A/Peroksidase dengan kadar 10x, Konjugat pengencer 50 ml (Ready to Use), Buffer Peroksidase Substrat 50 ml (Ready to Use), Kontrol Negatif 2,5 ml (tutup hijau) dengan kadar 10x, Kontrol Positif 2,5ml (tutup merah) dengan kadar 10x, Sample Diluent/SD 50 ml (Ready to Use), Wash Solution 200ml dengan kadar 10x, Stop Solution 25 ml (Ready to Use), 6 Adhesive film. Cara Kerja Kit ELISA, contoh dan serum baku OIE disiapkan pada suhu 27 oC (suhu ruang) selama satu jam. Pengenceran dilakukan dengan larutan pencuci (wash solution) satu bagian (20 ml) + sembilan bagian (180 ml) air suling. Satu cawan dasar V disiapkan untuk pengenceran dan diisi 90 µI SD pada AI-GI untuk serum baku OIE dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah contoh yang akan diuji. Pengisian contoh dilakukan tanpa penggandaan/tidak duplo. Sebelumnya tablet serum OIE dilarutkan dalam air suling 0,5 ml (batas garis pada vial) dan kemudian dilakukan pengenceran serum baku OIE seperti yang terpapar pada Tabel 5 di bawah ini. Sebanyak 10 µl serum contoh dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang sudah terisi SD dan dicampur mulai dari sumur H1, A2, B2, C2, dan seterusnya sesuai dengan jumlah contoh. Plate Kit ELISA disiapkan sesuai dengan jumlah serum contoh. Sebanyak 90 µl SD dimasukkan ke dalam sumur A1 dan A2 untuk kontrol negatif dan sumur B1 dan B2 untuk kontrol positif. Kemudian sebanyak 90 µl SD dimasukkan ke dalam sumur C1, D1, E1, F1, G1, H1, dan C2, D2, E2, F2, G2, H2, dan A3, A4 untuk serum baku OIE dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah serum contoh yang akan diuji (DUPLO).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
40
Tabel 5 Pengenceran serum baku OIE Kadar
Jumlah
1 : 10 1 : 30 1 : 100 1 : 150 1 : 300 1 : 1000 1 : 3000 Ket. SD : Sample Diluent OIE : Serum baku OIE
10 µl OIE + 90µl SD 10 µl OIE + 290µl SD 10 µl 1/10 + 90µl SD 10 µl 1/30 + 80µl SD 10 µl 1/30 + 90µl SD 10 µl 1/100 + 90µl SD 10 µl 1/300 + 90µl SD
Sebanyak x10 µl kontrol negatif dimasukkan ke dalam sumur A1 dan A2; sebanyak 10 µl kontrol positif ke dalam sumur B1 dan B2; sebanyak 10 µl serum baku OIE yang telah diencerkan ke dalam sumur C1, D1, E1, F1, G1, H1 dan C2, D2, E2, F2, G2, H2 dan A3, A4 dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah serum contoh yang akan diuji dan lakukan secara duplo. Pengenceran akhir akan diperoleh seperti yang terpapar dalam Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Pengenceran akhir serum baku OIE A B C D E F G H
1 N 1 : 10 P 1 : 10 OIE 1 : 100 OIE 1 : 300 OIE 1 : 1000 OIE 1 : 1500 OIE 1 : 3000 OIE 1 : 10000
2 N 1 : 10 P 1 : 10 OIE 1 : 100 OIE 1 : 300 OIE 1 : 1000 OIE 1 : 1500 OIE 1 : 3000 OIE 1 : 10000
3 OIE 1 : 30000 S1 1 : 100 S2 1 : 100 S3 1 : 100 S4 1 : 100 S5 1 : 100 S6 1 : 100 S7 1 : 100
4 OIE 1 : 30000 S1 1 : 100 S2 1 : 100 S3 1 : 100 S4 1 : 100 S5 1 : 100 S6 1 : 100 S7 1 : 100
Mikroplat ditutup dengan adhesive film dan lalu diletakkan di atas pengocok. Mikroplat kemudian diinkubasi pada suhu 37 ± 3 oC selama 1 jam ± 5 menit. Setelah masa inkubasi tercapai, cairan dibuang dan dicuci sebanyak 4 kali masing-masing selama tiga menit.
Pengenceran konjugat dilakukan dengan
perbandingan 1 : 9, yaitu 250 µl konjugat + 2250 µl pelarut. Sebanyak 100 µl konjugat ditambahkan ke dalam semua sumur dan diinkubasi pada suhu 37 ± 3 oC selama 1 jam ± 5 menit. Setelah masa inkubasi tercapai, cairan dibuang dan cuci empat kali masing-masing tiga
menit.
Sebanyak 100 µl substrat buffer
peroksidase ditambahkan ke dalam semua sumur. Mikroplat tidak ditutup
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
41
adhesive film dan diletakkan di atas pengocok. Mikroplat diinkubasi pada suhu 20 ± 5 oC selama 30 menit ± 5 menit sehingga warna larutan akan berubah menjadi biru. Sebanyak 50 µl stop solution ditambahkan sehingga warna berubah menjadi kuning, diletakkan di atas pengocok dan terakhir diletakkan pada mesin ELISA reader untuk membaca hasil dengan OD pada 450 nm/630 nm. Nilai valid jika OD positif kontrol ≥ 0,300, OD negatif kontrol < 0,50 x OD positif kontrol, koefisien korelasi diantara Ln ODs dan Ln Rabies Ab untuk serum baku OIE > 0,95. Titer kalkulasi dilakukan dengan menggunakan: -
Ln [Rab Ab Concentration (EU/ml)] = a+b * Ln OD
-
Contoh Rab Ab Concentration ( EU/ml ) = e (a=b * Ln OD )
-
Jika titer kalkulasi > 0,6 artinya hewan protektif < 0,6 artinya hewan tidak protektif
Rancangan Penelitian Penentuan contoh Jumlah contoh serum darah yang akan diperoleh ditentukan berdasarkan rumus Leech dan Seller (1979) : n = 4 pq L² Untuk: n = besaran contoh, p = asumsi prevalensi, q = 1-p, dan L² = galat yang diinginkan.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu populasi contoh merupakan satu kedatangan rombongan anjing yang akan dibawa ke Pulau Sumatera. Penentuan contoh di alat angkut dilakukan secara acak.
Analisis Data Nilai hasil yang didapat dimasukkan ke dalam program dari kit ELISA SERELISA Rabies Ab Mono Indirect/Asrab3® (Synbiotic Europe) yang ada dan akan dihasilkan titer antibodi rabies dari contoh serum darah tersebut. Bila titer antibodi rabies lebih dari 0,6 EU/ml maka hewan yang diuji protektif terhadap
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
42
rabies dan bila nilainya kurang dari 0,6 EU/ml berarti hewan tersebut tidak protektif terhadap rabies. Data-data penunjang tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor resiko infeksi seperti umur, ras, riwayat vaksinasi dan asal daerah diperoleh dari Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH). Data-data ini digunakan untuk menentukan hubungan kejadian penyakit dengan parameter yang dilihat. Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas vaksinasi dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif yaitu (1) daerah asal anjing, (2) jarak vaksinasi dengan pengambilan serum contoh darah anjing dan (3) umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
43
HASIL DA PEMBAHASA Hasil Pemeriksaan ELISA Sebanyak 188 contoh serum diperoleh selama bulan Januari-Juli 2008. Jumlah contoh tersebut sudah dianggap cukup karena dalam penelitian ini menggunakan asumsi prevalensi sebesar 2%, galat yang diinginkan sebesar 5% dan tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 95% (Leech dan Seller 1979). Empat serum contoh mengalami lisis sehingga hanya 184 contoh yang dapat diuji.
Berdasarkan uji ELISA dengan kit ELISA SERELISA Rabies Ab Mono
Indirect/Asrab3® (Synbiotic Europe) nilai titer antibodi disebut protektif terhadap rabies adalah bila nilainya lebih dari 0,6 EU. Sedang titer antibodi disebut tidak protektif terhadap rabies bila nilainya kurang dari 0,6 EU/ml. Hasil pemeriksaan ELISA terhadap contoh-contoh tersebut terpapar dalam Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 Hasil pemeriksaan ELISA bulan Januari – Juli 2008
o
Bulan
1. Januari 2. Febuari 3. Maret 4. April 5. Mei 6. Juni 7. Juli Total jumlah
Jumlah contoh
Contoh Lisis
22 25 31 51 45 11 3 188
4 4
Hasil Uji ELISA Tidak Protektif protektif 19 3 3 22 11 20 15 32 23 22 4 7 1 2 76 108
Dari data tersebut di atas terlihat bahwa lebih banyak contoh serum memiliki nilai titer yang tidak protektif yaitu 108 contoh dari 184 (58,7%) dibandingkan yang protektif yaitu 76 contoh dari 184 (41,3%). Hasil ini lebih jelas terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
44
HASIL UJI LABORATORIUM TERHADAP TITER HASIL UJI ELISA ANTIBODI RABIES BULAN JANUARI-JULI 2008
PROTEKTIF, 76 (41,3 %)
TIDAK PROTEKTIF 108 (58,7 %)
Gambar 4 Grafik hasil uji ELISA terhadap titer antibodi rabies bulan Januari Juli 2008. Adanya antibodi netralisasi terhadap rabies (antibodi antirabies) pada anjing setelah vaksinasi tidak berarti hewan terlindungi sepenuhnya dari rabies. Sedang tidak adanya antibodi netralisasi juga tidak berarti bahwa hewan tidak terlindungi terhadap rabies. Tetapi dapat dikatakan bahwa hewan yang mempunyai antibodi netralisasi terlindungi lebih baik dibandingkan hewan tanpa antibodi netralisasi (Aubert 2008).
Sehingga dapat dikatakan bahwa 58,7 % anjing yang tidak
protektif dari data di atas mempunyai kemungkinan terlindungi dari virus rabies. Masih ada kemungkinan anjing-anjing tersebut terlindungi walaupun hasil pemeriksaan serologik menunjukkan hasil yang tidak protektif. Demikian pula dengan 41,3 % anjing yang protektif tidak berarti bahwa anjing tersebut terlindungi sepenuhnya dari virus rabies. Pelacakan antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi, atau adanya infeksi pada hewan liar (Greene dan Dreesen 1990). Sehingga hasil pemeriksaan antibodi yang tidak protektif juga dapat berarti adanya kegagalan vaksinasi. Faktor yang berpengaruh antara lain vaksinasi anjing di daerah asal tidak berjalan secara efektif. Adanya kendala di lapangan saat pemberian vaksin akan berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi. Kemungkinan lain, vaksin yang diberikan sudah rusak karena penyimpanan yang kurang benar.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
45
Seperti yang dikatakan Aubert (2008) bahwa kegagalan vaksinasi dapat terjadi karena pemberian vaksinasi yang kurang tepat akibat kesalahan pemberian atau penyimpanan vaksin yang tidak benar. Sedang Wunderli et al. (2003) menyatakan jumlah vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap tanggap antibodi dan perlindungan terhadap rabies. Penyuntikan vaksin yang tidak benar dapat terjadi di lapangan, sehingga vaksin yang berhasil disuntikkan tidak sesuai dengan volume yang dipersyaratkan. Selain itu bila pemilik anjing memiliki anjing dalam jumlah besar, ada kemungkinan tidak semua anjing di vaksin hanya beberapa saja yang mudah dijangkau. Anjing-anjing yang tidak divaksinasi di dalam serum darahnya tidak ditemukan titer antibodi protektif saat dilakukan pemeriksaan. Aubert (2008) juga menyatakan pemberian vaksin pada masa inkubasi penyakit atau saat terjadi tanggap kebal akibat virus juga mengakibatkan kegagalan vaksinasi. Gejala klinis pada masa inkubasi penyakit tidak atau belum terlihat sehingga tidak diketahui pada saat penyuntikan vaksin apakah anjing tersebut telah atau tidak terpapar virus rabies. Aubert (2008) dan Wunderli et al (2003) menyatakan bahwa vaksin yang diberikan secara intramuskular memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian subkutan. Data rute pemberian vaksin pada anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak tidak dapat diperoleh karena tidak dituliskan di kartu vaksinasi maupun surat keterangan kesehatan hewan. Tetapi, pada umumnya vaksinasi di Indonesia dilakukan secara subkutan karena lebih mudah, terutama di lapangan.
Daerah Asal Anjing Bila anjing berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml (Barantan 2006). Jawa Barat dan Banten sampai saat ini secara legal masih ditetapkan sebagai daerah bebas rabies berdasarkan keputusan Menteri Pertanian 566/Kpts/PD/PD640/10/2004 walaupun di kedua daerah tersebut telah terjadi wabah rabies. Sebaran data hasil pemeriksaan serologik berdasarkan asal daerah contoh serum terpapar pada Tabel 8 berikut ini. Rasio persentase tidak protektif adalah
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
46
persentase jumlah serum contoh yang tidak protektif dibandingkan dengan jumlah keseluruhan serum yang diperiksa. Tabel 8 Hasil pemeriksaan serologik contoh serum anjing berdasarkan data daerah asal anjing selama periode Januari-Juli 2008 Hasil Pemeriksaan o
Daerah Asal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Garut Sumedang Jakarta Bandung Cianjur Purwakarta Kuningan Tasikmalaya Bogor Cilegon Majalengka Brebes Tangerang Sukabumi Indramayu Jumlah
Jumlah Contoh
Contoh Lisis
Protektif
Tidak Protektif
86 26 24 19 13 4 4 3 2 2 1 1 1 1 1 188
2 1 1 4
30 11 13 9 5 2 2 1 1 1 1 76
54 15 11 10 8 1 1 3 1 1 1 1 1 108
Rasio Persentase Tidak Protektif (%) 29,34 8,15 5,97 5,43 4,34 0,54 0,54 1,63 0,54 0.54 0,54 0,54 0,54 58,69
Sebagian besar anjing yang dilalulintaskan berasal dari Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat. Sekali pengiriman biasanya dapat mencapai jumlah lebih dari 30 ekor dalam satu kendaraan untuk sekali pengiriman ke Padang Sumatra Barat. Anjing-anjing tersebut dikumpulkan dari beberapa tempat di Garut. Mereka dipelihara selama dua minggu hingga satu bulan di Garut sebelum dikirim ke Sumatera. Selama dalam pengumpulan, beberapa anjing diberi pelatihan berburu babi hutan untuk meningkatkan nilai jualnya. Anjing yang telah dilatih biasanya diberangkatkan dalam rombongan tersendiri. Berdasarkan wawancara dengan pemilik, tidak semua anjing yang dikirim menerima vaksinasi, sehingga kemungkinan hal inilah yang membuat sebagian besar jumlah anjing yang berasal dari Garut memberikan hasil yang tidak protektif. Tetapi yang mengherankan, semua anjing yang dikirim mendapatkan surat keterangan telah divaksinasi oleh dinas yang berwenang. Padahal, dengan adanya beberapa kasus rabies di Garut,
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
47
menjadikan Dinas berwenang mengambil tindakan yang lebih ketat dalam hal pemberian vaksin terhadap anjing. Program vaksinasi pada anjing di Sumatra Barat dan Kalimantan terutama pemberian secara parenteral agak terhambat dengan adanya anggapan yang salah tentang efek samping dari vaksinasi. Mereka menganggap anjing yang divaksinasi akan menjadi lemah dan tidak dapat digunakan untuk berburu. (WHO 1998). Dikarenakan anjing-anjing tersebut akan dibawa ke Sumatra Barat, ada kemungkinan pemilik sendiri yang meminta anjingnya tidak divaksinasi untuk menghindari efek samping dari vaksinasi. Untuk mengetahui adanya hubungan antara daerah asal anjing dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif, maka anjing dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok anjing yang berasal dari daerah tanpa kasus rabies dalam dua tahun terakhir dan kelompok anjing yang berasal dari daerah dengan kasus rabies dalam dua tahun terakhir. Data tersebut terpapar pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Perbandingan hasil pemeriksaan serologik contoh serum dari daerah asal anjing yang tidak mempunyai dan mempunyai kasus rabies dalam 2 tahun terakhir dan hasil pemeriksaan serologik
Asal daerah
Hasil Pemeriksaan Serologik Protektif Tidak Protektif Jumlah % Jumlah %
Total
Tanpa kasus rabies dalam dua tahun terakhir DKI Jakarta 13 54,2 11 45,8 Jawa Tengah 1 100,0 0 0,0 TOTAL 14 56,0 11 44,0
24 1 25
Dengan kasus rabies dalam dua tahun terakhir 61 39,1 95 60,9 1 33,3 2 66,7 62 38,9 97 61,1
156 3 159
Jawa Barat Banten TOTAL
Dari analisis statistika yang dilakukan memperlihatkan tidak adanya hubungan antara asal daerah pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif. Hal ini berarti anjing yang berasal dari daerah tanpa kasus rabies tidak selalu akan memperlihatkan hasil yang protektif. Demikian pula sebaliknya dimana anjing yang berasal dari daerah dengan kasus
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
48
rabies tidak selalu akan memperlihatkan hasil yang tidak protektif. Daerah tanpa kasus rabies dan daerah dengan kasus rabies sama-sama melakukan program vaksinasi terhadap hewan pembawa rabies (HPR) terutama anjing dan kucing.
Jarak Vaksinasi Dengan Pengambilan Serum Contoh Darah Anjing Keterkaitan antara jarak vaksinasi dengan pengambilan contoh serum terlihat pada data yang terpapar pada Tabel 10 di bawah ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa anjing yang melewati pelabuhan Merak sebagian besar (55,9 %) divaksinasi 1-7 hari sebelum keberangkatan yaitu sejumlah 103 ekor. Tujuh puluh dua ekor (39,1 %) divaksinasi 8-14 hari sebelum keberangkatan dan hanya sembilan ekor (4,9
%) yang divaksinasi lebih dari 15 hari sebelum
keberangkatan.
Tabel 10 Jarak pengambilan serum contoh pasca vaksinasi dengan hasil pemeriksaan serologik Hasil Pemeriksaan Protektif Tidak Protektif Total
Kelompok pengambilan contoh pasca vaksinasi A (1-7 hari) B (8-14 hari) C (>15 hari) 8 60 8 95 12 1 103 72 9
Total 76 108 184
Analisis statistika yang dilakukan memperlihatkan adanya hubungan antara jarak pengambilan contoh pasca vaksinasi dengan jumlah hasil pemeriksan serologik yang protektif. Hal ini berarti jarak pengambilan contoh pasca vaksinasi dengan hasil pemeriksaan antibodi berpengaruh terhadap hasil yang protektif. Kelompok A yang merupakan kelompok yang serum contohnya diambil 1-7 hari pasca vaksinasi memperlihatkan lebih banyak hasil yang tidak protektif. Sedang pada Kelompok B (8-14 hari pasca vaksinasi) dan C (> 15 hari pasca vaksinasi) memperlihatkan lebih banyak hasil yang protektif. Rendahnya titer antibodi pada contoh serum yang diambil pada 1-7 hari pasca vaksinasi diduga karena antibodi dari hasil vaksinasi rabies belum terbentuk. Centers for Disease Control and Prevention (CDC 2007) menyatakan bahwa peredaran antibodi virus rabies atau rabies virus neutralizing antibodies
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
49
(RVNA) akan terlacak 7-10 hari setelah penyuntikan vaksin dan akan bertahan dua tahun atau lebih. Mansfield et al. (2004) menyatakan bahwa jarak vaksinasi dengan pengambilan contoh darah untuk diuji merupakan faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil titer antibodi pasca vaksinasi yang protektif. Sebagian besar anjing dari Kelompok A divaksinasi kurang dari tiga hari sebelum keberangkatan, bahkan ada banyak diantaranya yang divaksin satu hari sebelum atau bahkan pada hari keberangkatan. Hal ini terlihat pada kartu vaksinasi yang menyertai setiap ekor anjing tersebut. Jarak pengambilan contoh yang terlalu dekat dengan waktu vaksinasi juga menyebabkan titer antibodi protektif terhadap rabies belum terbentuk. Ada kebiasaan dari pemilik anjing untuk memeriksakan dan memvaksin anjingnya ke dinas berwenang sesaat sebelum keberangkatan. Jarak yang dekat dengan Pelabuhan Penyeberangan Merak dengan daerah asal anjing (2-10 jam) menyebabkan titer antibodi protektif belum terbentuk. Dengan demikian, sangat disarankan agar anjing sebaiknya diberangkatkan minimal seminggu setelah pemberian vaksinasi sehingga titer antibodi yang protektif telah terbentuk.
Umur Anjing Sebagian besar anjing yang dilalulintaskan melalui pelabuhan Merak ke Sumatra adalah anjing dewasa muda dengan umur antara 1-2 tahun. Pemilik anjing beranggapan bahwa anjing lebih mudah untuk dilatih berburu babi hutan pada usia tersebut. Data keterkaitan antara umur anjing dengan hasil pemeriksaan serologik terpapar pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11 Kelompok umur anjing dengan hasil pemeriksaan serologik Kelompok Umur Anjing (tahun) Kelompok I (<1) Kelompok II (1-2) Kelompok III (>2) Total
Protektif 0 73 3 76
Hasil Pemeriksaan Tidak % Protektif 0 1 41,5 103 42,9 4 108
% 100 58,5 57,1
Total 1 176 7 184
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
50
Dari analisis statistika yang dilakukan memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif. Hal ini berarti umur anjing yang dilalulintaskan di Pelabuhan Penyeberangan Merak pada kajian ini tidak berhubungan dengan hasil pemeriksaan serologik yang protektif. Hal ini mungkin disebabkan karena sebaran umur pada masing-masing kelompok tidak merata. Dalam penelitian ini anjing yang berumur 1-2 tahun berjumlah 176 ekor, berumur lebih dari dua tahun berjumlah tujuh ekor dan berumur kurang dari satu tahun hanya berjumlah satu ekor. Mansfield et al. (2004) menyatakan bahwa umur paling efektif untuk divaksin rabies adalah antara 3 bulan – 1 tahun. Bila anjing divaksin pada umur kurang dari 10 minggu, adanya antibodi pasif dari induk yang telah divaksinasi akan membuat vaksinasi menjadi kurang efektif. Selain itu, kemampuan anjing untuk mengembangkan antibodi yang memadai setelah divaksinasi akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Sedang Aubert (2008) menyatakan bahwa anjing yang divaksin pada umur kurang dari tiga bulan akan mengakibatkan antibodi pasif dari induk dan antibodi aktif dari vaksinasi saling berinteraksi sehingga memberikan hasil yang kurang efektif. Pada umur 10-12 minggu, tidak lagi ditemukan antibodi maternal sehingga hasilnya akan lebih efektif. Status kesehatan anjing saat divaksinasi menurut Aubert (2008) juga berpengaruh terhadap titer antibodi yang protektif.
Bila anjing mengalami
anemia berat atau adanya parasit yang akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan, maka titer antibodi yang diperoleh kemungkinan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Anjing-anjing yang dilalulintaskan melalui Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dan atau surat keterangan telah divaksinasi terhadap rabies (kartu vaksinasi). Adanya sejumlah besar anjing yang tidak protektif terhadap rabies menunjukkan bahwa program vaksinasi anjing di daerah asal kurang efektif. Anjing-anjing dengan hasil pemeriksaan serologik tidak protektif tersebut mempunyai kemungkinan untuk terpapar rabies di daerah tujuan walau kemungkinan untuk terlindungi tetap
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
51
ada walaupun kecil. Sehingga dapat dikatakan, anjing tanpa antibodi anti rabies terlindungi kurang baik terhadap paparan virus rabies daripada anjing yang memiliki antibodi anti rabies. Hasil pemeriksaan serologik yang tidak protektif tersebut juga kemungkinan mengakibatkan peningkatan kasus rabies di Sumatra karena jumlah anjing yang dilalulintaskan ke Sumatra terutama Sumatra Barat cukup besar, berdasarkan data terakhir di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon sekitar 1800-2100 ekor per bulan. Untuk itu diharapkan adanya tindakan lebih lanjut Dinas terkait dari daerah asal mengenai pentingnya vaksinasi rabies pada anjing yang akan diberangkatkan. Selain itu kesadaran pemilik untuk memvaksinasikan anjingnya juga perlu ditingkatkan. Tidak hanya itu, jarak vaksinasi dengan pengiriman anjing juga perlu diperhatikan, dimana pemilik sebaiknya memvaksinasikan anjingnya 1-2 minggu sebelum diberangkatkan, sehingga didapatkan antibodi yang protektif terhadap rabies. Diharapkan keharusan untuk memiliki kartu vaksinasi untuk setiap ekor anjing tidak hanya disikapi sebagai syarat untuk melalulintaskan anjing tetapi juga merupakan salah satu cara untuk melindungi anjing dari rabies. frekwensi lalulintas anjing di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon membuat tindakan karantina yang dilakukan terhadap anjing belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Diharapkan tindakan karantina pada anjing dapat dilakukan sesuai peraturan yang berlaku sehingga pada akhirnya akan mengurangi jumlah anjing yang tidak terlindungi terhadap rabies. Selain itu perlu dilakukan pemantauan lebih lanjut oleh Badan Karantina Pertanian atau Dinas terkait di daerah tujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah anjing dari pulau Jawa yang tidak protektif terhadap rabies dengan kasus kejadian rabies di Sumatra.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
52
SIMPULA DA SARA Simpulan 1.
Dari 184 ekor anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak ke Sumatera yang diambil contoh serumnya memperlihatkan 58,7% memiliki titer antibodi tidak protektif terhadap rabies.
2.
Adanya sejumlah besar anjing yang tidak protektif terhadap rabies menunjukkan bahwa program vaksinasi anjing di daerah asal kurang efektif.
3.
Hasil pemeriksaan serologik yang tidak protektif tersebut memunculkan dugaan kemungkinan penyebab peningkatan kasus rabies di Sumatra.
Saran 1. Diperlukan kerjasama lebih lanjut antara Badan Karantina Pertanian dengan dinas terkait mengenai perlunya pelaksanaan vaksinasi rabies bagi anjing yang akan dilalulintaskan. 2. Keharusan untuk melalulintaskan anjing 1-2 minggu setelah vaksinasi rabies sebaiknya diberlakukan dengan lebih ketat. 3. Diperlukan pemantauan di daerah tujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah anjing dari pulau Jawa yang tidak protektif terhadap rabies dengan kasus kejadian rabies di Sumatra.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
53
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2007. Laporan tahunan Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak tahun anggaran 2007. Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian. [Anonim]. 2008. Laporan bulanan domestik keluar Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak. Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian. Aubert, MFA. 2008. Practical significance of rabies antibodies in cats and dogs and results of a survey on rabies vaccination and quarantine for domestic carnivora in Western Europe. Centre national d’etudes veterinaires et alimentaire. Laboratoire d’etudes sur la rage et la pathologie des animaux sauvages. France. Pp. 1-24. http://www.britfeld.com.rabies.html [9 Oktober 2008]. [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2006. Lampiran Surat Keputusan Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06. Petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya). Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Indonesia. Beran GW, Steele JH. 1994. Rabies and infections by rabies related virus. Di dalam: Beran GW. Handbook of Zoonoses Section B. 2nd Ed. CRC Press Inc. Boca Raton, Ann Arbor. Hlm 307-357. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Department of Health and Human Service USA. http://www.cdc.gov/rabies/virus.html. (last modified july 5, 2007; [17 Mei 2008]. [Ditjen PPM dan PLP] Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Perumahan. 2000. Petunjuk pemberantasan rabies di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Indonesia. [Ditjen Peternakan] Direktorat Jendral Peternakan Direktorat Kesehatan Hewan Departemen Pertanian RI. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu. Departemen Pertanian RI Jakarta Indonesia. [Ditjen Peternakan] Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian RI. 2008. Laporan kasus rabies di pulau Sumatera. Website Deptan. http://www.deptan.go.id. [11 Desember 2008]. [Dirkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian RI. 2008. Laporan kasus positif rabies pada hewan pembawa rabies di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007). Website Deptan. http://www.deptan.go.id. [15 Desember 2008].
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
54
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Keputusan Menteri Pertanian no 1637.1/Kpts/PD.610/12/2008. 1 Desember 2008. Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Indonesia. Derbyshire JB dan Mathews KA. 1984. Rabies antibody titres in vaccinated dogs. Can Vet J 1984;10:383-385. Greene CE, Dreesen DW. 1990. Rabies. Di dalam: Greene CE. Infectious Diseases of the Dog and Cat. W. B. Saunders Company, Philadelphia. Hlm 365-383. Greene CE. 2003. Avoiding vaccine reactions in dogs and cats. 28th World Congress of the World Small Animal Veterinary Association. Bangkok Thailand. Hanlon CA, Niezgoda M, dan Ruprecht CE. 2002. Postexposure prophylaxis for prevention of rabies in dogs. Am J Vet Research 2002;63(8):1096-1100. [ISR] International Surveillance Reports. 2008. 2 February 2008 - 15 February 2008. ISR #04-08. Page last modified 29 February, 2008. http://www.sport.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/internationalsurveillance-reports-2008 [10 September 2008]. Kaplan C, Turner GS, Warrell DA. 1986. Rabies: The Facts. The Chaucer Press Ltd. (Richard Clay), Great Britain (Bungay, Suffolk). United Kingdom. Kurniadhi Puji. 2005. Perbanyakan virus rabies standar galur Challenge Virus Standar sebagai standar diagnosis rabies dengan uji FAT. Bul Tekhnik Pertanian 2005;10(2):61-64. Krebs JW, Williams SM, Smith JS, Ruprecht CE, Childs JE. 2003. Rabies among infrequently reported mammalian carnivores in the United States, 19602000. J Wildlife Dis 2003;39(2):253-261. Leech FB, Seller FC. 1979. Statistical Epidemiology in Veterinary Science. Macmillan Co. New York. USA. Mansfield KL, Burr PD, Snodgrass DR, Sayers R and Fooks AR. 2004. Factors affecting the serological response of dogs and cats to rabies vaccination. J Vet Record 2004 ;154:423-426. [OIE] Office Internationale des Epizooties. 2004. World Animal Health. Indonesia. New activities of the veterinary services. Hlm 198-199. http://www.oie.idn_a.pdf . [5 Agustus 2008].
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
55
[OIE] Office Internationale des Epizootique. 2007. Terrestrial Animal Health and Code. Part 2. Section 2.2. Chapter 2.2.5. Office Internationale des Epizootique. Paris. France. [OIE] Office Internationale des Epizooties. 2008. Terrestrial Animal Health Code. Part 2, section 2.2, chapter 2.2.5. World Organization for Animal Health. Paris France. http://www.oie.int . [15 Agustus 2008]. Pavlinic MS, Hostnik P, Stezinar SL dan Kragelj LZ. 2006. Vaccination against rabies and protective antibodies – comparison of ELISA and fluorescent antibody virus neutralization (FAVN) assays. Veterinarski Arhiv 2006;76(4):281-289. Sudarjat S. 1990. Kemungkinan peranan anjing geladak sebagai reservoar rabies pada beberapa daerah enzootik di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ruprecht CE. 2007. Rabies program. Power point of seminar in world rabies day 2007. Department of Health and Human Service USA. Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/rabies/program.html. [17 Mei 2008]. Tang X, Luo M, Zhang S, Fooks AR, Hu R dan Tu C. 2005. Pivotal role of dogs in rabies transmission in China. Emerging Infectious Dis 2005;11(12) [9 Oktober 2008]. [WHO] World Health Organization. 1998. Field application of oral rabies vaccines for dogs : Report of WHO consultation organized in collaboration with the Office Internationale des Epizooties (OIE). http://www.who.int/emc . [5 Agustus 2008]. [WHO] World Health Organization. 2005a. Communicable disease profile for tsunami affected area for Indonesia. February 2005. Hlm 52-55. http://www.who.int/cds . [5 Agustus 2008]. [WHO] World Health Organization. 2005b. Rabies Elimination in South-east Asia. Report of workshop in Colombo Sri Lanka, 10-12 November 2005. http://www.who.int [9 Agustus 2008]. Windiyaningsih C, Wilde H, Meslin FX, Suroso T dan Widarso HS. 2004. The rabies epidemic on Flores island, Indonesia (1998-2003). J Med Assoc Thai 2004;87(11): 1389-1393. http://www.medassocthai.org/journal. [9 Agustus 2008]. Wunderli PS, Dreesen DW, Miller TJ dan Baer GM. 2003. Effect of vaccine route and dosage on protection from rabies after intracerebral challenge in mice. Am J Vet Research 2003;64(4).
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
56
LAMPIRA
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
57
DATA BERDASARKA VARIABEL VARIABEL 1. Asal daerah anjing dan hasil titer antibodi Tabel 1 Daerah asal anjing dan hasil uji ELISA bulan Januari-Juli 2008
o
Asal Anjing
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Garut Sumedang Jakarta Bandung Cianjur Purwakarta Kuningan Tasikmalaya Bogor Cilegon Majalengka Brebes Tangerang Sukabumi Indramayu Jumlah contoh
Jumlah contoh 86 26 24 19 13 4 4 3 2 2 1 1 1 1 1 188
Hasil Uji Tidak Protektif Protektif 30 54 11 15 13 11 9 10 5 8 2 1 2 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 76 108
Contoh Lisis 2 1 1 4
Tabel 2 Daerah asal anjing dan hasil titer antibodi ASAL DAERAH (PROVINSI) Daerah tidak ada kasus rabies Daerah ada kasus rabies
DKI JAKARTA JAWA TENGAH JAWA BARAT BANTEN
PROTEKTIF 13
HASIL UJI TIDAK LISIS PROTEKTIF 11 0
JUMLAH
24
1
0
0
1
61
95
4
160
1
2
0
3
76
108
4
188
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
58
VARIABEL 2. Jarak vaksinasi dengan pengambilan contoh darah anjing Tabel 3 Pengambilan contoh pasca vaksinasi kelompok A (1-7 hari pasca vaksinasi) dan hasil titer antibodi
BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
HASIL UJI TIDAK PROTEKTIF PROTEKTIF 0 3 0 21 2 18 2 30 2 16 2 6 0 1 8 95
CONTOH LISIS 0 0 0 3 0 0 0 3
JUMLAH (EKOR) 3 21 20 35 18 8 1 106
Tabel 4 Pengambilan contoh pasca vaksinasi kelompok B (8-14 hari pasca vaksinasi) dan hasil titer antibodi
BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
HASIL UJI TIDAK PROTEKTIF PROTEKTIF 19 0 3 1 5 2 12 2 20 6 0 0 1 1 60 12
CONTOH LISIS
JUMLAH (EKOR)
0 0 0 1 0 0 0 1
19 4 7 15 26 0 2 73
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
59
Tabel 5 Pengambilan contoh pasca vaksinasi kelompok C (> 15 hari pasca vaksinasi) dan hasil titer antibodi
BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
HASIL UJI TIDAK PROTEKTIF PROTEKTIF 0 0 0 0 4 0 1 0 1 0 2 1 0 0 8 1
CONTOH LISIS
JUMLAH (EKOR)
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 4 1 1 3 0 9
Tabel 6 Pengambilan contoh serum darah anjing pasca vaksinasi dalam hari
BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
PENGAMBILAN CONTOH PASCA VAKSINASI (HARI) KEL. A KEL. B KEL.C 1-7 8-14 >15 3 19 0 21 4 0 20 7 4 35 15 1 18 26 1 8 0 3 1 2 0 106 73 9
JUMLAH (EKOR) 22 25 31 51 45 11 3 188
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
60
VARIABEL 3. Umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh Tabel 7 Umur anjing kelompok I (< 1 tahun) dan hasil titer antibodi Hasil Uji BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
Protektif 0 0 0 0 0 0 0 0
Tidak Protektif 0 1 0 0 0 0 0 1
Contoh
JUMLAH
Lisis 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 0 0 0 1
Tabel 8 Umur anjing kelompok II (1-2 tahun) dan hasil titer antibodi Hasil Uji BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
Protektif 18 3 11 15 22 3 1 73
Tidak Protektif 3 21 20 30 20 7 2 103
Contoh Lisis
JUMLAH
0 0 0 4 0 0 0 4
21 24 31 49 42 10 3 180
Tabel 9 Umur anjing kelompok III (> 2 tahun) dan hasil titer antibodi Hasil Uji BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
Protektif 1 0 0 0 1 1 0 3
Tidak Protektif 0 0 0 2 2 0 0 4
Contoh Lisis
JUMLAH
0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 2 3 1 0 7
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
61
Tabel 10 Umur anjing kelompok I, II, III dan hasil titer antibodi JUMLAH (EKOR)
UMUR (TAHUN) BULAN Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli JUMLAH
Kel I <1 0 1 0 0 0 0 0 1
Kel II 1-2 21 24 31 49 42 10 3 180
Kel III >2 1 0 0 2 3 1 0 7
22 25 31 51 45 11 3 188
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
62
HASIL PEGOLAHA DATA Variabel 1. Daerah Asal Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square, tetapi pada daerah tidak ada kasus rabies (DKI Jakarta dan Jawa Tengah) terdapat sel dimana frekuensi bernilai nol (Jawa Tengah yang Tidak Protektif) Asal Daerah (provinsi) tanpa kasus rabies DKI JAKARTA JAWA TENGAH Total
Hasil Uji Protektif 13 1 14
Tidak Protektif 11 0 11
Total 24 1 25
Sehingga uji yang digunakan adalah Uji Fisher Eksak. Asal daerah tanpa kasus rabies Hipotesis: H0
: Tidak terdapat asosiasi antara asal daerah tanpa kasus rabies dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
H1
: Terdapat asosiasi antara asal daerah tanpa kasus rabies dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
Statistik Uji: P=
24!1!14!11! = 0.5600 25!13!11!1!0! Nilai P = 0.5600 lebih besar dari α = 0.05, sehingga keputusan yang diambil
adalah menerima H0. Kesimpulannya, pada daerah tanpa kasus rabies, asal daerah pengambilan contoh tidak memiliki hubungan dengan jumlah hasil uji rabies yang protektif. Asal daerah dengan kasus rabies Asal Daerah (provinsi) dengan kasus rabies JAWA BARAT BANTEN Total
Hasil Uji Protektif 61 1 62
Tidak Protektif 95 2 97
Total 156 3 159
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
63
Hipotesis: H0
: Tidak terdapat asosiasi antara asal daerah dengan kasus rabies dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
H1
: Terdapat asosiasi antara asal daerah dengan kasus rabies dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
Chi-Square Test: Jawa Barat, Banten Expected counts are printed below observed counts Chi-Square contributions are printed below expected counts Jawa Barat 61 60.83 0.000
Banten 1 1.17 0.025
Total 62
2
95 95.17 0.000
2 1.83 0.016
97
Total
156
3
159
1
Chi-Sq = 0.041, DF = 1, P-Value = 0.839 2 cells with expected counts less than 5.
Nilai P-Value = 0.8390 lebih besar dari α = 0.05, sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H0. Kesimpulannya, pada daerah dengan kasus rabies, asal daerah pengambilan contoh tidak memiliki hubungan dengan jumlah hasil uji rabies yang protektif.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
64
Variabel 2. Jarak Vaksinasi Dengan Pengambilan Serum Contoh Darah Anjing Hipotesis: H0
: Tidak terdapat asosiasi antara jarak pengambilan contoh pasca vaksinasi dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
H1
: Terdapat asosiasi antara jarak pengambilan contoh pasca vaksinasi dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
Hasil Uji Elisa Protektif Tidak Protektif Total
A
Kelompok B
C
8 95 103
60 12 72
8 1 9
Total 76 108 184
Chi-Square Test: A, B, C Expected counts are printed below observed counts Chi-Square contributions are printed below expected counts A 8 42.54 28.048
B 60 29.74 30.792
C 8 3.72 4.934
Total 76
2
95 60.46 19.737
12 42.26 21.668
1 5.28 3.472
108
Total
103
72
9
184
1
Chi-Sq = 108.651, DF = 2, P-Value = 0.000 1 cells with expected counts less than 5.
Hasil Uji menunjukkan nilai χ 2 =108.651 dengan nilai P-Value = 0.000 yang lebih kecil dibanding α = 0.05, sehingga keputusannya adalah menolak H0. Kesimpulannya, terdapat hubungan antara jarak pengambilan contoh pasca vaksinasi dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif. Proporsi jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif pada setiap kelompok adalah sebagai berikut : 8 = 0.078 103 60 Kelompok B : = 0.833 72 Kelompok A :
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
65
Kelompok C :
8 = 0.889 9
Dari hasil di atas terlihat bahwa kelompok A memiliki proporsi paling rendah dan sangat berbeda dengan kelompok B dan C, sehingga dapat disimpulkan bahwa jarak pengambilan contoh 1 hingga 7 hari pasca vaksinasi memiliki efektifitas paling rendah, sementara itu jarak pengambilan contoh 8 hingga 14 hari dan lebih dari 15 hari memiliki efektifitas yang sama.
Variabel 3. Umur Anjing Kelompok I hanya terdiri dari 1 ekor anjing maka tidak dilakukan pengujian. Uji yang digunakan untuk kelompok II dan III adalah uji Chi-Square, dimana ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh dengan hasil uji elisa rabies yang protektif. Hasil Uji Elisa Protektif Tidak Protektif 73 103 3 4 76 107
Kelompok Umur Anjing Kelompok II Kelompok III Total
Total 176 7 183
Hipotesis: : Tidak terdapat asosiasi antara umur anjing saat dilakukan pengambilan
H0
contoh dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif. H1
: Terdapat asosiasi antara umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh dengan jumlah hasil uji elisa rabies yang protektif.
Chi-Square Test: II, III Expected counts are printed below observed counts Chi-Square contributions are printed below expected counts II 73 73.09 0.000
III 3 2.91 0.003
Total 76
2
103 102.91 0.000
4 4.09 0.002
107
Total
176
7
183
1
Chi-Sq = 0.005, DF = 1, P-Value = 0.942 2 cells with expected counts less than 5.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.
66
Nilai P-Value = 0.9420 lebih besar dari α = 0.05, sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H0. Kesimpulannya, umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh tidak memiliki hubungan dengan jumlah hasil uji rabies yang protektif.
Please purchase 'e-PDF Converter and Creator' on http://www.e-pdfconverter.com to remove this message.